Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore E-Book Rumbel Menulis IP Tangsel 2020

E-Book Rumbel Menulis IP Tangsel 2020

Published by Annisaa F Umara, 2021-12-22 07:33:14

Description: E-Book Rumbel Menulis IP Tangsel tahun 2020

Keywords: rumbel menulis,tangerang selatan,ibu profesional,literasi,profesional,ibu,perempuan,istri,senarai,antologi

Search

Read the Text Version

E-BOOK BY RUMBEL MENULIS IP TANGSEL 2020 PANDEMI: ASA DAN LARA DI ANTARA SENARAI RASA Penulis: Rosa Adelina; Zahra Sharfina; Chriesty Anggraeni; Ratih Ariawati; Annisaa F. Umara; Rina Yuliani; Gitaria Eka Puspitasari; At Tachriirotul M.; Dewi Nurhasanah; Devi F Y; Prita Sekarlangit; Rizki Kusumaning Gusti; Dhatin Ifadha

PANDEMI: ASA DAN LARA DIANTARA SENARAI RASA Oleh: Rumbel Menulis IP Tangsel Penanggung jawab: Annisaa F. Umara Desain sampul: Devi F. Y Ilustrasi dan layout: At Tachriirotul M. Editor: Annisaa F. Umara, Chriesty Anggraeni Diterbitkan oleh: Rumah Belajar Menulis Ibu Profesional Tangerang Selatan 2020 97 hlm

Prakata -Annisaa F. Umara- Bismillahirrahmaanirrahiim Assalamu'alaykum wr. wb. Segala puja dan puji hanya milik Allah Swt, Penggenggam alam semesta. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada teladan sepanjang masa, nabi Muhammad SAW. Alhamdulillahirabbil'alamin, atas izin Allah SWT pada akhirnya projek e-book Rumah Belajar Menulis Ibu Profesional Tangerang Selatan (Rumbel Menulis IP Tangsel) ini dapat dirampungkan. Berkat kesungguhan dan kerja keras teman-teman di Rumbel Menulis inilah dapat terkumpul naskah dan tersusun e-book ini, serta hadir di hadapan para pembaca. E-book ini diluncurkan sebagai projek akhir tahun perjalanan Rumbel Menulis IP Tangsel dalam kurun waktu 2020. Namun besar harapan, e-book ini bukan menjadi akhir karya teman-teman, tetapi menjadi batu loncatan lahirnya karya tulis dalam bidang literasi lainnya. Semoga e-book yang berisi ragam kisah tentang pengalaman keluarga di masa pandemi Covid-19 ini tidak hanya menjadi sejarah hidup para penulis, tetapi juga menjadi butir-butir hikmah yang menginspirasi para pembacanya. Terima kasih untuk teman-teman yang telah meluangkan waktu berbagi hikmah dari pandemi ini. Selamat membaca dan meraup hikmah. Wassalamu'alaykum wr. wb. Annisaa F. Umara (Ketua Rumbel Menulis IP Tangsel)

Prakata -Chriesty Anggraeni- Assalamu'alaykum, wr.wb. Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya kami dapat menyelesaikan proyek ini sesuai target yang direncanakan. E-book ini kami susun sebagai program tahunan dalam Rumah Belajar Menulis IP Tangsel tahun 2020. Dalam penyelesaiannya, kami perlu usaha maksimal yang notabene berperan utama sebagai seorang ibu. Maka dari itu ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak terkait yang telah mencurahkan waktu, pikiran dan rasanya pada proyek e-book ini. Karena tak akan tercipta suatu karya jika tak ada kerja sama tim yang solid. Akhir kata semoga pembaca dapat memetik hikmah dari semua kisah yang tertuang dalam e-book ini. Sehingga dapat menjadi ladang pahala bagi para kontributor dan pemberat timbangan kebaikan di hari akhir. Wassalamu'alaykum wr. wb. Chriesty Anggraeni (Wakil Ketua Rumbel Menulis IP Tangsel)

Daftar Isi 01 Menari dalam Dinamika Pandemi 7 Rosa Adelina 15 21 02 Pelangi pada Masa Pandemi 27 Zahra Sharfina 33 39 03 Pandemi Mewujudkan Mimpi 43 Chriesty Anggraeni 04 Bukan Cinta Biasa Ratih Ariawati 05 Mutiara Hikmah Pandemi Annisaa F. Umara 06 Pandemi Membawa Perubahan Diri Rina Yuliani 07 Griya Cinta; Bicara, Tumbuh, dan Berkembang Bersama Gitaria Eka Puspitasari

Daftar Isi 08 Pandemi Mengajarkan Aku untuk Mensyukuri Hal-hal Kecil 51 At Tachriirotul M 59 67 09 Bersama Kesulitan Ada Kemudahan 77 Dewi Nurhasanah 83 91 10 Perjalanan Di Masa Pandemi Devi F Y 11 Pandemi dan Awal Perubahan Diri Prita Sekarlangit 12 Yang Lama Dinanti Hadir di Kala Pandemi Rizki Kusumaning Gusti 13 Mencari Hikmah di Balik Pandemi Dhatin Ifadha

01 Menari dalam Dinamika Pandemi Rosa Adelina Rosa adalah seorang peneliti yang berkeinginan menjadi dosen. Menjadi peneliti sudah ia minati karena cinta terhadap ilmu pengetahuan dan menulis menjadi hobi sejak kecil. Buku yang sempat ditulis adalah Dormi[s]tory: Cerita Kita di Jalan Cendekia; Smart Mom’s Financial Stories; Kebijakan dan Inovasi saat Pandemi COVID-19 di Indonesia. Saat ini bergabung dalam Ibu Profesional Tangerang Selatan (IP Tangsel) sejak tahun 2017, menjadi ketua Resource Center IP Tangsel sejak 2020. Kisahnya dapat disimak melalui http://rosaadelina.wordpress.com. Baginya, “Berbagi adalah salah satu cara mengikat makna” @rosaadelina Rosa Adelina

01 Menari dalam Dinamika Pandemi -Rosa Adelina- Pandemi sudah berlangsung delapan bulan lamanya, banyak 8 perjalanan penuh makna yang terjadi sepanjang waktu berjalan. Dalam perjalanan kisah itu tidak menampik akan banyak pihak yang terlibat, ada yang intens dan ada pula yang sekadarnya saja. Berulang kali kekhawatiran menghampiri tentang keselamatan, masa depan, keberlangsungan keseharian, dan tentu saja bekal apa yang saya siapkan untuk anak-anak kami. Namun, khawatir saja tidak baik karena kecemasan akan terus menghantui sepanjang hari, oleh karenanya saya mengajak suami untuk berstrategi, menyiapkan apa yang terbaik untuk kami dan anak-anak kami. Lalu inilah kisah kami memperjuangkan apa arti sebuah tim. Keluarga kami terdiri dari 5 orang anggota inti, saat pandemi terjadi si bungsu baru saja memasuki periode Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI). Saat itu saya dan suami diminta bekerja dari rumah dan anak-anak mulai belajar didampingi oleh kami.

Semua masih dapat ditangani dengan baik karena saya terbiasa 9 mengatur rutinitas keseharian di rumah kami. Bahkan pada periode itu saya sedang aktif-aktifnya menulis buku dan mengikuti webinar- webinar terkait bidang yang saya tekuni. Namun, menjelang masuk semester baru bagi anak-anak, pola kehidupan kami mulai berubah karena saya juga sudah masuk ke kantor untuk bekerja walau tidak setiap hari dan proses pembelajaran jarak jauh anak-anak mengalami perubahan metode sehingga harus disesuaikan dengan berbagai persiapan. Beruntungnya kami, anak-anak kami ikutkan beberapa ekstrakurikuler yang dilaksanakan secara daring pada saat libur panjang sehingga ketika harus zoom beberapa kali dalam seminggu, abang dan kakak sudah mengerti bagaimana mengoperasikan zoom dengan sederhana. Saya teringat ketika hari pertama mereka sekolah bertepatan dengan hari pertama saya dan suami bekerja. Hal ini berarti mereka zoom pertama kali tanpa pengawasan orang tua. Awalnya saya agak khawatir karena ada beberapa proses teknis yang harus mereka ketahui sebelum zoom dimulai, misalnya saja mendapatkan link pertemuan yang baru dikabarkan menjelang pagi hari. Saat itu papanya anak-anak mengoptimalkan akun keluarga berbasis gmail yang kami miliki sejak dulu dan mengajarkan anak-anak menggunakan Google Hangout untuk berdiskusi bersama kami kapanpun. Walaupun kami jauh, anak-anak tetap dapat terhubung melalui telepon ataupun videocall langsung tanpa perantara asisten rumah tangga dan bantuan handphone. Ya, kami memilih membekali komputer dan laptop milik kami untuk dipakai anak-anak. Ada beberapa alasan untuk itu diantaranya kami ingin anak-anak fokus untuk belajar dan penggunaan layar besar akan meminimalkan terjadinya ketegangan pada otot mata. Alhamdulillah solusi pertama sudah kami temukan.

Kondisi di atas terjadi bersamaan waktunya dengan proses pindah 10 rumah sehingga kami mengalami beberapa situasi tidak ideal sekaligus. Anak-anak juga harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan tentu saja protokol kesehatan. Di lingkungan rumah lama, anak- anak tidak diperkenankan untuk keluar rumah karena kondisi lingkungan yang terbuka artinya seringkali banyak orang melintas karena jalan di depan rumah kami termasuk ramai dengan lalu-lalang kendaraan dan kerumunan orang. Di lingkungan rumah baru, banyak sekali anak-anak namun lingkungannya tertutup hanya warga yang menempati rumah yang melintasi jalan di depan rumah kami. Akibat terlalu lama tidak bertemu kawan sepermainan, tentu anak-anak senang sekali bertemu kawan-kawan baru. Tantangan kami adalah bagaimana menerapkan protokol kesehatan yang utama pada anak- anak seperti penggunaan masker, mencuci tangan dengan sabun, menggunakan hand sanitizer, dan mengganti pakaian ketika sampai di rumah. Protokol kesehatan ini terlihat sederhana namun sungguh tidak mudah diterapkan ke anak-anak apalagi ketika teman-temannya tidak melakukan hal yang serupa. Anak-anak merajuk atau kesal kepada saya di awal peraturan ditegakkan tetapi saya dan suami tetap bergeming, kesehatan paling utama bahkan kita mengetahui di bulan- bulan berikutnya bahwa klaster keluarga menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka COVID-19 di Indonesia. Saya pribadi yang memiliki ranah pekerjaan yang bersentuhan erat dengan sampel pasien juga memiliki protokol ketat di rumah, bahkan saya tidak memperbolehkan siapapun yang datang dari luar rumah bersentuhan langsung kecuali sudah membersihkan diri dan menumpuk pakaian dengan rapi di tempatnya.

Alhamdulillah setelah berminggu-minggu kami melalui ini satu 11 persatu hikmahnya dapat kami rasakan, salah satunya teman- temannya anak-anak menjadi terbiasa dengan anak-anak kami yang menggunakan masker bahkan sebagian dari mereka tergugah memakai masker juga ketika bermain bersama, begitu juga dengan perilaku mencuci tangan dan menggunakan hand sanitizer. Alhamdulillah para tetangga yang merupakan orang tua juga paham alasan kami menegakkan protokol kesehatan. Apakah setiap aturan di rumah ditaati dengan baik, tentu tidak. Setelahnya ada saja hal-hal yang mewarnai dinamika di rumah kami, salah satunya penggunaan gadget. Penggunaan shorten link dari sekolah untuk tugas maupun tautan pertemuan daring dengan guru ternyata memiliki dampak lain yang tak terpikir oleh saya awalnya. Sebelum pandemi, di keluarga kami memiliki waktu untuk bercengkrama dengan gadget apalagi saya paham bahwa abang sangat menggandrungi hal-hal berbau teknologi. Sebut saja google assistant, coding, Virtual Reality (VR) merupakan hal-hal tren yang tentu saja masuk ke keluarga dan diminatinya. Lalu bagaimana membatasinya? Bahkan kami belum memberikan rambu-rambu berkomunikasi daring dengan berbagai jenis orang di dunia maya. Tertatih-tatih di awal, apalagi sebagian besar teman-teman di sekolah abang menggandrungi permainan daring. Pernah kami menemukan tidak sekali dua kali abang mencuri-curi waktu di dalam pelajaran untuk bermain. Mengasyikkan yang melenakan bukan? Sama seperti ketika kecil kita menggandrungi komik dengan genre tertentu atau asik bermain galasin di lapangan sekolah. Saat itu saya dan suami memulainya dengan memblock semua tautan selain situs sekolah namun gagal karena perubahan tautan yang seringkali terjadi membuat komputer tidak dapat mengenali mana link yang harus dihindari.

Setelahnya saya kombinasikan dengan cara mengajak diskusi abang, 12 sekali tidak mempan, abang lebih banyak bergeming tanpa berkata. Bahkan ultimatum untuk memindahkan sekolah anak-anak juga terucap dari mulut kami namun tetap saja perilaku tersebut berulang kembali. Alhamdulillah Allah Maha Baik untuk memberikan pemahaman dari arah tak disangka-sangka yaitu dengan memberikan kenyamanan anak dari sisi lain sehingga ia mau terbuka. Akhirnya saya menyibukkan diri untuk mengobrol dan mencurahkan isi hati [iya, ini mamanya yang curhat] kepada abang, mengajak abang untuk berbagai kegiatan termasuk memasak dan mengerjakan hal rumah tangga seperti mencuci dengan mesin cuci bahkan saya menyetujui untuk menambah anggota berbulu di rumah kami, kucing kecil yang ketika datang langsung terikat hatinya dengan rumah kami. Alhamdulillah dinamika terkait gadget kami lalui dengan perlahan namun pasti menuju perbaikan dari pemahaman anak-anak kami. Pandemi ini juga mengajarkan kepada saya khususnya bahwa sebagai manusia sang makhluk harus banyak-banyak berpasrah kepada Allah dan berusaha yang terbaik. Belajar untuk mengecilkan arti kecewa dan mengambil banyak-banyak ibrah dari tiap-tiap hasil yang kami usahakan. Belajar untuk memperbaiki kondisi dengan segera namun penuh harap pertolongan akan segera hadir untuk kami. Siapalah kita sang manusia bahwa ternyata takdir sepenuhnya milik Allah SWT semata. Seringkali saya dihadapkan kenyataan bahwa mendadak Allah berikan pertolongan, nyaris saja hal-hal tidak mengenakkan terjadi di keluarga kami namun Allah masih memberikan keselamatan di dunia. Kisah ini salah satunya adalah ketika Abang sedang giat-giatnya belajar sains di kala pandemi bahkan bermain api kompor dan air wastafel. Saat itu tentu saja kami sedang di luar rumah dan sang bungsu masih terlelap dijaga oleh sang asisten rumah tangga.

Abang mencoba-coba mencari tahu seperti apa plastik berubah ketika 13 bertemu dengan api dan nyaris saja membakar isi dapur rumah kami, belum lagi ketika belajar mengenai sifat air dan air menggenangi seisi dapur hingga hampir menyentuh kabel beraliran listrik. Namun Allah masih selamatkan anggota keluarga kami. Ibrah yang saya dapatkan dengan kondisi tersebut adalah saya bisa menyerahkan urusan api perkomporan kepada abang, bahkan menitipkan masakan di kemudian hari. Kami belajar banyak, belajar untuk mengajari anak- anak dengan cara berbeda, berkomunikasi dengan cara yang tidak biasa dan mempercayakan kepada anak bahwa mereka mampu melakukannya. Tidak sebentar waktunya namun dampaknya dapat kami rasakan kemudian. Kisah kami yang penuh warna ini sungguh menjadikan pandemi sebagai suatu hal yang tak biasa. Mempertangguh kekuatan masing- masing anggota keluarga kami suatu keniscayaan karena kami tidak akan pernah mengetahui apa yang terjadi kelak di hadapan keluarga kami. Pandemi mengajari kami sebagai orang tua untuk mengajarkan arti kehidupan dalam skala luas, tidak hanya permainan angka dalam pelajaran matematika atau untaian kata dalam pelajaran Bahasa Indonesia tetapi bagaimana menari ketika kondisi tidak seideal yang diinginkan dan dinamika kehidupan terus berdatangan. Namun, satu hal yang kami tahu secara pasti, akan ada pertolongan-pertolongan Allah dengan jalan yang tidak disangka-sangka bagi hamba-Nya yang selalu berupaya, bahkan sebesar biji dzarrah [ ].

Khawatir saja tidak baik karena kecemasan akan terus 14 menghantui sepanjang hari, oleh karenanya saya mengajak suami untuk berstrategi, menyiapkan apa yang terbaik untuk kami dan anak-anak kami. -Rosa Adelina-

02 Pelangi pada Masa Pandemi Zahra Sharfina Lahir di Bekasi, 3 Februari 1994. Anak ke-1 dari 2 bersaudara. Seorang mantan asisten riset dan asisten dosen. Selain bidang penulisan, ia memiliki ketertarikan pada bidang pendidikan dan pengalaman pengguna (user experience). Aktivitas saat ini berkarya dari rumah dan wirausaha. Ceritaku bisa disimak di zsharfina.wordpress.com @zahrasharfina Zahra Sharfina

02 Pelangi pada Masa Pandemi -Zahra Sharfina- Menghadapi pandemi adalah hal yang tidak pernah terbesit di 16 benak saya sebelumnya. Masyarakat di seluruh dunia harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Ruang bergerak pun menjadi sangat terbatas. Meskipun begitu, masa pandemi ini menorehkan banyak pengalaman baru bagi saya. Ada sukacita yang saya rasakan, begitu juga dengan kegetiran. Pada akhirnya, semua peristiwa yang terjadi dalam masa pandemi ini memberikan banyak makna yang berarti bagi saya. Sejak awal Maret 2020, kantor suami memberlakukan sistem work from home (WFH) sampai dengan waktu yang belum dapat ditentukan. Berhubung kami masih tinggal berdua saja, saya cukup senang bisa selalu ditemani suami di rumah karena biasanya hanya sendirian. Kami jadi lebih saling memahami dan banyak quality time. Kami juga jadi lebih sering menghabiskan waktu luang bersama dan berdiskusi heart-to-heart.

Hal lain yang saya syukuri dari pandemi adalah bisa berbagi 17 pekerjaan rumah dengan suami. Suami lebih banyak berkutat di divisi pekerjaan berat seperti menyikat kamar mandi dan divisi pekerjaan luar rumah seperti menjemur pakaian serta mengurus tanaman. Saya banyak berkutat di dalam rumah. Meskipun pembagian ini tidak saklek juga, sesekali kami bergantian tugas. Intinya saling melengkapi saja. Namun, ada juga hal yang saya kurang suka dari pandemi, yaitu berkurangnya kesempatan untuk berkumpul secara langsung dengan keluarga besar. Biasanya dahulu hampir tiap akhir pekan saya dan suami main ke rumah orangtua saya. Sejak pandemi, kami sempat tidak ke rumah orangtua saya sama sekali sampai dengan masa Lebaran. Kami khawatir kami membawa penyakit dan akhirnya komunikasi lebih banyak dilakukan melalui panggilan suara atau video. Begitu juga dengan keluarga suami yang berada di Jawa Timur, kami tidak bisa mudik sampai 1,5 tahun lamanya. Baru pada awal Desember 2020 ini kami memberanikan diri untuk mudik dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Dalam masa pandemi ini, saya juga sempat mengalami pengalaman yang tidak akan terlupakan, yaitu kehamilan. Sayangnya kehamilan saya gugur di usia tujuh minggu. Saat itu, sejujurnya saya merasa rapuh dan sedih sekali karena ini adalah hal yang sangat saya dan suami dambakan selama 25 bulan usia pernikahan kami saat itu. Namun, saya meyakini bahwa setiap peristiwa memiliki hikmah yang akan menuntun kita pada hal-hal baik. Saya melakukan kontemplasi yang cukup lama, curhat sepuasnya kepada Allah, dan setelah itu saya menyadari bahwa kejadian ini adalah titik balik untuk saya membenahi diri.

Proses membenahi diri jujur saja banyak sekali tantangannya. 18 Saya merasa selama ini memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal sikap, kebiasaan, ataupun ibadah saya yang sangat biasa saja. Kadangkala juga ada masanya dimana saya tidak sungguh-sungguh dalam berdoa, padahal Allah sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang memohon kepada-Nya. Semangat saya kadang naik turun, ketika suasana hati sedang kurang baik, bisa saja semangat itu luntur. Saya mendiskusikan hal ini dengan suami dan meminta suami untuk selalu mengingatkan saya. Sejak saat itu, suami terus berupaya mengajak saya pada segala aktivitas yang bertujuan untuk kebaikan. Melihat saya yang seringkali tiba-tiba sedih saat scrolling media sosial, suami menyarankan saya untuk off demi ketenangan hati saya. Saya pun mengikuti saran suami dan ternyata saya bisa melakukannya. Saya hanya membuka media sosial untuk urusan pekerjaan, tidak lagi banyak scrolling yang berujung membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Kami juga melakukan beberapa proyek bersama, salah satunya adalah proyek hidup sehat. Selama ini kami memang belum konsisten untuk menjalani hidup sehat. Kami jarang berolahraga dan sering tidak memperhatikan sehat atau tidaknya apa yang kami konsumsi. Kami pun akhirnya bertekad untuk berubah. Kami mengurangi segala bentuk makanan yang digoreng, santan, tinggi gula, tinggi lemak, junk food, dan makanan kemasan. Kami memperbanyak mengkonsumsi protein hewani dan nabati, sayur, buah, dan minum air putih minimal 2,5 liter sehari. Tidak lupa juga disertai dengan rutin olahraga ringan.

Saya juga belajar untuk menjaga perkataan dan sikap saya, 19 terutama ke suami. Ada kalanya ketika lelah, saya tidak menyadari intonasi suara saya naik beberapa oktaf dan bersikap menyebalkan. Perlahan tapi pasti, saya mencoba memperbaiki kekurangan saya ini. Alhamdulillah selama pandemi, frekuensi konflik dengan suami berkurang dengan sangat signifikan. Adapun dalam hal berinteraksi dengan orang lain masih terus belajar sampai saat ini. Saya jadi teringat pada penggalan ayat 216 surat Al-Baqarah, “...boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Walaupun masa pandemi ini tentunya tidak diinginkan kehadirannya oleh setiap orang, namun secara tidak langsung, saya mendapatkan lebih banyak hikmah pada masa ini dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kadang saya berpikir, jika tidak ada masa pandemi, barangkali saya tidak akan melakukan pembenahan diri. Mungkin saja saya akan merasa terlalu nyaman dengan kondisi yang normal dan baik-baik saja. Mungkin saja saya akan tetap ceroboh dalam hal kebersihan dan kesehatan. Kehadiran masa pandemi juga membuat saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta. Yang tadinya mungkin keluarga saya lebih banyak berjalan masing-masing, dengan adanya masa pandemi menjadi lebih kompak. Kami jadi lebih sering saling mengingatkan dan peduli dengan satu sama lain. Masa-masa sulit yang dihadapi saat pandemi pun bisa dilalui bersama dengan sangat baik.

Inilah pelangi yang saya dapatkan selama masa pandemi. Tidak selamanya keterbatasan tidak memberikan arti. Kita hanya perlu melihat lebih dekat dan menilai dengan lebih bijaksana, seperti lirik lagunya Mbak Sherina. Momen ini adalah momen yang dihadirkan Allah agar kita dapat beristirahat sejenak dari kehidupan dunia yang penuh dengan hiruk pikuk dan lebih banyak mendekatkan diri kepada-Nya. Semoga pandemi ini segera berakhir dan ketika waktu itu tiba, kita sudah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Aamiin [ ]. 20

03 Pandemi Mewujudkan Mimpi Chriesty Anggraeni Chriesty Anggraeni, lahir dan menghabiskan masa kecil di kota kembang. Seorang ibu dengan dua orang putra dan putri. Kini ia sering berbagi kisah dalam beberapa platform parenting. Mengharapkan mampu berbagi pengalaman lewat tulisannya di www.chriestyanggraeni.com @anggraeni_chriesty Chriesty Anggraeni

03 Pandemi Mewujudkan Mimpi -Chriesty Anggraeni- Tak dapat dipungkiri pandemi Covid-19 yang menyerang negeri 22 kita saat ini mengubah banyak tatanan kehidupan. Seluruh lapisan masyarakat di Indonesia dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang baru. Mulai dari lingkungan rumah, sekolah dan kantor mulai menerapkan protokol kesehatan guna mengurangi penyebaran rantai virus Corona. Beberapa kebijakan pun ditetapkan agar masyarakat mengikuti anjuran pemerintah untuk di rumah saja. Berbicara tentang di rumah saja banyak sekali menimbulkan reaksi dari lapisan masyarakat. Pro dan kontra dalam putusan kebijakan tentu bukan suatu hal yang asing. Seseorang yang terbiasa melakukan pekerjaan di luar rumah, mungkin bisa merasa tak nyaman dengan kondisi seperti ini. Terlebih jika ia tulang punggung penopang kehidupan ekonomi keluarga.

Bagiku, hal ini tak ada ubahnya seperti hari-hari biasa. Hanya saja 23 saat pandemi seperti ini, aku dapat melihat suami berada di rumah pada siang hari. Setidaknya kebijakan kantor suami yang menetapkan bekerja di rumah membuatku lebih lega. Beribu ucap syukur kala itu, di mana kisah sedih keluarga lain terdengar banyak yang terpaksa menerima putusan kerja. Pada bulan pertama, aku sangat menikmati waktu kebersamaan ini. Berkumpul lengkap seperti ini terkadang hanya terjadi di hari libur kerja. Kami sering melewatinya dengan banyak menyediakan waktu untuk anak-anak. Sekadar bercanda atau membuat camilan kecil penghangat suasana. Terlepas dari kekhawatiranku terhadap pandemi yang terjadi. Dapat melihat suami menemani anak-anak di sela waktu bekerja di rumah, serta sekadar dapat menjaga anak-anak saat aku mandi sungguh hal lain yang membuat rasa syukur ini bertambah. Terutama kami dapat melihat tumbuh kembang si kecil yang usianya baru hitungan bulan. Namun, tak ada kehidupan yang mulus tanpa tantangan. Pada hari itu aku memilih diam tak banyak berbicara, mungkin hariku terasa lebih berat. Aktivitas yang tak jauh dari urusan domestik dan anak-anak terkadang melupakan waktu untuk mengurus diri sendiri. Saat pandemi, dalam sehari aku dapat berulang kali masuk dapur demi memastikan makanan keluarga. Menjamah cucian piring yang kembali menumpuk, mengepel lantai terus-menerus, mendengar ajakan si sulung yang meminta melakukan percobaan ini dan itu. Aku paham, bukan hanya anak lelakiku yang lekas bosan berada di rumah saja. Bagi seorang introvert sepertiku, keadaan ini juga mulai mengusik jiwa. Jauh sebelum pandemi datang aku terbiasa diam di rumah saja. Sesungguhnya ini bukan sesuatu hal yang baru, bahkan aku sudah melakukannya bertahun-tahun yang lalu.

Saat ini, tentu saja kondisinya tak lagi serupa, dalam seminggu 24 tanpa jeda. Menjalani keseharian dengan pola yang sama membuat waktu terasa cepat berputar. Lambat laun, tak dapat dihindari penat diam-diam menghimpit. Menggelitik rasa syukur yang semakin hari kian terjepit. Kegelisahan yang mendera akibat kekhawatiran tentang pandemi dan keadaan yang memaksa di rumah saja seperti ini mulai membuatku tak nyaman. Parahnya thinking mind mulai menguasai hingga sering merasa tak tenang. Sulit tidur memikirkan hal-hal yang tak tentu. Berandai-andai tentang ini dan itu, cemas tentang sesuatu yang tak perlu. Jika terus dibiarkan aku khawatir semua akan mengganggu kesehatan jiwaku. Sebelum pandemi terjadi, aku tengah banyak meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan offline di hari libur bersama komunitas. Menghadiri undangan dari beberapa media parenting untuk menambah beragam ilmu sebagai seorang ibu. Memenuhi kebutuhan bersosialisasi dengan sesama ibu, bonus lainnya aku dapat mengasah kemampuan diriku. Mencukupi kebutuhan jiwaku agar dapat tetap mengaktualisasikan diri lewat caraku. Sadar sekali bahwa banyak yang tak ahli, maka aku mencoba untuk terus memperbaiki diri. Keadaan di rumah saja seperti saat ini, kembali menguji poros emosiku. Namun, aku memilih untuk tak membiarkannya berlarut-larut. Kemudian perlahan memutuskan untuk mulai menata kembali waktu. Menyelami diri untuk mengetahui apa yang aku sukai. Memilin mimpi yang lama tak dijadikan prioritas, lalu mulai menulis meluruskan benang kusut dalam pikiranku.

Pada akhir bulan Mei, aku mencoba banyak mengikuti akun 25 beberapa penerbit dalam media sosial. Memilah beragam tema yang cocok untuk diambil. Lalu dengan hati-hati aku mencoba mengeluarkan beribu kata yang tak terucap lewat lisan. Menuangkannya dalam beberapa rangkaian kata yang kususun menjadi kalimat. Paragraf demi paragraf mengalir dengan deras, hingga rampung menjadi sebuah naskah. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah saat buku antologi pertama terbit. Kemudian disusul antologi puisi dan beberapa judul buku lainnya. Total 13 naskah lolos yang diselesaikan hanya dalam lima bulan terakhir ini. Tujuh buku antologi telah terbit, sisanya menyusul bertahap untuk segera naik cetak. Masyaallah, betapa dulu mimpi kecil ini tak terbayang akan menjadi nyata. Seakan jauh lalu tenggelam karena meragukan kemampuan diri sendiri. Tentu saja semua ini kulakukan sambil terus menikmati proses tumbuh kembang anak-anak. Kemudian memberikan ruang pada diri sendiri agar tetap aktif dengan caraku. Hal ini pula kulakukan guna menjaga agar tetap nyaman dan berdamai dengan waktu. Kisah ini hanya wujud catatan kecil dikala pandemi dengan beragam rasa yang terjadi. Semua yang terjadi bukan karena aku sanggup. Namun, semata karena Allah yang memberi kemampuan. Salah satu jalanku menghapus kekhawatiran, menepis kegelisahan yang hanya ada dalam angan-angan. Mungkin saja banyak cara yang dapat dilakukan untuk melewati pandemi ini. Setiap orang memiliki perjuangannya sendiri, bahkan kita takkan benar-benar mampu memahami. Kondisi dalam pandemi ini mengajarkanku lebih banyak berempati. Bahkan bisa saja masih banyak orang yang jatuh bangun untuk sekadar bertahan.

Bertahan untuk tetap di rumah saja, bertahan dalam segi ekonomi 26 atau bertahan untuk menjaga kesehatan baik fisik maupun mental. Apapun caranya, semoga semua ini menjadi salah satu upaya perpanjangan ibadah kita kepada Allah Ta'ala. Ini hanya sepenggal narasi melewati waktu di masa pandemi. Menunjukkan bahwa bukan hanya orang diluar sana yang mengalami guncangan rasa. Aku pun sempat mengalami hal serupa, tetapi aku memilih untuk memutusnya dengan berjuta doa. Mengerjakan hal menyenangkan lain menjadi salah satu caraku menyalurkan energi positifku. Dalam kondisi serba tidak ideal ini, kita hanya perlu beradaptasi. Meneruskan perjuangan agar tak tergelincir dalam keterpurukan. Setidaknya aku memutuskan untuk mengambil langkah mewujudkan mimpi kecilku satu persatu. Melalui rida dari suami, aku berkarya untuk bahagia, bukan untuk jumawa memuaskan banyak mata. Seraya berdoa agar Allah senantiasa melindungi kita semua, menghapus pandemi dari negeri tercinta [ ].

04 Bukan Cinta Biasa Ratih Ariawati Ratih Ariawati, lahir di Bandung 2 Agustus 1985. Seorang ibu rumah tangga dari 3 anak laki-laki. Kecintaanku pada menulis dimulai saat aku masih kecil. Tepatnya saat aku sudah lancar menulis. Aku suka mencoret tembok kamar ketika sedang bersedih, aku tulis dengan tulisan yang teramat kecil agar orang rumah tidak mengetahuinya. Kemudian berlanjut di buku diary. Aku merasa lega setelah aku menumpahkan semuanya di buku itu. Kini, aku pun senang menuliskan keseruaan kami dalam sebuah blog. Aku tak peduli bagus atau tidak tulisan-tulisan tersebut. Namun, yang pasti aku bahagia menuliskannya. Sebahagia aku menulis kisah ini. Aku juga sering menuangkan cerita di keluargamaswan.wordpress.com. @ratihmaswan Ratih Ariawati

04 Bukan Cinta Biasa -Ratih Ariawati- Terik matahari menyengat tubuh ini 28 Kami duduk di pelataran rumah Menikmati sinarnya yang berlimpah Diiringi hembusan angin yang menyejukkan Langit menunjukkan kebersahajaanya Namun, tak lagi kulihat malaikat-malaikat kecil berlarian Sambil menebar tawa di jalanan Yang ada hanya sepi dan senyap Corona benar-benar mengubah semuanya. Tidak ada lagi anak- anak yang bermain di luar rumah. Riuhnya suara mereka dari luar rumah sudah tak lagi kudengar. Sedangkan, suara dari dalam rumah terdengar semakin nyaring dari biasanya.

“Bundaaa, kakaknya tuh..” 29 “Bunda, gambar Arfa disobekin Rafif, padahal udah susah-susah bikinnya..” teriak mereka. Belum lagi si bontot, Andra yang tiba-tiba menghampiriku yang sedang mencuci piring “Bunda, Mas Rafifnyaaaa, nakaall” mengadu sambil terus menangis kencang. Olahraga mulut juga urat menjadi semakin rajin saja kulakukan. Pagi, siang, sore, juga malam. Seolah tak ada jeda. Teori-teori parenting itu seakan menguap dan hilang tertiup hembusan angin ribut. Kurebahkan tubuhku sejenak, sambil menarik nafas. Kubuka pesan whatsapp yang masuk. Ada cukup banyak pesan yang belum kubaca di whatsapp grup sekolah anakku. Aku pun penasaran dan langsung kubuka. Mataku langsung terbelalak, begitu tahu ternyata isinya tugas sekolah dari masing-masing guru mata pelajaran. “Banyaknyoooooo...” reflek jari jemari ini menuliskan di grup tersebut sambil disertai emoticon penuh semangat. Menyemangati diri ini yang memang butuh disemangati. Seketika aku tersadar, mengeluh hanya membuat semuanya terhambat. Pekerjaan terbengkalai, stres pun meningkat. Seolah tertanam dalam diri, aku harus sehat, keluargaku harus sehat. Hal yang hari-hari sebelumnya jarang kulakukan pun mendadak jadi rutin kukerjakan, seperti memasak. Kondisi seperti sekarang ini, memasak seolah menjadi pekerjaan yang penting. Sebelumnya kuberfikir, membersamai dengan anak-anak itu jauh lebih penting dibanding banyak menghabiskan waktu di dapur. Namun kini, kesehatan mereka pun tak kalah pentingnya.

Kondisi suami yang kini bekerja dari rumah, dia jadi tau betapa 30 reportnya tugas seorang ibu di rumah. Baru saja selesai mencuci, masih harus dilanjutkan dengan memasak. Tak jarang anak-anak sudah teriak lapar, sementara aku masih belum selesai memasak. Kemudian, tiba-tiba saja dia datang untuk membantuku mengulek bumbu, sementara aku lanjut memotong sayuran. Kami pun berbincang penuh hangat, disisipi tawa. Selain waktu memasak jadi lebih cepat, hati ini pun menjadi bahagia dibuatnya. Terlihat sepele, namun buatku ini sungguh berarti. Tidak hanya itu, dia pun kemudian mengambil ember cucianku, dan menjemurkan baju yang belum sempat kujemur karena harus lanjut memasak. Masya Allah, buatku ini jauh lebih romantis dari sekedar mendapatkan bunga, coklat, atau hadiah apapun. Aku seperti jatuh cinta kembali dibuatnya. Keesokan harinya, anakku yang pertama dan kedua tiba-tiba berebut ingin ikut membantu mengulek juga. “Arfa mau bantuin bunda ngulek kaya bapak,” ucapnya antusias. “Rafif juga mau,” teriak Rafif yang juga tak kalah antusias. Mereka pun saling berebut. Akhirnya kakak mengulek sambal, kemudian bergantian adiknya membantu mengulek rempah-rempah untuk membuat jamu. Adanya contoh yang mereka lihat, membuat mereka lebih mudah tergerak untuk senantiasa membantu. Walau kemudian ada suara bisikan dari bapak “Besok lagi yang ngulek sambelnya kamu aja ya, rasanya jadi aneh” ucapnya. Sontak, aku pun tertawa mendengarnya. Sementara anak-anak itu tak henti-hentinya menunjukkan ekspresinya ketika makan “Hmmm..enak bunda, endol surendol, endesss,” ucap anakku Rafif yang berusia 4 tahun dengan gayanya yang khas juga lebay. “Pokonya masakan bunda masakan terenak sedunia,” tambah sang kakak Arfa yang juga tak mau kalah ikut berkomentar.

Sedangkan, si bontot Andra juga ikut meniru gaya kakak-kakanya 31 sambil mengacungkan jari telunjuknya karena belum bisa mengangkat jari jempolnya, sambil berkata “Enaakk”. Masya Allah tingkah mereka benar-benar membuat lelah ini berubah menjadi tawa. Sekaligus penyemangat untukku. Sore harinya, ketika aku hendak kembali memasak, Andra yang berusia 2 tahun datang menghampiriku. “Bun, masak apa Bun? Masak apa Bun? Terus saja bicara. “Masak buncis sama udang, Ndraaa,” jawabku sambil tersenyum tergelitik karena melihat tingkahnya yang menggemaskan. Bapak yang ada di dapur pun ikut tersenyum dan berkata “Nanti kalau anak-anak sudah besar-besar, kamu akan rindu teriakan “Bun, masak apa Bun?” ucap bapak. \"Kalau kamu bisa bikin mereka suka sama masakan kamu, nanti suatu saat mereka pergi merantau, begitu pulang pasti salah satu yang dikangenin adalah masakan bundanya. Karena itu yang aku rasakan setiap kali aku pulang kampung, dan itu bukan semata-mata hanya karena rasa masakan ibu yang enak, tapi juga karena ada banyak memorinya. Ingat waktu kecil rebutan sambel, makan sama-sama, ketawa sama-sama, jadi ada kesan tersendiri,” ucapnya menambahkan. Ah, penggalan-penggalan cerita sepertinya membuat pikiran dan jiwa ini lebih terpacu dan lebih mudah menerimanya. Terima kasih ya Allah. Detik demi detik kami bersama, membuat jiwa ini semakin dekat dan menyatu. Dia pun jauh lebih menghargaiku dibanding sebelumnya. Dan yang paling-paling kurasa, aku semakin tersadar kalau dia benar-benar mencintai dan melindugi kami sepenuh jiwanya [ ].

Dulu.. 32 Aku tak pernah tau apa itu definisi cinta yang sesungguhnya Ketika ditanya pun aku hanya terdiam Namun, kini kamu, kamu, kamu, dan kamu menjabarkan semuanya Kalian mendeskripsikannya dengan begitu indah Tentang sebuah rasa itu -Ratih Ariawati-

05 Mutiara Hikmah Pandemi Annisaa F. Umara Terlahir di Jakarta dan besar di Tangerang dengan nama Annisaa Fitrah Umara. Saat ini menjadi ibu bahagia dengan seorang suami dan 2 orang anak (menuju 3). Bekerja sebagai dosen keperawatan di sebuah universitas swasta di Kota Tangerang. Sebelumnya, penulis telah tergabung dalam beberapa buku antologi dan memiliki minat di bidang kepenulisan. Jejak tulisan di nisafitrah.blogspot.com @annisaafitrah Annisaa Fitrah Umara

05 Mutiara Hikmah Pandemi -Annisaa F. Umara- Penghujung tahun 2019, sebuah penyakit baru muncul di kota 34 bernama Wuhan – Cina, mulai terdengar. Tidak sedikit pun terbesit dalam hati jika penyakit yang menyerang sistem pernapasan ini akan singgah di tanah air kita, Indonesia. Apalagi membayangkan penyakit ini menjadi sebuat monster bernama pandemi yang akan berlangsung lama dan berdampak luas. Jumlah penderita yang terjangkit virus membandel ini sangat cepat bertambah bahkan sangat mudah berpindah dari satu orang ke orang lainya. Menyeramkannya lagi, penyakit ini menyebabkan korban jiwa padahal para ilmuan saat itu belum mengenal jelas bagaimana karakter virus jenis baru ini. Berbagai berita simpang siur tentang penyakit ini mulai berdatangan. Organisasi kesehatan dunia pun menyatakan bahwa penyakit ini disebut dengan Covid-19, yaitu penyakit yang disebabkan oleh Coronavirus pada tahun 2019. Informasi penyebaran penyakit Covid-19 di berbagai negara pun mulai tersebar.

Di awal tahun 2020, rasanya tanah air kita masih disibukan dengan 35 ragam berita lainnya tanpa ada kewaspadaan hadirnya virus Corona. Hingga di bulan Maret, sebuah berita menggemparkan bahwa virus Corona telah tiba di Indonesia. Sebagai rakyat jelata dan makhluk yang lemah ini tentu saja seketika rasa khawatir bermunculan, apalagi mendapat kabar bahwa kasus pertama Covid-19 di Indonesia diketahui berasal dari warga yang tinggal di Kota Depok. Tepatnya, komplek perumahan yang baru saja saya kunjungi beberapa hari sebelum berita adanya Covid-19 di Indonesia. Ya, sebelum diberitakan adanya warga perumahan di Depok yang terkena Covid-19, beberapa hari sebelumnya saya mengikuti sebuah kegiatan outdoor di perumahan tersebut. Seketika diri ini berubah menjadi detektif media sosial yang serius sekali ingin memecahkan masalah \"siapa gerangan warga Depok yang pertama kali terjangkit Covid-19 ini?\" takut-takut kalau saya kontak dengan mereka. Kepanikan mulai terlihat dan dirasakan, panic buying, dan suasana yang mencekam. Masyarakat berbondong-bondong menyelamatkan diri dari sapaan virus yang bagaikan perpanjangan tangan malikat Izrail ini. Pemerintah telah sepakat dengan mengeluarkan penyataan bahwa Covid-19 sebagai bencana nasional sejak bulan April 2020. Perdebatan antara lock down atau social distancing sebagai upaya meminimalkan penyebaran Virus Corona menjadi pembahasan. Kebijakan untuk sekolah dan bekerja dari rumah mulai diberlakukan. Aktivitas fisik di luar rumah mulai dibatasi, bahkan aktivitas yang menimbulkan kerumunan diberikan sanksi. Tempat-tempat umum ditutup, termasuk tempat ibadah apalagi tempat wisata.

Setiap terjadi perubahan tentu menimbulkan ketidaknyamanan 36 bahkan keresahan. Ada pribadi yang dengan segera dapat beradaptasi, tetapi ada juga pribadi yang butuh waktu lebih lama menerima bahkan menolak kenyataan yang ada. Bersyukur saya mengenal Ibu Profesional. Disini, para perempuan diarahkan untuk berkaca pada diri masing-masing. Dalam situasi pandemi, apakah kami masih berada di zona ketakutan? atau zona belajar? atau bahkan sudah berada di zona bertumbuh? Saya pribadi memilih untuk berjalan dari zona ketakutan menuju zona belajar. Belajar mengenali situasi yang baru dan bagaimana mencari solusi yang tepat menghadapinya. Saya tidak menolak bahwa dalam situasi pandemi ini, tidak ada jalan-jalan keluar rumah di akhir pekan untuk kami sekeluarga. Padahal sebelum pandemi hampir setiap akhir pekan kami sekeluarga pergi ke luar rumah. Namun kali ini, saya harus mengerti situasi dan memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa saatnya mengganti jalan-jalan keluar rumah dengan melakukan aktivitas bersama di rumah. Di zona belajar, saya mencoba untuk menata diri, emosi, dan melihat dari sudut lain soal pandemi. Kerepotan mempersiapkan kebutuhan suami dan anak-anak serta diri sendiri sebelum kekantor tidak saya rasakan sejak pandemi. Meski saya dan suami bekerja dari rumah, serta ada anak sulung kami yang mulai sekolah dari rumah. Rasa lelah sepulang kerja yang membuat saya bertemu anak-anak dan suami dalam kondisi energi hampir habis pun tidak ada. Meski berbagai adaptasi baru berkaitan dengan pekerjaan juga menyita energi dan pikiran. Namun alhamdulillah semuanya masih dalam kendali yang baik. Pandemi ini tentu tidak pernah diharapkan terjadi oleh siapa pun. Namun kenyataannya Allah berkehendak lain. Mendengar dari berbagai berita, tentu semua orang pasti terdampak pandemi ini.

Entah tidak bisa jalan-jalan dengan keluarga seperti bisanya, 37 pendapatan keluarga menurun, stressor meningkat, bahkan ditinggal oleh anggota keluarga tecinta, dan berbagai dampak lainnya yang dirasa buruk dari sudut pandang manusia. Sungguh kita memang hanya makhluk-Nya yang lemah. Kuasa- Nya melalui makhluk yang berukuran jauh lebih kecil dari tubuh manusia mampu merubah segalanya. Mungkin ini waktu yang tepat, untuk menyadari betapa lemahnya manusia tanpa perlindungan dan pertolongan dari-Nya. Mungkin ini saatnya, lebih mendekatkan diri pada-Nya sebab Ia Maha Penggenggam Segalanya. Momen pandemi ini yang mungkin menjadi titik balik segalanya bahwa Allah tempat bergantung kita, bukan pada manusia, harta, atau tahta yang fana. Berserah diri pada-Nya dan berdamai dengan situasi pandemi tentu bukan tanpa upaya. Virus Corona masih ada di sekitar kita. Bahkan ia tidak hanya hinggap di kalangan tertentu seperti pada mereka yang bekerja di rumah sakit. Virus Corona masih ada bahkan sudah masuk melalui pintu-pintu rumah dan hinggap dalam lingkup terkecil bernama keluarga. Namun Virus Corona masih bisa kita cegah agar ia tidak mampir ke dalam rumah kita. Belajar untuk hidup lebih bersih dengan sering mencuci tangan pakai sabun. Belajar untuk lebih peduli terhadap tubuh dengan hidup sehat dan makan-makanan bergizi. Belajar untuk peduli terhadap orang lain dengan menggunakan masker saat keluar rumah. Belajar untuk menahan diri agar tetap menjaga jarak dan tidak berkumpul satu dengan lain. Belajar untuk menyelam lebih dalam agar dapat mengambil mutiara hikmah di dasar laut kehidupan. Pandemi ini sudah hampir berlangsung selama satu tahun, tetapi belum juga terlihat kapan akan berakhir. Saat ini, banyak orang beranggapan bahwa Covid-19 tidak dapat diberantas seutuhnya.

Rasanya, perihal kapan pandemi akan berakhir dan Virus Corona akan pergi hanya menjadi rahasia Illahi saja. Namun kita perlu yakin bahwa situasi akan lebih baik dengan tetap berfikir dan menebar energi positif serta tetap melakukan pencegahan penyebaran virus. Waktunya berpindah dari zona belajar menuju zona bertumbuh serta menjadi pribadi yang lebih baik dalam menghadapi berbagai hal di luar kendali [ ]. 38

06 Pandemi Membawa Perubahan Diri Rina Yuliani Rina Yuliani. Lahir di Pemalang, 12 Januari 1986. Ibu dari 2 putra dan 1 putri. Suka menulis cerita anak. Menyukai sesuatu yang simpel dan sederhana. No ribet! rinayuliani841 Rina Yuliani

06 Pandemi Membawa Perubahan Diri -Rina Yuliani- Hari Sabtu, tanggal 21 November 2020 tepat pukul 14.00 wib saya 40 bersiap di depan layar handphone untuk menyimak keputusan SKB 4 menteri melalui canal youtube Kemendikbud RI. Berdebar hati ini mendengarkan setiap kata dan kalimat yang keluar dari bibir para pemimpin negeri mengenai pembelajaran semester genap awal Januari nanti. Seperti kabar yang beredar dari jauh-jauh hari, pembelajaran semester genap akan kembali diadakan dengan tatap muka. Rasa khawatir, takut, cemas seketika menyergap diri, membayangkan si sulung kembali beraktivitas di luar rumah. Sebenarnya setitik rasa bahagia juga membuncah di dalam dada, akhirnya pembelajaran normal seperti dulu lagi. Kenapa ada rasa bahagia ketika pengumuman pembelajaran kembali dilakukan tatap muka? Jujur, saya merasa pembelajaran dari rumah kurang efektif. Lelah yang selama ini saya rasakan. Entah rasa lelah karena pandemi ini atau lelah mendampingi si sulung belajar di rumah.

Lelah saya mengajukan berbagai keberatan kepada pihak sekolah, 41 lelah karena tidak adanya perubahan yang saya inginkan. Lelah karena para guru hanya memberikan tugas, padahal saya hanya mengharapkan hal yang sederhana, yaitu perhatian para guru kepada murid yang belajar di rumah, sekadar telpon atau videocall. Alih-alih menuntut perubahan pada diri orang lain, apakah selama masa pandemi diri saya juga berubah atau semakin salah arah terhadap pendidikan anak-anak? Malu rasanya kalau ternyata saya masih sama sebelum masa pandemi tiba. Menilik jauh ke belakang, si sulung sudah sejak bulan Maret belajar dari rumah, segala suka duka, drama pagi hari berhasil dilewati meski tidak mudah dan akan selalu menjadi kenangan yang indah dan tak terlupakan sepanjang tahun 2020. Saya amati ada perubahan drastis dalam diri si sulung Azim setelah belajar dari rumah. Azim tidak menangkap materi pelajaran dengan baik terutama matematika. Beberapa kali kesulitan dalam menghafal surah-surah pendek yang ditugaskan dari gurunya. Muncul banyak pertanyaan, apakah saya tidak bisa mengajarinya dengan baik? Apakah saya memang tidak mampu mendidik anak- anak sendiri di rumah? Frustrasi rasanya!. Merasa gagal dalam banyak hal, padahal saya belajar ilmu pendidikan ketika di perguruan tinggi tidak memberi jalan keluar yang berarti. Pertanyaan tersebut terus menerus menguasai pikiran saya, seperti berputar-putar di otak, membuat hati ini semakin bergejolak. Apakah selama ini saya menuntut sulung terlalu keras? Hanya menuntut tetapi saya tidak mau belajar? Jangan-jangan yang selama ini saya khawatirkan adalah diri saya sendiri? Tanpa saya sadari menginginkan Azim selalu sempurna di setiap mata pelajaran. Pada kenyataannya mata pelajaran sekarang makin sulit dan kompleks tidak semudah ketika zaman saya sekolah dulu.

Mata pelajaran yang begitu banyak, kurangnya komunikasi dua 42 arah antara guru dan murid, membuat pembelajaran jarak jauh makin tidak tentu arah. Saya ingat, waktu itu pelajaran tahfiz menghafal surah Al-Insyiqoq, tanpa sadar saya menunutut Azim harus bisa menghafal, menghafal dan menghafal. Padahal diri ini saja tidak mampu menghafal surah tersebut. Saya semakin dikuasai emosi ketika sulung dalam satu minggu tidak ada perubahan sedikitpun dalam menghafal surah, bahkan tidak mau menyetorkan hafalan. Emosi saya semakin memuncak, tetapi di dalam hati kecil saya sangat merasa bersalah menuntut Azim untuk bisa menghafal satu surah dalam waktu yang singkat. Di hari terakhir, saya pasrah jikalau Azim tidak bisa menghafal seluruh surah. Ajaib! Azim mampu menghafal surah dengan baik ketika hati saya lapang dada menerima keadaan dan mengakui bahwa saya juga tidak bisa menghafal sebaik Azim. Malu sekali saya waktu itu!. Atau ketika Azim tidak begitu pandai dalam mata pelajaran matematika. Bahkan perkalian satu sampai sepuluh masih tertatih- tatih. Saya berusaha menenangkan pikiran, menerima keadaan dengan sebaik-baiknya, meskipun selalu ada hal yang mengganggu kenapa Azim seperti ini dan seperti itu. Seketika membicarakan hal ini kepada suami, saya diingatkan kembali untuk menerima keadaan Azim, kekurangan dan juga kelebihannya. Fokus kepada kelebihan, tutupi kekurangan dengan baik tanpa mencederai hati dengan perkataan lisan. Astagfirullah! Saya tersadar, ternyata selama ini hanya fokus kepada ketidakmampuan dan menuntut kesempurnaan, tetapi melupakan kelebihan dan keunikan Azim. Setelah saya menerima semua keadaan yang terjadi, hati lega dan bahagia dianugerahi anak-anak unik yang selalu memberi warna dalam kehidupan saya dan keluarga. Hikmah yang bisa saya ambil adalah pandemi benar-benar membuka mata dan hati saya untuk menerima segala keunikan dari diri si sulung Azim [ ].

07 Griya Cinta; Bicara, Tumbuh, dan Berkembang Bersama Gitaria Eka Puspitasari Gitaria Eka, seorang ibu yang suka menulis dan dunia finansial. Senang menulis di blog pribadi www.gitariaeka.com, @gitariaeka; Gitaria Eka @keluargacerdasfinansial

07 Griya Cinta; Bicara, Tumbuh, dan Berkembang Bersama -Gitaria Eka Puspitasari- Pandemi memang membawa luka 44 Tapi, ia mengajarkan sisi lain, Rumah akan selalu menjadi tempat terbaik Bicara, berkumpul, dan berkegiatan bersama Dengan orang-orang tercinta Tanggal 02 Maret 2020, sembilan bulan lalu, kasus pertama Covid- 19 ditemukan di Indonesia. Dua pekan setelahnya, pada tanggal 16 Maret 2020, pola kehidupan masyarakat berubah, melalui himbauan bekerja, belajar, serta beribadah dari rumah, lalu diikuti dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB.

Rumah menjadi tempat aktivitas utama, setelah biasanya anggota 45 keluarga memiliki kesibukan dan agenda masing-masing, ayah bekerja di kantor, anak belajar dan bersosialisasi di sekolah, ibu mengantar jemput anak lalu setelahnya memiliki kegiatan sendiri di luar rumah. Semua baru berkumpul lengkap pada malam hari setelah ayah pulang kerja. Setelah pandemi semua kebiasaan tersebut berubah total. Semua kembali ke rumah Interaksi antar anggota keluarga menjadi 24 jam penuh tanpa jeda dalam griya cinta, memberi sisi positif tersendiri atas pandemi yang melanda negeri. Salah satu yang merasakan dampak positifnya adalah keluarga kami. Suami biasanya bekerja dan pulang malam hari, selama pandemi bekerja dari rumah, begitu juga dengan anak yang sekarang sekolah dari rumah, sehingga otomatis banyak waktu untuk berkegiatan bersama. Kami bisa mulai waktu pagi dengan salat subuh berjama’ah, mengobrol, makan dengan santai, lalu kemudian bersiap untuk bekerja dan sekolah dari rumah tanpa terburu-buru dikejar waktu berangkat agar tidak terjebak macet seperti pada hari biasa. Selain itu, sisi positif yang kami dapatkan selama berada di rumah adalah banyaknya webinar menarik yang dapat diikuti melalui bantuan teknologi, bahkan sembari mengerjakan pekerjaan domestik, saya bisa menambah ilmu dengan mendengarkan Instagram TV atau melalui aplikasi Zoom. Selama sembilan bulan di rumah, kami membuat proyek keluarga yang diunggah ke dalam akun youtube Golkil Creative. Mulai dari aneka bentuk origami, merakit mainan dari bahan daur ulang, mendongeng, hingga tutorial belajar mengenal huruf, warna, menggambar, dan mewarnai secara mudah.

Saat masuk musim layangan, suami dan anak punya hobi baru, 46 membuat layangan sendiri dan kemudian di uji coba diterbangkan di lapangan. Saya melihat banyak perkembangan positif dalam diri anak, semakin kreatif dan mampu menuangkan ide dalam karya yang sering membuat saya takjub sendiri saat melihat hasilnya. Masya Allah, ternyata sembilan bulan di rumah ia sudah tumbuh dan berkembang secara nyata. Suami pun demikian, jika sebelumnya waktu interaksi terbatas hanya pada malam hari dan sebelum berangkat kerja, saat pandemi menjadi bekerja dari rumah. Sembari bekerja, saat beliau tidak sedang rapat, kami sering bicara dan membicarakan banyak hal, dan waktu istirahat digunakan untuk bercanda bersama anak dan berbagi ide, “Mau buat apa lagi nanti kita?” yang biasanya akan di eksekusi saat akhir pekan. Masya Allah, pandemi memang membawa luka, tetapi di sisi lain, ia membawa sisi positif bagi kami sekeluarga, waktu interaksi yang semakin banyak dan terasa lebih hangat, 24 jam penuh tanpa jeda. Mungkin ada yang bertanya, “Apakah tidak bosan berada di dalam rumah selama sembilan bulan?” Rasa bosan pasti ada, karena kami tipikal keluarga yang suka menghabiskan waktu di luar rumah, untuk sekedar berjalan kaki ke taman, mencoba transportasi umum seperti commuter line, transjakarta, bus tingkat, MRT, dan suka ngebolang ke suatu tempat. Tetapi Masya Allah, selama pandemi, waktu terasa berjalan lebih cepat dari biasa, tahu-tahu sudah malam, tiba-tiba hari berganti dengan cepatnya. Masya Allah.

Bicara, tumbuh, dan berkembang bersama adalah kunci penghilang 47 kebosanan selama berada dirumah saja. Mengerjakan aktivitas yang disukai bersama, saling bicara dan membicarakan banyak hal, mulai yang tidak penting hingga urgent dibicarakan, serta senantiasa meng- update diri dengan ilmu melalui webinar yang bertebaran secara online. Sekarang izinkan saya berbagi tips, hal yang telah kami lakukan selama ini untuk meminimalisir bosan dan jenuh di rumah, serta menjadikan diri dan keluarga tetap produktif dari dalam rumah: Bicara dan membicarakan banyak hal bersama anggota keluarga Kunci pertama adalah bicara. Bangun komunikasi dengan pasangan dan anak mengenai apapun; perasaan, keinginan, rencana masa depan, hal yang disukai dan tidak disukai, hal yang ingin dikerjakan, pokoknya bicarakan apapun bersama. Jadikan diri kita sebagai teman bicara yang asyik serta menyenangkan bagi suami dan anak Meletakkan kadar prioritas sesuai kondisi agar tidak membebani diri Selama semua berada di rumah, saya mengurangi kadar perfeksionis terhadap kerapian, karena memahami bahwa hobi anak dan suami adalah kreatifitas. Jadi saat mulai banyak kardus turun untuk di bentuk, serta ceceran lem menempel di lantai hati sudah legawa mak. Prioritas saya adalah membuat suami dan anak nyaman di rumah, bebas mengekspresikan diri sesuai minat dan bakat mereka, supaya, meski berada di rumah saja tetap bisa tumbuh dan berkembang.

Mengembangkan diri sesuai minat dan bakat 48 Setiap insan memiliki minat tersendiri terhadap hal tertentu, seperti memasak, membuat kue, menjahit, craft, menulis, finansial, dan lainnya. Nah, selama di rumah, asah passion tersebut agar hati lebih bahagia. Saya suka menulis dan finansial, jadi, setiap ada webinar menarik mengenai kepenulisan atau finansial bisa diikuti sembari mengerjakan kegiatan domestik. Selama pandemi, saya punya hobi baru, menyetrika dan menjemur baju sembari mendengarkan Instagram TV, lalu setelahnya memperoleh inspirasi untuk di tuangkan ke dalam tulisan di media sosial atau blog. Melakukan kegiatan bersama untuk mempererat bonding sesama anggota keluarga Salat, makan, olahraga, berkreasi, bahkan hingga bercanda adalah kegiatan yang dapat dilakukan bersama. Aktivitas baru keluarga kami selama pandemi adalah olahraga bareng di rumah. Selama sesi tersebut, tak jarang canda tawa mewarnai, sehingga sangat baik untuk memperat bonding, selain manfaat kesehatan tentunya. Tips khusus bagi orangtua yang memiliki anak sekolah daring, tetap jaga kewarasan dan kesabaran ya mak Sekolah daring menjadi tantangan yang cukup menguji kesabaran. Anak yang sulit fokus saat belajar, malas-malasan ketika mengerjakan tugas, serta banyak drama lain yang menyertai. Di sisi anak, ia merasa terlalu banyak tugas yang harus dikerjakan, bosan dan jenuh belajar di rumah karena tidak bisa bermain bersama teman-teman.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook