Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Book Refleksi @-

Book Refleksi @-

Published by Amin Hidayat, 2021-10-12 01:57:07

Description: Book Refleksi @-

Search

Read the Text Version

KIBLAT SENDIRI Gareng berbinar-binar saat menghadap Romo Semar di Pendopo. “Romo, alhamdulillah si Kompleng baru saja juara dalam lomba Debat Bahasa Inggris tingkat kabupaten. Dia masih akan maju tingkat propinsi,” katanya. “Ndak nyangka, nama Kompleng jadi terdengar begitu indah disebut. Seolah kudengar riuh tepuk tangan mengiringi,” gumam Bagong. “Air mata ini berderai-derai melihat si Kompleng menyodorkan piagamnya. Ini piagam pertama di awal semester pertamanya sebagai siswa SMA Negeri Panuluh. Haru menyaksikan anak yang selalu minder karena sempat dianggap bodoh itu, sekarang begitu bersemangat,” sahut Gareng. “Bukankah si Kompleng itu masih pusing saat ketemu angka- angka matematika? Barangkali, dasar-dasar matematika; jumlah, kali, bagi pun, tak seberapa dia kuasai,” sambung Bagong geleng-geleng. “Andai si Kompleng belajar di sekolah lain, mungkin dia tidak akan mencapai kelulusan, bahkan tingkat SD sekalipun. Dia bisa terus belajar sampai tingkat lanjut, karena Padepokan Romo Semar tidak mengenal istilah tinggal kelas, tidak lulus. Dia hanya dibiarkan melakukan kegemarannya menggambar, mendengarkan lagu-lagu barat lalu menyanyikannya sambil terus asik menggambar. Romo Semar sering mengikutinya nyanyi lagu barat, lalu ngajak ngomong pake Bahasa Inggris, menemaninya keluar kelas untuk menggambar. Ternyata sekarang, menggambar dan berbahasa Inggris itu menjadikan si Kompleng diakui sampai di luar padepokan,” tutur Gareng tertunduk. Sebutir air matanya jatuh. 87

“He heh..buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kang Gareng itu bisa tiba-tiba sakit parah, demam tinggi, menggigil, setiap musim ujian. Nilai formalnya ndak pernah memenuhi syarat kelulusan,” sela Petruk sembari melirik jenaka kakaknya itu. Gareng tersenyum manggut- manggut. “Tapi sekarang, siapa yang menyangkal kedalaman ilmu qonaah dan kesejatian yang dikuasainya? Bahkan, Padepokan Romo Semar menjadikannya sebagai salah satu guru besar filsafat,” lanjutnya bangga. “Sukses mendidik cantrik dengan IQ tinggi setidaknya rata-rata ke atas, itu biasa. Melihat, menemukan, dan lalu mengembangkan bakat yang terpendam dalam diri cantrik-cantrik dengan IQ rata-rata ke bawah, itu yang perlu guru-guru dengan ilmu di atas rata-rata. Bukan semata kumpulan sarjana berpredikat cumlaude saja. Pade- pokan Romo Semar ini salah satu tempatnya,” seru Bagong. “Semoga, kalian sudah memahami Firman Gusti Alloh swt, “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya” (QS. al-Baqarah: 148)”Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi. Dan Dia meninggikan sebahagian kamu di atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat” (QS. al-An’am:165)” tegas Romo Semar. “Setiap individu punya potensi sendiri, temukan, asah dan kembangkan. The right man in the right place!” 88

KETAJAMAN NALAR “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan… Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu” (Q.S. al-Hadid:20). Togog duduk menunduk di sudut terjauh pendopo Padepokan Romo Semar, sambil mencoba memahami salah satu ayat dari kitab suci itu. Ia tengah dihujani kritik, setelah terlibat dalam jamaah klenik Mbilung si pengganda harta yang ternyata hanya tipu-tipu. Bagong mendekat. “Itulah orang-orang yang membeli ke- hidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan di- ringankan siksa mereka,” katanya mengutip arti Q.S. al- Baqarah:86. “Keserakahan telah menutup ketajaman nalar Paman Togog yang telah diakui dengan sederet gelar cendekia. Bagaimana mungkin seorang penasihat di Padepokan Sang Hyang Guru bisa menjadi pembantu, seperti kerbau dicocok hidung bagi si Mbilung, hanya menonton trik sulap kacangan di depan mata?” imbunya gemas. “Semua proses kemunculan emas, uang, dan perhiasan itu terjadi di depan mataku. Tidak bisa dijelaskan dengan teori kuontum. Tapi, jika Gusti Pangeran berkehendak maka hanya tinggal kun fayakun,” sanggah Togog membela diri. Romo Semar geleng-geleng. Tersirat raut muka sedih melihat Togog yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri. “Togog, lihat 89

Gareng! Tubuhnya miring. Matanya juling. Padahal, sejatinya ilmu si Gareng sudah bisa melihat bahwa dunia ini hanya palsu. Cuma tipu- tipu. Maka dia pilih mengesampingkannya, agar tetap bisa melihat kebenaran, lalu menyeret kakinya dengan hati-hati agar selamat. Lihat pula si Petruk! Betapa sebenarnya dia dikaruniai sedikit pengetahuan tentang ruh hingga hampir mencapai puncak ilmu hakikat. Lihat dia tetap bersahaja menjalankan tugas sebagai pengasuh bagi para ksatria Pandawa. Saat tatanan di negeri ini kacau, dengan izin Gusti Pangeran, justru Petruk yang naik tahta menjadi raja mengembalikan tatanan. Tapi apa dia jumawa? Setelah situasi kembali normal, Petruk mengembalikan tahta, lalu kembali ke padepokan ini, bersamaku, Gareng dan Bagong, mengasuh, menjaga, mempersiapkan para cantrik agar kelak menjadi ksatria-ksatria tangguh lahir batin, berpekerti luhur,” tuturnya sambil memegang pundak Togog. “Bangunkan nalarmu saat melihat Mbilung, Paman! Kembalilah kepada kami! Bersama kita asah sisi akal yang lain untuk mengenal Gusti Pangeran, dengan mengkaji isi kitab suci secara utuh,” ujar Bagong sungguh-sungguh. 90

FULL DAY SCHOOL Bagong merah padam. Mata beloknya memancar garang. Gigi geliginya gemeletuk menahan gelegak amarah. Diseretnya tangan Petruk, lalu didorongnya keras hingga terjerembab di hadapan Romo Semar yang tengah berbincang dengan Gareng di pendopo padepokan. “Babarblas ndak pantas kelakuanmu kali ini, Kang! Guru besar Padepokan Romo Semar, acuan bagi sistem pendidikan manusiawi terbaik di negeri ini, menjadikan wajah bocah cantrik sebagai alas tanda tangan? Sungguh ndak patut dilihat!” Bagong geram. Terkejut, Gareng bangkit bertanya, “Ada apa to ini, Gong?” “Petruk ini dikenal berilmu tinggi. Orang melihat, kuncirnya tegak lurus ke langit, pertanda lurus pemahaman pengetahuan dan ilmunya. Kata-katanya didengarkan orang karena bersahaja. Ide- idenya diiyakan, diyakini selalu berwawasan. Padepokan ini jadi percontohan full day school berkarakter kemanusiaan dan moral ketuhanan, sebagian besar karena andilnya. Tapi lihat apa yang dilakukan sebelum hari ini, ketika ia diberi kesempatan berbicara di luar sana! Ia berteriak lantang agar jam sekolah di seluruh negeri diperpanjang menjadi sehari penuh sebagaimana di Padepokan Romo Semar. Lha, sontak banyak guru, sekolah, bahkan orang tua yang tegang urat. Para pakar lintas ilmu pun silang pendapat,” tutur Bagong emosi. “Sudah lama full day school berjalan baik di Padepokan kita. Bukankah patut ditularkan ke sekolah-sekolah?” Petruk membela diri. 91

“Kau juga masih akan membela diri atas tindakanmu hari ini yang menjadi viral di medsos? Foto saat kau tanda tangan dengan alas jidat bocah itu?” Bagong meradang. “Kau yang memberitahuku bahwa wajah itu lambang tertinggi harga diri, kehormatan seseorang. Jadi karena aku nyablak maka harus berhati-hati bicara, tidak menyentuh, bahkan mengarahkan telunjuk ke muka orang.” Gareng menengahi. “Memberi teladan dengan perbuatan lebih kuat pengaruhnya daripada dengan ucapan. Kanjeng Nabi mendidik dengan kasih sayang. “Sesungguhnya (kasih sayang)-ku kepada kalian laksana (kasih sayang) seorang ayah kepada anak-anaknya,” (HR. Abu Dawud). Jadi berhati-hatilah berperilaku !” “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan,” (QS. an-Naml:88). Kalian anak-anakku, camkan itu!” pungkas Romo Semar. 92 Amin Hidayat & Miladiyah Susanti

Penulis Amin Hidayat, lahir tanggal 24 Januari 1969 di desa Notog, Kecamatan Patikraja, Banyu- mas. Sempat mengenyam pendidikan di SPGN Purwokerto, IKIP Negeri Yogyakarta dan menyelesaikan S2 di UNS Surakarta. Latar belakang akademik jurusan Pendidikan se- jarah. Sejak tahun 2011 hingga sekarang menjadi Pengawas SMP di Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas. Miladiyah Susanti, lahir tanggal 22 Januari 1971 di desa Widoro, Bendung, Kecamatan Semin, Gunung Kidul. Riwayat Pendidikan, setelah lulus dari SPGN Wonosari, Gunung Kidul, melanjutkan ke IKIP Negeri Yogyakarta di Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia. Pengalaman kegiatan, sempat aktif di dunia pondok pesantren dan jurnalis salah dua media cetak di Ibukota. Aktivitas sekarang disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. Refleksi 93

94


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook