suara seorang wanita yang tidak asing bagiku mengucapkan salam. Ya, itu suara ibuku. ”Assalamu’alaikum.” Mendengar ucapan itu aku langsung keluar menjawab salam ibu dan langsung aku menyalami tangannya. Ibu menyambut tanganku dengan dingin dan raut wajah yang datar. ”Hebat kamu ya, hari pernikahan kamu sudah dekat, kamu enak‐enakan di sana. Sementara ibu bertungkus lumus di sini. Tidak ada yang bisa membantu ibu. Kakakmu sibuk kerja sampai sore, adikmu begitu juga, ibu tak sanggup mengerjakan semuanya sendiri. ”Bu, Ana harus kerja Bu. Ana mau cari uang untuk bantu Ibu dan ayah mempersiapkan pesta pernikahan Ana.” Lalu ibu langsung membalas keteranganku. ”Aaaah, kamu kerja apa? Berapalah uang yang kamu dapatkan? Gak akan cukup membiayai semuanya. Ibu maunya kamu itu cepat pulang dan membereskan semua pekerjaan di rumah ini. Lalu aku kembali menjawab ucapannya,” Ibu tidak adil, aku yang akan menikah, kenapa aku yang harus mengerjakan semuanya?” Ibu membalas kembali ucapanku,” Jadi kamu mau seperti bidadari ya, datang langsung bersanding di pelaminan begitu, enak saja.” Semakin aku merespons ucapan ibu, semakin hati dan perasaanku terluka. Aku merasa ibu pilih kasih, ibu tidak sayang kepadaku seperti anak‐anak lainnya. Lalu aku berkata lagi dengan ucapan yang mulai emosi. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 87
”Ibu memang membedakan Ana dengan yang lain, Ana sadar Ana tidak besar dan hidup bersama Ibu, tentu saja Ibu tidak sayang sama Ana seperti Ibu menyayangi kakak, abang, dan adik‐adik.” Tangisku pecah. Aku lihat ibu sangat marah mendengar semua ucapanku,” Kamu beraninya bilang begitu Ana, ibu tidak pernah membeda‐bedakan kalian, semua anak ibu perlakukan sama. Kamu lahir dari rahimku, Ana. Sembilan bulan Ibu mengandungmu, hampir mati Ibu melahirkanmu. Teganya kamu berkata begitu kepada Ibu.” Suara ibu terdengar sangat keras dari biasanya dan juga diiringi dengan tangisannya. Ibu melanjutkan,” Itu hanya perasaanmu saja, Ana. Bagaimana Ibu ke kakakmu, abangmu, dan adik‐adikmu? Begitu juga Ibu kepadamu, hiiiiks....hiksss,” suara dan tangis ibu semakin terdengar sangat keras. Lalu ibuku langsung pergi ke kamar, dan aku juga pergi ke kamar mandi untuk mandi, Lalu, aku mendengar kembali ibu berbicara di dapur yang letaknya bersebelahan dengan kamar mandi. ”Kenapa kamu menangis Ana?” ”Aku tidak ada membeda‐bedakan anakku. Memang aku tidak membesarkanmu Ana, tapi kamu yang terlalu terbawa perasaan kalau aku membedakan kamu. Kamu terlalu dimanja oleh nenek dan kakekmu sehingga watakmu begini kepadaku. Kamu anak yang durhaka, Ana. Semakin keras saja tangisku di kamar mandi mendengar ucapan ibu. Aku mendengar ayahku berusaha menenangkan ibuku. 88 | Safridah Dkk
Sejak kejadian itu ibu tidak menegurku. Bahkan, seminggu lagi hari pernikahanku, ibu tetap masih tidak mengacuhkanku. Aku tidak menceritakan hal ini kepada calon suamiku karena aku tidak mau calon suamiku akan terganggu dengan masalahku. Dia juga sudah pasti sangat kalut untuk mempersiapkan semuanya di sana. Sampai akhirnya, hari pernikahanku tiba. Tanggal 11 Januari adalah hari bersejarah bagiku. Namun, kulihat ibu dan ayah masih juga marah kepadaku. Begitu juga abang dan kakakku juga ikut tidak peduli padaku. Hanya adik bungsukku yang bisa kuajak bicara dan dia juga bersedia membantuku jika aku meminta sesuatu. Ya Allah, bagaimana aku akan bahagia seperti ini bila aku tidak mendapatkan dukungan dari orang‐orang terdekatku? Seperti adat‐adat Melayu yang lainnya, aku juga melakukan prosesi berandam sebelum prosesi akad nikah. Berandam adalah upacara pemotongan rambut, bulu‐bulu wajah, kening, dan leher. Prosesi ini dilakukan dengan tujuan agar wajah calon mempelai wanita kelihatan lebih cantik dan berseri‐seri. Kebiasaan ini juga dipercayai untuk membuang sial yang ada di tubuh calon mempelai wanita. Saat prosesi berandam itu, aku melihat ibuku duduk di sampingku, tapi dengan wajahnya yang masih dingin. Ibu banyak tidak menjawab pertanyaan‐pertanyaan tamu yang menanyakan tentangku dan calon suamiku. Walaupun hatiku sedih dengan perlakuan ibu kepadaku, aku berusaha tersenyum kepada semua tamu yang hadir dan melihatku pada prosesi berandam ini. Aku tak ingin mereka tahu apa yang terjadi antara aku dan ibu. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 89
Pada hari akad nikahku, aku memakai baju kebaya merah fanta yang sudah aku persiapkan satu bulan sebelum hari pernikahanku, dan aku dihias dengan selendang melayu yang juga berwarna merah fanta. Saat calon suamiku beserta keluarganya tiba. Prosesi akad nikah langsung dilaksanakan. Aku sebagai calon mempelai wanita hanya di kamar saja dan pak KUA mendatangiku untuk menanyakan kepadaku apakah aku siap untuk menikah. ”Nanda, siapkah kamu dipersunting oleh Ari?” tanya Pak KUA kepadaku. Dengan penuh keyakinan aku menjawab, “Iya, InsyaAllah pak.” Lalu pak KUA keluar dari kamarku untuk melaksanakan prosesi Akad Nikah. Alhamdulillah....dengan satu kali ucapan saja calon suamiku berhasil mengucapkan akad nikah dengan lancar dan kami sudah sah menjadi suami istri. Lalu aku dipanggil untuk keluar mendampingi suamiku. Aku menandatangani surat nikah yang sudah disiapkan oleh pak KUA, lalu suamiku memakaikan cincin pernikahan ke jari manisku. Aku tidak bisa mengungkapkan betapa bahagianya aku malam itu. Karena aku sudah memiliki teman tempat aku mencurahkan perasaanku baik suka maupun duka. Esok harinya adalah resepsi pernikahanku, aku bersanding dengan menggunakan baju adat Riau, baju adat Sumatera Barat, dan gaun putih. Setelah proses pernikahanku selesai, aku tetap hanya menerima sikap ibu yang cuek kepadaku. Aku tidak tau entah sampai kapan aku akan mendapatkan perlakuan seperti ini. 90 | Safridah Dkk
Setelah empat hari aku di rumah, saatnya aku harus kembali ke kota dan ikut bersama suamiku. Aku pamit dan mengucapkan terima kasih kepada ibu, ayah, kakak, abang, dan adik‐adikku. Tangisku dan ibuku kembali pecah pada saat itu. Aku meminta maaf pada ibuku. ”Bu, maafkan Ana. Ana anak yang durhaka, tidak seharusnya Ana berkata bahwa ibu tidak adil pada Ana. Ibu sudah berkorban banyak untuk melahirkan Ana dan menikahkan Ana.” ”Ibu juga minta maaf, Ana. Tapi kamu perlu tahu Ana, walaupun Ibu tidak membesarkanmu, Ibu tidak pernah membeda‐bedakanmu dengan anak‐anak Ibu yang lainnya. Ibu sayang kamu sama seperti Ibu menyayangi kakak, abang, dan adik‐adikmu. ”Iya, Bu. Maafkan Ana sekali lagi.” Kami berpelukan erat dengan beruraian air mata yang membuat sebagian anggota keluargaku juga ikut menangis melihatku dan ibuku. Lalu aku juga pamit dengan ayah. ”Ayah, maafkan Ana.” “Iya, ayah juga minta maaf Ana. Jangan pernah Ana merasakan lagi kami membeda‐bedakan Ana dengan anak‐ anak Ayah yang lainnya. Ayah sayang Ana sama halnya ayah sayang ke anak ayah yang lainnya. Semoga kamu bahagia ya dengan suamimu, nak.” ”Ya, Ayah. Terima kasih.” Air mataku mengalir begitu deras saat berkata ini. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 91
Lalu aku juga pamit dengan kakak, abang, adik‐adik, dan seluruh keluarga besarku. Di dalam mobil travel, tidak henti‐hentinya aku berdoa. ”Ya Allah, bantu aku untuk bisa menerima dan mencintai ibu, ayah, dan saudara‐saudaraku. Jadikan mereka bagian yang terpenting dalam hidupku. Aku tidak memiliki siapa‐ siapa lagi selain mereka. Merekalah harta terbaikku. Aamiin. *** 92 | Safridah Dkk
Tangan Mamak Oleh: Umi Salamah, S.Pd. (Guru SMPIT Bunayyah Pekanbaru) ”B ismillah.” Hm, enak banget, nyam, nyam, nyaaam,” ujarku setiap kali makan mendoan mamak. ”Makannya duduk, Um. Tinggal makan aja ya enak,” jawab mamakku sambil merepet. Pagi ini aku tafakur pada setiap detik yang kulewati bersama Mamak. Begitu cepat waktu berlalu. Bulan lalu, genap sudah 28 tahun umurku, tepat 18 November 2019, sengaja mengambil cuti agar bisa menghabiskan waktu istimewaku bersama orang yang sangat istimewa. Mamak. ”Um, sudah ketemu calon belum?” Begitu ritual pembuka percakapan setiap kali pulang kampung. ”Belum, Mak. Doakan, ya. Mencari pasangan hidup tak semudah memasukkan benang ke dalam jarum atau seperti memilih barang di antara rimbunan barang lainnya. Karena yang kita cari itu manusia, benda bergerak, hidup dan punya visi berbeda. Masalah jodoh sudah Allah atur, masa kita yang nentuin kapan nikah?” terangku acap kali mamak mulai bertanya perihal “jodoh.” ”Oooh, jangan lama‐lama, jangan pilih‐pilih, Mamak sudah tua,” ucap mamak mulai lirih. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 93
Ya Allah, sekuat apa aku bertahan, tetap saja rapuh saat mamak sudah menyerah dengan jawaban terakhir. Kata‐kata terakhir “Mamak sudah tua”, benar adanya. Aku pandang mamak, terenyuh. Usia mamak sudah memasuki kepala 5, rambutnya sudah hampir memutih seluruhnya, raut wajahnya menyiratkan kerutan yang tak tertutupi skin care apa pun, tangannya mulai menyusut, tubuhnya terlihat lebih kurus, kakinya melemah sudah tidak berjalan cepat seperti dulu. Oh, Mamak. Banyak hal yang berubah dari mamak, secara fisiknya. Mamak tak pernah berubah dengan sikapnya. Mamak selalu mengingat hal‐hal kecil tentang anaknya. Mamak paling tahu makanan kesukaan anaknya. Makanan yang selalu dibuat dan disajikan dengan cinta. Secapek apa pun beliau, kalau akan selalu berusaha menyajikan makanan. Bagi mamak, peribahasa Jawa “mangan gak mangan, ngumpul”, makan atapun tidak makan, wajib sama‐sama. Mamak berprinsip “makanan menyajikan rasa yang menyatukan banyak rasa di sekelilingnya. Masih tentang mamak. Mamak yang suka masak. Mamak ialah orang yang suka berkreasi dengan makanan. Jika ada menu baru, entah itu baru dikecapnya atau baru diajari orang lain, mamak akan memulai eksperimen di dapurnya. Asap itu menandakan hidupnya rumahku. Bau bawang, pandan, kunyit, dan teman‐temannya menjadi bau yang sangat dirindukan. Ulekan dan batu beradu, gemerincingnya piring, sendok, mangkuk, wajan merupakan bebunyian yang merdu, terngiang syahdu saat jauh darinya. 94 | Safridah Dkk
Mamak termasuk orang yang pekerja keras dan tak mudah menyerah. Baru kusadari, sifatnya menurun padaku. Sebanyak apa pun pekerjaan yang harus dikerjakan, wajib dituntaskan. Menjadi beliau tentu tidak mudah. Bangun sebelum subuh, setelah menunaikan kewajiban pada Rabb‐ nya, beliau menghidupkan dapur, menghidangkan sarapan, membereskannya, memasak gula merah, memasak makan siang dan sore, merapikan rumah, begitu seterusnya setiap hari. Entah bagaimana cara beliau melakukannya. Bulan lalu aku pulang ke kampung halaman, sejak Idul Fitri kemarin, inilah waktu yang bisa ku manfaatkan bersamanya. Kata seorang ustaz dalam kajiannya,” Jangan siksa ibumu dalam kerinduan.” Seperti biasa, selalu ada makanan di dapurnya. Khususnya untukku, anak kedua yang paling disayanginya. Tentu, sepiring mendoan akan disisihkan saat tahu anaknya akan pulang kampung. Meskipun aku tahu mamak memasaknya sejak siang, tapi rasa tempe goreng buatan mamak selalu bertahan di lidahku. Tak berubah, seolah garam, kemiri, ketumbar, kencur, dan kunyit itu sengaja berkumpul dengan tepung menyelimuti tempe itu bertahun‐ tahun. Benar‐benar legend. Setiap kali Aku di rumah, banyak hal yang ingin kuketahui saat kecil dahulu. Apa pun yang berkaitan denganku. Mamak masih mengingatnya meski samar. ”Mak, dulu pas hamil kakak, ada ngidam, gak?” Aku mulai menyelidik. ”Gak ada ngidam apa‐apa, cuma gak bisa makan nasi. Bisanya makan pisang, buah‐buahan. Kalau makan nasi malah Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 95
muntah. Yang masak, nyuci, itu bapak yang ngerjain. Mamak dulu gak bisa ngapa‐ ngapain selama hamil, sering mual, lemas karena jarang makan. Tapi alhamdulillah, anak mamak sehat semua. Pas kakak lahir, badannya putih bersih, sekarang kok gak putih, ya?”terang mamak sambil mengingat‐ ingat. ”Mak, dulu kakak lahirnya pagi, siang, sore, atau malam?” Aku mulai penasaran. ”Sekitar jam 10 malam,” jawab mamak santai. ”Pake apa lahiran, Mak?” Aku masih mencoba mencari tahu sambil memeluk mamak dan memijat punggungnya. ”Sama bidan dan dukun bayi,” terang mamak. ”Susah gak, Mak?” tanyaku tanpa henti. ”Gak, lancar aja, gak rewel,” mamak mulai menerawang. ”Ada bapak?” tanyaku lirih. ”Ada, waktu itu bapak lagi pergi, terus dikabari suruh pulang. Untung kakak lahiran gak rewel, di‐Iqomatkan sama bapak,” jawab mamak sambil memijat kepalanya yang mungkin sedang diajaknya berkelana 28 tahun lalu. ”Dulu kakak cengeng?” tanyaku dengan manja. ”Bukan cengeng lagi, dikit‐dikit nangis. Mau apa‐apa nangis. Mau nyusu …nangis, ngompol ….nangis, ditinggal….nangis. Repotlah. Zaman dulu gak ada diaper. Banyak cucian, bentar‐bentar suka pipis,” kata mamak ketus sambil tertawa. ”Mak, kakak ingat dulu pas mau masuk sekolah, umur kakak belum genap 6 tahun. Waktu itu mamak sudah siapkan baju kakak, pukul 6 pagi kakak sudah mandi, mamak masak tempe untuk sarapan. Terus kakak pergi naik sepeda jemput 96 | Safridah Dkk
bapak di sawah buat ngantarin kakak ke sekolah di hari pertama. Kakak senang kali ke sekolah, sampai sekarang masih ingat baju kakak yang kebesaran, kan dulu badan kaka kecil, mungil beda sama sekarang,” ujarku bercerita dengan semangat, meski aku tahu mamak sudah mulai mengantuk akibat sihir pijatanku. ”Iya. Bapak kan ke sawah setelah subuh. Rajin, gak seperti sekarang. Bapak sudah tua,” jawab mamak mulai samar. ”Mak, dulu pas mau ke sekolah, bapak ngetes kakak untuk memperkenalkan diri. Di tengah sawah aku teriak‐ teriak menyebutkan namaku untuk perkenalan. Aneh, tapi nyata. Kakak ingat, bapak tersenyum dan tertawa bangga. Tak lama, bapak berkemas dan mengantarku ke sekolah.” Aku mulai mengingat kenangan apa yang mungkin terlewatkan saat itu. ”Tahun pertama dan kedua di SD dulu, ranking kakak kurang bagus. Ada beberapa nilai yang merah, tapi kakak sudah pandai membaca dan menulis. Kakak suka membaca bungkus tempe. Biasanya ada koran atau kertas buku‐buku pelajaran. Bahkan sering banget duduk di perpustakaan pas jam istirahat. Acap kali kakak pinjam buku novel dan komik dibawa pulang,” lanjutku dengan pasti. ”Iya, kakak suka baca buku, dulu pernah ke rumah nenek, dikiranya tidur di kamar Mbak Tum. Ternyata, kakak membaca tumpukan buku pelajaran SMP punya Mbak Tum.” Mamak terbangun kembali dan menjawab celotehanku lagi. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 97
”Mamak ingat gak pas kakak dapat beasiswa, juara kelas, mendapatkan hadiah buku. Ada wali murid yang tanya,” Kok bisa anaknya pintar, dikasih makan apa?” Lalu mamak jawab,” Dikasih nasi sama tempe.” Sejatinya, aku tahu mungkin hanya tempe atau tahu yang menjadi protein nabati untuk kami yang bisa mamak masak. ”Sejak kapan kakak suka tempe?” Aku benar‐benar penasaran dan terus saja bertanya. ”Sejak kecil, kakak gak suka pedes, sukanya tempe goreng, tahu isi, bakwan, sayur sop, soto, sayur lodeh, dan sayur bening. Gak suka sama ikan, apalagi ikan mujair yang banyak durinya. Kata kakak kalau masih ada durinya, makan duri, bukan daging ikan,” jelas mamakku. ”Iya sih, kakak baru suka pedas pas udah kelas 6 SD, pas mamak sudah pindah ke Riau. Pas kakak belanja, seringnya beli tempe mendoan. Mak, besok goreng tempe lagi ya, mamak yang masak. Kalau kakak yang masak, gak seenak buatan mamak,” rengekku padanya, sambil kukecup pipinya yang mulai mengerut itu. ”Iya, besok mamak masak, minta adek beli di warung dulu, ya. Minta duitnya, mamak tak ada duit,” jawab mamak diiringi tawa yang renyah. Senang sekali aku mendengarnya. ”Hehehe, iya, iya. Nanti kakak kasih ke adek buat belanja, ya. Makasih, Mamak.” Tentu saja, berapa pun yang aku beri, pasti tak akan pernah bisa membeli kasih sayangmu, Mak. Benar saja, hampir setiap hari mamak memasak tempe goreng. Rasanya kadang berbeda, tapi tetap saja enak dan tak pernah bosan. Bahkan, saat aku di perantauan, di tempat 98 | Safridah Dkk
kerjaku, SMPIT Bunayya, tempe goreng menjadi camilan favorit penghilang rindu pada mamak. Setidaknya, rinduku pada olahan tangan mamak seolah terbayarkan. Kadang aku sering berpikir mungkin karena multitasking mamaklah yang menjadi resep rahasia apa pun masakannya terasa selalu enak di lidahku. Makanan apa pun, siapa pun yang memasaknya, di mana pun memakannya, selalu dikalahkan oleh keajaiban tangan mamak. Semoga Allah menjaga dan memberikan keberkahan dan keajaiban‐ keajaiban lewat tangan mungilnya. Oh, Mamak. Apa pun terasa mudah bersamamu. Meski masa pubertasku tak bersamamu, tetapi kepadamu juga hatiku berpulang. Ke mana pun melangkah, tetap saja namamu yang kutuju. Sesulit apa pun masalahku, terasa mudah jika sudah meminta ridamu. Maafkanlah anakmu yang jarang sekali mendekap tangan mungilmu yang lelah. Tangan kecil dan mungil mamak, dengannya aku lahir dan dibesarkan. Kedua tangan itulah yang menjadikan aku sekarang. Keduanya mengajarkanku menjaga adab, mengajarkan dan mengingatkanku pada Rabb. Pemilik tangan itu lebih kokoh dari seharusnya. Tanpanya, apalah artinya aku? Ya Allah, Robbanaghfirlanaa, Warhamhumma, Kama Robbayani Saghiraa. Aamiin. Surga di bawah kakimu, Mak. The End. Pekanbaru, 22 Desember 2019 Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 99
2 M 2 A Oleh: Riska Cahyati, S.Pd.I. (Guru bahasa Inggris di SMPN 35 Pekanbaru) S eperti biasanya, setiap ahad pagi aku akan sedikit sibuk di dapur membersihkan piring sisa yang kami gunakan malam tadi saat pengajian di rumah orang tuaku. Ya, setiap Sabtu malam kami ada pengajian pendalaman agama bersama ustaz hingga larut malam sehingga menyisakan tugas di pagi harinya. ”Pagi ini mama ingin makan lotek,” pinta mama dari dalam kamarnya. Tentu saja ini menambah daftar menu yang tadinya hanya makan nasi goreng di pagi ini. Untung saja aku tak sendiri, ada adik keempat yang juga menolongku di dapur. Sejak mama menderita diabetes 3 tahun lalu, sedikit banyak itu berimbas pada apa pun yang dimakan mama. Beliau tidak bisa makan seperti dulu lagi, terlebih makanan pedas karena akan langsung berdampak juga pada pencernaannya. Maka, jadilah pagi itu kami bergotong‐royong membuat sarapan. Sebenarnya tidaklah susah membuat lotek yang diinginkan mama. Campuran dari beberapa sayuran diaduk dengan bumbu kacang yang tak begitu kental dengan 2 buah cabai rawit. Sudah bisa dibayangkan rasanya yang tak begitu pedas kontras dengan lotek yang biasanya kami buat dulu. Setelah lotek mama selesai dibuat, maka barulah kami mulai 100 | Safridah Dkk
mengaduk bumbu kacang masing‐masing sesuai selera kami. Perlahan tapi pasti, akhirnya setiap orang yang ada di rumah ini menghabiskan campuran sayur berdasarkan levelnya tadi. Sementara nasi goreng yang awalnya kubuat tadi, masih tersenyum utuh berharap ada seseorang yang mau menguranginya. Melihat nasi goreng yang masih utuh, naluri mama selalu terpanggil untuk menghabiskannya. Bukan untuk dimakannya sendiri, melainkan memanggil anak‐anakku untuk segera mengulang sarapan kembali. Sayang, begitu katanya padaku. Kemudian sambil menunggu anak‐anakku makan dia akan bercerita betapa susahnya orang ke sawah untuk menanam padi hingga menjadi beras yang ada di rumah kita sekarang. Mama tahu betul bagaimana rasanya, karena seyogianya mama adalah anak seorang petani dan dia juga ke sawah untuk menolong nenek bercocok tanam. Pastilah berat, mengingat dahulunya membajak sawah dikerjakan dengan tenaga sendiri dibantu dengan sapi ataupun kerbau. Sementara sekarang, ini bisa dikerjakan dengan bantuan mesin bajak hal ini tentu saja sangat meringankan kerja petani dan juga membuat hemat waktu. Sambil mendengarkan cerita mama sesuap demi sesuap akan masuk ke mulut anak‐anakku dan itu akan mengalihkan perhatian mereka akan seberapa banyak nasi goreng yang sudah mereka habiskan. It’s work ... Untung saja adik sepupuku tiba dari Panam. Dia mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Panam yang mencoba mandiri dengan tinggal di sebuah mushala yang ada di Panam sebagai seorang garim. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 101
”Langkah kanan, Dik. Ayo, habiskan nasi gorengnya,” ujarku memerintahkan sambil mengulurkan piring dan sendok padanya. *** Orang tuaku berasal dari Lubuk Jambi. Di sini udaranya sangat segar karena masih banyak hutannya. Di sekitar rumah penduduk juga bisa dijumpai berbagai macam tanaman yang mengelilingi sebagai sumber oksigen alami bagi tubuh. Rumah nenekku sangat asri. Di depan rumahnya ada hamparan sawah yang luas membentang. Sementara tak jauh di belakang rumah nenek ada sungai Kuantan yang biasanya dipakai untuk keperluan sehari‐hari. Pekarangan rumah nenekku sangat luas dan ditumbuhi berbagai macam buah. Bila musim durian tiba, nenekku suka membuat pulut ataupun lomang untuk dimakan bersama durian. Bisa dibayangkan betapa bahagianya kami waktu mendapatkan durian yang jatuh di halaman rumah nenek dan memakannya langsung dengan pulut. Meskipun buah yang didapat tidak seberapa, tetapi kebersamaan yang penuh dengan canda tawa inilah yang menjadi kenangan kami nantinya. Tak peduli siapa pun yang menghabiskan banyak durian, kami akan berhenti dengan sendirinya bila sudah kenyang. Sambil terus bercerita dan menunggu durian yang jatuh dari pohonnya, kami menyebutnya “menggalang durian”. Kepandaian membuat pulut nenek turun pada mama, tak heran dahulunya kerabat suka memesan lomang untuk acara mereka. Lomang adalang makanan khas di daerah kami di Lubuk Jambi. Biasanya makanan pulut ini dimasak di dalam 102 | Safridah Dkk
tabung bambu yang sudah dibersihkan dan dikelilingi dengan daun pisang muda. Cara memasaknya pun memakan waktu lama, mengingat tabung lomang ini akan didiang di samping bara api hingga matang. Berbeda dengan lomang mama tak memakai bambu sebagai tempat pulutnya. Mama hanya menggunakan daun pisang untuk membungkus pulutnya lalu diikat kuat menggunakan tali rafia. Ini namanya lomang modifikasi ala mama, tetapi cara memasaknya tetap lama dengan merebusnya di dalam dandang besar dan menjaga api dan air agar tidak kering. Bila ada pesanan akan membutuhkan waktu setengah hari hingga proses membungkusnya selesai dan berakhir tengah malam hingga lomang ini jadi seperti yang diinginkan. Tetap bulat tapi tak berkerak hingga sangat enak untuk disantap. Tak hanya dengan durian saja, lomang ini juga bisa disantap dengan sarikaya ataupun tapai ketan dari pulut hitam. Dulunya ini biasanya dijumpai pada perayaan Hari Raya ataupun pesta pernikahan. *** Mama lebih suka membuat makanannya sendiri ketimbang dibeli, tentu saja ini berbanding terbalik denganku yang tak suka memasak hingga dia sanggup menceramahiku sampai berjam‐jam. Bila direnungkan lagi, semua yang dikatakan mama memang benar adanya. Bila kita yang membuat makanannya sendiri kita tahu betul bahan‐bahan yang digunakan baik untuk kesehatan kita dan hasilnya juga lebih banyak ketimbang dibeli di luar. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 103
Pernah suatu ketika aku pulang membawa kerupuk cabai yang kubeli di sekitar Jalan Diponegoro. Mama mengejekku pemalas karena ubi banyak di sekitar rumah. ”Ini mudah membuatnya. Tapi kenapa mau menghabiskan uang untuk membelinya?” ujar mama. Keesokan paginya, kudapati seonggok ubi yang sudah dibongkar papa. Mama mulai kepiawaiannya dalam memarut ubi. Tak lama tungku api sudah menyala untuk menggoreng keripik tadi dan jadilah 6 kali keripik yang kubeli dalam waktu 2 jam saja. ”Masih mau beli lagi?” tanya mama seolah‐olah mengejekku. Terdiam dalam panas aku waktu selesai menggoreng keripik itu. Aku sadar, mama hanya ingin mengajarkanku akan kebaikan. Namun, terkadang itu bisa terlepas dari pikiranku yang beranggapan bahwa mama memarahiku. Mamaku bukan tipe orang yang suka bermulut manis untuk mengungkapkan perasaannya. Terkadang dia suka meninggikan suaranya bila apa yang diperintahnya tidak sesuai dengan yang kukerjakan. Namun, dia juga bisa menangis terisak‐isak bila ada hal yang menyentuh hatinya. Berbicara padanya pun harus berhati‐hati karena bila ada yang tak bekenan dalam hatinya dia bisa dengan mudahnya tersulut emosi. Bila dia sedang menasihati, jangan sekali‐kali menentangnya dengarkan saja hingga akhirnya ia selesai bicara. Jauh dari lubuk hatinya dia tak ingin kami mubazir. Kebanyakan dia lebih memilih untuk mengajari kami dengan melakukan langsung apa yang dia contohkan. Dia akan 104 | Safridah Dkk
senang melihat kami mandiri dan dapat mengolah keuangan kami. Namun, dia akan ribut bila kami mulai banyak membawa kantong plastik pulang ke rumah meski dia tak tahu isinya apa dan baru tenang bila menunjukkan barang bawaan tadi dengan menjelaskan kegunaannya. *** Mama juga suka bertanam dari bunga hingga buah‐ buahan. Rumah orang tuaku cukup luas untuk bercocok tanam. Biasanya setiap libur kami akan bergotong royong untuk mengganti tanah, membenahi letak susunan bunga ataupun mengganti bunga yang tak lagi produktif. Biasanya kegiatan ini akan terhenti bila matahari sudah berada di atas kepala kami dan sorenya kami akan menikmati keindahannya sambil duduk minum teh di teras depan. Sambil bercerita, mama tak akan henti‐hentinya mengagumi hasil kerjanya setengah hari tadi. Ya, lelah yang terbayarkan akan ciptaan Allah yang beraneka ragam yang ada di depan kami. Untuk pemeliharaannya, biasanya bunga ini disiram setiap 2 hari sekali. Sambil menyiram pun kami juga mencabuti rumput‐rumput liar yang tumbuh di sekitar pot. Dari sini pun mama ingin mengajarkan tentang tanggung jawab dalam keindahan. Bukan hanya tahu untuk menanam saja, tapi harus dijaga dengan menyiramnya dan bunga akan bermekaran bila tercukupi nutrisi yang dibutuhkan. Begitu juga dengan buah‐buahan, bila tiba musimnya akan memberikan hasil yang luar biasa. Tak akan habis kami konsumsi sendiri. Biasanya papa akan mengantarkan ke tetangga dan juga kerabat dekat lainnya. Sedekah, itu yang selalu dikatakan papa padaku. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 105
*** Mama tak akan langsung mengatakan keinginannya padaku. Dia suka berkias dengan apa yang diinginkannya. Hal ini jugalah yang suka membuatku salah paham dengan maksudnya. Dia suka membawaku bercerita tentang apa saja dahulu sebelum benar‐benar mengutarakan keinginannya. Sembari itu aku akan memijit tubuhnya sambil mendengarkan seluruh ceritanya. Ini akan berhenti bila mama memerintahkanku melakukan sesuatu yang lain. Menghabiskan waktu bersama dengan melakukan hal kecil sudah biasa, tetapi ada saja yang membuat kami berlama‐lama duduk bersama untuk sekadar bertukar cerita. Meskipun mama tidak suka bergurau, tetapi pandangannya ke depan selalu membuatku rindu berkeluh kesah dengannya. Mendengarkan petuah yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup berumah tangga. Bagaimana dia dulu membesarkan kami 4 beradik hingga kini telah dewasa. Sayangnya mama tak terhingga, meski kini aku telah berkeluarga dan memiliki sepasang anak. Selalu mengkhawatirkan kami bila tak ada didekatnya dan akan terus bercerita tentang penghematan untuk apa saja. Karena prinsipnya, sedikit demi sedikit lama‐lama menjadi bukit. Perhatiannya tidak terkira, meskipun kini dia tak sesehat dulu kala. Yang pasti, ini saatku untuk berbakti pada orang tua. Semoga Allah meridai niat yang ada. Aamiin. *** 106 | Safridah Dkk
Malaikat Tanpa Sayap Oleh: Mia Prima Putri. S.Pd. Guru Bahasa Inggris SMP Islam Riau Global Pekanbaru M inggu pagi itu sangat cerah. Siulan burung yang bersahut‐sahutan mengalahkan suara bapak‐ bapak yang sedang bergotong royong tepat di depan rumah seorang Ibu yang akrab dipanggil Bu Yan. Sekali dalam sebulan warga kampung itu memang rutin melakukan kerja bakti. Ibu‐ibu berdatangan membawakan makanan dan minuman, sambil bercanda gurau menyiapkan makanan dan membantu Ibu‐Ibu lainnya yang berdatangan membawa makanan. Nia si sulung anak Bu Yan sudah terlebih dahulu mengantar makanan kesana. ”Assalamu’alaikum, Uni Yan.” Terdengar suara salam diiringi gedoran pintu dari luar rumah. Seorang ibu muda masuk ke rumah sambil menggendong anaknya. ”Wa’alaikumussalam. Eh Nina, apa kabar? Mari masuk,” ucap Bu Yan. Ibu muda tersebut kemudian duduk di kursi sebelah Bu Yan yang baru saja selesai sarapan dengan sepiring nasi goreng buatan anak sulungnya. ”Maaf, Ni. Sudah bertamu pagi‐pagi begini.” Ibu muda itu mulai mengutarakan maksud kedatangannya pada Bu Yan. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 107
”Iya, tidak apa‐apa, Nina,” Bu Yan menjawab sambil memberi kode kepada Nia untuk segera menyiapkan teh panas buat ibu muda yang dipanggil Kak Nina tersebut. ”Begini Uni, saya bermaksud meminjam uang untuk keperluan pengobatan si Wulan, Ni. Uda belum terima upah dari kepala tukangnya,” kata Kak Nina dengan nada memohon. ”Emangnya Nina butuh berapa?” balas Bu Yan sambil tersenyum. ”300 ribu, Uni,” jawab Kak Nina dengan nada sedikit segan. ”Kak, tolong ambilkan dompet Ibu di tas cokelat,” titah Ibu Yan kepada Nia. ”Baik, Bu.” Nia langsung bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju kamar ibu yang berada tepat di depan ruang makan. Nia mengulurkan dompet hitam bermerk Ifa dan Bu Yan langsung mengambil tiga lembar uang seratusan dari dompetnya. Lalu beliau berikan langsung kepada Kak Nina sambil mengusap kepala Wulan anaknya yang mulai merengek. Setelah itu Kak Nina pamit pulang kepada Bu Yan. Nia kemudian duduk mendekati ibunya. ”Bu, Ibu kok pinjemin uang ke Kak Nina sih, Bu? Kan Nia belum bayar uang kuliah. Kemarin Ibu bilang sudah ambil gaji pensiunan Papa tapi kan Nia tahu gaji pensiun papa itu berapa. Pasti gak bakalan cukup kalau Ibu pinjemin uangnya,” omel Nia tidak menyetujui keputusan ibunya itu. 108 | Safridah Dkk
”Nia, coba deh Nia pikir, yang lebih butuh itu siapa? Uang kuliah Nia kan Ibu bisa ambil tabungan Ibu di sekolah adek. Cukup kok,” tutur Bu Yan. ”Tapi ‘kan Bu, Tabungannya buat biaya adek kuliah,” ujar Nia masih kekeh menyayangkan keputusan ibunya itu. ”Udah ah, Ibu mau cuci piring dulu.” Bu Yan berdiri dan melangkah menuju wastafel di sudut dapur, sedangkan Nia masih cemberut duduk di kursi. Hari pun beranjak siang. Seperti biasa rutinitas Nia di hari Minggu setelah beberes rumah dan membantu ibunya memasak. Dia menghabiskan hampir setengah hari di depan televisi sambil ngemil kerupuk kulit kesukaannya. Sementara Bu Yan di depan rumah bergegas ke kebun kakao yang berada tak seberapa jauh dari rumah sambil membawa kantong besar. ”Nia, Ibu pergi ke kebun dulu, ya,” kata ibu tersebut berteriak memberi tahu Nia yang sedang asyik tertawa cekikikan di depan televisi. ”Iya, Bu. Kakak gak ikut, ya,” kata Nia sambil memperlihatkan wajahnya dari balik tirai jendela. Nia memang suka ogahan kalau diajak Ibunya ke kebun kakao peninggalan papanya itu. Selain takut ular, banyak nyamuk adalah alasan yang sering dia jadikan dalih ketika Bu Yan mengajaknya memanen kakao. Hari pun berganti pagi itu seperti biasa Nia bersiap untuk mengajar di sebuah TK yang bernama “TK Harapan” yang berlokasi tepat di depan rumahnya. Nia mengambil kerja paruh waktu sebagai guru TK tiga hari dalam seminggu. Kemudian di siang hari Nia mengikuti perkuliahan sampai Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 109
sore. Begitu juga di tiga hari lainnya dia harus kuliah dari pagi sampai sore hari. ”Selamat pagi Bu Nia,” sapa anak‐anak TK yang sudah terlebih dahulu datang ke sekolah. ”Pagi, anak‐anak,” balas Nia menyapa mereka sumringah. Anak‐anak TK itu hadir lebih awal setiap pagi karena ibu dan bapak mereka harus bekerja ke sawah dan ladang sebagai petani padi, cabai, jagung bahkan jeruk. Bu Us dan Bu Rina kemudian datang setelah Nia. Beliau adalah rekan kerja Nia yang tinggal di kota berjarak empat puluh lima menit dari sekolah. Setiap pagi Nia pasti datang lebih awal untuk mengumpulkan tabungan dari wali murid TK. Bagi orang tua anak‐anak tersebut tabungan di TK adalah wadah yang paling tepat untuk menyimpan uang karena nantinya uang tersebut akan dijadikan sebagai biaya masuk SD dan membeli keperluan sekolah lainnya seperti tas dan seragam. Jadi tidak heran kalau mereka berlomba‐lomba menabung untuk masa depan buah hatinya. Pukul 11.30 WIB Nia bersiap untuk berangkat kuliah. ”Bu, kakak berangkat dulu ya, minta jajan, dong,” seru Nia kepada Bu Yan yang tengah sibuk masak di dapur. ”Itu uangnya di atas lemari, udah Ibu siapin,” jawab Bu Yan. ”Kakak pergi ya, assalamu’alaikum,” sahut Nia lagi. ”Wa’alaikumussalam.” Bu Yan membalas. Setiap hari Bu Yan menghabiskan waktu memasak untuk dua anaknya, Nia dan Bayu. Lalu dia berberes membersihkan rumah. Bayu, adik Nia adalah murid SMA terfavorit di kota itu. Setiap pagi Bayu ke sekolah menggunakan sepeda motor 110 | Safridah Dkk
yang sebenarnya dibelikan untuk Nia untuk pergi kuliah. Tapi Nia lebih memilih menumpangi angkot karena lebih nyaman katanya. Padahal, sebenarnya alasan utamanya adalah biar Nia bisa tidur. Maklum, jarak rumah dan kampus yang memakan waktu satu setengah jam memang kerap membuat Nia mengantuk di dalam angkot. Untungnya hampir semua sopir angkot kenal sama Bu Yan dan Nia jadi tidak akan ada cerita Nia kebablasan tidur karena abang angkot pasti akan membangunkan Nia kalau Nia masih tertidur pulas sebelum melewati kampusnya. Siang itu setelah Shalat Zuhur, Odang Yasna datang ke rumah mengundang Bu Yan untuk hadir dalam acara marorak rumah gadang dan sekaligus menolong memasak untuk persiapan acara tersebut. Marorak rumah gadang adalah acara yang diselenggarakan oleh satu suku di Minangkabau untuk merobohkan rumah gadang lama yang telah reyot dan hampir roboh dan kemudian setelah itu dibangun rumah gadang yang baru tempat Niniak Mamak, Anak Kemenakan, Minantu dan Bundo Kanduang duduk bermufakat untuk suatu acara adat. ”Yeeeey, besok tanggal merah bisa tidur lama deh!” teriak Nia kegirangan. ”Nia gak berubah‐berubah, ya! Kalau tanggal merah bagusnya tuh olahraga, jangan tidur terus sampai siang. Tambah gede tuh badan entar. Besok gak ada cerita tidur lama. Besok temeni Ibu ke rumah gadangnya Dang Yasna,” kata Bu Yan yang tengah melipat baju di ruang tengah yang tidak sengaja mendengar teriakan Nia spontan menjawab. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 111
”Duh, kan kakak sekali‐kali doang, Bu bisa tidur sampe siang, biasanya juga harus bangun pagi pergi kuliah atau gak sekolah, kan kakak juga lagi period, jadi gak harus bangun subuh, hehehe, boleh ya?” rengek Nia membujuk Bu Yan. ”Gak, pokoknya besok temenin Ibu jam 9. Kak, kita sesama suku Caniago harus saling tolong menolong, berbeda suku aja harus tolong menolong apalagi satu suku sayang, wajib hukumnya.” Tutur Bu Yan kepada anak nya tersebut. “Besok pas kakak nikahan gak ada yang bantu Ibu masak gimana?” goda Bu Yan. ”Iya deh, Bu. Besok Nia temenin. Tapi banguninnya jam 8 aja ya Bu?” bujuk Nia. ”Hm,” jawab Bu Yan singkat. Keesokan harinya sebelum subuh Bu Yan sudah terbangun dan melaksanakan Shalat Tahajud. Sejak kematian suaminya beliau rutin melakukan shalat sunat Tahujud. Sesekali Nia mendapati Bu Yan berdoa sambil berurai air mata di tahajudnya. Setelah Shalat Subuh, beliau langsung mengerjakan rutinitas membersihkan rumah dan mencuci piring. Sedangkan Nia, ya ampun anak itu masih molor apalagi kalau lagi period gak bakalan bangun‐bangun kalau gak dibangunkan. ”Nia, ayo bangun! Udah jam 8 lewat, loh. Ntar kita telat. Belum lagi kamu mandi yang super duper lama,” jawab Bu Yan membangunkan Nia sambil mengguncang‐guncang tubuhnya. Namun, tak ada jawaban. Gadis itu masih tertidur lelap di atas ranjang kayu beralaskan seprai kuning bermotif bunga. 112 | Safridah Dkk
”Niaaaa, ayoook kakak kan udah janji mau temenin Ibu,” setengah berteriak Bu Yan sambil mengguncang tubuh Nia. ”Hm, iya,” jawab Nia dengan malas. ”Ayo, langsung duduk ambil handuk terus mandi,” desak Bu Yan pada Nia sambil melempar handuk ungu ke muka Nia sambil tersenyum kecil. Alhasil, handuk itu tepat mendarat di muka Nia dan berhasil membangunkan gadis itu. ”Ibu handuknya kan basah,” rengek Nia dengan wajah masih mengantuk dan mata setengah terbuka. ”Sengaja biar kakak bangun,” balas Bu Yan sambil tertawa kecil. Hubungan ibu dan anak ini memang sesekali terlihat seperti hubungan pertemanan karena Bu Yan yang ceria dan agak kekinian membuat Nia nyaman untuk bersenda gurau bahkan curhat masalah apa saja yang dia mau kepada Ibunya tersebut. ”Yuu, tolong panaskan motor, dong. Ibu sama kakak mau pergi,” titah Bu Yan kepada Bayu yang lagi menonton televisi di ruang tengah. ”Siap laksanakan!” balas Bayu, sang adik yang tumben‐ tumbenan bangun lebih awal. Bu Yan dan Nia berangkat ke Rumah Gadang Dang Yasna yang hanya berjarak sepuluh menit dari rumah. Di sana sudah ada seratusan bapak‐bapak dan laki‐laki lainnya yang tengah bekerja merobohkan Rumah Gadang suku Caniago tersebut. Ada yang membuka atapnya terlebih dulu dan ada yang merobohkan tembok belakangnya menggunakan kayu besar Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 113
yang diayunkan sekuat tenaga sehingga tembok tersebut roboh. Bu Yan dan Nia segera menuju ke dapur membantu para ibu lainnya memasak mempersiapkan makanan untuk makan siang bapak‐bapak yang tengah bekerja. Bu Yan segera mengambil pisau dan membelah mentimun menjadi dua bagian, sedangkan Nia sibuk membersihkan piring yang akan dipakai untuk makan nanti. Ibu‐ibu lainnya berbagi tugas, yang menggoreng ikan, memasak rendang, dan menggoreng kerupuk serta memasak sambalado hijau khas kampung mereka. Semua niniak mamak, anak kemenakan, dan menantu berkumpul bercanda sambil memasak dan bekerja. Suasana kekeluargaan sangat kental terasa. Bagi Bu Yan moment seperti inilah yang sangat membahagiakan karena bisa bertemu dengan keluarga serta sanak saudara. Bu Yan menatap Nia yang sedang tertawa lepas di tengah ibu‐ibu yang sedang memasak. ”Nia....Nia... Di mana‐mana pasti mudah dekat sama orang. Kalau ada yang lucu ketawanya besar sampai kedengaran ke mana‐mana,” gumam Bu Yan dalam hati. Melalui momen ini Bu Yan mengajarkan kepada Nia bahwa beginilah hidup di kampung, harus saling menolong, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Bayangkan kalau tidak ada yang bantu Dang Yasna memasak, mustahil semua makanan akan tersaji dengan cepat untuk seratusan laki‐laki tersebut, itulah the power of gotong royong. ”Kak, Kakak tanyain ke dalam gih, ada yang mau dibantuin lagi gak?” titah Bu Yan pada Nia. 114 | Safridah Dkk
”Oke, Bu,” jawab Nia sambil langsung bergerak menuju rumah di sebelah rumah gadang yang sedang dirobohkan. ”Tek, ada yang harus dikerjakan lagi gak?” tanya Nia kepada seorang ibu muda yang Nia pangil etek. ”Udah, Nia duduk aja, ini kerjaan Anak Menantu,” ucap etek tersebut sambil terus bekerja. ”Emang kenapa Nia gak boleh bantuin ini, Tek?” tanya Nia penasaran. ”Kalau urusan masukin nasi dan lauk ke piring ini kerjaan Anak Menantu, aturan adatnya gitu. Kalau Nia bantuin ntar yang ada Etek kena marah Datuak,” kata etek tersebut sambil tersenyum berusaha memberi penjelasan kepada Nia. ”Oh gitu ya tek,” angguk Nia mengerti dengan penjelasan singkat etek tersebut. Nia berajak keluar rumah menuju ke tempat Bu Yan yang sedang duduk dengan ibu‐ibu lainnya sambil berbincang‐ bincang. Nia nimbrung dan mata besarnya langsung melirik gorengan dalam piring kaca yang berada diatas meja disamping Bu Yan. ”Iya ambil,” kata Bu Yan seakan mengerti dengan isyarat mata Nia. Secepat kilat tangan Nia menyambar tahu isi yang ada dalam piring tersebut. Dia tersenyum sambil memakannya dengan lahap. ”Si Nia makaan terus kerjaannya,” teriak Ni Upiak mengejek dari belakang. ”Hehehe, Ni Upiak, pasti Uni juga mau, kan?” kata Nia menggoda Ni Upiak. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 115
”Iyalah,” tangan Ni Upiak segera menyambar tahu isi yang ada di tangan Nia kemudian berlari menjauh diikuti rengekan Nia yang mengejar Ni Upiak meminta gorengannya kembali. ”Si Upiak sama Nia gak berubah‐ubah ya, dari kecil sampai sekarang si Upiak udah jadi Emak orang masih aja suka jahilin Nia,” celetuk Bu Yan dan Ibu lainnya. Hari itu Bu Yan mengajarkan satu hal kepada Nia bahwa sesuatu yang berat jika dikerjakan bersama akan terasa ringan dan sesama manusia harus saling menolong, bergotong royong. Keesokoan harinya. Di kampus, banyak mahasiswa berebutan melihat selebaran yang ditempel di mading kampus, rasa penasaran pun menggerogoti dirinya. Dengan tubuuh besarnya dia berjalan membelah kerumunan orang di depan mading. Nia terkaget melihat namanya ada di daftar mahasiswa yang tidak bisa mmengkuti PPL karena belum bayar uang kuliah. ”Waduh, gimana nih? Ibu sudah punya uang belum ya buat bayar SPP kakak?” gumam Nina dalam hati. Nia melirik jam tangan kulit dipergelangan tangan kirinya. “Sudah jam 03.00 sore aja nih, it’s time to go home.” Batinnya. Sesampainya di rumah, Nia memberi salam. Namun, tak ada jawaban dari dalam rumah. Nia mencari Ibunya ke dapur, ke kamar, dan ke kamar mandi. Namun, dia tak kunjung menemukan ibunya tersebut. Nia berinisiatif untuk mencari ibunya ke warung dekat rumah dan Bu Yan juga tidak ada di sana. Lalu Nia bertanya kepada Mak Isus teman Bu Yan tentang keberadaan ibunya. 116 | Safridah Dkk
”Mak, Mamak lihat ibu gak?” Mak Isus yang sedang menjemur pakaian menoleh ke belakang. ”Ibu Nia lagi ke rumah nenek. Katanya mau minta buah nangka buat gulai lontong besok,” jawab Mak Isus. ”Buat lontong untuk apa, Mak?” tanya Nia ke Mak Isus lagi. ”Nanti malam keluarga almarhum papa Nia yang dari Bengkulu akan datang mau ziarah ke makam papa. Jadi, ibu mau masak lontong buat mereka sarapan besok pagi,” ucap Mak Isus. ”Oow ya udah makasih ya, Mak,” sahut Nia meninggalkan Mak Isus. Lalu, dia melihat Bu Yan berjalan menuju rumah sambil menjinjing buah nangka besar berwarna hijau muda. ”Eh, anak Ibu udah pulang,” kata Bu Yan spontan setelah melihat Nia menghampirinya. ”Bu, Ibu ngapain sih repot‐repot nyiapin makanan buat keluarga Papa yang di Bengkulu, Ibu kan tahu sendiri mereka itu memperlakukan Ibu seperti apa selama ini? Apalagi setelah Papa meninggal,” ujar Nia protes kepada Ibunya. ”Gak papa Kak, mereka itu datang mau ziarah. Kan gak salah kalau Ibu menyiapkan masakan buat mereka?” ucap Bu Yan menasehati. ”Kakak tuh ya Bu, kalau bayangin perlakuan mereka sama Ibu. Kakak gak bisa maafin pokoknya,” omel Nia yang masih tidak terima dengan penjelasan ibunya. ”Nia dengar Ibu ya, kalau kita perlakukan mereka sama apa bedanya kita sama mereka? Api itu dibalas dengan air, api jangan dibalas api ntar malah tambah gede apinya. Yang Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 117
berlalu biar aja berlalu. Ibu udah maafin kok,” petuah Bu Yan kepada Nia. ”Iya deh Bu, Ibu aja udah maafin. Apalah daya Nia ini.” Nia memeluk ibunya dan mereka pun saling berpelukan. ”Oh iya jadi lupa. Nia mau tanya Ibu udah dapat uang untuk nambahin uang kuliah Nia belum?” Nia mendongakkan kepala ke wajah ibunya. ”Udah dong,” jawab Bu Yan pasti. ”Ibu udah ambil tabungan adik?” tanya Nia heran. ”Gak, Om Ucok yang di Pekanbaru kirim uang buat Ibu satu juta baru tadi pagi ditransfer,” jawab Bu Yan. ”Alhamdulillah.” Ibu dan anak itu serentak mengucap syukur. ”Ibu kan udah bilang kalau kita berbuat baik sama orang, Allah pasti akan memberikan jalan buat kita. Kak Nina kan tempo hari cuma pinjam 300 ribu dan Allah kasih Ibu satu juta lewat Om Ucok,” ucap ibu sambil menggosok‐gosok kepala Nia. ”Iya, Bu, Nia belajar banyaak banget dari Ibu. Mulai dari kejadian Kak Nina, rumah gadang, dan keluarga Papa, Nia beruntung banget punya malaikat seperti Ibu.” ”Mulai deh gombalnya keluar,” ujar Bu Yan sambil tertawa bersama anak gadisnya itu. Sejak hari itu Bu Yan terlihat bak malaikat tak bersayap bagi Nia semua yang Bu Yan lakukan akan menjadi pelajaran berharga buat Nia. My mom turns out to be an angel. Nia bergumam dalam hati berdecak kagum kepada ibunya. *** 118 | Safridah Dkk
Profil Pengarang Dia bernama Safridah. Dia dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1977 di Kuok, Kabupaten Kampar, Riau. Dia adalah anak kedua di antara tujuh bersaudara dari pasangan A.Muas Syarif dan Yusraini Ibrahim. Dia bekerja sebagai guru bahasa Inggris di MTsN 3 Pekanbaru sejak tahun 2015 sampai sekarang. Dia memiliki hobi menulis puisi dan cerpen. Setelah menyelesaikan pendidikan S‐1 di Universitas Riau tahun 2000 dia melanjutkan kuliah S‐2 di Universitas Negeri Padang jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2013, Selain mengajar, dia aktif sebagai fasilitator daerah pembelajaran Bahasa Inggris Program Pintar Riau Tanoto Foundation untuk wilayah Kota Pekanbaru sejak tahun 2018 sampai sekarang. Sejak Oktober 2018 dia mulai mengikuti beberapa workshop literasi. Pada tahun 2019 dia menghasilkan beberapa karya tulis, di antaranya: buku kumpulan puisi berjudul “Untaian Kata di Akhir” (karya perdana), “Romantika Jiwa”, “Puisi Pelangi Nusantara” dan “Jantung Kata” (Sehimpun Sonian). Setelah itu dalam jejaring sosial bersama siswa‐siswinya menghasilkan antologi cerpen yang berjudul “Merangkai Alinea Putih Dongker Milenial” dan bersama teman‐teman guru menghasilan beberapa buku Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 119
antologi yang berjudul “Kartini Milenial”, “Ramadhan Bersama Anak dan Cerita Kemerdekaan”. Moto hidupnya: Belajar dari orang‐orang hebat adalah sebuah anugerah dalam berkarya dan mencapai prestasi. Dia bisa dihubungi via 081371172262 (WA). *** Eka Septrina, S.Pd. dilahirkan di sebuah desa yang bernama Jopang Manganti, Kec. Mungka, Kab. 50 Kota, Sumbar pada tanggal 19 September 1982. Dia menempuh pendidikan S‐1 di bumi lancang kuning tepatnya Universitas Riau Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris tahun 2002 dan tamat pada tahun 2006. Dia pernah mengajar di MTs Darul Hikmah Pekanbaru (2005 ‐ 2010), SMK Darel Hikmah Pekanbaru (2005 ‐ 2010), SMPN 4 Rangsang Kab. Kepulauan Meranti (2010 ‐ 2016), SMPN 33 Pekanbaru (2016 ‐ 2017). Dari tahun 2017 hingga sekarang dia menjadi salah seorang guru bahasa Inggris di SMPN 42 Pekanbaru. Cerpen ini merupakan tulisan kedua penulis, setelah menulis sebuah cerpen bilingual yang berjudul “Dia yang Terabaikan” bersama teman‐teman MGMP Bahasa Inggris SMP Kota Pekanbaru dalam antologi “Catatan Indah di Kanvas Hati”. Cerpen keduanya didedikasikan untuk teman masa kecilnya, Yane Siska, yang disayang Allah sehingga 120 | Safridah Dkk
dijemput‐Nya di usia yang masih muda, 31 tahun, di pengujung tahun 2013 silam. Semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi‐Nya. Dia berharap ke depannya bisa menghasilkan karya‐karya lainnya. Bila ingin berkomunikasi, dia dapat dihubungi via nomor 081365643969 (WA). Moto: Apa yang dibuat itu yang dituai, maka selalulah berusaha berbuat yang terbaik. *** Neneng Arisandi, S.Pd. lahir tanggal 20 Mei 1987 di Payakumbuh Kabupaten 50 Kota, Sumatra Barat. Dia anak keempat di antara empat bersaudara. Dia bekerja sebagai guru bahasa Inggris di SMPS Tuah Negeri Pekanbaru sejak tahun 2016. Ketika berumur 7 tahun, dia memulai pendidikan di SDN 22 Sei, Belantik, Payakumbuh. Kemudian setelah lulus dia melanjutkan pendidikannya di SMPN 1 Sariak Laweh, Payakumbuh. Selepas lulus dari SMP di tahun 2003, dia mengikuti kakak sepupunya tinggal di Kota Perawang, Riau dan melanjutkan pendidikannya di SMA N 1 Tualang, Kota Perawang Kabupaten Siak. Ketika menginjak kelas X SMA, dia aktif di bidang olahraga bola basket. Dia tergabung di Vini Vidi Vici Basketball Club dari PT. IKPP Perawang yang sudah mengikuti banyak pertandingan. Selain itu, dia juga aktif dalam berbagai kegiatan organisasi di Kota Perawang. Dia tergabung dalam Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 121
organisasi KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) tahun 2009 sebagai seksi kemasyarakatan. Setelah tamat dari SMA dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Lancang Kuning, Kota Pekanbaru mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan menyelesaikan perkuliahannya di tahun 2013. Pada tahun 2019 dia mencoba ikut menulis cerpen dalam memperingati Hari Ibu bersama teman‐temannya dari MGMP Bahasa Inggris Pekanbaru yang menghasilkan karya buku yang berjudul “Nadi Asa Emak”. Moto: ‐ Carilah Orang‐orang yang menginspirasi! ‐ Belajar dari orang orang hebat adalah sebuah anugerah dalam berkarya dan mencapai prestasi. Bila ingin berkomunikasi, penulis dapat dihubungi via 081276070102 atau 081371172262 (WA) dan @bunda.shahia (Instagram). *** Daris Kandadestra adalah nama pena Dedi Saputra. Dia lahir di Enok, Indragiri Hilir‐Riau pada 12 Juli 1984. Setelah lulus dari Universitas Riau tahun 2007. Dia mengajar di beberapa institusi. Tahun 2008 dia pernah membaktikan dirinya di SDIT Al Fityah Pekanbaru. Tahun 2016 ‐ 2017 dia mengajar di MAS Al Ikhlas Sungai Guntung, Inhil dan 122 | Safridah Dkk
di SMK Al Ikhlas desa Air Tawar Inhil. Sebelumnya dia pernah mengajar sebagai dosen pada program studi pendidikan bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Indragiri di Tembilahan, Inhil Riau (2009 ‐ 2013). Tulisannya pernah meraih juara ke‐2 pada lomba menulis artikel memperingati Hari Kartini dengan judul “Perempuan Dulu, Kini dan Nanti” yang diadakan oleh PT. Riau Robbani tahun 2005. Dia memperoleh kesempatan menjadi juri pada British Parliemantary Debate Kopertis Wilayah X tahun 2010 serta peserta pada the first Biennial Language and Education Development Conference (LED Conference) tahun 2014 dan peserta Gerakan Indonesia Menulis tahun 2015. Karyanya pernah dimuat dalam Antologi Puisi Rindu tahun 2019. Alumni program studi bahasa Inggris FKIP Universitas Riau ini pernah mengikuti program magister di Universitas Negeri Padang tahun 2010 meski sempat vakum dari aktivitas pendidikan hampir 2 tahun lamanya. Kini laki‐laki yang biasa dipanggil Dedi ini kembali berkiprah dalam dunia pendidikan dengan mengajar di SMP Islam Terpadu Al Fityah Pekanbaru. *** Pria kelahiran Sumatra Utara pada tanggal 26 Oktober 1981 ini bernama Tengku Muhammad Hanafi Mustafa. Dia merupakan keturunan asli Melayu yang termasuk mahasiswa berprestasi di kampusnya. Pada tahun 2003, dia menorehkan prestasi yang gemilang sebagai pemenang III mahasiswa Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 123
berprestasi tingkat Universitas Riau, dengan esai yang berjudul “Pendekatan Learner Centre untuk Pembelajaran Bahasa Inggris yang Aktif dan Menyenangkan”. Kemudian, prestasi tersebut berlanjut sebagai pemuncak 1 tingkat Universitas Riau pada acara wisuda dengan waktu studi tersingkat yaitu 3,5 tahun dengan IPK cum laude 3,72. Tahun 2006, dia mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan magister bahasa Inggris di Universitas Negeri Padang dan mampu menyelesaikan studi S‐2nya dengan waktu 1,5 tahun dengan IPK cum laude 3,78. Pada tahun 2006, dia membuat karya tulisnya di jurnal UIR dengan judul “Teaching Extensive Reading for Large Class of FKIP UIR”. Banyak suka duka dan asam garam yang telah dilaluinya sebagai guru honor, dosen luar biasa, dosen kontrak, instruktur, dan akhirnya bisa mencapai cita‐citanya seperti sekarang. Pengalaman dijadikannya sebagai guru yang paling terbaik dalam hidup dan sebagai motivasi terbesar untuk mewujudkan hal Impossible menjadi I’m Possible. Hingga kini penulis masih aktif sebagai dosen di Universitas Riau, Pekanbaru. Moto hidupnya: Man Jadda Wa Jada (Siapa yang bersungguh‐sungguh, dia akan berhasil). Dia dapat dihubungi melalui 082170005549 (WA) atau [email protected] (surel). *** 124 | Safridah Dkk
Orang lain bisa, aku juga harus bisa. Inilah moto yang selalu didengung‐ dengungkan oleh seorang pria dengan lama lengkap Wahyu Arif, yang lahir di dekat sebuah danau nan indah melewati 44 kelok tepatnya di Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada tanggal 28 Agustus 1985. Dia sekarang mengajar bahasa Inggris di SMP Dharma Loka Pekanbaru sejak tahun 2015. Dia juga aktif dalam MGMP bahasa Inggris SMP se‐Kota Pekanbaru. Dia menjadi sekretaris dalam Ikatan Keluarga Salareh Aia (IKSA) Riau. Dia dibesarkan di sebuah desa kecil Koto Alam, Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Baginya “nenekku pahlawanku.” Petuah nenek yang paling diingat adalah “Jaga shalatmu, maka Allah akan menjagamu.” Dia lulusan STAIN Sjech M. Djamil Djambek, Bukittinggi dengan program studi Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2012. Dia pernah menjadi News Anchor selama dua tahun di Riau TV sejak tahun 2015 ‐ 2016. Dia adalah anak ke‐4 dari 6 bersaudara. Dia sangat senang bila diajak berbicara tentang sastra terutama tentang puisi, cerpen, dan novel. Dia hobi traveling karena menurutnya dengan traveling kita bisa bertemu orang baru dan suasana baru yang bisa menambah ilmu dan wawasan kita. Bila ingin bersilaturahmi, dia bisa dihubungi melalui 085274883210 (WA), Arif Zanielgo (Instagram), Arif Zanielgo (Youtube), dan Arif Romero Zanielgo (Facebook). Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 125
Marlina dilahirkan di Lirik, Indragiri Hulu ‐ Riau pada tanggal 20 Agustus 1966. Ayahnya bernama Armansyah dan ibunya bernama Saniwar. Dia adalah anak kedua di antara 9 bersaudara. Setelah menamatkan sekolahnya di SMPN Lirik, dia melanjutkan pendidikannya di SPG YPW Bhakti Pertiwi Rengat pada tahun 1982. Sejak kecil dia sudah bercita‐cita menjadi seorang guru. Maka dia melakoni masa sekolahnya di SPG dengan sukacita dengan selalu menjadi juara umum selama 6 semester. Ketika tamat SPG pada tahun 1985 dia sudah membayangkan betapa menyenangkannya akan segera menjadi guru. Tapi dia harus menahan keinginannya karena pada waktu itu ada aturan yang mengharuskan peringkat 1 s.d 10 harus melanjutkan pendidikan dan tidak boleh melamar jadi guru. Bahasa Inggris menjadi pilihannya karena waktu itu dia berpikir itu akan menjadi jendela untuk melihat dunia dan Universitas Riau mewujudkan impiannya. Sekarang dia mengabdikan dirinya sebagai Pendidik di SMPN MADANI Pekanbaru, sebuah Boarding School yang mensyaratkan lulusannya hafiz 15 juz. Dia aktif di Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris Kota Pekanbaru. Sejak Oktober 2018 dia dipercaya untuk menjabat sebagai ketua MGMP tersebut. Dia merupakan salah seorang Instruktur Bahasa Inggris di Kota Pekanbaru. Tugas tambahan yang diembankan kepadanya sejak tahun 2000 itu dilaksanakannya dengan penuh bahagia 126 | Safridah Dkk
karena tugas itu mengantarkannya menjelajahi banyak kota di Provinsi Riau. Di samping sebagai Instruktur untuk Pendampingan Kurikulum 13 SMP mata pelajaran Bahasa Inggris, dia juga merupakan Instruktur Nasional (IN) pada Program Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Meskipun tugas ini berat, dia bersyukur dapat terlibat pada program ini. Program ini membuatnya mendapatkan ilmu yang sangat banyak. Dia juga mengelana ke beberapa kota besar untuk Program Penyegaran IN dan bertemu teman‐teman baru dari provinsi lain. Buku ini adalah antologi cerpan ketujuhnya, setelah Momentum Of Lebaran (MOL), Kartini Milenial, Hati yang Selalu Tertuntun dan Kampung Akhirat yang sudah terbit dan Orang‐ Orang Cemerlang yang akan segera terbit, serta Catatan Indah di Kanvas Hati a bilingual anthology yang sedang dalam proses penerbitan. Mampu menulis adalah merupakan impiannya yang menjadi nyata. Impian yang dia anggap mustahil pada awalnya. Kemauan, kerja keras dan dukungan dari orang‐ orang tersayang, akhirnya mampu mewujudkan impiannya itu. *** Ilmawati, wanita kelahiran Ludai Kampar Kiri Hulu 03 September 1989. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Islam Riau jurusan pendidikan bahasa Inggris pada tahun 2012, perempuan yang akrab dipanggil Ilma ini mengisi Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 127
waktunya dengan mengajar les di English Corner dan beberapa tempat bimbel lainnya. Saat ini dia bekerja sebagai guru bahasa Inggris di SMP Islam Riau Global terpadu Pekanbaru. Sejak mengajar di sekolah ini pada tahun 2013 sampai saat ini, perempuan dengan hobi membaca ini mulai ada ketertarikan dalam menulis buku diary terkait murid‐muridnya. Namun, tidak pernah dia tuangkan dalam bentuk tulisan nyata. Di tahun 2019 ini, dia disemangati oleh salah satu partner kerjanya di Tanoto Foundation untuk menulis dan berkarya. Mereka sudah bersama sebagai Fasilitator Daerah dari tahun 2018 sampai sekarang. Perempuan yang terlihat selalu energik ini juga aktif di kegiatan forum MGMP Bahasa Inggris SMP Kota Pekanbaru. Forum ini juga menjadi salah satu motivasinya untuk menulis. Melihat anggota lainnya on fire dan berlomba‐lomba dalam menulis, memicunya untuk menyelesaikan tulisannya. Ini adalah cerpen yang ditulis di sela‐sela kesibukannya mengajar di sekolah dan memfasilitasi pelatihan praktik baik program pintar yang ditaja oleh Tanoto Foundation. *** Agustrianita lahir di Air Molek, 07 Agustus 1983. Anak ketiga di antara lima saudara. Dia pernah kuliah S‐1 di Universitas Riau (UNRI) dan S‐2 di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Dia menjadi guru sejak tahun 2005 sampai sekarang. Dia 128 | Safridah Dkk
sudah mulai menulis sejak di SMP. Dia sering mencurahkan pengalamannya dalam sebuah diari. Dia termotivasi untuk menulis setelah ikut salah satu komunitas menulis online dan komunitas guru menulis di kotanya. Selain itu, dia salah satu instruktur perwakilan Riau pada Virtual Coordinator Training Program SEAMEO Kemdikbud RI. Dia bercita‐cita akan membuat sebuah karya berupa novel dan buku solo yang nantinya akan diterbitkan. Penulis bisa dihubungi melalui [email protected] (surel). *** “Love what you do, Do what you Love.” Dia seorang gadis keturunan Jawa bernama Umi Salamah, S.Pd. Dia memegang prinsip mencintai apa yang dikerjakan dan mengerjakan apa yang dicintai. Dia dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga sederhana, pasangan Abu Jamil dan Sudinah di Cilacap, pada tanggal 18 November 1991. Dia lahir dan tumbuh mandiri di sebuah desa pinggiran pantai Widara Payung‐Ketapang. Dia memiliki seorang abang yang bernama Sudiastono. Dia hanyalah seorang petani biasa. Dia juga memiliki seorang adik perempuan atlet dayung Indragiri Hilir bernama Diyah Safitri, S.Pd. Dia merupakan lulusan SDN 1 Sidaurip, SMPN 1 Binangun, SMKN 1 Kempas dan Universitas Riau. Dia merupakan Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 129
alumnus bahasa Inggris dan mulai mengajar di SMPIT Bunayya Pekanbaru sejak 2016. Sejak kecil dia sudah menyukai membaca dan menulis cerita, puisi, dan naskah sastra. Sejak SD dia sudah aktif di berbagai kegiatan. Tidak hanya aktif di kegiatan formal sekolah, tetapi juga mengikuti organisasi nonformal. Dia bermimpi menjadi seorang guru yang menginspirasi peserta didik untuk menjadi generasi yang bertakwa. *** Riska Cahyati, S.Pd.I. kelahiran 17 September 1985 di Pekanbaru, Riau. Dia bekerja sebagai guru bahasa Inggris di SMPN 35 Pekanbaru sejak tahun 2015 sampai sekarang. Dia memiliki hobi baru yaitu menulis cerpen atau esai.Dia pernah kuliah S‐1 di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim RIAU Jurusan Pendidikan bahasa Inggris hingga tahun 2008. Tahun 2019 dia menghasilkan karya tulis berupa antologi “Pelangi dalam Baskom” bersama siswa‐siswa SMPN 35 Pekanbaru. Motonya: Setiap kejadian dapat dibagikan dalam tulisan. Dia dapat dihubungi via 081365267808 (WA). *** 130 | Safridah Dkk
Mia Prima Putri lahir di Kota Bukittinggi 08 Juli 1991. Dia adalah anak pertama dari dua bersaudara. Sejak kepergian ayah tercinta dia tumbuh menjadi seorang perempuan yang kuat dan mandiri. Ibunya adalah wanita yang paling menginspirasi dirinya untuk selalu bersyukur dan berusaha menjalani hidup sebaik‐baiknya. “Do the best, and let Allah do the rest” mungkin adalah moto hidup yang sangat cocok dengan kehidupan yang dia jalani selama ini. Perempuan asal Payakumbuh, Sumatra Barat yang memutuskan hijrah pada awal 2015 ke Kota Pekanbaru ini, sebelumnya pernah bekerja di sebuah program pemerintah untuk masyarakat daerah pedesaan PNPM Mandiri sebagai seorang OC (operating committee) memfasilitasi kader‐kader desa untuk ikut andil dalam pembangunan sarana dan prasarana di kampungnya dan pada saat bersamaan menjadi guru Taman Kanak‐Kanak sambil kuliah pada 2012‐2014 lalu. Kemudian dia diterima di Islamic School of Riau Global Terpadu (IRGT School) Pekanbaru dan pada awal 2016 dimutasi ke sebuah sekolah mitra SMP Islam Terpadu Assyfa yang berada di Kota Perawang, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Tahun 2018 dia kembali bergabung dengan IRGT School. Terhitung Juli lalu dia telah tergabung sebagai anggota aktif dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris Kota Pekanbaru. Forum inilah yang memotivasinya untuk memulai menulis antologi cerpen berisi pengalaman singkat yang dimiliki selama menjadi guru dan pendidik. Bagi Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 131
sahabat yang ingin bersilaturahmi, dengan senang hati dia menerima dengan tangan terbuka melalui Mia Prima Putry (FB) dan @mia.putry (Instagram). *** 132 | Safridah Dkk
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148