Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore 1. LAHIRNYA BAYI BAJANG

1. LAHIRNYA BAYI BAJANG

Published by Kustopo Paminto, 2023-04-14 01:39:02

Description: 1. LAHIRNYA BAYI BAJANG

Search

Read the Text Version

KUSTOPO PAMINTO TUMBAL BETHARA KALA EPISODE LAHIRNYA BAYI BAJANG

LAHIRNYA BAYI BAJANG Kasmin dan Sumirah sudah sepuluh tahun menikah, tetapi belum mendapat karunia seorang anak. Bagi orang desa, pasangan suami istri yang sudah cukup lama menikah tetapi belum punya anak merupakan sesuatu yang memalukan. Banyak diperbincangkan oleh tetangga. Terutama sang wanita. Sumirah sangat malu dan merasa rendah diri. Tumpuan pergunjingan jatuhnya pada wanita. Bagi wanita yang tidak bisa punya anak, berarti tidak bisa memberikan kebahagian dalam keluarga, tidak bisa memberi penerus keturunan. Ada yang bilang wanita gabug, wanita mandul, wanita kopong, dan lain sebagainya. Tentu gunjingan itu sampai ke telinga Sumirah. Dan tentu, Sumirah malu menjadi wanita yang tidak berguna. Tidak hanya Sumirah, Kasmin juga sering menjadi sasaran diejek teman- temannya. Tubuh kerempeng kurang daging itu terlihat sedih, jika dirinya dikatakan kurang perkasa, tidak mempunyai daya, tidak sanggup memberikan layanan pada istrinya. Di sawah saat mencangkul dan merawat tanaman sayuran ataupun di pos ronda saat giliran jaga malam, ejekan itu selalu dilontarkan oleh teman-temannya. Kasmin pasrah, tidak bisa menjawab apa-apa. Ia pun hanya menerima takdir yang diberikan oleh Sang Kuasa. Ya, ketika kekuatan manusia sudah tidak lagi berdaya, tak mampu berbuat apa-apa, sudah tidak mampu mencari jalan keluar, maka ia hanya pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Malam sehabis maghrib Pak Darmo, ayah Kasmin, datang ke rumah Kasmin. Walau mentari baru beberapa saat tenggelam ke peraduan malam, suasana desa tempat tinggal Kasmin sudah sepi. Seakan seluruh makhluk hidup di perkampungan yang gelap tersebut langsung terlelap. Maklum, kampung Waturoto, desa tempat tinggal Kasmin beserta kerabatnya menggantungkan nasibnya, hanya mendapatkan penerangan listrik seadanya dari disel milik kepala dusun. Tiap rumah hanya diterangi oleh dua buah lampu bohlam sepuluh watt. Sedangkan di perempatan jalan ada lampu neon yang terikat di tiang bambu, menyoroti gelapnya malam. Perkampungan Waturoto hanya ada sekitar dua puluh lima rumah, dan hampir seluruh penduduknya masih dalam satu kekerabatan. Rumah kampung yang digandeng dengan kandang ternak, memberi bau khas, bau amoniak kotoran kambing dan sapi. Kampung di lereng Gunung Merapi yang masih jauh dari kemajuan, masih asri dengan lebatnya pepohonan yang menjulang ke langit, masih

indah dengan sawah-sawah teras iring, masih merdu dengan suara burung serta gemericik air. Namun saat malam tiba, orang-orang masuk rumah, terutama kaum wanita dan anak-anak, beranjak tidur. Suara binatang malam berganti mengisi sepinya perkampungan. Desir angin gunung yang meniup ranting pohon, menggoyang dedaunan, menimbulkan suara-suara desah meriuh simponi malam. Tentu suasana makin bertambah seram. Rumah Kasmin yang hanya terbuat dari kayu papan dan berlantai tanah itu sudah tertutup rapat. Sama seperti rumah-rumah tetangganya. Tentu di luar rumah sudah gelap. Hanya berkas sinar bohlam sepuluh watt yang menerobos ke luar melalui celah dinding papan yang tidak rapat atau pecah. Pak Darmo mengetuk pintu rumah Kasmin. Pintu yang terbuat dari papan kayu alas itu mengeluarkan suara ketukan yang cukup keras, sehingga sangat jelas terdengar. “Kasmin...!! Kasmin...!!” Suara Pak Darmo memanggil anaknya. “Nggih, Pak....!!” Sahut Sumirah dari dalam Rumah. “Ya, Pak.... Sebentar...!!” Timpal Kasmin yang hafal suara ayahnya. Ia tergopoh turun dari dipan tempat tidur untuk membuka pintu. Maklum, setelah kerja di sawah seharian tentu tubuhnya kecapaian, maka begitu berada di rumah ia langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Tidak hanya Kasmin, tetapi hampir semua penduduk kampung Waturoto, ketika kampung sudah menjadi gelap maka mereka lebih memilih tiduran. “Ada apa, Pak?” Tanya Kasmin setelah membuka pintu dan melihat wajah bapaknya dari remang sinar lampu rumahnya. “Yaa...mau bicara sama kamu, sama istrimu.” Sahut Pak Darmo. “Monggo, Pak.” Kasmin mempersilahkan bapaknya masuk rumah. Lantas Pak Darmo duduk bersanding dengan Kasmin di bangko kayu, yaitu kursi besar tradisionil yang biasa digunakan untuk duduk santai maupun tiduran. Di depan bangko tersebut terdapat meja gerobog, biasanya digunakan untuk menyimpan padi ataupun jagung hasil panen. Sumirah bergegas membuat minuman, teh gula aren. Lantas menyuguhkan kepada mertuanya. “Monggo, Pak, teh hangat penghilang lelah.” Kata Sumirah pada mertuanya, sambil meletakkan dua gelas teh di atas meja gerobog.

“Ya, terima kasih.” Sahut Pak Darmo, lantas meminum teh gula aren yang masih panas. Terdengar suara seruputan yang nikmat, pertanda orang yang minum teh tersebut sangat menikmati rasanya. “Ada kabar berita apa, Pak, kok kelihatan penting?” Tanya Sumirah yang ikut nimbrung, duduk di samping suaminya. Maklum, meski hanya anak menantu, Sumirah sangat dekat dan akrab dengan mertuanya. Bapak dan ibu mertuanya, yaitu orang tua Kasmin, dianggap seperti orang tua kandungnya. Tentu orang tua Kasmin juga sangat sayang pada Sumirah. Apalagi Sumirah adalah wanita baik, rajin dan penurut. Tidak neko-neko. “Begini lho, Nduk Sumirah, dan kamu Kasmin...” Pak Darmo berhenti sejenak, menghela napas panjang. Pertanda agak ragu untuk menyampaikan perkataannya. Takut menyinggung perasaan menantunya. “Ada apa to, Pak?” Tanya Sumirah sambil mendekatkan kepalanya kepada ayah mertuanya, kelihatan penasaran. “Anu… Saya hanya mau bilang, itu lho… masalah kalian. Sudah lama bapakmu ini kan pengin punya cucu.” Kata Pak Darmo. Sumirah langsung menarik tubuhnya yang semula menempel di pundak mertuanya. Tubuhnya menjadi lemas jika mendengar kata-kata yang menyinggung masalah keturunan, masalah anak. Maklum, sudah lama ia berumah tangga, namun belum juga punya keturunan. “Saya sudah berusaha ke mana-mana, yang ke dukun pijet, minum jamu, ke puskesmas, terus disuruh ke rumah sakit, tapi hanya dibilang suruh sabar. Katanya saya dan Sumirah sehat-sehat saja kok, Pak.” Kata Kasmin. “Iya,… saya tahu. Simbokmu juga sering cerita.” Sahut Pak Darmo. “Lha, ini bapak mau kasih saran, kalau kalian mau.” Lanjutnya. “Saran apa, Pak?!” Sahut Sumirah, yang tadi sudah tersungut, kini mulai penasaran lagi. “Bapak dengar dari kenalan lama, teman saya waktu masih kecil, katanya ada jalan, ada srono, ada cara untuk meminta sesuatu. Yach,… siapa tahu kalian mau. Siapa tahu ada jodoh. Siapa tahu dikabulkan.” Kata Pak Darmo. “Jalan gimana to, Pak?! Sarananya gimana?!” Kata Kasmin yang juga ikut penasaran.

“Kamu tahu, bahwa Yang Maha Kuasa itu ada dan sanggup mengabulkan permintaan kita. Dia mendengar doa-doa kita. Siapa tahu, permintaanmu juga dikabulkan.” Tutur Pak Darmo. “Iya, Pak, kami juga tidak henti memohon pada Sang Yang Wenang, tapi toh juga belum terkabul.” Kata Kasmin. “Lha caranya gimana to, Pak?” Sumirah mulai penasaran. “Kata teman bapak itu, ada tempat pemujaan di Sendang Serut, lereng sebelah timur Gunung Merapi. Itu lo, kalau dari Sarkembang ke arah jalan yang menuju tempat orang-orang pada piknik di Deles Indah. Lha di situ, di Sendang Serut itu, katanya permintaan kita cepat dikabulkan. Kita perlu nyoba,... siapa tahu...” Jelas Pak Darmo. Kasmin terdiam. Matanya menerawang. Antara percaya dan tidak, apa yang dikatakan oleh ayahnya. Setahu Kasmin, Sendang Serut itu tempat yang angker. Sendang yang cukup besar, sumber airnya mengucur deras, tidak pernah berkurang ataupun kering, meski kemarau panjang. Sendang yang merupakan sumber kehidupan bagi penduduk dari beberapa kampung di Karang Nongko. Sumber kehidupan bagi sawah-sawah masyarakat. Sumber kehidupan bagi makhluk hidup di lereng Merapi sisi timur. Pikiran Kasmin masih bingung, benarkah cerita tentang Sendang Serut tersebut? Berbeda dengan Kasmin, Sumirah justru sudah terlihat senang. Wajahnya berseri. Senyumnya mengembang. Ia sudah membayangkan menggendong dan menimang bayi. Bayi yang lahir dari rahimnya. Bayi yang akan menjadi penerus keturunannya. Ia tidak lagi diejek oleh temannya, tidak dicibir oleh tetangga- tetangganya, tidak lagi menjadi wanita gabug. -------- Malam Jum’at Kliwon adalah hari yang dikeramatkan oleh kebanyakan masyarakat Jawa, terutama bagi masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh nilai-nilai dan keyakinan peninggalan leluhur. Tetapi tidak hanya Jawa, di berbagai daerah di Indonesia, umumnya menganggap bahwa malam Jum’at Kliwon itu keramat. Ada yang mengatakan pada malam Jum’at Kliwon itu banyak setan berkeliaran, hantu-hantu suka mengganggu, genderuwo pesta pora, wewe gombel bergentayangan, sundel bolong menggoda laki-laki hidung belang, masih-banyak lagi cerita-cerita horor yang terjadi di malam Jum’at Kliwon. Tetapi bagi Kasmin, malam Jum’at Kliwon ini adalah hari yang menentukan nasib dirinya dan

keluarganya. Malam dimana ia harus melakukan pemujaan, berdoa di tempat pamujan Sendang Serut. Sejak sore, sesaat setelah matahari tenggelam, Kasmin bersama ayahnya, Pak Darmo, sudah berada di Sendang Serut. Tempat yang jauh dari perkampungan dan sulit untuk dijangkau, karena jalanan setapak yang menurun terjal. Mereka berdua duduk bersila di atas batu yang bagian atasnya rata layaknya sebuah lantai granit berukuran sangat besar. Di depan mereka bersila terdapat batu yang sangat besar, berbentuk seperti patung kepala manusia raksaksa. Yah, Watu Buto. Masyarakat di kawasan lereng Merapi menyebut dengan nama Watu Buto, yaitu sebuah batu besar menyerupai bentuk kepala tokoh raksasa dalam cerita pewayangan. Ada juga yang menyebut batu Bethara Kala, yaitu tokoh dewa dalam pewayangan yang suka memangsa atau makan manusia yang bersalah. Di bagian bawah Watu Buto tersebut terdapat tumpukan bekas bakaran dupa ataupun kemenyan. Artinya bahwa di tempat tersebut sering ada orang yang melakukan pemujaan dengan membakar kemenyan. Entah apa yang mereka minta. Di sisi kiri tempat pemujaan terdengar suara gemercik air yang mengalir. Yah, itulah Sendang Serut, sendang yang mengalirkan air kehidupan bagi warga Merapi. Di sisi atas sendang, terdapat pohon serut, mungkin itu sehingga daerah tersebut diberi nama Sendang Serut. Gelap semakin kelam, semakin menghitam. Kasmin dan Pak Darmo sudah bersiap untuk melakukan pemujaan. Meminta keturunan. Meminta seorang anak. “Nanti kalau ada suara apa-apa,... tidak usah takut.” Kata Pak Darmo pada Kasmin secara perlahan. “Nggih, Pak.” Jawab Kasmin. “Nanti kalau ada suara yang tanya mau apa,... kamu jawab minta anak.” Bisikan Pak Darmo lagi. “Nggih, Pak.” Jawab Kasmin. Mereka berdua pun mulai melakukan pemujaan. Kasmin mulai membuka bungkusan bunga sesaji, menaruh di bawah Watu Buto, kemudian membakar kemenyan. Bau harum khas wewangian yang menyesakkan napas, menyebar terbawa angin. Kasmin diam bersila, tangannya bersedekap di dada, bersemedi. Kepulan asap dan bau harum dari kemenyan yang dibakar oleh Kasmin merupakan pertanda permintaan dari hamba yang lemah, orang yang butuh bantuan, manusia yang tidak kuasa menahan penderitaan, permintaan kepada Sang Yang Wenang. Dalam posisi bersemedi, Kasmin membulatkan hati, khusuk pada

permintaannya, yaitu ingin memiliki seorang anak. Konsentrasinya tidak boleh buyar. Ia tidak ingin semedinya terganggu oleh apapun. Asap mengepul membubung di kepala Watu Buto, seakan menutupi wajah Sang Raksaksa tersebut, sehingga Watu Buto tidak terlihat. Namun ada keanehan yang tidak disadari oleh Kasmin. Asap yang mengepul tersebut menghilang di bagian hidung Watu Buto. Seakan asap tersebut dihirup oleh Sang Raksaksa. Dari balik kepulan asap yang menutup kepala raksaksa, seakan Watu Buto tersebut hidup, bergerak, menghela napas, menengok manusia yang bersemedi di bawahnya, mengamati manusia yang sedang hening meminta anak. Bahkan seakan raksaksa tersebut berdiri dan melangkah pergi. Benarkah Watu Buto itu hidup? Ataukah itu suatu pertanda bahwa permintaan Kasmin akan dikabulkan? -------- Kebiasaan penduduk kampung Waturoto, kalau malam Jum’at Kliwon sejak sore sudah beranjak ke tempat tidur, menutup pintu rumah rapat-rapat, menakut- nakuti anak kalau tidak tidur akan digondol hantu cekik. Maka perkampungan Waturoto malam itu betul-betul sepi. Bahkan suara binatang malam pun tidak terdengar. Seolah semua makhluk terhipnotis oleh kekuatan magis malam Jum’at Kliwon. Sumirah sudah menutup pintu sejak sore, sesaat setelah suaminya pergi bersama ayah mertuanya ke Sendang Serut. Tentu, Sumirah langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Tidak lama, ia pun terlelap. Tidurnya sangat pulas. Dalam tidurnya, Sumirah bermimpi bermesraan dengan Kasmin. Malam itu ia merasa suaminya sangat romantis. Sumirah bercumbu rayu dengan Kasmin. Tentu Sumirah merasa senang dan bahagia. Baru kali ini ia bermesraan dengan suaminya yang benar-benar mesra. Yang dirasakan Sumirah hanyalah kenikmatan yang tiada tara. “Tok...tok...tok...!!” Suara pintu diketuk. “Sumirah...!! Sumirah...!!” Teriak Kasmin sambil mengetuk pintu, memanggil istrinya. Sumirah tergagap, mendengar teriakan suaminya. Bangun dari tempat tidur. Entah apa yang terjadi semalam saat ia tidur, yang dia ingat hanyalah mimpi bermesraan dengan suaminya. Tetapi Sumirah terheran sendiri melihat tempat tidurnya yang awut-awutan, berserakan layaknya telah terjadi pergulatan di tempat tidur. Ia juga kaget, kain jarit yang dikenakan saat tidur terlepas. Tentu ia langsung

merapikan tempat tidur dan membetulkan kain yang dikenakan. Takut ditegur suaminya, tidur sendiri kok tempat tidurnya acak-acakan tidak karuan. “Sumirah...!!” Kasmin mengulang memanggil istrinya. “Iya, Kang... Sebentar...!” Sahut Sumirah dari dalam rumah yang bergegas membuka pintu. “Ya, ampun... baru bangun to...?!” Tanya Kasmin pada istrinya yang baru saja membukakan pintu. “Hehehe... Iya, Kang. Ternyata sudah siang, to...” Jawab Sumirah sambil menutup mulutnya yang ingin tertawa. Lalu menubruk suaminya. Ia teringat mimpinya semalam, suaminya begitu perkasa. “Lhah... mataharinya saja sudah sepenggal, kok baru bangun. Rambutnya acak-acakan kayak gembel. Lhah, kain jaritnya juga kusut gitu?!” Tegur Kasmin. “Maaf, Kang, tidurku terlalu pulas, sampai tidak terbangun, kalau tidak dengar dipanggil-panggil ya belum bangun. Sebentar ya, Kang, saya buatkan teh dulu.” Sahut Sumirah, yang langsung bergegas menuju dapur, ingin menyiapkan masakan untuk suaminya. -------- Sumirah kini hamil. Perutnya sudah terlihat besar. Baru enam bulan hitungan usia kandungan tersebut, tetapi kandungan yang ada di perut Sumirah sudah sangat besar layaknya mau keluar. Dan memang benar. Sumirah sudah merasakan sakit, karena dorongan bayi yang mau keluar. Ia tergeletak di tempat tidur, mengaduh kesakitan. “Aduh, Kang... sakit !!” Teriak Sumirah. “Iya... Saya akan panggil Mbah Surip, dukun bayi...” Kasmin menenangkan istrinya, dan bergegas minta pertolongan kepada tetangganya. “Ada apa, to...?!” “Sumirah kenapa?!” “Lhoh, sudah mau lahiran, to...?!” “Sumirah mau melahirkan!” “Bayinya Sumirah mau keluar!!” “Hah, Sumirah sudah mau melahirkan?” “Ayo, ditolongi...” Dalam waktu sekejap berita tentang Sumirah yang akan melahirkan sudah tersebar ke seluruh kampung. Sebentar saja rumah Kasmin sudah penuh ibu-ibu

dari tetangganya yang akan menolong Sumirah, termasuk Mbok Darmo, ibunya Kasmin. Yah, kekerabatan yang rukun akan melihatkan sikap gotong royong, tolong menolong, dan saling membantu. Itulah ciri masyarakat pedesaan yang kental. Ada yang memijit-mijit Sumirah, ada yang memasak air di dapur, ada pula yang bersih- bersih menyapu halaman. Kasmin bergegas. Walau sudah berjalan cepat, tetapi rasanya masih terlalu lamban. Jalan mengiringi Mbah Surip dukun bayi yang sudah tua. Mereka berjalan terburu, tidak sabar untuk membantu Sumirah yang akan melahirkan. Apalagi ini adalah anak yang ditunggu-tunggu oleh Kasmin, oleh Sumirah, oleh Pak Darmo dan Mbok Darmo, serta dinantikan orang sekampung. Akhirnya, Kasmin dan Mbah Surip sampai di rumah, disambut ibu-ibu tetangga Kasmin yang sudah menunggu. Mbah Surip langsung bergegas masuk, menuju tempat Sumirah yang sedang merintih kesakitan. “We...lha... Sudah lama to, Nduk?” Tanya Mbah Surip pada Sumirah. “Sejak tadi pagi, Mbah. Bangun tidur perut muser-muser, rasanya sakit.” Jawab Sumirah. “Apa sudah genap hitungannya?” Tanya Mbah Surip lagi, sambil mengelus perut Sumirah. “Kelihatannya baru enam bulan kok, Mbah.” Jawab Sumirah. “We...lha... ini sudah mau keluar, he...!!” Sahut Mbah Surip. “Apa salah hitung, ya...?!” Sahut ibu-ibu yang ikut membantu di situ. Dalam benak Mbah Surip, firasat seorang dukun bayi yang sudah berpengalaman, perut Sumirah sudah umur, bayinya sudah siap lahir. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Mbah Surip pun menolong kelahiran dengan hati-hati. Kalau memang hitungan Sumirah kandungannya benar enam bulan, bayinya akan lahir prematur. Itu berbahaya. Bayinya belum sempurna. Istilah Mbah Surip bayinya masih enom. Bayi yang belum cukup umur. Tetapi Mbah Surip hanyalah dukun bayi tradisional, yang tidak punya ilmu kebidanan, belum mengenal dunia medis layaknya di rumah sakit modern. Yang penting baginya adalah menolong orang yang melahirkan, agar ibunya maupun bayinya selamat. “Pelan-pelan, ya... Sebentar lagi... Sebentar... Ayo... Nach...!!” Kata Mbah Surip yang mengelus perut Sumirah. Dan, bayi pun lahir.

Tidak ada suara tangis. Tidak ada suara cenger dari mulut bayi. Bayi itu hanya diam. Bayi itu tenang. Bayi itu tidak meronta. “We...lha... Tenan to... Bayi bajang.” Kata Mbah Surip, lantas merawat bayi itu sebaik-baiknya. Sumirah menangis. Dia agak kecewa, bayi yang didambakan sepuluh tahun lebih, malah lahir kurang sempurna. Belum cukup umur. Prematur. Orang kampung Waturoto menyebutnya “bajang”, bayi bajang. Yach, anak itu kemudian dipanggil “Bajang”. “Jangan bersedih, nanti biar dirawat Mbah Surip, agar bayimu bisa sehat.” Kata Mbok Darmo yang mengelus-elus Sumirah, anak menantunya. “Nggih, Mbok.” Jawab Sumirah yang masih sesenggukan. Mbok Darmo pasrah kepada Mbah Surip, untuk merawat Sumirah dan bayinya. Sudah seperti kebiasaan, dukun bayi di kampung akan merawat ibu dan bayi yang baru dilahirkan, sampai sang ibu maupun bayinya benar-benar dalam keadaan sehat. Biasanya sekitar empat puluh hari. Tanpa dibayar. Tidak ada tarifnya. Nanti jika sudah selesai, biasanya hanya diberi beras, gula serta kelapa ataupun hasil bumi yang lain. Itulah ketulusan masyarakat desa yang menolong tanpa pamrih. Tanpa disadari oleh Kasmin maupun Sumirah, bahkan masyarakat kampung Waturoto tidak ada yang tahu, setiap sehabis matahari tenggelam, di pojok depan rumah Kasmin ada bayangan hitam besar. Kalau dicermati, bayangan hitam tersebut mirip raksaksa. Bayangan raksaksa itu selalu mengamati kamar Sumirah, dimana Sumirah sedang menyusui bayinya, menyusui si Bajang. Lantas siapa bayangan hitam besar tersebut? Mau apa bayang-bayang raksaksa ini datang mengamati rumah Kasmin? Mengapa ia selalu mengamati kamarnya Sumirah? (Bersambung ke Episode: BOCAH BAJANG SUMBER UANG)


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook