Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Pelecehan Seksual di Era Milenial

Pelecehan Seksual di Era Milenial

Published by lintangnat1, 2021-11-29 14:21:30

Description: Bahan Bacaan kel 2

Search

Read the Text Version

Tentang Pelecehan Seksual di Era Milenial. Pantaskah Kamu Hanya Menyimak dan Diam? https://www.hipwee.com/narasi/pelecehan-seksual-di-era-milenial-bukan-saatnya-kita-untuk-tinggal-diam/ Di era milenial ini, marak terjadi fenomena kasus pelecehan seksual. Hal ini dibuktikan dengan makin banyaknya korban-korban pelecehan seksual yang mulai speak up. Pelecehan seksual merupakan suatu tindakan atau perilaku yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks dan perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks. Hal ini dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Namun, pada umumnya yang banyak menjadi korban dari pelecehan seksual adalah perempuan. Walaupun demikian, korban dari pelecehan seksual bukan hanya perempuan, namun bisa juga laki-laki. Pelecehan seksual tidak hanya terjadi secara fisik seperti mencolek ataupun memegang bagian tubuh tertentu, tetapi secara non fisik seperti kata-kata yang mengandung pelecehan, berkomentar negatif yang berbau seks, bisikan seksual ataupun gurauan porno dan masih banyak lagi juga termasuk ke dalam tindakan pelecehan seksual. “Di Indonesia sendiri sebenarnya kasus pelecehan seksual sering kali terjadi, terutama di kalangan para remaja. Namun sayangnya, para korban dari kasus pelecehan seksual ini jarang sekali melapor kepada pihak yang berwajib. Hal ini bisa terjadi dikarenakan pihak korban memiliki rasa ketakutan yang ditimbulkan oleh ancaman dari pelaku pelecehan seksual.” Di sisi lain, bisa saja korban tidak melaporkan hal tersebut karena malu jika setelah melapor masalah yang sedang dialaminya dipublikasikan, yang kemudian dikhawatirkan akan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Kasus pelecehan seksual sering kali dianggap sebagai suatu hal yang remeh. Padahal jika ditinjau lebih jauh lagi pelecehan seksual ini sangat merugikan dan dapat menimbulkan dampak yang serius terhadap korban. Karena hal ini akan sangat membekas dan meninggalkan efek lama, baik secara fisik maupun mental korban, bahkan dapat memicu terjadinya bunuh diri pada korban akibat depresi (mental illness) yang dialaminya. Dewasa ini, pelecehan seksual juga tidak hanya dialami oleh seorang wanita dewasa saja, tetapi juga banyak dialami oleh anak-anak di bawah umur, baik laki-laki maupun perempuan. Seperti beberapa waktu lalu, masyarakat dibuat geger dengan salah satu peristiwa yang dialami oleh seorang anak laki-laki di salah satu Taman Kanak-kanak ternama di Jakarta. Pelakunya adalah seorang laki-laki penderita pedofilia.

“Menurut penulis, kejadian seperti ini sangat disayangkan bisa terjadi karena memiliki dampak yang besar terhadap psikologis anak. Anak yang menjadi korban pelecehan seksual akan mengalami beberapa masalah, seperti kehilangan semangat hidup, memiliki rasa dendam yang tinggi, membenci lawan jenisnya, trauma, dan masih banyak lagi.” Sehingga apabila hal tersebut tidak segera ditangani secara serius oleh seorang psikolog, maka dampaknya akan semakin parah. Berkaca dari fenomena kasus pelecehan seksual yang telah terjadi saat ini, saya merasa miris. Terutama ketika ada seorang korban pelecehan seksual yang berani melapor kepada pihak yang berwajib atau korban berani speak up dengan apa yang dialaminya. Namun hal tersebut malah dianggap remeh. Seharusnya, ketika ada korban yang melapor, kita harus mendukung agar hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi. Lebih miris lagi, sebagian besar orang-orang hanya menganggap bahwa pelecehan seksual itu sebagai kasus pemerkosaan. Padahal pelecehan seksual itu tidak hanya berbentuk pemerkosaan saja. Melainkan juga bisa berbentuk seperti gurauan, siul-siulan nakal, ataupun hal yang berhubungan dengan seks dan membuat korban tersebut risih. Biasanya Pelecehan seksual ringan seperti lelucon justru dianggap wajar oleh laki-laki maupun perempuan. Akibat dari minimnya sosialisasi tentang pelecehan seksual dari lingkungan terdekat, terutama orang tua yang notabenenya lebih mengerti tentang hal ini, akan berakibat pada tingkat pemahaman remaja yang kurang tentang pelecehan seksual. Pemahaman tentang pelecehan seksual cenderung hanya menunjukkan pada tatapan atau sentuhan pada bagian tubuh seorang perempuan. Sedangkan ucapan atau komentar seksual tidak dianggap pelecehan. Keadaan ini menurut saya sangat disayangkan, karena pelecehan seksual yang paling sering dialami para remaja justru bukanlah suatu hal yang dianggap sebagai bentuk dari pelecehan seksual oleh para perempuan, sehingga menurut saya pribadi sekarang ini seolah-olah menunjukkan bahwa para perempuan tidak merasa telah dikontruksi sedemikian rupa dalam masyarakat modern seperti saat ini bahwa penyebutan organ tubuh itu sesuatu hal yang biasa, padahal itu sudah termasuk pelecehan seksual. Semakin berkembangnya teknologi, maka semakin memudahkan terjadinya kasus atau fenomena pelecehan seksual, khususnya di media-media sosial dengan cara berkomentar yang tidak senonoh atau menggunakan kata-kata kasar. Dan saya rasa hal ini harus segera diatasi dengan serius dan harus mulai memberikan pendidikan seks pada para remaja di lembaga-lembaga pendidikan maupun di lembaga pemberdayaan masyarakat, sehingga para anak-anak maupun remaja telah mendapatkan pendidikan seks mulai sejak dini.

Persoalan pelecehan seksual ini merupakan salah satu contoh dari bagian diskriminasi seks yang dialami oleh anak-anak maupun remaja, terutama perempuan, karena sebagian besar korban dari pelecehan seksual ini adalah para kaum perempuan. Lembaga yang berwajib pun seharusnya juga menindak tegas para pelaku pelecehan seksual agar nantinya tidak ada lagi hal-hal yang tidak diinginkan. SUARA MAHASISWA https://nasional.tempo.co/read/1530789/suara-mahasiswa-permendikbud-30-antisipasi-kekerasan-seksual-di-kampus Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim menerbitkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pada 31 Agustus 2021. Peraturan ini lahir selepas Kementerian menggelar penelitian di 79 kampus pada 2020. Terdapat berbagai pro dan kontra mengenai pelaksanaan Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi atau dikenal sebagai Permendikbud 30. Lalu bagaimana pendapat mahasiswa mengenai peraturan menteri ini? Mahasiswa melihat peraturan ini merupakan hal yang visioner. Natalische Ramanda Ricko Aldebarant, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, menyatakan bahwa muatan mengenai kekerasan seksual ditentukan secara baku dengan rincian bentuk-bentuk kekerasan seksual. Hal ini dibutuhkan untuk memperjelas kekerasan seksual yang masih abu-abu. Ricko juga menyoroti mengenai perdebatan yang sempat beredar. Ia memandang bahwa tindak kekerasan seksual sudah semestinya diatur. “Jika dianalogikan sederhana dari kekerasan seksual itu seperti mencuri. Kalau mengambil barang dengan persetujuan, artinya bukan mencuri. Beda halnya dengan yang tidak dengan persetujuan,” kata Ricko. Selaras dengan Ricko, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, Afifa Yustisia Firdasanti, menanggapi baik disahkannya peraturan ini. “Menurutku aturan ini bagus ya buat merespons pelecehan seksual yang marak di kampus dan ada sanksi tegas juga,” katanya. Namun, ia menegaskan bahwa universitas juga harus mendukung kebijakan ini. Selain itu, kultur kampus yang terbuka serta pro dengan pelaksanaan Permendikbud Nomor 30. Ia mencontohkan dengan lembaga kampus yang kredibel dalam menangani kasus. “Kampus juga harus mampu menangani kasus, bukan malah mengintimidasi korban ketika bercerita,” kata Afifa.

Melanjutkan Afifa, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Liem, Christina Puspitasari, merasa banyak korban kekerasan seksual tidak berani mengadu karena takut dicap buruk oleh lingkungan sekitarnya. Ia berpandangan bahwa dengan ditegakkannya peraturan ini, pelaku dapat berpikir lebih jauh untuk melakukan kekerasan. “Semoga dengan dikeluarkannya Permendikbud 30 ini dapat meminimalisir kasus kekerasan seksual. Serta kasus yang pernah ada dapat dituntaskan,” kata Liem.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook