Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore NYOBAK

NYOBAK

Published by Fajar Name, 2021-05-23 13:47:48

Description: NYOBAK

Search

Read the Text Version

Makna Modernisasi Pada Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Banten Nur Hadi Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang [email protected] Abstract Suku Baduy yang mendiami wilayah di kaki Gunung Kendeng Propinsi Banten, adalah suku yang terbentuk karena perjalanan historis yang unik. Mer- eka masih memegang teguh nilai-nilai tradisi yang mereka wariskan dari waktu ke waktu. Masuknya teknologi transportasi dan telekomunikasi, berakibat pada suku atau komunitas di berbagai tempat, hingga terjadi banyak perubahan. Hal ini tidak terkecuali terjadi pada Suku Baduy. Fokus penelitian ini tentang mak- na modernisasi pada Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Banten. Secara khusus, rinciannya terdiri dari: (1) Kebudayaan petani suku Baduy, di Kabupaten Leb- ak, Propinsi Banten, sebagai suku tradisional; (2) Keberadaan pendidikan sosial pada suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten; (3) Jalinan keberadaan pendidikan sosial dan modernisasi mewarnai budaya suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pilihan rancangan tersebut didasari tujuan agar didapat materi tentang keadaan komu- nitas adat dan perubahan yang terjadi pada mereka, yang diasumsikan sebagai komunitas yang masih asli dan terikat erat dengan kultur setempat. Temuan pe- nelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Kebudayaan petani suku Baduy sebagai suku tradisional. Suku Baduy terdiri dari dua strata, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Dikhotomi ini berdasarkan atas ketaatan mereka terhadap adat is- tiadat Baduy, atau pikukuh Baduy. Baik komunitas Baduy Dalam maupun Luar masih menjalankan beberapa ritual terkait dengan kehidupan mereka sebagai petani. Upacara-upacara tersebut seperti Ngalaksa, Seba, dimana antara komu- nitas Baduy yang beragama Sunda Wiwitan dan komunitas Baduy Muslim kerap secara bersama-sama melakukan ritual tersebut. (2) Keberadaan pendidikan so- sial pada suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Komunitas Baduy, sebagaimana komunitas-komunitas lainnya melaksanakan pendidikan sosial

kepada generasi muda Baduy dalam upaya melakukan pewarisan budaya, se- genap nilai dan norma, lewat sosialisasi yang mereka lakukan. Namun menyang- kut pendidikan formal, anak-anak Baduy, termasuk Baduy Luar dilarang ikut/ masuk sekolah formal. Hal ini didasari alasan bahwa nanti jika mereka sekolah akan pintar, dan akan memintari (menipu) orang tuanya. (3) Jalinan keberadaan pendidikan sosial dan modernisasi mewarnai budaya suku Baduy, di Kabupat- en Lebak, Propinsi Banten. Masuknya teknologi transportasi, informatika, dan telekomunikasi, memberikan banyak pengaruh pada Suku Baduy, mengenalkan banyak aspek modernitas, serta, memberikan warna baru pada budaya mereka, seperti munculnya komunitas baru di luar Baduy Dalam dan Baduy Luar, yaitu Baduy Muallaf. PENGANTAR Komunitas Baduy dikenal sangat teguh memegang tradisi dan pikukuh mereka. Terdapat beberapa cara yang dilakukan agar komunitas ini terintegrasi dan selalu berpegang pada nilai dan norma yang ada. Salah satu yang mereka lakukan adalah dengan mengeluarkan warga komunitas Baduy Dalam yang me- langgar adat istiadat dari Baduy Dalam ke Baduy Luar. Seperti diketahui komu- nitas Baduy Dalam terdapat di tiga tempat: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Sedangkan Baduy Luar terdapat di banyak kampong Baduy yang berada di luar ketiga Baduy Dalam tersebut. Akhir-akhir ini bahkan terdapat jenis komunitas Baduy yang baru, yaitu Baduy Muallaf, yang berasal dari kalangan orang-orang Baduy Luar yang melanggar pikukuh, bahkan berani meninggalkan agama wiwi- tan, dan masuk ke dalam agama Islam. Sesuatu yang mengagetkan dalam keberlangsungan tradisi budaya Baduy, yang selama ini dikenal amat dekat dengan alam, bahkan menjaga keaslian alam, dengan melarang penggunaan berbagai produk modernitas, yang diperkirakan dapat merusak alam, mendapatkan ujian yang berat. Hal ini terkait dengan peris- tiwa kebakaran yang menghabiskan sebuah kampung Baduy pada hari Kamis, 12 September 2019 yang melanda perkampungan suku Baduy di Kampung Ka- dugeude, Desa Kanekes, Kabupaten Leuedamar. Sekitar 38 rumah warga, ba- rang-barang berharga milik warga, seperti 75 lumbung padi, dan 1 saung lisung, serta seorang warga, bernama Jakam menderita luka bakar. Kebakaran terjadi

sekitar pk. 13.00 WIB, diduga disebabkan oleh sebuah tungku pemasakan gula aren, di salah satu rumah warga Baduy, bernama Sanip. Larangan penggunaan sabun dan sampoo untuk mandi, yang biasa dilakukan warga masyarakat di sun- gai dapat menjaga kelestarian lingkungan alam. Demikian juga larangan peng- gunaan logam dalam membangun rumah, menghindarkan bangunan rumah dari ancaman gempa. Demikian juga larangan penggunaan barang-barang elektronik akan membentengi generasi muda Baduy, dari kemungkinan perubahan tradisi budaya. Namun kebakaran yang menghabiskan satu kampong menjadi bahan re- nungan tentang itu semua. Suku Baduy yang mendiami wilayah di kaki Gunung Kendeng Propinsi Banten, adalah suku yang terbentuk karena perjalanan historis yang unik. Mer- eka masih memegang teguh nilai-nilai tradisi yang mereka wariskan dari waktu ke waktu. Keadaan lingkungan alam yang jauh dari pusat keramaian dan kon- tak budaya yang kurang dengan masyarakat asing, menyebabkan terbentuknya konservatisme budaya dalam waktu lama. Masuknya modernitas ke dalam suku tersebut akan memicu suatu perubahan budaya. Masuknya pengaruh teknologi transportasi dan telekomunikasi, akan be- rakibat pada suku atau komunitas di berbagai tempat, termasuk yang jauh dan terpencil, akan mengalami perubahan. Hal ini tidak terkecuali terjadi pada Suku Baduy. Kemajuan teknologi yang terjadi secara akseleratif dan diperlukan dalam upaya pembangunan masyarakat setempat akan mengenalkan banyak aspek mo- dernitas dan mempengaruhi budaya mereka. Suku Baduy tinggal di wilayah pedalaman, di Desa Kanekes, yang ter- letak di kaki pegunungan Kendeng. Suku ini masih memegang teguh nilai-nilai budaya tradisional. Keadaan lingkungan alam pegunungan yang jauh dari pusat keramaian dan kontak dengan masyarakat asing yang kurang, menyebabkan ter- bentuknya konservatisme budaya dalam waktu yang lama. Masuknya IPTEKS pada suatu sukus akan memicu suatu perubahan budaya walaupun lambat tapi pasti. Pada masa kini dengan majunya teknologi transportasi dan telekomunika- si, berbagai tempat yang jauh dan terpencil, yang memberikan destinasi budaya yang menantang seperti, gunung dan pantai akan dikunjungi oleh banyak wisa- tawan, baik asing maupun domestik. Kehadiran mereka beserta teknologi yang mereka bawa akan memberikan pengaruh budaya pada suku setempat. Hal ini

tidak terkecuali terjadi pada suku Badui. Beberapa penelitian terdahulu dengan tema sejenis pernah dilakukan, an- tara lain oleh Robert W. Hefner, 1990. The Political Economy of Mountain Java An Interpretive History. Dalam penelitiannya di Tengger wilayah Pasuruan ia dapati bahwa faktor-faktor politik eksternal telah memberikan pengaruh (buruk) yang sangat besar, hingga terjadi pembantaian (geger) di Tengger. Adapun faktor ekonomi tidak terlalu signifikan memberikan pengaruh. Di dataran tinggi Teng- ger justru tidak muncul hubungan patron-client antara petani pemilik dan peng- garap seperti di dataran rendah. Di Tengger semua petani adalah petani pemilik. Penelitian Wirdateti, dkk. 2005. Dengan judul ”Feeding and habitat of slow Loris (Nycticebus coucang) in Badui Tribe conservation forest, Rangkasbitung-south Banten” menyimpulkan: Hasil survai menemukan 61 jenis tumbuhan hutan yang tergolong dalam 24 suku yang dipilih kukang sebagai sumber pakan. Jenis tumbuhan pakan yang terbanyak adalah dari suku Moraceae (11 jenis) dan Eu- phorbiaceae (lima jenis), serta enam jenis pakan asal hewan. Pakan yang disukai kukang adalah buah-buahan yang berasa manis, pucuk daun yang tidak berbau menusuk dan pahit. serta cairan dari bunga atau bakal buah dan pakan asal he- wan. Di habitat aslinya kukang bersarang pada pohon besar dan pada tumpukan daun yang lebat. Kemudian penelitian Kesuma, Tahun 2013, dengan judul “Kerukunan Umat Beragama dan Resolusi Konflik Studi Kasus Umat Beragama pada Mas- yarakat Suku Baduy Perbatasan di Provinsi Banten” mendapati: Dalam keper- cayaan Orang Baduy, meskipun mereka saat ini sudah banyak berubah karena disebabkan pelanggaran adat atau pikukuh Baduy; seperti perubahan identitas agama, akan tetapi dalam kepercayaan Baduy mereka tetaplah satu kasatuan yang utuh. Orang Baduy masih meyakini bahwa mereka adalah berasal dari satu keturunan yang tidak boleh terpecah hanya karena berbeda status atau keper- cayaan. Lebih lanjut, dalam kepercayaan Orang Baduy, saudara tetaplah sauda- ra dan tidak akan berubah dan terputus sampai kapanpun meskipun meraka mengalami perubahan termasuk dalam hal kepercayaan beragama. Selanjutnya penelitian Maharani, 2009, “Perempuan dalam Kearifan Lokal Suku baduy” mendapati, bahwa: Suku Baduy terbagi atas Baduy Dalam dan Baduy Luar. Suku ini memegang teguh prinsip untuk mempertahankan alam, hidup bersama

secara harmonis, dan hidup dengan mematuhi adat. Baduy mengenal pikukuh (kepatuhan): “Lonjor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Artinya mas- yarakat Baduy tidak ingin berbuat sesuatu yang dapat merusak alam. Kearifan Suku Baduy terlihat dalam keunikan-keunikan yang dimilikinya. Misalnya: membangun rumah dengan bentuk dan ukuran yang sama, pakaian yang ser- agam, tidak menggunakan teknologi, tidak menggunakan bahan-bahan kimia, memiliki alat makan dengan jumlah sesuai dengan anggota keluarga. Masyarakat Suku Baduy juga berbuat baik dan patuh terhadap aturan adat, seperti tidak men- genakan alas kaki, dan bepergian dengan berjalan kaki, Mereka percaya bahwa kalau terjadi pelanggaran, pasti akan mengalami musibah atau kesulitan dalam hidup. Baduy mengenal perkembangan berkelanjutan melalui pelestarian alam- nya. Selanjutnya penelitian Permana, dkk. 2011. Dengan judul: “Kearifan Lo- kal Tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat Baduy” mendapati: Hampir seti- ap masyarakat memiliki kearifan lokal yang khas sebagai strategi adaptasi terh- adap lingkungan. Dengan kearifan tersebut suatu masyarakat dapat bertahan dan berhasil menjalani kehidupannya dengan baik. Strategi untuk keberhasilan dalam kehidupan suatu masyarakat itu tidak terlepas dari kepercayaan dan adat- istiadat yang diajarkan dan dipraktikkan secara turun- temurun dari generasi ke generasi. Pada masyarakat Baduy yang hingga saat ini hidup dan menjalani kehidupannya secara bersahaja, tetap memegang kuat kepercayaan dan adat-istiadatnya dengan penuh kearifan. Salah satu kearifan lokal masyarakat Baduy itu adalah berkaitan dengan pencegahan terjadinya bencana (mitigasi bencana). Masyarakat Baduy melalui kearifan lokalnya terbukti mampu melakukan pencegahan (mitigasi) bencana, baik dalam tradisi perladangannya, bangunan-bangunan tradisionalnya, maupun dalam kaitannya dengan hutan dan air. Nur Hadi, dalam penelitiannya berjudul “Aplikasi Pendidikan untuk Semua (PUS) pada Masyarakat Adat Bali Aga di Terunyan”, 2013 mendapati bahwa masyarakat Desa Adat Terunyan su- dah mengintegrasikan keberadaan lembaga pendidikan dalam kehidupan sosial mereka secara utuh dan nyata. Di samping itu pendidikan formal telah member- ikan kontribusi terhadap terbukanya masyarakat, walaupun tidak selalu secara positif berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi mereka sebagai petani.

BAGIAN ISI A. Kebudayaan petani suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, sebagai suku tradisional Suku Baduy terdiri dari dua strata, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Dik- hotomi ini berdasarkan atas ketaatan mereka terhadap adat istiadat Baduy, atau pikukuh Baduy. Baik komunitas Baduy Dalam maupun Luar masih menjalankan beberapa ritual terkait dengan kehidupan mereka sebagai petani. Upacara-upaca- ra tersebut seperti Ngalaksa, Seba, dimana antara komunitas Baduy yang berag- ama Sunda Wiwitan dan komunitas Baduy Muslim kerap secara bersama-sama melakukan ritual tersebut. Suku Baduy yang mendiami wilayah di kaki Gunung Kendeng Propinsi Banten, adalah suku yang terbentuk karena perjalanan historis yang unik. Mereka masih memegang teguh nilai-nilai tradisi yang mereka wariskan dari waktu ke waktu. Keadaan lingkungan alam yang jauh dari pusat keramaian dan kontak budaya yang kurang dengan masyarakat asing, menyebabkan terbentuknya konserva- tisme budaya dalam waktu lama. Masuknya modernitas ke dalam suku tersebut akan memicu suatu perubahan budaya. Masuknya pengaruh teknologi transportasi, informatika, dan telekomunikasi, akan berakibat pada suku atau komunitas di berbagai tempat, termasuk yang jauh dan terpencil, akan mengalami perubahan. Hal ini tidak terkecuali terjadi pada Suku Baduy. Mereka mendiami wilayah pedalaman, di Desa Kanekes, yang ter- letak di kaki pegunungan Kendeng. Kemajuan teknologi yang terjadi secara ak- seleratif dan diperlukan dalam upaya pembangunan masyarakat setempat akan mengenalkan banyak aspek modernitas dan mempengaruhi budaya mereka. Ha- sil penelitian Maharani, 2009, “Perempuan dalam Kearifan Lokal Suku baduy” mendapati, bahwa: Suku Baduy terbagi atas Baduy Dalam dan Baduy Luar. Suku ini memegang teguh prinsip untuk mempertahankan alam, hidup bersama secara harmonis, dan hidup dengan mematuhi adat. Baduy mengenal pikukuh (kepatu- han): “Lonjor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Artinya masyarakat Baduy tidak ingin berbuat sesuatu yang dapat merusak alam. Kearifan Suku Baduy ter- lihat dalam keunikan-keunikan yang dimilikinya. Misalnya: membangun rumah dengan bentuk dan ukuran yang sama, pakaian yang seragam, tidak menggu-

nakan teknologi, tidak menggunakan bahan-bahan kimia, memiliki alat makan dengan jumlah sesuai dengan anggota keluarga. Masyarakat Suku Baduy juga berbuat baik dan patuh terhadap aturan adat, seperti tidak mengenakan alas kaki, dan bepergian dengan berjalan kaki, Mereka percaya bahwa kalau terjadi pe- langgaran, pasti akan mengalami musibah atau kesulitan dalam hidup. Baduy mengenal perkembangan berkelanjutan melalui pelestarian alamnya. Dari hasil kajian lapangan yang telah dilakukan didapati kenyataan bahwa ti- dak sepenuhnya fenomena yang diangkat dari hasil penelitian Maharani (2009) tersebut ada atau ccocok dengan bukti yang ada kini. Generasi muda Tengger memang terlihat mencolok keberadaannya dengan pakaian mereka yang sama, namun ketika diperhatikan jenis makanan yang mereka beli di beberapa warung, seperti di daerah Cijahe (pintu masuk menuju Baduy Dalam Cikeusik), Nampak beberapa makanan baru pabrikan. Secara fisik mereka terlihat bersama dengan identitas Baduy, dengan pakaian dominan putih (untuk Baduy Dalam), dan biru hitam (untuk Baduy Luar), namun dari sisi psikis nampak daya tarik modernitas sangat kuat dan mempengaruhi mereka. Banyak dari mereka yang pergi berbe- lanja ke pasar-pasar yang jauh dari pemukiman dengan menggunakan angkutan umum. Hal ini terlihat sangat mencolok dari perbedaan penampilan mereka den- gan pengguna angkutan dari komunitas luar Baduy. Bepergian dengan berjalan kaki nampaknya hanya menunggu waktu akan mereka tinggalkan. B. Keberadaan pendidikan sosial pada suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Pendidikan bertujuan untuk “mewujudkan pendidikan bagi semua warganeg- ara di setiap masyarakat”. Pelaksanaan pendidikan tersebut merupakan tanggu- ngjawab bersama yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan dimulai dari dalam kandungan, masa kanak-kanak, hingga dewasa. Pelaksanaan pendidikan akan selalu berlangsung secara formal (di sekolah), pendidikan non-formal (pen- didikan luar sekolah), dan pendidikan informal (pendidikan di dalam keluarga). Pendidikan kemasyarakatan terdiri dari: (1) PAUD, anak umur 0-6 tahun, seperti play group, TK, dan yang sederajat; (2) Pendidikan dasar dan menengah, seperti SD, SMP, dan yang sederajat termasuk Kejar Paket; (3) Pendidikan kecakapan hidup (life skill) merupakan bentuk pendidikan keterampilan hidup sehingga

mampu menghadapi tantangan hidup seperti magang, pelatihan kejuruan, dan pendidikan keterampilan di sekolah; (4) Pendidikan keaksaraan dan berkelan- jutan merupakan pendidikan melek huruf dari anak sampai orang dewasa yang berkelanjutan, khususnya di tingkat Dikdas 9 tahun; (5) Pendidikan berkeadilan gender merupakan pendidikan yang tidak membedakan antara laki dan perem- puan dalam hal PBM, bahan/materi pelajaran, dan pengembangan kurikulum pendidikan; (6) Mutu pendidikan, dalam pelaksanaan pendidikan harus memper- hatikan mutu input, proses, produk, dan out come (luaran). Pendidikan yang dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia memiliki tu- juan untuk: (1) dijadikan investasi bagi bangsa dan negara; (2) semua masyarakat dapat melek huruf; (3 )mengentaskan kemiskinan dan percepatan pembangunan bangsa dan negara; (4) mengikutsertakan masyarakat dalam merumuskan, melak- sanakan, dan memantau pelaksanaan pendidikan; (5) memenuhi pendidikan bagi masyarakat dan membantu berbagai pemecahan permasalahan yang ada dalam kehidupant; (6) memahami persamaan gender dalam pendidikan, terjadinya pe- rubahan sikap dan nilai terhadap kesamaan gender; (7) menciptakan lingkungan pendidikan yang berkualitas dan meningkatkan profesionalisme para guru. Pada banyak masyarakat yang terpencil terdapat beberapa kondisi yang terjadi yaitu pelibatan anak secara dini dalam kegiatan aktivitas ekonomi cend- erung menghambat perkembangan mereka secara wajar dan bahkan tidak mus- tahil merugikan keselamatan dan masa depan anak itu sendiri. Namun karena tekanan ekonomi, kurangnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting pen- didikan, pengaruh lingkungan, menyebabkan anak sekolah harus menanggung beban bekerja mencari nafkah layaknya orang dewasa. Sebagian anak mungkin sekedar membantu orang tua di rumah dengan jam kerja yang tidak terlalu lama. Namun tidak sedikit anak, dengan usia mereka yang masih belia harus bekerja di sektor publik, menjadi buruh atau menjadi migran, mengadu nasib mencari nafkah di kota yang acapkali kehidupannya sangat keras. Selanjutnya dijumpai pula bahwa masalah kebudayaan di tempat di mana anak didik berada merupakan suatu problema yang tidak mudah dipecahkan. Hal itu karena ada sementara masyarakat yang berpendapat bahwa anak tidak per- lu memperoleh pendidikan. Lebih baik mereka bekerja dan mendapatkan uang. Pendapat lain yang menyatakan bahwa bekerja adalah proses “pendidikan” atau

sebagai proses sosialisasi. Faktor lain yang tidak kalah penting yang menye- babkan anak berhenti sekolah adalah faktor kemiskinan, keterbelakangan, dan disfungsi keluarga. Faktanya, ada anak didik yang berhenti sekolah tidak terle- pas dari keadaan sosial ekonomi keluarga yang selalu dililit kemiskinan. Seperti diketahui bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana peningkatan kualitas kehidupan anak di masa mendatang. Namun demikian, masih banyak di dalam masyarakat yang memandang bahwa pendidikan kurang penting dan cenderung mengarahkan anaknya untuk bekerja dan memperoleh uang. Selain itu, adanya disfungsi keluarga dan sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa sekolah membutuhkan biaya yang tinggi. Terutama pada komunitas adat atau suku, ser- ingkali kesadaran pentingnya pendidikan (baik formal maupun non formal) relat- if rendah. Hal ini untuk sebagian disebabkan oleh pandangan masyarakat tentang arti pendidikan bagi kepentingan ekonomis secara langsung dalam kehidupan suku sangat rendah. Pada pelaksanaan pendidikan di masyarakat diperlukan adanya sinergi pendekatan dan strategi untuk meningkatkan kualitas sekolah dan mutu pendi- dikan anak, dengan melakukan hubungan kolaboratif antara sekolah dan mas- yarakat di sekitarnya (school community collaboration to improvement model). Model semacam itu harus memperhatikan pendekatan kolaborasi dengan komu- nitas masyarakat di sekitar sekolahan baik secara struktural maupun meningkat- kan kesadarannya (Cotton, 1990.b:8-10). Komunitas Baduy, sebagaimana komunitas-komunitas lainnya melak- sanakan pendidikan sosial kepada generasi muda Baduy dalam upaya melakukan pewarisan budaya, segenap nilai dan norma, lewat sosialisasi yang mereka laku- kan. Namun menyangkut pendidikan formal, anak-anak Baduy, termasuk Baduy Luar dilarang ikut/ masuk sekolah formal. Hal ini didasari alasan bahwa nanti jika mereka sekolah akan pintar, dan akan memintari (menipu) orang tuanya. Namun sesungguhnya banyak di antara generasi muda Baduy yang ingin me- masuki sekolah formal. Dalam praktek hidup keseharian dan dalam kehidupan sosial mereka sesungguhnya telah berlangsung pendidikan sosial dan pendidikan komunitas adat. Setiap komunitas akan menyeelenggarakan pendidikan, baik formal, non formal maupun in formal, sebab pendidikan tidak pernah terpisah dengan ke-

hidupan manusia, pendidikan adalah khas milik dan alat manusia (Pidarta, 2007). Anak-anak pertama kali mendapatkan pendidikan dari orang tuanya dan keti- ka anak- anak itu sudah dewasa dan berkeluarga, mereka juga akan mendidik anak-anaknya. Saripudin (2008) dengan mendasarkan pendapat Coombs, menyatakan bahwa sistem belajar asli (indigenous learning system) adalah sistem belajar yang digunakan masyarakat tradisional sebagai upaya mempertahankan dan me- melihara sistem sosial masyarakat demi kelangsungan hidupnya. Sistem belajar asli secara tradisional digunakan untuk memenuhi keperluan-keperluan praktis dan untuk meneruskan warisan sosial budaya dan keterampilan serta teknologi masyarakat pedesaan dari generasi ke generasi. Di samping itu sistem belajar asli dalam masyarakat tradisional memiliki kekuatan sendiri. Secara minimum, ada enam kebutuhan belajar yang esensial, yaitu; (1)sikap positif terhadap kerja sama sesama manusia, (2)kemampuan membaca dan berhitung yang fungsional, (3)memiliki pandangan ilmiah dan pengertian dasar proses terhadap alam, (4) pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk mendapatkan penghasilan, (5) pengetahuan dan keterampilan untuk menghidupkan keluarga, (6)pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk partisipasi warga negara dalam kehidupan nasional. C. Jalinan keberadaan pendidikan sosial dan modernisasi mewarnai budaya suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Masuknya teknologi transportasi, informatika, dan telekomunikasi, memberi- kan banyak pengaruh pada Suku Baduy, mengenalkan banyak aspek modernitas, serta, memberikan warna baru pada budaya mereka, seperti munculnya komuni- tas baru di luar Baduy Dalam dan Baduy Luar, yaitu Baduy Muallaf. penelitian Kesuma, Tahun 2013, dengan judul “Kerukunan Umat Beragama dan Resolusi Konflik Studi Kasus Umat Beragama pada Masyarakat Suku Baduy Perbatasan di Provinsi Banten” mendapati: Dalam kepercayaan Orang Baduy, meskipun mereka saat ini sudah banyak berubah karena disebabkan pelanggaran adat atau pikukuh Baduy; seperti perubahan identitas agama, akan tetapi dalam kepercayaan Baduy mereka tetaplah satu kasatuan yang utuh. Orang Baduy ma- sih meyakini bahwa mereka adalah berasal dari satu keturunan yang tidak boleh

terpecah hanya karena berbeda status atau kepercayaan. Lebih lanjut, dalam ke- percayaan Orang Baduy, saudara tetaplah saudara dan tidak akan berubah dan terputus sampai kapanpun meskipun meraka mengalami perubahan termasuk da- lam hal kepercayaan beragama. Penelitian Permana, dkk. 2011. Dengan judul: “Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat Baduy” mendapati: Hampir setiap mas- yarakat memiliki kearifan lokal yang khas sebagai strategi adaptasi terhadap lingkungan. Dengan kearifan tersebut suatu masyarakat dapat bertahan dan ber- hasil menjalani kehidupannya dengan baik. Strategi untuk keberhasilan dalam kehidupan suatu masyarakat itu tidak terlepas dari kepercayaan dan adat- istiadat yang diajarkan dan dipraktikkan secara turun- temurun dari generasi ke generasi. Pada masyarakat Baduy yang hingga saat ini hidup dan menjalani kehidupannya secara bersahaja, tetap memegang kuat kepercayaan dan adat-istiadatnya dengan penuh kearifan. Salah satu kearifan lokal masyarakat Baduy itu adalah berkaitan dengan pencegahan terjadinya bencana (mitigasi bencana). Masyarakat Baduy melalui kearifan lokalnya terbukti mampu melakukan pencegahan (mitigasi) bencana, baik dalam tradisi perladangannya, bangunan-bangunan tradisionalnya, maupun dalam kaitannya dengan hutan dan air. Dari hasil kajian lapangan yang kami lakukan terlihat bahwa tidak sepenuhnya tradisi tersebut menyelamatkan mereka. Apa yang terjadi Pada hari Kamis, 12 September 2019, yaitu kebakaran hebat yang melanda perkampungan suku Baduy di Kampung Kadugeude, Desa Kanekes, Kabupaten Leuedamar, membuka pemikiran banyak pihak. Sekitar 38 rumah warga, barang-barang berharga milik warga, seperti 75 lumbung padi, dan 1 saung lisung ludes terbakar, serta seorang warga, bernama Jakam menderita luka bakar. Kebakaran terjadi sekitar pk. 13.00 WIB, diduga disebabkan oleh sebuah tungku pemasakan gula aren, di salah satu rumah warga Baduy, bernama Sanip. Ketika saya melakukan kajian lapangan di kampung Baduy Dalam, tepat- nya di kampung Cikeusik, saya melihat sendiri kemungkinan terjadi kebakaran jika dilihat dari posisi tungku untuk memasak yang berada di dalam rumah. Mas- yarakat Baduy memasak masih dengan cara tradisional, menggunakan tungku api, yang berada di dalam rumah, diletakkan di atas balai-balai yang terbuat dari bambu. Di bagian atas balai-balai itu juga digunakan untuk menyimpan kayu

bakar. Saya sempat berpikir, jika kondisi kayu bakar masih hidup atau terlihat padam tapi sebenarnya masih hidup, apa tidak berbahaya jika ditinggal pergi? Apa yang terjadi di Baduy mengajarkan kita, bahwa rumah-rumah adat yang dibuat memang tahan terhadap guncangan gempa, tapi tidak terhadap api. Dalam kejadian di Baduy, api dengan sangat cepat merembet, karena jarak antar rumah sangat berdekatan, serta bahan rumah yang terbuat dari bahan yang mudah terba- kar, bentuk rumah panggung terbuat dari kayu dan anyaman bambu beratapkan jerami atau rumbia, juga karena tiupan angin yang sangat kencang, sehingga api sulit dipadamkan. Kebakaran bermula dari rumah Jakam, yang ketika kebakaran terjadi berada di kebun beserta seluruh keluarganya. Warga sudah bahu membahu untuk memadamkan api dengan peralatan seadanya, namun sulit dipadamkan. Di samping itu, saat ini adalah puncak musim kemarau, di mana hampir semua bahan-bahan mengering karena sudah sangat lama tidak turun hujan.

PENUTUP/ KESIMPULAN Kebudayaan petani suku Baduy sebagai suku tradisional. Suku Baduy terdiri dari dua strata, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Dikhotomi ini ber- dasarkan atas ketaatan mereka terhadap adat istiadat Baduy, atau pikukuh Baduy. Baik komunitas Baduy Dalam maupun Luar masih menjalankan beberapa rit- ual terkait dengan kehidupan mereka sebagai petani. Upacara-upacara tersebut seperti Ngalaksa, Seba, dimana antara komunitas Baduy yang beragama Sunda Wiwitan dan komunitas Baduy Muslim kerap secara bersama-sama melakukan ritual tersebut. Keberadaan pendidikan sosial pada suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Komunitas Baduy, sebagaimana komunitas-komunitas lainn- ya melaksanakan pendidikan sosial kepada generasi muda Baduy dalam upaya melakukan pewarisan budaya, segenap nilai dan norma, lewat sosialisasi yang mereka lakukan. Namun menyangkut pendidikan formal, anak-anak Baduy, ter- masuk Baduy Luar dilarang ikut/ masuk sekolah formal. Hal ini didasari alasan bahwa nanti jika mereka sekolah akan pintar, dan akan memintari (menipu) orang tuanya. Jalinan keberadaan pendidikan sosial dan modernisasi mewarnai budaya suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Masuknya teknologi trans- portasi, informatika, dan telekomunikasi, memberikan banyak pengaruh pada Suku Baduy, mengenalkan banyak aspek modernitas, serta, memberikan warna baru pada budaya mereka, seperti munculnya komunitas baru di luar Baduy Da- lam dan Baduy Luar, yaitu Baduy Muallaf.

IMPLIKASI Tradisi budaya Baduy sangat perlu dilestarikan, terutama yang dapat memberikan nilai lebih atau nilai tambah bagi keuntungan masyarakat setempat. Hal itu misalnya terhadap larangan penggunaan baraang elektro di Baduy Da- lam, juga larangan penggunaan sabun dan samphoo untuk mandi. Hal ini akan memberikan tantangan dan sensasi tertentu bagi masyarakat luar Baduy yang menginginkan suasana berbeda ketika berada di komunitas Baduy. Hal tersebut akan menguntungkan komunitas Baduy. Namun dalam tradisi pembangunan dan pemanfaatan rumah mereka terhadap mitigasi bencana terdapat perubahan-peru- bahan. Penggunaan bahan-bahan alam dan larangan penggunaan barang logam, akan menghindarkan mereka dari resiko bencana gempa, namun tidak terhadap ancaman kebakaran. Diperlukan modifikasi-modifikasi tertentu terhadap mas- alah ini demi kemaslahatan mereka ke depan. DAFTAR RUJUKAN Biro Pusat Statistik, 1998, Indonesia Dalam Angka, Biro Pusat Statistik, Jakarta. Budiman, A. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pusta- ka Utama. Cotton, Kathleen, 1990.b, School-Community Collaboration to Improve the Quality of Life for Urban Youth and Their Families, dalam School Improvement Research Series, pp1-28. Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2003, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Konsep Dasar, Departemen Pendidikan Nasional; Di- rektorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah; Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta. Dube, S.C. 1988. Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms. London: Zed Books Ltd. Fakih, M. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press. Hadi, N. Dkk. 2013. Aplikasi Pendidikan untuk Semua (PUS) pada Masyarakat Adat Bali Aga di Terunyan. Malang: LP2M dan FIS UM. Hefner, R. W. 1990. The Political Economy of Mountain Java An Interpretive History. Barkeley and Los Angeles, California: University of California Press.

Ibrahim, T.J. 2002. Sosiologi Pedesaan. Malang: UMM. Kesuma, A.S. 2013. Kerukunan Umat Beragama dan Resolusi Konflik Studi Ka- sus Umat Beragama pada Masyarakat Suku Baduy Perbatasan di Provinsi Bant- en” Jurnal TAPIs Vol.9 No.2Juli-Desember 2013. Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Le- rner, D. 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta: Gadjamada University Press. Maharani, S. D. 2009, “Perempuan dalam Kearifan Lokal Suku baduy” Jurnal Filsafat Vol.19, Nomor 3, Desember 2009. Marzali, A. 2007. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana. Masinambow, E.K.M. 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Ja- karta: Yayasan Obor Indonesia. Mils, M.B dan Huberman. A.M. 2002. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Moleong, L. J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nasution. S. 1998. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Pahmi. 2010. Perspektif Baru Antropologi Pedesaan. Jakarta: GP Press. Permana, dkk. 2011. Dengan judul: “Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat Baduy” Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 15. No. 1. Juli 2011. Pidarta, M. 2007. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Pratjaja, A. Dkk. 1997/1998. Makna Kehidupan Industri Terhadap Moralitas Budaya Masyarakat Tengger di Kabupaten Probolinggo. Malang: Puslit IKIP Malang. Sairin, S. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: Perspektif Antropolo- gi. Pustaka Pelajar. Saripudin, D. 2008. Pendidikan Yang Berwawasan Lingkungan Masyarakat Ter- asing: Beberapa Pengalaman di Indonesia. Makalah disajikan dalam Internation- al Conference Indigenous Pedagogies, Malaysia, 10-12 Nopember 2008. Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi: P engantar Sosiologi Pembangunan Nega-

ra-Negara Sedang Berkembang. Jakarta: PT. Gramedia. Soekanto, S. 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Soekmono. 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Jilid 1, 2 dan 3. Yogyakarta: Kanisius. Spradley, J. P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sumartini, S. Dkk. 2009/2011. Pedoman Model Toleransi Kehidupan Beragama dari Pengalaman Sosial Budaya Komunitas Tengger, Desa Ngadas, Kabupaten Malang. Malang: Lemlit UM. Suseno. F.M. 2003. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sutarto, A dan Sudikan, S.Y. (Eds). 2004. Pemetaan Kebudayaan Di Provinsi Jawa Timur: Sebuah Upaya Pencarian Nilai-Nilai Positif. Jember: Biro Mental Spritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan KOMPYAWISDA JATIM. Wirdateti, dkk. 2005. Pakan dan Habitat Kukang (Nycticebus coucang) di Hutan Lindung Perkampungan Baduy, Rangkasbitung-Banten Selatan”Feeding and habitat of slow Loris (Nycticebus coucang) in Badui Tribe conservation forest, Rangkasbitung-south Banten” Jurnal B I O D I V E R S I T A S Volume 6, Nomor 1Januari 2005Halaman: 45-49. Surakarta.  


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook