Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore PERANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

PERANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Published by bpsdmhumas, 2020-09-15 01:17:33

Description: Modul 11

Search

Read the Text Version

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional i BPSDM MODUL HUKUM DANPENDIDIKAN DAN PELATIHAN FUNGSIONAL CALON PEJABAT FUNGSIONAL HAMPERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAM TAHUN 2016

BPSDM ii Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) HAM Krisnawati, Andriana Putera, Hendra Kurnia Herlina, Syarifah Modul Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan. Peranan Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum Nasional/ oleh 1. Andriana Krisnawati, SH., MH., 2. Hendra Kurnia Putera, SH., 3. Syarifah Herlina,SH., MH.; Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM – Depok, 2016. viii, 52 hlm; 15 x 21 cm ISBN : 978 – 602 – 9035 – 00 – 5 Diterbitkan oleh : Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jalan Raya Gandul – Cinere, Depok 16512 Telp. (021) 7540077, 7540124 Fax. (021) 7543709

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional iii KATA PENGANTAR BPSDM Peraturan Perundang-undangan merupakan instrumen HUKUM kebijakan guna mendorong terwujudnya pembangunan nasional DAN Indonesia yang menurut sistem hukum nasional. Indonesia HAMsebagai sebuah negara hukum menempatkan Peraturan Perundang-undangan dalam posisi strategis sebagai landasan formal pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan secara nasional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan tidak dapat dipisahkan dari tujuan yang ingin dicapai oleh Indonesia sebagai sebuah negara hukum untuk menciptakan standar dan tertib hukum Pembentukan Peraturan Perundang- undangan agar dihasilkan Peraturan Perundang-undangan yang harmonis dan utuh demi terwujudnya pembangunan nasional yang memberikan kepastian hukum dan menghormati prinsip- prinsip hak asasi manusia. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dapat dipisahkan dari manusia dalam proses pembentukannya yang dapat mempengaruhi kualitas sebuah peraturan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam Pasal 98 dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 memuat pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peran yang diberikan oleh Perancang Peraturan Perundang- undangan bertujuan mengawal Peraturan Perundang-undangan

BPSDM iv Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN dalam setiap tahapan pembentukannya baik di pusat maupun di HAMdaerah agar dapat dihasilkan Peraturan Perundang-undangan yang berkualitas, aspiratif dan responsif selaras dengan sistem hukum dan tujuan pembangunan nasional secara menyeluruh. Mengingat pentingnya peran yang dimiliki oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu selaras dengan peningkatan kompetensi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk terwujudnya peningkatan kompetensi Perancang Peraturan Perundang- undangan adalah melalui Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan berbasis kompetensi yang berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 Tahun 2015 tentang Diklat Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan, agar dapat dihasilkan para Perancang Peraturan Perundang-undangan yang profesional dan memiliki kompetensi dalam bidangnya. Modul ini merupakan modul yang dihasilkan dari penyempurnaan kurikulum Diklat Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan, yang telah disesuaikan dengan perkembangan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan peranan Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Diharapkan modul dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Pertama dalam memahami Peraturan Perundang-undangan baik dari segi teori maupun

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional v praktek. Di samping mempelajari modul secara menyeluruh Peserta juga disarankan dapat mengembangkan pemahaman melalui sumber-sumber belajar lain di luar modul. Semoga modul ini dapat dimanfaatkan dan membantu dalam proses pembelajaran, baik oleh peserta, widyaiswara, pengajar, atau fasilitator. Harapan kami semoga melalui Diklat Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dapat dihasilkan para lulusan Perancang Peraturan Perundang- undangan Ahli Pertama yang memiliki kompetensi dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. BPSDM HUKUM DAN HAM Depok, 28 Februari 2015 PUSAT PENGEMBANGAN DIKLAT FUNGSIONAL DAN HAM

vi Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional DAFTAR ISI BPSDM Halaman HUKUM DANKATA PENGANTAR........................................................... iii HAMDAFTAR ISI ....................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN.................................................. 1 A. Latar Belakang.............................................. 1 B. Deskripsi Singkat.......................................... 3 C. Durasi pembelajaran..................................... 3 D. Hasil Belajar................................................... 4 E. Indikator Hasil Belajar.................................... 4 F. PraSyarat ...................................................... 5 G. Materi Pokok dan Sub Materi ........................ 5 BAB II KEDUDUKAN INDONESIA SEBAGAI BAGIAN 7 DARI DUNIA INTERNASIONAL.......................... 10 A. Pengertian Perjanjian Internasional .............. 12 B. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional ........ C. Ratifikasi, reservasi, dan deklarasi pada 17 Perjanjian Internasional ................................ 25 D. Diskusi .......................................................... 25 E. Latihan...........................................................

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional vii BAB III PERANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL 27 DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL. A. Politik Hukum Nasional Terhadap 33 Perjanjian Internasional................................. B. Pembentukan Peraturan Perundang- 36 undangan hasil Perjanjian Internasional........ 40 C. Diskusi........................................................... 40 D. Latihan........................................................... BPSDM HUKUM DAN HAM BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN INDONESIA PASCA 41 MENANDATANGANI KONVENSI ATAU 41 PERJANJIAN INTERNASIONAL ........................ 46 A. Hak................................................................ 47 B. Kewajiban...................................................... 47 C. Diskusi........................................................... D. Latihan .......................................................... BAB V PENUTUP............................................................ 49 A. Dukungan Belajar Peserta............................ 49 B. Tindak Lanjut................................................. 49 DAFTAR PUSTAKA........................................................... 50

BPSDM HUKUM DAN HAM

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 1 BAB I PENDAHULUAN BPSDM A. Latar Belakang HUKUM DAN Modul ini digunakan bagi pengajar dan peserta untuk dapat HAM memberikan pemahaman kepada calon perancang peraturan perundang-undangan mengenai peranan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional. Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem hukum nasional di Indonesia merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kehidupan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya. Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional dan mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi pihak yang melakukan perjanjian. Oleh karena itu, ketika sebuah negara melakukan perjanjian internasional dengan negara lain maka akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak untuk melaksanakan isi dari perjanjian 1

BPSDM 2 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN internasional tersebut. Negara Indonesia mempunyai aturan HAM hukum bagaimana perjanjian internasional dapat berlaku dalam sistem hukum nasional Indonesia, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai hukum internasional khususnya mengenai peranan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional perlu dimiliki oleh seorang Perancang Perundang-undangan agar dalam memberlakukan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia dapat memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang berlaku dalam hukum internasional. Karena banyak perjanjian Internasional yang diratifikasi oleh Pemerintah seringkali tidak sesuai dengan hukum nasional kita atau justru bertentangan dengan sistem hukum nasional Indonesia. Adapun pembahasan di dalam materi peranan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional pada modul ini meliputi: a. Kedudukan Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional; b. Peranan perjanjian internasional dalam pembangunan hukum nasional; dan c. Hak dan kewajiban Indonesia pasca menandatangani konvensi atau perjanjian internasional.

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 3 BPSDMB. Deskripsi Singkat HUKUM DANModul ini merupakan modul wajib tingkat dasar yang diberikan HAMkepada calon perancang di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Materi dalam Modul ini masuk dalam materi kelompok penunjang, hal tersebut dimaksudkan agar para Perancang dapat memahami dasar pengertian perjanjian internasional dan memahami pemberlakuan perjanjian internasional dalam hukum nasional. Modul ini merupakan modul yang bersifat dasar-dasar teori mengenai hukum internasional dan memberikan pedoman dalam memberlakukan Perjanjian Internasional serta menambah wawasan peserta di dalam mempelajari modul ini, peserta diharapkan juga dapat menambah wawasan mengenai Perjanjian Internasional dengan mempelajari bahan-bahan lain yang terkait dengan Perjanjian Internasional. C. Durasi Pembelajaran Jumlah durasi waktu dalam pembelajaran modul peranan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional adalah selama 8 (delapan) jam pelajaran, atau selama 1 (satu) hari pembelajaran. Setiap 1 jam pelajaran adalah selama 45 menit.

4 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional D. Hasil Belajar Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan memahami aspek-aspek yang mendasar dalam memahami teori-teori dan penerapan Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia. BPSDM HUKUM DAN HAM E. Indikator Hasil Belajar Indikator pembelajaran di dalam modul ini berdasarkan tujuan pembelajaran dan berdasarkan pokok pembelajaran dalam silabus kurikulum. Indikator pada masing-masing pokok pembelajaran adalah sebagai berikut. Pokok Pelajaran Indikator 1 Setelah mempelajari modul ini peserta 2 diharapkan mampu menjelaskan konsep Kedudukan Indonesia sebagai 3 bagian dari dunia internasional. Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menjelaskan Peranan perjanjian internasional dalam pembangunan hukum nasional. Setelah memperlajari modul ini peserta diharapkan mampu menjelaskan Hak dan kewajiban Indonesia pasca menandatangani konvensi atau perjanjian internasional.

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 5 BPSDM F. Prasyarat HUKUM DAN Peserta yang akan mengikuti materi pembelajaran peranan HAM perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional harus terlebih dahulu mengikuti materi pembelajaran dinamika kelompok (team building), Pembinaan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan, dan materi Etika Perancang Peraturan Perundang-undangan, dan Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar Konstitusional, Jenis, Hierarki, Fungsi, dan Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan, dan teknik penyusunan peraturan perundang- undangan. G. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok 1. Kedudukan Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional dengan sub materi pokok terdiri atas: a. pengertian perjanjian internasional; b. bentuk-bentuk perjanjian internasional; dan c. ratifikasi, reservasi, deklarasi pada perjanjian internasional. 2. Peranan perjanjian internasional dalam pembangunan hukum nasional dengan sub materi pokok terdiri atas: a. politik hukum nasional erhadap perjanjian internasional; dan b. pembentukan peraturan perundang-undangan hasil perjanjian internasional. 3. Hak dan kewajiban Indonesia pasca menandatangani konvensi atau perjanjian internasional.

BPSDM HUKUM DAN HAM

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 7 BAB II KEDUDUKAN INDONESIA SEBAGAI BAGIAN DARI DUNIA INTERNASIONAL BPSDMSetelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu HUKUMmenjelaskan konsep Kedudukan Indonesia sebagai bagian dari DAN HAMdunia internasional Jam Pokok Bahasan Pengajar Pelajaran Kedudukan Indonesia sebagai Pegajar akan memandu 1-3 bagian dari dunia internasional peserta di dalam memahami (3 JP) dengan sub materi pokok terdiri aspek teoritis Kedudukan atas: Indonesia sebagai bagian dari a. pengertian perjanjian dunia internasional. internasional; b. bentuk-bentuk perjanjian internasional; dan c. ratifikasi, reservasi, deklarasi pada perjanjian internasional. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia juga memiliki posisi geografis yang unik sekaligus menjadikan negara Indonesia sangat strategis dalam pergaulan dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dari letak Indonesia yang berada di antara dua samudera dan dua benua sekaligus memiliki perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan internasional. Posisi ini menempatkan Indonesia berbatasan laut dan darat secara langsung dengan sepuluh negara di kawasan. Keadaan ini menjadikan Indonesia rentan terhadap sengketa perbatasan dan ancaman keamanan yang menyebabkan 7

BPSDM 8 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN instabilitas dalam negeri dan di kawasan. Karena letak Indonesia HAMyang strategis, sejak dulu Indonesia telah menjadi perebutan pengaruh oleh pihak asing. Negara ini telah melalui beberapa periodisasi penguasaan dan perebutan pengaruh, mulai dari Portugal, Belanda, hingga Amerika Serikat dan Uni Soviet ketika Perang Dingin. Di masa mendatang tidak menutup kemungkinan Indonesia akan kembali menjadi wilayah perebutan pengaruh oleh negara-negara besar. Hal ini bisa dilihat dengan kemunculan China sebagai hegemoni baru di kawasan yang telah menggeser perimbangan kekuasaan sekaligus mengikis pengaruh Amerika di kawasan. Sebagai negara yang berdaulat sesuai dengan amanah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia memiliki kewajiban melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang harus diperjuangkan secara konsisten. Sebagai negara yang besar, Indonesia memiliki potensi untuk mempengaruhi dan membentuk opini internasional dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Konstelasi politik internasional yang terus mengalami perubahan yang sangat cepat menuntut Indonesia berperan dalam politik luar negeri dan kerjasama (melakukan perjanjian internasional) baik di tingkat regional maupun internasional (hukum unsrat.ac.id). Salah satu perkembangan dalam hubungan internasional adalah mengemukanya peranan negara adidaya dalam percaturan politik internasional. Negara adidaya muncul menjadi kekuatan unilateral dalam berbagai penanganan permasalahan, termasuk keamanan internasional, yang dapat bertentangan

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 9 BPSDM dengan hukum dan perjanjian internasional. Untuk itu Indonesia HUKUM perlu mengambil peran yang lebih aktif dalam mempertahankan DAN prinsip-prinsip multilateralisme, dengan menentang agresi dan HAMpenggunaan kekuatan militer dalam penyelesaian masalah internasional. Ketidakseimbangan hubungan antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju akibat globalisasi. Globalisasi, termasuk di bidang perdagangan, keuangan dan isu hak asasi manusia, serta berbagai masalah kejahatan lintas batas seperti terorisme, pencucian uang, korupsi, penyelundupan orang dan migrasi internasional baik untuk tujuan ekonomi maupun politik, akan mengakibatkan ketidak-seimbangan hubungan antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Di samping itu, dinamika hubungan internasional yang makin cepat telah memunculkan isu-isu baru yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya termasuk yang bersifat non konvensional. Belum optimalnya peran Indonesia pada tingkat subregional Asia Tenggara. Krisis yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 membawa implikasi pada menurunnya peran strategis dan kepemimpinan Indonesia di kawasan Asia Tenggara dalam hubungan keseimbangan dan kesetaraan di antara negara- negara di kawasan Asia Tenggara. Belum tuntasnya masalah perbatasan. Indonesia masih mempunyai masalah perbatasan wilayah baik darat maupun laut dengan negara-negara tetangganya yang perlu diselesaikan melalui suatu diplomasi perbatasan dalam mengatasi berbagai masalah perbatasan dan ancaman terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan. Masalah lintas batas (Border Crossing) menuntut

BPSDM 10 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN pelaksanaan kerangka kerjasama yang lebih efektif untuk HAMmemfasilitasi kegiatan masyarakat perbatasan dengan negara- negara yang berbatasan darat seperti Malaysia, Singapura, PNG, dan Timor Leste. Pelaksanaan Border Diplomacy diharapkan dapat meningkatkan atau mempercepat akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi kawasan perbatasan agar dapat memperkecil kesenjangan pertumbuhan ekonomi dan kondisi sosial dengan negara tetangga yang berbatasan langsung, mengingat fungsi wilayah perbatasan sebagai jendela yang merefleksikan keadaan sosial-ekonomi nasional. Sasaran yang hendak dicapai dalam pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerjasama internasional adalah semakin meningkatnya peranan Indonesia dalam hubungan internasional dan dalam menciptakan perdamaian dunia, serta pulihnya citra Indonesia dan kepercayaan masyarakat internasional serta mendorong terciptanya tatanan dan kerjasama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam mendukung pembangunan nasional. A. Pengertian Perjanjian Internasional. Dalam menjalin suatu hubungan internasional, negara yang terlibat harus membuat suatu perjanjian untuk membatasi hubungan tersebut. Dalam hal ini banyak proses yang harus dilalui untuk membuat suatu perjanjian internasional, lalu apa pengertian dari perjanjian internasional, berikut adalah pengertian perjanjian internasional menurut para ahli (Damos. D. Agusman:2014).

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 11 BPSDM 1) Oppenheimer-Leuterpacht HUKUM Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan DAN antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban di HAM antara pihak-pihak yang mengadakannya. 2) G. Schwarzenberger Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional. Perjanjian internasional dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek-subjek hukum internasional dalam hal ini selain lembaga-lembaga internasional juga negara-negara. 3) Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M. Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat dari hukum-hukum tertentu. 4) Konferensi Wina 1969 Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih, yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Artinya, perjanjian internasional mengatur perjanjian antarnegara saja selaku subjek hukum internasional. Ditinjau dari segi norma yang berlaku, harusnya setiap negara yang telah melakukan perjanjian wajib mempertanggungjawabkan hasil dari perjanjian dan tidak melanggarnya.

BPSDM 12 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN 5) Academy Of Science Of USSR HAM Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan yang dinyatakan secara formal antara dua atau lebih negara- negara mengenai pemantapan, perubahan, atau pembatasan daripada hak dan kewajiban mereka secara timbal balik. 6). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis dan menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum. Kesimpulan Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antarnegara dalam menjalin hubungan internasional sebagai pengatur batasan-batasan dalam kerjasamanya dan juga menghasilkan hak dan kewajiban yang harus bisa dipertanggungjawabkan oleh negara-negara tersebut. B. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional Pada dasarnya bentuk dari perjanjian internasional ada 2 (dua) bentuk, yaitu: 1. Perjanjian Internasional Tak Tertulis atau Perjanjian Internasional Lisan (Unwritten Form) Perjanjian internasional tak tertulis, pada umumnya adalah merupakan pernyataan secara bersama atau

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 13 BPSDM secara timbal balik yang diucapkan oleh kepala negara, HUKUM kepala pemerintah ataupun menteri luar negeri, atas DAN nama negaranya masing-masing mengenai suatu HAMmasalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak. Di samping itu, suatu perjanjian internasional tidak tertulis dapat berupa pernyataan sepihak yang dikemukakan pejabat-pejabat atau organ-organ pemerintah negara seperti tersebut di atas, yang kemudian pernyataan tersebut ditanggapi secara positif oleh pejabat-pejabat atau organ pemerintah dari negara lain yang berkepentingan sebagai tanda persetujuannya. Contoh: Ucapan Presiden Philipina Ferdinand E. Marcos dalam sidang KTT ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 8 Agustus 1977. Marcos, dalam pidato resminya menyatakan, bahwa sejak saat itu Philipina mencabut klaimnya atas Sabah dan mengakui Sabah sebagai bagian dari wilayah Malaysia yang ternyata mendapat tanggapan positif dari para kepala negara yang hadir dalam KTT tersebut. Ucapan itu dapat dipandang sebagai suatu janji lisan (tak tertulis) dari Philipina kepada Malaysia. Konvensi Wina 1969 secara tegas menyatakan bahwa konvensi tersebut hanya berlaku bagi perjanjian antar negara dalam bentuk tertulis. Oleh karena itu, perjanjian internasional tak tertulis ini tunduk kepada ketentuan- ketentuan hukum kebiasaan internasional, jurisprudensi, atau prinsip-prinsip hukum umum.

BPSDM 14 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN a) Perjanjian Internasional yang Berbentuk HAM Tertulis (Written Form) Hampir semua perjanjian internasional dilakukan dalam bentuk tertulis, bahkan Konvensi Wina 1969 menegaskan bentuk sebuah perjanjian internasional adalah perjanjian yang berbentuk tertulis (written form). Kelebihan perjanjian dalam bentuk tertulis adalah bahwa sebuah perjanjian yang dibuat secara tertulis memiliki ketegasan, kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak. Perjanjian internasional tertulis terdiri dari beberapa jenis, yaitu: 1) Traktat (treaty): yaitu persetujuan yang dilakukan oleh dua Negara atau lebih yang mengadakan hubungan antar mereka. Kekuatan traktat sangat ketat karena mengatur masalah- masalah yang bersifat fundamental. 2) Konvensi (convention): yaitu persetujuan resmi yang bersifat multilateral atau persetujuan yang diterima oleh organ suatu organisasi internasional. Konvensi tidak berkaitan dengan kebijakan tingkat tinggi. 3) Deklarasi (declaration): yaitu pernyataan bersama mengenai suatu masalah dalam bidang politik, ekonomi, atau hukum. Deklarasi dapat berbentuk traktat, perjanjian bilateral, dokumen tidak resmi, dan perjanjian tidak resmi.

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 15 BPSDM 4) Piagam (statue): yaitu himpunan peraturan- HUKUM peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan DAN internasional, baik tentang pekerjaan kesatuan- HAM kesatuan tertentu maupun ruang lingkup hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan tanggung jawab lembaga-lembaga internasional. 5) Pakta (pact): yaitu traktat dalam pengertian sempit yang pada umumnya berisi materi politis. 6) Persetujuan (agreement): yaitu suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis administratif. Agreement ini biasanya merupakan persetujuan antar pemerintah dan dilegalisir oleh wakil-wakil departemen tetapi tidak perlu diratifikasi oleh DPR Negara yang bersangkutan. Sifat persetujuan tidak seformal traktat dan konvensi. 7) Protokol (protocol): yaitu persetujuan yang isinya melengkapi (suplemen) suatu konvensi dan pada umumnya dibuat oleh kepala Negara. Protokol hanya mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausal-klausal tertentu dari suatu konvensi. 8) Perikatan (arrangement): yaitu suatu perjanjian yang biasanya digunakan untuk transaksi- transaksi yang bersifat sementara dan tidak seformal traktat dan konvensi. 9) Modus vivendi: yaitu dokumen untuk mencatat suatu persetujuan yang bersifat sementara.

BPSDM 16 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN 10) Charter: yaitu istilah yang digunakan dalam HAM perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif. 11) Pertukaran nota (exchange of notes): yaitu metode tidak resmi yang sering digunakan dalam praktik perjanjian internasional. Metode ini menimbulkan kewajibankewajiban yang mengikat mereka. Biasanya metode ini dilakukan oleh wakil-wakil militer dan Negara serta dapat bersifat nonagresi. 12) Proses verbal: yaitu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulan- kesimpulan konferensi diplomatik atau catatan- catatan suatu pemufakatan. Proses verbal ini tidak perlu diratifikasi. 13) Convenant: merupakan anggaran dasar dari PBB. 14) Ketentuan umum (general act): yaitu traktat yang bersifat resmi dan tidak resmi. 15) Kompromis: yaitu tambahan atas persetujuan yang telah ada. 16) Ketentuan penutup (final act): yaitu ringkasan- ringkasan hasil konferensi yang menyebutkan Negara-negara peserta, utusan-utusan dari Negara yang turut berunding, serta masalah- masalah yang disetujui dalam konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi.

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 17 BPSDM C. Ratifikasi, Reservasi, dan Deklarasi pada perjanjian HUKUM internasional. DAN HAM 1. Ratifikasi Perjanjian Internasional Globalisasi hubungan internasional dewasa ini telah semakin meningkatkan interaksi antara hukum internasional dan hukum nasional di Indonesia. Interkasi kedua bidang hukum ini semakin mempertajam pertanyaan tentang arti lembaga “pengesahan” (ratifikasi, aksesi, acceptance, approval) dalam kaitannya dengan perjanjian internasional dalam hukum nasional Republik Indonesia. Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya. Proses ratifikasi konstitusi sering ditemukan pada negara federasi seperti Amerika Serikat atau konfederasi seperti Uni Eropa. Ratifikasi suatu kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara/Kepala Pemerintahan. Pasal 14 Kovensi Wina 1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi suatu perjanjian. Namun bila suatu

BPSDM 18 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN negara telah meratifikasi Perjanjian Internasional maka HAM negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut, sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditanda tangani, selama materi atau subtansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. Kecuali dalam perjanjian bilateral, diperlukan ratifikasi. Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi. Ratifikasi perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden (Peraturan Presiden). Ratifikasi perjanjian internasional dilakukan dengan Undang- Undang jika berkenaan dengan: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 19 BPSDM c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; HUKUM DAN d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; HAM e. pembentukan kaidah hukum baru; dan f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi di atas dilakukan dengan Keputusan Presiden (Peraturan Presiden). Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap Keputusan Presiden (Peraturan Presiden) yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi. 2. Reservasi Perjanjian Internasional Pensyaratan (Reservation) dalam suatu perjanjian internasional (Setyo Widagdo, Jurnal Hukum Internasional) merupakan suatu hal yang sangat penting, karena ketentuan tentang dibolehkannya suatu perjanjian internasional dapat diberikan pensyaratan, akan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi negara- negara untuk ikut serta dalam perjanjian internasional. Walaupun tidak dapat dihindari bahwa ketika suatu negara mengajukan pensyaratan terhadap suatu perjanjian internasional yang akan diikutinya, maka akan timbul pula akibat-akibat hukum dari adanya pensyaratan tersebut. Hal ini disebabkan karena ada negara yang menerima dan ada pula negara yang menolak terhadap pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara.

BPSDM 20 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian HAM Internasional, ketentuan mengenai pensyaratan ini secara rinci diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 23. Dimana masing-masing Pasal mengatur masalah penyusunan suatu pensyaratan (Pasal 19), penerimaan dan penolakannya (Pasal 20), akibat hukum dari penerimaan dan penolakan pensyaratan (Pasal 21), pembatalan atau penarikan kembali suatu pensyaratan (Pasal 22) dan prosedur mengenai pensyaratan (Pasal 23). Menurut ketentuan dalam Pasal 19 Konvensi Wina 1969, negara berhak mengemukakan pensyaratan pada saat penandatanganan, penyerahan instrumen ratifikasi, menerima suatu perjanjian, internasional menyatakan turut serta, kecuali apabila perjanjian tersebut melarang untuk mengadakan pensyaratan, atau perjanjian internasional tersebut menyebutkan bahwa hanya pensyaratan khusus yang diperbolehkan, sedangkan pensyaratan lain tidak diperkenankan, atau pensyaratan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri. Pasal 20 ayat 1 Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa bila pensyaratan diijinkan oleh perjanjian internasional, maka tidak perlu meminta suatu pernyataan diterima oleh negara lain, kecuali jika hal demikian itu disebutkan dalam perjanjian internasional tersebut. Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (2) menghendaki bahwa dalam keadaan khusus, yakni jika

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 21 BPSDM perjanjian internasional tersebut harus berlaku secara HUKUM keseluruhan (seutuhnya), maka persetujuan dari setiap DAN negara peserta perjanjian internasional disyaratkan. HAMKemudian Pasal 20 ayat (3) menjanjikan bahwa jika perjanjian internasional dimaksud merupakan suatu anggaran dasar suatu organisasi internasional, misalnya PBB, kecuali ditentukan lain, maka pensyaratan memerlukan persetujuan dari lembaga yang berwenang dari organisasi internasional itu. Selanjutnya Pasal 20 ayat (4) Konvensi Wina 1969 mengatur tentang akibat hukum dari pensyaratan, yakni sebagai berikut: a. suatu pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara dan diterima oleh negara peserta lain, maka antara negara yang menyatakan pensyaratan dan negara yang menerimanya, perjanjian internasional itu akan berlaku di antara mereka; b. suatu keberatan oleh negara peserta lain terhadap suatu pensyaratan tidak mengesam- pingkan berlakunya perjanjian internasional (diantara mereka), kecuali jika maksud yang bertentangan secara tegas dinyatakan oleh negara yang berkeberatan tersebut; dan c. suatu tindakan yang menyatakan keinginan suatu negara untuk diikat dalam suatu perjanjian dan berisikan suatu persyaratan,mulai berlaku sejak setidak-tidaknya satu peserta lain menerima persyaratan tersebut.

BPSDM 22 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (5) Konvensi Wina 1969 HAM menegaskan bahwa kecuali dinyatakan lain, suatu pensyaratan dianggap diterima oleh suatu negara, jika tidak menimbulkan suatu keberatan terhadap pensyaratan tersebut dan pada akhir 12 (dua belas) bulan setelah pensyaratan. itu diajukan, atau pada saat dijelaskan keinginannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional. Contoh Masalah dan Praktek Negara Mengenai Pensyaratan Pada tahun 1951, atas permintaaan Majelis Umum PBB, Mahkamah Internasional telah mengeluarkan suatu advisory opinion mengenai pensyaratan. Advisory Opinion tersebut berkenaan dengan suatu Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman terhadap kejahatan pembunuhan masal manusia (Genocide Convention). Dimana dalam konvensi tersebut terdapat persoalan hukum mengenai pensyaratan, persoalan mana menyangkut masalah kriteria untuk menentukan hak mengajukan pensyaratan dan hak untuk menolak atau menyatakan keberatan terhadap pensyaratan (O’Connel:1970). Dengan perbandingan suara 7:5 Mahkamah mengeluarkan Advisory Opinion nya sebagai berikut (Green L.C : 1978): a. suatu negara yang telah mengajukan pensyaratan dan ditolak oleh negara peserta lain, sedangkan

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 23 BPSDM negara itu tetap mempertahankan pensyaratannya, HUKUM maka negara yang mengajukan pensyaratan (the DAN reserving state) dapat dianggap sebagai peserta HAM konvensi apabila pensyaratan yang diajukan itu sesuai dengan tujuan dan maksud dari konvensi, demikian juga sebaliknya. b. apabila salah satu pihak peserta konvensi menolak pensyaratan yang diajukan oleh pihak peserta lain, karena dipandang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud konvensi, maka negara yang menolak (the objecting state) dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) bukan sebagai pihak peserta konvensi. Sebaliknya apabila pihak peserta yang lain menerima pensyaratan tersebut, karena dipandang sesuai dengan tujuan dan maksud konvensi, maka pihak yang menerima pensyaratan itu dapat menganggap bahwa pihak yang mengajukan pensyaratan sebagai pihak peserta konvensi. c. penolakan terhadap pensyaratan yang dilakukan oleh negara penandatangan (signatory state), yang belum meratifikasi konvensi, dapat mempunyai akibat hukum, seperti pada huruf a diatas, hanya apabila negara itu mengadakan ratifikasi (Suwardi:1979). Disamping itu, penolakan terhadap pensyaratan yang dilakukan oleh negara yang berhak menandatangani atau menyatakan ikut serta tetapi belum melakukannya, tidak mempunyai akibat hukum.

BPSDM 24 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN Dari Advisory Opinion Mahkamah Internasional tersebut, HAM maka sebenarnya permasalahan pada huruf a dan b di atas. Pendapat Mahkamah Internasional tersebut juga mengandung suatu prinsip mengenai pensyaratan dalam hubungannya dengan penerimaan dan penolakan terhadap pensyaratan, yakni prinsip atau sistem “Pan American”. Hal ini dapat dilihat pada huruf a dan b di atas. Dengan demikian prinsip atau sistem “Pan American” yang terkandung dalam Advisory Opinion Mahkamah Internasional tersebut sama dengan prinsip yang terkandung dalam Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian internasional. Menurut prinsip atau doktrin “Pan American” tersebut tidak diperlukan persetujuan (consent) yang bulat dari para peserta konvensi atas pensyaratan yang diadakan oleh negara yang hendak turut serta dalam konvensi, melainkan konvensi itu dianggap berlaku dengan pensyaratan yang diajukan antara yang mengajukan pensyaratan dengan yang menerima pensyaratan. Sedangkan diantara negara-negara yang menolak pensyaratan dengan negara yang mengajukan pensyaratan, konvensi itu dianggap tidak berlaku. 3. Deklarasi Perjanjian Internasional Deklarasi (declaration) yaitu suatu perjanjian yang bertujuan untuk memperjelas atau menyatakan adanya hukum yang berlaku atau untuk menciptakan hukum

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 25 BPSDM baru. Biasanya dilakukan terhadap mengenai suatu HUKUM masalah dalam bidang politik, ekonomi, atau hukum. DAN Deklarasi dapat berbentuk traktat, perjanjian bilateral, HAM dokumen tidak resmi, dan perjanjian tidak resmi. D. Diskusi Diskusikan bagaimana sebaiknya kedudukan Indonesia dalam pergaulan dunia internasional dengan memberikan contoh-contoh kasus yang pernah melibatkan indonesia dalam menyelesaikan permasalahan dunia internasional. Diskusikan! E. Latihan Peserta diminta memberikan contoh-contoh kasus yang melibatkan Indonesia dalam permasalahan dunia internasional. Contoh dapat terkait dengan: • Dampak Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN di Indonesia. • Penyelesaian batas wilayah antara Indonesia dengan Malaysia. • Dan lainnya. Peserta diminta untuk melakukan Analisis terhadap masalah tersebut dan memberikan rekomendasi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip hukum perjanjian internasional.

BPSDM HUKUM DAN HAM

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 27 BAB III PERANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL BPSDMSetelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu HUKUMmenjelaskan Peranan perjanjian internasional dalam DAN HAMpembangunan hukum nasional Jumlah Jam Materi Kegiatan Pengajar Kegiatan Peserta Pelajaran Peranan perjanjian Pegajar akan Untuk dapat 1-3 internasional dalam memandu peserta di memahami materi (3 JP) pembangunan hukum dalam memahami dalam proses nasional dengan sub aspek teoritis pembelajaran, materi pokok terdiri atas: Peranan perjanjian peserta a. politik hukum nasional internasional dalam memperhatikan dan pembangunan mengikuti terhadap perjanjian hukum nasional pembelajaran yang internasional; dan disampaikan oleh b. pembentukan pengajar, serta aktif peraturan perundang- dalam diskusi dan undangan hasil tanya jawab yang perjanjian disampaikan oleh internasional. Pengajar. Peranan hukum internasional dalam perkembangan sistem hukum suatu negara mempunyai fungsi yang cukup penting. Hal ini berkaitan dengan makin banyaknya kegiatan-kegiatan lintas batas negara, sehingga menyebabkan batas-batas teritorial suatu negara bukanlah suatu hambatan dalam hubungan ekonomi, sosial, budaya, maupun politik yang dilakukan antar individu maupun antar negara. Untuk mengatur lalu lintas kepentingan tersebut maka diperlukan seperangkat peraturan internasional 27

BPSDM 28 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN yang berfungsi mengatur mengenai tatacara berhubungan satu HAMsama lain antar negara di dunia. Adanya globalisasi lebih memicu perkembangan hukum internasional. Globalisasi membuat hubungan individu, korporasi, dan negara saling berinteraksi lebih jauh, lebih cepat dan lebih murah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Komunikasi dan teknologi menyebabkan jarak sudah tidak menjadi masalah yang berarti dan saling ketergantungan antara negara-negara di dunia juga semakin kuat. Perkembangan hubungan lintas batas ini memerlukan pengaturan secara internasional baik itu dituangkan melalui perjanjian bilateral maupun multilateral (Sutoro eko: Jurnal Hukum Internasional). Betapa pentingnya mempelajari serta memahami bagaimana pengaruh hukum internasional terhadap perkembangan hukum nasional (sistem hukum dan hukum positif) di Indonesia karena pertama, masalah tersebut masih selalu dikaitkan dengan prinsip “state sovereignty” dan kepentingan perlindungan hukum suatu (bangsa) Negara di dalam memasuki terutama abad globalisasi saat ini. Kedua, secara geografis, ethnografis, dan secara kultural telah diakui eksistensi keragaman antara bangsa tersebut sehingga hambatan implementasi hukum internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Indonesia (melalui ratifikasi) sering terbentur kepada masalah penerimaan pengaruh asing (hukum internasional) ke dalam kehidupan nyata yang berkembang di Indonesia. Ketiga, kerentanan masalah hukum asing tersebut berkaitan dengan pengakuan atas hak ekonomi, hak sosial dan hak politik yang berkembang dalam masyarakat.

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 29 BPSDM Proses ratifikasi suatu perjanjian internasional bukan hanya HUKUM proses persetujuan semata-mata melainkan seharusnya DAN merupakan forum pertanggungjawaban politis pemerintah HAMdihadapan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasca ratifikasi tidaklah berhenti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pengesahan perjanjian internasional melainkan harus ditindak lanjuti dengan serangkaian proses: harmonisasi substantif dan sinkronisasi kelembagaan terkait dalam pelaksanaan perjanjian internasional dimaksud dan perancangan draft Rancangan Undang-Undang sebagai sumber hukum nasional yang diakui di dalam sistem perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional tertuang dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 tentang “Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain” mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut (Sam Suhaidi : 2010).

BPSDM 30 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN Dengan semakin berkembangnya dunia yang ditandai dengan HAMpesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antar negara. Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin meningkat pula kerja sama internasional yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional. Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 yang selama ini digunakan sebagai pedoman untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi sehingga dibuatlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Titik awal dalam memeriksa hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional adalah dengan menelaah perbedaan dan persamaan antara hukum internasional dan hukum nasional. Dalam perkembangan teori-teori hukum, dikenal dua aliran besar mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. Monisme dan dualisme. Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya. Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. Akan tetapi ajaran tersebut

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 31 BPSDM tidak menjelaskan jawaban langsung atas pertanyaan yang HUKUM dihadapi dalam dunia “Hukum yang berlaku” (hukum positif). Hal DAN yang diperlukan adalah untuk memberi jawaban terhadap HAMpenetapan, atau “pilihan”, yang dibuat oleh hukum nasional tentang kedudukan dan peranan hukum internasional, khususnya dalam perjanjian internasional. pilihan demikian dapat berwujud tanpa atau melalui suatu tindakan hukum tegas dari tata hukum nasional yang bersangkutan yang termuat di undang-undang dasar, undang-undang biasa, atau, dimana hukum nasional ternyata tidak melakukan pilihan tegas (eksplisit), dikembangkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang penerapannya terlihat dalam keputusan-keputusan konkrit, misalnya keputusan- keputusan hakim (Pan Mohamad Faiz : 2010). Tata hukum nasional dapat saja menyangkal mutlak segala peranan dan pengaruh hukum internasional terhadap hukum nasional, dan berpendirian bahwa pembuat hukum nasional merupakan satu-satunya yang berwenang mengadakan peraturan-peraturan tentang hal apapun yang perlu diatur hukum dilingkungan nasionalnya. Sebaliknya, tata hukum nasional dapat juga pada asasnya mengakui kemungkinan peranan dan pengaruh itu, pengakuan mana dapat diutarakan menurut dua cara, yaitu dengan “mengizinkan” isi hukum internasional berlaku dilingkungan hukum nasional tanpa merubah sifat internasionalnya, atau dengan mengundangkan isi tersebut sebagai hukum nasional dalam bentuk perundang-undangan hukum nasional. Perbandingan antara sistem-sistem hukum nasional menunjuk dua jalan yang dapat dilalui dalam penerapan kebijakan cara pertama tadi. Jalan yang satu ialah dengan cara “membuka

BPSDM 32 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN pintu” bagi hukum internasional, yang berakibat hukum HAMinternasional itu berlaku dilingkungan hukum nasional, tanpa tindakan apapun dari pihak penguasa negara. Kebijakan “pintu terbuka” dapat juga hanya diterapkan sejauh mengenai hukum internasional tak tertulis yang biasanya bertepatan dengan hukum internasional yang “umum berlaku”, seperti di sistem mazhab hukum common law yang menggolongkan hukum internasional tak tertulis ini sebagai “law of the land”. Jalan lain yang perlu ditempuh apabila tata hukum nasional, sekalipun yakin akan perlunya penerapan isi hukum internasional dilingkungan hukum nasional, menganggap perlu adanya suatu tindakan hukum nasional tegas agar mencapai hasil itu, seperti ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau perundangan biasa. Dalam hal perjanjian internasional Undang-Undang persetujuannya (yang dipraktek politik Indonesia disamakan dengan “ratifikasi”) (Sunaryati Hartono:1991). Arah kebijakan dari pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerjasama internasional adalah (Kementerian Luar Negeri.go.id): 1. meningkatkan kualitas diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional termasuk dalam penyelesaian masalah-masalah perbatasan dan dalam melindungi kepentingan masyarakat Indonesia di luar negeri; 2. melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi regional, khususnya di ASEAN;

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 33 BPSDM 3. menegaskan pentingnya memelihara kebersamaan HUKUM melalui kerjasama internasional, bilateral dan multilateral DAN maupun kerjasama regional lainnya, saling pengertian HAM dan perdamaian dalam politik dan hubungan internasional; 4. meningkatkan dukungan dan peran masyarakat internasional dan tercapainya tujuan pembangunan nasional; dan 5. meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri sesuai dengan undang-undang. A. Politik Hukum Nasional Terhadap Perjanjian Internasional Kepentingan nasional Indonesia sudah tercatat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Agar seluruh kepentingan dapat dilaksanakan secara maksimal maka kekuasaan untuk melaksanakanya dibagi kepada tiga lembaga (trias politika) yakni: eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR), dan yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi). Tujuanya adalah agar ketiga lembaga tersebut bisa saling mengawasi sehingga kekuasaan tidak terpusat pada satu lembaga saja. Pelaksanaan kepentingan nasional, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan amanatnya kepada lembaga eksekutif (pemerintah/presiden) untuk melaksanakanya, hal ini termasuk didalamnya membuat perjanjian internasional sebagai perpanjangan

BPSDM 34 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN tangan kepentingan nasional. Maka tidak heran jika HAM kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang termasuk di dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. Oleh karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan politik hukum Indonesia, maka politik hukum perjanjian internasional Indonesia juga harus bersumber dari sana. Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri dari tiga ayat, yaitu: (1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, damai dan membuat perjanjian dengan negara lain. (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahaan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Apabila mengacu dalam Pasal 24 Konvensi Wina 1969, suatu perjanjian internasional berlaku bagi negara apabila telah menyatakan terikat (consent to be bound) dengan cara- cara yang ditentukan oleh suatu perjanjian internasional (bisa ratifikasi, penerimaan, penyetujuan, aksesi). Konvensi Wina 1969 tidak mengatur bagaimana prosedur hukum internal suatu negara mengakui suatu perjanjian internasional.

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 35 BPSDM Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia HUKUM Tahun 1945 jo Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 DAN tentang Perjanjian Internasional merupakan prosedur hukum HAMinternal Indonesia (politik hukum Indonesia) yang mengatur bagaimana Indonesia terikat atas perjanjian internasional. Jika ditafsirkan secara sistematis, pengesahan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 merupakan turunan dari kata “persetujuan DPR” dalam Pasal 11 UUD 1945. Dengan demikian, pengesahan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 harus dilakukan sebelum adanya pengesahan eksternal yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (1). Posisi ayat (2) dan ayat (1) dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tahun 2000 adalah terbalik. Alasanya, dalam kebiasaan hukum perjanjian internasional biasanya diberikan jeda waktu antara penandatangan perjanjian internasional dengan proses ratifikasi, aksesi, penyetujuan, atau penerimaan. Hal ini dilakukan untuk memberikan ruang dan waktu bagi mekanisme hukum internal suatu negara bekerja, apakah menyetujui atau tidak. Proses ini tentu saja terkait, sekali lagi, dengan proses check and balances sebab yang bertindak sebagai pelaku pembuatan perjanjian internasional adalah eksekutif (pemerintah/negara). Mekanisme hukum internal terkait berlakunya perjanjian internasional merupakan suatu keniscayaan. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia menganut monisme atau dualisme terkait hal tersebut berdasarkan ketentuan tersebut di atas.

BPSDM 36 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN Persetujuan lembaga legislatif dalam pengikatan perjanjian HAM internasional suatu negara merupakan suatu yang lazim. Belanda misalnya, persetujuan parlemen dituangkan dalam bentuk Undang-Undang (wet) namun digaris bawahi pula bahwa Undang-Undang (wet) ini hanya format persetujuan parlemen dan bukan dimaksudkan sebagai Undang-Undang (wet) dalam arti yang lazim. Sekalipun parlemen sudah menyetujui, tidak otomatis raja berkewajiban untuk meratifikasinya (Damos D. Agusman: 2014). B. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Hasil Perjanjian Internasional Penyusunan Rancangan Undang-Undang yang didasarkan pada Prolegnas tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Pemrakarsa melaporkan penyiapan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang kepada Presiden secara berkala. Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan Rancangan Undang-Undang yang meliputi: a. urgensi dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan serta arah pengaturan.

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 37 BPSDM Keadaan tertentu di atas adalah: HUKUM a. menetapkan Perpu menjadi Undang-Undang; DAN b. meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; HAMc. mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; d. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang- Undang yang dapat disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri. Dengan adanya ketentuan di atas, keinginan DPR-RI dan Pemerintah untuk mertatifikasi konvensi atau penjanjian internasional setiap saat bisa dilakukan. Dalam proses pembahasan (baik antarkemeneterian maupun di DPR) lebih mudah dibandingkan dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang biasa karena substansinya hanya 2 pasal dan rata-rata 3 x pertemuan sudah dapat diselesaikan. Terkait dengan proses penyusunan pengesahan Rancangan Undang-Undang yang meratifikasi perjanjian internasional, secara khusus telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Di bawah ini hal-hal penting untuk diingat oleh pembentuk atau perancang. Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval)

BPSDM 38 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN Pensyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu HAM negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Pernyataan (Declaration) adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional. Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik. Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden (Peraturan Presiden). Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan:

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 39 BPSDM a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan HUKUM negara; DAN HAMb. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi di atas, dilakukan dengan keputusan presiden (Peraturan Presiden). Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik kementerian maupun nonkementerian, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, Rancangan Undang-Undang, atau Rancangan Keputusan Presiden (Rancangan Peraturan Presiden) tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan. Lembaga pemrakarsa, yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik kementerian maupun nonkementerian, mengkoordinasikan pembahasan Rancangan Undang-Undang, atau Rancangan Keputusan Presiden (Rancangan Peraturan Presiden) dan/atau materi permasalahan yang pelaksanaannya dilakukan bersama dengan pihak-pihak terkait.

BPSDM 40 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional HAM dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden. Setiap Undang- Undang, atau Keputusan Presiden (Peraturan Presiden) tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan Pemerintah Republik Indonesia pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara pihak atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpan pada organisasi internasional. C. Diskusi Buat Diskusi kelompok terdiri dari 10 (sepuluh) Orang Peserta membuat bahasan mengapa harus segera dibuat Peraturan nasional sebagai akibat dari telah diratifikasinya Perjanjian Internasional D. Latihan Peserta membuat Pendapat kelompok dan Mempresentasikan akibat yang mungkin akan diterima oleh Negara jika tidak membuat Peraturan Nasional sebagai pasca persetujuan Perjanjian Internasional. Widyaiswara/Narasumber dapat mengangkat topik UU terbaru sebagai bahan latihan.

Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional 41 BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN INDONESIA PASCA MENANDATANGANI PERJANJIAN INTERNASIONAL BPSDM HUKUMSetelah memperlajari modul ini peserta diharapkan mampu DANmenjelaskan hak dan kewajiban Indonesia pasca menandatangani HAMkonvensi atau perjanjian internasional Jam Pelajaran Pokok Bahasan Pengajar Peserta 1-2 Hak dan kewajiban Pengajar Peserta (2 JP) Indonesia pasca memberikan mendisku sikan menandatangani pemahaman kepada melalui diskusi konvensi atau peserta mengenai kelompok perja njian Hak dan kewajiban mengenai Hak internasional Indonesia pasca dan kewajiban menandatangani Indonesia pasca konvensi atau menandatangani perjanjian konvensi atau internasional perjanjian internasional A. Hak Semakin banyak permasalahan yang muncul baik nasional, regional, ataupun global memerlukan perhatian dan penyelesaian dari banyak negara. Dalam banyak kasus, pemerintah beberapa negara seringkali berunding untuk membahas masalah serta memberikan solusi bagi permasalahan yang timbul antarnegara, istilah perjanjian merujuk pada interaksi antarnegara dalam menyelesaikan berbagai masalah atau konflik kepentingan di berbagai 41

BPSDM 42 Peranan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional HUKUM DAN bidang, seperti bidang politik, ekonomi, sosial budaya, serta HAM pertahanan dan keamanan (militer). Sebuah perjanjian harus dapat memberikan manfaat bagi negara-negara yang bergabung dalam suatu perjanjian. Pengertian Perjanjian Internasional adalah usaha saling menghormati, berhubungan, bekerja sama, dan hidup berdampingan secara damai antarbangsa tersebut dapat diwujudkan melalui perjanjian internasional. Para ahli memberi definisi yang beragam mengenai perjanjian internasional, antara lain : 1. G. Schwarzenberger (1967). Perjanjian internasional adalah persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional, dapat berbentuk bilateral ataupun multilateral. 2. Oppenheim (1996). Perjanjian internasional merupakan suatu persetujuan antarnegara, yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. 3. Mochtar Kusumaatmadja (1982). Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Berdasarkan Konferensi Wina tahun 1969, Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih, yang bertujuan untuk mengadakan akibat- akibat hukum tertentu.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook