Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore ENSIKLOPEDIA SEJARAH DAN KEBUDAYAAN BEKASI

ENSIKLOPEDIA SEJARAH DAN KEBUDAYAAN BEKASI

Published by nastain45bekasi, 2022-06-08 07:48:58

Description: ENSIKLOPEDIA SEJARAH DAN KEBUDAYAAN BEKASI

Keywords: ENSIKLOPEDIA SEJARAH DAN KEBUDAYAAN BEKASI,SEJARAH KOTA BEKASI

Search

Read the Text Version

penduduk dalam urusan rodi. Sejak lama mandor Jahari dibenci oleh penduduk sdetempat. Pada awal Desember 1913 kebencian penduduk telah mencapai puncaknya dan mereka mau mengambil tindakan kepada mandor yang dinilai kejam itu. Mandor Saingkun telah mencium rencana penduduk Pondok Kelapa terhadap saudaranya. Ketika pada 7 Desember 1913 bedug dipukul bertalu-talu di langgar Pondok Kelapa, mandor Saingkun berdama 50 orang temannya cepat-cepat menuju Pondok Kelapa untuk membantu mandor Jahari karena ia tahu bahwa . Di samping itu, orang-orang Sarekat Islam telah berkumpul di Kampung Setu, Cakung. Kampung tersebut berbatasan dengan Kampung Bojongrangkong, tempat tinggal mandor Jahari. Bunyi bedug sebagai tanda dimulainya komunikasi gerakan antaranggota Sarekat Islam di Bekasi untuk menunggu perintah melakukan sesuatu telah bertalu-talu. Beberapa pemimpin Sarekat Islam mengadakan perjalanan antarkampung di Bekasi, seperti Ngeya dari Kampung Cibening di daerah tanah swasta di Pondok Gede, Sapat bekas juragan di Bulaktemu dari Kampung Setu di tanah swasta Cakung, Haji Ibrahim dari Kranji, dan Japar bekas mandor di Setu. Pemimpin-pemimpin inilah yang mengerahkan penduduk berkumpul di Setu pada tanggal 14 Desember 1913. Langgar Al Karim, ayah Sapat dijadikan pusat berkumpul. Kampung Setu dan Bojongrangkong adalah dua kampung yang berbatasan. Setu adalah kampung pusat gerakan anggota-anggota Sarekat Islam, sedangkan Bojongrangkong merupakan kampung yang umumnya para penduduknya menjadi pengikut mandor Saingkun dan Jahari. Penduduk Kampung Setu disiapkan untuk menghadapi gerakan penduduk Bojongrangkong yang menjadi pengikut mandor Saingkun dan Jahari yang dianggap memihak tuan tanah Tionghoa. Pada hari Rabu tanggal 10 Desember 1913 sebanyak 150 orang anggota Sarekat Islam dari Pondok Kelapa tidak masuk kerja pada tanah-tanah swasta karena takut pada Saingkun dan teman-temannya. Potia, pengurus tanah swasta, meminta agar para pembangkang diajukan ke pengadilan. Dari 150 orang itu diambil 13 orang yang dianggap sebagai penggerak atau pemimpinnya. Dari 13 orang, tiga orang dihukum oleh pengadilan dan seorang dibebaskan pada tanggal 13 Desember 1913. Kepada pekerja yang lain, berjumlah 146 orang, diancam hukuman bila mingu depan tidak melakukan kerja di tanah swasta di Bekasi. Hari Sabtu-Minggu dalam bulan Desember 1913 semua anggota Sarekat Islam di Kampung Setu tidak masuk kerja di tanah kongsi swasta. Tumpang, seorang mandor, menyelidiki orang-orang di Setu. Tumpang bertanya kepada seorang pekerja, Sinen, mengenai alasan mereka tidak bekerja. Jawabnya, ia dilarang oleh Japari, bekas mandor, yang telah menjadi pemimpin Sarekat Islam. Saimban yang datang pada saat itu membenarkan keterangan Sinen. Mandor Tumpang marah mendengar keterangan dua penduduk Kampung Setu itu karena yang berkuasa di daerah itu adalah mandor seperti dirinya. Saimban ditampar oleh mandor Tumpang. Keributan pun terjadi sampai menjalar ke pada orang-orang dari Paten dan Blandongan. Orang yang datang dari Blandongan membawa pisau. Saimban yang kena tampar pergi. Terdengarlah bunyi bedug bertalu-talu di Kampung Setu skeitar jam 07.00. Bunyi bedug tersebut disambut oleh bedug-bedug di langgar lain, ditambah bunyi kentrongan. Kemudian mengalirlah orang-orang dari beberapa kampung di Kawedanan Bekasi menuju langgar 34   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Pak Karim di Kampung Setu. Di antara gerombolan orang yang datang itu ada yang berasal dari Kampung Babelan yang berjarak 10 pal dari Setu, bahkan dari Cicadas, Distrik Cibinong, Afdeeling Bogor. Asisten Residen mendapat laporan dari Wedana Bekasi tentang orang-orang bersenjata dari banyak kampung datang ke Bojongrangkong. Tidak lama kemudian, timbul kerusuhan dan perkelahian di Kampung Setu. Selanjutnya, dilaporkan bahwa orang terus mengalir menuju Bojongrangkong. Asiten Residen Meester Cornelis (Jatinegara) menelepon komandan militer setempat untuk meminta bantuan 20 pesonil militer di bawah pimpinan seorang letnan. Pasukan itu bersama Asisten Residen mendatangi tempat kerusuhan dengan mengendarai dua buah mobil. Mereka yang belum terangkut diminta menunggu kendaraan dari Weltevreden. Dalam perjalanan menuju kampung Setu diperoleh keterangan bahwa di Kampung Setu terjadi perkelahian. Orang-orang Sarekat Islam yang datang dari kampung lain mengepung Kampung Setu dan Bojongrangkong untuk memberi bantuan. Asisten Residen bersama personalia militer dan pembantunya memasuki pekarangan rumah Mandor Tumpang. Di sekeliling rumah berkumpul antara 2.000-3.000 orang yang terpanggil oleh bunyi bedug. Asisten Residen memerintahkan massa yang berkumpul agar berjongkok. Perintah itu ditaati. Kemudian salah seorang di antara mereka ditanya tentang maksud berkumpul di Setu. Ngeya menjawab bahwa mereka datang untuk menyelesaikan tiga kasus saudaranya yang dipukul oleh Mandor Tumpang. Masalah perkelahian dan pemukulan atas ketiga orang itu oleh Mandor Tumpang diminta penyelesaian secepatnya di Pengadilan Bekasi. Atas nasihat Asisten Residen, massa yang berkumpul pulang ke rumah masing-masing sehingga terhindar kemungkinan jauhnya korban jiwa. Hari Selasa keempat orang yang terlibat perkelahian di Setu sudah datang di Pengadilan Bekasi dengan diantar oleh sekitar 100 orang. Massa yang mengantar berjongkok di sekitar Pengadilan Bekasi. Mandor Saingkun dan Mandor Tumpang dengan bantuan keuangan orang-orang Tionghoa bersumpah untuk memusuhi Sarekat Islam. Thio Ju Liong, orang Tionghoa yang sangat luas sawahnya, sanggup mengeluarkan uang banyak untuk membunuh anggota Sarekat Islam, seperti Sapat dan Jaya. Pada malam tanggal 7 Desember 1913 Saingkun bersama 600 orang kawannya dari Pondok Kelapa berusaha membunuh para pemimin Sarekat Islam tetapi gagal. Untuk memperjelas persoalan, Haji Abdurrachman, Presiden Sarekat Islam di Meester Conelis, mengadakan musyawarah. Kerja paksa untuk kepentingan tuan tanah di Cakung merupakan penyebab langsung terjadinya kerusuhan tanggal 13 Desember malam menjelang tanggal 14. Rakyat penanam padi ikut serta di dalam aksi tersebut karena masalah pengupahan yang tidak adil, terutama di tanah-tanah swasta Cakung Bekasi. Sarekat Islam Distrik Bekasi memegang peran penting dalam aksi pemberontakan petani di Bekasi. Sarekat Islam Distrik Bekasi merupakan anak cabang Sarekat Islam Kabupaten Meester Cornelis, terlepas dari Betawi. Bagian 1—Sejarah 35  

Sumber: 1. Bernard H.M. Vlekke, Nusantara a History of Indonesia. The Hague, W. van Hoeve Ltd., 1965. 2. Depdikbud, Sejarah Perlawanan terhadpa Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Jawa Barat. Jakarta, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, tahun 1982/1983. D. Bekasi Masa Revolusi Kemerdekaan Bekasi pada Masa Pendudukan Jepang Masa pendudukan Jepang di Indonesia merupakan salah satu saat yang penting dalam sejarah tanah air Indonesia. Ketika Angkatan Perang dan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda menyerah di Kalijati, Jawa Barat, pada tanggal 9 Maret 1942 kepada Panglima Satuan Tentara ke-16 Jepang yang mendarat di Banten dan Cirebon, hal itu menjadi awal kematian kekuasaan Belanda di Indonesia. Penyerahan kalah tanpa syarat yang dilakukan oleh Letnan Jenderal Ter Poorten kepada Letnan Jenderal Imamura merupakan awal pembubaran kekuasaan Belanda di Nusantara yang sudah dibangun selama kira- kira tiga ratus tahun. Kekuasaan selingan Jepang di Indonesia merupakan salah satu episode yang penuh penderitaan dan penindasan di dalam sejarah tanah air. Kaum militeris Jepang yang sedang membangun satu “Lingkungan Kesemakmuran Bersama Asia Timur Raya” sebagai salah satu persiapan menuju Hakko Itjiu atau penguasaan dunia, harus lebih dahulu mengusir semua kekuasaan bangsa-bangsa Barat di Asia, termasuk Belanda. Untuk itu, setelah saatnya dirasa tiba pada permulaan bulan Desember 1941, Jepang mencetuskan Perang Dai Toa atau “Perang Asia Timur Raya”. Peperangan ini selama enam bulan pertama ditandai oleh kemenangan yang beruntun bagi pihak Jerpang. Mereka bergerak maju di semua medan pertempuran dengan kecepatan tinggi, seakan-akan tidak ada suatu kekuatan atau kekuasaan di atas dunia yang dapat membendungnya. Namun, suasana peperangan kemudian berubah. Tentara Sekutu yang dihadapi oleh Angkatan Perang Dai Nippon, yang terutama terdiri dari tentara Amerika Serikat dan Inggris-Raya, setapak demi setapak berhasil merebut kembali daerah mereka yang dirampas oleh Jepang. Kaum militeris dan kaum nasionalis fanatik Jepang bertekad memenangkan Perang Dai Toa. Pertaruhan mereka di dalam peperangan ini sangat besar, oleh sebab itu di mata Jepang tidak ada pengorbanan yang terlampau besar atau perbuatan yang melewati batas asal saja mereka menjadi pemenang dalam peperangan ini. Untuk itu, Jepang memeras segala apa yang dapat diperas dari daerah pendudukannya di Asia, baik berupa materi maupun berupa tenaga manusia. Setelah Jepang mendarat di salah satu daerah di Asia Tenggara, para propagandis mereka pun datang ke daerah itu, terus giat mempropagandakan semboyan muluk yang berdasarkan politik 36   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

rasialis. Propaganda mereka di Indonesia berbunyi “Nippon-Indonesia sama-sama” dan “Asia untuk orang Asia”. Yang paling utama dan paling giat dilakukan oleh Jepang selama mereka menduduki “daerah- daerah selatan” adalah melakukan penjajahan politik, ekonomi dan kebudayaan. Di Indonesia Jepang melakukan segala macam daya upaya untuk mempengaruhi anak-anak, kaum remaja, maupun para pemuda berusia dua puluhan. Kaum tua disuguhi berbagai semboyan yang memikat hati, kaum remaja dibiasakan dengan tradisi-tradisi Jepang serta diindoktrinasi dengan paham fasisme. Di dalam usahanya memenangkan Perang Dai Toa, di Indonesia Jepang sering secara terburu- buru mendirikan berbagai organisasi fasistis yang bersifat militer atau semimiliter. Mereka meminta pemuda memasuki barisan Heiho atau Tentara Pembantu. Semula Jepang tidak berniat mempersenjatai Heiho karena lebih diarahkan menjadi tenaga-tenaga pekerja yang secara langsung dapat membantu satuan-satuan angkatan perang di mana pun mereka berada. Itu sebabnya, barisan Heiho dimasukkan dalam organisasi ketentaraan Jepang dan dipimpin langsung oleh orang-orang Jepang. Dalam perkembangannya, karena berbagai pertimbangan, Jepang mempersenjatai Heiho. Posisi Jepang yang terdesak di medan pertempuran ketika tentara Sekutu mulai maju di gugusan pulau-pulau kecil di Lautan Teduh dimanfaatkan oleh para pemuka bangsa Indonesia dengan baik. Mereka mengajukan permohonan kepada pemerintahan Jepang agar diizinkan membentuk barisan bersenjata di kalangan orang Indonesia sendiri, yaitu Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta). Jepang terpaksa mengabulkan permintaan ini meskipun pembentukannya tidak ada dalam cetak biru (blue-print) pendudukan Jepang di Indonesia, dengan syarat penduduk siap ikut serta menggempur Sekutu bila menginjakkan kakinya di Indonesia. Syarat lain, para pemuka bangsa bersedia mengerahkan barisan Romusha atau budak-budak pekerja yang diperlukan Jepang membuat kubu- kubu di berbagai medan perang. Sebelum pembentukan barisan-barisan Heiho dan Peta, tentara pendudukan Jepang mengendalikan sendiri usaha penggemblengan pemuda di pulau Jawa dengan mendirikan organisasi Jawa Seinendan. Organisasi ini langsung dipimpin oleh Panglima Angkatan Perang Jepang di Jakarta. Jawa Seinendan mempunyai cabang sampai ke desa-desa dan kampung-kampung dan merupakan usaha terpenting “menjepangkan” angkatan muda Indonesia. Di dalam organisasi ini pemuda diperkenalkan dan dibiasakan dengan kebudayaan/tradisi Jepang. Di dalam Jawa Seinendan ditabur bibit-bibit ekstremisme di kalangan pemuda yang banyak menyulitkan para pemimpin pada masa permulaan revolusi Indonesia. Sumber: 1. Susanto Tirtoprodjo, Sejarah Revolusi Indonesia. Jakarta, 1963. 2. Bernard H.M. Vlekke, Nusantara a History of Indonesia. The Hague, W. van Hoeve Ltd., 1965. Bagian 1—Sejarah 37  

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Pengumuman tentara Jepang dengan Dekrit No. 1 tanggal 7 Maret 1942 dapat dianggap permulaan resmi pemerintahan militer Jepang di pulau Jawa. Pemerintahan militer di daerah-daerah pendudukan tidak langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah Jepang tetapi berada di bawah pucuk pimpinan Angkatan Perang. Garis-garis besar kebijaksanan di daerah-daerah pendudukan umumnya dibicarakan dalam rapat-rapat pertemuan antara pemerintah dan markas-markas besar kedua angkatan perang, tetapi pelaksanaan kebijaksanaan itu berada dalam tangan menteri pertahanan dan para panglima di daerah-daerah pendudukan. Semua satuan angkatan darat di daerah-daerah selatan berada di bawah komandan Marsekal Terauchi, yang langsung bertanggung jawab ke Tokyo. Mula-mula ia bermarkas di dekat Saigon (Dalat), kemudian di Singapura dan Manila dan dalam bulan November 1944 berpindah lagi ke Saigon. Pada awal Perang Dunia II Amerika Serikat sangat terkejut atas dilancarkannya serangan Angkatan Udara Jepang terhadap armadanya di Pearl Harbour (Kepulauan Hawaii) dan armada Kerajaan Inggris yang sedang berada di sekitar Singapura. Namun, pada tahun 1944 tentara Amerika mulai menyerang angkatan laut dan angkatan udara Jepang sehingga mereka terpaksa mempertahankan diri dan membatalkan maksud menyerang Australia. Mula-mula yang menjadi objek penyerangan armada dan Angkata udara Amerika Serikat adalah kepulauan Solomon. Dalam peperangan sengit, tentara Jepang yang dikerahkan dari sekitar Pulau Irian menderita kekalahan besar. Sejak itu Jepang mulai insyaf bahwa ia tidak selalu dapat meraih kemenangan di dalam setiap peperangan yang dijalaninya, seperti kemenangannya di Manchuria dan Tiongkok. Ketika bayang-bayang kekalahan semakin jelas bagi Jepang, mereka sadar perlu mendapatkan dukungan rakyat Indonesia. Untuk menarik hati rakyat, Pemerintah Jepang di Tokyo menyatakan, di Indonesia akan dibentuk dokuritzu zianbu maksudnya ialah bahwa Indonesia kelak akan “berpemerintahan sendiri”. Perkembangan dari medan pertempuran antara tentara Jepang dan tentara Sekutu terjadi sangat cepat. Pada tanggal 15 Agustus 1945 para pemuda Indonesia dari kantor berita Domei mengabarkan secara rahasia bahwa menurut berita luar negeri, Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Dalam pertempuran laut armada Jepang menderita kekalahan di Okinawa dan angkatan udara sekutu telah menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Kaisar Jepang, Tenno Heika, kemudian memerintahkan semua tentaranya meletakkan senjata karena ia tidak menghendaki lebih banyak rakyat Jepang menjadi korban. Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Kantor Pusat Kepolisian Pemerintah Penduduk Jepang, di Jln. Nusantara 32. Pagi-pagi pegawai yang telah berkumpul di kantor melihat suasana yang berlainan daripada biasa diantara pegawai-pegawai bangsa Jepang yang rupanya menunggu sesuatu kejadian yang penting. 38   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Dari bisik-bisik para pegawai Jepang, akhirnya diketahui bahwa pada hari itu akan dicetuskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada kira-kira jam 11 pagi itu terdengar radio dengan suara Bung Karno mengucapkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun, pegawai bangsa Indonesia Peta pertempuran di Bekasi pada waktu itu belum insyaf akan arti Proklamasi itu. Mereka hanya mendengar bahwa pemerintah Jepang beberapa hari berselang telah bertekuk-lutut pada kekuatan sekutu. Hal ini telah diumumkan oleh pembesar kantor yang pada suatu upacara resmi menerangkan bahwa Nippon harus menyerah karena dua hal, ialah karena ledakan bom atom dan kedua karena Rusia telah mengumumkan perang pada Jepang. Di berbagai pelosok kota, termasuk Bekasi, proklamasi merupakan pokok pembicaraan utama. Setelah dua hari, keadaan masyarakat umum. Setelah dua hari keadaan masyarakat berubah. Perasaan hangat mulai timbul. Sifat masyarakat Bekasi pun berubah. Perasaan takut terhadap penjajah Jepang lenyap. Jepang telah menyerah, tetapi ia masih memegang senjata yang dapat dipergunakan melindungi kedudukannya. Jepang mengetahui hal ini, tapi dalam hati kecilnya perasaan takut pada rakyat telah meresap. Kegemilangan serdadu Dai Nippon di waktu menginjak bumi Indonesia pada tahun 1942 telah berganti dengan kemuraman karena kelelahan. Semangat yang dimilikinya berpindah ke jiwa bangsa Indonesia, terlebih-lebih pada jiwa pemudanya. Bersama dengan berpindahnya semangat, terjadi bentrokan di antara pihak Jepang dan penduduk di beberapa bagian kota. Senjata api dan pedang samurai saling bertemu dengan bambu runcing. Di kota Bekasi timbul kumpulan pemuda, tujuannya terutama guna mendapatkan senjata api. Bersamaan dengan gerak perlawanan terhadap Jepang, sang merah Putih telah berkibar dibanyak tempat, termasuk di Bekasi. Pemerintah Jepang melihat perkembangan suasana ini dengan hati sangsi. Larangan mengibarkan bendera Dwiwarna tak pernah dikeluarkan. Hanya dalam suatu hal Jepang bertindak keras, yaitu waktu Bung Karno bermaksud mengadakan rapat raksasa di lapangan Ikada pada 19 September 1945. Bagian 1—Sejarah 39  

Berbagai unsur masyarakat dan kesatuan perjuangan dari berbagai daerah, termasuk dari Bekasi, berkumpul di lapangan Ikada. Namun, karena penjagaan yang sangat ketat oleh pemerintah Jepang, akhirnya rapat raksasa itu tidak berlangsung sebagaimana direncanakan. Hanya sebentar Bung Karno berpidato dan sesudah itu ribuan orang berpencar dan membubarkan diri dengan teratur. Namun, secara umum, penjagaan Jepang ternyata tidak berguna. Bangsa Indonesia yang baru merdeka beberapa hari membuktikan cukup kuat menjaga dirinya sendiri. Kempetai sering menggerebek gedung-gedung yang dipergunakan rakyat sebagai tempat berkumpul, termasuk gedung di jalan Menteng 31 Jakarta yang dipergunakan sebagai tempat pertemuan oleh para pemuda Indonesia. Selain daripada organisasi pemuda, dibentuk juga BKR untuk membela keselamatan negara. Anggota-anggota Seinendan dan Keibodan, yang didirikan oleh pemerintah pendudukan Jepang, menggabungkan diri dalam organisasi masyarakat. Heiho dan Peta juga meleburkan diri dalam alat-alat negara. Pada suatu waktu terdengar kabar bahwa Sekutu akan mendaratkan tentara di Jakarta dengan maksud mengurus tawanan dan melucuti tentara Jepang. Dua atau tiga hari kemudian, di jalan Harmonie kelihatan beberapa truk berisi serdadu Gurkha bergerak dari Kota menuju Gambir. Sekutu yang diwakili oleh Inggris telah tiba, tentaranya telah didaratkan. Kantor Pusat Kepolisian Jepang pun direbut dan diambil alih oleh pasukan Sekutu. Kini bukan lagi Kempetai yang merupakan lawan bagi rakyat Indonesia. Bendera Merah Putih yang berkibar di gedung-gedung menjadi sasaran dari Sekutu dan pengikutnya. Sekutu bermaksud menurunkannya tetapi pemuda-pemuda dibantu oleh rakyat mempertahankannya. Dalam melakukan perlawanan dan mengadakan penyerbuan terhadap serdadu-sedadu asing keberanian dan keahlian rakyat bertambah. Serdadu-serdadu Jepang dipaksa oleh pemuda-pemuda menyerahkan senjata, juga secara erang-terangan menyerang tentara Jepang untuk merebut senjata. Kerusuhan di kota Jakarta meningkat dan menjalar ke tempat-tempat lain, termasuk Bekasi. Gedung- gedung yang dipergunakan oleh R.I direbut dengan kekerasan senjata oleh Sekutu, jika dibutuhkannya. Soal perbutan gedung-gedung itu merupakan sebab kedua dari kerusuhan. Kekuatan Sekutu disusupi oleh serdadu Belanda yang digabungkan dengan rombongan Rapwi. Rombongan ini bertugas mengurus pengembalian ke tempat asalnya masing-masing warga Sekutu yang selama perang berceceran dan pula untuk mengurus tawanan perang Sekutu. Pertempuran antara organisasi-organisasi bersenjata bangsa Indonesia melawan kekuatan sekutu menjadi-jadi. Seluruh penduduk, tua-muda, laki-perempuan , mau tidak mau telah masuk dalam kancah revolusi dengan cara dan sifatnya sendiri. Pertempuran merembet ke luar kota, termasuk Bekasi. Ketika para pemuda bertemu dengan Gurkha, terjadi tembak-menembak. Tidak gentar pemuda-pemuda Indonesia dengan senjata sedanya 40   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

melawan tentara sekutu yang terlatih dan bersenjata lengkap. Kekurangan senjata dan pengalaman diganti oleh kemauan keras membaca untuk bertempur. Siang dan malam pemuda-pemuda kita bertempur dimana saja untuk mempertahankan Negaranya yang masih muda. Sumber: 1. Susanto Tirtoprodjo, Sejarah Revolusi Indonesia. Jakarta, 1963. 2. Bernard H.M. Vlekke, Nusantara a History of Indonesia. The Hague, W. van Hoeve Ltd., 1965. Terbentuknya Kota Bekasi Pada zaman Hindia Belanda, Bekasi merupakan Kewedanaan (District), termasuk Regenschap (Kabupaten) Meester Cornelis. Saat itu masyarakat masih dikuasai oleh para tuan tanah keturunan Tionghoa. Kondisi ini terus berlanjut sampai pendudukan militer Jepang. Pendudukan militer Jepang turut merubah kondisi masyarakat saat itu. Jepang melaksanakan Japanisasi disemua sektor kehidupan. Nama Batavia diganti menjadi Jakarta. Regenschap Meester Cornelis menjadi Ken Jatinegara yang wilayahnya Kantor Bupati Bekasi pertama di Jatinegara yang meliputi Gun Cikarang, Gun Kebayoran sebelumnya menjadi kantor Regentschap Meester dan Gun Matraman. Cornelis dan kantor Jatinegara Ken Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan kembali berubah, nama Ken menjadi Kabupaten, Gun menjadi Kewedanaan, Son menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa/ Kelurahan. Tidak lama setelah pendudukan Belanda, Kabupaten Jatinegara dihapus. Kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis menjadi Kewedanaan. Kewedanaan Bekasi masuk ke dalam wilayah Batavia En Omelanden. Batas Bulak Kapal ke Timur termasuk wilayah negara Pasundan di bawah Kabupaten Karawang, sedangkan sebelah Barat Bulak Kapal termasuk wilayah negara Federal sesuai Staatsblad Van Nederlandsch Indie 1948 N0. 178 Negara Pasundan. Bagian 1—Sejarah 41  

Dalam perkembangannhya, pada tanggal 17 Februari Terjadi aksi rasa sekitar 40.000 rakyat Bekasi 1950 di alun-alun Bekasi. Inti dari unjuk rasa tersebut adalah penyampaian pernyataan sikap sebagai berikut; Pertama : Rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua : Rakyat Bekasi mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Akhirnya berdasarkan UU nomor 14 Tahun 1950 terbentuk Kabupaten Bekasi, dengan wilayah terdiri dari 4 kewedanaan, 13 Kecamatan (termasuk Kecamatan Cibarusah) dan 95 desa. Angka-angka tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan motto “Swatantra Wibawa Mukti”. Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Kantor Bupati Pertama di Jl. H. Juanda bekasi yang saat Bekasi di Jatinegara pindah ke kota ini menjadi Ruko Bekasi, di Jalan H. Juanda. Pada tahun 1982, di masa pemerintahan Bupati H. Abdul Fatah, gedung perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi pindah ke Jalan Ahmad Yani no. 1, Bekasi. td uinnatumSneitikarainnbgagmidpeaensmygaaernkaakraatpn, eKrkeecmmamubnaantcaugnal nKmaenntjoardiBRuupkaoti. Pertama di Jl. H. Juanda Bekasi yang saat ini Bekasi menjadi kota administratif. Akhirnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1981 terbentuk kota administratif Bekasi. Wilayahnya meliputi 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat, dan Kecamatan Bekasi Selatan, dengan 18 Kelurahan dan 8 desa. Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam 42   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Negeri pada tanggal 20 April 1982. Walikota pertama H. Soedjono, kemudian tahun 1988 diganti oleh Drs. Andi Sukardi. Ia menjabat hingga tahun 1991, yang dilanjutkan oleh Drs. H. Khailani AR sampai dengan tahun 1997. Melalui Undang-undang nomor 9 tahun 1996, Kota administratif Bekasi ditingkatkan statutsnya menjadi Kotamadya DT II Bekasi (sekarang dinamakan Kota). Wilayahnya meliputi 7 Kecamatan dan 1 Kecamatan Pembantu. Tujuh Kecamatan adalah Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bantargebang, Jati Asih, Pondok Gede. Sedangkan kecamatan Pembantu yaitu Kecamatan Jati Sampurna. Kedelapan Kecamatan tersebut terdiri dari 27 Kelurahan dan 13 desa. Kotamadya DT.II Bekasi diresmikan pada tanggal 10 Maret 1997 oleh Menteri Dalam Negeri R. Moh. Yogie SM dengan Pj. Walikota Drs. H. Khailani AR. dengan masa jabatan 10 Maret 1997–23 Februari 1998. Selanjutnya, berdasarkan pemilihan anggota DPRD Kotamadya Bekasi, terhitung sejak tanggal 23 Februari 1998 walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Drs. H. Nonon Sonthanie. Ia dilantik oleh Gubernur KDH Tk. I Provinsi Jawa Barat, H. R. Nuriana . Sumber : 1. Bapeda Kota Bekasi, Potensi dan Prospek Inventasi di Kota Bekasi, Pemerintah Kota Bekasi, 2003 2. Yayasan Parawangsi dan Bapeda Kota Bekasi, Wajah Masyarakat Transisi , Analisis Perubahan Perilaku Masyarakat Bekasi dari Pola Hidup Tradisional menjadi Transisional, 2000 E. Percikan Sejarah Bekasi Bekasi sebagai Wilayah Tarumanegara Pada pertengahan abad ke V di Jawa Barat terdapat sebuah Kerajaan yang disebut Kerajaan Taruma Negara. Salah satu bukti bahwa Bekasi termasuk Wilayah Taruma Negara ialah : a. Prasasti Tugu, Prasasti ini terdapat di Cilincing dan ditulis dengan bahasa Sansakerta isisnya berbunyi sevagai berikut : (diterjemahkan oleh: Drs. Suhadi Pusat Lembaga Purbakala Jakarta) : 1. Dulu oleh Maharaja yang terhormat yang kuat lengannya, sesudah Chandramabhaga samapi di Istana yang termashur, telah digali untuk dialirkan ke laut. 2. Pekerjaan itu (pada) pada tahun ke 22 dari Purnawarman yang berkilauan karena kebijaksanaannya (dan) menjadi panji-panji dari Raja-Raja. 3. Penggalian itu dimulai pada para petang bulan phalguna tanggal 8 selesai pada para terang bulan serta tanggal 13, (jadi) hanya 21 hari; panjangnya 6122 busur dhanu, sungai indah Gomati jernih airnya. 4. Setelah alirannya mencapai tempat kediaman Raja-Pendeta kakeknya oleh para brahmana dihadiahkan 1000 lembu. Bagian 1—Sejarah 43  

b. Adanya batu tertulis di Batujaya. Tulisannya kurang jelas, tetapi tanda-tanda telah menunjkkan bahwa batu tersebut berasal daripengaruh Hindu pada masa Kerajaan Tarumanegara. Batujaya menurut ceritera rakyat, pada masa yang lalu mempunyai pengaruh yang besar terhadap penduduk sekitarnya, karena daerah itu selalu jaya oleh hasil /produksi yang berlimpah-limpah, sehingga daerah itu tidak kekurangan padi, tetapi masa sekarang kepercayaan tersebut berkurang karena produksi padi tetap, sedangkan jiwa bertambah banyak. Bila dilihat secara geografis, maka Kerajaan Taruma Negara; Jakarta, Bekasi, Bogor dan banten. Dengan demikian jelaslah bahwa Bekasi termasuk wilayah Tarumanegara yang sampai kini sisa-sisanya masih tersebar di daerah Bekasi. Bekasi pada Masa Kerajaan Pajajaran Setelah Kerajaan Pajajaran berdiri dan setelah Kerajaan Tarumanegara runtuh, di Periangan Timur berdiri sebuah Kerajaan yang disebut Galuh, yang menurut babad atau ceritera pantun. Ibu kotanya di Ciamis. Diterangkan oleh Pleyte bahwa Pusat Kerajaan Galuh terdapat di bojong Galuh. Menurut penyelidikan kerajaan Tarumanegara runtuh oleh serangan Kerajaan Sriwijaya, pada kira-kira abad ke 7 – 8, kemudian berdirilah Kerajaan Galuh. Mengenai perkembangan Galuh dalam sejar4ah belum terungkap secara keseluruhan, hanya diterangkan bahwa di Periangan sebelah barat muncul, muncullah kemudian suatu Kerajaan Baru yang disebut Kerajaan Pajajaran. Di dalam Praqsasti Kebantenan yang terdapat di daerah Bekasi sebelah selatan (pondok Banda). Sekarang benda itu berada di Musium Pusat Jakarta), disebutkan bahwa Rakyat Ningrat Kencana adalah ayahanda susushunan yang memerintah di pakuan Pajajaran. Berdasarkan keterangan dan beberapa prasasti diterangkan bahwa kerajaan pajajaran ialah di Bogor. Menurut pendapat Holle; Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar, sebagai dasar teorinya ialah dengan mengalirnya sungai Cipaku ke daerah bekas Ibu kota kerajaan tersebut. Menurut pendapat Prof. Dr. Purbacaraka kota pakuan berasal dari bahasa jawa kuno “kuwu” (pakuon) yang berarti tempat tinggal, oleh karena itu ia menganggap nama pakuan ialah istana yang berjajar. Jawa Barat pada masa kerajaan Pajajaran mengalami zaman ke-emasan yang diperintah oleh Prabu Siliwangi. Samapai saat ini nama Prabu Siliwangi menjadi tutur kata masyarakat Jawa Barat baik lisan maupun tulisan. Kota Bogor yang letaknya diapit oleh Ciliwung dan Cisadane, di dalam Prasasti Batu tulis di Bogor, disebutkan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Baduga Maharaja. Di atas telah diterangkan bahwa sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri telah ada kerajaan Galuh yang letaknya di Periangan Timur; dengan demikian Pajajaran seolah-olah lanjutan dari kerajaan Galuh, kemungkinan pemindahan tersebut terdorong oleh factor-faktor strategis – politis, karena diternagkan oleh Drs. Sutarga dalam buku Prabu Siliwangi adalah sebagai berikut : “……Pendirian Pakuan sebagai ibu kota Pajajaran yang baru berarti sua\\tu pemindahan pusat kerajaan yang dengan sendirinya mempunyai nalasan-alasan geopolitis dan militer taktis karena dari Pakuan jalan-jalan yang ada lebih-lebih melalui aliran sungai Ciliwung dan Cisadane, maka kota-kota pelabuhan seperti 44   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

; Bekasi, Kerawang, Telapa dan Tanggerang dan Mahanten (Baten Sorasuan) dapat dikontrol secara efektif. Dari kesimpulan di atas dapat dikatakan bahwa selain perpindahan ibu kota pajajaran yang baru, mempunyai alasan strategis – politis, juga Bekasi disebutkan sebagai kota pelabuhan pajajaran. Bila dilihat dari penemuan kepingan-kepingan kapal di rawa tembaga dan pantai yang terdapat di Kobakrante jelaslah bahwa Bekasi merupakan pelabuhan yang cukup besar dan mempunyai peranan yang penting, karena salah satu komunikasi yang sangat urgent pada masa itu adalah pelabuhan. “ …..dari Pakuan Pajajaran ada sebuah jalan yang dapat dilalui Cileungsi, Warung Gede, Tanjung Pura, Karawang, Cikao, Purwakarta, sagala Herang terus Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Telaga, Kawali dan ………….ke pusat kerajaan Galuh di sekitar Ciamis dan Bojong Galuh” Jalur- jalur jalan tersebut di atas merupakan highway Pajajaran yang hingga kini jalan-jalan itu masih dapat dipergunakan, malah merupakan jalan-jalan yang cukup baik. Dengan demikian daerah Bekasi baik jalan dart maupun jalan-jalan pelabuhan merupakan daerah lalu lintas menuju ke ibu kota Republik Indonesia. Oleh karena itu hukum siklus dalam sejarah Bekasi sejak masa Pajajaran sampai kini merupakan daerah yang penting menuju ibu kota. Pengaruh Agama Islam di Bekasi Di dalam cerita parahiyangan diterangkan bahwa sejak pemerintahan Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata), maka di pAjajaran timbul huru hara, banyak musuh yang tidak diketahui asalnya, karena akibat datangnya seorang Islam di bawah pimpinan Paletehan. Kedudukan Banten sangat penting perdagangan, maka pelabuhan itu diperkuatnya, seluruh pantai utara sampai Cirebon di Islamkan, dengan demikian Sunda Kelapa sebagai kota pelabuhan Pajajaran telah direbutnya pada tahun 1527 dan namanya diganti menjadi Jayakarta. Tindakan ini disebabkan karena di kota tersebut akan didirikan benteng Portugis yang sudah tentu akan membahayakan kedudukan Kerajaan Islam. Pada waktu itu Banten diperintah oleh Paletehan, sedangkan Cirebon diserahkan kepada puteranya yang bernama pangeran Pasaren. Pada tahun 1552 pangeran Pasaren wafat, Palatehan pergi ke Cirebon untuk mengendalikan pemerintah, dan Banten diserahkan kepada Hasanudin. Kedudukan Banten makin kuat, sedang keadaan di Demak kacau-balau,maka pada tahun 1568 Banten memkutuslkan hubungan dengan Demak dan Hasanudoin menjadi sultan yang pertama di Banten. Pada tahun 1570 Hasanudin wafat, lalu diganti oleh puteranya yang pertama panembahan Yusuf. Pada tahun 1579 ia giat memperluas daerahnya dengan melenyapkan Kerajaan Pajajaran yang masih belum masuk Islam, sehingga jatuhlah Kerajaan Pajajaran selaku banteng Hindu Budha yang terakhir di Jawa Barat. Di dalam penyebaran aga,ma Islam ini Prof. Dr. Asikin Wijayakusumah dalm bukunya yang berjudul Sejarah Sumedang menerangkan bahwa : “………pada tahun 1526 Banten telah diIslamkan, kemudian Sunda Kelapa,pada tahun 1527, begitu pula Cirebon. Di Galuh dan Sumedang dimasukiAgama Islam sekitar tahun 1530” Bagian 1—Sejarah 45  

Dengan demikian tidak mustahil bahwa antara tahun 1527 samapi tahun1530 daerah Bekasi sekitarnya telah dipengaruhi Agama Islam. Masjid yang tertua di Kabupaten Bekasi terdapat di Rawa Balacan Desa Pantai Sederhana, wilayah kecamatan Muara Gembong, sekarang tinggal tiangnya dan puing-puingnya saja, disekitarnya terdapat banyak makam, diperkirakan bahwa makam-makam tersebut adalah makam orang-orang Bugis dengan didapatinya nisan makam bersimbulak layar kapal/perahu. Pembawa Agama Islam di sebelah selatan yang pertam ialah Kiyai Haji Kandong, kampung Jati Keramat, kecamatan Pondok Gede dan Embah Banjur kampung Kebantenan desa Jatiasih wilayah kecamatan Pondok Gede, menurut keterangan bahwa Emabah Banjur tersebut seorang prajurit yang memimpin peng-Islaman terhadap daerah Pajajaran. Bekasi sebagai Daerah Sumedang Larang Setelah kerajaan Pajajaran runtuh sebagai akibat meluasnya pengaruh Islam, maka daerah Pajajaran walaupun sudah di bawah pengaruh namun dalam segi pemerintahan kurang terbina betul-betul sehingga tidak mustahil bila daerah ini terjadi kevakuman. Dalam keadaan yang kalut ini maka timbullah sebuah negara baru yang disebut Kerajaan Sumedang Larang yang diperintah oleh Geusan Ulun, adapun daerah Sumedang Larang meliputi: w sebelah barat berbatasan dengan Cipamugas (Cisadane), dan w sebelah Timur berbatasan dengan Cipamali Jadi daerah Sumedang Larang ialah: Sumedang, Surakarta, Limbangan, Bandung, Cianjur dan Karawang. Pengertian Karawang disini bukanlah merupakan daearah kabupaten Bekasi sekarang, ternyata disebelah barat dan barat laut Bekasi terdapat kampung-kampung Ujung Karawang yang mumkin ini adalah batas daerah Karawang zaman dulu. Bekasi selaku daerah sumedang larang ataupun daerah mataram terbukti dari petilasn berupa : 1. Makam Pangeran Rangga yang terdapat di Keranggan Wetan Desa Jatisampurna, wilayah kecamatan Pondok Gede. Menurut keterangan dari rakyat setempat bahwa ia sebagai tokoh di tempat itu, ia berasal dari Sumedang dan kedatangannya kesini adalah untuk mempertahankan daerah Bekasi dari serangan musuh, yang sangat itu ialah Belanda, Selain makam Pangeran Rangga, juga ditemukan kuburan kudanya, yang sampai kini bagi mereka yang mempercayainya suka diziarahi. Memang kuda adalah salah satu kendaraan yang dipakai saat itu. 46   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

2. Ditemukannya makam Wangsawijaya dan Ratu Mayangsari. Menurut keturunannya yang ke tujuh yaitu Bapak Hasan yang beada di kampung Jawa (Bojongsari), desa Jatiluhur, wilayah kecamatan Pondok gede bahwa leluhurnya beasal dari Cirebon, tugasnya berperang. Bila di lihat dari batu-batu hidup yang terdapat dari kedua makam tersebut memang jelas menunjukkan bahwa usia dari makam tersebut parallel dengan masa pemerinmtahan Sumedang Larang. 3. Ditemukannya makam Widjayakusumah serta sumur tempat mandinya yang terdapat di kampung Ciketing Sumurbatu, desa Mustika Jaya, wilayah kecamatan Tambun. Menurut penduduk setempat bahwa wijayakusumah adalah orang yang terkemuka masa lalu sehingga sampai kini makam maupun sumur tersebut masih suka dizairahi bagi siapa yang mempercayainya. Bila dilihat dari kondisi sumurnya serta batu-batu yang ada disekitarnya memang telah menunjukkan bahwa umurnya semasa pemerintahan Sumedang Larang. 4. Diketemukannya rantai kapal di Kobak Rante, desa Sukamakmur, wilayah kecamatan Sukatani. Menurut keterangan H. Alimuddin bahwa daerah Kobakrante asalnya sungai (pinggiran laut) dangkal sehingga kapal itu terdampar, yang tersisa hanya rantainya saja. Adapun kapal yang terdampar adalah kapal Terong Peot dari Sumedang, sedang mengadakan kontrol ke daerah pantai. Dengan demikian Bekasi selaku daerah Sumedang Larang selalu diawasi karena daerahnya berbatasan dengan daerah Belanda. 5. Diketemukannya makam Sumantri (santri) yang terletak di kampung Kedung Cinde (Kedung Bokor), desa pantai Bakti, wilayah kecamatan Cabangbungin. Menurut keterangan ia berasal dari Sumedang dan maksudnya dating ke daerah Bekasi untuk berperang melawan musuh (V.O.C.) dan membuka perkampungan yang pertama di tempat tersebut. Dengan bukti-bukti tersebut di atas jelaslah bahwa ekspedisi Sumedang Larang (Mataram) dating ke Bekasi untuku melindungi daerahnya. Bekasi Diantara Kekuasaan-kekuasaan; Mataram; Banten dan V.O.C. Letak Bekasi yang diapit oleh tiga kekuasaan ialah : Mataram, Banten dan V.O.C. serta bila dilihat dari segi geografisnya memang Bekasi mempunyai tempat yang sangat strategis, karena apabila daerah ini dikuasai maka dengan sendirinya akan terbuka dengan daerah lainnya. Diantara ketiga kekuasaan tersebut di atas yang menjadi titik saingan satu dengan lainnya adalah terletak pada factor social, ekonomi dan politik. Akibatnya satu sama lainnya selalu waspada dan mengatur siasat sebagaimana caranya agar dapat mengalahkan musuh. Daerah Bekasi bagian selatan berbatasan dengan daerah Banten, sedangkan bagian barat berbatasan dengan V.O.C. dengan demikian setiap jengkal tanah Bekasi harus dipertahankan oleh Mataram. Bagian 1—Sejarah 47  

Bekasi di Bawah Kekuasaan V.O.C. / Belanda Sejak tahun 1705 secara de facto seluruh Jawa Barat sudah di jajah oleh V.O.C. V.O.C. merupakan kekuasaan tunggal di Jawa Barat yang berarti menentukan gerak politik, ekonomi Jawa Barat untuk selanjutnya, perkembangan dan perluasan kekuasaan V.O.C. pada tahun 1705 terdiri dari beberapa wilayah yaitu : 1. Batavia dan sekitarnya (termasuk Bekasi) 2. Sukabumi, Cianjur 3. Periangan 4. Banten Dari wilayah-wilayah tersebut di atas, V.O.C. hanya memperhatikan segi perniagaannya saja, yakni bahan-bahan apa saja yang diperoleh dari daerah itu dan apa yang dapat dijual kepada rakyat. Mengenai daerah Bekasi hasil yang diperoleh pada masa itu ialah berupa besar, kayu dan ikan. Menurut babad Kerawang dijelaskan bahwa dalam benteng tersebut dijaga oleh 25 orang petugas V.O.C. untuk mengawasi orang-orang yang hilir mudik memakai perahu membawa beras, kayu, ayam dan hasil-hasil bumi lainnya. Mereka yang hilir mudik itu pada umumnya adalah orang-orang Bekasi dan Kerawang, barang-barang yang mereka bawa itu dibeli oleh kompeni dengan harga yang rendah. 48   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Bagian 2 Geografi dan Pemerintahan Bagian 2—Geografi dan Pemerintahan 49  

A. Pemerintahan Kota Bekasi Bantar Gebang, Kecamatan Kecamatan Bantar gebang terletak pada ketinggian 25 m. di atas permukaan laut dengan luas wilayah 4.466.787 ha. Kecamatan Bantar Gebang terbagi atas 8 kelurahan, yaitu Kelurahan Bantargebang, Kelurahan Padurenan, Kelurahan Cimuning, Kelurahan Sumurbatu, Kelurahan Mustika jaya, Kelurahan Mustika Sari, Kelurahan Cikiwul, dan Kelurahan Ciketing Udik. Keberadaan monografi dan demografi singkat dapat dilihat sebagai berikut; Kelurahan Alamat Wilayah KM2 Penduduk RW RT Ciketing Udik Jl. Raya Bantargebang setu Sumur Batu Jl. Raya Cimuning 3.43 16.372 8 29 Cikiwul Jl. Raya Siliwangi Km.12.5 Bantar Gebang Jl. Raya Siliwangi Km.11 5.69 8.265 7 41 Padurenan Raya BTG Setu Km.3 Cimuning Jl. Raya Setu Km.6 5.25 17.003 7 30 Mustika Jaya Jl. Raya Mustika Jaya Mustika sari Jl. Raya Sumur Batu 4.18 24.661 9 29 6.78 22.120 16 67 5.01 17.910 17 95 9.36 31.674 22 125 5.13 18.857 8 52 Sumber: Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi per Juli 2004, kapbag Bina Pemerintahan Kecamatan Batar Gebang berpusat di Kelurahan Batargebang, dengan alamat Jl. Raya Narogong KM. 10 No. 17. Kecamatan Bantar Gebang memiliki wilayah terluas dibandingkan kecamatan lainnya di wilyah kota Bekasi yaitu 44.83 Km2, Jumlah penduduk sekitar 156.862 jiwa dengan perbandingan laki-laki 80.193 jiwa dan wanita 76.669 jiwa. Batas-batas wilayah: sebelah selatan dengan kecamatan Cileungsi, Kabupaten Dati II Bogor; sebelah barat dengan Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor; sebelah utara dengan Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi; sebelah timur dengan Kecamatan Setu, Kabupaten Dati II Bekasi. Nama Bantar Gebang memiliki kaitan dengan kata bantaran dan nama sejenis pohon, yaitu pohon gebang. Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bantaran adalah “jalur tanah pada kanan dan kiri sungai (antara sungai dan tanggul)”. Sedangkan gebang adalah “jenis palem yang tingginya dapat mencapai 15-20 meter, hati batangnya dapat digunakan untuk makanan babi”. Menurut riwayat, dahulu pohon tersebut banyak tumbuh di daerah permukiman ini. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya langkah pemekaran wilayah permukiman di berbagai tempat, semakin banyak pohon gebang ditebangi sehingga jumlahnya terus berkurang. 50   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Sebagian besar wilayah Bantar Gebang yaitu seluas 893 ha digunakan untuk permukiman, dengan 10 lokasi perumahan. Lahan untuk industri kecil dan menengah seluas 89, 369 dengan jumlah 112 perusahaan. Pada umumnya penduduk Bantar Gebang bekerja sebagai petani (12.408 orang). Jumlah terbesar kedua Pegawai Negeri Sipil (6.981 orang), buruh industri (4.869 orang), dan tenaga pengangkutan ((3.171). Sumber: 1. Kota Bekasi Dalam Angka, BPS Kota Bekasi, tahun 2003 2. Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi, per Juli 2004, Kabag Bina Pemerintahan 3. Data Monografi Kecamatan Bantar Gebang tahun 2003 4. Ojak Rohmana, Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Berkembangnya Usaha Industri Kecil Tahu Tempe di Kecamatan Bantar Gebang Kota Bekasi. Skripsi sarjana PS Pendidikan Geografi, FKIP UNISMA, 2001 Bekasi Barat, Kecamatan Kecamatan Bekasi Barat keberadaannya telah sejak lama seiiring dengan terbentuknya kota administratif Bekasi yang kemudian berubah menjadi kota Bekasi. Baik Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1981 tentang pembentukan kota administratif Bekasi yang memuat pembentukan Kecamatan Bekasi Barat, maupun Peraturan Daerah kota Bekasi nomor 14 tahun 2000 memperkukuh keberadaan Kecamatan Bekasi Barat. Cakupan wilayah kecamatan meliputi berikut gambaran singkat potensi wilayahnya per kelurahan Kelurahan Alamat Wilayah KM2 Penduduk RW RT Bintara Jaya Jl. Raya Bintara Jaya VIII No. 99 2.34 28.091 12 93 Bintara Jl. Bintara VIII No. 168 Kranji Jl. Parkit Raya 3.28 50.098 14 139 Kota Baru Jl. Dukuh No. 1 HRB Jaka Sampurna Jl. K.H. Noer Ali No. 1 2.49 40.611 15 88 1.61 41.487 22 175 5.2 57.470 21 170 Sumber: Data Potensi Kelurahan per -Juli 2004 Kabag Bina Pemerintahan Bagian 2—Geografi dan Pemerintahan 51  

Pusat pemerintahan Kecamatan Bekasi Barat terletak di Kelurahan Kranjji. Luas wilayah Kecamatan Bekasi Barat 14,92 KM2 / 1.889 Ha. atau 8.98 % dari luas wilayah pemerintahan Kota Bekasi dengan jumlah penduduk 217.757 dengan tingkat kepadatan 11.519 per KM 2. Adapun batas wilayah kecamatan Bekasi Barat : Sebelah Utara : Kecamatan Kecamatan Medan Satria Sebelah Selatan : Kecamatan Bekasi Selatan Sebelah Barat : Kecamatan Cakung Jakarta Timur Sebelah Timur : Kecamatan Jati sampurna Sumber : 1. Profil Kecamatan Bekasi Barat tahun 2003 2. Kota Bekasi Dalam Angka, BPS Kota Bekasi, tahun 2003 3. Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi, per Juli 2004, Kabag Bina Pemerintahan Bekasi Selatan, Kecamatan Bekasi Selatan sebagai salah satu kecamatan di wilayah kota Bekasi, terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1981 bersamaan dengan terbentuknya kecamatan lain di wilayah Kota Administratif Pemerintah Kabupaten Daerah Tikngkat II Bekasi. Baru berdasarkan Undang-Undang nomor 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi, Kecamatan Bekasi Selatan ditetapkan bersamaan dengan tujuh kecamatan lainnya, yakni Bekasi Timur, Bekasi Barat, Bekasi Utara (ex Kotif Bekasi), Pondok Gede, Jati Asih, Bantargebang dan 1 (satu) kecamatan pembantu yaitu Jati Sampurna. Memasuki tahun ketiga PELITA terakhir dari rangkaian Pembangunan Jangka Panjang tahap pertama, sejak tahun 1969/1970 Kecamatan Bekasi Selatan dijadikan Ibu Kota Pemerintah Kabupaten 52   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Daerah Tingkat II Bekasi yang dalam konstelasi pembangunan Jabotabek berfungsi sebagai daerah penyangga Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Kondisi ini menjadikan wilayah Kecamatan Bekasi Selatan pesat tingkat perkembangan pembangun dan pesatnya laju pertumbuhan penduduk. Hingga kini, meskipun pusat pemerintahan Kota Bekasi berda di wilayah Kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Bekasi Selatan merupakan kawasan bisnis jasa maupun perdagangan terbesar di wilayah kota Bekasi sehingga menjadi penyumbang Pendapatan Asli Daerah yang terbesar hingga saat ini. Kecamatan Bekasi Selatan terletak pada 600 Bujur Timur dan 150 Lintang Selatan di sebelah barat pusat Kota Pemerintah Kota Bekasi dengan luas wilayah 17.64 KM2 atau 7.11 % dari seluruh wilayah Kota Bekasi dengan tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2003 diperkirakan 12.684 KM2 dengan jumlah penduduk 159.218. Kecamatan Bekasi Selatan memiliki cakupan wilayah yang terbagi ke dalam 5 Kelurahan, berikut gambaran singkat potensi wilayahnya yaitu : Kelurahan Alamat Wilayah KM2 Penduduk RW RT Jakamulya Jl. H. Umar-Jakamulya 2.90 21.271 14 95 Jakasetia Jl. Raya Pekayon 2.59 32.302 19 100 Margajaya Jl. Kemakmuran 4.25 15.240 6 31 Pekayon Jaya Jl.Raya Pekayon 5.20 39.771 24 164 Kayuringin Jaya Jl. Lt.Arsyad-Kayuringin 2.70 50.634 26 191 Sumber: Data Potensi Kelurahan per -Juli 2004 Kabag Bina Pemerintahan Adapun pusat pemerintahan Kecamatan Bekasi Selatan berkedudukan di Kelurahan Pekayon Jaya. Alamat kantor Kecamatannya adalah Jl. Raya Pekayon Kota Bekasi Batas wilayah kecamatan Bekasi Selatan sebagai berikut: Sebelah Utara : Kecamatan Medan Satria Sebelah Selatan : Kecamatan Jati Asih Sebelah Barat : Kecamatan Bekasi Barat Sebelah Timur : Kecamatan Bekasi Timur Sumber : 1. Profil Kecamatan Bekasi Selatan tahun 2003 2. Kota Bekasi Dalam Angka, BPS Kota Bekasi, tahun 2003 3. Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi, per Juli 2004, Kabag Bina Pemerintahan Bagian 2—Geografi dan Pemerintahan 53  

Bekasi Timur, Kecamatan Kecamatan Bekasi timur terbentuk seiring dengan dibentuknya kota administratif Bekasi, dengan landasan Peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 1981. Selanjutnya, dengan laju pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan maka pemerintah daerah melakukan penataan ulang wilayah yang menjadi lingkup administrasi pemerintahan kota Bekasi. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi nomor 14 tahun 2000, Kecamatan Bekasi Timur lingkup kerja pemerintahannya dengan gambaran singkat potensinya sebagai berikut : Kelurahan Alamat Wilayah KM2 Penduduk RW RT Bekasi Jaya Jl. Mekarsari Raya No. 3 Margahayu Jl. Bekasi Tengah No. 1 2.84 48.723 16 152 Duren Jaya Jl. Prof.M.Yamin No. 1 Aren Jaya Jl. Nusantara No. 1 4.84 61.505 25 160 1.47 62.641 18 190 1.36 59.172 22 176 Sumber: Data Potensi Kelurahan per -Juli 2004 Kabag Bina Pemerintahan Pada tahun 2004 tercatat bahwa; luas wilayah Kecamatan Bekasi Timur adalah 10.51 KM2 . atau 6.41 % dari luas wilayah pemerintahan Kota Bekasi dengan jumlah penduduk 232.041 dan tingkat kepadatan 14.924 per KM 2. Pusat pemerintahan Kecamatan Bekasi Timur berkedudukan di Kelurahan Bekasi Jaya. Alamat kantor kecamatan Bekasi Timur Jalan Mekarsari Raya No 3 Kelurahan Bekasi Jaya. 54   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Batas wilayah kecamatan Bekasi Timur : Sebelah Utara : Kecamatan Bekasi Utara Sebelah Selatan : Kecamatan Rawalumbu Sebelah Barat : Kecamatan Bekasi Selatan Sebelah Timur : Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi Bekasi Utara, Kecamatan Kecamatan Bekasi Utara keberadaannya telah sejak lama seiiring dengan terbentuknya kota administratif Bekasi yang kemudian berubah menjadi kota Bekasi. Dasar pembentukan Kecamatn Bekas Utra adalah Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1981 tentang pembentukan kota administratif Bekasi yang memuat pembentukan Kecamatan Bekasi Utarat serta Peraturan Daerah kota Bekasi nomor 14 tahun 2000. Cakupan wilayah kecamatan meliputi berikut gambaran singkat potensi wilayah per kelurahan Kelurahan Alamat Wilayah KM2 Penduduk RW RT Kaliabang Tengah Jl. Pondok Ungu Permai No. 1 3.97 59.749 29 247 Perwira Jl. KH. Muchtar Tabrani No. 25 2.25 19.989 13 91 Harapan Baru Jl. Perjuangan 2.47 10.459 12 38 Teluk Pucung Jl. Perjuangan No. 4 3.15 47.834 36 241 Margamulya Jl. Perjuangan 4.68 19.491 10 60 Harapan Jaya Jl. Al-Bahar No. 1 4.94 48.177 26 230 Sumber: Data Potensi Kelurahan per -Juli 2004 Kabag Bina Pemerintahan Pusat pemerintahan Kecamatan Bekasi Utara terletak di Kelurahan Kaliabang Tengahi. Luas wilayah Kecamatan Bekasi Utara adalah 21.46 KM2 atau 9.34 % dari luas wilayah pemerintahan Kota Bekasi. Jumlah penduduk 217.757, terdiri dari 101.712 laki-laki dan 103.987 wanita. Tingkat kepadatan 12.025 per KM 2. Batas wilayah kecamatan Bekasi Utara : Sebelah Utara : Kecamatan Kecamatan Babelan Kab. Bekasi Sebelah Selatan : Kecamatan Bekasi Selatan Sebelah Barat : Kecamatan Merdan Satria Sebelah Timur : Kecamatan Bekasi Timur Sumber : 1. Profil Kecamatan Bekasi Utara tahun 2003 2. Kota Bekasi Dalam Angka, BPS Kota Bekasi, tahun 2003 3. Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi, per Juli 2004, Kabag Bina Pemerintahan Bagian 2—Geografi dan Pemerintahan 55  

Jatiasih, Kecamatan Kecamatan Jatiasih terletak di sebelah selatan Kota Bekasi. Luas area 2.459,663 ha, dengan perincian: tanah darat 2.309,028 ha, tanah sawah 147,435 ha, dan tanah rawa 3,200. Kecamatan ini memiliki lingkup wilayah yang terbagi ke pada 6 kelurahan dengan data singkat sebagai berikut : Kelurahan Alamat Wilayah KM2 Penduduk RW RT Jati Mekar Jl. Wibawa Mukti IV 4.70 26.072 16 96 Jatiasih Jl. Raya Wibawa Mukti No. 14 3.70 18.717 16 62 Jatikramat Jl. H. Gemin No. 2 4.60 27.218 21 108 Jatirasa Jl. Swatantra III No. 97 2.7 24.500 15 128 Jatiluhur Jl. Wibawa Mukti II KM. 3 4.10 11.252 11 60 Jatisari Jl. Raya Wibawa Mukti II KM.5 5.4 19.810 19 95 Sumber: Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi per Juli 2004, kapbag Bina Pemerintahan Pusat pemerintahan kecamatan berada di kelurahan Jatiasah dengan alamat Jl. Swatantra IV No. 2. Kecamatan ini memiliki jumlah penduduk 127.072 jiwa, terdiri atas 63.396. laki-laki dan 64.173 wanita. Tingkat kepadatan penduduk 7.310 Km2 Batas wilayah yang melingkarinya adalah: sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Rawalumbu, Kecamatan Bantar Gebang dan Kabupaten Bogor; sebelah Barat dengan Kecamatan 56   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Pondokgede; sebelah utara dengan Kecamatan Bekasi Selatan; sebelah selatan dengan Kecamatan Jatisampurna. Kata jati dalam nama-nama kelurahan di lingkungan Kecamatan Jatiasih terkait dengan nama sejenis pohon yang kayunya banyak digunakan sebagai bahan bangunan, terutama untuk membangun rumah, yaitu pohon jati (tectonia grandis). Jati adalah pohon yang kayunya keras dan ulet, baik untuk bahan rumah, daunnya besar, bulat dan kasar. Sumber: 1. Khoiruddin, Koordinasi Camat tentang Tertib Administrasi Pertanahan di Kecamatan Jatiasih Kota Bekasi. Bekasi, Skripsi FISIP Unisma Jurusan Ilmu Administrasi, 2004. 2. Kota Bekasi Dalam Angka, BPS Kota Bekasi, tahun 2003 3. Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi, per Juli 2004, Kabag Bina Pemerintahan Jatisampurna, Kecamatan Kecamatan Jatisampurna memiliki sejarah khusus. Melalui Undang-undang nomor 9 tahun 1996, Kota administratif Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya DT II Bekasi (sekarang dinamakan Kota). Wilayahnya meliputi 7 Kecamatan dan 1 Kecamatan Pembantu. Tujuh Kecamatan adalah Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bantar gebang, Jati Asih, Pondok Gede. Sedangkan kecamatan Pembantu yaitu Kecamatan Jati Sampurna. Delapan Kecamatan tersebut terdiri dari 27 Kelurahan dan 13 desa. Dari kecamatan pembantu, melalui Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 14 tahun 2000 Jatisampurna diresmikan sebagai kecamatan tersendiri. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan pelayanan pemerintah pada masyarakat dan tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi. Gambaran mengenai demografi dan monografi Kecamatan Jatisampurna secara terrinci dapat dilihat pada gambaran potensi kelurahan yang melingkupinya : Kelurahan Alamat Wilayah KM2 Penduduk RW RT Jatisampurna Jl.Raya Pasar Kranggan No. 1 3.54 19.274 15 98 Jatikarya Jl. Sasak Cempling No. 1 7.14 7.032 14 39 Jatiranggon Jl. Desa Jatiranggon C5/02 3.45 13.217 6 44 Jatirangga Jl. Lurah Namat No. 5 5.16 9.482 16 42 Jatimurni Jl. Raya Rambutan No. 1 3.05 15.933 8 54 Sumber: Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi per Juli 2004, kapbag Bina Pemerintahan Bagian 2—Geografi dan Pemerintahan 57  

Kecamatan Jatisampurna memiliki kota kecamatan di wilayah Kelurahan Jatisampurna dengan alamat kantor Jl. Raya Pasar Kranggan No. 1. Luas wilayah sekitar 22.34 ha,atau 10.68 dari luas wilayah kota Bekasi, tingkat kepadatan penduduk 4.624 KM2 yang terbagi dalam 5 kelurahan. Jumlah penduduk 64.938 jiwa, terdiri dari laki-laki 31.665 jiwa dan wanita 33.273 jiwa. Batas wilayah: sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Pondok Gede dan Jatiasih, sebelah timur dengan Kabupaten Bogor, sebelah selatan dengan Kabupaten Bogor, sebelah Barat dengan Kabupaten Bogor. Sumber: 1. Kota Bekasi Dalam Angka, BPS Kota Bekasi, tahun 2003 2. Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi, per Juli 2004, Kabag Bina Pemerintahan Medan Satria, Kecamatan Pada awalnya, Kecamatan Medan Satria adalah bagian dari wilayah Kecamatan Bekasi Utara dan sebagian lagi wilayah Kecamatan Bekasi Barat. Seiring dengan peningkatan jumlah penduk dan meningkatnya tuntutan kualitas pelayanan masyarakat, Pemerintah kota Bekasit melalui Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 14 tahun 2000 menetapkan Medan Satria sebagai kecamatan yang berdiri sendiri. Gambaran mengenai demografi dan monografi Kecamatan Medan Satria secara terrinci dapat dilihat pada gambaran potensi kelurahan yang melingkupinya : Kelurahan Alamat Wilayah KM2 Penduduk RW RT Medan Satria Jl. Raya Sultan Agung Rt.05/011 Harapan Mulya Jl. P. Jayakarta Rt.02/08 3.75 24.629 11 61 Pejuang Jl.Raya Pejuang No. 1 Kalibaru Jl. Kalibaru Timur No. 17 2.64 18.863 10 46 4.83 51.293 29 235 1.21 25.062 12 67 Sumber: Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi per Juli 2004, kapbag Bina Pemerintahan Kecamatan Medan Satria memiliki kota kecamatan di wilayah Kelurahan Medan Satria dengan alamat kantor Jl. Raya Harapan Indah No. 1. Luas wilayah sekitar 14.71 ha atau 6.99 % dari luas wilayah kota Bekasi, dengan tingkat kepadatan penduduk 9.752 KM2. yang terbagi dalam empat kelurahan. Jumlah penduduk 119.847 jiwa, terdiri atas laki-laki 59.105 jiwa dan wanita 60.742 jiwa. 58   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Batas wilayah: sebelah utara dengan Kecamatan Taruma Jaya Kab. Bekasi, sebelah timur dengan Kecamatan Bekasi Utara, sebelah selatan dengan Kecamatan Bekasi Barat, sebelah barat dengan Kecamatan Cakung Jakarta Timur. Sumber: 1. Profil Kecamatan Medan Satri tahun 2003 2. Kota Bekasi Dalam Angka, BPS Kota Bekasi, tahun 2003 3. Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi, per Juli 2004, Kabag Bina Pemerintahan Pondok Gede, Kecamatan Kecamatan Pondok Gede keberadaan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi no. 14 tahun 2004. Kecamatan Pondok Gede berbatasan dengan wilayah Jakarta Timur, dengan data demografi dan monografi di 5 kelurahan seagai berikut: Kelurahan Alamat Wilayah KM2 Penduduk RW RT Jati Waringin Jl. Jatiwaringin No. 143 Jati Bening Jl. Jatibening No. 20 6.49 70.399 25 198 Jati Makmur Jl. Jatimakmur No. 21 Jati Rahayu Jl. Masjid Hudal Islam 5.14 50.359 17 146 Jati Warna Jl. Pasar Kecapi 4.08 40.061 20 114 2.97 46.816 20 137 5.16 33.748 19 89 Sumber: Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi per Juli 2004, kapbag Bina Pemerintahan Pusat pemerintahan Kecamatan Pondok Gede terletak di Kelurahan Jatiwaringin, di Jl. Jatiwaringin 53 Pondok Gede. Luas kecamatan sekitar 23.84 km2, jumlah penduduk 241.383 jiwa dengan komposisi: 118.817 laki-laki dan 122.566 wanita; tingkat kepadatan penduduk 9.524/ Km2. Kecamatan Pondok Gede merupakan kecamatan di Kota Bekasi dengan penduduk terbanyak. Kata jati dalam nama-nama kelurahan di lingkungan Kecamatan Pondok Gede terkait dengan nama sejenis pohon yang kayunya banyak digunakan sebagai bahan bangunan, terutama membuat rumah, yaitu pohon jati (tectonia grandis). Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jati adalah “pohon yang kayunya keras dan ulet, baik untuk bahan rumah dsb., daunnya besar, bulat dan kasar.” Bagian 2—Geografi dan Pemerintahan 59  

Sumber: 1. Kota Bekasi Dalam Angka, BPS Kota Bekasi, tahun 2003 2. Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi, per Juli 2004, Kabag Bina Pemerintahan Rawalumbu, Kecamatan Awalnyam Kecamatan Rawalumbu adalah bagian dari Kecamatan Bekasi Timur. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan semakin kompleksnya tuntutan pelayanan terhadap masyarakat, Pemerintah Kota Bekasi melalui Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 14 tahun 2000 menetapkan Rawalumbu sebagai kecamatan yang berdiri sendiri. Gambaran mengenai demografi dan monografi Kecamatan Rawalumbu secara terinci dapat dilihat pada gambaran potensi kelurahan yang melingkupinya : Kelurahan Alamat Wilayah KM2 Penduduk RW RT Bojong Rawalumbu Jl. Raya Narogong KM.5 Pengasinan Jl. Mawar 1 no. 1 5.82 67.363 41 282 Sepanjang Jaya Jl. Bambu Kuning Utara No. 28 Bojong Menteng Jl. Siliwangi RT 01/03 3.70 36.672 30 179 5.80 15.675 13 73 3.50 17.998 11 67 Sumber: Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi per Juli 2004, kabag Bina Pemerintahan Kecamatan Rawalumbu memiliki kantor dengan alamat Jl. Lumbu Timur Raya No. 1. Luas wilayah sekitar 18,82 ha, dengan tingkat kepadatan Penduduk 11.019 KM2. yang terbagi dalam empat kelurahan: Kelurahan Bojong Rawalumbu, Kelurahan Bojong Menteng, Kelurahan Pengasinan, dan Kelurahan Sepanjang Jaya. Jumlah penduduk 137.708 yang terdiri dari laki-laki 68.259 jiwa dan wanita 69.449 jiwa. Batas wilayah: sebelah utara dengan Kecamatan Bekasi Timur, sebelah timur dengan Kecamatan Tambun, sebelah selatan dengan Kecamatan Bantargebang, sebelah barat dengan Kecamatan Bekasi Selatan. Kecamatan Rawalumbu terdiri atas area persawahan/ pertanian 44.590 ha (3%); permukiman 988.624 ha (65%); fasilitas umum dan sosial 224.375 ha (17%); industri 262.242 ha (15%). Sebagian besar penduduk (45.213 jiwa) berprofesi sebagai karyawan/ buruh swasta. Dari segi agama, mayoritas penduduk (84%) memeluk agama Islam, diikuti oleh Protestan (10%), Katolik (2 %), Budha (3 %) dan Hindu (1%). 60   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Referensi: 1. Profil Kecamatan Rawalumbu tahun 2003 2. Kota Bekasi Dalam Angka, BPS Kota Bekasi, tahun 2003 3. Data Potensi Kelurahan di Kota Bekasi, per Juli 2004, Kabag Bina Pemerintahan 4. Amanda Pratiwi Prihadie, Pemberian Motivasi Camat sebagai Upaya Peningkatan Disiplin Kerja Pegawai di Lingkungan Kantor Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi. Skripsi FISIP UNISMA Jurusan Ilmu Administrasi, 2004. Lambang Kota Bekasi Lambang kota Bekasi sebagai symbol dan identitas pemerintahan kota Bekasi memiliki bentuk, arti dan ukuran perimbangan lambang. Lambang berbentuk perisai dengan warna dasar hijau muda dan biru langit yang berarti harapan masa depan dan keluasan wawasan serta jernih pikiran. Sesanti Kota Patriot artinya adalah semangat pengabdian dalam perjuangan bangsa. Di dalam lambang tersebut terdapat lukisan-lukisan yang merupakan unsur-unsur : • Bambu runcing berujung lima yang berdiri tegak dengan kokoh mempunyai dua makna. Pertama, melambangkan hubungan vertikal makhluk dengan khaliknya (manusia dengan Tuhannya) yang mencerminkan masyarakat Bagian 2—Geografi dan Pemerintahan 61  

Bekasi yang religius. Kedua, melambangkan semangat patriotisme rakyat Bekasi dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara yang tidak kenal menyerah. • Perisai Segi Lima melambangkan ketahanan fisik dan mental masyarakat Bekasi dalam menghadapai segala macam ancaman, gangguan, halangan dan tantangan yang dating dari manapun juga terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. • Segi Empat melambangkan Prasasti Perjuangan Karawang - Bekasi Pilar Batas Wilayah Padi dam Buah-buahan melambangkan jumlah Kecamatan dan Kelurahan/ Desa pada saat membentuk kota Bekasi. Pertama, buah-buahan berjumlah tujuh besar dan satu kecil melambankan 7 Kecamatan, yaitu Pondok Gede, Jati Asih, Bantar Gebang, Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat dan Bekasi Utara serta 1 Kecamatan Pembantu, Jati Sampurna. Kedua, padi berjumlah 50 butir melambangkan 50 Kelurahan/ Desa. Tali Simpul berjumlah 10 yang mengikat ujung tangkal padi dan buah-buahan melambangkan tanggal hari jadi, 3 buah anak tangga penyangga bambu runcing melambangkan bulan hari jadi kota Bekasi. Dua baris gelombang laut atau riak air melambangkan dinamika masyarakat dan pemerintah daerah yang tidak akan pernah berhenti membangun daerah dan bangsanya. Sedangkan warna-warna dalam lambang daerah mengandung makna: Kuning melambangkan kemuliaan dan menunjukkan daerah permukiman Biru langit melambangkan keluasan wawasan dan kejernihan pikiran serta menunjukkan zone industri Putih melambangkan kesucian perjuangan Merah melambangkan keberanian untuk berkorban serta menunjukkan daerah pertanian dan hortikultura. Hitam melambangkan ketegaran patriot sejati. Sumber: Peraturan daerah Kota Bekasi Nomor : 01 tahun 1998 tentang Lambang Kota Bekasi. 62   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Profil Kota Bekasi Kota Bekasi secara geografis terletak di bagian Utara Jawa Barat yang terletak antara 106 “48’28’ – 107”27’29 Bujur Timur dan 6 ”10’6 – 6 “10’6’ Lintang Selatan, dengan kondisi Topografi relatif datar (kemiringan bervariasi rata-rata 0-2 %). Ketinggian kurang dari 25 meter berada pada di kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Pondok Gede, Rawa Lumbu, dan Medan Satria. Sedangkan ketinggian antara 25-100 meter berada di Kecamatan Bantar Gebang, Jati Asih dan Jati Sampurna. Kantor Pemerintah Kota Bekasi di Jl. H. Juanda No. 1 Kota Bekasi Luas wilayah kota Bekasi sebesar 21.049 Ha. Terbagi –bagi menjadi 10 kecamatan dengan masing- masing luas wilayah sebagai berikut; 1. Kecamatan Pondok Gede 2,437 Ha. 2. Kecamatan Jati Sampurna 2,248 Ha. 3. Kecamatan Jati Asih 2,449 Ha. Bagian 2—Geografi dan Pemerintahan 63  

4. Kecamatan Bantar Gebang 4,178 Ha. 5. Kecamatan Bekasi Timur 1,349 Ha. 6. Kecamatan Rawa Lumbu 1,567 Ha. 7. Kecamatan Bekasi Selatan 1,496 Ha. 8. Kecamatan Bekasi Barat 1,889 Ha. 9. Kecamatan Bekasi Utara 1,965 Ha. 10. Kecamatan Medan Satria 1,471 Ha. Adapun batas wilayah Kota Bekasi adalah : Sebelah Utara : Kabupaten Bekasi Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor dan Kota Depok Sebelah Barat : Propinsi DKI Jakarta Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi Kondisi Geologi di wilayah Kota Bekasi terdiri dari atas Alluvium (5 % luas wilayah), Miocene Sedimentary Facies (6 %) dan Pleistocene Volcanik facies (89 %). Sementara kondisi tanah dapat membantu dalam menentukan wilayah yang cocok untuk permukiman dengan mempertimbangkan aspek fisik yang meliputi kedalaman efektif, tekstur tanah, dan jenis tanah. Dalam kedalaman efektif tanah sebagian besar di atas 91 cm, jenis tanah latosol dan alluvial, serta tekstur tanah didomisili sedang halus. Kondisi hidrologi Kota Bekasi dibedakan menjadi dua, yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan yang terdapat di wilayah Kota Bekasi meliputi sungai/ kali Bekasi dan beberapa sungai/ kali kecil serta saluran irigasi Tarum Barat yang selain digunakan untuk mengairi sawah juga merupakan sumber air baku bagi kebutuhan air minum wilayah kota Bekasi dan wilayah DKI Jakarta. Sedangkan kondisi air tanah di wilayah Kota Bekasi sebagian cukup potensial untuk digunakan sebagai sumber air bersih terutama di wilayah selatan kota Bekasi, tetapi untuk daerah yang berada di sekitar TPA Bantargebang air tanah kemungkinan besar sudah tercemar. Sedangkan kondisi air tanah yang terdapat di Bekasi Timur sebagian mengandung zat besi. Lahan di wilayah Kota Bekasi sebagain besar digunakan sebagai lahan perumahan yang lokasinya sebagian besar berada pada wilayah kota Bekasi (Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Utara , Rawa Lumbu dan Merdan Satria). Sedangkan lahan tidak terbangun sebagain besar terdapat di wilayah selatan kota Bekasi yaitu kecamatan Jati Asih, Jati Sampurna dan Bantar Gebang. 64   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

 Kec.Medan Satria  Kec.Bekasi Utara  Kec. Bekasi Jaya  Kec. Bekasi Barat  Kec. Bekasi Selatan  Kec. Rawalumbu  Kec. Batargebang  Kec. Jatiasih  Kec. Jatisampurna  Kec. Pondokgede Bagian 2—Geografi dan Pemerintahan 65  

B. NAMA KAMPUNG Kali Abang Rorotan Pada masa dahulu, daerah ini banyak menghasilkan kayu rotan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, kayu rotan ini dicabut dengan cara merorotnya, atau mengambil dengan menariknya secara perlahan mulai dari bagian ujung, dalam dialek Bekasi namanya “merorot”. Dari kata ini kemudian lahir kata “ rorotan” yang berarti “hasil perbuatan merorot”. Kayu Ringin Pada masa dahulu, di daerah ini banyak tumbuh pohon beringin. Dari pohon beringin yang sudah mati biasanya orang mengambil bagian kayu untuk berbagai keperluan. Kayu itu mereka namakan “kayu ringin” artinya kayu yang berasal dari pohon beringin. Pekayon Daerah ini disebut pekayon karena di kampung ini banyak terdapat kayu dari berbagai jenis. Asal kata pekayon adalah pe + kayu + an  pekayuan kemudian kata pekayuan mengalami penyingkatan menjadi pekayon. Rawa Baru Dinamakan rawa baru karena ada rawa di sebelah rawa tembaga yang kering. Ketika lahan ini akan dimanfaatkan, dibutuhkan pengairan sehingga air pun di alirkan ke rawa tersebut. Untuk memudahkan penyebutan bagi petani untuk memberikan air pada pengindetifikasian rawa maka diberi tanda “rawa baru”.‘ Lama-kelamaan menjadi Rawa Baru. Rawa Pasung Dinamakan rawa pasung karena secara geografis kampung ini bentuknya memanjang dengan bagian ujung lancip atau mengerucut, mirip bentuk kue pasung. 66   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Rawa Semut Disebut rawa semut karena di rawa ini banyak sekali dijumpai semut, khususnya semut merah, seperti semut rangge. Semut banyak berkerumun di tempat yang biasanya tidak terdapat semut, seperti di daerah pepohonan, rerumputan dan sebagainya. Teluk Angsan Menurut riwayat, dahulu, sebelum banyak terdapat perumahan, kampung ini berbentuk rawa, sedangkan di bagian tengah terdapat pulau. Dinamakan teluk angsan karena berada di tengah pulau kecil di rawa. Wilayah di antara pulau-pulau itu disebut teluk. Wilayah ini lebih banyak dihuni oleh saudagar keturunandari Tionghoa. Menurut cerita, Angsan adalah nama seorang keturunan Tionghoa. Bagian 2—Geografi dan Pemerintahan 67  

68   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Bagian 3 Sosial dan Kebudayaan Bagian 3—Sosial dan Kebudayaan 69  

A. Etnis Kultural Adat-Istiadat Masyarakat Bekasi Masyarakat asli Bekasi memiliki adat istiadat juga secara umum dapat di lihat pada masyarakat Betaw. Mereka kebanyakan adalah pemeluk agama Islam yang taat. Oleh karena itu, tata cara kehidupan mereka sehari-hari bernafaskan Islam. Beberapa contoh bagaimana agama Islam menyatu dalam kehidupan mereka sehari-hari, antara lain: a. Apa pun yang sedang mereka lakukan, bila waktu salat tiba mereka akan menghentikan kegiatan dan segera salat; b. Bila ada anggota keluarga atau kerabat yang meninggal diusahakan dimakamkan hari itu juga; c. Bagi keluarga yang memiliki anak gadis yang sudah cukup dewasa harus segera dinikahkan; d. Tuan rumah akan memberi suguhan kepada tamu sesuai kemampuan; e. Mereka selalu mendahului dalam memberi salam; f. Dalam bersalaman, mereka lebih dahulu mengulurkan tangan dan paling akhir menariknya. Dalam menentukan jodoh, orang tua masih banyak berperan dan anak hampir-hampir tidak diajak serta membicarakannya. Perjodohan biasanya diawali dengan kunjung seorang jejaka ke rumah gadis pilihannya, yang biasanya dalam masyarakat Betawi dikenal dengan istilah ngelancong ini tidak dilakukan berlarut-larut, dan oarang tua si gadis meminta secepatnya kepada sang jejaka agar orang tuanya datang melamar. Lamaran tidak dilakukan langsung oleh orang tua sang jejaka, melainkan oleh utusan keluarga pihak pria yang juga dikenal baik oleh keluarga wanita. Selain itu, keluarga pria juga dikenal baik oleh keluarga wanita. Selain itu, keluarga pria juga meminta seorang wanita yang dipercaya, yang biasanya disebut Mak Comblang, untuk menyelidiki kesungguhan keluarga wanita berbesan dengan mereka. Setelah lamaran diterima pihak wanita, maka resmilah perjodohan mereka, kemudian dibuatlah kesepakatan kedua belah pihak dalam menentukan waktu pernikahan. Setelah pernikahan, biasanya dilakukan acara-acara lain, misalnya acara Maulidan. Acara ini dilakukan di rumah pengatin wanita, yakni selamatan dengan membacakan Maulid Nabi (riwayat lahirnya Nabi Muhammad SAW) sambil diiringi musik rebana, yang merupakan musik khas masyarakat Betawi. Pada acara ini, pengatin pria tidak diperbolehkan ada dirumah pengatin wanita, dan diam-diam pulang kembali ke rumahnya. Dua atau tiga hari setelah akad nikah barulah dilakukan pesta hajatan yang disertai dengan berbagai keramaian. Pada acara ini, pengantin wanita didudukan di pelaminan, yang disebut taman tanpa bersanding dengan pengantin pria. Setelah pesta selesai, malam berikutnya barulah pengantin pria diperbolehkan berkunjung dan menginap di rumah pengantin wanita. 70   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Seminggu setelah pesta di rumah pengantin wanita selesai, pihak keluarga pengantin pria menjemput kedua mempelai, dan melaksankan perayaan pesta pernikahan seperti halnya yang dilakukan oleh pihak pengantin wanita. Acara penjemputan dan perayaan pesta di pihak keluarga pengatin pria ini dikenal dengan sebutan nguduh mantu. Pesta-pesta perayaan pada masyarakat Betawi biasanya dibarengi dengan pertunjukan- pertunjukan kesenian atau kegiatan membakar petasan. Bahasa Budaya Bekasi pada umumnya memiliki warna mirip kebudayaan Betawi, hal ini sebagai dampak sejarah Bekasi yang masuk dalam kewedanan Jatinegara pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Demikian juga dalam penggunaan bahasa sehari-hari penduduk Bekasi umumnya menggunakan bahasa Betawi. Prof. Muhajir, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, berpendapat bahwa bahasa Betawi berasal dari bahasa Melayu yang sejak lama menjadi bahasa pengantar di Betawi (Jakarta). Orang Betawi sendiri berasal dari masyarakat yang multi ras/suku antara lain Arab, Tionghoa, Jawa, Sunda, Sumatera/Melayu. Di Betawi mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu bercampur dengan bahasa daerah masing-masing. Secara berangsur-angsur terjadi perbauran, baik dalam hal budaya maupun keturunan. Akhirnya, semua unsur itu lebur menjadi kelompok etnis baru yang disebut masyarakat Betawi. Masyarakat ini terus berkembang dengan ciri-ciri budaya yang semakin lama semakin mantap hingga pada tahap selanjutnya mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain. Dilihat dari penggunaan bahasa, Betawi di bagi dua ciri yang berbeda, yakni bahasa Betawi dalam kota dan bahasa Betawi pinggiran. Dalam peta penyebarannya, bahasa Betawi dalam kota meliputi Kampung Melayu/Jatinegara, Jakarta Kota, Menteng, dan Tanah Abang. Sedangkan bahasa Betawi pinggiran meliputi area di luarnya, seperti Rawamangun, Pasar Rebo, Lenteng Agung, Kebayoran, Cengkareng, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Adapun ciri-ciri yang mencolok pada bahasa Betawi dalam kota, adalah ditandai dengan penggunaan bunyi e pada setiap kata dalam bahasa Indonesia menggunakan kata a, seperti: di mane (di mana), sape (siapa), gue (gua= saya), ane (ana=saya). Penggunaan bahasa ini berbeda dengan bahasa Betawi pinggiran yang menggunakan akhiran ah misalnya, sapah (siapa), guah (gua=saya), di manah (dimana), dan sebagainya. Demikian pula bahasa pengantar wayang kulit Bekasi menggunakan bahasa Betawi pinggiran. Bahasa-bahasa Melayu seperti Riau, Palembang, atau Minangkabau merupakan kelompok bahasa yang memiliki sejarah yang panjang, yang hadir sebagai kelompok etnis yang memiliki akar budaya yang mentap. Kelompok Melayu Betawi adalah salah satu kelompok Melayu baru yang tumbuh di kota pelabuhan, sama sepeti Melayu Banjar, Menado, dan sebagainya. Selain bersifat “baru” penuturnya, kelompok etnis Melayu-Betawi, menurut sejarahnya, terbentuk dari berbagai macam suku non- Melayu yang dating dari Indonesia. Bagian 3—Sosial dan Kebudayaan 71  

Etnis Masyarakat Bekasi dapat dikategorikan ke dalam masyarakat yang berbudaya Betawi dengan etnis kultural pluralistik. Budaya Betawi sendiri terbentuk melalui percampuran berbagai suku yang menetap di Jakarta sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Pada awal perkembangannya, Jakarta dihuni oleh orang-orang Sunda, Jawa, Bali, Melayu, Maluku, dan beberapa suku lain di samping orang-orang Tionghoa, Portugis, Belanda, Arab dan India. Bersama mereka masuk pula beragam adat tradisi yang dibawa oleh tiap-tiap suku atau bangsa. Bahasa pergaulan yang digunakan antarpenduduk adalah bahasa Melayu yang telah banyak dipengaruhi bahasa Portugis dan bahasa Cina. Secara perlahan-lahan terjadi pembauran yang mengakibatkan tiap-tiap suku atau bangsa tersebut kehilangan cirri khas budaya asalnya. Pada akhirnya, lahirlah ragam suku baru yang disebut masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi terus berkembang dengan cirri-ciri budaya yang khas, yang mudah dibedakan dari budaya suku-suku lainnya, yakni terutama dialek bahasa pergaulannya, pakaiannya, dan bentuk-bentuk kesenian serta ragam hiasnya. Ciri khas masyarakat Betawi asli dapat dilihat pada masyarakat yang tinggal di pesisir utara; mulai dari pesisir Bekasi sampai Teluk Naga Tangerang; di bagian selatan condet, pasar Minggu, dan perbatasan Kabupaten Bogor. Selain wilayah-wilayah di atas, masyarakat ini juga ada yang berdiam di sekitar Tanah Abang, Kebon jeruk, Kebayoran Lama, dan Cileduk Tangerang. Secara histories, segala perkembangan dan perubahan yang terjadi di Batavia (sekarang Jakarta) sering kali berdampak bagi Bekasi. Perubahan yang cukup menonjol terjadi sejak akhir abad ke-18 ketika kolonialisme Belanda menganeksasi pulau Jawa. Sejak itu, orang Belanda yang bekerja sebagai pejabat menduduki tingkat teratas, kemudian golongan penduduk merdeka (burgers) yang terdiri dari tukang dan pegawai Eropa peranakan yang beragama Kristen; orang-orang yang disebut Mardijkers (berasal dari India, beragama Kristen dan berbahasa Spanyol), orang Papangan (dari kepulauan Filipina, beragama Kristen dan berbahasa Spanyol), ada pula orang Jepang, pribumi beragama Kristen dan orang-orang Afrika. Di tingkat ketiga termasuk orang-orang Cina, Arab dan India. Kemudian orang-orang Melayu dan penduduk pribumi yang terdiri dari orang Ambon, Makassar, Bali, Mataram, dan Malaka yang tidak memeluk Kristen. Menjelang abad ke-20, dalam kedudukan hukum dan ekonomi Hindia Belanda dikenal tiga golongan masyarakat yaitu golongan Eropa, Timur Asing (Cina, Arab, dan India), dan pribumi. Penggunaan pakaian dan bahasa pun disesuaikan dengan kedudukan secara hukum. Setelah melalui proses asimilasi, baik melalui pergaulan maupun melalui perkawinan, pada pertengahan abad ke-19 Batavia melahirkan kelompok suku bangsa baru, yaitu suku bangsa Betawi yang memiliki kultur sendiri, termasuk bahasa. Di samping itu masih ada kelompok penduduk yang berasal dari berbagai daerah. Nama beberapa kampung di Batavia mengingatkan asal penduduknya, seperti Kampung Malaka, Kampung jawa, Kampung Ambon, Kampung Makassar, Kampung Bali, Kampung Melayu. 72   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Di Kampung Tugu, Cililitan, terdapat kelompok penduduk pribumi Kristen. Tanah Kampung Tugu dahulu milik Leydekker, seorang pendeta Kristen. Berkat penyebaran Injil oleh Leydekker terbentuk masyarakat Kristen di Tanah Tugu. Di tanah Jatinegara terdapat sekelompok kecil penduduk yang berasal dari anak keturunan keluarga Bupati Sunda. Sebagian lagi mengaku keturunan sultan-sultan Banten. Di sepanjang pantai Utara Bekasi dan Cikarang terdapat masyarakat keturunan Portugis dan Banten. Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi pada umumnya bahasa Melayu Betawi (Betawi ora), kecuali sebagian kecil di sebelah selatan dan timur Bekasi yang umumnya menggunakan bahasa Sunda “kasar”. Kebudayaan Tradisional Bekasi Kebudayaan sebagai hasil karya manusia, mempunyai peranan cukup penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Terjadinya proses kebudayaan di tengah-tengah masyarakat tradisi disebabkan oleh akulturasi dan penyebaran kebudayaan baru, baik dalam bentuk pengaruh agama (Hindu, Budha, Islam) maupun setelah perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Proses itu mengakibatkan berubahnya pola pikir dan perilaku bermasyarakat. dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri, komunikasi, dan masyarakat globalisasi. Percampuran atau akulturasi kebudayaan dapat terjadi apabila ada dua kebudayaan masyarakat atau bangsa yang masing-masing memiliki kebudayaan tertentu, lalu saling berhubungan. Perhubungan itulah yang menyebabkan terjadinya sebaran (difusi) kebudayaan. Di dalam proses sebaran kebudayaan selalu dapat diperhatikan dan kemungkinan, yaitu menerima atau menolak masuknya anasir kebudayaan asing yang mendatanginya. Kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa pada umumnya dapat disebut maju atau berkembang, apabila di dalamnya terdapat anasir kebudayaan baru. Tumbuhnya anasir kebudayaan baru itu bisa terjadi karena dua kemungkinan, yaitu karena ada penemuan atau karena ada percampuran kebudayaan. Sebagai pintu gerbang dan daerah penyangga ibu kota Republik Indonesia, Bekasi menjadi penyangga keberlangsungan kehidupan kesenian tradisi yang dimilikinya. Meskipun pengaruh globalisasi begitu kuat masuk ke dalam akar kesnian tradisi. Sejalan dengan prioritas pembangunan nasional dan pembangunan Jawa Barat yang dititikberatkan pada pembangunan ekonomi, arah pembangunan jangka pendek Bekasi adalah untuk mewujudkan keseimbangan struktur ekonomi, pertanian, dan industri. Pembangunan sektor pertanian diharapkan kepada intersifikasi khusus yang disertai dengan usaha-usaha diversifikasi produksi pertanian dengan tetap mempertahankan status Bekasi sebagai salah satu lumbung pangan di Jawa Barat. Bagian 3—Sosial dan Kebudayaan 73  

Berhubungan dengan letak dan kedaan daerah yang banyak dipengaruhi oleh daerah Jakarta dan sekitarnya serta pengaruh bahasa dan adat adanya orang-orang Melayu, Sunda, Jawa, dan Jawa Banten serta assimilasi dengan penduduk keturunan Tionghoa, Bekasi mempunyai ciri khas kesenian tradisi sendiri. Bentuk dan jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang dewasa ini di Bekasi adalah tanji kombinasi, tanjidor, tanji kliningan, kliningan, kliningan suna, orkes Melayu, odong-odong, wayang golek, wayang kulit, topeng Bekasi, lenong, drama, gambang kromong, seni lukis, qasidah, pencak silat, jaipongan, band, calung, degung, keroncong, tari tradisional, vokal grup, tari kreasi, dan klasik Jawa. Secara geografis, Bekasi merupakan daerah yang strategis, untuk membendung arus urbanisasi dari arah Timur Kota Jakarta. Oleh karenanya Bekasi berfungsi sebagai penyangga limpahan ibu kota republik Indonesia dalam bidang perumahan, industri, perdagangan dan jasa. Dalam pertumbuhan dan perkembangan keseniannya, Bekasi tidak dapat dilepaskan darui kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakaty dan tidak dapat mengolah dari pola-pola percampuran, serta persebaran jenis dan juga bentuk kesenian lain di Jawa Barat dengan tidak menutup kemungkinan masuknya beberapa unsur etnis dari budaya lain. Sejarah terbentuknya masyarakat Bekasi dan munculnya kesenian ditengah-tengah masyarakatnya tidak dapat dilepaskan dari pengertian Bekasi secara etimologis. Nama Bekasi menurut ejaan filologi Prof. Dr. Poerbatjaraka berasal dari kata Chandra atau sasih artinya bulan (sasih bahasa Jawa) dan Bhaga artinya bahagian. Dari kata chandrabhaga melalui kata Bhagasasi menjadi bekasi dan Ibukota tarumanagara menurut pendapatnya harus di Bekasi. Di Bekasi sudah sejak lama berlangsung akulturasi dan komunikasi ketika kerajaan Tarumanegara di bawah Raja Purnawarman membangun kerajaannya pada tahun 450 M atau abad ke 5 di daerah sekitar kali Bekasi. Kerajaan Tarumanegara pada zamannya termasuk kerajaan yang cukup terkenal di nusantara. Kerajaan ini menurut beberapa orang ahli sejarah mempunyai hubungan diplomatik dengan Tionghoa. Ada beberapa utusan yang dikirim kesana dan sebaliknya. Kerajaan Tarumanegara berdiri sampai abad ke 10 M, sesudah itu kekuasaannya mundur. Saat kemunduran Kerajaan Tarumanegara, di sebelah Timur Parahyangan (tempatnya di Ciamis sekarang), berdiri kerajaan Galuh (abad ke 8 M) menurut sebagian pendapat karena desakan kekuatan tertentu secara berangsur-angsur adanya pemindahan kekuasaan ke Jawa barat bagian barat sehingga pada abad ke 14 berdiri kerajaan Pajajaran dengan pusat pemerintahan di Pakuan (Bogor sekarang). Sri Baduga maharaja adalah raja Pajajaran yang mendirikan ibu kota tersebut pada tahun 1255 saka atau 1333 Masehi. Wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran meliputi Jawa Barat Bagian Barat. Banten, Tangerang, Sunda Kelapa, Bekasi, dan Karawang merupakan daerah-daerah pelabuhan yang sangat penting dalam mendukung perdagangan. Bogor (Pakuan) sebagai ibu kota kerajaan Pajajaran sangat didukung oleh dua sungai yang pada saat itu dapat dilayari kapal, mempunyai arti yang sangat strategis baik militer 74   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

maupun perdagangan, dengan mnggunakan kedua sungai tersebut, kegiatan di Banten dan sekitarnya dapat dikontrol begitu pula kegiatan di Sunda Kelapa, sebagai pelabuhan niaga menjadi sangat ramai. Bekasi dan Karawang akhirnya sebagai pelabuhan tambahan. Pada tahun 1527 Sunda Kelapa jatuh ke tangan Faletahan dari Banten. Jauh sebelumnya, di Banten sudah berdiri Kerajaan Islam menggeser kekuasaan Pajajaran. Kehadiran kesatuan tentara Falethan di Sunda Kelapa yang merupakan pintu gerbang ke Pajajaran membuat Pajajaran menjadi mundur. Kekuasaan Pajajaran di Pantai utara makin hari semakin surut, termasuk Bekasi dan Karawang jatuh ke tangan orang-orang Islam. Falatehan mengakui daerah kekuasaannya yaitu Cisadane bagian barat, Citarum sebelah Timur, Laut Jawa, dan beberapa pulau sebelah Utara dan sebelah Selatan berbatasan dengan Bogor (sisa kekuasaan Pajajaran). Pengaruh Kebudayaan Hindu-India Sekitar abad ke 1 Masehi, Hindu India muncul d tengah-tengah bangsa Indonesia yang mengakibatkan terasingnya penduduk asli ke daerah pendalaman. Pada saat itu Hindu-India mulai berkuasa sambil menyebarkan kebudayaannya yang sangat popular, di antaranya cerita Ramayana dan Mahabrata sebagai kitab sucinya. Kedua epos tersebut sangat digemari masyarakat Indonesia karena berisi cerita kepahlawanan yang sangat menarik minat. Hal ini merupakan suatu sumbangan kebudayaan yang sangat besar artinya pada pertumbuhan wayang sehingga terjadi suatu perkawinan antara kedua unsur kebudayaan, yang diberi bumbu kebudayaan sendiri. Lebih-lebih setelah abad ke 4 kedua unsur kebudayaan tersebut telah berubah menjadi suatu akulturasi. Pada abad XVII mulai dilakukan penyebaran wayang dari Jawa Tengah melalui daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, yaitu daerah Cirebon yang pernah dikuasai Mataram. Wilayah penyebaran kesenian wayang kulit hampir bersambung, dimulai dari bekas Karesidenan Banyumas, Pekalongan, Cirebon, Purwakarta, Jabotabek, sampai ke Banten. Wilayah penyebaran wayang kulit Cirebon adalah dari ujung Timur Tangerang dan Banten termasuk di dalamnya Bekasi, serta meliputi pula sebagian wilayah kabupaten Majalengka dan Sumedang. Tradisi seni pedalangan Bekasi terus dilestarikan dari generasi ke generasi oleh masyarakat pendukungnya. Apresiasi masyarakat Bekasi terhadap wayang kulit cukup baik sehingga kelangsungan hidup jenis seni pertunjukan ini dapat terus berlanjut. Wayang kulit Bekasi mengenal sejumlah lakon yang dikuasai oleh para dalang untuk melayani pihak penanggapnya. Banyaknya lakon yang dikenal itu tidaklah mustahil bila diingat bahwa dalam khasanah kesusastraan Bekasi justru yang paling banyak adalah sastra wayang. Ini pun merupakan bukti bahwa masyarakat Bekasi memang sejak dulunya adalah pecinta cerita wayang, baik dalam bentuk karya sastra maupun dalam bentuk pergelaran wayang. Bagian 3—Sosial dan Kebudayaan 75  

Perubahan Sosial di Bekasi Kata “tradisi” mempunyai konotasi makna yang berbeda dengan “kebudayaan”. Istilah “kebudayaan” lebih cendrung pada hasil cipta, rasa, dan karsa manusia atau masyarakat, sedangkan tradisi lebih menunjukkan kepada kebiasaan-kebiasaan, baik berbentuk perilaku, cara pandang, maupun sikap astetika, yang telah mengakar di tengah masyarakat sehingga menjadi ciri khas masyarakat tertentu. Dalam kehidupan masyarakat biasanya berkembang tradisi – tradisi, baik tradisi alami maupun tradisi yang terbentuk dari perubahan zaman. Jika tradisi itu berkembang secara alami, biasanya disebut tradisi asli, sedangkan bila tradisi itu berkembang sebagai hasil perubahan zaman, maka disebut tradisi bentukan. Tradisi alami (asli) ini berkembang secara turun temurun, melalui proses transformasi sosial. Sedangkan tradisi bentukan ini mengandung format atau wajah yang berbeda dengan tradisi asli. Dari sini, maka setiap daerah, pasti mempunyai tradisi-tradisi yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Perbedaan itu akan lebih nampak lagi karena masing-masing terpengaruh dengan budaya midern. Pengaruh-pengaruh modernisasi ini mengarah pada perubahan tradisi dari tradisi asli menjadi tradisi modern. Di Bekasi tengah terjadi perbenturan antara tradisi asli melawan tradisi impor. Masyarakat Bekasi yang dahulunya sebagai petani dengan tradisi petaninya, kemudian akibat pengaruh modern menjadi muncul sebagai tradisi modern. Orang-orang Bekasi zaman dahulu, terutama anak-anak, sering “digiring” ke sawah membantu orang tuanya. Tetapi, sekarang karena pengaruh modernisasi, anak-anak mereka sering tidak mau diajak ke sawah, dan mereka lebih memilih bermain, jalan-jalan atau pergi ke tempat-tempat hiburan. Mereka malah menganggap rendah kegiatan turun ke sawah. Perubahan tradisi itu terjadi karena faktor perkembangan zaman, juga disebabkan oleh faktor lainnya. Faktor geografis (letak, iklim, dan potensi alam lain) turut berpengaruh. Adanya pengaruh faktor geografis ini, misalnya, pada persilangan yang terletak di daerah persimpangan atau daerah persilangan antara satu daerah pusat ekonomi dengan daerah pusat ekonomi lainnya. Tradisi yang berkembang karena daerah persilangan ini lebih menunjukkan sebagai tradisi yang cepat berubah, dan biasanya tidak bersifat statis. Di kota Bekasi tradisi tampak dinamis atau terus mengalami proses perubahan. Proses perubahan ini disebabkan oleh pengaruh perkembangan teknologi dan budaya masa kini atau modern. Di masyarakat Bekasi tradisi kebersamaan berubah menjadi individualistis sehingga solidritas sosialnya semakin lama semakin lemah. Sebelum memasuki dasawarsa 1990-an, masyarakat Bekasi terkenal dengan solidaritas yang tinggi. Indikasinya, dahulu orang Bekasi ketika membangun atau memperbaiki rumah akan dibantu oleh para tetangga, sedangkan di zaman sekarang sudah jarang. Mereka sudah menampakkan sikap indivudualistis, sehingga memandang kerjasama selalu berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, yakni yang mendatangkan keuntungan material. 76   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Dahulu, masyarakat Bekasi menjadikan tenaga atau jasa sebagai alat tukar atau semacam uang. Dengan adanya tukar-menukar jasa ini, maka hubungan antar orang satu dengan lainnya menjadi lebih dekat dan akrab. Dengan demikian terjadi saling ketergantungan antara warga masyarakat. Dalam masyarakat yang demikian, utang uang dibayar dengan tenaga, pajak dibayar dengan tenaga, sedangkan sistem kerja, misalnya di dalam mengerjakan sawah, didasarkan atas tukar menukar tenaga. Dengan bergesernya era tradisional kepada era modern, misalnya dengan masuknya mesin- mesin di desa dan alat teknologi lain, kebutuhan akan tenaga menjadi berkurang. Orang mulai memperhitungkan dengan uang, tetapi disamping itu masih berlaku sistem ekonomi jasa. Dengan masuknya ekonomi uang dan kurangnya ketergantungan antara seseorang dengan oarang lain, maka terjadinya pula proses individualisasi. Yang jelas, akibat pengaruh zaman, maka tradisi kebersamaan berubah menjadi individualistis, yang menyebabkan lemahnya solidaritas sosial. Fenomena lainnya biasa berkembang di Bekasi, yang dahulunya kalau acara-acara hajatan biasa diisi dengan hiburan topeng bancet, tanjidor, atau lainnya, sekarang berubah menjadi hiburan film, dangdutan, jazz, karaoke atau tradisi-tradisi modern lainnya. Di kalangan anak muda sendiri, yang dahulunya berpenampilan bersahaja, sekarang menjadi begitu mewah. Bahkan tidak sedikit kami temukan anak muda yang berpenampilan seronok. Misalnya, celana levis yang bolong-bolong di bagian lutut, rambut yang panjang atau tato yang menghiasi bagian-bagian tubuh tertentu. Mereka biasa mendatangi night club, bilyard, discotik dan tempat-tempat hiburan lain. Bahkan yang lebih mencolok lagi, kalau dahulu mereka tidak mengenal zat-zat memabukkan sekarang mereka terbiasa menggunakan dan mengedarkan ganja dan shabu- shabu. Tradisi hari raya pun mengalami perubahan. Kalau dahulu lebaran diisi dengan kegiaan mengunjungi tetangga dari rumah ke rumah untuk mengucapkan selamat lebaran, kini tradisi ini berubah menjadi tradisi mengucapkan selamat lewat telepon atau dengan mengirim kartu lebaran. Faktor demografis, misalnya pertambahan jumlah penduduk, stratifikasi sosial dalam masyarakat juga berpengaruh terhadap masyarakat Bekasi. Karena jumlah penduduk terus meningkat sementara lahan permukiman semakin sempit, acara perkawinan atau khitanan yang dahulu biasa dilaksanakan di rumah sekarang lebih sering dilaksanakan di gedung, hotel, atau tempat-tempat pertemuan dengan cara menyewa. Faktor etnis juga turut berperan dalam dinamika erubahan social. Misalnya, etnis Jawa lebih menampakkan tradisi kejawaannya, etnis Sunda menampilkan tradisi kesundaannya, etnis Batak lebih menonjolkan tradisi kebatakannya, dan etnis Betawi lebih menampakkan corak Betawinya. Di Bekasi, yang merupakan daerah multietnis, tradisi beragam etnis perantau etap eksis. Lama kelamaan tradisi itu berbaur dengan tradisi asli masyarakat Bekasi, bahkan terkadang sering sulit dibedakan apakah itu tradisi asli masyarakat Bekasi atau tradisi non-Bekasi. Bagian 3—Sosial dan Kebudayaan 77  

Faktor ekonomi biasanya sangat nampak pengaruhnya bagi perubahan tradisi masyarakat. Dahulu, ketika Bekasi belum berkembang menjadi kota, masyarakat belum banyak disibukkan dengan pekerjaan sehingga memiliki banyak waktu kosong, yang diisi dengan tradisi “nenangga”, artinya saling mendatangi atau mengunjungi tetangga. Meskipun tradisi “nenangga” tidak diisi dengan kegiatan yang produktif, kebiasaan ini menyiratkan masyarakat Bekasi hidup “guyub” dengan tetangga. Pada zaman modern, ketika persaingan dalam bidang ekonomi demikian ketat dan penduduk disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, tradisi ‘nenangga” pun semakin lama semakin hilang. Perkembangan tradisi-tradisi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor di samping pengaruh zaman banyak ditemukan di kota Bekasi, yang menunjukkan terjadinya “perang” antara tradisi asli dengan tradisi modern. Ini semua menunjukkan sikap-sikap modern yang perbedaanya begitu mencolok dengan tradisi masyarakat tradisional. Religi Sebagian besar masyarakat Bekasi memeluk agama Islam tetapi secara umum tingkat pemahaman mereka terhadap ajaran agama relatif kurang mendalam. Sebagian besar ajaran yang mereka terima dari para guru mengaji bersifat tradisional dengan materi pengajaran terbatas pada membaca huruf Arab, menghafal Al-Quran dan fikih, di samping tidak mempunyai biaya cukup atau masih tingginya keengganan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Masyarakat yang mendalami ajaran agama Islam biasanya terbatas kalangan yang memiliki kekayaan atau yang berasal dari keluarga haji. Pada sisi lain, kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan tidak banyak membantu sistem pendidikan pribumi yang dikelola oleh pihak swasta. Ajaran Hindu Budha serta kepercayaan terhadap animisme-dinamisme masih melekat di tengah masyarakat. Bahkan, sejak peristiwa pemberontakan petani Bekasi di Tambun tahun 1869 sampai dengan awal abad ke-20 kepercayaan musyrik terhadap kesaktian Susuhunan Surakarta, yang kelak akan menolong mereka dalam kondisi terjepit, tetap merasuki otak sebagian besar masyarakat Bekasi. Masih banyak yang mengabaikan kewajiban menunaikan shalat lima waktu bahkan biasanya hanya shalat Jumat atau shalat dua hari raya. Sementara itu, jumlah sarana bangunan masjid masih kurang. Pada tahun 1913 hanya terdapat satu buah masjid, terletak di subdistrik Bekasi. Ide Pan-Islamisme yang disebarkan oleh Muhammadiyah, Jami’at Khair, dan Sarekat Islam memiliki tujuan yang mulia yaitu pemberdayaan masyarakat, namun demikian langkah ini belum banyak memberikan perubahan berarti pada masyarakat di tingkat kampung. Pada situasi dan kondisi saat itu, ajaran Islam lebih banyak ditafsirkan sebagai pemberi semangat perang. 78   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

B. Kesenian Dan Olahraga Tradisional Gamelan Musik gamelan Betawi merupakan perpaduan musik gamelan Sunda, Jawa, melayu dan Cina. Musik gamelan dimainkan oleh beberapa orang secara bersama-sama. Selain mengiringi lagu-lagu Betawi, musik gamelan juga digunakan untuk mengiringi pertunjukkan topeng dan tari-tarian. Keroncong Musik keroncong berasal dari Portugis. Musik ini masuk ke Indonesia pada abad ke-17. Di Jakarta, musik ini sangat digemari oleh masyarakat Tugu di Jakarta Utara. Jenis musik inilah yang menjadi cikal bakal keroncong asli Betawi, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Keroncong Tugu. Mula-mula, musik Keroncong Tugu ini hanya memainkan lagu-lagu berirama stambul dan Melayu dengan bahasa Tugu. Selain Keroncong Tugu, masyarakat Betawi juga mengenal jenis musik keroncong lainnya, yakni Keroncong Kemayoran. Jenis musik ini mulai dikenal pertama kali pada tahun 1922. Biasanya mereka diminta memeriahkan pesta atau acara hiburan lainnya. Alat-alat musik Keroncong Kemayoran antara lain biola, keroncong, melodi, ukelele, gitar, rebana, seruling, bass, dan cello. Lagu-lagu yang dimainkan adalah Keroncong Kemayoran, Moresko, Kaparinyo, dan lagu-lagu berbahasa Indonesia lainnya. Lenong Sampai saat ini belum ada penyelidikan secara ilmiah etimologis terhadap kata lenong. Namun, kata ini sudah sedemikian populer di kalangan masyarakat, khususnya di daerah DKI Jaya, Bogor, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya. Kesenian lenong merupakan kesenian rakyat jelata yang diwariskan turun-temurun seperti kesenian rakyat lainnya. Lenong merupakan jenis kesenian teater sebagaimana ketoprak di daerah Jawa Tengah dan ludruk di daerah Jawa Timur. kesenian lenong biasanya digelar untuk memenuhi panggilan orang yang sedang hajatan. Panggung pementasan lenong berukuran sekitar 5 X 4 meter, tinggi sekitar 1 meter. Di atas panggung dipasang 5 buah layar atau kere. Satu di antaranya dipasang secara permanen di bagian belakang panggung, empat yang lain dipasang secara fleksibel sehingga dapat digulung dan dilepas. Lampu dipasang di bagian depan atas panggung, biasanya dua buah lampu pompa. Bagian 3—Sosial dan Kebudayaan 79  

Lakon (cerita) yang dipentaskan terdiri atas lakon dinas dan lakon preman. Latar waktu lakon dinas maupun lakon preman adalah masa kerajaan atau pemerintahan pada zaman dahulu. Cerita tentang Majapahit, Mataram, Pajajaran, dan Gubernur Jenderal termasuk dalam lakon dinas, sementara cerita Nyai Dasima, Si Pitung, Si Angkri, Mandor Bego, Si Ronggeng Bekasi, Jago Rawa Bangke, dan Tuan Tanah Kedawung termasuk dalam lakon preman. Instrumen pengiring kesenian lenong disebut “gambang kromong”, terdiri dari sepasang gong, seperangkat kromong, sebuah kemor, sebuah gendang, seruling, tek yan, kecrek, sepasang kendang. Perlengkapan lainnya adalah pakaian pentas, alat-alat rias dan senjata seperti pedang, golok, keris, dan tombak. Biasanya musik pengiring ditempatkan pada bagian kiri depan panggung sehingga terlihat oleh penonton. Panggung terbagi menjadi dua oleh layar belakang. Bagian belakang layar disiapkan untuk pemain berdandan sebelum tampil. Lagu-lagu yang biasa dimainkan adalah lagu-lagu khas daerah atau lagu gambang keromong. Biasa yang dipergunakan adalah bahasa daerah Jakarta dan sekitarnya. Badutan atau bebodoran menonjol. Sementara itu, adegan perkelahian biasanya diawali oleh pembacaan syair secara berbalasan yang berisi tantangan dan ejekan terhadap calon lawan. Ondel-Ondel Ondel-ondel ialah boneka besar yang terbuat dari anyaman bambu. Tinggi boneka ini sekitar 2,5 meter, dengan garis tengah lebih kurang 80 sentimeter. Wajah ondel-ondel berupa topeng (kedok) sepasang laki-laki dan perempuan bermuka seram. Menurut kepercayaan masyarakat Betawi, ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang dapat menggangu ketentraman manusia. Dalam perkembangannya, 80   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

ondel-ondel sekarang digunakan untuk menambah semarak pesta-pesta rakyat atau penyambutan tamu-tamu terhormat. Tanjidor Musik tanjidor, para pemainnya, maupun komponen pendukungnya tumbuh dan berkembang hanya di kota Jakarta dan sekitarnya sehingga dapat dikatakan musik tanjidor adalah musik rakyat Betawi. Sampai masa setelah kemerdekaan, musik tanjidor masih bertahan di kalangan penduduk kota Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bekasi. Musik tanjidor asalnya adalah musik orang-orang kulit putih. Memang yang sering dimainkan adalah musik lagu-lagu rakyat Betawi yang bernafaskan lagu-lagu Cina, tetapi lagu-lagu tersebut dimainkan karena faktor selera masyarakat semata-mata. Tujuan utama penyuguhan musik tanjidor adalah untuk mencari nafkah, kegiatan ini biasa disebut ngamen. Pada masa perkembangannya, para pemusik tanjidor masuk kampung ke luar kampung dalam mencari nafkah. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu yang populer dan disukai masyarakat Betawi pada masa itu, misalnya Cente Manis, Kramatkarem, Merpati Putih, dan Surilang. Lagu-lagu ini masih dianggap “lagu baru” pada waktu itu. Sebelumnya, para pengamen ini lebih sering memainkan lagu-lagu yang usianya jauh lebih tua. Lagu-lagu lama itu justru merupakan lagu-lagu orisinal untuk permainan musik tanjidor, yaitu lagu Belanda yang berirama mars. Musik tanjidor telah ada di Indonesia sejak zaman pertengahan penjajahan Belanda, kira- kira abad 17. Lagu-lagu orisinal yang dimainkan oleh pemusiknya pada umumnya dalam bentuk instrumentalia karena mereka tidak mengenal syairnya. Lagu-lagu Belanda berirama mars mereka mainkan berdasarkan apa yang pernah mereka dengar, tanpa membaca not-not musiknya. Pada tahun 1930-an musik tanjidor sangat digemari penduduk kota Jakarta dan sekitarnya karena biasanya dibawakan oleh penyanyi lengkap dengan syair dalam bahasa Indonesia dialek Betawi dan telah dikenal oleh rakyat pribumi. Para pengamen mendatangi rumah-rumah penduduk lalu memainkan lagu untuk menghibur tuan rumah. Setelah meminta imbalan sekedarnya, meka berpindah ke rumah lain, demikian seterusnya hingga mereka mendapatkan cukup uang untuk keluarga. Tanjidor berbeda dengan jenis kesenian tradisionail Betawi lain, yang umumnya disuguhkan di tanah lapang ataupun panggung terbuka, seperti wayang topeng, wayang senggol, lenong, dan Bagian 3—Sosial dan Kebudayaan 81  

gambang kromong. Tanjdor tidak membutuhkan suatu tempat khusus, di mana saja mereka dapat tampil. Namun, pada umumnya mereka memainkan musik di halaman rumah penduduk. Tidak jarang pula rombongan tanjidor dipanggil oleh penduduk yang punya hajat untuk memainkan beberapa lagu. Penampilan musik tanjidor yang sangat komunikatif dengan rakyat di kampung- kampung Betawi, menjadikan jenis kesenian ini sangat disenangi dan merakyat. Entah secara kebetulan atau mungkin karena selera, musik tanjidor sangat digemari oleh penduduk Betawi keturunan Tionghoa sehinga kelompok penduduk ini sering didatangi oleh rombongan tanjidor. Seiring dengan pembangunan kota Jakarta yang semakin pesat, ditambah dengan munculnya jenis musik lain, musik tanjidor semakin terdesak. Rombongan tanjidor semakin tegeser ke daerah Jakarta pinggiran, termask Bekasi, tapi belum punah. Pada masa sekarang, ketika rakyat Betawi telah mengalami regenerasi, musik tanjidor jarang dapat dinikmati di kota Jakarta maupun sekitarnya. Topeng Topeng merupakan teater rakyat yang dikenal hingga ke daerah Bekasi dan sekitarnya, yang pertunjukannya hampir sama dengan lenong Betawi. Kesenian topeng Betawi yang terdiri atas topeng blantek dan topeng jantuk hidup di lingkungan masyarakat pinggiran kota Jakarta. Pertunjukan topeng biasanya digunakan sebagai sarana melontarkan kritik sosial atau untuk menyampaikan nasihat tertentu kepada masyarakat. Kitik atau nasihat tersebut biasanya disampaikan mlalui banyolan yang halus dan lucu agar tidak dirasakan sebagai suatu ejekan atau sindiran. Itulah sebabnya kesenian ini mempersyaratkan para pemainnya mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup tinggi. Para penari Topeng Tari Topeng Lambang Sari 82   Ensiklopedia—Sejarah dan Kebudayaan Bekasi

Ujungan Kata ujungan berasal dari daerah Sunda, kata “jung” yang berarti bagian dari lutut ke bawah. Kata jung berkembang menjadi ujung dengan arti tetap sama yaitu “kaki”. Dalam bahasa Melayu ujung berarti lawan pangkal atau garutan yang menonjol ke laut. Lama kelamaan pengertian ujung dalam bahasa Melayu masuk ke dalam bahasa Sunda sehingga pengertian ujung dalam bahasa Melayu terdapat juga dalam bahasa Sunda. Beberapa orang ahli permainan ujungan mengatakan, kata ujungan berasal dari kata ujung yang berarti “lawan pangkal”, baik pada rotan maupun kaki. Dalam permainan ujungan, yang harus dilindungi adalah bagian ujung kaki, tidak boleh terkena ujung rotan karena bisa pecah. Pertandingan ujungan digelar di berbagai daerah di Kabupaten Bekasi, tidak hanya di satu tempat. Pada zaman Pasundan rakyat sudah biasa mengadakan hiburan, di antaranya ada yang saling memukul betis dan tulang kering dengan lidi aren sambil meloncat-loncat dan melakukan gerakan atraktif. Pemain bertingkah laku jenaka pada saat menghindar dari pukulan, menangkis pukulan, atau ketika memukul kaki lawan dengan bagian ujung lidi. Permainan ini digelar untuk menghibur penonton. Lama kelamaan permainan ujungan tidak lagi dianggap sekadar hiburan, tetapi merupakan permainan ketangkasan dan kecekatan bagi pemuda. Bahkan, bila seorang pemuda tidak berani terjun di permainan ujungan, ia dianggap kurang jantan. Dalam permainan ujungan terkandung unsur-unsur yang sangat vital dalam kehidupan manusia, khususnya unsur kesenangan, kewaspadaan, keterampilan, keberanian, dan ketabahan. Kelima unsur ini mutlak dimiliki oleh seorang pemain ujungan, baik sebelum maupun pada saat berlangsung permainan. Bagian 3—Sosial dan Kebudayaan 83  


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook