Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Tanah Warisan_01

Tanah Warisan_01

Published by stepsmp8, 2023-01-19 15:11:53

Description: Tanah Warisan_01

Search

Read the Text Version

laku dan perbuatan baik.‖ Kemudian terngiang kembali kata-kata ibunya, ―Kenapa kau pelajari ilmu semacam itu?‖ Ayahmu juga mempelajari ilmu semacam itu dahulu. Bramanti itu terkejut ketika ia mendengar Temunggul membentaknya, ―He, kenapa kau tidur? Ayo, sebut, senjata apakah yang kau kehendaki.‖ Tetapi Bramanti menggelengkan kepalanya, ―Aku tidak ingin berkelahi, karena aku memang tidak mampu melakukannya. ―Persetan,‖ Temunggul menjadi jengkel. ―Melawan atau tidak melawan Suwela akan menyerang kau dengan caranya dan bersungguh-sungguh. Aku akan menghitung sampai bilangan kesepuluh. Ayo cepat sebut senjata yang kau kehendaki. Jangan membuat nama ayahmu tercemar. Ayahmu adalah seekor serigala yang disegani di Kademangan ini lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Aku masih ingat, 151

betapa ia seorang yang gagah perkasa. Kenapa kau kini menjadi pengecut dan bahkan banci?‖ Bramanti tidak dapat menjawab. Karena itu ia terdiam. ―Cepat,‖ teriak Temunggul. Ki Jagabaya yang telah beringsut mengurungkan niatnya untuk berdiri, karena Ki Demang menggamitnya, ―Biarlah saja,‖ berkata Ki Demang. Ki Jagabaya menggeram. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Bramanti akhirnya tidak dapat mengelak lagi. Ketika Temunggul membentaknya sekali lagi ia menjawab, ―Kalau aku terpaksa melakukannya, terserahlah kepada Suwela, senjata apakah yang dikehendakinya.‖ ―Bagus,‖ sahut Temunggul yang kemudian bertanya kepada Suwela. ―Senjata apa yang kau kehendaki?‖ ―Cambuk,‖ sahut Suwela sambil tersenyum. 152

Temunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum pula. ―Bagus. Kalian akan memakai cambuk.‖ ―Tidak,‖ tiba-tiba Ki Jagabaya berteriak. ―Terlampau berbahaya bagi Bramanti.‖ ―Sudahlah Ki Jagabaya,‖ cegah Ki Demang, ―Jangan campuri persoalan anak-anak.‖ Ki Jagabaya terdiam. Namun ia masih berkumat-kamit. Sementara itu, Temunggul telah memberikan sebuah cambuk kepada Suwela dan sebuah kepada Bramanti sambil berkata, ―Nah, kalian akan segera bertanding sebagai anak laki-laki. Bukan anak-anak cengeng. Karena itu tidak boleh menangis dan berlindung kepada ibu masing-masing.‖ Terdengar suara tertawa tertahan di antara para penonton. Namun karena mereka melihat Temunggul tertawa, akhirnya suara tertawa itu pun meledak. Suara tertawa di seputar arena terasa seperti percikan bara api di telinga 153

Bramanti. Tetapi sekali lagi mencoba menahan hatinya. ―Kalau aku membuat kesalahan, aku akan di usir dari Kademangan ini. Aku akan kehilangan tanah kelahiran yang tercinta ini, dan ibu pun akan semakin menderita,‖ katanya di dalam hati. Karena itu maka ia telah berjuang untuk mengambil suatu keputusan, bahwa ia tidak akan melawan.‖ Sejenak kemudian maka Temunggul telah melangkah surut sambil berkata, ―Aku akan menghitung sampai tiga. Kemudian kalian akan mulai dengan pertandingan itu. Sejenak kemudian terdengar Temunggul mulai menyebut urutan bilangan itu. ―Satu, dua, tiga.‖ Berbareng dengan terkatubnya mulut Temunggul, terdengar-lah cambuk Suwela meledak sehingga Bramanti terkejut karenanya dan meloncat selangkah surut. Sikap Bramanti itu telah meledakkan tawa sekali lagi di seputar arena. Namun kali ini hati Bramanti tidak lagi menjadi panas, 154

karena justru ia telah menemukan keputusan. ―He, jangan lari,‖ desis Suwela sambil melangkah maju, sedang Bramanti terus- menerus bergeser mundur, melingkar dan kemudian meloncat. Suwela tertawa, dibarengi oleh suara tertawa orang-orang yang melihat pertunjukan itu. ―‖Aku akan mulai Bramanti,‖ berkata Suwela. ―Terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan.‖ Bramanti tidak menyahut. Tetapi tangannya menjadi gemetar dan ujung cambuknya diseretnya di atas tanah yang berdebu. Tetapi agaknya Suwela benar-benar akan mulai. Di angkatnya tangkai cambuknya, kemudian sekali lagi menggelepar di udara sambil melontarkan bunyi yang memekakkan telinga. Meskipun ujung cambuk itu belum menyentuh tubuhnya, namun Bramanti telah mengerutkan keningnya. 155

Dan tiba-tiba saja cambuk itu menggelepar sekali lagi di susul oleh suara keluhan terdengar. Bramanti meloncat beberapa langkah mundur sambil menyeringai kesakitan. Seleret jalur merah telah membekas ditengkuknya. ―He anak Pruwita, kenapa kau menangis he?‖ ―Ayo, lawanlah Suwela,‖ teriak yang lain. Bramanti menggigit bibirnya sambil meraba jalur merah di tubuhnya itu. Tetapi Suwela seolah-olah tidak tahu, bahwa Bramanti sedang menyeringai kesakitan. Perlahan-lahan ia melangkah mendekat sambil menggerak-gerakkan tangkai cambuknya. Bramanti menjadi semakin terdesak mundur. Tetapi pada suatu saat ia tidak dapat mundur lagi. Bahkan beberapa anak- anak muda yang berdiri di seputar arena itulah mendorongnya maju. Pada saat Bramanti sedang terhuyung- huyung karena dorongan anak-anak muda 156

di belakangnya sambil menyorakinya, sekali lagi cambuk Suwela meledak. Kini punggung Bramanti lah yang merasa disengat oleh ribuan lebah. Tetapi agaknya Suwela masih belum puas. Sesaat kemudian terdengar cambuk itu terdengar Bramanti berteriak kesakitan. Sekali lagi Suwela tertawa terbahak-bahak dibarengi oleh orang-orang yang menonton di seputar arena. ―Ayo anak Pruwita. Kalau kau ingin membalas dendam, sekarang adalah saat yang paling baik. Ayah-ayah kami ingin melihat, apakah anak Pruwita mampu berbuat seperti ayahnya.‖ bersambung ke jilid 2 —–oSPo—– 157


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook