Dalam pengembangannya, komponen-komponen ini terus–menerus direvisi setelah dilakukan evaluasi, baik evaluasi summatife maupun evaluasi formatife.Yaitu agar model ini dapat diarahkan dan disesuaikan untuk menentukan kebutuhan siswa, tujuan yang ingin dicapai, prioritas, dan berbagai kendala yang muncul. 2. Model Banathy Berbeda dengan model kemp, model disain banathy tidak menganggap bahwa komponen-komponen bisa dimulai dari mana saja, melainkan model banathy adalah model yang memandang bahwa penyesuaian sistem instruksional harus dilakukan melalui tahapan-tahapan yang jelas. Ada terdapat enam tahap dalam mendesain suatu program pembelajaran menurut banathy, yakni: a. Menganalisis dan merumuskan tujuan, baik tujuan pengembangan sistem maupun tujuan spesifik. Tujuan merupakan sasaran dan arah yang harus dicapai oleh sisa atau peserta didik. b. Merumuskan kriteria tes yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Item tes dalam tahap ini dirumuskan untuk menilai perumusan tujuan. Melalui rumusan tes dapat meyakinkan kita bahwa setiap tujuan ada alat untuk menilai keberhasilannya. c. Menganalisis dan merumuskan kegiatan belajar, yakni kegiatan menginvetarisasi seluruh kegiatan belajar mengajar, menilai kemampuan penerapannya sesuai dengan kondisi yang ada serta mnentukan kegiatan yang mungkin dapat diterapkan. d. Merancang sistem, yaitu kegiatan menganalisis sistem setiap komponen sistem, mendistribusikan dan mengatur penjadwalan . e. Mengimplementasikan dan melakukan control kualitas sistem, yakni melatih sekaligus menilai efektivitas sistem, melakukan penempatan dan melaksanakan evaluasi. f. Mengadakan perbaikan dan perubahan berdasarkan hasil evaluasi. 3. Model Dick and Cery Seperti desain model banathy, dalam mendesain pembelajaran model Dick and Cery harus dimulai dengan mengidentifikasi tujuan pembelajaran umum.Menurut model ini, sebelum desainer merumuskan tujuan khusus yakni performance goals, perlu menganalisis pembelajaran serta menentukan kemampuan awal siswa terlebih
dahulu.Mengapa hal ini perlu dirumuskan?Oleh sebab rumusan kemampuan khusus harus berpijak dari kemampuan dasar atau kemampuan awal.Manakala telah dirumuskan tujuan khusus yang harus dicapai selanjutnya dirumuskan tes ke bentuk Criterion Reference Test, artinya tes yang mengukur kemampuan penguasaan tujuan khusus.Untuk mencapai tujuan khusus yang selanjutnya dikembangkan strategi pembelajaran, yakni scenario pelaksanaan pembelajaran yang diharapkan dapat mencapai tujuan secara optimal, setelah itu dikembangkan bahan-bahan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan.Langkah akhir dari desain adalah melakukan evaluasi, yakni evaluasi formatife dan evaluasi summative evaluasi formatif berfungsi untuk menilai efektifitas program dan evaluasi. Sumatif berfungsi ungtuk menentukan kedudukan setiap siswa dalam penguasaaan materi pelajaran. Berdasarkan hasil evaluasi inilah selanjutnya dilakukan umpan balik dalam revisi program pembelajaran. 4. Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional) Model PSSI adalah model yang dikembangkan di Indonesia untuk mendukung pelaksanaan kurikulum 1975. PPSI berfungsi untuk mengefektifkan perencanaan dan pelaksanaan program pengajaran secara sistemis, untuk dijadikan sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. PPSI terdiri dari lima tahap yakni : a. Merumuskan tujuan, yakni kemampuan yang harus dicapai oleh siswa. Ada empat syarat dalam perumusan tujuan ini, yakni tujuan operasional, artinya tujuan yang dirumuskan harus spesifik atau dapat diukur, berbentuk hasil belajar atau proses belajar, berbentuk perubahan tingkah laku dan dalam setiap rumusan tujuan hanya satu bentuk tingkah laku. Merumuskan tujuan/kompetensi beserta indicator ketercapaiannya yang harus memenuhi 4 kriteria sebagai berikut: 1) Menggunakan istilah yang operasional 2) Berbentuk hasil belajar 3) Berbentuk tingkah laku 4) Hanya satu jenis tingkah laku b. Mengembangkan alat evaluasi, yakni menentukan jenis tes dan menyusun item soal untuk masing-masing tujuan. Alat evaluasi disimpan pada tahap dua setelah perumusan tujuan untuk meyakinkan ketepatan tujuan sesuai dengan criteria yang telah ditentukan.
1) Menentukan jenis tes/intrumen yang akan digunakan untuk menilai tercapai tidaknya tujuan. 2) Merencanakan pertanyaan (item) untuk menilai masing-masing tujuan. c. Mengembangkan kegiatan belajar mengajar, yakni merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar dan menyeleksi kegiatan belajar perlu ditempuh. 1) Merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan 2) Menetapkan kegiatan belajar yang tak perlu ditempuh 3) Menetapkan kegiatan yang akan ditempuh d. Mengembangkan program kegiatan pembelajaran yakni, merumuskan materi pelajaran, menetapkan metode dan memilih alat dan sumber pelajaran. 1. Merumuskan materi pelajaran 2. Menetapkan model yang dipakai 3. Alat pelajaran/buku yang dipakai 4. Menyusun jadwal e. Pelaksanaan program, yaitu kegiatan mengadakan pra-test, menyampaikan materi pelajaran, mengadakan psikotes, dan melakukan perbaikan. 1. Mengadakan pretest 2. Menyampaikan materi pelajaran 3. Mengadakan posttest 4. Perbaikan 5. Model Bela H. Banathy Pengembangan Instruksional model Banathy ini dapat diinformasikan dalam enam langkah sebagai berikut: a. merumuskan tujuan (Formulate objectives) b. mengembangkan test (develop test) c. menganalisis kegiatan belajar (analyze learning task) d. mendesain struktur instruksional (design system) e. melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil (Implement and test output) f. mengadakan perbaikan (change to improve)
6. Model Gerlach dan Elly. Model desain intruksional yang dikembangkan oleh Gerlach dan Ely (1971) ini dimaksudkan untuk pedoman perencanaan mengajar. Menurut Gerlach dan Ely (1971), langkah-langkah dalam pengembangan desain intruksional terdiri dari : a. Merumuskan tujuan instruksional. b. Menentukan isi materi pelajaran. c. Menentukan kemampuan awal peserta didik. d. Menentukan teknik dan strategi. e. Pengelompokan belajar. f. Menentukan pembagian waktu. g. Menentukan ruang. h. Memilih media intruksional yang sesuai. i. Mengevaluasi hasil belajar. j. Menganalisis umpan balik. 7. Model Brigs Model Brigs ini berorientasi pada rancangan sistim dengan sasaran dosen atau guru yang akan bekerja sebagai perancang kegiatan instruksional maupun tim pengembangan instruksional yang susunan anggotanya meliputi: dosen, administrator, ahli bidang studi, ahli evaluasi, ahli media dan perancang instruksional (Mudhoffir, 1986 : 34). Brigs berkeyakinan bahwa banyak pengetahuan tentang belajar mengajar dapat diterapkan untuk semua jajaran dalam bidang pendidikan dan latihan.Karena itu dia berpendapat bahwa model ini juga sesuai untuk pengembangan program latihan jabatan, tidak hanya terbatas pada program-program akademis saja.Di samping itu, model ini dirancang sebagai metodologi pemecahan masalah instruksional. Dalam pengembangan instruksional ini berlaku prinsip keselarasan antara tujuan yang akan dicapai, strategi pencapaiannya dan evaluasi keberhasilannya, yang ketiganya merupakan tiang pancang desain instruksionalnya Briggs. 8. Model IDI Pengembangan instruksional model IDI (Instruksional Development Institute) merupakan suatu hasil konsorsium antar perguruan tinggi di Amerika Serikat yang
dikenal dengan Uniiversity Consorsium Instructional Development and Technology (UCIDT). Model IDI ini telah dikembangkan dan diuji-cobakan pada beberapa negara di Asia dan Eropa dan telah berhasil di 334 institusi pendidikan di Amerika. Sebagaimana halnya dengan model-model pengembangan instruksional lainnya, model ini juga menggunakan model pendekatan sistim yang meliputi tiga tahapan, yakni; a. Tahap pembatasan (define) Identifikasi masalah, dimulai dengan analisis kebutuhan atau yang disebut need assesment. Pada dasarnya need assisment ini berusaha menemukan suatu perbedaan (descrypancy) antara apa yang ada dan apa yang idealnya (yang diinginkan). Karena banyaknya kebutuhan pengajaran, maka perlu diadakan prioritas mana yang didahulukan dan mana yang dikemudian. b. Tahap Pengembangan Identifikasi tujuan; tujuan instruksional yang hendak dicapai perlu diidentifikasikan terlebih dahulu, baik tujuan instruksional umum (TIU) dalam hal ini IDI menyebutkan dengan Terminal Objectives dan tujuan instruksional khusus (TIK) yang disebut Enabling Objectives. TIK adalah penjabaran yang lebih rinci dari TIU, maka TIK dianggap penting sekali dalam pengembangan instruksional, disamping itu TIK perlu karena; 1. Membantu siswa dan guru untuk memahami secara jelas apa-apa yang diharapkan sebagai hasil kegiatan instruksional; 2. TIK merupakan building blocks dari pengajaran yang diberikan 3. TIK merupakan penanda tingkah laku yang harus diperlihatkan oleh siswa sesuai dengan kegiatan instruksional yang diberikan. Penentuan metode; 1. Untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan perlu ditempuh suatu cara, dalam hal ini metode apa yang cocok digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan tersebut. 2. Bagaimanakah urutan isi/ bahan yang akan disajikan? 3. Bentuk instruksional apakah yang dipilih sesuai dengan karakteristik siswa dalam situasi dan kondisinya? Apakah dipakai metode ceramah, diskusi, praktikum, karyawisata, tugas individual dan lain-lainnya?
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Desain pembelajaran merupakan rancangan atas proses pembelajaran berdasarkan kebutuhan dan tujuan belajar serta sistem penyampaiannya sehingga menjadi acuan dalam pelaksanaannya untuk menciptakan pembelajaran yang efektif. Dengan tujuan menciptakan pembelajaran yang efektif dan efisien dengan meminimalisir kesukaran siswa dalam memahami pembelajaran. Model-model desain rencana pembelajaran adalah model PPSI, model Kemp, model Gerlach & Elly, model Dick & Carrey, model ASSURE, model ADDIE, dan model Hanafin and Peck. Dalam model PPSI pengajaran dipandang sebagai suatu sistem. Sub-sistem dari pengajaran, diantaranya tujuan pembelajaran, bahan pelajaran, kegiatan pembelajaran, alat-alat dan sumber pembelajaran dan evaluasi. Model kemp berorientasi pada perancangan pembelajaran yang menyeluruh. Sehingga guru sekolah dasar dan sekolah menengah, dosen perguruan tinggi, pelatih di bidang industry, serta ahli media yang akan bekerja sebagai perancang pembelajaran. Model Gerlach & Elly menjadi suatu garis pedoman atau suatu peta perjalanan pembelajaran karena model ini memperlihatkan keseluruhan proses belajar mengajar yang baik, sekalipun tidak menggambarkan secara rinci setiap komponennya. Model Dick & Carrey diciptakan selain cocok untuk pembelajaran formal di sekolah, juga untuk sistem pembelajaran yang melibatkan komputer dalam proses pembelajaran. Model ASSURE merupakan suatu model yang merupakan sebuah formulasi untuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) atau disebut juga model berorientasi kelas. Model ADDIE menggunakan 5 tahap pengembangan yakni Analysis (analisa), Design (disain /perancangan), Development (pengembangan), Implementation (implementasi/eksekusi), Evaluation (evaluasi/ umpan balik). Setiap model desain pembelajaran memiliki karakteristik tertentu, dalam pelaksanaannya kondisi siswa, materi ajar dan situasi dan kondisi yang dihadapi dalam proses pembelajaran menjadi indikator untuk memilih model yang sesuai. Setiap upaya yang baik akan sangat bermakna dengan perencanaan yang matang.
DAFTAR PUSTAKA Suparman, Atwi. 2009. Desain Intruksional. Jakarta: Universitas Terbuka mastugino.blogspot.com › UKG http://ervindasabila.blogspot.co.id/p/v-behaviorurldefaultvml-o.html http://fungsidantujuan.blogspot.co.id/2015/02/blog-post.html
Identifikasi Kebutuhan dan Menulis TIU (Goals) Makalah Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah Pengembangan Sistem Instruksional Dosen Pengampu : Prof. Dr. Armai Arief, MA Disusun Oleh : Putri Novitasari 2019860015 Tyasti Aryandini 2019860042 Program Studi Magister Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta 2020
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya upaya peningkatan kualitas pembelajaran , diperlukan berbagai terobosan, baik dalam pengembangan kurikulum, maupun inovasi metode pembelajaran, selain pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan. Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa maka guru dituntut untuk membuat pembelajaran menjadi lebih aktif dan inovatif yang mendorong siswa dapat mencapai hasil belajar secara optimal baik di dalam belajar mandiri maupun didalam pembelajaran di kelas. Agar pembelajaran lebih optimal dan sesuai dengan karakterisTIU siswa, maka diperlukan sebuah metodologi pembelajaran yang efektif dan selektif sesuai karakterisTIU dan situasi peserta didik. Tentunya kita yang pernah mengenyam bangku pendidikan pasti merasakan model pembelajaran yang berbeda-beda pada setiap tingkat pendidikan yang kita lalui. Ada sebagian orang bertanya-tanya sebenarnya seberapa pentingkah metode pembelajaran itu? Langkah identifikasi kebutuhan merupakan langkah yang amat penting dalam aktivitas perancangan pembelajaran, analogi dalam disiplin medis adalah diagnosis atau general check-up sebagai sumber data Sesuai dengan pemahaman di atas, identifikasi kebutuhan dalam perancangan pembelajaran adalah berupa aktifitas mengenali perilaku awal (entry behaviors) dan karakterisTIU peserta didik. Pertanyaan sederhana dalam tahapan ini adalah Siapa dan bagaimana profil calon peserta didik/sasaran program pembelajaran yang akan kita rancang? Tujuan dari identifikasi kebutuhan adalah untuk bahan pertimbangan dalam penentuan preskripsi pembelajaran yang berupa strategi pembelajaran. Kekhasan individu peserta didik dengan segala karakterisTIUnya adalah aspek yang sangat diperhaTIUan dalam perancangan pembelajaran. a. Perilaku awal peserta didik Perilaku awal peserta didik (entry behaviors) dalam konteks pembahasan ini adalah sejumlah kemampuan atau kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) yang telah dimiliki pada saat akan mengikuti program pembelajaran. Informasi mengenai perilaku awal tersebut bisa digali dari berbagai sumber data atau instrumentasi antara lain: Dokumen nilai hasil belajar (buku rapor, ijazah, DANEM, atau dokumen lain yang disepadankan) Hasil pengetesan tulis maupun lisan secara umum (misalnya: tes masuk ke
jenjang atau jenis pendidikan tertentu) Rekomendasi dari guru/pengajar. Pengamatan (observasi) terhadap peserta didik. Sebagai perancang pembelajaran, kita bisa melakukan penggalian informasi perilaku peserta didik sesuai dengan fokus program pembelajaran yang akan dirancang. b. KarakterisTIU peserta didik jika aspek perilaku awal peserta didik lebih pada unjuk kerja (performance) yang ditampilkannya, aspek karakterisTIU peserta didik lebih menekankan pada: minat, motivasi, kebiasaan (habits), riwayat kesehatan, kesenangan, lingkungan sosial budaya, bahasa, dan faktor-faktor lain baik internal maupun eksternal. Sumber informasi terkait dengan karakterisTIU peserta didik bisa diperoleh dari peserta didik maupun dari sumber data sekunder. Saudara bisa melakukan wawancara, pengamatan, memberikan angket, mempelajari dokumen-dokumen terkait ataupun cara lainnya. B. Rumusan Masalah 1. Apakah Pengertian dari identifikasi kebutuhan dan Tujuan Instruksional Umum ? 2. Apa saja faktor yang perlu diperhaTIUan dalam identifikasi kebutuhan dan menentukan Tujuan Instruksional Umum? C. Tujuan Permasalahan Melalui pembahasan dalam makalah ini, agar diketahui tentang 1. Pengertian dari identifikasi kebutuhan dan Tujuan Instruksional Umum 2. Faktor yang perlu diperhaTIUan dalam identifikasi kebutuhan dan menentukan Tujuan Instruksional Umum
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dari Identifikasi Kebutuhan 1.Identifikasi Kebutuhan Kebutuhan adalah kesenjangan keadaan saat ini dibandingkan dengan keadaan yang seharusnya. Dengan perkataan lain, setiap keadaan yang kurang dari yang seharusnya menunjukkan adanya kebutuhan. Apabila kedua keadaan itu beras atau menimbulkan akibat lebih jauh sehingga perlu ditempatkan sebagai prioritas untuk diatasi, kebutuhan tersebut disebut masalah. Dalam bidang pendidikan misalnya, keadaan saat ini menunjukkan lambatnya para lulusan menerima ijazah dari perguruan tinggi tempat mereka kuliah. Setelah diteliti ternyata penyebabnya adalah tidak adanya petugas khusus yang diberi tanggung jawab menyelesaikan ijazah tersebut. Dalam keadaan seperti ini masalah yang muncul adalah tidak adanya tenaga yang diberi tugas untuk mempersiapkan mencetak dan menyerahkan ijazah kepada lulusan. Untuk menyelesaikan masalah ini diperlukan pengadaan tenaga khusus untuk tugas tersebut. Tenaga ini mungkin diambilkan dari unit lain atau direktur baru. Suatu contoh lain, buruknya hasil dari cetakan majalah yang dikeluarkan suatu lembaga pendidikan, sehinggmenyebabkan munculnya protes dari pembacanya. Setelah diteliti ternyata hal tersebut disebabkan mesin yang tidak berfungsi dengan normal. Untuk itu diperlukan perbaikan atau penggantian beberapa bagian dari mesin itu. Kedua contoh sederhana diatas tidak berhubungan langsung dengan sistem instruksional. Keduanya bukan kebutuhan instruksional. Memang tidak semua kebutuhan dan masalah dapat disebut sebagai kebutuhan instruksional karna belum tentu memerlukan penyelesaian dengan melaksanakan kegiatan instruksional. Sering kali orang mempercampuradukkan kebutuhan (needs) dengan kegiatan (wants). Kebutuhan adalah kesenjangan antara keadaan sekarang dengan yang seharusnya. Kebutuhan yang menjadi prioritas untuk dipecahkan adalah masalah. Sehingga dapat dikatakan kalau orang menyebut kebutuhan. Pikiran kita mengkaitkannya dengan masalah. Sedangkan keinginan atau cita-cita (desire) terkait dengan pemecahan terhadap suatu masalah.
Karena itu Kaufman (1982) mengajak kita untuk menghentikan kebiasaan melompat ke pemecahan masalah (keinginan) sebelum kita yakin apa masalah yang kita hadapi. Bila dapat menghentikan kebiasaan yang keliru itu kita akan menghemat biaya, waktu dan sumber daya manusia. Proses identifikasi kebutuhan yang dimulai dari mengidentifikasi kesenjangan antara keadaan sekarang dengan keadaan yang dihadapkan sekaligus dilanjutkan sampai kepada proses pelaksanaan pemecahan masalah dan evaluasi terhadap efektifitas dan efesiensinya. Hal ini dapat dipahami karena para ahli dalam bidang ini membahas proses penilaian kebutuhan (need assessment) secara tersendiri. Bila mereka tidak mengaitkannya dengan proses selanjutnya, yaitu pelaksanaan pemecahan masalah dan evaluasinya. Proses menilai kebutuhan itu akan kehilangan makna. Tetapi lain halnya yang dibahas dalam buku ini. Proses tersebut ditempatkan sebagai bagian pemulaan dari proses pengembangan. Sedangkan dari proses pengembangan sendiri adalah bagian pemulaan dari siklus kegiatan instruksional yang masih harus diikuti dengan pelaksanaan dan evaluasi instruksional. Karena itu,dalam bab ini mengidentifikasi kebutuhan instruksional itu hanya sampai pada perumusan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang perludiajarkan kepada siswa. Selanjutnya, hasil tersebut dijadikan dasar perumusan TIU. 2. Kebutuhan siapa Dari hasil evaluasi pada akhir suatu pelajaran siswa berpendapat bahwa apa yang diperoleh dalam pembelajaran itu kurang berguna bagi mereka. Di samping itu, penyajiannya tidak menarik serta sulit dipahami. Mereka berpendapat bahwa sebagianisi mata pelajaran itu kurang relevan. Disamping itu, tesnya kurang tersusun dengan baik. Mkasalahnya adalah kurang baiknya kualitassistem instruksional untuk mata pelajaran tersebut. Untuk mengatasi masalah ini mata pelajaran itu harus didesain kembali. Dari contoh diatas dapat dilihat pendapat dari pihak siswa dan mengajar tentang kesenjangan kualitas instruksional dalam suatu mata pelajaran. Keduanya kebetulan satu pendapat. Tetapi, dalam kasus yang lain pendapat kedua pihak tersebut mungkin berbeda. Siapa sebenarnya yang menentukan ada tidaknya kebutuhan instruksional? Apakah pendidik termasuk di dalamnya pengajar dan pengelola program pendidikan, orang tua atau masyarakat?
Kaufman dan English (1979) menjawab: ‘mereka semua’. Bagaimana dengan siswa? Apakah siswa tidak perlu didengar apa masalah atau kebutuhan yang dihadapinya? Dick dan Carey (1985) mengutip Rossett (1982) yang mengatakan keharusan melibatkan siswa dalam proses mengidentifikasi kebutuhan. Siswa yang dilibatkan dalam mengidentifikasikan masalah ini haruslah siswa yang sudah matang terutama siswa yang sudah bekerja agar dapat memberikan gambaran masalah yang relevan dengan pekerjaannya sehari-hari. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa pelajaran yang diterimanyasesuai dengan kebutuhannya. Jadi, ada tiga kelompok yang dapat dijadikan sumber informasi dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional, yaitu: a. Siswa (terutama siswa yang sudah bekerja) b. Masyarakat (termasuk orang tua dan orang tua yang akan menggunakan lulusan) c. Pendidik (termasuk pengajar dan pengelola program pendidikan. Secara umum informasi yang akan dicari dalam proses mengidentifikasi kebutuhan instruksional adalah kompetensi siswa saat ini dan kopetensi siswa yang seharusnya dikuasai agar ia atau mereka dapat dilaksanakan pekerjaan atau tugasnya dengan baik. Bagi seorang pengembang instruksional informasi yang bermanfaat adalah informasi tentang kurangnya prestasi siswa yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau ketrampilan siswa, bukan yang disebabkan oleh kekurangan perataan kerja. Sikap atasan atau lingkungan kerja lainnya. Hanya masalah yang disebabkan kurangnya siswa dalam mendapatkan kesempatan pendidikan atau training yang dapat diatasi dengan kegiatan instruksional. Sering kali pengembangan terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa setiap indicator yang menunjukkan rendahnya prestasi siswa atau pegawai harus diselesaikan dengan pemberian pelajaran atau latihan. Seharusnya pengembangan instrusional melakukan satu langkah tambahan yaitu mencari factor penyebab kekurangmampuan siswa sebelum menentukan cara membantunya dalam mencapai kemampuan yang diharapkan. Siswa yang mempunyai kemampuan rendah mungkin disebabkan oleh berbagai hal seperti suasana hidup dirumah bersama keluarga, peralatan belajar, atau biaya. Dalam situasi seperti itu biarpun ia diberi pelajaran atau latihan berulang kali, hasinya tidak akan menggembirakan karena pemberian pelajaran atau pelatihan bukanlah pemecahan masalah yang tepat.
Untuk menghindari kesalahan dalam memutuskan cara memecahkan masalah, berikut ini disampaikan langkah-langkah yang sistematik dalam menentukan kebutuhan instruksional. B.Pengertian Tujuan Instruksional Umum Tujuan Instruksional Umum (TIU) merupakan terjemahan dari general instructional objective. Literatur asing menyebutkannya pula sebagai objective, atau enabling objective, untuk membedakannya dengan general instructional objective, goal, atau terminal objective. Dalam program applied approach (AA) yang telah digunakan di perguruan tinggi seluruh Indonesia TIU disebut sasaran belajar (sasbel) (Suparman, 2004: 158). Sasbel menurut Soekartawi, Suhardjono dkk (1995: 41) adalah pernyataan tujuan instruksional yang sudah sangat rinci. sasaran belajar harus dituliskan dari segi kemampuan peserta didik. Artinya mengungkapkan perubahan apa yang diharapkan terjadi pada diri mahasiswa setelah mengikuti pengajaran pada satu pokok bahasan tertentu. Dick dan Carey (1985) (dalam Suparman, 2004: 158) telah mengulas bagaimana Robert Mager mempengaruhi dunia pendidikan umumnya di Amerika untuk merumuskan TIU dengan sebuah kalimat yang jelas dan pasti serta dapat diukur. Perumusan tersebut berarti TIU diungkapkan secara tertulis dan diinformasikan kepada siswa atau mahasiswa dan pengajar mempunyai pengertian yang sama tentang apa yang tercantum dalam TIU. Perumusan TIU harus dilakukan secara pasti artinya pengertian yang tercantum di dalamnya hanya mengandung satu pengertian dan tidak dapat ditafsirkan kepada bentuk lain. Untuk itu TIU harus dirumuskan ke dalam kata kerja yang dapat dilihat oleh mata.(Suparman, 2004: 159). Menurut Soedjarwo (1995: 81) Penulisan sasaran belajar sedikitnya menyatakan tentang: a). Isi materi dan bahasan b). Tingkat penampilan yang diharapkan c). Prasyarat pengungkapan hasil kerja. Tentunya secara ideal diharapkan peserta didik mendapatkan perubahan secara menyeluruh, baik dalam pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), maupun keterampilan (motorik). Tujuan instruksional dapat menjadi arah proses pengembangan instruksional karena di dalamnya tercantum rumusan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai
mahasiswa pada akhir proses instruksional. Keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan tersebut merupakan ukuran keberhasilan sistem instruksional yang digunakan oleh pengajar. Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Tujuan Instruksional Umum merupakan suatu rumusan yang menjelaskan apa yang ingin dicapai, atau menjelaskan perubahan yang terjadi sebagai akibat dari apa yang dipelajari oleh siswa. Merumuskan tujuan instruksional dengan jelas, umumnya dianggap sebagai salah satu langkah pertama yang sangat penting dalam proses perencanaan kurikulum dan pelajaran yang sistemaTIU. Menurut Sudjarwo (1984: 36) Ada tiga fungsi dasar tujuan instruksional. Fungsi yang pertama dapat dipakai untuk membantu mendefinisikan arah instruksional secara umum dan sebagai dan sebagai petunjuk tentang materi pelajaran yang perlu dicakup. Kedua, memberikan pengarahan tentang metode/ mengajar yang sebaiknya diterapkan. Ketiga, membantu dan mempermudah pengukuran hasil belajar yang dituangkan dalam prosedur perencanaan dan penilaian. Menurut Sodjarwo (1984: 38) Tujuan instruksional biasanya dibedakan menjadi dua, yakni maksud atau disebut juga Tujuan Instruksional Umum dan Tujuan Instruksional Umum. Tujuan Instruksional Umun (TIU) yang istilah lainnya adalah “goal” atau “terminal objective” ruang lingkupnya luas dan merupakan pernyataan tentang perilaku akhir yang dapat dicapai oleh siswa setelah ia menyelesaikan satu unit pelajaran atau sub pokok bahasan. Jadi luas jangakauannya tergantung pada ruang lingkup kegiatan yang dilakukan. Tujuan Instruksional (TIU) yang istilah lainnya adalah sempit dibanding TIU dan merupakan hasil penjabaran dari TIU dalam bentuk perilaku spesifik.dengan kata lain dapat disebutkan bahwa TIU adalah kumpulan dari pernyataan yang lebih sempit dan terinci dibandingkan TIU yang biasanya dinyatakan dengan kata kerja yang operasional, sehingga memudahkan pengajar dalam mengukur hasil belajar. Dalam proses pembuatan TIU rincian pernyataannya didasarkan pada TIU.
Tujuan Instruksional Umum merupakan lanjutan dari tahap-tahap pengembangan instraksional yang diawali dari mengidentifikasi kebutuhan instruksional dan menulis Tujuan Instruksional Umum (TIU),selanjutnya melakukan analisis instruksional dan mengidentifikasi perilaku karakterisTIU awal siswa lalu setelah itu merumuskan Tujuan Instruksional Umum. Berdasarkan paparan diatas dapat kita ketahui bahwa Tujuan Instruksional Umum merupakan salah satu komponen pembelajaran yang sangat penting bagi jalanya proses kegiatan belajar mengajar, maka dalam makalah ini akan dibahas bagaimana perumusan Tujuan Instruksional Umum. C.Faktor Yang Perlu Diperhatikan Dalam Identifikasi Kebutuhan dan Menentukan Tujuan Instruksional Umum 1.Langkah-Langkah Mengidentifikasi Kebutuhan Instruksional Mengidentifikasi kebutuhan instruksional adan suatu proses untuk: a. menentukan kesenjangan penampilan siswa yang disebabkan kekurangan kesempatan mendapatkan latihan pada masa lalu b. Mengidentifikasi bentuk latihan atau kegiatan instruksional yang paling tepat c. Menentukan populasi sasaran yang dapat mengikuti kegiatan instruksional tersebut. Langkah 1 Mengidentifikasi kesenjangan hasil produk atau prestasi siswa atau karyawan saat ini dengan hasil yang seharusnya,berarti menjelaskan perbedaan antara hasil atau produksi kerja saat ini dengan yang diharapkan. untuk mendapatkan kedua jenis data ini pengembang instrusional dapat membaca dari laporan tertulis (bila ada),observasi,interviu,kuesione,atau data dari dokumen lain yang dapat dipercaya yang terdapat disekolah atau tempat kerja siswa atau karyawan. Data tersebut harus menyangkut hasil produk atau prestasi, bukan proses belajar siswa atau proses kerja karyawan. Langkah 2
Mengetahui hasil kesenjangan hasil seperti yang di kemukakan dalam langkah 1 di atas tidaklah cukup untuk mengambil suatu tindakan memecahkan masalah. pengembang instruksional harus menilai kesenjangan tersebut dari segi: a. Tingkat signifikasi pengaruhnya b. Luas ruang lingkupnya c. Pentingnya peranan kesenjangan tersebut terhadap masa depan lembaga atau program. Menilai segnifikasi pengaruh suatu kesenjangan tersebut untuk diatasi, merupakan hal yang relatif. Pengembangan instruksional harus mampu menyajikan nilai kerugian yang ditimbulkan kesenjangan tersebut dalam bentuk: uang, waktu, pemborosan bahan, penyusutan produksi kerja, penyusutan kualitas kerja, bahaya yang ditimbulkandan factor-faktor yang tidak dapat dihitung dalam bentuk biaya, seperti menurunya rasa aman, berkurangnya kerja sama, dan merosotnya motivasi. Mager dan Pipe (1984) memberi contoh sederhana cara menghitung nilai kesenjangan dalam bentuk uang. Seorang pengawas (supervisor) mengeluh tentang bahan yang harus dikerjakan kembali oleh 12 pengetiknya. Kurang lebih 12% dari waktu kerja digunakan mengerjakan kembali kesalahan-kesalahan dalam mengetiknya. Bila kesenjangan ini dihitung dengan uang, dalam waktu satu tahun akan menjadi $ 72.000 atau sekitar Rp 125.000.000,00. Angka ini diperoleh dari hitungan sebagai berikut: Upah rata-rata per jam $ 12 Mereka bekerja 5 hari (seminggu)= 48 minggu (setahun) Jadi, 48 (minggu) x 5 (hari) x 2 (jam) x 12 (orang) x $12 (upah per jam) = $ 72.00. Bila kensenjangan tersebut dianggap tidak menjadi prioritas yang harus diatasi, maka kesenjangan tersebut tidak dianggap sebagai masalah yang harus diatasi. Tetapi, bila tidak ada kesenjangan yang lain kecuali kesenjangan tersebut maka, kesenjangan mempunyai pengaruh yang berarti. Kesenjangan tersebut pempunyai ruang lingkup luas, dan penting. Maka perlu di teruskan ke langka 3 Langkah 3 a. Menganalis kemungkinan penyebab kesenjangan melalui pelaksanaan observasi ,interviu,dan analisis logis
b. Memisahkan kemungkinan penyebab yang tidak berasal dari kekurangan pengetahuan ,ketrampilan dan sikap untuk diserahkan penyelesaiannya pada pihak lain c. mengelompokan kemungkinan penyebab yang berasal dari kekurangan pengetahuan,keterampilan dan sikap tertentu untuk diteruskan ke langkah 4. Langkah 4 Menginterviu siswa atau karyawan yang bersangkutan untuk memisahkan antara yang sudah pernah dan yang belum pernah memperoleh pendidikan atau latihan dalam bidang kerjanya. Siswa yang sudah pernah mendapatkan pendidikan dan latihan meneruskan ke langkah 5, sedangkan yang tidak pernah mendapatkan pendidikan dan latihan tersebut meneruskan ke langkah 8. Langkah 5 Selanjutnya, mengelompokkan yang sudah pernah mendapatkan pendidikan dan latihan dalam dua kelompok. Yaitu yang sering dan yang jarang. Kemudian terus ke langkah berikutnya, yaitu langkah ke 6 dan 7. Langkah 6 Kelompok yang telah sering mendapatkan pendidikan dan latihan diberi umpan balik atas kekurangannya dan diminta mempraktikkannya kembali sampai dapat melakukan tugasnya seperti yang diharapkan. Langkah 7 Kelompok yang masih jarang mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan dalam pengetahuan, ketrampilan atau sikap yang relevan dalam bidang kerjanya diberi kesempatan mempraktikkan lebih banyak apa yang telah diperolehnya dari pendidikan atau latihan masa lalu. Supervise dari dekat diperlukan sampai mereka mencapai hasil kerja yang diharapkan. Langkah 8 Untuk kelompok siswa atau karyawan yang belum pernah mempelajari pengetahuan, ketrampilan dan sikap tersebut, pengembangan instruksional terlebih dahulu merumuskan tujuan instruksional umum (TIU). Dalam contoh diatas ketrampilan yang harus masuk dalam TIU tersebut adalah mengetik dengan teknik yang benar dengan skor minimal tertentu. Bagaimana mengidentifikasi kebutuhan instrusional untuk program pendidikan yang lain, seperti mata kuliah yang banyak berorientasi pada kegi akademis-teoretis?
Mengidentifikasi kebutuhan instruksional adalah kegiatan awal dari kegiatan menentukan tujuan instruksional umum. Seorang pengajar yang telah atau baru akan mengajarkan mata pelajaran yang sudah biasa diajarkan di lembaga tempat ia mengajar, seperti di perguruan tinggi pada umumnya, tidak melakukan proses mengidentifikasi kebutuhan instruksional seperti yang telah digambarkan di atas karena berbagai alasan. Pertama, siswa yang mengikuti mata pelajaran itu umumnya belum bekerja. Bahkan, mereka belum tentu tahu jenis pekerjaan yang akan dihadapinya kelak. Walaupun ada yang bekerja saat ini. Mereka tidak bekerja dalam bidang yang sama. Kedua, mata pelajaran yang akan diajarkan telah tertentu, bahkan seringkali telah ditentukan ruang lingkup dan garis besar isinya oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan. Ketiga, mata pelajaran itu belum tentu hanya terkait kepada satu jurusan atau program studi. Tetapi mungkin bersifat umum seperti Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). mata kuliah wajib Fakultas dan semacamnya. Kadang-kadang mata kuliah seperti itu terkait dengan kebudayaan dan filsafat Negara. Dalam keadaan seperti itu pengembangan instruksional tidak mungkin melakukan indentifikasi kebutukan instruksional yang berorientasikan kepada pekerjaan tertentu. Pengajar sineor, pengembang kurikulum, para ahli, pimpinan lembaga pendidikan yang mewakili kelompok pendidik dan pembimbing lembaga pemerintah dan perisahaan swasta yang akan menggunakan lulusa dapat dijadikan sumber pemberian informasi tentangkebutuhan instruksional untuk mata pelajaran tersebut. Tyler (1949) menggolongkan pengajar yang disebut artistic teachers. Walaupun tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang tujuan instruksional, mereka mempunyai intuisi tentang apa yang dimaksud dengan mengajar yang baik, apa bahan- bahan pelajaran yang baik, apa isi pelajaran yang sebaiknya diajarkan dan bagaimana mengembangkan topic-topik yang efektif bagi siswa. Demikian pula dengan pimpinan lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan dan perusahaan swasta memperoleh informasi yang berharga bagi pengembangan instruksional dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional. Kemudian informasi itu dianalisis dan hasilnya dijadikan dasar untuk merumuskan tujuan instruksional umum dan komponen berikutnya. Disamping itu, sumber lain yang tidak kalah pentingnya adalah rumusan TIU untuk mata kuliah yang samadi lembaga lain. Bila rumusan TIU tersebut telah ada. Pengembang
instruksional dapat diharapkan mampu menyusun rumusan TIU yang dapat diterima oleh berbagai pihak yang bersangkutan. TIU yang telah dirumuskan atas dasar hasil interviu dengan kelompok pendidik dan masyarakat yang akan menggunakan lulusan perlu petunjuk kembali kepada pihak yang diinterviu untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: a. apakah TIU ini konsisten dengan tujuan kurukuler, tujuan instruksional dan tujuan pendidikan secara nasional? b. Apakah siswa yang mengambil mata pelajaran tersebut dapat mencapai pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang tercantum dalam TIU tersebut, apakah kjolompok pendidikan dan masyarakat yang akan menggunakan lulusan itu telah puas? c. Apakah pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang dirumuskan dalam TIU itu penting bagi kehidupan siswa? Khusus pertanyaan nomor 3, pengembang instruksional perlu mengumpulkan data dari sekelompok siswa yang dapat mewakili populasi sasaran di samping dari kelompok pendidik dan masyarakat. Usaha pengembangan instruksional untuk mendapatkan rumusan TIU yang mencerminkan kebutuhan ketiga pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan tersebut tidaklah mudah, setidak-tidaknya pengembanginstruksional harus melalui jalan yang panjang. Usaha seperti ini sangat penting artinya untuk menentukan dapat tidaknya kualitaslulusan suatu program pendidikan diterima oleh masyarakat dan pendidik serta dapat memenuhi kebutuhan hiduplulusan itu sendiri. 2.Menentukan Tujuan Instruksional Umum Dari kegiatan mengidentifikasi kebutuhan intruksional diperoleh jenis pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang tidak pernah dipelajaari atau belum dilakukan dengan baik oleh siswa. Jenis pengetahuan, ketrampilan, dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis besar. Ia merupakan hasil belajar yang dharapkan dikuasai siswa setelah menyelesaikan program pendidikan. Hasil belajar ini disebut tujuan instruksioanal. Karena sifatnya yang masih umum, maka disebut tujuan instruksional umum.
Bloom (1977) membagi tujuan instruksional menjadi tiga kawasan menurut jenis kemampuannya yang tercantum didalamnya.tujuan yang mempunyai titik berat kemmpuan berfikir disebut tujuan dalam kawasan kognitif. Kemampuan mengingat, memahami, menerapkan , menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi sesuatu merupakan jenjang kemampuan dalam kawasan ini. Tujuan yang mempunyai focus ketrampilam melakukan gerak fisik disebut tujuan dalam kawasan psikomotorik. Kemampuan meniru melekukan suatu gerak, memanipulasi gerak, merangkaikan berbagai gerakan, melakukan gerakan dengan tepat dan wajar adalah bagian dari kawasan psikomotorik. Tujuan yang lain, yang berintikan kemampuan bersikap disebut tujuan dalam kawasan efektif. Tujuan instruksional dalam kawasan manapun harus dirumuskan dalam kalimat dengan kata kerja dan operasional, serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat. Kalimat siswa akan dapat menjelaskan atau menguraikan sesuatu lebih tepat digunakan daripada siswa dapat mengerti, memahami, atau mengetahui. Perhatikan contoh dibawah ini: a. Siswa akan dapat menggunakan desain penelitian yang sesuai dengan proyek penelitian yang akan dilakukannya. b.Siswa akan dapat menyusun rencana kegiatan proyek dengan menggunakan PERT (program evaluation and review techniques) c. Siswa akan dapat mendemonstrasikan lompat tinggi gaya flop (suatu gaya lompat tinggi yang digunakan kebanyakan juara saat ini). Ketiga contoh instruksional umum (TIU) diatas masing-masing terdiri empat bagian. Pertama, orang yang belajar. Dalam kalimat-kalimat diatas orang belajar adalah siswa, bukan pengajar atau bukan orang lain. Tujuan harus berorientasi pada siswa. Seringkali pengajar atau pengelolah pendidikan yang lain membuat perumusan yang berorientasi kepada mereka, bukan kepada siswa seperti dua contoh berikut ini : a. Tujuan pembelajaran ini adalah mengajarkan penerapan berbagai desai penelitian b. Program ini akan membahas secar mendalam prosedur penyusunan kegiatan proyek berdasarkan PERT.
Kedua contoh perumusan tujuan tersebut, diatas tidak memperhatikan apa yang akan dicapai siswa. Keduanya dapat ditafsirkan bahwa sepanjang pengajar membahas atau mengajar pelajaran yang dimaksud atau program pengajaran berisi pelajaran tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun siswa belum dapat melakukan apa-apa. Kedua, istilah yang digunakan adalah “akan dapat” bukan dapat atau sudah dapat karena tujuan itu dirumuskan sebelum siswa mulai belajar. Tujuan itu akan dicapai setelah proses belajar. Istilah akan dapat itu dihubungkan dengan kata kerja yang menunjukkan hasil belajar bukan kata kerja yang berorientasi kepada proses belajar seprti (siswa) mempelejari, membaca. Tujuan harus berorientasi kepada hasil belajar, bukan kepada proses belajar. Dengan demikian, bila ada perumusan yang berbunyi : “ siswa akan mempelajari berbagai desain penelitian atau membaca prosedur penyusunan rencana kegiatan proyek”, dapat ditafsirkan bahwa sepanjang siswa telah melakukan proses tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun siswa belum berhasil “memahami” apa yang telah dipelajarinya sebagai suatu tujuan; yang penting bukanlah siswa telah melakukan proses belajar tertentu, seperti dapat menyusun desain penelitian atau menyusun rencana kegiatan proyek. Ketiga, kata kerja dalam tujuan instruksional haruslah berbentuk kata kerja aktif dan dapat diamati, seperti menyusun, menggunakan atau mendemonstrasikan. Bandingkanlah dengan kata kerja memahami, mengetahui, dan merasakan yang tidakdapat diamati oleh mata. Dick Carey (1985) menggunakan contoh tujuan yang biasa digunakan oleh banyak bank sebagai berikut: karyawan bank akan mengetahui atau memahami nilai pelayana yang hormat dan ramah. Kata mengetahui atau memahami dapat berarti menjelaskan atau dapat pula berarti melakukan. Kemampuan menjelaskan dan melakukan sangat besar bedanya. Karena itu, istilah memahami disebut tidak jelas dan tidak pasti karena berarti mengandung banyak pengertian, sehingga perlu dihindari. Keempat, tujuan instruksional mengandung objek seperti desain penelitian, rencana kegiatan proyek, dan lompat tinggi.
Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional yang berupa kata kerja dan objek adalah perilaku (behavior) yang diharapkan dikuasai siswa pada akhir proses belajarnya. Itulah sebabnya tujuan instruksional sering disebut tujuan yang bersifat perilaku (behavior objective). Ia disebut pula tujuan penampilan (performance objective). Karena akan ditampilkan siswa setelah proses belajar. Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional ini merupakan bagian yang sangat penting. Berdasarkan kedua bagian tersebut akan disusun tes dan strategi instruksional, termasuk metode, media, dan isi pelajaran. Karena itu, ketidakjelasan perumusan tujuan instruksional akan mengakibatkan ketidakjelasan dasar penyusuna komponen system instruksional yang lain. Disamping itu, kegiatan merumuskan tujuan instruksional merupakan salah satu wujud tanggung jawabseorang pengajar untuk dapat mengatakan atau orang lain menilai apakah ia berhasil atau belum berhasil mencapai tujuannya. Tujuan instruksional, disamping berfungsi sebagai suatu yang akan dicapai, berfungsi pula sebagai kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan instruksional. Oleh karena itu, seorang pengajar yang merumuskan tujuan instruksionalnya sebelum proses pengajaran dapat dipandang sebagai pengajar yang bersedia mempertanggungawabkan keberhasilan atau kegagalan dalam mengajar. Atas dasar criteria itu pula seorang pengajar dapat menentukan kapan ia harus memperbaikiefektifitas pengajarannya. Pada saat saya mengajarkan peranan tujuan istruksional, seorang mahasiswa berpendapat bahwa pengajar tidak usah merumuskan tujuan, yang penting ia mengajar dengan sungguh-sungguh, lalu beri siswanya tes. Ketika aya bertanya,”apa yang akan pengajar itu teskan?”, ia menjawab,”isi pelajaran seperti desain penelitian,rencana kegiatan proyek, lompat tinggi”. Saya bertanya lagi, “ perilaku apa yang harus diteskan? Menjelaskan macam-macam desain penelitian, membaca rencana kegiatan proyek atau menceritakan cara lompat tinggi?”. Mahasiswa itu menjawab,”mungkin”.”apa bukan mengeteskan bagaimana menggunakan desain penelitian, menggambar rencana kerja, dan mendemonstrasikan lompat tinggi?”Saya bertanya lebih jauh. Ia menjawab lagi,”boleh juga”. Kesimpulannya, apa yang akan diteskan tergantung kepada keinginan pengajar pada saat melakukan tes.mungkin pengajar itu cukup meminta siswa macam-
macam desain penelitian, menuliskan prosedur perencanaan kegiatan proyek atau menceritakan cara melakukan lompat tinggi, menruraikan cara mengelas besi, menjelaskan cara membuat kursi, menjelaskan cara membuat kursi, menuliskan cara mengaduk semen dan lain-lain.siswa yang berhasil dalam tes atau ujian sep;erti itu akan merupakan lulusan yang mahirdalam teori. Mungkin pula pengajar yang lain menganggap semu itu belum cukup, ia menyuruh siswa menyusun desain penelitien, menyusun kegiatan rencana proyek tertentu, atau melakukan lompat tinggi,mengelas besi, membuat kursi, mengaduk semen dan lain-lain.siswa yang berhasil dalam tes ataunujian seperti ini akan merupakan lulusa yang mampu melakukan dan mempraktikkan sesuatu. Bila anda perhatikan, apa yang akan diteskan kedua pengajar diatas sangatlah berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kata kerja tujuan instruksionalnya, walaupun objeknya sama. Karena itu, perumusan kata kerja dan objek dalam tujuan instruksional sangatlah penting. Pengajaran tanpa perumusan tujuan instruksional secara jelas akan mempunyai implikasi tidak menentunya standar mutu mata pelajaran dan mutu lulusan program tersebut. Tujuan instruksional umum (TIU) suatu mata pelajaran mungkin lebih dari satu, tetapi keduanya pasti bgerhubungan dalam hal seperti itu. TIU harus diurut dari perilaku yang harus atau sebaiknya dikuasai lebih dulu baru dikuasai lebih dulu baru disusul dengan yang lainnya. Urutan ini akan menjadi petunjuk dalam menentukan urutan isi pelajaran. Banyaknya TIU tergantung pada kompleksitas dan ruang lingkup pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang akan dipelajari siswa dalam mata pelajaran tersebut. Sebagai patokan umum mungkin sekitar 3-5 buah. Jumlah TIU yang banyak mungkin akan mengakibatkan sulitnya pengelolahan kegiatan instruksional. Walaupun demikian, tidak ada patokan yang dapat disetujui oleh semua orang tentang jumlah TIU ini. Setelah merumuskan TIU tersebut dengan baik, anda perlu mengajukan pertanyaan yang sangat penting kepada diri sendiri sebagai berikut:”bila siswa anda telah mencapai seluruh kemampuan yang telah anda rumuskan dalam TIU, apakah anda sudah merasa puas?” karena anda yakin bahwa siswa anda tidak akan mendapat kesulitan dalam melaksanakan pekerjaan atau tugasnya kelak yang berhubungan dengan pelajaran yang telah anda berikan? Bila anda menjawab ya,
berarti TIU itu telah dapat anda gunakan sebagai dasar pengembangan instruksional lebih lanjut. Bila anda menjawab belum, berarti TIU itu harus direvisi terlebih dahulu.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pengembangan instruksional, yaitu mengidentifikasi kebutuhan instruksional dan penulisan tujuan instruksional umum (TIU). Langkah ini adalah titik tolak dan sumber bagi langkah-langkah berikutnya. Karena itu, kebingungan yang terjadi dalam langka permulaan ini akan menyebabkan seluruh kegiatan pengembangan instruksional kehilangan arah. Langkah ini merupakan rangkaian dari dua kegiatan yang dijadikan satu karena keduanya sangat berkaitan. Hasil kegiatan pertama yaitu mengidentifikasi kebutuhan instrusional. Tujuan instruksional, disamping berfungsi sebagai suatu yang akan dicapai, berfungsi pula sebagai kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan instruksional. B.Saran Dalam menentukan identifikasi kebutuhan instruksional dan menentukan penulisan Tujuan Instruksional Umum, Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah : 1. Sebelum proses pengajaran dapat dipandang sebagai pengajar yang bersedia mempertanggungawabkan keberhasilan atau kegagalan dalam mengajar. Atas dasar kriteria itu pula seorang pengajar dapat menentukan kapan ia harus memperbaiki efektifitas pengajarannya. 2. Kata kerja dalam tujuan instruksional haruslah berbentuk kata kerja aktif dan dapat diamati, seperti menyusun, menggunakan atau mendemonstrasikan.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid, S.Ag., M.Pd, Perencanaan Pembelajaran, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1981 Drs. Lgn Ulihbukit Karo-Karo, Metodologi Pengajaran, Salatiga : CV. Saudara, 1981 DR. Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1995 Prof. Dr. Winarno Surachmad, Metodologi Pengajaran Nasional, Bandung : CV. Jemmars Drs. Lgn Ulihbukit Karo-karo, Metodologi Pengajaran, Salatiga : CV. Saudara, 1981, Hal. 3-4 Abdul Majid, S.Ag., M.Pd, Perencanaan Pembelajaran, Bandung : PT. remaja Rosdakarya, 1981, Hlm. 137 Prof. Dr. Winarno Surachmad, Metodologi Pengajaran Nasional, Bandung : CV. Jemmars, Hlm. 77 DR. Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1995, Hlm. 79 Hidayat Syah. 2010. Pengantar Umum Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Verifikatif, Cet.Pertama, Pekanbaru: Suska Press Soenarto, Soenaryo. 2010. Draft Buku Ajar Metodologi Pembelajaran. Fakultas Teknik. Universitas Negeri Yogyakarta. Suparman,atwi.1991.Desain instruksional: mengidentifikasi kebutuhan instruksional danmenulis tujuan instruksional umum.Jakarta:bank dunia XVII Zakiah Daradjat, Dkk. 2008. Metodik Umum Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara S. Winataputra. 2008. Belajar dan Mengajar, Surakarta: Lima Aksar https://moondoggiesmusic.com/metode-pembelajaran/ https://lisaichasite.wordpress.com/2016/06/27/pengertian-metodologi-pembelajaran-pai/ http://dinady10.blogspot.com/2012/09/metodologi-pembelajaran.html https://www.academia.edu/23251484/Makalah_Metodologi_pembelajaran http://staffnew.uny.ac.id/upload/131568300/pendidikan/METODOLOGI+PEMBELAJARAN+B AHAN+AJAR.pdf http://rizkapratiwijaya.blogspot.com/2013/03/kebutuhan-instruksional.html
MAKALAH ANALISIS INSTRUKSIONAL Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengembangan Sistem Instruksional Dosen Pengampu : Prof. Dr. Armai Arief, MA. / Dr. Ahmad Suryadi, M.Pd Disusun oleh : (2019860039) 1. Tiara Sangkan Ningrum Rizal (2019860041) 2. Zulfahmi MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH JAKARTA 2020
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta kepada ummatnya yang selalu melaksanakan ajarannya. Kami sebagai penyusun makalah ini berharap semoga ini bisa membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi kami khususnya dan bagi semua pihak yang membaca dan umumnya tentang Pengembangan Sistem Instruksional. Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam proses belajar dan mengajar. Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil kami susun ini bisa dengan mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami meminta maaf bilamana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang berkenan. Cireundeu, 19 November 2020 Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Instruksional yang siap pakai adalah hasil yang diinginkan dalam hal mendesaian sistem intruksional. Dalam mencapai sistem intruksional yang siap pakai tidaklah semudah menentukan tujuan perjalanan. Kita mengetahui bahwa pendidikan itu mempunyai tujuan yang pasti, hanya tidak semua orang dapatmerumuskan dengan jelas tujuan apa yang ingin dicapainya dengan pendidikanyang direalisasikannya.Tujuan adalah keterampilan , pengetahuan, dan sikap yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan yang telah diidentifikasi. Tujuan berfokus pada apa yangdapat dilakukan sibelajar ketika usai pelajaran. Tujuan instruksional idealnya diperoleh dari proses pengkajian atau penelususan kebutuhan (Need Assessement) yang menetapkan secara luas indikasi-indikasi permasalahan yang harus dipecahkan. (Dick and Carey, 2005). Analisis instruksional adalah suatu prosedur dalam mengidentifikasi kompetensi yang harus dikuasai mahasiswa dengan menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun secara logis dan sistematis untuk mencapai tujuan instruksional. Seperti dikatakan Suparman (2012), analisis instruksional adalah proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun secara logis dan sistematis Keterampilan melakukan analisis instruksional ini sangat penting artinya bagi kegiatan instruksional, karena pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diberikan lebih dahulu dari yang lain dapat ditentukan hasil analisis instruksional. Dengan demikian, pengajar jelas melihat arah kegiatan instruksionalnya secara bertahap menuju pencapaian TIU. Ini berarti pengajar terhindar dari pemberian isi pelajaran yang tidak relevan dengan TIU.Hasil analisis instruksional ini dikaitkan dengan hasil kegiatan mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal mahasiswa.Atas dasar keduannya, pengembangan instruksional dapat menyusun tujuan instruksional khusus (TIK) yang relevan dengan TIU. Sistem instruksional yang siap pakai adalah hasil yang diinginkan dalam hal mendesaian sistem intruksional. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan Analisis Instruksional? 2. Bagaimanakah langkah-langkah dalam melakukan Analisis Instruksional? C. Tujuan dalam melakukan Analisis 1. Mengetahui arti dari Analisis Instruksional 2. Mengetahui dan memahami langkah-langkah Instruksional
BAB II PEMBAHASAN A. Analisis Instruksional Analisis instruksional (Dick and Carey 2005) adalah sebagai tahapan proses yang merupakan keseluruhan dari pemaparan bagaimana perancang (desainer) menentukan komponen utama dari tujuan instruksional melalui kegunaan analisis tujuan (goal analysis), dan bagaimana setiap langkah dalam tujuan tersebut dapat dianalisis untuk mengidentifikasi keterampilan subordinate atau keterampilan prasyarat. Suparman (2012:157) lebih cenderung mengartikan analisis instruksional sebagai proses yang menjabarkan perilaku atau kompetensi umum menjadi sub kompetensi, kompetensi dasar, perilakuatau kompetensi khusus yang tersusun secara logis dan sistematis. Kegiatan penjabaran tersebut dimaksudkan untuk mengidentifikasi perilaku- perilaku khusus yang dapat menggambarkan perilaku umum secara terperinci. Yang dimaksud perilaku khusus tersusun secara logis dan sistematis adalah tahapan apa yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu ditinjau dari berbagai alasan seperti karena kedudukannya sebagai perilaku prasyarat, prilaku yang menurut urutan fisik berlangsung lebih dahulu, perilaku yang menurut proses psikologi muncul lebih dahulu atau kronologis terjadi lebih awal. Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis instruksional adalah suatu prosedur dalam mengidentifikasi kompetensi yang harus dikuasai siswa dengan menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun secara logis dan sistematis untuk mencapai tujuan instruksional. Dengan melakukan analisis instruksional akan tergambar susunan perilaku khusus dari yang paling awal sampai yang paling akhir. Baik jumlah maupun susunan perilaku tersebut akan memberikan keyakinan kepada pengajar bahwa perilaku umum yang tercantum dalam TIU dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dengan perkataan lain, melalui tahap perilaku perilaku khusus tertentu akan mencapai perilaku umum. Dapat diuraikan kegunaan analisis instruksional sebagai berikut : a) Membantu bantu para guru atau pendidik maupun penyusun disain instruksional untuk mengorganisir tugas-tugas pokok dalam hubungannya dengan sub tugas yang harus dipelajari siswa. Pengorganisasiannya adalah sedemikian, sehingga merupakan urutan logis sesuai dengan keadaan sebenarnya manakala tugas tersebut dilaksanakan. b) Membantu para guru di dalam menganalisis tingkah laku (behavior) berkenaan dengan masing-masing tugas pokok maupun subtugas. Dengan cara demikian, semua pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan setiap tugas pokok dapat diidentifikasikan.
c) Membantu para penyusun disain instruksional dan para guru/pendidik untuk memperkirakan waktu yang diperlukan untuk belajar, sehingga siswa dapat melaksanakan suatu tugas dengan baik. Analisis instruksional penting untuk dilaksanakan, hal tersebut dikarenakan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diberikan lebih dahulu dari yang lain dapat ditentukan dari hasil analisis instruksional, arah kegiatan instruksional jelas terlihat secara bertahap menuju pencapaian TIU, dan terhindar dari pemberian isi pelajaran yang tidak relevan dengan TIU (Nugroho, 2011). Manfaat Analisis Instruksional adalah: (1) Mengidentifikasi semua kompetensi yang harus dikuasai mahasiswa, (2) Menentukan urutan pembelajaran, (3) Menentukan titik awal proses pembelajaran (melalui penentuan perilaku awal mahasiswa). Adapun struktur kompetensi dalam analisis instruksional, ialah : a) Hierarki, susunan beberapa kompetensi dimana satu atau beberapa kompetensi menjadi prasyarat bagi kompetensi berikutnya. b) Prosedural, kedudukan beberapa kompetensi yang menunjukkan satu rangkaian pelaksanaan kegiatan atau pekerjaan tetapi antar kompetensi tersebut tidak menjadi prasyarat untuk kompetensi lainnya. c) Pengelompokkan, beberapa kemampuan yang satu dengan lainnya tidak memiliki ketergantungan. Tetapi harus dimiliki secara lengkap untuk menunjang kemampuan berikutnya. d) Kombinasi, perilaku khusus sebagian tersebar akan terstruktur secara kombinasi antara struktur hirarkial, prosedural dan pengelompokan. B. Langkah-Langkah Melakukan Analisis Instruksional Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam melakukan analisis intruksional adalah sebagai berikut : a) Menuliskan perilaku umum yang telah ditulis dalam TIU untuk mata pelajaran yang dikembangkan. b) Menuliskan setiap perilaku khusus yang menjadi bagian dari perilaku umum tersebut. c) Menyusun perilaku khusus tersebut kedalam suatu daftar dalam urutan yang logis dimulai dari perilaku umum, perilaku khusus yang paling “dekat” hubungannya dengan perilaku umum diteruskan “mundur” sampai perilaku yang paling jauh dari perilaku umum. d) Menambah perilaku khusus tersebut atau mengurangi jika perlu. Tanamkan dalam pikiran anda bahwa anda harus berusaha melengkapi daftar perilaku khusus tersebut. e) Menulis setiap perilaku khusus dalam suatu lembar kartu atau kertas ukuran 3x5 cm f) Menyusun kartu tersebut diatas meja atau lantai dengan menempatkannya dalam struktur hirarkial, prosedural atau pengelompokan menurut kedudukan masing- masing terhadap kartu yang lain. Letakkan kartu-kartu tersebut sejajar atau
horizontal untuk perilaku-perilaku yang menyerupai struktur prosedural dan pengelompokan serta letakkan secara vertical untuk perilaku-perilaku yang hirarkial. g) Jika perlu, tambahkan dengan perilaku khusus lain yang dianggap perlu atau dikurangi bila dianggap lebih. h) Menggambarkan letak perilaku-perilaku tersebut dalam perilaku-perilaku dalam kotak-kotak diatas kertas lebar sesuai dengan letak kartu yang telah disusun. Hubungkan letak kotak-kotak tersebut dengan kertas vertical dan horizontal untuk menyatakan hubungannya yang hirarkial, prosedural, dan pengelompokan. i) Meneliti kemungkinan menghubungkan perilaku umum yang satu dan yang lain atau perilaku-perilaku khusus yang berada dibawah perilaku umum yang berbeda. j) Memberi nomor urut pada setiap perilaku khusus dimualai dari yang terjauh sampai yang terdekat dengan perilaku umum. Pemberian nomor akan menunjukkan urutan perilaku tersebut. k) Mengkombinasikan atau mendiskusikan bagan yang telah disusun dengan memperhatikan : 1) Lengkap tidaknya perilaku khusus sebagai penjabaran dari setiap perilaku umum 2) Logis tidaknya dari perilaku-perilaku khusus menuju perilaku umum 3) Struktur hubungan perilaku-perilaku khusus tersebut (hirarkial, presedural, pengelompokan atau kombinasi) Setiap perilaku yang telah ditulis masih dapat diperinci lagi menjadi perilaku yang lebih kecil atau halus lagi tergantung kepada keinginan pengembang instruksional, sampai batas mana ia akan berhenti. Contoh bagan Analisis Instruksional ranah kognitif jenjang Sekolah Dasar :
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Sebelum menghasilkan suatu desain sistem instruksional yang siap pakai haruslah melalui tahap-tahap yang ditentukan agar hasil yang didapat lebih berkualitas dan tujuan yang direalisasikan dapat tercapai secara maksimal. Salah satu tahap yang tidak kalah pentingnya adalah analisis intruksional, dimana pada langkah inilah merupakan bertujuan untuk memperolah gambaran tentang apa yang dicapai. Apa yang kan dicapai merupakan suatu tujuan yang jelas dan spesifik memberi pegangan dan petunjuk tentang metode mengajar dan belajar yang serasi serta memungkinkan penilaain proses dan hasil belajar yang lebih teliti. B. Saran Semoga para desainer atau tenaga pendidik menggunakan tahap demi tahap dalam menganalisis instruksional secara teliti sehingga kebutuhan siswa dapat tercapai sesuai dengan tujuan yang kita inginkan.
REFERENSI https://lp3.unitri.ac.id/wp-content/uploads/2020/01/PKT.-07.-Analisis-Instruksional.pdf Dick ‘ W., & Carey, 2005. The Systemafic Design Of Instruction. Glenview Illionois.Scott, Forestman and Company. Suparman, Atwi, 2012. Desain Intruksional. Jakarta: Erlangga
Perilaku dan Karakteristik Awal Peserta Didik Makalah Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah Pengembangan Sistem Instruksional Dosen Pengampu : Prof. Dr. Armai Arief, MA Disusun Oleh : Triesa Saidah 2019860005 Diba Maulida Aulia 2019860006 Program Studi Magister Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta 2020
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta kepada ummatnya yang selalu melaksanakan ajarannya. Kami sebagai penyusun makalah ini berharap semoga ini bisa membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi kami khususnya dan bagi semua pihak yang membaca dan umumnya tentang Pengembangan Sistem Instruksional. Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam proses belajar dan mengajar. Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil kami susun ini bisa dengan mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami meminta maaf bilamana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang berkenan. Cireundeu, 05 Desember 2020 Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sering sekali guru menentukan titik materi pembelajarannya berdasarkan hala- man pertama yang terdapat dalam buku teks pelajaran. Padahal tidak selamanya penge- tahuan siswa itu nol. Buku pelajaran tak dapat dijadikan bahan acuan menebak pengetahuan siswa, begitu juga dengan pandangan kasar mata seorang guru. Oleh karena itu, langkah yang perlu diambil adalah mengidentifikasi kemampuan dan karakteristi awal siswa. (Amstrong (ed), 2004: 3) Setiap siswa dapat dipastikan memiliki perilaku dan karakteristik yang sangat heterogen. Sebagian siswa sudah banyak tahu, sebagian lagi belum tahu sama sekali tentang materi yang diajarkan di kelas. Bila pengajar mengikuti kelompok siswa yang pertama, kelompok yang kedua merasa ketinggalan kereta, yaitu tidak dapat menangkap pelajaran yang diberikan. Sebaliknya, bila pengajar mengikuti kelom- pok yang kedua, yaitu mulai dari bawah, kelompok pertama akan merasa tidak belajar apa-apa dan bosan. (Suparman, 2012: 178). Untuk mengatasi hal ini, menurut Suparman ada dua pendekatan yang dapat dipilih. Pendekatan pertama, siswa menyesuaikan dengan materi pelajaran, dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Seleksi Pene- rimaan Siswa, 2) Tes dan Pengelompokan Siswa, 3) Lulus Mata Pelajaran Prasyarat. Pendekatan kedua, materi pelajaran disesuai- kan dengan siswa. Pendekatan ini hampir tidak memerlukan seleksi penerimaan siswa. Pada dasarnya, siapa saja boleh masuk dan mengikuti pelajaran tersebut. (Suparman, 2012: 178-179). Kedua pendekatan di atas bila dilakukan secara ekstrem, tidak ada yang sesuai untuk mengatasi masalah heterogen- nya siswa dalam sistem pendidikan biasa. Karena itu, marilah penjelasan dalam artikel ini lebih mengarah pada bagaimana meng- kombinasikan kedua pendekatan tersebut. B. Rumusan Masalah C. Tujuan Permasalahan
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Mengindentifikasi Kemampuan Siswa Secara umum mengidentifikasi ber- arti menentukan atau menetapkan identitas sesuatu baik orang, benda, dan sebgainya. Namun dalam hal ini yang hendak ditentukan atau ditetapkan identitiasnya adalah perilaku peserta didik. (Sugono, 2008: 567). Sedang- kan yang dimaksud dengan perilaku dalam hal ini bukanlah perangai, sifat atau akhlak, melainkan kemampuan dasar peserta didik, yakni kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kegiatan mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa dalam pengem- bangan instruksional merupakan pendekatan yang menerima siswa apa adanya dan untuk menyusun sistem instruksional atas dasar keadaan siswa tersebut. Konsekuensi dari digunakannya cara ini adalah titik mulai suatu kegiatan pembelajaran tergantung kepada perilaku awal siswa. Mengiden- tifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa bertujuan untuk menentukan materi apa yang harus diajarkan dan yang tidak perlu diajar- kan dalam instruksional yang akan dilaksana- kan. Dengan kata lain, kegiatan meng- identifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa merupakan proses untuk mengetahui perilaku yang dikuasai siswa sebelum mengikuti instruksional, bukan untuk menen- tukan perilaku prasyarat dalam rangka menyeleksi siswa sebelum mengikuti instruksional. Perilaku yang akan diajarkan ini kemudian dirumuskan dalam bentuk tujuan instruksional khusus atau TIK itu. Karakteristik siswa merupakan salah satu variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan sistem instruksional. (Sanjaya, 2012: 17). Variabel ini didefinisikan sebagai aspek-aspek atau kualitas individu siswa. Aspek-aspek berkaitan dapat berupa bakat, minat, sikap, motivasi belajar, gaya belajar, kemampuan berpikir dan kemampuan awal (hasil belajar) yang telah dimilikinya. (Atmowijoyo, 2008: 95). Karakteristik siswa akan amat berpengaruh dalam pemilihan strategi pengelolaan, yang berkaitan dengan bagaimana menata pembelajaran, khususnya komponen-komponen strategi pembelajaran, agar sesuai dengan karakteristik individu siswa. (Uno, 2009: 58). Untuk melakukan kegiatan identifikasi perilaku dan karakteristik awal si belajar, maka menurut Suparman (2012:
181-182) kita harus mengetahui sumber yang dapat memberikan informasi kepada pen- desain instruksional yang antara lain adalah: 1. Siswa atau calon siswa; 2. Orang yang mengetahui kemampuan siswa atau calon siswa dari dekat seperti guru atau atasannya; 3. Pengelola program pendidikan yang biasa mengajar mata pelajaran tersebut. Berawal dari informasi-informasi ter- sebut, maka tingkat kemampuan populasi sasaran dalam perilaku-perilaku khusus yang diperoleh dari analisis instruksional, itu perlu diidentifikasi agar pengembang instruksional dapat menentukan mana perilaku khusus yang sudah dikuasai si belajar untuk diajar- kan. Dengan demikian pengembang instruk- sional dapat pula menentukan titik berangkat yang sesuai bagi si belajar yaitu: aspek-aspek analisis pada kegiatan identifikasi perilaku dan karakterisitk awal siswa. Dalam hal ini, menurut Sanjaya ada tiga aspek kepribadian si belajar yang tergolong pada kegiatan identifikasi perilaku dan karakteristik awal si belajar, yaitu: 1. Aspek latar belakang siswa (pupil formative experiences) 2. Sifat yang dimiliki siswa (pupil properties). 3. Sikap dan penampilan siswa. (Sanjaya, 2012: 17-18). Aspek latar belakang meliputi jenis kelamin siswa, tempat kelahiran, dan tempat tinggal siswa, tingkat sosial ekonomi siswa, dari keluarga yang bagaimana siswa berasal dan lain sebagainya; sedangkan dilihat dari sifat yang dimiliki siswa meliputi kemam- puan dasar, pengetahuan dan sikap. Tidak dapat disangkal bahwa setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda yang dapat dikelompokkan pada siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Siswa yang termasuk berkemampuan tinggi biasanya ditunjukkan oleh motivasi yang tinggi dalam belajar, perhatian dan keseriusan dalam mengikuti pelajaran dan lain sebagainya. Sebaliknya siswa yang tergolong pada kemampuan rendah ditandai dengan kurang- nya motivasi belajar, tidak adanya keseriusan dalam mengikuti pelajaran termasuk menyelesaikan tugas dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan semacam itu menuntut perlakuan yang berbeda pula baik dalam penempatan atau pengelompokan siswa maupun dalam perlakuan guru dalam menyesuaikan gaya belajar. Demikian juga halnya dengan tingkat pengetahuan siswa. Siswa yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang penggunaan bahasa stan- dar,
misalnya akan memengaruhi proses pembelajaran mereka dibandingkan dengan siswa yang tidak memiliki tentang hal itu. (Sanjaya, 2012: 17-18). Sikap dan penampilan siswa dalam proses pembelajaran, juga merupakan aspek lain yang dapat memengaruhi sistem pem- belajaran. Adakalanya ditemukan siswa yang sangat aktif (hyperkinetic) dan adapula siswa yang pendiam, tidak sedikit juga ditemukan siswa yang memiliki motivasi yang rendah dalam belajar. Semua itu akan memengaruhi proses pembelajaran di dalam kelas. Sebab, bagaimanapun perilaku dan karakteristik siswa merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam interaksi pem- belajaran, sehingga guru sebagai pendesain mampu memilih bahan pembelajaran yang baik untuk diajarkan kepada siswa sebagai pembelajar. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan mengidentifi- kasi perilaku dan karakteristik awal siswa bertujuan untuk menentukan materi apa yang harus diajarkan dan yang tidak perlu diajar- kan dalam instruksional yang akan dilaksana- kan. Dengan kata lain, kegiatan mengiden- tifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa merupakan proses untuk mengetahui perilaku yang dikuasai siswa sebelum mengikuti instruksional, bukan untuk menentukan peri- laku prasyarat dalam rangka menyeleksi siswa sebelum mengikuti instruksional.Kemampuan siswa yang ada dalam kelas sering kali sangat bervariasi. Sebagian siswa sudah banyak tahu, sebagian lagi belum tahu sama sekali tentang materi yang diajarkan di kelas. Bila pengajar mengikuti kelompok siswa yang pertama, kelompok yang kedua merasa ketinggalan kereta, yaitu tidak dapat menangkap pelajaran yang diberikan. Sebaliknya, bila pengajar mengikuti kelompok yang kedua, yaitu mulai dari bawah, kelompok pertama akan merasa tidak belajar apa-apa dan bosan. Untuk mengatasi hal ini, ada dua pendekatan yang dapat dipilih; pertama, siswa menyesuaikan dengan materi pelajaran dan kedua, sebaliknya, materi pelajaran disesuaikan dengan siswa Pendekatan pertama, siswa menyesuaikan dengan materi pelajaran, dapat dilakukan sebagai berikut: Seleksi penerimaan siswa a. Pada saat pendaftaran siswa diwajibkan memiliki latar belakang pendidikan yang relevan dengan program pendidikan yang diambilnya.
b. Setelah memenuhi syarat pendaftaran di atas, siswa mengikuti tes masuk dalam pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan program pendidikan yang akan diambilnya. Proses seleksi ini sering dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal seperti perguruan tinggi dalam menyeleksi calon mahasiswa untuk memasuki unversitas dan sekolah-sekolah menengah swasta yang ingin memilih calon siswa yang baik. 1. Tes dan pengelompokan siswa Setelah melakukan seleksi seperti dijelaskan dalam butir satu, masih ada kemungkinan pengajar menghadapi masalah heterogennya siswa yang belajar dalam mata pelajaran tertentu. Karena itu, perlu dilakukan tes sebelum mengikuti pelajaran untuk mengelompokkan siswa yang boleh mengikuti mata pelajaran tersebut. 2. Lulus mata pelajaran prasyarat. Alternatif lain untuk butir dua di atas adalah mengharuskan siswa lulus mata pelajaran yang mempunyai prasyarat. Dalam suatu program pendidikan di perguruan tinggi terdapat sebagian kecil mata kuliah yang seperti itu. Boleh juga ditetapkan dalam beberapa sekolah umum dan agama, memberikan prasyarat mengikuti proses pembelajaran dilakukan, hal ini bertujuan untuk memudahkan siswa dalam menghadapi beberapa mata pelajaran yang terdapat di lembaga tersebut, seperti prasyarat wajib lancar membaca al-Quran, yang diterapkan oleh beberapa sekolah-sekolah yang berbasis full day school. Pendekatan kedua, materi pelajaran disesuaikan dengan siswa. Pendekatan ini hampir tidak memerlukan seleksi penerimaan siswa. Pada dasarnya, siapa saja boleh masuk dan mengikuti pelajaran tersebut. siswa yang masih belum tahu sama sekali dapat mempelajari materi pelajaran tersebut dari bawah karena materi pelajaran memang disediakan dari tingkat itu. siswa yang sudah banyak tahu dapat mulai dari tengah atau dari atasnya. Bahan pelajaran itu didesain untuk dapat menampung siswa dalam tingkat kemampuan awal mana pun. Selanjutnya, siswa dapat maju menurut kecepatan masing-masing, karena bahan tersebut didesain untuk hal tersebut.
Kedua pendekatan di atas bila dilakukan secara ekstrim, tidak ada yang sesuai untuk mengatasi masalah heterogennya siswa dalam sistem pendidikan full day school. Karena itu, terdapat pendekatan ketiga yang mengkombinasikan kedua pendekatan di atas. Pendekatan ketiga ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Menyeleksi penerimaan siswa atas dasar latar belakang atau ijazah. Seleksi ini biasanya lebih bersifat administratif. b. Melaksanakan tes untuk mengetahui kemampuan dan karakteristik awal siswa. Tes ini tidak digunakan untuk menyeleksi siswa, tetapi untuk dijadikan dasar dalam menyusun bahan pelajaran. c. Menyusun bahan instruksional yang sesuai dengan kemampuan dan karakteristik awal siswa. d. Menggunakan sistem instruksional yang memungkinkan siswa maju menurut kecepatan dan kemampuan masing-masing. e. Memberikan supervisi kepada siswa secara individual. Dari ketiga pendekatan di atas, terdapat tes-tes yang diberikan untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Perilaku awal dan karakteristik siswa menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan sistem instruksional sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan hasil yang baik. B. Perilaku Awal Dalam ilmu psikologi, perilaku adalah segenap manifestasi hayati individu dalam berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari perilaku yang paling nampak sampai yang tidak tampak, dari yang dirasakan sampai yang tidak dirasakan. Dalam interaksinya, seseorang bisa menimbulkan perilaku yang bermacam-macam. Bila dikaitkan dengan belajar dan pendidikan, perilaku bergeser mengalami sebuah perubahan, misalnya, perilaku buruk menjadi baik, dari tidak terampil menjadi terampil, dari tidak tahu menjadi tahu, dan lain sebagainya. Dalam menentukan sebuah sistem instruksional, terdapat tiga macam sumber yang dapat memberikan informasi kepada pendesain instruksional dalam menentukan prilaku awal siswa, yaitu: 1. Siswa atau calon siswa
2. orang-orang yang mengetahui kemampuan siswa atau calon siswa dari dekat seperti pengajarnya terdahulu atau atasannya 3. pengelola program pendidikan yang biasa mengajarkan mata pelajaran tersebut. Teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi perilaku awal siswa yaitu kuesioner, interviu, observasi, dan tes. Subjek yang memberikan informasi diminta untuk mengidentifikasi seberapa jauh tingkat penguasaan siswa atau calon siswa dalam setiap perilaku khusus melalui skala penilaian. Teknik yang dapat menghasilkan data yang lebih akurat adalah tes penampilan siswa dan observasi terhadap pelaksanaan pekerjaan siswa serta tes tertulis untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa. Tetapi bila tes semacam ini tidak dapat atau tidak tepat untuk dilaksanakan karena beberapa sebab, penggunaan skala penilaian cukup memadai. Skala penilaian tersebut diisi oleh orang-orang yang tahu secara dekat terhadap kemampuan siswa dan diisi oleh siswa sendiri sebagai self-report. Tidak semua aspek dari keadaan siswa pada awal proses belajar mengajar sama- sama penting; aspek mana yang penting sebagai titik tolak dalam interaksi guru-murid selama pelajaran berlangsung tergantung dari tujuan instruksional. Misalnya, dalam rangka pelajaran sejarah, tidak relevan ditinjau apakah siswa sudah mampu mengapung dalam air, karena pelajaran itu tidak bertujuan membekali siswa dengan kemampuan berenang. Yang relevan ialah meninjau, sampai berapa jauh siswa memiliki suatu kerangka historis, sehingga peristiwa yang terjadi pada tahun 1990 akan ditangkap sebagai peristiwa yang belum lama terjadi, dibanding dengan peristiwa yang terjadi pada tahun 1950. menyelidiki apakah siswa sudah mampu mengapungkan badannya dalam air (tingkah laku awal), baru menjadi relevan dalam pelajaran pendidikan jasmani yang bertujuan supaya siswa mampu berenang dengan gaya katak (tingkah laku final).5 Inilah pentingnya bagi pengajar untuk mengetahui perilaku awal siswa, karena dari perilaku inilah tergantung bagaimana proses belajar mengajar sebaiknya diatur dan apakah tujuan instruksional khusus yang mula-mula ditetapkan harus mengalami perubahan. Hal ini lebih-lebih berlaku bila perilaku awal itu menyangkut suatu kemampuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan instruksional. Ketika pengajar telah mengetahui perilaku awal siswa, perlu kiranya memperhatikan hasil tersebut bagi pengembangan tujuan instruksional. Perlu diperhatikan bahwa tugas selanjutnya bagi pengajar tidak hanya sekedar menyesuaikan perilaku awal
siswa dengan desain instruksional saja, tetapi lebih dari itu, pengajar harus mempunyai cara dalam memodifikasi tingkah laku awal menjadi tingkah laku final yang ingin dituju. Seorang psikolog terkenal Fred. S. Keller,6 merancang suatu program modifikasi tingkah laku bagi suatu kursus non gelar dalam psikologi umum telah mendapatkan hasil yang memuaskan sehingga prosedur-prosedurnya dipakai untuk kursus-kursus psikologi atau bidang akademi lain di universitas-universitas beberapa negara. Programnya tersebut menekankan kepada individualisasi dalam kecepatan belajar, penentuan tujuan pendidikan, evaluasi yang dilakukan terus menerus untuk menentukan tingkat kemajuan setiap siswa dalam mencapai tujuan instruksional. C. Karakteristik Awal Di samping mengidentifikasi perilaku awal siswa, pengembang instruksional harus pula mengidentifikasi karakteristik siswa yang berhubungan dengan keperluan pengembangan instruksional. Minat siswa pada umumnya, misalnya pada olah raga dan musik, karena sebagian besar siswa adalah penggemar musik, dapat dijadikan bahan dalam memberikan contoh dalam rangka penjelasan materi pelajaran. Kemampuan siswa yang kurang dalam membaca bahasa Inggris merupakan masukan pula bagi pengembang instruksional untuk memilih bahan-bahan pelajaran yang tidak berbahasa Inggris atau menerjemahkannya terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia. Demikian pula bila siswa senang dengan humor. Pendesain instruksional sebaiknya mempertimbangkan penggunaan lelucon dalam strategi instruksionalnya. Bila siswa sebagian besar tidak mempunyai video di rumah, pendesain instruksional tidak dapat membuat program video untuk dipelajari siswa di rumah. Informasi di atas perlu dicari oleh pengembang instruksional sehingga ia dapat mengembangkan sistem instruksional yang sesuai dengan karakteristik siswa/siswa. Teknik yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi karakteristik awal siswa sama dengan teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi perilaku awal, yaitu kuesioner, interviu, observasi dan tes.
Seperti halnya dalam mencari informasi perilaku awal siswa, informasi yang dikumpulkan pendesain instruksional terbatas pada karakteristik siswa yang ada manfaatnya dalam proses pengembangan instruksional. Tujuan mengetahui karakteristik siswa adalah untuk mengukur, apakah siswa akan mampu mencapai tujuan belajarnya atau tidak; sampai di mana minat siswa terhadap pelajaran yang akan dipelajari. Bila siswa mampu, hal-hal apa yang memperkuat; dan bila tidak mampu hal-hal apa yang menjadi penghambat. Hal-hal yang perlu diketahui dari siswa bukan hanya dilihat faktor-faktor akademisnya, tetapi juga dilihat faktor-faktor sosialnya, sebab kedua hal tersebut sangat mempengaruhi proses belajar siswa/siswa. Hal-hal yang perlu diketahui tersebut adalah: 1. Faktor-faktor akademis a. Berapa jumlah siswa dalam satu kelas b. Apa latar belakang pendidikan (sekolah yang pernah ditempuh) c. Bagaimana nilai rata-rata yang dicapai tiap sekolah/kursus/latihan yang pernah dialami d. Apakah siswa mempunyai kebiasaan belajar sendiri e. Bagaimana kebiasaan belajar siswa f. Apakah siswa sudah mengetahui sedikit tentang latar belakang pokok bahasan yang akan dipelajari g. Apakah tingkat intelegensi siswa tinggi, sedang atau rendah h. Apakah siswa mampu membaca cepat i. Apa saja yang dikuasai oleh siswa (student achievement) j. Bagaimana motivasi belajar siswa k. Apakah yang menjadi harapan siswa setelah mempelajari pokok bahasan tersebut l. Bagaimana aspirasi kebudayaan dan vokasional siswa. 2. Faktor-faktor sosial a. Umur b. Kematangan c. Perhatian (minat) d. Apakah ada siswa teladan dalam satu kelas e. Apakah ada siswa yang cacat fisik
f. Bagaimana hubungan antarsiswa g. Bagaimana latar belakang sosial-ekonomis 3. Kondisi belajar Menurut Dunn & Dunn, kondisi belajar dapat mempengaruhi konsentrasi, pencerapan dan penerimaan informasi. Pengaruh kondisi lingkungan tempat belajar terhadap seseorang dapat mengakibatkan reaksi yang berbeda-beda. Kita sering menyaksikan bahwa anak-anak muda lebih suka belajar sambil mendengarkan musik dari radio atau tape recorder di sampingnya, dengan volume yang cukup besar. Sementara orang lain lebih suka belajar dengan ruangan yang tenang. Dunn & Dunn membagi kondisi belajar menjadi empat golongan: a. Lingkungan fisik (physical environment), seperti pengaruh suaru, cahaya, temperatur, dan pengaturan meja-kursi serta perabotan setempat. b. Lingkungan emosional (emotional environment), seperti, motivasi individu, ketepatan tugas, dan tanggung jawab. c. Lingkungan sosiologis (sociological environment), seperti kebiasaan belajar/bekerja sendiri atau bersama, tanggapan terhadap orang/pejabat yang sedang berkuasa, dan sebagainya. d. Kondisi fisiologis siswa sendiri (student’s owns physiological make up), seperti ketajaman dan kelemahan indera, kebutuhan gizi, tidak atau terlalu banyak mobilitas, penghargaan terhadap waktu sehari-hari, irama kehidupan, dan bagaimana sikapnya terhadap efesiensi tugas-tugasnya. Untuk mengetahui kebiasaan dan kesenangan belajar tiap siswa, seyogyanya pengajar menyusun kuesioner, atau langsung mencari informasi dari tiap siswa tentang kondisi mana yang lebih disukai. Hal ini akan menolong pengajar dalam membantu cara belajar siswa. 4. Teknik belajar Ada siswa/siswa yang belajar lebih efektif dan ada yang tidak. Ada yang lebih mudah mengerti dengan pendekatan visual, ada yang mudah menangkap verbal, dan ada yang lebih cocok bila ada kegiatan praktek, latihan, aktivitas fisik, atau simulasi. Identifikasi teknik belajar ini berkaitan dengan usaha meningkatkan perhatian siswa, dan ini disebut cognitive style mapping. Teknik menyediakan suatu kerangka
dalam menggambar dan mencari sebab-sebab, mengapa individu-individu mempunyai teknik belajar yang berbeda-beda. Ada tiga hal yang perlu diuji sehubungan dengan tingkah laku siswa. a. Sampai seberapa jauh seorang siswa dapat menangkap lambang-lambang teoritis baik berupa kata-kata taupun angka-angka, ketajaman pancaindera, dan penangkapan terhadap hal-hal yang subjektif seperti hal-hal yang berhubungan dengan kebudayaan. b. Bagaimana pengaruh siswa terhadap hal-hal yang diperoleh dari lambang- lambang teoritis di atas. c. Bagaimana tabiat siswa dalam memberi alasan, bagaimana pendekatan pendekatan yang dilakukan oleh siswa terhadap suatu masalah dan proses penyimpulannya. d. Bagaimana kekuatan daya ingat siswa. Untuk mendapatkan data dari keempat hal tersebut mungkin bisa melalui tes diagnostig atau kuesioner. Hasil daripadanya merupakan merupakan indikasi karakteristik, latar belakang akademis dan sosial siswa yang akan berguna dalam pelaksanaan, baik pengajaran individu maupun kelompok. Pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner-kuesioner tersebut memungkinkan pengajar untuk mengetahui sampai berapa jauh tujuan siswa sesuai dengan tujuan pengajar mengenai mata pelajaran tertentu. Perlu diperhatikan, bahwa seorang pengajar tidak bisa sembarangan dalam merubah mata ajaran hanya untuk menyenangkan satu kelas tertentu. Akan tetapi perlu disadari bahwa apabila tujuan siswa dan pengajar mengenai suatu mata ajaran sangat berbeda, maka pengajar sebaiknya menyampaikan tujuan mata ajaran secara persuasif dan menerangkan kepentingan serta relevansinya pada permulaan pembelajaran. Sebaiknya pengajar juga meninjau uraian katalog tentang mata pelajaran tersebut; apabila tujuan siswa berbeda jauh dengan tujuan pengajar, maka uraian mata pelajaran tersebut perlu diperbaharui.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Mengidentifikasi perilaku awal dan karakteristik awal siswa merupakan salah satu unsur penting dalam model pengembangan instruksional. Mengidentifikasinya dengan mengemukakan pendekatan “menerima siswa apa adanya dan menyusun sistem instruksional atas dasar keadaan siswa/siswa tersebut”. Karena itu, mengetahui perilaku yang dikuasai siswa sebelum mengikuti pelajaran diperlukan untuk dapat mencapai tujuan instruksional yang ditetapkan. Dengan kata lain, penetapan suatu tujuan instruksional tergantung pada perilaku awal dan karakteristik awal siswa.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123