Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore KARYA TULIS ILMIAH Feodalisme Bumi Manusia

KARYA TULIS ILMIAH Feodalisme Bumi Manusia

Published by Nur Rizka Mardhatillah, 2020-10-26 13:38:05

Description: KARYA TULIS ILMIAH Feodalisme Bumi Manusia

Keywords: Bumi Manusia,Karya Tulis Ilmiah,Feodalisme,Kajian Sastra

Search

Read the Text Version

KARYA TULIS ILMIAH WARISAN FEODALISME DAN KOLONIALISME DI ERA REFORMASI (Sebuah kajian sastra Roman Bumi Manusia) Disusun oleh : Nur Rizka Mardhatillah (2019370065) SAMPOERNA UNIVERSITY JAKARTA 2019 1

KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan ke-hadirat Allah SWT., karena atas berkah, rakhmat dan karunia-Nya, tulisan ini dapat diselesaikan. Tulisan ini mengangkat isu feodalisme politik yang berdampak pada era reformasi, lebih tepatnya fenomena Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Tema sentral tulisan ini diberi judul WARISAN FEODALISME POLITIK DI ERA REFORMASI (Suatu kajian sastra Roman Bumi Manusia). Tema ini menjadi topik pembahasan dengan pertimbangan bahwa paham Feodalisme sudah berdampak dan menjadi penyakit kronis bahkan akut dalam penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat terlebih di daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Begitu sulitnya mencari instrumen yang ampuh untuk mengatasinya, karena sudah membudaya sampai ke tulang sumsum. Bahkan mungkin diperlukan beberapa generasi untuk menghilangkan mentalitas terhadap dampak Feodalisme bangsa ini, itupun kalau dimulai saat ini. Pembahasan dalam tulisan ini secara substansial masih sangat sumir dan sederhana, untuk itu koreksi dan masukan agar dalam penulisan ke depan dapat lebih baik sangat diharapkan. Jakarta, Desember 2019 2

DAFTAR ISI Kata Pengantar………………………………………………………………………… 2 Daftar Isi……………………………………………………………………………….. 3 BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… 4 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….. 4 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………… 4 1.3 Tujuan……………………………………………………………………… 4 1.4 Manfaat…………………………………………………………………….. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….. 5 2.1 Konsep Dasar Feodalisme………………………………………………….. 5 2.2 Konsep Dasar Kolonialisme………………………………………………... 6 BAB III PEMBAHASAN…………………………………………………………….... 6 3.1 Watak Feodalisme Jawa…………………………………………………… 6 3.2 Watak Kolonialisme Eropa………………………………………………... 8 3.3 Kondisi Kaum Pribumi…………………………………………………….. 9 3.4 Dampak di Era Reformasi…………………………………………………. 11 BAB IV PENUTUP……………………………………………………………………. 13 Kesimpulan………………………………………………………………….… 13 DAFTAR RUJUKAN……………………………………………………….……….… 13 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer, menghadirkan isu-isu pada periode kebangkitan nasional (1898-1918). Periode ini merupakan suatu masa di mana pola pikir rasional mulai memberi pengaruh terhadap cara berpikir orang-orang pribumi atau awal dari pertumbuhan dan pergerakan organisasi-organisasi modern. Banyak sastrawan bahkan kritikus tidak berani mengangkat isu-isu yang terjadi di periode tersebut. Namun, Pramoedya dengan Roman Bumi Manusia-nya berhasil mengangkat latar belakang pra-kemerdekaan. Bumi Manusia sendiri adalah gambaran pelik antara gejolak masa muda dengan keingintahuan yang menggebu, perlawanan terhadap ketidakadilan, kisah cinta yang berujung tragis hingga ketimpangan sosial yang terjadi di mana-mana antara orang-orang pribumi dengan penjajahnya (Bumi Manusia, 2010). Djokosudjanto (2000) mengungkapkan, bahwa “begitu kuatnya Bumi Manusia ini sehingga beberapa sebutan genre menampak padanya, sebut saja: roman realis, roman sejarah, roman sosial, roman politik, roman psikologis dan tentu saja sebagai roman biasa, tergantung pada sudut pandang dalam melihat”. Sekian banyak masalah yang dapat digali dalam Bumi Manusia ini, masalah yang paling besar adalah kolonialisme dan feodalisme. Kolonialisme dan feodalisme ini pada kenyataannya adalah penentu nasib ras bangsa yang hidup di Negeri Hindia Belanda. 1.2 Rumusan Masalah Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimana watak Feodalisme Jawa dan Kolonialisme Eropa? 1.2.2. Bagaimana permasalahan kaum pribumi terhadap watak Feodalisme dan Kolonialisme Eropa? 1.2.3. Bagaimana dampak dari watak Feodalisme Jawa dan Kolonialisme Eropa di era kolonialisme? 1.2.4. Bagaimana dampak dari watak Feodalisme Jawa dan Kolonialisme Eropa di Era Reformasi? 1.3 Tujuan Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang efek dari konsep feodalisme di era reformasi. 4

1.3.1. Untuk mengetahui watak Feodalisme Jawa dan Kolonialisme Eropa 1.3.2 Untuk mengetahui masalah kaum pribumi terhadap watak Feodalisme Jawa dan Kolonialisme Eropa 1.3.3. Untuk mengetahui dampak watak Feodalisme Jawa dan Kolonialisme Eropa di era kolonialisme 1.3.4. Untuk mengetahui dampak dari watak Feodalisme Jawa dan Kolonialisme Eropa di era reformasi 1.4 Manfaat Manfaat dibuat makalah ini adalah: 1. Mahasiswa dapat mengerti apa yang dimaksud paham feodalisme dan kolonialisme. 2. Mahasiswa dapat mengetahui dampak dari watak feodalisme dan kolonialisme. 3. Mahasiswa dapat mengetahui contoh-contoh feodalisme di era kolonial dan reformasi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Dasar Feodalisme Di Indonesia, istilah feodalisme pada level yang lebih lokal mengarah pada kalangan ningrat atau priyayi; khususnya kalangan suku Jawa yang oleh Cliffort Geertz (dalam bukunya Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa) dibagi ke dalam tiga golongan salah satunya priyayi. Orang yang masuk ke golongan priyayi biasanya berasal dari kalangan elit/ ningrat/ aristokrat/ bangsawan. Dunia kaum priyayi memiliki kesamaan dalam banyak hal dengan konsep feodalisme; sifat-sifat yang dimiliki pada penguasa. Adanya penguasaan yang dominan di kaum priyayi menjadikan kalangan bangsawan dan lain sebagainya untuk mengambil alih dan memonopoli sistem masyarakat termasuk perekonomian. Dalam feodalisme, tanah ibarat sumber kehidupan bagi kaum priayai dan bangsawan lainnya. Seluruh tanah dianggap milik kaum priyayi. Rakyat hanya meminjam sehingga harus membayar pajak dan sewaktu-waktu kalangan bangsawan boleh mengambil kembali tanahnya jika diinginkan. Rakyat juga harus mengabdi pada penguasa tanah: kaum Priyayi, bangsawan dan tuan tanah. Petani dan masyarakat mesti tunduk dan hormat kepada mereka. 5

2.2. Konsep Dasar Feodalisme Istilah kolonialisme memiliki dua pengertian yaitu (1) proses sesuatu kuasa untuk mendapatkan kawasan wilayah baru melalui penaklukan dengan penyerangan dan penghijrahan dengan pemindahan rakyat. (2) aktivitas imperialism. Sebenernya kolonialisme adalah sebuah faham tentang masalah eksploitasi, penindasan, dan penghinaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa imperialis barat terhadap penduduk pribumi. Biasanya negara yang dijajah atau dikolonialkan adalah negara yang memiliki memasok bahan-bahan mentah yang banyak seperti rempah-rempah di Indonesia. Dalam prakteknya, kolonialisme sama dengan imperialism, mereka melahirkan suatu sistem penjajahan di daerah baru yang mengakibatkan penderitaan dan rasa tidak puas dari bangsa yang dijajah. Penjajahan itu dapat dipandang sebagai nafsu karena para penjajah hanya menrajai atau mengendalaikan ekonomi bangsa sendiri dengan mengeruk sumber daya bangsa lain. Alhasil, faham kolonialisme biasa digunakan utnuk menaklukan bangsa lain dalam segala lapangan. BAB III PEMBAHASAN 3.1. Watak Feodalisme Jawa Manusia Jawa adalah manusia yang mendukung adanya kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa dengan sendirinya tidak homogen. Orang jawa juga terbiasa dengan budaya masarakat yang senang menyenangkan atasan. Seperti yang dimuat oleh buku Falsafah Hidup Jawa “Sing sapa ngerti ing panuju, prasat pagere wesi.” (Barangsiapa yang bagaimana menuju hati seseorang, bagaikan ia berpagar besi). Maksud dari kutipa ini, mestinya bagi bawahan yang selali melegakan selalu bisa melegakan atasan dengan sikap mundhuk-mundhuk, nun inggih sendika dhawuh maka dia akan diselamatkan. Sikap ini menjadi buntut dari tradisi kekuasaan Feodalistik. Dalam Bumi Manusia, kekuasaan Feodalistik bisa dilihat dari kedudukan seseoang di masyarakat, khususnya Priyayi dapat diukur dengan dua kriteria, yaitu (1) prinsip kebangsawan yang berakar dari hubungan darah dan (2) prinsip kebangsawan yang didasarkan dari posisi dalam hierarki birokrasi. Orang yang memiliki hubungan darah kebangsawan akan dipandang lebih tinggi kedudukannya dari orang yang hanya memiliki posisi dalam hierarki birokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat gelar dna nama kedudukannya. Dengan kata lain, orang priyayi uang dimaksud dalam konteks ini adalah 6

mereka yang memiliki status kebangsawan dan tentunya kedudukannya lebih tinggi dari rakyat biasa. Salah satu tokoh Priyayi pada Roman Bumi Manusia ialah Minke, berdasakan kondisi adat, Minke adalah calon bupati karena jabatan tersebut diterima secara turun-temurun. Masyarakat jawa dan pemerintah kolonial Belanda sangat menghargai kedudukan Minke sebagai kaum Priyayi. Namun, kenyatannya bupadi dipandang sebagai pemimpin aristokrasi yang disahkan dan diperlukan rakyat. Oleh karena itu, bupati dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda. Seorang bupati Pribumi pun lebih memihak kepentingan pemerintah kolonial. “Apa tidak kau baca di koran-koran, besok malam ini ayahmu akan mengadakan pesta pengangkatan jadi bupati? Bupati B. Tuan Assisten Residen B, Tuan Residen Surabaya, Tuan Kontrolir dan semua bupati tetangga akan hadir .... Memang berita mutasi tidak pernah menarik perhatianku: pengangkatan, pemecatan, perpindahan, pensiun. Tidak ada urusan! Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku Bumi Manusia dengan persoalannya” (Bumi Manusia, 2010:185—186). Kutipan tersebut memberikan gambaran bentuk pengakuan manusia Jawa, meskipun tokoh Minke merasa dia bukan Jawa lagi melainkan Eropa. Tidak dapat dipungkuri memang, pada abag ke-19, dominasi mode pakaian Eropa memang memengaruhi gaya hidup priyayi Jawa. Oleh karena itu, Minke yang pada dasarnya bersekolah dan bergaul dengan orang- orang Eropa tidak dapat menolak dan lari dari kenyataan dari tata berpakaian bercorak Eropa dalam lingkungan keluarganya. Disaat itulah, Minke dapat dikatakan berada di persimpangan beraturan tradisi antara Jawa dan Eropa. Minke berusaha mencoba untuk memehami makna posisi bangsanya di zaman kolonial Belanda. Namun, para kalangan bangsawan Jawa menjadi angkuh dan tamak karena mereka merasa memiliki budaya paling tinggi dibandingkan masyarakat yang lain. “Pakaian dan permunculanku sekarang ini aku anggap produk bumi manusia akhir abad sembilanbelas, kelahiran jaman modern. Dan terasa benar olehku: Jawa dan manusianya hanya sebuah pojokan tidak terlalu penting dalam keseluruhan bumi manusia. Twente telah menenunkan untuk orang Jawa, juga memilih bahannya. Tenunan desa tinggal dipakai orang desa. Hanya yang membatik tinggal orang Jawa. Dan tubuhku yang sebatang ini—tetap asli” (Bumi Manusia, 2010: 198). 7

Berbeda dengan tokoh Minke yang menunjukkan watak Feodalisme Jawa dari darah bangsawan, Ayah-nya Sanikem (Nyai Ontosoroh) menunjukkan watak yang Feadolistik melalui kedudukan hierarki birokrasi. Dapat dilihat dari keinginan Sastrotomo (nama yang didapatkan setelah menikah yang berarti jurutulis) untuk menjadi jurubayar di sebuah pabrik. “...sebagai jurubayar pabrik ia akan menjadi orang besar di tulangan. Pedagang akan mebungkuk menghormati” (Bumi Manusia, 2010: 11). Memang bagi masyarakat biasa, orang yang tidak memiliki apa-apa seperti harta dan gais bangsawan akan dilecehkan. Maka dari itu, kutipan tersebut menekankan jika “kehormatan” menjadi masalah utama di masa Kolonial Belanda. Selain itu, untuk mendapatkan kehormatan, masyarakat Jawa biasa seperti Sastrotomo harus mencari muka dengan mendekati penguasa seperti totok-totok berkulit putih. “Tindakannya yang menjilat dan merugikan teman-temannya menjadikannya tersisih dari pergaulan. … Orang-orang muak melihat usahanya menarik tuan-tuan Belanda itu agar sudi datang ke rumah.” (Bumi Manusia, 2010: 116). Namun, karena keinginannya yang bergitu kuat, Sastrotomo harus berani menanggung omongan masyarakat Jawa terhadap dirinya. Lalu, pada akhirnya, Sastrotomo berhasil mendapatkan keinginannya tersebut melalui perjanjian yang dia buat dengan seorang hartawan pabrik gula. “Di kemudianhari kuketahui, sampul itu berisikan uang duapuluhlima gulden, penyerahan diriku kepadanya, dan janji Ayah akan diangkat jadi kassier setelah lulus dalam pemagangan selama dua tahun.” (Bumi manusia, 2010: 123). 3.2. Watak Kolonialisme Eropa Orang Eropa dalam novel Bumi Manusia digambarkan sebagai pemegang kekuasaan yang berasal dari golongan kelas atas yang tinggi kedudukannya dan derajatnya dibandingkan dengan orang-orang pribumi yang digolongkan dalam kelas bawah. Hal ini dikarenakan memiliki nilai pendidikan yang tinggi. Alhasil, Pribumi pada saat itu harus mempercayai apapun ucapan orang Eropa karena starta pendidikan. Seperti kutipan berikut ini; 8

“tentu dada ini menjadi gembung. Aku belum pernah ke Eropa. Benar tidaknya ucapan tuan direktur aku tak tahu. Hanya karena menyenangkan aku cendrung mempercayainya. Lagi pula semua guruku kelahiran sana, dididik di sana pula. Rasanya tak layak tak mempercai guru. Orang tuaku telah mempercayakan diriku pada mereka. Oleh masyarakat terpelajar eropa dan indo dianggap terbaik dan tertinggi nilainya di seluruh hindia belanda. Maka aku harus memepercayainya” (Bumi Manusia, 2010: 11) Berdasarkan kutipan di atas dapat dinyatakan bahawa orang-orang Eropa lebih pintar dari pada orang-orang pribumi pada waktu itu. Sehingga, sekolah didominasi oleh orang- orang Eropa seperti guru, pengurus, dan kepala sekolah. Kutipan lainnya yang menyatakan pertentangan kelas terpelajar dan tidak adalah sebagai berikut: “aku tersinggung aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert surof ini hanya pandai menghina, mengecilkan, melecehkan dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah eropa dalam tubuhku. Sungguh-sungguh dia sedang bikin rencana jahat terhadap diriku” (Bumi Manusia, 2010: 18). Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang Eropa dan orang Pribumi. Orang-orang pada saat itu bangga jika dia mempunyai keturunan darah Eropa, karena di mata masyarakat derajat orang eropa lebih tinggi dari orang pribumi. Lain halnya dengan orang Eropa, mereka menganggap bahwa orang Pribumi sama seperti indo, hina. Indo adalah orang Eropa keturunan yang tidak dianggap orang tuanya sedangkan orang pribumi tidak mempunyai nama gelar keluarga sehingga dianggap rendah oleh orang Eropa. Dalam kata lain, watak orang-orang Eropa pada masa kolonial ialaha angkuh. 3.3. Kondisi Kaum Pribumi Kondisi Kaum Pribumi digambarkan dengan sangat rinci setelah Tuan Mellema meninggal keracunan salah satunya adalah sinisme terhadap nyai-nyai; kehidupan Sanikem. “Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai pribumi lebih sulit, Minke, anakku!” (Itulah untuk pertama kali ia memanggil anakku, dan aku berkaca-kaca terharu mendengarnya). “Apa kau akan lari dari kami, Nak.” (Bumi Manusia, 2010: 413). 9

Melalui kutipan di atas dapat dilihat bahwa, kondisi Pribumi saat itu sangat memprihatinkan. Orang-orang Eropa yang seenaknya dengan peraturan politik menjadikan salah satu alat penghancur Pribumi. Setelah Herman Mellema meninggal, Sanikem digambarkan kebingungan untuk mendapatkan hak dan kehormatannya sebagai manusia seperti yang dikatakan Minke pada halaman 421-422. “… Tapi dari sekian banyak tanya-jawab yang aku nilai sebagai menubruk-nubruk adalah hubunganku dengan Annelies, yang membikin banyak orang tertawa bahak dan cekikan, dan pada gilirannya baik hakim maupun jaksa tak melewatkan kesempatan untuk mentertawakan hubungan kami di depan umum. Juga hubunganku dengan Nyai ditampilkan dalam pernyataan-pernyataan bersirat, menjijikkan, dan biadab. Aku sendiri menjadi heran betapa orang Eropa, guruku, pengadabku, bisa berbuat semacam itu. (Bumi Manusia, 2010: 421-422). Pengadilan putih menunjukkan perampasan hak terhadap pribumi dengan sangat signifikan. Mulai dari dilarangnya Nyai Ontosoroh untuk bersuara atas anaknya hingga penggunaan bahasa Belanda. Kommer juga memuat hal yang sama pada korannya, dia berkata bila, “jaksa dan hakim itu menghina semua golongan Indo Eropa yang berasal dari pergundikan dan pernyaian. Anak-anak mereka, kalau diakaui ayahnya, menjadi bukan pribumi. Tidak diakui menjadi Pribumi. Artinya: Pribumi sama dengan anak gundik yang tidak diakui sang ayah. Ia juga mengancam pengungkapan perkara pribadi…” (Bumi Manusia, 2010: 430). Perampasan hak dan kehormatan sebagai manusia juga disampaikan secara langsung oleh Nyai Ontosoroh pada dialognya bersama Minke. “Minke, telah lama kurenungkan keanehan hidup ini. Kalau aku tak berhasil menyelamatkan perusahaan ini, aku akan merosot jadi nyai-nyai biasa yang boleh dihinakan semua orang, dipandang dengan sebelah mata. Annelies akan sangat menderita. Percuma aku nanti sebagai ibunya. Dia harus lebih terhormat daripada seorang Indo biasa. Dia harus jadi Pribumi terhormat di tengah-tengah bangsanya. Kehormatan itu bisa didapatnya hanya dari perusahaan ini. Memang aneh, Nak, begitulah maunya dunia ini.” (Bumi Manusia, 2010: 431). 10

“…persoalannya tetap Eropa terhadap Pribumi, Minke, terhadap diriku. Ingat-ingat saat ini: Eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa… Hanya kulitny yang putih,” ia mengumpat, “hatinya bulu semata.” (Bumi Manusia, 2010: 490). “Hukum seakan-akan tidak mengakui hak-hak pribumi. Bahkan Minke pun tak diakui sebagai suami Annelies, walaupun telah menikah sah secara Islam. ‘Kami tidak punya urusan dengan siapapun yang mengaku atau tidak mengaku sebagai suaminya. Juffrouw Annelies Mellema masih gadis tidak bersuami.” (Bumi Manusia, 2010: 510). Tak terlepas dari masyarakat Jawa abad ke-19 yang mengenggam erat feodalisme, Nyai Ontosoroh yang memiliki nasib tidak jauh berbeda dengan Minke harus menanggung ketidakadilan penilaian masyarakat tradisional juga. Tidak hanya perampasan hak dari kaum Eropa tetapi juga penilaiain masyarakat itu sendiri. Contohnya saja, Minke. Walaupun, Minke besekolah di H.B.S untuk menjadi orang yang terpelajar dan melawan sikap sentimen rasialis, tetapi lingkungan sosial tidak pernah berubah menjadi tatanan masyrakat yang humanis. Nyai Ontosoroh juga melakukan hal demikian, dia belajar dan membaca banyak buku untuk bisa menjadi seorang yang terpelajar. Namun sayangnya, keberadaan Minke dan Nyai Ontosoroh yang dipersimpangan budaya Jawa dan sistem Feodalisme tidak membuat mereka sepenuhnya memiliki identitas baru. Sehingga, setinggi apapun Minke dan Nyai terangkat pendidikannya, ia tetap dipandang sebagai pribumi yaitu masyarakat kelas dua dengan kehormatan dan hak yang rendah. 3.4. Dampak di Era Reformasi Feodalisme yang tumbuh di kalangan internal pribumi Hindia kala itu, khususnya feodalisme Jawa, bertemu dengan kolonialisme Eropa, menghasilkan apa yang disebut sebagai ‘penderitaan rakyat’. Penderitaan ini hadir karena diskriminasi ras, etnis, dan kelas sosial yang kental. Pertemuan antara watak feodalisme dan kolonialisme menimbulkan sebuah penderitaan rakyat dan berujung ke resistensi (penyerangan atau penolakan) masyarakat pada saat itu. Tidak hanya berupa benduk penyerangan balik terhadap kaum Eropa dan bangsawan Jawa, masyrakat juga jadi terpengaruhi dengan budaya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Korupsi dan kolusi memiliki peranan yang hampir sama. Kolusi yang memiliki artian sebagai penyuapan sedangakan korupsi ialah penyelewengan atau berperilaku tidak jujur. Kolusi itu sendiri dapat dilihat dari Maurits Mellema terhadap Pengadilan Putih. Maurits 11

melakukan penyuapan kepada Pengadilan Putih untuk mendapatkan harta warisan Herman Mellema. Penyuapan itu itu disampaikan secara tersirat oleh beberapa tokoh yang berisikan jika kaum Eropa hanya menginginkan uang, semakin banyak uang yang diberi semakin lancar sebuah rencana. “Ir. Maurits Mellema dan ibunya, bagaimanapun memang beralasan mendendam Herman Mellema. Apa kemudian nyatanya? Mereka tidak mendendam seutuhnya tanpa satu sen pun boleh lolos. Jadi: pada dasarnya mereka sudah mengharapkan kematian papa Annelies. Mereka sudah menyertai dan membenarkan perbuatan Ah Tjong dalam batin mereka. Dan mereka takkan dihukum karena itu. Kehidupan batin dan perasaan tak ada disebutkan dalam surat-surat resmi.” (Bumi Manusia, 2010: 495). Selain budaya korupsi dan kolusi, ada budaya nepotisme yang mendominasi di buku ini. Nepotisme yang memiliki artian mendahulukun saudara atau kerabat berdasarkan hubungannya bukan kemampuannya untuk mendapatkan sesuatu. Akibat dari derajat pribumi yang rendah, Sastrotomo menunjukkan budaya Nepotisme dengan keinginan untuk menaikkan derajat saudara-saudaranya sepeti kutipan berikut. “Apalagi ia ingin semua kerabatnya bisa bekerja di pabrik tidak sekedar jadi kuli dan bawahan paling rendah, Paling tidak mandorlah. Untuk membikin mereka jadi kuli tak perlu orang punya sanak jurutulis—semua orang bisa diterima jadi kuli kalau mandor setuju.” (Bumi Manusia,2010: 115). Persemaian antara watak kolonialisme dan feodalisme secara tidak sadar terwasriskan di era reformasi. Budaya KKN masih meraja rela hingga saat ini. Salah satunya kasus korupsi terbaru yang dilakukan . Menurut berita yang dimuat oleh CNN Indonesia, terdapat 7 kepala daerah ditangkap oleh KPK sepanjang Januari-Oktober 2019. Tidak hanya para petinggi- pentingi saja yang mewarisi budaya KKN tetapi juga masyarakat biasa seperti korupsi waktu dan penyuapan dalam pendidikan. 12

BAB IV KESIMPULAN Feodalisme dalam pemahaman Pram di Bumi Manusia itu sebetulnya menghambat perkembangan karena orang tidak bisa berpikir terbuka, tidak bisa bicara apa adanya, harus selalu berpikir di dalam kerangka hierarki, bahkan mengamini hal yang tidak baik atas nama ketaatan terhadap atasan dan seterusnya. Sedangkan kolonialisme menjadi bumbu penderitaan rakyat membentuk watak dan mental baru yaitu “inlander”. Secara tidak sadar, watak dan mental ‘inlander’ terwarasi sampai hari ini melalui budaya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). DAFTAR RUJUKAN Suharto, Widi. Resistensi Feodalisme dalam Roman Bumi Manusia Karya Pramoedya Anantatoer. Kongres Bahasa Indonesia. [Diakses pada tanggal 9 Desember 2019]. Broto, Anjra Lelono. 2019. Membela Feodalisme. [Online]. Tersedia di http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20091215101431. [Diakses pada 9 Desember 2019]. Endraswara, Suwardi. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Cet. 3. Yogyakarta: Cakrawala. [Diakses pada 9 Desember 2019]. Dr. Aman, Mp.d. 2008. Indonesia: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme.Yogyakarta : Pujanngga Press. [Diakses pada 11 Desember 2019]. CNN Indonesia. 2019. KPK Tangkap 7 Kepala Daerah Sepanjang Januari-Oktober 2019. [Onine]. Tersedia di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191008170101-12- 437823/kpk-tangkap-7-kepala-daerah-sepanjang-januari-oktober-2019. [Diakses pada 20 Desember 2019]. 13


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook