Prof. M.M.
Orasi Ilmiah GURU BESAR UNIVERSITAS LAMPUNG Dr. Nurdiono S.E., ., Akt., CA., CPA
KUALITAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH: SEBUAH KESENJANGAN HARAPAN Oleh: Prof. Dr. Nurdiono, S.E., M.M., Ak., CA., CPA. Disampaikan Pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung 2021 0
DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 2 BAB 2 RERANGKA TEORITIS........................................................................... 6 6 2. 1. Teori Keagenan .................................................................................. 2.2. Teori Pengelolaan (Stewardship Theory) ............................................ 7 2.3. Kualitas Laporan Keuangan................................................................. 8 2.4. Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik .................................................. 8 2.5. Audit dan OpiniLaporan Keuangan Pemerintah daerah .................... 11 2.6. Kesejahteraan Masyarakat ................................................................. 14 2.7. Expectation Gap.................................................................................. 15 2.8. Rerangka Konsep ................................................................................ 15 BAB 3 METODE PENELITIAN.......................................................................... 17 3.1. Data dan Objek Penelitian .................................................................. 17 3.2 Opini LKPD Propinsi Di Sumatera......................................................... 17 BAB 4 ANALISIS ............................................................................................. 19 4.1. OPINI, IPM Provinsi Lampung dan IPM Provinsi Lain.......................... 19 4.2. Belanja Modal Provinsi Lampung dan IPM Lampung.......................... 21 4.3. Kesenjangan Harapan Kualitas LKPD-Kesejahteraa ............................ 24 4.4. Isu Terkini tentang Akuntabilitas dan Transparansi dana de.............. 25 BAB 5 PENUTUP ............................................................................................ 27 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 29 LampIran : DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................ 32 1
KUALITAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH: SEBUAH KESENJANGAN HARAPAN Oleh: Prof. Dr. Nurdiono, S.E., M.M., Ak., CA., CPA. Disampaikan Pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung 2021 Ketua Senat, Rektor beserta jajarannya, dan para hadirin yang berbahagia, BAB 1PENDAHULUAN Kualitas laporan keuangan pemerintah daerah menjadi suatu tuntutan standar pelaporan keuangan.Di samping itu, kualitas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) menunjukkan bentuk pertanggungjelasan keuangan ke publik yang baik.Tata kelola pemerintahan yang baik masih menjadi isu menarik untuk dibahas dalam tulisan ataupun diskusi ilmiah. Tata kelola pemerintahan yang baik, tentu akan menghasilkan kualitas laporan keuangan yang baik mengingat fungsi pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan berjalan dengan semestinya. Dalam tata pemerintahan, kepala daerah memiliki tanggungjawab untuk mewujudkan akuntabilitas publik. Pemerintah bersama DPR menerbitkan UU Otonomi Daerah (UU Nomor 22 tahun 1999) yang diubah dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang diubah dan disempurnakan dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 (DPR RI, 2004). Undang-undang tersebut memberikan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya menurut kehendak sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.Artinya bahwa kepala daerah harus memiliki komitmen dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik, pengendalian internal, dan fungsi pengawasan. 2
Di samping itu kepala daerah harus berupaya mewujudkan sumber daya organisasi yang handal untuk mendukung tercapainya kepemerintahan yang baik. Tata kelola pemerintahan baik akan menciptakan transparansi dan akuntabilitas keuangan pemerintah daerah yang baik, yang secara konsep tentu akan berimbas pada kemakmuran masyarakat. Akuntabilitas keuangan pemerintah daerah tercermin dari kualitas opini yang diperoleh dari BPK atas audit laporan keuangan.Terdapat beberapa jenis opini yang diberikan BPK yaitu opini wajar tanpa pengecualian, opini wajar dengan pengecualian, opini tidak wajar, dan opini tidak memberikan pendapat. Tulisan ilmiah ini akan menjelaskan hubungan antara kualitas laporan keuangan pemerintah daerah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Di samping itu juga pada bagian terakhir akan dipaparkan isu terkini terkait dengan akuntabilitas dan transparansi dana desa. Topik ini sangat menarik mengingat pemerintah pusat berkomitmen untuk terus mendorong para kepala daerah untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan.Kualitas laporan keuangan ditunjukkan dengan hasil opini yang diberikan BPK terhadap LKPD.Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diraih LKPD meningkat dari 58% (313 LKPD) pada tahun 2015 menjadi 82% (443 LKPD) pada tahun 2018 (Humas BPK, 2019).Opini WTP tentu bukan suatu tujuan final, akan tetapi opini WTP yang diperoleh ini sebagai prasyarat wujud dari akuntabilitas keuangan yang dikelola oleh pengambil keputusan (kepala daerah). Pasal 23 ayat 1 Undang–Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: “anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.Statemen pasal tersebut tentu memiliki makna bahwa keuangan negara harus dioptimalkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan 3
rakyat. Alih-alih untuk kesejahteraan rakyat, akan tetapi masih ada oknum kepala daerah yang menyalahgunakan kewenangannya dengan menyelewengkan keuangan negara. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Dr. H. Harry Azhar Azis, M.A. tahun 2016 menjelaskan saat ini semakin banyak instansi pemerintah yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Namun demikian, belum terlihat adanya korelasi linier antara perolehan opini WTP dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.Artinya kondisi di lapangan belum tentu menunjukkan bahwa daerah yang memperoleh opini WTP otomatis masyarakatnya sejahtera (Web Staff, 2016). Ini titik krusial yang perlu menjadi perhatian karena sangat mungkin terjadi kesenjangan harapan, antara apa yang diharapkan oleh pengelola keuangan dengan stakeholder (masyarakat). Masyarakat tentu berharap bahwa ketika suatu LKPD mendapatkan opini WTP berharap dapat mencerminkan kesejahteraan masyarakat.Istilah kesenjangan harapan (expectation gap) banyak dipakai dalam berbagai dalam berbagai macam kajian akademik. Dalam konteks audit misalnya expectation gap ini menunjukkan adanya perbedaan antara harapan public atau pemakai laporan keuangan dengan auditor mengenai peran dan tanggungjawab auditor. Kesenjangan harapan ini tentu perlu dikaji lebih lanjut dengan melihat data-data empiris.Masyarakat tentu berharap bahwa ketika suatu daerah bangga atas opini WTP atas laporan keuangannya, berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya.Secara statistik, pencapaian kesejahteraan akan terlihat dari kenaikan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM), berkurangnya indeks ketimpangan pembangunan (Indeks Gini), ataupun turunnya rasio penduduk miskin. Belum banyak kajian empiris yang menghubungkan antara opini WTP dengan kesejahteraan masyarakat.Djazuli (2013)menguji hubungan antara audit keuangan dan kesejahteraan rakyat di Kabupaten Badung, Tabanan, dan Kota Denpasar Provinsi Bali.Hasil menunjukkan bahwa indikator ekonomi di Bali 4
secara umum lebih tinggi dari rata-rata nasional. Temuan yang lain menunjukkan bahwa belum ada hubungan yang kuat antara audit keuangan dengan kesejahteraan rakyat. Widayanti (2014) menyatakan bahwa hubungan antara opini hasil audit BPK LKPD dengan indeks pembangunan manusia masih lemah. Kinerja keuangan pemerintah daerah yang baik tidak serta merta diikuti dengan keberhasilan kinerja pemerintah daerah begitu pun sebaliknya. Wilayah Sumatera merupakan satu wilayah yang memiliki cakupan yang cukup luas yang terdiri dari 10 provinsi.Masih sedikit kajian tentang hubungan antara opini LKPD dan kesejahteraan untuk wilayah Sumatera, khususnya provinsi Lampung.Provinsi Lampung selama 5 tahun terakhir telah memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Penelitian ini akan membandingkan kondisi Provinsi Lampung, Provinsi yang ada di wilayah Sumatera dan Indonesia. Diharapkan kajian ilmiah ini dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan tentang hubungan antara opini yang diperoleh atas LKPD kabupaten/kota di Sumatera khususnya Lampung dengan tingkat kesejahteraan warganya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teori, praktik dan kebjakan.Secara empiris penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi tentang hubungan kualitas laporan keuangan dengan tingkat kesejahteraan.Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan para kepala daerah untuk terus berupaya meningkatkan kualitas LKPD dan kesejahteraan bagi masyarakat. Ketua Senat, Rektor beserta jajarannya, para hadirin yang berbahagia, 5
BAB 2RERANGKA TEORITIS 2. 1. Teori Keagenan Lahirnya teori keagenan berawal dari adanya bentuk korporasi dalam hal ini memisahkan pemilik perusahaan dengan manajemen.Selanjutnya, manajemen dianggap sebagai agen dan pemilik dianggap sebagai prinsipal.Hubungan tersebut oleh banyak ahli disebut dengan hubungan keagenan. Hubungan keagenan merupakan sebuah kontrakantara prinsipal dengan agen, dengan melibatkan pendelegasianbeberapawewenang pengambilan keputusankepada agen (Jensen & Meckling, 2012). Dalam teori keagenan paling tidak terdapat dua pihak yang dapat diidentifikasi yaitu pihak yang mempercayakan sumber daya yang dimilikinya kepada pihak lain, yang disebut prinsipal. Sedangkan pihak yang kedua dinamakan agen yang diperankan oleh direksi dan manajemen perusahaan. Hubungan keagenan ada ketika prinsipal mempekerjakan agen, untuk selanjutnya prinsipal mendelegasikan tanggung-jawab kepada agen (Baiman, 1990). Hak dan tanggung jawab prinsipal dan agen ditentukan dan disepakati dalam suatu kontrak hubungan kerja. Teori keagenan mengasumsikan bahwa individu yang sepenuhnya rasional dan memiliki referensi yang jelas akan memiliki keyakinan bahwa mereka akan berkinerja sesuai dengan utilitas yang diharapkan (Bonner & Sprinkle, 2002). Selain itu, setiap individu dianggap semata-mata termotivasi oleh kepentingan diri sendiri (Baiman, 1990). Fungsi utilitas ini memiliki dua penjelasan, yaitu kekayaan (insentif moneter dan nonmoneter), dan kesenangan. Eisenhardt (1989)mengemukakan bahwa masalah yang timbul dari hubungan kerja antara pemberi kerja (prinsipal) dan pelaksana pekerjaan (agen) disebabkan dua hal: pertama, (a) ketika terdapat keingingan atau tujuan yang berbeda antara prinsipal dan agen dan (b) sangat sulit atau sangat mahal bagi prinsipal untuk memverifikasi apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh 6
agen. Kedua, sikap yang berbeda antara pemilik dan manajemen dalam menghadapi dan menerima risiko. 2.2. Teori Pengelolaan (Stewardship Theory) Terdapat teori lain yang menjelaskan hubungan antara agen dan prinsipal yaitu teori pengelolaan. Teori pengelolaan mengasumsikan bahwa manajer berperilaku sebagai pihak yang dipercaya organisasi, dan fokus pada kebaikan kolektif konstituen di perusahaan terlepas dari kepentingan pribadi manajer (Donaldson & Davis, 1991).Teoripengelolaan dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Teori pengelolaanmemandang manajemen sebagai pihak dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun pemangku kepentingan. Dalam teori pengelolaan, manajer akan berperilaku sesuai kepentingan bersama. Ketika kepentingan manajer dan pemilik tidak sama, manajer akan berusaha bekerja sama daripada menentangnya, karena manajer merasa bahwa kepentingan bersama dan berperilaku sesuai dengan perilaku pemilik, merupakan pertimbangan yang rasional karena manajer lebih melihat pada usaha untuk mencapai tujuan organisasi (Raharjo, 2007). Gudono(2017)menjelaskan baik teori keagenan maupun teori pengelolaan sama-sama membahas amanah yang diberikan oleh prinsipal kepada agen, namun keduanya banyak berbeda dari sisi asumsi tipe orang yang mereka gunakan.Tipe orang yang mendasari teori keagenan adalah aktor yang mengejar kepentingannya sendiri dan selalu berusaha memaksimalkan keuntungan pribadinya.Itulah sebabnya tema sentral teori keagenan adalah konflik kepentingan antara pemegang saham dan manajer.Manajer dianggap 7
sangat kalkulatif dalam mempertimbangkan untung-rugi bekerja untuk kepentingan prinsipalnya. 2.3. Kualitas Laporan Keuangan Akuntansi sebagai suatu proses yang sistematis yang mencakup indentifikasi, pencatatan, dan pengkomunikasian. Proses dalam akuntansi mengubah data (transaksi) ekonomi menjadi suatu laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan suatu bentuk akuntabilitas manajer terhadap prinsipalnya.Menurut teori keagenan, manager merupakan agen yang bertanggung jawab kepada principal. Di sektor publik (pemerintahan), kepala negara ataupun kepala daerah merupakan agen yang harus bertanggungjawab kepada stakeholders. Semua hal yang terkait dengan penggunaan dana APBN/APBD harus dapat dipertanggungjelaskan. Dalam pemerintah daerah, kepala daerah merupakan pihak yang bertanggungjawab atas penyelenggarakan pemerintah daerah. Kepala daerah wajib menyusun laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang wajib diaudit secara periodik oleh BPK.Kualitas laporan keuangan ditunjukkan dengan hasil opini LKPD yang diterbitkan oleh BPK. 2.4. Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik Dalam konteks sektor publik, pengertian tata keloladapat diartikan sebagai cara mengelola urusan-urusan publik (Mardiasmo, 2004). Pengertian tata kelola sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. World Bank mendefinisikan tata kelola pemerintahansebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta hukum dan rerangka politik bagi tumbuhnya aktivitas usaha. 8
Penelitian (Beekes & Brown, 2006)yang menemukan bahwa tata kelola perusahaan menjadikan perusahaan lebih informatif (lebih transparan). Syamsul dan Ritonga (2017) menguji pengaruh tata kelola keuangan pemerintah daerah terhadap tranparansi keuangan daerah. Penelitian (Syamsul & Ritonga, 2017)bertujuan untuk mengembangkan riset Beekes dan Brown (2006) dalam lingkungan pemerintahan di Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan pada 32 pemerintah daerah di Indonesia, dengan pendekatan teori agensi. Berdasarkan model regresi sederhana, penelitian ini menunjukkan bahwa tata kelola pemerintah daerah berpengaruh secara positif terhadap transparansi pengelolaan keuangan daerah. Tata kelola yang baiksering disebut pada berbagai peristiwa oleh berbagai kalangan. Pengertian tata kelola yang baik bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan tata kelola sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasional masyarakat yang memenuhi prasyarat- prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan tata kelola yang baiksebagai penerjemahan konkrit demokrasi dengan meniscayakan adanya budaya sipilsebagai penopang keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Pengertian tata kelola yang baiksering diartikan sebagai tata kepemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar tata kelola yang baik. Mardiasmo (2004) menjelaskan bahwa World Bank mendefinisikan tata kelola yang baiksebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta hukum dan rerangka politik bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Untuk mewujudkan tata kelola diperlukan reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen publik. Reformasi kelembagaan menyangkut 9
pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah baik struktur maupun infrastrukturnya. Kunci reformasi kelembagaan tersebut adalah pemberdayaan masing-masing elemen di daerah, yaitu masyarakat umum sebagai pemangku kepentingan, pemerintah daerah sebagai eksekutif, dan DPRD sebagai legislatif. UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan tata kelola sebagai berikut (Mardiasmo, 2004). a. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartipasi secara konstruktif. b. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan. c. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. d. Lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani pemangku kepentingan. e. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. f. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan. g. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). h. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. i. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. 10
2.5. Audit dan OpiniLaporan Keuangan Pemerintah daerah Auditing merupakan proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti, tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen, untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria- kriteria yang telah ditetapkan (Arens & Loebbecke, 2000). Menurut Bastian (2006) audit pada organisasi sektor publik didefinisikan sebagai suatu proses sistematik secara objektif, untuk melakukan pengujian keakuratan dan kelengkapan informasi yang disajikan dalam suatu laporan keuangan organisasi sektor publik. Berdasarkan definisi tersebut, beberapa bagian perlu mendapat perhatian, yaitu: 1. Proses sistematik. Audit merupakan aktivitas terstruktur yang mengikuti suatu urutan yang logis. 2. Objektivitas. Hal ini berkaitan dengan kualitas informasi yang disediakan dan juga kualitas orang yang melakukan audit.Secara esensial, objektivitas berarti bebas dari prasangka (freedom from bias). 3. Penyediaan dan evaluasi bukti-bukti. Hal ini berkaitan dengan pengujian yang mendasari dukungan terhadap asersi ataupun representasi. 4. Asersi tentang kegiatan dan kejadian ekonomi. Hal ini merupakan suatu deskripsi luas tentang subyek permasalahan yang diaudit.Asersi merupakan suatu proporsi yang secara esensial dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan. 5. Derajat hubungan kriteria yang ada. Hal ini artinya suatu audit memberikan kecocokan antara asersi dengan kriteria yang ada. 6. Mengomunikasikan hasil. Secara sederhana, agar bermanfaat, hasil audit perlu dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.Komunikasi dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. 11
Secara umum, ada tiga jenis audit dalam audit sektor publik, yaitu: audit keuangan (financial audit), audit kepatuhan (compliance audit) dan audit kinerja (performance audit). Audit keuangan adalah audit yang menjamin bahwa sistem akuntansi dan pengendalian keuangan berjalan secara efisien dan tepat serta transaksi keuangan diotorisasi serta dicatat secara benar.Audit kepatuhan adalah audit yang memverifikasi/memeriksa bahwa pengeluaran- pengeluaran untuk pelayanan masyarakat telah disetujui dan telah sesuai dengan undang-undang peraturan. Dalam audit kepatuhan terdapat asas kepatutan selain kepatuhan (Harry Suharto, 2002). Dalam kepatuhan yang dinilai adalah ketaatan semua aktivitas sesuai dengan kebijakan, aturan, ketentuan dan undang-undang yang berlaku.Sedangkan kepatutan lebih pada keluhuran budi pimpinan dalam mengambil keputusan.Jika melanggar kepatutan belum tentu melanggar kepatuhan.Selanjutnya, audit kinerja yang merupakan perluasan dari audit keuangan dalam hal tujuan dan prosedurnya.Audit kinerja memfokuskan pemeriksaan pada tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi yang menggambarkan kinerja entitas atau fungsi yang diaudit. Audit kinerja merupakan suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif, agar dapat melakukan penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi, efektifitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan dan kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan dan hukum yang berlaku, menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak pengguna laporan tersebut. Setiap tahun BPK memeriksa laporan keuangan lembaga pemerintah dengan tujuan memberi opini atas kewajaran laporan keuangan.Menurut standar audit, ada empat jenis opini sesuai dengan tingkat kewajarannya, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak 12
Wajar (TW), dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP).Agar laporan keuangan memiliki keandalan dan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, maka harus disusun sesuai standar akuntansi. Dari data BPK menunjukkan bahwa Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diraih Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) terus meningkat dari 3 LKPD (0,65%) pada tahun 2006 menjadi 411 LKPD (76%) pada tahun 2017 (bpk.go.id). Peningkatan kualitas LKPD pada 2017 merupakan upaya pemerintah daerah dalam memperbaiki kelemahan yang terjadi pada tahun 2016. Upaya yang dilakukan antara lain pemutakhiran data aset tetap, inventaris ulang aset tetap tanah, gedung, bangunan, serta penyetoran dan pemulihan nilai pertanggungjawaban belanja barang dan jasa ke kas daerah. Pada semester I tahun 2018, BPK memeriksa 542 (100%) LKPD tahun 2017. Atas LKPD tersebut, 411 LKPD memperoleh opini WTP, 113 LKPD mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan 18 LKPD mendapat opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP). Dari 34 pemerintah provinsi, sebanyak 33 LKPD (97%) memperoleh opini WTP dan 1 LKPD (3%) mendapat opini WDP.Dari 415 pemerintah kabupaten, sebanyak 298 LKPD (72%) mendapat opini WTP dan 99 LKPD (24%) dengan opini WDP. Sedangkan dari 93 pemerintah kota, sebanyak 80 LKPD (86%) memperoleh opini WTP dan 13 LKPD (14%) dengan opini WDP. Nurdiono (2014) melakukan penelitian tentang hasil audit laporan keuangan pemerintah daerah di Indonesia. Penelitian tersebut menggunakan sampel 434 LKPD seluruh Indonesia untuk mengukur faktor-faktor apa yang memengaruhi hasil opini laporan keuangan pemerintah daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi anggaran publik berpengaruh negatif signifikan pada opini wajar LKPD, dan Opini sebelumnya berpengaruh pada opini kewajaran laporan keuangan.Sedangkan pengendalian internal, tindak lanjut temuan BPK, dan kompetensi sumber daya manusia tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil opini laporan keuangan pemerintah daerah. 13
Pemerintah pusat menyediakan insentif bagi pemerintah daerah yang memperoleh opini WDP dan WTP berupa dana insentif daerah (DID).Pada tahun 2018 terdapat ketentuan baru bahwa yang akan memperoleh DID yaitu: pertama, mendapatkan opini minimal wajar tanpa pengecualian atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari aturan saat ini minimum wajar dengan pengecualian (WDP). Kedua, ketepatan waktu dalam menetapkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai APBD.Ketiga, penggunaan e-procurement.Berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR, pagu anggaran DID dalam postur sementara RAPBN 2018 sebesar Rp 8,5 triliun. Jumlah itu naik Rp 1 triliun dibandingkan alokasi dalam APBN-P 2017 (Kontan.co,id).Hal ini mendorong agar pemerintah daerah terus berupaya mencapai tingkat kualitas pelaporan keuangan terbaik. 2.6. Kesejahteraan Masyarakat Tujuan negara menurut Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kesejahteraan masyarakat menurut UNDP menggunakan indeks pembangunan manusia.Pembangunan manusia sesungguhnya memiliki makna yang luas.Ide dasar pembangunan manusia yaitu menciptakan pertumbuhan positif dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lingkungan serta perubahan dalam kesejahteraan manusia (bps.go.id).Oleh karena itu, manusia harus diposisikan sebagai kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan manusia harus mampu menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif (Human 14
Development Report 1990).Pendekatan pembangunan manusia lebih memfokuskan kepada perluasan pilihan masyarakat dengan bebas dan bermartabat. Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat: pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Pembangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya, yaitu gender.Oleh karena itu, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan yang komprehensif dari semua aspek kehidupan manusia. 2.7. Expectation Gap Expectation gap terdiri dari dua unsur yaituexpectation yang berarti harapan (pengharapan), dan gap bermakna kesenjangan.Oleh karena itu expection gapdapat dimaknai kesenjangan harapan.Kesenjangan harapan (expectation gap) dalam audit merupakan perbedaan harapan masyarakat tentang apa yang menjadi tanggung jawab auditor, dengan apa yang sebenarnya menjadi tanggungjawab auditor.Porter (1993) melakukan studi empiris terhadap kesenjangan harapan-kinerja audit, dan mendefinisikan kesenjangan harapan sebagai gap antara harapan masyarakat akan auditor dan kinerja auditor, sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat. 2.8. Rerangka Konsep Kesenjangan harapan antara kualitas laporan keuangan dan realitas kesejahteraan dapat digambarkan sebagai berikut: 15
KUALITAS LKPD Expectation Gap Program & Tujuan Aktivitas bernegara REALITA KESEJAHTERAAN Gambar 1. Kesenjangan harapan tentang kualitas LKPD-Kesejahteraan Apakah capaian opini WTP ini sudah berbanding lurus dengan tujuan bernegara?Tentu hal ini perlu pendalaman lebih lanjut. Pasal 7 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 menjelaskan bahwa (DPR RI, 2003): (1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. (2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD. Ketua Senat, Rektor beserta jajarannya, dan para hadirin yang berbahagia, 16
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Data dan Objek Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan data sekunder untuk wilayah Provinsi Lampung 2010-2018.Selain itu juga data untuk Provinsi yang ada di Wilayah Sumateradan data Indonesia untuk 2010- 2018. Data meliputi Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang diperoleh dari BPK dan dataindeks pembangunan manusia yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik tahun 2010-2018. 3.2 Opini LKPD Propinsi Di Sumatera Provinsi di Pulau Sumatera meliputi Provinsi Anggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Selatan, dan Lampung. Perkembangan opini LKPD pemerintah Provinsi di Sumatera untuk 10 provinsi sebagai berikut. Opini LKPD Provinsi di Pulau Sumatera 12 10 8 6 4 2 0 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 WDP WTP DPP TMP Gambar 2. Perkembangan opini LKPD provinsi di pulau Sumatera 2010-2018 Sejak tahun 2010 sampai 2018 kualitas laporan keuangan pemerintah provinsi di Kepulauan Sumatera terus mengalami peningkatan. Berdasarkan gambar 1 tersebut, tampak bahwa tahun 2015, 2016, 2017 dan 2018 LKPD pemerintah provinsi seluruh Sumatera telah memperoleh opini wajar tanpa 17
pengecualian (WTP). Untuk Provinsi Lampung menunjukkan hal sama, bahkan sejak lima tahun terakhir provinsi ini telah memperoleh opini WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ketua Senat, Rektor beserta jajarannya, dan para hadirin yang berbahagia, 18
BAB 4 ANALISIS 4.1. OPINI, IPM Provinsi Lampung dan IPM Provinsi Lain Gambar 3 berikut ini menunjukkan perkembangan kualitas pelaporan keuangan pemerintah Provinsi Lampung tahun 2014-2018, dan indeks pembangunan manusia Provinsi Lampung. Dari tahun 2010sampai 2018 kualitas laporan keuangan menunjukkan kondisi yang bagus, yaitu berawal dari WDP pada tahun 2010 kemudian saat ini telah memperoleh opini WTP. Selanjutnya perolehan WTP dan indeks pembangunan manusia untuk Provinsi Lampung dari 2010 sampai tahun 2018 dijelaskan sebagai berikut. IPM Lampung 2010-2018 70 68 66 64 62 60 WDP WTP WTP WDP WTP WTP WTP WTP WTP DPP DPP 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 Gambar 3. Opini dan IPM Provinsi Lampung Kenaikan IPM Provinsi Lampung akan kita bandingkan dengan provinsi lain. Pembandingan dengan provinsi lain berdasarkan karakteristik kesejahteraan rakyat dengan pendekatan k-means cluster yaitu Davies-Bouldin Index (DBI)(Ramdhani, Hoyyi, & Mukid, 2015).Ramdhani et al. (2015) menyimpulkan bahwa jumlah optimal cluster adalah tiga dengan perincian provinsi dalam kelompok pertama memiliki keunggulan di empat sektor seperti tingkat partisipasi murni sekolah dasar, tingkat partisipasi murni sekolah menengah pertama, AKB (Angka Kematian Bayi), dan akses ke listrik. Provinsi dalam kelompok kedua memiliki keunggulan dalam satu sektor, yaitu tingkat pengangguran terbuka. Provinsi dalam kelompok ketiga memiliki keunggulan di 19
semua sektor.Provinsi Lampung termasuk dalamkelompok ketiga.Kelompok ketiga meliputi Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Bengkulu, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Provinsi Maluku. Kita akan membandingkan IPM Provinsi Lampung dengan Provinsi lain dalam 1 kelompok, misalnya Provinsi Riau dan DI Yogyakarta, sebagaimana gambar berikut. IPM Provinsi Lampung-Riau_Yogyakarta Axis Title 80,00 60,00 40,00 IPM_RIAU 20,00 IPM_LPG 0,00 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 IPM_LPG 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 IPM_JOG 71,42 71,94 72,45 65,73 66,42 66,95 67,65 68,25 69,02 IPM_RIAU 75,77 76,32 76,75 76,44 76,81 77,59 78,38 78,89 79,53 76,07 76,53 76,90 69,91 70,33 70,84 71,2 71,79 72,44 Gambar 4. Indeks Pembangunan Manusia Lampung-Riau-Yogyakarta Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Lampung masih rendah dibandingkan dengan IPM provinsi DIY dan Provinsi Riau. Oleh karena itu perlu peningkataan kualitas program/aktivitas yang dapat meningkatkan IPM untuk Provinsi Lampung Ketua Senat, Rektor beserta jajarannya, dan para hadirin yang berbahagia, 20
4.2. Belanja Modal Provinsi Lampung dan IPM Lampung Belanja Modal Grafik di bawah ini menjelaskan bagaimana alokasi APBD untuk kegiatan belanja modal. Kita akan bandingkan tren belanja modal untuk Provinsi Lampung (BM-L), Provinsi Riau (BM-R) dan Jambi (BM-J). Dari gambar grafik tersebut nampak bahwa belanja modal rata-rata di Lampung masih lebih rendah dari Riau dan Jambi. Belanja Modal Provinsi Lampung-Riau-Jambi 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 123456789 BM-L BM-R BM-J Gambar 5.Belanja Modal -Riau-Yogyakarta Jika dilihat dari grafik berikut, IPM Provinsi Lampung (garis sisi atas) polanya hampir sama dengan jumlah belanja modal (garis sisi bawah). Namun demikian, dari gambar tersebut sempat mengalami penurunan agak tajam pada tahun 2012-2013 yang kemudian naik kembali mulai tahun 2013 sampai 2018.Dapat dikatakan bahwa meskipun saat ini telah mengalami peningkatan, namun belum kenaikannya belum sebesar IPM 2010-2012. 21
IPM-Belanja Modal 74,00 72,00 70,00 68,00 66,00 64,00 62,00 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 IPM Bmodal Gambar 5.Belanja Modal – IPM Selanjutnya kita akan melihat bagaimana korelasi antara belanja modal dengan Kesejahteraan provinsi di Sumatera. Berdasarkan uji korelasi menunjukkan bahwa dengan tingkat keyakinan 95% hubungan antara belanja modal dan kesejahteraan masyarakat secara statistik tidak signifikan. Tabel 1. Hubungan UPM dan Belanja Modal Provinsi di Sumatera Keterangan IPM Belanja Modal IPM Pearson 1 0,204 Correlation Sig. (2-tailed) 0,086 N 72 72 Belanja Modal Pearson 0,204 1 Correlation Sig. (2-tailed) 0,086 N 72 72 Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/lembaga, Belanja Pegawai adalah belanja kompensasi baik dalam bentuk uang maupun barang 22
yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang diberikan kepada pegawai pemerintah, pagawai negeri sipil (PNS), dan pegawai yang dipekerjakan yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Menurut Permendagri No. 57 tahun 2007 Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya (Mendagri, 2007). Belanja daerah dikelompokkan menjadi belanja langsung dan tidak langsung.Biaya langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal. Beberapa karakteristik yang terkandung dalam pengertian belanja modal yaitu: 1) Pengeluaran pemerintah yang manfaatnya melebihi satu tahun 2) Dapat menambah kekayaan (aset) daerah 3) Implikasi dari pengeluaran ini akan menambah anggaran belanja rutin berupa biaya operasi dan pemeliharaan 4) Pengeluaran pemerintah yang bersifat investasi 5) Dalam tahun anggaran tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi untuk pembiayaan aset produktif melalui belanja langsung masih relative kecil dibandingkan dengan Riau dan Jambi. Padahal, aset produktif ini yang secara jangka panjang akan dapat mendongkrak perekonomian yang berujung pada kesejahteraan masyarakat. Pemda harus didorong agar memperhatikan belanja modal yang akan memiliki efek multiplier bagi kesejahteraan masyarakat. Tidak menutup kemungkinan diperlukan pendampingan dalam perencanaan APBD yang bermuara pada investasi pengembangan potensi daerah untuk peningkatan kesejahteraan. Ketua Senat, Rektor beserta jajarannya, dan para hadirin yang berbahagia, 23
4.3. Kesenjangan Harapan Kualitas LKPD-Kesejahteraan Banyak pengguna salah memahami sifat darifungsi atestasi, terutama dalam konteks opini wajar tanpa pengecualian (Mahdi, 2011). Beberapa pengguna percaya bahwa pendapat tersebut tidak memenuhi syaratberarti bahwa entitas memiliki pelaporan keuangan yang dapat diandalkan.Beberapa merasa bahwa auditor seharusnya tidak hanya menyediakanopini audit, tetapi juga menginterpretasikan laporan keuangan dalamsedemikian rupa sehingga pengguna dapat mengevaluasi apakah akanberinvestasi dalam entitas. Ada juga pengguna yang berharapauditor untuk melakukan beberapa prosedur audit sementaramelakukan fungsi pengujian, seperti menembusurusan perusahaan, terlibat dalam manajemen pengawasandan mendeteksi tindakan ilegal dan / atau penipuan di pihak manajemen. Ini adalah harapan yang tinggi di pihakpengguna laporan keuangan yang menciptakan kesenjangan di antara auditor dan pengguna terhadap fungsi audit. Selain itu, pengguna juga menempatkan tanggung jawab untukmempersempit kesenjangan pada auditor dan pihak lain yang terlibat di dalammenyiapkan dan menyajikan laporan keuangan. Masyarakat awam tentu mengandalkan peran auditor dalam membantu mewujudkan akuntabilitas keuangan negara yang dikelola pemerintah daerah. Mungkin karena bounded rasioanality yang terjadi di masyarakat, sehingga pencapaian opini WTP oleh Pemda menjadi suatu hal yang sangat membanggakan dan berekpektasi bahwa pencapaian kualitas laporan keuangan tersebut menunjukkan tingkat kesejahteraan. Menurut Bastian (2006) Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen kualitas jasa (service quality management), yakni upaya meminimalkan kesenjangan (gap) antara tingkat layanan dengan harapan konsumen. Disisi lain, upaya pemerintah daerah untukmencapai tujuan nasional dibatasioleh ketersediaan sumber daya, termasuk manusia,keuangan, 24
peralatan, sumber daya waktu dan sebagainya.Karena itu, pemerintah daerah harus mengoptimalkansumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan nasional.Pemerintah daerah harus memastikan itukewajiban kepada pemangku kepentingan terpenuhi.Selain itu, pemerintah daerah harus mampumelaksanakan haknya secara efektif dan efisien.Oleh karena itu, pemerintah daerah yang baik adalah pemerintah daerahyang bisa memenuhi semua kewajibannya dan bisamelaksanakan haknya secara efisien dan efektif di Indonesiauntuk mencapai tujuan nasional(Ritonga, 2014). Ketua Senat, Rektor beserta jajarannya, dan para hadirin yang berbahagia, 4.4. Isu Terkini Tentang Akuntabilitas dan Transparansi Dana Desa Sebelum masuk pada bagian penutup pada kesempatan ini saya akan memaparkan isu terkini terkait dengan akuntabilitas dan transaparansi dana desa. Di samping tuntutan menjadikan LKPD memiliki akuntabilitas yang baik, tak kalah penting juga tuntutan akuntabilitas dan tranparansi dana desa. Sejak tahun Sejak tahun 2015 hingga 2019 pemerintah pusat telah mengalokasikan dana desa senilai Rp257 Triliun, dan diperkirakan akan mencapai total Rp400 triliun sampai tahun 2024 (Nugraheny, 2020). Tentu bukan jumlah yang kecil baik bicara nilai maupun potensi kemanfaatannya, dan potensi kerugiannya. Dana desa yang besar tersebut harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan baik. Pengelolaan sistem keuangan bukan perkara yang mudah, terbukti tidak sedikit penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh oknum aparat desa. Dana yang jumlahnya sangat besar tersebut tentu harus dikawal terkait dengan tata kelola keuangan desa. Tidak sedikit pemerintah desa yang belum mampu menyusun laporan keuangan desa yang baik. Tahun 2020 kami melakukan survei tentang pelaporan keuangan dana desa di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Dari 261 desa yang ada di Kabupaten tersebut tidak semua mampu menyusun laporan keuangan desa. Di samping belum ada 25
standar akuntansi keuangan desa, kemampuan sumber daya manusia di tingkat desa masih terbatas. Tahun 2020 kami melakukan kerjasama dengan Inspektorat Kabupaten Boyolali untuk melakukan maping tentang laporan keuangan yang telah disusun oleh Pemerintah Desa tahun 2019. Dari maping dengan metoda tertentu, laporan keuangan pemerintah desa di Boyolali dapat dibagi menjadi 3 kategori. Kategori pertama, kualitas laporan keuangan desa masuk kategori A (siap di audit) jika skor 75 – 100, kategori B (perlu supervisi) dengan skor 61 – 74, dan kategori C (perlu pendampingan): 0 – 59. Ada hal menarik lain, bahwa dengan survei dan pendampingan yang kami lakukan bersama Inspektorat Kabupaten Boyolali, saat ini Pemerintah Kabupaten Boyolali bisa mengindentifikasi/ melaporkan kekayaan (aset) desa senilai 10,550 triliun rupiah. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang menarik jika seluruh pemerintah daerah mampu mendorong pemerintah desa untuk menyusun laporan aset desa yang selama ini mungkin belum dilakukan. Jika pemerintah desa bisa menyusun laporan keuangan desa dengan benar sesuai peraturan yang berlaku, maka dari desa ini kita bisa wujudkan laporan keuangan yang akuntabel untuk mendukung terwujudnya laporan keuangan desa dan LKPD yang berkualitas. Ketua Senat, Rektor beserta jajarannya, dan para hadirin yang berbahagia, 26
BAB 5 PENUTUP Target yang ingin dicapai untuk mewujudkan kualitas laporan keuangan pemerintah nampaknya berhasil, terbukti terjadi peningkatan dari tahun ke tahun untuk pemerolehan WTP atas LKPD.Akan tetapi, pemerolehan opini WTP belum dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jika kita melihat amanat undang-undang nomor 17 tahun 2003 mestinya pengelolaan keuangan negara yang tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah harus dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pekerjaan rumah yang besar bagi para pengambil keputusan/para kepala daerah untuk mampu merencanakan dengan baik tentang program anggaran yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan kajian ringkas ini ada beberapa saran/ rekomendasi yang perlu disampaikan: 1. Pertanggungjelasan keuangan harus terus ditingkatkan untuk mencapai laporan keuangan yang berkualitas. 2. Beberapa kriteria utama yang perlu dipenuhi pemerintah daerah untuk memperoleh dana insentif daerah antara lain opini audit wajar tanpa pengecualian, ketepatan dalam penyampaian perda APBD, implementasi e-government, serta penyediaan pelayanan terpadu satu pintu di daerah. Kriteria lain perlu ditambahkan misalnya implementasi program untuk investasi yang dapat mendorong peningkatan IPM. 3. Akuntan harus memiliki tanggungjawab tidak hanya aspek keuangan tetapi juga aspek non keuangan. 4. Kualitas penyusunan anggaran perlu ditingkatkan agar persentase anggaran untuk investasi/ belanja modal meningkat. 5. Konten pembelajaran terutama di akuntansi publik perlu dilakukan revisi untuk menjawab tantangan terkait dengan tujuan bernegara 27
6. Sosialisasi/edukasi kepada masyarakat perlu dilakukan agar kesenjangan harapan antara tugas auditor pemerintah dengan harapan masyarakat tidak terlampau lebar. 7. Terkait dengan akuntablitas dana desa diperlukan peningkatan peran pemerintah daerah (inspektorat kabupaten) dalam pendampingan pelaporan keuangan desa. 8. Pemerintah daerah bisa bekerjasama dengan Kantor Akuntan Publik yang telah memiliki rekomendasi dari BPK untuk melakukan audit/pendampingan pelaporan keuangan desa. 9. Selain itu mendorong Ikatan Akuntan Indonesia untuk segera menerbitkan standar akuntan keuangan desa sebagai pedoman pengakuan dan pengukuran laporan keuangan desa. 28
DAFTAR PUSTAKA Arens. Alvin. A. and James. K. Loebbecke. (2000). Auditing an Integrated Approach (8th edition). Englewood Cliff, New Jersey: Prentice Hall International, Inc. Baiman, S. (1990). Agency research in managerial accounting: A second look. Accounting, Organizations and Society, 15(4), 341–371. https://doi.org/10.1016/0361-3682(90)90023-N Bastian, I. (2006). Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta, Penerbit Erlangga Beekes, W., & Brown, P. (2006). Do better-governed Australian firms make more informative disclosures. Journal of Business Finance and Accounting, 33(3–4), 422–450. https://doi.org/10.1111/j.1468-5957.2006.00614.x Bonner, S. E., & Sprinkle, G. B. (2002). The effects of monetary incentives on effort and task performance: Theories, evidence, and a framework for research. Accounting, Organizations and Society, 27(4–5), 303–345. https://doi.org/10.1016/S0361-3682(01)00052-6 Djazuli, B. A. dan A. (2013). Audit Keuangan Dan Kesejahteraan Rakyat Studi Pada Kabupaten Badung, Tabanan Dan Kota Denpasar Tahun 2013 Abstract/Abstrak. 1–19. Donaldson, L., & Davis, J. H. (1991). Stewardship Theory or Agency Theory: CEO Governance and Shareholder Returns. Australian Journal of Management, 16(1), 49–64. https://doi.org/10.1177/031289629101600103 DPR RI. 2003.UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara: Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR RI. 2004. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah: Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 29
Eisenhardt, K. M.(1989). Agency Theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review, 14(1), 57–74. Gudono. (2017). Teori Organisasi. Yogyakarta, BPFE. Humas BPK. (2019). Ketua BPK Apresiasi Peningkatan Kualitas LKPD.https://www.bpk.go.id/news/ketua-bpk-apresiasi-peningkatan- kualitas-lkpd, diakses 2 Januari 2020 pukul 10.00. Jensen, M., & Meckling, W. (2012). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs, and ownership structure. In The Economic Nature of the Firm: A Reader, Third Edition. https://doi.org/10.1017/CBO9780511817410.023 Mahdi, S. (2011). Audit expectation gap: Concept, nature and trace. African Journal of Business Management, 5(21), 8376–8392. https://doi.org/10.5897/ajbm11.963 Mardiasmo. (2004).Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta, Andi Offset Mendagri, (2007).Permendagri No. 57 tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah. Jakarta: Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Nugraheny, D. E. (2020). Diserahkan Secara Langsung, Tiap Desa Bakal Terima Rp 960 Juta. Kompas.Com. Nurdiono, (2014). Analisis Hasil Audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Di Seluruh Indonesia, Disertasi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta. Porter, B. (1993). An empirical study of the audit expectation-performance gap.Accounting and Business Research, Vol. 24, Winter, pp. 49-68 Raharjo, E. (2007). Agency Theory Vs Stewardship Theory in the Accounting Perspective. Fokus Ekonomi. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/S0076-6879(07)33002-4 Ramdhani, F., Hoyyi, A., & Mukid, M. A. (2015). Pengelompokan Provinsi Di 30
Indonesia Berdasarkan Karakteristik Kesejahteraan Rakyat Menggunakan Metode K-Means Cluster. Jurnal Gaussian, 4(4), 875–884. Ritonga.I.T. (2014). Developing a measure of local government’s financial condition. Journal of Indonesian Economy and Business, 29(2), 142–164. https://doi.org/10.3389/fphys.2017.01021 Syamsul, S., & Ritonga, I. T. (2017). Pengaruh Tata Kelola Pemerintah Daerah Terhadaptransparansi Pengelolaan Keuangan Daerah: Bukti Empiris Pada Pemerintah Provinsi Di Indonesia. Jurnal Akuntansi, 21(3), 448. https://doi.org/10.24912/ja.v21i3.251 Widayanti, D.L. (2017). Keterkaitan antara kinerja keuangan daerah dengan indeks pembangunan manusisa (IPM) pada kabupaten/kota di Indonesia 2014. Tesis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung. Web Staff.(2016). Perolehan WTP belum disertai peningkatan kesejahteraan rakyat.https://feb.ugm.ac.id/id/berita/738-perolehan-wtp-belum-disertai- peningkatan-kesejahteraan-rakyat, diakses 3 Januari 2010 pukul 08.45. 31
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nurdiono, putra keenam dari pasangan Darmo Susastro (alm.) dan Hj. Marminem (alm.). Saya dilahirkan di Desa Babadan Ngawi satu kota kecil di Jawa Timur pada tanggal 3 Mei 1955. Nurdiono terlahir dari keluarga sederhana yang tinggal di kampung Babadan.Meski dari keluarga sederhana, orang tuanya senantiasa mendorong untuk terus menuntut ilmu.Setelah lulus SMA di Caruban tahun 1973, Nurdiono merantau ke Lampung dan melanjutkan sekolah Perawat (SPR) dan selanjutnya melanjutkan kuliah S1 Manajemen di Fakultas Ekonomi UNILA, akhirnya menjadi dosen di FEB UNILA.Selanjutnya menikah dengan seorang wanita asli Lampung bernama Hj. Risneni Rasyid, S.SiT, M.Kes. Dari pernikahan tersebut saya diberikan karunia 2 orang anak dan 2 orang cucu. Anak pertama bernama dr. Ratri Prasetya Ningrum Nurdiono (Sedang Pendidikan Program Dokter Spesialis Mata di FK UNSRI) dan anak kedua bernama dr.Tegar Dwi Prakosa Nurdiono (sedang Pendidikan Program Dokter Spesialis Kebidanan di FK UNSRI). 2 orang cucu bernama Muhammad Ghazi Shahab dan Ahmad Ghazali Shahab. RIWAYAT PENDIDIKAN Nurdiono mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di Babadan, Kwadungan, Ngawi dan SMP di Karangjati, Ngawi.Setelah tamat SMP melanjutkan pendidikan SMA di Caruban, Madiun.Meski jauh dari rumah, namun dengan tekad yang kuat akhirnya dapat merampungkan pendidikan di SMA tersebut pada tahun 1973.Dengan tekad yang kuat setelah lulus Nurdiono memutuskan untuk mengadu nasib merantau ke Lampung menyusul kakaknya Susanto yang sudah tinggal lebih dulu di Ulu Belu Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.Setelah ikut dengan kakaknya di Lampung, ia mendapat informasi tentang Sekolah Perawat (SPR). Pada akhirnya mengikuti seleksi untuk dapat bersekolah di SPR. Pada tahun 1977 saya dinyatakan lulus dari SPR dan ditempatkan untuk bertugas di RS Abdul Moeloek menjadi seorang perawat Rumah Sakit. 32
Setelah 2 tahun kerja di rumah sakit Abdul Moeloek, sambil bekerja Nurdiono tahun 1979 memutuskan untuk studi lanjut di program S1 Manajemen di UNILA. Tahun 1985 Nurdiono berhasil menjadi seorang sarjana manajemen dari FEB UNILA.Tahun 1986 ada informasi tentang rekruitmen dosen UNILA, dan akhirnya ikut melamar waktu itu dan dinyatakan diterima.Fakultas Ekonomi UNILA waktu itu ingin membuka jurusan akuntansi, dan supaya mendapatkan ijin penyelenggaraan dibutuhkan kecukupan dosen akuntansi.Akhirnya Nurdiono yang telah menjadi dosen manajemen dengan latar belakang S1 manajemen diberi tugas untuk kuliah lagi S1 Akuntansi di FE UNAIR Surabaya (Tahun 1986-1990). Selanjutnya tahun 2004 ia menyelesaikan studi Program Magister Manajemen UNILA, dan Tahun 2008 ia memutuskan untuk studi lanjut ke Program Doktor Akuntansi FEB UGM. Tahun 2014 berhasil meraih gelar doktor di Bidang Ilmu Akuntansi dengan konsentrasi audit sektor publik. RIWAYAT PEKERJAAN Sebelum menjadi dosen FEB UNILA, Nurdiono telah menjadi PNS perawat di RS Abdul Moeloek tahun 1977-1985, dan pada akhir tahun 1985 pindah tugas di Kanwil Kesehatan TK I Provinsi Lampung. Tahun 1986 diterima menjadi dosen FEB UNILA dan meninggalkan tugas profesi perawat. Setelah menyelesaikan S1 Akutansi di UNAIR, Nurdiono kembali menjadi dosen di FEB UNILA. Jabatan struktural di FEB UNILA.Pada tahun 1997-2001 dipercaya mengemban tugas sebagai Pembantu Dekan Bidang Administrasi dan Keuangan.Pembantu Dekan Bidang Administrasi dan Keuangan yang kedua Tahun 2004 s.d 2008. Sebagai seorang doktor ia telah menjalankan kegiatan tri dharma perguruan tinggi dengan baik, termasuk ia telah berhasil membimbing sebagai promotor dan kopromotor untuk beberapa mahasiswa program doktor FEB UNILA, dan menjadi penguji di UNILA maupun penguji ekternal Program Doktor di luar UNILA. Demikian perjalanan hidup Nurdiono selama ini, semoga sukses selalu Aamiin. 33
Search
Read the Text Version
- 1 - 36
Pages: