Setelah kejadian tersebut para kakak pembina itu mengeroyok Ocang dan Teguh. Pada saat di tengah perkelahian ustaz pengasuhan keluar karena mendengar kegaduhan. Posisi Ocang dan Teguh saat itu dalam keadaan cuma memakai pakaian dalam dan akhirnya mereka semua diinterogasi oleh ustaz pengasuhan. Keesokan harinya ternyata para pembina rayon tersebut telah dikeluarkan oleh pondok dengan alasan tindakan asusila. Ocang dan Teguh alhamdulillah masih diberikan kesempatan oleh pihak pondok untuk melanjutkan studinya di Pondok Modern Darussalam Gontor. Ocang masih merasa tidak terima dengan tindakan kakak pembina rayon yang telah mereka perbuat atas dirinya, makanya dengan berat hati ia mengeluarkan dirinya dari Pondok Modern Darussalam Gontor tersebut, berbeda dengan Teguh dia tetap melanjutkan studinya di sana. Tidak melanjutkan studi di pondok bukan berarti ia salah melangkah, tetapi itu pilihan hidup yang telah ia pilih. Seburuk, sebodoh, atau sejelek apa pun seseorang dia tetap memiliki hak untuk sukses, hak untuk tidak diremehkan, hak untuk mencapai tujuan tertinggi dalam hidupnya dan hakmu 97
tidak ditentukan oleh kekuranganmu dan tidak ditentukan oleh kegagalan yang sebelumnya kamu alami. Belajar tentang hidup sama artinya dengan belajar tentang kematian. karena itu, rasanya sebagai manusia kita wajib belajar tentang hidup. 98
Mengucap Syukur Oleh : Nafisa Inayati “Hidup itu syukur, ingkar itu kufur. Jika ingin teratur jadilah manusia yang mudah diatur. Namun jika hidupmu selalu mengukur bersiaplah untuk jatuh tersungkur” Namaku Ina Larasati, masa kecilku bersama saudaraku diwarnai dengan banyak cerita. Aku tinggal di sebuah rumah kecil di tengah kota Makassar bersama dengan ayah dan ibu. Aku dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Ketika umurku menginjak empat tahun, dua hari sebelum tanggal kelahiranku, Tuhan berkehendak lain atas takdirku. Aku ditinggalkan oleh seseorang yang paling aku kasihi, ibu. Iya… tepat pada tanggal 26 April 2004 ibuku meninggalkanku bersama 2 saudaraku untuk selama-lamanya karena penyakit yang telah lama menggerogoti tubuhnya. Semenjak kepergian ibuku aku dan kedua saudaraku dititip ke adik dari ayahku yang berada di Jawa Tengah tepatnya di Kota Jepara. Aku menjalani kehidupanku sehari- hari dengan rasa senang. Tidak ada rasa sedih yang kurasa 99
seperti ayahku dan kakakku. Iyaa aku masih kecil saat itu, apa yang aku tahu selain bermain. Kemudian aku memulai pendidikan di Taman Kanak- Kanak milik nenekku yang bangunannya tidak jauh dari rumah adik ayahku. Ketika menginjak bangku sekolah dasar aku kembali ke kota asalku dan dikirim ke salah satu pesantren di Makassar. Aku menjalani hidup selama 6 tahun di pesantren dengan penuh suka dan duka. Suka, karena aku merasa disayangi oleh kakak-kakak di sana karena pada saat itu aku santriwati yang paling kecil. Ibu pimpinan yang menganggapku sebagai anak sendiri. Duka, karena di masa kecilku aku harus belajar mandiri untuk semua hal, belajar lebih dari porsi anak- anak sebayaku, mendapatkan perlakuan yang seharusnya tidak aku dapatkan kala itu. Saat di SD, aku memberanikan diri mengikuti perlombaan Tilawatil Quran antarkota Makassar. Waktu itu kepala sekolahku mengusulkan untuk mengikuti lomba tersebut. Awalnya aku takut karena saingannya banyak, tapi guru-guru menyemangatiku untuk mengikuti perlombaan itu, selalu berlatih untuk lebih baik lagi dan alhamdulillah hasilnya pun tidak mengecewakan. Aku juara dua di perlombaan itu. 100
Selain itu aku juga sering mengikuti perlombaan di bidang olahraga, mewarnai dan lain-lain. Hari demi hari berganti, tahun demi tahun berlalu tak terasa masa di bangku sekolah dasar telah selesai. Masa SMP dan SMA aku habiskan di pesantren juga, tapi pesantren ini beda dari pesantren sewaktu di bangku sekolah dasar. Pesantren yang memiliki ribuan santri dari Sabang sampai Merauke, memiliki keunggulan yang khas dari pesantren lain. Sejumlah keunggulan yang dimaksud adalah kedisiplinan, keikhlasan, dan keberkahan. Kedisiplinan ini sesuatu yang khas yang kita temui di Gontor yang mungkin tidak kita temui di Ponpes yang lain, kata Lukman Hakim di Ponpes Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, Sabtu (20/8/2016). Lebih lanjut, ia menjelaskan terdapat tiga lembaga pendidikan dunia yang menjadi dasar acuan Ponpes Gontor dalam memberikan pendidikan pada santri-santrinya. Salah satunya yakni Universitas Al Azhar di Kairo. Perjuangan masuk di ponpes gontor tidaklah mudah, aku harus rela jauh dari orang tua, berangkat tanpa didampingi orang tua karena ada kendala di masalah biaya, jadi berangkat ke pondok bersama dengan kakakku yang laki-laki. Aku harus 101
mengikuti proses yang panjang, mulai dari proses menjadi calon pelajar dua minggu, kemudian ujian tulis, lisan, dan akhirnya pengumuman kelulusan. Alhamdulillah aku diterima di pondok itu rasanya sangat bangga atas pencapaian itu dan tak lupa semua berkat doa dari orang tua sampai akhirnya diterima. Tahun demi tahun telah kulewati di pondok, ada banyak warna yang telah kudapatkan. Dari mulai tidak betah, menjadi kurang percaya diri akan kemampuan, karena merasa banyak yang lebih dari aku, ada banyak hal yang bisa memberiku pelajaran penting, karenanya aku bisa sedikit faham belajar bahasa Arab, bahasa Inggris, sebelumnya aku memiliki kendala dalam memahami kedua bahasa tersebut tapi, aku berusaha dengan mengaplikasikan setiap hari apa yang telah diajarkan oleh ustazah, seperti kata pepatah “Hidup sesungguhnya adalah kumpulan masalah, begitulah kenyataannya”. Tidak terasa aku berada di penghujung menjadi siswi akhir KMI (Kulliyatul Mu‟alimat Al-islamiyah). Lima tahun menjadi siswi di Gontor, semua pelajaran yang telah dipelajari selama 5 tahun diujiankan kembali di kelas 6. Kita 102
menyebutnya “Ujian Nihaiy.” Di ujian tersebut kurang lebih 32 pelajaran akan diujikan selama satu bulan. Bayangkan saja 32 pelajaran dan pelajaran yang telah kita pelajari sejak kelas 1-6 diujikan. Disaat itulah yang membuat aku semakin giat dalam belajar, karena pelajaran sebanyak itu harus kupelajari dan itu termasuk syarat kelulusan. Lelah itu hal yang normal, karena manusia adalah tempat mengeluh. Perlahan aku menemukan diriku yang sebenarnya, walaupun hanya meraba setidaknya bisa menyentuhnya. Aku menemukan banyak teman yang memiliki beragam sifat, dibimbing ketat akan disiplin. Itulah yang membentuk karakterku. Aku sangat bersyukur karena bertemu dengan banyak orang yang setiap masanya memberiku banyak pengalaman. Pahit manis itulah kehidupan, siapa yang mengetahuinya? Kita sebagai manusia hanya bisa mengukir kisah di buku masing-masing. Sampai pada akhirnya aku lulus di pesantren dengan predikat jayyid (bagus). Alhamdulillah mendapatkan pengabdian di pondok alumni Gontor yang terletak di Sinjai Sulawesi Selatan. Apa yang telah kudapatkan di Gontor kuterapkan kepada siswa-siswi yang berada di pondok 103
tersebut. Mulai dari percakapan bahasa Arab, dan Inggris, mengartikan kata perkata di buku bahasa Arab, dan berpidato bahasa Arab. Aku mengabdikan diri selama satu tahun setelah kewajiban itu selesai barulah aku mendapatkan ijazah yang berlabelkan Gontor dengan nama yang tertera di atas kertas itu “Ina Larasati” sedikit puas karena telah menjadi bagian dari pondok yang sebesar itu. Aku lulus di tahun 2021. Begitulah kenyataannya, aku pernah dengar kata-kata seperti ini. ”Sesungguhnya kita hidup hanya menunggu waktu salat dan disalatkan, Kegiatan di dunia sehari-hari yang kita kerjakan hanya untuk mengisi waktu menunggu itu agar tidak bosan, jadi tujuan utamanya, ya salat.” Jadi apa pun yang terjadi tetaplah bersyukur dengan apa yang telah digariskan Tuhan kepada kita. 104
Perjuangan Oleh: Muh. Fikri Dzakwan. AD Sebuah kisah tentang seorang anak yang berusaha menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren. Ia merupakan anak pertama dan memiliki 3 orang adik, yakni 2 adik laki-laki dan 1 adik perempuan. Kisah ini dimulai saat ia mulai mengenal dunia kenakalan (pergaulan bebas). Tak lain karena teman-teman dia kebanyakan yang nakal ketimbang anak baik-baik. Akhirnya sang ibunda saat melihat anaknya yang bergaul dengan anak nakal ia memutuskan untuk mengirim anaknya ke sebuah pesantren dengan harapan ia dapat mengubah tingkah lakunya. Nah, waktu awal-awal ia mondok, ia merasa cukup tidak betah berada di asrama, karena ia terpaksa melakukan semua hal sendiri. Tapi seiring dengan berjalannya waktu selang berapa bulan ia mulai memiliki banyak teman, ia tergolong mudah akrab dengan orang yang belum ia kenal. sayangnya, ia lagi-lagi memiliki teman yang rata-rata anak nakal, itulah yang membuat ia susah mengubah tingkah lakunya menjadi lebih baik. 105
Singkat cerita, akhirnya aku naik ke kelas berikutnya dan mengikuti ekstrakurikuler pramuka karena aku ini memang mempunyai bakat di bidang itu. Namun, bukan hanya bidang itu saja tapi ia masih memiliki banyak bakat di bidang lainnya. Contohnya pandai memainkan alat musik, acting, dance, dan cukup terkenal di kelasnya karena ia termasuk siswa yang pintar. Tapi sayangnya semua itu tertutupi oleh kenakalannya. Kenakalannya ini membuat ia tidak disukai oleh guru di sekolahnya dan juga teman-temannya malas dengannya. Terkadang walaupun ia masuk ke dalam kelas mengikuti semua mata pelajaran dari awal sampai akhir, tetap tidak dianggap masuk kedalam kelas, menyebabkan ia semakin malas mengikuti pembelajaran di kelas. Di mata guru-gurunya dia adalah siswa yang sangat nakal. Singkat cerita tibalah masa ujian kelulusan. Sempat muncul di pikiran dia bahwa ia akan tidak lulus karena banyaknya pelanggarannya. Tetapi ia tetap menjalaninya, masuk ujian dengan keadaan pasrah. Di pikirannya dia hanya bisa pasrah dengan lulus tidaknya itu tergantung Allah SWT. Tiba waktunya pengumuman kelulusan dan alhamdulillah ia dinyatakan lulus. Pada waktu lulus ia pun agak 106
kebingungan untuk melanjutkan studinya di mana. Ia sempat merencanakan untuk lanjut di pesantren daerah Jawa. Namun, apalah daya orang tua tak mengizinkan untuk keluar dari Sulawesi. Setelah banyaknya pertimbangan, akhirnya memutuskan untuk lanjut di pesantren tempat ia menuntut ilmu sebelumnya. Ia ingin memperdalam ilmu agamanya dan sudah betah di pesantrennya. Pada masa-masa Madrasah Aliyah (SMA) pola pikirnya mulai berubah, sifat kekanak-kanakannya sudah mulai dirubah namun memiliki pola pikir yang lebih bisa ditangkap oleh logika yang membuat ia sering membantah guru-guru yang ada di sekolah karena merasa paling benar. Kalau ada yang menurutnya tidak benar atau tidak sesuai dengan aturan yang ada ia pasti akan membantahnya. Seiring berjalannya waktu ketika ia sudah menduduki bangku kelas 11 pada masa-masa inilah yang membuat ia mengubah tingkah lakunya menjadi lebih baik lagi. Ia mengikuti program wajib pondok yakni ujian pondok dengan baik, menjawab semua soal yang diberikan dengan begitu baik. Satu hal yang membuatnya terkejut, pada saat mengumumkan nilai ada satu kelompok nama yang disebutkan 107
untuk diikutkan dalam pembelajaran membaca kitab kuning dan bahasa arab dan dia tergolong dalam kelompok itu. Hal itu merupakan kabar yang cukup mengejutkan, karena terlepas dari itu ia adalah anak yang nakal. Di antara kelompok itu hanya dia yang merupakan anak yang cukup nakal. Namun lagi-lagi semua itu adalah rencana Allah SWT untuk membuat anak itu kembali ke jalan yang benar. Di sinilah ia mulai banyak mengambil ilmu yang sangat bermanfaat di dunia maupun di akhirat. ia mulai mengubah tingkah lakunya, akhlaknya manjadi lebih baik lagi. Di dalam majelis tersebut bukan hanya sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan, baik itu berupa ilmu baca kitab atau pun ilmu tenteng kehidupan yang berasal dari pengalaman beliau, juga mendidik anak-anak muridnya menjadi lebih baik, mulai dari tingkah laku sampai urusan dengan akhirat. Setelah melalui banyak sekali materi dan ujian demi ujian, ia pun diwisuda atau dinyatakan lulus dari majelis ilmu itu. Ketika kelulusan orang tuanya datang menyaksikan proses kelulusan anaknya dengan merasa bangga dan terharu. Itu adalah kali pertama ia membuat orang tuanya merasa bangga. 108
Ia tidak ingin lagi membuat orang tuanya merasa sedih melihat anaknya karena kegagalannya. Seiring berjalannya waktu, tak terasa ia pun telah menyandang gelar alumni dari pondok tersebut dan memilih melanjutkan studinya di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Berkat dorongan orang tua dan guru-guru yang mulai mendukungnya dia memilih Jurusan Bahasa dan Sastra Arab karena kecintaannya pada Bahasa Arab masih melekat dengan baik di dirinya. Dari kisah ini janganlah sesekali meninggalkan hal yang wajib bagimu hanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Pada akhirnya kalian sendiri yang akan merasakannya dan akhirnya mengatakan aku menyesal. Waktu tidak akan pernah terulang, maka dari itu gunakanlah waktu kalian sebaik- baiknya kalau tidak ingin berakhir dengan kata “aku menyesal”. Jika ingin mengerjakan sesuatu yang kurang baik, ingat orang kedua orang tua, pertimbangkan apa yang akan terjadi setelah itu. Dengan demikian, kalian akan terhindar dari perbuatan yang sia-sia. 109
“Kita Minta yang Baik, Allah Beri Kita yang Terbaik” Oleh : Muhaimin Ar. Namaku Muhaimin, aku anak pertama dari 3 bersaudara, umurku 19 tahun dan di umurku yang sekarang ini banyak masalah yang harus aku hadapi mulai dari hal terkecil sampai hal yang terbesar. Terutama pada masalah-masalah yang ada pada dunia perkuliahan. Suatu hari aku berdiam diri di kamar kost sambil menangis karena tak sanggup untuk menghadapi semua masalah, aku pun berkata pada diriku sendiri, “Kenapa aku harus mendapatkan semua masalah ini?” “Kenapa semua masalah datang berturut-turut kepadaku?\" “Kenapa harus aku, kenapa, dan kenapa?”. Saat itu diriku hanya bisa mengeluh, aku bingung harus bagaimana menghadapi semua masalah ini. Keesokan harinya di saat aku sedang mengerjakan tugas bersama teman, aku memberanikan diri untuk bercerita kepada mereka karena aku bingung kepada siapa lagi aku harus meminta saran. 110
Masalah demi masalah aku ceritakan kepada temanku dari hal terkecil sampai terbesar, setelah mendengar masalah yang aku ceritakan kepadanya dia pun berkata, \"Semua masalah pasti ada jalan keluarnya kok, kamu harus sabar dan berdoa sama Allah, karena hanya Dialah yang bisa membantu kamu dalam menyelesaikan masalah kamu sekarang ini, jadi sekarang kamu curhat semua masalah kamu sama Allah yaa dan berdoa mohon petunjuk buat semuanya pasti hati kamu Insha Allah akan lebih tenang setelah bercerita kepadanya.\" Bercerita dengan teman sedit membuat aku lebih tenang dan yakin semua masalah ada jalan keluarnya. Singkat cerita, ketika suara azan Isya berkumandang, akupun bergegas melaksanakan salat Isya, rakaat demi rakaatku kerjakan, tak lupa di sujud terakhir aku pun mencurahkan semua masalahku kepada Sang Pencipta. Aku pun tak menyadari aku meneteskan air mata di sujud terakhirku. Ternyata benar hati aku jadi lebih tenang dan lega dari sebelumnya. Yakinlah sebesar apa pun masalah kamu ada Tuhan yang lebih besar dan hanya dialah yang bisa membantu kamu menyelesaikan masalah. 111
Dari semua masalah yang aku hadapi aku mulai paham hanya dialah yang bisa membantuku dalam semua masalahku dan Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Dari semua masalah yang ada aku harus bangkit, aku tidak boleh berlarut dalam kesedihan karena itu tidak ada gunanya. Aku yakin Allah memberiku ujian agar aku lebih kuat dan selalu sabar. Allah sedang menyiapkan kebahagiaan di balik masalah ini. Memang tidak mudah untuk menghadapi masalah karena semua butuh proses. Jadi sekarang aku ingin fokus dengan tujuanku untuk membahagiakan kedua orang tua dan aku tidak memikirkan apa yang seharusnya tidak kupikirkan. Berbagai masalah yang aku hadapi, sekarang banyak kebahagiaan dan kejutan yang datang tanpa aku sadari. Membuktikan bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan hambanya larut dalam kesedihan, pasti ada rencana indah untuk membayar semua air mata dengan kebahagiaan. Maka dari itu serahkan segala urusan kepada Tuhan biarkan waktu dan kehidupan berjalan. Ketika di pondok pesantren terdapat satu wali kelas di mana setiap hari wali kelas tersebut menerima keluhan yang 112
diucapkan oleh santri-santrinya. Hal tersebut terus berulang- ulang hingga membuat ustaz tersebut melakukan sebuah tindakan. Ia mulai mengumpulkan semua santri-santrinya dan menceritakan sebuah lelucon. Semua santri-santrinya seketika tertawa dengan lelucon yang diceritakan oleh wali kelas tersebut. Tiga hari berturut-turut wali kelas tersebut selalu melakukan hal yang sama yaitu mengumpul para santri dan menceritakan hal lelucon. Sehingga respons yang diberikan oleh santri-santrinya sedikit berbeda dari dua hari sebelumnya. Salah satu santrinya mulai bertanya, kenapa ustaz bercerita lelucon yang sama? Mereka merasa bosan dengan lelucon yang sama yang dibacakan oleh wali kelasnya tersebut. Ustaz pun menjawab dengan sedikit kalimat, “Jika pada lelucon yang sama kalian bisa bosan dan tak bisa tertawa kembali, namun kenapa dengan masalah yang sama tetap saja bisa membuat kalian sedih dan menangis”. Apa yang dilakukan oleh ustaz tersebut kita dapat memetik sebuah pelajaran yang artinya santri-santri tersebut terlalu memikirkan satu masalah dalam hidupnya tanpa mencari jalan keluar. Mereka hanyalah terus mengeluh tanpa 113
ada tindakan. Hal inilah yang membuat kita tetap berada di posisi yang sama tanpa mencari jalan keluar bagaimana menyelesaikan suatu masalah tersebut. 114
Aku, Mereka, dan Kenangan Oleh: Muliana Angka Tiga kata yang memiliki makna yang menggambar kisahku di masa itu. Yaa, alangkah indah masa kecil yang lalu. Dan kini aku menembangkan keindahan dalam kenang-kenangan. Namaku Muliana Angka, lahir pada tanggal 3 September 2003 di Sukamaju Kabupaten Luwu Utara, aku menghabiskan masa kecil yang menyenangkan serta bersekolah di SDN 172 Sukamaju dan SMPN 1 Sukamaju. Lalu melanjutkan pendidikan SMA di Al-Furqan Landuri, Wotu, Kabupaten Luwu Timur. Ketika aku berumur 10 tahun tepatnya kelas 4 SD ada kegiatan pramuka yang wajib siswa ikuti setiap hari Kamis dan Sabtu selama satu bulan dan setelah berlalu, sekolah-sekolah mengadakan kegiatan Pramuka lagi pada setiap Sabtu dan Minggu atau sering disebut PERSAMI yang diadakan di sekolah. Sebanyak 40 lebih siswa mulai dari kelas 4-6 ikut serta dalam kegiatan dan terlihat kegirangan berkumpul menyambut perkemahan, kami berhamburan di lapangan 115
sekolah. Ada yang membangun tenda, mengangkat kayu, bermain tongkat, dan berbagai aktifitas lainnya. Hari pertama, kami pulang lebih cepat dari biasanya untuk mempersiapkan perlengkapan yang digunakan di perkemahan. \"Horeee...\" ucap mereka menyambut dengan bahagia kegiatan PERSAMI. Tiba pukul 16:00 WITA kami berkumpul di lapangan guna melaksanakan upacara sekaligus membuka kegiatan PERSAMI yang dihadiri oleh dewan guru dan kakak panitia. Ketika upacara telah selesai, kami bersiap membersihkan diri untuk melaksanakan salat berjamaah, numpang mandi di rumah warga yang tak jauh dari sekolah, dan regu putri memasak dengan menu andalan yang tak lain adalah mie instan dan telur dadar. Setelah makan bersama selesai kami berkumpulan di lapangan. Malam begitu terang membuat bahagianya malam itu yang berhiaskan bulan dan taburan bintang meramaikan suasana malam itu. Di bawah langit yang begitu indah, kami membuat lingkaran sambil bernyanyi bersama, tertawa bersama, seakan kami berpikir apakah masih ada malam seperti ini. 116
Tiba pada pukul 22:00 WITA kami bergegas menuju tenda masing-masing, beristirahat untuk menghadapi kegiatan esok paginya. Baru saja 2 jam kami tidur, pada pukul 12 malam panitia membangunkan kami. \"Bangun! bangun! weee bangun!\" Ucap panitia dengan suaranya yang begitu keras. Tidak tahu kegiatan apa yang akan kami hadapi. Kami dikumpulkan di lapangan dengan keadaan lemas karena baru terbangun dari tidur yang hanya beberapa jam saja, tenaga belum kembali sepenuhnya. Beberapa menit kemudian, cahaya lampu padam, malam itu begitu gelap, suara pecahan kaca terdengar, ayat -ayat Al-Quran pun terdengar, tidak tahu asalnya dari mana. Namun, tidak lama kemudian cahaya lampu kembali menyala, perasaan kami pun membaik. “Tujuan kalian dikumpulkan di sini untuk diberikan nasihat agar kalian mendapatkan pelajaran setelah mengikuti perkemahan ini.\" Ucap pembina kepada kami yang setengah mengantuk. Suara tangisan terdengar tersedu-sedu ketika mendengarkan ucapan pembina yang membawakan semua nasihat tentang berbakti kepada orang, yang dirasakan waktu itu kami ingin pulang secepatnya, ingin memeluknya, meminta 117
maaf kepada orang tua. Banyak pelajaran yang dipetik pada malam hari itu. Keesokan harinya, di mulai dari waktu subuh kami sudah lalu-lalang di lapangan sekolah. Ada yang menuju ke rumah warga untuk mandi, ada yang sudah sibuk di dapur, dan berbagai aktifitas lainnya. Pukul 06.00 WITA pagi kami berkumpul di lapangan untuk melakukan olahraga yang dilanjutkan dengan senam. Tepat pukul 08.00 WITA kami telah selesai bersiap-siap menggunakan seragam pramuka lengkap dengan tongkat dan ransel masing-masing. Kami siap melakukan penjelajahan ke hutan yang tak jauh dari belakang sekolah. Dimulai dari pos 1-5 kami diberi tantangan yang cukup seru sekaligus menegangkan. Mulai dari memakai masker wajah menggunakan tanah, baris-berbaris, menjawab soal- soal sandi, membuat tandu, hingga merayap di tanah yang becek. Beberapa dari kami terlihat takut, ragu, bahkan jijik untuk merayap. Magrib pun tiba kami bergegas membersihkan diri dan salat berjamaah. Pukul 20.00 WITA kami dikumpulkan di lapangan untuk mementaskan bakat-bakat dari kami, seperti 118
menari, menyanyi, berpuisi dan lain-lain. Tiba pada pukul 22.00 WITA kami kembali ke tenda masing-masing untuk beristirahat. Hari terakhir di perkemahan pun telah tiba. Pukul 07.00 WITA kami melaksanakan kegiatan inti dari PERSAMI yaitu lomba antar regu seperti tali temali, smapor, dan pentas seni. Beberapa jam kemudian kami keluar berjelajah untuk mencari batang-batang ranting untuk membuat api unggun di malam hari. Selama perjalanan sambil mencari ranting-ranting pohon, kami bernyanyi bersama dengan riang gembira \"Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang, di rumah senang, di sekolah senang , di kemah senang, di mana mana hati ku, lalalalalaaaala lalalalalaaaaala\". Pada malam terakhir kami bersiap dengan seragam atribut lengkap, pada pukul 20.00 WITA, kami berkumpul di lapangan mengelilingi tumpukan-tumpukan ranting-ranting pohon yang begitu tinggi yang berbentuk PIRAMIDA. Api unggun kami menyala, dan menyanyi bersama. \"Api kita sudah menyala, api kita sudah menyala, api api api api api, kita sudah menyala\" \"Horeeeeeeeeee.\" Sahut panitia dan peserta Pramuka 119
Di mana malam itu adalah malam akhir penutupan PERSAMI. Kebersamaan kami begitu singkat, tiga hari kami banyak mendapatkan pelajaran dan nasihat. Semoga kami dapat menyalakan kembali api unggun yang lebih besar di kemudian hari. Rindu bersemi di bumi perkemahan. Di antara rinduku adalah berkemah bersama teman-teman yang entah kapan terulang. Esok harinya adalah hari terakhir kami di PERSAMI, ada rasa haru membuncah di antara kami karena merasakan keakraban selama perkemahan berlangsung. Semoga kami bisa mengamalkan semua ilmu, nasihat, dan pengalaman yang kami dapatkan selama di perkemahan. Perkemahan kala itu menjadi kenangan yang indah dan tidak terlupakan bagi saya. 120
Pensil Warna Oleh: Moh. Nabil Azmi Sore itu tampak seorang anak berlari terburu-buru di koridor rumah sakit, di sela nafasnya yang terengah-engah ia memalingan muka ke setiap pintu seolah sedang mencari sebuah ruangan. “Bougenville 06, Ruangan ini”. Ujarnya dengan nafas yang masih tak beraturan seraya menghentikan langkah. Ia berdiam sejenak, menarik nafas lantas menarik gagang pintu dan melangkah masuk kedalam. Tak lupa ia mengucap salam pelan serta menutupnya kembali. “Wa’alaikumsalam Azam, sini Nak!” . Ucap seorang ibu yang duduk di depan sebuah ranjang dengan suaminya dan melambaikan tangan agar Azam duduk di samping kursi Ibu itu. Ia menghampiri kedua orang tua yang sedang mengaji untuk putra sulung mereka. “Buk, gimana keadaan Kakak?”. Tanya Azam penasaran seusai menyalimi kedua orang tuanya. “Kakakmu gula darahnya tinggi, semua organ tubuh kakakmu sudah keracunan gula. Kata dokter, kemungkinan kalau sembuh juga akan menderita lumpuh seumur hidup”. Jawab Bu Iyyah dengan suara serak. Azam menatap sedih kakaknya yang terbaring lemah di ranjang, seorang laki-laki bertubuh gempal berumur 20 tahunan yang masih tertidur. Sang kakak membuka mata perlahan mengetahui adiknya datang menjenguk, dengan sorot mata yang sayu ia terbata-bata menyuruh adiknya untuk mengambil sebuah pensil warna yang tergeletak di atas meja. Azam pun melakukan permintaan sang kakak, serta 121
meletakkan pensil itu di tangan kakaknya yang sudah tak bisa digerakkan lagi. “Zam, jadilah seperti pensil ini yang selalu mewarnai tempat ia berpijak”. Ucap kakaknya dengan suara lirih seolah mau hilang. Azam terpaku sejenak, mengangguk pelan kemudian kembali duduk ke kursinya untuk memahami maksud perkataan itu. Menjelang pada malam hari Pak Abu yang telah selesai berdoa kemudian menghampiri Azam yang masih khusyu‟ membaca Alqur‟an. Beliau menepuk pundak Azam agar memerhatikan sang Ayah. “Ini udah larut, kamu pulang saja jaga adik di rumah. Ada bibi juga di sana, kakakmu biar ibu sama ayah saja yang jaga”. Perintah Pak Abu kepada anaknya. Azam menganggukkan kepala, menuruti permintaan Pak Abu dan berdiri untuk meletakkan Alqur‟an ke tempat semula, lantas menyalimi kedua orang tuanya. Ia menatap kakaknya yang tertidur, mengucap salam dan meninggalkan ruangan itu untuk kembali ke rumahnya. Ia memacu motornya dengan perasaan yang masih campur aduk, hingga tak terasa sudah sampai rumah karena kecamuk perasaan resahnya Azam turun dari motornya yang sudah terparkir di garasi. Ia melangkah memasuki rumah dengan mengucap salam ke Bibi yang menemani adiknya yang tertidur di ruang tamu. Azam segera melangkah ke kamar mandi untuk membasuh wajah sejenak di wastafel kemudian beranjak ke tempat tidur untuk memejamkan mata, berharap agar besok mendapat kabar baik tentang kondisi dari kakaknya. “Zam...bangun Nak!”. Ucap Bibi sembari menepuk- nepuk kaki Azam. Azam pun bangun, mengucek mata serta 122
menggelengkan kepala agar ia cepat sadar, lantas menatap Bibi yang membangunkan dirinya. “Kamu yang sabar ya Nak, Kakakmu sudah nggak ada.” Ucap Bibi terisak seraya memeluk Azam dan mengelus-elus punggungnya. Hatinya seketika bagai tersengat, lidahnya terasa kaku untuk berucap, akal dan pikiran masih mencerna perkataan itu di tengah alam sadarnya mulai kembali. Hingga tak terasa pipi sudah sembab oleh air mata, perasaan sesak mulai memenuhi dada Azam, ia menatap kosong ke depan seolah memori tentang sang kakak melintas di hadapannya, menyesali setiap perbuatan buruk yang pernah ia berikan. Samar-samar terdengar suara pelan pengumuman kematian dari surau kampung. Tak lama kerabat serta tetangga mulai memenuhi rumahnya karena pengumuman itu. Azam mengikuti serangkaian acara di rumah dengan hati kosong, tak banyak berkata dan lebih sering di dekat kakak yang sedang didoakan. Saat pemakaman, ia memilih untuk berdiri di samping Pak Abu menemani mengantar kepergian kakaknya, di tengah peristiwa memilukan itu langit Oktober meneteskan berkah mengiringi suasana duka dengan tubuh yang mulai basah, pak Abu berusaha memeluk tubuh Azam seraya berucap parau sebab suara telah mengering ”Anakku tinggal kamu, anak laki- laki yang tersisa”. Ia termenung karena kalimat itu, beriringan dengan rintik hujan yang mulai deras. Memikirkan apakah dirinya mampu menutup kembali hati orang tuanya yang menganga, hanya ia dan Tuhan yang dapat menentukan. Tahukah dirimu, kawan? Dalam keping-keping benda serta penggal-penggal kata tersimpan doa. 123
Siapa Aku??? Oleh : Nadia Aku hamba yang selalu mengeluh, aku hamba yang selalu berharap lebih, dan aku hamba yang kadang tidak bersyukur. Inilah Aku… Semua orang pasti pernah mengeluh terhadap sesuatu, pernah merasakan berharap lebih lalu terjatuh, takdir yang diberikan kadang aku sendiri tidak bersyukur, juga kadang aku khilaf, yah inilah aku hamba yang terlalu mementingkan dunia. Aku sadar, semua yang aku lakukan salah. Sedikit- sedikit mengeluh, diberi cobaan kecil saja masih mengeluh, entahlah apakah semua manusia seperti itu atau hanya aku saja seperti itu? Ketika mengeluh perasaanku rasanya sangat lega, beban itu hilang walaupun hanya sebentar. Namun, aku juga berpikir bahwa mengeluh itu salah satu hal yang tidak baik untuk dilakukan. Seharusnya aku tetap sabar untuk menghadapi segala masalah serumit apa pun itu. Itulah manusia tidak luput dari kesalahan dan juga ujian. 124
Aku pernah berharap lebih terhadap sesuatu, seolah harapan itu bakalan terwujud sesuai ekspektasi. Waktu itu aku sangat berharap bakalan diterima salah satu universitas, harapanku terlalu tinggi sehingga aku terjatuh sangat jauh seolah aku ditampar oleh dunia, seolah Allah memberikanku signal untuk menyadarkan bahwa jangan terlalu menaruh harapan yang belum tentu sesuai kenyataan. Saat itu aku menyadari ternyata berharap lebih terhadap sesuatu sangat sakit. Karena kita hanya bisa berekspektasi sejauh mungkin, tetapi Allah yang menentukan takdir sesuai kemampuan hamba-Nya. Aku hamba yang terlalu banyak kemauan, kadang tidak terima takdir apa yang ditetapkan oleh-Nya, tidak bersyukur apa yang telah diberikan oleh-Nya, semuanya timbul karena aku menaruh harapan yang berlebihan. Kembali aku sadar bahwa semua ini sesuatu yang salah, walaupun manusia memang tidak luput dari kesalahan tapi alangkah baiknya kita sebagai manusia sadar untuk tidak berlebihan berharap sesuatu. Pantaskah aku sebagai seorang hamba yang taat? Sedangkan diri ini selalu lalai terhadap aturan-Nya. 125
Aku merasa belum pantas menjadi hamba-Nya yang diberikan kebebasan menghirup udara sepuasnya, hanya waktu ibadah sebagai kewajiban seorang hamba. Apalah dayaku yang kadang lalai terhadap aturan-Nya, namun dia masih saja memberikan nafas gratis. Walaupun hamba diberi ujian melalu rasa sakit, yang beruntung hamba sendiri bukan? ketika sakit dosa terampuni, ketika bersyukur apa yang dirasakan hidup jadi tenang, kurang baik apalagi Sang Pencipta. Semua yang kita lakukan dengan rasa syukur in syaa Allah semua kembali pada diri masing-masing. Salahkah jika kita mengutamakan berpikir positif terhadap sesuatu apalagi terhadap Tuhan? Jawabannya tidak. Toh semua kembali pada diri masing-masing, hidup jadi tenang tanpa beban walaupun banyak rintangan. Tetap semangat walaupun banyak rintangan yang menghadang, tapi percaya semua pasti ada jalannya, semua sudah diatur oleh- Nya. Jangan lupa bersyukur, jangan berharap lebih kepada manusia agar hidup jadi tenang, dan belajar untuk mengutamakan positif thinking apa pun keadaannya. 126
Perjuangan Akhir SMA Hingga Masuk Dunia Perkuliahan Nama: Nur Ridhawati Ketika aku masih di bangku sekolah menengah atas (SMA) dan di saat duduk di bangku kelas 3, tidak lama lagi akan lulus. Saat itu saya benar-benar merasa pusing dan juga gelisah memikirkan langkah apa yang harus aku ambil setelah lulus dari sekolah ini. Aku pernah mendaftar di beberapa kampus yang ada di Makassar melalui jalur SBMPTN dan Jalur SNMPTN di kampus UIN Alauddin Makassar. Pada saat aku lulus MAN, sambil menunggu pengumuman kelulusan diterima masuk universitas, aku memutuskan bekerja beberapa bulan karena jarak pendaftaran kuliah dengan waktu lulus aku ini, cukup jauh yaitu sekitaran 3 bulan. Akhirnya aku memutuskan untuk melamar kerja di salah satu toko sepatu dan alhamdulillah aku diterima di tempat itu. Alasan aku bekerja karena untuk mengisi waktu kosong ini sembari menunggu masuk kuliah. Satu bulan lebih aku bekerja, ternyata SBMPTN yang aku daftari tanggal 127
ujiannya telah tiba. Namun, karena saat itu aku bekerja jadi aku memutuskan untuk tidak mengikuti ujian SBMPTN. Alasan tidak mengikuti ujian tersebut karena aku bekerja, selain itu juga aku telah diterima pada jalur SNMPTN di Kampus UIN Alauddin Makassar dengan Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Tidak sampai di sini saja, yang sebenarnya jurusan pertama yang aku pilih itu Pendidikan Bahasa Arab, tetapi aku lulus di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab tapi aku tidak menyesal karena belajarnya sama-sama bahasa Arab walaupun sedikit ada perbedaan. Singkat cerita, aku telah memasuki bangku perkuliahan. Aku memutuskan untuk resign dari kerja dengan alasan karena ingin kuliah. Tak hanya sampai di situ, perjuanganku melewati masa-masa sebelum aktif belajar itu sangatlah terasa, yang dimulai dari PBAK didampingi oleh kakak senior yang baik hati. Banyak di luaran sana yang mengatakan bahwa hati-hati pada saat PBAK karena di situlah kita dijadikan budak, dibentak dan segala macam. Tapi nyatanya alhamdulillah kita sebagai mahasiswa tidak ada satupun yang disiksa ataupun dijadikan budak oleh kakak senior. Hanya saja suaranya yang begitu keras, sehingga kami 128
yang mahasiswa baru merasa sedikit takut tapi itu semua hanyalah candaan. Setelah PBAK berakhir akhirnya aku bisa merasakan duduk di bangku perkuliahan yang dulu aku impikan. Di pikiranku SMA dan kuliah itu hampir sama, tapi nyatanya sangat berbeda. Perbedaannya itu mulai dari cara belajarnya, jadwalnya, hingga kelasnya yang tidak tentu. Pada saat SMA kelas tempat kita belajar tidak berpindah-pindah kecuali kita naik kelas, sedangkan di bangku kuliahan kelas dan tempat duduk itu beda-beda di setiap mata kuliah, bahkan ada rebutan tempat duduk, maunya ambil di depan, belakang, ataupun tengah, itulah serunya. Di perkuliahan ini kita hanya banyak berdiskusi dengan dosen, sesama teman, ataupun menggantikan dosen berbicara. Intinya jadi mahasiswa itu kebanyakan berbicara di depan umum dan diajarkan bagaimana berbicara dengan penuh percaya diri. Beberapa hari kuliah sudah banyak tugas yang kami terima dari setiap dosen pengampu mata kuliah, dari membuat makalah, merangkum dan mencatat poin-poin yang disampaikan oleh dosen. 129
Hari pertama kuliah perasaanku campur aduk, antara senang karena akan bertemu dengan teman baru dan tegang karena ini merupakan pengalaman pertamaku sebagai anak kost dan berjauhan sama orang tua, rasanya itu sangat sedih hidup berpisah dengan orang tua. Tetapi semua itu bukan sebagai penghalang untuk tidak semangat, justru aku di sini harus semangat dan banggain orang tua nanti. Awal masuk kuliah disebut sebagai masa-masa transisi, di mana perubahan dari masa sekolah ke kuliah perlu dilakukan dengan penyesuaian diri. Biasanya ke sekolah memakai seragam, sekarang memakai pakaian bebas tetapi tetap sopan. Di sekolah kami disebut siswa sekarang disebutnya mahasiswa. Begitu juga dengan pendidik yang biasa dipanggil guru berubah menjadi dosen. Ketakutanku bertambah menjadi saat melangkah memasuki kelas, aku takut teman-teman akan menjauhiku karena aku orangnya sangat tidak ramah dan anaknya tidak seru diajak bergaul. Kesan pertama saat diajar oleh dosen yaitu beliau terlihat lebih santai dalam memberikan materi tidak sama seperti sekolah dulu. Tetapi tetap saja tugas yang diberikan dosen 130
sama saja seperti zaman sekolah yaitu tugas individu dan kelompok yang harus dikumpulkan tepat waktu. Itulah sedikit pengalaman, cerita, atau kisah yang sata bagikan buat teman-teman, mulai dari akhir sekolah hingga masuk kuliah. Terima kasih, mohon maaf jika masih kurang atau ada cerita saya yang kurang lengkap. 131
Pergi Oleh: Muhammad Aan Nurhuda Sebuah kisah seorang anak laki–laki yang bernama Lail, tentang Lail yang memiliki hidup tak pernah jauh dari kata pergi. Dia adalah anak pertama dari dua bersaudara, harapan dari kedua orang tuanya sangat bergantung kepadanya agar menjadi contoh kepada adiknya. Suatu ketika perbincangan antara anak dan orang tua di rumah mereka. Pembahasannya tidak jauh dari pendidikan, Lail merupakan tamatan pondok pesantren, setelah dia tamat sekolah dasar (SD) dia melanjutkan sekolahnya di pondok pesantren selama 3 tahun. Waktu 3 tahun bukan hal yang singkat, banyak pengalaman yang dialami kadang sad ending kadang juga happy ending karena di dunia ini kita semua adalah pemeran utama dalam cerita yang berbeda-beda. Di tengah perbincangan mereka, ternyata keputusan kedua orang tuanya kembali menyekolahkan Lail di pondok pesantren. Hal tersebut membuat Lail kaget karena ia akan kembali meninggalkan rumah bahkan lebih jauh lagi yaitu ia 132
akan keluar pulau untuk sekolah di salah satu pesantren di Jawa. Keputusan tersebut sempat dibantah oleh Lail. “Kenapa harus sekolah pesantren lagi Ma’ Pak ?“ “Yah supaya kamu bisa menambah wawasan kamu soal agama“. Kata bapak dengan memegang pundak Lail berusaha membujuk dengan penuh harapan. “Tapi kenapa harus pesantren lagi, sekolah madrasah juga belajar agama “. Ucapnya membela diri. “Kalau kamu mau sekolah madrasah yang hanya belajar agama di kelas saja apa bedanya dengan sekolah negeri“. Ucap bapak Lail dengan wajah yang serius. “Iya Nak sekolah saja di pesantren lebih bagus lagi, kamu bisa naik pesawat ke sana“. Ucap mama Lail dengan menggombal. Lail pun terdiam dan mengangguk pertanda ia setuju terhadap permintaan kedua orang tuanya, bukan karena gombalan mamanya agar merasakan naik pesawat tetapi melihat di mata mereka menaruh harapan buat anak sulungnya. Satu hari sebelum berangkat ia duduk di depan teras rumah, fisik sedang duduk santai tetapi pikiran sudah ke 133
mana-mana. Yang ia pikirkan adalah akan pergi dari rumah setelah belajar di pesantren selama 3 tahun dan sekarang pun begitu. Lail berkata dalam hati, “Yang terjadi biarlah terjadi, langkah inilah yang menuntunku untuk pergi sekali lagi.” Tiba saatnya ia berangkat. Orang tuanya mengantarnya sampai depan pintu bus. Sebelum naik bus dia menghampiri orang tuanya untuk pamit dan meminta doa agar perjalanannya dilancarkan. Air mata kembali menetes antara Lail dan orang tuanya. Pergi adalah suatu hal yang bisa membuat air mata jatuh. Begitu berat kaki Lail melangkah dan beranjak pergi. Tetapi terpancar di mata orang tuanya terdapat keikhlasan untuk Lail yang pergi menuntut ilmu, langkahnya pun terasa ringan karena tatapan ikhlas dari kedua orang tuanya. “Merantaulah! Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan Negerimu dan hiduplah di negeri asing (di negeri orang)”. “Sejauh apa pun kau pergi, kamu akan selalu punya tempat untuk pulang, yaitu keluarga. 134
Aku dan Diriku Oleh : Fira Lutfi Mata adalah indra penglihatan yang tidak pernah berbohong, ekspresi mata hanya dapat dibaca oleh orang- oranh yang mengerti, tidak seperti mulut yang selalu mengeluarkan kata-kata yang dapat didengar oleh orang banyak. Pengalaman mengajarkanku bahwa hidup ini perlu privasi agar lebih berharga. mendapat tekanan dari orang- orang terdekat, teman sekolah dan orang yang pernah kukenal membuatku semakin tidak percaya diri, aku sering diremehkan oleh orang-orang dan merasa bahwa kehadiranku tak diinginkan oleh orang sekitaranku. Masa itu dimulai saat aku duduk dibangku SD kelas 4 sampai SMP kelas 1, sering dibuly membuatku ingin cepat- cepat lulus SMP dan bersekolah di sekolah yang tidak ada teman lamaku, ingin membuka lembaran baru yang isinya berupa harapan yang baik. 135
Memasuki masa itu aku bersyukur karena pada masa itu jauh lebih baik dari masa sebelumnya, mendapat teman- teman yang baik, mulai tumbuh rasa percaya diri, lebih fokus pada diriku, yang dulunya adalah orang yang sangat menarik diri dari keramaian karena merasa tak pantas. Kini menjadi orang yang cukup bisa bersosialisasi, mengikuti beberapa kegiatan sekolah, dan dulunya aku adalah orang yang penakut kini menjadi orang yang berani di masa SMA ini. Pengalaman yang kudapatkan mengajarkanku bahwa hidup ini bukan untuk menyenangkan semua orang, karena hidup bukan tentang orang lain namun tentang diriku sendiri. Dulu aku adalah orang yang sering mengabaikan perasaan dan lebih mementingkan orang lain dan kini sudah tidak lagi. Sekarang aku lebih memprioritaskan diriku sendiri, tak peduli apa yang dipikirkan orang tentangku, aku sadar bahwa tidak semua orang menyukaiku dan itulah sifat manusiawi. Hidup tak selalu dijalankan bersamaan dan didampingi oleh orang yang kita sayang, namun terkadang keadaan memaksakan untuk lebih mandiri, jangan takut akan kesendirian dalam hidup ini, tegarkan hati, kuatkan iman dan yakinlah bahwa tuhan selalu ada di sisi hamba-Nya. 136
Kuceritakan kisahku di mana aku berada di bangku perkuliahan, mulai sekarang aku akan menjadi diriku sendiri apa pun itu keadaanya, tak lagi kubandingkan hidupku dengan hidupmu, namun aku adalah diriku dan kamu adalah dirimu. Jadilah versi terbaik untuk diri kita masing-masing, percayalah pada diri sendiri, jangan menaruh harapan lebih kepada orang lain, cukuplah menaruh harapan hanya kepada Tuhan. \"Jangan berusaha menjadi orang lain karena itu tak akan membuat diriku bahagia. Jadilah diriku sendiri karena aku adalah aku dan hidup ini tentang aku dan diriku. 137
Hidup dalam Keheningan Oleh: Kuratul Yuyun Pada tanggal 20 Agustus 2004 kisahku dimulai. Aku dilahirkan dari keluarga yang begitu sederhana. Namun, dari kesederhanaan itulah aku mengenal yang namanya kasih sayang, kebahagiaan, dan keharmonisan. Namaku Kuratul Yuyun, anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku adalah anak yang paling berbeda dengan kedua saudaraku. Beda di sini bukan berarti beda fisik ya! Maksudku sikap dan sifatku yang berbeda dengan kedua saudaraku. Waktu kecil aku adalah anak yang paling susah diatur, nakal, malas, dan kotor, tapi itu dulu. Pada masa SD hari-hari yang kujalani sangat bahagia, karena aku tidak pernah kekurangan kasih sayang dan kebahagiaan dari keluargaku. Masa kecilku juga merupakan masa yang terindah dalam hidupku. Tapi kata bahagia, kasih sayang, dan keharmonisan itu hilang begitu saja. Ya! Karena tidak lama kugenggam kebahagiaan itu dan pada akhirnya Tuhan mengubah cerita hidupku. Kata bahagia dan kasih sayang itu hilang. Ya..! Ibuku meninggal, tepatnya aku menginjak bangku SMP semester 1 pada tangal 22 Juni 2016. 138
Kesedihan bertambah ketika tepat di 100 hari meninggalnya ibu, ayah memilih untuk menikah lagi. Kejam! Ya, mungkin kalian mengatakan seperti itu. Air mata selalu bercucuran, di mana kesedihan selalu menghampiri, dan kesunyian selalu menghantui. Sudah tidak ada lagi keluargaku yang dikenal dengan keluarga yang begitu bahagia dan harmonis. Hari-hariku kulalui dengan suasana yang berbeda. Di rumah aku hanya tinggal sendiri, ditinggal merantau ke Makassar oleh kakak perempuanku dan kakak laki-lakiku merantau ke Papua, sedangkan ayahku pergi meninggalkan aku dan lebih memilih istri barunya. Kami semua berpisah masing-masing mencari arahnya ke mana. Aku menjalani kehidupan di rumah dengan kesendirian dan keheningan. Menjalani hidup tanpa kasih sayang dari kedua orang tua bukanlah hal yang mudah bagiku. Namun itulah kehidupan ada bahagia ada dukanya. Dari situlah aku bisa mengambil hikmah kalau sesuatu yang ada di dunia ini tidak bisa kita miliki dengan seutuhnya dan janganlah pernah bergantung sama orang lain. Dengan kehidupan yang begitu duka lara masa SMA pun tiba. Dulu aku bingung mau masuk di sekolah mana. Sama 139
sekali tidak ada yang memotivasiku. Lalu aku permantapkan hatiku untuk masuk di pondok, karena aku berpikir dengan masuk pondok mungkin kesedihan akan hilang, karena pondok itu dikenal dengan solidaritasnya kuat, saling kasih mengasihi antara satu sama lain. Ya..! Di situlah aku mulai menjalani kehidupan di pondok. Hari-hari yang dijalani cukup bikin bahagia. Aku mengukir kemampuanku di pondok, di mana aku tumbuh menjadi remaja yang mandiri. Saat itu aku tidak pernah kekurangn uang sama sekali. Kedua kakak yang tangguh selalu kirimkan aku uang. Hanya satu kekuranganku pada saat itu hingga sekarang yaitu kasih sayang dan keluarga yang sempurna. Ketika teman-temanku mereka dijenguk oleh orang tuanya, aku hanya bisa merasa iri dan membayang jika seandainya itu adalah orang tuaku mungkin aku sudah menjadi anak yang paling bahagia saat itu. Singkat cerita masa SMA telah usai, saat aku lulus dengan nilai terbaik. Di hari kelulusanku bukannya aku senang, justru aku merasakan kesedihan yang mendalam dengan rasa kecewa. Aku menunggu ayah mendampingiku di hari wisuda, namun harapanku hanyalah sekadar harapan. Ayahku tidak datang melainkan digantikan oleh kakak sepupuku, di situlah kecewa terbesarku muncul kembali. 140
Sampai pada akhirnya aku melanjutkan pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan kondisi keluarga yang berantakan dan tidak lengkap, itu semua tidak akan mematahkan semangatku untuk menuntut ilmu. 141
Kisah Singkat wabarakatuh, Oleh : Muhajir Assalamu‟alaikum warahmatullahi Saya akan menceritakan kisah singkat hidup saya dari kecil hingga saat ini. Aku Muhajir biasa dipanggil Ammang, lahir pada tanggal 10 Februari di Makassar. Masa kecilku tidak jauh berbeda dengan anak-anak kecil pada umumnya. Ketika aku di sekolah dasar, aku anaknya sudah mandiri yaitu berangkat dari rumah ke sekolah sendiri tanpa diantar orang tua seperti anak-anak lainnya. Aku memiliki hobby di bidang olahraga terutama di olahraga futsal. Bagiku menjaga kesehatan adalah hal yang amat penting. Ketika aku lulus dari SD, aku mulai tertarik dengan pelajaran agama karena saudaraku juga dari pesantren. Dia cukup paham mengenai agama dan itu membuat aku suka bertanya tentang ilmu agama kepada beliau sampai saat ini. Aku kembali kebingungan pada saat kelas 3 MTS, bingung mau melanjutkan sekolah di mana yang seharusnya aku pilih dan akhirnya aku memutuskan untuk tetap memilih melanjutkan mondok di pesantren selama 3 tahun. 142
Pesantrenku ini bernama Pondok Pesantren Al-Ikhlas Addary DDI Takkalasi. Diasuh oleh banyak ustaz, pembina, maupun kiyai untuk belajar ilmu agama. Sampai pada akhirnya aku merasa betah di pesantren, karena banyaknya teman walaupun makannya hanya tahu dan tempe. Begitu banyak pelajaran yang saya dapatkan selama menuntut ilmu di pesantren. Terutama pendidikan tentang kehidupan yang belum tentu dirasakan oleh anak-anal lainnya. Singkat cerita akhirnya aku kuliah di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Jurusan Bahasa dan Sastra Arab melalui jalur umum yang diseleksi melalui tes dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan alhamdulillah pada akhirnya aku diterima. Sekian. 143
Langkah Kakiku Oleh : Robi Hidayah Er Perkenalkan namaku Robi Hidayah ER. Akrab disapa Roby, Robi, Robert, Robar. Aku berasal dari Bone Sulawesi Selatan. Ketika melangkahkan kaki mustahil kita akan mengembalikannya ke arah yang sebelumnya dan hari yang kita lalui tak akan berulang seperti halnya dengan pengalaman yang tidak akan dapat kita ulang namun dapat dikenang. Berbicara tentang pengalaman merupakan sesuatu yang sangat seru. Dari awal masuk di kampus UIN Alauddin Makassar banyak pengalaman yang tak akan dilupa, salah satunya hal konyol yang kita lakukan bersama teman-teman. Sedikit cerita pengalaman pada saat menjadi mahasiswa baru yang paling berkesan ketika kami mengikuti PBAK terkhusus mahasiswa baru Fakultas Adab dan Humaniora. Kami semua diperintahkan memakai pakaian hitam putih, kardus dikalungkan di leher, kantong prajurit menggunakan kresek berwarna kuning dan kami para laki-laki diwajibkan kepala harus botak. 144
Di PBAK aku bisa mengenal banyak teman dari luar daerah bahkan provinsi, sehingga tidak menurunkan semangat untuk mengikuti PBAK. Ada banyak pentas seni yang ditampilkan oleh kakak-kakak senior salah satunya adalah menari gendang-gendang. Ketika perkuliahan telah aktif saya merasa tidak percaya diri berada dalam ruangan kelas, di mana kebanyakan dari teman-temanku mereka alumni dari pesantren, sehingga mereka sudah terbiasa dalam berbahasa Arab. Sedangkan saya tidak memiliki dasar apa pun dalam berbahasa Arab. Berbeda ketika saya ditanya mengenai alat berat menghabiskan solar per jam berapa jergen atau yang berkaitan degan alat berat in syaa Allah saya bisa menjawabnya. Aku pernah diremehkan oleh salah satu kakak senior di kampus, dia menanyakan apakah aku alumni dari pesantren atau bukan, lalu aku menjawab bukan. Sontak mereka menertawakanku. Dalam hatiku berkata, “Langkahkan kakimu angkat pandanganmu ke depan, ingat angka 0 akan berubah menjadi angka 1 dan angka 1 akan berubah menjadi angka 2”. Pengetahuanku memang saat ini kosong, tidak ada yang aku ketahui tentang bahasa Arab. Namun, aku akan mengisinya 145
sampai kekosongan itu terisi, akan kubuktikan bahwa aku juga bisa seperti mereka sama alumni dari pesantren yang pintar berbahasa Arab. Semasa kuliah aku tinggal di Jl. Poros Malino Bontomarannu tepatnya tinggal di Masjid AL-Ihsan Gowa. Di Masjid aku sebagai marbot di mana sebelum berangkat ke kampus, terlebih dahulu membersihkan masjid dan terkadang membuat aku terlambat ke kampus. Ketika saya mengatakan hal itu ke dosen, terkadang ada sebagian dosen yang mengatakan saya cuma beralasan terlambat karena membersihkan masjid. Mungkin kegiatan sehari-hariku berbeda dengan teman-teman, aku bangun sebelum salat Subuh untuk menyalakan lampu-lampu masjid dan mengumandangkan azan Subuh. Sedikit pesan buat teman-teman yang orang tuanya masih lengkap. Rajin-rajinlah kalian menanyakan atau memberikan kabar kepada orang tua, sayangi mereka luangkan waktu buat mereka karena kita tahu, kemarin kita di sana, hari ini kita di sini, dan esok hari tidak ada yang tahu kita di mana, apakah kau masih di sini atau telah mendahului kami. Waktu itu seperti es batu digunakan atau tidak akan tetap 146
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152