Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc.

Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc.

Published by satriamadangkara, 2021-09-01 03:10:43

Description: Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc.

Search

Read the Text Version

PERAN ILMU EKONOMI PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN PERADABAN SEBUAH REFLEKSI UNTUK REPOSISI Oleh BUSTANUL ARIFIN Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Lampung 20 Februari 2006

DAFTAR ISI Halaman 1. Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 2. Dari Usahatani ke Pembangunan Ekonomi . . . . . . . 2 3. Ekonomi Pertanian dalam Era Perubahan Teknologi 8 4. Perkembangan Ilmu Ekonomi Pertanian di Indonesia 11 5. Perspektif Keberlanjutan dalam Ilmu Ekonomi Pertanian 16 6. Reposisi dalam Arena Globalisasi dan Arus Informasi 19 Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22 Catatan Akhir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26 Riwayat Hidup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29 Ucapan Terima Kasih . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 55 ii

Prof. Dr. Ir. H. Bustanul Arifin, M.Sc. iii

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, ijinkan saya menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada orang-orang dan pihak-pihak yang telah berperan besar dalam pencapaian jabatan guru besar ini. Pertama, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo, atas pengangkatan saya dalam jabatan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, terhitung mulai tanggal 1 September 2005. Saya mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Lampung dan segenap unsur pimpinan universitas dan fakultas, yang membuat Pengukuhan Guru Besar ini sukses. Terima kasih saya sampaikan kepada para guru saya mulai dari SD, SMP dan SMA di Bangkalan Madura, sampai para dosen di IPB dan University of Wisconsin-Madison (AS) yang mendidik dan memberi ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Saya ucapkan terima kasih kepada Almarhum Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, Rektor IPB pada waktu itu yang memberikan tempat dan kesempatan emas kepada saya untuk berguru di Kota Hujan Bogor. Ucapan terima kasih tak terhingga juga sangat layak disampaikan kepada teman-teman di Jurusan Sosek UNILA: Pak Ali, Pak Slamet, Hanung, Mbak Wur dan semua rekan atas toleransi dan jerih payahnya membentuk panitia kecil untuk acara ini. Kepada teman- teman INDEF-Jakarta: Mas Didik, Pak Faisal, Kang Fadhil Kang Iman, Mbak Avi dan semuanya, terima kasih atas perhatian dan kerjasama dan kekeluargaannya sampai saat ini. Saya menghaturkan terima kasih kepada Ramah-Ebu (alm), kakak dan adik-adik saya, Bapak-Ibu Mertua (Bapak Chafied dan Ibu Hartati) yang menjadi pengganti orang tua saya sejak tahun 1991. Akhirnya, kepada isteri tercinta Sari dan ketiga anak saya: Aga, Andin dan Affan, terima kasih atas kasih pengertian, kebersamaan dan kasih sayangnya selama ini. I love you all. iv

Bustanul Arifin dan keluarga: Astuti Sariutami (Sari), Muhammad Naufal Yugapradana (Aga), Nabila Isnandini (Andin), dan Muhammad Nawaf Tresnanda (Affan) Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu/Saudara dalam acara Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, 20 Februari 2006 v

vi

Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Yang terhormat: Bapak Rektor, Para Guru Besar dan Senat Universitas Lampung Rekan-rekan dosen dan karyawan Universitas Lampung Para undangan dan hadirin yang saya muliakan Pertama, mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi nikmat dan karunia yang tiada tara, sehingga kita dapat berkumpul di Gedung Serba Guna Universitas Lampung dalam keadaan sehat dan afiat, menghadir acara Orasi Ilmiah sehubungan dengan pengukuhan saya sebagai Guru Besar Tetap bidang Ilmu Ekonomi Pertanian, di Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Kedua, ijinkan saya menghaturkan terima kasih atas kehadiran Bapak, Ibu, dan Saudara sekalian dalam acara khidmat dan berbahagia ini. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai ibadah, yang kelak akan mendapat pahala yang layak di sisi-Nya. Amin. Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya di depan Sidang Terbuka Senat Guru Besar Universitas Lampung dan hadirin sekalian yang saya muliakan menyampaikan Orasi Ilmiah saya yang saya beri judul: Peran ilmu ekonomi pertanian dalam pembangunan peradaban : Sebuah refleksi untuk reposisi. Topik ini adalah kristalisasi dari perjalanan karier akademik saya selama 20 tahun, yang mungkin bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran bagi kemajuan ilmu ekonomi pertanian dan pembangunan peradaban manusia. Pada waktu wisuda sarjana dulu di Institut Pertanian Bogor, skripsi saya persembahkan kepada alamarhum kedua orang saya (Raden Mohammad Bakir dan Siti Maimunah). Tesis master of science saya di University of Wisconsin saya persembahkan untuk calon isteri, dan disertasi doctor of philosopy juga di Unversity of Wisconsin saya persembahkan untuk isteri dan anak saya. Orasi ilmiah kali ini saya ingin mempersempahkannya kepada para petani yang telah berjasa membentuk kepribadian dan perjalanan karier dan kehidupan saya.



PERAN ILMU EKONOMI PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN PERADABAN: SEBUAH REFLEKSI UNTUK REPOSISI Oleh Bustanul Arifin Disampaikan dalam rangka Orasi Ilmiah sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian di Gedung Serba Guna Universitas Lampung, 20 Februari 2006. 1. Pendahuluan Ilmu ekonomi pertanian merupakan salah satu cabang tertua dari ilmu ekonomi yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip kelangkaan dan pilihan. Kandungan sumberdaya pada suatu wilayah menjadi landasan pengembangan konsep keunggulan komparatif yang menjadi esensi utama perdagangan barang dan jasa. Strategi aplikasi atau turunan konsep di atas kemudian dikenal sebagai keunggulan kompetitif, yang berkembang sangat pesat dalam praksis dan peradaban umat manusia dalam proses industrialisasi dan globalisasi saat ini. Dalam konteks tersebut, ilmu ekonomi menempatkan sektor pertanian atau basis sumberdaya alam sebagai landasan utama pembangunan ekonomi suatu bangsa. Proses transformasi sektor pertanian yang mampu menghasilkan produksi atau surplus pertanian di tingkat domestik dalam jumlah besar juga dianggap sebagai syarat pokok pertumbuhan ekonomi, pembangunan jati diri dan identitas suatu bangsa, dan bahkan mewarnai tahapan peradaban serta interaksi antarpelaku dalam pergaulan dunia yang semakin kompleks. Ilmu ekonomi sendiri berkembang melalui perjalanan sejarah peradaban yang tidak terlalu gemilang, terutama proses kolonialisme, imperialisme, dan perbudakan yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Semangat ekspansionis yang ditunjukkan oleh segelintir negara di Eropa dan negara besar lainnya 1

bertemu dengan semangat penaklukan daerah jajahan, sekaligus penguasaan kekakayaan alam dan peradabannya. Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Latin yang sangat kaya rempah-rempah dan sumberdaya alam menjadi ajang kolonialisme dan arena imperialisme yang sekaligus merupakan perwujudan ekspansi kekuasaan teritorial. Sejarah Revolusi Industri di Inggeris abad ke-19 memang diakui sebagai salah satu tonggak modernisasi ekonomi dan penerapan prinsip-prinsip efisiensi dalam perekonomian. Di dalam negeri, Revolusi Industri ikut memacu proses industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, yang kadang diwarnai oleh pemusatan aset dan modal pada sedikit pelaku ekonomi. Efisiensi transportasi sangat terbantu oleh penemuan kapal uap dan pembukaan Terusan Suez, yang akhirnya mampu mempersingkat waktu tempuh pelayaran dari Dunia Barat ke Timur, yang semakin menjadi insentif bagi kaum imperialis untuk lebih menguasai tanah jajahan baru. Tulisan ini adalah sebuah refleksi penelusuran peperjalanan ilmu ekonomi pertanian meliputi kelahiran, modifikasi, integrasi dengan ekonomi pembangunan, masa keemasan dalam era perubahan teknologi, dan keterbatasannya dalam keberlanjutan pembangunan. Refleksi ini adalah pelajaran berharga untuk melakukan reposisi dan rekonstruksi ilmu ekonomi pertanian ke depan 2. Dari Usahatani ke Pembangunan Ekonomi Pada awal kelahirannya, ilmu ekonomi pertanian lebih banyak peduli pada manajemen usahatani, yang mengalami tantangan besar pada masa Perang Dunia I, yaitu tingginya permintaan bahan pangan serta kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian. Sebelum perang, peningkatan produksi pertanian dapat dengan mudah dicapai melalui perluasan lahan pertanian dan intensifikasi usahatani karena tenaga kerja nyaris bukan hambatan berarti, apalagi dapat dengan mudah diperoleh dengan harga yang murah dan bahkan tidak berharga sama sekali pada skema perbudakan, terutama di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Persoalan efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis menjadi tema 2

sentral dalam ekonomi pertanian, tentu saja beserta keterkaitan dengan kebijakan penetapan harga produk pertanian, dalam hukum permintaan dan penawaran yang telah berkembang pesat sebelumnya. Studi akademik lebih banyak diarahkan pada organisasi usahatani dan praktik budidaya pertanian, termasuk peternakan dan perikanan, keterkaitannya dengan faktor-faktor yang menentukan produksi dan keuntungan usahatani tersebut. Hasil-hasil studi akhirnya digunakan untuk membantu petani atau usahatani yang tidak berproduksi secara menguntungkan agar mengikuti praktik usahatani yang baik dan benar, agar pendapatannya meningkat. Langkah sinergisme seperti itu mampu meningkatkan produksi pertanian dan dapat menanggulangi pertambahan penduduk yang mulai semakin cepat. Ketika Perang Dunia I pecah, ilmu ekonomi pertanian mulai lebih peduli pada dimensi global dari persoalan suplai bahan pangan, kebutuhan tenaga kerja, standar biaya produksi pertanian dan peran strategis koperasi dalam memperbaiki manajemen usahatani yang lebih menguntungkan dan membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Peran yang dimainkan ilmu ekonomi pertanian pada saat itu tentu lebih banyak defensif, dalam arti hanya mampu bertahan membenahi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh perang atau hegemoni para politisi yang haus kekuasaan, tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban yang mengisinya. Akibatnya, kontribusi ilmu ekonomi pertanian lebih banyak berorientasi ke dalam, misalnya terlalu memperhatikan persoalan dalam negeri sendiri, dan maksimal para sekutunya dalam perang, sesuatu yang sering diklaim sebagai persoalan global. Depresi besar dan resesi hebat yang melanda AS pada 1930an sebenarnya turut mewarnai perkembangan ilmu ekonomi pertanian, karena sektor pertanian dilanda persoalan yang tidak kalah beratnya dengan persoalan yang diderita sektor industri. Adalah George F. Warren, seorang petani dan profesor di Universitas Cornell (New York) dan beberapa pengikutnya yang berperan cukup besar dalam perkembangan ilmu ekonomi pertanian, bahkan ekonomi moneter dan ekonomi pembangunan pada umumnya1. Dengan konsistensi yang sangat tinggi antara tulisan, ucapan dan tindakan, para ekonom 3

pertanian ini merekomendasikan dan melaksanakan legislasi pertanian AS atau yang lebih dikenal dengan “The New Deal” itu. Tidak secara berlebihan jika ada yang menyimpulkan bahwa tidak ada kelompok ekonomi mana pun selain kelompok ekonomi pertanian yang sangat berpengaruh dalam perumusan dan administrasi kebijakan publik2. Hal tersebut karena ciri khas ilmu ekonomi pertanian adalah memang dilandaskan pada penelitian mendalam, pendidikan dan pengajaran spartan, dan aplikasi lapangan secara nyata, yakni dengan perumusan masalah dan orientasi penyelesaiannya secara berkesinambungan. Di satu sisi, terobosan pemikiran ke luar tersebut cukup menggembirakan, namun di sisi lain perkembangan ilmu ekonomi pertanian tidak terlalu pesat sampai dengan berakhirnya Perang Dunia II. Banyak negara baru yang lepas dari penjajahan tidak begitu saja mampu melepaskan ketergantungannya pada pola pikir kolonial, jika tidak dapat dikatakan mewarisi paradigma pembangunan ekonomi yang masih fokus pada pertumbuhan industri dan perkotaan. Sektor pertanian lebih banyak dilihat dan diperlakukan sebagai sektor residu yang hanya berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja murah bagi sektor industri dan manufaktur. Akibatnya, sektor industri manufaktur dan jasa berkembang cukup pesat, yang sekaligus menandai modernisasi dalam strategi pembangunan ekonomi, walaupun “agak terlepas” dari sektor pertanian karena struktur dualistik yang menyelimuti keduanya. Pemikiran ekonomi dualistik tersebut juga sangat dipengaruhi oleh fakta dualisme sosiologis yang dikembangkan oleh J.H. Boeke, seorang ilmuwan asal Belanda, setelah melakukan penelitian cukup lama tentang perkebunan dan pertanian di daerah jajahan, terutama di Jawa dan Sumatra3. Dalam kerangka dualistik itu, terdapat hipotesis bahwa aktivitas ekonomi di sektor modern (Barat dan enclave Barat) dipicu kebutuhan ekonomis, sedangkan aktivitas ekonomi di sektor tradisional (Timur) hanya dipicu oleh kebutuhan sosial yang hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten. Di sana implisit bahwa tidak akan ada gunanya membawa ide-ide baru, kelembagaan dan teknologi baru ke tengah-tengah masyarakat tradisional. Hipotesis inilah yang menjadi justifikasi rasional dalam pengembangan industrialisasi dan mengabaikan pembangunan pertanian. Varian dari hipotesis dualistik 4

itu terdiri dari beberapa pemikiran, misalnya yang cukup populer adalah dualisme enclave yang menggambarkan suatu organisasi produksi pertanian, yang teridiri dari enclave kecil masyarakat modern (inti) dikelilingi oleh lautan masyarakat tradisional (plasma). Enclave melakukan ekstraksi komoditas primer (perkebunan dan tambang) dan aktivitas ekspor, juga mengimpor tekonologi hemat tenaga kerja. Dalam hal ini, tentu tidak terlalu banyak aktivitas yang dilakukan oleh sektor tradisional, kecuali eksploitasi sumberdaya alam semata. Perkembangan pemikiran ekonomi dualistik ini sebenarnya sangat sejalan dengan hipotesis surplus tenaga kerja yang terjadi di sektor pertanian dan perkembangan teknologi yang terjadi di sektor industri. dengan menjadi andalan argumen dalam karya-karya Arthur Lewis4. Asumsi yang digunakan adalah eksistensi penduduk dengan produktivitas tenaga kerja sangat rendah, bahkan berada di bawah tingkat upah. Di sini terdapat pengangguran tersembunyi, karena produktivitas tenaga kerja nyaris sama dengan nol, sehingga apabila dilakukan pemutusan hubungan kerja pun, maka produksi dipastikan tidak akan berkurang. Proses pembangunan ekonomi adalah transfer tenaga kerja dari sektor tradisional (yang tidak banyak menambah produktivitas) ke sektor modern (yang hasilnya dapat digunakan untuk reinvestasi di peralatan, mesin, bangunan) dan masih dapat ditingkatkan. Fondasi kapitalistik inilah yang menjadi karakter dari Arthur Lewis, yang akhirnya berkembang kepada hubungan antara negara maju dan negara berkembang, sesuatu yang fundamental dalam teori ekonomi pembangunan. Arthur Lewis kemudian diberi Hadiah Nobel Bidang Ekonomi pada tahun 1979, bersama-sama dengan Theodore W. Schultz. Proses industrialisasi dilaksanakan dengan perbedaan yang amat prinsip, yaitu bahwa sektor industri manufaktur (modern) dijalankan dengan prinsip maksimisasi keuntungan biasa; sedangkan sektor pertanian (tradisional) dijalankan dengan norma-norma konvensional, bukan prinsip-prinsip produksi marjinal. Jadi, apabila konsep kelebihan tenaga kerja memang diartikan sebagai tingkat produktivitas marjinal yang mendekati nol, maka tingkat alokasi produksi dalam sektor pertanian hampir tidak mungkin untuk 5

mengikuti prinsip-prinsip persaingan pasar sempurna. Artinya, tingkat upah buruh di sektor pertanian terlalu kecil untuk sekadar bertahan hidup, sehingga suatu norma tertentu terkadang dijadikan basis pengambilan keputusan alokasi produksi. Proses industrialisasi yang dicirikan oleh karakter dualistik tersebut umumnya menghadapi kondisi asimetri produksi dan asimetri organisasi. Asimetri produksi maksudnya adalah bahwa penggunaan faktor produksi modal tidak digunakan sepenuhnya dalam sektor pertanian dan lahan tidak digunakan sepenuhnya dalam sektor industri. Sedang asimetri organisasi maksudnya tingkat penerimaan upah di kedua sektor tersebut tidak akan mencapai keseimbangan karena perbedaan produktivitas marjinal tenaga kerja seperti telah disampaikan di atas. Sebagaimana disebut sebelumnya, pasca Perang Dunia II itulah ilmu ekonomi pertanian mulai menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, terutama setelah ada integrasi analisis dengan ekonomi pembangunan, sangat kontras dengan kondisi pada periode perang. Beberapa pemikiran dan karya para ekonom pertanian seakan tidak mampu menggugah para praktisi dan perumus kebijakan di setiap negara5. Periode kelabu dan suasana perang pasti bukan waktu yang kondusif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, walaupun sebenarnya manusia tidak pernah berhenti berfikir. Setelah beberapa tahun kemudian, barulah khalayak memberikan apresiasi kepada para ekonom pertanian sekaliber Theodore W. Schultz yang meletakkan dasar-dasar pemikiran tentang pentingnya pembangunan pertanian dalam pertumbuhan ekonomi, di mana pun di dunia. Schultz adalah seorang ilmuwan, peneliti, manajer, wiraswasta, katalis intelektual, dan ekonom pertanian tangguh alumnus Universitas Wisconsin-Madison yang mengembangkan karier akademiknya di Universitas Chicago. Ketekunannya mendalami persoalan pembangunan ekonomi, dan proses pencariannya untuk menemukan rumusan dan pencerahan kebijakan yang mengarah pada kesejahteraan umat manusia. Sebagaimana diketahui, T.W. Schultz akhirnya dianugerahi Hadiah Nobel Bidang Ekonomi pada tahun 1979, bersama Arthur Lewis dari Universitas Princeton, sebagaimana diuraikan sebelumnya. Schultz secara konsisten menantang pemikiran hipotesis “produk marjinal 6

sama dengan nol” yang dikembangkan oleh teman sekaligus lawan berdebatnya Arthur Lewis, dan berargumen bahwa pendidikan petani dapat menjadi salah satu investasi dengan biaya rendah dan mampu menghasilkan tambahan pendapatan tinggi yang permanen. Inilah salah satu kontribusinya yang sangat berharha bagi ilmu ekonomi. Dekade 1960an merupakan salah satu titik kulminasi dalam perkembangan khazanah ilmu ekonomi pertanian ketika paradigma bergeser menjadi “keseimbangan pertumbuhan ekonomi”. Sektor pertanian perlu mencapai tingkat pertumbuhan tertentu agar mampu lebih sejajar dan kompatibel dengan pembangunan sektor-sektor lain dalam ekonomi. Kontribusi pemikiran dari Simon Kuznets6 dan John Mellor7 sangat besar dalam meletakkan fondasi dasar bagi analisis tentang peran sektor pertanian dalam proses pembangunan. Hampir semua pemahaman umum tentang peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi yang dipercaya sampai sekarang adalah hasil karya ekonom pertanian pada dekade 1960an tersebut. Misalnya, pemahaman tentang sektor pertanian sebagai penyedia pangan, penghasil devisa dari ekspor, pemasok tenaga kerja bagi industri, dan stimulus pasar bagi pengembangan sektor industri adalah sedikit saja dari kontribusi besar yang sulit terlupakan. Prinsip yang diperjuangkan para ekonom pertanian ini cukup sederhana, namun menyentuh sendi-sendi kehidupan perekonomian, misalnya bahwa laju penyediaan bahan pangan minimal harus sama atau lebih besar dari laju permintaan pangan, yang sangat ditentukan oleh tingkat pertumbuhan penduduk, pendapatan serta elastisitas atau persentase pendapatan untuk konsumsi pangan. John Mellor terus konsisten memperjuangkan fungsi strategis sektor pertanian sebagai pengganda pendapatan dan pengganda lapangan kerja, yang sekaligus sangat menentukan proses perubahan teknologi dan industrialisasi baik di negara berkembang, maupun di negara maju. Simon Kuznets lebih banyak peduli pada persoalan pembangunan ekonomi dalam keterkaitannya dengan pemerataan pendapatan, yang digambarkannya laksana kurva U-terbalik. Seperti diketahui, Simon Kuznets akhirnya memperoleh Hadiah Nobel Bidang Ekonomi pada tahun 1971 karena kontribusinya pada ilmu ekonomi. 7

3. Ekonomi Pertanian dalam Era Perubahan Teknologi Era perubahan teknologi yang sangat pesat sebenarnya telah dimulai pada peridoe 1960 dan 1970an dan berlanjut sampai dekade 1980an. Ilmu ekonomi pertanian memperoleh pelajaran sangat berharga dari proses perubahan peradaban, yang nyaris mengubah berbagai sendi-sendi kehidupan manusia. Perubahan teknologi pertanian tidak terlalu pesat pada dekade 1990-an dan awal abad 21 ini, kecuali rekayasa genetika dan bioteknologi yang menyisakan tantangan tersendiri bagi ekonomi pertanian. Pada awal 1970an, fokus kajian ekonomi pertanian lebih banyak pada aspek ekonomi mikro dari sektor pertanian, atau tepatnya pada teori harga dan kebekerjaan pasar. Secara mikro pula, pendalaman tentang keptususan atau tingkah laku individu dalam hal produksi, konsumsi dan perdagangan memang sangat dominan. Jadi, keterbatasan sumberdaya pertanian – lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan lain-lain – menjadi salah satu kajian yang dominan dalam pengembangan alat analisis dan pendalaman teori ekonomi pertanian, karena para aktor ekonomi memang harus memilih dan melakukan alokasi sumberdaya yang paling efisien menurut ukuran yang baku. Di sanalah, misalnya, dalam bidang produksi peran perubahan teknologi menjadi sangat dominan, karena dalam prinsip-prinsip ekonomi, teknologi baru tidak hanya mampu meringankan konstrain, tetapu juga mampu menambah pilihan yang tersedia. Dalam hal konsumsi, tambahan pendapatan tentu saja mampu memperlebar konstrain atau menambah pilihan barang yang dapat dikonsumsi. Aktivitas bidang pengolahan dan perdagangan sangat diuntungkan dengan perubahan teknologi karena menekan biaya pengolahan, mengurangi biaya transportasi, menghemat waktu dan tempat dan sebagainya. Ilmu ekonomi pertanian senantiasa ditantang untuk menemukan strategi kombinasi produksi dan alokasi sumberdaya dalam pengolahan dan perdagangan serta manajemen kepuasan dan kemanfaatan dalam hal konsumsi, yang semuanya bermuara pada tingkat efisiensi baik secara teknis, maupun secara ekonomis. 8

Ketika ekonomi ekonomi pertanian semakin memperoleh tempat di tengah masyarakat, maka perubahan teknologi berikut ini menandai kehidupan dunia pertanian dan peradaban manusia umumnya. Diantaranya adalah penemuan varietas unggul baru dalam komoditas pangan biji-bijian, penambahan zat hara tanah dalam bentuk pupuk buatan, penanggulangan hama dan penyakit tumbuhan dengan bahan kimia, pengaturan populasi tanaman, serta manajemen pengaturan air irigasi dan drainase, dan sebagainya. Era perubahan teknologi yang sangat pesat itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau, karena secara memang ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian, terutama bahan pangan, sebagai jawaban para ilmuwan lain terhadap ancaman kekurangan pangan dan kelaparan yang begitu mudah dijumpai di banyak tempat. Revolusi Hijau telah mampu menyelamatkan manusia dan jenis peradabannya dari kepunahan atau kematian karena kelaparan, yang sekaligus memupus keraguan aliran pemikiran pesimisme ala Thomas Malthus dan pengikutnya. Lonjakan produksi pangan dan biji-bijian yang dihasilkan oleh teknologi baru dalam hal benih dan varietas unggul baru serta bahan kimia yang menjadi pupuk dan pestisida tercatat sampai pangan sampai 4-5 kali lipat dari sebelumnya, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Para ekonom pertanian sering menyebutnya dengan teknologi biologis-kimiawi yang sangat diandalkan pada lahan sempit dengan penduduk yang padat, sekaligus untuk membedakannya dengan teknologi mekanis yang mengandalkan mesin dan alat pertanian, yang sangat memadai untuk areal luas dengan tenaga kerja yang terbatas. Yujiro Hayami, asal Jepang, adalah salah satu dari sedikit ekonom pertanian Asia yang sangat berperan dalam memajukan peradaban bangsa karena ketekunannya melakukan analisis tingkah lahu petani dalam keterkaitannya dengan perubahan teknologi ini.8 Cerita sukses Jepang, Taiwan, dan bahkan Indonesia dalam melesatkan produksi padi dan tanaman biji-bijian lain sangat berkaitan erat dengan pengembangan varietas unggul yang sangat responsif terhadap pupuk anorganik. Dukungan infrastruktur irigasi, jalan desa, ketersediaan faktor-faktor produksi teknis seperti pupuk, pestisida, dan benih itu sendiri juga 9

sangat berperan. Kendala produksi karena keterbatasan lahan dapat diatasi dengan pengembangan teknologi bilogis-kimiawi, yang lebih dikenal dengan Revolusi Hijau tersebut. Dalam hal teknologi mekanis, ekonomi pertanian melihantnya sebagai suatu respons rasional karena kecilnya rasio lahan terhadap tenaga kerja, sebagaimana yang diadopsi di negara-negara dengan areal lahan sangat luas, seperti di Amerika Serikat, Eropa Barat, Rusia dan lain-lain9. Aplikasi teknologi mekanis sering juga dianggap sebagai varian dari Revolusi Industri, yang telah berlangsung sejak abad 19, walaupun para ekonom pertanian belun terlalu sepakat tentang keterkaitannya dengan Revolusi Hijau atau revolusi di dunia pertanian tersebut. Maksudnya, revolusi pertanian bukan sekadar penerapan atau adopsi metode-medote industrialisasi kepada proses produksi pertanian. Jika di industri proses mekanisasi merangsang terspesialisasinya tenaga kerja, di pertanian proses mekanisasi mengandung dimensi ruang dan waktu yang amat rumit. Keterpautan waktu antara pengolahan lahan, tanam, penanggulangan gulma, hama dan penyakit, panen dan sebagainya itu, memang memerlukan mesin pertanian spesialis khusus. Pada sistem pertanian yang sangat mekanis, mobilitas dan spesialisasi seringkali mengakibatkan biaya investasi per tenaga kerja yang lebih tinggi dari pada di sektor industri. Hal itu berarti bahwa teradopsinya mekanisasi dalam bidang pertanian adalah untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian itu sendiri. Singkatnya, perkembangan proses mekanisasi pertanian memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi per tenaga kerja atau dalam hal ini untuk memperluas lahan produktif melalui proses ekstensifikasi pertanian. Persoalan menjadi sedikit lebih rumit ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah proses perubahan teknologi itu merupakan faktor eksogen dalam suatu sistem ekonomi - di sini berarti pengembangan kedua jenis teknologi merupakan produk atau hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi - ataukah proses perubahan teknologi itu merupakan faktor endogen suatu sistem ekonomi. Dalam suatu sistem perekonomian yang dinamis, perubahan harga permintaan produk dan dan harga penawaran faktor produksi tidaklah dapat dipisahkan. Misalnya, ketika permintaan terhadap bahan makanan naik karena 10

naiknya jumlah penduduk atau meningkatnya pendapatan per kapita, permintaan terhadap faktor produksi tersebut ikut naik secara proportional. Artinya, kenaikan permintaan tersebut mengakibatkan berubahnya harga relatif faktor-faktor produksi. Akibat berikutnya adalah bahwa tingkat pendapatan – termasuk distribusinya di kalangan para pemilik faktor produksi – berubah sehingga hal tersebut kembali mempengaruhi permintaan secara keseluruhan. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi cikal-bakal konsep keseimbangan umum dalam ekonomi, yang kelak berkembang sangat pesat sebagai salah satu analisis lebih komprehensif terhadap berbagai fenomena kehidupan manusia. 4. Perkembangan Ilmu Ekonomi Pertanian di Indonesia Perkembangan ilmu ekonomi pertanian di Indonesia nyaris paralel dengan era perubahan teknologi pertanian dan Revolusi Hijau, yang membawa peningkatan produksi pangan secara gemilang. Tidak secara kebetulan pula ketika profesi ilmu ekonomi pertanian ikut berkembang seiring dengan munculnya berbagai strategi peningkatan produksi pangan melalui Bimbingan Massal (BIMAS), Intensifikasi Massal (INMAS), Intensifikasi Khusus (INSUS) dan sebagainya yang melibatkan putra-putra terbaik Indonesia pada waktu itu dan kampus- kampus besar seperti Institut Pertanian Bogor (dan Universitas Indonesia sebagai induk-lama IPB), dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta10. Sebagaimana diduga, fokus utama kajian ekonomi pertanian pada waktu itu adalah upaya peningkatan produksi pangan karena Indonesia yang baru lepas dari penjajahan, masih menghadapi persoalan kelaparan yang sangat mengkhawatirkan. Pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi pertanian berkembang di kampus- kampus atau universitas yang memiliki fakultas ekonomi dan fakultas pertanian. Tanpa bermaksud mengecilkan peran ekonom pertanian yang lain, kontribusi Mubyarto dari Universitas Gadjah Mada dalam ilmu ekonomi pertanian di Indonesia sangat besar. Semasa hidup, almarhum Prof. Mubyarto juga dikenal sebagai pembela kaum miskin 11

dan advokat yang sangat gigih untuk tegaknya ekonomi kerakyatan atau sistem demokrasi ekonomi di Indonesia. Berpluluh-puluh buku, beratus-ratus artikel dan tak terhitung lagi makalah tentang ekonomi pertanian, ekonomi pembangunan, pengembangan pedesaan, pemberdayaan masyarakat, otonomi daerah, dan pandangan yang agak kontroversial pada waktu itu yang tentang sistem ekonomi pancasila dan lain-lain telah ditulisnya11. Semua tidak sekadar memberi pencerahan kepada kalangan akademik dan lingkungan kampus, tetapi kepada sebagian besar perumus kebijakan dan pelaksana pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat tingkat lapangan12. Salah satu ciri khas perkembangan ilmu ekonomi pertanian di Indonesia adalah “kedekatannya” dengan teori-teori pembangunan pertanian, yang kebetulan dibawa oleh para ilmuwan Amerika Serikat, seperti David H. Penny, Arthur T. Mosher dan lain-lain. Mosher bahkan dianggap sebagai salah satu ikon pembangunan pertanian di Indonesia ketika karyanya tentang Getting Agriculture Moving atau lebih dikenal dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Menggerakkan Sektor Pertanian.” Kontribusi yang tidak terlupakan dari Mosher adalah kemampuannya menjelaskan secara sederhana dan gamblang tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Ketersediaan pasar hasil, perubahan teknologi, faktor produksi, sistem insentif, dan transportasi dianggap sebagai syarat pokok; sedangkan faktor pendidikan, kredit produksi, kelembagaan petani, rehabilitai lahan dan perencanaan pembangunan dikelompokkan sebagai syarat pelancar pembangunan pertanian. Beberapa negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia, bahkan dengan sabar mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh Mosher. Siapa pun nampaknya sulit membantah bahwa pembangunan pertanian di Indonesia sebenarnya telah menunjukkan hasil yang cukup gemilang. Peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui verietas unggul, lonjakan produksi peternakan dan perikanan telah terbukti mampu mengatasi persoalan kelaparan dalam tiga dasa warsa terakhir. Pembangunan perkebunan dan agroindustri juga telah mampu mengantarkan pada kemajuan ekonomi bangsa, perbaikan 12

kinerja ekspor dan penyerapan tenaga kerja dan dampak multiplikasi lain yang mampu menurunkan jumlah kemiskinan secara signifikan. Peningkatan produktivitas dan perbaikan pendapatan petani telah berkontribusi pada perbaikan ekonomi pedesaan, sehingga akses dan daya beli terhadap bahan pangan juga meningkat. Pengaruh kedua yang cukup dominan dalam perkembangan perkembangan ilmu ekonomi pertanian Indonesia adalah pendekatan sistem dan usaha agribisnis. Pendekatan agribisnis yang sebenarnya telah dikembangkan di Amerika Serikat pada akhir 1950an13 itu mulai menjadi salah satu andalan bagi para ekonom pertanian dalam memahami dan memperbaiki tingkat pendapatan petani, perusahaan pertanian, bahkan sampai pada pengembangan wilayah. Indonesia telah mengenal agribisnis sebagai sebuah sistem dan budaya baru mengelola basis sumberdaya alam sejak akhir 1970an. Namun karena esensi utama suatu sistem agribisnis sebagai keterkaitan seluruh komponen dan sub-sistem agribisnis, maka tidaklah mudah untuk merumuskan suatu strategi pengembangan yang terintegrasi, apalagi dengan faktor eksternal yang sukar sekali dikendalikan. Karakter utama komoditas agribisnis memang mengandung risiko dan ketidakpastian, sehingga di sana terdapat sekaligus peluang berharga untuk mengelola risiko dan tingkat ketidakpastian tersebut. Agribisnis mencakup sub-sistem sarana produksi atau bahan baku di hulu, proses produksi biologis di tingkat bisnis atau usahatani, aktivitas transformasi berbagai fungsi bentuk (pengolahan), waktu (penyimpanan atau pengawetan), dan tempat (pergudangan) di tengah, serta pemasaran dan perdagangan di hilir, dan subsistem pendukung lain seperti jasa, permodalan, perbankan, dan sebagainya. Memilah-milah suatu sistem agribisnis dalam satuan yang terpisah hanya akan menimbulkan gangguan serius dalam seluruh rangkaian yang ada, dan tidak mustahil dapat menciptakan permasalahan tingkat berikutnya yang lebih dahsyat. Sistem agribisnis mengedepankan suatu sistem budaya, organisasi dan manajemen yang amat rasional, dirancang untuk memperoleh nilai tambah (komersial) yang dapat disebar dan dinikmati oleh seluruh pelaku ekonomi secara fair, dari petani produsen, pedagang dan konsumen dari segenap lapisan 13

masyarakat14. Membangun agribisnis di tingkat mikro tentu saja amat berhubungan dengan peningkatan kapasitas petani dan pelaku usahatani sebagai aktor terpenting agribisnis. Namun, membiarkan petani dan pelaku agribisnis terjerumus dalam kancah perdagangan internasional yang makin tidak simetris ini tentu saja dapat melenyapkan seluruh upaya yang dilakukan secara susah payah di tingkat mikro tersebut. Beberapa contoh dan kasus nyata sepanjang dekade 1990an telah cukup banyak dijumpai di Indonesia betapa langkah mikro tingkat manajemen usahatani amat memerlukan dukungan kebijakan di tingkat makro yang lebih rasional dan serius. Ciri khas ketiga yang mewarnai perkembangan ilmu ekonomi pertanian di Indonesia adalah kepeduliannya pada pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Indonesia bahkan pernah menjadi tuan rumah Konferensi tiga tahunan Asosiasi Internasional Ekonomi Pertanian (IAAE) pada tahun 1982 yang mengambil tema pemerataan karena di hampir seluruh belahan bumi terjadi fenomena kemiskinan dan ketidakmerataan, sekalipun perkembangan teknologi pertanian berkembang pesat dan membawa kesejahteraan bagi sebagian orang. Langkah ini pun sebenarnya sebagai kritik atau koreksi terhadap proses pelaksanaan Revolusi Hijau yang telah membuat ketergantungan petani kecil dan buruh tani kepada para tuan tanah atau pada skala yang lebih luas. Berbagai norma dan kelembagaan di pedesaan juga mengalami perubahan, misalnya pada sistem penyakapan dan bagi hasil, cara panen dan pembagian upah buruh sektor pertanian, yang seringkali tidak mampu diikuti secara baik oleh petani kecil dan buruh tani. Beberapa inovasi di bidang pertanian tidak mampu digapai oleh mereka yang kurang memiliki akses informasi, penguasaan teknologi dan akses pasar yang juga berubah begitu cepat. Secara makro, terdapat beberapa kerisauan mengenai ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju karena benih bersertifikat kualitas tinggi berasal dari perusahaan multinasional yang nota bene berasal dari negara maju15. Indonesia juga sangat berkepentingan memperoleh pemahaman tentang metodologi dan strategi kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan pertanian dan mengurangi ketimpangan pendapatan secara bersamaan. 14

Paradigma pemerataan pembangunan yang juga digunakan dalam ekonomi pertanian adalah kombinasi strategi menciptakan pertumbuhan yang seimbang dan berspektrum luas (balanced and broad- based). Argumennya pun cukup sederhana, karena sistem produksi pertanian umumnya memiliki skala ekonomi yang kecil, dibandingkan sistem pengolahan dan pemasaran. Oleh karena itu, pembangunan pertanian yang menempatkan rumah tangga petani sebagai kelompok sasaran jelas mampu membawa misi pemerataan dan efisiensi sekaligus. Disamping itu, usahatani berskala kecil dan menengah harus memperoleh prioritas perhatian utama dalam penelitian, pengembangan dan penyuluhan pertanian, dan dalam kredit, pemasaran dan penyediaan sarana produksi. Strategi dan pelaksanaan kebijakan land-reform dapat ditempuh dengan program redistribusi yang seimbang dan bervisi membangun kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Apabila produktivitas lahan lebih banyak terkontsentrasi pada usahatani berskala besar, strategi land- reform akan sangat relevan, tentunya dengan prinsip-prinsip ketelitian dan kehati-hatian. Demikian pula, dukungan investasi sumberdaya manusia di pedesaan menjadi hampir mutlak perlu dilakukan. Tingkat pendidikan pedesaan, air bersih, kesehatan, keluarga berencana, dan perbaikan nutrisi merupakan sasaran nyata investasi sumberdaya manusia, terutama untuk meningkatkan produktivitas masyarakat miskin, meningkatkan peluang dan kesempatan mereka memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih layak. Dalam menjalankan strategi pembangunan, para ekonom pertanian ditantang untuk mampu mengakomodasi pengembangan pendidikan dan penyuluhan pertanian, kredit dan bantuan usaha kecil dan menengah sebaiknya juga menjangkau wanita tani dan pedesaan, karena demikian pentingnya peranan dan posisi mereka dalam pembangunan pertanian secara keseluruhan. Di sinilah, partisipasi masyarakat pedesaan dalam pengambilan keputusan menjadi sesuatu yang hampir mutlak diperlukan dalam perbaikan pemerataan. Seluruh lapisan masyarakat pedesaan, bukan hanya kelas menengah dan elit pedesaan, harus berpartisipasi dalam penentuan prioritas program program investasi pemerintah, terutama yang berhubungan langsung 15

dengan kehidupan masyarakat desa. Visi pemerataan pembamgunan di sini juga melibatkan pengembangan secara aktif perekonomian pedesaan non-usahatani, yang merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi masyarakat desa. Sektor non-usahatani juga diharapkan menjadi tumpuan lonjakan pendapatan dan kesempatan kerja apabila sektor pertanian mampu tumbuh cukup tinggi. 5. Perspektif Keberlanjutan dalam Ilmu Ekonomi Pertanian Setelah mengalami perkembangan cukup mengesankan dan memberikan kontribusi cukup besar bagi khazanah perkembangan ilmu ekonomi dan paradigma pembangunan, ekonomi pertanian tidak terlalu gemilang dalam menggapai perspektif strategi keberlanjutan pembangunan. Demikian pula, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa serangkaian kemajuan dalam pembangunan pertanian sebenarnya dicapai pada kondisi yang agak tertutup dari pengaruh dinamika global. atau pada kemampuan proteksi dan komitmen perlindungan kepada petani yang agak besar, serta pada ancaman degradasi kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak terlalu tinggi. Kini, kondisi eksternal yang diuraikan di atas nyaris semuanya berubah. Fenomena globalisasi sulit untuk dielakkan, desakan liberalsiasi perdagangan telah semakin besar, fakta tentang kerusakan lingkungan sudah semakin nyata, dan ancaman pemiskinan warga telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Perkspektif keberlanjutan pembangunan dalam ilmu ekonomi pertanian sebenarnya telah berkembang pada dekade 1990an tepatnya ketika fenomena intensifikasi penggunaan lahan, khususnya pada lahan marjinal dengan tingkat kemiringan curam, telah membawa konsekuensi degradasi lahan atau kerusakan sumberdaya alam lainnya. Dalam ekonomi pertanian, derajat intensifikasi penggunaan lahan itu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi seperti tingkat pertumbuhan atau tekanan penduduk, performa areal garap dan keuntungan usahatani, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan sebagainya. Karena luas lahan relatif tetap, masyarakat cenderung 16

mengeksploitasi lahan pertanian yang ada dan mengakibatkan “penambangan lahan” yang dianggap sebagai penyebab utama degradasi sumberdaya alam seperti banjir, erosi lahan, kehancuran hutan dan sebagainya. Di satu sisi, intensifikasi penggunaan lahan yang sering dianggap sebagai solusi kebijakan untuk menjaga tingkat ketahanan pangan, masih mengandung dimensi yang cukup kompleks. Aktivitas usahatani yang seringkali dianggap paralel dengan perubahan teknologi pertanian itu, belum cukup ampuh untuk dapat menggantikan kehilangan unsur hara tanah yang tererosi, sehingga degradasi lahan di daerah-daerah tropis, nyaris tidak dapat tergantikan kembali secara cepat. Di lain pihak, adopsi penggunaan teknologi pertanian modern dalam konteks sistem pertanian berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikan masyarakat petani, yang selanjutnya mempengaruhi nilai ekonomis ekspektasi usahatani. Di tingkat mikro, persuasi terhadap petani untuk mengadopsi sistem teras (bangku), pola pertanian bergilir, pertanian-kehutanan, serta teknik konservasi lahan lainnya dengan cara subsidi kapital dan input dianggap sebagai cara ampuh untuk memperkecil degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketergantungan terhadap subsidi input - terutama pupuk dan benih/bibit unggul -- menjadi penyebab utama ketidakberhasilan strategi konservasi sumberdaya alam, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika para petani mengalami kekurangan finansial dan modal yang diperlukan, maka motivasi untuk menerapkan teknik pertanian berteras pada lereng curam itu juga akan menurun. Kebijakan teknis agronomis seperti itu tidak mampu mengendalikan proses degradasi lahan serta tidak dapat bertahan lama jika tidak disertai kebijakan ekonomi secara makro. Intinya, penanggulangan kasus per kasus terhadap masalah lingkungan hidup seperti proyek konservasi lahan tetapi tidak didukung oleh perubahan kebijakan ekonomi secara luas juga tidak berhasil. Penanggulangan masalah degradasi lahan dan kerusakan lingkungan tidak akan dapat berjalan mulus jika hanya mengikuti kaidah-kaidah pendekatan parsial dan kasus per kasus. 17

Dalam ekonomi pertanian, pemahaman tentang degradasi lahan dapat dirunut balik jauh pada perdebatan klasik antara kaum pesimistis seperti penganut Thomas Malthus (Neo-Malthusian) dan kaum optimistis yang diwakili oleh Julian Simon atau yang menentang faham Malthus gaya baru seperti Ester Boserup dan para pengikutnya (Neo-Boserupian). Walau terbatas, para ekonom pertanian juga telah berkontribusi pada khazanah teori ekonomi pembangunan pertanian, khususnya yang menyangkut pemahaman pemanfaatan lahan pertanian, penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Faham Malthus gaya baru menganggap bahwa lahan pertanian adalah suatu komoditas yang tetap dan degradasi lahan itu adalah akibat tekanan penduduk terutama pada tingkat ekstrim. Faktor pembatas pertumbuhan penduduk menurut Malthus adalah bahan makanan serta tingkat upah minimum. Jadi perhatian utama faham Malthus gaya baru \"persaingan\" antara pertumbuhan penduduk dan perubahan teknologi di bidang pertanian. Degdaradasi lahan dan gejalan kerusakan lingkungan lain dapat terjadi karena faktor tekanan penduduk dapat mengakibatkan perluasan lahan-lahan pertanian, bahkan sampai pada lahan-lahan marjinal yang berada di bagian curam suatu lereng bukit serta lahan berkesuburan rendah lainnya. Sedangkan faham Boserup gaya baru lebih menekankan pada pengaruh tekanan penduduk ini terhadap masyarakat. Menurutnya tekanan penduduk justru dapat mempercepat inovasi teknologi, dan masyarakat cenderung berusaha mencari teknologi baru atau mengadaptasi teknologi yang ada pada lingkungan baru. Degradasi lahan dapat terjadi karena masyarakat cenderung mengeksploitasi lahan-lahan pertanian yang ada dan mengakibatkan penambangan lahan seperti diuraikan di atas. Perubahan teknologi atau intensifikasi penggunaan lahan bahkan dapat menggantikan pepohonan dan vegetasi yang berakar dalam dengan tanaman bahan makanan yang berakal dangkal, yang gampang sekali tererosi. Sementara itu, laju pembentukan kembali tanah dan lapisan permukaan yang telah tererosi sangat lambat sehingga degradasi lahan, terutama di daerah- daerah tropis, nyaris tidak dapat tergantikan kembali secara cepat. 18

Berdasarkan uraian di atas, maka perspektif keberlanjtuan dalam ilmu ekonomi pertanian masih dapat dikembangkan apabila prioritas penelitian bernuansa keberlanjutan, konservasi lingkungan hidup dan pengembangan teknologi pertanian terus dikembangkan. Hal ini dapat memperluas spektrum pengelolaan sumberdaya alam, khususnya pada daerah aliran sungai, areal hutan dan pada daerah dengan kandungan dan berkah sumberdaya yang terbatas. Disamping itu, perbaikan hak dan kepemilikan petani terhadap sumberdaya alamnya. Sistem lahan dengan hak adat dan ulayat dan dengan pola kepemilikan bersama, mungkin jauh lebih efektif dalam menggapai misi dan tujuan keberlanjutan tersebut. Promosi dan perbaikan pengelolaan sumberdaya milik bersama (common property resources) akan menjadi salah satu fokus mendatang dalam pengembangan ilmu ekonomi pertanian. Privatisasi boleh saja ditempuh asalkan tidak menimbulkan dan meninggalkan dampak eksternalitas yang sangat mengganggu. Eksternalitas tidak dapat hanya diinternalisasi dengan penetapan harga pasar semata, karena persoalan eksternalitas memerlukan intervensi perpajakan dan subsidi yang lebih hati-hati. Intinya, dalam hal keberlanjutan pembangunan ini, penelitian terapan ekonomi pertanian yang membedah hal-hal di atas pasti akan menjadi prioritas penting di masa mendatang. 6. Reposisi dalam Arena Globalisasi dan Arus Informasi Rangkaian refleksi perjalanan ilmu ekonomi pertanian mulai dari kelahiran, modifikasi, integrasi dengan ekonomi pembangunan, masa keemasan dalam era perubahan teknologi, sampai pada ketidak mampuannya dalam mempertimbangkan perspektif keberlanjutan pembangunan seharusnya menjadi suatu pelajaran berharga untuk melakukan reposisi dan rekonstruksi ke depan. Dalam hal pendekatan khazanah ilmu ekonomi pertanian yang hanya mengandalkan mazhab mekanisme pasar semata, tentu agak sulit untuk mampu menembus arena globalisasi dan arus informasi yang semakin cepat. Pendekatan ilmu ekonomi kelembagaan, ilmu ekonomi politik dan kombinasi 19

dengan ilmu-ilmu sosial lain perlu dijadikan landasan berpikir dan berpijak, karena manusia hanya mampu melakukan aproksimasi terhadap kebenaran yang abadi. Bahkan, krisis ekonomi di Indonesia juga telah memberikan berharga bahwa pembangunan pertanian dan proses transformasi ekonomi tidak dapat hanya disandarkan pada kenaikan harga-harga (inflasi) semata. Pergerakan tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan – dan sebaliknya – yang berlangsung cukup mulus sebelum krisis ekonomi tidak dapat lagi terjadi tanpa biaya transaksi sosial yang cukup tinggi. Sektor pendukung industri dan jasa yang selama itu mampu mengimbangi naiknya permintaan aggregat karena pertumbuhan penduduk, sejak krisis ekonomi belum mengalami pemulihan yang berarti karena rendahnya investasi, kapasitas dan aktivitas produksi yang memperluas kesempatan kerja. Pembangunan ekonomi berbasis sumber daya yang tidak mematuhi kaidah-kaidah keberlanjutan juga telah memperbesar penderitaan masyarakat dari ancaman kerusakan alam, menurunkan penerimaan ekonomi petani, dan bahkan meningkatkan potensi pemiskinan warga secara keseluruhan. Di tingkat praksis, pengembangan industrialisasi di pedesaan harus didukung dan difasiltiasi, mulai dari industri kerajinan rakyat, pengolahan produk dengan teknologi sederhana, sampai pada aktivitas jasa dan perdagangan di pedesaan, semua akan mampu meningkatkan daya permintaan atau pasar domestik dan membantu meningkatkan pendapatan petani dari luar sektor pertaian. Dinamika ekonomi pedesaan yang seperti inilah yang secara gradual akan meningkatkan investasi masyarakat, di bidang produksi pangan, peternakan perkebunan, perikanan dan sebagainya. Tidak perlu diragukan lagi bahwa peningkatan investasi masyarakat inilah yang akan mampu memberikan dampak ganda bagi peningkatan kapasitas produksi domestik, bahkan mampu menciptakan nilai tambah dan pendapatan secara aggregat. Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam melakukan reposisi ilmu ekonomi pertanian adalah penempatan petani sebagai subyek atau aktor sentral dalam pembangunan pertanian. Industrialisasi atau diversifikasi usaha pertanian tidak akan dapat berjalan mulus apabila 20

pendapatan overall petani produsen masih rendah. Artinya, agenda yang harus diselesaikan adalah bagaimana memberikan tambahan modal kerja dan investasi bagi petani dan kelompok marjinal lainnya untuk adopsi teknologi baru, akses informasi, intensitas tenaga kerja proses produksi, manajemen pengolahan, pemasaran, dan pasca panen lain, baik secara individual maupun secara kelompok. Apabila pilihan dan kesempatan tersedia, petani produsen pasti akan lebih leluasa melakukan diversifikasi usaha. Singkatnya, pembangunan pertanian tidak dapat dilakukan secara sambilan dan ad-hoc, tapi perlu serentak dan komprehensif, karena melibatkan elemen pendukung penting seperti sektor infrastruktur, pembiayaan, perdagangan, pemasaran, penyuluhan, pengembangan sumber daya manusia, riset dan pengembangan (R&D) dan sebagainya. Tidak kalah pentingnya, penguatan modal sosial seluruh aktor, petani, pemerintah, swasta dan masyarakat madani akan menjadi faktor vital karena pembangunan pertanian memerlukan jembatan penghubung yang kuat, yang mampu menerjemahkan ide-ide progresif strategis menjadi langkah aksi di lapangan, yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Ilmu ekonomi pertanian juga perlu mengkaji dan memahami lebih banyak tentang perkembangan teknologi yang demikian cepat seperti: bio-processing, bio-prospecting, bio-informatics, bio-safety dalam konteks keamanan pangan, dan kultur jaringan. Teknologi bio- processing amatlah prospektif untuk dikembangkan di Indonesia mengingat posisi geografis Indonesia dengan keanekaragaman hayati amat besar atau mega-diversity yang akan membawa manfaat besar dalam menghasilkan terobosan penyediaan bahan pangan, obat- obatan, pupuk, pestisida, benih, embrio, ensim, mikroba dan lain sebagainya. Untuk itulah diperlukan peran swasta yang lebih besar untuk melakukan investasi dalam hal identifikasi, isolasi, eksplorasi, utilisasi sumberdaya alam untuk peningkatan kapasitas ekonomi pembangunan dan pengembangan sumberdaya manusia di Indonesia. Teknologi bio-prospecting atau yang menghendaki presisi atau ketepatan tingkat efisiensi produksi, produktivitas optimal melalui kombinasi faktor produksi dan teknologi modern seperti pupuk dan pestisida. Teknologi bio-informatics diperluklan untuk pengembangan 21

database genetika, biologi molekuler, analisis sekeunsi dan analisis statistik atau kuantitatif lainnya. Teknologi bio-safety sangat perlu untuk mendukung keamanan pangan, mengingat faktor kehati-hatian terhadap teknologi transgenik dan rekayasa genetika lainnya masih menjadi kontroversi publik. Teknologi kultur jaringan juga begitu vital terhadap pengembangan benih, plasma nutfah, jaringan tanaman, bahan dan media tanaman dalam pembangunan pertanian. Akhirnya, arena globalisasi dan percepatan arus dan teknologi informasi perlu diperlakukan sebagai ajang perpacuan peningkatan potensi dan pemanfaatan peluang yang ada. Fenomena globalisasi perlu dipandang sebagai arena kompetisi tingkat ilmu pengetahuan, riset dan teknologi dan kemampuan diplomasi tingkat internasional. Ilmu ekonomi pertanian akan senantiasa maju dan berkembang jika para aktornya mampu tegar, terus berkarya mengembangkan dirinya dan lingkungan tempat berpijak, berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan, bermanfaat pada kemaslahatan umat manusia dan perkembangan peradaban dunia yang lebih positif. Daftar Pustaka Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia: Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. Arifin, Bustanul. 2005a. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. Jakarta: PT Gramedia Widyasarana Indonesia. Arifin, Bustanul. 2005b. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta: LP3ES. Arrow, Kenneth. 1963. Social Choice and Individual Values. 2nd ed. New Heaven: Yale University Press. Bardhan Pranab. 1989. The New Institutional Economics and Development Theory: A Brief Critical Assessment. World Development 17(9):1289-1395 22

Badan Pusat Statistik (BPS). (berbagai tahun). Statistik Indonesia. Jakarta. BPS. Bathrick, David. 1998. “Fostering Global Well-Being: A New Paradigm to Revitalize Agricultural and Rural Development”. IFPRI Discussion Paper No. 26, Washington, D.C. Boeke, J. Herman. 1953. Economics and EconomicPolicy of Dual Societies as Exemplified by Indonesia. New York: Institute for Pacific Relations. Bromley, Daniel. 1989. Economic Interests and Institutions: The Conceptual Foundations of Public Policy. New York: Basil Blackwell. Bromley, Daniel. 2003. Sufficient Reason: Volitional Pragmatism and the Meaning of Economic Institutions. Madison: University of Wisconsin- Madison. February 2003. Coase Ronald. 1937. The Nature of Firm. Economica 4, pp:386-405. Coase Ronald. 1960. The Problem of Social Cost. Journal of Law and Economics 3, pp: 1-44. Coase Ronald. 1998. The New Institutional Economics. American Economic Review 88(2) May 1998. pp: 73-74. Commons, John R.. 1931. Institutional Economics. American Economic Review, 21(4) December 1931. p: 648-647. Commons, John R. 1990. Institutional Economics: Its Place in Political Economy. New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers. Galbraith, John K. 1993. “Introduction to the American Journal of Agricultural Economics’ 75th Anniversary Issue”. American Journal of Agricultural Economics 75, October 1993, pp: 1 Hayami, Yujiro. 2001. Development Economics: From the Poverty to the Wealth of Nations. New York: Oxford University Press. 23

Hayami, Yujiro and Vernon Ruttan. 1985. Agricultural Development: Revised and Expanded Edition. New York: Johns Hopkins University. Hodgson, Geoffrey M. 1998. “The Approach of Institutional Economics”. Journal of Economic Literature. Vol 36. pp: 166-192. Johnston, Bruce and John Mellor. 1961. “The Role of Agriculture in Economic Development”, American Economic Review, Vol 51 (4), pp: 566-593. Kuznets, Simon. 1961. “Economic Growth and the Contribution of Agriculture: Notes on Measurement”. International Journal of Agrarian Affairs Vol. 3. Reprinted in Carl Eicher and L.W. Witt (eds.). 1964. Agriculture in Economic Development. New York: McGraw-Hill. Kuznets, Simon. 1971. Economic Growth of Nations: Total Output and Production Structure, Cambridge: Harvard University Press Lewis, W. Arthur. 1954. “Economic Development with Unlimited Supplies of Labour”. Manchester School of Economics and Social Studies, Vol 22, pp: 139-191. Mellor, John. 1966. The Economics of Agricultural Development. Ithaca: Cornell University Press. Mellor, John (ed.). 1995. Agriculture on the Road to Industrialization. New Yortk: The Johns Hopkins University Press. Menard, Claude (ed). 2000. Institutions, Contracts and Organizations: Perspective from New Institutional Economics. Northampton, MA: Edward Elgar. Mubyarto. 1971. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES North, Douglass. 1994. \"Economic Performance through Time.\" American Economic Review 84 (June 1994): 359-368. 24

North, Douglas. 2000. “Revolution in Economics” in Claude Menard (ed). Institutions, Contracts and Organizations: Perspective from New Institutional Economics. Northampton, MA.: Edward Elgar. Paarlberg, Don. 1993. “The Case for Institutional Economics”, American Journal of Agricultural Economics, Vol 75, August 1993, pp: 823-827. Pinstrup-Anderson, Per and Rajul Pandya-Lorch (eds.). 2001. The Unfinished Agenda: Perspectives on Overcoming Hunger, Poverty and Environmental Degradation. Washington, D.C.: International Food Policy Research Institute. Rutherford, Malcolm. 1994. Institutions in Economics: The Old and the New Institutionalism. Cambridge: Cambridge University Press. Schultz, Theodore W. 1945. Agriculture in an Unstable Economy. New York: McGraw-Hill. Schultz, Theodore W. 1953. The Economic Organization of Agriculture. New York: McGraw-Hill. Schultz, Theodore W. 1954. Transforming Traditional Agriculture. New Haven: Yale University Press. Timmer, C. Peter. 2000. “The Macro Dimension of Food Security: Economic Growth, Equitable Distribution, and Food Price Stability”. Food Policy. Vol. 25, pp.: 283-295. Wibowo, Rudi. 2004. PERHEPI: Menyongsong Masa Depan yang Lebih Baik. Jakarta: Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Williamson, Oliver. 1998. “Institutions of Governance”, American Economic Review Vol. 88 (2) May 1998. pp: 75-78 25

Catatan Akhir 1 George Warren (bersama F.A. Pearson) menulis buku Gold and Prices yang sangat fenomenal walaupun cukup kontroversial, namun dianggap sebagai terobosan baru dalam konsep dan pemikiran kebijakan moneter dan ekonomi pembangunan. Beberapa bulan kemudian, barulah era moneteris menjadi kenyataan, setelah John M. Keynes (1936) tampil ke permukaan setelah karya besarnya The General Theory of Employment, Interest and Money semakin dihargai dan dijadikan acuan kebijakan ekonomi. Karya yang menandai Revolusi Keynesian itu dianggap setara dengan The Wealth of Nations yang ditulis Adam Smith satu setengah abad sebelumnya. 2 Artikel yang ditulis John Kenneth Galbraith (1993) dalam menyambut 75 tahun AJAE (American Journal of Agricultural Economics) dengan jelas mencatat peran George Warren dalam terobosan pemikiran ekonomi pembangunan. 3 J. Herman Boeke menulis karya monumental Economics and EconomicPolicy of Dual Societies as Exemplified by Indonesia (1953) yang menjadi landasan teori ekonomi dualistik. Boeke yang sebelum kemerdekaan memang membantu bekerja untuk Pemerintah Belanda melakukan penelitian tentang karakter dualistik perkebunan dan kolonisasi di Indonesia, menemukan suatu sistem paternalistik atau quasi- feodal yang hidup berdampingan dengan sistem tenaga kerja upahan biasa. Temuan atau hipotesis dualistik Boeke ini pun sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru karena hal itu didasarkan pada model ekonomi dua sektor – pertanian dan industri atau sektor tradisional dan modern yang secara gamblang menggambarkan suatu organisasi ekonomi yang asimetris. 4 Arthur Lewis menulis karya besar yang menjadi acuan dalam ilmu ekonomi pembangunan, yaitu: Economic Development with Unlimited Supplies of Labour (1954) dan Theory of Economic Growth (1955). Lewis sangat berjasa dalam menelaah fenomena kemiskinan di negara-negara berkembang, yang lebih banyak mengandalkan tenaga kerja sektor pertanian, walaupun di sana terdapat pula sektor industri yang lebih modern dan berorientasi pasar. 5 Sebelum menghasilkan karya fenomenal Transforming Traditional Agriculture (1964), Theodore Wilhain Schultz telah menulis buku lain tentang Agriculture in an Unstable Economy (1945) yang lebih banyak berisi tantangan dan strategi sektor pertanian dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi dan masa perang. T.W. Schultz kemudian menulis The Economic Organization of Agriculture (1953), yang sangat kental sekali warna ajaran kelembagaan dari John R. Commons yang diterimanya di kampus Universitas Wisconsin-Madison, walaupun tidak sepenuhnya mampu melepaskan ciri khas ekonomi pasar yang menjadi trade-mark Universitas Chicago. 26

6 Karya Simon Kuznets yang perlu dicatat dalam perkembangan ilmu ekonomi pertanian adalah Economic Growth and the Contribution of Agriculture: Notes on Measurement (1961). Sebagai ilmuwan yang berkiprah di perguruan tinggi besar dan ternama, Universitas Harvard, Simon Kuznets memang memiliki banyak privilis dan akses besar dalam mengembangkan karier professional dan kontribusinya dalam ilmu ekonomi. 7 Artikel yang ditulis John Mellor (bersama Bruce Johnston) berjudul The Role of Agriculture in Economic Development dalam jurnal ekonomi bergengsi American Economic Review Vol. 54 (tahun 1961) dianggap sebagai salah satu masterpiece dalam literatur ekonomi pembangunan. Dari sanalah banyak negara mulai mengadopsi pemikiran dan menerapkannya dalam kebijakan ekonomi pembangunan, mulai dari negara maju sampai negara berkembang. Keberhasilan pembangunan ekonomi Taiwan dalam mencapai status Macan Asia, terutama pada era pemerintahan Presiden Lee Teng Hui tahun 1980an, tentu tidak dapat dipisahkan dari pengaruh John Mellor. Presiden Lee adalah mahasiswa langsung Professor Mellor ketika mengambil Ph.D. dalam bidang ilmu ekonomi pertanian di Universitas Cornell (AS). 8 Yujiro Hayami (bersama Vernon Ruttan) menggunakan identitas sederhana yang mereka tulis dengan Y/L = A/L * Y/A untuk menganalisis derajat intensifikasi pertanian. Y/L adalah produktivitas tenaga kerja, A/L adalah rasio lahan terhadap tenaga kerja, dan Y/A adalah produktivitas lahan. Rasio A/L semakin lama semakin kecil karena pertumbuhan tenaga kerja (L) yang tinggi, sedangkan lahan pertanian (A) nyaris tidak bertambah. Pembanguan pertanian dapat dikatakan berkontribusi pada peningkatan keseahteraan masyarakat, apabila laju peningkatan produktivitas lahan (Y/A) minimal sama dengan atau lebih besar dari penurunan A/L. Jika hal ini tidak terjadi, maka pembangunan hanya akan meningkatkan kemiskinan masyarakat karena tingkat produktivitas tenaga kerja tidak bertambah dan menjadi beban baru bagi perekonomian. 9 Menurut teori induced innovation yang disampaikan Hayami-Ruttan, basis adopsi suatu teknologi dunia pertanian ditentukan oleh ketersediaan dan harga relatif faktor produksi yang dihadapi seorang petani atau entrepreneur sektor pertanian. 10 Konferensi Nasional Ekonomi Pertanian I dilaksanakan di Cibogo, Bogor pada akhir tahun 1964, yang dihadiri oleh Prof. Iso Reksohadiprodjo, Prof. Teko Soemodiwirjo, Prof. Soedarsono Hadisapoetro, Prof. Tubagus Bachtiar Rivai, Ir. Gunung Iskandar dan beberapa ekonom muda yang sangat peduli terhadap dunia pertanian Indonesia. 11 Karya Mubyarto yang paling dikenang mahasiswa semester satu atau dua Fakutlas Ekonomi atau Departemen Sosial-Ekonomi Pertanian di Fakultas Pertanian adalah 27

Pengantar Ekonomi Pertanian bersampul hijau yang diterbitkan oleh LP3ES, Jakarta pada tahun 1970an. Mubyarto benar-benar mengantarkan seorang yang hanya pernah kenal pelajaran Ilmu Ekonomi atau bahkan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk mampu memahami prinsip-prinsip dan persoalan mendasar dalam Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekarang ini, buku hijau tersebut telah dicetak ulang berpuluh-puluh kali dan masih dipakai di hampir semua perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Hal ini pun pertanda bahwa para ekonom dan penulis muda belum ada yang mampu menghasilkan suatu karya ilmiah dengan enduring quality yang nyaris bertahan sepanjang zaman seperti Almarhum Profesor Mubyarto. 12 Karya Mubyarto yang tidak banyak dibaca orang adalah buku kecil berjudul A Development Alternative for Indonesia (2002) yang ditulisnya bersama Daniel Browley, pakar ekonomi kelembagaan dari University of Wisconsin-Madison (USA). Buku ini sangat gamblang memberi beberapa pandangan alternatif agar Indonesia tidak terjebak ke dalam paradigma mekanisme pasar dengan visi sempit. Diantaranya adalah tentang penguatan kelembagaan, dari level negara sampai level masyarakat, dari level undang-undang sampai pada sistem nilai, budaya dan organisasi kemasyarakatan yang bersumber dari kekuatan dari dalam bangsa Indonesia sendiri. 13 Buku yang ditulis oleh J.Davis dan R. Goldberg dari Universitas Harvard berjudul A Conception of Agribusiness (1957) dipercaya sebagai literatur awal dalam perkembangan agribisnis yang sangat pesat sampai sekarang. Filipina bahkan menjadi negara Asia Tenggara yang lebih dulu mengadopsi agribisnis, setelah Universitas Philippines pada tahun 1966 telah menawarkan program agribisnis pada tingkat sarjana. J. Drilon, Jr. menulis buku yang cukup bermanfaat An Introduction to Agribusiness (1971) dan mampu mempengaruhi pemikiran agribisnis di Indonesia. 14 Bungaran Saragih adalah salah satu dari sedikit pejuang sistem dan usaha agribisnis, mulai dari kampus sampai ke dunia nyata administrasi pemerintahan. Orasi ilmiahnya ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Ekonomi dan Sumberdaya di Institut Pertanian Bogor berjudul Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Nasional menghadapi Abad ke-21 (1995). 15 Perdebatan akademik antara Yujiro Hayami dan Richard Grabowski dalam berbagai jurnal internasional tentang dampak Revolusi Hijau seharusnya menjadi referensi berguna dalam menentukan sikap dan posisi tentang masalah sensitif ini. Hayami bersikeras bahwa tidak ada teori dan prinsip ekonomi pembangunan yang dilanggar oleh Revolusi Hijau, sehingga fenomena ketimpangan pendapatan di pedesaan pasti disebabkan determinan lain, termasuk persoalan kelembagaan pertanahan. Grabowski agak pesimis terhadap hegemoni perusahaan pertanian skala besar di negara berkembang. 28


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook