Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Candide oleh Voltaire

Candide oleh Voltaire

Published by pustaka, 2022-11-12 06:32:40

Description: Candide oleh Voltaire

Search

Read the Text Version

19 APA YANG TERJADI ATAS DIRI MEREKA DI SURINAME DAN BAGAIMANA CANDIDE BERKE- NALAN DENGAN MARTIN HARI PERTAMA yang dilalui oleh kedua pengem bara itu cukup m enyenangkan. Mereka seolah-olah m endapat sem angat baru karena m erasa m enjadi pem ilik kekayaan yang m elebihi jum lah yang m ungkin dapat dikum pulkan di seluruh Asia, Eropa, dan Afrika. H an yut dalam kegem biraan , Can dide m en ulis n am a Cunegonde di sem ua pohon. Pada hari kedua, dua ekor kam bing tenggelam di sebuah rawa dan terkubur di situ dengan muatan yang dibawanya. Dua ekor kam bing lagi m ati lem as beberapa hari kem udian. Tujuh atau delapan ekor yang lain tak tertolong gara- gara kelaparan di gurun, dan beberapa ekor lagi yang lainnya jatuh ke jurang pada hari-hari berikutnya. Akhirnya, setelah

86 Voltaire seratus hari berjalan, yang tinggal hanyalah dua ekor kam bing. Candide berkata kepada Cacam bo, “Sahabatku, lihatlah betapa kekayaan duniawi itu tidak langgeng. Tak ada yang lebih kekal daripada kebenaran dan kebahagiaan dapat bertemu lagi dengan Nona Cunegonde.” “Mem ang saya pun m enyadarinya,” jawab Cacam bo, “nam un masih tersisa pada kita dua ekor kambing lagi dengan permata- perm ata yang nilainya lebih besar dari yang pernah dim iliki Raja Spanyol. Dan sekarang, dari jauh saya lihat sebuah kota. Menurut perkiraan saya m ungkin Surinam e, yang dikuasai oleh orang- orang Belanda. Kita sudah sam pai di ujung penderitaan dan akan memulai masa bahagia.” Ketika m endekati kota itu, m ereka bertem u dengan seorang Negro. Dia tergolek di tanah. Pakaiannya tinggal sepotong, yakni celana pendek dari kain kasar berwarna biru. Kaki kiri dan tangan kanannya buntung. “Ya, Tuhan,” ujar Candide dalam bahasa Belanda, “apa yang kau kerjakan di situ, Kawan, dalam keadaan mengerikan seperti ini?” “Saya sedang m enunggu m ajikan saya, Tuan Vanderdendur, pedagang terkenal,” jawab si Negro. “Apakah Tuan Vanderdendur itu yang m em buat kau jadi begini?” tanya Candide. “Ya, Tuan,” kata orang Negro itu, “sesuai dengan kebiasaan. Kam i diberi celana pendek dari kain kasar dua kali setahun. Inilah satu-satunya pakaian kam i. Kalau kam i sedang bekerja di pabrik gula, dan jari kami masuk ke mesin, tangan kami harus dipotong. Kalau kam i berusaha m elarikan diri, kaki kam i dipotong. Nah, saya m engalam i kedua bencana itu. Berkat pengorbanan seperti inilah Tuan semua dapat menikmati gula di Eropa. Padahal, tatkala ibu saya m enjualku seharga sepuluh patagon di pantai Guinea, dia m engatakan kepada saya, ‘Anakku sayang, berbaktilah kepada

CANDIDE 87 para pastor yang m enjadi m ajikan-m ajikanm u itu, cintailah m ereka, berkat m ereka kau akan hidup bahagia. Kau beruntung m enjadi budak m ajikan-rm yikan berkulit putih. Dengan cara itu kau telah m em beri uang kepada ayah dan ibum u.’ Yah! Saya tidak tahu apakah m em ang saya telah m enghasilkan uang bagi m ereka, yang pasti m ereka tidak m em buat saya bahagia. Anjing, m onyet, dan burung- burung beo seribu kali lebih bahagia daripada kami. Pada setiap hari Minggu para pastor, yang telah m em asukkan kam i ke dalam agam a Kristen, selalu m engatakan kepada saya bahwa kita sem ua anak cucu Adam , baik putih m aupun hitam . Saya tidak pernah m em pelajari garis keturunan, nam un kalau para pem bawa khotbah itu dapat dipercaya, kita ini sem ua sau- dara sepupu. Nah, padahal pasti Tuan pun sependapat dengan saya, bahwa cara m em perlakukan saudara sepupu seperti ini adalah keterlaluan.”34 “Aduh, Pangloss!” seru Candide. “Tuan tak pernah m em per- kirakan kenyataan yang keji ini. Apa boleh buat, lam a-lam a ter- paksa saya m eninggalkan prinsip optim ism e itu.” “Apa sih optim ism e itu?” tanya Cacam bo. “Yah,” jawab Candide, “optim ism e adalah kegilaan untuk m em pertahankan pendapat bahwa segalanya berjalan baik, padahal kenyataan adalah kebalikannya.” Air m atanya berderai ketika ia melihat orang Negro itu. Dia memasuki Suriname sambil m en a n gis. Hal pertam a yang m ereka lakukan adalah m enanyakan apa- kah di pelabuhan itu ada kapal yang akan berlayar ke Buenos Aires. Yang m ereka tanyai kebetulan seorang juragan kapal Spanyol, yang bersedia m enawarkan jasa baiknya secara jujur. Dia m enawarkan pertem uan di sebuah kabaret. Candide dan Cacam bo pergi ke sana untuk m enunggunya. 34 Bagian ini mengingatkan tulisan Montesquieu yang terkenal karena menentang perbudakan (Esprit des lois).

88 Voltaire Candide, yang tidak dapat m enahan diri, m enceritakan ke- pada orang Spanyol itu sem ua petualangannya. Diakuinya bahwa dia ingin m erebut kem bali Nona Cunegonde. “Wah, saya tidak akan berani lewat Buenos Aires,” kata orang itu, “saya akan celaka dan Tuan juga. Cunegonde yang cantik adalah kekasih Monseigneur yang paling disayangi.” Pernyataan itu bagaikan petir yan g m en yam bar bagi Can dide. Lam a dia m en an gis. Akhirnya ditariknya Cacam bo agak m enjauh dari m eja. “Dengar, sahabatku,” katanya, “ini tugas yang harus kau lakukan. Di saku m asing-m asing kita m em iliki lim a sam pai enam juta berlian. Kau lebih lincah daripada aku. Pergilah jem put Nona Cunegonde di Buenos Aires. J ika gubernur itu m enghalang-halangi, berilah dia satu juta, kalau m asih belum m au m enyerahkan, beri dua juta. Kau kan tidak m em bunuh Pendeta Agung, jadi kau tidak akan dicurigai. Aku akan m engam bil kapal lain, kutunggu kau di Venesia. Kota itu ada di negara bebas. Di situ kita tidak perlu takut baik terhadap orang-orang Bulgaria, m aupun orang- orang Abar, ataupun terhadap orang Yahudi dan pastor-pastor.” Cacam bo m endukung keputusan yang bijaksana itu. Dia sendiri sangat sedih harus berpisah dengan m ajikan baik yang telah m en- jadi sahabatnya itu. Nam un kegem biraan dapat berbuat sesuatu untuknya m elebihi kesedihan karena harus berpisah. Mereka berpelukan sam bil berderai air m ata. Candide berpesan agar Cacam bo tidak m elupakan si Nenek yang baik. Pelayannya itu berangkat pada hari itu juga. Mem ang Cacam bo itu orang yang baik sekali. Candide m asih tinggal di Surinam e selam a beberapa hari lagi. Dia m asih m encari pem ilik kapal lain, yang bersedia m em - bawanya ke Italia, bersam a kedua kam bing yang m asih tinggal. Dia m engangkat pelayan-pelayan baru, dan m em beli segala yang diperlukan untuk perjalanan panjang itu. Akhirnya Vanderdendur,

CANDIDE 89 pem ilik kapal besar itu, datang m enem uinya. “Berapa Tuan harus dibayar,” tanya Candide kepada orang itu, “untuk m em ba- wa langsung ke Venesia, saya, anak buahku, bagasi, dan kedua kambing itu?” Pemilik kapal itu sepakat untuk harga sepuluh ribu piastre. Candide tidak ragu-ragu. Eh, eh, pikir Vanderdendur dalam hati, orang asing itu m au m em berikan sepuluh ribu piastre begitu saja! Tentu ia kay a sekali! Lalu ia kem bali m enem ui Candide. Ditandaskannya bahwa dia tak m ungkin berlayar, kalau biayanya kurang dari dua puluh ribu. “Yah, sudahlah! Tuan akan m endapatkannya,” kata Candide. W ah! W ah! kata pemilik kapal itu dalam hati, orang ini m em berikan dua puluh ribu sam a m udahny a dengan sepuluh ribu. Maka dia m engham piri Candide lagi dan berkata bahwa tak m ungkin dia m engantarnya ke Venesia, kalau biayanya kurang dari tiga puluh ribu piastres. “Tuan akan dibayar tiga puluh ribu,” jawab Candide. Aduh! Tiga puluh ribu piastres tam pakny a tidak berarti apa- apa bagi orang ini. Pastilah kedua kam bing itu m em baw a harta benda tak ternilai. Untuk sem entara tak perlu m em aksakan dulu. Biarlah dia m em bay arku dulu tiga puluh ribu, urusan lain m eny usul. Candide m enjual dua berlian kecil. Yang paling kecil bernilai lebih dari jum lah uang yang dim inta pem ilik kapal. Ia m em bayar di m uka. Kedua ekor kam bing itu dinaikkan ke kapal. Dengan perahu kecil Candide m enyusul kapal yang berlabuh di tengah laut. Pemilik kapal tidak melewatkan kesempatan itu, segera layar dikem bangkannya dan m esin dijalankan. Angin m em bantunya pula. Maka dalam sekejap m ata kapal itu hilang dari pandangan Candide, yang terkejut dan kebingungan. “Aduh!” teriaknya. “Sungguh suatu penipuan gaya kuno.” Dia kem bali ke pantai, tenggelam dalam kesedihan, karena bagaimanapun dia

90 Voltaire telah kehilangan kekayaan yang jum lahnya sam a dengan yang dimiliki dua puluh kepala negara. Dia bergegas ke rum ah hakim Belanda. Karena dia sedang m arah, diketuknya pintu dengan cara yang kasar. Dia m asuk, lalu m enceritakan kem alangannya, seraya berteriak lebih keras dari seharusnya. Pertam a-tam a hakim itu m enyuruhnya m em bayar sepuluh ribu piastre untuk kebisingan yang ditim bulkannya. Kem udian dia m endengarkan Candide dengan sabar, serta ber- janji akan mengurus perkara itu, begitu si pemilik kapal kembali dari perjalanan. Dia m inta lagi bayaran untuk biaya konsultasi sejumlah sepuluh ribu piastre. Pengalam an terakhir itu benar-benar m em buat Can dide putus asa. Tak jarang dalam hidupnya dia telah m engalam i m alapetaka yang seratus kali lebih m enyedihkan. Nam un kete- nangan sang hakim , dan juga pem ilik kapal yang m encuri kam - bingnya, betul-betul m em buat am arahnya m enggelegak, serta m enjerum uskannya dalam kem urungan yang sangat pahit. Keja- hatan m anusia tergam bar di kepalanya dalam kenyataan yang paling buruk. Yang terpikirkan olehnya hanyalah kejadian-keja- dian m enyedihkan saja. Akhirnya dia m enem ukan kapal Prancis yang tengah bersiap-siap untuk berlayar ke Bordeaux. Karena dia tidak m em punyai lagi kam bing pem bawa berlian untuk ditum - pangkan di kapal, disewanya sebuah kam ar saja dengan harga yang wajar. Dia telah m em inta pula seseorang untuk m engu- m um kan di kota itu bahwa dia bersedia m em bayar ongkos per- jalanan, biaya m akan, dan uang saku dua puluh ribu piastre kepada seorang laki-laki baik-baik yang m au m enem aninya dalam perjalanan, dengan syarat bahwa orang itu haruslah paling jengkel kepada nasibnya sendiri, serta m erasa m enjadi m anusia yang paling tidak bahagia di provinsi itu.

CANDIDE 91 Ternyata yang m uncul m elam ar jum lahnya banyak sekali, seperti untuk m em bentuk satu tim awak kapal. Karena Candide ingin m em ilih m ereka yang nyata berada dalam kondisi tersebut, dipilihnya dua puluh orang yang tam pak bisa diajak bicara. Sem uanya beranggapan bahwa keadaan m ereka patut m endapat perhatian. Candide m engum pulkan m ereka di sebuah restoran, dan m enyuguhi m ereka m akan, dengan syarat bahwa m ereka m au bersum pah akan m enceritakan secara jujur riwayat m asing- m asing. Dia berjanji akan m em ilih seorang yang nasibnya paling patut dikasihani. Orangnya sendiri pun harus paling tidak puas dengan nasibnya sendiri. Untuk yang lain-lain dia akan memberikan hadiah. Pertemuan itu berlangsung sampai pukul empat pagi. Sambil m endengarkan pengalam an orang-orang itu, Candide teringat apa yang dikatakan si Nenek dalam perjalanan ke Buenos Aires, serta taruhan yang dilontarkannya, karena dia yakin bahwa tidak ada seorang pun di atas kapal yang belum pernah m engalam i kem alangan besar. Setiap m endengar kisah yang disam paikan kepadanya ia teringat kepada Pangloss. “Wah, Tuan Pan gloss akan kebin gun gan kalau disuruh m enerapkan pola berpikirnya,” katanya. “Ingin aku rasanya dia ada di sini. Seandainya segala sesuatu berjalan baik, pasti di Eldorado-lah tem patnya, dan bukan di tem pat-tem pat lain di m uka bum i ini.” Akhirnya dia m enjatuhkan pilihan pada seorang ilm uwan m alang yang pernah bekerja selam a sepuluh tahun di perpustakaan- perpustakaan Am sterdam . Dia berpendapat bahwa tidak ada pekerjaan lain di dunia ini yang lebih m em bosankan dari itu. Ilm uwan itu, pada dasarnya adalah seorang lelaki yang baik, pernah dicuri kekayaannya oleh istrinya, dipukul oleh anak- nya, dan ditinggalkan oleh anak gadisnya yang m elarikan diri

92 Voltaire dengan seorang Portugis. Dia baru saja kehilangan nafkah kecil yang m enghidupinya. Tam bahan lagi para penegak hukum dari Surinam e m engejar-ngejarnya karena dia dituduh m enganut jansenism e.35 Mem ang patut diakui bahwa yang lain pun boleh dikatakan sam a m alangnya dengannya, nam un Candide berharap bahwa selam a perjalanan ilm uwan itu akan m erintang waktunya. Peserta-peserta yang lain berpendapat bahwa keputusan Candide sangat tidak adil, namun dia menghibur mereka dengan memberi seratus piastre kepada masing-masing. 35 Pengikut Socin, ahli teologi Italia (1525-1562), aliran rasionalis.

20 APA YANG TERJADI DI TENGAH LAUT ATAS DIRI CANDIDE DAN MARTIN MAKA ILMUWAN tua itu, yang bernam a Martin, naik ke kapal yang m enuju Bordeaux bersam a Candide. Kedua-duanya telah banyak m elihat dan m enderita, dan seandainya kapal itu berlayar dari Suriname ke J epang melalui Tanjung Harapan, mungkin m ereka akan m em punyai cukup bahan pem bicaraan tentang masalah keburukan lahir dan batin, untuk didiskusikan sepanjang pelayaran itu. Nam un Candide m em punyai kelebihan jika dibandingkan dengan Martin, yaitu bahwa dia m asih m em punyai harapan dapat berjum pa kem bali dengan Nona Cunegonde, sedangkan Martin sudah tidak berharap apa-apa lagi dalam hidupnya. Tam bahan lagi Candide m em punyai em as dan berlian. Dan walaupun dia

94 Voltaire telah kehilangan seratus kam bing m erah gem uk yang dim uati kekayaan paling besar di seluruh m uka bum i ini, m eskipun dia m em endam dendam kesum at atas penipuan yang dilakukan pem ilik kapal Belanda, dia selalu cenderung m em ilih cara berpikir Pangloss, kalau dia teringat pada berlian yang m asih tersisa di saku bajunya, serta kalau sedang berbicara tentang Cunegonde, terutama pada waktu selesai makan. “Tetapi, Pak Martin,” tanyanya kepada ilm uwan itu, “apa pendapat Tuan tentang hal itu? Apa pandangan Tuan tentang ke- burukan lahir dan batin?” J awab Martin, “Para pastor m enuduh saya m enganut jansenism e, nam un sesungguhnya saya m enganut m a n ich eism e.” “Ah, Tuan berolok-olok,” sahut Candide, “di dunia ini tak ada lagi m anicheism e.”36 “Saya kan masih ada,” kata Martin, “saya tak tahu apa yang mesti saya lakukan, namun tak mungkin saya berpikir secara lain.” “Wah, Tuan m un gkin kerasukan setan n ya,” sam bun g Ca n d id e. “Mem ang setan sangat erat hubungannya dengan segala urusan di dunia ini,” kata Martin, “dia m em ang bisa bercokol dalam tubuhku atau di tem pat-tem pat lain. Terus-terang saya akui bahwa dengan m elayangkan pandang di atas bola dunia, atau lebih tepat di atas ‘kelereng’ ini, saya sering m endapat kesan bahwa Tuhan telah sengaja m em biarkannya jatuh ke tangan para penjahat. Tentu saja Eldorado adalah suatu perkecualian. Hampir tidak pernah saya m elihat kota yang tidak m engharapkan agar kota tetangganya rusak, tak ada keluarga yang tidak tergoda ingin m em binasakan keluarga lain. Di m ana-m ana rakyat kecil m em - benci penguasa, nam un sam bil tetap m enyem bah-nyem bah di ha- dapan mereka, sedangkan para penguasa memperlakukan mereka 36 Manes, ahli ilsafat Persia (abad ke-3 SM) mengatakan bahwa di dunia ini selalu ada pertentangan antara kebaikan dan keburukan.

CANDIDE 95 seperti ternak yang bulu dan dagingnya dapat dijual. Sejuta pem - bunuh yang m enggerom bol dalam resim en-resim en, berlari dari ujung yang satu ke ujung Eropa yang lain, untuk m elaksanakan pembunuhan dan penggarongan dengan disiplin ketat, karena harus m encari nafkah, berhubung tidak ada pekerjaan lain yang lebih halal. Di kota-kota besar pun, yang tam paknya am an dan dam ai dengan kesenian yang berkem bang, rasa iri, keserakahan, serta kekhawatiran, m enggerogoti penduduknya lebih dari wabah yang m enggerogoti kota yang terkepung dalam peperangan. Kepedihan yang tersem bunyi lebih kejam dari bencana yang nyata kelihatan. Pendeknya, saya telah terlalu banyak m engalam i dan m elihat, sehingga saya m enjadi penganut m anicheism e.” “Tapi kan yang baik juga ada,” sanggah Candide. “Mungkin saja,” sam bung Martin, “nam un saya tidak pernah m enem ukannya.” Di tengah-tengah perdebatan itu terdengar bunyi m eriam . Bunyi itu bertam bah keras dari saat ke saat. Mereka m engam bil teropong m asing-m asing. Tam pak dua buah kapal yang sedang bertem pur pada jarak sekitar tiga m il. Angin m endorong kedua kapal itu sampai sangat dekat dengan kapal Prancis itu. Maka para penum pang pun m endapat tontonan yang m enyenangkan, karena pertem puran itu dapat dilihat dengan jelas. Akhirnya salah satu kapal m enem bakkan pelurunya ke kapal yang satu lagi dengan bidikan begitu rendah dan sedemikian jitu, sehingga lawannya itu langsung karam . Candide dan Martin m elihat dengan jelas ratusan orang di atas geladak kapal yang tenggelam . Mereka semua mengangkat tangan ke atas, dan mengeluarkan teriakan yang m engerikan. Dalam sekejap m ata sem uanya lenyap ditelan gelombang. “Tuh, lihatlah,” ujar Martin, “begitu cara m anusia saling m em p er la ku ka n .”

96 Voltaire “Mem ang betul,” kata Candide, “m esti ada cam pur tangan setan dalam peristiwa ini.” Sambil berkata begitu dia melihat entah apa yang berwarna m erah m enyala, berenang dekat kapalnya. Maka diturunkanlah sebuah sampan untuk melihat benda apa itu. Ternyata salah seekor kam bingnya. Kegem biraan Candide m enem ukan kam bing yang seekor itu lebih besar daripada kesedihan waktu kehilangan seratus ekor yang dim uati berlian besar dari Eldorado. Kapten Prancis itu segera m engetahui bahwa kapten kapal yang selam at berkebangsaan Spanyol, sedangkan yang tenggelam adalah bajak laut Belanda, yakni yang telah m encuri kekayaan Candide. Harta kekayaan ram pasan yang jum lahnya luar biasa itu terkubur bersam anya di dalam laut, hanyalah seekor kam bing yang selam at.” “Nah, lihatlah,” kata Candide kepada Martin, “kejahatan m endapat hukum an yang setim pal juga kadang-kadang, bajingan pem ilik kapal itu telah m enerim a nasib yang sepantasnya dia d a p a t ka n .” “Betul,” sahut Martin, “nam un haruskah penum pang lain yang berada di atas kapalnya ikut m ati juga? Tuhan telah menghukum si jahat; setan telah menenggelamkan penumpang- penum pang lainnya.” Sem entara itu kapal Prancis dan Spanyol itu m eneruskan pelayaran n ya. Can dide m elan jutkan percakapan n ya den gan Martin. Mereka berdiskusi selama lima belas hari terus-menerus, nam un hasilnya tetap seperti pada hari pertam a.37 Pokoknya mereka terus berbicara, bertukar pikiran, saling menghibur. Candide m engelus- elus kam bingnya. “Karena kau bisa kutem ukan lagi,” ujarnya, “tentu aku bisa juga bertem u lagi dengan Nona Cu n egon d e.” 37 Dengan demikian, semua diskusi ilsafat idak ada gunanya.

21 CANDIDE DAN MARTIN MENDEKATI PANTAI PRANCIS DAN BERDISKUSI AKHIRNYA TAMPAKLAH pantai Prancis. “Apakah Tuan pernah pergi ke Prancis, Pak Martin?” “Ya, saya telah m engunjungi beberapa provinsi. Di beberapa tem pat setengah penduduknya gila, di tem pat- tem pat lain m ereka sangat licik, di daerah lain ada m em ang yang lem but nam un agak tolol, sedangkan di beberapa provinsi lain banyak yang sok tahu. Yang pasti di sem ua provinsi itu yang m enjadi kegiatan penting pertama-tama adalah cinta, kedua pergunjingan, dan ketiga m em bicarakan yang tidak-tidak.” “Sudahkah Tuan m elihat Paris?” “Ya, saya pernah m elihatnya, kota itu pun seperti yang tadi saya sebutkan: kota yang kacau, kerum unan m anusia tem pat

98 Voltaire setiap orang mencari kesenangan masing-masing, namun tak seorang pun m enem ukannya, paling tidak m enurut pengam atan saya. Tidak lam a saya tinggal di situ. Pada waktu saya baru da- tang, di Pasar Malam Saint-Germ ain sem ua m ilik saya dicopet oleh bajingan-bajingan. Konyolnya lagi saya sendiri dituduh m encopet, dan dipenjarakan selam a delapan hari. Setelah itu saya bekerja sebagai tukang koreksi di sebuah percetakan, sekadar untuk m endapatkan ongkos pulang dengan jalan kaki ke Belanda. J adi saya sem pat berkenalan dengan bajingan-bajingan dalam bidang tulis-m enulis, atau yang kerjanya ribut-ribut, m aupun yang suka kejang-kejang seperti kesurupan. Kata orang, di kota itu sebenarnya ada juga orang-orang yang tahu sopan santun, yah, saya sih percaya saja.” “Saya sendiri sebenarnya tidak m em punyai keinginan untuk m elihat Prancis,” ujar Candide. “Tuan tentu m aklum , karena saya pernah m elihat Eldorado, saya tak peduli lagi dengan hal-hal lain di m uka bum i ini, kecuali Nona Cunegonde. Saya akan m e- nunggunya di Venesia. Kita akan m elewati Prancis untuk pergi ke Italia. Apakah Tuan m au m enem ani saya?” “Dengan senang hati,” sahut Martin. “Kata orang, Venesia hanya m enyenangkan bagi penduduk Venesia, nam un m ereka m enyam but baik pengunjung-pengunjung asing, kalau m ereka m em punyai banyak uang. Saya tak m em punyai banyak uang, tetapi Tuan m em ilikinya, m aka saya akan m engikuti Tuan ke m an a-m an a.” “Ngom ong-n gom on g,” ujar Can dide, “apakah Tuan juga sependapat bahwa bagian bum i ini asalnya laut, seperti yang diuraikan dalam buku besar milik kapten kapal ini?” “Saya tidak percaya pada apa-apa,” sahut Martin, “terutam a pada khayalan-khayalan yang dijejalkan orang ke kepala kita pada akhir-akhir ini.” “Untuk apa dunia ini diciptakan?” tanya Candide.

CANDIDE 99 “Untuk m enjengkelkan kita,” jawab Martin. “Apakah Tuan tidak heran m elihat percintaan antara dua orang gadis dengan dua ekor kera di daerah Oreillon, dalam pengalam an yang pernah saya ceritakan?” “Sam a sekali tidak,” kata Martin, “saya tidak m elihat hal yang aneh dalam percintaan tersebut. Saya telah m elihat begitu banyak hal luar biasa, sehingga kini tak ada yang luar biasa lagi bagi saya.” “Apakah m enurut pendapat Tuan m anusia selalu bunuh- m em bunuh, seperti yang telah kita lihat tadi, dan apakah m ereka m em ang selam anya pendusta, jahat, keji, tak tahu terim a kasih, bajingan, lemah, gampang berubah pikiran, pengecut, iri hati, serakah, pemabuk, kikir, ambisius, pemarah, tukang itnah, royal, fanatik, hipokrit, dan tolol?” “Apakah m enurut Tuan burung elang selalu m em angsa m erpati, bila m ereka m enem ukan korbannya itu?” “Saya rasa begitu,” jawab Candide. “Nah, jika dem ikian,” sam bung Martin, “m engapa Tuan mengira bahwa manusia dapat berubah watak?” “Ah, m estinya ada perbedaan,” Candide m elanjutkan, “karena m enurut teori kehendak m anusia yang bebas....” Sem entara berdiskusi begitu, m ereka sam pai di Bordeaux.

22 APA YANG TERJADI ATAS DIRI CANDIDE DAN MARTIN DI PRANCIS CANDIDE BERH ENTI di Bordeaux h an ya un tuk m en jual beberapa buah batu-batuan Eldorado saja, dan untuk mencari kereta yang baik dengan dua tem pat duduk. Soalnya dia tidak dapat berpisah lagi dengan ahli ilsafat Martin itu. Hanya saja dia sangat sedih karena harus berpisah dengan kam bingnya, yang diserahkannya kepada Akadem i Sains. Untuk lom ba karya ilm iah tahun itu lembaga tersebut mengusulkan tema karangan tentang m engapa wol kam bing itu m erah warnanya. Dan hadiahnya diberikan kepada seorang ilm uwan dari wilayah utara, yang membuktikan, bahwa dengan a tambah b dikurangi c dibagi

CANDIDE 101 dengan z, kam bing itu m au tidak m au harus berwol m erah, dan mati gara-gara wabah cacar.38 Sem ua orang yang bertem u dengan Candide di rum ah-rum ah m akan berkata, “Kam i akan pergi ke Paris.” Akhirnya karena sem ua orang kelihatannya bersem angat m au m engunjungi kota itu, Candide pun tertarik ingin m elihat ibu kota Prancis tersebut. Toh jalannya tidak m enyim pang terlalu jauh dari yang m enuju ke Venesia. Candide m asuk kota itu m elalui wilayah Saint-Marceau. Dia merasa berada di desa terjelek di Westphalen. Baru saja Candide m asuk losm en, dia diserang penyakit ringan yang disebabkan oleh rasa lelah. Karena di jarinya ada berlian besar, dan berhubung dalam bagasinya terlihat satu peti yang beratnya bukan m ain, dia langsung didam pingi dua orang dokter yang tidak dipanggilnya, dan dua orang sahabat yang terus-m enerus m enguntitnya, serta dua orang wanita yang m enyiapkan kaldu panas untuknya. Martin berkata, “Saya teringat dulu waktu jatuh sakit di Paris, pada perjalanan saya yang pertam a. Saya sangat m iskin. J adi saya tidak m em punyai saha- bat, m aupun pendam ping, ataupun dokter. Dan saya sem buh.” Sementara itu, karena terus-menerus diurus dokter dan m engalam i pendarahan, penyakit Candide m enjadi gawat. Se- orang pastor wilayah itu datang m enem uinya dengan penuh pe- ngertian dan m em inta ongkos untuk biaya perpindahan tem pat ke alam baka. Candide tidak m em edulikannya. Para wanita yang m endam pinginya m enjelaskan bahwa itu m ode baru. Candide menjawab bahwa dia tidak pernah mengikuti mode. Martin ingin m em banting petugas itu m elalui jendela. Pastor itu m enyum pah- nyum pah bahwa dia tidak akan sudi m enguburkan Candide. Martin m enyum pah-nyum pah bahwa dia m au m enguburkan 38 Voltaire mengriik akademi sains yang ada di daerah karena menurut penilaiannya lembaga itu sering mempersoalkan masalah-masalah yang “aneh”.

102 Voltaire pendeta itu, jika terus-menerus mengganggu. Pertengkaran ber- tambah panas. Martin mencengkram bahu orang itu dan mengu- sirnya dengan kasar. Peristiwa itu m enim bulkan skandal besar dan dicatat dengan proses verbal. Candide sem buh, dan sem entara m enunggu kesehatannya pulih kem bali, dia selalu dikelilingi orang yang turut m akan m alam bersam a. Mereka berm ain kartu. Candide sangat heran, karena kartu as tidak pernah berada di tangannya. Nam un Martin tidak heran. Di antara m ereka yang m enyam butnya di kota itu, ada seorang pastor dari daerah Perigord, yang term asuk jenis m anusia yang selalu sibuk, cekatan, siap m elayani, keras hati, lem but, dapat m enyesuaikan diri, yang selalu m engintip kedatangan tam u asing, m enyam but m ereka dengan gosip-gosip yang sedang melanda kota itu, dan menawarkan hiburan dari berbagai tingkatan harga. Pertam a-tam a orang itu m engajak Candide dan Martin ke Com edie Française. Di situ sedang dim ainkan suatu dram a baru. Candide duduk dekat beberapa orang yang tam pak terpelajar. Namun dia tidak merasa terhalang untuk menangis, tatkala m elihat adegan-adegan yang dim ainkan dengan sem pur- na. Pada waktu istirahat salah seorang cendekiawan yang du- duk di sam pingnya itu berkata kepadanya, “Seyogyanya Tuan tadi tidak m enangis. Aktris itu m ainnya jelek sekali. Yang aktor m alah lebih jelek lagi. Sedangkan sandiwaranya sendiri lebih jelek daripada para pem ainnya. Pengarangnya tidak bisa ber- bahasa Arab, sedangkan adegannya berlangsung di Arab, tam - bahan lagi orang-orang itu tidak m em percayai gagasan-gagasan yang dibawa sejak lahir: besok akan saya bawakan bagi Tuan dua puluh lem bar brosur yan g m en gritikn ya.”39 “Tuan , ada berapa karya san diwara di Pran cis?” tan ya Candide kepada pastor yang m engantarnya. 39 Voltaire menyindir “musuh-musuh”-nya, yang selalu gencar mengriik karya-karya serta dirinya pribadi.

CANDIDE 103 Orang itu m enjawab, “Lim a atau enam ribu.” “Wah, banyak ya,” kom entar Candide, “berapa banyak yang baik?” “Lim a atau enam belas,” sahut pengantarnya. “Wah, banyak,” sam bung Martin. Candide sangat senang m enonton perm ainan seorang aktris yang m em egang peranan Ratu Elizabeth, dalam suatu dram a yang agak datar, yang sekali-sekali dim ainkan orang. “Aktris itu sangat saya sukai,” katanya kepada Martin, “da m irip Nona Cun egon de. Saya in gin m en yalam in ya.” Pastor Perigord itu m enawarkan diri untuk m engantarnya ke rum ah wanita itu. Candide yang dibesarkan di J erm an, m enanyakan tata cara m enem uinya dan bagaim ana orang m em perlakukan Ratu Inggris di Prancis.40 “H arus dibedakan,” jawab pastor itu, “di daerah dia akan diundang ke restoran, di Paris dia dihormati selagi cantik, dan dibuang ke tem pat sam pah kalau sudah m eninggal.”41 “Wah, Ratu dibuang ke tem pat sam pah?” kata Candide. “Ya, m em ang betul,” sam bung Martin, “Bapak Pastor benar. Dulu saya sedang berada di Paris, ketika Nona Monim e pulang ke alam baka. Dia tidak diperkenankan m em peroleh apa yang disebut orang di sini upacara pem akam an, yakni m em busuk bersam a oknum -oknum yang tinggal di wilayah ini, dalam kuburan yang jelek. Dia dim akam kan sendirian di sudut jalan Bourgogn e. Alm arhum ah ten tu san gat berdukacita, karen a sesungguhnya hatinya sangat lem but.” “Itu benar-benar kurang ajar nam anya,” kata Candide. “Tuan m au bilang apa,” ujar Martin, “orang-orang di sini m em ang begitu. Lihat saja segala pertentangan, dan segala hal 40 Candide yang naif memandang aktris itu dalam peranannya di panggung. 41 Pada waktu itu para pemain sandiwara dikucilkan dari gereja. Pada waktu meninggal mereka idak berhak dimakamkan dengan upacara agama serta dimakamkan di pekuburan umum. Perlakuan semacam ini dialami oleh Adrienne Lecouvreur, aktris terkenal dan sahabat baik Voltaire.

104 Voltaire yang bertolak belakang, Tuan akan m elihatnya di pem erintahan, di pengadilan, dalam gereja-gereja, dalam pertunjukan-pertunjukan yang ada di negara yang brengsek ini.” “Benarkah bahwa di Paris orang selalu tertawa?” “Ya,” sahut pastor itu, “nam un sam bil m endongkol. Di kota itu orang mengeluh tentang segala hal sambil tertawa terbahak-bahak, bahkan sambil tertawa jugalah orang melakukan perbuatan yang paling keji.” “Siapa m anusia angker yang m engkritik habis-habisan dram a yang tadi m em buat saya m enangis,” tanya Candide, “term asuk para aktor yang perm ainannya sangat m enyenangkan hati saya?” “Ah, m em ang sakit dia,” jawab pastor. “Dia m encari nafkah dengan jalan mengkritik semua naskah drama dan semua buku. Dia m em benci sem ua orang yang m endapat sukses, seperti para kasim m em benci orang yang dapat m em peroleh kenikm atan badani. Dia adalah salah seorang ular di dunia sastra kam i, yang kerjanya m akan lum pur dan racun. Sungguh seorang folliculaire.” “Apa yang Tuan m aksud dengan folliculaire?” “Itu, tuh,” sahut pastor itu, “orang yang m enulis asal bunyi saja, seorang Freron.”42 Dem ikianlah Candide, Martin, dan Pastor Perigord berdiskusi di tangga gedung sandiwara itu, sambil memperhatikan orang keluar dari ruangan untuk pulang. “Walaupun saya sangat ingin bertem u lagi dengan Nona Cunegonde,” kata Candide, “saya ingin m enyem patkan diri dulu untuk m akan m alam bersam a Nona Clairon, karena saya kagum kepada aktris itu.” Pastor itu tentu saja bukan orang yang biasa berkunjung ke rum ah Nona Clairon, yang tam u-tam unya terutam a orang- orang terkem uka. “Malam ini dia sibuk,” ujarnya, “nam un saya mendapat kehormatan untuk mem perkenalkan Tuan dengan 42 Élie Catherine Fréron (1719-1776), kriikus sastra, pendiri L’année litéraire tahun 1754.

CANDIDE 105 seorang wanita berpengalam an. Bersam anya Tuan akan m erasa seolah-olah telah berada di Paris selama empat tahun.” Candide selalu penuh rasa ingin tahu. Dia m enurut diajak ke rum ah wanita itu, yang letaknya di wilayah Faubourg Saint- Honore. Penghuni rum ah bersam a tam u-tam unya sedang m ain kartu. Kedua belas pem ain m em egang kartu m ereka m asing- m asing, yang m enentukan nasib buruk m ereka. Suasana sunyi senyap. Dahi para pem ain pucat pasi, sedangkan pada wajah bandar tergam bar kegelisahan. Nyonya rum ah duduk dekat bandar yang bertam pang tidak m engenal belas kasihan itu. Dengan m ata elangnya wanita itu m engawasi jalannya perm ainan. Dia di- panggil orang Marquise de Parolignac. Putrinya, yang berum ur lim a belas tahun, ikut m ain kartu, dan m em beri isyarat dengan kedipan mata untuk memberitahukan kelicikan-kelicikan para pem ain, yang berusaha m em perbaiki nasib yang kejam . Pastor Perigord, Candide, dan Martin m asuk. Tak ada yang m enyam but, ataupun m em beri salam , bahkan tak ada yang m engacuhkan. Sem ua orang asyik berm ain kartu. “Istri Baron Thunder-ten- tronckh bisa dibilang lebih sopan,” kata Candide. Sementara itu Pastor mendekati telinga sang m arquise. Wanita itu bangkit sedikit dari duduknya, m elontarkan senyum m anis kepada Candide, dan kepada Martin anggukan kepala yang anggun. Lalu disuruhnya seseorang m em berikan tem pat duduk dan satu set kartu kepada Candide. Pem uda itu kalah lim a puluh ribu franc dalam dua putaran. Setelah itu hadirin makan malam dalam suasana ceria, dan sem ua orang heran m elihat Candide tidak risau gara-gara kekalahannya. Para pelayan berbisik-bisik di antara m ereka sendiri, dalam bahasa pelayan, “Kayaknya dia seorang m ilord Inggris.” Makan m alam itu seperti kebanyakan acara m akan di Paris. Mula-m ula sunyi senyap, lalu terdengar suara ocehan yang tidak jelas, kem udian senda gurauan yang kebanyakan m em bosankan,

106 Voltaire berita-berita burung, gagasan-gagasan yang keliru, sedikit persoalan politik, dan banyak gunjingan. Bahkan dibicarakan orang juga buku-buku yang baru terbit. “Apakah Tuan telah membaca roman yang ditulis Gauchat, doktor ilsafat?” tan ya Pastor Perigord. “Ya,” sahut salah seorang tam u, “nam un saya tak sam pai tam at m em bacanya. Banyak karya yang isinya kurang ajar, nam un biarpun dijadikan satu sem ua yang pernah terbit itu takkan bisa men andingi kekonyolan Gauchat, penulis yang doktor ilsafat itu. Saya begitu jenuh dengan sekian banyak buku m em bosankan yang m em banjiri kita, sehingga sekarang saya lebih suka m ain kartu saja”. “Apa pen dapat Nyon ya ten tan g kum pulan tulisan yan g diterbitkan rohaniwan Trublet?” kata pastor itu. “Aduh, sangat m em bosankan,” seru Marquise de Parolignac, “betapa dia m enguraikan hal-hal yang telah kita ketahui dengan cara sok tahu! Betapa rum itnya dia m endiskusikan m asalah sepele yang tidak patut m endapat perhatian sedikit pun! Alangkah tenangnya dia m em bajak secara bodoh gagasan orang lain! Betapa dia m engacaukan apa yang seolah-olah digalinya! Alangkah m enyebalkannya tulisan itu bagiku! Nam un dia takkan pernah m enjengkelkan saya lagi, sudah lebih dari cukup saya m em baca beberapa halam an dari bukunya itu!” Di meja makan itu ada seorang ilmuwan yang mempunyai selera baik, yang mendukung pendapat m arquise itu. Kemudian dibicarakan orang m asalah tragedi. Wanita itu m enanyakan mengapa kadangkala ada tragedi yang dapat dimainkan, namun tak bisa dibaca? Orang yang berselera tinggi itu menjelaskan dengan sangat baik bagaimana suatu naskah bisa menarik, namun tidak mempunyai nilai tinggi. Tanpa banyak kata dia membuktikan bahwa tidak cukup mengalihkan satu atau dua situasi yang terdapat dalam semua roman, dan yang selalu disenangi oleh para penonton.

CANDIDE 107 Isi tulisan haruslah selalu baru namun tidak ganjil, bernilai tinggi namun tetap wajar. Pengarang harus memahami perasaan manusia dan menyuruhnya berbicara. Untuk menjadi penulis besar tidak berarti harus melukiskan tokoh-tokoh yang penulis besar pula. Dia harus menguasai bahasanya dengan sempurna, memakainya dalam percakapan secara murmi, dengan menjaga keselarasan yang sinam bung, nam un hendaknya rim a yang digunakan tidak mengganggu makna. “Siapa pun,” tambahnya, “yang tidak memperhatikan aturan-aturan itu, bisa saja menulis satu atau dua tragedi, yang mendapat sambutan baik pada waktu dipertunjukkan, namun tidak akan pernah tercatat dalam golongan penulis besar. Hanya sedikit tragedi yang baik. Kebanyakan karya yang ada hanyalah kisah-kisah percintaan dalam dialog yang ditulis dan bersajak baik, atau isinya melulu gagasan-gagasan politik yang menjadikan penonton mengantuk, atau masalah-masalah yang dibesar-besarkan yang menimbulkan salah pengertian. Ada pula yang merupakan khayalan gila-gilaan, dengan gaya kampungan, atau uraian-uraian yang putus di tengah jalan, seruan-seruan yang dilontarkan kepada dewa-dewa karena pengarangnya tidak bisa berbicara dengan manusia, kata-kata mutiara yang keliru, atau masalah-masalah sepele yang digembungkan.” Candide m endengarkan uraian tersebut dengan penuh per- hatian, serta m enyim pulkan bahwa pem bicaranya hebat. Karena kebetulan duduk dekat Marquise, dia memberanikan diri me- nanyakan siapa laki-laki yang berbicara begitu m engasyikkan dengan berbisik di telinga wanita itu. “Dia ilm uwan,” sahut wanita itu, “dia tidak pernah m ain kartu. Sekali-sekali pastor m em bawanya kem ari untuk m akan m alam . Pengetahuannya ten- tang tragedi dan buku-buku baik sekali. Dia sendiri pernah me- nyusun sebuah tragedi yang disam but dengan suitan m engejek oleh penonton, serta sebuah buku yang tak pernah terlihat di luar toko buku, kecuali sebuah yang dihadiahkannya kepada saya.”

108 Voltaire “Wah, oran g hebat,” kom en tar Can dide, “dia seperti P a n gloss.” Lalu seraya m elihat kepadanya, Candide bertanya, “Tuan, mungkin Tuan pun berpendapat bahwa segala sesuatu berjalan sebaik mungkin di dunia isik, maupun moral, dan tak suatu pun di dunia ini yang dapat berjalan secara lain?” “Tidak dem ikian m enurut pendapat saya, Tuan,” ilm uwan itu m enjawab, “saya rasa segala sesuatu m alahan berjalan secara bertolak belakang di negeri kami ini, tak seorang pun mengetahui apa kedudukannya, apa tugasnya. Kecuali acara-acara m akan m alam yang tam pak selalu m enyenangkan dan m enam pilkan suatu kesatuan pikiran, waktu tersisa lainnya dilewatkan untuk pertengkaran-pertengkaran tolol: golongan penganut jansenisme melawan molinisme, anggota parlemen melawan anggota gereja, sastrawan kontra sastrawan, pejabat istana kontra pejabat istana, pejabat keuangan bertengkar dengan rakyat, istri berkelahi m e- lawan suami, orang tua dengan orang tua. Sungguh suatu perang yang tak ada habis-habisnya.” Candide m enangkisnya, “Saya telah m elihat yang lebih jelek dari itu. Nam un seorang guru yang bijaksana, yang karena nasib sial telah digantung, telah m engajarkan kepada saya bahwa ke- sem uanya itu berjalan dengan cara m engagum kan. Kejadian-ke- jadian buruk itu hanyalah sekadar bayangan hitam pada suatu lukisan yang indah.” “Yang dihukum gantung itu justru m engejek dunia ini,” sela Martin, “bayangan-bayangan hitam itu sesungguhnya noda-noda yang sangat buruk.” “Yang m em buat noda-noda itu kan m anusia juga,” sanggah Candide, “m ereka tidak bisa berbuat lain.” “Kalau begitu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan m ereka,” kata Martin.

CANDIDE 109 Kebanyakan pem ain kartu itu, yang tidak m em aham i m asalah yang dipersoalkan, asyik m inum -m inum . Martin berdiskusi den gan ilm uwan itu. Can dide m en gisahkan pen galam an n ya kepada nyonya rum ah. Setelah m akan m alam Marquise m engajak Candide ke ruang- an kerjanya dan m enyuruhnya duduk di atas dipan. “Nah,” kata- nya kepada pem uda itu, “jadi Tuan m asih tetap m encintai se- penuh hati Nona Cunegonde de Thunder-ten-tronckh itu?” “Ya, Nyonya,” jawab Candide. Marquise itu tersenyum lem but dan m elanjutkan, “Aduh, jawaban Tuan itu menunjukkan bahwa Tuan benar-benar orang Westphalen. Seorang pemuda Prancis mungkin akan menjawab: ‘Mem ang saya pernah m encintai Nona Cunegonde, nam un setelah bertem u dengan Nyonya, rasanya saya tidak m encintainya lagi.’” “Yah, Nyonya,” sahut Candide, “saya akan m enjawab sesuai dengan keinginan Nyonya sajalah!” “Cin ta Tuan kepadan ya,” sam bun g Marquise, “berm ula ketika Tuan m em ungut saputangannya. Nah, sekarang com otlah kaitan kaus kakiku.” “Dengan senang hati,” kata Candide, dan dia pun m encom ot kaitan kaus kaki tipis itu. “Tetapi saya ingin agar Tuan m em asangkannya kem bali pada kaki saya,” kata wanita itu. Dan Candide pun m em asangkannya. “Ah, Tuan betul-betul m asih asing di sini,” ujar wanita itu, “kadang-kadang saya m em biarkan para pem uja saya m erana se- lam a lim a belas hari, nam un saya m enyerahkan diri kepada Tuan sejak m alam pertam a, karena saya harus m enunjukkan penghor- m atan negara saya kepada seorang pem uda Westphalen.” Ketika wanita cantik itu melihat dua berlian besar di kedua tangan tamu asingnya itu, dia m em uji-m ujinya sedem ikian rupa, sehingga tak lam a kem udian berlian itu pindah dari tangan Candide ke jari- jemari Marquise.

110 Voltaire Ketika pulang bersama Pastor Perigord, Candide memendam penyesalan dalam hati, karena telah m elanggar kesetiaannya terhadap Nona Cunegonde. Pastor itu pun kecewa pula. Dia hanya m endapat bagian sedikit dari kekalahan Candide yang lim a ribu franc itu serta nilai kedua berlian yang telah dihadiahkan, nam un setengah diram pas itu. Padahal tujuannya adalah m engam bil keuntungan sebanyak-banyaknya yang dapat ditarik dari per- kenalannya dengan Candide itu. Dia banyak berbicara tentang Cun egon de. Malahan pem uda itu terus teran g m en gatakan bahwa kalau bertem u di Venesia nanti, dia akan m em inta m aaf kepada kekasihnya itu atas pelanggaran kesetiaan yang telah d ila ku ka n n ya . Pastor itu bertambah sopan dan penuh perhatian. Dia mem- perhatikan baik-baik sem ua yang dikatakan Candide, sem ua yang dikerjakan dan sem ua yang ingin dikerjakannya. “Oh, jadi, Tuan akan bertem u dengan kekasih Tuan itu di Ven esia ?” “Ya, Bapak Pastor,” jawab Candide, “apa pun yang terjadi, saya harus bertem u dengan Nona Cunegonde.” Lalu, karena rasa bahagia dapat m em bicarakan orang yang dicintainya, dia pun m engisahkan lagi, seperti kebiasaanya, sebagian dari pengalam a- nnya dengan wanita Westphalen itu. “Saya rasa,” ujar pastor itu, “tentunya Nona Cunegonde itu pintar dan suka m enulis surat-surat yang m anis.” “Saya tak pernah m enerim a surat,” jawab Candide, “soalnya, bayangkan saja, setelah diusir dari istana gara-gara m encintainya, saya tidak m enulis surat kepadanya, karena segera sesudahnya saya diberi tahu bahwa dia telah m eninggal. Kem udian saya bertem u lagi dengannya, tetapi tak lam a kem udian kehilangan kekasihku itu lagi. Saya telah m engirim surat ekspres sejauh dua ribu lim a ratus m il dari sini, yang jawabannya sedang saya tunggu- tunggu.”

CANDIDE 111 Pastor itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan tampak melamun. Tak lama kemudian dia meminta diri dari kedua orang asing itu, setelah memeluk mereka dengan mesra. Keesokan harinya, pada waktu bangun tidur, Candide m enerim a surat yang bunyinya sebagai berikut: Kekasihku tercinta, sudah delapan hari say a sakit di kota ini. Saya diberi tahu seseorang bahw a kau sedang berada di kota ini. Rasany a ingin say a terbang ke pelukanm u, seandainy a say a dapat bergerak. Saya pun tahu bahw a kau pergi ke Bordeaux, m aka say a tinggalkan Cacam bo y ang setia dan si Nenek di situ. Mereka segera akan m eny usul ke sini. Gubernur Buenos Aires telah m eram pas segala m ilik say a, kecuali cintam u. Datanglah segera. Pertem uan kita m ungkin akan m eny em buhkan say a atau m em buat say a m ati karena bahagia. Surat yang begitu m engharukan, dan sam a sekali tidak terduga kedatangannya, m elam bungkan Candide karena kegem biraan. Nam un penyakit kekasihnya itu m em buat hatinya sangat sedih. Dalam keadaan kalang kabut karena dua perasaan itu, dia meng- angkut em as dan berliannya dan pergi dengan diantar oleh Martin ke hotel tem pat Nona Cunegonde m enginapnya. Dengan gemetar oleh rasa haru, hati berdebar-debar, suara tersekat, dia bermaksud membuka tirai tempat tidur, agar kamar itu menjadi terang. “Awas, jangan buka tirai itu,” seorang pelayan m encegahnya, “cahaya sangat m enyakitkan nona itu!” Segera dia m enutupkannya kem bali. “Cunegonde sayang,” ujar Candide sam bil m enangis, “apa kabar? Kalau kau tidak bisa m elihat saya, paling tidak bicaralah”. “Dia tidak bisa berbicara,” kata pelayan itu. Lalu, dari balik tirai, dia m enarik sebuah tangan m ontok, yang lam a dibanjiri air

112 Voltaire m ata oleh Candide. Kem udian diisinya tangan itu dengan berlian, dan ditaruhnya sebuah kantung penuh em as dekat kursi. Dalam suasana penuh haru itu datanglah seorang petugas hukum diantar Pastor Perigord dan sepasukan serdadu. “Oh, jadi inilah orang asing yang m encurigakan itu?” Lalu dia segera m enyuruh kepada anak buahnya agar kedua orang itu ditangkap, dan diseret ke penjara. “Tidak dem ikian orang asing diperlakukan di Eldorado,” kata Ca n d id e. “Wah, saya m enjadi lebih m anicheis lagi,” ujar Martin. “Lho, Tuan,” kata Candide, “kam i akan dibawa ke m ana?” “Ke kurungan,” sahut si petugas hukum . Setelah tenang kem bali, Martin curiga bahwa wanita yang berpura-pura m enjadi Cunegonde itu orang jahat, dan pastor itu bajingan yang telah m enyalahgunakan secepatnya keluguan Candide. Petugas hukum itu pun m estinya penjahat juga yang dengan gampang pasti dapat disingkirkan. Berkat nasihatnya, Candide tidak bersedia m engikuti prose- dur pengadilan, terutama karena dia tetap tidak sabar ingin se- gera m enem ui Cunegonde yang sebenarnya. Dia m enawarkan kepada petugas hukum itu tiga butir berlian yang m asing-m asing bernilai tiga ribu pistole. “Wah, Tuan!” sam but petugas yang m e- m egang tongkat gading itu, “kejahatan apa pun yang m ungkin telah Tuan lakukan, Tuan pastilah orang yang paling terpandang di dunia ini. Tiga butir berlian! Dan masing-masing berharga tiga ribu pistolel Wah, Tuan! Saya sekarang m alahan bersedia m ati- matian membela Tuan, daripada membiarkan Tuan dibawa ke penjara. Mem ang orang-orang asing sem uanya ditangkapi, tetapi percayalah, akan saya bantu! Saya m em punyai saudara di Dieppe yang letaknya di Norm andia. Saya akan m engantar Tuan ke sana. Kalau Tuan dapat m em berinya sebuah berlian juga, dia akan m engurus Tuan seperti saya sendiri.” “Mengapa orang-orang asing ditangkapi?” tanya Candide.

CANDIDE 113 Pastor Perigord itu mengambil kesempatan berbicara, “Karena ada oknum yang berasal dari Artois yang telah m endengar hasutan, sehingga dia melakukan pembunuhan, bukan seperti yang terjadi pada tahun 1610 di bulan Mei, nam un seperti pada tahun 1594 di bulan Desem ber, dan seperti yang dilakukan pada tahun-tahun berikutnya serta bulan-bulan berikutnya oleh oknum -oknum yang telah m endengar hasutan-hasutan.”43 Maka petugas hukum itu menjelaskan latar belakang perintah itu. “Wah, alangkah jahatnya!” seru Candide. “Bagaim ana bisa terjadi! Kejadian-kejadian begitu keji di lingkungan orang-orang yang pandai m enyanyi dan m enari! Apakah aku tidak bisa keluar secepatnya dari negeri ini, tem pat m onyet-m onyet bertengkar dengan harim au-harim au? Di negaraku aku hanya m elihat beruang- beruang, hanya Eldorado rupanya tem pat m anusia yang sesungguhnya hidup. Dem i Tuhan, Bapak Petugas Hukum , bawalah saya ke Venesia tem pat saya akan m enunggu kedatangan Nona Cunegonde.” “Saya hanya sanggup m engantar Tuan sam pai ke wilayah Normandia,” sahut orang itu. Dia segera membuka borgol-bor- golnya, seraya m engatakan bahwa dia keliru. Anak buahnya pun disuruh pulang. Lalu dia m engantar Candide dan Martin ke Dieppe, serta m enyerahkan m ereka di bawah lindungan adiknya. Di pelabuhan ada sebuah kapal kecil m ilik orang Belanda. Berkat tiga butir berlian lagi orang Normandia itu memberikan bantuan dengan sepenuh hati. Dia m enaikkan Candide dan pengiringnya ke atas kapal yang akan m enuju ke Portsm outh di Inggris. Mem ang tidak m enuju ke Venesia, nam un Candide m erasa terlepas dari cengkraman neraka, sehingga dia tidak peduli dan m erencanakan akan segera m eneruskan perjalanan ke Venesia, begitu ada kesempatan lain. 43 Pada tahun 1757 pernah ada percobaan pembunuhan terhadap Louis XV. Akibatnya banyak penduduk ditangkapi. Henri IV mengalami percobaan pembunuhan pada bulan Desember 1594, kemudian terbunuh pada tahun 1610. Menurut Voltaire perisiwa-perisiwa itu disebabkan oleh kefanaikan.

23 CANDIDE DAN MARTIN PERGI KE PANTAI INGGRIS APA YANG MEREKA LIHAT DI SITU “ADUH, PAK Pangloss, Pak Pangloss! Aduh, Pak Martin, Pak Martin! Aduhai, Cunegonde sayang! Dunia m acam apakah ge- rangan ini?” kata Candide, setelah dia berada di atas kapal Bela n d a . “Sesuatu yang kelewat gila dan keji,” sahut Martin. “Tuan kan sudah pernah ke Inggris, apakah di situ orang-orangnya sam a gilanya dengan di Prancis?” “Gilanya term asuk jenis lain,” kata Martin, “Tuan tahu bahwa kedua bangsa ini sedang berperang memperebutkan beberapa jengkal ham paran salju dekat Kanada,44 dan bahwa untuk m em - biayai perang yang hebat ini kedua-duanya harus m engeluarkan 44 Yang dimaksud sebenarnya peperangan memperebutkan lembah Ohio dan Illinois. Baru pada tahun 1763 Prancis kehilangan kanada dan Louisiana.

CANDIDE 115 uang lebih banyak dari nilai seluruh wilayah Kanada itu sendiri. Untuk m engatakan secara tepat apakah di negeri yang satu ini lebih banyak orang yang pantas diikat daripada di negara tetang- ganya, rasanya itu berada di luar jangkauan pikiran saya. Yang saya tahu hanyalah bahwa orang-orang yang akan kita tem ukan pada um um nya sangat m urung sifatnya.” Sambil berbincang-bincang demikian tibalah mereka di Portsm outh. Banyak orang berkerum un di tepi pantai. Dengan penuh perhatian mereka memperhatikan seorang laki-laki gemuk yang sedang berlutut dengan m ata ditutup kain pengikat, di atas geladak salah sebuah kapal angkatan laut. Empat orang tentara berdiri di hadapan orang itu, dan masing-masing menembakkan tiga butir peluru ke kepalanya dengan sikap sangat santai. Para penonton pun pulang dengan rasa puas. “Apa pula artinya sem ua ini,” tanya Candide,” dan setan apa yang gentayangan m em perluas kerajaannya ke m ana-m ana?” Dia m enanyakan siapa laki-laki gem uk yang dibunuh dalam upacara yang baru selesai dilaksanakan itu. “Dia laksam ana,” jawab seseorang. “Lalu m engapa laksam ana itu dibunuh?” “Soalnya,” sahut orang itu lagi, “dia tidak m em erintahkan m em bunuh cukup banyak orang. Dalam perang m elawan laksa- mana Prancis, dia dinilai tidak cukup dekat dengan musuh.” “Lho,” kata Candide, “jarak antara laksam ana Prancis dan laksam ana Inggris, sam a saja jauhnya seperti jarak antara laksa- m ana Inggris dengan m usuhnya itu, bukan?” “Itu m em ang tidak bisa dim ungkiri,” sam bung orang itu lagi, “nam un di negeri ini sekali-sekali laksam ana perlu dibunuh, agar yang lain m enjadi lebih berani.”45 Candide begitu bingung dan terkejut oleh apa yang dilihat dan didengarnya, sehingga dia tak 45 Alasan ini memang dipakai sebagai alasan oleh keriyaan Inggris untuk menjatuhkan hukuman mai atas diri Laksamana Byng, yang pada tahun 1756 dikalahkan oleh La Gallissoniere di Minorque.

116 Voltaire berminat sedikit pun memijakkan kaki di negara itu. Maka dia tawar-menawar dengan pemilik kapal (walaupun mungkin dia juga pencuri seperti yang di Surinam e), agar dia dapat diantar secepat m ungkin ke Venesia. Pem ilik kapal itu siap dua hari kem udian. Mereka m enyusuri pantai Prancis, lalu m elewati Lisabon di kejauhan. Dan Candide pun m enggigil. Kem udian m ereka m em asuki selat dan tiba di Laut Tengah. Akhirnya m ereka pun sam pai di Venesia. “Puji syukur kepada Tuhan,” kata Candide sam bil m em eluk Martin, “di kota inilah saya akan bertem u kem bali dengan Nona Cunegonde. Saya dapat m engandalkan Cacam bo seperti diri saya sendiri. Sem uanya baik, segalanya berjalan baik, segalanya berjalan sebaik mungkin.”

24 KISAH PAQUETTE DAN BRUDER GIROFLEE SETIBANYA DI Venesia, Candide segera m enyuruh orang m encari Cacam bo di setiap rum ah m akan, di sem ua kafe, di rum ah-rum ah bordil, nam un pelayannya itu tak ditem ukan. Maka disuruhnya orang ke pelabuhan menungggu kedatangan semua kapal dan perahu. Tak ada berita dari Cacam bo! “Bagaim ana ini,” kata Candide kepada Martin, “saya sendiri sem pat pergi ke Surinam e dan Bordeaux, dari Bordeaux ke Paris, dari Paris ke Dieppe, dari Dieppe ke Portsm outh, lalu m enyusuri pantai Portugal dan Spanyol, m enyeberang Laut Tengah, tinggal di Venesia ini sudah beberapa bulan, nam un Nona Cunegonde tak kunjung tiba! Bukannya bertem u dengan kekasih, saya m alahan diha- dang perem puan penipu dan Pastor Perigord yang bajingan itu! Mungkin Cunegonde telah m eninggal. Kalau begitu tak ada alasan

118 Voltaire lagi bagiku untuk terus hidup. Oh, m estinya saya tetap saja tinggal di surga Eldorado, daripada pulang ke Eropa yang brengsek ini. Alangkah tepatnya pendapat Tuan, Pak Martin yang baik! Yang terjadi di dunia ini rupanya hanyalah ilusi dan bencana!” Candide tenggelam dalam suasana murung yang paling mene- kan, dan sama sekali tidak mengacuhkan pertunjukan opera yang sedang alla m oda, ataupun pesta ria karnaval. Tak seorang wanita pun berhasil memancing gairahnya. Martin berkata kepadanya, “Ternyata pikiran Tuan ini naif sekali. Bagaimana Tuan bisa meng- harapkan bahwa seorang pelayan m etis, dengan lima sampai enam juta dalam kantungnya, bersedia menjemput kekasih Tuan di ujung dunia dan mengantarkannya ke Venesia. Seandainya wanita itu berhasil dijumpai, paling-paling dia akan mengambilnya untuk diri sendiri. J ika tidak ditemukan, dia akan mengambil yang lain. Menurut pendapat saya sebaiknya Tuan melupakan saja pelayan Tuan Cacambo dan kekasih Tuan Cunegonde itu.” Martin memang tidak berniat menghibur. Candide bertambah sedih, sedangkan Martin tak henti-hentinya membuktikan bahwa di muka bumi ini hanya ada sedikit kebenaran dan kebahagiaan, kecuali mungkin di Eldorado yang tak mungkin dikunjungi orang itu. Tatkala mereka sedang berdiskusi tentang masalah penting itu, dan tetap sam bil m enunggu kedatangan Cunegonde, Candide m elihat seorang rohaniwan m uda aliran Theatin di Lapang Saint- Marc, yang sedang m enggandeng seorang perem puan. Rohaniwan itu tam pak segar, m ontok, dan berbadan kokoh. Matanya ber- sinar-sinar, air m uka yakin, pandangan tegas, dan langkahnya anggun. Si perem puan sangat m anis. Dia m enyanyi, sam bil m e- m andang dengan m esra pasangannya itu, seraya m encubit pipi- nya yang tem bam sekali-sekali. “Nah, akuilah sekarang,” kata Candide kepada Martin, “bahwa paling tidak sepasang m erpati itu sangat berbahagia. Sam pai sekarang yang saya lihat hanyalah orang-orang malang belaka. Namun kalau melihat perempuan

CANDIDE 119 dan agam awan itu rasanya saya dapat bertaruh bahwa m ereka m akhluk-m akhluk yang sangat berbahagia.” “Saya berani bertaruh bahwa tidak,” sahut Martin. “Untuk m engetahuinya gam pang, undang saja m ereka m akan m alam ,” sam bung Candide, “kita lihat nanti apakah saya keliru.” Dia langsung m enyapa pasangan tersebut, lalu berbasa-basi, serta mengundang mereka agar datang di penginapan untuk m akan m akaroni, m asakan burung m enurut resep Lom bardi, telur ikan esturgeon, dan m inum anggur Montepulciano, Lacrym a Christi, Chypre, dan Sam os. Wajah gadis itu m em erah, sedangkan yang pem uda langsung m enyatakan kesediaannya. Gadis itu m engikuti m ereka sam bil terus m enerus m em perhatikan Candide dengan pandangan heran dan ragu, yang digenangi air m ata. Baru saja m ereka m asuk ke kam ar Candide, perem puan itu berkata kepadanya, “Aduh! Tuan Candide ini rupanya tidak m engenali lagi Paquette!” Sam pai saat itu Candide belum m em perhatikan perem puan itu dengan baik, karena pikirannya hanya tertuju kepada Cun egon de. Maka tatkala dia m en den gar perkataan perem puan itu, dia berseru, “Aduh, benarkah ini Paquette, yang telah membuat Doktor Pangloss menjadi setampan itu?” “Ya, Tuan, m em ang sayalah yang berdosa,” jawab Paquette, “rupanya Tuan telah m endengar sem uanya. Saya juga telah m engetahui segala bencana yang m enim pa keluarga baron dan Cunegonde yang jelita itu. Saya bersum pah bahwa nasib saya pun tidak kurang m enyedihkan dari itu. Pada waktu kita bertem u untuk pertam a kalinya dulu, sesungguhnya saya m asih sangat lugu. Seorang pastor, yang pada waktu itu bertindak sebagai bapak pengakuan saya, telah m enodai saya dengan m udah. Akibatnya sungguh m engerikan. Saya diusir dari istana, tak lam a setelah Tuan ditendang keluar dari situ. Seandainya tidak ada dokter yang kasihan kepada saya, m ungkin saya sudah m ati. Karena m erasa berutang budi, selam a beberapa waktu lam anya

120 Voltaire saya m enjadi gundik dokter itu. Karena sangat cem buru istrinya m em ukul saya tanpa belas kasihan sam a sekali setiap hari. Dia m elakukannya dengan m em babi buta. Dokter itu bertam pang paling jelek jika dibandingkan dengan lelaki lain, dan saya m enjadi perem puan yang paling m enderita, karena dipukul terus-m enerus gara-gara laki-laki yang tidak saya cintai. Tuan m aklum , berbahaya sekali bagi seorang perem puan yang galak seperti itu m enjadi istri dokter. Karena jengkel oleh ulah istrinya, untuk m engobati sakit selesm a yang sepele, pada suatu hari sang suam i m em berinya obat yang sangat am puh sehingga dalam waktu dua jam saja perempuan itu meninggal setelah kejang- kejang m engerikan. Keluarga si istri m engadukan dokter itu ke pengadilan. Dia m elarikan diri, sedangkan saya dipenjarakan. Walaupun tak bersalah, m ungkin saya tak akan dilepaskan, sean- dainya saya tidak cantik. Hakim m au m em bebaskan saya dengan syarat dia dapat m enggantikan kedudukan dokter itu. Tak lam a kem udian saya digeser oleh seorang saingan, lalu diusir tanpa balas jasa, dan terpaksa m eneruskan pekerjaan kotor yang bagi laki-laki sangat m enyenangkan ini, padahal bagi kam i m eru- pakan neraka yang penuh penderitaan. Saya pergi m encari nafkah dalam pekerjaan ini di Venesia. Aduh, Tuan! Seandainya Tuan dapat m em bayangkan apa artinya m em aksakan diri untuk m engelus-elus tanpa perasaan pedagang yang tua bangka, pengacara, berbagai tingkatan pastor; membiarkan diri dihina terus-menerus, ditipu, atau terpaksa meminjam baju untuk di- singkapkan oleh seorang laki-laki yang m em uakkan, dicuri oleh seseorang apa yang saya peroleh dari yang lain, ditahan sebagai sandera oleh petugas pengadilan, sedangkan m asa depan hanya m enjanjikan usia tua yang m engerikan, rum ah sakit, atau tem pat sam pah. Tentunya Tuan dapat m enyim pulkan bahwa saya ini adalah m ahluk yang paling m enderita di dunia!”

CANDIDE 121 Dem ikianlah Paquette m enum pahkan seluruh isi hatinya kepada Candide yang baik itu, dengan disaksikan oleh Martin, yang berkata kepada Candide, “Nah, sekarang saja Tuan telah m elihat bahwa saya telah m em enangkan setengah taruhan kita!” Bruder Girolee tetap tinggal di ruangan makan, sambil minum-minum, sementara menunggu saat makan malam. “Tetapi,” kata Candide, “wajahm u tam pak begitu gem bira, begitu puas, ketika saya bertem u dengan kau tadi. Engkau sedang m enyanyi, dan m engelus-ngelus bruder itu dengan cara yang begitu wajar. Tam paknya engkau sangat berbahagia, walaupun menganggap diri begitu menderita.” “Aduh, Tuan!” jawab Paquette, “itulah justru risiko pekerjaan ini. Kem arin saya telah dipukul dan dicolong oleh seorang per- wira, nam un hari ini saya harus kelihatan gem bira agar dapat menarik perhatian seorang rohaniwan.” Candide tidak ingin m engetahui lebih banyak, dan dia m eng- akui bahwa pendapat Martin benar. Mereka pun segera duduk di depan meja makan dengan Paquette dan bruder itu. Suasana cukup m enyenangkan. Menjelang akhir m ereka m engobrol dalam suasana saling m em percayai. “Bruder,” ujar Candide kepada rohaniwan m uda itu, “tam pak- nya Tuan sedang m enikm ati hidup yang patut m em buat orang lain iri hati. Wajah Tuan memancarkan kesehatan jasmani, air muka Tuan menunjukkan kebahagiaan batin. Untuk menghibur hati Tuan dapat m enggandeng perem puan yang sangat cantik ini. Tam paknya Tuan sungguh puas dengan kedudukan Tuan seka r a n g.” “Aduh, Tuan,” kata Bruder Girolee, “sesungguhnya ingin rasanya saya m enceburkan sem ua bruder Theatin itu ke dasar laut. Sudah seratus kali saya tergoda keinginan untuk m em bakar biara, atau mengganti kewarganegaraan menjadi orang Turki. Dulu orangtua saya telah m em aksa saya, pada usia lim a belas

122 Voltaire tahun, untuk m engenakan jubah yang m enyebalkan ini, agar kakak sulung saya dapat m em peroleh lebih banyak warisan. Sem oga Tuhan m engam puni saya! Rasa cem buru, pertentangan, dan kedengkian m erajalela di biara. Mem ang benar bahwa saya telah m em buat beberapa khotbah yang m enghasilkan sedikit uang, yang sebagian dicolong oleh kepala biara, sisanya untuk m em beli perem puan. Nam un setiap saya pulang pada m alam hari ke biara, rasanya saya ingin m enubrukkan kepala ini ke dinding asram a. Rekan-rekan saya yang lain pun berada dalam kondisi yang sam a.”

25 KUNJUNGAN KE ISTANA SENATOR POCCOCURANTE, BANGSAWAN VENESIA DENGAN MENUMPANG perahu gondola yang m elayari Sungai Brenta, Candide dan Martin berangkat. Mereka tiba di istana bangsawan Poccocurante. Tam an-tam annya terawat baik, dan dihiasi dengan patung-patung m arm er, sedangkan istananya sendiri m erupakan bangunan yang bagus penataannya. Pem ilik istana itu seorang laki-laki yang berusia enam puluh tahun, sangat kaya. Dia m enyam but kedua tam u yang penuh rasa ingin tahu itu dengan sangat sopan, namun tak begitu bersemangat. Sikap itu m em buat Candide m erasa kikuk, nam un tidak m enjadikan Martin kecewa. Mula-m ula dua orang gadis cantik yang berdandan rapih m em bawakan m ereka cokelat yang telah diaduk sangat baik

124 Voltaire sehingga berbusa. Candide tidak bisa m enahan diri untuk m em uji kecantikan, serta sikap anggun dan ketram pilan m ereka. “Mem ang m ereka cukup m enyenangkan,” kata senator Poccocurante, “sekali-sekali saya ajak m ereka ke tem pat tidur, karena saya sudah muak dengan perempuan-perempuan kota, oleh kegenitan, rasa cemburu, pertengkaran-pertengkaran, tingkah laku, kepicikan, kesombongan, dan kebodohan mereka, serta oleh soneta-soneta yang harus digubah atau dipesan untuk m ereka. Nam un walaupun bagaim ana, kedua gadis itu pun m ulai m em bosankan saya juga.” Setelah makan siang, pada waktu berjalan-jalan di suatu ruangan yang panjang, Candide sangat terpesona oleh keindahan lukisan-lukisan yang dipajang di situ. Dia bertanya siapa pem buat kedua lukisan yang pertam a. “Pelukisnya Raphael,” kata sang senator, “saya telah m em belinya sangat m ahal, dem i gengsi saya, beberapa tahun yang lalu. Kata orang lukisan itu paling bagus di seluruh Italia, nam un saya sam a sekali tidak m enyukainya. Warnanya sudah m enjadi terlalu cokelat, wajah-wajah tidak begitu alam iah serta m enonjol. Pakaian yang dilukiskan tidak kelihatan sebagai bahan yang sesungguhnya. Pendeknya, apa pun kom entar orang, saya berpendapat bahwa lukisan itu tidak berhasil m eniru alam yang sebenarnya. Saya hanya m enyukai lukisan kalau di situ saya m erasa m elihat alam yang sebenarnya. Tak ada yang berhasil m enam pilkannya. Saya m em ang m em punyai banyak lukisan, nam un tak pernah m engacuhkannya lagi.” Sementara menunggu makan malam, Poccocurante meminta agar sebuah concerto dim ainkan. Candide beranggapan bahwa m usiknya sangat indah. “Bunyi-bunyian itu,” ujar Poccocurante, “m em ang dapat dinikm ati selam a setengah jam . Tetapi, apabila diperdengarkan terlalu lama, semua orang menjadi bosan, walaupun tidak berani m engakui. Musik m asa kini hanyalah sekedar seni m em ainkan karya-karya yang sukar, padahal kalau hanya sulit saja lam a-lam a tidak akan disukai.”

CANDIDE 125 “Mun gkin saya akan lebih m en yukai opera, sean dain ya penulisnya tidak berulah m enciptakan karya konyol yang m en- jengkelkan saya. Siapa pun boleh saja m enonton tragedi-tragedi m usik dengan adegan-adegan yang diciptakan hanya sekadar untuk m em perdengarkan dua-tiga buah nyanyian yang sangat tidak jelas m aksudnya, dem i m em beri kesem patan kepada seo- rang aktris untuk m enunjukkan kebolehan tenggorokannya. Siapa yang m au atau bersedia boleh saja kagum m enyaksikan seorang kasim bersenandung dalam peran Cesar atau Caton, dan berjalan-jalan dengan kikuk di atas panggung. Sedangkan saya sendiri, sudah lam a saya m eninggalkan karya-karya sam pah, yang m elam bungkan nam a Italia, dan yang telah dibiayai begitu m ahal oleh para kepala negara itu.” Candide m endebat pendapat itu sedikit, nam un dengan sopan. Martin sepenuhnya setuju atas pendapat senator itu. Mereka m akan m alam . Setelah m enyantap hidangan lezat, m ereka m asuk ke ruang perpustakaan. Candide m elihat koleksi karya Hom erus yang dijilid m ewah. Dia m em uji selera bangsawan itu. “Itulah dia,” katanya, “buku yang sangat disukai Pangloss yang hebat, ahli ilsafat terbesar di Jerman.” “Tidak begitu bagiku,” sam but Poccocurante dengan nada dingin, “dulu m em ang saya pernah m engira bahwa saya m en- dapat kenikm atan waktu m em bacanya. Nam un uraian yang terus- m enerus diulang-ulang tentang peperangan-peperangan yang m irip satu sam a lain, dewa-dewa yang bertindak tanpa m enun- jukkan sikap yang tegas, Helena yang diperebutkan, padahal ham pir tidak dapat dipandang sebagai tokoh utam a dalam karya itu, negeri Troya yang dikepung, nam un tidak direbut, sem uanya itu am at sangat m em bosankan saya. Kadangkala saya bertanya kepada para ilm uwan apakah m ereka pun sam a bosannya dengan saya pada waktu m em baca karya tersebut. Sem ua yang m au berterus terang mengakui bahwa buku itu sering terjatuh dari

126 Voltaire tangan mereka, namun harus selalu ada dalam koleksi sebagai m onum en m asa lalu, dan sebagai m edali karatan yang tak m ung- kin dijual lagi.” “Tentu Yang Mulia tidak berpendapat seperti itu un tuk Virgilius?” tanya Candide. “Saya m engakui,” ujar Poccocurante, “bahwa buku kedua, keempat, dan keenam dari Eneide bagus sekali, namun menurut saya tak ada yang lebih ham bar dan m enjem ukan selain pelukisan tokoh alim Enee, si kuat Cloanthe, dan sahabatnya Achate, serta si kecil Ascanius, dan si tolol Raja Latinus, juga borjuis Am ata, serta Lavinia yang m em bosankan. Saya lebih suka Tasso dan dongeng- dongeng picisan karya Arioste.” “Bolehkah saya bertanya,” sam bung Candide lagi, “apakah Tuan senang m em baca karya Horatius?” “Ada rangkaian kata-kata m utiara yang ditulisnya,” sahut Poccocurante, “yang dapat dinikm ati para pem baca terpelajar. Karena karyanya itu disusun dengan rim a yang ketat, m aka lebih m udah untuk dihafal. Nam un saya tidak tertarik oleh kisah perjalanannya di Brindes, oleh deskripsinya tentang acara m akan m alam yang tidak m enyenangkan46 serta pertengkaran antara entah Papilus yang m ana, yang kata-katanya, m enurut dia, penuh dengan kutu, dan yang lain dengan kata-kata penuh cuka.47 Saya pun m uak sekali m em baca sanjak-sanjak kasarnya yang m engkritik perem puan-perem puan tua dan tukang-tukang sihir. Dan saya pun tidak m engerti m engapa dia dikagum i gara- gara m engatakan kepada sahabatnya Mecenas bahwa kalau dia ditem patkan di deretan penyair-penyair lirik, m aka akan dipukulnya bintang gem intang pada dahinya yang indah. Orang- orang tolol selalu m engagum i segala sesuatu yang ditulis oleh seorang pengarang terkenal. Saya hanya m em baca untuk diri sendiri, saya hanya m enyukai apa yang sesuai dengan kebiasaan 46 Yang dimaksud karya Horaius yang berjudul Saire. 47 Yang dimaksud karya Horaius yang berjudul Epodes.

CANDIDE 127 saya.” Dulu Candide dibesarkan dengan ajaran bahwa dia tidak boleh menilai sesuatu dengan pendapat sendiri. Maka dia sangat heran oleh apa yang didengarnya, sedangkan Martin berpendapat bahwa cara berpikir Poccocurante cukup masuk akal. “Nah, itu karya Cicero,” kata Candide, “tentu Tuan tidak bosan-bosannya m em baca karya pengarang besar itu.” “Saya tidak pernah m em bacanya,” jawab bangsawan Venesia itu. “Apa peduliku kalau dia pernah m em bela Rabirius atau Cluentius? Saya sendiri m em punyai cukup banyak perkara untuk dipecahkan. Mungkin saya akan lebih bisa m enerim a karya-karya ilsafatnya, tetapi setelah saya melihat bahwa dia meragukan se- galanya, saya m enyim pulkan bahwa pengetahuan saya sam a ba- nyaknya dengan dia, dan saya tidak m em erlukan siapa pun yang harus m enyadarkan bahwa saya tidak m engetahui apa-apa.” “Wah! Ada delapan puluh jilid kum pulan karya sebuah akadem i sains!” ujar Martin. “Mungkin di situ ada yang m enarik.” “Mestinya begitu,” sahut Poccocurante, “kalau saja salah satu penulis karya om ong kosong itu ada yang pernah m enem ukan cara m em buat peniti saja. Sem ua buku yang berderet ini nyatanya hanya m enguraikan sistem -sistem yang sia-sia dan tak ada satu pun yang berguna.” “Betapa banyaknya karya sandiwara yang saya lihat dalam koleksi Tuan!” kata Candide, “dalam bahasa Italia, Spanyol, P r a n cis.” “Ya,” jawab Senator, “ada tiga ribu, nam un tak sam pai tiga lusin yang baik. Dan Tuan tentu m aklum , bahwa saya tidak pernah m em buka-buka kum pulan khotbah itu, yang keseluruhnya tidak setaraf jika dibandingkan dengan satu halaman saja dari tulisan Seneca.48 Demikian juga semua buku tebal tentang teologi ini. Saya tidak pernah m em bukanya, begitu juga orang lain.” 48 Seneca adalah ahli ilsafat yang hidup di Roma pada abad pertama Masehi. Dia guru Nero. Karyanya tentang moral antara lain La Clemenee, Les Bienfaits.

128 Voltaire Martin melihat rak-rak penuh buku-buku dalam bahasa Inggris. “Saya rasa,” katanya, “seorang penganut republik akan senang m em baca sebagian besar karya yang ditulis dengan begitu bebas.” “Ya,” jawab Poccocurante, “m em ang bagus sekali kalau kita dapat m enulis apa yang kita pikirkan. Itulah keuntungan kita sebagai m anusia. Di seluruh Italia orang hanya m enulis apa yang tidak dipikirkannya. Mereka yang m enghuni tanah air Cesar dan Antonius ini tidak berani m em punyai gagasan tanpa seizin seorang anggota J acobin. Saya m ungkin akan m erasa senang dengan gagasan kem erdekaan yang dicetuskan oleh para genius Inggris itu, seandainya nafsu serakah dan sikap m em ihak tidak m erusak segala yang patut dihorm ati dalam kem erdekaan yang tinggi nilainya itu.” Ketika m elihat karya Milton,49 Candide m enanyakan apakah senator itu tidak m enganggapnya sebagai seorang pengarang besar. “Siapa?” tanya Poccocurante. “Si biadab yang telah m enulis kom entar begitu panjang tentang bab pertam a Perjanjian Lam a, dalam sepuluh buku yang terdiri dari sanjak-sanjak dengan rim a yang kasar, penjiplak m urahan para pengarang Yunani, yang m enyalahartikan penciptaan m anusia. Kalau Musa m enggam - barkan Tuhan Yang Mahaabadi dengan kata-kata, dia m alahan m enyuruh Tuhan m engam bil kom pas besar dalam lem ari langit untuk m enelusuri karyanya? Bagaim ana saya harus m enghargai orang yang telah m engacaukan lukisan Tasso tentang neraka dan setan, yang m enyam arkan Lucifer kadang-kadang sebagai kadal, kadang-kadang sebagai ular, yang m enyuruhnya m engulang seratus kalipidato-pidato yangsam a,yangm enyuruhnya berdiskusi tentang teologi, yang, dengan gaya serius, m eniru penem uan lucu senjata api dalam karya Arioste50, dan m em buat setan-setan itu 49 Voltaire sangat idak menyukai Milton, penyair Inggris yang menulis Lost Paradise. 50 Arioste adalah penyair sairis dari zaman Renaissance Italia.

CANDIDE 129 m enem bakkan m eriam ke langit? Baik saya atau siapa pun di Italia ini tidak m ungkin m enyukai kekonyolan-kekonyolan yang keterlaluan itu. Perkawinan antara dosa dan kematian, serta kadal yang dilahirkan dosa itu, sungguh m em uakkan orang-orang yang berselera cukup halus. Gam baran panjang tentang rum ah sakit hanya baik untuk penggali kuburan. Puisi yang kabur, aneh, dan m em uakkan, sudah diserang orang sejak penerbitannya yang pertam a. Sekarang saya pun m em perlakukannya seperti dulu dia diperlakukan di tanah airnya sendiri. Pokoknya, saya telah m engatakan apa yang ada dalam pikiran saya, dan saya tidak m enggubris apakah orang lain sependapat dengan saya.” Candide sangat sedih mendengar uraian itu. Dia menghormati Homerus, dan agak m enyukai Milton. “Wah,” bisikn ya san gat perlahan kepada Martin , “saya khawatir orang ini m em punyai pendapat yang sangat jelek tentang penyair-penyair J erm an.” “Ah, itu tidak m enjadi m asalah,” sahut Martin. “Sungguh luar biasa dia!” kata Candide sam bil tetap m eng- gum am . “Genius sekali Poccocurante ini! Tak ada yang bisa m enyenangkan hatinya.” Setelah selesai membicarakan semua buku satu per satu, m ereka turun ke tam an. Candide m em uji-m uji keindahannya. “Saya justru tidak pernah m elihat tam an dengan selera sejelek ini,” kata tuan rum ah, “di sini hanya ada tanam an-tanam an m u- rahan saja. Nam un tak lam a lagi saya akan m enyuruh orang agar m enanam inya lagi dengan perencanaan yang lebih bagus.” Kem udian kedua orang yang selalu ingin tahu itu m em inta diri dari senator itu. “Nah, berdasarkan pengalam an tadi,” kata Candide kepada Martin, “apakah Tuan sependapat bahwa dialah yang paling bahagia di antara sem ua orang, karena dia berada di atas segala yang dim ilikinya?”

130 Voltaire “Apakah Tuan tidak m elihat,” ujar Martin, “bahwa dia justru m uak oleh segala yang dim ilikinya? Dulu sekali Plato pernah m engatakan bahwa perut terbaik bukanlah yang dapat m enolak semua makanan.” “Tetapi,” sanggah Candide, “bukankah nikm at sekali dapat mengkritik semua? Dapat merasakan cacat cela untuk hal-hal yang bagi orang lain hanya m enunjukkan keindahan?” “Dengan kata lain,” kata Martin, “ada kenikm atan yang ditim bulkan oleh tidak adanya kenikm atan?” “Ya, kalau begitu,” kata Candide, “hanya saya yang berbahagia, kalau bertem u lagi dengan Nona Cunegonde nanti.” “Tetap m em punyai harapan m em ang baik,” kata Martin. Sementara itu hari-hari berlalu, dan minggu demi minggu pun lewat. Cacam bo tetap tidak m uncul. Candide begitu teng- gelam dalam kesedihan, sehingga tidak ingat bahwa Paquette dan Bruder Girolee tidak pernah kembali untuk menyampaikan sekadar ucapan terima kasih.

26 TENTANG PENGALAMAN CANDIDE DAN MARTIN WAKTU MAKAN BERSAMA ENAM ORANG ASING SERTA PENJELASAN SIAPA MEREKA ITU PADA SUATU m alam , ketika Candide disertai Martin sedang bersiap-siap hendak makan malam dengan tamu-tamu asing yang m enginap di hotel itu juga, seorang laki-laki berkulit cokelat m enegurnya dari belakang. Seraya m enggam it lengannya, dia berkata, “Bersiap-siaplah berangkat dengan kam i, jangan sam pai ketinggalan.” Candide m enoleh, dan dilihatnya Cacam bo. Seandainya dilihatnya pula Cunegonde, m ungkin dia akan lebih terkejut dan gembira lagi. Waktu itu pun dia hampir melonjak karena sangat bahagia. Dipeluknya sahabatnya itu. “Cunegonde

132 Voltaire ada pula di sini, bukan? Di m ana dia? Ayo, cepat antar saya ke sana, biar saya m ati bersam anya karena bahagia!” “Cunegonde tidak ada di sini,” jawab Cacam bo, “dia ada di I st a n b u l.” “Ya,Tuhan! Di Istanbul! Tetapi saya tak peduli di m ana dia berada, bahkan di Tiongkok sekalipun, aku akan terbang ke sana.... Ayo, kita pergi.” “Kita pergi setelah m akan m alam ,” Cacam bo m elanjutkan, “saya tidak bisa m engatakan apa-apa lagi. Sekarang saya m enjadi budak belian, m ajikan saya sedang m enunggu saya. Saya harus m elayaninya di m eja m akan.... J angan bilang apa-apa lagi, silakan makan, lalu bersiap-siaplah.” Candide terom bang-am bing oleh rasa gem bira dan sedih seka- ligus. Dia senang karena telah berjum pa lagi dengan pelayannya yang setia, nam un heran ketika dilihatnya bahwa Cacam bo telah m en jadi budak belian . Ben akn ya dipen uhi kein gin an un tuk bertem u kem bali dengan kekasihnya, hatinya berdebar-debar, dan jiwanya terguncang. Lalu dia duduk di depan m eja m akan bersa- m a Martin, yang tetap tenang m enghadapi peristiwa itu, serta enam orang asing, yang datang berkunjung untuk m enyaksikan karnaval Venesia. Cacam bo, yang sedang m enghidangkan m inum an bagi salah seorang asing itu, m endekati telinga m ajikannya m enjelang selesai m akan, dan berkata, “Yang Mulia, Baginda dapat berangkat setiap waktu, kapal telah siap.” Setelah berkata begitu, dia keluar. Orang- orang yang duduk di m eja m akan itu terkejut dan berpandangan tanpa m engucapkan sepatah kata pun. Seorang pelayan lain m en- dekati m ajikannya, dan berkata, “Yang Mulia, kereta Baginda ada di Padoua, dan perahu telah siap.” Sang majikan mengangguk, dan si pelayan pergi. Sem ua yang duduk depan m eja m akan itu berpandangan lagi, dan mereka bertambah heran. Setelah men- dekati orang asing ketiga, pelayan ketiga berkata pula, “Yang

CANDIDE 133 Mulia, harap Baginda percaya bahwa pasti tidak perlu m enunggu lam a-lam a, saya akan m em persiapkan segalanya,” dan langsung dia menghilang. Pada waktu itu Candide dan Martin m erasa yakin bahwa pasti m ereka sedang m enyam ar untuk karnaval itu. Pelayan keem pat berkata kepada m ajikan keem pat, “Baginda dapat berangkat setiap saat yang dikehendaki,” dan dia keluar seperti yang sebelum nya. Pelayan kelim a m engatakan hal itu juga kepada m ajikan kelim a. Tetapi pelayan keenam m engatakan hal yang berbeda kepada m ajikan keenam , yang duduk di sam ping Candide. Dia berkata kepadanya, “Aduh, Yang Mulia, rupanya orang tidak m em punyai kepercayaan lagi terhadap Baginda, juga tidak terhadap saya. Malam ini m ungkin saja Baginda dan saya akan ditangkap. Saya akan m engurus nasib saya sendiri. Selam at tinggal.” Setelah pelayan pergi, keenam orang asing, Candide, dan Martin, duduk dalam suasana hening. Akhirnya Candide m em ecah kesunyian. “Tuan-tuan,” katanya, “ini betul-betul gurauan yang luar-biasa. Mengapa Tuan sem uanya m enjadi raja? Terus-terang saja kam i ini, baik saya m aupun Martin ini, kam i bukan raja.” Maka m ajikan Cacam bo m ulai berbicara den gan sedih, dan berkata dalam bahasa Italia, “Saya tidak m ain-m ain, saya bernam a Ahm ed III. Selam a beberapa tahun saya adalah sultan besar. Saya telah m enurunkan kakak saya dari takhta, lalu saya sendiri dim akzulkan oleh kem anakan saya. Para pem bantu saya telah dipenggal kepalanya. Saya m engakhiri hidup saya di sebuah istana tua. Kem anakan saya, Sultan Mahm ud yang Agung, m em beri izin kepada saya untuk m elakukan perjalanan sekali-sekali dem i kesehatan saya. Dan saya datang ke sini untuk m enyaksikan karnaval Venesia.” Sesudah Ahm ed, seorang pem uda yang duduk di dekatnya berkata, “Saya bernam a Ivan, saya sem pat m enjadi kaisar untuk seluruh wilayah Rusia. Nam un sejak saya bayi, takhta itu telah

134 Voltaire direbut orang. Ayah dan ibu saya dipenjarakan. Saya dibesarkan di penjara. Kadang-kadang saya m endapat izin untuk pergi ke luar negeri, diantar oleh para penjaga, dan saya kem ari untuk m enyaksikan karnaval Venesia.” Yang ketiga berbicara, “Saya Charles-Edward, Raja Inggris. Ayah saya telah m enyerahkan hak atas takhta kepada saya. Saya pun telah berjuang untuk m em pertahankannya. Para pengikut saya telah dibunuh. Saya dipenjarakan. Saya berkunjung ke Rom a untuk m enengok ayah saya, yang telah diturunkan dari takhta seperti saya sendiri dan juga kakek saya. Sekarang saya datang kem ari untuk m enonton karnaval.” Maka yang keem pat pun berkata. “Saya Raja Polandia. Saya telah kehilangan kerajaan sebanyak dua kali, nam un Tuhan berkenan m em beri saya suatu negara lain. Di situ saya berhasil m em buat lebih banyak kebajikan, jika dibandingkan dengan apa yang dikerjakan para raja Eropa Tim ur selam a ini di tepi Sungai Vistul itu. Saya berserah diri kepada Tuhan. Dan saya ke sini untuk m enonton karnaval Venesia.” Sekarang tinggallah raja yang keenam angkat bicara, “Tuan- tuan,” katanya, “saya bukan raja besar seperti Tuan-tuan sekalian, nam un bagaim anapun saya raja juga. Nam a saya Theodore, saya telah dipilih m enjadi Raja Korsika. Saya pernah dipanggil Yang Mulia, nam un sekarang dipanggil Tuan saja ham pir tidak pernah. Saya pernah m em erintahkan pencetakan uang, nam un sekarang sepeser saya saya tak punya. Dulu saya m em punyai m enteri negara, nam un kini pelayan yang hanya seorang pun baru saja lari. Saya berpengalam an duduk di atas singgasana, nam un untuk sekian lam a di London saya pernah m endekam di penjara beralaskan jeram i. Saya khawatir di sini pun saya akan diperlakukan sam a, walaupun seperti para Yang Mulia ini saya datang untuk m enyaksikan karnaval Venesia.”


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook