”Putra, sudah siang, istirahat lagi. Kita makan siang dulu,” ajak ayah. ”Oke, Bos.” Mamak tersenyum melihatku. Kakak juga ikut tersenyum. Aku dan kakak memang dekat. Sebenarnya kami punya seorang abang lagi. Tapi sejak kecil dia ikut bibi, adik mamak. Karena bibi belum dikaruniai anak jadi abang sudah dianggap anak mereka. Otomatis aku hanya bersama kakak saja. Ayah terlihat gagah berjalan. Perut mulai terasa lapar. Mereka pun kembali ke pondok untuk istirahat. Ayah tampak mengibaskan topinya mencoba mengusir hawa panas yang mulai menyengat. Emak menghidangkan teh hangat dari termos. Asap mengepul bersama nikmatnya aroma harum teh. Ayah segera menghirup dengan nikmat. Ibu membuka rantang yang dia bawa dari rumah. Ada gangan bakaruh, tumis sulur keladi, ikan asin bakar serta sambal rawit. Semuanya menerbitkan selera. Sementara nasi yang masih hangat, emak memasukkannya ke dalam termos es yang tutupnya dilapisi kain serbet agar uap nasi tak keluar. Mereka makan dengan nikmat. Udara panas dengan angin semilir yang datang sesekali membuat suasana menjadi makin nikmat. Ditambah dengan hal terpenting yakni bersyukur atas segala nikmat yang diberikan‐Nya. *** Aku selalu rindu padanya. Rindu mengenang saat‐saat bersamamu mengalir bersama air mata rinduku menganak sungai mengisyaratkan hati yang begitu merindukanmu. Dalam kesendirian dan keheningan jiwa, tak lagi kudengar obrolan ringanmu yang sederhana tapi penuh makna. Atau Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 37
saat dia bertanya,” Sudahkan kau “membaca” firman‐Nya hari ini, Nak?” Rumah kayu sederhana kami menjadi tempat mengaji bagi anak‐anak di kampung ini. Meski bukan magrib mengaji namanya. Tapi bakda asar mengingat malam hari berisiko bagi anak‐anak untuk keluar rumah. Aku dan kakakku ikut pula mengaji. Sarah telah mampu membaca Al‐Qur’an kecil. Sementara aku lebih banyak meniru dan melafazkan ulang apa yang dia dengar. Mamak tak pernah memperkenalkan dirinya sebagai guru ngaji. Mamak tak pernah menolak saat ada orang yang datang untuk belajar mengaji. Sampai akhir hayat emak masih terus mengajar anak‐anak tetangga mengaji. Mengajarkan anak‐anak membaca Al‐Qur’an al karim. Mamak sudah bisa mengaji dari kecil. Kakekku sangat disiplin dalam hal mengajarkan anak‐anaknya mengaji. Menurut mamak waktu subuh semua harus sudah bangun dan setelah shalat semua harus mengaji. Demikian pula setiap selesai Shalat Magrib. Jangan dibayangkan malam hari terang benderang seperti saat ini. Penerangan di zaman itu adalah lampu minyak tanah. Aku pun sempat mengalami pengalaman belajar dengan lampu minyak sampai kira‐kira aku kelas 3 sekolah dasar. ”Mak, kenapa harus bisa ngaji?” tanyaku. ”Adek butuh makan?” tanya mak. ”Iya,” jawabku. ”Kau tak makan?” tanya mak lagi. ”Matilah,” jawabku spontan. ”Nah, demikian pula dengan iman kita. Al‐Qur’an ini adalah firman Allah. Kita harus beriman pada Al‐Qur’an. 38 | Safridah Dkk
”Iman kawanku anak Cik Daud, Mak?” tanyaku heran. ”Bukan Adek,” potong kakak. Mamak tersenyum. ”Iman kepada Al‐Qur’an adalah rukun dalam ajaran agama Islam. Artinya mempercayai kebenaran isi Al‐Qur’an ini. Nah, untuk itu kita harus bisa baca Al‐Qur’an. ”Nanti kalau kakak dan adek sudah dewasa, maka ajarkanlah ke anak‐anak di sekitar rumahmu mengaji. Semoga itu menjadi amal jariah yang baik bagimu,” jelas mamak. Mamak masih terus mengajar anak‐anak mengaji di sekitar rumah saat kami pindah ke kecamatan. Bahkan saat‐ saat terakhirnya mamak masih mengajarkan anak‐anak di sekitar rumah kami. Mamak selalu menanyakan padaku,” Sudah ngaji, Nak?”. Apalagi saat Ramadhan. Aku dan mamak berlomba untuk duluan khatam. Pernah suatu ketika ketika aku saat itu sudah kuliah dan aku yakin saat itu bacaanku sudah lebih jauh dari mamak. ”Mamak, aku dah khatam,” kataku bangga. ”Mamak baru juz 2,” jawab mamak. ”Sibuk ya, Mak?” tanyaku. ”Tidaklah, mamak seperti biasa di rumah. Ngajar anak‐ anak, masak. Alhamdulillah, ini juz 2 untuk khatam yang ke‐3 Ramadhan ini. Semangat lagi, ya. Ini sudah puasa ke‐20,” ujar mamak menekankan intonasi suaranya. Aku terkejut dan malu luar biasa. ”Iya, Mak. Ah, Mamak, aku malu.” *** Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 39
Emak biasa membangunkan kami setelah semua makanan siap disantap sahur. Entah jam berapa mak bangun untuk mempersiapkan semuanya. Mengingat masa kecil dulu tak ada peralatan listrik yang ada dapur anglo untuk menyalakannya perlu ketelatenan. Menjelang Ramadhan, ayah biasa mengajakku membuar arang. Arang akan digunakan selama Ramadhan agar lebih memudahkan mak memasak. Jika musim panen kelapa, maka bahan tempurung kelapa yang dibakar menjadi arang. Namun, jika tidak ada, maka ayah akan mengajakku mencari kayu tumu besar (sejenis bakau) untuk ditebang dan dijadikan arang. Aku dan ayah menyusuri tepi sungai sambil melihat‐lihat kayu tumu yang akan kami tebang. Kami harus hati‐hati saat melewati tepian bakau karena ada bnyak bahaya di sana mulai dari ular bakau sampai lebah yang bersarang. Ayah juga membawa drum besi kosong yang akan kami gunakan untuk pembuatan arang nantinya. Penggunaan drum membuat arang yang dihasilkan berkualitas dan utuh. Bisa memakan waktu seharian sampai arang dapat dibawa pulang. Selain persiapan tersebut, Ramadhan juga menjadi sangat berarti bagiku, karena akan ada kue saat berbuka puasa. Suatu tradisi di kampungku saat Ramadhan adalah saling berhantar takjil ke rumah tetangga. Semakin banyak hantaran kue tetangga semaikn beragam dapat hantarannya. Emak tak terlalu pandai membuat kue‐kue cake atau bolu atau puding, dll. Bahkan bunda, adik mak sampai menuliskan sebuah buku khusus resep membuat kue untuk emak. Tapi, kue buatan emak paling enak sedunia. Kue tradisional buatan emak seperti dadar gulung, martabak pisang, pais pisang, dan 40 | Safridah Dkk
pulut serundeng semua kesukaanku. Untuk minuman, air kelapa muda dicampur dengan nenas yang diparut halus kemudian diberi daun jeruk untuk menambah aroma. Tak perlu ditambah es batu. Karena aku punya cara unik yang kudapat dari temanku untuk membuat air menjadi dingin. Aku memasukkan air ke dalam plastik bening. Mengikatnya erat dengan karet lalu membenamkannya ke dalam lumpur seharian. Sorenya air akan dingin. Entah dari mana kawanku itu mendapatkan cara tersebut. Jarang sekali kami berbuka dengan sirop selain harganya mahal dan juga kami lebih memilih sirop untuk disajikan saat lebaran. Aku pun tak suka karena aku merasakan sakit di tenggorokan setelah meminumnya. Sementara minuman soda aku juga tak suka karena kandungan gas karbonat sangat tak nyaman di perutku. Saat aku remaja, mak selalu membangunkanku terlebih dulu untuk menemaninya di dapur. Mak cukup memangil namaku pelan maka aku akan terbangun. Aku membenarkan bahwa alarm paling ampuh adalah suara ibu. Sayang aku tak sempat merekam suara mamak untuk menemaniku saat aku rindu. Subuh dini hari itu entah Ramadhan yang keberapa dan tahun berapa akau tak lagi ingat. Saat itu kira‐kira jam tiga. ”Putra, bangun.” Sebuah suara yang sangat aku kenal. ”Sudah jam tiga. Siap‐siap lagi sahur,” ujar mak. ”Makan apa Mak sahur nih?” tanyaku masih terkantuk. Mak tersenyum. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 41
”Bangunlah dulu, temani Mak di dapur.” Mak berlalu. Aku bangkit berjalan sempoyongan. Berjalan ke dapur dan menarik kursi plastik yang umurnya aku kira sudah sepuluh tahun tapi masih kuat juga. Ya, syaratnya jangan dijemur dan dihujankan maka kursi plastik akan tahan lama. Biasanya aku hanya duduk terkantuk‐kantuk di kursi menunggu emak menyuruhku melakukan sesuatu. Setelah semua siap, maka mak menyuruhku membangunkan ayah dan adik‐adikku. Barulah kami sahur bersama. Subuh itu mak masak sup ayam, dengan wortel dan kentang. Sup buatan mak memang sangat berbeda. Apalagi sup keladinya. Entah apa bumbu yang dia tambahkan sehingga sangat enak. Masakan yang sangat mirip dengan masakan mamak adalah masakan bibiku, adik mamak. Baik itu sup keladi atau rendang udang dan gangan bakarohnya. Sama persis rasa dan teksturnya. Memang mereka berdua sangat dekat. Sepeninggal nenek dan kakek menikah bibi tinggal bersama dengan mak yang saat itu sudah menikah. Memang aku akui kedekatan keluarga mak memang sangat akrab dibandingkan dengan keluarga ayah. Saat liburan misalnya, aku dan kakak akan memilih berlibur ke rumah keluarga mak. Meskipun juga ke rumah keluarga ayah tapi menginapnya pasti ke rumah keluarga mak. Saat berbuka puasa menjadi salah satu waktu yang sangat indah. Mamak tak begitu pandai membuat kue. Hanya beberapa jenis kue saja yang mak bisa. Bahkan mamak tak pandai membuat kue gembung yang naik adoannnya bahkan cenderung bantat begitu juga roti buatan mak. Tapi kue tersebut adalah kesukaan ayah. Ayah akan makan dengan 42 | Safridah Dkk
lahap kue buatan mak tak bersisa. Kata ayah kue buatan mak ini tak ada duanya. Tak ada rasa yang sama dengan kue buatan mak. Ayah tidak suka makan kue yang berwarna‐ warni. Jadi, mak tak menggunakan pewarna. Hanya wakna asli dari bahan‐bahan yang digunakana untuk membuat kue teresebut. Sementara aku paling suka kue martabak pisang buatan mak. Mak memilih pisang yang sudah sangat masak sehingga saat dibuat isi martabak akan membentuk karamel ketika dimasak bersama gula putih. Kulit martabaknya pun yang tipis sehingga tak terasa benar tepungnya. Jadi, mamak tak pandai membuat kue yang beraneka macam. Mak hanya membuat beberapa kue saja yang menjadi kegemaran kami. Bibiku ada membuatkan satu buku khusus tentang resep kue. Dia tulis dengan tangan, dan di covernya tertulis: “Untuk kandaku, semoga bermanfaat. Adik yang peduli dengan kakaknya. Ya, dia tahu kakak tak begitu pandai membuat kue. Jadi, dia tuliskan itu untuknya. Mamak memang tak begitu pandai membuat aneka kue. Tapi kue yang dia bisa buat adalah kue terbaik dan terlezat yang pernah kurasakan. Sampai saat ini, sampai kapan pun. Takkan ada kue lezat yang bisa menandingi kue dan masakan mamak. Kenangan tentang mamak sungguh tak dapat terhapus. Setiap detailnya tersemat dalam hati sanubariku. Kuceritakan dalam bentuk sederhana yang sesungguhnya tak dapat menggambarkan betapa yang sebenanrnya dalam kenyataannya. Yang jelas semua kenangan bersamanya ‘kan pernah tertinggal sejauh mana pun aku melangkah. Selalu kubawa namamu tak akan ada kisah sebanyak kisahku Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 43
tentang sosokmu. Takkan ada kenangan terindah melebihi indahnya kenangan yang kusimpan tentang sosok tangguhmu. Takkan ada kerinduan sedalam kerinduanku pada sosokmu. Tak kan ada sosok perempuan yang lebih mulia darimu bagiku. Takkan pernah habis waktuku untuk menceritakan betapa indah setiap detik bersamamu. Mamak, begitu aku memanggil perempuan surga yang tak pernah terganti oleh sosok mana pun di dunia ini. Setiap detik bersamanya adalah bahagiaku. Semua tentang mamak adalah kenangan terindah dalam hidupku. Kenangan terindah yang membuatku selamanya rindu. *** 44 | Safridah Dkk
Jejak Kasih Ibu Oleh: Tengku Muhammad Hanafi Mustafa, M.Pd. (Guru SMPN 30 Pekanbaru) B erbicara tentang sosok ibu/ bunda/ mama/ mami/ umi/ mimi, rasanya tak terlepas dari kata sabar, hebat, tangguh, penyayang, bijaksana, penuh kasih, dan banyak lagi kata indah yang bisa dilontarkan untuk pelita dalam hidup kita yang hakiki. Mengapa demikian? Ya, karena setiap insan mendapatkan kasih sayang dan semangat hidup terbesar karena kehadiran sosok ibu. Ada juga yang mengatakan bahwa sosok ibu atau mama sebagai “Tuhan Kedua”. Makna “Tuhan Kedua” adalah bahwa Ibu merupakan insan Tuhan yang setiap doanya akan diijabah oleh Allah SWT dan orang yang sangat tulus mencintai anak‐anaknya. Sehingga tidak mengherankan ada pepatah mengatakan bahwa kasih ibu sepanjang masa, alias kasihnya tidak ada batasnya kepada seluruh anaknya. Ibu adalah makhluk Allah yang sepenuh hati mengasihi anak‐anaknya. Hakikatnya dimulai pada saat ibu mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membesarkan, mendidik, memberi tunjuk ajar, dan hal lainnya. Tak terbayangkan bila kita hidup tanpa adanya sosok ibu, maka ibarat kaki akan pincanglah kaki kita sebelah. Terlebih lagi, ibu sebagai tempat mengadu, berkeluh kesah dan orang pertama yang akan tahu bagaimana perasaan atau Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 45
kondisi hati putra‐putrinya. Karena ibu adalah insan yang mempunyai insting dan feeling yang kuat terhadap anak‐ anaknya. Maka tak heran ada banyak cuplikan lirik lagu yang sampai saat ini terngiang dalam pikiran saya, seperti lirik lagu; “Doa Ibumu dikabulkan Tuhan dan kutukannya jadi kenyataan, bila kau sayang pada kasihmu, lebih sayanglah pada ibumu, bila kau patuh pada rajamu, lebih patuhlah pada ibumu”. Jelaslah bahwa lirik ini menjadi pesan bagi setiap manusia untuk menjadikan ibunya sebagai orang yang harus dihormati, dijaga, disayangi sepenuh hati seperti dia menyayangi anaknya dengan sepenuh jiwanya. Begitu pun dengan pesan dari beberapa lagu yang dinyanyikan oleh beberapa musisi Indonesia dan bahkan musisi dunia yang kaitannya dengan ibu, seperti lagunya Iwan Fals yang berjudul “Ibu”, kemudian lagu “Muara Kasih Bunda” oleh Erie Susan, lagu yang sangat menyentuh kalbu “Keramat” oleh Raja Dangdut Rhoma Irama, di dalam lagu tersebut memberi pesan untuk harus selalu menyayangi ibu sampai akhir hayat. Kemudian lagu “Ummi” yang sangat merdu dibawakan oleh Hadad Alwi. lebih lanjut, Band Ungu yang sangat terkenal pun mempersembahkan karya indahnya pada tahun 2010 khusus untuk ibu dengan judul “Doa untuk Ibu”. Hal yang sama juga dilakukan oleh musisi dunia yang sangat terkenal yakni “Boys II Men” melaunching lagu spesial tentang Ibu yang berjudul “A song for Mama” yang lagu tersebut menjadi hits di eranya. Kemudian lagu yang sangat melegenda yaitu “Mother How Are You Today” sukses menghipnotis setiap orang. Lagu yang melejit ini dinyanyikan 46 | Safridah Dkk
oleh MayWood pada tahun 1980, Begitu pun musisi dunia lainnya yang sangat terkenal Jhon Lennon juga pernah membuat karya indahnya berkaitan dengan Ibu, dengan judul lagu yang menyayat hati yaitu “Mother” serta masih banyak lagu lainnya yang mengiris kalbu tentang “Ibu”. Banyak rangkaian kalimat yang menelisik dalam lirik tersebut. Adapun lirik lagu seperti kalimat ribuan kilo, jalan yang kau tempuh, lewati rintangan untuk aku anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan, walau tapak kaki penuh darah penuh nanah, seperti udara, kasih yang engkau berikan, tak mampu ku membalas, ibu. Aduh, rasanya aku bergetar dan tak terasa menetes air mataku sambil menuliskan cerita indah ini. Cerita ibu memang tidak akan pernah habisnya, tak mampu ku membalas semua jasamu ibu. Begitu pun lirik lagu yang menyayat kalbuku, oh Ibu, kau kasih sejati, kutaburkan doa untukmu Ibu, ampunilah dosaku, sejak aku dilahirkan, hingga akhir hayatmu. Inti dari beberapa lirik lagu di atas adalah bahwa kasih sayang ibu terhadap anak‐anaknya “UNLIMITED” alias tak terbatas karena kasih ibu sepanjang jalan dan sepanjang masa, dengan apapun kita tidak akan pernah bisa membalasnya. Selama ibu masih ada, jangan pernah sakiti hatinya. Oleh karena hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa hal paling utama yang harus kita hormati, jaga dan sayangi adalah ibu, ibu, ibu (ummi, ummi, ummi). Kita bisa tahu bahwa Nabi Muhammad menyebutkan kata “ibu” sampai 3 kali baru “ayah” yang disebutkan selanjutnya. Tak kan pernah habis kalimat yang bisa kuukir ketika bicara tentang ibu. Ibu tempatku mengadu, Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 47
tempatku bercerita banyak hal, tempatku mencurahkan isi hatiku sejak aku kecil sampai saat ini bahkan setelah aku berumah tangga sekalipun. Banyak kenangan indah atau unforgettable memory yang aku ingat masih membekas sampai sekarang, yakni ketika aku sakit tifus dan harus masuk rumah sakit selama seminggu. Pada saat itu aku masih duduk di bangku SMA. Ibuku yang dengan setia selalu menemaniku siang dan malam. Beliau rela harus tidur di lantai rumah sakit beralaskan seprai untuk terus bisa bersama selama di rumah sakit, mulai dari menyulangiku, mengelap badanku, mengantarkanku ke kamar mandi, bercerita, bersenda gurau, dan banyak lagi kenangan yang tak terlupakan selama di rumah sakit. Selama aku berada di rumah sakit, aku merasa tenang, kehadiran ibuku sebagai vitamin dan obat yang paling mujarab selain obat medis yang diberikan oleh dokter. Dirawat di rumah sakit membuat kita sadar bahwa ketulusan kasih sayang ibu membuat kita merasa nyaman dan tak terasa waktu berlalu selama di rumah sakit yang notabenenya sebagai tempat yang kadang membosankan. Begitu pun ketika aku dinyatakan lulus SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan diterima di jurusan bahasa Inggris FKIP UNRI. Aku merantau kuliah dari Medan ke Pekanbaru, sosok ibu yang dengan senang hati mengantarkanku untuk mengejar cita‐cita kuliah di Universitas Riau, 19 tahun yang lalu. Pada saat itu, aku dan ibu berangkat dari Medan menuju Pekanbaru menggunakan transportasi darat (“Bus Makmur”). Kami melakukan perjalanan dari Medan pada pukul 19.00 WIB dan tiba di 48 | Safridah Dkk
Pekanbaru esok harinya pada pukul 11.30 WIB. Perjalanan dilalui dengan 3 kali berhenti untuk istirahat, makan dan shalat. Ibuku dengan setulus hati menemaniku sampai di “Kota Bertuah”. Saat itu, ayahku tidak bisa menemani kami, karena ayah sibuk bekerja dan tidak bisa off day dari kantornya. Petualangan pada tahun 2000 dimulai. Kami melakukan registrasi ulang dan penyelesaian berkas administrasi di Universitas Riau yang merupakan kampus kebanggaan dan jantung hati masyarakat Provinsi Riau. Setelah menyelesaikan administrasi, kami berkeliling di sekitar kampus UNRI yang saat itu masih sepi dengan rerimbunan pohon hijau menjulang tinggi. Kemudian kami makan siang, lalu berjalan kembali untuk mencari kos‐kosan atau tempat tinggal. Kami mencari kos yang aman, bersih, lokasi yang dekat dengan kampus dan tentunya harus ada pemilik kos yang tinggal di dekat kos tersebut. Sehingga ibuku bisa lega menitipkanku kepada ibu kos selama aku merantau kuliah di Pekanbaru. Petualanganku dan ibu terbayar. Akhirnya, kami bisa mendapatkan tempat kos yang memenuhi kriteria dan nilai plusnya adalah kos‐kosan tersebut terdiri dari empat petak, tersisa 1 petak yang ada di pojokan. Lebih lega lagi bahwa yang punya kos tersebut, tinggal persis di belakang sehingga akhirnya ibuku langsung tertarik dan menitipkanku pada induk semang alias si pemilik kos. Kos itu terdiri dari 2 kamar, tempatnya nyaman, bersih, lengkap dengan dapur dan kamar mandi di dalamnya. Sehingga kalau ada saudara atau keluarga yang datang dari kampung, kamar yang 1 bisa digunakan untuk beristirahat. Uang kosnya 300 ribu setiap bulannya. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 49
Beruntungnya lagi, pemilik kos juga mempunyai usaha kateringan. Sehingga ibuku juga memesan katering kepada beliau. Biaya kateringnya 400 ribu setiap bulan. Oleh karena itu, ibuku harus mengirimkan uang 1 juta untuk keperluan kos, makan, serta uang peganganku selama sebulan. Karena kos‐ kosan tersebut berjarak 350 meter dari kampus, aku tidak memerlukan kendaraan selama kuliah semester 1 sampai semester 5. Pada saat semester 6, akhirnya aku bisa memakai kendaraan yang dikirim dari kampung untuk keperluan mobilitas selama di kampus, mencari tugas, menyelesaikan proposal, PPL dan diskusi kelompok dengan teman. Akhirnya, aku bisa menyelesaikan kuliah selama 7 semester karena nilaiku termasuk yang terbaik. Kedekatanku dengan ibu sangat luar biasa, karena ibuku adalah sosok yang selalu mengerti dan aku yakin bahwa setiap ibu di mana pun berada, pasti tak pernah lepas menyelipkan doa keselamatan dan kesuksesan untuk putra‐ putri tercintanya. Sampai detik ini, tak terbayang banyaknya jasa‐jasa ibuku yang takkan pernah bisa aku balas dengan apapun. Hal lainnya yang aku ingat adalah ketika aku lulus S‐2 di Universitas Negeri Padang. Ibuku adalah sosok yang menemaniku pada acara wisuda dan tampil menawan di atas panggung kehormatan karena aku sebagai salah satu mahasiswa terbaik atau pemuncak universitas (cum laude), 11 tahun silam. Pada saat itu, ibu yang mendampingiku. Karena ayahku lagi‐lagi harus bekerja dan tidak bisa off dari pekerjaannya. Rasanya, aku kehilangan sosok ayah yang seharusnya bisa mendampingi anaknya yang sedang wisuda karena banyak 50 | Safridah Dkk
mahasiswa lainnya yang wisuda didampingi oleh kedua orang tua terkasih. Sementara aku hanya didampingi oleh ibuku yang sangat kucintai. Sedih, miris, tapi aku sangat bersyukur diberikan oleh Allah seorang “miracle mama” yang selalu menjadi obat pelipur lara kesedihanku, tempat mencurahkan isi hati, karena pada saat itu aku belum punya orang terkasih untuk bisa mencurahkan segala permasalahan hidup. Ada juga kejadian yang masih membekas dalam ingatan bersama ibu. Saat itu aku dalam keadaan finansial dan kesehatan yang tidak baik. Karena aku hanya seorang honorer, aku sakit dan tidak bisa bekerja. Lagi dan lagi, ibu yang hadir mendampingiku di Pekanbaru, berobat untuk kesembuhan penyakit asam lambung, bolak‐balik ke rumah sakit, medical check‐up sampai harus minum obat tradisional berupa induk kunyit. Setiap hari, ibu memarut induk kunyit untuk kesembuhan penyakit asam lambungku. Setelah kunyit diparut, ditambahkan gula merah sedikit, kemudian direbus dengan 2 gelas air sampai mendidih. Setelah air induk kunyit direbus, didinginkan dan diminum dalam kondisi hangat. Ibu yang selalu menjadi malaikat penolongku. Ibu tidak perduli dengan tangannya yang menguning akibat sering memarut induk kunyit, karena yang paling prioritas dalam benaknya adalah kesembuhan anaknya. Satu hal lainnya yang masih aku ingat tentang ibuku adalah masakannya yang selalu ngangenin karena rasanya sedap luar biasa. Ibuku sangat jago masak daun ubi tumbuk, ikan mas arsik dan sambal teri, tempe dan kacang yang selalu aku nanti ketika aku pulang kampung. Alhamdulillah, pada momen lebaran tahun ini, aku dan keluarga kecilku Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 51
berkesempatan pulang ke Medan untuk bersilaturahmi dan merasakan indahnya kebersamaan dengan ibuku yang semakin hari semakin menua, kerutan di wajahnya yang sudah mulai tampak jelas, senyum indahnya selalu membuatku selalu mengasihi dan menyayanginya. Momen penting lainnya dalam hidupku adalah ketika aku mengikuti tes calon pegawai negeri sipil, tetapi beberapa kali aku gagal. Dimulai pada saat aku mengikuti tes di Pekanbaru, kemudian ke Jambi, Tembilahan dan terakhir ke Bengkalis, tapi hasilnya selalu nihil. Sampai akhirnya aku tes pegawai negeri di Medan. Pada saat itu, aku ditinggal ibu yang sedang menunaikan ibadah haji pada tahun 2010. Tak hentinya dia selalu berdoa di Makkah dan Madinah untuk kelancaranku dalam mengikuti tes CPNS. Ibu selalu memberikan semangat dan aku juga selalu meneleponnya untuk mengetahui kondisi dan memantau kelancaran ibadahnya. Akhirnya, pada tes CPNS berikutnya aku mencoba peruntungan di Medan pada bulan Oktober tahun 2010. Alhamdulillah, mungkin berkat doa ibuku yang diijabah oleh Allah SWT selama di Makkah di tahun yang sama, aku dinyatakan lulus pada bulan Desember tahun 2010 melalui koran lokal. Sampai saat ini koran tersebut masih aku simpan sebagai kenangan terindah yang tak terlupakan karena berkat usaha dan doa ibuku, aku berhasil menjadi PNS. Ibu, terima kasih doamu. Aku takkan pernah bisa membalasmu dengan apa pun, hanya doa yang terbaik untukmu selalu kuselipkan di setiap shalatku dan tentunya tanggung jawab finansial yang selalu aku berikan untuk orang terkasih dalam 52 | Safridah Dkk
hidupku yang paling utama selain untuk istri dan anakku tercinta. Di momen yang indah bulan Desember ini, bertepatan dengan Hari Ibu, doaku yang terbaik untukmu, Ibu. Walaupun aku jauh dari Ibu, aku berharap Ibu selalu menjadi Ibu terbaik, memberikan cinta kasih yang indah untukku dan keluarga kecilku. Ibu, apa pun itu, aku takkan bisa dan takkan sanggup membalas semua yang telah engkau berikan sejak aku di kandungan sampai aku dewasa dan berhasil seperti sekarang. Ibu adalah energiku, semangatku, dan seluruh jiwaku tak terlepas ingatanku padamu. Aku selalu berdoa, ibu selalu sehat, berkah umur panjang, dan I love you Mom, you are my hero and you are miracle mom in life. I can’t live without you mom. Love you till the end of my life. May Allah bless and protect you all the time. Happy Mother’s Day my miracle mom, Hj. Murniyatimah, S.Pd. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 53
Jika Cinta Dia Oleh: Wahyu Arif (Guru SMP Dharma Loka Pekanbaru) A ma menahanku untuk tidak pergi merantau. Cukup di rumah saja membantunya di rumah makan sederhana. Ini benar‐benar sederhana bukan Rumah Makan “Sederhana” yang sudah well known ke seantaro negeri ini, yang hanya buka sekali seminggu. Hanya sekali saja ada pasar di kampungku. ”Ma, aku besok pergi ke Pekanbaru, doakan ya, Ma,” ucapku lirih bergetar menjalar ke hulu hatiku sambil berlinang air mata. Iba meninggalkan amaku sendirian di rumah. Sedih rasanya meninggalkan kampung halaman yang takkan pernah kulupakan dengan jutaan memori indah tercecer di sepanjang jalan‐jalan, lorong‐lorong kebun, pematang‐pematang sawah, bukit‐bukit, dan sungai‐sungai beserta pepohonan. Pagi yang hening dan sendu ini travel yang kunaiki bergerak perlahan melewati satu per satu jejak kenangan bersama teman‐teman sepermainan menuju kota wisata Bukittinggi yang dikenal dengan Paris van Sumatra. Wajah Ama, nenek dan adik‐adikku bergayut di pelupuk mataku. Butiran‐butiran bening meluncur melewati pori‐pori kulit wajahku. Kuseka dengan sigap agar orang tidak salah paham, menyangka aku lelaki cengeng. Pernahkah kalian meninggalkan dan ditinggalkan oleh orang yang paling kalian 54 | Safridah Dkk
kasihi? Mengharu‐biru rasanya, dalam, menusuk hingga ke hulu hati. Bergegas aku menemui temanku yang sudah menungguku di terminal bus Aur Kuning. Nanti aku mau menumpang dulu sementara tinggal dirumah paman temanku ini. Lima jam pun berlalu, sampailah kami di kota nenas yang disambut dengan cucuran air yang sangat deras dari langit. Genangan di sepanjang jalan di kota ini terbelah oleh roda‐roda kendaraan yang lalu lalang sore itu. Kutelepon ama mengabarkan bahwa aku sudah sampai dengan selamat. Malamnya langsung kami search info‐info lowongan kerja di internet. Semua situs job vacancy Pekanbaru kami buka. Kalau ada yang kami suka, langsung kami catat alamatnya untuk kami masukkan lamaran esok harinya. Ada tiga lowongan yang mau kami lamar besok. Satu perusahaan di bidang kesehatan yang menjual berbagai macam obat yang sudah terkenal di pasaran, satu lagi di perusahaan yang bergerak di bidang leasing dan financing dan yang terakhir merupakan penerbit buku ternama yang buku‐ bukunya sudah melalang buana di sekolah‐sekolah negeri maupun swasta. Intinya semua lowongan kerja tersebut menerima marketing untuk mempromosikan produk‐produk andalan mereka masing‐masing. Tidak mudah memang mendapatkan pekerjaan di kota bertuah ini. Banyak pesaing kita yang siap adu kemampuan dengan kita. Tapi bagiku yang terpenting adalah aku harus memiliki nilai lebih dari yang lainnya. Aku selalu menggadang‐ gadang sifat jujur dan pantang menyerahku. Itu yang selalu aku banggakan pada perusahaan. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 55
Sudah seminggu lamanya kami melamar pekerjaan ke sana kemari, masuk perusahaan ini dan itu, diterima dan ditolak, disambut dan diabaikan. Itu sudah menjadi makanan sehari‐hari kalau kita ingin bekerja dengan orang lain. Tapi tetaplah berusaha, pasti ada jalannya. HP‐ku berdering, dari seberang sana terdengar suara lembut dan ramah memastikan yang dia telepon adalah aku. Dia menyuruhku datang ke perusahaannya untuk interview kerja. Sebenarnya aku kurang suka dengan dunia marketing tetapi tidak ada pilihan lain. Hanya inilah lowongan yang banyak bertebaran di dunia maya maupun dunia nyata. Aku diterima bekerja di penerbit buku menjadi seorang executive marketing. Mempromosikan buku‐buku pelajaran ke sekolah‐sekolah yang ada di kota ini. Aku mendapat tugas menjual sebanyak mungkin lembaran‐lembaran kertas ilmu ini ke SMA dan SMK. Aku di training selama tiga bulan. Selama tiga bulan ini aku tidak diperbolehkan untuk libur kerja walaupun sekali. Bergetar‐getar HP‐ku yang aku selipkan di kantong celanaku sebelah kiri. Kuhidupkan lampu senku ke kiri untuk berhenti. Ada telepon dari seberang sana. Bibiku mengabarkan bahwa ama sakit dan sekarang lagi dirawat di Rumah Sakit Achmad Mochtar, Bukittinggi. Terpana aku sejenak, apa yang harus aku lakukan. Antara pulang melihat amaku atau tetap bekerja. Aku bergegas ke kantor untuk meminta izin kepada manajerku. ”Pak, orang tuaku sakit. Dia masuk rumah sakit. Aku harus pulang untuk menemuinya,” ucapku lirih. 56 | Safridah Dkk
”Oh, baiklah. Tapi kamu hanya dapat izin tiga hari. Kalau lebih dari tiga hari terpaksa kami ganti dengan karyawan lain,” ucap manajerku penuh kegalauan. ”Tidak masalah, Pak. Aku usahakan hanya izin tiga hari,” balasku pendek. Aku bergegas menelepon travel dan langsung tancap ke tempat ama. Kupeluk ama yang sedang terbaring lemah dengan infus terpasang di tangannya. Ama sangat senang dengan kedatanganku. Ama selalu mengandalkanku. Aku selalu mengerjakan apa yang ama mau. Menyuapinya, membimbingnya ke kamar mandi, bercerita dengannya, mengambilkan semua keperluannya, dan begadang untuk menjaganya. Ada abangku, adekku, paman, dan bibiku di sana. Tapi ama maunya denganku. Semuanya aku. Selalu memanggil‐manggil namaku. Mungkin karena aku tidak pernah membantahnya. Kalau yang lain kurang sabar menghadapi amaku yang cerewet. Sebentar harus ini, harus itu, ambilkan ini, ambilkan itu, banyak sekali keinginan ama. Kupijit‐pijit kaki ama. ”Ma, aku besok sudah harus balik,” kataku lembut. ”Aku harus kerja, Ma. Hanya dapat izin tiga hari dari perusahaan.” ”Ama belum sembuh, Nak. Kamu di sini saja, siapa nanti yang akan menolong Ama,” ucap ama penuh harap. ”Kan ada abang, Ma,” balasku mantap. ”Kamu di sini saja, Nak. Abang‐abangmu kadang entah ke mana, kadang keluar dan lama baliknya,” balas ama sedih sambil berlinang air mata. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 57
Tak kuasa aku meninggalkan ama di rumah sakit. Dia selalu mengandalkanku. Memang kadang agak letih dengan ama. Baru mau istirahat sudah dipanggil. Baru mau duduk dipanggil lagi, baru mau tidur dipanggil lagi. Ada saja yang diminta ama. Rapikan ini, ambilkan itu, kupaskan buah ini, pijit kaki ama, ambilkan minum, dan lain sebagainya. Memang capek melayani ama, butuh kesabaran tingkat perguruan tinggi. Tapi kadang tersulut juga emosi kita. Karena kadang semalaman tidak tidur dan kelelahan. Kutinggalkan ama sendirian untuk melepas jenuh main‐ main di sebuah taman di samping rumah sakit. Kulayangkan pandanganku ke bawah ngarai yang dalam di ujung taman tersebut. Apa yang harus aku lakukan? Ini sudah hari keempat aku libur. Harusnya aku sudah kembali. HP‐ku meraung. Di layarnya terpampang nama Pak Bambang, manajer. Kuangkat dengan penuh keraguan. Ternyata aku disuruh masuk kerja hari itu. ”Maaf, Pak. Aku belum bisa masuk kerja karena amaku masih sakit,” ucapku pelan. ”Oh, trus kapan bisa masuknya?” balasnya. ”Tidak tahu, Pak. Sampai amaku sembuh,” balasku. ”Kalau begitu jaga dulu ibunya,” balasnya. Kulangkahkan kakiku menuju ruaang rawat inap ama. Kupandang wajah ama yang sudah mulai menua. Ama adalah segalanya. Aku harus selalu menemaninya. ”Nak, katanya kamu hanya boleh libur tiga hari. Ama sudah hampir sembuh kok. Baliklah bekerja, Nak,” kata amaku sambil memandangku dengan penuh kasih. ”Sudah dapat izin seminggu, Ma,” balasku berbohong. 58 | Safridah Dkk
”Oh, kalau begitu baguslah. Ama takut nanti kamu dikeluarkan dari tempat kerja. ‘Kan cari kerja susah,” sambungnya. ”Aman kok, Ma,” balasku meyakinkan ama. Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit, aku lelah, aku bosan, kenapa aku terus. Apa pun selalu aku. Aku bukan robot. Aku juga butuh istirahat. ‘Kan ada abang‐abang yang lain. Adek, paman, dan bibi semua ada di sana. Kenapa harus aku yang disuruh‐suruh ama. Kutinggalkan rumah sakit itu, kubawa tasku. Aku pergi ke rumah temanku yang ada di kota itu. Aku uring‐uringan di sana seharian. Melepas lelahku karena begadang setiap malam. Bahkan siang pun harus menolong ama. Menjerit‐jeri teleponku, tapi tidak kuhiraukan. Sudah sampai dua puluh kali misscalls. Kuacuhkan. Gusar hati ini, galau, dan gelisah tak menentu. Berbaring ke kiri, lalu pindah ke kanan, menelungkup lalu telentang. Duduk, berbaring, berdiri, jalan mondar‐mandir seperti setrika. Gak keruan rasanya hati ini. Rasanya ama memanggil‐manggilku untuk kembali, untuk menolongnya. Gatal‐gatal tangan ini untuk membuka pesan yang sudah bercokol di HP‐ku. ‐Nak, Ama gak mau makan, ke sinilah, belikan Ama nasi kapau ‐ Berdesir darahku, langsung aku hidupkan motorku. Kupacu menuju Pasar Lereng di mana di sana banyak orang menjual nasi kapau. Berjejer aneka lauk yang sangat mengundang selera terpampang jelas di depanku. Aneka jenis ikan, belut dan ayam serta daging dengan berbagai olahan, ada yang digulai, digoreng, dibakar direndang, dan Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 59
didendeng. Ah, hampir menetes air liurku. Untung tiba‐tiba ibu penjual nasi kapau membuyarkan imajinasiku. ”Mau makan apa, Bang?” tanyanya lembut. Aku gelagapan,” Oh, iya Bu, akuu … akuu …mau makan pake itu,” kataku sambil menunjuk dendeng balado kering dengan cabai merah yang sangat menggugah selera. Perpaduan warna yang sangat eksotis hitam legam dagingnya dipadu dengan merah menggoda cabainya. Awalnya bingung juga memilih lauknya, karena saking banyaknya aneka lauk yang dipajang di hadapanku, pas di depanku, bisa kusentuh, dekat sekali, tanpa penghalang. Sedangkan penjualnya berdiri paling atas, sambil dengan sigap mengambil pesananku dengan sanduak atau sejenis sendok panjang yang terbuat dari bambu tangkainya dan sendoknya dari batok kelapa. Pesananku dicampur dengan aneka kuah gulai dan serbuk‐serbuk rendang, dicampur dengan aneka kuah dan bumbu lainnya yang sangat kaya rasa dan beraneka rempah‐rempah. Nasi Kapau Ni Gadih namanya. Bagiku nasi kapau adalah nasi Padang terenak yang pernah kucoba. Hanya sekali‐kali bisa makan nasi kapau ini karena harganya yang dua kali lipat lebih mahal daripada nasi Padang biasa. Buru‐buru kuantar langsung ke ama yang lagi tidak mau makan. ”Maaaa,” teriakku tertahan. ”Ma, maafkan aku, Ma. Ini nasi kapau untuk Ama.” Ama langsung duduk dan menyambutnya dengan penuh semangat. Kusuapi ama. Lahap sekali makan ama. Sekali‐kali kucandai ama. Ama tertawa‐tawa kecil penuh bahagia. 60 | Safridah Dkk
Sudah sepuluh hari ama dirawat, ama pun sudah diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit. Kuajak ama keliling kota. Kubelikan ama aneka penganan tradisional kesukaannya. Ama sangat senang. Sepertinya dia ingin seperti itu terus. Selalu bersama dengan anak‐anaknya. Tapi apa daya, aku harus bekerja untuk membahagiakan ama. Lega rasanya bisa menemaninya sampai dia sehat. Kini aku sudah kembali ke perantauan. Tiba‐tiba HP‐ku menyapaku,” Masih boleh bekerja, Pak?” teriakku. ”Iya, besok kamu masuk saja langsung.” Alhamdulillah, aku tidak harus mencari pekerjaan baru lagi. Aku masih diizinkan untuk masuk kembali untuk mengais rupiah. Berlinang air mataku, teringat ama. Ini berkat doa Ama, bisikku dalam hati. Jika cinta ibumu, perlakukanlah dia seperti raja. Dahulukanlah kepentingannya, maka kepentinganmu insyallah dimudahkan. Surga itu di bawah telapak kaki ibu. Pekanbaru, 21 Desember 2019 *** Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 61
Sampadeh Daging Buatan Emak Oleh: Marlina Armansyah (Guru Bahasa Inggris SMP 41 Madani Pekanbaru) S enja yang teduh. Matahari sudah hampir memasuki peraduannya. Aku hanya melihat jejak samar semburat jingga di angkasa. Waktu asar sudah lama berlalu. Aku duduk termangu di teras rumah. Kupandangi sekerat ketela goreng merekah yang memanggil ditadah kaca porselen di atas meja kayu bulat di pojok teras. Di sisinya ada setengah gelas teh manis yang mulai dingin menunggu. Kubiarkan saja rayuan ketela goreng yang menggoda itu. Hatiku sedikit masygul. Ini sudah di bulan Sya’ban. Ramadhan hampir menjelang. Bulan yang sangat dinanti oleh umat Islam itu tinggal beberapa pekan lagi akan datang. Pikiranku mengembara ke masa kecilku. Dulu, waktu kecil, ada dua waktu yang selalu kunanti kehadirannya. Waktu itu adalah saat ketika akan memasuki bulan Ramadhan dan saat hari lebaran pertama, sesudah pulang Shalat Ied. Aku selalu bersukacita ketika dua saat itu tiba. Hatiku riang tak terkira. Entah mengapa aku selalu bahagia pada hari itu, meskipun mungkin hadirku tidak mempengaruhi apa‐apa. 62 | Safridah Dkk
Beberapa hari menjelang bulan Ramadhan, di kampungku, di kota kecil yang bernama Lirik di Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Inderagiri Hulu, masyarakat bersukacita menyambut datangnya bulan Ramadhan. Sebagai tanda sukacita, selalu saja ada warga masyarakat yang melakukan kegiatan doa syukuran. Ketika ada beberapa orang yang akan melakukan kegitan itu, maka biasanya mereka berembuk, sehingga pelaksanaannya tidak pada hari yang sama. Namanya saja kota kecil atau lebih tepat disebut sebuah desa, hampir seluruh masyarakatnya saling kenal. Hampir seluruh masyarakat di desa itu diundang, jika ada yang hajatan. Jika pelaksanaannya pada hari yang sama, tentu tidaklah elok dan dapat membuat salah satu yang punya hajat akan berkecil hati, karena masyarakat tentu harus memilih ke rumah yang mana mereka akan datang. Sepuluh hari menjelang Ramadhan, sudah ada saja warga masyarakat yang memulai kenduri atau mendoa, bahkan hampir setiap malam. Satu hari menjelang Ramadhan, biasanya kegiatan mendoa sudah usai. Itu adalah waktu untuk punggahan di masjid. Ini adalah acara makan bersama warga di masjid sebelum memasuki bulan Ramadhan. Saya selalu menyukai ketika tiba giliran acara mendoa memasuki Ramadhan itu dilaksanakan di rumah. Pada acara itu ada dua menu yang selalu hadir, yaitu semur ayam dan sampadeh daging. Itu adalah dua makanan yang sangat saya sukai. Sebenarnya saya menyukai semua masakan emak. Emak sangat pintar memasak. Semua masakannya selalu enak di lidah saya. Ada sup tulang iga yang yang rasanya tetap tinggal di lidah untuk beberapa waktu. Ada paru tipis Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 63
goreng yang dilumuri bumbu yang mampu menghilangkan lara. Saya juga menyukai kalio jengkol yang rasanya dapat disetarakan dengan masakan restoran ternama. Ah, emakku sayang. Rasanya tidak ada masakanmu yang tidak enak, bahkan hanya sekadar samba lado jariang panggang pun rasanya sangat fantastis di lidah saya yang membuat saya makan tidak cukup satu piring. Pada hari pelaksanaan mendoa itu, kami berpartisipasi membersihkan rumah. Kami menggelar tikar. Kemudian kami menyusun piring‐piring di atas kain alas yang dibentangkan di atas tikar. Kemudian kami menyusun kobokan tempat cuci tangan di sela piring‐piring itu. Zaman itu kita makan dengan tangan saja, tidak menggunakan sendok dan garpu, maka peranan kobokan cuci tangan menjadi sangat penting. Kami juga meletakan beberapa gelas berisi serbet. Di samping serbet, kami juga masih meletakkan beberapa kain lap. Setelah semua urusan ini selesai, barulah diletakkan mangkuk‐mangkuk besar berisi nasi. Setelah itu disusul dengan lauk‐pauk yang ditata dalam piring‐piring berukuran sedang. Kami juga menyelingi lauk‐pauk itu dengan aneka kue dan buah untuk pencuci mulut. Ketika semua prosesi persiapan itu selesai, kami duduk dengan manis di depan rumah menunggu para tamu datang. Selama acara mendoa, kami duduk di luar di depan rumah. Kami juga ikut menadahkan tangan dan mengaminkan doa yang dilantunkan. Setelah acara selesai dan para tamu mulai beranjak pulang, kami memasuki rumah. Kami merasa sangat senang ketika melihat tidak ada tamu 64 | Safridah Dkk
yang menyisakan makanan di piring. Kami berpikir bahwa itu pertanda masakan yang disajikan adalah sangat lezat. Sampadeh daging adalah masakan yang selalu habis. Meskipun kadang kala saya tidak dapat mencicipinya, saya sudah cukup bahagia dengan memakan suwiran daging dan kuah yang masih tersisa. Hm, meskipun hanya kuah dan suwiran daging, tetap saja tidak mempengaruhi kelezatan rasanya. It’s so special. It’s so delicious. Saya selalu menemani emak memasak. Saya selalu penasaran bumbu apa saja yang digunakan untuk sebuah menu masakan. Emak selalu dengan sabar menerangkan kepada saya bumbu apa saja yang dia racik untuk setiap masakannya. Beliau akan tertawa dengan jenaka ketika saya dengan percaya diri menyebutkan nama bumbu padahal itu adalah salah. Saya selalu menukar nama merica dengan ketumbar. Saya juga kerepotan membedakan jahe dengan lengkuas. Satu hal yang saya tidak salah menyebutnya adalah nama kunyit. Saya juga penasaran dengan daun‐daun yang digunakan untuk masakannya. Seiring dengan berjalannya waktu, saya akhirnya mengetahui nama daun‐daun itu dan untuk masakan apa saja digunakan. Saya sangat menyayangi emak. Meskipun saya masih kecil, saya tidak tega melihat beliau repot memasak sendiri. Saya memaksa beliau untuk membiarkan saya menggiling cabai dengan menggunakan batu giling. Waktu itu kita belum menggunakan blender seperti sekarang. Menggiling cabai adalah sebuah pekerjaan yang berat. Emak mungkin tidak tega melihat saya kesusahan menggiling cabai, tetapi beliau tidak menampakkan rasa risaunya. Begitulah cara beliau Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 65
mendidik kami. Beliau mengatakan bahwa hidup tidak selalu manis. Beliau kelihatan lega ketika saya menyelesaikan pekerjaan itu dan berterima kasih. Saya merasa bangga sekali dapat meringankan pekerjaan emak meskipun malam harinya tangan saya hangus kepanasan karena cabai. Lalu emak dengan lembut menyuruh meletakkan tangan saya di dalam tepung terigu agar rasa panasnya hilang. Ah, Emak. rasanya baru kemarin hal itu terjadi. Ingin kuulang masa‐masa manis itu. Ah, aku ingin menangis. Emak sangat baik. Begitu banyak yang harus beliau kerjakan tetapi beliau selalu lembut dan tidak pernah berkata kasar kepada kami. ”Lin, ini bumbu untuk sampadeh daging. Tolong dikupas. Dilihat ya dan diingat‐ingat takarannya. Nanti Lin akan dapat meramu sendiri bumbunya. Paling tidak nanti Lin dapat memasak yang enak untuk keluarga. Emak akan membersihkan daging dulu.” Kemudian emak berlalu sambil membawa daging yang diletakkan di dalam baskom plastik. Saya memandang bumbu sampadeh daging yang sudah diracik dan ditakar oleh emak. Ada cabai merah keriting. Berapa ya ini banyaknya. Ah, emak di dapur. Saya biasanya selalu cerewet menanyakan berapa banyak jumlahnya. Ada beberapa siung bawang merah. Jumlahnya cukup banyak. Mungkin ada belasan jumlahnya. Ada beberapa ulas bawang putih. Jumlah ulas bawang putihnya juga cukup banyak. Kata emak, kalau bawangnya banyak, maka masakannya akan bertambah lezat. Saya melihat ada jahe. Kemudian ada lengkuas di sampingnya. Untuk jahe dan lengkuas, ukurannya 66 | Safridah Dkk
adalah ruas jari. Hihihi… dulu saya merasa aneh dengan ukuran‐ukuran itu, tetapi kemudian saya menjadi terbiasa. Setelah menyelesaikan tugas, saya pergi ke dapur. Emak sudah selesai membersihkan daging. Saya melihat potongan‐ potongan daging yang besar. Dulu saya protes mengapa potongan dagingnya besar‐besar. Kata emak, itu tidak mengapa. Kita bersedekah. Apabila bersedekah, berikanlah yang terbaik. Waktu dulu saya berpikir emak dan abak adalah orang yang sangat kaya. Mereka selalu berdoa memanggil masyarakat sekitar ketika bulan Ramadhan menjelang. Mereka juga melakukan hal yang sama setelah Shalat Ied Fitri. Kemudian saya tahu bahwa abak adalah orang yang sangat dihormati dan dituakan di kampung kami. Jadi masyarakat perlu mampir ke rumah kami setelah Sholat Ied sebelum pulang ke rumah mereka. Ketika saya bertanya mengapa selalu ada acara mendoa di rumah kita, abak berkata,” Janganlah takut miskin karena bersedekah dan memberi makan orang lain. Insyaallah, rezeki kita akan selalu ada.” Abak benar. Meskipun tidak kaya, tetapi uangnya selalu ada. Abak tidak pernah kelihatan kekurangan uang. Hidup kami sangat bahagia meskipun kami dibesarkan dengan sederhana. Saya kembali memperhatikan bahan untuk membuat sampadeh daging. Daging yang dipotong besar‐besar itu sudah dilumuri cabai dan bumbu‐bumbu yang sudah digiling halus. Saya hanya memperhatikan saja. Dalam hati saya berkata, alangkah banyak cabai yang dipergunakan. Pasti rasanya akan menjadi sangat pedas. Kali ini saya tidak Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 67
memaksa untuk menggiling cabai. Ada saudara emak yang membantu menggiling cabe. Emak kemudian menyalakan api di tungku. Beliau sudah menyusun beberapa potong kayu bakar. Kemudian emak menjerang sebuah ponai. Ponai adalah periuk bulat yang terbuat dari tanah liat. Emak memasukkan potongan‐potongan daging dengan perlahan. Beliau menyusunnya dengan rapi di dasar ponai. Kemudian Beliau menuang sisa cabai dan bumbu. Emak kemudian menambahkan air. Airnya harus cukup banyak sehingga mampu membuat daging yang dijerang menjadi empuk dan airnya tidak menjadi habis atau kering karena kelamaan dijerang. Kemudian Emak memasukkan daun salam, daun kunyit dan daun jeruk purut. Setelah itu ponai ditutup rapat. Daging itu akan dimasak berjam‐jam dengan api kecil hingga empuk dan menjadi sampadeh daging yang menggoda selera. Saya dulu berpikir mengapa banyak orang yang menyukai sampadeh daging. Bumbu untuk membuat sampadeh daging itu tidaklah spektakuler. Malah boleh dikatakan sederhana. Masakan ini juga tidak menggunakan santan. Apa yang membuatnya begitu menggugah selera? Bentuk masakan ini ketika sudah masak juga biasa saja. Warnanya yang merah membara menyiratkan bahwa tersimpan rasa pedas yang dahsyat dalam kuliner ini. Kemudian saya menyadari bahwa waktu memasaknya yang lama dan hanya sedikit orang saja yang sudi memasak masakan ini membuatnya menjadi langka dan spesial. Meskipun sedikit pedas, sesuai dengan namanya sampadeh (asam dan padeh atau pedas), rasa masakan ini memang enak. Rasa asam didapat dari asam kandis atau 68 | Safridah Dkk
irisan asam gelugur. Apabila kita tidak menemukan asam kandis atau asam gelugur, kita dapat menggunakan tomat yang diiris tipis sebagai penggantinya. Rasa asam dapat dijadikan sebagai stimulan bagi yang tidak memiliki selera makan. Di Pekanbaru saya menemukan hanya satu rumah makan saja yang menyajikan masakan asam padeh daging ini, yaitu rumah makan Simpang Raya yang terletak di dekat fly over Jalan Sudirman, di seberang Taman Makam Pahlawan. Ketika melihat ada masakan ini dalam menu yang disajikan, saya hampir melompat karena bahagia. Ternyata masih ada restoran yang memasukkan masakan legendaris ini ke dalam menu masakannya. Rasanya pun sesuai dengan ekspektasi saya. Sekarang bila saya rindu dengan sampadeh daging buatan Emak, saya akan ke sana. Pada suatu ketika, sehabis Shalat Ied, serombongan ibu‐ ibu lewat di depan saya. Seoarang ibu memaksa harus mampir ke rumah saya. Ibu yang lain bertanya mengapa harus mampir. Ternyata jawabannya adalah bahwa ibu itu ingin memakan masakan sampadeh daging buatan Emak. Ha, ternyata itulah alasannya. It’s unpredictable. It’s a surprise for me. Sampadeh daging buatan Emak ternyata so branded di kampung saya. Lamunanku buyar ketika seorang ibu lewat di depan rumah dan menyapaku. Saya membalas sapaannya sambil tersenyum. Pikiranku masih dipenuhi dengan sampadeh daging buatan Emak. Besok saya akan ke pasar. Saya akan membeli daging dan memasak sampadeh. Saya akan memotong dagingnya besar‐besar seperti yang emak Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 69
lakukan. Saya akan membumbuinya seperti yang emak ajarkan. Semoga saja nanti rasanya lebih kurang sama dengan racikan tangan emak. Hatiku terasa riang. Pikiranku tidak masygul lagi. Kulihat ketela goreng merekah ditadah porselen di atas meja bulat di pojok teras yang masih terlihat mengundang. Kali ini aku tidak menampik undangannya. Kucomot ketela itu, lalu memakannya dengan penuh selera. Hm, rasanya terasa renyah dan enak sekali. Juga tidak kubiarkan teh manis yang sudah dingin menunggu. Kusesap teh itu dengan sepenuh rasa nikmat. Rasanya berpadu dengan ketela goreng yang yummy. Sungguh paduan rasa yang luar biasa. Hatiku yang bahagia membuat semuanya menjadi nikmat dan indah. Alhamdulillah. Pekanbaru, 21 Desember 2019 *** 70 | Safridah Dkk
Ibu Khayalan Oleh: Ilmawati, S.Pd. Guru Bahasa Inggris SMP Islam Riau Globa Pekanbaru H ari ini 19 Oktober 2019, ruangan SKA CO‐EX sesak dipenuhi oleh peserta Hijrahfest Pekanbaru. Acara ini diikuti oleh berbagai kalangan; para remaja, orang tua, siswa dan anak‐anak. Tanpa terasa waktu menunjukkan jam lima sore, seketika ruangan bergemuruh dipenuhi oleh kalimat takbir yang diucapkan oleh peserta karena takjub melihat Melly Goeslaw berdiri di atas panggung sambil melantunkan lagu yang berjudul “Bunda”. Kubuka album biru Penuh debu dan usang Kupandangi semua gambar diri Kecil bersih belum ternoda Pikirku pun melayang Dahulu penuh kasih Teringat semua cerita orang Tentang riwayatku Kata mereka diriku selalu dimanja Kata mereka diriku selalu ditimang ... Semua peserta ikut menyanyikan lagu ini dengan semangat, termasuk teman‐temanku yang tak mau kalah Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 71
sambil menggerakkan tubuh dan kepalanya ke kiri dan kanan. Lagu ini membuatku tenggelam dalam duniaku sendiri. Tok.. tok.. tok.. ”Sayang, ayo bangun,” panggil ibu mengetuk pelan pintu kamarku. Dingin pagi menusuk tulang membuatku enggan untuk bangkit dari tempat tidur. Apalagi aku sedang datang bulan. Kutarik selimutku dan kusembunyikan tubuh mungilku dalam hangatnya selimut ini. Kriek.. Terdengar suara pintu kamarku dibuka. ”Ilma, ayo Nak bangun,” ucap ibu melangkah menghampiriku dan duduk di sampimgku. ”Bentar lagi, Bu... dingin,” ujarku manja. ”Masa, anak gadis ibu kalah sama ayam,” kata ibu. ”Kok Ilma disamakan sama ayam sih, Bu?” jawabku sambil memanyunkan bibirku. ”Ayam aja udah bangun dan berkokok dari sebelum subuh tadi, kamu malah masih di tempat tidur, ibu nggak salah ucap, kan?” tanya ibu menggodaku. ”Iya deh, Bu. Bentar lagi Ilma bangun, ya,” ucapku sambil memeluk paha ibu. Ibu mengusap kepalaku dengan lembut dan berkata,” Tapi benaran ya, enggak pakai lama.” Ibu pun melangkah pergi keluar dari kamarku. ”Lebih baik aku cepat bangun sebelum ibu datang lagi, berabe nanti urusannya,” batinku. Kurapikan tempat tidurku dan kubuka jendela kamar. Angin lembut terasa mengelus kulitku. 72 | Safridah Dkk
”Masyaallah, segarnya udara pagi ini,” gumamku memuji keagungan Allah SWT. Kemudian kulanjutkan aktivitas bersih‐bersih dan mandi pagi. Ketika keluar kamar mandi, tercium aroma harum dari arah dapur. Tanpa sadar aroma ini membuatku melangkah mendekati dapur dan mengendus‐enduskan hidungku ke arah kuali yang masih terjerang. Aroma ini adalah aroma nasi goreng kesukaanku dan ini adalah ciri khas sarapan yang selalu dibuatkan ibu setiap pagi. “Nasi goreng putih ala ibu”, begitu aku menyebutnya. Nasi goreng ini hanya bercampurkan bawang goreng dan garam, tanpa diberi cabai, kecap maupun sayur‐sayuran seperti nasi goreng kebanyakan yang dijual di warung‐warung pinggir jalan di kota tempatku merantau dan mencari kehidupan saat ini. Walaupun warnanya terlihat pucat dan tidak menggugah selera, tetapi rasanya mengalahkan makanan‐makanan yang pernah aku beli selama tinggal di kota ini. Kita bisa mencium aroma nasi goreng ini dari kejauhan, rasa bawang gorengnya yang khas dan nasinya yang tidak terlalu berminyak akan membuat kita ingin bertambuh, apalagi dimasak dengan rasa cinta dan penuh kehangatan oleh ibu. Ibu mengejutkanku dengan omelannya. ”Astagfirullah, saliha ibu, pakai baju dulu sana. Kelihatan tuh auratnya, enggak malu apa?” ”Iya, Ibu sayang,” ucapku sambil mencium pipi ibu dan berlari ke kamarku. Tidak sampai lima menit aku pun sudah berpakain rapi lengkap dengan jilbab sarung yang terjulur menutupi Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 73
tubuhku. Aku diajarkan tetap menutup aurat ketika berada di rumah karena dikhawatirkan ada sepupu atau anggota keluarga lainnya yang bukan mahramku, sehingga aku tidak perlu sembunyi ataupun berlari mengambil jilbabku ketika ada yang datang ke rumah. Aku keluar dengan semangat menuju ruang makan. Terlihat ayah, abang dan adik laki‐lakiku sudah duduk rapi siap untuk menyantap sarapan. Ibu pun masih sibuk menuangkan teh manis hangat ke dalam gelas yang ada di atas meja. Ini adalah kebiasaan di daerahku, apa pun sarapannya minumannya tetap teh manis hangat. Mungkin karena daerahku dikelilingi pepohonan rindang alias hutan. Sehingga kondisi di pagi hari sangat dingin. Aku pun bergegas membantu ibu mengambil piring dan menyiapkankan yang lainnya. Kami semua menikmati masakan ibu yang luar biasa memuaskan selera. Sederhana tapi sangat bermakna dan penuh dengan kehangatan. Seperti banyak orang bilang “seperti apa pun mahal dan mewahnya makanan yang dimasak oleh orang lain tetap masakan seorang ibu tidak tertandingi rasanya”. Yaitu masakan paling enak sedunia dan masakan yang selalu dirindukan oleh orang‐orang yang dia cintai. Hari ini adalah hari libur atau week end. Setelah selesai sarapan, kami menghabiskan waktu bersama di ruangan yang sederhana ini. Abang dan adik laki‐lakiku sedang asyik ngobrol dengan ayah terkait alat elektronik dan mainan yang sudah mereka bongkar, tetapi tidak bisa memasangnya utuh kembali. Ayah adalah solusinya. Ayah memang tidak tamat 74 | Safridah Dkk
sekolah dasar tetapi beliau sangat mahir dalam memperbaiki alat elektronik terutama jam dan radio. Beliau belajar autodidak selama ini sehingga beliau mendapatkan julukan tukang jam di kampung ini. Aku dan ibu pun asyik mengobrol terkait sekolahku. Ibu selalu menanyakan apa yang kulakukan di sekolah, bagaimana belajarku, dan juga teman‐temanku. Ibu selalu mendukungku agar aku lebih giat belajar dan belajar untuk terbuka kepada ibu terkait kehidupan yang kujalani. Ibu adalah pendengar setia dan solusi hidupku. ”Kak, masyaallah I miss my mom,” ujar Mita membuyarkan lamunanku. Dia memegang lenganku lembut dan kembali ikut bernyanyi seperti peserta lainnya. ”Mee too, I really miss my mom and I want to know her,” gumamku. ”Apa, Kak?” tanya Mita. ”Nothing. I said I like this song,” ujarku. ”I agree with you,” jawabnya. ”Ayo, Kak. Ikutan menyanyi lagi,” lanjutnya. Aku masih ingin melanjutkan khayalan indahku. Namun, Mita masih pantang menyerah membujukku untuk ikut bernyanyi sambil menarik‐narik lenganku dengan wajah yang sumringah. Aku pun pasrah dan ikut bernyanyi karena khawatir Mita curiga dengan apa yang kulakukan barusan. ... Tangan halus dan suci Telah mengangkat tubuh ini Jiwa raga dan seluruh hidup Rela dia berikan ... Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 75
Kata mereka diriku selalu dimanja Kata mereka diriku selalu ditimang Sampai di lirik ini suaraku mulai bergetar dan serak. Kurasakan kedua mataku terasa panas. Setitik air mata keluar mengaliri pipi kiriku. Cepat‐cepat kuusap dan berusaha mengikuti lagu ini sampai akhir. Oh, Bunda ada dan tiada dirimu ‘Kan selalu ada di dalam hatiku ... Lagu ini membuatku merindukan sosok ibu. Sosok yang selama ini hanya ada dalam imajinasiku karena aku tidak pernah tahu rasanya memiliki seorang ibu. Ibu meninggal dunia ketika aku berusia tiga tahun dua bulan. Aku tidak pernah tahu wajah ibu sampai aku menemukan fotonya di rumah salah satu kakak sepupuku. Saat itu aku sudah kuliah semester akhir di Unversitas Islam Riau. Awalnya kupikir ayah memang tidak mau memberikan gambarnya kepada kami namun ternyata pada saat ibu meninggal semua gambarnya disimpan oleh anggota keluarga lainnya karena ayah sangat terpukul dengan kepergian ibu. Teman‐temanku sering bercerita tentang ibunya dan kebersamaan yang mereka miliki. Biasanya aku memilih untuk diam dan hanya tersenyum. Tidak ada hal yang bisa kuceritakan tentang ibu dan keluargaku karena kami tumbuh besar jauh dari keluarga dan kami tidak tumbuh bersama seperti kehidupan normal anak‐anak lainnya. Dari kecil kami tumbuh besar di tempat yang berbeda, namun masih di kota yang sama, yaitu di Pekanbaru. Jujur aku merindukan sosok seorang ibu. Dunia mengatakan ibu adalah segalanya. Beliaulah malaikat berhati 76 | Safridah Dkk
lembut yang selalu membelai lembut anak‐anaknya. Orang yang rela berkorban demi kebahagiaan anak‐anaknya. Orang yang selalu ada untuk keluarganya dan madrasah pertama bagi anak‐anaknya. Tetapi itu semua tidak pernah ada dalam hidupku. Aku sering merasa iri dengan teman‐temanku yang memiliki keluarga lengkap namun mereka tidak menghormati orang tuanya. Mereka sering berucap kasar ketika orang tuanya tidak memberikan apa yang mereka mau. Sedangkan orang tuanya tetap tersenyum dan menegurnya lembut walaupun sudah diperlakukan buruk oleh anaknya. Mereka bisa menceritakan segalanya kepada ibu mereka, bercanda, tertawa bersama, mendapatkan pelukan hangat dan ciuman sayang dari orang tuanya. Lain halnya denganku, aku tidak pernah mendapatkan semuanya. Aku hanya bisa menuangkannya dalam tulisan dan menceritakan semua keluh kesahku kepada Dia Yang Maha Memiliki Kehidupan. 1 June 2015 Assalamualaikum, my lovely mom ... I wanna tell you that today I miss you mom ... I wanna know about you mom ... I want to see your face ... Can we meet even though in a dream? What do you think? Will we meet each other? Are you okay there? Does Allah love you? Do you miss me? Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 77
Silly question (he..he..he..) May Allah always loves and bless you mom (Aamiin ya Rabb...) 23 October 2016 Today is the day where I really miss you mom. Suddenly I wanna cry and need you beside me. I can’t stop my tear. I really can’t control my feeling. I wanna hug you. I wanna tell you about everything but I can’t, because you are so far from me. Event I don’t know well your face and you are not here with me but I can feel you are in my heart.I really don’t know what happen to me today. I never miss you like today for my age. I cry like a baby. I’m really sensitive. I am really jealous with the person who has complete parent but doesnt thank to Allah and respect his/her parent. I wanna know how is the feeling having a mother. Really miss you mom. Wish we will gather in His jannah. Terima kasih ya Allah, engkau tenangkan hati hamba walaupun hamba merasa kesepian dan kehilangan. Terima kasih ya Allah, engkau tidak pernah membiarkan hamba berputus asa dari rahmatMu Terima kasih ya Allah, engkau selalu menguatkan hati hamba Terima kasih ya Allah, engkau selalu ada untuk hamba Ya sami’... Jangan penah bosan dengan cerita dan curhatan hamba Jangan pernah engkau biarkan hamba merasa sendiri ya Allah 78 | Safridah Dkk
Dekap hamba dalam cint‐aMu Sayangi hamba ya Allah Keep smile Ilma! Allah is always with you Remember! You are never alone Just believe this is the best for you. Allah just wants that you realize how Allah loves you So, keep smile! Love you mom Inilah yang selalu kulakukan saat aku sangat merindukan ibu dan berkeluh kesah tentang hidupku. Aku tahu tiada siapa pun yang akan membaca dan merespons semua cerita dan oret‐oretanku, tetapi setidaknya ini bisa membuatku merasa plong dan bersemangat kembali menjalani aktivitas harianku. Aku yakin Allah mendengar rintihan hatiku dan selalu memelukku dengan rahmat dan kasih sayang‐Nya. Karena tidak ada kekuatan selain kekuatan‐Nya. Iyyakana’budu wa iyya kanasta’in (hanya kepada‐Mu kami beribadah dan hanya kepada‐Mu kami meminta pertolongan). Kata‐kata ini yang selalu memompa semangatku dan membuatku merasa dicintai. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB. Akan tetapi, kami masih menikmati serunya acara ini. Acara ini terasa sangat berkesan, apalagi di akhir acara diisi oleh Ustaz Fakhrurrazi Anshor. Beliau berkata,” Doa yang di dalamnya Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 79
mengandung tauhid, tasbih dan istigfar yaitu doa Nabi Yunus AS. Laa ilaaha illaa anta sub‐ḥaanaka innii kuntu minaẓ‐ ẓaalimiin (Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang‐orang yang zalim). Jika engkau tidak memiliki waktu untuk berdoa maka bacalah doa ini dan rasakan khasiatnya”. Beliau membuat kami hanyut dalam setiap rintihan dan doa yang dipanjatkan. Tidak lupa kuselipkan doaku untuk ibu. Inilah bakti yang bisa kulakukan dalam hidupku. Ya Rabb, Ampuni dosa‐ dosa kedua orang tua hamba Ya Rabb, pelihara ibu hamba dari azab kubur‐Mu Sayangilah ia dan terima semua amal ibadahnya selama ia masih hidup Ya Rabb, sampaikan salam rindu hamba padanya Rindu yang tiada tara kepada ciptaan‐Mu yang mulia Hamba rindu akan kasih sayangnya, yang berarti kasih sayang‐Mu ya Rabb, Hamba rindu cintanya, yang berarti cinta‐Mu ya Rabb, Hamba rindu kehangatannya, yang berarti kehangatan‐Mu Hamba rindu pada‐Mu ya Rabb, Hamba rida dengan ketetapan‐Mu ya Rabb, Hamba yakin Engkau begitu menyayanginya hingga engkau memanggilnya ya Rabb Pertemukan hamba dengannya kelak ya Rabb Kumpulkan hamba dengannya dan orang‐orang yang engkau cintai di Surga Firdaus‐Mu Hamba mohon padamu ya, Rabb Ya sami’... Engkau yang maha mendengar 80 | Safridah Dkk
Ya bashir... Engkau yang maha melihat Engkau melihat dan mendengar hamba meminta pada‐Mu Ijabalah doa hamba Ya Allah Aamiin, Ya Rabbal Alamiin. Dengan berakhirnya doa yang kami panjatkan usai sudah acara untuk hari ini. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari acara ini. Membuatku lebih yakin akan semua ketentuan‐Nya. Dialah pemberi kehidupan. Dialah yang maha tahu apa yang terbaik untuk hidupku. Dan Dialah tempatku meminta dan berkeluh kesah. Intinya acara ini membuatku menjadi lebih dekat dengan penciptaku. Aku merasa begitu damai, merasa dicintai, dan diberkati. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 81
Ibu, Jangan Bedakan Aku Oleh: Agustrianita, M.Pd. (Guru SMP Negeri 40 Pekanbaru) I buku merupakan anak satu‐satunya dari pernikahan nenek dan kakekku. Setelah ibu dipersunting oleh ayah saat berumur 19 tahun, nenek dan kakek hanya tinggal berdua saja. Aku adalah anak ketiga di antara lima bersaudara. Saat aku berumur 2 bulan, ibuku ditugaskan untuk bersekolah di pertahanan sipil selama 6 bulan di sebuah kota yang sangat jauh dari kampung halamanku. Sedangkan ayahku berprofesi sebagai guru, dikarenakan kesibukannya mengajar di sekolah, ayah kurang punya waktu untuk menjagaku. Lalu mereka menitipkanku kepada nenek dan kakek. Enam bulan sudah ibu menjalani masa latihannya, kemudian dia kembali ke kampung halaman. Pada saat ibu dan ayah mengajakku untuk kembali tinggal bersama mereka, kakek dan nenek mengutarakan keberatan mereka untuk melepaskanku. Mereka ingin tetap menjaga dan membesarkanku. Begitu juga denganku, aku tidak bisa mengingkari hatiku yang sudah terlanjur menyayangi mereka layaknya seperti kedua orangtua kandungku. Setelah melalui proses diskusi yang alot, diambilah sebuah keputusan bahwa aku tetap dipelihara oleh kakek dan nenek. Nenekku tutup usia saat aku masih duduk di bangku kuliah semester satu tepatnya di usiaku yang beranjak 19 82 | Safridah Dkk
tahun. Kepergiannya membuatku kehilangan sosok ibu yang sangat baik hati, penyayang dan dermawan. Dia selalu bersedekah kepada orang lain baik dalam bentuk uang, makanan, dan juga pakaian, walaupun pada saat itu dia hidup dalam keadaan sederhana dan kekurangan. Terkadang aku dan kakek selalu kesal kepada nenek, dia tidak pernah memikirkan kalau aku dan kakekku masih ingin mencicipi makanan yang sudah dia sedekahkan kepada orang lain. Sifat inilah yang membuat tetangga‐tetanggaku juga merasakan kehilangan sosok nenekku. Sedangkan kakekku adalah orang yang sangat ramah, baik dan sabar. Beliau begitu memanjakanku dari kecil hingga aku dewasa. Kakekku yang membiayai semua pendidikanku dari bangku SD sampai aku memperoleh gelar sarjana, walaupun kadang‐kadang ayahku juga memberiku sedikit uang jajan untuk tambahan. Kakekku menghembuskan nafas terakhirnya setelah aku menyelesaikan study S‐1ku. Hal yang paling membuatku sangat sedih adalah dia tidak sempat menyaksikanku menikah dan bersanding dengan laki‐laki yang aku cintai di pelaminan. Setelah mereka tiada, aku merasa tidak memiliki siapa‐ siapa lagi di dunia ini. Jikalau aku rindu ingin pulang ke kampung halamanku. Aku tidak lagi kembali kerumah nenek‐ kakekku dimana aku tumbuh dan dibesarkan. Namun, aku harus kembali ke rumah orangtuaku. Walaupun rumah orangtuaku sedikit asing bagiku, tapi aku mencoba untuk Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 83
merasa lebih nyaman dan belajar membiasakan layaknya sebuah rumah yang sudah lama aku tempati. Hari demi hari, aku lewati semua kesedihanku dengan berbagai aktivitas di sekolah. Tetapi tetap saja aku kembali larut dengan kesedihanku setelah aku kembali ke kostku untuk melepaskan lelahku. Aku ingin sedih ini segera pupus dari pikiranku. Tapi aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. Sampai akhirnya, Allah membuat skenario yang tepat untukku. Tepat 6 bulan setelah aku menyelesaikan study S‐ 1ku, kekasihku datang ke orang tuaku untuk melamarku. Harapanku saat itu, semoga calon suamiku kelak akan menjadi penghibur duka laraku. Pada acara pernikahan suku Melayu dikampungku, calon mempelai pria harus memberikan uang hantaran dan seperangkat isi kamar tidur kepada calon mempelai wanita, seperti tempat tidur, lemari, handuk, pakaian dalam dan kosmetik. Namun, calon suamiku berasal dari suku Minang dimana calon mempelai pria tidak ada kewajiban memberikan hantaran seperti kebiasaan di kampungku. Hal ini menjadi simalakama bagiku. Jika aku tidak ikuti semua keinginan orangtuaku, aku takut mereka tidak akan memberikan restu kepadaku, dan menganggapku anak yang tidak berbakti. Di sisi lainnya keluarga calon suamiku akan keberatan untuk memberikan uang hantaran pada saat itu sebesar 10 juta di mana sekarang ini nilainya sebesar 50 juta. Aku ingin pernikahanku tidak perlu diadakan semewah kakak dan abangku. Karena kupikir semua ini hanyalah pemborosan belaka, mungkin lebih baik uang itu digunakan 84 | Safridah Dkk
utuk bekal rumah tangga yang akan aku jalani bersama calon suamiku setelah menikah nanti. Namun, kedua orang tuaku tidak mau prosesi pernikahanku diadakan sederhana seperti yang aku maksudkan. Dikarenakan adat dan prestise yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lingkunganku, membuat orangtuaku juga ingin menunjukan kepada keluarga, tetangga dan koleganya bahwa mereka mampu mengadakan acara pernikahan anaknya sesuai dengan adat yang biasa dilakukan oleh orang kebanyakan. Aku mendengar telepon genggamku berdering. Kulihat nama ibu. Ibu memintaku segera pulang. Lalu aku menjawab,” Bu, aku masih ada kerjaan.” ”Mau kerja sampai kapan? Kamu lupa hari pernikahanmu semakin dekat. Ayo, kamu harus segera pulang. Banyak yang harus dikerjakan. Tidak ada yang membantu ibu untuk membereskan rumah,” kata ibuku dengan nada yang tinggi. Lalu dia langsung memutuskannya tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk mengucapkan salam kepadanya. Sejak hari itu perasaanku menjadi gelisah. Entah mengapa aku merasa ibu terlalu memaksaku untuk pulang segera dan menurutku hari pernikahanku masih satu bulan lagi. Aku masih punya waktu untuk memperoleh uang dan menambah pernak‐pernik pernikahanku. Akhirnya, minggu kedua sebelum tanggal pernikahanku, aku memutuskan untuk pulang. Setelah aku rasa semua keperluan untuk pernikahanku sudah terpenuhi. Perasaanku semakin berat untuk pulang karena aku yakin ibu akan marah Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 85
kepadaku. Tapi aku tepis semuanya dan mencoba untuk melupakan semua keraguanku dan siap menghadapi semua kemarahan ibu kepadaku. Lamunanku menjadi buyar setelah mendengar klakson mobil travel yang menjemputku. Di sepanjang perjalananku aku kembali larut dengan perasaan takut akan dimarahi ibu. Setelah melakukan perjalanan selama 5 jam dan akhirnya aku sampai di rumah orang tuaku. Aku turun dari mobil dan aku mengucapkan terima kasih kepada sopir mobil yang menjadi mobil travel langgananku itu. Aku mengambil barang‐barang dan meminta kernet mobilnya membantuku untuk membawa sebagian barang‐barangku. Sebelum aku mulai melangkah, aku menarik napas sangat panjang dan mencoba menyiapkan hati untuk menghadapi kemarahan ibu. Aku masuk ke rumah dengan mengucapkan salam. ”Assalamu’alaikum.” Hanya ayah yang menjawab salamku. ”Wa’alaikumsalam.” Aku pun langsung menyalami ayahku. Aku tidak menjumpai ibuku karena seperti biasanya ibu pasti sedang berada di masjid untuk melaksanakan Shalat Magrib berjemaah. Aku sedikit lega karena tidak langsung menghadapi ibu. Lalu ayahku bertanya,” Kenapa lama sekali pulang, ibumu marah sekali denganmu.” Lalu aku menjawab,” Maaf Ayah, banyak pekerjaan sekolah yang harus kuselesaikan.” Ayah berlalu karena beliau akan menunaikan Shalat Magrib. Aku masuk kamarku. Pikiranku tidak henti‐hentinya merasakan takut akan dimarahi ibu. Lalu aku mendengar 86 | Safridah Dkk
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148