Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore modul ilpop 1

modul ilpop 1

Published by etwin.f, 2019-05-09 21:51:14

Description: modul ilpop 1

Search

Read the Text Version

Desain Produk TIM PENYUSUN: Dwi Cahyadi, M.T Etwin Fibrianie., M.T i Dr. Darius Shyafary., M.Si

Desain Produk Dwi Cahyadi., M.T Etwin Fibrianie., M.T Dr. Darius Shyafary., S.Hut., M.Si ii

Penulis : Dwi Cahyadi., M.T, Etwin Fibrianie., M.T dan Dr. Darius Shyafary., MSi Editor Materi : Editor Bahasa : Ilustrasi Sampul : Desain & Ilustrasi Buku : Jurusan Desain Politeknik Negeri Samarinda Hak Cipta @2018, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN Semua hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak (mereproduksi), mendistribusikan, atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku teks dalam bentuk apapun, atau dengan cara apapun, termasuk fotocopy, rekaman, atau melalui metode (media) elektronik atau mekanis lainnya, tanpa ijin tertulis dari penerbit, kecuali dalam kasus lain, seperti diwujudkan dalam kutipan singkat atau tinjauan penulisan ilmiah dan penggunaan non komersial tertentu lainnya diijinkan oleh perundangan hak cipta. Penggunaan untuk komersial harus mendapat ijin tertulis dari Penerbit. Hak publikasi dan penerbitan dari seluruh isi buku teks dipegang oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Untuk permohonan ijin dapat ditujukan kepada Kampus Politeknik Negeri Samarinda, Jurusan Desain, Prodi Desain Produk Jl. DR. Ciptomangunkusumo Kampus Gn. Lipan Samarinda iii

Kami Persembahkan buku ini teruntuk: Politeknik Negeri Tercinta Jurusan Desain – Prodi Desain Produk Keluarga Terkasih iv

KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Allah S.W.T., atas tersusunnya buku teks ini yang berjudul “Ilmu Pengetahuan Populer”, dengan harapan dapat digunakan sebagai buku teksbagi mahasiswa Prodi Desain Produk Jurusan Desain Politeknik Negeri Samarinda. Buku teks “Ilmu Pengetahuan Populer” ini disusun dengan tujuan agar supaya peserta didik dapat melakukan proses pencarian pengetahuan berkenaan dengan materi kuliah melalui pendekatan budaya massa dan budaya popular serta tentang ilmu tanda pada suatu desain dengan demikian peserta didik diarahkan untuk membangun konsep, menganalisa, memahami, hingga melakukan perancangan produk yang sesuai perkembangan trend an zaman secara langsung. Dengan terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang Penulis miliki, Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penulisan laporan Buku Ajar ini. Dengan kerendahan hati, kritik dan saran yang membangun senantiasa Penulis harapkan demi tercapainya kesempurnaan buku ini. Akhir kata, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan buku ini dan Penulis berharap semoga buku ajar ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca sebagai pegangan maupun bahan ajar yang bermanfaat, serta pandangan- pandangan berarti kepada pembaca akan perkembangan dunia desain. Samarinda, 13 Agustus 2018 Penyusun, v

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………v DAFTAR ISI ……………………………………………………………..vi DAFTAR GAMBAR ………………………………………………...…viii PETA KOMPETENSI ……………………………………………...……ix PENDAHULUAN ……………………………………………………… BAB I BUDAYA MASYARAKAT......................................................... xi 1.1 Definisi Budya............................................................................... 2 1.2 Budaya Massa dan Budaya Populer .............................................. 4 1.3 Budaya Populer dan Hiburan, sebagai Realitas Sosial.................. 6 1.4 Kaum Muda dan Musik Pop.......................................................... 6 1.5 Media Sosialisasi ........................................................................... 7 1.6 Adaptasi Gaya Hidup .................................................................... 8 1.7 Interaksionisme Simbolik.............................................................. 9 1.8 Identitas ....................................................................................... 11 BAB II BUDAYA POPULER ............................................................... 12 2.1 Budaya Tinggi, Budaya Rakyat, Budaya Populer dan budaya Massa .......................................................................................... 12 2.2 Paradigma Budaya Populer ......................................................... 14 2.3 Budaya Populer Versus Komunikasi Massa................................ 16 2.4 Streaming Musik sebagai Budaya Populer.................................. 18 2.5 Budaya Populer Dalam Kemasan Program Televisi ................... 20 2.6 Budaya Populer di bidang Makanan dan Penampilan Fisik........ 26 BAB III MEDIA MASSA DAN TURBULENSI BUDAYA LOKAL 30 3.1 Arus Informasi dan Media Literacy ............................................ 31 3.2 Media Massa dan Turbulensi Budaya Lokal ............................... 32 3.3 Konstruksi Budaya Asing dan Budaya Lokal ............................. 34 3.4 Budaya Elit vs Budaya Marginal................................................. 38 vi

3.5 Tahap Spesialisasi ....................................................................... 39 BAB IV KOMUNIKASI, MAKNA, DAN TANDA ............................. 42 4.1 Defnisi Tanda (Semiotika) .......................................................... 42 4.2 Macam-macam Semiotik............................................................. 44 4.3 Aplikasi Semiotika ...................................................................... 45 vii

DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Poster Semiotika …………………………………...........................57 viii

PETA KO Kompetensi M Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat me aplikasinya dalam Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat menerangkan Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat menerangk produk Setelah menyelesaikan pokok bahasan tentang komunikasi, mak tanda (semiotika) dan penerapannya dalam desain grafis. A

OMPETENSI Mata Kuliah : emne)draensgakinanprdoadnukmemahami tentang desain populer dan Teori Feminisme kan tentang bagaimana semantika mempengaruhi dalam desain kna dan tanda, mahasiswa memahami dan mengerti tentang ilmu ix

A Setelah menyelesaikan pokok bahasan tentang media massa pengaruh media massa terhadap seberapa kuat turbulensi buday Setelah menyelesaikan pokok bahasan tentang budaya popular masyarakat dari awal hingga kini Setelah menyelesaikan pokok bahasan tentang budaya masyara budaya, budaya masyarakat Indonesia, yang terdiri dari budaya di masyarakat Indonesia saat ini mulai dari media social, interak Mata Kuliah

a dan turbulensi budaya lokal, mahasiswa dapat memahami ya lokal popular, mahasiswa diharapkan memahami paradigma budaya akat ini mahasiswa diharapkan akan memahami tentang definisi a massa dan budaya popular Bagaimana bentuk budaya popular ksi simbolik, adaptasi gaya hidup. h Prasyarat : - x

1 PENDAHULUAN Ilmu Pengetahuan Populer (ilpop) merupakan suatu mata kuliah …. Di Program Studi D3 Desain produk Jurusan Desain Politektik Negeri Samarinda. Di dalam ilpop dipelajari tentang budaya suatu produk tumbuh dan berkembang dari massa ke massa. Menyoroti tentang apa dan bagaimana definisi budaya dan pembagian budaya dalam kehidupan masyarakat. Budaya massa dan budaya popular merupakan hasil pengembangan budaya awal invensi. Budaya massa adalah suatu budaya yang terus menerus direproduksi dan dikonsumsi oleh suatu kelompok yang mempunyai akibat secara menyeluruh. Munculnya budaya tersebut sebagai akibat dari massifikasi industrialisasi dan komersialisasi yang berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya. Budaya massa juga diartikan sebagai perilaku konsumerisme (Jega arufa, 2012). Sedangkan budaya populer Budaya populer merupakan cermin dari budaya tradisional yang dihadirkan kembali oleh masyarakat dengan cara yang berbeda di era modern saat ini. Budaya populer ada kaitannya dengan budaya massa yang memiliki banyak pendukung yang sifatnya temporer. Seperti yang kita ketahui jika dalam budaya tradisional, terdapat suatu budaya yang hanya dapat dimiliki oleh kalangan tertentu saja, sehingga kalangan yang lain tidak mendapat kesempatan untuk menikmatinya, kali ini budaya populer justru memberikan kesempatan kepada seluruh elemen masyarakat untuk dapat menikmati dan menyaksikan budaya tersebut (Jega aufa, 2012). Desain dalam produk-produk populer banyak menggunakan tanda-tanda sebagai media penyampaiannya. Ilmu mengenai tanda tersebut di bahas pada pembahasan semiotika di dalam buku ini. Semiotika mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu, serta mengkaji peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Semiotika teks adalah cabang semiotika, yang secara khusus mengkaji teks dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Analisis teks adalah cabang dari semiotika teks, yang secara khusus mengkaji teks sebagai sebuah ‘produk penggunaan bahasa’ berupa kumpulan atau kombinasi tanda-tanda. Teks didefinisikan sebagai pesan-pesan—baik yang menggunakan tanda verbal maupun visual; dan secara lebih spesifik, ia adalah pesan-pesan tertulis, yaitu produk bahasa dalam xi

bentuk tulisan. Tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial. Melalui konvensi sosial, ia menjadi punya makna dan nilai sosial. Bagaimana proses penerimaan suatu produk dalam masyarakat hingga menjadikannya trend dan popular? Bagaimana arti tanda-tanda yang diberikan pada suatu produk dengan inovasi-inovasi terkini? Bagaimana wujud pengaplikasian budaya popular tersebut dalam keseharian masyarakat modern saat ini? Buku ini akan menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. xii

2 BAB I BUDAYA MASYARAKAT Kompetensi Dasar dan Indikator ▪ Kompetensi Dasar : Setelah menyelesaikan pokok bahasan tentang budaya masyarakat ini mahasiswa diharapkan akan memahami tentang definisi budaya, budaya masyarakat Indonesia, yang terdiri dari budaya massa dan budaya popular Bagaimana bentuk budaya popular di masyarakat Indonesia saat ini mulai dari media social, interaksi simbolik, adaptasi gaya hidup. ▪ Indikator : 1. Mengetahui pengertian budaya 2. Ragam budaya populer di masyarakat Indonesia Pokok Bahasan Budaya Massa dan Budaya Populer Sub pokok Bahasan 1. Budaya Massa dan Budaya Populer 2. Budaya Populer dan Hiburan, sebagai Realitas Sosial 3. Kaum Muda dan Musik Pop 4. Media Sosial 5. Adaptasi Gaya Hidup 6. Interaksionisme Simbolik 7. Identitas Estimasi Waktu 6 x 45 menit Media Pembelajaran LCD, White Board 1

2.1 Definisi Budya Budaya atau kebudayaan bersumber dari bahasa Sanskerta ialah buddhayah, yang merupakan bentuk lazim dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Budaya merupakan suatu gaya hidup yang berkembang dan diperoleh bersama oleh sebuah golongan orang dan diwariskan dari turun menurun. Pengertian kebudayaan menurut ahli (Zaky, 2018): 1. Menurut Koentjaraningrat : Pengertian kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar dan semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat. 2. Menurut Ki Hajar Dewantara : Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. 3. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi : Merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. 4. Menurut Dr. Mohammad Hatta : Pengertian Kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. 2

5. Menurut KBBI : Hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2) Antar keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. 6. Menurut Effat al-Syarqawi : Definisi kebudayaan sebagai khazanah sejarah suatu bangsa/masyarakat yang tercermin dalam pengakuan/kesaksiannya dan nilai-nilainya, yaitu kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan bagi kehidupan suatu tujuan ideal dan makna rohaniah yang dalam, bebas dari kontradiksi ruang dan waktu 7. Menurut Parsudi Suparlan : Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. 8. Menurut Haji Agus Salim :Kebudayaan adalah merupakan persatuan istilah budi dan daya menjadi makna sejiwa dan tidak dapat dipisah- pisahkan. 9. Menurut Sutan Takdir Alisyahbana : Pengertian kebudayaan menurut Sutan Takdir Alisyahbana adalah manifestasi dari cara berfikir. 10. Menurut Drs. Sidi Gazalba: Mendefinisikan kebudayaan dengan mengatakan kebudayaan itu adalah daya dari budi, yang berupa cipta, karsa dan rasa. 11. Menurut Mangunsarkoro: Kebudayaan adalah segala yang merupakan hasil kerja jiwa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. 3

12. Menurut Djojodigono adalah daya dari budi, yang berupa cipta, karsa dan ras 2.2 Budaya Massa dan Budaya Populer Salah satu fenomena penting yang menandai lahirnya era postmodern adalah tumbuhnya budaya massa dan budaya populer. Dalam realitas kebudayaan dimana konsumsi mengalahkan produksi, nilai-tanda dan nilai-simbol mengalahkan nilai-guna dan nilai-tukar, penampilan menjadi tujuan, tuntutan mengejar keuntungan adalah satu-satunya pegangan, maka tak pelak, budaya massa dan budaya populer adalah jawaban bagi masyarakat yang demikian. Sebagai semangat zaman baru, budaya massa dan budaya populer pun membawakan nilai-nilai baru, kegairahan baru dan etos kerja baru. Dalam rentang sejarah yang panjang, kebudayaan pop telah menarik minat para akademis, teoritis, analisis, kritisi, dan para pendukung kajian budaya yang mencuat bersamaan dengan kian derasnya gelombang kebudayaan pop dengan segala pernik, warna, dan nuansa yang menyertainya serta dengan muatan budaya yang dikandungnya (Ibrahim, 1997 :17). Budaya massa dan budaya populer kemudian semakin berkembang dengan awal kebangkitan era ekonomi pasar pada abad ke-17 M. Dalam kurun ini, budaya massa dan budaya populer telah menjadi bagian ekonomi politik kapitalisme yang dituntun oleh prinsip kemajuan, keuntungan dan perluasan produksi. Prinsip- prinsip seperti mass production (produksi massal), minimization of cost (pembiayaan yang rendah), standarization (standarisasi), homogenization of taste (penyeragaman selera dan citarasa), differenziation (diferensiasi) dan constanacceleration (percepatan konstan) menjadi hukum baru proses produksi (Ibrahim,1997: 19). Allan O’Connor adalah salah seorang pengkaji budaya, saat menyoroti topik “popular culture”, menjelaskan bahwa terma ini mengacu pada “proses budaya yang berlangsung di antara masyarakat umumnya (general public)” (Ibrahim, 1997 :18). Lalu, kalau budaya massa tak bisa dipisahkan dari kehidupan 4

sehari-hari, sebelum ia menjadi bagian di dalam masyarakat, pasti ada kelompok atau bagian masyarakat yang merancang atau memproduksinya. Bagian produk budaya itu sampai ke masyarakat, dan produk yang bagaimana pula yang “dibutuhkan” oleh sejumlah massa yang besar. Semua ini tidak mungkin tanpa ada melibatkan teknologi. Pertumbuhan teknologi adalah hasil peradaban manusia yang penting tidak hanya menghasilkan produk budaya yang dibuat dalam jumlah besar (massa production), tapi berkat teknologi pula produk budaya bisa disebarkan (dissemination) (Ibrahim, 1997 :19). Dalam perkembangan lebih lanjut, industrialisasi tidak hanya memungkinkan proses massifikasi, yang menurut standartisasi produk budaya dan homogenisasi cita rasa, tapi juga ia telah membawa perkembangan baru dengan semakin terbentangnya peluang pasar. Inilah yang menandai komersialisasi atas produk budaya. Dengan komersialisasi, produk budaya (massa) berubah seirama dengan percepatan tuntutan komersial atas produk budaya dan sasaran berondongan iklan. Kalau kenyataan inilah yang tidak bisa ditolak, yang muncul dalam pertumbuhan masyarakat modern yang terjadi hamper pada semua wilayah adalah munculnya pasar, keunggulan korporasi raksasa, dan tersedianya teknologi baru dalam proses produksi budaya (Ibrahim, 1997 :20). Masyarakat yang terbentuk dari hasil polesan industri inilah yang kemudian dikenal sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa adalah suatu kategori masyarakat industrial. Sementara budaya massa mewakili korelasi budaya dari masyarakat massa dan media massa. Budaya massa dibedakan berdasarkan standar produksi massa dan pemasarannya. Tentu saja industri media massa memegang peran penting dalam drama ini. Tak heran, kalau media massa merupakan basis bagi apa yang disebut “industri kebudayaan”. Dan, sebagai output media yang penting adalah kebudayaan pop (Ibrahim, 1997 :21). Budaya populer yang saat ini banyak menarik perhatian dunia adalah kebudayaan populer dari Korea Selatan. Fenomena Hallyu (Korean wave) telah membawa aliran nilai-nilai budaya Korea meluas ke berbagai negara dan menarik banyak massa. Hallyu merupakan fenomena dalam dunia industri hiburan modern Korea. Produk-produk hallyu antara lain adalah drama, film dan musik (K-pop). 5

2.3 Budaya Populer dan Hiburan, sebagai Realitas Sosial Pemikiran tentang budaya populer menurut Ben Agger (1992:24) dalam dikelompokkan pada empat aliran, (a) budaya di bangun berdasarkan kesenangan namun tidak berdasarkan substansial, dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari; (b) kebudayaan populer menghancurkan budaya tradisional; (c) kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Marx kapitalis; dan (d) kebudayaan populer merupakan budaya yang menetas dari atas (Burhan Bungin, 2008 :49). Kebudayaan populer banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti pementasan mega bintang, kendaraan pribadi,fashion, model rumah, perawatan tubuh dan semacamnya. Sebuah budaya yang akan memasuki dunia hiburan, maka budaya itu umumnya menempatkan unsur populer sebagai unsur utamanya. Dan budaya akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat (Burhan Bungin, 2008 :50). Kebudayaan pop terutama adalah kebudayaan yang diproduksi secara komersial dan tidak ada alasan untuk berpikir bahwa tampaknya ia akan berubah di masa yang akan datang. Namun, dinyatakan bahwa audiens pop menciptakan makna mereka sendiri malalui teks kebudayaan pop dan melahirkan kompetensi kultural dan sumber daya diskursif mereka sendiri. Sebagaimana yang di jelaskan bahwa budaya populer lebih banyak mempertontonkan sisi hiburan, yang kemudian mengesankan lebih konsumtif. Richard Dyer (During, 1993: 217-272) mengatakan, hiburan merupakan kebutuhan pribadi masyarakat yang telah di pengaruhi oleh stuktur kapitalis. 2.4 Kaum Muda dan Musik Pop Fenomena menarik pada perkembangan musik pop Indonesia adalah munculnya berbagai macam aliran musik yang memenuhi ruang kebudayaan manusia. Mulai dari pop, rock, hiphop, hingga musik alternatif. Keberagaman aliran musik menunjukkan bahwa heterogenitas musik Indonesia semakin berkembang (M. Jadid. K., 2014). 6

Adorno (1953), yang menyatakan bahwa musik pop itu ‘distandarisasikan’ baik dari sisi pola musikal ataupun lirik. Ini terbukti dari lagu-lagu pop yang pada umumnya mudah saling dipertukaran dengan lagu-lagu pop lainnya. Sedangkan musik pop bersifat mekanis, dalam pengertian detail tertentu dapat diganti dari satu lagu ke lagu lainnya tanpa efek riil apapun dalam struktur musik yang telah menjadi satu kesatuan. Budaya musik pop lagu, majalah, konser, festival, komik, wawancara dengan bintang pop, film, dan sebagainya membantu memperlihatkan pemahaman akan identitas dikalangan kaum muda. Budaya yang disediakan oleh pasar komersial memainkan peran penting. Ia mencerminkan sikap dan sentimen yang telah ada disana, dan pada saat bersamaan menyediakan wilayah yang penuh ekspresi serta sederet simbol yang melalui simbol itu sikap tersebut dapat di proyeksikan. Ia adalah area ekspresi diri bagi kaum muda dan padang rumput yang subur bagi provider komersial. Lagu-lagu pop merefleksikan kesulitan remaja dalam menghadapi kekusutan persoalan emosional. Lagu-lagu pop menyerukan kebutuhan untuk menjalani kebutuhan untuk menjalani kehidupan secara langsung dan intens. Lagu-lagu itu mengekspresikan dorongan akan keamanan didunia emosional yang tidak pasti dan berubah-ubah. Fakta bahwa lagu-lagu itu diproduksi bagi pasar komersial berarti bahawa lagu dan setting itu kekurangan autensitas. Kendati demikian, lagu-lagu itu mendramatisasi perasaan-perasaan autentik (John Storey, 2007). 2.5 Media Sosialisasi Media sosialisasi merupakan tempat di mana sosialisasi itu terjadi atau disebut juga sebagai agen sosialisasi atau sarana sosialisasi. Yang dimaksud dengan agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang membantu seorang individu menerima nilai-nilai dari agen sosialisasi tersebut. Media sosialisasi terdiri atas 2 yakni kelompok bermaian, dan media massa. Kelompok bermain dan berkumpul turut menentukan dalam pembentukan sikap untuk berprilaku yang sesuai dengan kelompoknya. Kelompok bermain dan 7

berkumpul adalah merupakan agen sosialisasi yang pengaruhnya besar dalam membentuk pola-pola perilaku seseorang. Banyak hal yang dipelari dan di dapat dalam kelompok bermain individu antara lain norma nilai, kultural, peran, dan semua persyaratan lainnya yang dibutuhkan individu untuk memungkinkan partisipasinya yang efektif di dalam kelompok permainannya. Istilah media massa mengacu kepada kepada sejumlah media yang telah ada sejak puluhan tahun yang lalu dan tetap dipergunakan hingga saat ini, seperti surat kabar, majalah, film, radio, televisi, internet, dan lain-lain. Pengertian media massa mulai menunjukkan batasan yang tidak jelas atau dianggap tidak jelas oleh sebagian orang, dengan munculnya sejumlah media baru yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan media massa yang sudah ada sebelumnya. Media massa baru atau lebih sering disebut dengan ‘media baru’ (new media) ini bersifat lebih individual, lebih beragam (diversified) dan lebih interaktif. Dalam kehidupan masyarakat modern, komunikasi merupakan sesuatu kebutuhan yang sangat penting terutama untuk menerima dan menyampaikan informasi dari satu pihak ke pihak lain. Akibat pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam waktu yang sangat singkat, informasi- informasi tentang peristiwa-peristiwa, pesan, berita, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya dengan mudah diterima masyarakat. 2.6 Adaptasi Gaya Hidup Mengutip dalam Ritzer (2007: 121) menjelaskan bahwa adaptasi (adaptation) merupakan sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya. Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni: 1. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 2. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 3. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan. 8

4. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem. 5. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan. Dalam Narwoko (2004: 163) menjelaskan gaya hidup sebagai berikut: “Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kelas sosial satu dengan kelas sosial yang lain dalam banyak hal tidak sama, bahkan ada kecenderungan masing- masing kelas mencoba mengembangkan gaya hidup yang eksklusif untuk membedakan dirinya dengan kelas yang lain. Berbeda dengan kelas sosial rendah yang umumnya bersikap konservatifdi bidang agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, cara baru perawatan kesehatan, cara mendidik anak dan hal-hal lainnya, gaya hidup dan penampilan sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan eksklusif (Dickson, 1968)”. Gaya hidup sebagai pembeda kelompok akan muncul dalam masyarakat yang terbentuk atas dasar stratifikasi sosial. Setiap kelompok dalam stratum sosial tertentu akan memiliki gaya hidup yang khas. Dapat dikatakan bahwa gaya hidup inilah yang menjadi simbol prestise dalam sistem stratifikasi sosial (Ibrahim, 1997: 228). Masuk pada level konsumsi, yang dikonsumsi masyarakat pada level ini bukan lagi sesuatu berdasar nilai guna, nilai pakai, tetapi sesuatu yang kalau disebut dalam iatilah teoritis adalah simbol. Di sini kemudian citra atau image menjadi sangat penting, ia berjalan seiring melesatnya kemajuan dunia informasi di mana informasi bukan lagi sekedar sebagai alat atau modal untuk berdagang, melainkanmenjadi produk sendiri (Ibrahim, 1997: 181) 2.7 Interaksionisme Simbolik Teori Interaksionalisme simbolik (symbolic interactionism) adalah pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antara manusia dan masyarakat. 9

Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran simbol atau komunikasi yang sarat makna. Interaksionisme simbolik memandang manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak sebagian, merupakan aktor-aktor bebas. Menurut Blumer, interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis (Poloma, 2004: 258). a. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasar makna-makna yang ada pada sesuatu itu. b. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. c. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung. Sama halnya dengan Blumer, para penganut interaksionisme simbolik seperti Manis dan Meltzer, A Rose dan Snow mencoba mengemukakan prinsip dasar dari teori interaksionisme simbolik ( Ritzer, 2009:392) antara lain; a. Manusia ditopang oleh kemampuan berfikir yang membedakan interaksionisme simbolik dengan behaviorisme yang menjadi akarnya. Kemampuan berfikir memungkinkan orang untuk bertindak secara reflektif, mengonstruksi dan mengarahkan apa yang mereka lakukan. Penganut interaksionisme simbolik memandang bahwa pikiran muncul dalam sosialisasi kesadaran. b. Kemampuan berfikir dibentuk oleh interaksi sosial. Kemampuan berfikir manusia berkembang pada saat masa kanak-kanak dan dipoles saat masa sosialisasi dewasa. c. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berfikir tersebut. d. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan interaksi khas manusia e. Orang mampu mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka dalam situasi tersebut. 10

f. Jalinan pola tindakan dengan interaksi ini kemudian menciptakan kelompok dan masyarakat Dilihat dari perspektif teori interaksionisme simbolik, remaja yang fanatik terhadap budaya pop Korea memaknai budaya populer Korea sebagai sesuatu yang menarik sehingga membuat mereka menyukai hal tersebut. Musik K-pop atau drama-drama Korea diartikan sebagai simbol yang mengarahkan tindakan mereka sehingga banyak perilaku remaja yang yang berkiblat pada budaya Korea. Penggemar fanatik akan cenderung menjadi Korea-sentris, yakni tidak hanya sekedar menyukai musik K-pop atau dramanya saja tetapi juga produk- produk budaya populer Korea lainya, seperti seni budaya asli Korea, bahasa Korea, produk-produk teknologi buatan Korea, bahkan negara Korea itu sendiri. 2.8 Identitas Identitas merupakan suatu penyadaran yang dipertajam akan diri sendiri dan sebagai suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya sendiri bagi orang lain dan bagi diri sendiri (Erikson, 1989). Konsepsi yang kita yakini tentang diri kita disebut dengan identitas diri, sementara itu harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial (Barker, 2008: 173). Giddens mengatakan bahwa identitas diri adalah apa yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai pribadi (Barker, 2008). Identitas bukanlah kumpulan sifat-sifat yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk. Giddens menyebut identitas sebagai proyek yakni identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini, bersama dengan apa yang kita pikir dan inginkan sebagai lintasan harapan kedepan. Budaya media mengkonstruksikan identitas penggemar melalui tayangan tayangan budaya populer Korea. Tayangan tersebut membentuk bentuk identitas penggemar sebagai pecinta budaya pop Korea. Identitas tersebut kemudian terekspresi dari cara berpenampilan (fashion), penggunaan bahasa Korea dalam berkomunikasi dan penggunaan nama-nama Korea. 11

3 BAB II BUDAYA POPULER Kompetensi Dasar dan Indikator ▪ Kompetensi Dasar : Setelah menyelesaikan pokok bahasan tentang budaya popular, mahasiswa diharapkan memahami paradigma budaya popular masyarakat dari awal hingga kini ▪ Indikator : 1. Mengetahui pengertian budaya 2. Mengetahui Ragam budaya populer di masyarakat Indonesia 3. Mengetahui Paradigma Budaya Populer Pokok Bahasan BUDAYA POPULER Sub pokok Bahasan - Paradigma Budaya Populer - Kritik Budaya - Budaya Populer Versus Komunikasi Massa - Budaya Populer dalam Kemasan Program Televisi - Budaya Populer di bidang Makanan dan Penampilan Fisik Estimasi Waktu 3 x 45 menit Media Pembelajaran LCD, White Board 3.1 Budaya Tinggi, Budaya Rakyat, Budaya Populer dan budaya Massa Dalam diskusi akademis maupun pembicaraan sehari-hari tentang kebudayaan seringkali muncul istilah budaya tinggi (high culture), budaya rakyat (folk culcure), budaya rendah (low culture), budaya massa (mass culture), dan 12

budaya populer (populer culture). Apa yang menyebabkan istilah-istilah ini muncul dan sejak kapan istilah ini dipergunakan? Lalu apa makna di balik peristilahan ini? Tulisan ini mencoba menggali pertanyaan-pertanyaan tersebut. Menurut Hardjana (dalam Budiman, 2002: 223) untuk dapat melihat kapan munculnya istilah budaya tinggi/elit, budaya rendah/rakyat, budaya massa dan budaya populer maka lembar sejarah perlu dibuka dan ditelisik. Ia mengemukakan bahwa dinamika kebudayaan dapat dibagi dalam dua kategori yakni kebudayaan pramedia massa dan kebudayaan media massa. Pembedaan antara budaya elit/tinggi dengan budaya rakyat/rendah didasari atas asumsi relasi kekuasaan antara kelompok dominan dan kelompok subordinat. Kelompok elit minoritas yang memiliki kekuasaan dan terpelajar menciptakan kebudayaan bagi diri mereka sendiri dan dengan kekuasaan itu pula mereka menjaga agar kebudayaan yang mereka hasilkan tetap murni tidak tercampur dengan kebudayaan rakyat yang dianggap rendah karena penciptanya adalah masyarakat tidak terpelajar. Di sisi lain legitimasi atas budaya elit juga datang dari rakyat jelata kerena mereka mengakui kekuasaan yang dimiliki kelompok minoritas elit tersebut. Pengakuan atas kekuasaan para elit serta merta pula mendukung budaya yang mereka hasilkan. Dengan adanya dinamika semacam ini, sadar atau tidak kebudayaan yang ada dalam masyarakat terbentuk dalam sebuah struktur vertikal hirarkis. Kebudayaan yang dihasilkan oleh kelompok elit dianggap budaya superior sedang kebudayaan rakyat dianggap sebagai budaya inferior (Yoseph. Andreas, http://repository.unwira.ac.id) Kebudayaan tinggi hasil karya para elit muncul akibat hak istimewa yang mereka dimiliki. Dengan kekuasaan yang besar, kelompok minoritas elit tidak mengerjakan semua pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Tugas yang merupakan beban kerja mereka, sebagian besar diserahkan kepada para bawahan, budak, dan buruh dengan upah tertentu. Akibatnya, mereka memiliki cukup banyak waktu luang di luar pekerjaan sehari-hari. Waktu kosong ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok elit untuk memikirkan berbagai macam konsep estetika yang bagus sehingga menghasilkan buah-buah budaya yang berkualitas tinggi (Yoseph. Andreas, http://repository.unwira.ac.id) 13

Sedangkan budaya rakyat dihasilkan bukan dari waktu luang melainkan dari interaksi mereka dengan peristiwa-peristiwa konkrit sehari-hari. Dalam masyarakat tradisional, kehidupan kesenian menyatu penuh dengan aktivitasaktivitas ritual yang biasanya berhubungan dengan alam dan yang transenden. Hal ini dapat ditemukan, misalnya, hampir di semua daerah di Indonesia, kebudayaan lokal masyarakatnya memiliki tradisi-kesenian yang berhubungan dengan pola musim tanam-musim panen yang dipenuhi dengan berbagai ritus penyembahan, penghormatan dan pengorbanan bagi alam lain dan atau yang transenden. Karena itu, walau pun budaya tinggi milik para elit dalam prakteknya sangat dominan dan cenderung menekan namun dari sisi produksi kedua budaya ini terpisah, tidak bisa disatukan dan berjalan sendiri-sendiri (Yoseph. Andreas, http://repository.unwira.ac.id) Jadi dalam konteks masyarakat feodal pra industri, budaya tinggi dan budaya rendah kelihatan sangat jelas. Budaya tinggi merupakan hasil karya kelompok elit minoritas yang berpendidikan, kaya, dan berkuasa sedangkan budaya rendah adalah budaya yang dihasilkan oleh masyarakat jelata yang bodoh tak berpendidikan. Kedua konsp ini akan mengalami pergeseran setelah datangnya masa industri (Yoseph. Andreas, http://repository.unwira.ac.id). 3.2 Paradigma Budaya Populer Paradigma adalah model utama, pola atau metode (untuk meraih beberapa jenis tujuan). Seringkali paradigma merupakan sifat yang paling khas atau dasar dari sebuah teori atau cabang ilmu. Menurut konteks, artinya bisa: (dalam epistemologi) sebuah paradigma ilmiah Kuhnian paradigm., namembahas pengertian “budaya populer” ada baiknya kita pahami dulu tentang kata “budaya”, dan selanjutnya tentang “pop”. Selanjutnya untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”. Pertama, budaya dapat digunakan untuk mengacu pada suatu proses umumperkembangan intelektual, spiritual, dan estetis (Williams, 1983: 90). Mungkin rumusan ini merupakan rumusan budaya yang paling mudah dipahami, misalnya; kita bisa bisa berbicara tentang perkembangan budaya Eropa Barat 14

dengan merujuk pada faktor-faktor intelektual, spiritual, estetis para filsuf besar, seniman, dan penyair-penyair besar. Kedua, budaya berarti “pandangan hidup tertentu dari masyarakat , periode, atau kelompok tertentu (Williams, 1983: 90). Jika kita membahas perkembangan budaya Eropa Barat dengan menggunakan definisi ini, berarti kita tidak melulu memikirkan faktor intelektual dan estetisnya saja, tetapi juga perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan upacara ritus religiusnya. Ketiga, selain itu Williams juga mengatakan bahwa budaya-pun bisa merujuk pada ”karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistik (Williams, 1983: 90). Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi utama untuk menunjukkan, menandakan (to signify), memproduksi, atau kadang menjadi peristiwa yang menciptakan makna tentu. Budaya dalam definisi ketiga ini sinonim dengan apa yang disebut kaum strukturalis dan postrukturalis sebagai ”parktik-praktik penandaan” (signifying practices). Dengan menggunakan definisi ini kita mungkin bisa memikirkan beberapa contoh budaya pop. Sebut saja misalnya; puisi, novel, balet, opera, dan lukisan. Dengan demikian jika berbicara tentang budaya pop, berarti menggabungkan makna budaya yang kedua dengan makna ketiga di atas. Makna kedua—pandangan hidup tertentu—memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik-parktik, seperti liburan ke pantai, perayaan Hari Lebaran, dan aktivitas pemuda subkultur sebagai contoh-contoh budayanya. Semua ahal ini biasanya disebut sebagai budaya-budaya yang hidup (lived cultures) atau bisa disebut sebagai praktik-praktik budaya. Makna ketiga—praktik kebermaknaan— memungkinkan kita membahas tentang opera sabun, musik pop dan komik sebagai contoh budaya pop. Budaya ini biasanya disebut sebagai teks-teks budaya. Kata ”pop” diambil dari kata ”populer”. Terhadap istilah ini Williams memberikan empat makna yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Williams, 1983: 237). Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”. 15

Ada satu titik awal (pertama) yang menyatakan bahwa budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Kita bisa melihatnya lakunya album pertama-nya Peterpan. Kita juga bisa meneliti konser, pesta olahraga, festival. Kita bisa melihat kesukaan audiens terhadap program TV melalui riset pasar. Dari pengamatan terhadap berbagai hal tersebut akan memberikan banyak informasi bagi kita. Kedua, untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah) Budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain budaya pop didefinisikkan sebagai budaya ”substandar”. Yang diuji oleh budaya pop meliputi seperangkat pertimbangan nilai teks atau praktik budayanya. Sebagai contoh, kita bisa berpegang pada kompleksitas formal sebuah budaya pop. Kita juga bisa mempertimbangkan kebermanfaatan moralnya sebagai metode untuk menerapkan pertimbangan nilai tersebut. Kritik budaya yang lain bisa juga menyatakan bahawa pada akhirnya semuanya akan dimasukkan ke dalam tinjauan kritis terhadap teks atau praktiknya. Namun untuk menentukan kebermanfaatan sesuatu cara budaya tidak semudah yang dipikirkan orang. Salah satu kesulitan besar yang dihadapi adalah bagaimana caranya menjaga ekslusivitas budaya tinggi. Secara harfiah, sangat sulit mengesampingkan ekslusivitas audiens suatu budaya tinggi (Storey, 2007: 11). 3.3 Budaya Populer Versus Komunikasi Massa Sebagai sebuah panduan bagi sekelompok masyarakat untuk bertindak dan berperilaku, budaya mewujud, dipelajari dan diaplikasikan salah satunya melalui media komunikasi. Orang tua yang merawat dan membesarkan anaknya melakukan transmisi budaya melalui komunikasi interpersonal. Kemudian, semakin kompleks sebuah masyarakat semakin kompleks pula perilaku komunikasi yang dijalankan. Komunikasi sebagai sebuah perilaku interaksi sosial menjadi alat bagi budaya untuk mempertahankan dirinya dan memastikan hal tersebut melalui pewarisan social. Namun komunikasi juga menjadi media bagi pewarisan 16

budaya-tandingan atau counter culture yang diam-diam mengakar dan tumbuh sebagai alternatif dari budaya-tinggi yang dimiliki sebuah masyarakat. Budaya tinggi penulis mengartikan sebagai salah satu aspek kebudayaan sebuah masyarakat yang keberadaannya berasal dari nilai-nilai mendasar yang dimiliki kebudayaan tersebut, budaya tinggi merupakan pengejawantahan dari aspirasi, moral dasar, penghayatan masyarakat akan kehidupan dan cenderung memerlukan kemampuan khusus untuk menerap kannya. Budaya tinggi salah satunya adalah jenis musik yang ada di masyarakat. Saat ini musik yang dikategorikan klasik seperti warisan Mozart, Bach, Schubert, dsb acapkali dikaitkan dengan kekunoan, kompleksitas, dan hanya dimainkan di gedung-gedung opera atau teater. Hal senada juga berlaku bagi alat musik tradisional Gamelan, yang seringkali kita lihat (hanya) dimainkan di Keraton, Pagelaran seni Wayang, dan pertemuan-pertemuan kenegaraan. Meskipun ada usaha untuk melestarikan seni Gamelan melalui kursus dan sekolah Karawitan. Budaya tinggi yang tergeser oleh kemunculan teknologi yang berakibat pada instanisasi perilaku masyarakat, mendapatkan tandingannya berupa budaya populer. Mengapa budaya populer menjadi tandingan dari budaya tinggi? Budaya populer atau budaya massa diartikan oleh McDonald dalam Popular Culture (Strinati, 2004:18) sebagai sebuah kekuatan dinamis, yang menghancurkan batasan kuno, tradisi, selera dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya massa membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut budaya homogen. Budaya tinggi menyesuaikan diri dengan moral dasar yang dianut sebuah masyarakat. Bila budaya tinggi adalah sebuah bentuk dukungan terhadap kestabilan dan kemamapanan nilai-nilai dalam masyarakat, maka budaya populer pada awalnya bertindak sebagai counter culture yang melawan kemapanan, memberikan alternatif bagi sebuah masyarakat yang berubah, kemudian menjadi ‘pemersatu’ unsur-unsur masyarakat yang terpisahkan kelas dan status social ke dalam satu komunitas massa ‘maya’. Komunitas tersebut disebut ‘maya’ karena seperti hakekatnya sebuah bentuk komunikasi 17

massa yang khalayaknya anonym dan tersebar, komunitas dari budaya populer acapkali bersifat tersebar dan anonim. Mereka dipertemukan ketika budaya populer tersebut berwujud. Sebuah grup musik yang sedang naik daun atau terkenal adalah salah satu contoh budaya populer. Penggemarnya berada di berbagai pelosok daerah dan negeri, dipersatukan pada saat band tersebut tampil, yang walaupun tampilnya di stasiun televisi, menyatukan para penggemarnya untuk menyaksikan. Pada saat itu mereka menjadi komunitas massa ‘maya’. Berbicara tentang komunikasi massa, tentu layak bila kita memasukkan televisi sebagai media dari budaya populer. Televisi sejak kemunculan perdananya pada tahun 1926 telah menjalankan fungsinya sebagai media komunikasi, yang paling jelas terlihat adalah fungsi sebagai media informasi dan media hiburan. Televisi juga menjalankan fungsinya sebagai media massa, yang melayani konsumen atau khalayak yang anonim, heterogen, dan tersebar. Hal ini didukung oleh sifat kebaruan (novelty), gerak, warna, dan audiovisual yang dimilikinya. Televisi yang awalnya bertindak untuk menyebarkan informasi, memberikan pengawasan, dan hiburan, kini menjadi media pembentuk realitas khalayak. Penulis akan memberikan ulasan singkat mengenai budaya populer dan televisi dari sudut pandang kritis. 3.4 Streaming Musik sebagai Budaya Populer Budaya massa adalah produk kebudayaan yang terus menerus direproduksi sekaligus dikonsumsi secara massal, sehingga industri yang tercipta dari budaya massa ini berorientasi pada penciptaan keuntungan sebesar-besarnya. Budaya massa ini adalah sebagai akibat dari kritik atas budaya tradisional, dimana budaya tradisional ini muncul dan berasal dari masyarakat itu sendiri dan tidak terikat atau tergantung pada media massa. Budaya tradisional itu sendiri terbangun dari proses adaptasi dari interaksi kelas elit masyarakat dalam hal estetika, sangat mengagungkan kesusatraan dan tradisi keilmuan. Sedangkan pada budaya massa, sebagai kritik atas budaya tradisional, merujuk kepada proses pluralisme dan 18

demokrasi yang kental, berusaha untuk menghilangkan kelas-kelas yang mendasarkan dirinya pada budaya modal, borjuasi dan elitisme, dengan mengedepankan kebersamaan dan egalitarianisme. Namun secara negatif, budaya massa juga banyak diartikan sebagai perilaku konsumerisme, kesenangan universal yang bersifat hanya seketika, mudah punah, dan memiliki makna yang dangkal dan tidak bersifat ganda, mengacu kepada pengertian produk budaya yang diciptakan semata-mata untuk pasar (Reiza.P., 2016) Dalam beberapa kritik budaya yang ada dalam paradigma budaya massa, budaya massa bukan hanya sebagai budaya terapan untuk kaum miskin, tetapi juga bisa diidentifikasi sebagai budaya yang diimpor dari Amerika:”jika kita hendak menemukan budaya dalam bentuk modernnya..., lihatlah kota-kota besar Amerika terutama New York” (Malthy, 1989; 11). Budaya popular sendiri muncul akibat adanya perkembangan modernitas yang membuat masyarakat lebih cerdas untuk menciptakan hal-hal yang dapat menjadi popular di tengah masyarakat. Seperti trand streaming yang termasuk dalam salah satu contoh produk popular dimasyarakat saat ini. Streaming sendiri merupakan sebuah kata yang tak lagi asing ditelinga kita. Bahkan diantara kitapun pasti ada yang sering melakukan streaming. Streaming sendiri merupakan sebuah teknologi yang mampu mengkompresi atau menyusutkan ukuran file audio dan video agar mudah ditransfer melalui jaringan Internet. Kegiatan streaming yang umum adalah streaming video, film, sampai nonton bola melalui Youtube, aplikasi-aplikasi nonton streaming yang dapat didownload di handphone cerdas kita ataupun website-website yang menyediakan film streaming lainnya. Tren streaming musik ini sendiri banyak digemari para remaja serta orang dewasa, bahkan anak-anakpun bisa untuk melakukan streaming music ini. Asalkan tahu bagaimana cara menggunakan ponsel cerdas dan tahu cara menjalankan aplikasi-aplikasi streaming yang bisa didownload di Play Store ataupun App Store. Tren streaming ini tidak dikhususkan untuk kalangan tertentu saja, setiap yang bisa dan mengerti cara menggunakan gadget pasti bisa untuk melakukan streaming musik (Alya Ulfah, 2017) 19

3.5 Budaya Populer Dalam Kemasan Program Televisi Bagaimana produk menjadi sebuah budaya populer? Jawabannya melalui komunikasi massa. Budaya populer berawal dari mana saja. Seperti sebuah band musik yang awalnya berasal dari Liverpool Inggris dan berlatih di garasi rumah personelnya menjadi band papan atas yang mendunia. Semua berawal dari kemunculan The Beatles di Ed Sullivan Show pada tahun 1960an. Kemudian ada pula pemuda dari Memphis Tennessee yang mencoba peruntungan dengan merekam suaranya dan akhirnya menjadi Raja Rock n Roll di Amerika Serikat, Elvis Presley menjadi terkenal karena membawakan jenis musik yang berbeda- pada masa itu yang terkenal adalah gospel, swing, jazz dsb-dan dipandang kontroversial karena mendorong kebebasan dalam bermusik. Musik Rock pada awal kemunculannya juga menjadi kontroversi karena dikenal sebagai musik yang tidak mengenal aturan dan mendobrak batas-batas apa yang dipandang baik. Meskipun begitu penggemarnya menemukan oasis pada musik Rock, dan sampai sekarang grup-grup musik beraliran Rock terus muncul dan bertahan. Legenda musik berasal dari kisah-kisah sederhana di kota kecil dan penampil jalanan, bukanlah milik Eropa dan Hollywood-ikon film sebagai budaya populer. Di Indonesia, kita mengenal grup band Slank, yang hingga 10 tahun usianya masih memiliki basis penggemar yang kuat, disebut Slankers. Selain itu kita juga merasakan efek musik Dangdut-mengakui atau tidak-yang dianggap ‘kampungan’ namun sesungguhnya menjadi budaya populer di Indonesia. Dangdut memiliki penggemar akar rumput (grass root), setidaknya di pulau Jawa, yang setia. Diperdengarkan dan ditampilkan di hajatan di kampung-kampung, kenduri, peringatan 17 Agustusan, sampai dilombakan secara komersial di televisi, dangdut terus bertahan sebagai sebuah budaya populer yang benar-benar bersifat massa. Dari jalanan ke layar televisi, sesungguhnya budaya populer berasal dari sesuatu yang sederhana di masyarakat. Item tersebut awalnya dianggap menyimpang namun karena keunikannya diadopsi oleh masyarakat yang jenuh dengan apa yang sudah ada dan biasa. Televisi, pada awalnya bertindak sebagai media penyebar informasi, penyebar benih budaya populer. Kini televisi 20

adalah pembentuk dan penjual budaya populer. Fenomena grup band seperti Nidji, Ungu, Slank, Gigi, Peter Pan, Zamrud sampai Rhoma Irama adalah kerja dari televisi. Televisi menayangkan berulangkali penampilan dari para artis, menancapkan di benak khalayakmeminjam istilah cultivation oleh George Gerbner-bahwa artis-artis itu tampil di televisi karena mereka memang terkenal, tidak mengenal atau menyukai mereka memposisikan khalayak sebagai orang yang ketinggalan jaman. Kenyataannya adalah televisilah yang menjual artis-artis tersebut. Merujuk pada Fiske dan Hartley dalam Reading Television (2003: 5), televisi adalah bentukan manusia, karya yang dihasilkan berasal dari pilihan manusia, keputusan budaya dan tekanan sosial. Televisi membentuk realitas tentang apa yang tren dan patut dijadikan idola oleh masyarakat. Televisi menampilkan tidak hanya satu lapis realitas tapi hyperrealitas. Penggemar musik tidak hanya disodori apa yang tren dalam dunia musik, tapi juga apa yang tren di bidang mode, tren di bidang gadget (piranti telekomunikasi, seperti telepon selular), intinya adalah tren di bidang gaya hidup. Penggemar sebuah grup band disebut juga groupies, mengikuti perjalanan bandnya, mengenakan pakaian dan gaya mode yang dipakai oleh personil band, sampai mengikuti gaya hidup anggota band. Itulah sebabnya kita dapat menemukan grup band atau solois yang mempromosikan sebuah merek telepon selular atau musik mereka dapat diperoleh secara gratis bila membeli merek telepon selular beserta kartu GSM tertentu. Ketika kecil, penulis sering mendengar teman-teman saling memberikan julukan nama. Julukan nama itu bisa saja nama orang tua, seperti “Hei Jukri! (panggilan pada teman yang nama bapaknya Jukri padahal nama aslinya Anto)”, atau “Monyet” pada teman yang kulitnya hitam dan beralis tebal. Julukan lain diberikan berdasarkan bentuk tubuh dan kebiasaannya. Seperti julukan “Katè (kurcaci)” pada teman yang memiliki ukuran tubuh pendek. Pemberian nama tersebut adakalanya menyinggung tapi seringkali dibuat sebagai lelucon antar sesama teman, sehingga siapapun tidak boleh merasa tersinggung. Pemberian julukan adalah salah satu bentuk olok-olokan atau lelucon yang mengarah ke mengejek.Biasa ditemukan di masyarakat yang menggunakannya untuk kepentingankeakraban, olok-olokan menjadi ‘bintang’ di layar kaca, bahkan menjadi salah satubentuk budaya populer. Saya akan jelaskan mengapa. 21

Komunikasi interpersonal adalah salah satu tahap komunikasi yang dilakukan oleh manusia. Sifatnya transaksional dan menjadikan pelaku-pelaku komunikasi berperan sebagai komunikator sekaligus komunikan. Komunikasi interpersonalvital perannya dalam proses interaksi antar manusia. Bentuk interaksi manusiaditentukan oleh budaya atau adat istiadat yang berlaku pada masyarakat tertentu, bahasa adalah salah satu dari aspek budaya tersebut. Orang Surabaya yang bertempat tinggal di kampung menggunakan kata sapaan seperti ‘Piye kabare rek?‘ atau menggunakan kata ‘jancuk’ yang menandakan keterkejutan yang diucapkan dengan nada tinggi dan keras, berkonotasi negatif namun umum terdengar. Kata ‘atos’ akan berarti ‘keras’ pada budaya Jawa namun berarti ‘sudah’ pada bahasa Sunda. Perbedaan bahasa menuntun kesadaran budaya dari para pelaku komunikasi ketika berbicara dengan pelaku komunikasi dari budaya yang berbeda. Berbicara tentang komunikasi interpersonal, mengolok-olok atau bullying (bahasa Inggris, pen) yang tidak disertai kekerasan fisik seringkali dilakukan oleh anak-anak kecil sampai orang dewasa sebagai bentuk menjalin keakraban. Berangkat dari perilaku yang dilakukan di masyarakat, mengolok-olok menjadisalah satu poin penting dari pertunjukan di televisi. Sebutlah Srimulat yang bisa disebut sebagai pionir untuk jenis lawakan yang mengedepankan olok-olokan terhadap satu atau lebih tokoh pada satu episode, pemeran yang sering menjadi ‘korban’ adalah Tessy. Kemudian, setelah Srimulat meredup, muncul tayangantayangan lain seperti Santai Bareng Yuk! (AnTeve), yang ditampilkan dengan lokasi Kenyataannya adalah televisilah yang menjual artis-artis tersebut. Merujuk pada Fiske dan Hartley dalam Reading Television (2003: 5), televisi adalah bentukan manusia, karya yang dihasilkan berasal dari pilihan manusia, keputusan budaya dan tekanan sosial. Televisi membentuk realitas tentang apa yang tren dan patut dijadikan idola oleh masyarakat. Televisi menampilkan tidak hanya satu lapis realitas tapi hyperrealitas. Penggemar musik tidak hanya disodori apa yang tren dalam dunia musik, tapi juga apa yang tren di bidang mode, tren di bidang gadget (piranti telekomunikasi, seperti telepon selular), intinya adalah tren di bidang gaya hidup. Penggemar sebuah grup band disebut juga groupies, mengikuti perjalanan bandnya, mengenakan pakaian dan gaya mode yang dipakai oleh personil band, sampai mengikuti gaya hidup anggota band. Itulah sebabnya kita 22

dapat menemukan grup band atau solois yang mempromosikan sebuah merek telepon selular atau musik mereka dapat diperoleh secara gratis bila membeli merek telepon selular beserta kartu GSM tertentu. Ketika kecil, kita sering mendengar teman-teman saling memberikan julukan nama. Julukan nama itu bisa saja nama orang tua, seperti “Hei Jukri! (panggilan pada teman yang nama bapaknya Jukri padahal nama aslinya Anto)”, atau “Monyet” pada teman yang kulitnya hitam dan beralis tebal. Julukan lain diberikan berdasarkan bentuk tubuh dan kebiasaannya. Seperti julukan “Katè (kurcaci)” pada teman yang memiliki ukuran tubuh pendek. Pemberian nama tersebut. adakalanya menyinggung tapi seringkali dibuat sebagai lelucon antar sesama teman, sehingga siapapun tidak boleh merasa tersinggung. Pemberian julukan adalah salah satu bentuk olok-olokan atau lelucon yang mengarah ke mengejek. Biasa ditemukan di masyarakat yang menggunakannya untuk kepentingan keakraban, olok-olokan menjadi ‘bintang’ di layar kaca, bahkan menjadi salah aatu bentuk budaya populer. Saya akan jelaskan mengapa. Komunikasi interpersonal adalah salah satu tahap komunikasi yang dilakukan oleh manusia. Sifatnya transaksional dan menjadikan pelaku-pelaku komunikasi berperan sebagai komunikator sekaligus komunikan. Komunikasi interpersonal vital perannya dalam proses interaksi antar manusia. Bentuk interaksi manusia ditentukan oleh budaya atau adat istiadat yang berlaku pada masyarakat tertentu, bahasa adalah salah satu dari aspek budaya tersebut. Orang Surabaya yang bertempat tinggal di kampung menggunakan kata sapaan seperti ‘Piye kabare rek?‘ atau menggunakan kata ‘jancuk’ yang menandakan keterkejutan yang diucapkan dengan nada tinggi dan keras, berkonotasi negatif namun umum terdengar. Kata ‘atos’ akan berarti ‘keras’ pada budaya Jawa namun berarti ‘sudah’ pada bahasa Sunda. Perbedaan bahasa menuntun kesadaran budaya dari para pelaku 65 komunikasi ketika berbicara dengan pelaku komunikasi dari budaya yang berbeda. Berbicara tentang komunikasi interpersonal, mengolok-olok atau bullying (bahasa Inggris, pen) yang tidak disertai kekerasan fisik seringkali dilakukan oleh 23

anak-anak kecil sampai orang dewasa sebagai bentuk menjalin keakraban. Berangkat dari perilaku yang dilakukan di masyarakat, mengolok-olok menjadi salah satu poin penting dari pertunjukan di televisi. Sebutlah Srimulat yang bisa disebut sebagai pionir untuk jenis lawakan yang mengedepankan olok-olokan terhadap satu atau lebih tokoh pada satu episode, pemeran yang sering menjadi ‘korban’ adalah Tessy. Kemudian, setelah Srimulat meredup, muncul tayangan tayangan lain seperti Santai Bareng Yuk! (AnTeve), yang ditampilkan dengan lokasi. Semakin tajam mengejek, semakin luculah sebuah acara. Kedua, olok- olokan pada alia dasarnya adalah bagian dari kebudayaan kita, karena itulah lelucon yang sering kali ditampilkan lebih banyak mengarah pada olok-olokan daripada acara humor ‘pintar’ yang banyak ditampilkan oleh televisi Amerika Serikat. Sebuah olok-olokan menjadi budaya populer karena menurut pengamatan penulis hal itu ada di semua stasiun televisi, ditonton oleh banyak orang, bahkan olok-olokan yang diucapkan berwujud di masyarakat dan bukan sekedar ucapan di tayangan televisi. Ucapan seperti ‘Jangan Gila Dong!’ dapat menjadi tren sama seperti ‘OMG (Oh My God)’, ‘Plis Dong Ah’, ‘Capek Deh’, dsb. Olok-olokan tidak sekedar ucapan keakraban atau hinaan (bagi orang-orang yang menganggap olok-olokan sebagai sesuatu yang serius) lagi. Olok-olokan yang berasal dari ucapan dalam komunikasi interpersonal menjadi ikon hiburan dan bernilai komersial di layar kaca. Dengan demikian, bahasa verbal menjadi sebuah budaya populer. Budaya populer muncul dalam berbagai bentuk, dari apa yang kita konsumsi untuk kebutuhan tubuh kita (Coca- cola dan McDonald); kita tonton (Hollywood); kita dengarkan (The Beatles, Britney Spears, dan Slank); kita pakai (jeans dan sepatu keds/ Sneakers); dsb. Budaya populer tidak ada begitu saja, budaya populer ada karena suatu hal yang awalnya biasa saja menjadi sebuah fenomena populer. Budaya-hasil cipta, rasa, karsa manusia-menjadi budaya populer ketika ia memenuhi beberapa ciri, yaitu (1) Tren, sebuah budaya yang menjadi trend dan diikuti atau disukai banyak orang berpotensi menjadi budaya populer; (2) Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya diikuti 24

oleh banyak copycat-penjiplak. Karya tersebut dapat menjadi pionir bagi karya- karya lain yang berciri sama, sebagai contoh genre musik pop (diambil dari kata popular) adalah genre musik yang notasi nada tidak terlalu kompleks, lirik lagunya. sederhana dan mudah diingat; (3) Adaptabilitas, sebuah budaya populer mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren; (4) Durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya populer yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan-seperti merek Coca-cola yang sudah ada berpuluh-puluh tahun; (5) Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya populer berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi industri yang mendukungnya. Hal ini akan dibahas lebih lanjut. Budaya populer dan ekonomi adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Bila budaya populer memiliki nama lain tren, maka ekonomi atau nilai komersial adalah kendaraan yang digunakan budaya tersebut untuk menjadi besar. Budaya populer dibesarkan salah satunya oleh media massa, khususnya televisi. Khalayak yang memiliki dan menonton televisi hampir pasti dapat dipastikan mengetahui apa yang dianggap tren pada masa tersebut, karena televisi dapat menampilkan tren itu secara repetitif, melalui program re-run atau spin-off. Untuk memahami kaitan budaya populer dan nilai komersial, kita akan menggunakan contoh Britney Spears. Tumbuh dari didikan kelompok bakat Mickey Mouse Club, Britney besar di genre musik Pop. Citra yang dibangunnya berubah seiring dengan waktu, dari gadis polos menjadi gadis dewasa yang memiliki sensualitas, sesuatu yang kemudian menjadi poin ketenarannya. Britney melakukan tur di berbagai negara, menghasilkan album dan memiliki basis penggemar yang besar. Segala sesuatu tentang dirinya memiliki nilai tinggi. Selain dunia tarik suara, Britney juga mencoba bermain film (yang mendapat sambutan tidak begitu baik dari kritikus film), dan menghasilkan merek parfum Curious. Britney adalah ikon budaya populer, dia terkenal, memunculkan tren, lagunya dinyanyikan banyak orang dan gayanya dicontoh. Britney memiliki nilai komersial yang tinggi, karena apapun yang berkaitan dengannya akan dijamin laku keras. Dia mempromosikan dirinya dan juga sponsornya, itulah mengapa Britney mengiklankan salah satu merek 25

minuman soda terkenal dan selalu menggunakan pakaian dan aksesoris dengan merek tertentu. Selain suara, Britney menjual nama dan citranya melalui produk- produk tertentu, dan di sisi lain produk-produk tersebut juga terangkat namanya, dengan dugaan bahwa penggemar Britney juga mengonsumsi produk tersebut. Britney Spears dan segala atributnya adalah ikon budaya populer. Budaya populer menyatukan para masyarakatnya ke dalam satu komunitas penggemar. Untuk menjadi bagian dari dunia budaya populer, maka ibaratnya kita harus menjadi populer. Khalayak budaya populer mengikuti tren yang ada, membeli produk yang berkaitan dengan tren tersebut, mengasosiasikan dirinya sebagai bagian dari penggemar ikon budaya populer tertentu dan pada akhirnya turut menyebarkan budaya populer tersebut. 3.6 Budaya Populer di bidang Makanan dan Penampilan Fisik Kebutuhan mendasar manusia menurut Abraham Maslow (dikutip dari Miller, 2003: ) dibagi ke dalam 5 kategori yaitu (1) Fisiologis, atau kebutuhan hidup manusia, seperti makanan dan air; (2) Keamanan; (3) Afiliasi, atau kebutuhan akan kasih sayang; (4) Harga diri; (5) Aktualisasi diri. Maslow menyebut kategori ini sebagai kategori prepotency, yang artinya kebutuhan yang lain akan dipenuhi bila kebutuhan yang berada di urutan awal terpenuhi. Teori yang diungkapkan Maslow masuk akal bila dikaitkan dengan salah satu contoh yaitu makanan cepat saji (fast food) McDonald. Berawal dari kios kecil yang menjual makanan yang cepat disajikan untuk orang-orang yang sibuk bekerja, khususnya di bidang bangunan, McDonald menjadi salah satu ikon modernisasi masyarakat, ibaratnya tidak ada yang tidak mengenal McDonald. Di Amerika Serikat sendiri McD (sebutan bagi McDonald) setia menjual Hamburger, menjadi tempat berkumpul orang muda, dan menjadi sasaran kritik para ahli gizi dan diet. Untuk menaklukkan pasar Indonesia, McD harus menyesuaikan dengan budaya konsumsi bangsa ini, karena itu meskipun menjual burger McD mengeluarkan produk paket nasi. McD adalah ikon dari modernisasi (atau instanisasi) di negara ini, menurut pengamatan penulis counter McD yang tersebar di Surabaya selalu penuh dengan pengunjung, dari anak muda sampai orang tua. McD membangun citra sebagai produsen makanan yang 26

memiliki banyak konsumen. Ibaratnya kita tidak keren bila belum makan di McD, di luar konteks peringatan dari ahli gizi mengenai kandungan kolesterol dalam produk cepat saji. Mengapa McD menjadi produk budaya populer? McD, seperti telah disebutkan sebelumnya, adalah bagian dari budaya populer. Ia ada di mana-mana, khalayaknya tersebar dan mungkin tidak saling mengenal, dan kita tidak perlu menjadi orang yang sangat kaya untuk bisa membeli produk McD. McD berasal dari Amerika Serikat, mungkinkah ini perngaruh westernisasi? Jawabannya bisa ya, bisa pula tidak. Westernisasi adalah, menurut penerjemahan penulis, salah satu usaha untuk membuat seseorang/sekelompok orang/suatu bangsa menjadi serupa dengan orang Barat (Western) dalam hal ini dikaitkan dengan Amerika Serikat. Bila maksud AS menginvasi Indonesia dengan produknya adalah upaya westernisasi, maka jawabannya bisa ya. Namun bila orang Indonesia tetap menganggap bahwa mengonsumsi McD hanya sebagai salah satu pilihan konsumsi yang kebetulan ada dan terjangkau oleh dana, maka jawabannya tidak. Bagaimanapun juga McD adalah salah satu bentuk budaya populer yang membawa perubahan sosial dalam masyarakat. Samuel Koenig menyebutkan perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola- pola kehidupan manusia (Soekanto, 2002:305). McD mengubah pola konsumsi masyarakat (meskipun tidak semua) dari masyarakat yang makan karena membutuhkan asupan gizi menjadi masyarakat yang makan karena hal itu keren. Selain makanan, salah satu aspek yang penting dalam relasi antar manusia adalah penampilan fisik (hal ini masih perlu dibuktikan). Terlihat dari banyaknya iklan mengenai kosmetik di televisi, hampir semuanya membawa pesan bahwa seseorang yang cantik memiliki kulit putih, rambut yang sehat dan panjang, serta tubuh yang langsing. Sementara itu tayangan sinetron yang selalu ditempatkan di prime time mengusung pesan yang sama, tokoh yang dipilih memiliki fisik yang langsing, hampir semua berkulit cerah bila tidak putih, dan seringkali digambarkan sebagai tokoh yang lemah, dan sangat baik hati. Tentu saja pemilihan artis tertentu mendasarkan salah satunya pada criteria fisik untuk menarik penonton. Namun yang perlu dicermati adalah pemahaman mengenai 27

konsep penampilan fisik yang harus dimiliki oleh perempuan bila ingin disukai oleh lawan jenis. Sebaliknya untuk kaum laki-laki mereka disodori kriteria perempuan ‘cantik’ yang pantas menjadi ‘pasangan’ mereka. Ikon ‘perempuan cantik’ masa kini adalah sesosok perempuan dianggap sempurna secara fisik namun proporsinya menurut penulis patut dipertanyakan. Barbie menjadi ikon dari kecantikan sempurna seorang perempuan. Dia putih (meskipun kini dibuat versi untuk semua bangsa), berambut pirang, dan secara fisik langsing. Awalnya dia bertindak sebagai model, selanjutnya berkarir di banyak bidang, seperti guru, dokter, wanita karir, dan memiliki kehidupan yang cukup mewah-memiliki mobil Barbie berwarna pink dan rumah sendiri. Pembuatnya yang berangkat dari pemikiran memberikan sebuah bentuk hiburan bagi anaknya akhirnya berperan menjadi salah satu pembentuk citra perempuan cantik. Apakah Barbie adalah salah satu bentuk budaya populer?. Boneka Barbie diproduksi sejak tahun 1959, dan masih diproduksi sampai sekarang. Barbie dimiliki oleh banyak anak perempuan yang tumbuh pada era tahun 1960an- 2000an. Dia mengikuti perkembangan jaman dari sekedar perempuan ‘biasa’ sampai menjadi wanita karir. Barbie bisa disebut sebagai miniatur dan refleksi dari kehidupan perempuan masa kini. Saat ini kita melihat banyak sekali sosok perempuan yang memiliki fisik seperti Barbie, tentu saja disesuaikan dengan suku bangsa yang berbeda. Barbie menancapkan stigma bahwa perempuan cantik haruslah berfisik tinggi, langsing, berkulit cerah, dan berambut panjang-di luar dari perannya sebagai wanita karir. Barbie menetapkan sebuah standar-baik disadari atau tidak-ukuran kecantikan seorang perempuan yang berlaku bagi massa. Penggemar Barbie dipersatukan dalam lingkup fanatisme terhadap sosok cantik yang sempurna, sementara itu standar kecantikan yang lekat dengan Barbie, menjadi persoalan tersendiri bagi manusia di dunia nyata. Karena generasi Barbie tumbuh dengan citra diri Barbie yang harus mereka penuhi. Selanjutnya, salah satu dari kebutuhan manusia adalah sandang atau pakaian. Denim-Serge de Nimes-atau jeans (keduanya sebenarnya adalah jenis kain yang berbeda, namun jeans lebih dikenal dan akhirnya diatributkan juga 28

kepada jenis kain denim) mendapatkan momentumnya pada abad ke 20 hingga kini. Berasal dari Eropa dan tumbuh besar di Amerika Serikat, jenis kain yang kuat ini awalnya menjadi bahan pakaian wajib bagi pekerja konstruksi dan buruh. Fleksibilitas, kekuatan, dan kemudahan didapat menjadi alasan pada masa itu. Kini jeans menjadi salah satu ikon dari fashion. Berbagai merek bermunculan, dengan tipe yang berbeda yang memenuhi segala bentuk permintaan. Sebagai contoh bagi mahasiswa, denim/jeans adalah salah satu kebutuhan utama, dari segi pemenuhan kebutuhan pokok dan mode. Mengapa Jeans bisa disebut produk Budaya populer? jeans yang awalnya hanya beredar di Amerika dan Eropa, kini telah menyebar ke seluruh dunia. Awalnya sebagai salah satu jenis kain, kini menjadi pakaian yang wajib dimiliki. Sejarah mencatat bahwa jeans bermula dari pakaian wajib yang digunakan buruh, kemudian menjadi symbol dari perlawanan, anti kemapanan, dan pemberontakan. Seperti terungkap oleh Lynn Downey sejarawan dari Levi Strauss & Co. From the 1950s to the present, denim and jeans have been associated with youth, with new ideas, with rebellion, with individuality. College-age men and women entered American colleges in the 1960s and, wearing their favorite pants (jeans, of course), they began to protest against the social ills plaguing the United States. Denim acquired a bad reputation yet again, and for the same reasons as it had a decade earlier: those who protest, those who rebel, those who question authority, traditional institutions and customs, wear denim. Apakah kesamaan dari McDonald, Barbie, dan Jeans? Ketiga-tiganya muncul di Amerika dan Eropa; ketiganya merupakan produk yang terkenal dan dikonsumsi secara kontinyu; ketiganya memiliki penggemar penggemar yang heterogen, massal, dan tersebar, yang tidak selalu saling mengenal. Ketiganya mengakibatkan adanya komunitas ‘maya’ yang secara tidak kasat mata terhubung oleh karena mengonsumsi produk yang sama. Pada komunitas ‘maya’ tersebut rakyat menjadi sejajar dengan penguasa. 29

4 BAB III MEDIA MASSA DAN TURBULENSI BUDAYA LOKAL Kompetensi Dasar dan Indikator ▪ Kompetensi Dasar : Setelah menyelesaikan pokok bahasan tentang media massa dan turbulensi budaya lokal, mahasiswa dapat memahami pengaruh media massa terhadap seberapa kuat turbulensi budaya lokal ▪ Indikator : Mahasisa mampu menjabarkan tentang arus informasi dan media literacy, bagaimana konstruksi budaya asing dan budaya lokal dalam keseharian, dan memahami tentang budaya elit versus budaya marginal dalam masyarakat, Pokok Bahasan Media Massa dan Turbulensi Budaya Lokal Sub pokok Bahasan - Arus Informasi dan Media Literacy - Media Massa dan Turbulensi Budaya Lokal - Konstruksi Budaya Asing dan Budaya Lokal - Budaya Elit vs Budaya Marginal - Budaya Populer - Tahap Spesialisasi 30

Estimasi Waktu 6 x 45 menit Media Pembelajaran LCD, White Board Teknologi alat komunikasi seperti handphone, iPad, dan semua alat teknologi mobile lainnya adalah merupakan penemuan teknologi masa depan yang menggantikan media-media tradisional. Hal ini tidak terbatas hanya pada fungsinya bagaimana membaca berita dan buku-buku, menonton televisi, mendengarkan radio, melainkan juga merupakan suatu cara jitu manusia, untuk menyelami dan menjelajahi seluruh isi jagat ini, dengan cara menggabungkan semua ”perangkat lunak” yang populer melalui cara yang mudah dan menyenangkan. Dalam menjalankan fungsinya media mobile ini membutuhkan media literacy dari manusia sebagai aktornya. 4.1 Arus Informasi dan Media Literacy Pengaruh New Media atau “Media Baru” demikian besar terhadap masyarakat secara individu maupun kelompok. Internet sebagai media digital telah menawarkan berbagai macam kemudahan seiring perkembangan jaman. Manusia modern begitu sangat dimanjakan oleh media ini (Juliana K, dan Siti Baroroh, 2016) Melek media berarti memahami akibat media bagi masyarakat tentang bagaimana membedakan antara menjadi korban dan seketika juga mampu mengontrol pengaruhnya yang berdampak luas. Dan, dampak dari terpaan media mobile inilah yang kita sebut sebagai media massa futuristik, atau media massa untuk masa depan. Media massa merupakan istilah untuk menggambarkan suatu bentuk komunikasi yang dilakukan pengirim pesan lewat media yang bergerak satu arah kepada masyarakat umum. Literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital atau alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan,menganalisis, dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat (Juliana K, dan Siti Baroroh, 2016). Media massa dikategorikan sebagai alat dan instrumen komunikasi yang memungkinkan kita merekam serta mengirim informasi dan pengalaman-pengalaman dengan cepat kepada khalayak luas 31

yang terpencar-pencar dan heterogen. Media massa dengan dukungan teknologi mobile saat ini telah membantu meniadakan jarak antara yang makrososial dan mikrososial. Saat media massa mobile memasuki dan dimasuki, sangat dipengaruhi oleh kondisi, orientasi, otoritas dan kebiasaan-kebiasaan aktornya sebagai human being. Momen dimana manusia sebagai aktornya tak membatasi kehendaknya itulah terobosan negatif yang mampu menghancurkan adat istiadat, tradisi dan warisan budaya lokal yang terdampar dari aslinya. Contohnya, perhatian kaum muda khusus juga daerah pedesaan, sudah sangat terkontaminasi dengan budaya luar akibat mudahnya mengakses informasi lewat internet, tanpa menghiraukan nilai-nilai lokal yang luhur dan baik. Thomson seorang pakar komunikasi menyatakan: dunia publik telah dimediakan dan dibangun kembali di era elektronik ini, baik secara teknologis, maupun secara sosial (Lull, 2000). Media massa dengan paduan komputer dan telekomunikasi menghasilkan gelombang informasi dengan kecepatan cahaya kepada khalayak yang jumlahnya sangat banyak. Media massa bertugas menyalurkan berita berupa simbol-simbol dan untaian kata-kata dalam kalimat yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah, terus mendampar ke seluruh pelosok dunia ini. Teknologi komunikasi yang telah menciptakan “jalan bebas hambatan” (McLuhan), tidak hanya mencipatkan globalisasi ekonomi, namun juga mengaburkan batas-batas negara serta sosial budaya, karena, kedaualatan penyebaran informasi mendominasi dunia yang sedang kita bangun tidak mungkin dibatasi. Informasi dan salurannya meliputi langit bebas, yang merupakan milik bersama. Budaya, sebagai salah satu produk manusia yang menjadi identitas sosialnya dalam sebuah masyarakat, tidak luput dari pengaruh media massa. Budaya semakin tersobek dan terhempas dari aslinya. Kehadiran media massa dan pengaruhnya terhadap eksistensi budaya lokal sudah tidak terbendung. Dengan kata lain, budaya lokal mengalami alienasi, disudutkan dan tersudut. 4.2 Media Massa dan Turbulensi Budaya Lokal Dalam kehidupan kita, kehadiran media massa sudah bukan hal yang asing. Alat komunikasi seperti: televisi, radio, koran, film adalah hal biasa. Media sosial di internet justru menjadi perhatian utama, dan sudah menjadi media yang 32

sangat digandrungi sebagian terbesar anak muda. Bahkan orang tuapun ikut terperosok kedalamnya. Apabila pemanfaatannya bernilai produktif, maka teknologi komunikasi menjadi sangat berguna bagi kehidupan manusia. Namun, jika sebaliknya, maka nilai-nilai negatif yang akan menerpa kehidupan kita. Ketakutan akan turbulensi budaya diberbagai belahan dunia bukan tanpa alasan. Menurut survei ’The Pew Research Center tahun 2002’ bahwa hegemoni budaya yang didominasi Amerika Serikat melahirkan antipati dan sentimen terhadap Amerika; misalnya, Perancis 58 persen, Argentina 78 persen, dan Turkey 88 persen, Indonesia bereaksi lebih radikal dengan berbagai demo dan spanduk yang bertuliskan: protes terhadap media-media Amerika seperti majalah Playboy (dalam Rodman, 2011). Media massa umumnya menggunakan konfigurasi teknologi; sifatnya formal atau non-formal dan dioperasikan berdasarkan ketentuan hukum yang belum final penafsirannya. Dalam operasionalnya, media massa diterbitkan dan disiarkan oleh kelompok yang bertujuan untuk menyampaikan informasi, hiburan, pikiran dan simbol-simbol yang dianggap bermanfaat bagi khalayak banyak. Kebebasan individulah yang akan menentukan batasanbatasan dan norma-norma yang layak bagi diri sendiri dan masyarakat umumnya. Pada saat ini, suka atau tidak suka, media massa sebenarnya telah mengkonstruksi realitas baru kepada khalayak, dan kita sudah tercebur berjalan diatas dataran realitas itu. Media massa, selain dipengaruhi oleh pemerintah dengan orientasi politik, pengaruh undang-undang yang berlaku, sesungguhnya pengaruh pemilik modal dan para professional media jauh lebih mendominasi. Wajar saja, para pakar menyatakan bahwa media massa adalah hegemoni baru negara-negara maju terhadap dunia berkembang. Pertumbuhan media massa menandai kemajuan peradaban manusia modern, oleh karenanya, Rogers (dalam Rodman, 2011) membagi perkembangan komunikasi manusia menjadi empat era, yakni: era komunikasi tulisan, era komunikasi cetak, era telekomunikasi dan era komunikasi interaktif. Bila dalam era komunikasi tulisan, perkembangan informasi mungkin dengan kelipatan 5 untuk periode tertentu, hal itu sangat berbeda jauh di saat manusia memasuki era 33

komunikasi interaktif dengan frekwensi yang bertalu-talu dan tak terbatas. Deskripsi diatas menjadi wajar, bila media massa akhirnya menjadi kebutuhan sehari-hari bagi manusia. 4.3 Konstruksi Budaya Asing dan Budaya Lokal Ketika membahas tentang budaya dan kebudayaan, maka yang terbayang adalah sebuah rangkaian totalitas yang mencakup keseluruhan perilaku dan aktivitas manusia. Dengan kata lain, budaya dan kebudayaan adalah produk sekaligus proses membudaya itu sendiri. Edward Tylor (dalam Rodman, 2011) menyatakan: kebudayaan sebagai kompleksitas keseluruhan yang meliputi kepercayaan, moral, hukum dan kemampuan lainnya termasuk kebiasaan yang didapatkan dari anggota masyarakatnya. Konsep ini ditransmisikan secara sosial dan mendapatkan justifikasi atas intervensi budaya luar yang masuk karena kemajuan teknologi informasi canggih. Dominasi dan hegemoni atas media massa tak terkontrol. Berbahayakah budaya asing? Budaya, walaupun kelihatannya rumit karena menyangkut nilai yang diyakini sekelompok orang tertentu, tetapi kebudayaan tetap bergerak secara dinamis kearah pergeseran dan perubahan. Pandangan ini disebabkan oleh makin terbukanya masyarakat di era interaktif ini. Hampir tidak ada satupun bangsa di dunia yang tidak pernah berinteraksi dengan budaya asing lainnya. Pertanyaannya adalah apa manfaat melarang masuknya budaya asing? Masih mampukah atau mampukah kita melarang budaya luar? Indonesia, tingkat akomodasi dan akseptasi terhadap produk budaya asing khususnya transfer budaya pop dari Amerika merupakan sebuah keniscayaan yang tak mungkin dibendung. Model transfer budaya Amerika ini dapat berlangsung secara eksplisit maupun implisit. Eksplisit misalnya, di Amerika diselenggarakan ‘American Idol’ maka di Indonesia-pun diadakan ‘Indonesian Idol’. Acara ini adalah copy paste penyelenggaraan sebuah acara. Bahkan termasuk produksi seni dan acara-acara spektakuler lainnya. Maka menjadi aneh jika kemudian ada sekelompok masyarakat yang baru terkejut untuk membendung budaya Amerika. Kebudayaan asing yang masuk akibat era globalisasi (perluasan cara-cara sosial antar benua), ke Indonesia turut mengubah perilaku dan kebudayaan Indonesia, baik itu kebudayaan nasional maupun kebudayaan murni yang ada di setiap daerah di Indonesia. Dalam hal ini sering terlihat ketidakmampuan manusia 34

di Indonesia untuk beradaptasi dengan baik terhadap kebudayaan asing sehingga melahirkan perilaku westernisasi atau cenderung ke barat-baratan (Eko Novianto, 2016) Kebiasaan-kebiasaan orang barat yang telah membudaya hampir dapat kita saksikan setiap hari melalui media elektronik dan cetak yang celakanya kebudayaan orang-orang barat tersebut yang sifatnya negatif dan cenderung merusak serta melanggar norma-norma ketimuran kita sehingga ditonton dan ditiru oleh orang-orang kita terutama para remaja yang menginginkan kebebasan seperti orang-rang barat. Contoh kebudayaan-kebudayaan barat tersebut dapat kita lihat dari cara mereka berpakaian dan mode, film, sampai pada pergaulan dengan lawan jenis (Eko Novianto, 2016) Dalam beberapa kasus Indonesia merupakan negara yang dalam menyikapi peradaban dan keterbukaan tergolong tidak jelas. Acuan dasar dalam bersikap tidak jelas. Antara norma dan kenyataan jaraknya sangat “terjal”. Istilah menjaga moral bangsa dari pengaruh asing adalah sebuah pernyataan ‘tanpa makna’. Hal ini dapat dilihat pada pertunjukkan budaya kita yang digolongkan budaya asli seperti ‘dangdut hot atau dangdut koplo, tarian ronggeng’ yang diselenggarakan berbalut istilah saweran. Hal tersebut tidak dianggap sebagai suatu aksi pornografi. Namun tidak bagi kasus berpakaian minim mengikuti budaya barat, hal tersebut dianggap salah satu tindakan pornoaksi. Ukuran porno itu apa, dan bagaimana cara melarang generasi muda? Masuknya budaya atau kebiasaan asing yang sesungguhnya kita juga lakukkan secara eksplisit maupun implisit sulit dibendung. Jika pelarangan dilakukan untuk pertunjukkan di panggung terbuka, maka individu-individu manusia Indonesia dapat menyaksikan pertunjukkan seni asing apapun, di dalam kamar masing-masing. Kecanggihan teknologi informasi saat ini bisa dan dapat menemani kita kapan saja dan dimanapun. Tak ada ruang sedikitpun untuk membatasi penetrasi budaya luar. Sensor yang asli dan membumi menurut hemat saya adalah menanamkan nilai-nilai yang baik dan luhur di dalam keluarga msing-masing, dengan catatan berikan kebebasan 35

berekspresi bagi manusia Indonesia untuk menikmati seni dan budaya apapun termasuk budaya dari luar. Kita akan menjadi manusia yang kuat dan kreatif apabila telah menyaksikan budaya orang. Pengaruh negatif akan tersingkir dan disingkirkan oleh masing-masing individu. Orang Indonesia yang bertopeng ajaran moral, kehidupan domestiknya jauh lebih parah. Nilai-nilai yang kita miliki sejak ratusan tahun tak juga beranjak maju. Kurang terbuka, mau hidup enak tapi malas, menyimpan rasa iri, merelatifkan nilai yang menguntungkan diri atau kelompoknya. Tidak mau belajar dari budaya dan nilai-nilai hebat yang ada di negara lain. Jepang misalnya, budaya kerja keras adalah warisan nilai luhur bangsanya yang tidak pernah dibicarakan dan dikotbahkan, namun membara dan terus membakar jiwa generasi mudanya secara turun-temurun. Kita hanya bisa mampu mengklaim untuk menutupi kemunafikan sebagai bangsa yang ‘korup’. Mega korupsi yang meraja-lela berjalan tak tersentuh, dibiarkan merasuk kedalam sukma dan sendi-sendi kehidupan. Sebaliknya, kita sangat peduli terhadap kasus-kasus yang berbau sex atau yang digolongkan porno oleh para ”penjaga” moral bangsa. Satu kepastian yang sifatnya perenial dan tak mungkin dibendung adalah perubahan. Perubahan terjadi disegala aspek kehidupan, termasuk perubahan kebudayaan. Kebudayaan dari waktu ke waktu mengalami pergeseran nilai, seperti yang diperkenalkan Koentjaraningrat, bahwakebudayaan dapat berubah atau bergeser, juga disebakan oleh proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi sebagai wujud evolusi kebudayaan. Proses penyebaran kebudayaan secara geografis; terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di bumi, yakni proses difusi; proses belajar unsur-unsurkebudayaan asing oleh masyarakat, yakni proses akulturasi dan proses asimilasi; serta proses inov asi dan penemuan baru. Konsep internalisasi, adalah proses belajar kebudayaan yang panjang sejak individu dilahirkan sampai ia meninggal. Ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Sedangkan, sosialisasi adalah suatu proses dimana seorang individu sejak masa kanak-kanak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan 36


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook