Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore 2021 BAGIAN PERTAMA BUKU ATRIAL FIBRILASI

2021 BAGIAN PERTAMA BUKU ATRIAL FIBRILASI

Published by khalidsaleh0404, 2021-10-15 03:43:14

Description: 2021 BAGIAN PERTAMA BUKU ATRIAL FIBRILASI

Search

Read the Text Version

pemberian obat antiaritmia secara bolus.2 beberapa obat yang digunakan sebagai kardioversi farmakologis : Flecainide diberikan i.v. untuk pasien dengan AF durasi pendek (khususnya, 24 jam) memiliki efek (67 - 92% pada 6 jam) dalam mengembalikan irama sinus. Dosis yang diberikan adalah 2 mg/kgBB selama lebih dari 10 menit. Sebagian besar pasien mengkonversi dalam satu jam pertama setelah pemberian intravena (IV). Hal ini jarang efektif untuk penghentian atrial flutter atau AF persisten. Oral flecainide mungkin efektif untuk AF yang baru terjadi. Dosis yang dianjurkan adalah 200 - 400 mg. Flecainide harus dihindari pada pasien dengan penyakit jantung yang mendasarinya yang melibatkan normal fungsi LV dan iskemia.2 Beberapa studi placebo-kontrol random telah menunjukkan keefektifan propafenone dalam mengkonversi AF yang baru terjadi ke irama sinus. Dalam beberapa jam, konversi yang diharapkan adalah antara 41 dan 91% setelah i.v. gunakan (2 mg/kg lebih dari 10 - 20 menit). Angka konversi awal pada pasien yang diberi placebo adalah 10 - 29%. Propafenone hanya memiliki manfaat terbatas untuk konversi AF persisten dan atrial flutter. Mirip dengan flecainide, propafenone harus dihindari pada pasien dengan penyakit jantung yang mendasarinya yang melibatkan fungsi LV yang abnormal dan iskemia. Selain itu, karena sifatnya yang lemah beta-blocking, propafenone harus dihindari pada penyakit paru obstruktif yang parah. Waktu konversi bervariasi dari 30 menit sampai 2 jam. Propafenone juga efektif jika diberikan secara oral (konversi antara 2 dan 6 jam).3 Kardioversi dengan amiodaron terjadi lebih lama dibandingkan dengan flecainide atau propafenone. Perkiraan konversi tingkat pada 24 95 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

jam pada pasien yang diobati dengan placebo adalah 40 - 60%, dan meningkat menjadi 80 - 90% setelah pemberian amiodaron. Dalam jangka pendek dan jangka menengah, amiodaron tidak mencapai kardioversi. Dalam 24 jam, obat ini menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol dalam beberapa tapi tidak semua penelitian secara random.3 Pada pasien dengan AF yang baru terjadi, ibutilide dalam satu atau dua infus 1 mg selama masing-masing 10 menit, dengan menunggu 10 menit antara dosis, telah menunjukkan tingkat konversi dalam 90 menit dari 50% dari beberapa penelitian secara acak yang dirancang dengan baik, plasebo-kontrol atau dengan obat-obatan dari grup kontrol dengan efek yang kecil. Waktu untuk konversi 30 menit. Efek samping yang paling penting adalah takikardi ventrikel polimorfik, paling sering tidak berkelanjutan, tetapi DCC mungkin diperlukan, dan interval QTc diperkirakan meningkat 60 ms. Ibutilide lebih efektif untuk konversi pada atrial flutter dari AF.3 96 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

97 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Kardioversi Elektrik Pasien AF dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat laju irama ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200 Joule. Bila tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek.3 98 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Kontrol Laju Irama Ventrikel Laju irama ventrikel yang iregular dapat menyebabkan gejala dan gangguan hemodinamik berat pada pasien AF. Pasien dengan respon ventrikel yang cepat biasanya memerlukan kontrol laju irama ventrikel yang cepat. Pada pasien yang stabil, hal ini dapat dicapai dengan pemberian oral beta-blocker atau antagonis calcium channel nondihydropyridine. Pada keadaan pasien yang tidak stabil, i.v. verapamil atau metoprolol dapat sangat berguna untuk memperlambat konduksi nodus atrioventrikular dengan cepat. Dalam keadaan akut, target laju irama ventrikel biasanya 80 - 100 bpm. Pada beberapa pasien, amiodaron dapat digunakan, terutama pada mereka dengan fungsi LV yang rendah. AF dengan laju ventrikel yang lambat mungkin respon terhadap pemberian atropin (0,5 - 2 mg iv), tapi banyak pasien dengan bradiaritmia yang simtomatik mungkin memerlukan baik kardioversi urgent atau penempatan alat pacu jantung sementara dalam ventrikel kanan.2 Obat-obatan yang biasa digunakan adalah b-blockers, kalsium channel antagonis nondihydropyridine dan digitalis.2,3 terapi kombinasi mungkin diperlukan. Dronedarone mungkin juga efektif untuk menurunkan denyut jantung selama terjadinya AF. Amiodarone mungkin untuk beberapa pasien dinyatakan dengan refrakter terhadap kontrol rate. Kombinasi antara bblocker dan digitalis mungkin bermanfaat untuk pasien dengan gagal jantung. Obat-obatan untuk kontrol laju irama termasuk : - b-Blockers berguna jika adanya tonus adrenergic yang tinggi atau iskemia miocard yang simtomatis terjadi yang berkaitan dengan AF. Selama pengobatan b-blockers yang lama menunjukkan keefektifan 99 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

dan keamanannya pada beberapa studi dibandingkan dengan placebo dan digoxin. - Antagonis kalsium channel Non-dihydropyridine (verapamil and diltiazem) efektif untuk control laju irama pada saat akut maupun kronis. Obat-obat ini harus dihindari pada pasien-pasien dengan gagal jantung sistolik karena efek inotropik negative - Digoxin and digitoxin efektif untuk mengontrol denyut jantung pada saat istirahat, tetapi tidak pada saat berolahraga. Kombinasi dengan b-blocker mungkin efektif pada pasien dengan atau tanpa gagal jantung. - Dronedarone efektif sebagai obat pengontrol laju irama untuk pengobatan yang lama, menurunkan denyut jantung pada saat istirahat dan berolahraga secara signifikan. Juga berhasil menurunkan denyut jantung selama AF relaps tetapi tidak untuk permanen AF. - Amiodarone merupakan obat pengontrol laju irama yang efektif. Intravenous amiodarone efektif dan ditoleransi dengan baik oleh hemodinamik pasien. Obat ini dapat menyebabkan efek samping ekstracardiac yang parah termasuk disfungsi tiroid dan bradikardia. 100 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

101 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Pencegahan Tromboemboli Dua review sistematis terbaru telah membahas bukti dasar untuk faktor risiko stroke pada AF, dan menyimpulkan bahwa sebelum Stroke/TIA/thrombo-emboli, usia, hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung struktural merupakan faktor risiko penting. Adanya disfungsi sistolik LV sedang sampai berat pada dua dimensi echocardiography transthoracic adalah satu-satunya echocardiographic independen faktor risiko stroke pada analisis multivariabel.2 Pasien dengan paroxysmal AF harus dianggap sebagai memiliki risiko stroke sama seperti AF persisten atau permanen. Pasien berusia, 60 tahun, dengan 'lone AF', yaitu tidak memiliki riwayat klinis atau bukti echocardiographic penyakit kardiovaskular, dengan risiko stroke yang rendah, diperkirakan 1,3% lebih dari 15 tahun. Kemungkinan stroke pada pasien muda dengan lone AF meningkat dengan bertambahnya umur atau adanya hipertensi, menekankan pentingnya penilaian kembali faktor risiko stroke selama waktu.2 Risiko stroke pada AF mulai muncul dari usia > 65 tahun, meskipun jelas bahwa pasien AF berusia ≥ 75 tahun (bahkan tanpa faktor risiko lain yang terkait) memiliki risiko stroke yang signifikan dan memperoleh manfaat dari VKA daripada aspirin. Jika pasien dengan AF semakin tua, efektivitas relatif dari terapi antiplatelet menurun dalam mencegah stroke iskemik, sedangkan dengan menggunakan VKA tidak berubah. Dengan demikian, manfaat mutlak untuk VKA untuk mencegahan stroke meningkat jika pasien AF bertambah tua.2 102 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Pendekatan berdasarkan factor resiko untuk pasien-pasien dengan non-valvular AF juga dapat ditunjukkan dengan CHA2DS2- VASc [gagal jantung kongestif, hipertensi, usia ≥75 (doubled), diabetes, stroke (doubled), penyakit vaskular, usia 65–74, dan kategori jenis kelamin(perempuan)]. Skema ini berdasarkan system poin dimana 2 poin diberikan untuk riwayat stroke atau TIA sebelumnya, atau usia > 75 tahun; dan 1 poin masing-masing untuk usia 65-74 tahun, riwayat hipertensi, diabetes, gagal jantung yang baru terjadi, penyakit vascular (infark miokard, kompleks aortic plaque, dan PAD, termasuk revaskularisasi, amputasi karena PAD, atau bukti angiografi PAD, dll), dan perempuan.1 103 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

104 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Terapi Antitrombotik Selama 2 dekade terakhir, banyak RCT telah menginvestigasi terapi antitrombotik untuk mengurangi risiko tromboemboli, terutama stroke iskemik, pada pasien dengan AF. Pada bagian ini, dirangkum bukti dan memberikan rekomendasi pengobatan untuk terapi VKA, monoterapi antiplatelet (misalnya, aspirin), terapi antiplatelet ganda dengan aspirin dan clopidogrel, dan antikoagulan oral baru (misalnya, dabigatran) pada pasien dengan AF. 8 Obat Antiplatelet Aspirin dan agen yang bertindak di jalur cyclo-oxygenase Aspirin menghambat siklooksigenase secara ireversibel dengan asetilasi asam amino yang bersebelahan dengan situs aktif. Dalam trombosit, ini adalah membatasi langkah dalam sintesis tromboksan A2, dan menghambat terjadi pada megakaryocyte sehingga semua trombosit muda menjadi disfungsi. Karena trombosit tidak dapat meregenerasi siklooksigenase dengan cepat, efek aspirin tetap ada selama umur dari platelet (umumnya sekitar 10 hari). Kelemahan aspirin adalah bahwa kekhususan untuk siklooksigenase berarti memiliki efek yang sedikit pada jalur lain dari aktivasi platelet. Jadi aspirin gagal untuk mencegah agregasi disebabkan oleh trombin dan hanyasebagian menghambat yang disebabkan oleh ADP dan kolagen dosis tinggi.9 Clopidogrel dan Ticlopidine. Derivat thienopyridine menghambat agregasi platelet yang disebabkan oleh agonis seperti faktor yang mengaktifkan trombosit dan kolagen, dan juga 105 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

mengurangi pengikatan ADP ke permukaan purinoreceptor trombosit. Mekanisme ini penghambatan ini tampaknya terlepas dari cyclo-oxygenase. Ada juga penurunan dari respon platelet terhadap trombin, kolagen, fibrinogen, dan faktor von Willebrand. Puncaknya tindakan pada fungsi trombosit terjadi setelah beberapa hari dari dosis oral. Efek samping termasuk bukti penekanan sumsum tulang, leukopenia, terutama dengan tiklopidin.9 Obat Antikoagulan Warfarin. Senyawa ini 4-hydroxycoumarin, menghambat sintesis faktor yang tergantung pada vitamin K (protrombin; Faktor VII, IX, dan X, protein C, protein S). Tingkat faktor VII menurun cepat (dalam <24 jam), tetapi faktor II memiliki half-life lebih panjang dan hanya berkurang 50% dari normal setelah tiga hari. Heparin. Merupakan antikoagulan glikosaminoglikan yang memiliki efek besar oleh pentasaccharide dengan afinitas tinggi terhadap antitrombin III. Hasil dari pengikatan ini terjadi perubahan konformasi pada antitrombin III sehingga inaktivasi enzim koagulasi trombin (IIa), faktor IXa, dan faktor Xa yang nyata. Waktu paruh yang pendek berarti harus diberikan secara terus menerus, dan first pass metabolism yang ekstensif sehingga harus diberikan secara parenteral, sebaiknya dengan infus intravena terus menerus, dan Oleh karena itu tidak pantas untuk digunakan di rumah. Efek kaskade pembekuan intrinsik harus dipantau secara hati-hati dengan mengukur activated Partial 106 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Thromboplastin Time (APTT), umumnya nilai 1,5 sampai 2,5 kali dari kontrol9 Terapi antikoagulasi dengan vitamin K antagonis vs kontrol2,8 Lima percobaan random yang diterbitkan antara tahun 1989 dan 1992 VKA dievaluasi terutama untuk pencegahan primer thrombo-emboli pada pasien dengan non-katup AF. Sebuah uji coba keenam difokuskan pada pencegahan sekunder antara pasien yang selamat dari stroke atau TIA.2 Dalam meta-analisis, penurunan RR dengan VKA sangat signifikan dan sebesar 64%, sesuai dengan penurunan resiko stroke sebesar 2,7%. Bila hanya dianggap stroke iskemik, penggunaan VKA disesuaikan dosis dikaitkan dengan penurunan RR sebanyak 67%. Penurunan ini sama untuk kedua pencegahan primer dan sekunder stroke. Dari catatan, banyak stroke terjadipada pasien dengan terapi VKA yang tidak memakai terapi 107 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

atau yang menggunakan antikoagulan subterapeutik. Semua penyebab kematian berkurang secara signifikan (26%) dengan dosis VKA yang disesuaikan vs kontrol. Risiko perdarahan intrakranial kecil.2 Empat dari uji coba ini adalah plasebo kontrol, dua diantaranya adalah double blind berkaitan dengan antikoagulan, salah satunya dihentikan lebih awal karena bukti eksternal bahwa OAC dengan VKA lebih superior dibandingkan dengan plasebo, dan lainnya termasuk tidak ada subyek perempuan. Dalam tiga uji coba, dosis VKA telah diatur sesuai dengan rasio waktu protrombin, sementara dua percobaan yang digunakan Target INR 2,5-4,0 dan 2,0-3,0.2 Terapi antiplatelet vs Kontrol2,8 Ketika aspirin saja dibandingkan dengan plasebo dalam tujuh percobaan, pengobatan dengan aspirin dikaitkan dengan tidak signifikannya penurunan 19% (95% CI -1% sampai -35%) insiden stroke. Ada pengurangan risiko absolut dari 0,8% per tahun untuk uji coba pencegahan primer dan 2,5% per tahun untuk pencegahan sekunder dengan menggunakan aspirin. Aspirin juga dikaitkan dengan 13% (95% CI -18% sampai -36%) penurunan stroke yang mematikan dan 29% (95% CI -6% sampai -53%) penurunan stroke non-mematikan. Ketika stroke hanya diklasifikasikan sebagai iskemik, aspirin dapat menurunkan 21% (95% CI -1% sampai -38%) pada stroke. ketika data dari semua perbandingan agen antiplatelet dan plasebo atau control kelompok 108 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

dimasukkan dalam meta-analisis, terapi antiplatelet mengurangi stroke sebesar 22% (95% CI 6-35).2 Dosis aspirin berbeda bermakna antara beberapa studi, mulai 50 - 1300 mg sehari, dan tidak ada heterogenitas yang signifikan antara hasil uji individu. Sebagian besar efek menguntungkan dari aspirin dihasilkan oleh satu percobaan positif, SPAF-I, yang menunjukkan penurunan risiko stroke 42% dengan aspirin 325 mg vs plasebo.2 Secara farmakologis, penghambatan trombosit dicapai dengan aspirin 75 mg. Selain itu, aspirin dosis rendah (100 mg) lebih aman daripada yang dosis lebih tinggi (seperti 300 mg), mengingat bahwa tingkat perdarahan lebih tinggi secara signifikan. Jadi, jika aspirin digunakan, wajar jika menggunakan dosis terendah yang diperbolehkan (75 - 100 mg per hari).2 109 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

VKA vs Terapi Dual Antiplatelet dengan Aspirin dan Clopidogrel4,8 Pada Percobaan Atrial Fibrillation Clopidogrel Trial With Irbesartan for Prevention of Vascular Events (ACTIVE W) trial, terapi antikoagulasi lebih unggul jika dibandingkan dengan terapi kombinasi clopidogrel ditambah aspirin (RR pengurangan 40%, 95% CI 18-56), dengan tidak ada perbedaan dalam kejadian perdarahan. Kombinasi VKA (INR 2,0-3,0) dengan terapi antiplatelet telah dipelajari, tetapi tidak ada efek menguntungkan pada kejadian stroke iskemik atau kejadian vascular yang terlihat, sementara lebih perdarahan terbukti. Obat Oral Antikoagulan Baru (NOAC) vs VKA Beberapa obat antikoagulan baru - dibagi dalam dua kelas, obat oral direct thrombin inhibitor (misalnya dabigatran etexilate dan AZD0837) dan oral faktor Xa inhibitor (rivaroxaban, apixaban, edoxaban, betrixaban, dll).1 Tidak memerlukan pemantauan INR dan memiliki potensi lebih baik untuk penggunaan jangka lama.4,8 Sebuah tabel dengan gambaran lengkap efek pada tes koagulasi oleh Direct Thrombin Inhibitors (DTI) dan FXA inhibitor hadir dalam naskah penuh. Activated partial thromboplastin time (aPTT) dapat memberikan penilaian kualitatif dabigatran. JikaPTT (12-24 jam setelah konsumsi) masih melebihi dua kali batas atas normal, hal ini dapat dikaitkan dengan risiko tinggi perdarahan, dan harus berhati-hati terutama pada pasien dengan faktor risiko perdarahan. 110 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Prothrombin time (PT) menunjukkan penilaian kualitatif dari faktor Xa inhibitor. Seperti aPTT untuk dabigatran, tes ini tidak sensitif untuk penilaian kuantitatif dari Efek NOAC. Tes kuantitatif untuk DTI dan FXA inhibitor ada (diluted thrombin-time and chromogenic assays), tetapi tes ini mungkin tidak (belum) secara rutin tersedia di kebanyakan rumah sakit.6 Dalam Randomized Evaluation of Long-term anticoagulant therapY dengan dabigatran etexilate (RE-LY), dabigatran 110 mg b.i.d. non-inferior dibandingkan dengan VKA untuk pencegahan stroke dan emboli sistemik dengan tingkat yang lebih rendah dari perdarahan masif, sementara dabigatran 150 mg b.i.d. dikaitkan dengan tingkat yang lebih rendah dari kejadian stroke dan emboli sistemik dengan tingkat yang sama pada perdarahan masif, dibandingkan dengan VKA. Apixaban VERSUS asam asetilsalisilat untuk mencegah stroke (Averroes) studi itu dihentikan lebih awal karena bukti yang jelas dari penurunan stroke dan emboli sistemik dengan apixaban 5 mg b.i.d. dibandingkan dengan aspirin 81-324 mg sekali sehari pada pasien tidak toleran atau tidak cocok untuk VKA, dengan profil keamanan yang dapat diterima.4 ROCKET-AF (Rivaroxaban Once Daily Oral direct Factor Xa inhibition Compared with Vitamin K Antagonism for Prevention of Stroke and Embolism Trial in Atrial Fibrillation) adalah double- blind RCT membandingkan rivaroxaban 20 mg sekali setiap hari untuk disesuaikan dosis warfarin (INR 2,0-3,0) di 14.264 pasien dengan AF pada peningkatan risiko stroke (rata-rata CHADS 2 skor 3,5). Rivaroxaban noninferior dibandingkan dengan warfarin untuk titik akhir primer stroke (iskemik atau hemoragik) atau 111 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

emboli sistemik tapi tidak superior terhadap warfarin (rasio hazard, 0,88, 95% CI, 0,74-1,03). Percobaan ini tidak menemukan bukti adanya perbedaan dalam perdarahan besar antara rivaroxaban dan warfarin (rasio hazard, 1,04, 95% CI, 0,90-1,20). Perdarahan gastrointestinal lebih umum dengan penggunaan rivaroxaban dibandingkan dengan warfarin (3,2% dan 2,2%, masing-masing, P<0.001). Kematian tidak berbeda signifikan antara rivaroxaban dan warfarin.8 American College of Cardiology Foundation/American Heart Association/Heart Rhythm Society 2011 (ACCF/AHA/HRS) Pedoman Praktek merekomendasikan dabigatran sebagai antikoagulan alternatif yang berguna untuk pencegahan stroke dan tromboemboli sistemik dibandingkan dengan warfarin pada pasien dengan paroxysmal - permanen AF. Guideline menyatakan bahwa calon pasien yang akan diberikan dabigatran harus tanpa katup jantung prostetik atau penyakit katup signifikan secara hemodinamik, gagal ginjal berat (kreatinin klirens < 15 mL/menit), atau dengan penyakit hati. American College of Chest Physicians (ACCP) 2012 pedoman praktek yang dirilis dan mereka merekomendasikan pemberian antikoagulan dibandingkan dengan tidak diberikan antikoagulan atau terapi antiplatelet untuk pasien dengan skor CHADS2 dari >1.5 Untuk pasien dengan AF, termasuk mereka yang paroksismal AF, yang beresiko rendah terhadap stroke (misalnya, CHADS 2 skor = 0), disarankan tidak diberikan terapi daripada diberikan terapi antitrombotik (Kelas 2B). Untuk pasien yang memilih terapi antitrombotik, disarankan pemberian aspirin (75 112 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

mg sampai 325 mg sekali sehari) daripada antikoagulan oral (Kelas 2B) atau terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel (kelas 2B).8 Untuk pasien dengan AF, termasuk dengan paroksismal AF, yang beresiko menengah untuk terjadinya stroke (misalnya, CHADS 2 skor = 1), disarankan pemberian antikoagulan oral daripada tidak diberikan terapi (1B Kelas). Disarankan antikoagulan oral daripada aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (Kelas 2B) atau terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel (2B kelas). Untuk pasien yang tidak cocok untuk atau memilih untuk tidak mengkonsumsi oral antikoagulan (untuk alasan lain selain kekhawatiran tentang perdarahan besar), disarankan kombinasi terapi dengan aspirin dan clopidogrel daripada aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (2B kelas).8 Untuk pasien dengan AF, termasuk dengan paroxysmal AF, yang berisiko tinggi untuk terjadinya stroke (misalnya, CHADS 2 skor ≥ 2), disarankan pemberian antikoagulan oral daripada tidak diberikan terapi (Kelas 1A), aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (kelas 1B), atau terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel (Kelas 1B). Untuk pasien yang tidak cocok atau memilih untuk tidak mengkonsumsi oral antikoagulan (untuk alasan lain selain masalah tentang perdarahan besar), disarankan terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel daripada aspirin saja (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (Kelas 1B).8 Untuk pasien dengan AF, termasuk yang dengan paroxysmal AF, untuk rekomendasi dalam mendukung 113 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

antikoagulan oral, disarankan dabigatran 150 mg dua kali sehari daripada terapi VKA dengan dosis yang disesuaikan (target INR 2,0-3,0) (Kelas 2B).8 Karena asupan makanan memiliki dampak pada penyerapan dan bioavailabilitas rivaroxaban (daerah di bawah kurva plasma konsentrasi meningkat sebesar 39%), rivaroxaban harus dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Tidak ada interaksi makanan yang relevan untuk NOAC lain dan dapat dikonsumsi dengan atau tanpa makanan.6 Juga, bersamaan menggunakan proton-pump inhibitor (PPI) dan H2-blocker bukan merupakan kontraindikasi untuk NOAC apapun. Terlepas dari interaksi farmakokinetik, jelas bahwa hubungan antara NOAC dengan antikoagulan lain, penghambat trombosit (Aspirin, clopidogrel, ticlodipine, prasugrel, ticagrelor, dan lain-lain), dan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (NSAID) meningkatkan risiko pendarahan. Ada data yang menunjukkan bahwa risiko perdarahan dalam hubungan dengan agen antiplatelet meningkat setidaknya 60% (sama seperti penggunaan dengan VKA).6 114 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

115 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

116 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Resiko Perdarahan Penilaian risiko perdarahan harus menjadi bagian dari penilaian pasien sebelum memulai antikoagulasi. Antikoagulan yang diberikan pasien usia tua dengan AF, tingkat perdarahan intraserebral jauh lebih rendah daripada di masa lalu, biasanya antara 0,1 dan 0,6% dalam laporan kontemporer. Hal ini mungkin menunjukkan intensitas antikoagulasi rendah, regulasi dosis lebih hati-hati, atau kontrol hipertensi yang lebih baik. Meningkatnya perdarahan intrakranial dengan nilai INR 3.5-4.0, dan tidak ada peningkatan risiko perdarahan dengan INR nilai antara 2,0 dan 3,0 dibandingkan dengan tingkat INR rendah.2 117 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Menggunakan kohort 'real-world' dari 3978 subyek di Eropa dengan AF dari Survei EuroHeart, skor risiko pendarahan sederhana yang baru, HAS-Bled (hipertensi, kelainan fungsi ginjal/liver, stroke, riwayat perdarahan atau kecenderungan, labil INR, lansia (>65), obat/alcohol bersamaan), telah diturunkan (Tabel 10). Ini tampaknya masuk akal untuk menggunakan skor HAS-Bled untuk menilai risiko perdarahan pada pasien AF, dimana skor ≥ 3 menunjukkan 'berisiko tinggi', dan beberapa hati-hati dan memantau pasien secara teratur diperlukan setelah memulai terapi antitrombotik, apakah dengan VKA atau aspirin.2 118 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

DAFTAR PUSTAKA 1. American Heart Association. Management of Patients with Atrial Fibrillation. American College of Cardiology Foundation : 2011 2. European Society Cardiology. Guidelines for the Management of Atrial Fibrillation. European Heart Journal, (2010) 31, 2369–2429 3. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed IV Kardiologi hal 1522. Mei 2006 4. Capodanno D, Capranzano P, Giachhi G, et al. 2012. Novel oral anticoagulants versus warfarin in non-valvular atrial fibrillation: A meta- analysis of 50,578 patients. From : International Journal of Cardiology 5. Spinler S, Shafir V. 2012. American Heart Association : New Oral Anticoagulants for Atrial Fibrillation. From : http://circ.ahajournals.org/content/126/1/133 6. Heidbutchel H, et al. 2013. EHRA Practical Guide on the Use of New Oral Anticoagulants in Patients with Non-Valvular Atrial Fibrillation : executive Summary. From :European Heart Journal 7. Kosar L, Jin M, Kamrul R, Schucter B. 2012. Oral Anticoagulation in Atrial Fibrillation : Balancing the Risk of Stroke with The Risk of Bleed. From : www.cfp.ca 8. You J, et al. Antithrombotic Therapy for Atrial Fibrillation. Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed : ACCP Guidelines. Feb 2012. From : www.chestspub.org 9. Lip G, Blann A. ABC of Antithrombotic Therapy : An overview of Antithrombotic Therapy pg 10-13. BMJ Publishing Group : Mei 2003. From : www.bmjbooks.com 119 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

BAB IV NEW ORAL ANTICOAGULANTS FOR ATRIAL FIBRILLATION Yuliana Yakobus*1 1Universitätsklinikum Halle, German ABSTRACT ARTICLE Atrial Fibrillation (AF) Is The Most Common Cardiac Arrhythmia In The World. Four New Oral Anticoagulants Have Become Available As Alternatives For Warfarin In Patients With AF. Although The Newer Aspects Have Higher Acquisition Cost, The Benefits Of Cost Savings May Be Derived From Potential For Decreasing The Bleeding Incidence And Reducing The Need For Anticoagulation Monitoring. Fibrilasi Atrial (AF) Adalah Aritmia Jantung Yang Paling Umum Didunia. Terdapat Empat Antikoagulan Oral Baru Tersedia Sebagai Alternatif Warfarin Pada Pasien Dengan AF. Meskipun Harga Obat Baru Tersebut Lebih Mahal, Namun Terdapat Manfaat Penghematan Biaya Yang Disebabkan Penurunan Kejadian Pendarahan Dan Penurunan Kebutuhan Untuk Monitoring Penggunaan Antikoagulan. INTRODUCTION Atrial fibrillation (AF) is the most common cardiac arrhythmia, currently affecting in 1 – 2% of the general population.1 The lifetime risk of AF in patients 40 years of age and older is estimated at 25%.2,3 Stroke is a major complication associated with AF, which contributes to the morbidity and mortality associated with the disease. Patients with AF have a five-fold increased risk of stroke. In consequence, the risk of death from AF-related stroke is doubled and the cost of care is increased 1.5 fold. 1 120 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

This risk varies among patient populations, according to age, sex, and the presence of comorbid disease states (e.g., diabetes, hypertension, congestive heart failure, and vascular disease).2,4,5 Anticoagulation is recommended for stroke prevention for intermediate risk and high risk patients (CHADS2 score ≥ 1, see Table 1).4,6-10 Previously, warfarin was the only option for oral anticoagulation in these patients. An assessment of bleeding risk should be part of the patient assessment before starting anticoagulation. Despite anticoagulation of more elderly patients with AF, rates of intracerebral haemorrhage are considerably lower than in the past, typically between 0.1 and 0.6% in contemporary reports. This may reflect lower anticoagulation intensity, more careful dose regulation, or better control of hypertension. Using a ‘real-world’ cohort of 3978 European subjects with AF from the EuroHeart Survey, a new simple bleeding risk score, HAS-BLED (see Table 2), has been derived. It would seem reasonable to use the HAS-BLED score to assess bleeding risk in AF patients, whereby a score of ≥3 indicates ‘high risk’, and some caution and regular review of the patient is needed following the initiation of anticoagulation therapy.1 Currently, four oral anticoagulants are available on the market as alternatives to warfarin in patients with AF. Dabigatran was the first new oral anticoagulant approved for stroke prevention in AF, followed by the oral anti–factor Xa inhibitors rivaroxaban, apixaban and edoxaban. Rivaroxaban is also approved for the treatment of deep vein thrombosis (DVT) and pulmonary embolism (PE), along with prevention of DVT/PE in patients undergoing knee or hip replacement surgeries.11 Apixaban was approved for stroke prevention in December 2012.12 Edoxaban was 121 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

approved for the prevention of stroke and for the treatment of symptomatic venous thromboembolism in 2013.38,39 None of the new agents are approved for use in patients with AF secondary to valvular heart disease or mechanical heart valves. A summary of indications and doses of these oral agents is provided in Table 3. 10-12,38,39 Comparison of warfarin and the new oral anticoagulant 122 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

An ideal oral anticoagulant has a rapid onset and predictable pharmacokinetics with easily quantifiable and reversible therapeutic effects. Above all, the medication should be efficacious. When compared with warfarin, the new oral anticoagulants have a faster onset and predicable pharmacokinetics.11-13 In addition, a routine anticoagulation monitoring is not required, and these agents are at least as efficacious as warfarin. Warfarin exerts its anticoagulation effect by inhibiting the synthesis of vitamin K–dependent coagulation factors II, VII, IX, and X. The primary pharmacological effect of warfarin results from the inhibition of factor II or thrombin.14 More frequent monitoring of the International Normalized Ratio (INR) may be required at the initiation of therapy in order to determine the patient’s individual steady-state dose. Inhibition of multiple vitamin K–dependent coagulation factors and genetic variations of the VKORC1 and cytochrome P450 (CYP) 2C9 enzymes contribute to the variation in dosing required for therapeutic anticoagulation.15-18 The amount of dietary vitamin K consumed can also affect the dosing requirements of warfarin; therefore, dietary intake should remain consistent. Sub-therapeutic anticoagulation therapy may result in thrombosis, yet over-anticoagulation can lead to bleeding complications. Warfarin also inhibits natural anticoagulant proteins C and S, resulting in an increased risk of thrombosis at the initiation of therapy.19,20 Patients at a high risk of thrombosis (who have a high risk for AF and acute thrombosis or who have a mechanical heart valve) may need bridge therapy with unfractionated heparin (UFH) or low-molecular- weight heparin (LMWH) until a steady-state concentration is achieved. 123 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

A slow onset of action, a narrow therapeutic index, numerous drug and food interactions, variable pharmacokinetics, and the need for monitoring INR are major limitations of the warfarin use in patients with AF. The newer anticoagulants exert their therapeutic effects by directly inhibiting a single factor in the coagulation cascade; dabigatran targets factor IIa, and rivaroxaban, apixaban and edoxaban bind to factor Xa. These new agents also have a more reliable pharmacodynamic profile and provide a less complicated dosing regimen (see Table 4).11-13 However, limitations to their use include a higher acquisition cost, its contraindication for patients with severe renal impairment, a lack of an antidote for reversal, and an inability to quantify their effects in routine coagulation testing and limited experience with drug–drug and drug– disease interactions. Direct thrombin inhibitors Dabigatran Dabigatran, a competitive and reversible inhibitor of free and clot- bound thrombin, prevents soluble fibrinogen from converting to fibrin.13,21 It is a prodrug that is converted to its active form though esterase catalyzed hydrolysis.13,22 Dabigatran is formulated as encapsulated pellets with a tartaric acid core to enhance its oral 124 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

absorption and to ensure consistent and pharmacologically desirable concentrations.23 Crushing or breaking the capsules and administration via a nasogastric (NG) tube should be avoided, because pellet administration outside of the capsule can increase bioavailability by up to 75%.13,23 In patients with AF, dabigatran 150 mg is taken twice daily with or without food. A reduced dose of 75 mg is recommended if the patient’s creatinine clearance (CrCl) is 15 to 30 mL/minute. Clearance is primarily renal, and the drug is a substrate of permeability glycoprotein (P-gp). The use of dabigatran with P-gp inducers (such as rifampin) should be avoided. The combination of renal impairment and P-gp inhibition has a greater tendency to achieve undesirable concentrations when compared with each factor separately.11-13,24 For patients with moderate renal impairment (a CrCl of 30–50 mL/minute) who are concomitantly taking P-gp inhibitors such as dronedarone or systemic ketoconazole, a reduced dose of 75 mg is recommended. Approval of the 75-mg dose was based on pharmacokinetic modeling data.13,24 The clinical efficacy of the reduced dose regimen has not been studied.6,9-13 Significant adverse effects occurring with dabigatran at a rate exceeding 15% include dyspepsia and gastritis-like symptoms.13 Routine monitoring of anticoagulation activity is not necessary if dabigatran is administered according to the manufacturer’s recommendations. Dabigatran prolongs thrombin clotting time (TCT), prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), and ecarin clotting time (ECT). TCT, aPTT, and ECT can be used to estimate the drug’s serum concentration. However, the degree of aPTT elevation 125 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

is not linearly correlated with the dabigatran concentration, and it is particularly inaccurate at higher concentrations of the drug.13,15 A boxed warning cautions against interruptions in dabigatran therapy to avoid an increased risk of stroke resulting from the drug’s short half-life. Therefore, with holding dabigatran for bleeding or invasive surgery should be minimized when possible.13 Dabigatran should be with held for 1 to 2 days before an invasive procedure in patients with normal renal function and for 3 to 5 days if the CrCl is 50 mL/minute or below.13 TCT and aPTT can be used to determine the residual anticoagulation activity of dabigatran before the procedure.15,25 There is no known reversal agent for dabigatran. Symptomatic management is the primary approach for bleeding because of dabigatran’s relatively short half-life. Recombinant factor VIIa (rFVIIa), prothrombin complex concentrates (PCCs), or hemodialysis can be considered for reversing life-threatening bleeding.25-28 Factor Xa Inhibitors Rivaroxaban Rivaroxaban (Xarelto) was the first oral reversible factor Xa inhibitor for stroke prevention in nonvalvular AF. It is also approved for treatment of VTE, PE and VTE prophylaxis in patients undergoing knee or hip replacement.9 For patients with AF, rivaroxaban 20 mg once daily should be taken with food. Because of the drug’s partial renal elimination, the dose should be reduced to 15 mg once daily in patients with a CrCl of 15 to 50 mL/minute.11-13 Rivaroxaban, also a P-gp substrate, is metabolized by CYP3A4 pathways. The concomitant use with a P-gp and a strong CYP3A4 inhibitor 126 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

(e.g., a protease inhibitor, ketoconazole, or itraconazole) can lead to increased rivaroxaban exposure by 30% to 160%, resulting in increased bleeding risk and, therefore, should be avoided. Clinicians should weigh the risks and benefits in patients with renal impairment who are receiving concomitant P-gp and weak-to-moderate CYP3A4 inhibitors such as amiodarone, diltiazem, verapamil, quinidine, erythromycin, and azithromycin. Conversely, rivaroxaban concentrations can be reduced by 50% with dual P-gp and strong CYP3A4 inducers such as rifampin, phenytoin, carbamazepine; concomitant administration should be avoided.11 The use of rivaroxaban in patients with hepatic impairment (a Child– Pugh class of B or C) is not recommended. Additional warnings include an increased risk of thrombotic events with the cessation of rivaroxaban therapy. The drug’s half-life is 5 to 9 hours in young, healthy patients (20– 45 years of age); its half-life is 11 to 13 hours in elderly people. The peak effect occurs 2 to 4 hours after administration. Rivaroxaban can also be given by nasogastric tube or a gastric feeding tube.11 The most common adverse events with rivaroxaban were related to bleeding and occurred at rates similar to those of warfarin in clinical trials. Non-hemorrhagic adverse drug events reported at a rate of 5% or more included peripheral edema, dizziness, nasopharyngitis, cardiac failure, bronchitis, dyspnea, and diarrhea, which occurred at rates similar to those receiving warfarin.11 Rivaroxaban causes concentration-dependent prolongation of PT and aPTT. Neither the manufacturer nor any organization recommends routine anticoagulation monitoring during rivaroxaban therapy. Factor Xa inhibitors (rivaroxaban, apixaban and edoxaban) have a more pronounced 127 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

effect on PT than on aPTT. Abnormalities in coagulation tests can beobserved with therapeutic doses.31 Interruption of therapy should be minimized to reduce the risk of thrombosis. Anticoagulation activity may be prolonged in patients with renal dysfunction because of partial renal clearance.11-13 Rivaroxaban should be withheld for at least 1 day before an invasive procedure for patients with normal renal function and longer for patients with renal dysfunction (2 days if the CrCl is 60–90 mL/minute, 3 days if the CrCl is 30 to 59 mL/minute, and 4 days if the CrCl 15 is 29 mL/minute).25,32 There is no specific antidote for rivaroxaban. It is not dialyzable, because its protein binding is nearly 95%. Limited data suggest that four- factor prothrombin complex concentrates (PCCs) and recombinant factor VIIa can be used in cases of life-threatening bleeding.28,33,34 Apixaban Apixaban is the second oral selective inhibitor of free and clot-bound factor Xa. In patients with AF, apixaban 5 mg twice daily is recommended. A reduced dose of 2.5 mg twice daily is recommended in patients with two or more of the following: age 80 years or older, body weight 60 kg or less, and a serum Cr level of 1.5 mg/dL or higher. Apixaban is metabolized primarily by the liver CYP enzyme 3A4 and is a substrate of P-gp. A reduced dose of 2.5 mg twice daily is also recommended when apixaban is used concomitantly with a strong dual inhibitor of CYP3A4 and P-gp (i.e., ketoconazole, itraconazole, ritonavir, or clarithromycin). Manufacturers also advise against the concomitant use of apixaban with strong inducers of P-gp and CYP3A4 if the recommended dose for the patient is 2.5 mg (based upon age, body weight, and renal 128 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

function). Apixaban is not recommended for patients with severe hepatic impairment. The drug’s biological half-life is 12 hours in vivo.12 Adverse events with its use were related primarily to bleeding.12,29,30 Apixaban produces dose-dependent elevations in aPTT, PT and chromogenic anti–factor Xa assay. Abnormalities in coagulation tests (PT and aPTT) can be observed with therapeutic doses. Anticoagulation monitoring with routine tests is not recommended because of the high degree of variation; however, drug specific chromogenic anti–factor Xa assay can be used to estimate the extent of anticoagulation.35 Renal and hepatic impairment may result in an extended biological half-life. Apixaban should be withheld 1 to 2 days before an invasive procedure in patients with normal renal function and longer for patients with renal impairment (3 days if the CrCl is 50 to 59 mL/minute and for 4 to 5 days if the CrCl ranges from 30 to 49 mL/minute).25 No antidote is currently available for apixaban; however, PCCs (prothrombin complex concentrates) can be considered for reversal of a life-threatening bleeding episode. In vitro data supporting its use are lacking.25,28,36 Edoxaban Edoxaban, a once daily non-vitamin K antagonist oral anticoagulant, is a direct, selective, reversible inhibitor of factor Xa (FXa).38-40 In healthy subjects, single oral doses of edoxaban result in peak plasma concentrations within 1.0–2.0 hour of administration, followed by a biphasic decline. Exposure is approximately dose proportional for once daily doses of 15–150 mg. 129 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Edoxaban is predominantly absorbed from the upper gastrointestinal tract, and oral bioavailability is approximately 62 %.64,66 Food does not affect total exposure to edoxaban. The terminal elimination half-life in healthy subjects ranges from 10 to 14 h, with minimal accumulation upon repeat once daily dosing up to doses of 120 mg. Its clearance mechanisms involve both renal and non-renal pathways to almost equal extents. Intrinsic factors, such as age, sex and race, do not affect edoxaban pharmacokinetics after renal function is taken into account. Pharmacokinetic modeling and simulation showed that patients with low body weight, moderate-to-severe renal dysfunction, or concomitant use of a potent P-glycoprotein inhibitor should have the edoxaban dose reduced by 50%.38 Oral administration of edoxaban results in rapid changes in anticoagulatory biomarkers, with peak effects on anticoagulation markers (such as anti-FXa), PT and aPTT occurring within 1–2 h of dosing.40 Although no specific antidote for edoxaban is currently available, hemostatic agents reverse its anticoagulant effect.38 CONCLUSION Four new oral anticoagulants (dabigatran, rivaroxaban, apixaban and edoxaban) provide several advantages over warfarin, including their predictable pharmacokinetic profile, the fact that no routine monitoring is needed, and the incidence of fewer drug–food interactions. Although renal function, bleeding, and compliance may still need to be monitored in patients, the comfort of use may improve persistence with their anticoagulant regimen.37 130 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Some limitations to the use of these newer anticoagulants include the lack of a reversal agent, an inability to use them in specific patient populations (such as those with severe renal impairment), a lack of coagulation tests to quantify their effect, and little experience with drug– drug and drug–disease interactions. Information about the impact of noncompliance, especially given the short half-lives of these agents, is also lacking. Taking their limitations into consideration, the new agents still offer several advantages when used appropriately in selected patients. Their role is likely to grow as more data become available regarding their long-term use, drug–drug interactions and use in specific patient populations. REFERENCES 1. Camm AJ, Kirchhof P, Lip GY, et al. Guidelines for the management of atrial fibrillation. European Heart Journal. 2010;31:2369-2429. 2. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al. Heart disease and stroke statistics— 2011 update: A report from the American Heart Association. Circulation. 2011;123(4):e18–e209. 3. Miyasaka Y, Barnes ME, Gersh BJ, et al. Secular trends in incidence of atrial fibrillation in Olmsted County, Minnesota, 1980 to 2000, and implications on the projections for future prevalence. Circulation. 2006;114:119–125. 4. Gage BF, Waterman AD, Shannon W, et al. Validation of clinical classification schemes for predicting stroke: Results from the National Registry of Atrial Fibrillation. JAMA. 2001;285:2864–2870. 5. Lip GY, Frison L, Halperin JL, Lane DA. Identifying patients at high risk for stroke despite anticoagulation: A comparison of contemporary stroke risk stratification schemes in an anticoagulated atrial fibrillation cohort. Stroke. 2010;41:2731– 2738. 6. You JJ, Singer DE, Howard PA, et al. Antithrombotic therapy for atrial fibrillation: Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed. 131 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

American College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest. 2012;141(2Suppl):e531S–575S 7. Management of patients with atrial fibrillation (compilation of 2006 ACCF/AHA/ESC and 2011 ACCF/AHA/HRS recommendations): A report of the American College of Cardiology/American Heart Association 108 Yakobus, New oral anticoagulants...Task Force on Practice Guidelines. Circulation. 2013;127:1916–1926. 8. Wann LS, Curtis AB, Ellenbogen KA, et al. 2011 ACCF/AHA/HRS focused update on the management of patients with atrial fibrillation (update on dabigatran): A report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on practice guidelines. Circulation. 2011;123:1144– 1150. 9. Camm AJ, Lip GY, De Caterina R, et al. 2012 focused update of the ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation: An update of the 2010 ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation—developed with the special contribution of the European Heart Rhythm Association. Europace. 2012;14:1385–1413. 10. Furie KL, Goldstein LB, Albers GW, et al. Oral antithrombotic agents for the prevention of stroke in nonvalvular atrial fibrillation: A science advisory for healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2012;43:3442–3453. 11. Xarelto (rivaroxaban), package insert. Titusville, N.J.: Janssen; Mar, 2013. 12. Eliquis (apixaban), package insert. Princeton, N.J.: Bristol-Myers Squibb; Dec, 2012. 13. Pradaxa (dabigatran), package insert. Ridgefield, Conn.: Boehringer Ingelheim; Apr, 2013. 14. Zehnder JL. Drugs used in disorders of coagulation. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editors. Basic & Clinical Pharmacology. 12th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. 15. Ageno W, Gallus AS, Wittkowsky A, et al. Oral anticoagulant therapy: Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed. American 132 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest. 2012;141:e44S–88S. 16. Schwarz UI, Ritchie MD, Bradford Y, et al. Genetic determinants of response to warfarin during initial anticoagulation. N Engl J Med. 2008;358:999–1008. 17. Genetic testing to aid in warfarin (Coumadin) dosing. Pharmacists Lett. 2007:231002. 18. Takahashi H, Echizen H. Pharmacogenetics of warfarin elimination and its clinical implications. Clin Pharmacokinet. 2001;40:587–603. 19. Porter RS, Sawyer WT. Warfarin. In: Evans WE, Schentag JJ, SJ, Jusko WJ, editors. Applied Pharmacokinetics Principles of Therapeutic Drug Monitoring. 3rd ed. Vancouver, Wash: Applied Therapeutics; 1992. pp. 31.1–31.46. 20. Warrell DA, Cox TM, Firth JD. Oxford Textbook of Medicine. 4th ed. Oxford, U.K: Oxford University Press; 2003. 21. De Caterina R, Husted S, Wallentin L, et al. Anticoagulants in heart disease: Current status and perspectives. Eur Heart J. 2007; 28:880–913. 22. Stangier J, Clemens A. Pharmacology, pharmacokinetics, and pharmacodynamics of dabigatran etexilate, an oral direct thrombin inhibitor. Clin Appl Thromb Hemost. 2009;15(Suppl 1):9S–16S. 23. Norgard NB, Dinicolantonio JJ, Topping TJ, Wee B. Novel anticoagulants in atrial fibrillation stroke prevention. Ther Adv Chronic Dis. 2012;3:123–136. 24. Liesenfeld KH, Lehr T, Dansirikul C, et al. Population pharmaco-kinetic analysis of the oral thrombin inhibitor dabigatran etexilate in patients with non-valvular atrial fibrillation from the RE-LY trial. J Thromb Haemost. 2011;9:2168–2175. 25. Baron TH, Kamath PS, McBane RD. Management of antithrombotic therapy in patients undergoing invasive procedures. N Engl J Med. 2013;368:2113–2124. 26. Van Ryn J, Stangier J, Haertter S, et al. Dabigatran etexilate-a novel, reversible, oral direct thrombin inhibitor: Interpretation of coagulation assays and reversal of anticoagulant activity. Thromb Haemost. 2010;103:1116–1127. 27. Chang DN, Dager WE, Chin AI. Removal of dabigatran by hemodialysis. Am J Kidney Dis. 2013;61:487–489. 28. Kalus JS. Pharmacologic interventions for reversing the effects of oral anticoagulants. Am J Health Syst Pharm. 2013;70:S12–S21. 133 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

29. Connolly SJ, Eikelboom J, Joyner C, et al. Apixaban in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med. 2011;364:806–817. 30. Granger CB, Alexander JH, McMurray JJ, et al. Apixaban versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med. 2011;365:981–992. 31. Carter NJ, Plosker GL. Rivaroxaban: A review of its use in the prevention of stroke and systemic embolism in patients with atrial fibrillation. Drugs. 2013;73:715–739. 32. Hart RG, Eikelboom JW, Ingram AJ, Herzog CA. Anticoagulants in atrial fibrillation patients with chronic kidney disease. Nat Rev Nephrol. 2012;8:569– 578. 33. Eerenberg ES, Kamphuisen PW, Sijpkens MK, et al. Reversal of rivaroxaban and dabigatran by prothrombin complex concentrate: A randomized, placebo- controlled, crossover study in healthy subjects. Circulation. 2011;124:1573– 1579. 34. Marlu R, Hodaj E, Paris A, et al. Effect of non-specific reversal agents on anticoagulant activity of dabigatran and rivaroxaban: A randomised crossover ex vivo study in healthy volunteers. Thromb Haemost. 2012;108:217–224. 35. Barrett YC, Wang Z, Frost C, Shenker A. Clinical laboratory measurement of direct factor Xa inhibitors: Anti-Xa assay is preferable to prothrombin time assay. Thromb Haemost. 2010;104:1263–1271. 36. Martin AC, Le Bonniec B, Fischer AM, et al. Evaluation of recombinant activated factor VII, prothrombin complex concentrate, and fibrinogen concentrate to reverse apixaban in a rabbit model of bleeding and thrombosis. Int J Cardiol. 2013;168(4):4228–4233. 37. Zalesak M, Siu K, Francis K, et al. Higher persistence in newly diagnosed nonvalvular atrial fibrillation patients treated with dabigatran versus warfarin. Circ Cardiovasc Qual Outcomes. 2013 38. Giugliano RP, Ruff CT, Braunwald E, et al. Edoxaban versus warfarin in patients with atrial fibrillation. The new England journal of medicine. 2013;369(22):2093-2104. 134 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

39. Büller HR, Decousus H, Grosso MA, et al. Edoxaban versus warfarin for the treatment of symptomatic venous thromboembolism. The new England journal of medicine. 2013;369(15):1406-15. 40. Parasrampuria DA, Truitt KE. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of edoxaban, a non-vitamin K antagonist oral anticoagulant that inhibits clotting factor Xa. BAB V 135 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

RCT VS OBSERVATIONAL DATA- COMPLEMENTARY OR CONTRADICTORY OF DOAC IN ATRIAL FIBRILLATION Khalid Saleh Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vasakuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar Pendahuluan Fibrilasi atrium (FA) adalah salah satu jenis aritmia yang paling sering terjadi dan prevalensinya terus meningkat di dunia. Karakteristik dari pasien dengan FA dapat berupa aktivasi elektrik atrium yang tidak teratur dan kontraksi atrium yang tidak terkoordinasi. Prevalensi terus meningkat seiring dengan pertambahan usia, FA diderita oleh 1-2% penduduk dunia dengan rata-rata usia 40-50 tahun dan sekitar 5-15% penderita diantaranya berusia diatas 80 tahun . FA adalah faktor risiko munculnya kejadian tromboemboli yang menghasilkan lima kali lipat lebih besar risiko stroke dibandingkan irama sinus . (January et al., 2014). Antikoagulan telah lama digunakan pada pasien dengan FA. Antikoagulan oral adalah agen antitrombotik unggul tetapi kurang dimanfaatkan karena ketakutan akan terjadinya perdarahan dan ketidakpastian apakah pasien akan mendapatkan keuntungan dari penggunaan antikoagulan (Pinzon, dkk., 2017). Pemberian antikoagulan memerlukan pemantauan secara berkala mengingat risiko perdarahan yang ditimbulkan, baik ringan maupun berat (Roveny., 2015) Antikoagulan oral langsung (DOAC), dabigatran, rivaroxaban, apixaban dan edoxaban, diperkenalkan mulai 2010 dan seterusnya sebagai alternatif VKA. Tingkat inisiasi DOAC meningkat 17 kali lipat antara 2012 dan 2015 di praktik umum Inggris dan penggunaan VKA 136 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

kemudian menurun. DOAC telah direkomendasikan secara internasional sebagai pilihan untuk pencegahan stroke pada FA untuk orang dengan faktor risiko tambahan untuk stroke (Hindriks, G et al., 2020). Faktor risiko tambahan ditentukan oleh CHA 2 DS 2Skor -VASc sebagai gagal jantung kronis, hipertensi, usia 75 tahun, diabetes mellitus, stroke/serangan iskemik transien sebelumnya, penyakit pembuluh darah, usia 65-74 tahun, jenis kelamin perempuan. Alat stratifikasi risiko ini mendefinisikan usia 75 tahun sebagai faktor risiko utama stroke dan memberikan skor 2 untuk faktor risiko ini, yang berarti bahwa semua pasien dalam kelompok usia ini harus dipertimbangkan untuk antikoagulasi.( Heidbuchel H et al., 2017) Tujuan utama dari antikoagulasi adalah untuk mengurangi risiko stroke iskemik, akibatnya ini dipilih sebagai hasil efektivitas utama. Pendarahan besar dan risiko perdarahan intrakranial merupakan perhatian yang signifikan bagi mereka yang meresepkan antikoagulan terutama untuk orang tua yang mungkin berisiko lebih tinggi jatuh. Risiko perdarahan gastrointestinal terbukti meningkat dengan DOAC di RCT hingga 79% dan infark miokard meningkat 38% dengan dabigatran dalam percobaan RE-LY. (Vanassche T et al., 2014) Epidemiologi Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik sehari-hari. FA dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang substansial, sehingga menandakan beban yang signifikan bagi pasien, kesehatan masyarakat, dan ekonomi kesehatan. (Hindriks, G et al., 2020) Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang.1 (Go AS et al., 2001, European Heart Rhythm A, et Al., 137 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

2010) . Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan 5209 subjek penelitian sehat (tidak menderita penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun, angka kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan.( Wolf PA et al., 1996. Sementara itu data dari studi observasional (MONICA multinational MONItoring of trend and determinant in CArdiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2. (Setianto B dkk., 1998) . Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), (RI PDdIKK., 2013) maka angka kejadian FA juga akan meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013). Faktor Risiko Fibrilasi Atrium Adanya penyakit kardiovaskular dan penyakit komorbid akan meningkatkan risiko terjadinya FA dan rekurensi FA. Oleh sebab itu, identifikasi risiko FA perlu dilakukan untuk mengurangi insidensi FA kasus baru dan menekan angka rekurensinya. Manajemen faktor risiko merupakan bagian tidak terpisahkan dari penatalaksanaan FA secara komprehensif (Kirchoff dkk, 2016). 1. Gagal Jantung Fibrilasi Atrium sering ditemukan pada pasien dengan gagal 138 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

jantung karena kedua penyakit tersebut memiliki patofisiologi dan faktor risiko yang mirip. Gagal jantung stabil dapat memburuk menjadi tidak stabil dengan munculnya FA baru atau peningkatan laju ventrikel FA. Sebaliknya, gagal jantung akut juga dapat menyebabkan perubahan irama pasien dari sinus menjadi FA. Proses remodeling kardiak, aktivasi neurohormonal, dan perburukan fungsi ventrikel kiri (VKi) yang berkaitan dengan peningkatan laju ventrikel merupakan mekanisme yang mendasari. Prognosis pasien FA dengan gagal jantung lebih buruk dibandingkan dengan tanpa gagal jantung (Kotecha dan Piccini, 2015). 2. Hipertensi Manajemen hipertensi sangat diperlukan pada pasien FA, karena hipertensi merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke pada pasien FA. Inhibisi renin- angiotensin-aldosteron (Sistem RAA) dapat mencegah proses remodeling miokard dan rekurensi FA. Sebuah studi analitik yang mencoba melihat perbedaan obat antihipertensi pada terjadinya FA, menunjukkan adanya efek positif dari penghambat EKA/PRA dibanding obat lain. Penghambat EKA/PRA dapat mengurangi rekurensi FA pascakardioversi bila diberikan dengan obat antiaritmia. Studi ini juga didukung oleh beberapa metaanalisis yang menunjukkan efek penghambat EKA/PRA dalam menurunkan rekurensi FA (Schneider dkk, 2010) 3. Penyakit Jantung Katup Penyakit jantung katup berkaitan secara independen dengan insiden FA. Sekitar 30% pasien FA memiliki gangguan katup jantung 139 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

yang sering kali terdeteksi oleh ekokardiografi. Prognosis pasien penyakit jantung katup yang disertai FA akan makin buruk, termasuk pasien yang akan menjalani operasi koreksi katup atau intervensi katup transkateter. Risiko tromboemboli pasien FA dengan penyakit jantung katup juga meningkat seiring dengan peningkatan risiko stroke. Pada pasien dengan disfungsi katup derajat berat, adanya FA menandakan progresivitas penyakit dan dapat menjadi dasar untuk tindakan korektif bedah atau transkateter (Moretti dkk, 2014). 4. Diabetes Melitus Diabetes dan FA sering kali terjadi bersamaan karena adanya kesamaan karakteristik populasi pasien. Pada pasien FA, durasi diabetes yang makin lama akan meningkatkan risiko tromboemboli. Kontrol gula darah yang intensif tidak berpengaruh pada kejadian FA onset baru. Pada sebuah studi, penggunaan metformin berhubungan dengan penurunan risiko jangka panjang terjadinya FA pada pasien diabetes (Chang dkk, 2014). 5. Obesitas Obesitas meningkatkan risiko FA sesuai dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Pasien obesitas dapat memiliki disfungsi diastolik yang lebih berat, peningkatan aktivitas simpatetik, inflamasi, dan infiltrasi lemak pada atrium. Obesitas juga dapat menjadi faktor risiko untuk stroke iskemik, tromboemboli, dan kematian pada pasien dengan FA (Overvad dkk, 2013). Penurunan berat badan (10-15 kg) yang disertai dengan manajemen faktor 140 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

risiko kardiovaskular dapat menurunkan angka rekurensi FA dibandingkan dengan manajemen umum pada pasien obesitas (Pathak dkk, 2013). Kebugaran kardiorespirasi juga memiliki dampak baik terhadap insidens FA pada pasien obesitas. Obesitas dapat meningkatkan risiko rekurensi FA setelah ablasi kateter bila disertai dengan obstructive sleep apnea (OSA). Obesitas juga berkaitan dengan peningkatan dosis radiasi yang diterima pasien saat ablasi (Meredith dkk, 2015). Fibrilasi Atrium juga dapat terjadi akibat penyebab temporer akut seperti konsumsi alkohol berlebihan, tirotoksikosis, operasi (kardiak maupun non-kardiak), sengatan listrik, infark miokard akut, perikarditis, miokarditis, emboli paru atau penyakit paru lainnya seperti pneumonia, hipertiroidisme dan feokromositoma. (Yap dkk, 2014) Pada literatur lama, terdapat istilah familial AF yang didefinisikan sebagai FA tunggal (Lone AF) yang diturunkan secara herediter Kemungkinan terjadinya FA pada anak dengan orang tua yang menderita FA lebih tinggi dibandingkan pada anak tanpa riwayat FA dalam keluarga. Hal tersebut menunjukan adanya kerentanan familial terhadap aritmia. Defek molekuler yang bertanggung jawab untuk FA familial sebagian besar tidak diketahui. Lokus kromosom spesifik yang terkait dengan FA di beberapa keluarga menunjukkan mutasi genetik yang berbeda. (Ellinor dkk, 2003) Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, lone FA sudah ditinggalkan karena pada sebagian besar kasus umumnya ditemukan gangguan kanal ion atau channelopathies seperti sindrom Brugada, sindrom QT pendek dan panjang. Patofisiologi Fibrillasi Atrium 141 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

Beberapa mekanisme dapat mencetuskan fibrilasi atrium, pencetus tersering adalah fokus ektopik di otot sekitar vena pulmonal. Pada penderita fibrilasi atrium, terdapat fase refrakter yang tidak efektif dan adanya gangguan sistem konduksi di daerah fokus ektopik. Adanya gangguan konduksi juga merupakan salah satu syarat terjadinya reentry. Fokus-fokus lain yang dapat mencetuskan fibrilasi atrium yaitu fokus di daerah vena cava superior, ligamen Marshall, dan otot sekitar sinus coronaries. (Fuster V., 2011) Selain pencetus, terdapat juga mekanisme yang menyebabkan fibrilasi atrium menetap. Penelitian Li, dkk. pada seekor anjing yang gagal jantung dan fibrosis daerah atrium menyebabkan terjadinya gangguan konduksi, sehingga terjadi proses reentry dan fibrilasi atrium. (Fuster V., 2011) Dahulu, diperkirakan sebanyak 30-45% kasus FA paroksismal dan 20-25% kasus persisten FA pada usia muda terjadi tanpa disertai penyebab yang jelas atau Lone AF. (Brand dkk, 1985) Namun saat ini, FA pada usia muda dihubungkan dengan gangguan kanal seperti sindrom long maupun short interval QT. FA pada orang tua tanpa adanya penyakit jantung dihubungkan dengan perubahan struktur dan fungsi jantung akibat degeneratif seperti peningkatan kekakuan (stifness) miokard. (Yap dkk, 2014) Klasifikasi Fibrilasi Atrium Berdasarkan panduan ESC (2020) mengenai manajemen Fibrillasi Atrium diklasifikasikan menjadi : (1) Diagnosis pertama, yaitu FA yang tidak terdiagnosis sebelumnya, 142 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

terlepas dari durasinya atau ada/beratnya gejala terkait FA. (2) Paroksismal, yaitu FA yang berakhir secara spontan atau dengan intervensi dalam 7 hari setelah onset. (3) Persisten, yaitu FA yang terus menerus bertahan lebih dari 7 hari, termasuk episode yang diakhiri oleh kardioversi (obat atau kardioversi elektrik) setelah lebih dari 7 hari. (4) Long-standing persistent atau FA persisten lama, yaitu FA berkelanjutan dengan durasi >12 bulan saat memutuskan untuk melakukan strategi kontrol irama. (5) Permanen, yaitu FA yang diterima oleh pasien dan dokter, dan tidak ada upaya lebih lanjut untuk memulihkan/mempertahankan ritme sinus yang akan dilakukan. FA permanen mewakili sikap terapeutik pasien dan dokter daripada melakukan tatalaksana terhadap patofisiologis yang menyebabkannya, dan istilah tersebut tidak boleh digunakan dalam konteks strategi kontrol ritme dengan obat antiaritmia terapi atau ablasi FA. Jika strategi kontrol ritme diadopsi, aritmia akan diklasifikasikan ulang sebagai 'FA persisten lama'. Terdapat pula terminologi FA yang sudah ditinggalkan, namun pada beberapa literatur klasifikasi ini masih sering digunakan, yaitu: (1) Lone AF atau FA tunggal, yaitu sebuah deskripsi masa lalu. Peningkatan pengetahuan tentang patofisiologi FA menunjukkan bahwa pada setiap pasien terdapat penyebabnya. Oleh karena itu, istilah ini berpotensi membingungkan dan harus ditinggalkan. (2) Valvular dan non-valvular FA, yaitu dengan dengan 143 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021

membedakan pasien FA yang disertai stenosis mitral sedang/berat dan pasien dengan katup jantung prostetik mekanis dari pasien lain dengan FA, tetapi mungkin membingungkan dan sebaiknya tidak digunakan. (3) FA kronik Memiliki definisi variabel dan tidak boleh digunakan untuk menggambarkan populasi pasien FA. (ESC, 2020) GEJALA KLINIS Atrium Fibrilasi dapat tidak menimbulkan gejala; penderita fibrilasi atrium paroksismal, biasanya tidak menyadari kelainannya. Pada 10% – 25% penderita, diagnosis fibrilasi atrium ditemukan tanpa gejala atau didiagnosis setelah terjadi komplikasi. (Issa ZF., 2012) Gejala fibrilasi atrium bergantung pada banyak faktor, seperti: laju ventrikuler, durasi fibrilasi atrium, serta ada atau tidaknya gangguan struktur jantung. Mayoritas penderita mengeluhkan palpitasi, rasa tidak nyaman di dada, dispnea, kelemahan atau pusing. Palpitasi merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan. (Issa ZF., 2012) Diagnosis Fibrilasi Atrium Diagnosis fibrilasi atrium memerlukan dokumentasi yang memadai. Dokumentasi tersebut harus memenuhi beberapa karakteristik yang dimiliki oleh fibrilasi atrium, antara lain: adanya interval R-R ireguler pada EKG, tidak ditemukan gelombang P pada EKG, dan interval antara 2 aktivasi atrium jika terlihat >200 ms atau >300 laju per menit (200 ms = 5 kotak kecil pada hasil pemeriksaan EKG). (Lip GYH et al., 2012) Klasifikasi fibrilasi atrium yaitu fibrilasi atrium paroksismal, fibrilasi atrium persisten, dan fibrilasi atrium permanen. Fibrilasi atrium 144 | SEKELUMIT TENTANG FIBRILASI ATRIAL, 2021


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook