Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Tanah Warisan_01

Tanah Warisan_01

Published by stepsmp8, 2023-01-19 15:11:53

Description: Tanah Warisan_01

Search

Read the Text Version

―O,‖ orang itu menyambungnya. ―Itukah anakmu yang bernama Bramanti? Ia sudah cukup dewasa. Tubuhnya kekar dan utuh. Ia sudah pantas mewakili ayahnya untuk melepaskan dendamnya kepada kami.‖ Nyai Pruwita terperanjat mendengar kata- kata itu. Bramanti pun tidak kalah terperanjat pula. Tetapi segera ia menekan perasaan itu. Sehingga ia sama sekali tidak beringsut dari tempat duduknya. ―Kalian salah,‖ Nyai Pruwita hampir berteriak. ―Anakku sama sekali tidak membawa dendam. Ia pulang oleh kerinduannya kepada ibunya, kepada rumah dan halamannya dan kepada tanah kelahiran. Ia pulang karena ia mencintai semuanya itu. Sama sekali bukan diseret oleh perasaan dendam.‖ Seorang anak muda melangkah maju sambil tertawa. Dipandanginya wajah Bramanti yang kemerah-merahan oleh sinar lampu minyak yang redup. ‖Kau banyak berubah Bramanti. Tetapi aku 51

masih tetap mengenalimu. Tetapi bukan saja kau yang tumbuh menjadi besar, tetapi anak-anak yang sebaya dengan kau, kawan-kawanmu bermain di Kademangan ini pun telah tumbuh pula sebesar kau.‖ Bramanti berpaling. Dilihatnya wajah anak muda itu sekilas. Kemudian perlahan-lahan ia berdiri sambil menjawab, ―Ya, kalian telah menjadi besar pula. Bahkan lebih besar dari aku.‖ ―Dan orang-orang tua kami disini sudah menjadi bertambah tua. Tetapi jangan kau sangka bahwa kau akan dapat membalas dendam kepada mereka. Sebab pada umumnya mereka pun mempunyai anak laki-laki seperti ayahmu mempunyai anak laki-laki.‖ ―Maksudmu, kalau aku ingin membalas dendam, maka aku akan berhadapan dengan anak-anak muda kawanku bermain dahulu?‖ ―Ya.‖ 52

―Kau keliru. Ibuku sudah mengatakan, bahwa aku sama sekali tidak pulang karena didorong oleh perasaan dendam. Apa yang dapat aku lakukan atas kalian disini. Aku hanya seorang diri. Bahkan seperti katamu, bahwa anak-anak muda disinipun telah tumbuh pula menjadi dewasa. Apakah yang dapat aku lakukan? Pembalasan dendam bukan suatu penyelesaian bagiku. Aku tidak ingin hidup dalam kegelisahan seperti ayah. Aku ingin hidup tenteram bersama ibuku yang telah tua. Aku ingin berbuat sesuatu yang baik bagiku, bagi keluargaku dan apabila mungkin bagi Kademangan ini.‖ Tiba-tiba anak muda itu tertawa. Katanya, ―Setiap anak yang menyadari dirinya, ingin berbakti kepada orang tuanya. Apakah kau tidak akan berbuat demikian? Apakah kau tidak ingin membuat ayahmu tenteram di alam baka dengan melepaskan sakit hatinya?‖ 53

―Aku tidak berpendirian demikian. Aku berpendapat bahwa arwah ayahku tidak akan dapat disucikan dengan darah. Tidak. Darah hanya akan menambah bebannya di alam baka. Karena itu, aku tidak akan berbuat bakti dengan cara demikian. ―Ada dua kemungkinan,‖ tiba-tiba seorang setengah umur berkata, ―Bramanti seorang anak durhaka, yang tidak merasa perlu berbakti kepada orang tuanya, tahu ia mencoba menipu kami. Ia akan mencari kesempatan supaya kami menjadi lengah. Dalam kelengahan itulah ia akan dapat berbuat menurut kehendaknya.‖ ―Yang kedualah yang paling mungkin,‖ sahut suara yang lain. ―Kalau ia benar-benar anak durhaka, yang tidak merasa perlu berbakti kepada ayahnya, ia tidak akan datang kembali ke Kademangan ini. Ia akan tetap tinggal di rantau, apapun yang akan terjadi atasnya.‖ Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia mencoba menjelaskan, ―Aku 54

mencintai ibuku. Aku mencintai kampung halaman. Karena itu aku kembali.‖ ―Ah,‖ seorang yang tinggi berkumis melintang berkata, ―Kita tidak perlu mendengarkan kicauannya. Kita mendapat tugas menangkapnya. Melawan atau tidak melawan. Kita bawa saja anak ini menghadap Ki Demang. Terserah, apa yang akan dilakukannya atas anak ini.‖ ―Ya, itulah yang baik,‖ kata yang lain. ―Marilah, kita tangkap anak ini.‖ Orang yang berkumis itu maju mendekati Bramanti sambil berkata. ―Kami harus menangkapmu nak. Apakah kau akan melawan?‖ Bramanti memandang orang yang tinggi dan berkumis itu dengan sorot mata yang aneh. Bagi Bramanti orang yang tinggi dan berkumis ini memang aneh. Sikapnya agak lain dengan kawan-kawannya, meskipun pada dasarnya, ia akan menangkapnya pula. 55

Sejenak Bramanti tidak dapat menjawab. Namun kemudian terasa tangan ibunya meraba pundaknya, ―Bukankah kau tidak mendendam?‖ Bramanti mengangguk, ―Ya, aku memang tidak mendendam,‖ Kemudian kepada orang yang tinggi berkumis itu ia berkata, ―Aku tidak akan melawan. Aku sama sekali tidak akan mampu melawan kalian.‖ Belum lagi Bramanti selesai bicara, seorang anak muda yang berkulit kekuning- kuningan, bermata tajam dan berwajah tampan menarik tangannya kemudian mendorongnya, ―Ayo, kita pergi ke Ki Demang.‖ Bramanti terdorong beberapa langkah ke depan. Ketika ia berpaling, maka terdengar ia berdesis. ―Kau Temunggul.‖ ―Hem,‖ anak muda itu menggeram, ―kau masih ingat kepadaku.‖ ―Tentu. Aku dapat ingat hampir setiap anak disini.‖ ―Kau ingat peristiwa yang telah terjadi?‖ 56

―Ya.‖ ‖Nah, karena itulah, maka kami akan menangkapmu. Jangan mencoba melawan. Ayo, berjalanlah sendiri tanpa kami dorong- dorong. Bukankah kau masih ingat jalan ke Kademangan?‖ Bramanti memandang sekeliling. Disambarnya setiap wajah dengan sorot matanya. Kemudian dipandanginya wajah ibunya yang kecemasan. ―Tenanglah ibu,‖ berkata Bramanti. ―Aku percaya bahwa orang-orang Kademangan Candi Sari adalah orang yang baik, yang dapat membedakan antara yang jahat dan yang lurus. Karena itu, ibu jangan cemas tentang diriku. Aku akan segera kembali.‖ Dengan wajah yang suram ibunya mengangguk. Namun tampaklah betapa ia menyandang kecemasan di dalam hatinya. ―Ayo pergi,‖ sentak anak muda yang bernama Temunggul. Bramanti tidak menjawab. Dengan kepala tunduk ia pun kemudian berjalan diiringi 57

oleh beberapa orang dan anak-anak muda yang di antaranya membawa senjata di tangan mereka. Di Kademangan, ternyata beberapa orang telah bersedia menerimanya. Selain Ki Demang sendiri, beberapa orang perabot yang lain telah hadir pula. Ketika mereka melihat Bramanti memasuki halaman, maka sejenak mereka saling berpandangan. Kemudian, Ki Jagabaya yang bertubuh tinggi besar dan bermata tajam, berdiri dan melangkah perlahan- lahan menuruni tangga pendapa. ―Hem,‖ ia menggeram dalam nada yang berat, ―Kau Bramanti.‖ Bramanti menundukkan kepalanya, ―Ya Ki Jagabaya‖. ―Naiklah. Ki Demang menunggumu.‖ Bramanti pun kemudian naik ke pendapa dan duduk di atas sehelai tikar pandan yang kasar, menghadap Ki Demang yang duduk sambil memilin kumisnya. 58

―Aku tidak ingin Kademangan ini menjadi kisruh,‖ tiba-tiba terdengar suara Ki Demang berat. Bramanti tidak segera menjawab. Kepalanya masih menunduk dalam. ―Aku tahu, ayahmu mati terbunuh di Kademangan ini,‖ berkata Ki Demang kemudian. ―Setelah kau hilang beberapa tahun, maka tiba-tiba kau datang lagi. Seorang telah melihatmu dan melaporkannya kepadaku.‖ Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan serupa telah didengarnya lagi. Dendam. Orang-orang Kademangan ini pasti akan bertanya dan bahkan menuduhnya, bahwa ia menyimpan dendam di dalam hatinya. Bahwa kedatangannya itu telah didorong oleh perasaan dendamnya atas kematian ayahnya. Untuk kesekian kalinya ia terpaksa menjawab. Jawaban serupa pula. Seperti yang dikatakannya kepada ibunya, kepada 59

orang-orang yang datang ke rumahnya. Dan kini kepada mereka yang berada di Kademangan itu. Ternyata di antara sekian banyak orang, hanya ibunyalah yang dapat mempercayainya dengan tulus. Hampir setiap orang memandangnya dengan penuh curiga, seolah-olah ia adalah orang yang paling jahat yang pernah ditangkap oleh orang-orang Kademangan itu. Bahkan Ki Demang pun menggelengkan kepalanya sambil berkata, ―Kau bercerita tentang sesuatu yang tidak kau mengerti sendiri. Karena itu, maka ceriteramu seperti ceritera mimpi. Bramanti pun tidak menjawab. Apalagi yang dapat dikatakan, apabila orang-orang itu bersikap mutlak. ―Atau,‖ tiba-tiba Ki Jagabaya menyambung. ―Kau termasuk salah seorang dari murid- murid orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?‖ 60

Bramanti terkejut mendengar pertanyaan itu sehingga kepalanya menengadah, memandang wajah Ki Jagabaya yang tegang. ―Jawablah,‖ desak Ki Jagabaya. ―Sekar Jagat baru saja mengirimkan orang- orangnya kemari untuk memeras. Mereka seakan-akan tahu pasti, siapa-siapa yang memiliki benda-benda berharga disini. Apakah kau termasuk petugas sandinya yang harus menyelidiki Kademangan ini, dan kau mempergunakannya sebagai suatu cara untuk membalas sakit hatimu.‖ Dahi Bramanti berkerut ketika diingatnya orang berkuda yang dijumpainya di pinggir Kademangan ini, pada saat ia datang. Namun ia tidak segera bertanya. Dan didengarnya Ki Jagabaya berkata terus, ―Karena kau tidak mampu melakukan balas dendam itu sendiri, maka kau telah memperguakan cara yang kotor itu.‖ Bramanti tidak segera menjawab. Kini kembali kepalanya menunduk. Di cobanya 61

untuk mengingat-ingat, berapa orang dan siapa sajakah mereka yang telah menyebut dirinya murid-murid Panembahan Sekar Jagat itu. Tetapi Bramanti terkejut ketika tiba-tiba sebuah tangan yang kasar telah merenggut bajunya, ―Ayo, katakan tentang dirimu.‖ Ketika sekali lagi Bramanti mengangkat wajahnya, maka dilihatnya wajah Ki Jagabaya yang menyeramkan. ―Bukankah kau angota dari perampok itu?‖ Tergagap Bramanti menjadwab, ―Tidak Ki Jagabaya. Sama sekali tidak.‖ ―Lebih baik kau mengaku,‖ Ki Jagabaya mengguncang baju Bramanti, sehingga anak muda itu ikut terguncang pula. ―Tidak Ki Jagabaya. Aku tidak mengenal Panembahan Sekar Jagat.‖ ―Jangan bohong,‖ ternyata Ki Demang pun membentaknya. ―Tidak Ki Demang. Aku berkata sebenarnya. Aku baru saja datang dari jauh. Kalau yang Ki Demang maksudkan 62

orang-orang berkuda, maka aku memang menjumpai mereka itu di pinggir Kademangan ini.‖ ―Aku tidak bertanya tentang orang-orang berkuda itu. Kami di sini melihat sampai jemu. Bahkan di antara kami dipaksa untuk menyerahkan harta benda kami. Yang ingin kami ketahui, apakah kau termasuk dalam lingkungan mereka?‖ ―Tidak. Aku bersumpah,‖ jawab Bramanti. ―Tetapi katanya kemudian, ―Apakah Ki Demang tidak berhasil menangkap mereka.‖ ―Apa kau bilang? Menangkap?‖ Ki Jagabaya berteriak, ―Apa kau kira kami terlampau bodoh untuk menyerahkan leher kami karena sepotong benda yang kami anggap berharga.‖ ―Tetapi mereka hanya beberapa orang saja. Sedang aku lihat beberapa kuatnya kemampuan setiap laki-laki di Kademangan ini.‖ ―Apakah kau ingin menjebak kami he?‖ 63

―Sama sekali tidak Ki Jagabaya.‖ ―Apa kau kira, aku tidak ada kekuatan lain kecuali mereka yang datang kemari itu? Kau kira kami akan dapat melawan seandainya Panembahan Sekar Jagat itu marah dan turun ke Kademangan ini untuk menghukum kami?‖ ―Siapa Panembahan Sekar Jagat itu?‖ ―Pertanyaan yang bodoh. Tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya.‖ ―Kenapa kita tidak berani melawannya? Kita belum pernah mengenalnya. Dari siapa kita tahu, bahwa kita tidak akan dapat melawan kekuatan mereka. Apalagi kita mempertahankan hak kita sendiri.‖ Ki Jagabaya tidak segera menyahut. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah Ki Demang yang tegang. Namun sejenak kemudian Ki Demang itu berkata, ―Kau mengigau. Yang ingin kami ketahui, apakah kau salah seorang dari mereka?‖ ―Tidak Ki Demang.‖ 64

―Dan kau datang benar-benar tidak akan membuat onar Kademangan yang sedang dicengkam ketakutan ini?‖ ―Tidak Ki Demang. Aku tidak akan berani melakukan.‖ Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Setelah memandangi setiap wajah yang ada di pendapa Kademangan itu, maka kemudian ia berkata, ―Aku akan memberi kau kesempatan. Tetapi apabila kau membuat onar, maka kami tidak akan mengampuninya. Supaya kau tidak akan dapat mengganggu kami lagi untuk seterusnya, maka hukuman yang akan kami berikan adalah hukuman yang seberat-beratnya.‖ Ki Demang berhenti sejenak, lalu, ―Nah kau boleh pulang. Tetapi ingat, jangan berbuat sesuatu yang dapat mengantarmu ke lubang kubur. Kami tidak segan-segan bertindak terhadap siapapun yang melanggar tata tertib kehidupan di Kademangan ini.‖ 65

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk dalam-dalam ia berkata, ―Terima kasih Ki Demang. Aku akan mencoba mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Aku akan membuktikan, bahwa aku tidak mempunyai maksud sama sekali untuk mempersoalkan lagi apa yang telah terjadi. Apalagi menuntut balas.‖ ―Aku tidak perlu mendengar igauan itu. Aku hanya ingin melihat apa yang akan kau lakukan di sini. Sekarang pergilah.‖ ―Terima kasih Ki Demang. Aku minta diri.‖ Ki Demang menganggukkan kepalanya dengan acuh tak acuh. Ia sama sekali tidak memperhatikan lagi ketika Bramanti melangkah surut, kemudian berdiri meninggalkan pertemuan yang mendebarkan itu. Setelah memandang berkeliling, menembus kesuraman malam, maka ia pun segera turun ke halaman. Perlahan-lahan ia berjalan menyeberangi halaman yang luas. Sekali- 66

kali ia berpaling. Dilihatnya, di pendapa para pemimpin kademangan masih duduk melingkari lampu minyak. Tanpa sadar tiba-tiba dadanya berdesir ketika dilihatnya beberapa anak-anak muda berdiri di regol halaman Kademangan. Setiap mata mereka memandanginya dengan tajamnya. Seolah-olah ingin melihat langsung ke pusat jantungnya. Di bawah cahaya lampu di regol yang kemerah-merahan Bramanti melihat Tumenggul berdiri bertolak pinggang. Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu kenapa sikap Temunggul itu kini sangat menyinggung perasaannya. Temenggul adalah kawan bermain yang baik di masa kanak-kanak. Langkah Bramanti pun menjadi semakin lambat. Tetapi ia tidak berhenti. Dengan dada berdebar-debar ia maju semakin dekat. Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Bahkan ia 67

berkata di dalam hatinya, ―Mungkin aku terlampau berprasangka.‖ Karena itu, maka Bramanti pun melangkah terus. Berjalan di antara anak-anak muda yang berdiri tanpa beranjak sejengkal dari tempatnya. Sedang Bramanti pun sama sekali tidak berpaling pula. Bahkan kepalanya semakin menunduk ketika ia melangkah di depan Temunggul yang bertolak pinggang itu. Bramanti tidak sempat berbuat apapun juga, ketika hal itu terjadi dengan tiba-tiba. Ia merasa tangan Temunggul mendorong punggungnya. Sedang kakinya disilangkannya di hadapannya. Dengan demikian, maka Bramanti itu pun terdorong ke depan, namun karena kakinya terkait, maka ia pun terbanting jatuh tertelungkup. Bramanti masih mendengar anak-anak muda di regol itu serentak tertawa berkepanjangan. Beberapa di antara mereka tidak dapat menahan air matanya yang membasahi pelupuk. Yang lain lagi 68

terpaksa memegangi perutnya yang berguncang-guncang. ―Ayo cepat, cepat bangun anak manis,‖ terdengar Temunggul berdesis. ―Ayo bangunlah, meskipun belum pagi.‖ Bramanti mengatupkan mulutnya rapat- rapat. Sebagai seorang anak muda maka darahnya segera mendidih. Namun kemudian dikenangnya kata-kata gurunya dan bahkan ibunya. ―Jangan mendendam ngger.‖ ―Tetapi ini bukan soal dendam,‖ katanya di dalam hati. ―Aku telah dihinanya. Apakah aku akan tetap menundukkan kepala saja.‖ Yang kemudian diingatnya adalah kata-kata Ki Demang. ―Tetapi apabila kau berbuat sesuatu yang menyakitkan hati kami, apalagi membuat onar, maka kami tidak akan mengampunimu.‖ Bramanti menggigit bibirnya untuk menahan hatinya yang bergolak. Suara tertawa anak-anak muda di sekitarnya 69

masih terdengar. Dan Temunggul masih juga berkata, ―Ayo bangun anak manis.‖ Bramanti bangkit perlahan-lahan bertelekan pada kedua tangannya. Kemudian ia berdiri pula pada lututnya. Sekilas dipandanginya anak-anak muda yang berdiri di sekitarnya. Mereka bergembira karena mereka merasa mendapat permainan yang mengasyikkan. Ketika terpandang wajah-wajah anak-anak muda itu, maka ia berkata di dalam hatinya. ―Anak-anak itu juga. Anak-anak yang kini seolah-olah menjadi liar? Kalau ayahku terbunuh karena ayahku dianggap oleh orang-orang Kademangan ini sebagai seorang yang liar, seharusnya akulah yang menjadi liar melampaui ayah dan melampaui keliaran anak-anak muda itu.‖ Tetapi sekali lagi ia seolah-olah mendengar kata-kata gurunya. ―Ayahmu memang bersalah. Karena itu jangan kau selusuri jalan hidupnya. Kau harus mencari jalan sendiri. Jalan yang baik. Kau harus membuktikan, bahwa tidak selalu tabiat 70

orang tua yang kurang baik itu dapat menurun kepada anaknya. Dengan jalan itulah kau berbakti kepada orang tuamu.‖ Namun sekali lagi dadanya bergolak. ―Tetapi ini adalah soal yang lain. Aku dihinanya tanpa sebab.‖ Belum lagi ia menemukan jalan yang akan ditempuhnya, terasa punggungnya terdorong oleh telapak kaki sambil didengarnya lagi suara Temunggul, ―He, apakah kau masih terlampau lelah.‖ ―Sekali lagi Bramanti terdorong jatuh tertelungkup. Wajahnya yang basah oleh keringat, menyentuh tanah berdebu, sehingga menjadi keputih-putihan. Oleh cahaya pelita, wajahnya menjadi tampak terlampau acuh, sehingga anak- anak muda disekitarnya tertawa semakin keras lagi. Bramanti tidak dapat lagi menahan hatinya. Betapa pun ia mengingat segala macam nasehat, tetapi darah mudanya telah mendidih sampai ke ubun-ubun. 71

Namun sebelum ia berbuat sesuatu, didengarnyalah suara keras di antara anak- anak muda itu. ―He, siapa yang berbuat ini?‖ Anak-anak muda itu saling berpandangan. Suara tertawa mereka telah lenyap ditelan kecemasannya melihat wajah yang berdiri di antara mereka dengan marahnya. ―Kalian selalu membuat kisruh saja.‖ Bramanti kemudian mengangat wajahnya. Ditatapnya orang yang sedang marah- marah itu. ―Ki Jagabaya,‖ desisnya. Perlahan-lahan ia pun segera bangkit. Sambil membenahi pakaiannya ia berdiri termangu-mangu melihat sikap Ki Jagabaya itu. ―Kenapa kalian lakukan hal itu?‖ Ki Jagabaya membentak. Anak-anak muda itu menundukkan kepalanya. Tidak seorang pun yang berani memandang wajah yang seram dan kemerah-merahan karena merah dan 72

karena cahaya pelita yang jatuh di atas garis-garis yang keras di wajah itu. Tetapi anak-anak muda itu mengangkat wajah-wajah mereka ketika mereka mendengar suara yang lain, ―Biar sajalah Ki Jagabaya. Begitulah adat anak-anak muda. Bukankah kita berbuat seperti itu pula ketika masih seumur dengan mereka.‖ Ternyata suara itu adalah suara Ki Demang Candi Sari. Dan Ki Demang berkata seterusnya, ―Suatu cara perkenalan yang baik bagi Bramanti. Ia harus berusaha menyesuaikan dirinya di sini.‖ ―Aku mengenalnya sejak kanak-kanak,‖ sahut Temunggul. ―O. Kalau begitu kau bertemu dengan sahabat lama? Pantaslah kalau kau dapat bergurau begitu meriah.‖ Anak-anak muda itu kini mulai tertawa. ―Tetapi perbuatan itu sudah keterlaluan,‖ geram Ki Jagabaya. ―Ki Demang tertawa. Katanya kemudian, ―Pulanglah Bramanti. Jangan kamu pikirkan 73

lagi apa yang terjadi. Setelah lama kalian tidak saling bertemu, maka anak-anak itu merasa kangen bergurau dengan kau lagi.‖ Bramanti tidak segera beranjak dari tempatnya. Ditatapnya saja wajah Ki Demang dan Ki Jagabaya berganti-ganti. Tetapi dadanya berdesir ketika ia mendengar Ki Demang berkata, ―Tidak ada tempat bagi anak-anak cengeng di Kademangan Candi Sari. Jangan menangis. Pulanglah dan lain kali, bersikaplah seperti seorang laki-laki.‖ Sekali lagi jantung Bramanti serasa tergores oleh sembilu. Tetapi dihadapan Ki Demang dan Ki Jagabaya ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab kalau ia menuruti perasaannya, maka akibatnya pasti akan berkepanjangan. Melawan Ki Demang dan Ki Jagabaya berarti melawan seluruh Kademangan Candi Sari. ―He, kenapa kau berdiri saja membatu,‖ terdengar Ki Jagabaya membentak, sehingga Bramanti terperanjat karenanya. 74

―Ayo pergi, cepat, pergi,‖ Ki Jagabaya berteriak. Bramanti menganggukkan kepalanya sambil berkata. ―Aku minta diri.‖ Baik Ki Jagabaya maupun Ki demang tidak menjawab. Anak-anak muda yang berdiri di regol itu pun tidak mentertawakannya lagi meskipun ia terkejut mendengar bentakan Ki Jagabaya sehingga ia hampir terlonjak. Bramanti itu pun kemudian berjalan tertatih- tatih meninggalkan regol Kademangan. Sekali-kali ia berpaling. Dilihatnya di bawah cahaya pelita di regol halaman, anak-anak muda itu masih saja berada ditempatnya. ―Aneh,‖ Bramanti berdesis. Sebenarnya bagi Bramanti sikap Ki Jagabaya dan Ki Demang merupakan sikap yang aneh. Ki Jagabaya meskipun bersikap kasar, namun terasa kelurusannya. Ia bersikap kasar dan keras terhadap siapapun. Terhadap dirinya, tetapi juga terhadap siapapun. Terhadap dirinya, tetapi juga terhadap anak-anak muda itu. 75

Berbeda dengan Ki Demang. Meskipun Ki Demang tidak sekasar Ki Jagabaya, namun terasa dalam sikapnya, bahwa ia kurang jujur menghadapi persoalan. ―Sebuah bahan yang harus aku ingat- ingat,‖ gumamnya. Sementara itu kaki Bramanti melangkah terus menyusuri jalan-jalan desa. Jalan- jalan yang pernah dikenalnya dengan baik beberapa waktu yang lampau semasa ia masih kanak-kanak. Di jalan-jalan inilah ia dahulu berlari-lari berkejaran. Bermain sembunyi-sembunyian. Bermain hantu- hantuan dan di halaman rumahnya yang luas itulah anak-anak bermain nini Towok. Terutama anak-anak perempuan, sementara anak-anak laki-laki bermain kejar-kejaran. Tetapi semuanya telah berubah sama sekali. Tidak seperti jalan yang dilampauinya itu. Jalan ini seolah-olah masih jalan yang dahulu, tanpa perubahan sama sekali. Pohon nyamplung di pinggir 76

sungai, pohon cangkring dan pohon gayam yang berdiri berjajar, pohon randu alas di samping kuburan dan pohon pucang berjajar empat. Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia berkata, ―Aku ternyata harus berusaha menyesuaikan diriku. Sikap anak-anak Candi Sari sekarang adalah sikap yang tidak menyenangkan.‖ Namun kemudian tumbuh pertanyaan di dalam hatinya, ―Tetapi kenapa tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu atas orang- orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?‖ Tetapi Bramanti tidak dapat menemukan jawabannya. Untuk sementara ia menganggap bahwa sikap orang-orang berkuda yang menjadi kepercayaan Panembahan Sekar Jagat itu terlampau menakutkan bagi orang-orang Candi Sari, sehingga kesannya terhadap Panembahan Sekar Jagat menjadi terlampau berlebih- lebihan. 77

Sambil merenung Bramanti melangkah terus. Dilaluinya regol demi regol. Semakin lama semakin jauh dari halaman Kademangan. Tetapi tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang berdesir di balik dinding batu di tepi jalan. Telinganya yang tajam segera mengenal, agaknya seorang telah mengikutinya dengan diam-diam. ―Siapa orang itu,‖ ia bertanya di dalam hatinya. Namun Bramanti tidak berhenti. Ia pura- pura tidak mengetahuinya. Bahkan langkahnya semakin dipercepatnya. Dengan demikian, maka ia akan segera memancing orang itu untuk segera melakukan maksudnya apabila memang itulah yang dimaksudkannya. Ternyata usahanya itu berhasil. Ketika Bramanti lewat di tikungan, di sebelah halaman yang kosong dan gelap, maka meloncatlah sesosok tubuh langsung berdiri dihadapannya. 78

Bramanti terkejut, bukan karena kehadiran itu dengan tiba-tiba, tetapi ia terkejut setelah ia mengenal orang itu. Temunggul. ―Hem,‖ ia berdesah di dalam hatinya. ―Apakah anak itu masih saja akan membuat persoalan.‖ Bramanti terpaksa menghentikan langkahnya karena Temunggul berdiri bertolak pinggang di tengah jalan. ―Hem, kau beruntung hari ini Bramanti,‖ terdengar Temunggul berdesis. Bramanti tidak segera mengerti maksud kata-kata itu. Karena itu, maka untuk sejenak ia berdiam diri. Karena Bramanti tidak menjawab, maka Temunggul berkata lebih lanjut, ―Seandainya Ki Jagabaya tidak ikut campur, maka kau akan tahu, bahwa kedatanganmu sama sekali tidak kami sukai. Dan kau akan tahu, seandainya kau ingin melepaskan dendammu, maka kau tidak akan mendapat kesempatan sama sekali.‖ 79

Bramanti masih tetap membatu. ―Sayang,‖ berkata Temunggul selanjutnya, ―Ki Jagabaya yang kasar itu telah menyelamatkanmu.‖ Bramanti masih belum menyahut. ―Nah,‖ berkata Temunggul pula, ―Seperti kau berjanji kepada Ki Demang, maka kau pun harus berjanji kepadaku.‖ Bramanti mengerutkan keningnya. ―Ayo, berjanjilah. Kalau tidak, maka kau kini tidak akan dapat mengharapkan bantuan siapapun juga.‖ ―Apakah yang harus aku janjikan?‖ bertanya Bramanti. ―Berjanjilah, bahwa kau tidak akan berhubungan dengan Ratri.‖ Bramanti terperanjat mendengar permintaan itu. Sejenak ia terbungkam. Namun dalam pada itu, segera ia mengetahui, bahwa inilah sumber persoalannya, kenapa Temunggul bersikap demikian kasar terhadapnya. 80

―Berjanjilah,‖ geram Temunggul. Terasa bahwa di dalam nada kata-katanya itu tersimpan sebuah ancaman. ―Aku tidak mempunyai sangkut paut apapun dengan Ratri,‖ jawab Bramanti. ―Bohong,‖ potong Temunggul. ―Pada saat kau menginjakkan kakimu kembali di Kademangan ini, yang pertama-tama kau temui adalah Ratri. Jangan bohong. Aku melihat sendiri apa yang telah terjadi itu.‖ ―Itu hanya suatu kebetulan saja. Aku melihat Ratri berjalan beberapa langkah daripadaku. Bahkan Ratri sendiri sudah tidak dapat mengenal aku lagi.‖ ―Memang. Mungkin Ratri sudah tidak mengenalmu dan sama sekali tidak mengharapkan pertemuan ini. Tetapi agaknya kaulah yang dengan sengaja menemuinya.‖ Bramanti menggeleng. ―Tidak, Aku sama sekali tidak sengaja.‖ ―Aku melihat sorot matamu, ketika kau menatap wajah Ratri.‖ 81

―Sudah kira-kira sepuluh tahun aku tidak bertemu dengan anak itu. Perpisahan itu terjadi ketika kami masih kanak-kanak. Di dalam diri kami sama sekali tidak tersangkut perasaan apapun di dalam usia kami saat itu.‖ ―Tetapi sekarang kau adalah seorang anak muda yang gagah. Tanggapanmu terhadap anak-anak perempuan yang masih kanak- kanak pada saat kau tinggalkan pasti mengalami perubahan pula.‖ ―Tetapi aku belum siap untuk menilai seseorang karena aku baru saja melihatnya saat itu.‖ ―Mungkin kau benar. Tetapi aku minta kau berjanji, bahwa untuk seterusnya kau tidak akan mengganggu Ratri.‖ Bramanti termenung sejenak. Sebenarnya ia sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap anak perempuan itu. Namun justru karena permintaan Temunggul itu, ia mulai membayangkan, wajah gadis yang bernama Ratri itu. 82

―Ia memang cantik,‖ katanya di dalam hati. ―Mungkin ia bakal istri Temunggul. Tetapi sikap Temunggul itu memang agak keterlaluan.‖ ―Barjanjilah,‖ Temunggul mendesaknya. Bramanti kemudian menganggukkan kepalanya. Ia tidak melihat kemungkinan lain daripada memenuhi permintaan itu supaya tidak terjadi keributan. ―Baik,‖ katanya, ―Aku tidak akan mengganggunya sama sekali.‖ ―Ingat-ingatlah janjimu itu,‖ suara Temunggul menjadi berat. ―Jangan mencoba mengelabuhi aku. Sikapmu akan selalu ku awasi. Bukan saja soal Ratri, tetapi juga soal-soal lain yang menyangkut ketentraman Kademangan ini.‖ ―Aku sama sekali tidak berkeberatan,‖ sahut Bramanti. ―Berkeberatan atau tidak, kau tidak wenang memilih. Kau harus menerima keadaan ini. Kau akan diawasi. Aku memberitahukan hal 83

itu kepadamu. Aku sama sekali tidak minta pertimbanganmu, apalagi minta ijinmu.‖ Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. ―Ya, begitulah,‖ katanya. ―Bukan maksudku untuk menyatakan hal itu.‖ ―Nah, untuk sementara aku percaya kepadamu. Tatapi apabila kau ingkar akan janji itu, maka kau akan menyesal untuk sepanjang umurmu.‖ Sekali lagi Bramanti mengangguk. ―Baiklah.‖ ―Sekarang pergilah. Pulanglah ke rumahmu yang hampir roboh itu. Lebih baik bagimu untuk mengurusi rumah itu. Kau dapat menenggelamkan waktumu dengan memperbaikinya.‖ ―Ya aku akan berbuat demikian.‖ ―Baik. Kita akan melihat perkembangan keadaan. Keadaan Kademangan ini dan keadaanmu sendiri. Sekarang pergilah.‖ Bramanti itu mengangguk. Kemudian dilanjutkannya langkahnya, menyusuri jalan-jalan pedesaan pulang kerumahnya. 84

Namun pertemuannya dengan Temunggul itu telah memberikan jawaban, meskipun baru sebagian kenapa Temunggul bersikap terlampau kasar kepadanya. Kalau saja tidak terjadi sesuatu dengan ayahku,‖ katanya di dalam hati. ―Maka aku tidak akan tersudut dalam kesulitan serupa ini. Segala langkahku pasti akan diseret kepada persoalan ayah. Persoalan dendam dan segala macam. Meskipun soal yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan soal dendam dan kematian ayah, misalnya soal Ratri, namun bagiku, seolah-olah lubang itu telah disediakan. Dendam, menuntut balas, dengki, bikin onar dan bahkan akan ditarik garis lurus menuju ke gerombolan Panembahan Sekar Jagat.‖ Bramanti mengeluh di dalam hati. Tetapi terngiang lagi kata-kata gurunya. ―Kaulah yang akan dapat menebus segala cacat orang tuamu.‖ 85

―Itu adalah caraku untuk berbakti kepada orang tuaku,‖ desisnya. Dan Bramanti pun bersyukur, bahwa ia masih mampu mengendalikan dirinya meskipun ia mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya. Ketika ia kemudian mengetuk pintu rumahnya, terdengar suaranya ibunya, ―Siapa?‖ ―Aku ibu.‖ ―Oh,‖ kemudian terdengar langkah kecil tersuruk-suruk menuju ke pintu. Sejenak kemudian terdengar gerik selarak terbuka dan pintu pun segera menganga. ―Kau baik-baik saja bukan?‖ pertanyaan itulah yang pertama-tama diucapkan oleh ibunya. Bramanti melangkah masuk. Dengan nada yang dalam ia menjawab, ―Baik bu. Tidak ada apa-apa yang terjadi.‖ ―Tetapi,‖ ibunya mengerutkan keningnya sambil mengamat-amati wajah Bramanti yang kotor. 86

―Oh,‖ Bramanti segera mengerti, bahwa ibunya melihat debu yang melekat diwajahnya ketika ia jatuh terjerembab, karena kakinya menyentuh kaki Temunggul. ―Aku terperosok di tempat sampah itu. Aku tidak melihatnya.‖ Tetapi ibunya menjadi heran, ―Dimana ada tempat sampah itu?‖ ―Oh, maksudku pawuhan itu.‖ ―Ya, dimana pawuhan itu?‖ ―Di Kademangan,‖ jawab Bramanti sekenanya. ―Tetapi sudahlah. Aku tidak apa-apa. Aku hanya menjadi kotor sedikit.‖ Ibunya menganggukkan kepalanya. Meskipun ia belum puas terhadap jawaban anaknya itu, tetapi ia tidak bertanya lagi. ―Aku merebus air lagi Bramanti. Minumlah.‖ ―Oh, terima kasih. Ibu menjadi lelah.‖ ―Tidak. Aku tidak menjadi lelah. Aku sudah terlampau biasa bekerja apapun. Bahkan membelah kayu dan mengambil air untuk mengisi genthong di dapur.‖ 87

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayanglah betapa berat hidup ibunya seorang diri. Seorang perempuan tua yang harus mengambil air sendiri, membelah kayu, mengisi lampu- lampu minyak dan kadang-kadang mengambil dedaunan dan buah-buahan. ―Hem,‖ Bramanti menarik nafas dalam- dalam. ―Tidurlah bu,‖ berkata anak muda itu. ―Apakah kau belum akan tidur?‖ Bramanti mengangguk, ―Ya, aku pun akan tidur. Besok aku akan mulai memperbaiki rumah ini.‖ Perempuan tua itu pun kemudian pergi ke pembaringannya dan memberikan sehelai tikar pandan yang sudah kekuning- kuningan kepada anaknya. ―Disitulah kau nanti tidur.‖ ―Baik bu. Aku dapat tidur dimana saja. Aku dapat tidur di atas tikar, dilantai tanpa alas, bahkan aku dapat tidur di pepohonan.‖ 88

―Ah,‖ ibunya tidak menyahut selain berdesah perlahan-lahan, kemudian ditinggalkannya Bramanti yang sedang membentangkan tikar dan kemudian berbaring di atasnya. Namun, karena pikirannya yang ngelambrang, maka Bramanti tidak dapat segera tidur. Berbagai angan-angan hilir mudik di kepalanya, diselingi oleh segala macam kenangan dalam warna yang berbeda-beda. Anak muda itu mengerinyitkan alisnya ketika ia mendengar ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya. Tanpa sesadarnya ia berdesis. ―Fajar.‖ Tetapi Bramanti pura-pura memejamkan matanya ketika kemudian ibunya terbangun. Perempuan tua itu berjalan tertatih-tatih menuju ke dapur dengan lampu ditangannya. Sejenak kemudian perapian pun telah menyala. ―Hem, kasihan,‖ setiap kali Bramanti itu berdesis. 89

Bramanti bangkit dari pembaringannya ketika matahari mulai mewarnai langit dengan sinarnya yang kemerah-merahan. Perlahan-lahan ia pergi keluar, menuruni pendapa rumahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat lebih jelas lagi, betapa halamannya telah menjadi seperti hutan yang liar. Rumpun-rumpun bambu yang lebat, pohon perdu yang tersebar di segala sudut. Pepohonan yang menjalar dan sejenis ubi- ubian yang rimbun. Semua itu telah mendorong Bramanti untuk melepaskan bajunya. Dicarinya cangkul dan parang yang masih tersisa di rumahnya itu. Dengan langkah yang pasti, maka mulailah ia membersihkan halaman rumahnya. Mula-mula dibersihkannya rerumputan liar di muka tangga pendapanya. Kemudian sebelah menyebelah sebelum ia mulai menjamah perdu yang tersebar di mana-mana. 90

Ketika ibunya menjengukkan kepalanya dari pintu dapur, maka perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat anaknya bekerja dengan sepenuh hati. ―Minumlah dahulu Bramanti,‖ berkata ibunya dari ambang pintu. Bramanti berhenti sejenak sambil berpaling memandangi ibunya, ―Terima kasih,‖ jawabnya, ―Sebentar lagi. Nanti aku akan masuk dan minum. Sekarang aku ingin membersihkan halaman ini dulu sebelum aku memanjat ke atas atap nanti setelah embun menjadi kering.‖ ―Jangan terlampau memeras tenagamu Bramanti. Waktu masih cukup panjang. Kau dapat mulai dengan bagian-bagian yang kecil selagi kau belum sembuh dari kelelahanmu setelah berjalan sekian lamanya.‖ ―Ya ibu. Tetapi aku tidak lelah.‖ Ibunya tidak menyahut lagi. Diawasinya sejenak Bramanti yang sudah mulai bekerja 91

lagi. Namun kemudian ditinggalkannya anak muda itu masuk ke dalam. Demikianlah Bramanti telah mulai berbuat sesuatu untuk halaman dan rumahnya. Tidak hanya halamannya, tetapi kemudian dijamahnya juga rumahnya. Bagian demi bagian dilihatnya, apa saja yang harus digantinya. Di hari berikutnya Bramanti telah menebang berpuluh batang bambu. Kemudian dibersihkannya ranting- rantingnya dan diikatnya menjadi beberapa ikat. Dipanggulnya bambu-bambu itu ke sungai disebelah desanya dan dibenamkannya ke dalam air. Bambu yang demikian akan menjadi bahan perumahan yang sangat baik. Sementara ia menunggu sampai setahun, maka diperbaikinya rumahnya untuk sementara dengan bambu- bambu yang baru saja ditebangnya. Dengan rajinnya Bramanti bekerja dari pagi sampai petang dihari-hari berikutnya. Dicarinya ijuk dilereng-lereng pegunungan. 92

Kemudian dibersihkannya tepasnya dan dijemurnya sebelum dipasang sebagai penyulam atas rumahnya yang berlubang- lubang. Pada pekan ketiga setelah Bramanti ada di rumahnya, halaman rumah itu telah mulai tampak bersih. Pagar-pagar petamanan telah mulai dianyam, sedang pagar-pagar batu halamannya pun telah dibersihkannya dari lumut-lumut yang hijau. Regol halamannya kini sudah tidak miring lagi, meskipun beberapa bagian hanya disulamnya dengan bambu. ―Kau membuat rumah ini hidup kembali Bramanti,‖ desis ibunya disuatu petang. ―Kuwajibanku ibu.‖ Dan kuwajiban itu dilakukannya setiap hari. Sedikit demi sedikit bagian-bagian rumahnya telah menjadi baik kembali, meskipun belum pulih seperti ketika ayahnya masih seorang yang kaya raya. Namun karena itu, karena ia tenggelam dalam kesibukannya, ia tidak banyak keluar 93

dari halaman rumahnya kecuali membawa bambu ke sungai, mencari ijuk dan sekali- kali mencari ikan untuk melepaskan ketegangan kerjanya. ―Barangkali hal ini lebih baik bagiku untuk sementara,‖ katanya di dalam hatinya. ―Dengan demikian aku akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dapat mendorong aku ke dalam kesulitan.‖ Kadang-kadang, apabila kawan-kawannya bermain semasa kanak-kanak lewat di lorong di depan rumahnya, ia mencoba menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Tetapi hanya satu dua saja dari mereka yang membalas anggukan kepala itu. Bahkan ada di antara mereka yang pura-pura tidak melihatnya meskipun ia berdiri di depan regol halamannya. Meskipun demikian Bramanti tidak jemu- jemunya. Tidak saja menganggukkan kepala, pada saat berikutnya, diberanikannya dirinya menegor satu dua di antara mereka. 94

Ternyata ada juga yang menjawab tegoran itu meskipun hanya sepatah dua patah kata. Tetapi bagi Bramanti, semuanya itu merupakan harapan baik baginya dimasa mendatang. Ia merasa bahwa pada saatnya ia akan menemukan tempatnya kembali di dalam pergaulan anak-anak muda di Kademangan ini. Namun ketika pada suatu pagi ia berdiri di regol halaman, dadanya tiba-tiba berdesir. ia tidak mendapat kesempatan lagi untuk menghindar, ketika tanpa disadarinya, di antara beberapa orang gadis yang membawa cucian ke sungai, terdapat seorang yang harus dijauhinya, Ratri. ―Hem,‖ katanya di dalam hati. ―Pertemuan ini kurang menguntungkan bagiku.‖ Tetapi ia tidak dapat menghindar. Ketika gadis-gadis itu lewat dimuka regol rumahnya, dan ia mencoba menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, agaknya tidak seorang pun yang memperhatikannya, kecuali Ratri. 95

Agaknya gadis-gadis itu telah mendengar dari kawan-kawan mereka, bahwa anak- anak muda Candi Sari tidak menyenangi kehadiran Bramanti. Sehingga dengan demikian, mereka pun tidak mau berhubungan dengan anak muda yang telah sekian lamanya hilang dari pergaulan mereka. Ratri yang berjalan di paling belakang menganggukkan kepalanya pula. Meskipun hanya itu, hanya mengangguk, namun dada Bramanti telah menjadi berdebar- debar karenanya. Anggukan kepala itu telah cukup menjadi alasan bagi Temunggul untuk membuat persoalan. ―Temunggul terlampau cemburu,‖ katanya di dalam hati. Tanpa sesadarnya tiba-tiba Bramanti mengangkat wajahnya mengikuti langkah Ratri. Sekali ia berdesis. ―Hem, gadis ittu memang cantik. Pantaslah kalau Temunggul takut kehilangan.‖ 96

Bramanti pun kemudian melangkah masuk halaman, sambil berkata kepada diri sendiri, ―Mudah-mudahan tidak seorang pun yang melihatnya. Dan dengan demikian tidak akan ada persoalan yang dapat mengungkat kebencian Temunggul kepadaku.‖ Meskipun demikian pertemuan yang tidak disengajanya itu telah membuatnya gelisah. Bukan ia tidak dapat menjawab ketika ia bertanya kepada diri sendiri. ―Kenapa gadis itu mengambil jalan ini? Bukan kebiasaan mereka melalui jalan ini menuju ke bendungan.‖ Pertanyaan itu ternyata telah mengganggunya. Ia menganggap hal itu tidak wajar. Karena itu, maka Bramanti tidak dapat menahan hati lagi untuk mencari jawab atas pertanyaan itu. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pinggir desa menyusuri jalan yang memanjang di pinggir parit induk pedesaannya. Jalan 97

itulah yang biasanya dilalui oleh gadis- gadis itu. ―Oh,‖ Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata beberapa bagian dari jalan itu menjadi longsor.‖ Inilah agaknya sebabnya. Sukurlah, kalau tidak ada sebab yang lain.‖ Bramanti menjadi berlega hati. Tidak ada alasan untuk menjadi heran, kenapa gadis- gadis itu lewat jalan di depan rumahnya. Tetapi, ternyata sesuatu masih juga menyangkut dihatinya. Pertemuannya yang tidak disengaja dengan Ratri itu telah menumbuhkan persoalan di dalam dirinya. Sebenarnya ia tidak akan banyak menaruh perhatian atas gadis itu seperti atas gadis- gadis yang lain. Namun karena ancaman Temunggul, justru ia selalu berusaha mengenang wajah itu. ―Ratri,‖ ia berdesis. ―Mungkin Ratri itu akan menjadi isteri Temunggul kelak. Mungkin mereka berdua telah berjanji dan mungkin orang tua mereka telah sepakat pula.‖ 98

Dan tanpa sesadarnya itu bergumam, ―Beruntunglah Temunggul itu. Ia akan mendapat seorang isteri yang cantik, ramah dan agaknya mempunyai kelainan dari kawan-kawannya yang angkuh.‖ Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia sudah berada di rumahnya kembali, maka tanpa disadarinya ia selalu mengharap agar gadis-gadis itu lewat jalan itu juga, apabila mereka nanti kembali setelah mencuci. Karena itu, ketika ibunya memanggilnya untuk makan, Bramanti menjawab, ―Nanti sebentar ibu. Kerja ini hampir selesai.‖ Tetapi Bramanti tidak melakukan apa-apa. Ia hanya sekadar meraut bambu yang telah dibelahnya untuk gapit dinding bambu di bagian dapur rumahnya. Tetapi bambu itu sebenarnya telah cukup halus. Tiba-tiba Bramanti menjadi gelisah. Setiap kali ia mengangkat wajahnya, memandang ke jalan di depan rumah itu. Tetapi ia tidak seorang pun yang lewat. Kalau sekali-kali ia 99

mendengar desir langkah seseorang, kemudian diamatinya lewar regolnya yang terbuka, maka yang lewat adalah satu dua orang yang dengan tergesa-gesa pergi ke sawah mengantar makan dan minum. ―Apakah mereka tidak pulang,‖ Bramanti itu bergumam sambil menengadahkan wajahnya memandang matahari yang semakin hampir sampai ke puncak langit. Akhirnya Bramanti itu pun menggeliat sambil berdiri. Agaknya harapannya untuk melihat sekali lagi wajah Ratri hari ini, tidak akan terpenuhi. Tetapi baru saja ia melangkah meninggalkan kerjanya, tiba-tiba ia mendengar suara tertawa. Suara gadis- gadis yang sedang bergurau. ―Itukah mereka,‖ desis Bramanti. Tiba-tiba saja ia menjadi gelisah. Ia tidak dapat menghindarkan diri dari suatu keinginan untuk melihat gadis-gadis itu lewat. Tetapi ia tidak dapat dengan sengaja keluar regol untuk menunggu mereka. 100


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook