Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 perilaku ASN di instansi pemerintah; belum berperannya pimpinan sebagai role model; belum terbangunnya sistem whistle blower; dan belum terbangunnya sistem informasi pelanggaran” (KASN, 2018). Pelanggaran kode etik dan kode perilaku sangat beragam seperti pelanggaran peraturan per-Undang-Undangan maupun pelanggaran terhadap administrasi sesuai poin-poin yang tercantum pada aturan yang dibuat setiap instansi. Seperti halnya yang disampaikan dalam LAKIP Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan Ham, tahun 2019, bahwa terdapat 156 PNS di Kementerian Hukum dan Ham yang dikenai hukuman disiplin sesuai Peraturan Pemerintah Nomor : 53 Tahun 2010; dan sebanyak 231 PNS sedang dalam proses penuntasan. Apabila kita cermati tentu terlihat secara umum pelanggaran yang dilakukan bersifat pelanggaran yang berujung pada pidana maupun pelanggaran administrasi. Pelanggaran yang berujung pidana banyak kita cermati dengan banyaknya ASN yang terjerat dengan Undang-Undang tindak pidana korupsi, penipuan, penggelapan dan lain-lain. Sedangkan pelanggaran yang bersifat administrasi dan berakhir pada penjatuhan sanksi administrasi antara lain : pelanggaran disiplin, keperfihakan dalam pemilu maupun pilkada. Kualitas pelayanan publik memang perlu mendapatkan perhatian bersama. Biasanya kualitas pelayanan selalu menjadi keluhan utama bagi masyarakat. Anggota masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan masih sering kita dengar mengeluh tentang sulitnya memperoleh akses pelayanan publik, dan kalau didapatkan akses pelayanan seringkali pula pengguna jasa pelayanan mengeluh karena mendapatkan pelayanan yang kurang menyenangkan apalagi memuaskan dari pemberi pelayan yaitu pegawai ASN. Hal ini dapat merujuk pada laporan yang menyebutkan “pada tahun 2019 Ombudsman Republik Indonesia menerima laporan masyarakat sebanyak 7.903 laporan. Dari jumlah laporan tersebut sebesar 5.464 laporan telah diregistrasi dan ditindaklanjuti sedangkan sisanya sedang dalam proses pemeriksaan materiil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.” (ORI, 2020). Jurnal 45 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Barangkali masyarakat telah terburu-buru memberikan stigma kepada ASN yang bersifat negative seperti : malas, hanya mencari kedudukan, kurang peduli kebutuhan masyarakat dan sebagainya tanpa mengetahui kondisi riilnya. Terdapat peran ganda pada setiap orang yang berstatus sebagai anggota ASN. Satu fihak berperan sebagai bagian anggota masyarakat, dalam kondisi yang bersamaan mereka berperan sebagai ASN. Konflik kepentingan kadang menjadi dilema yang harus dihadapi. Demi kepentingan masyarakat tidak jarang dihadapkan pada tuntutan yang harus dipenuhi sementara ASN diharuskan mengikuti atuan, prosedur dan bahkan petunjuk pimpinan. Padahal masyarakat hanya memandang hakekat pelayanan publik (masyarakat) itu sendiri yaitu untuk memnuhi kebutuhan masyarakat. Berdasar pada uraian tersebut diatas penulis memformulasikan masalah sebagai : Bagaimana urgensi ketaatan kepada penerapan kode etik dan kode perilaku ASN terhadap penguatan pelayanan masyarakat ? II. Metodologi Penelitian Untuk menjawab permasalahan tersebut akan dipergunakan metode deskriptif, yaitu metode yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi ASN dari data pelanggaran kode etik, kemudian dilakukan analisis untuk menemukan jawaban terhadap permasalahan. Informasi dalam penulisan ini didasarkan pengumpulkan data yang bersumber pada data sekunder terdiri : a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu : 1. Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2014 Tentang Aparatus Sipil Negara 2. Undang-Undang Nomor :25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik 3. Peraturan Pemerintah Nomor : 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS 4. Peraturan Pemerintah Nomor : 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer untuk dapat membantu 46 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 memberikan pemahaman terhadap hukum primer, seperti : buku, tulisan para ahli, hasil kajian dan laporan. c. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi terkait sumber data primer dan sumber data sekunder seperti : kamus, artikel, koran dan berita dari internet. Metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status seklompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskritif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1988). III. Pembahasan 1. Kode Etik dan Kode Perilaku Sebelum meninjau tentang kode etik dan kode perilaku, penting kiranya untuk mengenal sesuatu hal yang memiliki kaitan pengertian erat dan bahkan lebih umum dikenal masyarakat, yaitu “etika”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, memberikan pengertian “etika adalah system nilai atau norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau sekelompok untuk bersikap atau bertindak”. Selain itu di dalam kehidupan sebuah bangsa istilah etika juga dikenal di Perancis dengan istilah “etiquete” yang berarti tata pergaulan yang baik antar manusia, atau peraturan/ketentuan yang menetapkan tingkah laku yang baik dalam hubungan dengan orang lain. Untuk bangsa Indonesia kita biasa memberikan kata sepadan dengan istilah “tata krama” di mana tata dapat diartikan sebagai aturan atau norma; sedangkan krama dapat diartikan sopan santun, tindakan dan perbuatan. Ditinjau dari teori, etika diberikan pengertian secara lebih jelas dimana menurut Martin dalam (Widapratama dan Raharjo, 2017), etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus Jurnal 47 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Dari uraian pendapat tersebut secara struktur hubungan antar manusia tersebut sebenarnya memiliki kedudukan yang sama. Apabila kita kaitkan dengan penyelenggaraan sebuah profesi maka pelaku profesi memiliki derajat yang sama dengan klien sebagai penerima jasa profesi. Namun dalam kenyataannya dikarenakan klien tidak memiliki keahlian tehnis sebagaimana yang disyaratkan oleh pelaku profesi, maka klien tidak memiliki kemampuan untuk menilai dari apa yang dilakukan pemegang profesi, Dengan demikian dapat dikatakan relaitasnya antara pelaku profesi dengan klien tidak sederajat. Seorang anggota Aparatur Sipil Negara pada umumnya dibedakan dalam tugas bidang kerja masing – masing yang dikenal dengan profesi. Apakah bidang tugas Aparatur Sipil Negara adalah sebuah profesi? Untuk menggambarkan kita perlu mengurai telebih dahulu apa itu profesi? Mungkin dalam pergaulan sehari-hari kita mengenal profesi adalah sebuah pekerjaan (tetap) yang mendatangkan pendapatan semacam gaji, baik pekerjaan itu dilakukan secara legal maupun illegal. Profesi diartikan sebagai setiap pekerjaan untuk memperoleh uang. Dalam arti yang lebih teknis, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran tinggi. Keahlian tersebut diperolah melalui proses pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan tertentu, latihan secara intensif atau kombinasi dari semua itu (Sidharta, 2015). Dengan memperhatikan substansi yang kemukakan pendapat tersebut, maka pekerjaan sebagai Aparatur Sipil Negara telah memnuhi kriteria yang dapat dikatgorikan sebagai sebuah profesi. 48 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Terlepas pandangan setuju atau tidak setuju dari masyarakat tentang kategori Aparatur Sipil Negara sebagai profesi, dalam kenyataannya status ASN pada umumnya memiliki standar baik menyangkut sikap maupun perilaku yang ditetapkan oleh instansi di mana mereka bekerja. Pedoman yang ditetapkan dan diberlakukan dilingkungan Aparatur Sipil Negara ini dikenal dengan “kode etik dan kode perilaku.” Business Dictionary memberikan pengertian “Kode Etik” sebagai pedoman tertulis yang dikeluarkan suaatu organisasi untuk pegawai dan manajemen dalam rangka menolong mereka berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan standar etika organisasi (KASN, 2018). Dalam implementasinya peraturan yang memuat kode etik dan kode perilaku dibuat dan diberlakukan kepada pegawai sesuai dengan bidang profesi masing-masing instansi. Hal ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor: 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Pasal 13 ayat (1) berbunyi : Berdasarkan ketentuan kode etik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini : a. Pejabat Pembina Kepegawaian masing-masing instansi menetapkan kode etik instansi; b. Organisasi profesi di lingkungan Pegawai Negeri Sipil menetapkan kode etiknya masing-masing (PP: 42 Tentang Pembinaan Jiwa Korps Dan Kode Etik PNS, 2004) Sebagai realisasi penetapan kode etik di instansi sesuai bidang masing-masing dapat diambil contoh di lingkungan Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia, telah diterbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor : M.HH-02.KP.05.02 Tahun 2010 Tentang Kode Etik Pegawai Imigrasi. Demikian juga telah diterbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor : M.HH-16 KP.05.02 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan. Sedangkan untuk ASN yang melaksanakan profesi bersifat fungsional mengikuti kode etik yang ditetapkan oleh ikatan profesinya seperti kode etik Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI). Jurnal 49 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Untuk mengawasi pelaksanaan peraturan terkait kode etik dan kode perilaku ASN, Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada KASN berkaitan dengan kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajeman ASN untuk menjamin perwujudan sistem marit serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN (UU No/ : 5 Tentang Aparatur Sipil Negara, 2014). Sedangkan untuk lebih mengintensifkan pengawasan penerapan peraturan kode etik di setiap bidang profesi dilakukan oleh majelis kode etik, baik yang dibentuk pada tingkat pusat maupun daerah. Dengan demikian terdapat beberapa instrument yang mengatur ASN dan termasuk didalamnya adalah PNS terkait kode etik dan kode perilakunya yaitu : a. Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara; b. Peraturan Pemerintah Nomor : 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan c. Peraturan Pemerintah Nomor : 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. 2. Pelayanan Publik Landasan yuridis atas fungsi Aparatur Sipil Negara telah ditegaskan dalam pasal 3 huruf (b) Undang-undang Nomor : 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Demikian juga sebagai pelayan masyarakat tugas ASN ditegaskan kembali pada pasal 10 huruf (b) dan pasal 11 huruf (b) Undang-Undang ASN yaitu memberikan pelayanan publik secara profesional dan berkualitas. Sesuai dengan khitahnya ASN direkrut, diberikan pendapatan oleh Negara ditujukan untuk memberikan pelayanan terkait kebutuhan seluruh masyarakat. Dengan demikian dalam narasi yang lain bahwa ASN adalah abdi masyarakat dalam arti membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sebagai warganegara. Lingkup kegitan yang harus dilakukan ASN telah termaktub dengan tegas sebagai berikut : “Pelayanan Pubik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk, atas barang, jasa dan/ pelayanan administratif yang diselenggarakan oleh pelayan publik” (UU No. 25, 2009). 50 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Dengan demikian kualitas pelayanan masyarakat tidak dapat ditentukan secara sefihak oleh penyelenggara pelayanan, melainkan masyarkat sangat menentukan sesuai dengan tingkat kualitas pelayanan yang dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan, bahwa berbicara menggenai kualitas pelayanan, ukurannya bukan hanya ditentukan oleh fihak yang melayani saja, akan tetapi lebih banyak pada yang dilayani, karena merekalah yanag menikmati layanan; sehingga dapat mengukur kualitas pelayanan berdasarkan harapan-harapan mereka dalam memenuhi kepuasannya (Sidharta, 2003). Menyikapi atas kedudukan yang diberikan oleh Negara kepada ASN , maka sudah selayaknya setiap anggota ASN wajib untuk bekerja dengan integritas tinggi kepada Negara dan Pemerintah yang sudah barang tentu harus berdasarkan dasar Negara Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Tuntutan untuk berintegritas, bersikap jujur dan mencurahkan pikiran dan tenaganya, merupakan sifat kodrati tuntutan manusia pada umumnya kepada siapapun yang dianggap dapat memenuhi segala kebutuhan mereka. Menjadi penyelenggara pelayanan publik merupakan kepercayaaan; yang harus selalu diingat dan dijadikan motivasi semua aktifitasnya; karena kepercayaan merupakan sebuah dampak dari seluruh harapan dan sekaligus penilaian masyarakat. Pelayanan Publik adalah kepercayaan publik. Warganegara berharap pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber penghasilan secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pelayanan Publik yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan menghasilkan kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan public, sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. (Lewis, and Gilman, 2005). 3. Pentingnya Kode Etik dan Kode Perilaku Tata nilai yang ditetapkan sebagai kode etik dan kode perilaku merupakan pedoman bagi setiap Aparatur Sipil Negara dengan berbagai profesinya, sekaligus merupakan pondasi pengetahuan dasar dalam menjalankan perilaku profesinya. Seseorang dengan pofesinya setidaknya akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam upaya Jurnal 51 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 memenuhi kebutuhan mereka sebagai warga negara adalah sebuah perbuatan yang baik. Dengan demikian seluruh upaya dan tindakan yang dilakukan didorong oleh nilai-nilai kebaikan. Sebaliknya atas dasar pengetahuan itu setidaknya akan menumbuhkan sebuah kesadaran bahwa nilai kebaikan itu menjadi tuntutan masyarakat, sehingga apabila melakukan tindakan di luar harapan masyarakat adalah perbuatan yang tidak baik. Perspektif penerapan kode etik dan kode perilaku ASN dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu bagi pelaku penyelenggaraan pelayanan publik yaitu ASN dan fihak yang merasakan manfaat yaitu masyarakat. Tentu saja dari fihak masyarakat mengharapkan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota ASN tidak boleh menciderai asas pelayanan masyarakat yang baik. Seorang ASN senantiasa harus meletakkan kepentingan masyarakat bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi dan golongannya. Segala perilaku penyelenggaraan pelayanan masyarakat harus berpedoman pada kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tampa membeda-bedakan masyarakat atas dasar suku, ras, agama maupun golongan. Pada dasarnya masyarakat memiliki hak yang sama sebagai warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan, sehingga berpengaruh kepada sifat pelayanan masyarakat oleh penyelenggara pelayanan masyarkat itu sendiri, yaitu tidak boleh memihak kepada kepentingan siapapun kecuali untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia. Secara jelas asas pelayanan publik telah tercantum dalam pasal 4 Undang-undang Nomor: 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Yang meliputi : a. Kepentingan umum, b. Kepastian hukum, c. Kesamaan hak, d. Keseimbangan hak dan kewajiban, e. Keprofesionalan f. Partisipatif, g. Persamaan Perlakuan/Tidak diskriminatif, h. Keterbukaan, i. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, j. Ketepatan waktu, dan k. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. 52 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Perspektif atau sudut pandang lain untuk melihat keberadaan kode etik dan kode perilaku adalah dari pelaku penyelenggara pelayanan public, yaitu ASN sendiri. Penetapan kode etik dan kode perilaku bagi ASN terkandung maksud yang sangat mulia yaitu untuk menjaga martabat dan kehormatan Aparatur Sipil Negara (UU No/ : 5 Tentang Aparatur Sipil Negara, 2014). Kedudukan seorang penyelenggara pelayanan publik merupakan manifestasi dari kepercayaan masyarakat, bahwa penyelenggara pelayanan publik mampu untuk mengendalikan diri dari segala perbuatan yang merendahkan harga diri. Martabat sebagai ciptaan Tuhan, seorang manusia memiliki derajat yang lebih tinggi di antara mahluk lain, karena manusia diberikan akal budi yang dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Melalui akal budi itulah seorang penyelenggaara pelayanan masyarakat harus mampu mengendalikan diri untuk selalu berjalan di atas kebenaran. Demikian juga dengan kehormatan merupakan kosa kata yang sangat berkaitan dengan martabat, di mana kehormatan merupakan pernyataan rasa hormat atas perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perilaku di dalam kebenaran, kejujuran dan taat kepada aturan. Kehormatan kepada penyelenggara pelayanan publik akan akan muncul manakala para pelakunya meanunjukkan perbuatan yang memanifestasikan sebuah kebenaran, kejujuran dan taat kepada aturan yang telah ditetapkan. Penghargaan dari masyarakat berupa rasa hormat tersebut akan berdampak secara umum memperkuat kedudukan martabat penyelenggara pelayanan publik di mata masyarakat, Ketaatan merupakan sikap yang akan menuntun kepada komitmen untuk melaksanakan pedoman yanag telah ditetapkan. Internalisasi sebuah pedoman perilaku yang dimasukkan ke dalam sanubari setiap anggota penyelenggara pelayanan publik menjadi kunci keberhasilan untuk menumbuhkan kesadaran akan ketaatan. Proses transformasi pengetahuan yang ditetapkan dengan sebutan kode etik dan kode perilaku bagi Aparatur Sipil Negara kedalam penyadaran diri memerlukan upaya secara sungguh-sungguh. Untuk itu setiap penyelenggara pelayanan publik perlu menginternalisasi nilai-nilai yang terkandung didalam kode etik dan kode perilaku sebelum mengimplementasikan dalam bentuk perbuatan. Adapun kode etik dan kode perilaku pegawai ASN Jurnal 53 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 tercantum dalam pasal 5 ayat (2) Undang-undang nomor : 5 Tahun 2014 yang meliputi : a. Melaksanaka tugasnya dengan jujur, bertanggung-jawab dan berintegritas tinggi b. Melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin c. Melayani dengan sikap hormat, sopan dan tanpa tekanan; d. Melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan per- Undang-Undangan e. Melaksanakan tugas sesuai dengan perintah atasan atau paejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan per-Undanag-Undangan dan etika pemerintahan; f. Menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan Negara; g. menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien; h. menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya; i. memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan; j. tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain; k. memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN; dan l. melaksanakan ketentuan peraturan per-Undang- Undangan mengenai disiplin Pegawai ASN. Untuk menjawab permasalahan tentang apa korelasinya antara mentaati kode etik dan kode perilaku ASN dengan kinerja pelayanan penyelenggaraan pelayanan publik? Tentu saja kita tidak boleh melupakan maksud pembuat Undang-Undang bahwa tujuan ditetapkannya kode etik dan kode perilaku ASN bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN. Dengan demikian apabila butir-butir yang ditetapkan di dalam kode etik dan kode perilaku ASN tidak dijalankan atau tidak ditaati oleh seorang pegawai ASN, maka akan mempengaruhi pelaksanaan fungsi pelayanan yang diembannya. Pada kenyataaanya masih banyak pegawai ASN yang masih melanggarnya. Kajian Komisi Aparatur Sipil Negara 54 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 menunjukkan bahwa data narapidana berstatus PNS aktif tahun 2017 terdapat 1.879 PNS yang tersandung kasus hukum, yang terdiri dari 1.082 orang (58%) terkena kasus korupsi, 382 orang (17%) terjerat kasus narkoba; 95 orang (5%) kasus penipuan, 152 orang (8%) kasus perlindungan anak, dan sisanya 211 orang (12%) kasus lain seperti penggelapan, pembunuhan (KASN, 2018). Dalam tahun 2018 kasus yang menimpa ASN mengalami peningkatan. Data Kedeputian BKN Bidang Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian (Wasdalpeg) menetapkan sebanyak 991 ASN yang terlibat dalam pelanggaran netralitas data per - Januari 2018 s/d Juni 2019 (BKN, 2019). Sedangkan ASN yang tersandung kasus korupsi terus meningkat. Direktur Wasdal Bidang Gaji, Tunjangan, Kesejahteraan dan Kinerja, Paryono, menyampaikan bahwa sampai akhir tahun 2018 telah ditemukan sebanyak 2357 PNS yang tersangkut kasus tipikor yang harusnya segera ditindaklanjuti oleh PPK (BKN, 2018). Hal senada untuk tingkat kementerian yaitu Kementerian Hukum dan Ham sebagaimana disampaikan dalam laporan Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan Ham, tahun 2019, bahwa terdapat 156 PNS di Kementerian Hukum dan Ham yang dikenai hukuman disiplin sesuai Peraturan Pemerintah Nomor : 53 Tahun 2010; terdiri 34 PNS kategori ringan, 45 PNS kategori sedang, 49 kategori berat dan 29 PNS dikenai sanksi Administrasi sesuia PP 11 Tahun 2017. Selain itu masih terdapat hasil monitoring selama tahun 2019 sebanyak 231 PNS sedang dalam proses penuntasan (Lakip, 2019). Data yang dihasilkan KASN, BKN dan Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan Ham tersebut menunjukkan bahwa banyak ASN yang melakukan pelanggaran hukum dan pasti telah melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan kode perilaku ASN. Fakta tersebut menarik untuk mencari jawaban kenapa pegawai ASN masih banyak yang melanggar? Persoalan ini tentu saja bukan menjadi permasalahan perseorangan anggota ASN, melainkan menjadi tanggung jawab secara kolektif keseluruhan ASN untuk ikut mengambil peran. Peran yang dapat dimainkan dapat dimulai dari pengetahuan terhadap butir-butir ketetapaan kode etik dan kode perilaku ASN. Pengetahuan yang diperolah akan menunjukkan bahwa instansi memang telah menetapkan kode etik sesuai profesi yang dikerjakannya. Tuntutan selanjutnya adalah perlunya dorongan untuk menginternalisasi butir-butil kode etik dan kode perilaku Jurnal 55 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 kedalam jiwa sanubarinya guna menghasilkan kesadaran untuk menjadikan pedoman yang mendasari perbuatannya terkait statusnya sebagai ASN. Disisi lain sesuai dengan struktur kepegawaian, ada sebagian besar pegawai pelaksana ada sebagian kecil sebagai Pembina. Peran Pembina sangatlah penting dimana sesuai dengan kedudukannya Pembina berperan sebagai penegak pelaksanaan kode etik dan kode perilaku ASN, khususnya yang menjadi lingkup pembinaannya. Peran pemimpin sekaligus Pembina dapat diperluas dengan menciptakan kondisi dan system yang kondusif agar penerapan pelaksanaan kode etik dan kode perilaku menjadi efektif. Pengenaan sanksi kepada yang melanggar merupakan salah satu cara untuk menjamin keefektifan pelaksanaannya. Kajian Komisi Aparatur Sipil Negara mengungkapkan penyebab terjadinya pelanggaran kode etik dan kode perilaku oleh pegawa ASN yaitu : 1. Belum efektifnya penegakan penerapan kode etik ASN 2. Pimpinan belum berperan sebagai role model dalam penerapan kode etik ASN 3. Belum terbangunnya system whistle blower dan 4. Belum terbangunnya system informasi pelanggaran kode etik untuk mempermudah penelusuran rekam jejak. (KASN, 2018). Berkaca pada hasil kajian KASN tersebut menunjukkan bahwa untuk dapat menerapkan kode etik dan kode perilaku kalangan ASN diperlukan peran dari semua orang yang tergabung sebagai ASN. Sinergitas dan kolaboratif merupakan cara yang dapat dilakukan guna menghasilkan persamaan persepsi antar unsur ASN. Dengan terciptanya kesatuan persepsi dapat mendorong tumbuhnya kesadaran penerapan kode etik dan kode perilaku, yang pada gilirannya akan memperkuat penyelenggaraan fungsi pelayanan kepada masyarakat. IV. Kesimpulan Pegawai ASN merupakan garda terdepan yang mengemban fungsi pelayanan publik/masyarakat. Dalam melaksanakan funsinya ASN diharapkan untuk dapat bekerja secara profesional, sesuai 56 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 ketentuan peraturan per-Undang-Undangan, tanpa diskriminatif dan selalu berpegang pada akuntabilitas. Untuk dapat menunjukkan sebagai aparat yang dipercaya, memiliki martabat dan kehormatan dihadapan masyarakat, setiap pegawai ASN perlu mengetahui, memahami dan manaati kode etik dan kode perilaku ASN dalam setiap tindakannya baik dalam berdinas maupun di masyarakat. Data hasil kajian menunjukkan bahwa masih banyak pegawai ASN yang melanggar kode etik dan kode perilaku ASN, sehingga permasalahan ini menjadi keprihatinan sekaligus tantangan kita bersama untuk berusaha membangun citra ASN dari lingkung instansi/organisasi yang paling kecil. Peran semua fihak sangat penting dapat dilakukan dengan bersinergi dan berkolaborasi di semua tingkatan struktural organisasi untuk menjamin diterapkannya kode etik dan kode perilaku ASN secara efektif . Melalui pelaksanaan yang efektif sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan bagi ASN, diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan fungsi pelayanan masyarakat. Daftar Pustaka : BKN. (2018). Outlock Progam 2019 BKN. www.bkn.go.id %3E outlook-program-2019-bkn BKN. (2019). Siaran Pers. www.bkn.go.id%3E siaran-pers KASN. (2018). Polecy Brief-pentingnya kode etik dan kode perilaku untuk embangun profesinalitas ASN. KASN. https:// www.kasn.go.id Lakip. (2019). LAKIP Itjen Kemenkumham. https:// itjen.kemenkumham.go.id Lewis, and Gilman, S. C. (2005). The Ethics Challange in Public Service; A Problem Solving Guide. Market Street, San Fransisco, Jossey-Bass. Nazir. (1988). Metode Penelitian. Jakarta, Ghalia Indonesia. ORI. (2020). Laporan pengaduan ASN 2019. https:// ombudsman.go.id Jurnal 57 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 PP: 42 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, (2004). Rompas et al. (2010). Kreasi Good Governance Suatu Eksoterik Mutlak. Sidharta, B. A. (2003). Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta, Elex Media, Komputindo. Sidharta, B. A. (2015). Etika dan Kode Etik Profesi Hukum. Journal Unpar. Ulisah, S. (2016). Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Terhadap Sosial Perubahan Pembangunan Oleh Masyarakat. Undip. UU No. 25, Pub. L. No. Nomor/ : 25 Tahun 2009 (2009). UU No/ : 5 Tentang Aparatur Sipil Negara, (2014). Widapratama dan Raharjo. (2017). Pentingnya memahami Peran dan Fungsi serta kode etik supervisi pekerja sosial. Jurnal Penelitian Dan PKM. Ulisah, S. (2016). Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Terhadap Sosial Perubahan Pembangunan Oleh Masyarakat. Undip. UU No. 25, Pub. L. No. Nomor/ : 25 Tahun 2009 (2009). UU No/ : 5 Tentang Aparatur Sipil Negara, (2014). Widapratama dan Raharjo. (2017). Pentingnya memahami Peran dan Fungsi serta kode etik supervisi pekerja sosial. Jurnal Penelitian Dan PKM. ******** 58 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 PENGELOLAAN PENGADUAN PELAYANAN PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM DAN REGULASINYA Elis Widyaningsih Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI [email protected] Abstrak Pengelolaan pengaduan pelayanan publik sangat diperlukan rangka mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Dengan menggunakan metode pengolahan data secara kualitatif, tulisan ini membahas berbagai regulasi sebagai turunan dari UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dalam bidang pengelolaan pengaduan pelayanan publik serta bagaimana Kementerian Hukum dan HAM melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan pelayanan publik. Dari hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat peraturan perundang- undangan yang harmoni terkait dengan Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik yaitu mulai dari Undang-undang, Perpres sampai dengan PermenPANRB. Sedangkan untuk Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Penanganan Laporan Pengaduan di Lingkungan Kemenkumham, yang terkait laporan pengaduan pelayanan publiknya perlu disesuaikan dengan Pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian PANRB. Kata kunci: Pelayanan Publik, Pengelolaan Pengaduan, Regulasi Abstract The management of public service complaints is very much needed in order to realize quality and fair public services for the entire community. Using qualitative data processing methods, this paper discusses various regulations as a derivative of Law Number 25 Year 2009 concerning Public Services in the field of managing public service complaints and how the Ministry of Law and Human Rights implements policies on managing public service complaints. From Jurnal 59 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 the results of the discussion it can be concluded that there are harmonious laws and regulations related to the Management of Complaints of Public Services, starting from the Law, the Presidential Regulation to the PermenPANRB. Whereas for Minister of Law and Human Rights Regulations on Handling Complaints Reports within the Ministry of Law and Human Rights, those related to public service complaint reports need to be adjusted to the National Public Service Complaints System Guidelines issued by the Ministry of PANRB. Keyword: Public Service, Complain Management, Regulation I. Pendahuluan U ndang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Kementerian Hukum dan HAM juga menyelenggarakan pelayanan administatif terkait tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pelayanan administratif ini dilaksanakan di jajaran Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdapat 10 (sepuluh) komponen penyelenggaraan pelayanan publik yang meliputi (LAN, 2012): 1. Standar pelayanan; 2. Maklumat pelayanan; 3. Sistem informasi pelayanan publik; 4. Pengelolaan sarana prasarana dan/atau fasilitas pelayanan publik; 5. Pelayanan khusus; 6. Biaya/tarif pelayanan publik; 7. Perilaku pelaksana dalam pelayanan; 8. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik; 9. Pengelolaan pengaduan; 10. Penilaian kinerja. 60 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB, 2019) dalam paparannya menyebutkan, bahwa di lapangan sering ditemui 3 kendala utama dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik yaitu: 1. Rendahnya kepatuhan/implementasi Standar Pelayanan mengakibatkan berbagai jenis maladministrasi yang didominasi oleh pelanggaran perilaku aparatur atau masalah sistemik yang terjadi di instansi pelayanan publik, misalnya: ketidakjelasan prosedur, ketidakpastian jangka waktu layanan, pungutan liar, korupsi dan ketidakpastian layanan. Hal-hal tersebut secara makro mengakibatkan rendahnya kualitas pelayanan publik. 2. Ketidakpastian dalam memberikan jaminan penyelesaian pengaduan. 3. Kepercayaan publik terhadap aparatur dan pemerintah menurun yang berpotensi mengarah pada apatisme publik. Padahal kalau kita kaitkan dengan amanat Presiden Republik Indonesia yang tercantum dalam Nawa cita yang antara lain bertujuan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warganegara, serta membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintah yang bersih, eektif, demokratis dan terpercaya, maka akan terlihat peran penting penanganan pengaduan bagi pelayanan publik yang lebih baik, karena: 1. Mekanisme penanganan pengaduan adalah ruang partisipasi masyarakat sebagai bentuk pengawasan konstruktif dan upaya membangun kepercayaan masyarakat pada pemerintah 2. Mekanisme penanganan pengaduan merupakan sarana perlindungan bagi penyelenggara layanan publik, agar dapat memberikan jawaban secara layak atas kritikan atau laporan masyarakat 3. Mekanisme penanganan pengaduan yang terintegrasi secara nasional diperlukan untuk membangun kesatuan pengelolaan agar efektif, efisien dan mudah baik bagi masyarakat maupun bagi penyelenggara layanan 4. Seiring dengan meningkatnya akses dan keterhubungan penyelenggara layanan dengan masyarakat, maka pengaduan justru semakin meningkat, sehingga sistem pengaduan juga berfungsi sebagai sarana kritik yang konstruktif, aspiratif dan apresiatif Jurnal 61 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Oleh karena itu pengelolaan pengaduan menjadi penting sebagai sarana perbaikan pelayanan publik, peningkatan kepercayaan masyarakat, mengawal akuntabilitas pemerintah, dan sebagai dasar pengambilan keputusan/kebijakan. Padahal seperti kita ketahui bersama bahwa tantangan dalam pengelolaan pengaduan terdapat kondisi ketika masyarakat merasa: 1. Tidak tahu ke mana harus melapor, sarana konvensional, beragam, dan tidak terpadu 2. Apatis dan pragmatis, tidak yakin laporannya akan ditindaklanjuti, proses tidak akuntabel 3. Takut akan konsekuensi melapor, keamanan dan kenyamanan terganggu. 4. Pemerintah tidak tuntas memberikan tindak lanjut atas laporan warga 5. Sulitnya akses, waktu, dan biaya bagi masyarakat Melihat aspek-aspek penting pengelolaan pengaaduan pelayanan publik seperti yang telah disampaikan di atas, selanjutknya kita akan melihat kedudukan Pengelolaan Pengaduan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. (KemenpanRB, 2019) 62 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Berdasarkan latar belakang tersebut maka terdapat permasalahan berikut yang menarik untuk dirumuskan dan dikaji, yaitu: 1. Apa saja regulasi terkait pengelolaan pengaduan pelayanan publik? 2. Bagaimana Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) selaku penyelenggara pelayanan publik melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduannya? II. Metode Penelitia Berdasarkan permasalahan dan latar belakang di atas, metode penulisan dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif (Soerjono, 2015) dengan menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Selanjutnya data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif serta penulisannya bersifat deskriptif analitis. III. Pembahasan Dalam tulisan ini pertama-tama kita akan melihat berbagai regulasi yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Regulasi di sini diartikan sebagai pengaturan lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tersebut khusus terhadap pasal-pasal mengenai Pengelolaan Pengaduan. Regulasi yang dijabarkan mulai dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 tahun 2013, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB) sampai dengan pengaturan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI (Permenkumham) yang mengatur tentang Penanganan Laporan Pengaduan di Lingkungan Kemenkumham. A. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Dalam Perpres Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik, Pasal 1 angka 8 dijelaskan bahwa Pengaduan adalah penyampaian keluhan yang disampaikan pengadu kepada pengelola pengaduan pelayanan publik atas pelayanan pelaksana yang tidak sesuai dengan standar pelayanan, atau pengabaian kewajiban dan/atau pelanggaran larangan oleh penyelenggara. Jurnal 63 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Jika definisi tersebut kita jabarkan maka ada 3 (tiga) hal yang dapat diambil yaitu: 1. Penyampaian keluhan tentang pelayanan yang tidak sesuai dengan Standar Pelayanan Publik: 2. Penyampaian keluhan tentang pengabaian kewajiban oleh penyelenggara layanan; 3. Penyampaian keluhan tentang pelanggaran larangan oleh penyelenggara layanan. Di dalam Perpres Nomor 76 tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan juga disebutkan definisi mengenai : 1. Penyelenggara Pelayanan Publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.(Pasal 1 angka 2). 2. Pengelolaan Pengaduan adalah kegiatan penanganan pengaduan sesuai dengan mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan (Pasal 1 angka 5). 3. Pengelola Pengaduan Pelayanan Publik yang selanjutnya disebut Pengelola adalah pejabat, pegawai, atau orang yang ditugaskan oleh penyelenggara untuk mengelola pengaduan masyarakat pada setiap penyelenggara pelayanan publik (Pasal 1 angka 6). 4. Pengadu adalah seluruh pihak baik warga negara maupun penduduk baik orang perseorangan, kelompok maupun badan hukum yang menyampaikan pengaduan kepada pengelola pengaduan pelayanan publik (Pasal 1 angka 7). 5. Standar Pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelengara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur (Pasal 1 angka 9). Beberapa hal penting dalam Perpres ini adalah adanya pembentukan tim oleh penyelenggara yang ditugaskan untuk melaksanakan fungsi pengelolaan pengaduan, hal demikian sejalan dengan isi Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2009 bahwa penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan petugas yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan. 64 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM mengenai adanya pembentukan tim dapat dilihat dari Surat Keputusan (SK) Tim Penanganan pengaduan masyarakat atau SK Pembentukan tim layanan pengaduan masyarakat di setiap unit kerja, kantor wilayah dan unit pelaksana teknis yang terbit setiap tahunnya. Hal ini tentunya untuk mengawal terlaksanakanya kegiatan penanganan pengaduan sesuai dengan mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan. Hal penting lainnya dari Perpres Nomor 76 Tahun 2013 adalah mengenai Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) di mana Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) ditunjuk selaku koordinator pengelolaan pengaduan secara nasional. Pengelolaan pengaduan secara nasional merupakan integrasi pengelolaan pengaduan secara berjenjang pada setiap penyelenggara dalam kerangka sistem informasi pelayanan publik. Selanjutnya ketentuan mengenai penyelenggaraan pengelolaan pengaduan secara nasional dan integrasi pengelolaan pengaduan secara berjenjang diatur dengan Peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. A. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformsai Borokrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Road Map Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional Sebelumnya telah disebutkan bahawa dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik mengisyaratkan dibentuknya Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) yang merupakan integrasi pengelolaan pengaduan pelayanan publik secara berjenjang pada setiap penyelenggara dalam kerangka sistem informasi pelayanan publik. Dengan adanya SP4N ini diharapkan pengaduan masyarakat mengenai pelayanan publik dapat ditangani dengan cepat, transparan, dan akuntabel sesuai dengan kewenangan masing-masing penyelenggara dan mendorong peningkatan kinerja penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik dalam pengelolaan pengaduan pelayanan publik. Jurnal 65 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Ada pun yang melatarbelakangi konsep sistem pengelolaan pengaduan pelayanan publik nasional adalah sebagai berikut: 1. Pengelolaan pengaduan belum terintegrasi sehingga penanganan berjalan parsial, tidak terkoordinir, terjadi inefisiensi dan duplikasi. 2. SP4N adalah sistem yang terintegrasi dalam pengelolaan pengaduan secara berjenjang pada setiap penyelenggara dalam kerangka sistem informasi pelayanan publik. 3. SP4N dibentuk untuk mendorong “no wrong door policy” yang menjamin hak masyarakat agar pengaduan dari mana pun dan jenis apa pun disalurkan kepada penyelenggara pelayanan publik yang berwenang. 4. SP4N bertujuan: a. Penyelenggara dapat mengelola pengaduan secara sederhana, cepat, tepat, tuntas, terkoordinasi; b. Penyelenggara memberikan akses untuk partisipasi masyarakat; c. Meningkatkan kualitas pelayanan publik . Oleh karena itu, pada tanggal 8 Januari 2015 terbitlah PermenPANRB Nomor 3 Tahun 2015 tentang Road Map SP4N. Dalam PermenPANRB ini disusun tahapan pembangunan SP4N yang dilakukan dalam 3 tahun yaitu tahun 2015, 2016 dan 2017. Selanjutnya pada akhir tahun 2017 diharapkan seluruh penyelenggara pelayanan publik pada Kementerian/Lembaga/Pemda telah memiliki sistem penanganan pengaduan yang efektif dan terintegrasi dalam sistem LAPOR! yang mana dengan adanya sistem ini maka: 1. Penyelenggara pelayanan publik pada Kementerian/Lembaga/ Pemda memiliki mekanisme dan prosedur yang transparan dan akuntabel untuk mengelola pengaduan pelayanan publik; 2. Penyelenggara pelayanan publik pada Kementerian/Lembaga/ Pemda memiliki sumberdaya manusia pengelola pengaduan yang terlatih dan kompeten, serta familiar dan mampu mengoperasikan sistem LAPOR!; 3. Penyelenggara pelayanan publik pada Kementerian/Lembaga/ Pemda mengimplementasikan dan mengintegrasikan penanganan pengaduan berbasis teknologi melalui sistem LAPOR!; 4. Masyarakat sudah memiliki kesadaran akan partisipasi dan pentingnya pengaduan, serta menyadari bahwa pengaduan 66 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 bermanfaat bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk Pemerintah. Sedangkan untuk tahun 2018 dan tahun 2019 merupakan tahapan pengembangan lebih lanjut SP4N setelah pembangunan SP4N. Tahapan tersebut merupakan tahapan perbaikan, penyempurnaan, dan pemantapan dalam pelaksanaan outcome, target dan program yang telah dilakukan pada tahapan pembangunan SP4N periode tahun 2015, 2016, dan 2017. Saat ini, di tahun 2020 telah dilaksanakan pengelolaan pengaduan pelayanan Publik di mana penyelenggara pelayanan publik mengintegrasikan dengan aplikasi SP4N-LAPOR!. Penyelenggara publik di dalam sistem itu termasuk Kementerian Hukum dan HAM yang mencakup 11 unit eselon 1, dengan 33 kantor wilayah dan seluruh Unit Pelaksana Teknis-nya. B. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformsai Borokrasi Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional PermenPANRB Nomor 62 Tahun 2018 ini merupakan pengganti dari PermenPANRB Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik secara Nasional, dengan kata lain PermenPANRB Nomor 62 Tahun 2018 telah mencabut PermenPANRB Nomor 24 Tahun 2014. Dalam pasal 1 PermenPANRB Nomor 62 Tahun 2018 tentang Pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional disebutkan bahwa penyelenggara pelayanan publik, wajib melaksanakan pengelolaan pengaduan pelayanan publik. Dalam melaksanakan pengelolaan pengaduan pelayanan publik, penyelenggara pelayanan publik wajib: 1. menyediakan sarana dan prasarana penunjang kelancaran pengelolaan pengaduan pelayanan publik; 2. menyusun mekanisme pengelolaan pengaduan pelayanan publik; dan 3. menugaskan pelaksana yang berkompeten dalam pengelolaan pengaduan pelayanan publik Dalam melaksanakan pengelolaan pengaduan pelayanan publik, penyelenggara pelayanan publik mengintegrasikan dengan aplikasi SP4N-LAPOR!. Adapun dalam pasal 1 angka 10 PermenPANRB Jurnal 67 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Nomor 62 Tahun 2018 disebutkan mengenai Aplikasi Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional menggunakan aplikasi LAPOR! atau yang disebut SP4N-LAPOR! adalah layanan penyampaian semua aspirasi dan pengaduan rakyat secara online yang terintegrasi dalam pengelolaan pengaduan secara berjenjang pada setiap Penyelenggara pelayanan publik dan dikelola Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bekerjasama dengan Kantor Staf Presiden dan Ombudsman Republik Indonesia. SP4N-LAPOR dikelola secara berjenjang oleh: 1. Admin Nasional yang bertugas mengkoordinasikan pengelolaan pengaduan pada tingkat nasional. 2. Admin Instansi/Organisasi yang bertugas mengkoordinasikan pengelolaan pengaduan pada tingkat Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. 3. Pejabat Penghubung yang bertugas mengkoordinasikan pengelolaan pengaduan pada tingkat unit kerja organisasi. Pembina dalam hal ini pimpinan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang mempunyai tugas melakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas dari penanggung jawab pelayanan publik. Pembina juga wajib menjamin tersedianya anggaran untuk pembiayaan pelaksanaan pengelolaan pengaduan pelayanan publik di instansi masing-masing yang terdiri dari pengembangan kapasitas SDM pengelola, sosialisasi publik, dan dukungan sarana dan prasarana pengelolaan pengaduan. Di samping itu, Pembina wajib menyediakan sarana dan prasarana pengelolaan pengaduan pelayanan publik, di mana sarana dan prasarana pengelolaan pengaduan pelayanan publik yang disediakan dengan memperhatikan kelompok berkebutuhan khusus; Selanjutnya sarana dan prasarana pengelolaan pengaduan pelayanan publik berupa: 1. tempat/ruangan pengaduan, kotak pengaduan, formulir pengaduan dan alat tulis; 2. perangkat Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) yang dapat terhubung SP4N-LAPOR!. Setiap penerimaan pengaduan yang dikelola melalui aplikasi SP4N-LAPOR! dan/atau pengelola pengaduan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Korporasi dan Badan Hukum lainnya disampaikan melalui: 68 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 1. tatap muka; 2. call-center; 3. surat atau email; 4. SMS; 5. Media sosial; 6. website; 7. aplikasi lainnya yang terintegrasi dengan SP4N-LAPOR!; 8. dan lainnya. Prinsip prosedur pengelolaan pengaduan juga harus bersifat responsif, objektif, adil, rahasia, dan akuntabel. Untuk Jangka Waktu Tindak Lanjut Penyelesaian Pengaduan dalam PermenPANRB Nomor 62 Tahun 2018 diatur bahwa tindak lanjut dilakukan dengan cermat, cepat, dan tidak melebihi jangka waktu penyelesaian sejak pengaduan diterima oleh pejabat penghubung, yakni; 1. Permintaan informasi dan pengaduan yang bersifat normatif maksimal diselesaikan dalam 5 (lima) hari kerja; 2. Pengaduan yang tidak berkadar pengawasan dan/atau tidak memerlukan pemeriksaan lapangan selambat-lambatnya diselesaikan dalam 14 (empat belas) hari kerja; 3. Pengaduan yang berkadar pengawasan dan memerlukan pemeriksaan lapangan selambat-lambatnya diselesaikan dalam 60 (enam puluh) hari kerja. C. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 25 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum Dan HAM RI Nomor 57 Tahun 2016 Tentang Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Penanganan Laporan Pengaduan Di Lingkungan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Secara umum pengelolaan pengaduan pelayanan publik selain berpedoman pada Perpres 76 Tahun 2013, PermenPANRB Nomor 3 Tahun 2015 tentang Roadmap Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional, serta PermenPANRB Nomor 62 Tahun 2018 tentang Pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional, penanganan pengaduan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2012 tentang Penanganan Laporan Jurnal 69 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Pengaduan di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Penanganan Laporan Pengaduan Di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penekanan Peraturan Menteri Hukum dan HAM ini dimaksud lebih pada laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik pegawai, dugaan disiplin pegawai, dan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai di lingkungan Kemenkumham. Ada pun mekanisme yang diatur dalam Permenkumham Nomor 57 Tahun 2016 tersebut adalah Pelapor (masyarakat atau pegawai di lingkungan Kemenkumham) menyampaikan laporan pengaduan yang meliputi adanya dugaan pelanggaran kode etik pegawai atau pelanggaran disiplin pegawai atau tindak pidana yang diketahui atau dilihatnya yang dapat disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan keterangan sebagai berikut: 1. Secara langsung, yaitu laporan pengaduan disampaikan secara langsung kepada Unit Layanan Pengaduan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Unit Layanan Pengaduan pada setiap unit utama, kantor wilayah, dan unit pelaksana teknis. 2. Secara tidak langsung, yaitu laporan pengaduan disampaikan secara tidak langsung melalui: a. laman resmi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; pada laman kemenkumham.go.id ini terdapat konten Layanan Pengaduan Masyarakat yang di dalamnya terdapat tautan dengan website lapor.go.id, informasi pengaduan via SMS Center 1708 dengan format KUMHAM(spasi)Keluhan dan tautan dengan website whistle blowing system. b. laman resmi Inspektorat Jenderal; c. PO Box 3489; d. saluran telepon pengaduan kepada: - Menteri 08111377801 - Sekretaris Jenderal 08111377802 - Inspektur Jenderal 08111377803 e. saluran pengaduan whistle blowing system melalui wbs.kemenkumham.go.id; dan/atau f. saluran pengaduan lainnya. 70 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Laporan tersebut paling sedikit memuat identitas pelapor, identitas terlapor, tempat kejadian, waktu kejadian; dan kronologis kejadian dengan disertai dokumen atau bukti pendukung lainnya. Setelah laporan pengaduan masuk, unit layanan pengaduan atau pun unit pelayanan pengaduan pusat menindaklanjuti dengan telaahan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya laporan pengaduan. Hasil telaahan disampaikan kepada pimpinan unit utama, kantor wilayah, atau unit pelaksana teknis dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal selesainya telaahan Laporan Pengaduan. Penyampaian hasil telaahan laporan tersebut dapat dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Di dalam Permenkumham Nomor 57 Tahun 2016 selanjutnya disebutkan bahwa hasil telaahan oleh pejabat yang berwenang dapat berupa: (1) pelanggaran kode etik pegawai, (2) pelanggaran disiplin pegawai, (3) dugaan tindak pidana, (4) bukan pelanggaran kode etik pegawai, atau (5) bukan pelanggaran disiplin pegawai. Dalam hal hasil pemeriksaan merupakan: 1. pelanggaran kode etik Pegawai, maka Majelis Kode Etik menjatuhkan sanksi sesuai kewenangannya 2. pelanggaran disiplin Pegawai, maka atasan langsung atau tim pemeriksa mengusulkan penjatuhan sanksi kepada pejabat yang berwenang menghukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyampaian hasil pemeriksaan sebagaimana tersebut ditembuskan kepada Inspektur Jenderal. Selanjutnya jika dalam hal hasil pemeriksaan terdapat dugaan tindak pidana, hasil pemeriksaan disampaikan kepada instansi yang berwenang. Dalam hal hasil pemeriksaan bukan merupakan pelanggaran kode etik pegawai atau bukan pelanggaran disiplin pegawai atau bukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Inspektur Jenderal dan/atau pimpinan unit utama, Kepala Kantor Wilayah, dan kepala unit pelaksana teknis merekomendasikan pemulihan nama baik terlapor. Pemulihan nama baik sebagaimana dimaksud disampaikan kepada pejabat pembina kepegawaian. Selanjutnya Inspektur Jenderal Jurnal 71 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 melakukan pemantauan terhadap tindak lanjut pelaksanaan rekomendasi. Sedangkan Pelapor berhak mendapatkan informasi mengenai hasil Laporan Pengaduan dari Unit Layanan Pengaduan sesuai dengan tempat Laporan Pengaduan disampaikan. IV. Kesimpulan Terdapat regulasi mengenai pengelolaan pengaduan pelayanan publik yang harmoni terkait dengan Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik yaitu mulai dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Presiden Nomor 76 tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformsai Burokrasi Nomor 3 Tahun 2015 tentang Road Map Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional dan Nomor 62 Tahun 2018 tentang Pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional. Kementerian Hukum dan HAM sendiri sebagai penyelenggara pelayanan publik dan sebagai pembina pelayanan publik tentunya merupakan bagian dari sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional yang terintegrasi dalam aplikasi SP4N-LAPOR!. Pada sisi lain Kementerian Hukum dan HAM juga memiliki Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2012 tentang Penanganan Laporan Pengaduan di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2012 tentang Penanganan Laporan Pengaduan di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang harus ditinjau kembali jika kita kaitkan dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 62 Tahun 2018 tentang Pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional. Apabila diamati perubahan terakhir dari Peraturan Menteri Hukum dan HAM itu ada di tahun 2016, sedangkan pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terbit pada tahun 2018. Oleh karena itu Permenkumham tentang Penanganan laporan pengaduan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM perlu diharmonisasikan dengan regulasi terbaru terkait dengan Pedoman Sistem Pengaduan 72 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Pelayanan Publik Nasional yang telah dikeluarkan oleh Menteri PANRB. Sebab laporan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai, dugaan disiplin pegawai, dan adanya dugaan tindak pidana yang dimaksud dalam Permenkumham itu sering beririsan dengan pengaduan pelayanan publik di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM sendiri. Dengan adanya revisi terhadap Permenkuham Penanganan laporan pengaduan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM akan membuat mekanisme pengaduan terkait layanan publik yang masuk sistem layanan pengaduan di Kementerian Hukum dan HAM semuanya bisa terintegrasi dengan aplikasi SP4N-LAPOR, sehingga pada akhirnya akan tercipta pengelolaan pengaduan yang terintegrasi dalam arti penanganan terkoordinir, efisien dan tidak terjadi duplikasi. DAFTAR PUSTAKA KemenpanRB. (2019). Pengelolaan Pengaduan untuk Pelayanan Publik lebih baik. https://slideplayer.info/slide/15956920/ diunduh pada tanggal 14 Oktober 2019 LAN. (2012). Modul TOT Pelayanan Publik. Lembaga Administrasi Negara. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 25 Tahun 2012 tentang Penanganan Laporan Pengaduan Di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 57 Tahun 2016 tentang tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Penanganan Laporan Pengaduan Di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformsai Borokrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Road Map Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformsai Borokrasi Nomor 62 Tahun 2018 tentang Pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional. Jurnal 73 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik. Soerjono, S. dan S. M. (2015). Penelitian hukum normatif, suatu tinjauan singkat (7th ed.). Rajawali Pers. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. ****** 74 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 ANALISA PERTENTANGAN ANTARA DISKRESI DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Arisman Widyaiswara Madya BPSDM HUKUM DAN HAM [email protected] Abstrak Penelitian ini menganalisa fenomena kasus-kasus diskresi yang seharusnya berada dalam ranah hukum administrasi Negara yang terseret masuk ke dalam ranah hukum tindak pidana korupsi. Data diperoleh melalui penelusuran kepustakaan bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Adapun metode penelitian yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini. Kesimpulan penelitian ini adalah pertentangan terjadi akibat : Pertama, perbedaan pemaknaan kata “dapat” dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Kedua, perbedaan konsep “menyalahgunaan wewenang”. Ketiga, Perbedaan penialaian keadaan darurat. Keempat, Perbedaan penilaian adanya niat jahat (mens rea). Selanjutnya diskresi yang dapat diproses dalam tindak pidana korupsi yaitu ketika dalam pelaksanaannya memenuhi unsur pidana, melanggar peraturan lain dan menyimpang dari asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kata kunci: Pertentangan, Diskresi, Korupsi Abstract This study analyzes the phenomenon of cases of discretion that should be in the domain of State administrative law that is dragged into the realm of criminal acts of corruption. Data obtained through literature search primary, secondary and tertiary legal materials.The normative juridical research method used in this study. The conclusion of this study is the contradiction, which occurs due to First, the Jurnal 75 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 difference in the meaning of the word “can” in Article 3 of the Anti- Corruption Eradication Law. Second, the difference in the concept of “abuse of authority”. Third, difference in assessing emergencies. Fourth, differences in the assessment of the existence of evil intentions (mens rea). Furthermore, the discretion that it is able tobe processed in a criminal act of corruption is when in its implementation it meets the criminal element, violates other regulations and deviates from the general principles of good governance. Keyword: Conflict, Discretion, Corruption. I. Pendahuluan P ermasalahan yang menyangkut kebijakan diskresi akhir-akhir ini tidak sedikit yang diproses dan dijerat dengan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor) sehingga menimbulkan polemik. Polemik tentang dapat atau tidaknya kebijakan dijerat dengan pidana tersebut, hingga kini masih menyisakan persoalannya. Bagi kalangan yang sependapat tidak akan mempersoalkannya, tetapi bagi kalangan yang tidak sependapat tentu akan mempertanyakan. Menurut mereka belum tentu pembuat kebijakan tersebut mengetahui, bahwa kebijakannya tersebut melanggar hukum. Jika setiap kebijakan dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi, tentu akan dilematis. Padahal diketahui bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari suatu sistem, jika seorang pejabat pemerintah takut mengambil suatu kebijakan maka roda pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. (Effendy, 2012). Diskresi jika dilaksanakan dengan benar, akan berdampak positif, namun permasalahannya terkadang diskresi dilakukan dengan tujuan untuk mencari keuntungan sendiri dan sekelompok orang tertentu. Diskresi ini berarti suatu penyimpangan terhadap jabatan/aturan-aturan yang ada dan mengakibatkan pada perbuatan korupsi. Kekuasaan diskresi ada karena adanya kekuasaan menjalankan jabatan oleh pejabat publik. Kekuasaan diskresi merupakan penggunaan kewenangan berdasarkan inisiatif pejabat. Kekuasaan ini diberikan oleh undang-undang dengan maksud agar pejabat dapat 76 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Hal inilah menjadi rawan untuk diselewengkan, karena bersamaan dengan menjalankan kebijakan untuk public terlebih lagi adanya niat untuk menarik keuntungan pribadi atau pun keuntungan kelompok. Pejabat terperangkap menjadi koruptor karena tugas mereka yang melekat pada jabatan itu. Ketika pejabat membuat suatu diskresi tanda tangan pejabat harus ada dalam kebijakan itu, sehingga merekalah yang bertanggung jawab jika ternyata menimbulkan kerugian negara yang akhirnya dianggap sebagai tindak pidana korupsi, walaupun dana yang dihasilkan tidak dinikmati pejabat tersebut. Salah satu contoh kasus kebijakan diskresi yang dijerat dan diproses dengan UU Pemberantasan Tipikor yaitu Rokhmin Dahuri yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, dijatuhi pidana 7 tahun penjara atau denda Rp 200 juta karena dianggap terkait kasus korupsi dana non budgeter (pungutan tidak sah) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama periode 18 April 2002 hingga 23 Maret 2005. Dana non budgeter tersebut berasal dari sumbangan pejabat eselon I dan Kepala Dinas Provinsi digunakan untuk kepentingan Institusi bukan untuk kepentingan pribadi, bahkan seluruh mekanisme dan aliran dana dicatat dan dibukukan dengan baik. Pada November 2009 setelah menjalani 2/3 masa pidana yaitu sekitar 3 tahun 6 bulan, Rokhmin Dahuri mendapatkan pembebasan bersyarat dari lapas Cipinang. (Andy, n.d.). Ada kalanya banyak situasi dilematis dalam menjalankan fungsi pemerintahan, salah satunya, ketika pejabat pemerintahan dihadapkan pada situasi yang kewenangan untuk bertindak padahal tidak diatur melalui peraturan perundang-undangan. Tetapi, ada keperluan yang mendesak bagi pemerintah untuk bertindak guna mencapai tujuan tertentu sehingga diharuskan untuk memutuskan tindakan itu dalam rangka memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.(Kumalaningdyah, 2019). Dari contoh kasus tersebut di atas dapat dilihat sebuah fenomena tindak pidana korupsi sangat erat kaitannya dengan diskresi, yang akan mengarah kepada pelanggaran pidana walaupun pelaku tidak menikmati hasil kejahatan tersebut. Diskresi dianggap perbuatan melawan hukum ketika dapat menguntungkan pihak lain meskipun Jurnal 77 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 bukan untuk kepentingannya sendiri, hal ini dapat dianggap merugikan Negara. Kebijakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi tentunya beragam penafsiran, sehingga banyak pejabat pemerintah mengalami keraguan dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, khususnya dalam menjalankan kebijakan yang dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai perbuatan korupsi yang berlindung dibalik kebijakan.(Irawan, 2011). Selanjutnya, Arifin P. Soeria Atmadja menyatakan bahwa: “Suatu kebijakan tidak mungkin diajukan ke pengadilan apalagi dikenakan hukum pidana karena dasar hukum kebijakan yang akan menjadi dasar hukum penuntutannya tidak ada. Hal ini disebabkan suatu kebijakan pada umumnya berjalan tidak seiring atau belum diatur dalam peraturan perundang-undangan”. (Atmadja, 2008) Berdasarkan uraian tersebut di atas, menarik minat penulis untuk menganalisa lebih dalam mengenai pertentangan kebijkan diskresi yang diambil oleh pejabat pemerintah dijerat dan diproses dalam tindak pidana korupsi. Sejalan dengan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah penyebab pertentangan antara diskresi dengan tindak pidana korupsi? 2. Apakah kebijakan diskresi pejabat pemerintah dapat dijerat sebagai tindak pidana korupsi? Sejalan dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis penyebab pertentangan antara diskresi dengan tindak pidana korupsi. 2. Untuk menganalisis kebijakan diskresi pejabat pemerintah yang dapat dijerat sebagai tindak pidna korupsi. Adapun manfaat dari penulisan ini terbagi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis Tulisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran secara teoritis terhadap pengembangan disiplin ilmu hukum administrasi 78 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 negara dan hukum pidana serta khususnya terkait pertentangan diskresi pejabat pemerintahan alam aspek hukum administrasi dan hukum pidana korupsi. 2. Manfaat Praktis Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis bagi para penegak hukum dalam hal menilai pertanggungjawaban diskresi pejabat pemerintaha serta memberikan rambu-rambu dalam pengambilan kebijakan diskresi. II. Konsep Diskresi Diskresi adalah pengambilan suatu kebijakan atau keputusan dan/ tindakan yang bertujuan untuk memudahkan penyelenggaraan pemerintah ketika terjadi kekosongan hukum untuk mengatasi stagnasi pemerintahan demi kepentingan umum. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang- undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Istilah diskresi memiliki keterkaitan dengan Freies Ermessen. Secara bahasa Freies Ermessen berasal dari kata frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka. Sementara itu Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan sehingga Freies Ermessen (diskresionare) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. (Harun, 2018). Salah satu contoh yaitu ketika terjadi macet, maka meski lampu merah menyala polisi lalu lintas membiarkan kendaraan lewat di jalur lampu merah tersebut. Inilah sebenarnya contoh kecil dari penggunaan asas diskresi oleh polisi lalu lintas Diskresi pejabat pemerintahan telah diatur dalam Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyebutkan diskresi adalah keputusan Jurnal 79 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Lebih lanjut, Nata Saputra menyatakan bahwa suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) dari pada berpegang teguh pada keteguhan hukum.(Saputra, 2012). Di sini, diskresi atau kebijakan hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang. Pejabat pemerintahan dalam pengambilan diskresi diharapkan tetap selaras atau sesuai dengan tujuan akhir yang sudah ditetapkan dan harus ada conditio sine quo non yang mendasari diskresi yang dilakukan. Conditio sine qua non itu setidaknya adalah ketiadaan dan/atau ketidakjelasan suatu peraturan yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan dan memaksa.(Kumalaningdyah, 2019) Menurut Philips dan Jachson terdapat dua jenis diskresi yaitu diskresi terikat dan diskresi bebas. Diskresi terikat adalah kebebasan seorang pejabat administrasi Negara untuk mengambil keputusan dengan memilih pilihan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sementara diskresi bebas adalah kebebasan seorang pejabat administrasi Negara untuk mengambil keputusan dengan membentuk keputusan baru karena tidak ditentukan (diatur) dalam peraturan perundang-undangan.(Nugraha, 2007) Selanjutnya terdapat 3 (tiga) bentuk kebebasan diskresioner pejabat pemerintahan, yaitu: kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid), kebebasan mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid), dan kebebasan interpretasi (interpretatievrijheid). Kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid) yaitu kewenangan untuk memutus secara mandiri ketika peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan tertentu kepada organ pemerintahan untuk secara bebas menggunakan/tidak menggunakan kewenangannya, meskipun syarat- syarat kewenangan itu telah dipenuhi.(Nurwanto, 2015) 80 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas, dapat kita simpulkan point penting dari diskresi adalah : 1) diskresi adalah adalah kekebasan pejabat publik untuk mengambil keputusan 2) diskresi ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul secara tiba-tiba atau belum dimuat dalam ketentuan undang- undang demi berjalannya pelayanan public 3) diskresi tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum atau pun norma-norma dasar. III. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan melalui penelusuran kepustakaan dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang relevan dengan topik pembahasan, selanjutnya data diolah dan dianalisis sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.(Jaya, 2014) IV. Pembahasan 1. Penyebab Pertentangan Antara Diskresi Dengan Tindak Pidana Korupsi Penyebab pertentangan antara diskresi dengan tindakan pidana korupsi, yaitu: a. Pertentangan Perbedaan Penafsiran Pertentangan penafsiran oleh aparat penegak hukum ketika terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan karena kebijkan diskresi yang dibuatnya padahal secara teoritis diskresi merupakan jalan keluar yang diberikan atas berbagai kelemahan aliran legisme yang melahirkan asas legalitas. Asas legalitas sebenarnya hanya dianut oleh rezim hukum pidana, sementara hukum administrasi tidak mengikuti asas ini, namun pertentangan muncul ketika terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Hal tersebut terlihat jelas dalam Pasal 3 Undang-Undang Jurnal 81 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merumuskan: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” dimaknai sebagai perbuatan- perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara merupakan perbuatan pidana walaupun belum terjadi kerugian Negara. Hal ini menjadi celah multitafsir yang menjerat pejabat pemerintah dalam ranah hukum pidana korupsi, padahal diskresi yang dibuat oleh pejabat pemerintahan seharusnya diadili secara tata usaha Negara. Selain itu, perumusan pasal ini hanya berfokus pada unsur kerugian Negara, sementara pertimbangan kemanfaatan suatu diskresi untuk kepentingan umum kurang diperhatikan. Hal ini berdampak terhadap ketakutan pejabat pemerintahan untuk membuat suatu diskresi yang sangat diperlukan di tengah kekosongan hukum karena tidak ada ruang sama sekali untuk freies ermessen. b. Pertentangan Perbedaan Konsep Pertentangan mengenai perbedaan konsep “menyalahgunakan wewenang”. Secara yuridis, mengenai menyalahgunakan kewenangan dalam UU Pemberantasan Tipikor tidak memberikan definisi atau pengertian tersendiri. Istilah “menyalahgunakan kewenangan” justru ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yaitu sebagai bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik 82 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 (AUPB), salah satunya berisi “asas tidak menyalahgunakan kewenangan”. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan yang dimaksud dengan “asas tidak menyalahgunakan kewenangan” adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan. Unsur dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor ditafsirkan sama dengan pengertian menyalahgunakan kewenangan menurut hukum administrasi, namun hal ini tidak berarti bahwa seluruh penyalahgunaan kewenangan menurut hukum administrasi berarti bersifat melawan hukum pidana. Penyalahgunaan kewenangan yang dapat dibawa ke ranah pidana ketika terdapat kondisi vage normen, melanggar asas kecermatan, substantif, dan melanggar asas doelgerichte.(Arie, 2012). c. Pertentangan Penilaian Keadaan Darurat Pertentangan pada penilaian keadaan darurat. Keadaan darurat adalah suatu situasi emergency dan dalam hubungan dengan situasi tersebut tidak ada dasar hukum yang mengaturnya. Kondisi ini melahirkan discretionary power dalam konsep hukum administrasi. Keadaan darurat dalam konsep ini tidak tunduk pada ketentuan Undang-Undang Prp. Nomor 22 Tahun 1959. Konsep keadaan darurat dalam dissenting opinion Hakim Agung Abdul Rahman Saleh yang mendasarkan pada Pasal UUD 1945 Jo. UU Prp. No.23 Tahun 1959 adalah keadaan darurat dalam arti staatsnoodrecht dengan demikian letaknya dalam hukum tata Negara. (Philipus, 2014) Sedangkan yang dimaksud persoalan-persoalan penting yang mendesak, sekurang-kurangnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Marbun, 2007) . Jurnal 83 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 a) Persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut kepentingan umum, yaitu, kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak/bersama, serta kepentingan pembangunan. b) Munculnya persoalan tersebut secara tiba-tiba, berada diluar rencana yang telah ditentukan. c) Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum, sehingga administrasi Negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan atas inisiatif sendiri. d) Prosedurnya tidak dapat diselesaikan menurut administrasi yang normal, atau jika diselesaikan menurut prosedur administrasi yang normal justru kurang berdaya guna dan berhasil guna. e) Jika persoalan tersebut tidak diselesaikan dengan cepat, maka akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. Berdasarkan hal tersebut di atas, pengertian keadaan mendesak adalah suatu keadaan yang muncul secara tiba- tiba menyangkut kepentingan umum yang harus diselesaikan dengan cepat, tetapi untuk menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum. Pertentangan ada atau tidaknya niat jahat (mens rea) pada diri pelaku pada saat mengeluarkan diskresi harus diperhatikan untuk menentukan diskresi sebagai tindak pidana korupsi. Unsur (mens rea) sikap batin ini sulit pembuktiannya. Karena itu hal yang utama untuk mengungkap hal ini adalah berupa indikasi, apakah keluarnya sebuah kebijakan itu ada indikasi sengaja atau lalai. Di samping itu, tindakan diskresi sebagai tindak pidana korupsi juga mensyaratkan adanya individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu bahkan suatu korporasi yang diuntungkan (Wijaya, 2015). Oleh karena itu, diskresi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana tidak semata-mata 84 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 karena merugikan keuangan Negara dan ada niat dari pelakunya, namun juga dapat dilihat dari apakah ada pihak yang diuntungkan. 2. Diskresi Pejabat Pemerintah yang dapat Dijerat Sebagai Tindak Pidana Korupsi Sebuah kebijakan yang diambil dengan melanggar peraturan lain merupakan perbuatan melawan hukum. Pengertian melawan hukum dalam doktrin hukum pidana sampai sekarang masih terbelah dua, antara ajaran melawan hukum formil dan ajaran melawan hukum materil. Unsur yang terpenting dari suatu tindak pidana adalah melawan hukum. Suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pejabat pemerintahan tidak boleh melanggar hukum dalam arti melanggar perundang-undangan yang lain atau peraturan yang berlaku di masyarakat. Sebuah kebijakan yang diambil dengan melanggar peraturan lain merupakan perbuatan melawan hukum. Diskresi pejabat pemerintahan yang berindikasi terjadi penyalahgunaan wewenang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, apabila diskresi yang diambil tersebut terjadi perbuatan korupsi yang menimbulkan kerugian Negara, pejabat pemerintah yang melakukan perbuatan curang, memperkaya diri, orang lain atau manipulasi. Oleh sebab itu pejabat pemerintahan dalam memutuskan diskresi senantiasa berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kemanfaatan yang dirasakan masyarakat luas, sehingga penyelenggaraan Negara dapat sesuai dengan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sekalipun diskresi adalah hak yang diberikan kepada pejabat pemerintahan, namun tidak boleh digunakan secara berlebihan tanpa melakukannya dengan penuh keyakinan persyaratan dari setiap keadaan yang membolehkan penggunaan diskresi tersebut. (Kumalaningdyah, 2019) Jurnal 85 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 IV. Kesimpulan 1. Penyebab pertentangan antara diskresi dengan tindakan pidana korupsi adalah: a. Adanya perbedaan penafsiran oleh aparat penegak hukum ketika mengadili pejabat pemerintahan yang terjerat tindak pidana korupsi akibat diskresi yang dibuatnya, hal ini terlihat ketika memaknai kata “dapat” dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara merupakan perbuatan pidana walaupun belum terjadi kerugian Negara, selanjutnya perumusan pasal ini hanya berfokus pada unsur kerugian Negara, sementara pertimbangan kemanfaatan suatu diskresi untuk kepentingan umum kurang diperhatikan. b. Pertentangan mengenai perbedaan konsep “menyalahgunakan wewenang”, konsep ini tidak ada definisinya dalam UU Pemberantasan Tipikor justru ditemukan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. c. Pertentangan pada penilaian keadaan darurat. d. Pertentangan ada atau tidaknya niat jahat (mens rea) pejabat pemerintah ketika membuat diskresi sulit dalam pembuktiannya. 2. Diskresi pejabat pemerintah dapat dijerat sebagai tindak pidana korupsi, yaitu : a. Pada dasarnya diskresi akan menjadi korupsi ketika diskresi yang dilakukan oleh seorang pejabat memenuhi sejumlah unsur dari tindak pidana korupsi. Seperti diskresi yang dilakukan dengan cara melawan hukum, untuk memperkaya diri, dan merugikan keuangan Negara. b. Ketika diskresi yang dibuat melanggar peraturan lain c. Ketika diskresi dilakukan selain dari kepentingan umum atau kemaslahatan masyarakat yang menyimpang dari UU Nomor 30 Tahun 2014 serta asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) maka tindakan diskresi tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan 86 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 kewenangan yang dapat berimplikasi kepada tindak pidana korupsi. d. Ketika terdapat niat jahat (mens rea) dalam diri pejabat pemerintahan dalam melaksanakan keputusan diskresi yang mengakibatkan adanya actual loss dalam keuangan Negara. V. Saran Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, maka saran yang diberikan adalah sebagai berikut : a. Perlu adanya penyamaan persepsi para aparat penegak hukum untuk memahami hukum administrasi sehingga mempersempit perbedaan penafsiran. b. Perlu adanya pengaturan yang jelas mengenai definisi penyalahgunaan kewenangan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi agar sejalan dengan maksud dari undang-undang administrasi pemerintahan agar pelaksanaan diskresi pejabat pemerintahan dapat berjalan dengan baik. c. Perlu ada pengawasan kepada para penegak hukum yang mengadili perkara diskresi di pengadilan Tata Usaha Negara atau pengadilan Tindak Pidana Korupsi. d. Perlu adanya perbedaan pemidanaan terhadap koruptor yang terperangkap karena jabatan yang diembannya dengan koruptor yang berniat jahat (mens rea) untuk korupsi. e. Pejabat pemerintahan dalam memutuskan diskresi senantiasa berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku serta kemanfaatan yang dirasakan masyarakat luas, sehingga penyelenggaraan Negara dapat sesuai dengan Pasal 3 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sekalipun diskresi adalah hak yang diberikan kepada pejabat publik, namun tidak boleh digunakan secara berlebihan tanpa melakukannya dengan penuh keyakinan persyaratan dari setiap keadaan yang membolehkan penggunaan diskresi tersebut dilakukan. Jurnal 87 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 DAFTAR PUSTAKA Andy, K. (n.d.). website. In kick andy. http://www.kickandy.com/theshow/ 1/1/2152/ read/berguru-dari-masa-lalu-/10 Arie, Y. (2012). Unsur Penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan Tindakan Pejabat Pemerintahan (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1983 K/Pid.Sus/2012 Atas Kasus Tindak Pidana Korupsi pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara II Jakarta). Universitas Indonesia. Atmadja, A. P. S. (2008). Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum:Teori, Kritik, dan Praktek. Rajawali Press. Effendy, M. (2012). Kapita Selekta Hukum Pidana: Perkembangan dan Isu-Isu Aktual dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi (Cetakan 1). Referensi. Harun. (2018). Hukum Administrasi Negara di Era Citizen Friendly. Muhammadiyah University Press. Irawan, B. (2011). Diskresi Sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan Hukum Terhadap Fenomena Pejabat Otoritas. Pembaharuan Hukum, 24(Korupsi), 7–18. Jaya, I. (2014). Implementasi Kebijakan Diskresi pada Sistem Pelayanan Publik di Kota Tegal. Pembaharuan Hukum, 1, 9. Kumalaningdyah, N. (2019). Pertentangan Antara Diskresi Kebijakan Dengan Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 26(3), 483. https:// doi.org/10.20885/iustum.vol26.iss3.art3 Marbun, S. (2007). Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara (3rd ed.). Liberty. Nugraha. (2007). Hukum Administrasi Negara (Pertama). CLGS FH UI. Nurwanto, A. (2015). Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca undang-Undang Administrasi Pemerintahan). 135. Philipus, M. H. (2014). Pengantar hukum administrasi Indonesia (3rd ed.). Gadjah Mada University Press. Saputra, M. N. (2012). Hukum Administrasi Negara (2nd ed.). Rajawali Press. ******** 88 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN ANAK Haidan Widyaiswara BPSDM Hukum dan Ham [email protected] Abstrak Tulisan ini mengkaji “Peran Pembimbing Kemasyarakatan” dalam penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan Undang Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dikaitkan dengan pemenuhan hak-hak Anak dan perlindungan Anak. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan Pembimbing Kemasyarakatan sedang data sekunder berasal dari undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan Menteri Hukum dan HAM. Hasil penelitian di peroleh bahwa Pembimbing Kemasyarakatan berperan membuat litmas dalam penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum sejak Anak diduga melakukan tindak pidana dan dijadikan tersangka hingga Anak menyelesaikan masa hukuman. Terkait pemenuhan atas hak-hak dan perlindungan Anak belum maksimal karena masih adanya kekerasan terhadap Anak. Kata Kunci: Sistem Peradilan Anak, Hak-Hak Anak, Peran Pembimbing Kemasyarakatan. Abstract This paper examines the “Role of Community Guidance” in handling children in conflict with the law based on Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Justice System in relation to the fulfillment of children’s rights and child protection. The method used is a descriptive qualitative research method. Primary data Jurnal 89 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 were obtained from interviews with Community Guidance, while secondary data came from laws, government regulations and regulations of the Minister of Law and Human Rights. The results of the study found that the Community Guidance played a role in making litmas in handling children in conflict with the law since the child was suspected of committing a crime and was made a suspect until the child completed the sentence. Related to the fulfillment of children’s rights and protection is not optimal because there is still violence against children. Keywords: Child Justice System, Children’s Rights, Role of Community Guidance. I. Pendahuluan B erbagai kasus yang muncul ke permukaan dewasa ini, khususnya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh Anak, semisal kasus yang terjadi baru baru ini di Jakarta barat seorang siswi SMA berinisial NF berusia 15 tahun melakukan pembunuhan terhadap balita. (Briantika, 2020) Hal tersebut tentu membutuhkan pengawasan serius dari seluruh pemangku kepentingan (Stakeholder). Banyaknya aturan mengenai perlindungan dan pemenuhan hak-hak Anak, belum akan menjadi jaminan, bila kepedulian dan pemahaman peran masing-masing pihak masih belum optimal dalam implementasinya. Jaminan atas perlindungan terhadap Anak merupakan hak asasi manusia, yaitu hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Permasalahan terkait Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di Indonesia masih tinggi, dalam periode lima tahun terakhir, lebih dari 8.200 kasus ABH, ada kekerasan fisik maupun psikis yang dialami Anak, pada periode 2011-2016, pada tahun 2017 kasus Anak mencapai 4.579 kasus dan di tahun 2018 meningkat menjadi 4.885 kasus, pelanggaran atas hak Anak di tahun 2018, terdapat dua kasus yang berada di urutan teratas, yaitu kasus Anak Berhadapan dengan Hukum mencapai 1.434 kasus, kemudian disusul kasus terkait keluarga dan pengasuhan alternatif mencapai 90 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 857 kasus, kasus pornografi dan siber mencapai 679 kasus. (David Setyawan, 2019) Data ABH yang dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dari tahun 2015 hingga bulan Agustus 2018 menunjukkan peningkatan jumlah ABH yang bila dibandingkan dengan jumlah Anak yang dijatuhkan Putusan Pidana kepada ABH sebagai berikut: (Andri dkk, 2018) Tabel 1. Anak yang dijatuhkan Putusan Pidana Dari jumlah ABH di Indonesia, jumlah penanganan Anak melalu proses diversi, dikembalikan ke orang tua dan diserahkan ke panti sejak 2015 hingga Agustus 2018 sebagai berikut: (Andri dkk, 2018) Tabel 2. Anak didiversi, dikembalikan ke orang tua, dan diserahkan ke panti (Sumber : Panduan Diversi ; IRJI) Penanganan ABH, dalam proses peradilan Anak berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Substansi yang paling mendasar dalam undang-undang tersebut adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif, yang menjadi salah satu Prioritas Nasional dalam RPJMN (2015-2019) dan RKP. Isu ini menjadi perhatian bersama mengingat jumlah ABH yang terus meningkat. Dengan salah satu pendekatannya melalui keadilan restoratif dan pengenalan penanganan perkara pidana Anak melalui proses pengalihan (diversi). Jurnal 91 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 Penelitian mengenai peran pembimbing kemasyarakatan ini dilakukan pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Bekasi, merupakan pembentukan Bapas baru dengan wilayah kerja meliputi Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota karawang dan Kabupaten karawang. Pembimbing Kemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Anak bekerja bersama Aparat Penegak Hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) untuk menangani ABH. Oleh karenanya penting untuk diketahui bagaimana peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum dikaitkan dengan pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Anak melalui pendekatan keadilan restoratif dan diveri. Berlatar belakang permasalahan tersebut di atas, menimbulkan pertanyaan bagaimana peran Pembimbing kemasyarakatan dalam penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum apakah telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dikaitkan dengan pemenuhan atas hak-hak Anak dan perlindungan Anak? Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan pengetahuan secara ilmiah dan memberikan tambahan pemahaman mengenai penanganan ABH terhadap para pihak tentang Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Anak. II. Metodologi Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan data primer dari hasil wawancara dengan Pembimbing Kemasyarakatan. Sedang data sekunder dengan mengkaji bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang terkait Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Hukum dan HAM dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi birokrasi. Adapun bahan hukum sekunder diambil dari penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum. 92 Jurnal WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 III. Pembahasan a. Sistem Peradilan Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA), hadir untuk menjaga harkat dan martabat Anak serta memberi perlindungan khusus terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, keberadaannya merupakan suatu kemajuan yang besar di bidang hukum yang memberikan perhatian kepada Anak Indonesia, dan merupakan produk hukum yang membawa paradigma baru dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu melalui pendekatan keadilan restorative (Restorative Justice). Sistem Peradilan Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara ABH, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. (Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA) Anak sebagai generasi yang akan melanjutkan kehidupan dimasa datang, seyogyanya menjadi urgen untuk mendapatkan hak-hak dan perlindungan dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Karena secara fisik maupun psikis Anak berbeda dengan orang dewasa dalam tataran berfikir maupun bertindak. Maka diperlukan suatu rumusan yang memberi perlindungan yang tepat dengan perlakuan khusus terhadap ABH. Definisi Anak di bawah umur menurut UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA ialah Anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, terdapat tiga kategori ABH; Pertama, Anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) yaitu Anak yang telah berumur 12 (dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.(Pasal 1 angka 3 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA) Kedua, Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. (Pasal 1 angka 4 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA) Ketiga, Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan Jurnal 93 WIDYAISWARA
Volume 6 Nomor 1 Tahun 2020 keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. (Pasal 1 angka 5 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA). Perlu disampaikan bahwa dalam penulisan ini membahas mengenai Anak yang Berkonflik dengan Hukum, maka penulis membatasi pada penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, dengan pemenuhan atas hak-hak dan perlindungannya. Dalam kaitannya dengan pemenuhan atas hak-hak Anak dan perlindungan Anak menjadi tugas dan tanggungjawab para pihak, Pembimbing Kemasyarakatan berperan dalam membuat penelitian kemasyarakatan (litmas) Anak yang berkonflik dengan hukum, upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan keadilan restoratif (Restorative Justice) dan diversi untuk kepentingan terbaik Anak. Keadilan restoratif (Restorative Justice) adalah sistem peradilan yang dapat memberikan jaminan perlindungan untuk kepentingan terbaik bagi ABH, yang mengatur dengan tegas mengenai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan, (Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA) dengan didiversi, yaitu cara pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. (Pasal 1 angka 7 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA) Diversi bertujuan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat terhindar dari stigmatisasi terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum, dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Prosedur pelaksanaan diversi kemudian dituangkan secara rinci melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun. 94 Jurnal WIDYAISWARA
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109