Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore MODUL KAJIAN

MODUL KAJIAN

Published by Zona Literasi, 2021-02-17 16:59:37

Description: MODUL KAJIAN

Search

Read the Text Version

TEORI DAN PENDEKATAN DALAM KAJIAN APRESIASI PROSA FIKSI BAHAN AJAR BESSE HERDIANA, S.S., M. Hum. SUPARMAN, S.S., M. Hum M. ZULHAM, S. Pd., M. Pd

PENGANTAR Untuk menghindari subjektifitas dalam menelaah, mengkaji, menganalisis, dan beberapa istilah lain yang relevan diperlukan sebuah konsep (teori) yang menjadi pisau bedah atau pisau analisis. Modul sederhana ini menyajikan teori dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam mengkaji prosa fiksi, serta dilengkapi dengan contoh analisis dari beberapa penelitian, dan sumber pustaka yang lain. Modul ini dirancang berdasarkan capaian pembelajaran yang telah dirumuskan selama satu semester. Palopo, 2016 TIM Penulis 2

BAB I CPK-1 Mahasiswa mampu menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, menjelaskan konsep prosa fiksi, jenis- sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh jenis prosa fiksi dan komponen- sehingga ia tak perlu dicari kebenarannya pada dunia komponen prosa fiksi nyata. Istilah fiksi sering digunakan dalam pertentangannya dengan realitas. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi M1.atPeerinpgeemrtibaanhdaasnanhakikat prosa fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusian, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati Istilah prosa fiksi dalam dunia kesastraan adalah salah satu berbagai masalah kemudian diungkapkannya kembali genre yang menyarang pada pengertian yang lebih luas. melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Prosa fiksi dalam pengertian ini tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, melainkan Menurut Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, juga berbagai karya nonfiksi termasuk penulisan berita 2007: 2) fiksi merupakan prosa naratif yang bersifat dalam surat kabar. Secara teoretis karya fiksi dapat imajinatif, biasanya masuk akal, mengandung kebenaran dibedakan dengan karya nonfiksi, walau tentu saja yang dipenuhi dengan dramatisasi hubungan-hubungan pembedaan itu bersifat mutlak, baik yang menyangkut antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu unsur kebahasaan maupun unsur isi permasalahan yang berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap dikemukakan, khususnya yang berkaitan dengan data-data kehidupan. factual dan dunia realitas. Sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita yang Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut menarik, bangunan struktur yang koheren dan mempunyai fiksi, teks naratif (wacana naratif). Menurut Abrams istilah tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti fiksi merujuk pada cerita rekaan (khayalan), disebut cerita menikmati cerita, mengibur diri untuk memperoleh rekaan karena merupakan karya naratif yang isinya tidak kepuasan batin (wellek dan warren dalam Nurgiyantoro, menyaran pada kebenaran sejarah. Sehingga dapat 2007: 3). disimpulkan bahwa prosa fiksi adalah suatu karya yang 3

2. Pembagian prosa fiksi mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang a. Novel dan cerita pendek lebih mendalam. Kehadiran roman lebih tua dibandingkan Istilah novel berasal dari bahasa latin novellus yang dengan novel. Menurut Frye (dalam Nurgiyantoro, 2007: 15) diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Istilah baru roman menggambarkan tokoh secara nyata, secara lebih digunakan dengan alasan bahwa novel merupakan karya realistis. Merupakan gambaran angan, dengan tokoh yang sastra terakhir yang muncul setelah puisi dan drama. lebih bersifat introvert, dan subjektif. Novel lebih Novel dapat di defenisikan sebagai suatu cerita prosa mencerminkan gambaran tokoh nyata, tokoh yang yang fiktif dalam panjang yang tertentu, dengan melukiskan berangkat dari realitas social. para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representative dalam suatu alur, menggarap kehidupan Istilah modern roman berarti cerita prosa yang pria dan wanita yang bersifat imajinatif. melukiskan pengalaman-pengalaman batin dari beberapa Cerita pendek merupakan bentuk sederhana dari fiksi. orang yang berhubungan satu dengan yang lain dalam Cerita pendek menyajiakan suatu keadaan tersendiri atau suatu keadaan. Sementara itu, novel didefinisikan sebagai suatu kelompok kedaan yang memberikan kesan yang suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda tunggal pada jiwa pembaca. yang ada di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang, dan lebih b. Roman dan novel mengenai sesuatu episode. Dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi yang utama disebut romance dan novel. Novel bersifat realistis, sedang 4 romantik puitis dan epik. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Novel lebih

3. Komponen-komponen prosa fiksi Penentuan tema sebuah karya fiksi harus disimpulkan a. Tema dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian- bagian tertentu cerita. Menurut Stanton (dalam 1. Hakikat tema Nurgiyantoro, 2007: 70) tema merupakan makna cerita Makna sebuah karya sastra dapat dipahami melalui yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema memiliki penentuan tema. Tema dapat dipahami melalui cerita dan makna yang sama dengan ide utama dan tujuan utama. data-data. Tema didefinisikan oleh Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2007: 67) sebagai makna yang dikandung Secara umum tema dapat diartikan sebagai dasar dan ditawarkan oleh cerita. Tema merupakan gagasan cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan Gagasan dasar umum yang digunakan oleh pengarang yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantic untuk mengembangkan cerita. dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (hartoko dalam Nurgiyantoro, 2007: 2. Tema dan unsur cerita yang lain 68). Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam Sebuah tema akan bermakna jika ada dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema keterkaitannya dengan unsure-unsur cerita yang lainnya. dalam banyak hal bersifat mengikat. Kehadiran atau Dalam sebuah narasi kehadiran tokoh (penokohan) adalah ketidakhadiran peristiwa-konflik-situasi tertentu, termasuk penyampai tema. Melalui peristiwa, pikiran dan perasaan berbagai unsure intrinsic yang lain, karena hal-hal tersebut yang dialami oleh tokoh sebuah tema cerita bias ditentukan. haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin Unsure yang lain seperti plot, untuk penentuan sebuah disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh tema tidak hanya sekadar melihat apa yang dialami oleh cerita, generalisasi yang umum, lebih luas dan abstrak. tokoh tetapi bergantung pada jenis aktifitas dan kronologi peristiwa yang mampu memumculkan konflik yang disebut dengan istilah plot. 5

Latar merupakan tempat, saat, dan kedaan social 1) Tema tingkat fisik. Tema karya sastra pada tingkat yang menjadi wadah tokoh melakukan dan dikenai sesuatu ini lebih banyak menyaran pada aktivitas fisik darpada kejadian. Latar bersifat memberikan aturan permainan kejiwaan. Tema ini lebih menekanka mobilitas fisik terhadap tokoh. Latar akan mempengaruhi tingkah laku adaripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. dan cara berpikir tokoh, dan karenanya akan mempengaruhi pemilihan tema. 2) Tema tingkat organik. Tema karya sastra yang lebig banyak menyangkut persolan seksualitas. Misalnya, 3. Penggolongan tema penyelewengan dan pengkhianatan suami istri. a. Tema tradisional dan non tradisional 3) Tema tingkat sosial. Tema jenis ini lebih banyak Tema tradisonal merukan tema yang berfokus pada menyoroti persoalan sosia, konflik social, ekonomi, politik, tema yang telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan kebudayaan, perjuangan, cinta, hubungan atasan-bawahan, dalam berbagai cerita. Misalnya, kebenaran dan keadilan dan berbagai masalah dan hubungan social lainnya yang mengalahkan kejahatan, cinta yang sejati menuntut biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial. pengorbanan, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Pada umumnya tema-tema tardisional merupakan 4) Tema tingkat egoik. Tema tingkat ini lebih banyak tema yang digemari orang dengan status social apapun. menyoroti persoalan individualitas berupa, egoisitas, Tema jenis tersebut bersifat universal. martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan Tema non tradisional berfokus pada tema yang tidak dirasakan oleh yang bersangkutan. sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, mengesalkan, mengecewakan. 5) Tema tingkat divine. Tingkatan tema ini lebih banyak menonjolkan masalah hubungan manusia dengan sang b. Tema menurut Shipley pencipta, masalah regionalitas, atau berbagai masalah Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke yang bersifat filosofi lainnya seperti pandangan hidup, visi dan keyakinan. dalam tingkatan-tingkatan yaitu sebagai berikut: 6

b. Cerita Mahasiswa secara kelompok melakukan presentasi hasil Aspek cerita dalam sebuah karya fiksi memiliki peranan diskusi sentral. Tanpa unsure cerita, eksistensi sebuah fiksi tidak Sumber bisa terwujud. Sebab, cerita merupakan inti sebuah fiksi. Cerita sebagai suatu kejadian yang sengaja di susun NurgiSyaunmtobreor, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. berdasarkan urutan waktu (Forster dalam Nurgiyantoro, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2007: 91). Sejalan dengan pendapat Forster, Abrams mengemukakan bahwa cerita merupakan urutan kejadian Sumber sederhana dalam urutan waktu. Dalam cerita peristiwa berlangsung sesudah peristiwa yang lainnya. Melalui cerita pengarang ingin menyampaikan sesuatu, gagasan- gagasan, kepada pembaca. Unsure cerita dapat dibedakan ke dalam aksi, kejadian, subtansi dan bentuk cerita. Kegiatan Mahasiswa secara berkelompok berdiskusi tentang prosa fiksi, jenisnya dan menemukan komponen-komponen prosa fiksi melalui teks yang dibagikan Tugas BAB CPK-2 Mahasiswa mampu II menjelaskan hakikat kajian dan jenis-jenis kajian sastra 7

a. Materi Pembahasan menyebabkan karya yang bersangkutan menjadi tidak 1) Hakikat kajian bermakna, tidak berbicara apa-apa, mati. Penggunaa kata kajian lebih banyak digunakan Sebuah novel yang hadir kehadapan pembaca, daripada kata analisis dengan asumsi dasar bahwa istiah seperti telah dikemukakan adalah sebuah totalitas. Novel analisis lebih mengarah pada aktivitas memilah-milah karya dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur akan saling sastra meskipun pada dasarnya berfokus pada objek yang berhubungan secara saling menentukan, yang sama yakni ‘menelaah’. kesemuanya itu akan menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna, hidup. Di pihak lain, tiap-tiap Nurgiyantoro menggunakan istilah kajian yang unsur pembangun novel itu pun hanya akan bermakna jika mengarah pada pengertian penelaahan dan penyelidikan. ada dalam kaitannya dengan keseluruhannya. Dengan kata Ia merupakan pembendaan dari istilah mengkaji, menelaah lain, dalam keadaan terisolasi, terpisah dari totalitasnya, atau menyelidiki, mengkaji dan menyelidiki karya sastra. unsur-unsur tersebut tidak ada artinya, tidak berfungsi (tentu saja ini masih dalam kaitannya dengan usaha Penggunaan kata analisis itu sendiri sering pemahaman apresiasi terhadap karya yang bersangkutan). ditafsirkan dalam konotasi yang agak negative. Kesan tidak jarang timbul dari kata tersebut adalah kegiatan Kegiatan analisis kesastraan mencoba memisahkan mencincang-cincang karya sastra, memisah-misahkan bagian-bagian dari keseluruhannya tersebut, tak jarang bagian-bagian dari keseluruhannya. Dalam pandangan dianggap sebagai kerja yang sia-sia. Bahkan, lebih dari itu: kelompok tertentu, kerja analisis kesastraan dianggap dapat menyesatkan, semakin menjauhkan makna karya sebagai tidak ubahnya kegiatan beda mayat seperti yang yang bersangkutan sebagai karya seni. Penganalisis hanya dilakukan para mahasiswa kedokteran. Hal itu akan sibuk dengan masing-masing unsur yang telah dilepas dari totalitasnya.Apalagi jika hal itu kemudian dipakai sebagai 8

dasar analisis yang lebih lanjut. Usaha pemahaman tepat ), apa segi kebaruan, kelebihan dan kelemahan terhadap karya sastra, novel, menurut pandangan unsur-unsur yang ada, apa sebenarnya yang ingin kelompok yang tak setuju dengan kerja analisis harus lah diungkapkan melalui novelitu, dan sebagainya. dilakukan langsung dalam keadaan totalitasnya, secara apa adanya. Novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu( lebih Anggapan diatas tidak semuanya dapat dibenarkan, bersifat) secra tidak langsung. Hal inilah, antara lain, yang walau juga tidak semuanya dapat disalahkan.Kesemuanya menyebabkan sulitnya kita pembaca untuk menafsirkanya itu masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Kelompok untuk itu, diperlukan suatu upaya (boleh juga dibaca: kritik) akademikus yang sering dituduh sebagai tukang analisis, untuk dapat menjelaskannya, dan biasanya , hal itu disertai tukang beda karya sastra, tentu saja dapat tampil dengan bukti-bukti nhasil kerja analisis. Dengan demikian, tujuan pembelaannya. Untuk memahami sebuah novel (serius), utama analisis kesastraan, fiksi, puisi atau pun yang lain, sering tidak semudah seperti yang diduga orang. Jika adalah untuk dapat memahami secara lebih baik karya pembaca tidak mampu memahami dengan baik karya sastra yang bersangkutan, disamping untuk membantu tersebut, bukankah hal itu berarti apa yang ingin menjelaskan pembaca yang kurang dapat memahami diungkapkan pengarang tidak sampai kealamat? Bukankah karya itu. Jadi, kerja analisis yang tak jarang dianggap hal itu juga merupakan sesuatu yang tidak diinginkan (atau: dituduhkan) sebagai ciri khas kelompok akademikus terjadi? Kegiatan analisis karya fiksi dalam hal ini tampil itu, bukankah merupakan tujuan, melainkan sekedar dengan mencoba menerangkan, misalnya, apa peranan sarana, sarana untuk memahami karya-karya kesastraan masing- masing unsur, bagaimana kaitan antara unsur itu sebagai satu kesatuan yang padu dan bermakna, yang satu dengan lainya,mengapa unsur-unsur tertentu bukankah sekedar bagian perbagian yang terkesan dalam novel,misalnya penokohan, pelataran, penyudut sebagai suatu pencincangan diatas. pandangan, dan lain-lain, tepat ( atau sebaliknya: tidak 9

Manfaat yang akan terasa dari kerja analisis itu yang secara lengkap disebut sebagai pembacaan heuristik adalah jika kita (segera) membaca ulang karya-karya dan pembacaan hermeneutic, biasanya dikaitkan dengan kesastraan (novel, cerpen) yang dianalisis itu, baik karya- pendekatan semiotic (lihat Riffaterre, 1980: 4-6). Hubungan karya itu dianalisis sendiri maupun oleh orang lain. Namun, antara heuristik dengan hermeneutik dapat dipandang tentu saja, analisis itu haruslah merupakan analisis yang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan baik, teliti, kritis, dan sesuai dengan hakikat karya sastra. pembacaan dan atau kerja hermeneutic haruslah didahului Kita akan merasakan adanya perbedaan, menemukan oleh pembaca heuristik.Kerja hermeneutik, yang oleh sesuatu yang baru yang terdapat pada karya itu yang Riffaterre disebut juga sebagai pembacaan retroaktif, belum ditemukan (atau: dirasakan) dalam pembacaan memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis. terdahulu, sebagai akibat kompleksitasnya karya yang bersangkutan. Kita akan dapat lebih menikmati dan Kerja heuristik merupakan pembacaan karya sastra memahami cerita, tema, pesan-pesan, penokohan, gaya, pada sistem semiotik tingkat pertama. Ia berupa dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya itu. Namun pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh demikian, adanya perbedaan penafsiran dan atau bahasa (yang bersangkutan). Jadi, bekal yang dibutuhkan pendapat adalah sesutau hal yang wajar yang biasa terjadi, adalah pengetahuan tentang sistem bahasa itu, dan perlu dipersoalkan tentu saja masing-masing pendapat kompetensi terhadap kode bahasa.Kerja heuristik itu perlu memiliki latar belakang argumentasi yang dapat menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna diterima. tersurat, actual meaning.Namun, dalam banyak kasus karya sastra, makna yang sebenarnya ingin disampaikan Heuristik dan Hermeneutik. Dalam rangka oleh pengarang justru diungkapkan hanya secara tersirat, memahami dan mengungkap “sesuatu” yang terdapat dan inilah yang disebut sebagai makna intensional, didalam karya sastra, dikenal adanya istilah heuristik intentional meaning.Untuk itu, kerja penafsiran karya sastra (heuristic) dan hermeneutik (hermeneutic).kedua istilah itu, haruslah sampai pada kerja hermeneutik, yaitu berupa 10

pemahaman karya pada tataran semiotik tingkat sosial-budaya). Pengetahuan kode budaya akan kedua.Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja heuristik memperluas wawasan dan ketetapan penafsiran, diatas, dicoba tafsirkan makna tersiratnya, mengingat karya sastra yang dihasilkan dalam suatu signifikansinya.Jika pada tataran kerja heuristik dibutuhkan masyrakat akam mencerminkan kondisi (baca: sistem) pengetahuan tentang kode bahasa, pada tataran kerja sosial-budaya masyarakat tersebut. hermeneutik dibutuhkan pengetahuan tentang kode-kode yang lain, khususnya kode sastra dan kode budaya. Cara kerja hermeneutik untuk penafsiran karya sastra, menurut Teeuw (1984: 123) dilakukan dengan Analisis kesastraan dimaksudkan untuk memahami pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, secara lebih baik sebuah karya, merebut makna yang dan sebaliknya. Dari sinilah kemudian, antara lain, muncul disitilahkan Culler sebagai pursuit of signs, menafsirkan istilah lingkaran hermeneutik (hermeneutic circle). makna berdasarkan berbagai kemungkinannya, analisis Pemahaman karya sastra dengan teknik tersebut dapat tersebut sebenarnya telah melibatkan kerja hermeneutik. dilakukan secara bertangga, dimulai dengan pemahaman Mengutip pendapat dari Teeuw, Nurgiyantoro menejalskan secara keseluruhan walau hal itu hanya bersifat ilmu atau teknik memahami karya sastra dan ungkapan sementara.Kemudian, berdasarkan pemahaman yang bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. diperoleh itu dilakukan kerja analisis dan pemahaman Namun, teknik hermeneutik itu sendiri dapat diterapkan unsur-unsur intrinsiknya, jadi bagian per bagian.Pada dalam karya-karya yang lain selain karya sastra, misalnya giliran selanjutnya, hasil pemahaman unsur-unsur instrinsik dalam hal penafsiran kitab suci (justru dari sinilah awal tersebut dipergunakan, dan lebih menyanggupkan kita, mulanya teori hermeneutik berkembang). Penafsirsn karya untuk memahami keseluruhan karya yang bersangkutan sastra secara lebih baik, di samping memerlukan secara lebih baik, luas, dan kritis.Demikian seterusnya pengetahuan (dan atau kompetensi)kode bahasa dank ode dengan pembacaan berulang-ulang sampai akhirnya kita sastra di atas, juga memerlukan kode budaya (lengkapnya: dapat menafsirkan pertautan makna keseluruhan dan 11

bagian-bagiannya dan makna intensionalnya secara sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran, dan optimal. sekaligus menyebabkan pembaca menjadi terbata-bata untuk berkomunikasi dengannya. Dari sinilah kemudian Cara kerja tersebut dilandasi suatu asumsi bahwa muncul berbagai teori untuk mendekati karya sastra. karya fiksi yang merupakan sebuah totalitas dan kebulatan makna itu dibangun secara koherensif oleh banyak unsur Kajian kesastraan, secara umum dikenal adanya instrinsik.Selain itu, karya fiksi, apalagi yang panjang, analisis structural dan semiotik. structural menekankan biasanya terdiri dari bagian-bagian, dan tiap yang lebih pada adanya fungsi dan hubungan antarunsur (intrinsik) terbatas. Dengan demikian, di samping terdapat makna dalam sebuah karya, sedangkan yang kedua pada (intensional) secara keseluruhan, ada juga makna pemaknaan karya itu yang dipandangnya sebagai sebuah (intensional)yang didukung oleh tiap bagian karya yang sistem tanda. Kajian semiotik merupakan usaha bersangkutan. (sebagai bahan perbandingan, disamping pendekatan yang muncul lebih kemudian, yang antara lain erdapat tema utama, sebuah karya fiksi juga sering sebagai reaksi atas pendekatan structural yang menampilkan sejumlah tema tambahan yang lain). dianggapnya yang mempunyai kelemahan-kelemahan. Namun, pada kenyataan praktiknya, kedua jenis Pada dasarnya mengkaji karya sastra bertujuan pendekatan tersebut sulit dibedakan, dan bahkan memahami secara lebih baik karya itu sendiri. Karya sastra, sebenarnya keduanya dapat digabungkan sehingga dapat seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk saling melengkapi.Dengan demikian, analisis yang komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan dilakukan bersifat struktural-semiotik. Persoalan kajian menolak sesuatu yang serba rutinitas, dengan memberi struktural dan semiotik tersebut berikut akan sedikit kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan dibicarakan, termasuk kajian intertekstual. Kajian kreativitas imajinasinya. Hal itu menyebabkan karya sastra intertekstual merupakan sebuah kajian yang berusaha menjadi lain, tidak lazim, namun juga bersifat kompleks mengkaji adanya hubungan antar sejumlah teks.Kajian 12

interteks, berhubung melibatkan unsur struktur dan berfokus pada pengarang, dengan asumsi dasar bahwa pemaknaan teks-teks yang dikaji, kiranya dapat dipandang pengarang sebagai penghasil teks sebagai manifestasi dari sebagai kajian struktural-semiotik. Selain itu, penulisan ini pengalaman pengarang juga akan sedikit membicarakan paham dekonstruksi (yang sering disebut sebagai poststrukturalisme, yang merebak Wilayah studi ekspresif adalah diri penyair, pikiran dan setelah munculnya gerakan postmodernisme) sebuah perasaan, dan hasil-hasil ciptaannya. Pendekatan ekspresif paham yang justru bersifat “menumbangkan” pandangan- lebih banyak memanfaatkan data sekunder sebagai hasil pandangan tersebut. Namun, kajian dekonstruksi aktifitas pengarang sebagai subjek pencipta untuk sebenarnya juga dapat dikaitkan dengan kajian menjelaskan hubungan antara pengarang, semesta, intertekstual karena dapat melibatkan beberapa teks. pembaca, dan karya sastra. Dalam padangan yang lain Wiyatmi menjelaskan kajian ekspresif memandang dan 2) Jenis-jenis kajian mengkaji karya sastra serta memfokuskan perhatiannya Kajian objektif menekankan pada teks itu sendiri, pada sastrawan selaku pencipta karya melalui curahan ataupun luapan perasaan serta pikiran sastrawan. dengan asumsi bahwa karya sastra adalah sesuatu yang beridiri sendiri, pendekatan ini memandang karya sastra Kajian mimetik berdasar pada asumsi bahwa sebagai dunia yang otonom, tetap tersendiri dan pengarang tidak lepas dari lingkungan sekitarnya. Teks- sinambung, sama sekali tidak membutuhkan hal-hal lain di teks yang lahir dianggap sebagai hasil tiruan dari luar dirinya dengan memusatkan pada segi-segi unsur peristiwa sosial masyarakat, hubungan karya sastra intrinsik. dengan kenyataan di luar karya sastra. Kajian mimetik berawal dari gagasan Plato dan Aristoles tentang apa yang Kajian ekspresif berfokus pada pengarang, Ratna ada adalah tiruan dari realitas yang ada. menjelaskan bahwa kedudukan karya sastra sebagai gagasan Plato tentang seni adalah produk tiruan dengan manifestasi subjek creator, hal ini berarti Kajian ekspresif 13

membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang Ciptaan manusia hanya meneladani ciptaan Tuhan yang tampak. Apa yang tampak adalah kenyataan itu sendiri. mutlak dan indah (Teeuw dalam Siswanto, 2008: 189). Wujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya seni. Ini ada kaitannya dengan pandangan Plato mengenai Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang tataran tentang Ada. Yang nyata secara mutlak hanya yang menitikberatkan pada pembaca. Menurut Abram (1958 : Baik. Derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat 14 – 21) pendekatan pragmatik merupakan perhatian kedekatannya terhadap Ada yang abadi. Dunia empirik utama terhadap peran pembaca. Dalam kaitannya dengan tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya salah satu teori modern yang paling pesat dapat mendekatinya lewat mimetik, peneladanan, perkembangannya yaitu teori resepsi. Para teoritikus pembayangan, atau peniruan. Bagi Plato tidak ada menganggap bahwa ekspresif dan pragmatik menjadi dua pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni. hal yang bertentangan. Pengarang sebagai penghasil teks Seni yang terbaik lewat mimetik. Seni yang baik harus akan diabaikan bila fokusnya pada kajian pragmatic. truthful, benar. Seniman harus modest, rendah hati. Subjek pragmatik dan subjek ekspresif sebagai pembaca dan pengarang berbagai objek yang sama, yaitu karya Berbeda dengan Plato, Aristoteles, melihat teks sastra. Perbedaanya, pengarang merupakan subjek sastra tidak sekadar sebagai tiruan realitas, tetapi sebagai pencipta, tetapi secara terus-menerus, fungsi-fungsinya proses kreatif. seniman tidak meniru kenyataan, manusia, dihilangkan, bahkan pada gilirannya pengarang dimatikan. dan peristiwa sebagaimana adanya. Seniman menciptakan Sebaliknya, pembaca yang sama sekali tidak tahu-menahu dunianya sendiri. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman tentang proses kreativitas diberikan tugas utama bahkan masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu. Dalam dianggap sebagai penulis. Abad Pertengahan, pendapat bawa seni harus seperti alam menjadi pandangan umum. Hal ini ada kaitannya degan Kegiatan anggapan tentang hubungan manusia dengan Tuhan. 14

 Mahaiswa secara individu membuat laporan review Materi Pembahasan mata kuliah 1. Prinsip struktualisme LaTpuograasn review mata kuliah KegiaStartnuktualisme pada dasarnya adalah cara berpikir  Laporan review mata kuliah tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan dekskripsi struktur-struktur. Dalam Sumber pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain. Sumber Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihubungkan Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Paradigma Sosiologi Sastra. dengan struktur lain. Struktur tersbut memilik bagian yang YogySakuamrtbae: rPustaka Pelajar. kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan. Keseluruhan itu Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. akan lebih berarti dibanding bagian yang kompleks, Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. antar unsure secara keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian atau fragmen struktur. BAB CPK-3 Mahasiswa mampu III mendiskusikan dan menerapkan Srtuktualisme sebenarnya merupakan paham filsafat kajian strukatualisme sastra yang memadang dunia sebagai realitas berstruktur. Dunia sebagai suatu hal yang tertib, sebagai sebuah relasi dan keharusan. Jaringan relasi ini merupakan struktur yang bersifat otonom. Karena keteraturan struktur itu, akan 15

membentuk suatu system yang baku dalam penelitian Karya sastra yang dibangun atas dasar bahasa, sejarah. Menurut Junus (1990: 1) struktualisme memang memiliki ciri bentuk dan isi atau makna yang otonom. sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah Artinya, pemahaman karya sastra dapat diteliti dari teks itu bentuk. Karena itu, struktualisme sering dianggap sekadar sendiri. formalisme modern. Pendekatan structural dipelopori oleh kaum formalis Sruktualisme merupakan cabang penelitian sastra Rusia dan struktualisme Praha. Ia mendapat pengaruh yang tak bisa lepas dari aspek-aspek linguistik. Sejak langsung dari teori Saussure yag mengubah pendekatan zaman Yunani, Aristoteles telah mengenalkan diakronik ke sinkronik. Studi linguistik ini tidak lagi struktualisme dengan konsep: wholeness, unity, complexity, ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan dan coherence. Hal ini merepresentasikan bahwa keutuhan pada hubungan antara unsurnya. makna bergantung pada koherensi keseluruhan unsure sastra. Keseluruhan sangat berharga dibandingkan dengan Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi menurut kaum unsur yang berdiri sendiri. Karena masig-masing unsur struktualisme adalah sebuah totalitas yang dibangun memiliki pertautan yang membentuk system makna. Setiap secara hoherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. . unit struktur teks sastra hanya kan bermakna jika dikaitkan senada dengan pendapat tersebut Culler memandang hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut bahwa karya sastra bersifat otonom yamg maknanya tidak dapat berupa pararelisme, pertentangan, inverse, ditentukan oleh hal diluar karya sastra itu (Wellek, 1958: 24; kesetaraan. Yang terpenting adalah bagaimana fungsi Culler, 1977: 127). hubungan tersebut menghadurkan makna secara keseluruhan. Rene Wellek menyatakan bahwa analisis sastra harus memetingkan segi intrinsik. Rene Wellek dalam bukunya Teori kesusastraan menyarankan ada 3 aspek utama yang perlu diperhatikan dalam menganalisis ragam naratif, yaitu: (1) alur, sebagai struktur naratif, (2) 16

penokohan, sebagai penentu kejadian atau peristiwa; dan struktualisme menakankan sastra pada otonomi penelitian (3) latar, sebagai tempat bermainnya peristiwa (Wellek, !989: 276-297). sastra. Menurut Jean Peaget (Hawkens, 1978: 16) 2. Contoh analisis struktualisme mengandung tiga hal pokok. Pertama, gagasan keseluruhan, dalam arti bahwa bagian-bagian Bentuk analisis unsur-unsur intrinsik cerpen “Lelaki ke- atau unsur-unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsic yang menentukan baik 1000 di Ranjangku” karya Emha Ainun Najib dengan keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi, struktur itu menyanggupi prosedur pendekatan struktualisme. transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan 1. Tema keteraturan yang mandiri yaitu tidak memerlukan hal-hal Ada banyak hal yang diungkap pengarang dalam diluar dirinya untuk mempertahankan proedur cerpen “ lelaki ke-1000 di Ranjangku”, masalah transformasinya struktur itu otonom terhadap rujukan moral,perselingkuhan, seksual dan lain-lain. Jika system lain. dilhat dari tingkatan tema yang dipaparkan oleh Sipley, cerpen lelaki ke-1000 di ranjangku termasuk Ide dasar struktualis adalah menolak kaum mimetic dalam tingkatan tema tingkat organik, yaitu tema (yang menganggap sastra sebagai tiruan kenyataan), teori yang membahas masalah seksualitas ekspresif (yang menganggap karya sastra sebagai (penyelewengan suami istri, skandal-skandal ungkapan watak dan perasaan pengarang), dan seksual). Seperti dalam kutipan: menentang asumsi bahwa karya sastra sebagai media “akan tetapi, kata orang: Ini zaman perubahan, anak komunikasi antara pengarang dan pembaca. Pendek kata, dan orang tua tak akan bisa di pertemukan. Maka, akhirnya kutempuh riwayat palin buruk dengan orang tuaku. Kami lari. Aku bahagia sebentar, sampai akhirnya perlahan-lahan tiba saat kehidupan ini menunjukkan kuku-kukunya yang asli. Suamiku napasnya pendek. Keramahannya terhadapku singkat umurnya dan makin surut. Dan, sederhana saja, belakangan kuyakini bahwa ia mulai bermain dengan sekian perempuan lagi, dan ia tampak bergembira karena itu”. (hal: 5) 17

Akibat dari perselingkuhan sang suami Nia memilih yang kurang? Orang tuaku melarang kehendakku karena mempertimbangkan latar belakang lelaki itu: jalan hidupnya sebagai seorang pelacur. perbedaan agama, lingkungan pergaulannya, serta kata ibu cahaya matanya” (hal: 5) Tema merupakan ini atau pokok persoalan yang Meski tanpa restu tokoh aku memilih kawin lari dan memilih jalan hidupnya sendiri meski berujung dibicarakan dalam sebuah cerita. Seperti yang dengan penyeselan “ Teranglah sudah, tak bisa kukuasai lukaku, tak dikemukakan Stanton,tema adalah makna sebuah bisa kurumuskan itu semua dengan pikiranku, dan untuk kembali ke orang tuaku aku amat sangat cerita yang secara khusus menerangkan sebagian merasa dosa dan malu. Dan untuk terperosok kekarierku yang baru ini adalah kejadian yang besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema sesepele orang beli rokok. Meskipun untuk itu aku kemudian hijrah ke kota yang jauh dari daerah menurutnya, kurang lebih bersinonim dengan ide kelahiranku” (hal: 6) Cerpen “lelaki ke-1000 diranjangku” pengambaran utama dan tujuan utama. Tema dapat dipandang tokoh dan karakter dari setiap tokoh oleh pengarang tidak dipaparkan secara jelas, kehadiran sebagian sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah tokoh hanya sebagai pelengkap, seperti tokoh Om jiman (sang germo), Minah, Ron, dan seorang anak karya fiksi. muda. Tema yang diangkat oleh Emha dalam cepen “lelaki 3. Alur/ plot ke-1000 di Ranjangku” berkisah tentang kehidupan Alur atau plot adalaha rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita. Stanton (dalam Nurgiyantoro, seorang pelacur. Nia sebagai pelaku utama dalam 1965: 14) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian itu cerita dikisahkan sebagai sosok perempuan yang hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya memilih menjadi seorang pelacur setelah peristiwa yang lain. Cepen “Lelaki ke-1000 di Ranjangku” menggunakan dicampakan lelaki (suaminya sendiri). alur flashback (sorot balik). Pengarang menceritakan tokoh aku dengan kesehariannya sebagai seorang 2. Tokoh dan penokohan pelacur, tinggal di rumah seorang germo dan Tokoh aku (Nia) oleh pengarang di lukiskan secara 18 dramatik, artinya penggambaran tokoh dilakukan secara tidak langsung. Penggambaran karakter tokoh aku tidak dilakukan secara eksplisit. “ Ia tersenyum, dan memandangku dengan mripat burung hantu. “kau putus asa Nia….” “aku memang putus asa. Bukan kau. Jadi, pergilah!” “kau bukan perempuan yang tepat untuk berputus asa” (hal: 2) Tokoh aku (Nia) memilik karakter yang mudah putus asa, nekat dan berani mengambil sebuah keputusan meskipun beresiko. (…..) Namun, alasan terkuat sehingga aku menjadi istrinya adalah karena aku mencintainya, tanpa aku pernah mencintai lelaki manapun sebelumnya. Apa

melayani sekian banyaknya laki-laki dari berbagai cerita hanya berkisar seputar tentang keadaan si kelas, dosen, sopir, pelaut, guru, pengusaha, tokoh aku. seniman, mahasiswa, dan lain-lain. Kemudian “ tengah malam sudah lewat. Kulemparkan pengarang kembali mengisahkan kehidupan awal handuk kecil basah ke kamar mandi mini di pojok” tokoh aku, ketika memilih meninggalkan rumah dan (hal: 2). kawin lari. Dikhianati oleh suaminya sendiri, sampai Tampak juga latar berupa hari, seperti dalam akhirnya tokoh aku memilih menjadi seorang pelacur kutipan: “dan besok, kukira aku akan berpesta akibat kekecewaan yang mendera terhadap diam-diam dalam diriku, buat lelakiku yang suaminya. keseribu” (hal: 4) “Namun, hari ini memang hari besar bagiku. Di 4. Latar/ setting sore hari, dalam tubuh dan jiwa lungrahku, Latar dalam cerpen “ lelaki ke-1000 di Ranjangku”, sampailah aku di pelukan lelaki ke-1000 di secara sederhana meliputi latar tempat, waktu, dan ranjangku”(hal: 4) sosial. “Datanglah besok, pada jam kerja, semaumu. 1. Latar tempat Nikmati tubuh dan senyumanku, kapan saja kau Sebuah kamar bernafsu”(hal: 3) “kututup pintu kamarku keras-keras, kukunci dan 3. Latar sosial pergi kau laki-laki ! cuci mulut dan tubuhmu baik- Latar Sosial berupa keadaan cara berpikir, adat baik, sebab istimu dirumah cukup dungu untuk istiadat, tradisi. Cerpen” lelaki ke-1000 di kau kelabui” (hal: 2) ranjangku menggambarkan para perempuan Wisma pasar daging dengan profesinya sebagai pelacur, setiap saat “karena itu, sebagai primadona di salah satu memberikan kepuasan bagi kaum laki-laki yang wisma Pasar daging ini, rata-rata aku menerima kehausan. 8 lelaki”(hal: 4) 5. Sudut pandang 2. Latar waktu Dalam cerpen lelaki ke-1000 di Ranjangku Latar waktu berupa jam, menit, ataupun, ataupun pengarang menggunakan focus pengisahan persona hari, minggu dan bulan. pertama “aku”. “kubuka pintu dan tersenyum. Lihat, aku “lelaki yang pertama meniduriku adalah suamiku tersenyum inilah kemampuan dasyat yang sendiri dan lelaki yang mencampakkanku ke lelaki membuatku laris. Kulirik jam: 8.35”. (hal: 8) kedua adalah suamiki sendiri dan untuk perempuan Latar waktu yang berupa jam. Dalam cerpen yang begini busuk dan hampir tak mampu lagi “lelaki ke-1000 di Ranjangku, penggambaran melihat hal-hal yang baik dalam hidup ini, maka latar tidak secara jelas karena setiap rentetan lelaki kedua hanyalah saluran menuju lelaki ketiga, 19

keempat, kesepuluh, keempatpuluh, keseratus, Kegiatan ketujuh ratus………”. (hal: 2).  Mahasiswa secara berkelompok melakuakan Tokoh utama “aku” sebagai narator yang analisis sastra dengan menggunakan kajian mengisahkan sendiri rangkaian peristiwa hidupnya. Kegiatan struktualisme 6. Gaya bahasa Tugas Seperti telah di paparkan diatas bahwa ada 2  Bedah Karya pandangan tentang stile pengarang. Namun penulis SKuegmiabtearn EndrSauswmabrear, Suwardi. 2008. Meteodologi Penelitian Sastra hanya mengakaji dari segi figuratif speech (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta: Bentuk pengungkapan bahasa cerpen “lelaki ke- MedSpruemesb.er 1000 di ranjangku” sebagian menggunakan bahasa- Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Prees. bahasa kias/ konotasi ataupun pengandaian, 20 meskipun juga menggunakan makna lugas. Hal ini menyebabkan cerita tampak lebih hidup dengan metafora-metafora yang dibangun oleh pengarangnya. Seperti: “ Sahabatku dinding, atap, almari, kalender porno, handuk-handuk” (hal: 3) Kutipan kalimat diatas menggunakan gaya bahasa personifikasi, benda-benda mati yang dianggap hidup/ bernyawa. Tampak lagi dalam kutipan: “ suara azan terus mengalung dan mengejekku”(hal: 5) “aku berbahagia sebentar, sampai akhirnya perlahan-lahan tiba saat kehidupan ini menunjukkan kuku-kukunya yang asli. Suamiku nafasnya pendek. Keramahannya terhadapku singkat umurnya dan makin surut” (hal: 5) Napas pendek, singkat umurnya dapat dimaknai, tidak berumur panjang (telah meninggal). Namun, jika disesuaikan dengan konteks kalimatnya, maka akan bermakna “kesetian dan kecintaan sang suami hanya bersifat sementara dan berakhir pada sebuah pengkhianatan.

BAB CPK-4 Mahasiswa mampu ditandai atau hal itu sendiri, dalam rangka membentuk IV memahami, mendiskusikan dan tanda yang berarti dipenuhi. Saussure percaya bahwa mengaplikasikan kajian semiotika tanda-tanda pembongkaran adalah ilmu nyata. Materi Pembahasan Bagi De Saussure, bahasa terkait dengan system tanda yang mengekspresikan serangkaian idea tau gagasan 1. Teori Saussure sehingga setiap kata dapat menjadi tanda seperti halnya Saussure mengemukakan gagasan dualistik tanda, symbol agama-agama, symbol militer, norma, huruf brailer. Maka bahasa tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial hKuebguinagtaann antara penanda sebagai bentuk kata atau frase sehingga secara keseluruhan dapat dipahami dalam yang dimaknai sebagai konsep mental. Menurut Saussure sebuah bidang semiologi. De Saussure menggunakan tanda adalah bentuk yang sewenang-wenang, yaitu tidak istilah semiologi dari kata latin semion yang berarti tanda. diperlukan hubungan antara tanda dan maknanya. Semiologi adalah ilmu yang akan menjelaskan bagaimana Konsepsi tersebut berbeda dengan apa yang dikemukakan hokum-hukum mengatur suatu tanda dan unsur atau oleh pendahulunya, Plato. Konsep plato menjelaskan elemen apa yang menyusun suatu tanda. bahwa harus ada hubungan antara tanda dan objek yang menandakan. Saussure mengemukakan bahwa tidak ada De Saussure lebih mengarahkan ilmu bahasa kedalam kata inheren yang bermakna. Sebaliknya sebuah kata sebuah studi tentang tanda yang terkait dengan aspek- hanya penanda, dengan kata lain yang merepresentasikan aspek sosial dari bahasa, kemungkinan-kemungkinan sesuatu, dan itu harus dikombinasikan dalam otak dengan terjadinya manipulasi, dan penciptaan makna-makna baru. Saussure membawa aspek alamiah bahasa kedalam persinggungan yang lebih luas pada teori sastra kontemporer, dekonstruksionisme, dan terutama pada struktualisme yang diposisikan sebagai metode analisis 21

kata yang membedakan dengan struktur dasar pada dianalisis dalam sebagai manisfestasi pengalaman system oposisi biner. Dia mengkonstruksi teori empirical yang spesifik. Perbedaan bahasa dipandang struktualisme modern yang mengintegrasikan antara dapat diperbandinagan dalam konteks penggambaran langue dan parole. Dia meyakini bahwa makna dari kata- evolusi historisnya atau dalam bentuk yang lebih abstrak kata bertumpu pada objek yang ditunjuk dan lebih jauh seperti studi semiologi yang menurut de Saussure lebih pada struktur. terfokus pada karakter amiah dari signifikasi dan tanda itu sendiri. Analisis tentang tanda dalam ilmu semiologi dapat Dalam perspektif yang sederhana, Saussure dipandu dalam serangkaian term oposisi-oposisi biner menunjukkan bahwa ketika seseorang memilih sebuah (binary positions). kata, orang tersebut juga mengaitkannya dengan konteks yang memungkinkannya untuk memilih kata lain. Hal De Saussure mengemukan tiga struktur “bipartile” tersebut dipandang oleh Saussure sebagai dimensi lain (Struktur dua bagian) dalam bentuk oposisi biner sebagaia dari pemilihan makna dari kata. . ilmu pengetahuan secara komponen penting dalam semiologi atau studi bahasa secara instingtif terkait dengan makna kata pada berbagai sebagai sebuah studi tentang tanda dan symbol. Pertama bentuk dari kata lain yang tidak dipilih sebagai sebuah adalah studi bahasa dalam oposisi biner diakronik makna. Sauusure jelas menggambarkan sebuah orientasi (historika) dan sinkronik (struktural). Kedua adalah bahasa positivis dan sekaligus merupakan pondasi dari studi harus dipertimbangkan sebagai oposisi biner antara struktualis pada teori sosial dan linguistik. Ia menempatkan sebagai langue seperangkat aturan-aturan semantik dan linguistik sebagai cabang ilmu yang ia sebut dengan sintaktik umum dari fakta bahasa) atau sebagai parole sebutan “semiologi’ atau teori dan studi tentang tanda- (bahasa sebagai sebuah ucapan individual). Ketiga, de tanda dan simbol-simbol. Saussure menggambarkan tanda bahasa yang terdiri dari oposisi biner antara signifiant signifled) atau penanda dan Secara prinsipil, de Saussure memahami bahasa signifie (signifled) atau petanda yang langsung dalam relasi sebagai sebuah system tanda yang memungkinkan 22

arbitrer. Meskipun secara mendasar, de Saussure juga jenis objek khusus , semiotik terkait dengan objek apapun menggunakan konsep struktur tiga bagian (tripartite) sejauh obejk-objek itu berpartisipasi. seperti objek (the object), tanda yang menunjuk ( the sign refers), dan penunjuk (the referent). Prinsip semiotika bagi Eco adalah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk 2. Teori Umberto Eco berbohong. Jika sesuatu itu toidak dapat digunakan a. Prinsip semiotika general berbohong maka bukan tanda, sebab pada sisi lain ia tidak Semiotika bagi Eco adalah sebuah disiplin yang dapat digunakan untuk mengatakan hal yang benar. Sesuatu yang bukan tanda sesungguhnya tidak dapat menjangkau persoalan tanda secara general dan dinamis. mengatakan apapun. Eco sependapat dengan pandangan Semiotika harus mempunyai kemampuan dalam Moris bahwa sesuatu adalah tanda jika sesuatu itu memberikan definisi formal yang tepat terhadap setiap ditafsirkan sebagai tanda oleh interpreter atau penafsir. fungsi tanda baik yang sudah berkode maupun yang belum berkode. Eco memberikan definisi tentang tanda sebagai Fungsi tanda terkait dengan kapasitas interaksi antara segala sesuatu yang dapat diambil secara signifikan untuk berbagai norma kode-kode secara timbal balik dan menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu kompleks. System kode tersusun secara hirarkis atas tidak harus ada secara actual pada saat tanda iitu subkode-subkode yang kompleks, ada yang subkode yang mewakilinya. Semua hal bisa menjadi tanda tetapi tidak kuat dan stabil sebagai tanda, ada juga yang lemah dan semua tanda bagi Eco mencapai taraf semiotik. Sesuatu hanya bersifat sementara. Subkode yang kuat dan stabil hanya menjadi tanda semiotik jika ada penafsiran tanda adalah kode yang diterima luas secara konvensi seperti tersebut berdasarkan konvensi dan memiliki kode-kode lampu lalu lintas. Sementara sub kode yang lemah dan yang sistematik sebagai suatu tanda. Semiotika bagi Eco sementara adalah bineritas konotatif seperti menang-kalah, tidak terkait atau berhubungan dengan sebuah studi suatu muka-belakang, kasar-halus, wajib-bebas. 23

Bagi Eco, tanda memiliki dua dimensi utama yaitu tanda Pada konteks interpretan, Eco jelas lebih memandang sebagai representasi sesuatu atau mewakili sesuatu dan gagasan semiosis yang dikemukakan Peirce lebih tanda sebagai sesuatu yang ditafsirkan. Dimensi tanda komprehensif dan cocok dengan semiotika dibandingkan sebagai representasi bersifat terbatas sepeerti kata mawar dengan gagasan Sausure yang hanya memandang tanda dapat di interpretasi sebagai tanda cinta, ucapan selamat, dalam komunikasi linguistik. Eco memandang “segitiga tanda perdamaian, keindahan dan sebagainya semiotik” (triadik) Peirce yang melibatkan kooperasi antara tanda, objek, dan interpretan adalah gagasan yang lebih Kode bagi Eco dipandang tidak statis tapi dinamis. luas dibandingkan semiologi Saussure. Semiosis Peirce Setiap kode dapat berkembang dan mengalami pembaruan dapat menjangkau dari gejala-gejala sebagai suatu tanda secara abduksi. Awalnya kode bersifat reaksi sementara (seperti mendung atau asap) sampai pada ciri-ciri perilaku terhadap suatu fakta atau situasi. Seperti penggunaan sisa manusia yang dapat menimbulkan kesimpulan tanda kain kafan yang umumnya berwarna putih yang diikat pada meskipun seseorang itu tidak menyadari mengirim sebuah sebilah kayu untuk menandakan tempat lokasi kematian. tanda (seperti orang yang secara reflex meraba-raba Pada fase tersebut kode bendera kain putih masih bersifat kantong celana bagian belakang dengan raut wajah ambigu yang tidak terkodekan dan hanya ditafsirkan bingung akan menimbulkan kesimpulan bahwa orang terbatas. Tetapi dalam perkembangannya “bendera putih” tersebut kehilangan dompet atau warna kulit dan rambut ditafsirkan secara konsisten sebagai tanda adanya tertentu yang menyimpulkan rasa tau etnik tertentu). kematian. Pada fase tersebut bendera putih telah diterima sebagai konvensi. Hal yang serupa terjadi pada janur 1. Tiga Batas-Batas Semiotik kuning pada pernikahan atau pembaruan logo sebuah Eco membagi tanda kedalam tiga wilayah atau batas- perusahaan, stasiun televise swasta atau mobil. batas penelitian yaitu wilayah politik, wilayah natural, dan wilayah epistemology. Wilayah politik yang dimaksud oleh Eco lebih terkait dengan aspek ideologis yang terkandung 24

dalam beberapa teori semiotik. Wilayah natural atau alami pandang tindakan berbahasa dan terkait dengan kebudayaan di mana bukan hanya objek berkomunikasi. yang menjadi tanda tetapi juga peristiwa-peristiwa. Wilayah c) Tipe empirik atau seperangkat fenomena epistemology terkait dengan cara mengetahui fungsi tanda yang tidak termasuk ke dalam suatu disiplin atau kode secara metodologis. tetapi secara abash berhubungan erat dengan semiotika atau tidak perlu a. Batas-Batas Politik dipertanyaakan lagi fungsi tanda yang dimiliki. Eco kemudian membagi wilayah politik tanda ke b. Batas-Batas Natural Wilayah natural yang dimaksud Eco adalah dalam tiga tipe yaitu: suatu batas tertentu yang di dalamnya ada batas yang a) Tipe akademik atau disiplin-disiplin ilmu yang bersifat semiotik atau memiliki fungsi tanda dan ada di luar semiotika yang telah menggarap batas yang bersifat non semiotik atau tidak memiliki aspek semiotik seperti logika formal, filsafat fungsi tanda (tidak ada relevansi semiotik). Tipe bahasa, dan sebagainya. Terdapat batas- semiotika natural adalah kebudayaan yang batas kerangka semiotik yang menjadi didalamnya terdapat komunitas yang mengakui perspektif ideologis dari masing-masing kehadiran kode atau tidak mengakui kehadiran kode. disiplin ilmu tersebut terkait dengan tanda Maka setiap objek atau peristiwa dapat mengandung atau fungsi tanda. relevansi tanda tertentu atau juga sebaliknya apa b) Tipe koopetratif atau berbagai disiplin yang yang dianggap sebagai tanda justru tidak berfungsi telah melakukan elaborasi teori-teori yang tanda. Tanda bendera putih dalam sebuah budaya mempunyai relevansi semiotik seperti teori tertentu dapat memiliki fungsi tanda kematian, tetapi linguistik dan teori komunikasi. Sehingga teori linguistik dan teori komunikasi menjadi 25 semiotika sebagai bagian terpadu dari cara

pada komunitas budaya lain, bendera putih sama Dari sekian banyak karya Peirce, terdapat beberapa sekali tidak mempunyai fungsi tanda apa-apa. konstruksi penting pemikirannya yaitu pertama tentang system berpikir, yang dibagi oleh Peirce kedalam argumen- Ada dua tipe tanda natural yang tidak bersifat argumen deduktif, argumen-argumen induksi, dan abduksi. komunikasional, yaitu (1) peristiwa-peristiwa fisik yang Kedua tentang pragmatism dan metode keilmuan, Peirce datang dari sumber-sumber alam dan (2) perilaku menggunakan gagasan pragmatism atau pragmatisisme manusia yang tidak secara intensional dimaksudkan untuk memahami keseluruhan makna dari konsep-konsep sebagai tanda oleh pengirimnya. Kedua tipe tanda tentang pengalaman maupun aspek-aspek yang bersifat tersebut terlepas dari definisi komunikasional tetapi praktis. Ketiga tentang eksistensi actual dalam sebuah diterima oleh penerima tanda sebagai sebuah tanda. kesatuan infinitas yang disebutnya dengan “Syliogism of Maka semua peristiwa-peristiwa yang berasal dari transposed quantity” yang menempatkan kontinuitas atas sumber natural harus didefinisikan sebagai tanda ruang, waktu, ideasi, perasaan, dan persepsi sebagai karena diakui secara kultural. Sebuah peristiwa bagian utama dari semua ilmu pengetahuan. Keempat natural memiliki korelasi kode antara ekspresi tentang teori probabilitas yang dihubungkannya dengan (peristiwa yang diterima) dengan isin (sebab-sebab analisis statistik dan perhitungan pragmatis sebagai bagian atau akibat-akibatnya yang bersifat mungkin). Suatu penting dari keyakinan dan kepercayaan atas sesuatu. gempa bumi dapat menjadi tanda atau instrument tanda adanya tsunami, karena sebab akibat yang Aspek kelima dari konstruksi penting pemikiran Peirce mungkin terjadi dari gempa bumi itu juga disebabkan adalah tentang kesatuan psikis dan fisik atau yang oleh sesuatu baik yang dapat dideteksi secara actual disebutnya dengan istilah kesatuan psiko-fisikal (psycho- ataupun tidak dapat terdeteksi. physical monism) serta anti-nominalisme. Keenam tentang triadisme dan kategori-kategori universal. Peirce 3. Charles Sander Pierce menempatkan segala sesuatu ke dalam tiga kelompok 26

dalam bentuk relasi triadik atau relasi trikotomi. Peirce Jhon Thomas. Peirce membangun gagasannya tentang membentuk kategori-kategori umum tentangsegala sesuatu teori tanda dalam konteks relasi triadik sebagai relasi ke dalam tiga kategori yang disebutnya “First”, “seconds”, representasi yang dihubungkan secara pragmatis dengan dan “thirds”, sebagai contoh ia membagi kategori triadik tiga hal yaitu “bagaimana kita menemukan sesuatu (objek)”, atau trikotomi “kemungkinan” atau “possibilitas” sebagai bagaimana sesuatu itu direpresentasikan oleh atau dalam first, “aktualitas” sebagai second, dan “kebutuhan” sebagai sesuatu yang lain (representament), serta “bagaimana third. Aspek lain adalah “kualitas” (quality) yang disebutnya representasi itu sampai pada sesuatu yang lain sebagai sebagai first, fakta (fact) sebagai second, “perilaku” atau pihak ketiga (interpretant)”. “hukum/aturan” (habit, law, rule) sebagai third. Selanjutnya “entitas” (entity) sebagai first, “relasi” (relation) sebagai Aspek kedelapan yang merupakan inti dari teori tanda second, dan “representasi” (representation) sebagai third. yang dikontruksi oleh Peirce adalah gagasannya tentang semiotika dan logika. Peirce mengembangkan istilah Aspek ketujuh dari konstruksi pemikiran utama Peirce semiotika sebagai teori umum tentang tanda (the general adalah tentang pikiran dan semeiotik. Istilah semeiotik theory of signs). Peirce membagi tiga divisi utama yang (semeiotic) digunakan Peirce untuk menerangkan bahwa menjadi bagian dari konsepnya tentang semiotika yaitu dalam kosmos terdapat ber agai bentuk pikiran atau “tata bahasa” (grammar) , “kritik logika” (logical chritic), dan gagasan (ubiquity of mind). Terdapat perbedaan mendasar retorika spekulatif (spheculatif retoric) atau yang disebutnya antara apa yang dimaksud Peirce atas “semeiotika” dengan dengan istilah “metodeutik”. Konsep semeoitika Peirce istilah “semeiotika” terutama jika dihubungkan dengan tentang tata bahasa sangat terkait dengan gagasan gagasan “semeiotika” Ferdinand De Sausure. Semeiotika Charles W Morris tentang sintaksis, semantik, dan Peirce tidak dapat dilepaskan dengan gagasannya tentang pragmatik. Sedangkan kritik logika yang dikemukakan semeiotika yang lebih dipengaruhi oleh teori tanda yang Peirce terkait dengan logika yang dikemukakan Aris dikemukakan oleh Duns Scotus dan dikembangkan oleh Toteles atau kemudian berkembang dalam bentuk logika 27

matematikal. Peirce menggunakan istilah “kritik logika” dalam bentuk karya lengkap. Karakter teori semiotika yang untuk pembedaan karakteristik antar alas an yang benar dikembangkan oleh Peirce cenderung bersifat umum dan dan tidak benar. Istilah “retorika spekulatif” atau diharapkan dapat digunakan dalam berbagai konteks tanda, “metodeutika” terkait dengan pemahaman Peirce tentang sehingga semiotika Peirce dapat dikategorikan ke dalam prinsip-prinsip penggunaan tanda secara efektif untuk semiotika pregmatis. menciptakan kebernilaian. Metodeutika adalah istilah metodik yang digunakan Peirce dengan perangkat Selain karena Peirce adalah seorang pendiri filsafat investigasi, eksposisi dan penciptaan aplikasi-aplikasi pragmatisme, semiotika pragmatic Peirce juga didasarkan terhadap kebenaran. Peirce juga menggunakan dengan penekanannya dalam fungsi tanda sebagai sebuah metodeutika untuk menganalisis strategi dan interaksi efisiensi komunikasi, berpikir, dan dalam memahami dunia komunikasional. yang menjadi landasan manusia meyakini eksistensi sesuatu. Tanda sebagai bagian dari cara manusia meyakini Charles Sanders Peirce dapat ditegaskan sebagai makna dalam pandangan Peirce tidak dapat dilepaskan salah satu tokoh awal dari munculnya semiotika modern dari keyakinan filsafatinya tentang “pragmatisisme” yang atau sebagai pencetus teori tanda modern. Peirce ditempatkan bukan dalam kerangka metafisika melainkan menghubungkan system nalar manusia melalui logika yang sebagai sebuah metode untuk mencapai keyakinan. didasarkan pada tanda. Hubungan nalar, logika, dan tanda Konsep Peirce tentang pragmatism sebagai sebuah bagi Peirce adalah sebuah relasi segitiga yang mendasari metode untuk mengubah keraguan menjadi sebuah gagasan tentang semiotika. Tanda adalah bagian penting keyakinan adalah awal yang penting untuk memasuki dari system berpikir manusia dan cara manusia berelasi gagasan semiotika pragmatis Peirce. dengan menciptakan makna-makna. Peirce sendiri mengkontruksi gagasannya mengenai semiotika dalam Keyakinan atau sebuah kenyataan secara filosofic- berbagai teks yang kemudian disatukan dan diterbitkan bagi Peirce – harus dicapai dengan sebuah metode 28

pragmatis. Dengan demikian, fokus mencapai sebuah kenyataan yang seperti apa adanya kenyataan itu” dan keyakinan adalah unsur-unsur yang secara langsung dapat pula dipahami sebagai “keberadaan dari kenyataan berfungsi membangun sebuah kenyataan. Unsur-unsur yang ada” jika terjadi relasi dua bentuk second yang dapat dikategorikan mempunyai makna langsung “keberadaan yang apa adanya”. terhadap kenyataan adalah unsur-unsur yang secara ril digunakan dan mempunyai efek secara pragmatis. Peirce Sementara thirdness (ketigaan) dalah sebuah norma tidak merekomendasikan cara pandang nominalis terhadap dalam bentuk aturan, kebiasaan, atau hokum-hukum yang kenyataan dan menempatka tiga unsur pembentuk menjadi unsur umum dari pengalaman manusia. Sehingga kenyataan yaitu isi, materi, dan ide sebagai sebuah thirdness adalah sebuah kenyataan yang berlaku umum. kategori yang secara bersama dapat digunakan memahami kenyataan. Tiga kategori tentang keberadaan kenyataan yang dikemukakan Peirce sebagai firstness,secondness, dan Aart Van Zoes (1993), menekankan bahwa tiga thirdness adalah substansi gagasan semiotikanya yang kategori karakter kenyataan yang disebut oleh Peirce dirumuskannya dalam bentuk skema berpikir ‘triadik’ Peirce dengan istilah “first”, “second”, dan “third” sebagai landasan tentang tanda. Peirce melakukan konversi dari tiga kategori penting untuk memahami gagasan semiotika Peirce. tentang keberadaan kenyataan kedalam tiga bentuk relasi Firstness (kepertamaan) adalah sebuah istilah yang triadic atas tanda. Secara kategoris, Peirce membagi tiga menunjuk keberadaan suatu kenyataan yang menunjuk bentk relasi tanda dalam bentuk relasi triadik. Pertama fakta tentang diri kenyataan itu sendiri. Firstness adalah adalah relasi triadik dari pembanding yang hanya dapat sebuah esensi yang menjadi sifat keberadaan kenyataan menjadi tanda atas dasar satu dengan yang lain (ground). itu sendiri sebagai sebuah potensi aktual. Secondness Kedua adalah relasi triadik dari tampilan berupa kenyataan (keduaan) adalah peristiwa dari kenyataan itu sendiri. yang ditunjukkan oleh sebuah tanda. Ketiga adalah relasi Secondness dapat dipahami sebagai “keberadaan suatu 29

triadik dari pikiran yang ditunjukkan dengan cara sebuah tanda diinterpretasikan. Kegiatan  Mahasiswa melakukan penelusuran tentang Kegiastaenmiotika dan mengindentifikasi perbedaan- perbedaan pokok-pokok pikiran Tugas  Mahasiswa secara individu membuat laporan bacaan Kegiatan  Kajian analisis teks sastra Sumber Endraswara, Suwardi. 2008. Meteodologi Penelitian Sastra (KEpegisitaetmanologi, Model, Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta: Medprees. Kris, Budiman. 1999. Kosakata Semiotika. LKiS. Jogjakarta. 30

BAB V CPK-5 Mahasiswa mampu memahami menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, dan mengaplikasikan kajian sosiologi perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa sastra dalam bentuk analisis perjuangan panjang hidup manusiaakan selalu mewarnai teks sastra. Dalam perjuangan panjang tersebut, menurut Materi Pembahasan Goldmann (1981:11) memiliki tiga ciri dasar, yaitu: (1) kecendrungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya 1. Teori dan perspektif sosiologi sastra terhadap lingkungan, dengan demikian ia dapat berwatak Perspektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan, (2) kecendrungan pada koherensi dalam aKdeaglaiahtapnernyataan Levin (Elizabeth dan Burns, 1973:31) proses penstrukturan yang global, dan (3) dengan “literature is not only the effect of social causes but also the sendirinya ia mempunyai dinamik serta kecendrungan cause of social effect”.Sugesti ini memberikan arah bahwa untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan struktur tersebut. pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya akan saling mempengaruhi dalam hal-hal Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian peneliti. Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu : (1) penelitian yang Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang pada masalah manusia.Karena sastra sering didalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam tersebut diciptakan. (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. 31

Ketiga hal tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri dan atau bahwa karya sastra akan menyajikan sejumlah nilai yang diungkap sekaligus dalam suatu penelitian sosiologi berkaitan dengan keadaan masyarakat masa teks ditulis. sastra.Hal ini tergantung kemampuan peneliti untuk menggunakan salah satu perspektif atau ketiga-tiganya Secara implisit karya sastra merefleksikan proposisi sekaligus.Tentunya, semakin lengkap pemakaian bahwa manusia memiliki sisi kehidupan masa lampau, perspektif pemahaman karya sastra juga relatif sekarang dan masa mendatang.Karena itu, nilai yang lengkap.Namun, semua itu juga tergantung pula pada terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup dan sasaran atau tujuan penelitian.Jika hendak menangkap dinamis. Ini berarti karya sastra tidak diberlakukan sebagai fakta sejarah masyarakat masa lalu, memang tepat data jadi melainkan merupakan data mentah yang masih menggunakan perspektif ketiga.Hal ini seperti ditegaskan harus diolah dengan fenomena lain. oleh Elizabeth dan Tomsburn (1973) bahwa karya sastra memang sering kali tampak terikat dengan momen khusus Hippolyte Taine (Laurenson dan Swingeood, dalam sejarah masyarakat. 1971:31) adalah peletak dasar sosiologi sastra Dalam konteks metodologis, sosiologi sastra memang modern.Yang merumuskan, bahwa sosiologi sastra ilmiah senantiasa mengalami perubahan.Pada mulanya, sosiologi apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian seperti ilmu sastra diletakkan dalam kerangka penelitian positivisme- pasti. Namun demikian, karya sastra adalah fakta yang yang berusaha mencari hubungan antara factor iklim, multiinterpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding geografi, filsafat, dan politik. Dalam kaitan ini, sastra di ilmu pasti. Yang penting, penelitian sosiologi sastra perlakuakan sebagai mana penelitian ilmiah yang lain. hendaknya mampu mengungkapkan refleksi tiga hal, yaitu Perkembangan berikutnya, sosiologi sastra justru menolak ras, saat (momen), dan lingkungan (Milieu). Bila kita positivisme pendekatan sosiologi sastra lalu diarahkan mengetahui tiga hal itu, berarti peneliti akan mampu pada telaah refleksi nilai. Hal ini berdasarkan pengertian memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. 32

Menurut Taine, faktor-faktor tersebut diatas yang akan refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.Teks menghasilkan struktur mental (pengarang) yang biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan dan dijelaskan selanjutnya diwujudkan kedalam karya sastra dan seni. makna sosiologisnya. Kedua, perspektif biografis, yaitu Saat itulah situasi politik sosial pada suatu periode peneliti menganalis pengarang, perspektif ini akan tertentu.Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan sosial.Hal ini berarti bahwa Taine diam-diam telah menolak latar belakang sosialnya. Memang analisis ini akan keras anggapan bahwa sastra sebuah meteor yang jatuh terbentuk pada kendala jika pengarang telah meninggal dari langit.Bahkan, menurut dia hal-hal yang bersifat misteri dunia, sehingga tidak bias ditanyai. Karena itu, sebagai (ilham) pun dapat dijelaskan melaui lingkungan sosial yang sebuah perspektif tentu di peruntukan bagi pengarang yang mengitari misteri tersebut. masih hidup dan mudah terjangkau.Ketiga, perspektif yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap Senada dengan Taine, Hender (Saraswati 2003:24) teks sastra. juga mengetengahkan teorinya bahwa sastra ditempat tertentu dapat berkembang dan dilain tempat tidak.Hal ini 2. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra sangat dipengaruhi oleh iklim, ras, lancape, politik, dan 1. Fungsi Sosial Sastra adat istiadat.Maka studi sosiologi sastra perlu menemukan refleksi pengaruh tersebut.Hegemoni salah satu aspek Fungsi sosial sastra, menurut Watt (Damono, pengaruh amat mungkin. Pengaruh tersebut terkategorikan 1978:70-71) akan berkaitan dengan pertanyaan: seberapa “ jiwa zaman”. Itulah sebabnya melalui penelitian tersebut jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai akan terungkap sejarah. seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu di unggap: (a) Sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang- sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra kurangnya melalui tiga perspektif.Pertama, perspektif teks sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, dalam sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah pandangan ini tercakup wawasan agar sastra berfungsi 33

sebagai pembaru atau perombak: (b) sudut pandang ideologi dan suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka: dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan dalam hal ini gagasan “seni untuk seni” taka da bedanya perjuangan kelas zamannya.Dengan demikian, sejarah dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best dipandang sebagai suatu perkembangan terus seller, dan (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan menerus.Daya-daya kekuatan didalam kenyataan secara meminjam slogan klasik sastra harus mengajarkan sesuatu progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu dengan jalan menghibur. masyarakat yang ideal tanpa kelas.Namun, langkah tak selalu berjalan mulus melainkan penuh hambatan yang Dari berbagai fungsi tersebut peneliti sosiologi berarti.Akibatnya pertumbuhan ekonomi dapat sastra dapat mengkonsentrasikan pada salah satu menyebabkan pertentangan antar kelas. fungsi.Dari tiga fungsi tersebut, tampak menggiring peneliti kearah empiric. Oleh karena itu tanpa data empirik yang Penelitian sosiologi sastra marxis tersebut, akurat, seorang peneliti hanya akan berandai-andai tampaknya kurang berkembang di Indonesia.Padahal, di berhadapan dengan fungsi sastra. Fungsi tentu saja harus Indonesia meskipun menolak sistem kelas juga sering ada digalih langsung dari masyarakat. Masyarakat pembaca pertentangan antar elit dan golongan bawah. Mungkin yang akan menilai dengan jernih apakah karya tertentu sekali hanya istilah saja yang berbeda, jika orang lain memiliki fungsi jelas atau tidak. Apakah karya sastra menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan tertentu memiliki fungsi sosial spiritual atau yang lain, paham pusat daerah, wong gedhe-wong cilik, elite-rakyat tergantung pesan masyarakat. kecil dan seterusnya. Berbagai sekmen yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian sastrawan Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi sastra sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penelitian banyak dimanfaatkan oleh peneliti sastra yang berbau sosiologi sastra.Misalnya, penyair Ws Rendra Darmanto marxis.Paham marxismeberasumsi bahwa sastra, Jatman, Wiji Tukul, dan lain-lain sering mengkritisi kinerja kebudayaan, agama pada setiap zaman merupakan 34

orang atas dalam puisi-puisinya.Bahkan, pujangga R. Ng. sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat di pandang Ranggawarsita pun dimasa silam (kerajaan Surakarta) sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya telah mengkritisi terjadinya masa yang tidak menentu sastra akan menggambarkan “jarak’ perbedaan strata dalam karyanya berjudul Serat Kalathidha.Ia menyebut sosial terus menerus. Hal semacam ini juga sering di waktu itu telah terjadi zaman edan (zaman gila). ungkap melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representative.Misalnya saja, tahun 2001 kemarin muncul Jika bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan antologi cerpen berjudul Soeharto dalam Cerpen terbitan refleksi perjuangan kelas untuk “melawan” kapitalis, di Bentang.Cerpen-cerpen tersebut melukiskan betapa besar Indonesia pun hal demikian juga ada hal senada.Di tipu daya Soeharto yang diungkap melalui fiksi. Indonesia telah lama pula terjadi perjuangan kaum kecil terhadap kapitalis yang dikenal dengan sebutan Pada prinsipnya, di negara barat sosiologi sastra konglomerat.Hal ini termasuk sastrawan untuk memang lebih memusatkan perhatian pada perangkat mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era Orde produksi, distribusi dan pertukaran sastra dalam suatu Baru telah bergandeng tangan dengan pemerintah masyarakat tertentu bagaimana buku-buku ini di terbitkan, sehingga menyebabkan robohnya sendi-sendi ekonomi bagaimana komposisi sosial terhadap pengarang dan kerakyatan.Bahkan, sampai sekarang pun (era reformasi) audiensnya, tingkat kemampuan bacanya serta konglomerat selalu menjadi bahan pergunjingan. keterbatasan sosial “selera”. Sosiologi sastra juga dapat mengkaji teks-teks sastra bagi relevansi “sosiologis”, Berarti hampir tak ada masyarakat tanpa yang tanpa artinya membawa karya sastra kedalam bentuk abstrak kelas, tetapi tidak berarti bahwa kehadiran kelas musti melalui tema-tema yang menarik sejarawan sosial. harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit) sering Pendapat itu memberi gambaran penelitian sosiologi bersinggungan-bersinggungan kepentingan yang melebar sastra tentang dua hal.Pertama, pengertian sosiologi sastra ke masalah kekuasaan itu, juga sering menarik perhatian dapat kearah dalam kaitannya dengan keberadaan teks 35

sastra dan pembacanya.Jika karya sastra diproduksi lebih demikian. Ini bererti karya sastra menjadi penentang banyak serta dicetak ulang berkali-kali, tentu dimungkinkan zaman dan aturan yang keliru. karya tersebut sejalan dengan komunitas masyarakatnya.Karya tersebut berarti sesuai dengan Lebih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap selera masyarakat.Kedua, teks sastra tersebut dapat seakan-akan memperolok atau mengejek kehidupan. direlevansikan dengan kepentingan-kepentingan studi Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi paradox sosial yang lain, misalkan sejarah sosial.Melalui tema-tema dan parody kedalam karyanya.Karena itu, sikap sastra sastra diharapkan dapat dimanfaatkan bagi penulisan yang memperolok ini sangat sensitive dan peka terhadap sejarah sosial tertentu. perkembangan zaman.Mereka tanggap terhadap perkembangan situasi yang sering menindas. Dalam kaitan itu, Saini KM (1986:14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan 2. Produksi dan Pemasaran Sastra (masyarakat), yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan Penelitian tentang produksi dan pemasaran sastra olok-olok.Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai memang jarang dilakukan.Karena, masalah ini seakan- pemekatan, memang akan menggambarkan kehidupan akan menjadi tanggung jawab penerbit. Padahal, masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, sebenarnya tidak demikian, artinya pengembangan karya melainkan sebuah intensifikator yang dipekatkan, sastra juga menjadi tanggung jawab bersama sekurang- dijernihkan, disaring dan dikristalisasi kedalam imajinasi kurangnya studi semacam ini akan menghubungkan tiga pengarang. Di sisi lain, mungkin karya sastra justru kutub sastra, yaitu penerbit, pembaca, dan pengarang. menentang kehidupan, misalkan pencipta tidak setuju dengan KKN rezim orde baru, lalu lahir karya yang bertema Perhatian peneliti semacam itu, memang sedikit mengesampingkan sosiologi sastra sebagai teori, melainkan berupaya memperhitungkan berbagai hal yang terkait dengan faktor-faktor sosial yang menyangkut sastra. Faktor-faktor tersebut antara lain: tipe dan taraf ekonomi 36

masyarakat tempat berkarya kelas dan kelompok sosial dan patronase tak langsung. Dalam patronase lama ada yang berhubungan dengan karya, sifat pembaca, sistem identifikasi antara patron dan sastrawan, ada hubungan sponsor, pengayom, tradisi sastra dan sebagainya. pribadi yang kuat.Bahkan sastrawan sering tinggal di kediaman patron.Di dalam patronase baru, hubungan Dalam kaitan itu, dapat diungkap berbagai hal, antara patron dan sastrawan lebih longgar.Karena itu, antara lain: latar belakang sosial pengarang sebelum dan bukan tidak mungkin kalau sastrawan sering berganti-ganti setelah menjadi penulis. Apakah penulis tergolong orang patron, tergantung mana yang menguntungkan baik secara kampung, kota, birokrat, pegawai, dosen, anggota partai material maupun spiritual.Sedangkan sistem patronase dan sebagainya. Masalah umur dan jenis kelamin yang tidak langsung adalah patron yang hanya berfungsi akan berpengaruh pada studi gender juga perlu dicermari. sebagai mediasi antara sastrawan dengan publik. Oleh karena, penulis tua dengan mudah, pria dan wanita tentu akan memiliki ideology yang berbeda. Faktor Dalam sistem patronase lama, biasanya penulis pendidikan dan hubungan sosial, juga dapat diperhatikan, telah digaji, seperti pujangga R. Ng. Ranggawarsita karena intelektualitas karya akan dipengaruhi olehnya. sebagai penulis kraton Surakarta tentu karyanya akan Bahkan, jika mungkin harus sampai pada profesionalitas dibaca. Bahkan raja pun memiliki otoritas agar pembaca di penulis, artinya apakah mereka menulis sebagai pekerjaan kalangan kraton menikmatinya. Sebaliknya jika penulis pokok atau sambilan. tidak digaji dan hanya memperoleh honor dari tulisannya kadang-kadang pembaca juga tidak jelas. Kedua kategori Hubungan antara penulis dan pembaca sering kali penulis tersebut, tentu memiliki kelemahan dan dipengaruhi oleh pengayom. Pengayom bias terdiri dari kelebihan.Penulis yang digaji, memang seringkali penerbit maupun penguasa. Pengayom adalah patronase karyanya dipengaruhi oleh penguasa.Penulis harus sastrawan, yang menghidupi dan mengembangkannya. melukiskan “pesanan” yaitu melukisskan ajaran-ajaran Menurut Laurenson dan Swingewood (1971) ada tiga jenis tertentu.Dalam hal ini penulis hanya bebas mengolah patronase sastra yaitu: patronase lama, patronase baru 37

bentuk, sedangkan “pesan” telah ada. Berbeda dengan Pendidikan Nasional, sehingga karya sastra tertentu dapat penulis bebas ataupun sambilan, mereka akan bebas disebarkan ke sekolah.Hal ini telah terjadi belakangan melempar karyanya. Mereka juga bebas berimajinasi dengan meruahnya sastra remaja dan anak sebagai buah tanpa pengaruh siapa pun. Namun demikian, kategori bergandengan tangannya penerbit dengan instansi penulis ini jika kurang kontrol akan sampai pada tingkat pemerintah.Karya sastra demikian, secara sosiologis “duplikasi” karya yang di lempar kesana kemari. memang seakan-akan ada pemaksaan kepada pembaca. Kaya tersebut kadang-kadang belum tentu lolos dari aspek Pengarang adalah manusia biasa, yang melahirkan kualitas, namun bisa “lolos” ke pembaca akibat negosiasi. karya tidak sekadar untuk idealisme melainkan butuh imbalan yang berimbang. Jika bukunya diterbitkan maka kita masih ingat, betapa laku kerasnya di sekolah wajarlah ia berharap imbalan dari padanya, seperti penerbit karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya, Layar Terkembang, yang mengharap keuntungan dari penerbitnya, agen yang Ngulandara, Serat Wedatama, adan lain-lain.Hal ini, lepas mengharap dari keuntungan dari balas jasa karena dari isinya memang bagus tetapi tetap ada pemaksaan dari mengedarkannya (Nadeak, 1984:35). Harapan material pihak birokrat agar siswa membaca karya dari pengarang ini tentu berimplikasi luas secara sosiologis, tersebut.Akibatnya, seringkali karya-karya lain yang lebih karena pengarang menjadi tergantung pula pada penerbit. belakangan sulit mendapatkan tempat di sekolah. Karya- karya Seno Gumiro Adjidarmo, Joni Ariadinata, dan Dari kenyataan demikian, berarti peranan sebagai sebagainya jarang menjadi kudapan anak sekolah. patronase sangat menentukan kehadiran karya sastra. Mungkin, hanya menjadi bahan serampangan kuliah di Penerbit akan mempertimbangkan karya sesuai dengan Perguruan Tinggi Sastra. selera dan pemasaran (marketable). Jika karya sastra sesuai dengan keinginan dan prediksi laku tidaknya, maka Dengan demikian, aspek pemasaran sastra akan dicetak berlipat ganda. Bahkan, penerbit tertentu ada memang menjadi wilayah garap menarik sosiologi sastra. yang pandai melobi instansi tertentu khususnya Dinas Peranan penerbit memasarkan karya sastra juga akan 38

tergantung promosi sastra. Berbagai pameran dan bursa Pemasaran sastra akan terkait dengan berbagai hal, buku, seringkali menggelitik pembaca untuk memborong antara lain aspek promosi dan bentuk buku. Jika promosi karya sastra.di samping itu, kemampuan penerbit untuk semakin gencar, melalui media, dan bedah buku sastra memberikan rabat terhadap pembeli juga sering tentu berlainan dengan buku yang sekadar dipajang di rak mempengaruhi daya jual buku sastra. Peranan promosi took saja. Promosi yang gencar dapat mempengaruhi atau dalam istilah Schucking (1966:72) disebut propaganda karya sastra lebih popular, dan dengan sendirinya sastra pada gilirannya akan mempengaruhi taste (selera) pengarannya akan terkenal. Namun, ketika karya sastra pembaca (public). Pembaca yang tak begitu berminat, dapat laku keras semacam itu belum tentu secara otomatis setelah menyaksikan penawaranyang menarik bisa saja mengangkat tingkat hidup penulis.Oleh karena itu, kadang- segera berbondong-bondong membeli karya sastra. kadang penulis telah terikat perjanjian dengan penerbit bahwa pembayaran dengan sistem royalti. Royalti buku Bahkan, dalam kaitan ini peranan took buku sangat sastra, biasanya juga berdasarkan presentase penjualan, menentukan laku tidaknya pemasaran buku-buku sastra. tetapi penulis seringkali tidak mampu mengontrol secara Misalkan saja, di Yogyakarta took buku Gramedia, sosiologis. Penulis karya menerima royalti atas kejujuran Shopping Center, Social Agency, dan Los UII yang penerbit. biasanya memiliki strategi berbeda tentu akan mempengaruhi terhadap laku tidaknya karya sastra. Kalau Kepopuleran sastrawan juga sering mempengaruhi Gramedia, setelah memberikan “harga pas”, tentu berbeda penerbit dan pemasaran sastra.Sastrawan Pramudya animo pembelinya disbanding Social Agency yang “berani” Ananta Toer yang pernah ditindas rezim Soeharto di Pulau memberi diskon 10-25%. Bahkan, di toko lain seperti Buru, ternyata karyanya Bumi Manusia dan Arus Balik shopping Center sering terjadi “ tawar menawar” buku semakin menarik pembaca dan penerbit.Karya-karya Pram sastra, tentu peminat akan berlainan dibanding took lain. setelah revormasi mulai berhamburan dan diburu pembaca.Mungkin, sebagian pembaca memang rindu dan 39

ada rasa penasaran terhadap tulisan sastrawan yang sebagai komoditi. Hubungan ini amat ditentukan pula oleh sengsara.Begitu pula karya-karya Asrwendo Atmowiloto, kualitas konkret objek yang dibeli (baca:sastra). Sedangkan ternyata juga banyak dikejar pembaca. Hal ini berarti nilai guna, adalah penjualan teks sastra yang berkaitan pemasaran sastra memang tidak akan lepas dari siapa dengan kebutuhan pencipta dan pembacanya.Hubungan penulisnya. Figur sastrawan akan menjadi sebagian keduanya sering telah ditukar dengan uang, sehingga prasyarat kepopuleran karyanya pula. pencipta mendapat keuntungan material (uang) dan pembaca menerima keuntungan material dan spiritual. Pendekatan demikian, pada prinsipnya memang mengabaikan karya sastra. Karya sastra dikesampingkan Atas dasar hal tersebut, memang ada sedikit terlebih dahulu, dan perhatian justru tertuju pada hal-hal di peringatan Goldmann (Laurenson dan Swingewood, luar sastra. Karya sastra dianggap periferial. Dengan kata 1972:20) bahwa hanya penulis kelas dua yang mungkin lain, mutu karya sastra tidak selalu berhubungan langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor selera pembaca, dan karya dengan pemasaran sastra. Karya sastra yang sangat laris mereka bukanlah sastra. Penulis sastra tentu tidak tunduk terjual di pasaran (bestseller), bukan karena mutunya kepada faktor-faktor itu.Ia tidak tunduk kepada hukum selalu terjamin.Hal ini penting diingat agar peneliti sosiologi pasaran. Yang penting adalah menghasilkan karya sastra tidak terjebak padaa masalaah hubungan struktur sastra.Peringatan semacam ini tentu agak gegabah, baik bentuk maupun isi, sedangkan pemasaran sastra meskipun ada benarnya.Paling tidak Goldmann ingin sering mengabdi pada keinginan penikmat. menunjukkan bahwa semestinya sastrawan harus tetap berkarya dalam situasi apapun.Sastrawan yang banyak Dalam kaitan itu Goldmann (1977:10) memberikan memikirkan aspek pemasaran, berarti karyanya dapat gambaran bahwa penelitian sosiologi sastra yang berkaitan dipandang rendah. produksi dan pemasaran sastra, seharusnya mampu mengungkap nilai pasar dan nilai guna. Nilai pasar akan Realitas yang harus dipertaruhkan adalah selalu dipengaruhi oleh hubungan manusia dengan sastra pernyataan Wilson bahwa penyair rupanya yakin akan 40

profesinya. Tentunya penyair juga merasa senang apabila sanggar tersebut telah ada yang memenangkan puisinya laku keras, tetapi ia tetap mempertahankan sayembara penulisan.Hanya saja, penelitian ini masih perlu kepenyairannya daripada harus tunduk kepada ideologi dikembangkan terus-menerus seiring dengan munculnya politi dan ekonomi yang sedang popoler. Pernyataan ini sanggar-sanggar sastra di berbagai tempat. mengindikasikan bahwa masih banyak pengarang yang tetap mengharapakan aspek material.Namun juga mungkin 3. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat ada pengarang yang tetap mengabdi terhadap Pandangan bahwa setiap karya sastra itu idealism.Keduanya tetap menarik ditekiti secara sosiologis. mencerminkan masyarakat dan zamannya pada umumnya Alasan-alasan mereka memiliki pengabdian tertentu, akan dianut oleh kritikus akademik (Soekito, 1990:1).Pandangan menarik peneliti sosiologi sastra. ini, semata-mata sering muncul dalam penelitian berupa skripsi, tesis, disertasi, dan sejumlah penelitian Sosiologi produksi sastra, di samping berhubungan kecil.Penelitian tersebut berusaha mengungkap karya dengan penerbit dan pembaca, perlu sekali dikaitkan pula sastra tertentu, terutama novel karya penulis terkenal untuk dengan organisasi-organisasi pembina sastra.Organisasi melihat refleksi masyarakat di dalamnya.Bahkan, kadang- kemungkinan disebut sanggar atau paguyuban yang kadang ada yang mencoba merelevansikan dengan zaman bertugas mengumpulkan sastrawan untuk berkarya.Hal yang sedang berjalan.Mungkin hasil penelitian tersebut semacam ini pernah diteliti selintas oleh Hutomo (1997) telah menumpuk demikian banyak di rak perpustakaan. dengan bukunya Sosiologi Sastra Jawa.Dalam buku ini, peneliti mencoba mengungkap keberadaan sanggar sastra Secara panjang lebar (Laurenson dan Swingewood, Triwida sebagai bengkel sastraa kreatif.Di dalamnya 1971:11-22) telah memaparkan hubungan sosiologi dan terungkap beberapa sastrawan jawa dan karyanya, yang sastra.Hubungan keduanya, sebenarnya yang menjadi secara sosiologis memiliki pendidikan di atas SLTA.Di obsesi penelitian sosiologi sastra.Peneliti hendaknya dalamnya juga di terangkan bahwa karya-karya anggota mampu menarik kejelasan hubungan keduanya. Dalam kaitan ini, ada beberapa strategi yang patut di tempuh, 41

yaitu mencoba mendekati karya sastra dari struktur dalam: kondisi sastra. Berbagai aspek tersebut, sesungguhnya irama, metafora, irama, lukisan, watak, dinamika, plot, dan masih dapat diperluas lagi menjadi berbagai refleksi sosial sebagainya dihubungkan dengan masyarakatnya. sastra, antara lain: (a) dunia sosial manusia dan seluk- beluknya, (b) penyesuaian diri individu pada dunia lain, (c) Itulah sebabnya, secara esensial sosiologi sastra bagaimana cita-cita untuk mengubah dunia sosialnya, (d) adalah penelitian tentang: (a) studi milmiah manusia dan hubungan sastra dan politik, (e) konflik-konflik dan masyarakat secara objektif, (b) studi lembaga-lembaga ketegangan dalam masyarakat. Dari paparan demikian, lewat sastra dan sebaliknya, (c) studi proses sosial, yaitu berarti hubungan sosiologi dan sastra bukanlah hal yang bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana masyarakat dicari-cari. Keduanya akan saling melengkapi kehidupan mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan manusia. hidupnya. Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap struktur-struktur sosial. Pandangan yang amat popular dalam studi sosiologi Aspek-aspek sosiologi yang terpantul dalam sastra sastra adalah pendekatan cermin.Melalui pendekatan ini, tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal karya sastra dimungkinkan menjadi cermin pada yakni: (a) konsep stabilitas sosial, (b) konsep zamannya.Louis de Bonald (1954-1840) adalah filsuf kesinambungan masyarakat yang berbeda, (c) bagaimana perancis yang banyak memperdebatkan istilah cermin seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya, setelah membaca karya sastra nasional. Berbeda dengan (d) bagaimana proses masyarakat dapt berubah secara Stendal yang secara yakin mengemukakan bahwa karya bertingkat, (e) bagaimana perubahan besar masyarakat, sastra sebenarnya merupaka cermin perjalanan “jalan raya” misalkan dari feodalisme ke kapitalisme. dan “biru langit” hidup manusia, meskipun kadang-kadang harus mencerminkan “lumpur dalam kubangan”. Hal-hal semacam itu akan menjadi tumpuan peneliti Maksudnya, karya sastra kadang-kadang mengekspresikan sosiologi sastra. Hubungan timbal balik di antara unsur- kebaikan dan keburukan hidup manusia.Atas dasar itu, unsur sosial di atas akan besar pengaruhnya terhadap 42

maka konsep cermin harus digunakan secara ekstra hati- berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus hati dalam penelitian sosiologi sastra.Oleh karena itu, sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan kadang-kadang penulis besar memang sering pembacanya. Pengarang sebagai seorang zender mengungkapkan dunia sosial secara tidak sederhana. (pengirim pesan) akan menyampaikan berita zaman lewat cermin dalam teks kepada ontvanger (penerima pesan) Konteks sastra sebagai cermin, menurut Vicomte de Berarti bahwa karya satra sekaligus meruapakan alat Donald (Wiyono, 1974:5) hanya merefleksikan keadaan komunikasi yang jitu. Hal ini diakui oleh Bert Van Heste pada saat tertentu. Istilah cermin ini akan merujuk pada bahwa karya sastra meruapakan alat komunikasi kelompok berbagai perubahan pada masyarakat. Dalam pandangan dan juga individu. Lowenthal (Laurenson dan Swingewood, 1972:16-17) sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk Oleh karena itu masyarakat cenderung dinamis , pada tingkatan perubahan yang terjadi pada masyarakat karya sastra juga akan mencerminkan hal yang sama. yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri Namun demikian pati bahwa cermin itu benar . Hal ini melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu pernah diragukan Kleden (1986:46-68) bahwa sastra tidak bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang harus mencerminkan kenyataan . Maksud dari pernyataan yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut ini, manakala sastra mencerminkan masyarakat, tentu itu Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktivitas semua sebagai kenyataan imajiner .Mungkin juga sastra kehidupan sosial.Maksudnya, pengarang secara real melukiskan beberapa segi dari kenyataan-kenyataan yang memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya, tanpa terdapat di masyarakat.Bahkan , mungkin sekali sastra terlalu banyak diimajinasikan. hanya mengeksperiskan “zeitgest” atau sprit ofage , semangat atau jiwa yang memnuhi zaman tertentu. Namun Karya sastra yang cenderung memantulkan kenyataan tersebut tidak harus diasumsikan sebagai fakta keadaan masyarakat , mau tidak mau akan menjadi saksi yang terjadi. zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin 43

Goegre Lukacs adalah tokoh sosiologi sastra yang sebenrnya penelitian sosiologi sastra hendak mencari mempergunakan istilah “cermin” sebagai ciri khas dalam gambaran realitas pada waktu karya tulis.Hanya saja, keseluruhan karya.Mencerminkan menurut dia, berarti pencerminkan realitas itu dapat secara jujur dan objektif menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak dan juga dapat mencerminkan kesan realitas subyektif. hanya mencerminkan “realitas” melainkan lebih dari itu Dalam hal ini, karya sastra akan memberikan realitas dari memberikan kepada kita “sebuah refelksi yang lebih besar , tatanan hidup masyarakat dan bukan sesuatu yang sama lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” yang sekali abstrak. Imajinasi penulis telah ditata rapi untuk mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya mengagarap realitas sebagai perwujuduan cita-cita dan sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual atau angan-anggannya. secara tertutup melainkan lebih meruapakan sebuah “proses yang hidup”. Sastra tidak mencerminkan realitas. Dalam kaitannya dengan pendekatan cermin, Jameson(Taum , 1997:54) menyatakan bahwa setiap teks Konsep cermin juga telah dikembangkan lagi oleh sastra mengandung resoniasis sosial, historis dan politik. Abrams dalam buku the mirror and the Lamp bhahwa karya Karya sastra sering berada pada “ketaksadaran politik” , sastra adalah cermin kehidupan masyarakat. Senada yang mampu menghilangkan kontradksi-kontradksi sejarah. dengan ini, Ian Watt (1964:300:313) dalam artikelnya yang Pengarang sering dibius oleh ketaksadaran ini sehingga berjudul Literature and Society juga mengemukankan tiga secara tidak sadar mengungkapkan hetergenitas diluar pendekatan , yaitu : (a) pendekatan cermin , yang mencoba teks. Di antara heterogentas itu adalah masalah-masalah meneliti karya sastra yang dapat mencerminkan keadaan sosial yang akan memperkaya teks sastra. Masalah- masyarakat pada waktu karya ditulis, (b) pendekatan masalah sosial tersebut sering berupa kesadaran kolektif konteks sosial pengarang, hal ini akan dijelaskan tersendiri, yang memantul ke dalam sastra. Namun demikian, dalam dan (c) pendekatan fungsi sosial sastra, pendekatan ini pun kaitannya dengan sastra sebagai pantulan kehidupan akan dijelaskan tersendiri. Dari pendekatan cermin, kolektif ini, Goldmann (1997:9) mengingatkan bahwa karya 44

sastra bukanlah refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang khususnya jika kitab suci yang dibawa para nabi nyata dan ada, melainkan puncak dari suatu level yang dikategorikan karya sastra, bahkan banyak digolongkan sangat tinggi koherensi kecenderungan-kecenderungan sebagai sastra agung, bagaimana mungkin bisa diteliti khusus bagi suatu kelompok tertentu, suatu kesadaran secara sosiologi sastra?Masalahnya, karya luar biasa itu yang harus dipahami sebagai suatu realitas dinamik yang jelas di anggap bukan berasal dari nabi sendiri, betapa pun diarahkan ke satu bentuk keseimbangan tertentu. beliau-beliau ini kita percayai jenial.Menurut imam kita, karya ini jelas berasal dari Tuhan, dan para nabi diberi Penelitian sastra seyogianya juga menjurus ke tugas mengemban amanah penyampai wahyu yang dijamin masalah-masalah politik. Karena, politik adalah semua cara kejujurannya. pengaturan kehidupan masyarakat yang melibatkan hubungan kekuasaan didalamnya. Masalah politik ini akan Persoalannya, akankah peneliti mampu meneliti mendominasikan kehidupan masyarakat yang suatu saat karya tersebut sebagai refleksi zaman?Lagi pula jika akan terekam dalam teks sastra. Bahkan kondisi politik peneliti hendak meneliti fungsi karya tersebut, jelas sekali juga sering mempengaruhi kehidupan sastra itu sendiri. memiliki fungsi tertentu bagi masyarakat, tetapi tidak Mungkin sekali yang terpantul dalam karya sastra bukan sebaliknya terpengaruh oleh massyarakatnya.Padahal, hubungan politik secara detail, melainkan berupa ideologi konteks sosiologi sastra semestinya mampu meneliti tertentu. Ideologi itu yang akan menjadi pijaran sebuah bahwa karya sastra tidak terlepas dari konteks sosial dan karya sastra mengandung kekuasaan tertentu atau tidak . juga sebaliknya berfungsi bagi kehidupan masyarakat.Inin berarti bahwa karya sastra adalah wahana komunikasi Kehadiran sosiologi sastra yang telah banyak yang disampaikan secara khas. mengikuti pendekatan cermin bukan tanpa masalah. Pendekatan ini jika harus dipaksa “mencerminkan” Dalam kaitan itu, peneliti dapat memfokuskan pada masyarakat zamannya, akan menghadapinya kendala yang beberapa hal dalam studi satra sebagai cermin. Studi ini tidak sedikit. Hal senada juga diakui oleh Siregar (1984:1), antara lain dapat meninjau beberapa hal, antara lain 45

mencoba meneliti karya satra sebagai sebuah proyeksi Kondisi sosiologis “penguasa’ semacam itu,kadang- interes penguasa pada jamannya. Hegemoni penguasa kadang memperkosa karya sastra. Jika idealisme dalam produksi satra dan sebaliknya satra mencerminkan pengarang terpengaruh oleh pengayom, patahlah kekuasaan Masyarakatnya, akan diungkap dalam tataran semangat dan mungkin sekali makna karya satra menjadi ini. Karya yang menyesuaikan dengan hegemoni penguasa ‘tidak orisinal”.Hal ini terjadi karena pengayom sering ada kemungkinan akan membawa pesan penguasa pula. yang memiliki kepentingan tertentu.Melalui sastra, ada pengayom yang ingin menyampaikan pesan tertentu agar Secara sosiologis, penguasa sastra juga berupa diikuti oleh pembaca.Pada tingkatan ini, berarti fungsi maesenas (pengayom), khususnya penerbit.Ketika Balai sastra bagi masyarakat dapat dirasakan manakala Pustaka yang bahkan sampai sekarang menjadi “anak pembaca terpengaruh. emas” pemerintah, buku teks-teks terjemahan sastra lokal banyak tersebar disekolah-sekolah.Dominasi sastra Fungsi sastra dapat berbeda-beda dari zaman ke transformasi dari lokal ke Indonesia itu, terpaksa harus zaman diberbagai masyarakat. Disuatu zaman dan dibayar mahal melalui proyek-proyek.Jadi, terlepas dari masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat karya sastra, pengayom tetap memiliki kekuatan tertentu. penyebarluasan ideologi; di zaman lain dan masyarakat Hal yang sama, pernah dialami oleh Ashadi Siregar ketika lain sastra mungkin sekali dianggap sebagai tempat novelnyaWarisan Sang Jagoan mendapat penghargaan pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak dari DKJ, naskah tersebut telah tersemayam lama di tertahankan. Bahkan mungkin saja bagi mereka – sastra Pustaka Jaya. Penerbit ini tak mau mengorbitkan, lalu dianggap mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai- dilempar ke Gramedia, dan disarankan agar ada bagian nilai kemanusiaan yang luhur bagi pembacanya.Misalnya yang menyangkut biarawati harus diubah.Namun, saja, novel Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli yang pengarang bersikukuh tidak ingin mengubahnya dan telah difilmkan – sempat cetak ulang belasan kali karena memasukkan kepenerbit lain, akhirnya terbit juga. memiliki fungsi tertentu.Yakni, bagi remaja tentunya dapat 46

memetik amanat agar adat perkawinan seyogianya (c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama, pada disesuaikan dengan kemajuan zaman. hakikatnya suatu moral, baik dalam hubungannya dengan orang dengan kebudayaan sumbernya maupun 4. Konteks Sosiobudaya dalam hubungannya dengan orang-orang. Karya Asumsi dasar kajian konteks sosiobudaya berasal dari sastramoral dalam arti sempit, yakin yang sesuai Grebstein (Damono, 1978:4.5) bahwa: dengan suatu kode atau sistem tindak-tindak tertentu, (a) Karya satra tidak dipahami selengkap-lengkapnya melainkan pengertian bahwa ia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluafi. apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan Dengan demikian sastra adalah eksperimen moral. atau peradaban yang telah menghasilkannya.Iaharus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak (d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil pertama, sebagaimana suatu kekuataan atau faktor pengaruh timbal balik yang rumit antara faktor-faktor material istimewa, dan kedua, sebagaiamana tradisi- sosial dan kultural, dan karya itu sendiri merupakan yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun obyek kultural yang rumit. Bagaimanapunkarya sastra kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan bukanlah gejala yang tersendiri. sendirinya dapat mencerminkan perkembangan (b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama sosiologis, atau menunjukkan perubahan-perubahan pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya: yang halus dalam watak kukutral. bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya besar (e) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan estetis yang tanpa pamrih, ia harus melibatkan diri dangkal; dalam pengertian isi satra adalah kegiatan sendiri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah yang sungguh-sungguh. kegiatan penting yang harus mampu mempengaruhi pencipta sastra, tanpa mendekte sastrawan agar 47

memilih tema tertentu,misalnya, melainkan menciptkan pula. Lebih dari itu, seyogianya penelitian kritis sosiologi iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni sastra mampu menggali masa lalu yang masih relevan besar. dengan masa kini dan mendatang. (f) Krtikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa datang. Dari sumber sastra Pendeketan sosiobudaya tersebut, dapat digunakan yang sangat luas itu krtikus harus memilih yang sangat dalam penelitian ke dalam dua segi.Pertama , luas itu kritikus harus memilih yang sesuai dengan berhubungan dengan aspek sebagai releksi sosiobudaya. masa kini. Perhatiannya bukan seperti pengumpul Kedua , mempelajari pengaruh sosiobudaya terhadap benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, karya sastra. Aspek pertama ini sebenarnya tidak lepas tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh pula dari masalah refleksi sastra.Sedangkan aspek kedua, masa kini. Dan karena setiap generasi membutuhkan berhubungan dengan “konsep pengaruh”.Konsep pengaruh pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk ini juga dapat diperluas lagi menjadi pengaruh timbal balik menggali masa lalu tak ada habisnya. sastra dan sosiobudaya. Dari asumsi demikian tampak bahwa penelitian sosiologi sastra yang lengkap, seharusnya terkait dengan latar Teori analisis “konsep pengaruh” dalam sosiologi belakang sosikultural masyarakat. Karya-karya besar sastra, pernah dipaparkan Madame de Stael (Laurenson dengan sendirnya akan mempresentasikan latar belakang dan Swingewood, 1971:26) bahwa ada hubungan antara sosiokultural dan moral yang tangguh. Peneliti bertugas iklim, geografi, dan lembaga sosial. Ketiganya akan mengungkap hal tersebut agar dapat menangkap watak- membentuk watak manusia secara campur aduk kedalam watak kultural suatu masyarakat. Keberhasilan kajian teks sastra. Lebih lanjut, Stael memberikan pandangan demikian akan menjadi bagian kritik sosiologis yang bahwa bentuk novel akan berkembangan manakala seharusnya mampu mendorong tersiptanya karya besar masyarakat tempat status wanita itu agak tinggi. Hal ini berarti ada perjuangan kemajuan kaum wanita dalam sastra, yang kelak dikenal dengan pendekatan gender. 48

Yang penting lagi, manakala novel tersebut lahir dari kelas karya. Citra tentang “sesuatu” itu disesuaikan menengah, akan memuat kebebasan dan kebijakan. dengan perkembang budaya masyarakat. 3) Pendekatan ini boleh juga mengambil motif atau Pendekatan yang mengungkap aspek sastra dengan tema, yang keduanya berbeda secara gradual. refleksi dokumen sosiobudaya, mengimplikasikan bahwa Tema lebih abstrak dan motif lebih konkret. Motif karya sastra menyimpan hal-hal penting bagi kehiduapan dapat dikonkritkan melalui pelaku. sosiobudaya.Memang , pendekatan ini hanya parsial, Ketiga strategi penelitian tersebut, menunjukkan bahwa artinya sekadar mengungkap persoalan kemampuan karya penelitian sosiologi sastra dapat dilakukan melalui sastra mencatat keadaan sosiobudaya masyarakat tertentu. potongan-potongan cerita.Hubungan antara unsur dan Jadi , pendekatan ini tidak memperhatikan struktur teks , keutuhan (unity) unsur juga tidak harus. Hanya saja, melainkan hanya penggalan-penggalan cerita yang terkait pendekatan ini memang ada kelemahannya, amatara lain dengan sosiobudaya. peneliti akan sulit menghubungankan secara langsung karya sastra dengan sosiobudaya. Betapapun karya sastra Langkah yang bisa ditempuh pendektatan ini, itu megunakan imajinasi yang tinggi dan realisme, namun menurut Junus (1989:4-5) ada tiga stategi, yaitu : tidak berati bahwa di dalamnya berhubungan dengan sosiobudaya masyarakatnya.Bisa jadi, yang terungkap 1) Unsur sastra diambil terlepas dari unsur lain, dalam karya sastra sekadar angan-angan pengarang dan kemudian dihubungkan dengan suatu unsur bukan realitas. sosiobudaya. Staregi ini ditempuh karena karya Pendekatan yang mengungkap “konsep pengaruh”, tersebut hanya memidahkan unsur itu ke dalam mempresentasikan bahwa kondisi sosiobudaya memiliki dirinya. Misalkan, A Johns dalam novel Belenggu peranan penting bagi sastra. Jika berkiblat pada teori Taine menlihat telepon adalah simbol kemodernan. (Junus, 1986:19) karya sastra memang dapat dipengaruhi 2) Pendekatan ini boleh mengambil image atau citra tentang “sesuatu” perempuan , laki-laki, orang asing , tradisi, dunia modern dan lain-lain dalam suatu 49

oleh kondisi sosiobudaya masyarakat , yaitu ras , waktu, interferensi kelompok , konflik kelompok, dan sebagainnya, dan lingkungan. Dalam hal ini , sastra akan (3) studi perkembangan dan keragaman sikap sosial dan dipengaruhioleh kondisi sejarah dan kelas masyarakat, model-model yang ditentukan oleh seni, (4) studi yang akan tampak pada gaya maupun bentuk sastra. pembentuk, pertumbuhan, dan lenyapnya lembaga- Bahkan , lebih jauh lagi superstruktur masyarakat lembaga sosioarsitik, (5) studi faktor-faktor tipikal dan (baca:ekonomi) kadang-kadang sangat besar pengaruhnya bentuk-bentuk organisasi sosial yang mempengaruhi seni. terhadap kehidupan sastra. Hal semacam ini sulit disangkal , ketika bangsa Indonesia mengalami krisis Dalam kaitan itu , sosiologi sastra memang ekonomi dan krisis kepercayaan yang panjang , ternyata penelitian manusia dalam perbuatannya dengan telah menyempitkan penerbitan karya sastra. Tidak sedikit masyarakat dan teks sastra. Hubungan manusia dalam karya sastra yang harus “mengeram” sampai tidak menetes teks sastra itu meruapakan hubungan bersifat di penerbit, karena memag tidak ada dana lagi. Kalaupun spesifik.Diantara hubungan spesifik itu adalah hubungan ada sedikit pertolongan dari ford foundation, itu pun belum antara teks sastra dengan pembacanya dipandang secara mampu menerbitkan semua karya sastrawan, karena sosiologis. Dalam kaitan , Albert Memmi (Segers,2002:70) yayasan ini juga memiliki hegemoni tersendiri. memberikan kemungkinan penelitian sosiologi sastra, yaitu menitik beratkan pada pengarang , teks sastra dan Peneliti sosiologi sastra, juga dapat meneliti dalam masyarakat pembaca. Menitikberatkan pengarang akan kaitannya dengan pengaruh teks sastra terhadap pembaca. mengkaji status ekonomi dan profesionalitas penulis, kelas Pengaruh tersebut , kemungkinan besar juga dapat bersifat sosial, dan generasi sastra penulis itu. Yang timbal balik. Seperti halnya pernyataan Slibermann (Segers, menitikberatkan pada teks, penyelidikan dapat dibuat 200:68-69) bahwa objek sosiologi seni (sastra) adalah : (1) dalam sosiologi genre, bentuk, tema,dan gaya. Akhirnya , studi terhadap pengaruh seni pada kehidupan sosial, (2) dalam kesesuaiannya dengan resepsi , studi pengaruh seni pada pembentukkan kelompok, mempertimbangkan teks sastra diterima oleh pembaca 50


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook