sebagai indekasi krusial yang penting bagi teks. Dalam (yang juga diketahui lewat monolog tokoh); (2) artikel yang dibaca oleh tokoh; (3) narator (deskripsi pencerita); (4) latar kaitan itu, Robert Escarpit juga berpendapat bahwa tempat; dan (5) latar waktu: seseorang yang ingin mengetahui arti sebuah teks sastra, Tokoh-tokoh dalam SH, seperti R. Potronojo (orang tua Hijo), Hijo, Tumenggung Jarak, Wardoyo, dan beberapa orang pertama-tama harus tahu bagaimana teks itu telah dan yang terlibat dalam organisasi Serikat Islam merupakan tokoh-tokoh yang mempresentasikan harus dibaca. Jika ingin mengetahui nilai apa yang nasionalisme. Mereka digambarkan sebagai tokoh pribumi yang memiliki sikap, pikiran, dan pandangan yang menolak dan terkandung dalam teks, seseorang perlu mengadakan mencoba melawan hegemoni pemerintah kolonial Belanda. Mereka juga dihadapkan dengan tokoh-tokoh lain baik dari penelitian tentang keanakaragaman segmen audiens. kalangan pribumi yang menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda maupun orang-orang Belanda yang berposisi sebagai 3. Penerapan Analisis Sosiologi Sastra kaum kolonial, seperti Sersan Djepris, Walter, dan orang-orang yang ditemui Hijo di negeri Belanda. Pada bagian ini disajikan contoh penerapan analisis Secara spesifik nasionalisme yang dipresentasikan lewat sosiologi sastra yang dilakukan oleh Wiyatmi terhadap tokoh tampak pada aspek berikut: (a) dialog antartokoh, yaitu antara Ayah dan Ibu Hijo (Potronojo); (b) monolog tokoh, yaitu novel SH karya Marco Kartodikromo. monolog yang dilakukan Hijo, yang juga berhubungan dengan pikiran dan sikap tokoh; (c) pikiran tokoh (Hijo); (d) sikap tokoh Setelah dilakukan pembacaan yang cermat terhadap novel (Potronojo); (e) artikel dari surat kabar yang membahas SH, ditemukan empat klasifikasi gagasan nasionalisme kehidupan orang Belanda di Hindia. Artikel ini diberikan oleh dengan sembilan butir data. Secara kuantitatif data Walter kepada Sersan Djepris yang merendahkan orang-orang tersebut sebenarnya relative sedikit, tetapi secara kualitatif pribumi. Selain itu, (f) narator (pencerita) ketika menguraikan gagasan nasionalisme berlangsungnya konggres Serikat Islam I di Solo, juga yang ada di dalamnya cukup dalam, apalagi dalam konteks menguraikan peristiwa ketika pertama kali Hijo mendarat di waktu itu, ketika novel tersebut ditulis dan dipublikasikan pelabuhan Amsterdam, latar tempat, Solo, sebagai tempat dalam kekuasaan kolonial Belanda. Keempat klasifikasi tinggal keluarga Hijo (Potronoyo) dan berlangsungnya konggres gagasan nasionalisme persaudaraan yang ditawarkan oleh Serikat Islam, juga Karesidenan Jarak. Di samping itu, juga orang orang Belanda karena tidak memiliki kedudukan Amsterdam dan Den Haag (Belanda), tempat Hijo dikirim untuk yang seimbang; dan (4) bersatu melalui gerakan sosial melanjutkan sekolah dan bergaul dengan keluarga Piet (orang atau partai politik (khususnya Serikat Islam) untuk melawan Belanda). Latar waktu, awal abad XX, masa penjajahan Belanda pemerintah kolonial Belanda. Gagasan nasionalisme dalam di Hindia (sebutan Indonesia sebelum (pra) kemerdekaan), SH disampaikan dan melekat dalam unsur-unsur fiksi: (1 termasuk di dalamnya waktu didirikannya organisasi Serikat khususnya dialog antartokoh, sikap tokoh, pikiran tokoh Islam di Solo (1911) 51
Keempat wujud gagasan nasionalisme yang terdapat amat besar kepala…(SH, hlm. 58). dalam SH, dapat dikatakan sebagai wujud nasionalisme yang khas pada masa prakemerdekaan. Sesudahnya Hijo dan Leeraar-nya turun dari Secara sosial dan historis tumbuhnya nasionalisme, termasuk di kapal, terus ke hotel, kedatangannya di situ Indonesia, memang merupakan sebuah reaksi atau antitesis Hijo dihormat betul oleh sekian budak hotel, terhadap kolonialisme (Utomo, 1995:21). Dalam konteks situasi sebab mereka memikirkannya, kalau ada kolonial, khususnya kolonialisme Belanda di Indonesia, jiwa orang yang baru datang dari tanah Hindia, nasionalisme yang hidup pada orang-orang pribumi merupakan mesti banyak uang, lebih-lebih kalau orang perjuangan untuk mengembalikan lagi harga diri manusia yang Jawa. Dari itu, Hijo tertawa dalam hati melihat hilang karena kolonialisme (Abdulgani, lewat Utomo, 1995:21). keadaan serupa itu, karena dia ingat nasib Perlawanan terhadap hegemoni kolonial Belanda, misalnya bangsanya yang ada di tanahnya sana dihina tampak jelas pada kutipan berikut. oleh bangsa Belanda kebanyakan (SH, hlm. 58) “Saya ini seorang saudagar saja, kamu tahu Dari ketiga kutipan tersebut tampak bagaimana orang tua sendiri, ini waktu orang seperti saya masih Hijo (R. Potronojo), sebagai pribumi sebenarnya ingin melawan dipandang rendah oleh orang-orang yang jadi dan menundukkan orangorang Belanda dan antek-anteknya pegawainya gouvernement. Kadang-kadang kita (orang-orang pribumi yang menjadi pegawai Belanda). Motivasi punya sanak sendiri yang sama turut Potronojo menyekolahkan Hijo ke Belanda adalah untuk gouvernement, dia tidak suka kumpul dengan membukakan mata dan menyadarkan mereka bahwa orang- kita, sebab pikirannya dia orang ada lebih orang pribumi tidak harus dipandang rendah. Kesadaran tinggi derajadnya daripada kita orang yang nasionalisme Hijo juga timbul setelah dia sampai di Belanda dan sama jadi saudagar atau tani. Maksud saya menyaksikan orang-orang Belanda, terutama dari kalangan buat mengirim Hijo ke negeri Belanda itu tidak bawah, dengan menunduk-nunduk melayani Hijo dan gurunya, lain supaya orang-orang yang merendahkan yang menyadarkan Hijo bahwa tidak seharusnya bangsanya kita orang ini bisa mengerti bahwa manusia diperintah oleh Belanda. itu sama saja, tandanya anak kita bisa belajar juga seperti anaknya regent-regent atau Apa yang digambarkan dalam novel tersebut secara pangeran-pangeran…” (SH, hlm.2-3)” kontekstual dapat dikatakan merefleksikan realitas yang terjadi di Indonesia atau Hindia Belanda pada masa kolonial Belanda. “Waktu itu Hijo turun dari kapal, di pelabuhan Lahirnya tokoh pribumi yang mendapat kesempatan sudah berdesak-desakan orang-orang yang memperoleh pendidikan, Hijo yang berhasil menamatkan datang dengan kapal Gunung. Keadaan itulah sekolah HBS, yaitu sekolah Belanda setingkat SMP sungguh luar biasa bagi Hijo. Bukan karena (Pringgodigdo, 1991:xi) dan melanjutkan pendidikannya ke kebagusan pakaian orang-orang yanga da di Belanda merupakan akibat dari diberlakukannya politik etis situ, tetapi luar biasa sebab mulai ini waktu Belanda (politik balas budi). Politik etis adalah sebuah politik Hijo bisa memerintah orang-orang Belanda, kolonial Belanda yang memberik esempatan kepada rakyat orang mana kalau di tanah Hindia kebanyakan untuk mendapatkan 52
peningkatan kesejahteraan di bidang irigasi, edukasi, dan membentuk organisasi politik (Serikat Islam). Tokoh-tokoh dalam emigrasi (Utomo, 1995:14). Di balik politik etis, sebenarnya SH, dalah orang-orang pribumi, khususnya Jawa, tampak dari pemerintah kolonial Belanda memiliki tujuan utama untuk nama-namanya seperti Potronojo, Hijo, Wardoyo, Wungu, dan meningkatkan kapasitas keuntungan di bidang perkebunan, Biru, yang mencoba melawan kolonialisme Belanda. pabrik-pabrik, kantor-kantor dagang, dan kantor-kantor cabang perusahaan yang membutuhkan pegawai berpendidikan barat, Dalam konteks sosiologi sastra, gagasan nasionalisme juga tenaga manusia di luar Jawa. Dengan melalui politik etis, prakemerdekaan yang terdapat dalam SH, yang diekspresikan maka semuanya dapat dicapai (Utomo, 1995: 13-14). melalui unsur tokoh, latar (tempat dan waktu), serta narator (pencerita) menunjukkan adanya hubungan yang tak terpisahkan SH ditulis dan dipublikasikan pertama kali oleh Marco antara karya sastra, kondisi sosial zamannya, pengarang, dan pada tahun 1918. Artinya, pada saat itu, secara fakta dan pembacanya. historis, Marco masih menjadi tokoh Serikat Islam. Dengan demikian, world view yang terekspresi dalam SH adalah world Kegiatan view Serikat Islam yang merupakan kelompok sosial Marco. mahasiswa secara berkelompok mendiskusikan Realitas sosial ekonomi yang dihadapi oleh Marco dan Kegisaatasnaran dan perpestif sosiologi sastra kelompok sosialnya adalah realitas yang dialami orang-orang pribumi pada masa colonial Belanda pada awal abad XX. Pada mahasiswa secara individu menganalisis teks sastra saat itu sekelompok orang yang membayangkan bersatu dalam dengan menggunakan perspektif sosiologi sastra komunitas imajiner bernama Indonesia (atau yang nantinya menjadi bangsa Indonesia) berada kolonialisme Belanda. Tugas Kolonialisme pada hakikatnya merupakan dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan, serta segregasi bedah karya sosial (Abdulgani, lewat Utomo, 1995:2). Realitas itulah yang dipahami dengan pandangan dunia kelompok sosial pengarang Kegiatan dan kemudian diekspresikan dalam novel SH. Cerita dan tokoh- tokoh dalam SH adalah ekspresi dari orang-orang pribumi yang Sumber menjadi korban kolonialisme Belanda, dianggap lebih rendah dari orang-orang Belanda dan para pegawainya. Melalui semangat nasionalismenya mereka mencoba melawan kolonialisme tersebut, baik secara individu maupun melalui pergerakan kebangsaan, terutama Serikat Islam. Tokoh-tokoh dalam SH, dapat dikatakan sebagai orang- orang yang membayangkan dirinya sebagai anggota komunitas “Indonesia”, atau saat itu sebenarnya lebih tepat disebut sebagai orang-orang pribumi atau bumiputra, mencoba melawan kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda baik secara individu, seperti dilakukan oleh Hijo dan Ayahnya, maupun dengan Kegiatan 53
Endraswara, Suwardi. 2008. Meteodologi Penelitian Materi Pembahasan Sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta: Medprees. 1. Konsep dan Asumsi Sebelum memiliki stilistika, bahasa yang dan sastra Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Kanhwa Publisher meKmeagnigattaenlah memiliki gaya (style). Gaya adalah segala sesuatu yang “menyimpang” dari pemakaian. Suwardi, 2011. Sosiologi Sastra Yogyakarta:----------- Penyimpangan tersebut bertujuan untuk keindahan. Keindahan ini banyak muncul dalam karya sastra , karena BAB CPK-6 Mahasiswa mampu sastra memang sarat dengan unsur estetik. Segala unsur VI menjelaskan dan mengaplikasikan estetik ini menimbulkan manipulasi bahasa, plastik bahasa, kajian stilistika sastra dan kado bahasa sehingga mampu membungkus rapi gagasan penulis. Dalam bahasa jawa, manipulasi demikian dinamakan lelewaning basa (gaya bahasa). Melalui gaya bahasa sastra , bahasa dan sastra berjalan seiring dan bau-membau sampai mewujudkan dunia tersendiri. Gaya bahasa sastra pada akhirnya memiliki kekhasan dan karenanya menyimpanautonomy of the aesthetic. Kekuataan estetik yang mandiri ini seakan- akan gaya bahasa sastra memiliki wilayah yang kuat. Gaya bahasa sastra menjadi berbeda dengan gaya keseharian 54
orang berbicara. Oleh karena itu bagian yang menarik bagi Kelenturan penulis berolah bahasa akan menciptkan peneliti sastra, khususnya dari aspek stilistika. keindahan khas karya sastra. Dengan kata lain, bahasa Secara etimologis stylistic dapat diterjemahkan sebagai adalah wahana khusus ekspresi sastra. ilmu tentang gaya. Stilistika adalah ilmu pemanfaatan Bahasa sastra adalah bahasa khas. Yakni, bahasa bahasa dalam karya sastra. Gaya bahasa menurut Enkvist yang telah direkayasa dan dipoles sedemikian rupa. (Sayuti ,1994:230) ada enam pengertian , yaitu : (a) Melalui polesan itu muncul gaya bahasa yang manis. bungkus yang membungkus inti pemikirian atau pernyataan Dengan demikian, seharusnya pemakaian gaya bahasa yang telah ada sebelumnya , (b) pilihan diantara seragam sastra memang benar-benar disadari oleh penulis. Penulis pernyataan yang mungkin, (c) sekumpulan ciri kolektif , semestinya berupaya dan tak hanya suatu kebetulan (d)penyimpangan norma atau kaidah , (e) sekumpulan ciri menciptkan demi keistimewaan karyanya. Jadi, kalau pribadi , (f) hubungan antara satuan bahasa yang penulis karya sastra memang pandai bersilat bahasa dan dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kaya akan stilistika, boleh dikatakan karyanya akan kalimat. Yang penting harus dipahami, gaya bahasa adalah semakin mempesona. Keindahan karya sastra juga sebuah style as choise , style as meaning, dan style as sekaligus akan memberi bobot karya tersebut. Bahkan, tension between meaning and menurut Pradopo (1991:1) nilai seni sastra ditentukan oleh form. gaya bahasanya. Kemahiran seorang sastrawan bermain Penelitian stilistika berdasarkan asumsi bahwa stilistika akan menetukkan kepiawaian bahasa sastra mempunyai tugas mulia. Bahasa memiliki estetikanya.Penelitian stilistika atau gaya bahasa memang pesan keindahan dan sekaligus membawa makna. Tanpa masih jarang dilakukan. Kalaupun ada yang pernah keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. melakukan, biasanya masih sepotong-sepotongdan kurang Keindahan karya sastra, hampir sebagian besar memadai. Mungkin sekali, karena gaya bahasa merupakan dipengaruhi oleh kemampuan penulis memainkan bahasa. bagian dari estetiks karya sastra, sering hanya sampingan 55
saja. Jarang sekali peneliti yang memfokuskan ke masalah Gaya bahasa memang berbeda dengan gaya stilistika. bahasa dalam pembicaraan sehari-hari. Gaya bahasa sastra adalah ragam khusus yang digunakan pengarang Penelitian stilistika sebenarnya hendak mengungkap untuk memperindahan teks. Secara garis besar, gaya aspek-aspek estetik pembentukkan kepuitisan karya sastra. bahasa sastra dapat digolongkan menjadi dua yaitu : (1) Studi ini memang berbau linguistik, karena hubungan stilistika deskriptif , (2) stilistika genetis. Stilstika deskriptif dengan antara sastra dan linguistik memang sulit mendekati gaya bahasa sebagai keseluruhan ekspresi dipisahkan. Stilistika akan membangun aspek keindahan kejiwaan yang terkandung dakam suatu bahasa dan karya satra. Semakin pandai pemanfaatan stilistika, karya meneliti nilai-nilai ekspresintasi khusus yang mengandung sastra yang akan dihasilkan semakin menarik. Kemahiran dalam suatu bahasa, yaitu secara morofologis,sintaksis sastra menggunakan stilistika, juga akan menetukkan dan semantik. Adapun stilistika genetis, adalah gaya bobot karya sastra itu sendiri. bahasa individual yang memandang gaya bahasa sebagai suatu ungkapan yang khas pribadi. Gaya bahasa sering Stilistika adalah pengunaan gaya bahasa secara menjadi faktor penentu diterimanya sebuah karya oleh khusus dalam karya sastra. Gaya bahasa tersebut mungkin publik penikmatnya maupun oleh kritikus. disengaja dan mungkin pula ditimbul serta-merta ketika pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa Menurut Muhammad (1998:17-33) penelitian merupakan efek seni dalam karya sastra yang dipengaruhi stilistika hendaknya sampai pada tingkat makna gaya juga oleh nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang bahasa sastra. Makna tersebut ada dua hal yaitu bernotasi sastrawan akan menuangkan ekspresinnya. Betapa pun (makna lugas) dan konotasi (kias). Kedua makna ini akan rasa jengkel dan senangnya, jika dibungkus dengan gaya saling berhubungan satu sama lain. Pemaknaan keduanya bahasa akan semakin indah. Berarti gaya bahasa adalah perlu memperhatikan deskripsi mental dan deskripsi fisikal pembungkus ide yang akan menghaluskan teks sastra. gaya bahasa. Deskripsi ini akan tampak melaui pilihan kata, 56
yaitu ketetapan dan kesesuaian kosa kata. Pemakaian tampil dalam teks. Ketiga , gaya yang dihubungkan dengan koas kata yang tepat tentu akan mendukung keindahan kesan yang diperoleh dari khalayak. Gaya macam ini karya sastra. meruapakan asumsi pembaca atau audience yang mengarah ke faktor resepsi. Stilistika kiasan ada dua macam, yaitu retorik dan gaya kiasan. Gaya retorik meliputi eufermisme, Ada dua pendekatan analisis stilistika : (1) dimulai paradoks,tautologi,polisindeton, dan sebagainya. dengan analisis sistematis tentang sistem lingustik karya Sedangkan gaya kiasan amat banyak ragamnya, antara sastra, dan dilanjutkan ke interpretasi tentang ciri-ciri sastra, lain alegori,personifikasi, simile, sarkasme , dan interpretasi diarahkan ke makna secara total , (2) sebagainya. Baik gaya retorik maupun gaya kiasan perlu mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan satu mendapat perhatian peneliti stilistika, karena keduanya sistem dengan sistem yang lain. Disini metodenya ada seringkali jalin-menjalin lebih kental dalam teks. Pengarang pengkontrasan. Kita berusaha mencari distori dan deviasi juga jarang yang secara eksplisit memaparkan dalam dari bahasa normal dan mencari tujuan estetisnya. Di karyanya. Bahkan tidak sedikit pengarang yang sengaja samping itu, penelitian perlu mencari seberapa jauh menyembunyikan gaya bahasa tersebut. penguasaan gaya bahasa pengarang, seberapa estetis mereka mampu memanipulasi bahasa. 2. Pokok-pokok analisis stlistika Analisis stilistika hendaknya sampai pada titik Penelitian gaya bahasa dapat dilihat dari tiga aspek : puncak kehebatan penulis menggunakan gaya bahasa Pertama, melihat dari sudut penulis, dengan mempelajari sastra. Puncak kreativitas penulis seharusnya kedalaman penulis dalam menampilkan gaya bahasa. Ada ditunjukkan oleh peneliti melalui gaya bahasa tersebut. di antara penulis yang memiliki gaya pribadi dan khas, dan Semakin banyak memainkan stilistika dan penuh daya ada pula penulis yang mencoba mengekor gaya bahasa pikat, tentu boleh dikatakan bahwa karya tersebut orang lain. Kedua, liahat dari ciri teks sastra, dengan cara memiliki bobot khusus. Bagaimana kemampuan penulis mempelajari dan mengkaterogikan gaya bahasa yang 57
mengekspresikan kreativitas penggunaan gaya bahasa 5) Analisi gaya bahasa dapat difokuskan pada gaya adalah pangkal tolak analisis. kelompok pengarang, angkatan tertentu sesuai dengan falsafah hidup mereka masing-masing. Beberapa pokok persoalan yang harus menjadi tekanan dalam penelitian stilistika, menurut Semi 6) Analisis gaya bahasa juga dapat diarahkan pada (1993:83-83) ada beberapa yaitu : kalimat, paragraf wacana kalau berbentuk prosa, bahksn sampai pada bahasa dialek. 1) Analisis hendaknya juga menyentuh masalah unsur keseluruhan karya sastra, seperti 7) Analisis juga sebaiknya sampai tingkat tema,pemikiran,dan aspek makna yang berkaitan perwatakan tokoh , karena gaya bahasa tertentu langsung dengan gaya bahasa. akam menjadi ciri tokoh juga 2) Analisis seyogyanya mengunakan analis 8) Suatu saat perlu pula dikaitkan dengan kajian struktual, namun kajian bahasa diperdalam, resepsi sastra sehingga dapat dimengerti sampai pada pemilihan kata,simbol,dan kemampuan membaca memahami gaya bahasa sebagainya. tersebut. Langkah-langkah analisis yang perlu 3) Analisis sampai pada upaya membuka kekaburan pemanfataan ragam karya absurd, dilakukan dalam kajian stilistika adalah sebagai abstrak, dan eskperimental sehingga berikut: memudahkan pembaca memahaminya. 1) Pertama bisa menetapkan unit analisis, 4) Analisi difokuskan pada corak individual yang misalkan berupa bunyi, kata, frase,kalimat, khas dari penulis karena setiap penulis yang bait dan sebgaginnya. telah mapan tentu mempunyai gaya tersendiri. 2) Dalam puisi memang analisis dapat berhubungan pemakaian aliterasi,asonasi, 58
rima, dan variasi bunyi yang digunakan bahasa komunikasi sehari-hari. Stilistika adalah untuk mencapai efek estetika, bahasa yang telah dicipta dan bahkan direkayasa 3) Analisis diksi memang sangat penting untuk mewakili ide sastrawan. Pendek kata , kita karena ini tergolong wilayah kesastraan boleh setuju dengan pernyataan Wellek dan Warren yang sangat mendukung makna dan (1989:226)bahwa stilistika bagian ilmu sastra dan keindahan bahasa. Kata dalam pandangan akan menjadi bagian penting, karena melalui simbolis tentu akan memuat lapis-lapis metode ini akan terjabarkan ciri-ciri khusus karya makna. Kata akan memberikan efek tertentu sastra. dan menggerakkan pembaca. 4) Analisis kalimat ditekankan pada variasi Pada dasarnya , penelitian stilstika dapat pemakaian kalimat dalam setiap kondisi. dilakukan memalui dua pendekatan, yaitu 5) Kajian makna gaya bahasa juga perlu pendeketan pertama, dimulai dengan analisis mendapat tekanan tersendiri. Kajian makna sistematis sistem linguistik karya sastra, dan pada tingkat majas, yaitu sebuah figurative dilanjutkan dengan interpetasi tentang ciri-ciri dari language yang memiliki makna bermacam- tujuan estetis karya tersebut sebagai “makna total”. macam. Di sini gaya akan muncul sebagai sistem linguistik Modal dasar kajian stilistika memang yang khas. Kedua , mempelajari sejumlah ciri khas pemahaman atas bahasa. Penelitian yang kurang yang membedakan sistem satu dengan yang lain. Di paham tentang perbedaan antara bahasa sehari-hari sini, metodenya pengkontrasan. Peneliti berusaha dan bahasa sastra, tentu akan keliru memahami mencari distori dan deviasi pemakaian bahasa satra stilistika sastra. Stilistika sebagai bahasakhas sastra utnuk menemukan estetisnya. akan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan Penelitian stilistika yang sekadar mencari perbedaan gaya bahasa sastra dengan sistem lingustik, memang 59
tampaknya kurang bermanfaat. Karena, karya sastra Kegiatan melalui gaya bahasa yang di gunakan sebenarnya memiliki totalitas makna. Maka pemaknaan gaya bahasa tanpa Mahasiswa secara berkelompok berdiskusi tentang mengajar makan secara menyeluruh kurang berarti bagi konsep dan pokok-pokok analisis stilistika kemajuan sastra itu sendiri. Di samping itu, penelitian Kegiatan stilistika “wajib” menemukan sinkronisasi gaya dengan ide dan fungsinya dalam membangkitkan rasa keharuan, Tugas merangsang daya pikir dan akal. Bedah Karya Dari pernyataan itu, dapat dikemukan bahwa kajian Kegiatan stilistika hendaknya sampai pada dua hal, yaitu makna dan Sumber fungsi. Makna, dicari melalui penafsiran yang dikaitkan kedalam totalitas karya, sedangkan fungsi terbersit dari Endraswara, Suwardi. 2008. Meteodologi Penelitian peranan stilistika dalam membangun karya. Pengunaan Sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi). stilistika yang dirancang oleh pengarang, guna YoKgeygaikaatartna: Medprees. menimbulkan efek komunikasi sastra, dengan stilistika yang spontan dan kebetulan, tentunya akan berlainan. Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Kendati aspek sengaja dan tak sengaja dalam bermain Yogyakarta: Gadjah Mada University Prees. stilistika wajar-wajar saja, namun kematangan stilistika akan terlihat pada rancangan yang masak pula. 60
BAB CPK- 7 Mahasiswa mampu VII menjelaskan dan menerapakan kajian psikologi sastra Materi Pembahasan A. Landasan Pijak Psikologi Sastra Kegiatan Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconsius setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (consius). Antara sadar dan tidak sadar selalui mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya satra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta satra. Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan 61
karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya maupun prosa. Sedangkan jika berupa puisi, tentu akan semakin menjadi hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui tampil melalui larik-larik dan pilihan kata yang khas. Di dialog atau pun pemilihan kata, sebenarnya merupakan samping memang ada puisi lirik atau prosais dan atau gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. balada yang memuat tokoh tertentu. Berarti ada benarnya Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinalitas bila Jatman (1985:165) berpendapat bahwa karya sastra karya. dan psikologi memang pertautan yang erat, secara tak langsung dan funsional. Pertautan tak langsung, karena Psikologi sastra adalah kajian sastra yang baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan satra memiliki akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. hubungan fungsional karena sama-sama untuk Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan psikologigejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra pun bersifat imajinatif. mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah Semula memang ada keraguan bahwa aspek ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. psikologi bisa masuk ke dalam teks sastra. Hal ini pernah Proyeksi pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di di lontarkan Deridda: “what is a text, and when must the sekitar pengarang, akan terproyeksi secara imajiner ke psyche be if it can be represented by a text?”. Karaguan ini dalam teks sastra. cukup menggoda, karena peneliti harus mampu mencermati aspek-aspek psikologis yang tersimpan dalam Karya satra yang dipandang sebagai fenomena teks. Padahal aspek-aspek tersebut sangat abstrak. psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan Memang sulit disangkal bahwa pemahaman teks sastra 62
membutuhkan ilmu bantu psikologi karena karya sastra pengarang dan sekaligus memiliki daya psikologis terhadap menyangkut aspek kejiwaan manusia pula, namun ini pembaca. sering menjadi problem rumit. B. Pendekatan Psikologi Sastra Lebih rumit lagi, kalau psikologi sastra tadi telah menjangkau ihwal psikoanalisis tentu menjadi persoalan Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh yang tidak sederhana. Penelitian kearah ketaksadaran tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual, dalam sastra dan terutama menyangkut psikologi bawah yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. sadar tentu membutuhkan kecermatan. Dan yang lebih Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji penting lagi, tentu penelitian psikologi sastra perlu ekstra aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra hati-hati, agar jangan sampai peneliti hanya terjebak pada yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta penokohan genre novel atau cerpen. Psikologi sastra tentu proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. lebih luas dari itu semua, sekurang-kurangnya akan Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek menyangkut aspek kesadaran, ketaksadaran, penalaran, psikologis penulis ketika melakukan prses kreatif yang dan imajinasi. terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya (Roekhan, 1990:88). Penelitian psikologi sastra, lama-kelamaan menunjukkan kecemerlangan di beberapa perguruan tinggi Penelitian psikologi sastra dari aspek tekstual, sastra. Hal ini disebabkan oleh ketidakpuasan penelitian semula memang tak biasa lepas dari prinsip-prinsip Freud sebelumnya, yaitu penelitian sosiologi sastra atau yang lain tentang psikologi dalam. Buku Freud tentang interpretasi yang di anggap kurang memperhatikan aspek psikologis. mimpi dalam teks sastra, telah banyak mengilhami para Padahal, karya sastra merupakan cerminan psikologis peneliti psikologi teks. Apalagi, buku ini belakangan telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia, tentu lebih mudah dipahami oleh ilmuwan kita. 63
Yang lebih penting lagi, peneliti psikologi sastra perlu mencermati apakah hal tersebut berhubungan hendaknya mampu menggali sistem berfikir, logika, angan- dengan realitas atau tidak. Sejauhmana pengarang mampu angan, dan cita-cita hidup yang ekspresif dan tidak sekadar menghadirkan unsur-unsur di atas sebagai fenomena sebuah rasionalisasi hidup. Perasaan takut, phobi, was- individual atau sosial. was, histeris, aman dan sebagainya juga menjadi objek kajian psikologi sastra yang amat pelik. Apalagi kalau teks Dalam pandangan Wellek dan Warren (1990) dan sastra telah melonjak ke gambaran Freud tentang Hardjana (1985:60-61), psikologi sastra mempunyai empat illutionyang sulit dikendalikan dan dikontrol, peneliti sering kemungkinan penelitian. Pertama, penelitian terhadap mengalami kebingungan. Untuk itu sebenarnya Holland psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. (Fannie,2001:181) memberikan landasan psikoanalisi Studi ini cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti sebagai berikut: (1) histeri, manic dan schizopherenic, (2) berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang Freud dan pengikutnya menambah dengan tipe perilaku pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, penelitian birahi, seperti anal, phalic, oral, genital, dan urethral, (3) proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi defence, expectation, fantasy, transformation. berhubungan pula dengan psikologi proses kreatif. Bagaimana langkah-langkah psikologis ketika Berbagai hal ini merupakan objek garap mengekspresikan karya sastra menjadi fokus. Ketiga, psikoanalisis yang akan terungkap dalam teks sastra. Dari penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada sini peneliti dituntut untuk mengungkap apakah teks sastra, karya sastra. Dalam kaitan ini studi dapat diterapkan pada melalui pelaku-pelakunya dapat merefleksikan unsur di teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis kedalam atas atau tidak. Dari situ pula akan muncul hal-hal yang sebuah teks sastra. Asumsi dari kajian ini bahwa menyebabkan faktor kejiwaan dominan dalam sebuah teks pengarang sering menggunakan teori psikologi tertentu sastra. Peneliti juga seharusnya tidak terpaku pada kajian dalam penciptaan. Studi ini yang benar-benar mengangkat narasi dalam substansi karakter tokoh saja, melainkan teks sastra sebagai wilayah kajian. Keempat, penelitian 64
dampak psikologis teks sastra kepada pembaca. Studi ini Yakni, penelitian menggunakan responden kurang lebih 25- lebih cenderung ke arah aspek-aspek pragmatik psikologis teks sasra terhadap pembacanya. an, jauh lebih kecil dari penelitian sosiologi sastra resepsi. Penelitian psikologi sastra memang memiliki Peneliti akan mengaitkan estetika eksperimental sebagai landasan pijak yang kokoh. Karena, baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari hidup manusia. Bedanya, studi pengaruh efek-efek mutivasional dari teks sastra pada kalau sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari penerimanya. Efek mutivasional ini akan tampak melalui manusia sebagai ciptaan Illahi secara riil. Namun, sifat-sifat manusia dalam psikologi maupun sastra sering menunjukki aspekkolatif, yaitu sebuah stimulus yang muncul dalam kemiripan, sehingga psikologi sastra memang tepat dilakukan. Meskipun karya sastra bersifat kreatif dan teks sastra. Aspek kolatif merupakan bagian teks yang imajiner, pencipta tetap sering memanfaatkan hukum- hukum psikologi untuk menghidupkan karakter tokoh- dapat membangkitkan perasaan, misalnya kebaruan tokohnya. Pencipta sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi secara diam-diam. (novely), suprising(keterkejutan), complexity a. Kajian Estetika Eksperimental (kemajemukan), ambuigity (ambiguitas), dan puzzlingness Penelitian psikologi sastra lebih menitikberatkan (keterteka-tekian). pada aspek funtioning humand mind ‘pikiran manusia’ (Segers, 2007:73). Fungsi termaksud akan berhubungan Dengan kata lain, tugas penelitian estetika dengan istilah Berlyne tentang experimental esthetics. eksperimental psikologi sastra tak semata-mata menilai karya sastra bermutu “rendah” dan “tinggi”. Namun, peneliti sebaiknya lebih ke arah menemukan alasan-alasan tertentu mengapa pembaca A menilai semacam itu atau menyenangi itu. Lebih lanjut, Berlyne memberikan empat rumusan untuk meneliti estetik eksperimental, yaitu: (1) sebagian besar rencana penelitian telah dioperasikan dengan putusan herbal, (2) dengan mencatat secara psikologis, dengan mengukur perubahan aktivitas otak ketika seseorang sedang menonton atau membaca teks 65
sastra, (3) mengukur nonverbal overt behavior (perilaku Lepas dari kekurangan Richards, sebenarnya telah non verbal), untuk mengetahui mengapa subyek memilih membuka wacana baru dalam penelitian puisi secara karya tertentu dan berapa waktu yang digunakan untuk psikologis sastra. Beberapa kekurangan penelitiannya, memilih, (4) mencoba menganalisis secara statistik tentang antara lain (1) tidak mempergunakan teknik statistik yang artefak atau artistik, dengan pemusatan pada isi. canggih,bahkan terkesan agak subyektif, ketika memanfaatkan analisis konten; (2) dia tampak mereduksi Penerapan eksperimintal dalam psikologi sastra, behaviuristik terhadap puisi. Bahkan Wellek dan Warren pernah dilakukan oleh Richards (1929) khusunya pada dengan seksama mengamati bahwa tulisan Richards mahasiswa di Inggris. Penelitian itu bertujuan: (a) untuk tampak perbedaan estetika dan emosi-emosi dihilangkan. mengenalkan suatu dokumentasi baru kepada mereka Bahkan puisi terpaksa di kurangi fungsinya sebagai sarana yang tertarik pada budaya kontemporer, (b) untuk untuk memolakan impuls-impuls kita serta menjadi alat memberikan teknik baru kepada mahasiwa agar terapi mental, (3) pemilihan responden mahasiwa tingkat I- memperoleh pengetahuan yang mereka pikirkan dan II, dianggap kurang signifikan jika harus melaporkan hasil rasakan tentang puisi, (c) menyiapkan metode edukasional pengalaman pembacaan puisi yang diharapkan. Oleh yang lebih efisien untuk mengembangkan daya karena, mereka tentu baru sedikit mengalami pengalaman pemahaman terhadap puisi. Hasil penelitian Richards pembacaan puisi. tersebut telah berhasil mencapai tiga tujuan tersebut. Di samping itu ia juga berhasil memperoleh kategori kesan Dari kekurangan demikian, tampak bahwa penelitian mahasiswa terhadap puisi. Dari penelitian dia ternyata psikologi sastra memang membutuhkan kecermatan “imaji” menjadi sumber kekacauan dari penyimpangan- beberapa hal, pemilihan metode analisis, hubungan puisi penyimpangan kritikal. Imaji yang di gerakkan oleh baris, dengan tingkah laku, dan pemilihan respondens, settings, ternyata tidak terkait dengan imaji yang ada dalam kecermatan berbagai hal ini, jika dapat dikurangi tentu akan benak penyair. menambah bobot hasilpenelitian. Itulah sebabnya James R 66
Squire mencoba mengurangi beberapa kesalahan Richards sempat membuat dua kategori sastra (puisi), yaitu puisi di atas dengan cara mengadakan penelitian eksperimen pengrang dan puisi pembaca. Puisi pengarang merupakan terhadap 52 siswa. Jumlah responden sekian ini, rekonstruksi proses kreatif yang memuat tujuan, motivasi tampaknya juga jauh mewakili subyek penelitian. Bahan dan pikiran-pikiran. Sedangkan puisi pembaca adalah yang digunakan adalah cerpen yang telah terseleksi, yaitu sebuah rekontruksi pikiran dan gagasan yang diperoleh memuat perkembangan personal. Dengan analisis isi, setelah proses pembacaan. penelitian ini dapat mengumpulkan tujuh kategori reaksi responden, yaitu : putusan nilai, reaksi interpretatif, reaksi C. Psikoanalisa naratif, asosiasi psikologis, reaksi yang menyangkut 1. Hubungan Sastra Dan Psikoanalisa keterlibatan,reaksi preskriptif, dan keanekaragaman reaksi yang lain. Hasil terpenting dari penelitian ini adalah: (a) Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. perbedaan jenis kelamin bukan faktor penentu dalam Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund reaksi, (b) ada korelasiantar keterlibatan pembaca dengan Freud (Milner,1992:43), seorang dokter muda dari Wina. Ia nilai sastrawi cerita, (c) hanya sebagian kecil siswa yang mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupakan menghubungkan antara cerita dengan kehidupan sehari- sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan bagian hari, (d) inteligensi tidak dapat untuk meramalkan hasil terbesarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar. interprestasi. Ketaksadaran ini dapat menyublim kedalam proses kreatif pengarang. Ketika pengarang menciptakan tokoh, kadang Dari hasil penelitian estetika eksperimental di atas “bermimpi” seperti halnya realitas. Semakin jauh lagi tampak bahwa ada “jarak” tentang pengarang dengan pengarang juga sring “gila”, sehingga yang diekspresikan pembaca. “Jarak” ini harus dilalui pembaca dengan seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya. membuat penafsiran yang tepat terhadap teks sastra. Atas dasar itu secara psikologis Hansson (Segers, 2007:78) Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang dipandang 67
meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu: id, ego dan super ego. terhadap dunia objek dari kenyataan, dan menjalan Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego adalah berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak dengan manusia yang tak lain merupakan produk interaksinya. Id dunia luar. Adapun super ego (das euber ich) adalah (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang dasar. Dalam pandangan Atmaja (1988:231) Id merupakan bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk). acuan penting untuk memahami mengapa seniman/sastrawan menjadi kreatif. Melalui Idpula Dari uraian demikian, dapat diketahui bahwa ada sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu hubungan antara sastra dengan psikoanalisa. Hubungan dalam karyanya. Jadi apa yang kemudian dinamakan novel tersebut, menurut Milner (1992:32) ada dua hal, pertama psikologis, misalnya ternyata merupakan karya yang ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi dikerjakan berdasarkan interpretasi psikologis yang pada setiap manusia yang menyebakan kehadiran karya sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk sastra yang mampu menyentuh perasaan kita, karena kepentingan struktur plot. karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap hasrat- hasrat rahasia tersebut. Kedua ada kesejajaran antara Id adalah aspek kepribadian yang “gelap” dalam mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, tak kenal nilai dan agaknya berupa ‘energi buta”. Dalam yang oleh Freud disebut “pekerjaan mimpi’. Baginya, mimpi perkembangannya tumbulah ego yang perilakunya seperti tulisan yaitu sistem tanda yang menunjuk pada didasarkan atas prinsip kenyataan. Sementara super ego sesuatu yang berbeda dengan tanda-tanda itu sendiri. berkembang mengontrol dorongan-dorongan “buta” Id Keadaan orang yang bermimpi adalah seperti seorang tersebut. Hal ini berarti ego (das ich) merupakan sistem penulis yang menyembunyikan pikiran-pikirannya. kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu 68
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa proses Dari penelitian tersebut, ternyata M.S Hutagulung krestivitas penulis dalam menciptakan karyanya sangat mampu mengungkapkan bahwa tokoh Isa pada novel Jalan dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya Tak Ada Ujung memiliki perilaku yang terpengaruh untuk menyembunyikan atau memutar balikkan hal-hal pandangan Freud tentang lapisan tak sadar dari jiwa penting yang ingin dikatakan dan mendorongnya untuk manusia. Misalkan, Mochtar Lubis bercerita tentang guru mengatakan dalam bentuk tak langsung atau telah diubah. Isa: “ia menutup mukanya dengan kedua tangannya, dan Jadi karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan mengerang perlahan-lahan. Dia tidak tahu. Tapi yang pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. dirasakannya sekarang ialah reaksi yang lambat yang Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah sekarang timbul yang perasaan yang tertekan tadi”. dimasak dalam jiwanya. Pelukisan Mochtar Lubis demikian sesuai dengan 2. Alam Bawah Sadar pandangan Freud, bahwa alam bawah sadar adalah Penerapan penelitian psikologi sastra dalam kajian sumber neurosis atau sakit syaraf, karena individu mencoba membuang ke daerah ia kenang-kenangannya pernah dilakukan oleh M.S Hutagalung dalam novel Jalan yang ia tak sukai dan harapan-harapan yang berakhir Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan Zainuddin dengan kekecewaan. Yang lebih tajam lagi,tampak pada Fananie (2001) dalam novel Nyali karya Putu Wijaya. lukisan Guru Isa yang memeluk istrinya tetapi keinginan iyu Kedua penelitian tersebut menggunakan teori psikoanalisis ia tahan. Di tempat lain, ia akan mengadakna konfrontasi Freud untuk membedah novel. Jadi, keduanya jelas mengenai cinta terhadap istrinya tetapi ia tekan juga penelitian psikologi sastra yang berpijak pada teks sastra. perasaannya. Asumsi peneliti bahwa pencipta kedua novel tersebut menerapkan teori psikoanalisis ke dalam karya. Hal senada juga tampak pada kajian novel Nyali, khusunya mengenai tokoh utama bernama Kropos. Ia 69
adalah prajurit yang patuh. Maka ketika di tugasi harus Banginya, kreativitas adalah sebuah pelarian (escapism). menyusup ke gerombolan yang kejam bernama Zabaza, Keadaan serupa yang mengarahkan pada studi psikologi Kropos pun tidak menolak. Dari situ tokoh ini harus sastra terhadap proses kreatif pengarang. berubah karakter secara tak sadar akibat stimulus lingkungan. Pada saat itu, tokoh Kropos jelas mengalami Jika memang benar bahwa pencipta sering teror antara kata hati dan harus melaksanakan kewajiban. bersembunyi secara diam-diam di balik karyanya, berarti Sengan demikian secara tak sadar tokoh Kropos telah psikologi sastra dapat mempelajari karya-karya secara mengalami perubahan psikologis dalam hidupnya. psikologis. Kepribadian seorang pengarang akan tampak Perubahan itu seringkali berada di alam bawah sadar, juga dalam kejiwaan karyanya. Karya sastra menjadi “objek” sehingga kehadirannya amat cepat dan tidak sadar. ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi hatinya. Gerakan jiwa menjadi pendorong lahirnya sebuah Dengan kata lain, alam bawah sadar yang di karya sastra. Di samping itu, peneliti juga dapat tawarkan Freud memang penting bagi pembahasan memfokuskan diri pada berbagai hal yang menyangkut psikologis karya sastra. Psikologi dalam (psikoanalisis) ini kejiwaan seorang pengarang sebagai pribadi. Catatan- memang dapat mempengaruhi kejiwaan siapa saja catatan pribadi, peristiwa hidup yang sangat mengesankan, termaksud tokoh-tokoh sastra. Psikoanalisis juga sering kekecewaan, neurosis, phobia, dan sebagainya merancang kepada “keadaan jiwa” pencipta sehingga seharusnya diteliti lebih jauh oleh peneliti. muncul ide karya sastra. Bahkan wordswoth menyebut istilah semacam ini sebagai “genetik” kelahiran sastra Jika Dickens (Hardjana, 1985:64-65) dapat (puisi). Untuk menulis puisi yang baik, penyair harus membeberkan seluruh kenangan hidup semasa kecil, berada pada kejiwaan tertentu. Hal ini berarti memang kesulitan-kesulitan, kejutan-kejutan, berarti karya sastra benar pernyataan Freud bahwa penyair kadang-kadang memang hasil khayalan pengarang yang mengalami menjadi seorang “pelamun” yang lari dari kenyataan hidup. keadaan jiwa tertentu. Khayalan ini, misalnya terjadi ketika 70
Shakespeare melukiskan Hamlet sebagai tokoh yang Ia akan mengaktifkan pemikirannya berdasarkan segala mengalami kejiwaan tertentu. Dalam hal ini, pengarang kemungkinan bahasa yang dikuasainya. Seorang ingin menampilkan “citra manusia yang seadil-adilnya” pengarang ketika mencipta akan mengalami konstruksi artinya sesuai kodratnya. yang dianggap tepat menampung konsep. Begitu pula pembaca, akan memanfaatkan kemampuan kejiwaan untuk Peneliti psikologi sastra pada akhirnya juga dapat pemaknaan dan kadang-kadang ditolong oleh konteks. meneliti rentetan psikologi pembaca. Karya sastra merupakan “teror kejiwaan”yang dapat mempengaruhi Kehadiran psikologi sastra memang bukan tampa kejiwaan pembaca. Teks merupakan rangsangan bawah tantangan. Dari Wellek dan Waren (1990) sebdiri, sadar pada pembaca. Penelitian semacam ini mau tidak sebenarnya telah ada peringatan khusus tehadap peneliti. mau harus berhubungan dengan proses komunikasi Ia memberikan pernyataan pengarang berhasil membuat kejiwaan. Semakin tinggi tingkat daya rangsang sebuah tokoh-tokohnya berlaku sesuai dengan “kebenaran teks dapat mempengaruhi jiwa pembaca, berarti semakin psikologis” perlu dipertanyakan apakah kebenaran itu berkualitas pula karya tersebut. Misalkan saja, jika peneliti bernilai artistik? Sebab banyak karya sastra yang mengkaji mitosNyi Lara Kidul yang bagi orang Jawa menyimpang dari standar psikologi sezaman atau dianggap sakral, jika karya ini mampu menggerakkan alam sesudahnya. Karya sastra kadang-kadang menyanjikan sadar dan alam bawah sadar penikmat berarti ada titik sesuatu yang tidak masuk akal, fantastis, dan bahkan ada keberhasilan. Begitu pula ketika orang Jawa memahami upaya mendramatisasi cukup dominan kehadirannya. mitos Ki Ageng Sela, seakan-akan Jiwa meraka telah terbawa arus kejiwaan karya tersebut. D. Langkah Dan Proses Analisis Langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti psikologi Baik psikologi sastra maupun penulis, menurut (Junus,1985:95-96) akan menggunakan cognition process. sastra, tidak akan tidak akan lepas dari sasaran penelitian. Apakah peneliti sekadar menitikberatkan pada psikologi tokoh. Yang penting harus dilakukan dari sasaran 71
penelitian tentang psikologi tokoh ada beberapa proses, mejadi wilayah penelitian psikologi, bukan penelitian yaitu: pertama, pendekatan psikologi sastra menekankan psikologi sastra. kajian keseluruhan baik berupa unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Namun, tekanan pada unsur intrinsik, yaitu Jika sasaran penelitian pada aspek kreativitas, tentang penokohan dan perwatakannya. peneliti dapat melakukan tiga langkah. Pertama, aspel ekstrinsik perlu dibahas, yang meliputi cita-cita, aspirasi, Kedua, di samping tokoh dan watak, perlu di kaji keinginan, falsafah hidup, obsesi dan tuntutan-tuntutan pula masalah tema karya. Analisis tokoh seharusnya personal. Dalam kaitan ini, perlu dicari riwayat hidup ditekankan pada nalar perilaku tokoh. Tokoh yang disoroti pengarang sejak kecil sampai dewasa. Dengan cara ini, tak hanya fokus pada tokoh utama, baik protagonis peneliti akan mengetahui endapan pengalaman pribadi maupun antagonis. Tokoh-tokoh bawahan yang dianggap yang diekspresikan dalam karyanya. tak penting pun harus di ungkap. Yang lebih penting, peneliti harus memiliki alasan yang masuk akal tentang Kedua, proses penciptaan perlu di gali yaitu tentang watak tokoh, mengapa oleh pengarang diberi perwatakan motif penciptaan. Misalkan, mengapa NH. Dini demikian. menciptakan novel Pada Sebuah Kapal, Tamsir ASmenciptakan novel Wong Wadong Dinarsih, SH.Mitardja Ketiga, konflik perwatakan tokoh perlu dikaitkan mencipta cerita bersambung Apu di Bukit Menoreh dan dengan alur cerita. Misalkan saja, ada tokoh yang phobi, sebagainya. Dari sini akan terungkap apakah pengarang neurosis, halusinasi, gila dan sebagainya harus di memang mengungkapkan pengalaman batin yang hubungkan dengan jalan cerita yang struktual. Itulah mendalam, atau sekadar ada tekan tertentu, misalkan ada sebabnya struktur karya harus tetap menjadi pegangan dari tekanan politik. Apakah pengarang sekadar ingin wal sampai akhir penelitian. Hal ini untuk menghindari agar meluapkan rasa kecewa terhadap pemerintahan, atau ada peneliti tidak terjebak hanya pada penggunaan teori motif lain. psikologi. Jika yang terakhir ini sampai terjadi, berarti ini 72
Ketiga, peneliti dapat pula mengaitkan dengan Oleh karena pengarang adalah seoran “pelamun” dampak psikologis karya tersebut terhadap pembaca. dan kadang-kadang juga “gila”, peneliti harus pandai Apakah pembaca menjadi paham dengan gambaran menyelam didalamnya. Itulah sebabnya, peneliti perlu psikologis tokoh atau tidak. Peneliti perlu memasuki sampai pada titik analisis yang di tunjukkan wilayah ini agar diketahui seberapa jauh pengaruh Nietzsche(Wellek dan Warren, 1989:96) bahwa ada dua psikologis karya tersebut. tipe imajinasi sastrawan, yaitu: (1) tipe “plastis” (2) tipe diffluent (cair). Pengarang tipe “plastis” biasanya mampu Dari dua sasaran yang memiliki langkah-langkah membuat citraan visual yang tajam, yang dirangsang oleh demikian, tampak bahwa penelitian perwatakan tokoh penginderaan dari luar dirinya. Pengaran tipe diffluent dapat disebut sebagai kajian tekstual. Yaitu kajian yang yaitu memulai imajinasinya dari emosi, lalu menungkan harus sampai membahas isi dan makna perwatakan dalam melalui irama dan pencitraan. kaitannya dengan struktur alur secara keseluruhan. Sedangkan sasaran penelitian kreativitas, hanya bisa Sedikit berbeda dengan tipe pengarang yang ditempuh melalui studi dokumen, misalnya biografi dikemukakan L Rusu, yaitu: (1) tipe sympathique (riang, pengarang dan atau wawancara kepada pengarang (jika gembira, spontan, kreatif), (2) demoniaque anarchique, masih hidup). yaitu pengarang yang agresif dan bersikap menyerang sesuatu, (3) demoniaque equilibre, yaitu pengarang yang Langkah-langkah demikian, sebaiknya dibantu mampu perang melawan iblis dan berakhir dengan dengan menggunakan kartu-kartu data sebagai instrumen kemenangan. Dari tiga tipe tersebut, peneliti mampu praktis. Melalui kartu data itu, sebelum peneliti memahami karya yang dihadapi tergolong pada tipe mana, menuangkan hasil penelitian, telah mampu membuat begitu pula pengarangnya. Dengan mengetahui tipe kategori-kategori data. Gambaran secara keseluruhan akan tersebut, peneliti akan mampu menghakimi seorang segera tampak melalui kartu data tersebut. 73
pengarang tertentu mampu atau tidak mengekspresikan anak-anak ditelevisi, ternyata mereka mudah bergerak pengalaman batinnya. jiwanya, bahkan satu dua anak ada yang mencoba meniru- niru gerakan flem tersebut. Pada remaja menonton dan Kajian psikologi sastra juga dapat menitikberatkan membaca cerita romantik, seringkali tergerak jiwanya ingin pada pengaruh karya tersebut secara psikologis. Dalam berbuat seperti yang ada dalam cerita. Begitu pula orang kaitan ini, kalau kita membagi kategori sastra menjadi tiga dewasa seringkali terbakar jiwanya setelah membaca atau segmen, yaitu sastra anak-anak, sastra remaja dan sastra menonton pertunjukan sastra. dewasa- peneliti dapat mengkaji masing-masing segmen lebih mendalam. Kajian dapat mempergunakan gabungan Di samping itu, dalam kaitannya dengan aspek pendekatan psikologi dengan resepsi atau pragmatik sastra. pragmatik, kajian psikologi sastra dapat diarahkan pada Melalui kajian semacam ini, karya sastra benar-benar akan perubahan kepribadian seseorang setelah menikmati karya sampai atau tidak kepada sasarannya. sastra. Manakala seseorang menjadi lebih arif ketika membaca sastra, berarti secara psikologis telah Pada saat mengkaji psikologi sastra anak, remaja, terpengaruh oleh karya tersebut. Hal ini dapat dipahami dewasa, peneliti dapat mengungkap berbagai hal, antara ketika masyarakat Jawa membaca karya-karya klasik, lain” (1) bagaimana pengaruh karya itu terhadap misalkan Serat Tripama, Serat Wedatama, serat centhini, perkembangan bahasanya. Dari aspek psikologis bahasa dan sebagainya-sering terpengaruh sehingga ingin seseorang akan dipengaruhi oleh apa saja yang mereka menyontoh kepribadian yang di pesankan oleh pujangga. baca. Jika yang di baca adalah sastra yang indah, tentu saja akan mempengaruhi keindahan bahasanya; (2) Kegiatan peneliti juga perlu mengungkap seberapa jauh sastra tersebut dapa mempengaruhi aspek-aspek kognitif, Mahasiswa secara berkelompok berdiskusi konasi(keinginan) anak, dan emosi (perasaan). Hal ini Kegpiastiaknoanalisis dan perspektif sosiologi sastra dapat dibayangkan ketika anak-anak suntuk menonton flem 74
Tugas BAB CPK-9 Mahasiswa mampu VIII menjelaskan dan menerapkan Bedah Karya kajian feminfenimisme Kegiatan Sumber Materi Pembahasan Endraswara, Suwardi. 2008. Meteodologi Penelitian Sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta: A. kostruksi gender dalam sastra MeKdepgreiaetsa.n KegiaSteajnak dulu karya sastra telah menjadi culture regime Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. dan memiliki daya pikat yang kuat terhadap persoalan Yogyakarta: Gadjah Mada University Prees. gender. Paham tentang wanita sebagai orang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai orang cerdas, aktif dan sejenisnya-selalu mewarnai sastra kita.citra wanita dan pria tersebut seakan-akan telah mengakar di benak penulis sastra. Sampai sekarang, paham yang sulit dhilangkan adalah terjadinya hegemoni priamaupun wanita. Hampir seluruh karya sastra, baik yang di hasilkan penulis pria maupun wanita, dominasi pria selalu lebih kuat. Figur pria terus menjadi the authorit, sehingga mengsumsikan bahwa wanita adalah impian. Wanita selalu sebagai the second sex, warga kelas dua dan tersubordinasi 75
Atas dasar itu, peneliti sastra ditantang untuk bayangan-banyangan erotis. Hal semacm ini pernah diteliti menggali lebih jauh konstruksi gender dalam sastra dari oleh sukri dan sofyan (2001) dan hasilnya diterbitkan dalam waktu ke waktu. Peneliti perlu menjelaskan, bagaimana buku berjudul perempuan dan seksualitas dalam tradisi keterjajahan wanita oleh laki laki dalam berbagai gender jawa. Lihat saja ketika Jasadipura mengubah serat sastra. Konsep-konsep tradisional yang selalu memuliakan baratayuda, ada bagian yang berbunyi: para dyah akeh domertik wanita, merumahkan, akan menjadi bahan kasusu / gelung udhar tan tinolih / miwah kahengbene lukar pertimbangan penting dalam penelitian. / nora sedya den rawati / pambayun sinongga ngasta / kyungyung pesok kapipit // Artinya: “tak sedikit gadis yang Hal yang sama juga akan nampak pada pemilihan bergegas (ingin menyaksikan prabu kresna), (sampai) tokoh-tokoh yang tampak mengedepankan perbedaan gelungnya terurai tak diperhatikan (sama sakali), apalagi gender. Bagai,ana Darmanto jatman dalam Sambel kain penitup dada juga tersingkap. Hal itu dibiarkan saja, Bawang dan Terasi, jelas sekali menggambarkan Ngaisah tak sempat ditutupi, bahkan payudara pun sempat isah isah sebagai figur dapur. Pramoedya Ananta Toer dipegangi, sebab merasakan berahi yang sulit dalan yang sudah hilang, melukiskan tiga wanita (Ny. Kin, dikendalikan ”. Bunda dan Babu) tetap pada nasib-nasib domestik wanita, tak ketinggalan WS Rendra yang maria zaitun dalam puisi Dari lukisan itu tampak sekali bahwa perempuan Nyanyian Angsa, adalah potret nasib wanita yang harus adalah objek citraan yang manis, citraan yang diselubungi menjadi pelacur dan terkena penyakit rajsinga. derap seksual. Citraan perempuan dalam sastra jawa amat beragam. Tak sedikit, sastrawan yang mencitrakan Tak ubahnya lagi, dalam karya sastra jawa klasik, perempuan sebagai sosok yang penuh kelembuta, (semakin) tampak jelas bahwa perempuan adalah “objek” kesetiaan, susila, rendah hati, pemaaf, dan penuh erotik bagi laki-laki. Apalagi kalau sastrawan adalah pengabdian. Dalam sastra Jawa kuna, terutama dalam seorang laki-laki, tentu obsesinya bercampur dengan wiracarita dan kawawin tampak jelas bahwa pencitraan 76
perempuan cenderung sebagai sosok pujaan. Perempuan keduanya dapat hidup berkeluarga. Kesetiaan juga adalah figur yang petut diperebutkan oleh laki-laki terutama ditunjukkan oleh tokoh Sinta dalam novel sinta karya karena kecantikan dan kebolehannya. Pion pentingnya : sunarno Sisworahardjo. Dalam kaitan ini Sinta tak mau perempuan harus setia pada laki-laki. dimadu, ketika menjadi istri sajarwa. Kesetiaan demikian juga terdapat pada Anteping tekad karya AG Sunarti. Yakni Kita kenal pada zaman balitung, muncul serat sikap hidup setia yang dicitrakan tokoh Indah kepada Ramayana yang melukiskan betapa kesitiaan Sinta kepada Sundoro. Dari beberapa tema kesetiaan perempuan yang Rama pada zaman Darmawangsa, Parwabahabarata muncul, dapat ditarik kejelasan bahwa kesetiaan adalah mencitrakan keteguhan janji dewi Kunti. Kesetiaan dewi laku hidup yang amat dihargai dalammasyarakat Jawa Supraba pada Arjuna dalam Arjuna Wiwaha dan dewi kesetiaan seimbang dengan bakti yang merupakan kunci setyowati pada suaminya Prabu salya dalam serat hidup perempuan Jawa (pradipta 1999:279). bharatayudha. Pada periode sastra Jawa tengahan muncul juga kesetiaan perempuan sri tanjung kepada suaminya Yang lebih tragis lagi, ketika sastrawan pria bicara Sidapeksa dalam serat sri tanjung. Meskipun sri Tanjung perempuan – sering tersurat pemojokan-pemojokan. Nasib dicoba dengan bertubi-tubi godaan, yang direkayasa oleh perempuan pada pihak yang “minus”, atau negatif. Bahkan raja Sulkrama karena tertarik dengan kecantikannya, sering sampai ke titik sengsarah batin. Lihat saja beberapa akhirnya lulus juga, “korban perempuan” dalam novel Jawa: aju ingkang sial (1960) karya Sugeng Tjakasuignya, wong wedok Dalam sastra jawa baru, persoalan hidup keluarga kecenthok-centhok (1966) dan Kenja katula-tula (1964) yang menggoreskan nasib perempuan, dicitrakan dalm karya Widi Widayat, Tangise Kenja Aju (1964) karya Any beberap novel seperti Anteping wanita karya Ani asmara Asmara wong wadong dinarsih (1991) karya Tamsir AS. (1955). Novel ini melukiskan kesetiaan intarti kepada calon Kegelisahan perempuan yang menuju emansipasi di dunia suaminya Endra. Setelah melewati cobaan berat akhirnya 77
medern, baru terlihat jelas ketika lahir novel sintru oh sintru terjadi penelitiam feminisme yang bias gender. Peneliti pun (1991) karya Suryadi WS. kadang-kadang masih bersikap “pilih kasih” terhadap karya-karya tertentu, sehingga hsilnya mengecewakan Dari paparan demikian, jelas menjelaskan bahwa semua pihak. perempuan di mata laki-laki dan juga di mata sastrawan pria: sekadar objek, jadi, memang betul perempuan adalah Jika ada penelitian krisis terhadap feminisme, Swarga nunut nraka katut. Konsep ini sudah membelenggu, ternyata lebih banyak memberikan sorotan yang memuja- hingga medorong perempuan ke sudut: keterpurukan nasib. muja. Hal ini, dimungkinkan mengambil hat sastrawan perempuan secara “laten” menjadi terjajah, peremouan perempuan, agar mereka tidak putus asa berkarya. yang gemar cerewet, ternyata telah menjadi “objek” Buktinya, sorotan kritis terhadap novel saman karya Nurul ceroboh laki-laki yang semakin “mengkambing hitamkan” Utami dan supernova karya Dee (dwi Lestari) telah mereka. Lagi-lagi, sastrawan dan laki-laki umumnya sering menjadikan karya tersebut hebat. Hal ini memang harus di memanjakan perempuan. Karena itu, jangan heran kalau sadari karena sejak awalnya para pengkaji sastra lebih laki-laki sering menyekap perempuan pada sebuah banyak dilakukan oleh pria.wanita seakan-akan tenggelam “akuarium indah”, hanya sebagai pemandangan yang dalam kegiatan non sastra. Itulah sebabnya, hampir semua sedap dan panoramik belaka. kanon sastra di semua negara didominasi oleh penelitian pria yang memandang sebekah mata kepada kaum hawa, B. fokus kajian feminisme bahkan Kolodny (Djajanegara 2000:19) juga mengakui hal tersebut, karena sebagian karya sastra adalah produk pria, Peneliti sastra feminis masih sering “berkelamin sihingga selalu menampilkan stereotipe wanita sebagai ibu, tunggal”, bisa terkurangi sedikit demi sedikit. Maksdnya, yang bersifat manja, pelacur dan sebagainya. sering peneliti masih memandang permpuan dari wacana laki-laki, jarang peneliti gender yang mampu melihat 78 perempuan dari “kacamata” perempuan. Akibatnya sering
Dasar pemikiran dalam penelitian sartra yaitu studi teks-teks yamg dipusatkan pada perempuan, berperspektif feminis adalah upaya pemahaman dan untuk mangokohkan kanon perempuan; (d) untuk kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin pada mengeksplorasi konstruksi kultural dari gender dan identita. karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan penelitian sastra. Beberapa sasaran tersebut akan tercapai dengan Peneliti akan memerhatikan dominasi laki-laki atau gerakan sukseks apabila peneliti feminisme sastra memanfaatkan perempuan. kajian kualitatif, data-data yang diambil berupa data deskriptif kualitatif, misalkan tentang deskrisi status dan Melalui studi dominasi tersebut, peneliti dapat perang perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan memfokuskan kajian pada: (1) kedudukan atu peran tokoh lingkungan pekerjaan. Data-data ini harus dibahas secara perempuan dalam sastra; (2) ketertinggalan kaum proporsional, artinya tak dari sudut pandang laki-laki perempuan dalam segala aspek kehidupan, termaksud melihat perempuan, melainkan menggunakan sudut pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan; (3) pandang perempuan. memerhatikan faktor pembaca sastra, khusunya bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi Sasaran penting dalam analisis feminisme sastra wanita dalam sastra. Jika peneliti mampu mengungkap sedapat mungkin berhubungan denga hal-hal sebagai ketiga fokus tersebut setiknya akan terbaca tujuan berikut: penelitian feminis sastra yang dikemukakan kuiper (Sugihastuti dan Suharto, 2002:68), yaitu (a) untuk (1) Mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu mengkritik kanon karya sastra dan untuk mmenyoroti hal- dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa hal yang bersifat standar yang didasarkan pada patriakhal; ditekan oleh tradisi. Dominasi budaya petriarkal harus (b) umtuk menmpilkan teks-teks yang diremehkan yang terumgkap secara jelas dan analisis, dibuat perempuan; (c) umtuk mengokohkan gynocritik, (2) Mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya yang ditulis oleh pengarang wanita. 79
(3) Mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, Sejalan dengan kodratnya, teks sastra yang bagaimana memandang diri sendiri dalam kehidupan dilahirkan pengarang laki-laki dan wanita memang sering mereka. berbeda. Keduanya sering kental dalam hal-hal perjuangan terhadap nasib masing-masing. Itulah sebanya, kondisi ini (4) Mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami telah memunculkan paham penelitian sastra yang bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah orientasinya ke arah perjuangan hak. Lebih jauh lagi, kajian penulis wanita memiliki kekhasan dalam gaya dan sastra serupa juga telah melebar ke arah perbedaan- ekpresi atau tidak. perbedaan hakiki laki-laki dan perempuan. (5) Mengungkap aspek psikoanalisa feminis, yaitu Upaya penelitian demikian lalu memunculkan teori mengapa wanita baik tokoh maupun pengarang, lebih pengkajian feminisme sastra. Dari sini pengkajian sastra suka pada hal-hal yang halu, emosional, penuh kasih feminis dapat ke arah dua sasaran, yaitu: (1) bagaimana sayang dan sebagainya. pandangan laki-laki terhadap wanita dan (2) bagaimana sikap wanita dalam membatasi dirinya. Keduanya akan Dari berbagai sasaran tersebut, seharusnya sudut berpusar lebar ke dalam teks satra yang jalin-menjalin pandang yang dugunakan adalah peneliti sebagai reading dengan budaya masing-masing wilayah. as women, membaca sebagai wanita. Pebdek kata, peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan Jabaran dua wilayah itu, manurut Selden kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin (pradopo1991:137) dapat digolongkan menjadi lima fokus: banyak berhubungan dengan masalah keyakinan, ideologi biologi, yamg sering menempatkan perempuan lebih dan wawasan hidup. Kesadaran khusus peneliti untuk interior, lembut, lemah dan rendah; (2) pengalaman, memahami karya sastra sangat diperlukan. Perbedaan seringkali perempuan dipandang hanya memiliki jenis kelamin akan memengaruhi pemaknaan cipta sastra. pengalaman terbatas masalah menstruasi, melahirkan, 80
menyusui dan seterusnya; (3) wacana, biasanya wanita tidak sadar ataukah justru marah menghadapi lebih randah dalam penguasaan bahasa, sedangkan laki- ketidakadilan gender, jika dianggap perlu, analisis peneliti laki memiliki “tuntutan kuat”. Akibat dari semua ini akan harus sampai pada radikalisme perempuan dalam menimbulkan stereotip yang negatif pada diri wanita, memerjuangkan persamaan hak. wanita sekadar kanca wingking; (4) proses ketidaksadaran, secara diam-diam penulis feminis telah meruntuhkan Dominasi laki-laki terhadap wanita telah otoritas laki-laki. Seksualitas wanita bersifat revolusioner, memengaruhi kondisi sastra, antara lain: (1) nilai dan subversif, beragam dann terbuka. Namun demikian, hal ini konvesi sastra sering didominasi oleh kekuasaan laki-laki, masih kurang disadari oleh laki-laki; (5) pengarang feminis sehingga wanita selalu berada pada posisi berjuang terus- biasanya sering menghadirkan tumtutan sosial dan menerus ke arah kesetaraan gender; (2) penulis laki-laki ekonomi yang berbeda dengan laki-laki. Dari berbagai sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita adalah fokus tersebut, peneliti sastra yang berhaluan feminis dapat abjek fantastis yang menarik. Wanita selalu menjadi obejk memusat dari beberapa pilihan saja agar lebih mendalam. kenangan sepintas oleh laki-laki. Karya-karya demikian selalu memihak, bahwa wanita sekadar orang yang C. Teori Analisis Feminisme berguna untuk melampiaskan nafsu semata; (3) wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu sering terjadi tindak asusila laki-laki, pemerkosaan atau mengungkap aspek-aspek ketertindasan wanita atas diri sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada pria. Mengapa wanita secara politis terkena dampak posisi lemah (tak berdaya). pertiarkhi, sehingga meletakkan wanita pada posisi interior. Strereotip bahwa wanita adalah pendamping laki-laki, akan Dengan kata lain, memang ada perbedaan visi menjadi tumpuan kajian feminisme. Dengan adanya penulis laki-laki dan wanita. Kedua kubu tersebut sering perilaku politis tersebut, apakah wanita menerima secara memiliki daya kontra satu sama lain yang tak ada ujung 81
pangkalnya. Bahkan kedua belah pihak sering tangga dan kemasyarakatan. Kedua, penulis wanita yang mengungkapkan adanya sikap saling menyalahkan akibat telah bersikap radikal, pada saat ini wanita berhak memilih perbedaan gender. Itulah sebabnya analisis feminisme cara mana yang tepat untuk berekspresi. Begitu pula tema- seyogyanya mengikuti pandangan Barret (pradopo, tema garap juga semakin kompleks. Ketiga, hasil tulisan 1991:142) yakni: (1) peneliti hendaknya mampu wanita di samping mengikuti pola terdahulu, juga semakin membedakan meterial sastra yang digarap penulis laki-laki sadar diri. Karya-karya yang melukiskan hal-hal yang lebih dan wanita, keinginan laki-laki dan wanita dan hal-hal apa transparan (bugil), perzinaan, perselingkuhan dan saja yang menarik laki-laki dan wanita; (2) ideologi sering sejenisnya telah disentuh. Wanita telah sadar bahwa memengaruhi hasil karya penulis. Ideologi dan keyakinan dirinya bukanlah “bidadari rumah”, melaikan harus ada laki-laki dengan wanita tentu saja ada perbedaan yang emansipasi. prinsipil: (3) seberapa jauh kodrat fiksional teks-teks sastra yang dihasilkan pengarang mampu menghasilkan keadaan Showalter juga menegaskan bahwa dalam analisis budaya mereka. Perbedaan gender sering memengaruhi feminisme sastra perlu menelusiri lebih jauh tentang : (1) adat dan budaya yang terungkap. Tradisi laki-laki dan perbedaan hakiki antara bahasa penulis pria dan wanita, perempuan dengan sendirinya memiliki perbedaan yang perbedaan tersebut akan dipengaruhi oleh konteks budaya harus dijelaskan dalam analisis gender. yang ditakdirkan berbeda. Apakah wanita lebih banyak menggunakan bahasa estetis, yang penuh rasa, penuh Secara rinci, menurut Showalter (1988) ada tiga daya mistik, berbau kuno dan seterusnya. Sebaliknya, fase tradisi penulisan sastra oleh wanita. pertama, para mungkin laki-laki lebih terbuka dalam menyoroti hal-hal penulis wanita seperti George Eliot sering meniru dan seks, tanpa ragu-ragu melukiskan payudara, phalus, dan menghayati standar estetika pria yang dominan, yang sebagainya, perlu menjadi perhatian peneliti; (2) seberapa menghendaki bahwa wanita tetap memiliki posisi terhormat. jauh pengaruh budaya yang melakati pada wanita dan laki- Latar utama karya mereka adalah lingkungan rumah laki dalam senuah cipta sastra. Apakah laki-laki-cenderumg 82
ingin mempertahankan budaya yang menghegomoni hubungan kekuatan kehidupan antara wanita dengan pria wanita, dan sebaliknya wanita akan bersikap pasrah, dalam sistem komunikasi sastra. Dari pandangan ini adalah gambaran yang sangat berarti dalam analisis peneliti feminis sastra akan berusaha mengungkap feminisme. seberapa jauh kekuatan politik mengubah hisrkhi pria dan wanita. Untuk meneliti karya sastra dari aspek feminis, peneliti perlu membaca teks sebagai wanita (reading a Karya sastra yang bernuansa feminis, dengan women) dalam istilah Culler. Membaca sebagai wanita sendirinya akan bergerak pada sebuah emansipasi. akan lebih demokratis dan tak berpihak pada laki-laki Kegiatan akhir dari sebuah perjuangan feminis adalah ataupu perempuan. Dari sini, peneliti akan menemukan persamaan derajat yang hendak mendudukkan wanita tak diegesis dan mimesis dalam teks sastra. Diegesis adalah senagai objek. Itulah sebabnya kajian feminisme sastra segala peristiwa yang dilaporkan atau dikisahkan, sedang tetap memerhatikan masalah gender. Yakni, tidak saja mimesis adalah ahl-hal yang diperagakan atau terus-menerus membicarakan citra wanita, tapi juga dipertunjukkan. Baik diegesis maupun mimesis adalah seberapa kemampuan pria dalam menghadapi perbedaan sekuen-sekuen teks yang dapat dipahami oleh pembaca. serangan gender tersebut. Menurut Yoder (sagihastuti, 2002:139) feminisme Kegiatan diibaratkan sebuah quilt yang dibangun dan dibentuk dari potongan-potongan kain lembut. Metafora ini Mahasiswa membaca novel bergenre feminisme mengandaikan bahwa feminisme merupakan kajian yang Kegiatan mengakar kuat pada pendirian membaca sastra sebagai wanita. Faham feminis ini memang menyangkut soal politik, Mahasiswa melakukan kajian feminism maksudnya sebuah politik yang langsung mengubah 83
Tugas LAMPIRAN bedah karya KONSTRUKSI SOAL FINAL KSuegmibatearn Tes Final Endraswara, Suwardi. 2008. Meteodologi Penelitian Sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta: Prodi :Pendidikan Bahasa dan Mata Kuliah Sastra Indonesia Kegiatan Waktu : Kajian Apresiasi Prosa Medprees. Fiksi : Petunjuk: tes produk Deskripsi Soal: Capaian pembelajaran yang diharapakan pada mata kuliah ini adalah mahasiswa mampu melakukan kajian terhadap teks-tesk sastra dan menghasilkan prosa fiksi. Untuk mencapai tujuan tersebut bentuk tes yang yang diberikan berupa tes produk dengan menghasilkan prosa fiksi (cerpen). Prosa fiksi yang ditulis adalah hasil karya sendiri (orisinil), pendampingan penulisan dilakukan oleh dosen pengampu mata kuliah. Hasil dari prosa fiksi yang 84
ditulis kemudian dibukukan dalam bentuk antologi bersama. INSTRUMEN PENILAIAN PRODUK MENULIS CERPEN Pemberian nilai berdasarkan instrument yang terlampir. Nama Mahasiswa : . Nim : Kelas : Semester : NO Aspek yang Skor dinilai 1 23 4 5 1 Keaslian ide Menarik 2 Keindahan 3 Kohorensi 4 gagasan struktur intrinsik dan ekstrinsik 5 Manfaat (nilai yang terkandung) Pedoman Penilaian : 85
skor yang diperoleh Nilai = skor maksimum x 100 86
Search