Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Jurnal Vol 6 No 1 final cetak

Jurnal Vol 6 No 1 final cetak

Published by bpsdmhumas, 2020-09-01 00:18:55

Description: Jurnal Vol 6 No 1 final cetak

Search

Read the Text Version

Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 b. Pemenuhan Hak-Hak Anak dan Perlindungan Anak Hak Asasi Anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum internasional maupun hukum nasional, termaktub dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International Civil and Political Rights (ICPR). Pembedaan perlakuan terhadap Hak Asasi Anak dengan orang dewasa, diatur dalam konvensi-konvensi Internasional khusus, yang diutarakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak “The child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth..” Deklarasi Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), kembali menekankan prinsip “First Call for Children”, yang menekankan pentingnya upaya- upaya nasional dan internasional untuk memajukan Anak-Anak atas “survival protection, development and participation.” (Dwitamara, 2013) Berkaitan dengan pemenuhan hak-hak Anak dan perlindungan Anak telah diamanatkan dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Bahwa negara harus memberikan peraturan khusus terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Sebagai Negara Pihak Indonesia telah meratifikasi KHA dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap Anak yang mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap ABH. Dalam penanganan ABH, Anak harus diberi perlindungan dengan putusan yang terbaik sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik bagi Anak demi menghindari kerugian mental, fisik dan sosial Anak. Dalam KHA pasal 40 ayat 3 dinyatakan bahwa Negara peserta harus berusaha untuk memajukan pembuatan hukum, proses, kewenangan dan lembaga yang berlaku secara khusus bagi Anak yang diduga, didakwa atau didapati telah melanggar hukum pidana dan terutama. Apabila perlu dan dimungkinkan, dilakukan upaya-upaya untuk menangani Anak-Anak tersebut tanpa melalui proses hukum, dan hak-hak asasi manusia serta jaminan hukum harus dihormati sepenuhnya. Pengaturan lebih jelas dalam Ketentuan Beijing Pasal 11 mengenai diversi yang menyatakan: Jurnal 95 WIDYAISWARA

Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 “Apabila perlu, pertimbangan harus diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk menangani Anak pelaku tindak pidana tanpa mengikuti proses peradilan formal. (Herlina, 2004) KHA adalah sebuah perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Anak. Kesepakatan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar Anak-Anak. Berbentuk dokumen yang berisikan pasal-pasal yang mengatur mengenai hak Anak. Bertujuan menegakkan prinsip-prinsip pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama pada Anak-Anak yang diakui sebagai seorang manusia dan merupakan landasan bagi kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian.(KHA) Indonesia telah mengadaptasi KHA ke dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diubah pada tahun 2014 melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 terakhir diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya, dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif, melakukan kegiatan rekreasional, bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi yang merendahkan derajat dan martabatnya, tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat dan memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum, tidak dipublikasikan identitasnya, memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh Anak, memperoleh advokasi sosial, memperoleh kehidupan pribadi, memperoleh aksesibilitas, terutama bagi Anak cacat, memperoleh pendidikan, memperoleh pelayananan kesehatan; dan hak lainnya sesuai peraturan perundangan. (Pasal 3 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA ) 96 Jurnal WIDYAISWARA

Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak mendapat pengurangan masa pidana, memperoleh asimilasi, memperoleh cuti mengunjungi keluarga, memperoleh pembebasan bersyarat, memperoleh cuti menjelang bebas, memperoleh cuti bersyarat, dan memperoleh hak lain. Hak tersebut diberikan kepada Anak yang memenuhi persyaratan. (Pasal 4 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA) Pemberian hak-hak tersebut diatur dalam Permenkumham No. 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Selanjutnya di masa pandemi Covid-19 dikeluarkan Permenkumham No. 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 c. Peran Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas II Bekasi didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-OT.01.03 Tahun 2019 atas persetujuan MENPAN RB No. B/388/M.KT.1/2019 tanggal 26 April 2019. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Bapas melalui PK menjadi bagian yang tidak terpisahkan bekerja bersama APH dan Pihak terkait untuk penanganan ABH dari awal Anak diduga melakukan tindak pidana dan dijadikan tersangka hingga Anak menyelesaikan masa hukumannya. Selain mengatur tentang penganganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum juga menangani perkara Anak Korban, dan/atau Anak Saksi. Dalam hal ini Pembimbing Kemasyarakatan, bersama dengan Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.( Pasal 18 UU N0 11 Tahun 2012 Tentang SPPA) Tugas Pembimbing Kemasyarakatan dalam penanganan ABH yaitu 1). membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses diversi dan pelaksanaan Jurnal 97 WIDYAISWARA

Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dillaksAnakan. 2). Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak. 3). Menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas kemasyarakatan lainnya. 4). Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan. 5). Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.(Pasal 65 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA) Pertimbangan dalam memberikan rekomendasi hasil Litmas untuk melakukan diversi antara lain, kategori tindak pidana, bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas diversi, dalam hal umur dijelaskan pula bahwa semakin muda Anak semakin tinggi prioritas diversi, dan adanya dukungan lingkungan keluarga juga masyarakat. (Pasal 9 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA). Dalam kegiatan penelitian kemasyarakatan (Litmas), Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pemeriksaan secara komprehensif untuk penggalian/assessment mengenai latar belakang Anak yang berkonflik dengan hukum, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial serta latar belakang dilakukannya tindak pidana dan juga keadaan korban, guna menghasilkan rekomendasi intervensi yang memulihkan pelaku Anak, dan untuk kepentingan terbaik Anak. Kondisi Bapas Kelas II Bekasi saat ini jumlah pegawai 11 orang terdiri dari 1 (satu) Ka Bapas, 1 (satu) Kasub BKD, 1 (satu) Kasub BKA, 1 (satu) Kaur TU, JFT PK sebanyak 6 (enam) orang terdiri dari 1 (satu) PK Madya pegawai definitif, 1 (satu) PK Muda Pegawai definitif, dan 4 (empat) PK Pertama yang terdiri 2 (dua) PK dari Bapas Bandung, dan 2(dua) PK dari Bapas Bogor berstatus BKO. Sesuai aturan bila di suatu kabupaten kota belum terdapat PK yang memenuhi persyaratan, maka tugas dan fungsi PK dilaksanakan oleh petugas LPKA atau LPAS atau belum terbentuknya LPKA atau LPAS dilaksanakan oleh petugas Rutan dan Lapas. (Pasal 64 ayat (3) UU No 11 Tahun 2012 tentang SPPA). 98 Jurnal WIDYAISWARA

Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya. Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. Mengenai keterkaitan tugas antara Bapas LPKA dan LPAS lebih terperinci diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-03.OT.02.02 Tahun 2014 tentang Pedoman Perlakuan Anak di Balai Pemasyarakatan (Bapas), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam keputusan tersebut bermuatan antara lain sebagai acuan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Bapas, LPAS dan LPKA, yang didalamnya mengatur tentang garis-garis besar perlakuan terhadap anak, meliputi mekanisme, prosedur, pelayanan, koordinasi, monitoring, evaluasi dan pelaporan, melalui 3 (tiga) Pedoman Perlakuan Anak yaitu : Pedoman Bapas, Pedoman LPAS dan Pedoman LPKA. Data ABH kabupaten karawang, kota karawang, sejak menjadi satker bapas Bandung untuk selanjutnya menjadi wilayah kerja Bapas Bekasi, dari bulan Januari s.d Desember 2019, dan data dari bulan Januari 2020 s.d bulan April 2020, untuk wilayah kerja Kabupaten Karawang, Kota Karawang, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi yang berhasil dihimpun, sebagai berikut: Tabel 3. Data ABH Bapas Bekasi Periode Januari 2019 s.d April 2020 Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa Peran PK dalam penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum sesuai Pasal 65 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA yaitu, membuat laporan penelitian kemasyarakatan baik untuk kepentingan diversi maupun untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam Jurnal 99 WIDYAISWARA

Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 perkara Anak, serta menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas kemasyarakatan lainnya, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan, dan Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. Berkaitan dengan pembuatan litmas berdasarkan hasil wawancara dengan para PK antara lain, Rizki Syahid J, SH, mengatakan bahwa rekomendasi hasil litmas seringkali tidak sesuai dengan putusan, artinya ada ketidak selarasan antara rekomendasi yang dibuat dengan implementasi. Kemudian berkaitan dengan penempatan ABH, penempatannya masih ada yang disatukan antara Anak dengan orang dewasa, sehingga Anak mendapatkan tekanan (pressure) dari tahanan dewasa mengakibatkan terjadi kekerasana terhadap Anak, hal tersebut perlu di sampaikan, sebagai upaya perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak Anak, demi kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi tanggungjawab bersama seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Maka pemenuhan atas hak-hak Anak serta perlindungan Anak harus menyeluruh dan komprehensif sebagaimana telah diatur dalam Undang Undang Perlindungan Anak maupun peraturan Teknis pelaksanaannya. Kemudian dalam penyelesaian perkara Anak melalui proses diversi, seringkali terjadi kegagalan dalam proses diversi, sebagai contoh adanya kasus yang disampaikan oleh Jumadi, SH.,MH pada kasus yang ditanganinya terjadi kegagalan dalam proses diversi, ketika menangani 2 (dua) kasus, satu kasus gagal diversi di penyidik dan satu kasus gagal diversi di penuntut. Hal tersebut terkait dengan adanya ketidak- sepahaman antara PK dan APH khususnya di tingkat penyidik, sehingga berakibat pada situasi tersebut dimanfaatkan oleh pihak keluarga korban meminta ganti rugi yang cukup besar kepada keluarga dari Anak yang berkonflik dengan hukum, hal tersebut menjadi salahsatu penyebab tidak tercapainya kesepakatan diversi. Senada dengan itu Sayuti Malik M.Si yang menangani kasus pengeroyokan yang dilakukan oleh 7 Anak, yang penangkapan dan penahanan terhadap Anak dilakukan oleh Unit Rekrim polres Metro Bekasi bukan di tangani oleh Unit PPA. Dengan dakwaan melanggar Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang 100 Jurnal WIDYAISWARA

Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 351 KUHP. Menurut Sayuti semestinya Anak dapat didiversi namun terjadi lagi perbedaan persepsi dengan penyidik. Melengkapi pendapat tersebut Ruscaya, SH serta dua rekannya Mardella Galih P, SH dan Agung Helmi A,SH sependapat menyatakan bahwa masih tingginya Anak yang mendapatkan putusan pidana karena adanya perbedaan persepsi antara PK dan APH dalam penanganan ABH. Maka permasalahan terkait belum sefaham nya APH dan para pihak dalam hal penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum diperlukan persamaan persepsi sesuai dengan standar kompetensi yang harus dicapai salahsatu media yang tersedia saat ini untuk penyamaan persepsi tersebut ialah melalui Pelatihan Terpadu mengenani Sistem Peradilan Pidana Anak. IV. Kesimpulan Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak PK menjadi bagian yang tidak terpisahkan bekerja bersama APH dan pihak terkait untuk penanganan ABH, dari awal Anak diduga melakukan tindak pidana dan dijadikan tersangka hingga Anak menyelesaikan masa hukuman dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA. Akan tetapi terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak Anak masih belum maksimal karena masih terjadi kekerasan terhadap ABH. Untuk memaksimalkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak Anak maka diperlukan penyamaan persepsi di antara PK dan APH. Dengan demikian, dalam penanganan ABH walaupun dalam penanganannya telah mempedomani UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA bila dikaitkan dengan perlindungan Anak dan pemenuhan hak-hak Anak belum maksimal, karena masih adanya kekerasan terhadap Anak. DAFTAR PUSTAKA Briantika, A. (2020). Remaja Pembunuh Balita. https://tirto.id/remaja- pembunuh-balita-apa-penjara-Anak-bisa-jamin-pelaku-jera-eD3M David Setyawan. (2019). KPAI Sebut Pelanggaran Hak Anak Terus Meningkat. https://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-pelanggaran- hak-Anak-terus-meningkat Jurnal 101 WIDYAISWARA

Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Dwitamara, T. (2013). PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI MENGENAI HAK ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI INDONESIA (Studi di Pengadilan Negeri Surabaya dan Rumah Tahanan Medaeng). Perspektif, 18(2), 97. https://doi.org/10.30742/ perspektif.v18i2.118 Herlina, A. (2004). Restorative Justice. Jurnal Kriminologi Indonesia, 3(III), 19–28. https://doi.org/10.1177/026455050004700118 Data Primer Bapas Bekasi Periode Januari 2019 s.d April 2020 Andri, Gunawan , Sri Nurbayanti, Herni (2018). Panduan Pelaksana Penanganan Anak melalui Proses Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak berdasarkan PP no. 65 tahun 2015, Diterbitkan oleh :UNDP – Improving Restorative Justice Through Integration (IRJI), Menara Thamrin Lt. 9, Jl. M.H. Thamrin Kav. 3, Jakarta, Cetakan Pertama. Universal Declaration of Human Right (UDHR) International Covenant on Civil and Political Rights Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966, entry into force 23 March 1976, in accordance with Article 49 Convention on the Rights of the Child Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 44/25 of 20 November 1989 entry into force 2 September 1990, in accordance with article 49 United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (“The Beijing Rules”) Adopted by General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Permenkumham No. 03 Tahun 2018 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat ******** 102 Jurnal WIDYAISWARA


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook