Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Book Refleksi @-

Book Refleksi @-

Published by Amin Hidayat, 2021-10-12 01:57:07

Description: Book Refleksi @-

Search

Read the Text Version

TIDAK PERLU RISAU Alkisah, Raja Harun al Rasyid menentukan penggantinya. Dua putranya dari isteri berbeda, Al Amin dan Al Makmun yang sama cerdas. Hati sang Raja bijak sejatinya telah memilih Al Makmun yang rendah hati dan santun untuk menggantikannya. Na- mun Zubaidah sang permaisuri, ngotot anaknya Al Amin dinobatkan menjadi putera mahkota. “Apa yang akan terjadi dengan padepokan kita setelah suksesi ini? Raja baru selalu membawa kebijakan pendidikan anyar. Kebijakan lama belum dipahami dan terlaksana sempurna, ketentuan baru sudah diberlakukan. Bingung” gumam Petruk menerawang. “Yang penting bagiku, anakku si Kompleng semakin mudah me- wujudkan cita-cita, menjadi manusia berilmu dan berguna. Pintu-pin- tu ilmu semakin terbuka lebar, nyaman dan aman bagi semua orang, utamanya untuk keluargaku yang melarat ini.” Gareng menimpali. “Kalau saja Al Makmun yang jadi raja. Dia itu ahli ilmu. Tidak banyak bicara, selalu matang dan tepat dalam membuat strategi. Segala se- suatu kembalikan pada dasar keilmuan yang dikuasai secara paripur- na. Baginya, ilmu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dipahami dan diwujudkan dalam setiap perbuatan. Lalu dengan rendah hati pula disampaikan dalam sidang kabinet di depan Raja, tanpa pernah meng- klaim sebagai prestasi pribadi. Kalau rajanya seperti dia, pasti ilmu pengetahuan berkembang pesat. Padepokan kita barangkali akan menjadi salah satu pusat kajian ilmu, karena Romo Semar memiliki sifat yang serupa itu. Sangat disegani, bahkan oleh para guru besar,” Petruk masih menerawang. “Al Amin juga menguasai berbagai bidang ilmu. Lihat saja, gelar- nya banyak dan diperoleh dengan predikat cumlaude,” sela Bagong. 37

“Betul! Dia juga pintar. Tapi apa kamu ingat apa yang terjadi ketika Raja memanggil mereka satu demi satu, lalu bertanya, “Wahai anakku, siapkah engkau menjadi penggantiku sebagai raja negeri ini?” Al Makmun yang dipanggil lebih dulu datang dengan menundukkan wajah, lalu mencium kening Raja Harun al Rasyid dan permaisuri [mencium kening adalah tradisi di Arab sebagai ungkapan hormat – red). Dengan rendah hati pula ia menjawab, “Jabatan itu bukan milikku, Ayah.” Sedangkan Al Amin yang datang kemudian tanpa mengucap salam, dengan berkacak pinggang, mendongakkan wajah, dan tersenyum lebar, menjawab lantang “Siapa lagi yang pantas untuk jabatan itu selain aku, Ayah?” Seketika kita yang menyaksikan kejadian itu terbelalak bukan? Di tangan orang seperti itu, apakah ilmu akan berkembang?” kata Petruk lagi. “Positive thinking to, Kang! Barangkali sikap percaya diri Al Amin justru akan membakar semangat para pembantunya nanti dalam menjalankan tugas pemerintahan. Dia mungkin akan menunjuk orang yang tepat untuk mengurus pendidikan. Siapa tahu nanti Al Makmun yang diberi tugas khusus urusan pendidikan. Pasti hebat, to?” kata Bagong santai, mencoba menyingkirkan galau kakaknya. “Dan, aku menyerahkan urusanku kepada Alloh. Sesungguhnya, Alloh Maha Melihat akan hamba-hambaNYA. Maka, Alloh memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka.” Romo Semar yang ternyata menyimak obrolan mereka menyela dengan mengutip makna dari ayat 44-45 surat al-Mukminun. Seketika ketiga anaknya bergegas memberikan taklim. “Tidak per- lu risau tentang pendidikan pasca suksesi ini. Apalagi kelangsungan padepokan kita. Asal memegang teguh ilmu dan keyakinan kita, dan tidak menjadi orang terburuk, yaitu “orang yang bermuka dua, yang hadir kepada sebagian orang dengan satu muka, dan kepada sebagian yang lain dengan muka yang berbeda (HR. Bukhori-Muslim),” tegasnya. Gareng, Petruk, dan Bagong mengangguk-angguk dengan ekspresi masing-masing. 38

GALAU, KURIKULUM BARU Akankah aku cuma termangu dalam ragu, menunggu waktu berlalu? Akankah aku membiarkan hari ini menjadi kusut, hanya karena masih terus meraba-raba tentang kebenaran apa yang kulakukan, terjebak dalam standar masa lalu? Kapan aku bisa berubah? Esok hari, minggu depan, bulan depan, atau menunggu saja perubahan serempak yang mungkin dilakukan orang-orang? Petruk berulang kali mencermati tulisan tangannya di selembar kertas lusuh yang digenggam, sambil selonjor di sudut pendopo ru- mah Romo Semar. Hari itu ia tak langsung pulang ke rumah seusai mengajar. Biasanya, itu dilakukan jika sedang ada sesuatu yang berat tengah membebani pikirannya. “Kenapa Kang, sepertinya bingung? Bertengkar lagi sama Mbakyu Limbuk?” sapa Bagong mendekat sambil membawakan secangkir kopi panas dan jagung rebus. “Ngopi dulu Kang, biar kepyar!” Yang di sapa tak menyahut. Diletakkannya lembaran kertas itu di atas meja bundar di hadapannya, menyeruput kopi panas setengah, lalu melahap setongkol jagung rebus manis yang disajikan adiknya. Ba- gong paham, kakaknya sedang serius tak ingin diganggu. Dipungut- nya kertas itu, lalu dibaca sambil sesekali mengernyitkan kening, me- miringkan kepala ke kanan dan ke kiri, seolah benar-benar kesulitan memahami isinya. “O..alah..kamu galau to, Kang?” goda Bagong. Petruk melotot. Merengut tanda tak suka digoda, tetapi tetap tak bicara. 39

Bagong tersenyum. “Kalaupun galau, aku yakin ini bukan karena masalah perempuan, Kang. Pasti kamu sedang mempertanyakan kredibilitasmu sendiri sebagai guru, kan? Aku tahu, karena bagimu tugasmu itu adalah harga dirimu. Tapi bagaimana bisa guru teladan sepertimu, mempertanyakan kredibilitas dan kemampuanmu sendiri terhadap tugas yang telah kamu laksanakan selama puluhan tahun?” Petruk menarik nafas panjang. “Justru itu, Gong. Sekarang ini, aku merasa mulai dari nol lagi. Pekan depan aku akan mengikuti diklat tentang kurikulum baru. sekitar 10 hari,” katanya hampir tanpa tekanan. “Itu bagus to, Kang! Kenapa kamu kelihatan ndak bersemangat? Bukankah sudah lama kamu ingin tahu seperti apa sebenarnya wujud kurikulum baru yang menghebohkan itu?” Petruk menatap adik bungsu yang dikenal sangat bersahaja itu. “Aku hanya tak seberani dulu saat harus menghadapi perombakan total seperti ini, Gong. Nyaliku tak sanggup lagi berpacu dengan target- target perubahan sebagai teladan bagi guru lainnya. Lalu, selama aku masih meraba-raba wujud kurikulum ini, bagaimana dengan muridku? Mereka dijadikan sebagai kelinci percobaan? Mau jadi apa mereka yang ada dalam masa transisi ini? Haruskah aku mempertaruhkan mereka, Gong?” Bagong tersenyum. “Kang, tidak selamanya kita bisa menjadi super hero, selalu menolong orang. Kadang, ada yang tidak tertolong dan harus jadi korban. Tetapi bukan berarti kita berhenti berusah, kan? Aku sering mendengar Romo Semar berkata bahwa kita ini tidak boleh berlebihan dalam segala hal, termasuk melakukan kebaikan. Bahkan melaksanakan ibadah kepada Gusti Pangeran pun, hanya sesuai dengan kesanggupan kita. Lha wong Gusti Alloh swt saja tidak akan membebani seseorang, kecuali sesuai kesanggupannya [QS.Al- B a q a r a h : 2 8 6 ] .” “Sebenarnya aku juga sudah tahu, Gong. Tetapi…” 40

“Tidak ada kata tetapi, Kang!” sela Bagong. “Kamu guru teladan. Selalu menjadi panutan guru lain. Tetapi jangan membebani dirimu sendiri dengan mengharuskan diri selalu sempurna. Apalagi dengan bayangan buruk yang belum tentu terjadi. Yakinlah, perubahan itu memang selalu tidak mudah, tetapi arahnya lebih baik!” “Terima kasih, Gong. Kau memang murid Romo Semar!” Petruk tersenyum menatap adiknya. 41

BANJIR DANA HINDARI BENCANA Romo Semar tak beranjak dari duduknya sejak pagi buta. Guru Besar itu tercenung, memandang jauh menembus rimbunnya pepohonan dari sudut dalam pendopo. Se- cangkir kopi hitam tak lagi mengepul, tapi tampaknya belum dicecap sama sekali. Sepiring ubi ungu rebus pun utuh di atas meja. Bagong menghampirinya lalu bertanya, “Romo sedang mikir apa, to? Bagong illfeel, Mo kalau melihat wajah Romo seperti ini. pasti ada yang ndak beres, ya Mo?”. Yang disapa hanya melirik sesaat, terlihat malas menyeruput kopi yang sudah diseduh beberapa jam sebelumnya, lalu makan sepotong ubi di hadapannya. “Nah! pasti kedatangan Sangkuni tempo hari membawa masalah. Tapi, apa yang sudah dilakukan si biang licik itu kemarin, sampai Romo menjadi seperti ini?” gumam Bagong sambil memandangi wajah keruh Semar. “Bagong, tolong kamu panggil Petruk sama Gareng! Juga Togog dan Limbuk! Trus minta Petruk untuk menjemput Guru Drona, bah- kan Wiyasa!” perintah Semar sembari masih mengunyah ubi. Bagong melompong. “Lho! Lho! Lho! Apakah keadaannya benar- benar genting, to Mo?” “Aku ingin mengumpulkan semua guru yang selama ini men- dedikasikan dirinya di padepokan kita. Romo harus untuk merefresh mereka tentang visi misi padepokan, sebelum kita go internasional. Gelontoran dana dan dukungan penuh yang diberikan Maha Guru, semestinya tidak membangkitkan keserakahan dalam diri para 42

pengasuh, yang membuatnya lupa pada hakikat tugasnya sebagai guru,” jawab Semar. “Oh! Sekarang aku yakin, ini bener-bener karena ulah Sangkuni kemarin? Kemarin dia datang, mendesak Romo menjadikannya sebagai bendahara yang mengelola dana bantuan pendidikan, kan Mo? Bahkan dia bilang, “Saya bersedia menjadi bendahara untuk proyek ini, demi meningkatkan kesejahteraan para guru.” Apa dia bermaksud menggunting dana kemajuan pendidikan itu, lalu membagikannya kepada para guru? Kalau begitu, si Sangkuni juga dipanggil, lalu disidang di oleh komite etik, Mo?” “Tidak perlu! Sangkuni, biarlah tetap menjadi kaca benggala yang menunjukkan keburukan di dalam jiwa para pengasuh padepokan. Setidaknya, kita berusaha menjaga keteguhan para guru lain, yang selama ini berdedikasi tinggi.” “Kalau tidak diberi sangsi, ulah si Sangkuni bisa nular, Mo? Apalagi sebelumnya dia juga sudah memprofokasi para guru, untuk menuntut pelesiran gratis? Padahal dana yang semula dialokasikan untuk itu, dia minta dibagikan dalam bentuk uang tunai. Eh, hari lebaran dia masih menuntut untuk diberi bingkisan. Itu sudah sangat keterlaluan!” “Cobalah berempati, Gong! Sebelum kurikulum berganti, si Sangkuni memiliki lahan basah yang menghasilkan banyak uang. Seperti membuat buku latihan yang harus dimiliki semua cantrik. Ada laba dari menjual buku dan royalty dari penerbit. Sekarang, itu sulit dilakukan karena buku sumber belajar sudah disiapkan sendiri oleh Maha Guru. Lalu sebelum KPK ada, dia laluasa mengelola dana seperti ini di padepokan lain. Kamu pasti juga sudah tahu bagaimana pat gulipat penggunaan dana seperti ini, di luar sana. Masalahnya, padepokan kita ini dikenal sangat bersahaja. Jujur, lurus dan hanya memiliki kualitas pendidikan terbaik. Kebetulan sang Maha Guru memberi apresiasi, sehingga menggelontorkan dana tak terbatas, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Tak heran tangan Sangkuni gatal luar biasa, ingin melakukan apa yang biasa dia lakukan. 43

Makanya, yang penting kokohkan skuat utama padepokan kita, agar banjir dana ini tidak justru menjadi bencana!” “Siap, Mo! Laksanakan perintah!” “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu, dan bersyukurlah kepada Alloh….” [Q.S. Al-Baqarah: 172] 44

GURU DEMO Bagong dan Gareng menggeleng-gelengkan kepala me- nyaksikan acara berita di TV. Di layar terlihat serombongan guru dari beberapa padepokan, berteriak-teriak sambil membentangkan spanduk di depan salah satu kantor penerbit. Me- reka memprotes keras pemberitaan media tersebut yang menyebut- kan bahwa sekitar 50 persen pelajar SMP dan SMA di wilayah itu tidak perawan lagi. Mereka menganggap pemberitaan itu telah men- cemarkan nama baik institusi pendidikan. Apalagi, konon berita itu dimuat tanpa ada konfirmasi terhadap para guru sebagai penanggung jawab pendidikan. Gareng, “Kenapa guru-guru itu demo pada jam sekolah? Terus bagaimana murid-muridnya?” Bagong, “Mereka tersinggung, tersundut harga dirinya karena merasa sebagai yang bertanggung jawab terhadap moral para pelajar. Mereka merasa yakin bahwa moral murid-muridnya tidak seburuk itu, karena hampir selalu dalam pengawasan. Mereka juga merasa telah melaksanakan tugas untuk menanamkan etika dan moral kepada para muridnya.” Gareng, “Kok bisa begitu? Bukankah data semacam itu juga tidak mungkin dikarang sendiri oleh wartawannya?” Bagong, “Masalahnya, data yang menunjukkan dekadensi moral/ etika di kalangan pelajar itu, justru tidak diketahui oleh para guru. Yang menemukan data itu adalah instansi lain, yang berkepentingan. Misalnya dalam rangka sosialisasi kesehatan reproduksi, bahaya seks bebas, atau resiko seks usia dini. Ketika melihat data yang sangat memalukan itu, para guru shock, lalu meluapkannya dengan demo. Paham, Kang?” 45

Gareng, “Aku ga perlu paham soal guru-guru yang tersinggung. Aku hanya berpikir, hari ini anakku si Kompleng ngapain di sekolah, wong guru-gurunya pada ikut demo? Terus, demo seperti itu, apa manfaatnya bagi anakku sebagai murid mereka?” Petruk, “Syukurlah Kang Gareng sebagai orang tua tetap lempeng berpikir. Tetap percaya penuh bahwa para guru benar-benar kom- peten dalam mendidik. Orang tua seperti ini ga pernah suudlon ke- pada siapapun. Tinggal kini bagaimana para guru menjawab keper- cayaan penuh para orang tua seperti Kang Gareng ini. Termasuk ber- pikir kembali, apakah demonstrasi dengan berteriak-teriak penuh emosi seperti itu, merupakan bentuk pertanggungjawaban yang tepat?” Semar, “Petruk dan Bagong, kalian guru. Syukurlah kalian tidak ikut-ikutan emosi karena mendapat kritikan, atau fakta pedas yang diungkapkan oleh media massa. Baik jika kalian justru menjadikannya sebagai cermin, guna melihat kekurangan di wajah kalian sendiri. Semestinya justru memperkuat dedikasi kalian sehingga semakin memperhatikan murid-murid, menjaga, dan mengamati perilaku mereka dengan lebih baik, bukan sekedar membaca buku absensi di depan kelas. Kalaupun data itu ternyata benar, kita dapat melakukan upaya preventif agar keadaannya tidak menjadi lebih buruk pada masa yang akan datang. Ingatlah! Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran,” [QS. Az-Zumar:9] 46

PISAU BERMATA DUA S‘Murid telat, dihukum. Guru telat, lewaaat…’ emar menuliskan kalimat itu dengan tinta merah di white board di dalam pendopo. Senyum tipis menyembul dari bibirnya. Sinis. Pendar-pendar asam menyusup keluar melalui celah- celah dinding bambu padepokan. “Senyum Romo kecut bener, kecium sampai keluar,” gumam Bagong yang muncul bersama Petruk. “Hush! Sama Romonya kok ngomong begitu! Mbok belajar berbicara yang santun. Bisa bahaya kalau ada yang ndak suka!” sergah Petruk. “Kalian tahu kalimat itu?” tanya Semar tanpa menoleh. “Kalimat itu adalah pisau bermata dua yang dilemparkan tiga bocah di face book. Akibatnya, mereka dikeluarkan dari bangku sekolah, karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah.” “Kok bermata dua, Mo? Siapa lagi yang kena akibatnya?” sela Bagong. “Kamu ini, mbok ya mikir dulu!” sergah Petruk lagi. “Coba pikir! Kalau hanya karena kalimat seperti itu mereka dikeluarkan dari sekolah, kok bisa? Hari gini, gitu loh! Guru mengeluarkan siswanya hanya karena disindir di face book?” “Ya. Dengan mengeluarkan tiga murid hanya karena ngomongin sebentuk ketidakkonsistenan peraturan sekolah dan kebiasaan buruk para guru, sekolah dalam hal ini guru seperti telah mengumumkan diri sebagai sosok yang tidak sanggup menghadapi perubahan. Tidak mampu menerima kritikan di era keterbukaan IT seperti ini. Romo jadi malu, jangan-jangan juga seperti itu,” tutur Semar tanpa ekspresi. 47

“Aku sih positive thingking, Mo. Pepatah lama bilang ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Pasti masih banyak guru yang tidak ingin ketahuan kencing berdiri agar tidak menemui muridnya kencing berlari. He he, apalagi Romo,” ujar Bagong nakal. “Bagong. Bagong. Selalu saja bicara seenaknya ke Romo. Kalau ada orang lain mendengar, bisa dianggap ndak sopan,” gumam Petruk. “Eh. Eh. Eh. Imam al-Ghazali pernah berkata, “Orang yang mengetahui adalah orang yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya. Janganlah menjadi seperti sebatang jarum yang berfungsi menjahit pakaian [untuk menutupi badan] tapi ia sendiri nampak telanjang.” Kemuliaan, itulah sejatinya guru. Ia tidak akan meminta muridnya istiqomah sebelum dirinya menjadi istiqomah.” 48

DANA BOS Guru Kepala Drona mondar-mandir di pusat perbelanjaan tengah kota. Tas ranselnya gembung, digendong di dada. Asistennya, Togog mengekor ke manapun langkah atasan- nya sambil menengok kanan kiri. Setelah beberapa kali terlihat hanya termangu-mangu di depan pintu toko, keduanya masuk toko alat musik. Tak butuh waktu lama, puluhan gitar, belasan pianika, dan seperangkat drum dikemasi oleh pelayan, untuk kemudian didikirim. Drona dan Togog manggut-manggut sambil tersenyum puas saat me- nyodorkan segepok uang di depan kasir. Tak lama kemudian keduanya masuk toko alat olah raga. Seper- angkat alat fitness dicoba. Sesaat terlihat Drona menimbang-nimbang dalam benaknya, lalu menggeleng. Matanya menyapu setiap sudut toko yang tak terlalu luas itu. Puluhan bola voly, bola kaki, bola basket dan bola tenis segera diminta untuk dikemas. Beberapa perangkat alat tenis meja dan badminton pun dibungkus. “Alhamdulillah, misi kita selesai Pak Togog. Nanti semua langsung dikirim ke padepokan. Kita tinggal susun laporan,” ujar Drona lagi sambil menepuk-nepuk tas di dadanya yang sudah kosong. Lagi-lagi Togog hanya meng- angguk-angguk, tersenyum puas. Langkah berikutnya masuk kedai bakso. Dua mangkok bakso special dipesan, komplit dengan es teh manis pelepas dahaga. “Guru Drona belanja besar-besaran. Sebanyak itukah kebutuhan- nya?” sapa Bagong yang ternyata sudah lebih dulu duduk di bangku sebelah mereka, bersama Romo Semar. “Eh, Bagong dan Romo Semar, to? Sedang belanja jugakah?” Drona balik bertanya. Namun tanpa menunggu jawaban, ia kembali 49

berkata, “Iya, sebentar lagi tutup tahun. Dana BOS dari Dewa Guru untuk padepokanku masih tersisa banyak. Daripada harus dikembali- kan, lebih baik dihabis-habiskan, bukan? Apa saja dibeli, yang penting dananya ndak sisa.” “Wah, kalau begitu, sebenarnya Padepokan Guru Drona ini sudah ndak terlalu butuh BOS. Buktinya bisa sampai sisa banyak, lalu akhir- nya cuma seperti dihambur-hamburkan, saja tanpa pertimbangan matang tentang manfaatnya,” tanya Bagong setelah menelan se- sendok bakso. “Ya, soalnya kan sayang kalau dana yang sudah diberikan itu dikembalikan? Entah dipakai atau tidak, setidaknya barang-barang itu bisa digunakan oleh para cantrik,” jawab Drona enteng. “Eh..eh..eh. Apakah semua pimpinan padepokan berpikir begitu? Bukankah Gusti Alloh berseru, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang yang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan [Q.S. Al-Insan:8].” Lebih bermanfaat bagi umat,” sela Romo Semar terlalu datar. Bagong manggut-manggut. Guru Drona dan Togog saling pan- dang, terus menunduk menyantap bulatan bakso spesial pesanannya. 50

KELINCI PERCOBAAN Dampak suksesi di bidang pendidikan persis seperti dugaan Bagong. K-13 distop, back to KTSP [K-2006]. Hanya sebagian kecil sekolah saja yang berlanjut. Ada yang lega, ada yang menyayangkan, banyak yang kebingungan. Gareng salah satu yang kebingungan karena sebelumnya telah mempermasalahkan kesiapan guru-guru dalam melaksanakan K-13, lalu pasrah saat harus dilaksanakan juga di sekolah si Kompleng anaknya, dan kini meng- hadapi kenyataan harus kembali ke KTSP . Bagong dan Petruk menggelar doa bersama di pendopo Pade- pokan Romo Semar. Intinya, mereka memanjatkan pengharapan ke- pada Gusti Pangeran agar pendidikan di padepokan sederhana itu kokoh bertumpu pada nilai-nilai dasar dari NYA, dan kian bermanfaat bagi umat serta lingkungannya. Agar penggemblengan cantrik yang mereka laksanakan secara bersahaja, sejalan dengan prinsip rah- matan lil’alamiin. “Duh Gusti Yang Agung, selamatkanlah Kang Gareng dan si Kom- pleng, anaknya yang tengah menjadi kelinci percobaan di laboratorium padepokan sang Dewa Guru. Mohon lindungi mereka agar tidak de- presi menghadapi ketidakpastian pijakannya.” Bagong khusyu mengucap- kan harapan pribadinya. Di sampingnya Petruk pun komat-kamit sambil menengadahkan tangan. Memohon dengan segenap hati demi keselamatan para can- trik juga pembimbingnya. Tiba-tiba Gareng masuk dari pintu beranda. “Kalian begitu men- cemaskan aku rupanya? Kalian mengira aku depresi karena peristiwa ini? Jangan khawatir! Aku memang sempat marah, anakku dilempar 51

ke sana ke mari seperti bola sepak, oleh mereka yang ingin dilihat sebagai tokoh pendobrak pemberani. Adik-adikku, lihatlah tubuhku! Bukankah ini sudah cukup mengatakan yang sesungguhnya? Mataku memilih juling, tidak fokus terarah pada, apa yang ingin kulihat. Arti- nya, apapun yang sedang terjadi, bagiku tidak lebih penting dari akibat dan efek penyertanya nanti. Sebelah tanganku ‘thekle’ [bengkok – red], agar tak serakah selalu menjulurkan kedua tangan untuk meraup sebanyak mungkin kepuasan, apalagi harus merebutnya dari orang. Kakiku pun pincang, agar tak tergesa-gesa melangkah, harus bersusah payah, tertatih-tatih dan hati-hati agar tidak terpeleset jatuh terjerem- bab saat berjalan menuju arah tujuanku. Aku menghadapi peristiwa ini hanya sebagai proses yang harus dijalani. Proses menuju arah pas- ti, kebaikan. Dalam kesederhanaan IQ si Kompleng, aku sudah me- nanamkan bahasa dari tubuhku lewat kebiasaan sehari-hari. Dan dalam kebersahajaan prestasi akademik si Kompleng pula, aku yakin bahwa dia sudah mengerti bagaimana harus melangkah saat situasi labil seperti ini,” tutur Gareng tenang,sambil menatap Petruk dan Bagong bergantian. Bagong dan Petruk ternganga. “Kang Gareng, di balik tubuhmu yang serba cacat sampai-sampai orang lain tak ingin berlama-lama melihat, ternyata kaulah juaranya! Aku bangga, Kang!” teriak Bagong sambil memeluk tubuh kerempeng yang berdiri terhuyung-huyung itu. “Aku benar-benar bangga menjadi adikmu,” timpal Petruk. “Ternyata kau paham bahwa ‘sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan & kelengahan...[QS. Muhammad:36]’ karena itu kau kokoh dengan langkahmu. Kau yakin dengan ilmumu. Pade- pokan ini akan semakin maju dengan guru-guru sepertimu.” 52

INGIN JADI PRESIDEN Kompleng terlihat tekun menulis di dalam kamarnya. Sesekali ditatapnya langit-langit kamar sambil menggigit pulpen, garuk-garuk kepala, manggut-manggut, tersenyum, me- ngernyitkan kening, lalu menulis lagi. Bocah kelas tiga SD itu sepertinya tengah memikirkan hal yang sangat serius. “Sedang apa, Le?” tanya Gareng, bapaknya. “Bikin karangan, Pak. Bu Guru kasih tugas untuk membuat cerpen. Temanya, cita-citaku,” jawab Kompleng. “Lhadalah! Kamu sudah bisa nulis cerita, Le? Terus, ceritanya kamu pengin jadi apa?” “Presiden.” “Walah! Ndak pengin jadi guru besar seperti eyangmu Semar atau Petruk pamanmu yang memajukan padepokan dan melahirkan cantrik-cantrik generasi terhebat to, Le? Atau seperti pamanmu Ba- gong, menjadi seniman lawak yang terkenal?” “Eyang Semar dan Paman Petruk ndak keren, ndak beken, ndak go international, Pak. Cuma pakar pendidikan yang mengenal me- reka. Sedangkan Paman Bagong, terkenal sih, tapi ndak smart, malah kesannya Paman beken karena bodoh,” jawab Kompleng cepat. “Kalau presiden kan semua dapet. Keren, beken, smart, dan ber- wibawa, Pak. Bisa keliling nusantara bahkan dunia, selalu disambut dengan upacara, naik mobil mewah anti peluru dengan sepasukan pengawal dari pasukan elit, menikmati jamuan makan mewah. Yang jelas, setiap hari selalu disorot di TV. Kalau Kompleng jadi presiden, Bapak sama Emak pasti bangga.” 53

“Iya, Le, tapi pasti Emakmu yang sudah tua akan sangat kangen, karena ndak setiap saat bisa bertemu denganmu, anak tunggalnya,” kata Gareng setengah bergumam. “Tenang, Pak! Kalau Emak kangen, suruh saja nonton berita di TV, pasti Kompleng akan muncul,” sahutnya tanpa menoleh sama sekali. Gareng geleng-geleng. Wajahnya sendu. “Le, tahukah kau, Bapak dan Emak akan lebih bangga jika kau meneladani Uwais al Qarni. Orang yang tidak beken di mata manusia, tetapi namanya terukir di langit dan dikenal penghuni bumi? Yang karena ilmu dan iman, memilih terus menjaga ibunya yang telah renta daripada menerima sejumlah jabatan penting. Yang memilih terus berbuat baik tanpa ingin me- nunjukkan nama dirinya. Yang dicari-cari sahabat Nabi, demi untuk menimba ilmunya. Yang namanya dikenal Rasulullah SAW melalui ka- bar dari langit. Semoga nanti kamu mengenal orang ini,” gumam Ga- reng dalam hati. Senyumnya terlalu tipis menatap sang anak. 54

IRONIS Air mata Petruk meleleh di antara kerutan pipi tuanya. Kuncirnya yang menjulang bak tower pemancar, bergoyang- goyang menebarkan sinyal kepedihan dari dalam dadanya. “Tak pikir akan diberi oleh-oleh dari Kang Petruk yang baru pulang dari tur keliling daerah, studi banding ke sekolah-sekolah. Ini kok malah disuguhi banjir air mata. Ada apa to, Kang?” tanya Bagong yang me- nyambutnya di pendopo Padepokan Romo Semar. “Nggrantes (nelangsa –red) Gong,” jawab Petruk sambil duduk menyelonjorkan kaki dan menyandarkan punggungnya di dinding bambu. Selembar nafas panjang direbutnya dari udara lalu dihempas- kan kuat, seakan berusaha manyingkirkan sumbatan di jantungnya dengan asupan oksigen sebanyak mungkin. “Aku seperti baru saja kembali ke masa puluhan tahun yang lalu, saat kita baru merintis padepokan ini. Tanpa gedung, modal, apalagi sarana yang memadai. Hanya tekat baja Romo Semar saja yang menguatkan kita untuk terus menjaga anak-anak ndoro Pandawa dan mendidik mereka agar tidak selalu ditindas para raksasa Korawa,” kata Petruk tak bersemangat. “Memangnya apa yang kelihatan?” tanya Bagong lagi. “Sekolah-sekolah reot, bahkan rubuh tak tersentuh dana rehab. Para murid harus belajar di tenda, bahkan berbagi tempat dengan sapi di kandang. Anak-anak berdiri hingga tengah hari, sambil harap- harap cemas menunggu Bu Guru yang tak pernah datang karena ternyata sudah pulang ke kota. Sedangkan kita di sini, yang jaraknya hanya beberapa desa saja dari tempat itu, dilimpahi dengan fasilitas berlebih. Dana BOS berlebih hingga banyak yang mubazir. Ruang kelas ber-AC dengan fasilitas penyetabil listrik berharga milyaran. Lalu tiba- 55

tiba saja kita juga mendapat kiriman seperangkat alat fittnes yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Sungguh Gong, tanganku ini rasanya ingin merengkuh semua bocah yang kutemui berjalan nyeker (tanpa alas kaki –red) atau bersepatu butut berkilo-kilometer sambil menenteng buku-buku kumal tadi. Aku ingin, mengajak mereka men- cicipi pendidikan di tempat ini. Betapa aku yakin, anak-anak itulah nanti yang akan menjadi pioner,” tutur Petruk. “Ironis. Tidak adil rasanya. Benar, Kang terasa sakitnya itu di sini,” sahut Bagong sambil meletakkan telapak tangan kanannya di dada kiri. “Itulah PR bagi semua. Termasuk kita di padepokan ini. Tidak cukup kita mencerca adanya ketidakadilan. Ingatlah nasihat Kanjeng Nabi, “Orang mukmin yang satu merupakan saudara bagi mukmin lainnya. Ia melidunginya dari kehancuran dan menjaga punggungnya,” (HR. Bukhari). Ayo kita berbuat sesuai keampuan kita, membantu anak-anak itu agar bisa mendapatkan pendidikan yang memadai, dan berupaya memberikan ilmu pengetahuan yang mereka butuh- kan. Tidak harus sama dengan yang kita berikan kepada para cantrik di padepokan ini, tetapi sesuai dengan kebutuhan mereka,” suara Romo Semar terdengar tenang dari balik dinding bambu di belakang punggung Petruk. 56

BROWNIS SPESIAL Tergopoh-gopoh Gareng menuju pendopo Romo Semar sambil setengah menyeret tangan anaknya, Kompleng. Wa- jahnya merah padam, menahan amarah berpadu khawatir dan kebingungan. Sesekali dijewer pula telinga anak semata wayang- nya itu, yang lalu meringis kesakitan. “Jangan mengajarkan kekerasan kepada anak, Kang!” teriak Ba- gong berlari mendekat. Gareng terus menyeret Kompleng memasuki pendopo. “Di mana Romo Semar, Gong? Biar Romo saja yang menghajar cucunya!” kata- nya penuh emosi. “Romo ke rumah Mbakyu Limbuk yang lagi kena musibah. Si Cempluk anak Yu Limbuk, ketahuan foto selfie seksi dan dipajang sama kakak kelasnya yang mucikari di media sosial. Lalu semalam Cempluk ketangkep di mall lagi belanja tablet keluaran terbaru bersama kakak kelasnya itu dan seorang lelaki tengah baya. Cempluk diduga telah dijual ke lelaki itu. Yu Limbuk ngamuk-ngamuk pada diri sendiri, karena tidak tahu harus nyalahin siapa lagi,” jawab Bagong. “Duh Gusti! Cempluk yang kalem itu kena jebakan juga? Jangan- jangan dia juga sudah makan permen sabu dan kue candu itu,” gerutu gareng jelas terdengar geram. “Sebenarnya ada apa, to Kang?” tanya Bagong. “Begini Gong. Si Kompleng tadi minta uang untuk jajan kue brownis. Di warung sepotong brownis kan cuma Rp. 4000, tapi dia minta Rp 200 ribu. Katanya, brownis spesial yang diinginkannya harganya segitu untuk sepotong kecil saja. Kue itu limited edition, 57

belinya pun harus pesen dulu, seperti yang sering dilakukan teman- temannya. Selain lezat, kue itu juga membuat badan sehat, ber- semangat dan happy. Bukankah itu kue candu yang diberitakan di TV, Gong? Ternyata Kompleng sudah mencicipi, dan sekarang ketagihan!” “Tidak ada gunanya marah-marah. Anak-anak tak akan menjadi lebih baik hanya dengan dihajar, walaupun sampai babak belur,” suara Romo Semar yang datang sambil menggandeng Cempluk. “Ayuh bawa Kompleng dan Cempluk ke pancuran! Biarkan mereka mandi lalu berwudlu menyucikan diri. Kita temani mereka menegakkan takbir- nya, hingga mampu melejit tegak lurus menyentuh Tuhan. Biarkan mereka berbisik-bisik intim denganNYA, hingga sungguh merasakan bahwa ‘sesungguhnya aku sedang menghadapkan wajahku kepada DIA yang telah menciptakan langit dan bumi’. Setidaknya, Kompleng dan Cempluk harus melakukannya 5 x sehari, agar salam kanan kiri mereka menjadi pelindung dari jebakan iblis laknat, candu dan syah- wat. Itu pasti, karena Gusti Pangeran sendiri berfirman, “Sesungguh- nya sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar ( QS. al- Ankabut: 45)”. Gareng dan Bagong manggut-manggut sambil membimbing Kompleng dan Cempluk menuju pancuran. 58

SISWA PALING JUJUR Limbuk menggenggam erat tangan anaknya, Cempluk yang baru saja lulus SMP. Bibirnya yang lebar dan tebal merekahkan senyum puas. Ditatapnya paras gadis belia itu dengan penuh kebanggaan. “Terima kasih, Nduk! Kamu luar biasa,” katanya sambil masih memamerkan senyum tebal. “Apa sih Simbok ini? Bikin Cempluk malu saja. Lha wong jelas- jelas nilainya saja pas-pasan begini kok dibilang luar biasa. Nyindirnya jangan kebangeten begitu Mbok,” sahut Cempluk hampir tanpa ekspresi. “Lha bagaimana ndak luar biasa Nduk? Jelas tadi diumumkan namamu sebagai siswa paling jujur gitu, kok,” ujar Limbuk menimpali. Senyumnya semakin lebar dan tebal. “Yang itu nggak ngaruh untuk daftar ke SMA favorit, Mbok,” po- tong Cempluk. Limbuk mengamati wajah murung anaknya yang memaksakan senyum. Lalu ia berkata, “Kamu masih ingat nasihat Eyang Semar saat kamu mau ujian SD dulu?” “Angka-angka bukan segalanya, Cantiknya karakter pribadimu itu lebih utama. Jujur. Teguh hati. Berbudi pekerti. Nikmati proses belajarmu, lalu syukuri hasilnya! Yang itu maksud Simbok?” Limbuk manggut-manggut. Senyum lebar dan tebalnya merekah lagi. “Ingat terus itu, Nduk! Maka di manapun kamu melanjutkan studi, pasti ilmunya akan menjadi tabungan abadi.” “Ya, Mbok. Sebenarnya, Cempluk kepengin nyantri di Padepokan Eyang Semar saja. Memang terdengar tidak keren, tetapi bukankah 59

para gurunya asli mumpuni? Tidak ada yang palsu di sana. Eyang Semar, Paman Petruk, Paman Bagong, dan Paman Gareng asli didikan maha dewa, walau tidak diwisuda dengan ijazah dan gelar moncer di depan/belakang nama mereka yang kampungan. Tetapi lihatlah! Bahkan para ksatria terhebat Pandawa, sangat patuh pada mereka. Cempluk pikir, keren juga kalau kita bisa terlihat seperti orang biasa saja, tetapi menguasai ilmu dan mengamalkannya secara bersahaja seperti mereka,” tutur Cempluk. “Eyang Semar pernah mengajarkan salah satu Firman Gusti Alloh yang artinya, “Sesungguhnya orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Alloh kemudian mereka meneguhkan pendirian, maka ma- laikat akan turun kepada mereka (dengan berkata) “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan (memperolah) surga yang telah dijanjikan ,” (QS. Fussilat:30). Jadi, Simbok sangat mendukungmu,” tegas Limbuk mantap mengawal langkah anak gadisnya 60

PASRAH “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat ruman Engkau yang dihormati. Ya Tuhan, (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim: 37) Renungkan lalu pahami kalimat yang pernah diteriakkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim as, ketika memutuskan mengasingkan isterinya Siti Hajar bersama bayi merahnya Ismail as di lembah padang pasir dekat baitullah ini!” tegas Romo Semar saat memberikan sambutan dalam acara halal bil halal dengan segenap warga padepokan, kemarin. “Usai membelanggu nafsu sebulan Ramadlan lalu, sekarang kita seperti terlahir kembali. Pertanyaannya, jiwa yang sudah kembali suci ini akan kita isi dengan apa esok hari? Kembali kebiasaan yang dianggap wajar seperti sebelumnya?” “Tak pikir Romo Semar akan medar sabda tentang hikmah sila- turahmi yang konvensional,” ujar Togog. “Itu sudah biasa. Orang-orang tua kaya kita mungkin sudah hafal materinya,” tukas Bagong. “Kupikir, tepat Romo mengutip kalimat itu. Kita dipaksa untuk mikir lagi, bagaimana hidup kita esok hari. Secara nalar normal jaman sekarang, mana bisa meninggalkan isteri bersama bayi yang baru 61

dilahirkannya di tengah padang pasir tandus, tanpa bekal apapun? Bisa-bisa dituduh penelantaran anak. KDRT,” lanjutnya. “Jaga bibirmu itu agar ndak ndawer asal ucap. Kalimat suci itu untuk direnungkan maknanya,” sela Gareng. “Aku yang selalu dicekam khawatir keadaan si Kompleng, sedikit bisa mengerti betapa tinggi derajat orang yang bisa melakukan hal seperti itu. Dia benar-benar sampai derajat qanaah, merasa cukup hanya dengan Tuhannya saja. Dia begitu yakin pada Gusti Pangeran yang Tunggal.” “Apa maksudmu?” tanya Togog. “Paman Togog ini kok ya ga tanggap banget to? Si kompleng itu masih kecil, masih rentan, belum bisa ngapa-ngapa sendiri. Apa Paman tidak menyimak berita, bahwa sekarang ini kondisinya sudah darurat kejahatan terhadap anak. Sepertinya sudah tidak ada tempat yang aman bagi bocah-bocah seperti si Kompleng dan bocah-bocah lainnya,” tutur Bagong sambil memandangi Togog yang terlihat agak kebingungan. “Betul Man. Aku sepertinya tak ingin melepaskan kompleng dari gandenganku. Ia terancam di mana-mana, bahkan di sekitar rumah maupun di sekolah. Akhirnya aku juga ingin pasrah saja pada Tuhan,“ sahut Gareng lemah. “Oh..begitu?” kata Togog. “Pasrah itu juga ada ilmunya. Kita, orang tua yang juga guru, harus berusaha meningkatkan kompetensi dalam keyakinan akan Tuhan, hingga mencapai tahap qanaah itu. Itu benar-benar ndak gam- pang. Tapi di padepokan ini, nilai itu yang diutamakan dalam ber- bagai bentuk pada setiap ilmu yang dipelajari para cantrik,” tegas Bagong. 62

MOS Gareng tergopoh-gopoh datang ke SMA Kadangan, sekolah baru anaknya, si Kompleng. “Aku akan mengambil berkas- berkas pendaftaran si Kompleng dari sekolah ini, lalu me- mindahkannya ke sekolah lain,” katanya saat berhadapan dengan Kepala Sekolah, Togog. “Apa maksud Kang Gareng? Ada apa?” tanya Togog agak ke- bingungan menghadapi anak guru besarnya itu. “Kudengar waktu MOS di sekolah ini, si kompleng harus dandan seperti orang sinting, pakai topi bola plastik, papan nama dengan huruf kapital KOMPLENG KERITING besar di dada, komplit dengan sejumlah pelanggaran yang katanya sudah dilakukan karena tidak mampu memecahkan teka-teki saat diperintahkan membeli sabun mandi cap pedang, lalu dipaksa jalan jongkok mengelilingi lapangan. Juga beli macam-macam barang tak penting lainnya. Akibatnya, bu- kan hanya anakku yang kebingungan, emaknya pun pontang-panting dari warung satu ke warung lainnya untuk membantu anak kesa- yangannya memenuhi persyaratan aneh-aneh dari panitia MOS. Aku tak di rumah, jadi tidak melihat kejadian itu. Istriku ndak berani ber- buat apa pun kecuali hanya menangis menyaksikan anak kebangga- annya diperlakukan seperti mainan, jadi bahan tertawaan, ajang kejahilan panitia MOS,” tutur Gareng terbata-bata menahan amarah. Togog tersenyum, “Woles, Kang! Woles! Itu kan hanya kegiatan anak-anak yang sudah menjadi tradisi. Hanya untuk lucu-lucuan, upaya menjalin keakraban sekaligus menanamkan disiplin kepada murid baru,” sahutnya santai. 63

Gareng semakin meradang. “Sebaiknya jangan tersenyum untuk masalah ini. Kau sudah melakukan kesalahan besar. Oke! kau se- karang Kepala Sekolah yang menentukan kebijakan di sini. Dulu ketika masih remaja dan menjadi cantrik di Padepokan Romo Semar, pernah- kah kau diperlakukan seperti MOS ala sekolahmu ini?” tukas Gareng garang. Togog yang sangat menghormati guru besarnya, Romo Semar, seperti tercekat. Senyumnya lenyap seketika, kepalanya tertunduk kaku. Tak berani lagi ia menatap Gareng. “Aku akan mengambil kembali Kompleng dari sekolah ini, se- belum karakternya kau rusak dengan kegiatan-kegiatan MOS konyol seperti ini! Jika tidak, mungkin tahun depan dia sudah menjadi pen- dendam yang melampiaskan sakit hatinya kepada adik kelas barunya. Mungkin saja dia akan menjadi senior yang gila gormat, monster yang tertawa saat melihat adik kelas barunya menangis, bangga bisa mempermalukan orang lain di depan umum,” tegas Gareng. Togog semakin dalam tertunduk, lalu bergumam pelan, “Aku sekarang ingat yang pernah diajarkan Romo Semar dari buku suci. “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara,” (QS. al- Hujurat:10). Romo juga pernah berpesan kepada kami, para can- triknya yang ingin menjadi guru untuk memegang teguh sabda Kan- jeng Nabi bahwa “Sesungguhnya (kasih sayang)-ku pada kalian laksana (kasih sayang) seorang ayah kepada anak-anaknya,” (HR. Abu Dawud). Aku khilaf menganggap MOS sebagai tradisi, karena selama ini tak pernah ada yang komplain, Kang.” “Bagus! Camkan itu dan segera benahi kebijakanmu, sebelum Romo Semar menjewermu!” tegas Gareng lalu melangkah pulang. 64

MALU Seorang pedagang hewan qurban berkisah tentang pengalam- annya. Seorang ibu datang memperhatikan dagangan saya. Dilihat dari penampilannya, sepertinya tidak akan mampu membeli. Namun tetap saya coba hampiri dan menawarkan kepada- nya. “Silahkan bu…” Lantas ibu itu menunjuk salah satu kambing termurah sambil bertanya, “Kalau yang itu berapa, pak?” “Yang itu 700 ribu, bu..” “Harga pasnya berapa?” “Enam ratus, deh.. harga segitu untung saya kecil. Tapi biarlah..” “Tapi uang saya hanya 500 ribu, boleh pak?” Waduh! Saya bingung, karena itu harga modalnya. Akhirnya saya berembuk dengan teman dan akhirnya memutuskan untuk memberi- kannya dengan harga itu. Sayapun kemudian mengantar hewan qur- ban itu sampai ke rumahnya. Begitu tiba di rumahnya, astaghfirullah... Allahu Akbar... terasa menggigil seluruh badan saya melihat keadaan rumah ibu itu. Rupanya dia hanya tinggal bertiga dengan ibunya dan puteranya di rumah gubuk berlantai tanah. Saya tidak melihat tempat tidur kasur, kursi ruang tamu, apalagi perabot rumah lainnya atau barang-barang elektronik. Yang terlihat hanya dipan kayu beralaskan tikar dan bantal lusuh. Dan di atas dipan itulah ibunya, seorang nenek tua kurus, berbaring. “Mak! Bangun, mak! Nih lihat, saya bawa apa?” kata ibu itu hingga ibunya yang renta itu akhirnya terbangun. “Mak, saya sudah belikan emak kambing buat qurban. Nanti kita antar ke Masjid, ya mak..” kata ibu itu dengan penuh kegembiraan. 65

Si nenek sangat terkejut bahagia. Sambil mengelus-elus kambing, nenek itu berucap, “Alhamdulillah... akhirnya kesampaian juga kalau emak mau berqurban.” “Nih, Pak. Uangnya! Maaf ya, kalau saya nawarnya kemurahan. Saya hanya tukang cuci di kampung sini. Saya sengaja mengumpulkan uang untuk beli kambing yang akan diniatkan buat qurban atas nama ibu saya..” kata ibu itu. Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa, “Ya Allah, ampuni dosa hamba. Hamba malu ber- hadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan Imannya begitu luar biasa...” “Pak..! Ini ongkos kendaraannya..!” panggil ibu itu. “Sudah, bu. Biar ongkos kendaraannya, saya yang bayar..” kata saya. Saya cepat pergi sebelum ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mem- pertemukan saya dengan hambaNya ini yang dengan kesabaran, ke- tabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya. Be- rapa banyak di antara kita yang diberi kecukupan penghasilan, namun masih saja ada kengganan untuk berkurban, padahal bisa jadi harga handphone, jam tangan, tas, ataupun aksesoris yg menempel di tu- buh kita harganya jauh lebih mahal dibandingkan seekor hewan qur- ban. Namun selalu kita sembunyi di balik kata tidak mampu lantaran memang tidak dianggarkan. (disadur dari Ust. Aidil Heryana). 66

GURU HONORER Togog tergopoh-gopoh berjalan keluar rumah sambil mengepit erat map biru. Wajahnya kusut. bibirnya cemberut, pantulan isi hati yang sedang sengkarut. Beberapa puluh meter dari pintu rumah, datang Gareng yang juga terlihat sedang gelisah. “Kebetulan ketemu, aku mau ke rumah Wa Togog!” sapa Gareng. “Wah, aku sedang terburu-buru mau ke rumah Guru Sangkuni. Kalau sampai telat, pasti aku gagal lagi jadi PNS,” jawab Togog sambil terus berjalan. “Sebentar saja, Wa! Ini tentang anakku Kompleng yang habis dikeroyok temannya saat sedang pelajaranmu?” sergah Gareng. “Yang penting si Kompleng ndak apa-apa. Lukanya ndak serius dan sudah diobati. Sekarang ini deadline untukku mengumpulkan berkas-berkas, bukti pengabdianku sebagai guru honorer selama 20 tahun untuk kepentingan ferifikasi. Inilah ujung asaku bisa diangkat menjadi PNS, Reng,” kata Togog memelas. “Wa Togog kok nyepelekke. Kompleng itu anakku, Wa. Aku mau tahu, bagaimana mungkin saat jam pelajaran kok dia dihajar sama teman-temannya? Apa yang Wa Togog lakukan waktu itu?” Intonasi Gareng meninggi. Togog terus berjalan. Kaki Gareng terseok-seok mencoba meng- imbangi langkah. “Sudah sering si Kompleng diledek oleh anak itu karena tubuhnya yang kurus dan hitam. Sudah sering pula aku me- nasehati anak-anak untuk tidak suka ledek-ledekan. Aku juga sudah ajarkan Kompleng agar bersabar, tidak membalas dengan perbuatan yang sama. Tapi, kemarin entah kenapa, si Kompleng membalas 67

dengan menantang berantem satu lawan satu. Jadilah anak-anak itu mengeroyoknya. Kebetulan waktu itu aku sedang ke kantor guru,” tutur Togog sambil terus berjalan. Nafasnya tersengal-sengal. Ekor matanya menangkap ekspresi wajah Gareng memerah, mulut me- longo, dan tak lagi mengejarnya. Langkahnya pun tertahan. “Heh! Reng, jangan marah! Aku sama sekali tidak menyepelekan kasus si Kompleng. Besok akan kujelaskan semuanya detil. Aku pasti bertanggung jawab. Tapi sekarang, tolong biarkan aku mengurus na- sibku dulu. Tolong ngerti aku juga. Hampir 20 tahun mengabdi jadi guru honorer, upahku bahkan tak cukup untuk makan. Kau tega menunjuk hidungku, melempar semua kesalahan dalam kasus si Kompleng ini hanya kepadaku? Di luar sana mungkin anak-anakku juga diledek teman-temannya karena miskin ndak pernah bisa jajan,” tuturnya kian sendu. Gareng speechless. Geleng-geleng sambil komat-kamit, “Astaghfirulloh. Hasbunalloh wa ni’mal wakil. Hasbunalloh wa ni’mal wakil”. Gusti Pangeran, cukup Engkau yang menolongku dan anakku. Bagaimana aku bisa minta pertanggungjawaban Wa Togog sebagai guru si Kompleng, ketika ia sendiri masih pusing memikirkan ke- butuhan pokoknya?” Gareng berbalik arah, kembali terseok-seok me- nuju rumah sambil terus komat-kamit. “Hasbunalloh wa ni’mal wakil.” 68

BERDOA Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepadaMU dari me mohon kepadaMU sesuatu yang aku tiada mengetahuinya. Dan sekiranya Engkau tidak mengampuniku dan (tidak) merahmatiku, niscaya aku termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Hud:47). Mulut Gareng komat kamit sepanjang perjalanan menuju rumah Romo Semar. Sepenggal doa dari buku suci berusaha dipahami. Ke- palanya menggeleng-geleng. Pandangannya berpindah, antara me- nunduk ke tanah dan menerawang awan. “Apa maksud doa Kanjeng Nabi Nuh as itu sehingga diabadikan sebagai ayat dalam buku suci, Gong? Konon, itu adalah wujud taubat sang Nabi yang sempat mengira bahwa anak kandungnya akan di- selamatkan Tuhan dari bencana air bah walau tak berada di dalam kapalnya. Soalnya, Tuhan berjanji pada beliau akan menyelamatkannya bersama keluarganya. Tetapi Tuhan justru menegaskan bahwa anak itu sejatinya bukan lagi menjadi keluarganya, ketika ia menolak naik kapal,” tutur Gareng sesaat bertemu Bagong di pendopo. “Lalu?” sahut Bagong. Gareng ragu-ragu. “Apa artinya, aku juga harus bertobat seperti itu karena selalu berdoa agar si Kompleng sukses, menjadi orang besar, dan dilindungi dari resiko kenakalannya?” “Berhati-hati dalam berdoa, itu maknanya. Jangan meminta se- suatu hanya karena kita mengira itu baik, lalu mendikte Tuhan untuk mengabulkannya. Teruslah berdoa, karena itu juga perintahNYA! Min- talah hanya yang baik dari sisiNYA, bukan apa yang kau inginkan!” sela Petruk. 69

“Mana bisa orang tua melihat anaknya binasa, walau seburuk apa pun dia, Truk? Spontan aku selalu meminta Gusti Pangeran me- nyelamatkan si Kompleng, walaupun dia sering membangkang. Sudah seminggu dia ngambek, ngamuk karena tak kunjung kubelikan motor. Tapi, tetap saja aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya,” sanggah Gareng. “Berdoa saja, semoga si Kompleng diberi petunjuk! Hatinya di- gerakkan untuk melihat kasih sayang Gusti Pangeran,” tegas Petruk. “Beberapa hari lalu ada bocah SMP bunuh diri karena tak dibelikan motor. Bulan lalu, seorang kakak kelas si Kompleng tewas kecelakaan dengan motor baru. Orang tua mereka tak henti menyesal. Yang satu sangat menyesal karena tak membelikan motor. Yang lainnya justru menghukum diri yang merasa ceroboh sudah memberikan motor baru untuk anaknya yang baru naik kelas sembilan,” tutur Bagong. “Tapi si Kompleng bilang, tanpa motor dia kewalahan saat harus wara-wiri mengerjakan tugas-tugas dari guru yang semakin beragam. Sering pergi foto kopi, tugas kelompok, sampai browsing ke warnet. Aku tak mungkin setiap saat bisa mengantar jemputnya. Angkutan umum juga tak ada,” gumam Gareng. “Kang Gareng, juga kita Gong, wajib mendidik si Kompleng de- ngan benar! Menanamkan ajaran moral dan norma, dari Tuhan mau- pun manusia! Menjadi teladan baginya! Tegas berkata ya atau tidak tentang keinginannya! Doa menjadi ujung pengharapan,” jelas Petruk. “Biar nanti kuajak si Kompleng melihat-lihat sepeda. Siapa tahu, dia mau ke sekolah dengan bersepeda model terbaru,” pupusnya. “Betul Kang Gareng, Romo juga hanya mengizinkan cantriknya bersepeda. Jangan-jangan kamu sudah berdoa agar diberi jalan agar membeli motor? Lalu, sekarang kamu datang untuk menemui Romo, dan berharap dia memberimu uang?” goda Bagong jenaka. Sedetik Gareng merengut. Senyumnya masam sesaat kemudian. Kepalanya mengangguk-angguk. Tangan kirinya menjepit bibir Bagong. Tangan kanannya yang bengkok berpegang erat pada lengan Petruk. 70

UKG ’Sesungguhnya Kamilah yang mewarisi bumi dan semua yang ada di atasnya…’ (QS. Maryam: 40). Jangan sedih tak menjadi tenar. Apalagi tertekan cuma karena gagal memenuhi standar nilai UKG,” kata Romo Semar kepada Gareng yang murung di sudut pendopo. “Sungguh malu Mo, mengetahui nilai UKG-ku kemarin jelek. Bahkan nilai Togog jauh lebih baik,” ujar Gareng lesu. “Gimana ndak jelek nilainya? Lha wong nyentuh keyboard komputer yang dipakai ujian saja ndak bisa. Bisa baca soal, ngerti jawabannya, tapi jarinya ndak bisa mengarahkan kursor menuju pi- lihan jawaban. Ya pasti meleset semua. Kalau jawabannya cukup de- ngan lisan, nilai Kang Gareng sempurna. Tapi karena semua tes dilaku- kan secara on line, ya pasti di atas kertas padepokan kita kalah bagus dibandingkan sekolah Togog,” gumam Bagong cemberut. “Nilaimu kan juga cuma pas-pasan, Gong? Ndak usah nyinyir tentang kekurangan Kang Gareng,” tukas Petruk. “Setidaknya nilaiku masih memenuhi standar minimal. Aku ndak sempat belajar lagi,” elak Bagong. “Piye to? Kalian tidak memperhatikan ayat Tuhan Maha Tunggal yang Romo baca tadi? Sesungguhnya kita ini hanya wajib berpegang teguh pada prinsip, jujur dan tulus menjadi guru. Berdakwah dan menjalankan risalah. Maka pasti, kegagalan Gareng dalam UKG se- sungguhnya adalah kebaikan bagi padepokan, “ sela Romo Semar. 71

“Romo bercanda? Pasti nanti Togog menepuk dada, Mo di depan orang-orang,” sergah Bagong. “Gong, ketika raga terlena dalam ketenaran, keberhasilan mau- pun kemewahan, sesungguhnya nurani tertekan. Sebaliknya, dalam kegagalan itu ada penyelamatan. UKG itu untuk memetakan kualitas guru, dalam rangka merancang kebijakan. Karena hasilnya pas-pasan, bahkan gagal total, mungkin kita akan mendapat pembinaan, pen- didikan, pelatihan, atau kegiatan pengembangan profesi keguruan lainnya,” tutur Petruk. Romo Semar tersenyum. “Nilai hanyalah angka di atas kertas. Sesungguhnya wujud guru ada dalam sosok kalian. Gareng tak men- jadikan dunia ini sebagai fokus tujuan, tak hendak serakah merebut setiap keinginan, terus mengabdi meski jalannya terseok-seok. Ba- gong jujur, terbuka dan tulus, sifat dasar ilmu. Petruk cerdas, pemi- kirannya jauh menembus ruang dan waktu, lurus vertikal menuju pemahaman tentang Tuhan. Karena itulah, kesatria, bahkan para raja sudi mendengarkan berbagai kuliah umum di padepokan ini. Kalianlah guru terbaik dari yang terbaik.” “Mo, bagaimana jika di awal tahun yang baru ini, kita ajak para cantrik memahami ayat ‘Sesungguhnya Kamilah yang mewarisi bu- mi dan semua yang ada di atasnya…’dari buku suci tadi?” ujar Petruk. Semar, Gareng, dan Bagong serentak mengangguk setuju. 72

RAMALAN JAYABAYA Bagong, Gareng, dan Petruk berbincang-bincang di Pendopo Padepokan Romo Semar. Mereka mandi keringat karena udara pagi musim pancaroba sudah enggan membawakan sejuk ke kaki gunung sekalipun. Sambil mengunyah singkong rebus, Bagong bergumam, “Pagi sekarang sudah tidak sejuk lagi. Panas. Gerah siang malam. Semesta negeri ini sudah sakit parah. Kalau Ramalan Jayabaya itu mujarab, seharusnya si Noyogenggong Sabdopalon sudah kembali. Dia yang akan membenahi kerusakan negeri ini.” Gareng mencibir walau sedang menyeruput kopi hitam, “Lagi- lagi berlagak pintar. Ngomongin Ramalan Jayabaya, tema milik para politisi. Bila mereka yang membicarakan, jadi terdengar keren, ter- kesan paham tentang falsafah kehidupan. Gong! Bagong! Kalau kita yang ngomongin, orang mencibir, bahkan sampai buang ludah.” “Menurut yang kudengar, ramalan itu memang terbukti joss Kang Gareng. Selalu terbukti dari waktu ke waktu. Lha wong dia meramakan negeri dijajah seumur jagung oleh orang cebol, eh ternyata Jepang memang berkuasa selama 3,5 tahun. Tiap pilihan pilihan Presiden, diyakini bahwa yang terpilih adalah satria piningit, sang pembaharu, pembuat perbaikan bagi rakyat semesta negeri. Ya, meskipun se- telahnya, ternyata dia juga tak lebih baik dari sebelumnya,” tutur Bagong polos, masih sambil menikmati singkong rebusnya. “Sekarang bibir tebalmu semakin lebar, ikut latah bicara soal bangsa,” gumam Gareng semakin sinis. 73

“Jangan terlalu apatis, Kang! Jangan apriori! Kita punya hak dan kewajiban yang sama terhadap negeri ini. Boleh saja kita bicara, demi ikut membangunnya?” sanggah Bagong. “Halah! Gong, itu diksi kamu pungut dari mana? Kedengaran aneh! Ndak ada yang mau mendengar. Tanpa ilmu memadai, justru bisa merusak makna luhur yang terkandung dalam karya para pujangga hebat itu. Jangan bicara tanpa ilmu!” sergah Gareng. Mata julingnya menatap tajam ke suatu titik. Bagong cemberut. “Memang tak pernah klik ngobrol sama orang yang tak mau fokus melihat sesuatu.” Bibir tebal lebarnya monyong, semakin tak tentu bentuknya. Petruk yang semula hanya mendengarkan, angkat bicara. Mata- nya menatap dua saudaranya bergantian, “Bagong, kalau memang kamu ngerti tentang Ramalan Jayabaya, semestinya tidak lagi bicara tentang joss atau tidaknya. Ramalan Jayabaya itu salah satu karya pujangga tentang sejarah. Berbeda dengan primbon atau gugon tukon. Tetapi kalau kau percaya si Noyogenggong Sabdopalon itu yang akan membuat perbaikan, ayo kita cari! Jangan cuma latah bicara tanpa berbuat apa-apa!” Bagong terhenyak, menatap melompong sampai ujung kuncir Petruk yang sering tampak sangat anggun layaknya mahkota raja. “Ayo kita cari si Noyogenggong Sabdopalon! Dia itu sosok cerdas, cerdik, bijaksana, arif, sekaligus alim karena menguasai ilmu batin dan mengenal Tuhan. Dia itu yang akan memimpin perbaikan. Orang- orang di padepokan ini, para guru, bertanggung jawab atas kembali atau tidaknya sosok seperti itu. Dengan system pendidikan yang benar. Ilmu, sikap dan teladan yang benar, kejujuran di atas kebenaran, sosok itu pasti segera datang,” tuturnya. “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap ke- padanya. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan…” dari- pada latah, baik bila kau pahami makna ayat 148 surat Al-Baqarah itu,” ujar Gareng datar usai menyeruput tetes terakhir kopi hitamnya. 74

OPLOSAN Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon…oooooh..” Bagong meniru suluk dalang saat menjelang klimaks cerita. Tangannya sibuk memainkan sebentuk wayang dari pelepah daun singkong. Tak jelas betul sosok tokoh siapa maksudnya. “Bagus! Masih ingat juga kau pada mainan wayang seperti itu, Gong. Itu permainan tradisional yang bagus untuk mengajarkan moral kepada anak-anak!” puji Gareng. “Tokoh siapa itu yang sedang kau mainkan?” “Yang kiri ini Dasamuka lagi ngamuk sama Abimanyu yang di- anggap sombong, berani memimpin gerakan melawan kekuasaan para tetua,” jawab Bagong. “Lha? Dasamuka keluar dari Ramayana bisa ketemu Abimanyu di Mahabharata, Gong? Kok bisa? Pakem apa yang kau pakai?” Gareng melongo. “Hari gini nanya pakem? Lha wong Dasamuka ketemu presiden di tengah pasar saja bisa kok. Ini jamannya oplosan, Kang. Apa saja bisa dioplos. Yang penting enak, menarik, membuat orang yang tidak paham jadi terpingkal-pingkal, yang mengerti ya cuma nyengir,” jawab Bagong cuek. “Wah! Itu bisa merusak tatanan, Gong!” sergah Gareng. “Lagu oplosan jauh lebih popular daripada lagu kebangsaan kita, Kang. Coba suruh si Kompleng anakmu itu menyanyikan lagu ke- bangsaan. Setelah itu suruh dia nyanyi lagu oplosan! Bandingkan, mana yang lebih dikuasai! Tren makanan dan minuman, yang mahal- mahal itu, juga oplosan dari berbagai buah dan sayur. Kurikulum juga 75

oplosan, setengah KTSP 2006 separuhnya lagi K13. Lha, belakangan malah ada yang coba-coba mengoplos beberapa ajaran agama, men- jadi faham baru yang lebih simpel, logis, dan praktis, sesuai dengan selera. Tipe-tipe minimalis begitulah. Sederhana tapi diminati sama orang-orang sekarang,” tutur Bagong. Gareng bungkam, membiarkan Bagong terus bicara, “Yang sesuai pakem itu kuno. Kang Gareng tahu ndak, kenapa Padepokan Romo Semar ini langgeng?” Ekor mata Bagong menggamit wajah Gareng yang menatapnya dalam diam. “Itu karena Romo jagonya membuat oplosan. Aturan dari buku suci sebagai pondasi, dioplos dengan tata kelola kebatinan, realita di luar Padepokan, juga terawangan jitu ten- tang masa depan. Itu yang membuat rumusan kurikulum Romo Se- mar selalu up to date. Romo Semar berhasil mempertemukan Sang Hyang Wenang dengan para ksatria Pandawa dan Korawa. Bahkan asisten rumah tangga Limbuk dan Cangik pun diajak duduk bersama dalam jamuan, tanpa melupakan tugas utamanya. Itu kan jelas keluar dari pakem.” “Kalau menguasai ilmunya, bisa membuat oplosan dengan kom- posisi tepat. Kalau tidak, bencana hasilnya. Alih-alih memahami atur- an dalam buku suci, malah memutilasi ajarannya sesuka hati. Di- cangkok dengan potongan dari buku lain yang menarik. Masih di- tambah okulasi dari serpihan faham lainnya lagi. Itu sama saja dengan oplosan maut yang mencampur obat anti nyamuk dengan tuak. Itu gila,” sambung Gareng “Alloh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (Q.S. ath-Thalaq:3). Pahami itu, lalu tanamkan kepada para cantrik. Mereka tidak akan tergoda mencoba-coba oplosan,” kata Romo Se- mar sambil memegang pundak kedua putranya. 76

BSM Gareng berjalan gontai menuju Padepokan Romo Semar. Wajahnya murung, bibir komat-kamit, sesekali meng- geleng-geleng, mengangguk, mengambil nafas panjang dan menggaruk kepalanya. Tanpa mengucap salam ia masuk pendopo. “Komat-kamit ngomong sendiri, muka lecek, kaya orang stres. Masuk nyelonong saja tanpa salam. Ada apa Kang?” tanya Bagong yang menyambutnya. “Aku mau menyerahkan Si Kompleng untuk dididik Romo saja. Sekarang anak itu ngambek, ndak mau sekolah,” jawab Gareng sambil duduk slonjor di tikar, bersandar ke dinding. “Walah! Lhah! Ternyata benar, buah jatuh tak jauh dari pohon- nya. Tak pikir si Kompleng itu bocah pintar, berprestasi, jadi bakal bisa menghapus stempel ‘bodoh’ yang menempel pada orang tuanya. Baru saja kita bangga karena prestasi akademiknya, eh malah ngadat. Ndak mau sekolah terus mau ngapain katanya?” Bagong sinis. Gareng tak menanggapi. Ia mengatur nafas. Beberapa lembar nafas panjang dihirup embuskan perlahan. “Sejak diumumkan mendapatkan BSM dari pemerintah, hampir setiap hari dia merasa disindir sama Bu Guru Limbuk, di depan kelas. Katanya, murid yang tidak menerima BSM harus sangat bersyukur, karena itu tandanya mereka bukan orang miskin. Sejak itu, dia berangkat sekolah sambil memikul beban malu. Puncaknya, minggu lalu dia langsung ditegur Bu Limbuk karena memakai sepatu baru bermerk. Seketika itu, di depan kelas diumumkan, bahwa uang BSM fungsinya untuk me- 77

nunjang kebutuhan sekolah bagi murid miskin. Sangat tidak pantas jika uang BSM digunakan untuk membeli sepatu mahal, hanya agar kelihatan keren. Faktanya Gong, di kelas itu hanya Kompleng yang mendapatkan BSM, dan kebetulan hari itu dia memakai sepatu ber- merk, itu lho hadiah dari Paman Petruk,” papar Gareng. Tatapan ma- tanya sendu kadang berkilat marah. “Sudah tiga hari Kompleng ndak mau sekolah. Dia minta keluar dari sekolah itu, dan minta aku me- ngembalikan semua BSM yang sudah terpakai. Aku tidak mau serta merta menyalahkan Bu Limbuk, tapi aku lebih tidak ingin potensi anakku mati justru karena terus dibully oleh gurunya sendiri,” lanjutnya. “Walah! Si Limbuk itu, ternyata belum berubah to? Senang me- nasehati orang tetapi sekaligus meremehkan orang lain. Bukankah sekarang dia sudah bertitel, resmi jadi guru, seharusnya menjadi lebih santun dan bijak,” sahut Bagong gemas. “Jadilah kamu pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh (QS. Al-A’raf: 199)” Pastikan si Kompleng memahami ayat ini. Pasti dia jauh lebih tangguh menghadapi Limbuk-Limbuk yang suka membully di luar sana. “Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, dan tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan, seolah telah menjadi teman yang amat setia (QS. Fushshilat: 34)” Ayat itu tuntunan bagi akhlak kalian yang ingin bahagia, baik sebagai ma- nusia biasa, orang tua, apalagi guru. Istiqomahkan dulu dirimu, baru meminta Limbuk untuk istiqomah,” tutur Romo Semar yang ternyata telah menyimak percakapan kedua anaknya itu dari balik dinding. 78

DINAMIKA HIDUP Ceplis, anak Limbuk shok berat. Ulahnya bersama beberapa teman yang tengah bernyanyi-nyanyi sambil merokok di ruang kelas terekam dan beredar luas di media sosial. Usai menyelesaikan UN SMA, ia terjaring razia lalu lintas lalu menantang petugas dengan kata-kata kasar. Lagi-lagi ulahnya terekam lalu ber- edar. Tak pelak, hujatan, hinaan, dan pelecehan mengalir deras melalui akunnya. Sekolahnya pun mewacanakan untuk tidak meluluskannya tahun ini sebagai hukuman. Ceplis yang jelita dan tak pernah ber- masalah sebelumnya, tak lagi punya muka. Limbuk terkapar, tak sanggup menerima akibat yang harus di- tanggung putri kesayangannya. Ia tak rela anaknya sekarat dibully, tapi ia tak bisa serta-merta memasang badan untuk melindunginya. Ia mengerti bahwa ulah Ceplis sangat tidak pantas, tetapi gadis itu tetap buah hatinya, yang karena kemiskinan terpaksa harus membiaya hidup sendiri dengan bekerja sebagai penyanyi di kafe. Bagong datang menghampiri Ceplis duduk tertunduk lesu di sisi pembaringan ibunya. “Ini titipan dari Romo Semar,” katanya sambil mengulurkan beberapa buku yang ditentengnya kepada Ceplis. “Ro- mo Semar memaafkan kenakalanmu, tetapi tidak berarti membela- mu,” tambahnya. Ceplis kian menunduk ketakutan, tapi menerima- nya dengan kedua tangan. “Semua sudah telanjur terjadi. Kamu telanjur berulah yang tidak pantas. Kamu telanjur babak belur dibully, bahkan oleh teman- temanmu sendiri. Tapi, ini belum berakhir. Kamu bahkan belum men- dapat sertifikat kelulusan dari sekolah. Hadapilah!” kata Bagong tegas sambil memegang pundak Ceplis. 79

Ceplis mengangguk pelan. “Ceplis salah,” gumamnya. Tak seperti biasanya, kali ini Bagong sangat hati-hati berbicara. Kalimatnya tertata rapi. “Ceplis, buku adalah sebaik-baik teman. Dia selalu jujur, tak akan pernah menghianati. Dia setia, tak akan zalim. Walau kau tinggalkan, dia tetap memberikan kebaikannya untukmu. Saat kau lengah berbuat nakal, dia tak akan ikut-ikutan membully menghancurkanmu,” tuturnya dengan berusaha bersikap lembut. Ditatapnya Ceplis dan Limbuk bergantian dengan penuh empati. Lagi- lagi Ceplis mengangguk. “Buku juga adalah guru. Ketika kepengin belajar lebih, kamu tak perlu memohon-mohon kepada orang-orang yang hanya mau mem- bimbingmu jika ada bayaran! Kamu tidak perlu belajar dari mereka yang secara akhlak bahkan lebih rendah darimu!” tegasnya. “Yu Limbuk, ingat, “Dan, janganlah kamu hiraukan gangguan- gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung (QS. Al Ahzab: 48)” Bukankah Romo Semar sudah sering mengajarkan maknanya, agak kita siap menghadapi dinamika hidup? Nikmati pelajaran hari ini karena, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu (QS. Al-Baqarah: 2 1 6 ) ”. Bagong pamit setelah melihat Limbuk yang masih lemah ber- usaha bangun dari pembaringan, mengangguk lalu tersenyum. “Aku pamit. Ceplis, bacalah!” 80

PREDATOR ANAK Sungguh ndak pernah terpikir olehku, bahwa lingkungan bisa menjadi begitu menyeramkan bagi anak-anak. Beberapa tahun lalu, ketika Kompleng giat berlatih jurus-jurus ala Naruto hanya agar bisa melawan saat dibully teman-temannya di sekolah, aku sadar kalau sekolah tidak lagi nyaman. Sekarang rupanya situasi kian gawat di setiap tempat, sampai-sampai Kompleng juga menghawatirkan adiknya, si Ceplis yang masih dua tahun dan masih bermain di ling- kungan rumah,” gumam Gareng yang duduk merenung di sudut pen- dopo Padepokan Romo Semar. “Lagi-lagi ngalamun. Komat-kamit sendiri sore-sore begini,” sapa Bagong. “Ini lho, Gong! Si Kompleng itu sekarang agak berkurang belajar- nya. Dia hanya sibuk menggambar ini itu. Dia bilang, sedang berusaha menciptakan alat yang akan melindungi adik perempuannya si Ceplis dari predator. Dia juga melatih Ceplis jurus-jurus silat. Biar bisa me- lawan kalau ada predator mendekat, katanya. Kupikir, si Kompleng mengalami paranoid, Gong?” “Begitulah realitanya. Sikap Kompleng itu bagus. Mungkin dia sudah mendapat informasi yang cukup tentang banyaknya predator anak di negeri ini. Dia sudah paham harus selalu waspada, juga peduli. Bahkan dia sudah tahu bahwa anak-anak perlu bekal khusus untuk menghadapi segala kemungkinan, termasuk bela diri” jawab Bagong. “Aku khawatir si Kompleng terganggu belajarnya?” gumam Ga- reng menerawang. 81

“Ndak perlu khawatirkan si Kompleng! Dia cerdas. Romo Semar telah banyak menanamkan dan melatih nilai-nilai moral dalam dirinya sejak lahir. Dia justru akan menjadi lebih pintar,” sahut Bagong. “Anak itu tidak lagi banyak membaca buku seperti dulu,” potong Gareng bernada kesal. “Belajar tidak mutlak dengan membaca buku! Dia berani ber- pendapat. Dia jujur. Dia kreatif. Dia peduli pada teman-teman dan lingkungannya. Dia berusaha untuk menciptakan sesuatu agar si Ce- plis terlindungi dari predator. Sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Yang seperti itu perlu disuport!” sahut Bagong. “Yaaa, memang semestinya si Kompleng dan anak-anak sekolah lainnya di SD sampai di SMA, tak perlu merasakan kekhawatiran apa- pun. Mereka hanya perlu belajar dan mengembangkan diri. Kita ini, orang tua, guru, dan masyarakat, seharusnya aktif menciptakan ling- kungan yang kondusif, mulai dari lingkungan terkecil. Di rumah, di sekolah, di tempat bermain. Sayangnya, kita sendiri sering lengah dengan lingkungan terdekat,” sambung Petruk yang baru datang. Romo Semar keluar lalu bergabung dengan anak-anaknya. “”Dan, apa saja yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh per- buatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”(QS. Asy-Syura:30). Tidak ada kata terlambat untuk menyadari kesalahan. Mari menjadi manusiawi, kembali pada Gusti. “Dan, sekiranya mereka sungguh-sungguh men- jalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan ke- pada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat ma- kanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka” (QS. Al- Maidah: 66).” 82

MERASA BENAR “Dan (ingatlah) ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab. (yaitu), “Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.” (QS. Ali-Imran:187) “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. an-Nahl:125) Togog tercenung, menunduk, bersimpuh di lantai. Ketegasan kata-katanya tak kelihatan. Sikap kerasnya atas nama disiplin memudar. Ia tengah merenungkan teringat kembli ayat-ayat penuntun para guru di padepokan yang selalu ditekankan Romo Semar untuk dipahami. “Baiknya belajar Paedagogik lagi, Man (paman –red)! Tidak salah kalau sedikit juga pahami psikologi anak dan remaja,” ujar Bagong tanpa menoleh pada Togog di sela-sela interogasi polisi. “Daripada Paman Togog ngotot merasa benar terus alih-alih me- negakkan disiplin. Dulu masyarakat menggerudug padepokan gara- gara Paman main tinju sama cantrik. Beruntung Romo Semar bisa mendamaikan. Sekarang Dursasana pilih langsung datang ke kantor polisi, hanya karena Paman mencubit si Klontang, anaknya.” “Anak-anak perlu dididik disiplin,” gumam Togog membela diri. “Ketika masih nyantrik, apakah Romo Semar pernah menempe- leng Paman Togog? Kalau tidak salah, dulu Paman Togog terkenal sebagai cantrik paling bandel. Tidak pintar di pelajaran, tapi lihai 83

membuat alasan untuk menghindari tugas. Juga paling usil di antara cantrik-cantrik lain,” kata Bagong lagi. Ujung matanya melesat tajam ke arah Togog yang kian tertunduk. Togog menggeleng pelan. “Romo Semar ndak pernah kasar. Ti- dak membentak. Apalagi sampai kaki mendepak atau tangan me- nampar,” gumamnya lirih. Romo menatap aku tanpa senyum. Diam. Lalu membacakan sabda Kanjeng Nabi, “Sesungguhnya para malaikat akan membentangkan sayapnya (merendahkan sayapnya untuk memberi perlindungan) bagi penuntut ilmu karena ridha dengan yang dilakukannya” (HR. Imam Ahmad). “Tapi, anak-anak sekarang ndak bisa lagi didiamkan begitu.” Togog masih membela diri. “Jadi, kau sekarang merasa lebih baik dari para cantrikmu,” tanya Romo Semar. Togog diam, kian menunduk. “Tugas kita di Padepokan bukan membuat si Klontang jera, tapi membuatnya tahu bahwa dirinya berbuat salah, dan mengerti harus berubah agar menjadi kesatria. Tugas kita membuat si Ceplis paham dirinya perempuan, yang mengemban banyak peran. Sebagai guru utama seperti Sumbadra, penenang keluarga seperti Dewi Larasati, sekaligus pejuang yang tak kalah tangguh dari kesatria, selayaknya Sri Kandi,” pungkas Romo Semar. “Lagi-lagi kita yang harus mengerti tentang para cantrik, bukan cantrik yang dipaksa memahami kita,” ujar Bagong sambil menatap Togog yang kian tunduk di hadapan hukum. 84

MAAF MEMAAFKAN Ruwet. Bundet. Mampet. Belasan nyawa melayang, terjerat benang kusut arus kendaraan yang stuck hampir di setiap persimpangan. Stres, sakit akibat kelelahan setelah puluhan jam terjebak di dalam kendaraan yang tak mampu beringsut ke kiri maupun ke kanan, di atas aspal jalan raya. “Tiga hari penghujung puasa, asa terakhir untuk bisa bertemu dengan lailatul qadar, seakan menjadi antiklimak, ketika orang-orang hilang kesabaran. Mengumpat petugas pengayom masyarakat yang justru tak terlihat di titik keruwetan. Sesekali terlihat petugas berompi hijau menyala tengah mengatur arus kendaraan, memberi jalan bagi yang hendak menyeberang, ternyata tukang parkir atau satpam. Memaki-maki para pengemudi yang menyerobot dari sisi kanan/kiri, seakan menganggap antrian cuma bentuk kebodohan, lalu menambah sumbatan di ujung persimpangan. Ironis, orang semacam ini bisa balik memaki-maki pengemudi lain yang setia mengantri, saat butuh menyela masuk barisan karena kendaraan dari arah depan tak bisa jalan. Akibatnya terjadi senggolan, mobil baru jadi penyok penuh goresan. Bahkan banyak tabrakan fatal, tubuh dan kendaraan ringsek bersamaan.” Romo Semar berpidato membuka tahun pelajaran baru, di ha- dapan para pengajar padepokan. Tubuhnya yang gempal tampak tersengal-sengal berusaha mengatur ritme bicara. Bahasanya jelas, pelan-pelan, banyak penekanan. “Disiplin. Tanggung jawab. Kemampuan bekerja sama. Menghargai orang lain, sabar, dan istiqomah. Itu poin-poin yang 85

terasa tak ada saat terjadi bencana arus mudik dan balik. Seakan kita semua lupa, sebulan penuh kita melakukan puasa, hakikatnya melatih diri menguasai poin-poin tersebut. Lapar haus di siang hari, lelah dan kantuk di malam hari selama 30 hari penuh, seakan tak membekaskan apapun.” Romo Semar menyapu wajah-wajah para pengajar. Togog duduk tegak, menatap Romo Semar, seakan tengah serius menyimak, tetapi bibir lebarnya terbuka, melongo. Drona dan Sangkuni gelisah di bang- kunya, karena menjadi bagian dari mereka yang suka zig zag di jalanan untuk cepat mencapai tujuan. Bisma tertunduk membisu, mengingat anak-anaknya yang masih terbaring kelelahan setelah lebih 48 jam mengantri di pintu tol. Gareng, Bagong, dan Petruk sibuk menyuguhkan bakpia, lumpia, geplak,dodol, dan getuk goreng, oleh-oleh dari kampung. Mereka tak merasakan efek macet, karena mudik lebih awal. “Tugas kitalah menanam dan menguatkan nilai-nilai yang hilang itu kepada para cantrik, sehingga bencana seperti ini tidak akan terulang di masa depan. Tetapi, kita pun harus legowo mendidik diri agar benar-benar paham bahwa, “Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath- Thalaq:3). Dan bahwa, “Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri.” (QS. Yunus:23) Usai berpidato, Romo Semar menyalami para pengajar satu demi satu. “Minal aidin wal faizin. Legowo meminta maaf, legowo memaaf- kan,” katanya. 86


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook