Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) i BPSDM MODUL HUKUM DANPENDIDIKAN DAN PELATIHAN FUNGSIONAL CALON PEJABAT FUNGSIONAL HAMPERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Judicial Review) KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAM TAHUN 2016
BPSDM ii Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) HAM Amini, Nurillah Purwanti , Maidah Adjie, Radita Modul Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review)/ oleh 1. Nurillah Amini, SH., MH., 2. Maidah Purwanti, SH,, MH., 3. Radita Adjie, SH., MH.; Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM – Depok, 2016. viii, 48 hlm; 15 x 21 cm ISBN : 978 – 602 – 9035 – 00 – 5 Diterbitkan oleh : Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jalan Raya Gandul – Cinere, Depok 16512 Telp. (021) 7540077, 7540124 Fax. (021) 7543709
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) iii KATA PENGANTAR BPSDM Peraturan Perundang-undangan merupakan instrumen HUKUM kebijakan guna mendorong terwujudnya pembangunan nasional DAN Indonesia yang menurut sistem hukum nasional. Indonesia HAMsebagai sebuah negara hukum menempatkan Peraturan Perundang-undangan dalam posisi strategis sebagai landasan formal pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan secara nasional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan tidak dapat dipisahkan dari tujuan yang ingin dicapai oleh Indonesia sebagai sebuah negara hukum untuk menciptakan standar dan tertib hukum Pembentukan Peraturan Perundang- undangan agar dihasilkan Peraturan Perundang-undangan yang harmonis dan utuh demi terwujudnya pembangunan nasional yang memberikan kepastian hukum dan menghormati prinsip- prinsip hak asasi manusia. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dapat dipisahkan dari manusia dalam proses pembentukannya yang dapat mempengaruhi kualitas sebuah peraturan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam Pasal 98 dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 memuat pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peran yang diberikan oleh Perancang Peraturan Perundang- undangan bertujuan mengawal Peraturan Perundang-undangan
BPSDM iv Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN dalam setiap tahapan pembentukannya baik di pusat maupun di HAMdaerah agar dapat dihasilkan Peraturan Perundang-undangan yang berkualitas, aspiratif dan responsif selaras dengan sistem hukum dan tujuan pembangunan nasional secara menyeluruh. Mengingat pentingnya peran yang dimiliki oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu selaras dengan peningkatan kompetensi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk terwujudnya peningkatan kompetensi Perancang Peraturan Perundang- undangan adalah melalui Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan berbasis kompetensi yang berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 Tahun 2015 tentang Diklat Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan, agar dapat dihasilkan para Perancang Peraturan Perundang-undangan yang profesional dan memiliki kompetensi dalam bidangnya. Modul ini merupakan modul yang dihasilkan dari penyempurnaan kurikulum Diklat Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan, yang telah disesuaikan dengan perkembangan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan peranan Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Diharapkan modul dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Pertama dalam memahami
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) v Peraturan Perundang-undangan baik dari segi teori maupun praktek. Di samping mempelajari modul secara menyeluruh Peserta juga disarankan dapat mengembangkan pemahaman melalui sumber-sumber belajar lain di luar modul. Semoga modul ini dapat dimanfaatkan dan membantu dalam proses pembelajaran, baik oleh peserta, widyaiswara, pengajar, atau fasilitator. Harapan kami semoga melalui Diklat Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dapat dihasilkan para lulusan Perancang Peraturan Perundang- undangan Ahli Pertama yang memiliki kompetensi dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. BPSDM HUKUM DAN HAM Depok, 28 Februari 2015 PUSAT PENGEMBANGAN DIKLAT FUNGSIONAL DAN HAM
vi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) DAFTAR ISI BPSDM Halaman HUKUM DANKATA PENGANTAR........................................................... iii HAMDAFTAR ISI ....................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN.................................................. 1 A. Latar Belakang.............................................. 1 B. Deskripsi Singkat.......................................... 2 C. Durasi Pembelajaran.................................... 3 D. Hasil Belajar.................................................. 3 E. Indikator Hasil Belajar.................................... 4 F. Prasyarat ...................................................... 5 G. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok ............. 5 BAB II DASAR HUKUM PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN................................ A. Kewenangan Pengujian Peraturan 7 Perundang-undangan ................................... 7 B. Dasar Hukum Pengujian Peraturan 10 Perundang-undangan ................................... C. Subjek dan Objek Pengujian Peraturan 12 14 Perundang-undangan ................................... D. Diskusi .........................................................
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) vii BAB III PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DAN 15 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG ......................... 15 A. Sifat dari Pengujian Peraturan Perundang-undangan ................................... 18 B. Jenis-Jenis Pengujian Peraturan Perundang-undangan ................................... 20 C. Jenis dan Tindaklanjut Putusan Pengujian 28 Peraturan Perundang-undangan ................. D. Diskusi .......................................................... BPSDM HUKUM DAN HAM BAB IV PROSES BERACARA DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH AGUNG..... 29 A. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .................... 29 B. Hukum Acara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Mahkamah Agung............................................................ 36 BAB V PROSES PENYUSUNAN KETERANGAN PRESIDEN DAN JAWABAN TERMOHON ........ A. Proses Penanganan Pengujian Undang- 39 39 Undang di MK oleh Pemerintah.....................
viii Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) B. Sistematika dan Tata Cara Penyusunan 42 Keterangan Presiden.................................... 43 C. Sistematika dan Tata Cara Penyusunan 44 Jawaban Termohon ...................................... D. Latihan .......................................................... BPSDM HUKUMBAB VI PENUTUP............................................................45 DANA. Dukungan Belajar Peserta............................ 45 HAMB. Tindak Lanjut.................................................45 C. Penilaian Peserta.......................................... 45 DAFTAR PUSTAKA........................................................... 47
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 1 BAB I PENDAHULUAN BPSDM A. Latar Belakang HUKUM DAN Modul ini merupakan modul wajib yang berisi pengetahuan HAM dasar bagi peserta Pendidikan dan Pelatihan Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Pertama mengenai Pengujian Peraturan Perundang- undangan (judicial review) di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Secara singkat, munculnya gagasan dan berkembangnya praktik pengujian undang-undang bertolak dari kesadaran mengganti supremasi parlemen (parliamentary supremacy) menjadi supremasi konstitusi (constitutional supremacy). Artinya, muatan Undang-Undang yang dibentuk oleh parlemen/legislatif dapat dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh lembaga yudikatif jika terbukti bertentangan dengan Undang-Undang dasar/konstitusi. Dengan demikian, jika supremasi parlemen menempatkan parlemen/legislatif pada kedudukan yang tinggi (supreme), maka supremasi konstitusi menempatkan Undang-Undang Dasar/konstitusi pada kedudukan tinggi (supreme). Dalam modul ini, peserta akan diberikan pengetahuan mengenai: Dasar Hukum Pengujian Peraturan Perundang- undangan, Pengujian Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang, proses 1
BPSDM 2 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN beracara dalam pengujian Undang-Undang di Mahkamah HAM Konstitusi, proses beracara dalam pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang di Mahkamah Agung, Penyusunan Keterangan Presiden dan Jawaban Termohon atas pengujian Peraturan Perundang- undangan dan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Mahkamah Agung. Selain itu peserta di dalam mempelajari modul ini, diharapkan memperkaya pemahaman melalui sumber-sumber lain di luar modul termasuk kunjungan ke Mahkamah Konstitusi. Setelah peserta mengetahui materi pengujian Peraturan Perundang-undangan, peserta dapat memahami pentingnya menyusun Peraturan Perundang-undangan yang baik, baik secara materiil maupun secara formiil, selain itu peserta memahami hal-hal apa saja yang dilakukan apabila terjadi pengujian Peraturan Perundang-undangan. B. Deskripsi Singkat Modul ini merupakan modul wajib tingkat dasar yang diberikan kepada calon Perancang di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Modul ini diberikan setelah pemberian materi Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar Konstitusional, dan Jenis, Hirarki, Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan diberikan. Modul ini merupakan modul yang bersifat dasar-dasar teori yang memberikan bekal dalam proses pengujian Peraturan Perundang-undangan. Untuk menambah wawasan peserta di
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 3 BPSDM dalam mempelajari modul ini, peserta diharapkan juga HUKUM menambah wawasan dengan mempelajari bahan-bahan lain DAN yang terkait dengan Pengujian Peraturan Perundang-undangan. HAM C. Durasi Pembelajaran Jumlah durasi waktu dalam pembelajaran modul pembelajaran Pengujian Peraturan Perundang-undangan adalah selama 16 (enam belas) jam pelajaran, atau selama 2 (dua) hari pembelajaran, dengan metode pembelajaran klasikal di kelas dan peserta diberikan pelatihan dan kegiatan mandiri. Konten pembelajaran dalam modul ini menekankan pembelajaran Konseptual selama 12 (dua belas) Jam Pembelajaran, Keterampilan selama 4 (empat) Jam Pembelajaran, dan Refleksi terkait dengan pemahaman teori selama 2 (dua) Jam Pembelajaran. Setiap 1 (satu) jam pelajaran adalah selama 45 (empat puluh lima) menit. D. Hasil Belajar Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan memahami aspek-aspek yang mendasar dalam proses pengujian Peraturan Perundang-undangan, yaitu: 1. Memahami pengertian dan sejarah judicial review di Indonesia. 2. Memahami dasar hukum judicial review
BPSDM 4 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN 3. Memahami hukum acara pengujian Peraturan HAM Perundang-undangan 4. Mengetahui jenis-jenis judicial review 5. Mengetahui format Keterangan Presiden dan Jawaban Termohon 6. Mengetahui penanganan proses judicial review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung 7. Mengetahui Jenis-Jenis Putusan judicial review 8. Mengetahui Tindak Lanjut Putusan judicial review E. Indikator Hasil Belajar Indikator hasil belajar di dalam modul ini berdasarkan tujuan pembelajaran dan berdasarkan pokok pembelajaran dalam silabus kurikulum. Indikator pada masing-masing pokok pembelajaran sebagai berikut: 1. Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menjelaskan dasar hukum pengujian Peraturan Perundang-undangan. 2. Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menjelaskan fungsi pengujian Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang- Undang. 3. Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menjelaskan proses beracara dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 5 BPSDM 4. Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan HUKUM mampu menjelaskan proses beracara dalam pengujian DAN Peraturan Perundang-undangan di bawah undang- HAM undang di Mahkamah Agung. 5. Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menyusun keterangan Presiden atas pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 dan Jawaban Termohon atas pengujian Peraturan Perundang- undangan. 6. Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan memahami jenis, sifat serta tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Mahkamah Agung. F. Prasyarat Peserta yang akan mengikuti materi pengujian Peraturan Perundang-undangan harus terlebih dahulu mengikuti materi Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar Konstitusional, Jenis, Hirarki, Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan. Naskah Akademik, Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Kebijakan (Legislasi Semu) dan Penetapan, serta Dinamika Kelompok (Team Building) G. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok 1. Dasar Hukum Pengujian Peraturan Perundang-undangan 1.1. Kewenangan pengujian Peraturan Perundang- undangan;
BPSDM 6 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN 1.2. Dasar Hukum pengujian Peraturan Perundang- HAM undangan 1.3. Subjek dan Objek pengujian Peraturan Perundang- undangan. 2. Pengujian Undang-Undang dan Peraturan Perundang- undangan di bawah Undang-Undang 2.1. Sifat dari Pengujian Peraturan Perundang-undangan 2.2. Jenis Pengujian Peraturan Perundang-undangan 2.3. Jenis dan Putusan Pengujian Peraturan Perundang- undangan 3. Proses beracara dalam pengujian Peraturan Perundang- undangan di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung 3.1. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 3.2. Hukum Acara Pengujian Peraturan Perundang- undangan di Mahkamah Agung 4. Proses Penyusunan Keterangan Presiden dan Jawaban Termohon 4.1. Proses Penanganan Pengujian Undang-Undang oleh Pemerintah 4.2. Keterangan Presiden dalam pengujian Undang- Undang di Mahkamah Konstitusi 4.3. Jawaban Termohon dalam pengujian Peraturan Perundang-undangan di Mahkamah Agung
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 7 BAB II DASAR HUKUM PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BPSDMSetelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu HUKUMmengetahui Dasar Hukum serta Subjek dan Objek Pengujian DANPeraturan Perundang-undangan HAM Jam Pokok Bahasan dan Pengajar Jam Mandiri Pelajaran Sub Pokok Bahasan 1-4 Dasar Hukum Pengujian Pengajar memberikan Mempelajari, 4 JP Peraturan Perundang- penjelasan dan mendiskusikan, undangan membangun baik secara 1. Kewenangan pengujian pemahaman terhadap perorangan atau peserta mengenai kelompok terkait Peraturan Perundang- kewenangan, dasar dengan tugas undangan; hukum serta Subjek yang diberikan 2. Dasar Hukum pengujian dan Objek pengujian pengajar. Peraturan Perundang- Peraturan Perundang- undangan undangan. 3. Subjek dan Objek pengujian Peraturan Perundang-undangan. A. Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan 1. Gambaran Materi Reformasi konstitusi yang berlangsung empat kali berturut-turut (1999-2002) telah meletakkan fondasi bagi pembaharuan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia secara substantif. Meskipun proses dan hasilnya masih belum begitu ideal, reformasi konstitusi tersebut sangat fundamental bagi tegaknya negara hukum demokratis 7
BPSDM 8 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN (demokrasi konstitusional) sesuai dengan prinsip-prinsip HAM konstitusionalisme modern (Denny Indrayana: 2008). Salah satu pencapaian penting dari reformasi konstitusi tersebut yaitu Indonesia kini mengadopsi norma pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah disahkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Tahun 2001. Salah satu hasil dari serangkaian reformasi konstitusi selama empat periode berturut-turut dari tahun 1999, 2000, 2001, hingga tahun 2002 yaitu pembentukan lembaga yudisial baru yang dinamai Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Republik Indonesia memiliki dua lembaga kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar yang merupakan pengadilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Berdasarkan ketentuan ini Indonesia kini mulai mempraktikkan pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Gagasan mengenai perlunya pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar sebetulnya telah pernah
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 9 BPSDM muncul pada saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan HUKUM Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membahas dan DAN merumuskan naskah Undang-Undang Dasar untuk HAMmendirikan Republik Indonesia yang merdeka. (H. R. Sri Soemantri: 1997) Sistem dan praktik ketatanegaraan Indonesia mulai melakukan eksperimentasi pertama kali penerapan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang setelah adanya Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk aktif menguji konstitusionalitas Undang-Undang. Karena MPR merupakan organ cabang kekuasaan legislatif, maka kewenangan pengujian konstitusionalitas undang- undang oleh MPR ini dapat dinamakan sebagai legislative review, bukan judicial review yang dilakukan oleh suatu lembaga yudisial. Sebelum adanya Ketetapan MPR tersebut, sistem dan praktik ketatanegaraan Indonesia hanya mengenal adanya pengujian peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang- Undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Namun, pengujian oleh Mahkamah Agung ini bukan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang, melainkan sekadar pengujian atas legalitas Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang (Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal: 2006). Pada tahun 2002 MPR mengesahkan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa
BPSDM 10 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya HAM pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Berdasarkan ketentuan ini, praktik pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar mulai dapat dilakukan, yang dalam periode transisi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sampai dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi paling lambat tanggal 17 Agustus 2003. Pada tanggal 13 Agustus 2003 disahkan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang kemudian diikuti oleh pengangkatan sembilan hakim konstitusi B. Dasar Hukum Pengujian Peraturan Perundang-undangan 1. Dasar Hukum Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi Sumber utama hukum materiil pengujian Undang- Undang oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, beserta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya ditulis Undang-Undang Mahkamah Konstitusi). Melalui Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara expressis verbis dan limitatif menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi diberikan 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban konstitusional, Khusus berkenaan dengan kewenangan
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 11 BPSDM Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas Undang- HUKUM Undang, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 DAN Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- HAMUndangan, juga menyebutkan bahwa jika suatu Undang- Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan dan kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi itulah yang menjadi dasar dibuatnya hukum formil (hukum acara) untuk mengatur mekanisme dan prosedur beracara di Mahkamah Konstitusi. Ketentuan mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dapat ditemukan pada level konstitusi, Undang-Undang, peraturan Mahkamah Konstitusi, dan putusan Mahkamah Konstitusi. Pada level konstitusi, sumber hukum formil (hukum acara) peradilan Mahkamah Konstitusi sebagian dimuat pada Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada level Undang- Undang, Pasal 28 hingga Pasal 85 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur secara rinci ketentuan mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, baik ketentuan hukum acara yang bersifat umum maupun ketentuan hukum acara yang bersifat khusus yang sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadi kewewenangan Mahkamah Konstitusi. Pengaturan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi yaitu PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
12 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 2. Dasar Hukum Pengujian Peraturan Perundang- undang di bawah Undang-Undang oleh Mahkamah Agung Dasar Hukum Pengujian Peraturan Perundang- undangan di Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 20 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. BPSDM HUKUM DAN HAM C. Subjek dan Objek Pengujian Peraturan Perundang- undangan 1. Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Proses pengujian Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, melibatkan beberapa pihak, antara lain Subjek Pihak Pemerintah Pihak Lain Pemohon Kemenkumham Mahkamah Konstitusi Pemohon Kementerian Terkait Dewan Perwakilan Rakyat Sekretariat Negara Pihak Terkait Saksi dan Ahli
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 13 Objek Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan Hukum Pemohon BPSDM HUKUMJenis Kewenangan Mahkamah Pemohon yang Memiliki Kedudukan Hukum DANKonstitusi HAM Pengujian Undang-Undang 1. Perorangan WNI, terhadap Undang-Undang Dasar 2. Kesatuan masyarakat hukum adat Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masy arakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam U ndang-Undang 3. Badan hukum publik atau privat, 4. Lembaga negara Sengketa Kewenangan Lembaga Lembaga negara yang kewenangannya Negara yang Kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Diberikan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945, dan memiliki Dasar Negara Republik Indonesia kepentingan langsung terhadap kewenangan Tahun 1945 yang dipersengketakan Pembubaran Partai Politik Pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden untuk itu Perselisihan Hasil Pemilihan 1. Perorangan warga negara Indonesia calon Umum anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan 2. Pasangan calon Presiden dan Wakil Pelanggaran oleh Presiden Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan/atau Wakil Presiden dan Wakil Presiden 3. Partai politik peserta pemilihan umum DPR yang diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya
14 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 2. Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Mahkamah Agung Para Pihak Dalam Pengujian Peraturan Perundang- undangan dibawah Undang-Undang BPSDM HUKUMPihak Pemerintah (Termohon)Pihak LainPemohon DAN Mahkamah Agung Pemohon HAMKementerian Hukum dan HAM Kejaksaan Agung Kementerian Terkait Sekretariat Negara Pemerintah Daerah Pihak Terkait Objek Pengujian Peraturan Perundang-undangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi, yaitu: • Peraturan Pemerintah • Peraturan Presiden • Peraturan Menteri • Peraturan Daerah • Peraturan Jenis Peraturan lain mencakup peraturan yang ditetapkan (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011) D. Diskusi Diskusikan kegunaan dari pengujian Peraturan Perundang- undangan dengan mendiskusikan contoh Peraturan Perundang-undangan yang tidak sesuai secara materiil dan formiil, sehingga peserta mengetahui pentingnya penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang baik.
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 15 BAB III PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG BPSDM HUKUMSetelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu DANmengetahui sifat, jenis dan tindaklanjut pengujian peraturan HAMperundang-undangan Jam Pokok Bahasan dan Pengajar Jam Mandiri Pelajaran Sub Pokok Bahasan Pengajar memberikan Mempelajari, 5-8 penjelasan dan mendiskusikan (4 JP) Pengujian Undang-Undang dan membangun baik secara Peraturan Perundang-undangan di pemahaman terhadap perorangan atau bawah Undang-Undang peserta mengenai kelompok terkait 1. Sifat dari Pengujian Peraturan Sifat dan Jenis serta dengan tugas tindaklanjut proses yang diberikan Perundang-undangan pengujian Peraturan pengajar. 2. Jenis Pengujian Peraturan Perundang -undangan Perundang-undangan 3. Jenis dan tindaklanjut Putusan Pengujian Peraturan Perundang-undangan A. Sifat dari Pengujian Peraturan Perundang-undangan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Frasa “tingkat pertama dan terakhir” maksudnya tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh terhadap putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau bisa disebut telah berkekuatan hukum tetap (in kracht) hal ini sesuai dengan frasa 15
BPSDM 16 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN selanjutnya yang menyatakan “yang putusannya bersifat HAM final”. Ketentuan tersebut jelas berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing). Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya, daya berlaku putusan Mahkamah Konstitusi bersifat ke depan atau prospektif. Putusan Mahkamah sama seperti Undang-Undang yang harus dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada. Karakter hukum acara di Mahkamah Konstitusi, khususnya dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah untuk mempertahankan hak dan kepentingan konstitusional yang dilindungi oleh konstitusi, yang dijabarkan dalam Undang-Undang. Undang-Undang tersebut mempunyai daya laku yang bersifat umum (erga omnes). Maksudnya meskipun perorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama mengajukan pengujian satu Undang-Undang karena dipandang melanggar hak konstitusionalnya yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, akan tetapi kepentingan demikian tidak hanya menyangkut perorangan yang mengklaim kepentingan dan hak konstitusionalnya dilanggar, karena Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan mengikat secara
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 17 BPSDM hukum serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari HUKUM pada sekedar mengenai kepentingan Pemohon namun akan DAN berdampak kepada seluruh warga negara Indonesia dan HAMtidak hanya kepada pemohon saja. Selanjutnya dalam Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya, akibat hukum putusan Mahkamah yang menyatakan Undang- Undang, bagian dari Undang-Undang, pasal, atau ayat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara prospektif (ex nunc) dan tidak retrospektif (ex tunc). Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demikian dianggap tidak ada dan tidak berlaku lagi, dan tidak melahirkan hak dan kewenangan serta tidak pula dapat membebankan kewajiban apapun. Pemerintah, lembaga negara, dan badan peradilan terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang berarti harus mengabaikan Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut. Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi juga menyatakan “Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan
BPSDM 18 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia HAM Tahun 1945 artinya putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut (retroaktif). B. Jenis-Jenis Pengujian Peraturan Perundang-undangan Dalam ilmu perundang-undangan dikenal teori yang membedakan antara Undang-Undang materiel (wet in materiele zin) dan undang-undang formil (wet in formele zin). Dalam sistem hukum Belanda, perbedaan antara keduanya dipandang sebagai perbedaan kategoris yang kaku. Padahal, menurut Jimly Asshiddiqie, perbedaan antara keduanya lebih merupakan perbedaan perspektif atau cara pandang terhadap objek Undang-Undang. (Jimly Asshiddiqie: 2006) Sebetulnya setiap Undang-Undang memiliki unsur formil dan materiel secara sekaligus sehingga dapat dilihat dari kedua seginya itu secara sekaligus. Pembedaan antara Undang- Undang formil dan Undang-Undang materiel memiliki hubungan dengan teori pengujian materiel (materiele toetsing) dan pengujian formil (formele toetsing). (Jimly Asshiddiqie: 2006) Dalam konteks pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi dapat menguji Undang-Undang baik secara formil maupun secara materiel. Sebab, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sama sekali tidak membedakan antara Undang-Undang formil dan Undang- Undang materiel. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga sama sekali tidak menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh menguji Undang-
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 19 BPSDM Undang formil (Jimly Asshiddiqie: 2006). Itulah sebabnya, HUKUM Mahkamah Konstitusi dapat menguji Undang-Undang secara DAN materil dan/atau secara formil. Terkait dengan pengujian HAMUndang-Undang secara formil, Mahkamah Konstitusi sendiri melalui Putusannya, sebagaimana telah disebutkan di atas, telah menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian Undang-Undang secara formil. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pada Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, adalah untuk melakukan pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam melakukan pengujian dimaksud, berdasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf a dan huruf b Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian secara formil dan/atau materiil. Dalam permohonan pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: a. pembentukan Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Formil) b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Materil)
BPSDM 20 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN C. Jenis dan Tindak lanjut Putusan Pengujian Peraturan HAM Perundang-undangan 1. Proses Pengambilan Putusan Pasal 45 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur tentang mekanisme pengambilan putusan oleh Hakim Konstitusi. Pengambilan putusan dilakukan secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno Hakim Konstitusi yang disebut Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang RPH ini, setiap Hakim Konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. Apabila mekanisme pengambilan putusan secara musyawarah untuk mufakat tidak dapat menghasilkan putusan, maka sidang pleno RPH ditunda sampai sidang pleno RPH berikutnya. Jika mekanisme musyawarah untuk mufakat setelah diusahakan secara sungguh-sungguh tetap tidak dapat menghasilkan putusan, maka mekanisme lain yang tersedia yaitu melalui suara terbanyak (voting). Manakala mekanisme voting tidak dapat menghasilkan suara terbanyak, maka suara terakhir ketua sidang pleno RPH menentukan putusan yang diambil. Terhadap putusan yang tidak dapat diambil secara mufakat bulat, anggota Majelis Hakim Konstitusi yang berbeda pendapat dengan putusan mayoritas Hakim Konstitusi dimuat dalam putusan. Ada dua macam pendapat hakim yang berbeda dari pendapat mayoritas hakim, yaitu dissenting opinion dan consenting/concurrent opinion.
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 21 BPSDM Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda HUKUM secara substantif sehingga menghasilkan putusan yang DAN berbeda. Consenting/concurrent opinion adalah HAM perbedaan dalam argumen yang disampaikan tetapi kesimpulan akhirnya sama dengan mayoritas hakim. (Jimly Asshiddiqie: 2006) Pasal 46 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh Hakim Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Putusan tersebut juga ditandatangani oleh Panitera. 2. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang ditentukan dalam Pasal 56 Undang- Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: 1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. 2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,amarputusan menyatakan permohonan dikabulkan. 3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat,
BPSDM 22 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN pasal, dan/atau bagian dari Undang-Undang yang HAM bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4) Dalam hal pembentukan Undang-Undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang- Undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. 5) Dalam hal Undang-Undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. Selain Putusan dalam permohonan pengujian Undang- Undang, Mahkamah Konstitusi juga dapat mengeluarkan sebuah ketetapan dalam hal permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan atau pemohon menarik kembali permohonan (Pasal 48A Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 jo Pasal 43 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005). Berdasarkan ketentuan tersebut sebenarnya dalam putusan pengujian Undang- Undang menurut Undang- Undang Mahkamah Konstitusi ada 4 (empat) jenis, yaitu: Putusan tidak dapat diterima, Putusan dikabulkan, Putusan ditolak dan Ketetapan.
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 23 BPSDM Dalam perkembangannya ternyata banyak putusan HUKUM Mahkamah Konstitusi yang justru tidak sesuai dengan DAN sifat dan jenis putusan Mahkamah Konstitusi HAM sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang yang melahirkan beberapa jenis/model putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain: (Syukri Asy’ari: 2013) 1. Putusan yang Secara Hukum Membatalkan dan Menyatakan Tidak Berlaku (Legally Null And Void) 2. Putusan Kondisional Bersyarat 3. Putusan Inkonstitusional Bersyarat 4. Putusan yang Pemberlakuannya Di Tunda (limited constitutional) 5. Putusan yang Merumuskan Norma Baru 6. Putusan Mahkamah Konstitusi yang melebihi apa yang dimohonkan (ultra petita) 3. Jenis Putusan Mahkamah Agung Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung menentukan jenis putusan pengujian Peraturan Perundang-undangan, yaitu a. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan. b. menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum. c. permohonan keberatan itu tidak beralasan.
BPSDM 24 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN Dan sejauh ini Mahkamah Agung tidak pernah memutus HAM diluar ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 4. Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Doktrin umum dunia peradilan menyatakan bahwa setiap putusan badan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipandang menyelesaikan sengketa tersebut sampai sengketa dimaksud benar-benar sudah berakhir. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (final and binding) dengan sendirinya mengandung juga pengertian bahwa putusan Mahkamah Konstitusi haruslah menyelesaikan sengketa secara tuntas, sehingga tidak memunculkan permasalahan baru. Semua perbedaan pendapat, sikap, dan pandangan mengenai hal pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh pihak yang merasa kepentingan konstitusional dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang harus diakhiri dengan adanya putusan tersebut. Maruarar Siahaan yang membahas dua aspek penting putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu Bagaimana eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi dilaksanakan? Dan bagaimana apabila pemerintah tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi, dengan tetap memberlakukan Undang-Undang yang telah dinyatakan
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 25 BPSDM tidak mempunyai kekuatan mengikat?. (Maruarar HUKUM Siahaan: 2006). DAN HAMMengenai eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi, terutama dalam pengujian Undang-Undang adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan suatu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Sifat declaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan. (Fockema Andreas: 1985) Mengenai ketidakpatuhan Pemerintah melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, dalam arti tetap menggunakan Undang-Undang yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai dasar hukum (referensi) dalam melakukan tindakan pemerintahan, maka hal itu menurut Maruarar sudah berada dalam pengawasan mekanisme hukum dan tatanegara itu sendiri. Jika hal itu berakibat menimbulkan kerugian finansial, aparat negara atau lembaga negara tersebut akan menanggung akibat hukum yang dapat bersifat pribadi (personal liability) untuk mengganti kerugian yang dituntut melalui peradilan biasa yang dapat ditegakkan secara paksa. Dari uraian di atas dapat disimpulkan karena putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat maka putusan tersebut harus dilaksanakan oleh semua pihak.
BPSDM 26 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 HAM menyatakan, Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/ atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Sedangkan ayat (2) menyatakan Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dinyatakan bahwa tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Lalu berisikan apakah materi muatannya? Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf d menyatakan Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 27 BPSDM Berdasarkan ketentuan tersebut tampak jelas bahwa HUKUM tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi yang DAN menyatakan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang- HAMUndang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 haruslah melalui Undang-Undang. Proses pembentukan Undang- Undang merupakan proses yang panjang yang meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan dan pengundangan. Akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi khususnya yang dapat berdampak pada kehidupan masyarakat, Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 memberikan sedikit kemudahan dengan menempatkan akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam prolegnas daftar kumulatif terbuka, sebagaimana ditentukan Pasal 23 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Kementerian/ LPNK yang terkena akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi maka dapat mengajukan Rancangan Undang- Undang/Rancangan Perubahan Undang-Undang untuk diproses sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu dalam setiap pembahasan Peraturan Perundang-undangan baik dalam bentuk Rancangan Undang-Undang/Rancangan Perubahan Undang- Undang harus memperhatikan norma-norma yang telah pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi.
28 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) D. Diskusi 1. Diskusikanlah mengenai sifat, jenis pengujian Peraturan Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang berbeda dengan proses litigasi persidangan di pengadilan umum dengan membandingkannya. 2. Diskusikanlah terkait peran Pemerintah dalam tindaklanjut putusan dan ragam putusan Mahkamah Konstitusi. BPSDM HUKUM DAN HAM
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 29 BAB IV PROSES BERACARA DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH AGUNG BPSDM HUKUMJamPokok Bahasan dan Pengajar Jam Mandiri DANPelajaranSub Pokok Bahasan HAM Pengajar memberikan Mempelajari, 9-12 Proses beracara dalam penjelasan dan mendiskusikan, (4JP) pengujian Undang-Undang di membangun baik secara Hari ke 2 Mahkamah Konstitusi dan pemahaman terhadap perorangan atau Mahkamah Agung peserta mengenai kelompok terkait 1. Hukum Acara Pengujian Hukum Acara Pengujian dengan tugas Undang-Undang yang diberikan Undang-Undang terhadap terhadap Undang- pengajar. Undang-Undang Dasar Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Mahkamah Tahun 1945 di Konstitusi Mahkamah Konstitusi 2. Hukum Acara Pengujian dan Hukum Acara Peraturan Perundang- Pengujian Peraturan undangan di bawah Undang- Perundang-undangan di Undang oleh Mahkamah Mahkamah Agung Agung A. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam pengertian yang sederhana hukum acara adalah hukum formil untuk melaksanakan hukum materiil. Dengan demikian, Hukum Acara adalah hukum formil yang mengatur prosedur dan tata cara pelaksanaan hukum materiil, yaitu 29
BPSDM 30 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap Undang- HAM Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum formil sangat penting bagi hukum materiil. Profesor H. A. S. Natabaya, Hakim Konstitusi periode 2003-2008, menyatakan bahwa: “hukum acara (hukum formil/formele recht) adalah urat nadi kehidupan hukum materiil (materiele recht) yang memberikan tuntunan atau pedoman dalam melaksanakan hukum materiil sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, kalau tidak akan terjadi eigenrichting.” (H. A. S. Natabaya: 2008). Pendapat lain menyatakan bahwa: “Peradilan tanpa hukum material akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak ada batas-batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya.” (Zairin Harahap : 2005) Dengan demikian, hukum formil merupakan prasyarat mutlak (conditio sine quo non) bagi terlaksananya hukum materiil. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 hingga Pasal 49 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi yang bersifat umum memuat ketentuan tentang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, syarat administratif pengajuan permohonan, pendaftaran permohonan dan penjadwalan sidang, alat bukti, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan putusan. Adapun mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi yang bersifat khusus yang mengatur tentang
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 31 masing-masing kewenangan Mahkamah Konstitusi, hukum acara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diatur dalam Pasal 50 hingga Pasal 60, hukum acara sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam Pasal 61 hingga Pasal 67, hukum acara pembubaran partai politik diatur dalam Pasal 68 hingga Pasal 73, hukum acara perselisihan hasil pemilihan umum diatur dalam Pasal 74 hingga Pasal 79, dan hukum acara pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Pasal 80 hingga Pasal 85. Perbedaan karakteristik masing-masing hukum acara Mahkamah Konstitusi sesuai dengan masing-masing kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut berkaitan dengan perbedaan mengenai kedudukan hukum (legal standing) pemohon, batas waktu mengajukan permohonan, kerugian konstitusional, alasan hukum permohonan, dan jangka waktu menjatuhkan putusan. BPSDM HUKUM DAN HAM
32 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) DIAGRAM PROSEDUR PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UUD 1945 DIKEMBALIKAN BPSDM HUKUM PEMOHON DAN HAM TIDAK TIDAK PERMOHONA PANITERA MK DILENGKAPI LENGKAP PEMBERITAHUAN YA 7 HARI SALINAN 7 HARI - Menunjuk panel hakim DPR - Menentukan hari sidang pertama DPD MA PRESIDEN SALINAN KETUA MK PENYUSUNAN PEMERIKSAAN - Kelengkapan administrasi KETERANGAN PENDAHULUAN - Kejelasan materi PEMERINTAH - Kedudukan hukum TIDAK DILENGKAPI LENGKAP 14 HARI 7 HARI BERKAS - Perkenalan Para Pihak PERMOHONAN - Pokok permohonan - Pemeriksaan alat bukti PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN tertulis - Keterangan Presiden RPH - Keterangan DPR dan/atau DPD - Keterangan saksi - Keterang an ahli - Keterangan pihak terkait - Pengesahan Alat Bukti - Tambahan Keterangan Pemerintah - Kesimpulan PUTUSAN PENETAPAN PERMOHONAN TIDAK DAPAT DIKABULKAN DITOLAK DITERIMA Pasal 56 ayat (2) Pasal 56 ayat (5) UU.No. 24/2003 UU. No. 24/2003 (niet ontvankelijk verklard ) Pasal 56, 50 dan 51
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 33 BPSDM KETERANGAN : HUKUM DAN 1. Pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan HAM konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang (permohonan) kepada Mahkamah Konstitusi melalui Panitera Mahkamah Konstitusi (Panitera). 2. Panitera melakukan pemeriksaan berkas permohonan yang meliputi pemeriksaan kelengkapan administrasi dan alat bukti. Apabila panitera berpendapat bahwa berkas telah memenuhi syarat maka permohonan dicatat dalam Buku Register Perkara Konstitusi dan diberi nomor perkara dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara, sedangkan permohonan yang belum lengkap dimintakan kelengkapan kepada pemohon dengan menerbitkan Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas. Pemohon diberi jangka waktu 7 (tujuh) hari untuk melengkapi. 3. Permohonan yang telah dilengkapi dicatat dalam Buku Register Perkara Konstitusi dan diberi nomor perkara. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari pemohon tidak melengkapi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan mengembalikan berkas permohonan. 4. Dalam jangka 7 (tujuh) hari sejak permohonan didaftar dalam Buku Register Perkara Konstitusi, Panitera menyampaikan salinan permohonan kepada Presiden, dan DPR dan menyampaikan pemberitahuan kepada Mahkamah Agung.
BPSDM 34 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN 5. Selanjutnya Panitera menetapkan Panitera Pengganti dan HAM menyampaikan berkas permohonan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. Ketua Mahkamah Konsitusi menetapkan susunan hakim panel dan menentukan jadwal sidang pertama. 6. Hakim panel pada persidangan pendahuluan melakukan pemeriksaan ulang terhadap kelengkapan administrasi. Kemudian melakukan pemeriksaan terhadap kejelasan materi permohonan dan kedudukan hukum (legal standing) pemohon. Apabila panel hakim berpendapat bahwa permohonan perlu dilengkapi maka pemohon diberi kesempatan untuk melengkapi dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari. 7. Apabila majelis hakim panel berpendapat bahwa pemeriksaan pendahuluan telah selesai maka dilanjutkan dengan pemeriksaan dalam persidangan pleno terbuka. Panitera menyampaikan salinan berkas permohonan yang telah diperiksa hakim panel kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. 8. Pemeriksaan dalam persidangan meliputi pokok permohonan, pemeriksaan alat bukti tertulis, keterangan presiden/pemerintah, keterangan DPR dan/atau DPD, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan pihak terkait, pemeriksaan yang dapat dijadikan petunjuk, pemeriksaan alat bukti lain. 9. Apabila diperlukan Mahkamah Konstitusi meminta keterangan Presiden, DPR, DPD dan pihak-pihak terkait untuk memberikan keterangan berkaitan dengan materi
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 35 BPSDM permohonan (Proses penyusunan keterangan pemerintah HUKUM akan diuraikan tersendiri). DAN HAM10. Setelah pemeriksaan dalam persidangan selesai, maka dilaksanakan rapat permusyawaratan hakim yang dilakukan secara tertutup untuk menilai, menyimpulkan, dan memutuskan permohonan. 11. Diktum putusan Mahkamah Konstitusi dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok. o Permohonan tidak dapat diterima, apabila permohonan tidak memenuhi sarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51; o Permohonan dikabulkan, dalam hal permohonan beralasan dan dalam hal pembentukan Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; o Permohonan ditolak, dalam Undang-Undang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. o Selain mengeluarkan putusan, Mahkamah Konstitusi juga mengeluarkan penetapan dalam hal permohonan ditarik kembali oleh pemohon. 12. Putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada Presiden, DPR, DPD, MA, pemohon, dan pihak terkait. 13. Putusan yang menyatakan permohonan dikabulkan, wajib ditempatkan dalam Berita Negara paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan dibacakan dalam sidang pleno terbuka.
36 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) B. Hukum Acara Pengujian Peraturan Perundang- undangan di Mahkamah Agung Hukum acara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011. PEMOHON BPSDM HUKUMPENGADILAN NEGERI DAN HAMMAHKAMAH AGUNG PUTUSAN TERMOHON KETERANGAN : 1. Pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang (permohonan) kepada Mahkamah Agung atau Pengadilan
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 37 BPSDM Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan HUKUM Pemohon; DAN HAM2. Dalam hal Permohonan diajukan ke Mahkamah Agung, Panitera melakukan pemeriksaan berkas permohonan yang meliputi pemeriksaan kelengkapan administrasi dan alat bukti. Apabila panitera berpendapat bahwa berkas telah memenuhi syarat maka permohonan dicatat dalam Buku Register Perkara dan diberi nomor perkara 3. Panitera menyampaikan salinan permohonan kepada Termohon. 4. Termohon wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterima salinan permohonan tersebut; 5. Selanjutnya Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut; 6. Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri, didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan dibukukan dalam buku register permohonan tersendiri setelah pemohon atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima; 7. Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung pada hari berikut setelah pendaftaran; 8. Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut;
BPSDM 38 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN 9. Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua HAM Mahkamah Agung menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut; 10. Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. 11. Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan sallnan putusan Mahkamah Agung dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim. 12. Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara; 13. Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 39 BAB V PROSES PENYUSUNAN KETERANGAN PRESIDEN DAN JAWABAN TERMOHON BPSDMJam Pokok Bahasan dan Pengajar Jam Mandiri HUKUMPelajaranSub Pokok Bahasan DAN 13-16 HAMProses Penyusunan KeteranganPengajar Mempelajari, (4JP) Presiden dan Jawaban Termohon memberikan mendiskusikan, 1. Proses Penanganan Pengujian penjelasan dan baik secara membangun perorangan atau Undang-Undang oleh pemahaman kelompok terkait Pemerintah terhadap peserta dengan tugas 2. Keterangan Presiden dalam mengenai proses yang diberikan pengujian Undang-Undang di penyusunan pengajar. Mahkamah Konstitusi Keterangan Presiden 3. Jawaban Termohon dalam dan Jawaban pengujian Peraturan Termohon dalam Perundang-undangan di pengujian Peraturan Mahkamah Agung Perundang-undangan A. Proses Penanganan Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi oleh Pemerintah Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa “…hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan”. Lebih lanjut ditegaskan oleh Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa “Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu 39
BPSDM 40 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim HAM konstitusi diterima”. Ditilik dari sudut pandang ketentuan ini, dapat dipahami bahwa Keterangan Presiden bersifat wajib disampaikan dalam perkara pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. Persidangan untuk mendengarkan keterangan resmi lembaga-lembaga negara, termasuk Keterangan Presiden, selalu dilakukan dalam bentuk Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, bukan Sidang Panel Mahkamah Konstitusi. Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008, pengaturan demikian sengaja dibuat untuk menunjukkan penghormatan Mahkamah Konstitusi kepada lembaga-lembaga negara tersebut, termasuk Lembaga Kepresidenan. (Jimly Asshiddiqie: 2005) Presiden dan DPR adalah lembaga negara yang secara konstitusional bertanggung jawab dalam pembuatan Undang- Undang. Oleh karena itu, Presiden dan DPR harus memberikan keterangan dalam persidangan perkara pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. (Maruarar Siahaan: 2006) Proses Penanganan Pengujian Undang-Undang oleh Pemerintah meliputi: 1. Persiapan Penanganan Perkara Pengujian Undang- Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 a. Menerima salinan permohonan dan/atau perbaikan permohonan Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) 41 BPSDM b. Surat Kuasa Presiden dengan Hak Substitusi HUKUM c. Penyusunan Resume Permohonan DAN d. Pengumpulan Bahan dan Data HAM e. Penyusunan Konsep Keterangan Presiden f. Koordinasi dengan Kementerian/Lembaga Terkait 2. Pelaksanaan Persidangan a. Pembacaan Keterangan Presiden dalam Persidangan b. Pengajuan Saksi dan/atau Ahli c. Penyampaian Alat Bukti d. Penyusunan dan Penyampaian Kesimpulan Presiden e. Putusan Proses Penanganan Pengujian Peraturan Perundang- undang di Mahkamah Agung oleh Pemerintah Proses Penanganan Pengujian Undang-Undang oleh Pemerintah meliputi: 1. Persiapan Penanganan Perkara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Mahkamah Agung a. Menerima salinan permohonan b. Surat Kuasa Presiden dengan Hak Substitusi c. Penyusunan Resume Permohonan d. Pengumpulan Bahan dan Data e. Penyusunan Konsep Jawaban Termohon f. Koordinasi dengan Kementerian/Lembaga Terkait g. Penyerahan Jawaban Termohon h. Putusan
BPSDM 42 Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) HUKUM DAN B. Sistematika dan Tata Cara Penyusunan Keterangan HAM Presiden Bila kita mencermati Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, ternyata di kedua peraturan tersebut tidak diketemukan adanya aturan mengenai format atau bentuk serta pokok- pokok isi keterangan Presiden dipersidangan Mahkamah Konstitusi. Hal yang berhubungan dengan keterangan pemerintah, hanya dapat dijumpai dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 dan itupun hanya merupakan definisi dari keterangan Presiden, sebagaimana tercantum dalam Pasal 25 ayat (1) yang berbunyi, “Keterangan Presiden adalah keterangan resmi pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai pokok-pokok permohonan yang merupakan hasil koordinasi dari Menteri-menteri dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait”. Meskipun di dalam kedua instrumen hukum tersebut tidak ditentukan mengenai bentuk atau format serta pokok-pokok isi keterangan Presiden, namun mengacu pada syarat-syarat yang harus dipenuhi suatu permohonan pengujian undang-undang sebagimana diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 31 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi dan Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/ 2005, maka pokok-pokok isi keterangan Presiden di
Search