Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Candide oleh Voltaire

Candide oleh Voltaire

Published by pustaka, 2022-11-12 06:32:40

Description: Candide oleh Voltaire

Search

Read the Text Version

9 APA YANG TERJADI ATAS DIRI CUNEGONDE, CANDIDE, PENDETA AGUNG, DAN SEORANG YAHUDI DON ISSACHAR adalah orang Yahudi yang paling pem arah yang pernah dikenal orang di Israel sejak penaklukan Babilonia. “Apa!” teriaknya. ”Heh, anjing betina Kristen! Rupanya Pendeta Agung saja tidak cukup m em buatm u puas, ya? Aku m asih harus mengurangi bagianku dengan bajingan ini?” Sambil berkata begitu dia m enarik pedang yang selalu dibawa-bawanya. Karena tidak m enyangka bahwa lawannya m em punyai senjata, dia m enubruk Candide. Padahal pem uda Westphalen itu telah m enerim a sebuah pedang yang indah dari perem puan tua itu dengan pakaian lengkap. Walaupun sikapnya selalu lem ah lem but, dia segera m enarik pedangnya, dan m enusukkannya pada badan si Yahudi

36 Voltaire yang langsung m ati tertelentang di lantai, di kaki Cunegonde yang ca n t ik. “Bunda Maria!” jerit wanita itu. “Bagaim ana nasib kita? Seorang laki-laki terbunuh di rum ahku! Kalau petugas hukum datang, celaka kita.” “Seandainya Pangloss tidak digantung,” kata Candide, “tentu dia akan m em berikan nasihat yang baik dalam keadaan terjepit seperti ini, karena dia ahli ilsafat kawakan. Berhubung dia tidak ada, mari kita minta nasihat kepada nenek itu.” Perem puan tua itu sangat hati-hati. Baru saja dia m ulai m em beri nasihat, sebuah pintu kecil yang lain terbuka. Waktu menunjukkan pukul satu malam, jadi saat itu merupakan awal hari Minggu. Hari itu m ilik Monseigneur Pendeta Agung, la m a- suk dan m elihat Candide, yang telah m endapat hukum an cam buk pada pantatnya itu, dengan pedang di tangan, m ayat yang ter- bujur di lantai, Cunegonde yang ketakutan, dan perem puan tua yang sedang m em beri nasihat. Inilah yang berkecam uk dalam pikiran Candide dan bagai- mana ia membuat pertimbangan-pertimbangan: Apabila tokoh suci ini berteriak m em inta bantuan, sudah pasti ia akan m en- jatuhkan hukum bakar atas diriku. Hukum an y ang sam a m ungkin dijatuhkan atas diri Cunegonde. Tem po hari dia telah m eny uruh orang m encam bukku tanpa belas kasihan. Dia adalah sainganku. Aku barusan telah m enjadi pem bunuh. Tak perlu ragu-ragu sekarang. Kesim pulan itu jelas dan cepat diputuskan. Tan pa m em beri waktu kepada Pen deta Agun g un tuk sadar kem bali dari rasa terkejutnya, Candide m enusukkan pedangnya berkali-kali pada badan tokoh itu, dan m encam pakkannya di sam ping m ayat si Yahudi. “Aduh, tam bah satu korban lagi,” kata Cunegonde, “tak ada am pun lagi. Kita akan dikucilkan dari gereja, saat akhir kita telah tiba. Bagaim ana m ungkin engkau yang berpem bawaan begitu

CANDIDE 37 lem but m am pu m em bunuh seorang Yahudi dan seorang tokoh agama dalam waktu dua menit?” “Nona yang cantik,” sahut Candide, “kalau orang sedang jatuh cinta, cem buru, dan dicam buk oleh Majelis Agam a, orang tak dapat mengendalikan diri lagi.” Maka perem puan tua itu ikut berbicara: “Di kandang kuda kita ada tiga ekor kuda Andalusia, lengkap dengan pelana dan kendali. Harap Candide yang baik segera m em persiapkannya. Nyonya m em iliki uang dan berlian. Mari kita segera naik kuda; walaupun saya hanya bisa duduk pada sebelah pantat, dan m arilah kita pergi ke Cadix. Sekarang cuacanya sangat baik. Menyenangkan sekali m elakukan perjalanan dalam kesegaran m a la m .” Segera Candide m em asang pelana ketiga kuda. Cunegonde, perempuan tua, dan ia sendiri melewati tiga puluh mil tanpa berhenti-henti. Sementara mereka menjauh, pasukan Hermandad tiba di rum ah kecil tadi. Pendeta Agung dim akam kan di sebuah gereja yang indah, sedangkan m ayat si Yahudi dibuang ke tem pat sampah. Candide, Cunegonde, dan si Nenek telah sam pai di kota kecil Avacena, yang terdapat di tengah pegunungan Sierra Morena. Dalam sebuah rumah makan mereka berbincang-bincang sebagai berikut.

10 DALAM SUASANA DUKACITA BAGAIMANA CANDIDE, CUNEGONDE, DAN SI NENEK TIBA DI CADIX, DAN MENUMPANG KAPAL LAUT “SIAPA PULA yang tega m encuri uang dan perm ataku?” kata Cunegonde sam bil m enangis. “Dengan apa kita akan hidup? Apa yang akan kita lakukan? Di m ana saya bisa m enem ukan pendeta- pendeta dan orang Yahudi yang dapat m enggantinya?” ”Huh!” kata si Nenek. “Saya sangat curiga kepada agam awan yang kem arin m enginap dengan kita di losm en yang sam a di Badajoz; m udah-m udahan Tuhan m engam puni pikiran buruk ini, tetapi yang pasti orang itu m asuk dua kali ke kam ar dan berangkat lama sebelum kita.”

CANDIDE 39 “Ya!” sam bung Candide. “Pangloss yang baik itu selalu m engatakan bahwa harta benda yang ada di dunia ini adalah m ilik bersam a, bahwa setiap orang m em punyai hak yang sama atas benda-benda itu. Namun, sesuai dengan prinsip itu, m estinya agam awan itu m enyisakan sedikit untuk biaya kita m engakhiri perjalanan ini. J adi engkau tak m em punyai apa-apa lagi, kekasihku Cunegonde yang cantik?” “Tak sepeser pun.” “Mari kita jual saja salah seekor kuda,” usul si Nenek, “saya akan m em bonceng di belakang pelana Nona, walaupun saya hanya bisa duduk dengan setengah pantat, dan kita akan bisa m encapai Cadix.” Di losm en itu juga ada seorang tokoh aliran Benedictus. Dia m au m em beli kuda itu dengan harga m urah. Candide, Cunegonde, dan si Nenek m elewati Lucena, Chillas, Lebrixa, dan akhirnya sam pai di Cadix. Di situ orang sedang m em persiapkan kapal untuk m em berangkatkan suatu pasukan yang ditugaskan untuk m enyadarkan pem uka-pem uka J esuit Paraguay, yang dituduh telah mempengaruhi salah satu koloni dekat Saint- Sacrem ent untuk m em berontak terhadap Raja Spanyol dan Portugal. Sebagaim ana telah diketahui, Candide pernah m endapat latihan dalam pasukan Bulgaria. Maka dia m endem onstrasikan hasil latihannya itu di hadapan jendral yang m em im pin pasukan tersebut dengan gaya yang anggun, tangkas, cekatan, penuh gengsi dan keahlian, sehingga ia diluluskan untuk memimpin satu pasukan infanteri. J adilah dia kapten dalam pasukan itu. Dia m enum pang kapal dengan Nona Cunegonde, si Nenek, dua orang pelayan, dan kedua ekor kuda bekas m ilik Pendeta Agung Portugal. Selam a pelayaran penyebrangan itu m ereka banyak bertukar pikiran tentang gagasan ilsafat Pangloss yang malang itu. “Kita

40 Voltaire akan pergi ke dunia lain,” ujar Candide, “di situlah m ungkin berlaku gagasan bahwa segala sesuatu berjalan sebaik-baiknya. Karena harus diakui bahwa bulu rom a kita m eriding apabila kita menyaks ikan apa yang terjadi di bumi kita, dalam segi isik dan m or a l.” “Saya m encintaim u dengan sepenuh hati,” kata Cunegonde, “nam un jiwaku m asih tergoncang oleh apa yang saya lihat, dan apa yang saya alam i.” “Segalanya akan berjalan baik,” sam bung Candide, “laut Dunia Baru ini pun kelihatannya lebih baik dari laut-laut yang m engitari Eropa, lebih tenang, anginnya pun lebih teratur. Pasti Dunia Baru inilah yang terbaik di antara sem ua dunia yang pernah diciptakan.” “Sem oga Tuhan m enghendakinya!” kata Cunegonde, “nam un saya telah m enderita sedem ikian rupa di bum i kita, sehingga hatiku hampir tertutup untuk segala harapan.” “Nona m engeluh,” sela si Nenek. “Yah, padahal Nona tidak m engalam i kem alangan-kem alangan yang pernah m enim paku.” Cunegonde ham pir tak bisa m enahan tawanya, dan berpendapat bahwa si Nenek itu sangat lucu, karena beranggapan lebih m enderita daripada dirinya. “Aduh, Nenek yang baik,” kom entarnya, “kalau Nenek tidak pernah diperkosa oleh dua orang Bulgaria, dan m enerim a dua tusukan pisau di lambung, atau kalau orang tidak menghancurkan dua istanam u, dan m enyem belih di bawah m atam u dua orang ibu dan dua orang ayah, serta m elihat dua orang kekasih dicam buk dalam suatu auto-da-fe, saya tidak m elihat alasan untuk m engakui bahwa Nenek lebih m enderita daripada saya, belum lagi kalau diingat bahwa saya lahir sebagai baronne yang m em iliki tujuh puluh dua garis keturunan bangsawan, dan bahwa saya terpaksa menjadi koki.”

CANDIDE 41 “Nona,” sanggah si Nenek, “Nona belum m engetahui asal m uasalku. Kalau saya perlihatkan keadaan pan tatku, Non a tidak akan berkata begitu, dan penilaian Nona akan berubah.” Kom entarnya itu m enim bulkan rasa ingin tahu yang m endalam di benak Cunegonde dan Candide. Si Nenek m enceritakan kisahnya sebagai berikut.

11 KISAH SI NENEK “SAYA INI tidak selam anya m em iliki m ata yang parut dan dikelingi lingkaran keunguan, hidungku tidak selalu bengkok sam pai ke dagu seperti ini, dan saya tidak selam anya bernasib m enjadi pelayan. Saya adalah anak Paus Urbain X17 dengan Putri Palestrine. Sam pai usia em pat belas tahun saya dibesarkan di sebuah istana. Istana-istana baron J erm an m ungkin hanya pantas m enjadi kandang kudanya. Salah satu pakaianku lebih berharga dari segala kem ewahan Westphalia. Saya tum buh cantik, anggun, berbakat dalam lingkungan yang m enyenangkan, penuh kehorm atan dan harapan. Banyak yang jatuh cinta kepada saya. Payudaraku terbentuk dan aduhai indahnya! Putih, padat, 17 Nama khayalan. Tidak ada Paus yang bergelar Urbain X. Namun dengan menyebutkan bahwa tokoh khayalan ini mempunyai anak haram, berari Voltaire mengecam keras sekali pejabat inggi agama ini.

CANDIDE 43 bagaikan ditatah seperti payudara Venus dari Medicis. Dan aduhai m ataku, pelupuk m ataku! Betapa hitam alisku! Betapa cemerlang kedua bola mataku, sampai mengalahkan kerlip bintang, dem ikian kata para penyair di negeriku. Para pelayan wanita yang m endandani dan m enanggalkan pakaianku terpana melihat tubuhku dari depan dan belakang. Semua lelaki pasti bersedia menggantikan mereka. “Saya telah dipertunangkan dengan seorang pangeran dari Massa Carara. Betapa hebat orangnya! Dia tam pan dan sepadan dengan penam pilanku, lem but dan m enyenangkan, pintar dan m abuk cinta. Saya m encintainya seperti sem ua orang yang jatuh cinta untuk pertam a kalinya, penuh pem ujaan, dengan segenap hati. Pernikahan kam i pun dipersiapkan. Suatu perayaan besar- besaran, dengan kem ewahan luar biasa. Berbagai acara pesta, hiburan, opera komik berlangsung silih berganti. Seluruh Italia m enggubahkan soneta-soneta bagiku, sem uanya tak ternilai. Saya hampir mencapai puncak kebahagiaan, tatkala seorang m arquise tua yang pernah m enjadi kekasih pangeranku m engundangnya m inum cokelat di rum ahnya. Dia m eninggal setelah badannya kejang-kejang mengerikan. Namun itu sepele saja. Ibuku berputus asa, nam un sedih hatinya tidak seberapa jika dibandingkan dengan diriku. Untuk sem entara dia ingin m elupakan pengalam an yang m enyedihkan itu. Dia m em iliki sebidang tanah yang sangat indah di Gaete. Maka kam i m enum pang sebuah kapal yang keem asan seperti altar Santo Petrus di Roma. Mendadak segerombolan perom pak dari Sale m enyerang dan m engepung kam i. Prajurit kam i m em bela diri sebagaim ana layaknya serdadu Paus, m ereka semua berlutut sambil membuang senjata-senjata mereka, dan sambil memohon pengampunan dosa in articulo m ortis kepada perompak-perompak itu. “Langsung prajurit-prajurit itu ditelanjangi seperti m onyet- m onyet, dem ikian juga ibuku, para pelayan wanita, dan aku

44 Voltaire sendiri. Sangat mengagumkan kecekatan mereka menelanjangi sem ua orang. Tetapi yang paling m engherankan saya adalah bahwa m ereka m enusukkan jari pada tem pat di m ana biasanya, kami para wanita, menaruh pipa. Upacara itu bagiku sangat aneh. Mem ang kita selalu m em punyai penilaian atas segala hal, manakala kita keluar dari negeri sendiri. Tak lama kemudian saya diberi tahu bahwa tindakan itu dilakukan untuk m elihat apakah kam i tidak m enyem bunyikan berlian di situ. Rupanya itu kebiasaan yang berlaku sejak zam an dahulu, di antara bangsa- bangsa yang m enjelajahi lautan. Saya pernah diberi tahu bahwa para pem uka agam a yang m enjadi perwira-perwira Malta selalu m elakukannya tatkala m ereka m enawan orang Turki pria dan wanita. Agaknya itu adalah hukum yang berlaku, yang selalu ditaati dan bersangkutan dengan hak manusia. “Tak perlu kulukiskan betapa berat penderitaan seorang putri yang ditawan sebagai budak belian bersam a ibunya. Nona bisa m em bayangkan apa yang harus kam i alam i dalam kapal perom pak itu. Ibuku m asih sangat cantik. Para pelayan wanita, bahkan para dayang-dayang, m em iliki daya tarik yang lebih besar daripada yang m ereka tem ukan di Afrika. Sedangkan saya sendiri waktu itu adalah ratu segala kecantikan, dan lagi masih perawan. Nam un keadaan saya itu tidak berlangsung lam a. Milik tak ternilai itu, yang dicadangkan bagi Pangeran Massa Carara, diram pas dari tubuhku oleh nahkoda perom pak. Dia orang Negro yang m engerikan, yang beranggapan bahwa saya m endapatkan penghorm atan dengan pilihan yang dijatuhkannya itu. Dapat dim aklum i bahwa Putri Palestrine dan saya sendiri haruslah m em punyai kekuatan yang luar biasa, kalau ingin m em pertahankan diri terhadap apa yang kam i alam i, sam pai kedatangan kami di Maroko. Tetapi sudahlah, hal-hal seperti itu sangat lum rah terjadi, sehingga tak ada gunanya dibicarakan.

CANDIDE 45 “Maroko sedang banjir darah ketika kam i tiba. Lim a puluh putra Kaisar Muley Ism ael m asing-m asing m em punyai pasukan pendukung. Hal itu menimbulkan lima puluh perang saudara, hitam lawan hitam, hitam lawan cokelat, cokelat lawan cokelat, cam puran lawan cam puran. Sungguh suatu penyem belihan besar-besaran yang terjadi di seluruh negeri. “Baru saja kam i m endarat, orang-orang hitam yang m eru- pakan anggota gerom bolan m usuh perom pak m enyerbu untuk merebut barang rampasan mereka. Di samping emas dan berlian, kam i m erupakan harta yang paling berharga. Saya m enyaksikan pertem puran yang tak ada tandingannya di daratan Eropa. Darah penduduk dunia bagian utara itu tam paknya tidak cukup panas. Mereka pun tidak m em iliki nafsu yang m engebu- gebu terhadap wanita seperti yang biasa terlihat di Afrika. Menurut pendapat saya urat-urat nadi orang-orang Eropa bangsa Nona itu isinya susu, sedangkan dalam urat-urat nadi penduduk pegunungan Atlas dan negara-negara tetangganya m engalir belerang, bahkan api. Mereka berkelahi dengan kegarangan singa, harimau ataupun ular, untuk m enentukan siapa yang akan m enjadi pem ilik kam i. Seorang bangsa Moor menarik lengan kanan ibuku, sedangkan letnan perom pak m enahannya pada lengan kiri. Seorang serdadu Moor m erenggut salah satu kakinya, sedangkan seorang kelasi perom pak m em pertahankan kakinya yang lain. Dayang-dayang kami pun diperlakukan demikian oleh empat orang serda- du pada saat yang sam a. Nahkoda m enyem bunyikan saya di belakangnya. Dia m em egang sebilah pedang dan m em bunuh sem ua yan g m en yeran gn ya. Akhirn ya saya m en yaksikan sem ua dayang-dayang dari Italia itu serta ibuku tercabik-cabik, terpotong-potong, dibunuh secara m assal oleh m anusia yang m irip binatang-binatang buas, yang m em perebutkan m ereka itu. Tawanan-tawanan lain yang sekapal denganku, m ereka yang menangkap orang-orang itu, serdadu, kelasi, hitam, cokelat,

46 Voltaire putih, cam puran dan akhirnya nahkodaku, sem uanya terbunuh, dan saya tetap hidup di atas tum pukan m ayat. Kejadian-kejadian tersebut berlangsung, kata orang, di wilayah yang luasnya lebih dari tiga ratus mil, sementara orang tetap menjalankan salat wajib lim a kali atas perintah Muham m ad.18 “Dengan susah payah saya keluar dari onggokan begitu banyak m ayat berlum uran darah dan kuseret-seret badanku ke bawah pohon jeruk yang terdapat di tepi sungai terdekat. Saya am bruk di situ karena ketakutan, keletihan, kengerian, keputusasaan, dan kelaparan. Tak lama kemudian pancaindraku yang lelah hanyut dalam kantuk, yang lebih m irip keadaan pingsan daripada istirahat. Saya m asih dalam keadaan lem ah dan setengah sadar, antara hidup dan m ati, tatkala saya m erasa ditindih oleh sesuatu yang bergerak-gerak di atas tubuhku. Kubuka m ataku. Kulihat seorang lelaki berkulit putih dengan wajah cerah yang m engeluh dan m enggum am , ‘O, che sriagura d’essere senza coglioni!’”19 18 Voltaire menyerang kontradiksi yang ditunjukkan semua agama, termasuk agama Islam: antara ketaatan melaksanakan ibadah dan pembunuhan keji yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama. 19 Alangkah merananya kalau idak mempunyai “anu” lagi!

12 LANJUTAN KISAH KEMALANGAN SI NENEK “HERAN DAN gem bira m endengar bahasa negeri asalku dan tak kurang terkejut m enyadari m akna kata-kata yang diucapkan laki-laki itu, saya m enjawab bahwa ada bencana-bencana yang lebih besar dari yang dikeluhkannya. Dengan beberapa patah kata kuceritakan peristiwa-peristiwa m engerikan yang telah saya alam i, dan saya jatuh pingsan lagi. Dia m engangkatku ke rum ah terdekat, menidurkanku di tempat tidur, memberiku makan, m elayaniku, m em uji-m ujiku, m engatakan bahwa dia tidak pernah m elihat orang secantik saya. Sebelum nya tak pernah dia begitu m enyesali nasib dirinya yang telah kehilangan m ilik berharga yang tidak bakal dapat dikem balikan lagi itu. ‘Kata orang saya lahir di Napoli. Di situ orang mengebiri dua sampai tiga ribu anak setiap tahun. Beberapa di antaranya m eninggal karenanya,

48 Voltaire m ereka yang hidup m em iliki suara lebih indah daripada suara perem puan, ada yang m enjadi pem im pin negara.20 Operasi yang dilaksanakan atas diri saya berhasil baik, dan saya m enjadi pemain musik di kapel Putri Palestrine.’ ‘Oh, kapel ibuku!’ ‘Ibum u?’ serunya sam bil m enangis, ‘Aduh! J adi Nona ini putri kecil yang kubesarkan sam pai usia enam tahun dan yang memang sejak kecil sudah menunjukkan tanda-tanda akan menjadi secantik ini?’ ‘Mem ang sayalah itu, ibuku ada pada jarak em pat ratus langkah dari sini, terpotong-potong menjadi empat di bawah tim bunan m ayat....’ “Kuceritakan sem ua yang telah terjadi atas diriku. Dia pun m engisahkan petualangan-petualangannya dan m enceritakan bagaimana dia dikirim ke istana Raja Maroko oleh suatu pem erintahan Kristen untuk m engadakan perundingan dagang.21 Dalam transaksi itu dia menjual peluru, meriam, dan kapal- kapal kepada Raja Maroko, untuk m em bantunya dalam usaha m enghancurkan orang-orang Kristen yang lain. ‘Misiku telah dilaksanakan,’ kata kasim yang jujur itu, ‘saya akan m enum pang kapal dari Ceuta, dan saya akan m engantar Nona pulang ke Italia. Ma che sciagura d’essere senza coglioni.’ “Saya m engucapkan terim a kasih kepadanya dengan air m ata haru. Bukannya m engantarku ke Italia, orang itu m alahan m em bawaku ke Aljazair dan m enjualku kepada dey wilayah itu. Baru saja saya terjual, di Aljazair berkecam uk dengan ganasnya wabah pes, setelah m enyerang seluruh Afrika, Asia, dan Eropa. Nona memang telah mengalami gempa bumi, Nona, tetapi pernahkah Nona m enderita penyakit pes?” 20 Berdasarkan dokumen otenik sebagian besar penyanyi terkenal abad ke-18 adalah golongan kasim. 21 Portugal mengadakan transaksi dagang dengan Maroko, pada waktu Perang Suksesi Spanyol.

CANDIDE 49 “Tidak pernah,” jawab putri baron itu. “Seandainya Nona pernah kena penyakit itu,” sam bung si Nenek, ”Nona akan m engakui bahwa akibat bencana itu jauh m elebihi gem pa bum i. Penyakit itu sering m enyerang Afrika. Saya pun tertular. Dapat Nona bayangkan betapa penderitaan putri Paus yang berusia lim a belas tahun, yang dalam waktu tiga bulan telah mengalami kemiskinan, perbudakan, diperkosa ham pir setiap hari, dipaksa m elihat ibunya terpotong-potong menjadi empat, menderita bencana kelaparan dan peperangan, dan ham pir m ati kena wabah pes! Nam un saya tidak m ati. Tetapi si kasim dan dey , serta ham pir seluruh isi istana Aljazair m en in gga l. “Tatkala gelom bang pertam a wabah pes yang m enakutkan itu telah lewat, budak-budak dey dijual. Seorang pedagang membeli dan membawaku ke Tunisia. Dia menjualku kepada seorang pedagang lain yang m enjualku kem bali di Tripoli. Dari Tripoli saya dijual lagi di Aljazair, dari Aljazair saya dijual lagi di Sm yrna, dari Sm yrna ke Istanbul. Akhirnya saya m enjadi m ilik seorang aga pasukan kehorm atan pengawal Sultan, yang tak lam a kem udian m endapat tugas untuk m em pertahankan Azof terhadap orang- orang Rusia yang m engepungnya. Aga itu seorang laki-laki yang sangat m enyukai wanita. Dia m em bawa seluruh isi harem nya ke benteng yang terdapat di puncak Palus Meotides, yang dijaga oleh dua orang kasim hitam dan dua puluh serdadu. Mereka banyak membunuh orang Rusia, namun musuh segera menuntut balas. Azof banjir darah dan m enjadi lautan api. Mereka m em bunuh tanpa m em andang jenis kelam in m aupun usia. Yang tersisa hanyalah benteng kam i. Musuh ingin m enaklukkan kam i dengan jalan m em biarkan kam i kelaparan. Kedua puluh orang serdadu itu telah bersum pah pantang m enyerah. Ketika situasi kelaparan

50 Voltaire telah m encapai puncaknya, m ereka terpaksa m akan kedua kasim itu, karena khawatir terdorong untuk m elanggar sum pahnya. Beberapa hari kem udian m ereka m em utuskan akan m enyantap para wanita.22 “Kam i m em punyai seorang im am yang sangat alim dan bijaksana. Dia m em berikan khotbah yang bagus kepada para serdadu itu, yang m aksudnya m engusulkan agar kam i jangan dibunuh sekaligus: ‘Keratlah dulu sebelah pantat pada setiap wanita itu,’ katanya, ‘dagingnya sangat lezat. Kalau Tuan m asih m em erlukannya nanti beberapa hari lagi, m asih tersisa potongan yang sebelah lagi yang besarnya sam a. Sem oga Tuhan m em berkati Tuan atas prakarsa yang baik itu dan tetap m elindungi Tuan.’ “Gaya bicaran ya san gat m en arik, dan ia berh asil m em pengaruhi para serdadu tersebut. Operasi yang m engerikan itu pun dilaksanakan terhadap diri kam i. Pada bekasnya sang im am m engoleskan krim yang biasa dipakai untuk m engobati anak yang baru disunat. Kam i sem ua tersiksa bagaikan sudah berada di ambang maut. “Baru saja para serdadu itu selesai m em persiapkan m akanan yang bahannya diam bil dari badan kam i, orang-orang Rusia m enyerbu dengan kapal-kapalnya. Tak seorang pun serdadu itu selamat. Orang-orang Rusia itu tak memedulikan keadaan kami. Namun untung ada ahli-ahli bedah Prancis. Salah seorang di antaranya sangat ahli dan m engurus kam i. Dia berhasil m enyem buhkan kam i. Tak akan kulupakan seum ur hidup bahwa, setelah luka-lukaku menutup kembali dengan baik, dia melamarku. Selain dari itu dia memberi nasihat kepada kami sem ua untuk berbesar hati. Dikatakannya bahwa sehabis terjadi pertem puran, keadaan seperti itu lazim terlihat, dan bahwa itu adalah hukum perang. 22 Voltaire menulisnya berdasarkan buku-buku yang dibacanya sebagai bahan penulisan karya- karya ilmiahnya.

CANDIDE 51 “Begitu kawan -kawan ku bisa berjalan , kam i dikirim ke Moskow. Saya kebetulan jatuh di tangan seorang bangsawan Rusia. Saya dijadikan tukang kebun dan m endapat cam bukan dua puluh kali sehari. Namun dua tahun kemudian bangsawan itu ditangkap bersama sekitar tiga puluh bangsawan lain, sehubungan dengan suatu perselisihan di istana. Dalam peristiwa itu saya m engam bil kesem patan untuk m elarikan diri. Kujalani seluruh Rusia. Lam a saya bekerja sebagai pelayan di Riga, lalu di Rostock, di Vism ar, di Leipsick, di Cassel, di Utrecht, di Leiden, di Den Haag, dan Rotterdam . Saya m enjadi tua dalam kesengsaraan dan kem elaratan, dan hanya m em punyai pantat sebelah, serta selalu teringat bahwa saya putri seorang Paus. Seratus kali saya tergoda untuk membunuh diri, namun masih cinta kehidupan. Kelem ahan konyol ini m ungkin m erupakan salah satu cacat kita terbesar. Adakah yang lebih tolol dari m em anggul suatu beban terus-m enerus, padahal kita selalu ingin m encam pakkannya di tanah? Membenci hidup, namun sekaligus sangat terikat kepadanya? Pendeknya, m engelus-elus ular yang m enggerogoti kita, sam pai akhirnya dia m em angsa jantung kita? “Di negeri-negeri tem pat nasib m endam parkan saya, serta di rum ah-rum ah m akan tem pat saya bekerja sebagai pelayan, saya pernah bertem u dengan orang-orang yang m em benci hidup m asing-m asing. Nam un hanya dua belas orang yang dengan sukarela mengakhiri sendiri penderitaan mereka itu: tiga orang Negro, empat orang Inggris, empat orang J enewa, dan seorang profesor J erm an yang bernam a Robeck. Akhirnya saya m enjadi pelayan orang Yahudi yang bernam a Don Issachar itu. Dia m enem patkan saya sebagai pelayan Nona, Nona yang cantik. Sejak itu saya selalu terkait dengan hidup Nona, dan saya lebih m em ikirkan nasib Nona daripada urusan saya sendiri. Bahkan m ungkin tak akan pernah saya m enceriterakan kem alangan-

52 Voltaire kem alangan saya itu, seandainya Nona tidak m enyinggung hati saya tadi, dan seandainya m endongeng bukan kebiasaan yang berlaku di kapal, agar kita tidak m erasa bosan. Pokoknya, Nona, saya m em punyai banyak pengalam an, saya telah m engenal dunia ini. Untuk kesenangan Nona sendiri silakan iseng-iseng meminta kepada setiap penumpang kapal ini untuk menceritakan riwayatnya. Kalau ada seorang saja yang tidak sering m enyum pahi hidupnya, yang tidak sering m enganggap diri orang term alang di dunia, ceburkan saya ke laut dengan kepala lebih dahulu!”

13 BAGAIMANA CANDIDE TERPAKSA HARUS BERPISAH DENGAN CUNEGONDE YANG CANTIK DAN SI NENEK SETELAH MENDENGARKAN cerita si Nenek, Cunegonde yang cantik m enunjukkan sikap horm at yang sepantasnya bagi wanita yang berasal dari keluarga yang begitu tinggi derajatnya serta m em iliki pengalam an begitu banyak. Dia pun m enerim a usul nenek itu. Maka dia meminta kepada para penumpang, satu per satu, untuk m enceritakan pengalam an m asing-m asing. Candide dan dia sendiri mengakui bahwa pendapat si Nenek benar. “Sayang sekali Pangloss yang bijaksana itu telah digantung m enyalahi kebiasaan dalam auto-da-fé itu,” dem ikian kom entar Candide, ”kalau tidak, tentulah dia akan m em berikan uraian- uraian yang m engagum kan tentang keburukan-keburukan lahir

54 Voltaire dan batin yang m eliputi m uka bum i dan laut. Rasanya saya akan memiliki cukup keberanian untuk mengajukan beberapa keberatan dengan penuh rasa horm at terhadapnya.” Sementara setiap orang menceritakan kisah masing-masing, kapal itu terus m elaju. Mereka tiba di Buenos Aires. Cunegonde, Kapten Candide, dan si Nenek pergi ke rum ah Gubernur Don Fernando d’Ibaraa, y Figueora, y Mascarenes, y Lam pourdos, y Souza. Bangsawan itu telah m enunjukkan sikap tinggi hati yang pantas ditunjukkan oleh orang yang m em iliki sedem ikian ba- nyak nam a. Dia berbicara kepada pria dengan sikap m encem ooh yang sangat anggun, seraya m endongakkan hidung, serta m elengkingkan suara tanpa belas kasihan, dengan nada yang begitu angker, serta cara berjalan gaya ningrat yang sedem ikian dibuat-buat, sehingga m ereka yang harus m em beri salam kepadanya sering tergerak ingin m enam parnya. Dia sangat doyan wanita. Di m atanya Cunegonde m erupakan wanita tercantik yang pernah dilihat. Yang pertam a dilakukannya adalah m enanyakan apakah Cunegonde bukan istri Pak Kapten. Air m ukanya waktu m engajukan pertanyaan itu m engkhawatirkan Candide. Dia tidak berani m engatakan bahwa Cunegonde istrinya, karena m em ang belum . Dia pun tak berani m enyam paikan bahwa wanita itu adiknya, karena m em ang juga bukan. Dan walaupun dusta yang lazim itu pernah m enjadi m ode yang sangat sering dilakukan orang pada zam an dulu, serta m ungkin juga berguna bagi orang- orang m odern, hatinya terlalu jujur untuk m enutupi kenyataan yang sebenarnya. “Nona Cunegonde telah setuju untuk m enikah dengan saya,” ujarnya, “dan kam i m ohon, kiranya Yang Mulia berkenan menghadiri perkawinan kami.” Sam bil m em ilin-m ilin kum isnya Don Fernando d’Ibaraa, y Figueora, y Mascarenes, y Lam pourdos, y Souza tersenyum pahit. Dia m em erintahkan Kapten Candide untuk m em eriksa

CANDIDE 55 barisan. Candide m em atuhinya. Sang Gubernur tinggal bersam a Cunegonde. Dia m enyatakan cintanya, serta m enandaskan bahwa keesokan harinya dia akan m enikahinya di depan gereja atau di tem pat m ana pun sesuai dengan kata hatinya. Cunegonde meminta waktu seperempat jam untuk berpikir, untuk meminta nasihat si Nenek, dan untuk mengambil keputusan. Perem puan tua itu berkata kepada Cun egon de: “Non a, Nona memiliki tujuh puluh dua garis keturunan ningrat, namun tak sepeser pun uang. Sekarang terpulang kepada Nona untuk memutuskan apakah bersedia menjadi istri pejabat tertinggi di seluruh Am erika Selatan, yang berkum is bagus. Untuk apa Nona berpegang teguh pada janji setia? Nona toh pernah diperkosa oleh orang-orang Bulgaria; seorang Yahudi dan seorang agam awan pernah pula m enikm ati tubuh Nona. Kem alangan-kem alangan itu memberikan hak kepada Nona untuk mengambil keputusan yang paling m enguntungkan. Terus terang saya akui bahwa jika saya m enjadi Nona, rasanya saya tak akan ragu-ragu menikahi gubernur itu, serta sekaligus meningkatkan karier Kapten Candide.” Sem entara perem puan tua itu m engungkapkan pendapat berdasarkan pertimbangan dan pengalaman orang seusianya, di pelabuhan itu kelihatan ada kapal kecil m asuk, dengan membawa seorang alcade dan sepasukan alguazils.23 Beberapa waktu sebelum nya si Nenek telah m enduga dengan tepat bahwa seorang agam awan yang berpanjang tanganlah yang m encuri uang dan perm ata Cunegonde di kota Badajoz, ketika wanita itu melarikan diri secara tergesa-gesa bersama Candide. Belakangan agam awan itu berm aksud m enjual beberapa batu permata tersebut kepada seorang pedagang emas berlian. Pedagang itu m engenalinya sebagai m ilik Pendeta Agung. Sebelum digantung agam awan itu m engakui bahwa dia telah m encurinya. Dia m enyebutkan dari siapa asalnya dan ke arah m ana m ereka 23 Hakim dan tentara Portugis.

56 Voltaire pergi. Pelarian Cunegonde dan Candide m em ang telah diketahui um um . Mereka telah dikejar sam pai di Cadix. Tanpa m em buang waktu dikirim sebuah kapal untuk melacak mereka. Nah, kapal itu kini sudah berada di pelabuhan Buenos Aires. Berita segera tersebar bahwa seorang alcade telah tiba di pelabuhan dan bahwa rom bongan itu sedang m engejar para pem bunuh Pendeta Agung. Perem puan tua yang hati-hati itu segera m engetahui apa yang harus dilakukannya. “Nona tidak dapat m elarikan diri,” katanya kepada Cunegonde, “nam un tak ada yang perlu Nona takutkan. Bukan Nona yang m em bunuh Monseigneur. Tam bahan lagi Tuan Gubernur yang m encintai Nona tidak akan m em biarkan Nona ditangkap. Tetaplah tinggal di sini.” Dia langsung berlari mencari Candide. “Ayo lari,” sarannya, “kalau tidak, dalam waktu setengah jam lagi Tuan akan dibakar hidup-hidup.” Tak ada waktu untuk ragu-ragu, nam un bagaim ana bisa berpisah dengan Cunegonde, dan di m ana pula harus bersem bunyi?

14 BAGAIMANA CANDIDE DAN CACAMBO DITERIMA OLEH ORANG-ORANG JESUIT PARAGUAY DARI CADIX Candide telah m em bawa seorang pelayan. Orang- nya seperti banyak pelayan yang biasa ditem ukan di pantai- pantai Spanyol dan daerah-daerah jajahan. Darahnya seperem pat Spanyol karena lahir dari keluarga cam puran di wilayah Tucuman. Dia pernah menjadi anggota paduan suara gereja, pe- tugas kebersihan gereja, kelasi, agamawan, pengantar surat, ser- dadu, pengawal istana. Nam anya Cacam bo dan sangat m encintai m ajikannya, karena dia baik hati sekali. Dengan secepatnya pelayan itu m em asang pelana kedua kuda Andalusia. “Mari, Tuan, turuti saja nasihat nenek itu. Mari kita lari, tanpa menoleh lagi ke belakang.” Air m ata Candide berderai. “Aduh, Cunegonde

58 Voltaire sayang, m estikah saya m eninggalkan engkau, pada saat Paduka Tuan Gubernur akan m em berkati pernikahan kita? Cunegonde, yang kubawa jauh-jauh ke sini, bagaim ana nasibm u nanti?” “Nasibn ya akan m en yesuaikan diri den gan keadaan ,” sam bung Cacam bo, “perem puan tidak pernah repot-repot dengan nasibnya, Tuhan m engurus m ereka. Ayo, kita lari.” “Ke m ana kau m em bawaku? Ke m ana kita pergi? Apa yang akan kita perbuat tanpa Cunegonde?” tanya Candide. “Dem i Santa J acques de Com postelle!” sahut Cacam bo. “Tuan kan tadinya m au berperang m elawan orang-orang J esuit, nah, sekarang m arilah kita berperang untuk m ereka. Saya tahu jalan, akan saya bawa Tuan ke kerajaan m ereka. Mereka pasti akan senang m endapat seorang Kapten yang pernah m endapat latihan di pasukan Bulgaria. In i kesem patan un tuk m en gum pulkan kekayaan yang besar. Apabila kita sial di dunia yang satu, kita harus m em peroleh keberuntungan di dunia yang lain. Sangat m enyenangkan m elihat dan m elakukan hal-hal baru.” “J adi kau pernah ke Paraguay?” tanya Candide. “Ya, tentu saja,” sahut Cacam bo, “saya pernah bekerja sebagai pelayan ruang m akan Kolese Assom ption, dan saya m engenal pem erintahan los padres24 itu seperti saya hafal jalan-jalan di Cadix. Pem erintahan itu sungguh m engagum kan. Pada waktu itu kerajaan mereka25 telah mencakup diameter tiga ratus mil, dan dibagi m enjadi tiga puluh provinsi. Di sana los padres m em iliki segalanya, sedangkan rakyat tidak m em iliki apa-apa. Itulah m ahakarya yang dihasilkan akal sehat dan peri keadilan. Bagi saya sendiri tak ada yang lebih m engasyikkan daripada m engam ati los padres itu yang di Am erika Selatan ini berperang m elawan Raja Spanyol dan Portugal, padahal di Eropa m ereka 24 Pastor Jesuit. 25 Voltaire sangat idak suka melihat para pastor Jesuit menduduki jabatan sipil di pemerintahan. Isilah kerajaan di sini dipakai untuk mengejek kekuasaan mereka yang terlalu besar.

CANDIDE 59 menjadi bapak pengakuan para pemimpin tersebut. Di sini m ereka m em bunuh orang-orang Spanyol, sedangkan di Madrid m ereka m endam pingi orang-orang yang sedang m enghadapi m aut. Sangat m enggelikan bagi saya! Mari kita jalan! Tuan akan m enjadi orang yang paling berbahagia di dunia. Betapa gem biranya nanti los padres, m anakala m ereka m engetahui bahwa seorang kapten yang telah m endapat latihan gaya Bulgaria, datang m em bantu m ereka!” Begitu m ereka sam pai di perbatasan pertam a, Cacam bo m engatakan kepada penjaga bahwa seorang kapten ingin berbicara dengan Monseigneur Kom andan. Dia pun segera memberi tahu markas besar. Seorang perwira Paraguay bergegas m em beri tahu sang Kom andan tentang perm ohonan tersebut. Maka pertam a-tam a Candide dan Cacam bo dilucuti terl- ebih dahulu. Kedua ekor kuda Andalusia itu diam ankan. Kedua orang asing tersebut disuruh berjalan di antara dua barisan serdadu. Sang Kom andan berdiri di ujungnya, m engenakan topi bertanduk tiga, jubah pendek, pedang di pinggang, serta meme- gang tom bak.26 Dia m em beri isyarat. Segera em pat orang ser- dadu m engelilingi kedua orang yang baru datang itu. Seorang sersan berkata bahwa mereka harus menunggu, bahwa Sang Kom andan belum boleh berbicara dengan m ereka, karena Kepala Gereja Provinsi telah m enetapkan bahwa seorang Spanyol hanya boleh m em buka m ulut kalau beliau hadir dan setelah yang bersangkutan berada di negeri itu lebih dari tiga jam . “Dan di m ana Bapak Pendeta sekarang?” kata Cacam bo. “Beliau sedang m enyaksikan parade, setelah m em im pin m isa,” sahut si sersan itu, “kalian baru boleh m encium jubahnya tiga jam lagi.” “Tetapi,” sam bung Cacam bo, “Tuan Kapten ini, yang sudah m erasa sangat kelaparan seperti saya sendiri, bukan orang 26 Para pastor itu juga menyusup dalam dinas ketentaraan, dan menduduki jabatan militer. Hal ini juga dianggap Voltaire sangat idak sesuai dengan tujuan pembentukan orde mereka.

60 Voltaire Spanyol, dia orang J erm an. Tak dapatkah kam i m akan siang dulu sem entara m enunggu Bapak Pendeta yang terhorm at?” Sersan itu segera m enyam paikan perm ohonannya kepada kom andannya. “Syukur kepada Tuhan!” sam but pejabat itu. “Karena dia orang J erm an, saya dapat berbicara dengannya. Antarlah m ereka ke kem ahku.” Pejabat itu seorang pem uda yang sangat tam pan, wajahnya segar, kulitnya cukup putih, dengan warna m em ancarkan kesehat- an, alis tinggi, mata hidup, telinga merah, bibir merah, air muka yang m enunjukkan keyakinan kepada diri sendiri, nam un ber- lainan dari yang biasa terlihat pada orang Spanyol m aupun orang J esuit. Senjata-senjata yang telah diram pas dikem balikan kepada Candide dan Cacam bo, dem ikian pula kedua ekor kuda Andalusia itu. Cacam bo m em beri m akan binatang-binatang itu dengan gandum dekat perkemahan tersebut, sambil tetap mengawasi serdadu-serdadu itu, karena khawatir mendapat kejutan lain. Pertam a-tam a Candide m encium jubah kom andan itu, kem u- dian mereka duduk di depan meja makan. “J adi Tuan ini orang J erm an?” tanya pendeta J esuit itu dalam bahasa J erman. “Ya, Bapak Pendeta,” sahut Candide. Sam bil berbicara dem i- kian kedua-duanya saling m em andang dengan terkejut, serta hati berdebar-debar tanpa disadari. “Dari wilayah J erm an sebelah mana Tuan berasal?” “Dari provinsi Westphalen yang brengsek,” kata Candide, “saya dilahirkan di istana Thunder-ten-tronckh.” “Ya, Tuhan! Mungkinkah ini?” seru sang Kom andan. “Ajaib sekali!” teriak Candide. “Engkaukah itu?” tanya sang Kom andan. “Aduh, tak m ungkin rasanya ini terjadi,” sam bung Candide. Keduanya terhenyak di kursi, lalu saling m em eluk, dan berderai air mata.

CANDIDE 61 “Aduh! Sungguhkah Bapak yang berada di hadapan saya, Bapak Pendeta? Betul-betulkah Bapak kakak Cunegonde? Bapak yang m enurut berita telah dibunuh orang-orang Bulgaria? Bapak- kah putra Paduka Baron? Dan Bapak m enjadi orang J esuit Paraguay! Harus diakui bahwa dunia ini sungguh aneh. Aduh, Pangloss! Pangloss! Betapa Tuan akan berbahagia, seandainya tidak digantung!” Kom andan itu m enyuruh pergi budak-budak Negro dan Paraguay yang m elayani m ereka m inum dalam gelas-gelas kristal dari batu karang. Dia bersyukur seribu kali kepada Tuhan dan Santa Ignatius27. Dia m em eluk Candide erat-erat. Wajah m ereka bersim bah air m ata. “Mungkin Bapak akan lebih terkejut, lebih terharu, lebih gem bira, kalau saya katakan bahwa adik Bapak, Nona Cunegonde, yang Bapak kira telah dirobek perutnya, juga masih sehat walaiat,” ujar Candide. “Di m ana?” “Di negara tetangga, di istana Gubernur Buenos Aires. Saya datang sebenarnya untuk m enyerang Bapak.” Setiap kata yangterucap dalam percakapan itu m engungkapkan keajaiban demi keajaiban. Seluruh jiwa raga mereka seolah-olah terpusatkan pada lidah mereka, penuh perhatian pada telinga mereka, dan menimbulkan sinar cemerlang pada mata masing- m asing. Berhubung m ereka itu orang J erm an, m ereka tinggal di meja makan lama sekali, sementara menunggu kedatangan Kepala Gereja Provinsi. Kom andan bercerita sebagai berikut kepada Candide. 27 Pembentuk orde Jesuit pada tahun 1534.

15 BAGAIMANA CANDIDE MEMBUNUH KAKAK KEKASIHNYA, CUNEGONDE “SEUMUR HIDUP akan selalu jelas tergambar dalam ingatan saya apa yang terjadi pada hari yang mengerikan, ketika saya menyaksikan ayah dan ibuku terbunuh, serta adikku diperkosa. Setelah orang-orang Bulgaria itu pergi, adikku tercinta itu tak berhasil ditemukan. Dengan gerobak mereka mengangkut ibuku, ayahku, dan aku sendiri, serta dua orang pelayan dan tiga orang anak laki-laki korban penyembelihan, untuk dikuburkan di suatu kapel J esuit yang letaknya dua mil dari istana nenek moyangku. Seorang J esuit m encipratkan air pem berkatan, rasanya asin sekali. Beberapa titik air itu masuk ke dalam mataku. Pendeta itu melihat bahwa kelopak mataku bergerak. Lalu dia meletakkan tangannya di dadaku dan merasakan denyut jantungku. Saya pun segera diobati, dan tiga minggu kemudian sudah tak kelihatan

CANDIDE 63 lagi bekas-bekas bencana itu. Kau tahu, Candide yang baik, bahwa saya tampan sekali. Waktu itu saya menjadi semakin tampan, maka Pendeta Croust, pejabat tinggi gereja itu, menaruh perhatian yang mendalam sekali terhadap diriku. Saya diberinya pakaian novice. Beberapa waktu kemudian saya dikirim ke Roma. Kepala Gereja di sana ingin mengum pulkan pem uda-pem uda J esuit J erman. Para penguasa Paraguay menerima sesedikit mungkin J esuit Spanyol. Mereka lebih senang orang asing, karena lebih gampang dikuasai. Saya dinilai cocok untuk bekerja di wilayah ini. Kami bertiga: seorang Polandia, seorang Tyrolia, dan saya sendiri, segera diberangkatkan. Setibanya di sini saya mendapat kehormatan menjadi sub diakon dan memimpin suatu pasukan dengan pangkat letnan. Kini saya sudah menjadi kolonel dan pendeta. Kami membalas dengan gencar serangan-serangan yang dilancarkan oleh pasukan-pasukan Raja Spanyol. Saya jam in mereka segera akan dikucilkan oleh gereja dan dikalahkan. Tuhan mengirim kau kemari untuk membantu kami. Tetapi betulkah adikku tercinta Cunegonde ada di negara tetangga, di istana Gubernur Buenos Aires?” Candide bersumpah bahwa tak ada yang perlu disangsikan lagi. Maka air mata mereka pun berderai lagi. Baron m uda itu tak bosan-bosannya m em eluk Candie, dia m enyebutnya adiknya, penyelam atnya. “Ah, m ungkin kita ber- sam a bisa m em asuki kota itu sebagai pem enang,” katanya kepada Candide, “dan m erebut kem bali adikku Cunegonde.” “Itulah yan g selalu saya harapkan ,” jawab Can dide, “karena saya telah berniat m enikah dengannya dan m asih tetap m engharapkannya.” “Eh, kurang ajar sekali,” sela sang baron, “bagaim ana m ung- kin Engkau berani m enikah dengan adikku yang m em iliki tujuh puluh dua garis keturunan berdarah biru! Kelewatan sekali kau berani m engem ukakan niat yang kurang ajar itu kepadaku!” Candide yang sangat terkejut m endengar reaksi tersebut, m enjawab, “Bapak Pendeta, sem ua garis keturunan tidak ada

64 Voltaire artinya lagi sekarang. Saya telah m enyelam atkan adik Bapak dari tangan seorang Yahudi dan Pendeta Agung. Dia berhutang budi kepadaku, dan dia sendiri ingin m enikah dengan saya. Tuan Guru Pangloss selalu mengatakan bahwa manusia itu sederajat, maka saya pasti akan m enikah dengan Cunegonde.” “Kita lihat saja nanti, bangsat!” kata baron Thunder-ten-tronckh yang J esuit itu, seraya menampar muka Candide keras-keras dengan lempengan pedangnya. Tak ayal lagi Candide pun menarik pedangnya dan menusukkannya ke perut baron J esuit itu, namun seraya menarik kembali pedangnya yang berasap, dia langsung menangis. “Aduh, Tuhan!” katanya. “saya telah membunuh bekas majikanku, sahabatku, calon iparku. Rasanya aku ini manusia ter- baik di dunia, namun sudah tiga orang korban yang kubunuh. Dan di antara ketiga orang itu, dua orang adalah pendeta!” Cacam bo, yang berjaga-jaga di pintu kem ah itu, bergegas m engham pirinya. “Kini Tuan segera harus m enyelam atkan hidup Tuan yang berharga!” katanya kepada m ajikannya. “Tak lam a lagi pasti akan ada orang yang m asuk ke kem ah ini. Seandainya kita harus meninggal, biarlah kita mati secara terhormat setelah m em pertahan kan diri.” Cacam bo yan g serin g m en galam i peristiwa serupa, tak kehilangan akal. Dia menanggalkan jubah J esuit yang dipakai baron, dan m engenakannya kepada Candide. Dikenakannya pula topi persegi si m ati dan dinaikkannya Candide ke atas pelana kuda. Sem uanya itu dilakukannya dalam sekejap m ata. “Ayo kita lari, Tuan, sem ua orang akan m engira bahwa Tuan adalah pendeta J esuit yang akan m enyam paikan perintah- perintah. Kita harus telah m encapai perbatasan, sebelum orang- orang ini dapat m engejar kita.” Seraya berkata begitu dia telah m elesat pergi, sam bil berteriak dalam bahasa Spanyol, “Luangkan tem pat, luangkan tem pat, Pendeta Kolonel akan lewat!”

16 APA YANG TERJADI ATAS DIRI KEDUA PENGEMBARA DENGAN DUA ORANG GADIS, DUA EKOR MONYET SERTA ORANG-ORANG PRIMITIF OREILLON28 CANDIDE DAN Cacam bo sudah berada di luar perbatasan, dan di perkem ahan itu belum ada yang m engetahui bahwa J esuit J erm an itu telah terbunuh. Cacam bo yang tangkas itu telah sem pat m engisi kopornya dengan roti, cokelat, ham , buah- buahan, serta beberapa botol anggur. Dengan menunggang kuda Andalusia itu m ereka m asuk ke suatu negara tak dikenal. Mereka tak m enem ukan jalan. Akhirnya tam pak di hadapan m ereka padang rum put yang indah, yang diselingi sungai-sungai kecil. Kedua pengem bara itu m em biarkan kedua kuda tunggangan 28 “Oreillon” berari orang bertelinga lebar, karena mereka memakai perhiasan telinga yang berat.

66 Voltaire m asin g-m asin g m akan rum put. Cacam bo m en gusulkan agar m ajikannya m akan dulu, dan dia segera m em beri contoh. “Bagaim ana m ungkin saya bisa m akan ham ,” jawab Candide, “padahal saya baru m em bunuh putra baron, dan saya tersiksa karena tidak m ungkin bertem u lagi dengan Cunegonde seum ur hidup? Apa gunanya m em perpanjang hidupku yang sengsara ini, kalau saya harus m enjalaninya jauh dari kekasihku itu, dalam penyesalan dan keputusasaan? Dan apa pula kom entar surat kabar Journal de Trevoux29 nanti?” Walaupun berkata begitu, toh dia makan juga. Matahari terbenam . Kedua orang yang tersesat jalan itu m endengar jeritan- jeritan kecil seperti suara perempuan. Mereka tidak tahu apakah itu jeritan kesakitan atau kegembiraan. Namun mereka bangkit tergopoh-gopoh, dengan rasa khawatir dan perasaan ngeri yang biasa m uncul m anakala kita berada di suatu daerah yang tak dikenal. J eritan itu keluar dari mulut dua orang gadis telanjang bulat, yang lari perlahan-lahan di tepi padang rum put itu. Dua ekor kera mengikuti mereka, sambil menggigit pantat masing- m asing. Candide m erasa kasihan. Dia pernah belajar m enem bak di pasukan Bulgaria dulu, dan m am pu m em bidik buah kenari di sem ak belukar, tanpa m enyentuh daun-daunnya. Diam bilnya senapan Spanyol dua bidikan, dan ditem bak serta dibunuhnya kedua ekor kera itu. “Tuhan Mahabesar, Cacam bo yang baik, saya berhasil m enyelam atkan kedua m ahluk m alang itu dari bahaya besar. Kalau saya berdosa telah m em bunuh seorang pendeta dan seorang J esuit, kini boleh dikatakan saya telah m enghapus dosa itu dengan m enyelam atkan hidup kedua wanita itu. Siapa tahu m ereka wanita terhorm at, dan pertolongan yang kuberikan ini akan m em bawa berkah yang besar bagi kita di daerah ini.” 29 Koran Jesuit, mulai diterbitkan di Trevoux tahun 1701. Voltaire memendam dendam, karena koran itu pernah memuat kriikan terhadap dirinya.

CANDIDE 67 Dia m asih terus berbicara, nam un tiba-tiba lidahnya serasa kelu, tatkala dilihatnya bahwa kedua perem puan itu m em eluk kedua ekor kera dengan m esranya, m enangis di atas kedua m ayat, seraya m em enuhi udara dengan jeritan-jeritan yang sangat sedih. “Wah, saya tidak pernah m enyangka ada orang sebaik itu,” katanya kepada Cacam bo. Pelayannya itu m enjawab, “Tuan telah m em buat karya yang hebat, Tuan, Tuan telah membunuh kekasih kedua perempuan itu.” “Kekasih m ereka! Mun gkin kah itu? J an gan m ain -m ain , Cacam bo. Apa buktinya?” “Tuanku yang baik,” sam bung Cacam bo, “Tuan ini selalu heran kalau melihat apa-apa. Mengapa Tuan anggap begitu aneh kalau di suatu daerah ada kera yang m em peroleh cinta wanita? Kera kan seperem pat m anusia juga, sam a halnya seperti saya ini seperem pat Spanyol.” “Yah,” ujar Candide, “m em ang saya ingat pernah m endengar dari Tuan Guru Pangloss, bahwa zam an dulu kecelakaan seperti itu pernah terjadi, dan campuran itu menghasilkan manusia setengah hewan, dan bahwa tokoh-tokoh besar zam an kuno pernah m elihatnya, nam un tadinya saya kira itu hanya dongeng belaka.” “Nah, sekarang Tuan m enjadi yakin,” sam bung Cacam bo, “bahwa itu suatu kejadian yang sesungguhnya, dan Tuan m elihat bagaim ana kebiasaan itu berlaku pada orang-orang yang tidak m engenyam pendidikan. Yang saya takutkan hanyalah bahwa perem puan-perem puan itu akan m enim bulkan perkara yang tidak enak.” Kesim pulan yang m asuk akal itu m em aksa Candide meninggalkan padang rumput dan masuk ke dalam hutan. Di situ ia m akan m alam dengan Cacam bo. Setelah m enyum pahi pendeta Portugal, Gubernur Buenos Aires, dan putra baron, kedua-duanya tertidur di atas lum ut. Ketika bangun kem bali,

68 Voltaire mereka merasa bahwa anggota badan mereka tidak dapat digerakkan. Ternyata bahwa pada m alam harinya orang-orang Oreillon, penduduk setem pat, yang telah m endapat laporan buruk tentang mereka dari kedua perempuan itu, telah mengikat m ereka dengan tali yang terbuat dari kulit pohon. Mereka di- kelilingi oleh sekitar lim a puluh orang Oreillon yang telanjang bulat, bersenjatakan panah, pem ukul, dan kapak batu. Beberapa orang sedang m endidihkan air di gentong besar. Yang lain tengah m em persiapkan panggangan, dan sem uanya berteriak, “Hore, J esuit tertangkap, J esuit tertangkap, dendam kita terbalas, dan kita akan makan besar. Mari kita makan J esuit! Mari kita makan J esuit!” “Nah, apa yan g tadi m alam saya katakan , Tuan ,” seru Cacam bo den gan sedih, “kedua perem puan itu betul-betul memperkarakan kita.” Ketika m elihat gen ton g dan pan ggan gan itu Can dide berteriak, “Wah, pasti kita akan dipanggang dan direbus. Aduh, apa yang akan dikatakan Tuan Guru Pangloss, seandainya dia m enyaksikan bagaim ana kenyataan sebenarnya dalam alam yang m asih asli ini? Bahwa sem uanya baik, yah, kita setuju saja. Tetapi harus saya akui bahwa rasanya kejam sekali nasib ini karena saya harus kehilangan Nona Cunegonde dan dipanggang oleh orang- orang Oreillon.” Cacam bo tak pernah kehilangan akal. “J angan m udah putus asa,” katan ya kepada Can dide yan g kebin gun gan itu, “saya m enguasai sedikit bahasa orang-orang ini, saya akan berbicara dengan mereka.” “J angan lupa Tuan katakan kepada m ereka,” ujar Candide, “bahwa betapa tidak m anusiawinya m em asak daging m anusia, dan bahwa itu tidak sesuai dengan prinsip agam a Kristen.” “Tuan-tuan,” kata Cacam bo,” jadi Tuan sekalian berm aksud m akan daging J esuit hari ini. Itu baik sekali. Tak ada yang lebih

CANDIDE 69 terpuji dari melakukan tindakan tersebut atas diri musuh. Memang benar, hukum alam mengajarkan kepada kita untuk membunuh sesama manusia, dan itulah yang terjadi di seluruh muka bumi ini.30 Apabila kita tidak menggunakan hak untuk memakannya, itu berarti bahwa kita mempunyai bahan lain untuk disantap. Namun Tuan semua tidak mempunyai sumber yang sama dengan kami. Tentu saja lebih baik melahap badan musuh, daripada menyerahkan hasil kemenangan itu kepada gagak atau cacing. Tetapi Tuan-tuan, Tuan tidak bermaksud makan sahabat-sahabat Tuan, bukan? Tuan mengira akan memanggang seorang J esuit, padahal sesungguhnya pem bela Tuanlah, m usuh dari m usuh Tuanlah yang akan Tuan bakar ini. Saya sendiri dilahirkan di negeri ini, sedangkan orang yang Tuan lihat ini adalah majikan saya. Dia sama sekali bukan J esuit. Dia justru baru membunuh seorang J esuit, yang dia pakai bajunya. Itu yang membuat Tuan salah mengerti. Untuk membuktikan apa yang barusan saya katakan, ambillah jubah ini, bawalah ke perbatasan kerajaan los padres. Silakan cari keterangan untuk mengecek apakah majikan saya ini benar-benar telah membunuh seorang J esuit. Hanya sedikit waktu yang diperlukan. Tuan akan selalu sempat memakan kami, kalau Tuan beranggapan bahwa saya berdusta. Tetapi kalau saya telah berkata benar, sebagai orang yang sangat mementingkan prinsip- prinsip hak asasi manusia, adat istiadat dan undang-undang, sudah sepantasnyalah Tuan membebaskan kami.” Orang-orang Oreillon menganggap pidato itu masuk akal. Mereka mengirim dua orang utusan untuk pergi berkereta kuda m encari keterangan. Kedua utusan tersebut m elaksanakan tugas secara orang terpelajar dan segera kembali membawa berita baik. Orang-orang Oreillon membuka ikatan kedua tawanan, mem- berikan penghorm atan-penghorm atan, m enyuguhkan perem pu- an-perempuan, menghidangkan kudapan, dan mengantar mereka 30 Bagi Voltaire peperangan adalah pembunuhan yang disahkan.

70 Voltaire sam pai perbatasan wilayah m ereka, sam bil berteriak-teriak gem bira, “Dia bukan J esuit! Dia bukan J esuit!” Candide tak putus-putusnya m engagum i alasan pem bebas- annya. “Bukan m ain orang-orang ini!” katanya. “Hebat sekali pria-pria itu! Adat istiadat yang luar-biasa! Seandainya saya tidak beruntung telah m enusuk badan kakak Nona Cunegonde, saya mungkin akan dimangsa tanpa ampun. J adi bagaimanapun alam yang asli itu ternyata m em ang baik, karena orang-orang ini tidak jadi m em angsa saya, m alahan m enunjukkan sikap horm at, begitu m ereka tahu bahwa saya bukan orang J esuit.”

17 KEDATANGAN CANDIDE BESERTA PELAYANNYA DI NEGARA ELDORADO DAN APA YANG MEREKA LIHAT DI SANA31 SETIBANYA MEREKA di tapal batas wilayah Oreillon, Cacam bo berkata kepada Candide, “Nah, Tuan telah m elihat sendiri, bagian dunia ini tidak lebih baik dari yang lain. Percayalah kepada saya, mari kita pulang lagi saja ke Eropa melalui jalan terpendek.” “Bagaim ana bisa kita pulang ke sana,” sahut Candide, “dan ke m ana kita akan pergi? Kalau saya pulang ke negaraku, di sana ada orang-orang Bulgaria dan Abar yang suka m em bunuh orang; kalau saya pulang ke Portugal, saya akan dibakar hidup-hidup; kalau kita tinggal di negeri ini, setiap saat kita bisa dipanggang orang. 31 “Eldorado” berari negeri emas, negeri idaman yang ada dalam khayalan. Menurut cerita orang tempatnya sekitar Venezuela.

72 Voltaire Dan lagi bagaim ana saya bisa m em utuskan untuk m eninggalkan bagian dunia tem pat Nona Cunegonde berada?” “Marilah kita kem bali ke arah Cayenne,” ujar Cacam bo, “kita akan bertem u dengan orang-orang Prancis yang selalu bepergian ke mana-mana. Mereka akan dapat membantu kita. Mungkin Tuhan akan berkenan mengasihani kita.” Tidak m udah bagi m ereka untuk pergi ke Cayenne. Mereka tahu ke arah mana kira-kira harus pergi, namun pegunungan, sungai-sungai, jurang-jurang, perampok-perampok, serta orang- orang prim itif yang ada di m ana-m ana m enjadi ham batan yang sulit diatasi. Kedua kuda m ereka m ati lem as. Bekal m ereka pun habis. Selama sebulan penuh mereka makan buah-buahan hutan. Akhirnya tibalah m ereka dekat sebuah sungai kecil. Di tepinya berbaris pohon kelapa, yang dapat m em perpanjang hidup dan harapan mereka. Cacam bo, yang selalu m em beri nasihat-nasihat yang sam a baiknya seperti si Nenek, berkata kepada Candide, “Kita tak punya tenaga lagi, sudah cukup jauh kita berjalan. Saya m elihat ada sampan kosong di tepi sungai itu. Mari kita isi dengan kelapa, lalu kita jalankan perahu itu. Kita ikuti saja aliran sungai itu. Sungai selalu m enuju ke arah tem pat yang ditinggali m anusia. Seandainya kita tidak m enem ukan sesuatu yang m enyenangkan, paling tidak kita akan mendapatkan hal-hal baru.” “Ayolah,” sam but Candide, “serahkan saja diri kita kepada Tu h a n .” Mereka pun berlayarlah beberapa m il jauhnya m enyusuri tepi sungai, yang kadang-kadang penuh dengan bunga-bungaan, kadang-kadang gersang, di tem pat lain teratur bentuknya, nam un kem udian berlekak-lekuk. Sungai itu terus m elebar, akhirnya hilang di bawah terowongan gunung cadas yang m engerikan, yang m enjulang ke langit. Kedua pengem bara itu m em beranikan diri terhanyut di bawah terowongan itu. Sungai yang m enyem pit

CANDIDE 73 di bagian itu m enghanyutkan m ereka dengan kecepatan dan bunyi yang m engerikan. Selang dua puluh em pat jam kem udian baru m ereka m elihat cahaya lagi, nam un perahu itu pecah membentur dinding batu. Terpaksa mereka terseok-seok dari bukit cadas ke bukit cadas lainnya sejauh satu m il. Akhirnya tibalah m ereka di wilayah tem pat tinggal yang terbuka, dan di- kelilingi pegunungan yang tak m ungkin didaki. Tam paknya tem pat itu telah ditata dalam rangka m em peroleh tem pat yang m enyenangkan dan sekaligus berguna. Di m ana-m ana berlaku prinsip: berguna dan enak dilihat. J alan-jalan dipenuhi atau lebih tepat dihiasi kendaraan-kendaraan yang dibuat dari logam yang bersinar-sinar. Kendaraan-kendaraan itu m engangkut pria dan wanita yang kecantikannya sangat khas. Kam bing-kam bing besar berwarna merah menarik kendaraan-kendaraan dengan kecepatan tin ggi. Kecepatan n ya m elebihi kuda terbaik dari Andalusia, Tetuan, dan Mequinez. “Nah, inilah negeri yang lebih baik dari Westphalia,” kata Candide. Dia turun bersam a Cacam bo dekat desa pertam a yang m ereka tem ukan . Beberapa oran g an ak, yan g m en gen akan pakaian dari bahan brukat keem asan yang sobek-sobek, m ain lem par lem bing di pintu m asuk ke desa itu. Kedua orang yang datang dari bagian dunia yang lain itu iseng-iseng m em perhatikan m ereka. Lem bing m ereka itu m erupakan kepingan agak besar berbentuk bulat, dan berwarna kuning, m erah, hijau. Cahayanya aneh. Terbit keinginan kedua pengembara itu untuk memungut beberapa keping. Ternyata dibuat dari em as, zam rud, dan m irah delim a. Kepingan yang paling kecil sekalipun m ungkin sam a ukurannya dengan hiasan terbesar yang ada pada singgasana Mon golia . “Mungkin anak-anak ini putra-putra raja negeri ini yang sedang berm ain lem par lem bing,” ujar Cacam bo.

74 Voltaire Saat itu kepala sekolah wilayah itu m uncul untuk m enyuruh mereka masuk sekolah. “Nah,” sam bun g Can dide, “dia m un gkin guru keluarga ker a ja a n .” Anak-anak itu segera m eninggalkan perm ainan m ereka. Lem bing-lem bing m ereka dan sem ua alat perm ainan yang lain digeletakkan begitu saja di tanah. Candide m em ungutnya dan berlari m enyusul guru itu. Dengan segala kerendahan hati diso- dorkannya lem bing-lem bing itu, seraya m em beritahukan dengan bahasa isyarat bahwa Yang Mulia putra-putra raja lupa tidak m em benahi em as dan perm ata m ereka. Sam bil tersenyum guru itu m elem parkan barang- barang itu di tanah. Dipandangnya sejenak wajah Candide dengan rasa heran, lalu dia m eneruskan p er ja la n a n . Kedua pengem bara itu sigap m em unguti em as, m irah delim a, dan zam rud itu kem bali. “Wah, negeri apa gerangan ini?” seru Candide. “Tentunya putra-putra raja negeri ini telah m endapat didikan yang baik sekali karena m ereka tidak m em andang penting em as dan perm ata.” Kali ini Cacam bo pun sam a herannya seperti Candide. Akhirnya m ereka sam pai dekat rum ah pertam a yang ada di desa itu. Bangunan itu m irip istana yang ada di Eropa. Sejum lah besar orang berkum pul di depan pintu, dan lebih banyak lagi di dalam nya. Terdengar m usik yang sangat m erdu, serta arom a m asakan yang lezat sem erbak tercium dari luar. Cacam bo m en- dekati pintu dan mendengar bahwa mereka bercakap-cakap dalam bahasa Peru. Itu bahasa ibunya. Sebagaim ana telah diketahui, Cacam bo lahir di Tucum an, di wilayah yang m enggunakan hanya bahasa tersebut. “Saya akan bertindak sebagai juru bahasa bagi Tuan,” katanya kepada Candide, “m ari kita m asuk, bangunan ini sebuah kabaret.” Segera dua orang pem uda dan dua orang gadis yang bekerja di tem pat itu serta yang m engenakan pakaian keem asan, dengan

CANDIDE 75 rambut diikat pita, mempersilakan mereka duduk di meja makan tuan rum ah. Dihidangkanlah em pat m angkuk sup, yang m asing- masing dihiasi dengan dua ekor burung beo, burung kondor re- bus yang beratnya sekitar dua ratus pon, dua ekor kera panggang yang lezat rasanya, tiga ratus ekor burung kolibri yang diletakkan pada satu nam pan, serta enam ratus lagi di nam pan yang lain. Di sam ping itu ada pula ragout yang lezat, kue-kue yang enak. Sem uanya itu ditaruh dalam peralatan yang dibuat dari sejenis kristal dari batu cadas. Para pem uda dan gadis-gadis pelayan itu m enyuguhkan pula beberapa m acam m inum an yang terbuat dari tebu. Pengunjung kebanyakan para pedagang dan pengem udi. Sikap m ereka sem ua luar biasa sopannya. Mereka m engajukan beberapa pertanyaan kepada Cacam bo secara bijaksana, dan m enjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada m ereka dengan penuh perhatian. Setelah selesai m akan, Cacam bo m engira, dem ikian pula Candide, bahwa m ereka telah m em bayar dengan baik m akanan mereka dengan meletakkan di meja makan itu dua keping emas yang paling besar yang telah m ereka pungut. Tuan dan nyonya rumah tertawa terbahak-bahak, sampai terpaksa memegang perut lam a sekali karena geli. Akhirnya tawa m ereka m ereda. “Tuan- Tuan,” kata tuan rum ah, “kam i tahu bahwa Tuan berdua orang asing disini. Kam i tidak terbiasa m enerim a tam u asing. Maafkan kam i tak dapat m enahan ketawa, ketika Tuan m em beri kam i batu-batuan yang berserak di jalan-jalan di negeri ini. Pasti Tuan tidak m em iliki uang yang berlaku di sini. Nam un Tuan tidak m em erlukannya untuk m akan di sini. Sem ua rum ah m akan yang dibangun untuk m akan di sini, sem ua rum ah m akan yang dibangun untuk keperluan perdagangan, dibiayai oleh pemerintah. Makanan di sini sederhana saja, namun di tempat- tem pat lain Tuan akan diterim a secara sepantasnya.”

76 Voltaire Cacam bo m enerjem ahkan uraian tuan rum ah itu kepada Candide. Majikannya m endengarkan dengan penuh kekagum an serta kebingungan. “Negeri apa ini,” kata kedua-duanya. “Tak dikenal oleh negeri-negeri lain di dunia ini, dan yang keadaan alam nya sangat berbeda dari negeri kita? Mungkin inilah negeri di mana segala sesuatu berjalan baik, karena pasti harus ada yang begitu di dunia ini. Dan apa pun yang pernah dikatakan oleh Tuan Guru Pangloss, saya sering m enyadari bahwa sesungguhnya di Westphalen tak ada yang beres.”

18 APA YANG MEREKA LIHAT DI ELDORADO CACAMBO MENYAMPAIKAN rasa ingin tahunya kepada tuan rum ahnya. Orang itu m engatakan, “Saya tidak tahu apa-apa, nam un bagi saya tidak jadi soal. Di sekitar sini ada seorang tua pensiunan pejabat istana. Dia orang terpintar di kerajaan ini dan yang paling tepat untuk dim intai keterangan.” Segera dia m engantar Cacam bo ke rum ah orang tua itu. Kini Candide berperan sebagai orang kedua dan yang m endam pingi pelayannya. Mereka m asuk ke sebuah rum ah yang sangat sederhana, karena pintunya hanya terbuat dari perak, sedangkan kusen-kusen ruangannya pun hanya dari em as. Nam un selera penataannya begitu baik, sehingga kusen-kusen yang lebih m ewah pun tidak akan m am pu m engalahkan kesan indah yang ditam pilkannya. Ruang tam unya sesungguhnya hanya dihiasi dengan m irah delim a

78 Voltaire dan zam rud, tetapi penyusunannya sedem ikian rupa, sehingga penam pilan yang terlalu bersahaja itu m em berikan kesan yang sangat berlainan. Orang tua itu m enerim a kedua tam u asing di atas dipan yang beralaskan bulu burung kolibri. Mereka disuguhi minuman dalam gelas berlian. Setelah itu barulah tuan rumah memuaskan rasa ingin tahu kedua tamu dengan kata-kata berikut: “Usia saya seratus tujuh puluh dua tahun. Alm arhum ayahku, bekas tukang kuda Raja, sering bercerita kepada saya tentang revolusi hebat yang pernah terjadi di Peru, dan yang telah disak- sikannya sendiri. Kerajaan kam i ini adalah bekas tanah air bangsa Inca. Mereka telah m elakukan tindakan yang sangat ke- liru, ketika keluar dari wilayah ini untuk m enaklukkan sebagian dunia. Akibatnya m ereka dihancurkan oleh bangsa Spanyol. Para pangeran dari keluarga tersebut, yang tetap tinggal di tanah air mereka, lebih bijaksana. Dengan persetujuan seluruh bangsa, mereka memerintahkan, bahwa tak seorang pun dari penduduk di sini yang diperbolehkan keluar dari kerajaan ini sejak saat itu. Itulah sebabnya kam i dapat tetap m enjaga kem urnian dan kebahagiaan kam i. Bangsa Spanyol hanyalah m engetahui sam ar- samar tentang keberadaan kami. Mereka menamai negeri kami Eldorado. Seorang perwira Inggris yang bernam a Raleigh pernah m endekati negeri ini sekitar seratus tahun yang lalu, nam un karena wilayah ini dikelilingi pegunungan cadas yang sulit ditem bus serta jurang-jurang, sampai sekarang kami selalu terlindung dari keserakahan bangsa-bangsa Eropa. Mereka sangat tergila-gila pada batu-batuan dan lum pur yang dikandung tanah negeri ini, sehingga untuk m endapatkannya, m ereka takkan segan-segan m em binasakan kam i sem ua tanpa m enyisakan satu jiwa pun.” Percakapan itu berlangsung lama, dan berkisar sekitar masalah bentuk pemerintahan, adat istiadat, wanita, tontonan, dan kesenian. Akhirnya Candide, yang selalu menyukai metaisika,

CANDIDE 79 m em inta kepada Cacam bo untuk m enanyakan apakah di negeri itu ada agama. Wajah orang tua itu m em erah. “Bagaim ana Tuan bisa m eragu- kannya? Apakah Tuan m enganggap kam i ini tidak tahu berterim a kasih?” Dengan segala kerendahan hati Cacam bo m enanyakan agam a apa yang dianut di Eldorado. Wajah orang tua itu m enjadi m erah lagi. “Mungkinkah ada lebih dari satu agam a?” katanya. “Saya rasa kam i di sini m enganut agam a sem ua orang. Kam i m e- nyem bah Tuhan dari pagi sam pai m alam .” “Apakah Tuan m em uja hanya satu Tuhan?” tanya Cacam bo yang tetap bertindak sebagai juru bahasa untuk m enyam paikan keragu-raguan Candide. “Rasanya,” sam bung orang tua itu, “kam i tidak pernah m em - persoalkan adanya dua, tiga, ataupun em pat Tuhan. Terus terang, bagi saya pertanyaan orang dari dunia Tuan ini aneh-aneh.” Candide tak bosan-bosan m enyuruh Cacam bo m engajukan pertanyaan-pertanyaan kepada orang tua itu. Dia ingin m engetahui bagaimana cara orang memohon kepada Tuhan di Eldorado itu. “Kam i tidak pernah m em ohon,” kata orang tua yang baik dan bijaksana itu, “kam i tidak perlu m em inta apa-apa, Dia telah m em berikan segala yang kam i perlukan. Kam i hanyalah terus- menerus berterima kasih.” Candide ingin m elihat para pastor, disuruhnya Cacam bo bertanya di m ana m ereka itu. Orang tua yang baik itu tersenyum . “Sahabat-sahabatku,” katanya, “kam i sem ua pastor. Raja dan sem ua kepala keluarga m enyanyikan lagu puji-pujian dengan khidmat setiap pagi, diiringi lima atau enam ribu pemain musik.” “Wah! J adi Tuan tidak m em pun yai pastor-pastor yan g m em berikan ajaran-ajaran, yang bertengkar, yang m em erintah, yang m em berontak, serta yang m em bakar orang-orang yang tidak sep en d a p a t ?”32 32 Deisme ala Voltaire: agama tanpa pendeta ataupun pastor.

80 Voltaire “Aduh, m em angnya kam i gila?” sahut orang tua itu. “Kam i semua di sini sependapat dan kami sama sekali tidak mengerti apa yang Tuan m aksud dengan istilah pastor.” Mendengar uraian itu Candide terpana dan berkata dalam hati, Keadaan ini sangat berlainan dengan di W estphalen dan di istana baron. Kalau guruku Pangloss pernah m elihat Eldorado, dia tak akan m engatakan bahw a istana Thunder-ten-tronck adalah istana terbaik di dunia. Mem ang betul bahw a kita m esti m elihat-lihat negeri lain. Setelah berbicara panjang lebar, orang tua yang baik itu m e- m erintahkan agar sebuah kereta yang ditarik enam ekor kam bing disiapkan, lalu dia m enyuruh dua belas orang pelayan agar m engantar tam unya ke istana. “Maafkan saya,” ujarnya kepada para tam u, “karena m asalah usia, saya tidak dapat m engguna- kan kesempatan terhormat ini untuk mengantar Tuan. Raja akan m enerim a Tuan dengan cara yang pasti tidak akan m engecewa- kan. Saya rasa Tuan akan sudi m em aafkan apabila dalam adat kebiasaan kam i ini, ada hal-hal yang tidak berkenan di hati Tuan.” Candide dan Cacam bo naik ke dalam kereta itu. Keenam kambing itu pun melejit. Dalam waktu kurang dari empat jam m ereka tiba di istana yang terletak di suatu tem pat di ibu kota. Tinggi gerbangnya dua ratus kaki, dan lebarnya seratus kaki. Sulit dikatakan dengan bahan apa gerbang itu dibuat. Namun tampak jelas kelebihannya dari batu-batuan atau dari pasir yang kita namakan permata dan emas. Ketika turun dari kereta, Candide dan Cacam bo disam but oleh dua puluh orang gadis pengawal yang cantik-cantik. Mereka dipersilakan m andi dulu, dan diberi pakaian dari bahan yang terbuat dari bulu burung kolibri. Setelah itu para perwira tinggi istana, pria dan wanita, mengawal mereka ke ruangan tamu Baginda, m elewati dua barisan yang m asing-m asing terdiri dari seribu pem ain m usik, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.

CANDIDE 81 Tatkala m ereka sudah berada dekat ruangan m ahligai, Cacam bo bertanya bagaim ana caranya m em beri horm at kepada Baginda; apakah dia harus berlutut atau m enyem bah dengan perut di lantai, apakah harus mengacungkan tangan di atas atau di belakang kepala, ataukah menjilat debu lantai ruangan itu, pendeknya, bagaim ana tata cara yang berlaku. “Menurut kebiasaan yang berlaku di sini,” jawab perwira tinggi itu, “Tuan harus m em eluk Raja serta m encium kedua pipinya.” Maka Candide dan Cacam bo pun m erangkul leher Baginda, yang m enyam but m ereka dengan sikap anggun, dan yang m engundang m ereka m akan m alam dengan sopan. Sementara menunggu, mereka diajak melihat-lihat kota, bangunan-bangunan um um yang m enjulang tinggi, tangga-tangga yang dihiasi dengan ribuan tiang besar, kolam -kolam berair m an- cur yang m urni, kolam -kolam air m awar, juga kolam -kolam m inum an sari tebu yang terus-m enerus m engalir di lapangan- lapangan yang dialasi batu perm ata. Tercium harum sem erbak yang m irip bau cengkih dan kayu m anis. Candide ingin m elihat gedung pengadilan dan parlemen. Mereka menjawab bahwa bangunan itu tidak ada, karena di situ tak pernah ada perkara. Pem uda itu m enanyakan juga apakah ada penjara, dan jawaban- nya tidak ada. Yang paling m engagum kannya, serta yang sangat disukainya adalah lem baga sains. Di dalam nya dia m elihat ruangan besar yang berukuran dua ribu langkah, penuh dengan peral atan matematika dan isika. Sesudah kunjungan sore itu, setelah mengelilingi sekitar seperseribu bagian kota, mereka diantar kembali ke istana Raja. Candide duduk di depan m eja m akan, di antara Baginda dan pelayannya sendiri Cacam bo, serta beberapa orang wanita. Tak pernah orang makan seenak itu, dan tak pernah suasana begitu m enyenangkan seperti yang dihadirkan Baginda dalam kesem - patan itu. Cacam bo m enyam paikan kom entar Baginda yang ra-

82 Voltaire m ah kepada Candide, dan walaupun diterjem ahkan, tetap saja isinya terasa baik. Dari segala yang m engherankan Candide, kenyataan itulah yang paling m engherankannya.33 Mereka m elewatkan waktu sebulan bersam a tuan rum ah yang begitu ram ah. Candide tak henti-hentinya m engatakan kepada Cacam bo, “Mem ang betul, sahabatku, bahwa negeri tem pat saya dilahirkan lebih jelek dari tempat kita berada sekarang. Namun Nona Cunegonde tidak ada di sini, dan engkau pun tentu punya kekasih di Eropa. J ika kita tetap tinggal di sini, kita akan sama saja seperti penduduk di sini. Padahal kalau kita pulang ke dunia kita, dengan dua belas kam bing saja yang dibebani batu-batuan Eldorado, kita akan m enjadi lebih kaya dari sem ua raja. Kita tak perlu lagi takut kepada para pendeta, dan dengan mudah kita akan dapat m erebut kem bali Nona Cunegonde.” Cacam bo senang m endengar pendapat Candide. Mem ang orang yang suka sekali berkelana, sekali-sekali ingin m enunjukkan kelebihannya di antara keluarga sendiri, m elaporkan apa yang telah dilihatnya selam a perjalanan-perjalanan itu. Maka kedua orang yang berbahagia itu m em utuskan untuk m eninggalkan kebahagiaan dan m inta diri kepada Baginda. “Ini keputusan yang bodoh,” kom entar Baginda. “Saya tahu bahwa negeri ini tidak ada artinya. Nam un kalau kita cukup berbahagia di suatu tem pat, sebaiknya tinggal di situ saja. Tentu saja saya tidak m em punyai hak untuk m enahan tam u asing. Itu tindakan sewenang-wenang, yang tidak sesuai dengan adat istiadat maupun peraturan kami. Semua orang bebas, berangkatlah kapan Tuan hendaki. Namun jalan keluar sulit ditempuh. Tidak mungkin m engarungi lagi sungai deras yang m enem bus gunung cadas dan yang telah m engantar Tuan secara ajaib ke sini. Pegunungan 33 Voltaire pernah dikecewakan dalam hubungannya dengan Frederick II, Raja Prusia, yang sebetulnya sangat mengaguminya. Di sini dia menyindir cara penerimaan raja itu terhadap tamu asing.

CANDIDE 83 yang m engelilingi kerajaan saya tingginya sepuluh ribu kaki dan m enjulang tinggi seperti dinding. Lebar m asing-m asing m eliputi wilayah yang m em bentang lebih dari sepuluh m il. Orang hanya dapat m enuruninya m elalui jurang-jurang. Nam un, karena Tuan berkeras hati ingin pergi, saya akan m em erintahkan kepada bagian m esin untuk m em buatkan alat yang dapat m engangkut Tuan dengan m udah. Kalau Tuan sudah diantar sam pai di balik pegunungan, tak ada lagi yang dapat m enem ani. Ham ba sahaya saya telah bersum pah tidak akan keluar dari wilayah ini. Mereka terlalu bijaksana untuk melanggar sumpah masing-masing. Mintalah segala yang Tuan sukai kepada saya.” “Kam i m ohon diberi oleh Yang Mulia,” sam bung Cacam bo, “beberapa ekor kam bing saja yang dim uati m akanan, batu- batuan, dan lumpur negeri ini.” Raja tertawa. “Sulit dipaham i,” ujarnya, “m engapa orang- orang Eropa begitu suka akan lumpur kuning kami itu, namun am billah sebanyak Tuan suka, dan sem oga segalanya berjalan la n ca r .” Dan Bagin da pun segera m em erin tahkan kepada para insinyur untuk m em buat alat yang dapat m engangkut kedua tam u yang istim ewa itu keluar kerajaan. Tiga ribu pakar perm esinan m elaksanakan titah Baginda. Lim a belas hari kem udian alat itu telah siap, harganya tak lebih dari dua juta ponsterling, yakni uang yang berlaku di negeri itu. Candide dan Cacam bo dinaikkan ke dalam alat itu, juga dua ekor kam bing m erah yang besar, yang telah dipasangi pelana dan kendali. Kam bing itu akan diperlukan sebagai tunggangan, setelah mereka melewati pegunungan. Di sam ping itu ada lagi dua puluh ekor kam bing yang m engangkut makanan, tiga puluh membawa hadiah-hadiah berupa barang- barang yang paling aneh yang ada di negeri itu, dan lim a puluh

84 Voltaire lagi dibebani emas, permata, dan berlian. Raja mencium kedua pengembara itu dengan mesra. Keberangkatan m ereka m enjadi tontonan yang m engasyik- kan, terutama karena kehebatan alat pengangkut mereka dan kambing-kambing, untuk naik mendaki pegunungan. Para insinyur m inta diri, setelah yakin bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Candide tak m em punyai keinginan serta tujuan lain selain m enunjukkan kam bing-kam bingnya itu kepada Nona Cunegonde. “Kita m em punyai cukup kekayaan untuk m em bayar Gubernur Buenos Aires,” ujarnya, “kalau saja Nona Cunegon- de dapat dinilai dengan uang. Mari kita m enuju Cayenne untuk m enum pang kapal. Kem udian kita lihat saja nanti kerajaan m ana yang dapat kita beli.”


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook