............................................................................................................................................ Manajemen Kelas dalam Lembaga Pendidikan Islamefektivitas, keluwesan, berkesinambungan, dan pendidikan seumur hidup(Hamalik, 1990 : 35). Prinsip berorientasi pada tujuan merupakan prinsip utama danpertama dalam kerangka kurikulum, karena pentingnya fungsi dan peranansekolah dalam pembinaan para siswa, namun waktu belajar yang terbatas,sedangkan bahan pelajaran begitu banyak yang berkaitan dengan ilmupengetahuan dan teknologi, maka penyusunan program harus benar-benarterarah pada pencapaian tujuan kurikulum dan pengajaran. Prinsip relevansi pendidikan merujuk pada dasar pikiran bahwapendidikan di sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutanpekerjaan di lapangan, perkembangan ilmu pengetahuan, kebutuhandan tingkat perkembangan anak-anak. Prinsip efisiensi dan efektivitasmenunjuk kepada keharusan penggunaan dana, kekuatan dan waktu yangada secara maksimal untuk mencapai hasil yang optimal. Prinsip keluwesan atau fleksibilitas program berdasarkan pertim-bangan ekosistem dan pengadaan fasilitas belajar yang ada di sekolah.Ekosistem berkaitan dengan kondisi lingkungan di sekolah, masyarakatdan keluarga, sistem nilai dan kebutuhan lingkungan masyarakat sekitarsekolah. Fasilitas berkenaan dengan ruangan, peralatan, perlengkapan dansebagainya. Prinsip berkesinambungan berkenaan dengan penyusunanurutan program dan pemakaian hasil lulusan. Sedangkan prinsip pendidikanseumur hidup berlandaskan pada pemikiran, bahwa pendidikan tidakcukup hanya dilaksanakan di sekolah saja, melainkan juga harus dilanjutkandalam kehidupan bermasyarakat.2. Dasar dan Tujuan Pendidikan. Kurikulum semua lembaga pendidikan di Indonesia diharapkan sesuaidengan dasar pendidikan Nasional, yakni falsafah negara Pancasila danUndang-Undang Dasar 1945, sebagaimana digariskan dalam GBHN. Tujuanumum Pendidikan Nasional adalah untuk meningkatkan ketaqwaan terhadapTuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti,memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapatmenumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangundirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunanbangsa (TAP MPR No. IV/MPR/1978), (Hamalik, 1990 : 37).PROGRESIF 41Volume 1, Number 1, July 2009
Sri Rahmi ..............................................................................................................................................................................................................Bangunan dan Sarana Kelas/Sekolah Perencanaan dalam membangun sebuah gedung untuk sebuah sekolahberkenaan dengan jumlah dan luas setiap ruangan/kelas. Penataan ruangantidak sekedar untuk kepentingan kelas dalam arti sempit, melainkan jugaberkenaan dengan lokal untuk keperluan tata usaha termasuk ruangankepala sekolah dan ruang guru dan lain-lain. Sekolah yang mempergunakan kurikulum tradisional pengaturanruangan kelas bersifat sederhana karena kegiatan belajar mengajardiselenggarakan di kelas yang tetap untuk sejumlah murid yang samatingkatnya. Kursi dan meja murid diatur dan ditempatkan secara tetapmenghadap ke depan kelas. Sedangkan bagi sekolah yang mempergunakankurikulum modern, ruangan kelas diatur menurut jenis kegiatan berdasarkanprogram-program yang telah dikelompokkan secara integrated (Nawawi,1985 : 121). Guru dan murid sebagai unsur kelas dalam melaksanakankegiatan belajar mengajar, berpindah-pindah ruangan menurut kegiatanatau program yang termasuk beban studi masing-masing. Meja dan kursimurid di kelas diatur menurut kebutuhan setiap jenis kegiatan.Guru Sesuai dengan perkembangan tuntutan kebutuhan manusia, para orangtua dalam situasi tertentu atau sehubungan dengan bidang kajian tertentutidak dapat memenuhi semua kebutuhan pendidikan anaknya, makamereka melimpahkannya kepada orang lain yakni para guru, namun bukanberarti melepaskan tanggung jawab mereka selamanya. Para orang tua tetapbertanggung jawab untuk yang pertama dan terakhir dalam pendidikan putra-putrinya, untuk tetap beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt., berakhlakmulia dan membimbingnya untuk mencapai kematangan berpikir. Para guru yang menerima amanat dari orang tua, yang meliputi gurumadrasah atau sekolah mulai dari tingkat TK sampai ke perguruan tinggi,bukan hanya penerima amanat dari orang tua untuk mendidik anaknya,melainkan juga dari setiap masyarakat yang memerlukan bantuan untukmendidiknya, (Aly, 1999 : 93). Sebagai pemegang amanah, guru bertanggungjawab atas amanat yang diserahkan kepadanya, hal ini dapat disimak darifirman Allah Swt. dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 58 yang terjemahnya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila42 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
............................................................................................................................................ Manajemen Kelas dalam Lembaga Pendidikan Islam menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik- baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi Mahamelihat, (Dep. Agama RI, 1989 : 128). Berdasarkan terjemahan ayat di atas, maka predikat guru yang melekatpada seseorang didasarkan amanah yang diserahkan orang lain kepadanya.Tanpa amanat itu, seseorang tidak akan disebut guru, atau dengan kata laineksistensinya sebagai seorang guru tergantung pada amanat orang lain. Tidak semua orang bisa melaksanakan tugas sebagai seorang guru,karena tugas tersebut menurut banyak hal dan persyaratan, baik ituprofesional, biologis, psikologis maupun paedagogis-didaktis. Menurut al-Ghazali, ada beberapa hal/sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidikatau guru, yakni :1. Guru hendaknya memandang murid seperti anaknya sendiri, menya- yangi dan memperlakukan mereka seperti layaknya anak sendiri.2. Dalam menjalankan tugasnya, guru hendaknya tidak mengharapkan upah atau pujian, tapi hendaknya mengharapkan keridhaan Allah swt. dan berorientasi mendekatkan diri kepada-Nya.3. Guru hendaknya memanfaatkan setiap peluang untuk memberi nasehat dan bimbingan kepada murid bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk memperoleh kedudukan atau kebanggaan duniawi.4. Terhadap murid yang bertingkah laku buruk, hendaknya guru menegurnya sebisa mungkin dengan cara menyindir dan penuh kasih sayang, bukan dengan terus terang dan mencela.5. Hendaknya guru tidak fanatik terhadap bidang studi yang diasuhnya, lalu mencela bidang studi yang diasuh guru lain.6. Hendaknya guru memperhatikan fase perkembangan berpikir murid agar dapat menyampaikan ilmu sesuai dengan kemampuan berpikir murid.7. Hendaknyagurumemperhatikanmuridyanglemahdenganmemberinya pelajaran yang mudah dan jelas, serta tidak menghantuinya dengan hal-hal yang serba sulit yang dapat membuatnya kehilangan kecintaan terhadap pelajaran.8. Hendaknya guru mengamalkan ilmu, dan tidak sebaliknya perbuatannya bertentangan dengan ilmu yang diajarkannya kepada murid, (Aly , 1999 : 97-99). Uraian di atas menjelaskan, guru adalah orang alim, dan sebagaiorang alim disaat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma-PROGRESIF 43Volume 1, Number 1, July 2009
Sri Rahmi ..............................................................................................................................................................................................................norma yang ada, maka dosanya lebih besar daripada orang yang tidak alim,karena pendidik terjerumus dalam ketahuannya, sedangkan yang tidakalim terjerumus dalam ketidaktahuannyaSikap IdealBagi Pendidik atau Guru Baik di kelas ataupun di sekolah para guru mempunyai peran yangganda, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto, (1993 :268-269) sebagai berikut:1. Guru sebagai pengelola proses pembelajaran di kelas yang merupakan suatu organisasi, seharusnya dikelola dengan baik. Guru harus merancang kegiatannya dengan baik dan rinci, mulai dari merumuskan tujuan khusus, memilih pendekatan atau strategi, memilih metode dan sarana pencapai dan memilih alat untuk mengevaluasi pekerjaannya.2. Guru sebagai moderator. Menurut aliran baru dalam pendidikan guru diharapkan bukan semata-mata hanya sebagai penyampai materi melainkan lebih sebagai moderator, artinya mereka berfungsi sebagai pengatur jalannya pembicaraan oleh para siswa.3. Guru sebagai motivator bagi para siswa.4. Guru sebagai fasilitator, maksudnya memberikan kemudahan dan sarana bagi siswa agar lebih aktif untuk belajar sesuai kadar kemampuan mereka.5. Guru sebagai evaluator, maksudnya yang paling tahu tentang kemajuan dan kemunduran yang telah dicapai siswa-siswanya di kelas, karena telah memiliki jadwal dalam mengevaluasi mereka. Berdasarkan komentar di atas, maka ada yang menggejala dilakukansiswa di dalam kelas terhadap guru, barangkali siswa akan merasa tenteramdan tenang dalam menghadapi gurunya seperti menghadapi orang tuanyasendiri, namun tidak sedikit yang terjadi sebaliknya. Semua itu tergantung daribagaimana guru mampu membaca dan memenej kelas yang ada dengan baik.Siswa/Murid Siswa/murid merupakan potensi kelas yang harus dimanfaatkan gurudalam mewujudkan proses belajar mengajar yang efektif. Murid adalahanak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara flsik maupunpsikologis. Menurut Muri Yusuf, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddindalam bukunya, Teologi Pendidikan, mengartikan peserta didik itu sebagairaw input (masukan mentah) atau raw material (bahan mentah) dalam proses44 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
............................................................................................................................................ Manajemen Kelas dalam Lembaga Pendidikan Islamtransformasi yang disebut dengan pendidikan, (Jalaluddin, 2001 : 127). Muridsebagai unsur kelas mempunyai perasaan kebersamaan yang sangat pentingbagi terciptanya situasi kelas yang dinamis. Oleh karena itu setiap muridharus memiliki perasaan diterima di dalam kelasnya agar mampu ikut sertadalam kegiatan kelas, dengan begitu akan menentukan sikap bertanggungjawab terhadap kelas yang secara langsung berpengaruh pada pertumbuhandan perkembangan mereka masing-masing. Dalam kaitannya dengan persoalan murid ini, maka ada beberapa halyang harus diperhatikan dan dilakukan oleh guru di dalam kelas dalamrangka membawa mereka ke arah keberhasilan, yakni:1. Mengetahui latar belakang siswa Dengan mengetahui tentang latar belakang para murid, maka guru akan merasa terbantu dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Namun sangat penting untuk diingat bahwa kegiatan kelas mestinya tidak mem- buat guru untuk meneliti latar belakang murid untuk mengungkapkan sesuatu yang mereka tidak menyukainya (Underwood, 2000 : 30). Bila ada siswa yang bertanya tentang sesuatu yang sangat prinsipil dan pribadi tentang dirinya, sebagai guru harus mempunyai keterangan yang lengkap tentang setiap pribadi murid yang meliputi: a. Latar belakang psikologi siswa yang meliputi hasil-hasil tes kecerdasan, tes perasaan, kecakapan dan lain-lain, b. Latar belakang kemampuan siswa yang meliputi kemajuan dalam mata pelajaran yang akan diberikan dan yang berhubungan dengan itu. c. Latar belakang kesehatan fisik siswa seperti penglihatan, pen- dengaran, gejala-gejala penyakit dan lain-lain. d. Latar belakang siswa tentang pengalaman kerja, partisipasi kegiatan di dalam dan di luar kelas dan menjadi anggota organisasi di luar dan dalam sekolah. e. Latar belakang tentang perhatian siswa terhadap pendidikan, dan f. Latar belakang kehidupan anak di rumah yang meliputi status ekonomi, pendidikan orang tua susunan dalam keluarga, jabatan dan hubungan sosial orang tua di masyarakat, (Popham & L. Baker , 2001: 146).2. Mengenal minat siswa Mengenal minat siswa-siswa sangat penting, karena mereka akanmerasa senang dengan materi pelajaran yang disampaikan apalagi matedtersebut sangat sesuai dengan minat mereka dan ada hubungannya dengantugas-tugas yang diberikan kepada mereka.PROGRESIF 45Volume 1, Number 1, July 2009
Sri Rahmi ..............................................................................................................................................................................................................3. Sikap Guru di Muka Kelas. Sering terjadi suasana kelas sangat dipengaruhi oleh sikap guru yangada di dalam kelas. Kelas menjadi gaduh, kalau guru ragu-ragu, dan kelasmenjadi tenang, kalau guru berani bersikap tegas dan bijaksana, Seorangguru yang ada di depan kelas harus selalu menunjukkan sikap gembiradalam melayani para siswanya, harus pandai bersandiwara, mungkin gurudalam posisi susah, tapi janganlah menampakkan sifat itu di depan kelas.Dalam menyikapi para siswa di depan kelas. Abu Ahmadi mengemukakanbahwa, guru harus Berani memandang tiap-tiap murid di matanya. Usakanlah murid-murid bekerja sendiri. Jangan bersikap putus asa. Jangan mengejek murid-murid. Janganlah memberikan hukuman badan. Ciptakanlah suasana kelas yang baik (Ahmadi, 1975 : 98). Dengan demikian, maka akan tercipta suasana kelas yang baik dankondusif, para siswa dapat bekerja bersama-sama, saling tolong menolong,mereka akan lebih giat belajar dan merasa seperti sebuah keluarga yangbesar dengan bimbingan seorang guru yang bijaksana dan baik.Dinamika Kelas Dinamika kelas pada dasarnya adalah kondisi kelas yang diliputidorongan untuk aktif secara terarah yang dikembangkan melalui kreatifitasdan inisiatif murid sebagai suatu kelompok. Dinamika kelas dipengaruhi olehcara guru kelas menerapkan administrasi pendidikan dan kepemimpinanpendidikan serta menggunakan pendekatan manajemen/pengelolaankelas. Penerapan kegiatan tersebut antara lain, sebagai berikut:1. Kegiatan Administratif Manajemen Kelas pada dasarnya merupakan unit kerja yang di dalamya terdapatsejumlah orang untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, pegelolaan kelasmemerlukantindakan-tindakanberupaperencanaan,pengorganisasian,koordinasidan kontrol sebagai langkah-langkah kegiatan manajemen administratif.a. Perencanaan kelas Sebagai program umum kurikulum harus diterjemahkan menjadi program-program kongkrit yang menghubungkannya dengan waktu yang ada, berupa program tahunan, semester/cawu, bulanan, mingguan46 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
............................................................................................................................................ Manajemen Kelas dalam Lembaga Pendidikan Islam bahkan pada program harian. Selain perencanaan berdasarkan kurikulum, sebuah kelas perlu menyusun program penunjang seperti kegiatan ekstra kelas seperti kepramukaan, olah raga, kesenian, pelajaran tambahan dan lain-lain.b. Pengorganisasian kelas Aspek yang paling penting dalam pegorganisasian ini adalah usaha utuk menempatkan personal yang tepat pada tempatnya (proporsional) dengan memperhatikan ability, tingkat pendidikan, masa kerja dan sebagainya. Oleh karena itu, harus diupayakan agar setiap personal kelas termasuk para siswa untuk mengetahui posisi masing-masing dalam struktur organisasi kelas yang disusun berdasarkan pembagian tugas.c. Koordinasi kelas. Koordinasi kelas diwujudkan dengan menciptakan kerja sama yang didasari oleh saling pengertian akan tugas dan peranan masing- masing. Maka koordinasi yang efektif memungkinkan setiap personal menyampaikan saran dan pendapat, baik dalam bidang kerjanya maupun bidang kerja patnernya terutama yang berhubungan dengan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Dengan koordinasi yang efektif tidak akan terjadi kesimpangsiuran dalam penggunaan waktu dan fasilitas kelas.d. Kontrol kelas Selama dan setelah program kegiatan kelas dilaksanakan, maka perlu kegiatan kontrol dari guru/wali kelas, kontrol tersebut harus mengacu kepada program yang disusun dengan maksud untuk menilai sampai dimana tujuan yang telah dicapai dan apa yang menjadi hambatannya (jika ada), atau dengan kata lain kegiatan kontrol kelas dilakukan untuk mengetahui kebaikan-kebaikan yang diraih dan kekurangan- kekurangannya, (Nawawi, 1985 : 130-133).2. Kepemimpinan Guru/Wali Kelas Dinamika kelas dipengaruhi secara langsung oleh kepemimpinanguru/wali kelas, kedudukannya sebagai pemimpin formal yakni sebagaiorang yang ditunjuk memimpin manajemen/pegelolaan kelas sekalipuntidak dengan surat keputusan. Oleh karena itu dalam aktivitas sebagaipemimpin kelas, seorang guru/ wali kelas akan lebih berfungsi manakalamampu mewujudkan kepemimpinan informal. Ada tiga bentuk kepemimpinan yang mungkin diwujudkan guru/wali kelas dalam usaha menggerakkan personal di lingkungan kelasmasing-masing:PROGRESIF 47Volume 1, Number 1, July 2009
Sri Rahmi ..............................................................................................................................................................................................................a. Guru/wali kelas sebagai pemimpin yang bersifat otoriter Dalam kepemimpinan otoriter seorang guru/wali kelas memiliki kecenderungan untuk mengambil keputusan sendiri tanpa mengikut- sertakan pihak yang, dipimpinnya. Keputusan itu disampaikan sebagai perintah yang tidak boleh dibantah dan harus dilaksanakan secara tepat.b. Guru/wali kelas sebagai pemimpin yang bersifat laissezfaire Kepemimpian ini sebagai kebalikan dari kepemimpinan otoriter, dimana menempatkan seorang wali kelas sebagai simbol belaka. Guru kelas tidak mempunyai peranan dalam mengambil keputusan karena memberikan kebebasan sepenuhnya kepada guru dan murid-murid untuk mengambil keputusan sendiri-sendiri. Akhirnya suasana kelas menjadi kacau balau dan tidak terarah, karena tidak merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelas yang merupakan satu kesatuan.c. Guru/wali kelas sebagai pemimpin yang bersifat demokratis Guru/wali kelas yang demokratis selalu menghargai kemampuan para guru dan murid yang dipimpinnya, makanya dalam mengambil keputusan selalu berusaha menyalurkan pendapat dan aspirasi personal yang dipimpinnya, baik secara formal maupun diskusi informal di saat istirahat atau sedang berkunjung di rumah dan sebagainya. Seorang guru/wali kelas yang melaksanakan kepemimpinan demokratis di ling-kungan kelas masing-masing pada umumnya lebih berhasil dalam menciptakan dinamika kelas yang positif, (Nawawi, 1985 : 138-139).3. Disiplin Kelas Disiplin juga merupakan bagian terpenting dalam dinamika kelas.Disiplin kelas diartikan sebagai usaha mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disepakati bersama dalammelaksanakan kegiatan kelas, agar pemberian hukuman dapat dihindari(Nawawi , 1985 : 140). Dengan demikian dapat disampaikan bahwa disiplin yang berdayaguna untuk menumbuhkan dinamika kelas bukanlah disiplin yang kakudan statis, bukanlah disiplin sekedar pemberian hukuman atau paksaanagar guru dan murid melaksanakan tata tertib kelas yang ditetapkan.Namun yang dimaksud disiplin adalah usaha untuk membina secara terusmenerus kesadaran dalam bekerja atau belajar dengan baik, dalam artiansetiap orang menjalankan fungsinya secara efektif dan efisien. Seirama dengan penguraian di atas, disiplin kelas juga dapat dipahamisebagai suasana tertib dan teratur, namun penuh dengan dinamika dalammelaksanakan program kelas terutama dalam mewujudkan Proses Belajar48 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
............................................................................................................................................ Manajemen Kelas dalam Lembaga Pendidikan IslamMengajar (PBM). Kondisi seperti itu hanya akan terwujud apabila masing-masing individu mengetahui posisi dan fungsinya di dalam kelas dalammelaksanakan kegiatan kelas.Penutup Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan sebelumnya, makaada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dan bisa dijadikanacuan dalam memahami tulisan ini, antara lain:1. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara manajemen/ pengelolaan kelas pada lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan Islam, hanya persoalan nama dan tujuan akhir saja yang membedakannya, maksudnya pendidikan umum hanya berorientasi pada keduniawian sementara pendidikan Islam berorientasi pada dunia dan akhirat.2. Dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang baik di dalam sekolah atau kelas, maka ada lima unsur yang harus diperhatikan oleh seorang kepala sekolah/guru yang bertindak selaku pengelola, yakni kelima unsur tersebut; kurikulum, sarana, guru, murid, dan dinamika kelas.3. Seorang pendidik atau guru/wali kelas dalam melakukan tugasnya sebagai seorang pendidik bagi siswa-siswinya harus menyadari betul bahwa tugas merupakan amanah dari orang tua murid yang mesti dijaga, dididik, diarahkan dengan baik agar mereka dapat menjadi penerus yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. Oleh karena itu, pada mulanya para guru harus mengetahui kemampuan siswa, baik kemampuan fisik maupun mental spiritualnya, termasuk mengetahui keadaan psikologis mereka.4. Guru/walikelasselakupengelolakelasdalammelakukanpraktekmanajerialnya tidak boleh bertindak sebagai leader yang sifatnya otoriter atau kebalikannya yakni laisserfaire, tapi bertindaklah sebagai leader yang demokratis.5. Kegiatan administratif manajemen yang meliputi; perencanaan kelas, pengorganisasian kelas, koordinasi kelas, kontrol kelas, kemudian kepemimpinan guru/wali kelas dan disiplin kelas adalah merupakan bagian-bagian pengelolaan kelas yang harus diperhatikan di dalam menciptakan kelas yang dinamis dan kondusif, penuh dengan semangat kebersamaan dan saling pengertian dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.PROGRESIF 49Volume 1, Number 1, July 2009
Sri Rahmi .............................................................................................................................................................................................................. DAFTAR PUSTAKAAhmadi, Abu, 1975, Didaktik Metodik; Untuk PGAA/SPG/KPG dan Yang Sederajat. Semarang: Toha Putra.Arikunto, Suharsimi, 1993, Manajemen Pengajaran; Secara Manusiawi. Cet. II, Jakarta: RinekaCipta.Aly, Hery Noer, 1999, Ilmu Pendidikan Islam. Cet. II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.Dep. Agama RJ, 1989, AI-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Tafsir al-Quran.Effendy, Mochtar, 1986, Manajemen; Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam, Jakarta: Bhirata Karya Aksara.Hasibuan, Malayu S.P, 1990, Manajemen Dasar; Pengertian dan Masalah, Jakarta: Haji Masagung.Hamalik, Oemar, 1990, Perencanaan Pengajaran; Berdasarkan Pendekatan Sistem, Cet. I, Bandung: Citra Aditya BaktiJalaluddin, H, 2001, Teologi Pendidikan. Cet. I, Jakarta: Raja Grafindo Persada.Nawawi, H. Hadari, 1985, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas Sebagai Lembaga Pendidikan, Cet. II, Jakarta: Gunung Agung.Popham, W. James & Eva L. Baker, 2001, Establishing Instructional Goals and Systematic Instruction, diterjemahkan Amirul Hadi dengan judul Teknik Mengajar Secara Sistematis, Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta.Rusyan, A. Tabrani, el. al, 1991, Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan dan Pengajaran, Cet. III, Bandung: Remaja Rosdakarya.Underwood, Mary, 2000, Effective Class Management; A Practical Approach, diterjemahkan Susi Purwoko dengan judul Pengelolaan Kelas yang Efektif; Suatu Pendekatan Praktis, Cet. I, Jakarta: Arcan.50 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
5 New Insights into Teaching of English Language to Indonesian Students Muhammad Thalal Bio Data: Muhammad Thalal is a teaching staff at Faculty of Arts and Humanities, IAIN Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh and a former Fulbright grantee. He earned his Bachelor degree from Al-Azhar University Cairo in 2001 and Master’s degree in Middle East and Islamic Studies from University of Indonesia, Jakarta, in 2004. His second Master’s degree (M.Ed in Curriculum & Instruction of ESL) was conferred by Texas A&M University USA in 2008. Abstrak Seiring dengan perkembangan dunia, bahasa Inggris telah mendapatkan status sebagai bahasa internasional yang wajib dipelajari di hampir semua negara di dunia. Di Indonesia, walaupun status bahasa Inggris masih sebagai bahasa asing, pengajaran bahasa Inggris telah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu. Berbagai metodologi pengajaran bahasa Inggris telah diterapkan di Indonesia untuk mencapai kompetensi berbahasa Inggris. Akan tetapi hasil yang didapatkan hampir selalu jauh dari harapan. Pengajaran bahasa Inggris selama bertahun- tahun jarang menghasilkan lulusan yang kompeten dalam berbahasa Inggris. Berangkat dari masalah tersebut, tulisan ini ingin mengungkapkan faktor-faktor penyebab rendahnya penguasaan bahasa Inggris di Indonesia secara exploratif. Dengan menganalisa studi- studi terdahulu beserta fakta-fakta yang ada, ditemukan bahwa karakteristik pelajar yang cenderung pasif karena faktor kultur Indonesia, kualitas guru yang di bawah
standar, lingkungan dan kurikulum menjadi kendalautama dalam pencapaian kompetensi berbahasa Inggris.Selanjutnya dielaborasi suatu konsep atau strategipengajaran bahasa Inggris ideal yang sesuai dengankonteks dan kultur Indonesia dengan penekanan padapengajaran bahasa Inggris yang berbasis budaya lokaldan memaksimalkan metode komunikatif dengan targetdan tujuan pencapaian kompetensi berbahasa Inggrissebagai bahasa komunikasi global. Konsep tersebut bisaterlaksana dengan adanya guru yang berkualitas yangbenar-benar memahami tujuan pengajaran bahasa Inggrisdi Indonesia.Keywords: Pengajaran bahasa Inggris, karakteristik pelajar, kualitas guru, keahlian komunikasi
............................................................................................................. New Insights into Teaching of English Language to Indonesian StudentsIntroduction There was an apprehensive conversation happened between anEnglish teacher and a student of an Indonesian high school told in a 2004Kompas article. The student asked the teacher, “We have been studying theEnglish language for almost six years now, when will we be speaking andusing English?”, (Lie, 2004). This question is really impressed those whoare concerned about English language teaching as nobody can guaranteestudents’ mastery of English without maximum exposure to the languageitself. In fact, the student’s feeling is similar to what many other studentsalso felt before graduating from an Indonesian high school or university.They have studied English for three years at junior high school, then threemore years at senior high school, and they often had some English classesduring their undergraduate period. However, only few of them who couldspeak English when graduated although it is often inadequate for use inregular communication. What those students might know well were tenses,irregular verbs and other grammatical trivia. Indonesia has become one of the expanding circle countries whereEnglish is widely studied as a foreign language (McKay, 2002). Despite itsimportance, the language does not have an official status in Indonesia; sayas a second language such the status of English in countries like Singapore,the Philippine, and India. Previously, the Indonesian government, withsupports from the Ford Foundation, RELO (Regional English LanguageOffice), and the British Council, has decided that English is the first foreignlanguage to be taught at schools. Afterwards, English is used primarilyas an object of study, a compulsory subject, in a pedagogical domain, theobjective of which to attain native-like proficiency. English is also not usedas part of the Indonesians’ linguistic repertoire. The textbooks used inteaching English in Indonesian schools are also written and composed bylocal experts. Yet after many years elapsed, Lee (2004) states that most Indonesianschools are still facing difficulties in terms of Teaching English as a ForeignLanguage, even though some approaches have been implemented in thepublic school’s curriculum, such as grammar-translation (1945), oral (1968),audio-lingual (1975) and communicative language teaching methods (1984and 1994).PROGRESIF 53Volume 1, Number 1, July 2009
Muhammad Thalal ................................................................................................................................................................................................ Therefore, in this article some questions were raised relative to theteaching of English language in the Indonesian context. 1) What are thecurrent problems of teaching English language in Indonesia?, 2) What are thecurrent English teaching methodology and what should be undertaken forimprovement?, 3) What are applicable English language teaching strategiesto help the Indonesian learners? In order to figure out the answers of the aforementioned questions,some previous studies and literatures were explored and reviewed, inparticular previous studies related to the teaching of English language inAsia and Indonesia. Finally, it is expected from this article that a strategy, orat least a concept, to improve the teaching of English as a foreign languagein the Indonesian context can be constructed.Constraint in Teaching English and Learners’ Characteristics Generally speaking, Teaching English as A Foreign Language is visiblein many countries such as Germany, Thailand, and Japan, where it is spokenby limited number of population. This language is widely visible in thearea of entertainment, movies, television, video, music, internet, media andinformation technology. Sjöholm, (2004) asserts that English has becomethe dominant language in a large number of domains such as commerce,industry, sport, youth culture, tourism, and especially advertisement.Moreover, a command of English is very important for anyone involves inthe scientific discussion, uses the computer and the internet. Since English has become the first official foreign language in Indonesia,teaching the English language for students starts from junior high schools(Grade 7-9) for four hours per week, by focusing on aural skills as the foundation.Meanwhile, in senior high schools, (Grade 10-12), students learn English forthree to seven hours per week. The national curriculum’s objectives for Englishat this level include emphasizing students to master 4000 vocabulary by thetime they graduate from senior high schools, (Lowenberg, 1991). According to Y.M. Harsono, (2006), in Indonesia, English languagefunctions (1) to help the development of the state and nation, (2) to build relationswith other nations, and (3) to run foreign policy. In relation to that, EnglishLanguage Teaching in Indonesia has been carried out as early as the Dutchperiod, before the World War II, starting to be taught in Junior High School54 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
............................................................................................................. New Insights into Teaching of English Language to Indonesian Studentscalled MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) or extended elementaryschool. In the recent development of English Language Teaching in Indonesia,English has been taught in the elementary school as an elective subject sincethe implementation of the 1994 Curriculum. In the development of EnglishLanguage Teaching in Indonesia, there are a lot of problems ranging from thecontext of learning, the objective of teaching, English Language Teaching inthe primary school, the method of teaching, and logistic problems. English has been taught for so many hours and become part of highschool’s six-year curriculum. Ironically, there are still very limited numbersof students who are able, for instance, to read a simple English book. ManyEnglish learners were cramming all of these grammatical rules over nightbefore the final examination, and then they forgot everything afterward. Since Indonesia does not belong to inner circle or outer circle countries1,students do not have many opportunities to listen and speak English.Exposure to English can be said very low since families do not speak Englishat homes and English is not used as a communication means in the offices,at station, at post office and at other public spheres. Hence, the only placewhere English has the status is in English classroom. However, the extensiveuse of native language or Bahasa Indonesia in English classroom by teachersand English language learners somehow does not facilitate the acquisitionof English language. This will make students miss the opportunity to listento some English and miss their most valuable time to practice English withtheir teachers and peers. Lowenberg, (1991) explains some factors that might contribute to theproblem of low level of English proficiency faced by students graduatedfrom senior high schools. The first factor is that the problem relies withinthe Indonesian educational system itself. The second one is Indonesianclassroom situation which is still generally overcrowded and noisy. Thethird factor is that there are many teachers who are still lacking of proficiencyin English or still need some training in language pedagogy. And the fourthfactor is the inadequacy of their salary to support their family which alsocontributed the complexity of the problem. Meanwhile, the best teachers;often decide to leave the schools for a better job. 1 These terms were coined by Braj Kachru. The term Inner Circle Countries describes countries that are En -lish speaking, and the term Outer Circle Countries describes countries in which English has a long history and highstatus such as India, Singapore and the Philippine. See McKay, (2002, p. 9).PROGRESIF 55Volume 1, Number 1, July 2009
Muhammad Thalal ................................................................................................................................................................................................ In fact, one of the crucial problems as described above by Lowenbergcould be observed in Banda Aceh, Indonesia in the last four years. After theearthquake and tsunami disaster that struck the region on December 26, 2004,many international organizations came to Aceh providing humanitarianaids and then established their offices in the city. They announced manypositions with a higher salary compared to the average Indonesian wage.This situation has triggered many proficient English teachers to leave theirstudents for the better jobs. The remaining teachers at the schools, at thattime, were those who lack of English speaking skill, albeit they seemed verygood in English grammar. In line with the third factors explained by Lowenberg above, Dormer(2007) states that Indonesia is currently lacking of qualified English teachers,hence schools often use teachers with very limited English skills. This madethe textbook as the only English language learning source in the classroom. Itis certain that if the language is learned only from the textbook, the studentswill simply master reading and writing skills while they lack of speakingand listening. However, the real challenge and drawback in the classroomis when the teacher does not speak English and fails to bring the students incommunicative atmosphere. In addition to factors above, the Indonesian learners’ characteristicis also a crucial issue in teaching the English language to them. Throughthe interview with five Australian teachers who have taught English as aForeign Language in a village area of Central Java for ten months in 1990s,Exley, (2005) explores deeply about Indonesian English students’ learnercharacteristic. According to the teachers, it is common that Indonesianstudents are passive, shy and quite due to their cultural, institutional andbehavioral background. The teachers argued that these characteristicscontributed to students’ low level in English language proficiency. Moreover, Lewis, (as cited in Exley, 2005) reports from his studythat Indonesian students learning the English language are mostly silent,occasionally completing pronunciation drills or responding to teachers’question on the readings or grammar tasks. Major activities in the classroomare copying from the blackboard and translating texts or vocabulary fromEnglish to Indonesian. Lewis also finds most English language teachers inIndonesia still prefer the traditional model of grammar-translation and direct56 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
............................................................................................................. New Insights into Teaching of English Language to Indonesian Studentsmethod although the new English curriculum from the Indonesian Ministryof National Education has adapted a semi-communicative methodology. Another important study about Indonesian learners characteristic wasconducted by Sri Lengkanawati Nenden, (2004). She undertook a researchwith around 114 English language learners in one of Indonesian universities.Her findings indicate that the intensity of using memory strategies byEnglish language students is high. For many years, Indonesian studentshave the habit of rote learning behavior. This behavior has become thecultural habit in studying. In addition, the intensity of using the strategies-cooperating with peers or with proficient user of the target language is lowamong Indonesian students. She argued that most Indonesian students areshy to show that they do not know something. In the classroom, even thoughstudents do not understand what the teachers say, very few students arewilling to admit by asking questions. Based on those studies, it is clear that the obstacles in teaching English asa Foreign Language to Indonesian students vary from the English languagecurriculum itself, classroom situation, teaching and learning styles, andlearners’ characteristics to teacher’s own problem. In the following section,current English language teaching methods applied in Indonesia and whatshould be done to improve this situation in classroom will be explored.Rethinking Teaching English Language in Indonesian Context; CurrentEnglish Language Teaching Method and Way of Teaching Every serious learner of foreign languages always expects from thebeginning that after a period of time, they will be able to communicate in aforeign language. Likewise, English learners in Indonesia also expect similartarget that after six years of learning they will be able to speak English or atleast to survive with some English abilities. There are many cases happen where students’ expectations often donot match with the reality of learning results showing that their Englishproficiency is still very low or no significant English ability is achieved aftermany years of study. This low achievement might be a starting point to lookback to what has happened to the teaching of English in the Indonesiancontext, both the methods and the learners. As of for the methodology used in English teaching, Lie mentions thatthe English language teaching methods used in Indonesian public schoolsPROGRESIF 57Volume 1, Number 1, July 2009
Muhammad Thalal ................................................................................................................................................................................................still focus on accuracy, although since 1984 and 1994 the communicativelanguage teaching (CLT) has been approached by the Indonesian governmentas the way English language should be taught in the national curriculum.The government also later adopted the competency-based curriculum inEnglish language teaching. The teaching seems still to be in the old waysince these new approaches are not clear enough to teachers. Moreover,teachers rarely receive adequate English language training and they alsooften have to teach in grammar, which invariably do not make the studentsbeing able to speak, listen, read and write in the English language. Furthermore, hiring teachers who are capable to apply the currentEnglish teaching methodology in classroom is not easy, especially for schoolslocated in rural area. According to Chodidjah, (2007), Schools located inurban and wealthier areas usually have the ability to hire more Englishteachers due to parents’ support. Some schools just employ universitystudents who can speak English because of lower rate payment whilst someothers assign their permanent teachers who have better English or havean English background. Meanwhile, the English language teacher trainingset up by the regional Education and Training Center is mainly for thosepermanent teachers registered as civil servants. Most of the trainees areclass teachers or special subject teachers who speak only a little English. On the other hand, the lack of English teaching methodologyapplication in classroom is difficult to improve due to current teachers’recruitment system which is far from ideal. The recruitment system stillinvolves the Primary Education Office. It is often that the disseminationof vacancy information for English teachers does not reach the right mixof participants. Sometimes a group from an area dominate simply becausethe ‘relationship.’ It is also more of ‘favor’ or ‘just-easy-to-call’ principlethan proper identification of candidates based on their English languagecapability. It seems that the coordination among the supposedly involvedinstitutions is not well enough. Later, despite their successful in the trainingand some of them are capable of teaching, they still have problems withtheir school principals or supervisors who have inadequacy knowledgeabout how language is supposedly to be taught since they still believe inconventional classroom delivery where teachers are actively teaching thestudents in a teacher-controlled classroom, (Chodidjah, 2004).58 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
............................................................................................................. New Insights into Teaching of English Language to Indonesian Students In addition, Dormer, (2007) contends that schools rarely have adequatefunding or appropriate staff to carry out testing or oral language skills. Thissituation does not mean that oral language skills should not be taught. Thebigger challenge is the fact that some tests have been found to actuallycontain language errors.Expectations from Classroom Frankly, what really should be done to English language learners inclassroom’s teaching-learning process is still need to be explored further.Before elaborating some key points that should be applied in the Indonesiancontext, it is much worth to see English language learners from some othercountries across Asia for a comparison with Indonesia. In Japan, Davies, (2006) undertook a study about what Englishlanguage learners’ expect from their classroom at Aichi ShukutokuUniversity in Nagoya. He collected data from students by using class-specific questionnaire survey. The learners’ responses encouraged him tochange key elements in his course, such as syllabus type, skills focus andtask type. In short, some actions have been taken in response to Englishlanguage learners’ expectations that will take to a more cohesive long-termcourse development such as putting tasks as the main organizing principle,emphasizing some interactional tasks, and including more listening andvocabulary-building tasks. Davies then made some crucial points where he suggested thatEnglish language teachers must increase learner-centeredness such asnegotiating course content and encouraging student participation. Englishlanguage teachers also must pay attention to more effective task or materialselection as well as the design. The last things he suggested is the teacherself-development in which teachers should develop their knowledge andskills related to materials’ design. Back to Indonesia, Djamiah Husain, (as cited in Exley, 2005) carried outthe study to 31 English students in Makassar State University, Indonesia.She reports that English language learners differ in a wide variety of ways.These differences are usually called individual differences which can beage, aptitude, motivation, learning style and personality style. The findingsof her study show that the learners could be classified into six groupsnamely visual director group, visual socializer group, visual relater group,PROGRESIF 59Volume 1, Number 1, July 2009
Muhammad Thalal ................................................................................................................................................................................................visual thinker group, auditory relater group, and auditory thinker group.Eventually, at the end of her research, Djamiah Husain suggests that inorder to determine factors for the success of teaching English, teachers mustaware of students’ learning and personality style. Teachers should groupEnglish students according to their learning and personality style, and alsoteachers should match the teaching styles with the students’ learning andpersonality styles in order to get better achievement. In addition to Djamiah Husain’s findings, another investigationconducted by Reid (as cited in Exley, 2005) on Indonesian studentsstudying in the United States finds a similar result that the studentsproposed auditory and kinesthetic learner characteristics as major learningstyle preferences; visual, tactile and individual learner characteristics asminor learning style preferences; and group learner characteristics asundesirable styles of learning. On the contrary, Lewis who interviewed 320Indonesian English learners finds that students showed their preferencesfor progressive teaching methods. The students expect: practice Englishwith its native speaker, teacher correction, learning in pairs and groups,watching English language television programs, listening to tapes, puttingwords into sentences, paraphrasing, reading English newspaper, studyinggrammar, and learning function. In sum, all the studies above indicate that the Indonesian Englishlanguage learners’ learning style at public schools still stresses teacher-centered classrooms, where teachers are more active than the students. Theactivities in the classrooms are based on the textbooks and what the teacherssay. Students sit in rows facing the teacher and spend most of the timecopying from the blackboard. Therefore, it seems that Indonesian classroomstrongly need for a change. It is indeed a qualified teacher who can changethe classroom atmosphere and brings a new learning insight for students.What Should be Done in Improving English Language Teaching It is very important that before applying any English teachingstrategies in the classrooms, teachers first has to observe and review thelearning style of the students with regard to their cultural backgrounds andethnic groups. Other essential factor that every teacher must consider isthat students learn best if they are actively involved in the learning processand when they are in learning situations that address their learning stylepreferences, (Wintergerst, DeCapua, & Verna, 2003).60 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
............................................................................................................. New Insights into Teaching of English Language to Indonesian Students As the matter of fact, currently there is no best method for Englishlanguage teaching in Indonesia other than what Indonesian teachers canelaborate based on learners’ characteristic and cultural factors. McKay(2002) argues that with the spread of English all over the world, the choiceof English teaching methodology should no longer be based on British,American or Australian models. There is no one English teaching methodthat can meet all learning contexts of English as the language of the globetoday, nor is there a best way for each particular context. Everything dependson the teachers themselves. In addition to way of teaching, current English language teachingmaterials in Indonesia also must be reviewed. Zacharias’, (2005) study onthe Indonesian teachers’ beliefs finds that there is a need for local teachers tobe empowered on how to develop their own materials to meet their specificlearning and teaching situations. However, as stated by Brown, (2006), thestandard textbook prescribed by the school curriculum must not be neglectedbecause this resource may actually be useful. Hence, a balance between thestandard textbook and the teachers’ own material is extremely necessary. Furthermore, during the teaching teachers should always emphasizemastery of four language skills that are listening, speaking, reading andwriting. For example, to improve listening skill Chang and Read, (2006) have agood suggestion for teachers in improving their students’ listening skill. Theycan support students’ listening in the form of previewing the test’s questions,topic preparation, and repetition of the input must be taken into account inEnglish language teaching activities. These strategies might be helpful indeveloping the listening ability of Indonesian English language learners. Dormer, (2007) also elaborates some solutions that might be helpfulfor English teachers to improve language skills. According to him, teachersshould be given the opportunity to improve their English skills. Thestandard methodology also needs to be heightened. Effective language-teaching techniques are not difficult or complicated, and effective trainingwould be very useful. Despite the current national curriculum that adoptsthe communicative language teaching in which the oral communicativeskills are being taught, many teachers still do not teach communicative skillsbecause they are not specifically tested. But this situation can be handled ifthe test writers focus on well-written communicative items which althoughPROGRESIF 61Volume 1, Number 1, July 2009
Muhammad Thalal ................................................................................................................................................................................................in a written format, it can still focus on communicative skills. When teachersare able to speak English fluently and they use a good teaching method, itseems that English language learners proficiency will improve better. According to Patil, (2008) the general objective of teaching Englishshould always be to enable learners to speak, read and write English fluently.To make this objective comes true communication with students must bemaintained by creating occasions for them to use English in meaningful,realistic, and relevant situations. Games, role play activities, informationgap tasks, brain storming exercises, puzzles, cartoons, anecdotes, jokes,songs and other low cost and easily available teaching materials may beused for this purpose. It is very crucial to make learners feel confident andcomfortable with English by having them enjoy playing and experimentingwith the language. Once they have felt confident and have got rid of thatfear feeling, they try to use English creatively. Now, when English languagelearners are not afraid anymore of making mistakes, they will try to practiceEnglish as much as they can and to pick up more vocabularies and grammars.In order to make the language learning meaningful, Patil suggests teachersto use examples from students’ native language occasionally. Indonesian teachers teaching English language must have specificattention towards the teaching goals for English in Indonesia. McKay (2002)explains that the spread of English has brought with it language change andvariation so that it is important to distinguish linguistic differences amongnew speakers of English. Thus, according to her, there are several goals inteaching English as the universal language. One goal of teaching Englishis to ensure there is no intelligibility problem occurs with some differencesin particular pronunciation and grammatical patterns and sometimes inlexical innovation. The second teaching goal is to help learners developstrategies to achieve friendly relations when English is used with speakersfrom other cultures. McKay argues that in this case a native speaker targetis inappropriate in a teaching of an international language because Englishhas been localized with learners’ cultures. Thus the goal in teaching Englishshould not be to achieve native-like competence but rather to encourage theacquisition of interaction strategies that will promote comity. The last goalin teaching English in international context should be to develop textualcompetence. Since one of the main reasons for learning English today is62 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
............................................................................................................. New Insights into Teaching of English Language to Indonesian Studentsto access the large amount of knowledge and information that is availablein the language, teachers should be aware that it is very crucial to developreading and writing skills besides speaking skills. Brown, (2006) suggests eight guidelines that might be important tobe considered by teachers teaching English in Indonesia due to the lack ofready communicative spheres outside the classroom. Those guidelines areas follows:1) use class time for optimal authentic language input and interaction;2) do not waste class time on work that can be done as homework;3) provide regular motivation-stimulating activities;4) help students to see genuine uses for English in their own lives;5) play down the role of tests and emphasize more intrinsic factors;6) provide plenty of extra-class learning opportunities, such as assigning an English-speaking movie, having them listen to an English-speaking TV or radio program, getting an English-speaking conversation partner, doing outside reading (news, magazines, books), and writing a journal or diary in English for the learning process;7) the use of learning strategies outside class;8) and form a language club and schedule a regular activities, (p. 117). McKay, (2002) contends that the prevalent use of western culturalcontent in English language teaching texts need to be examined becauselocal content seems to minimize the potential of marginalizing the valuesand lived experiences of the learners. In addition, source culture content doesnot place local teachers in the difficult position of trying to teach someoneelse’s culture, which in this case the western cultures. English languageshould be taught in a way that respects the learners’ culture of learning.McKay emphasizes the concept of thinking globally but acting locally forEnglish teachers since the evidence suggests that the use of English todayis growing continuously as a global language which belongs not only tonative speakers, but also to all of its users, (p. 129). Similar to McKay’s suggestion, in order to motivate learners and to makelanguage learning more enjoyable in English classrooms, Tsou (2005) alsourges teachers to implement culture lessons into regular English languageclassrooms. Since reading, writing, listening and speaking are also applied inthe culture lessons, students can continue to develop their language ability.Besides, part of the culture lessons can also involve students’ native culture.PROGRESIF 63Volume 1, Number 1, July 2009
Muhammad Thalal ................................................................................................................................................................................................Conclusion Based on the concept offered and given the diversity of local cultures inIndonesia, it seems impossible that one method of English language teachingwill meet the needs of all learners. Therefore, to overcome this constraintthe role of teachers is very significant. They must be creative in preparingteaching content and making the classroom situation as communicative aspossible. In addition, it is extremely crucial for teachers to comprehend theirstudents’ characteristics and cultural backgrounds. As in Indonesia people culturally feel more prestigious if they canspeak a foreign language, especially English, teachers should take theadvantage by using this feeling to encourage their learners to take a riskwisely in learning and using English (Nenden, 2004). Eventually, Englishlanguage learners in Indonesia must be willing to take a risk in the game oflanguage to be successful English language learners. Teachers should takeinto account what Brown states in his book: ‘Successful language learners, in their realistic appraisal of themselves as vulnerable beings yet capable of accomplishing tasks, must be willing to become “gamblers” in the game of language, to attempt to produce and to interpret language that is a bit beyond their absolute certainty (p. 63).”64 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
............................................................................................................. New Insights into Teaching of English Language to Indonesian Students BIBLIOGRAPHYBrown, H.D, “ Teaching by principles: An interactive approach to language pedagogy,” 2nd edition, NY: Longman, 2006.Chang, Anna Ching-Shyang, & Read, John, “The effects of listening support on the listening performance of EFL learners,” TESOL Quarterly, 40, 2006.Chodidjah, Itje, “Teacher training for low proficiency level primary English language teachers – how it is working in Indonesia,” A Collection of Paper, Primary Innovations Regional Seminar Hanoi, March 2007.Davies, Alun, “What do learners really want from their EFL course?” ELT Journal, 60/1, 2006.Jan E. Dormer, “When teachers don’t speak English,” The Jakarta Post, April 28, 2007, accessed on February 18, 2009 from http://www. thejakartapost.com/news/2007/04/28/when-teachers-don039t- speak-english.html?t=1230555849#comment-11385.Exley, Beryl, “Learner characteristics of ‘Asian’ EFL students: Exceptions to the ‘Norm.’ In Young, Janelle, Eds. Proceedings pleasure passion provocation. Joint National Conference AATE & ALEA 2005, AustraliaHarsono, Y.M. “English Language Teaching (ELT) in Indonesia: Facts, problems, and possible solutions,” English Education Journal, 5/2, July 2006, abstract.Husain, Djamiah, “Learning and personality styles in second languages acquisition,” Analisis, 2, 2000.Lie, Anita, “Pengajaran bahasa asing: Antara sekolah dan kursus,” [Teaching of Foreign Language: Between school and private course]. Kompas, 2004, accessed on October 6, 2006 from http://www.kompas.com/kompas- cetak/0407/08/PendIN/1129942.htmLowenberg, Peter H, “English as an additional language in Indonesia,” World Englishes, 10/2, 1991.McKay, Sandra L. “Teaching English as an International Language,” New York: Oxford University Press, 2002.PROGRESIF 65Volume 1, Number 1, July 2009
Muhammad Thalal ................................................................................................................................................................................................Nenden, Sri Lengkanawati, “How learners from different cultural backgrounds learn a foreign language,” Asian EFL Journal. vol. 6. issue 1, 2004, article 8, accessed on October 19, 2006 from http://www. asian-efl-journal.com/04_nsl.pdfPatil, Z.N, “Rethinking the objectives of teaching English in Asia,” Asian EFL Journal, 10(4), 2008.Sjöholm, Kaj, “The complexity of the learning and teaching of EFL among Swedish-minority students in bilingual Finland,” Journal of Curriculum Studies, 36(6), 2004.Wenli Tsou, “The effects of cultural instructions on foreign language learning,” RELC Journal, 36(1), 2005.Zacharias, Nugrahenny T, “Teachers’ beliefs about internationally-published materials: A survey of Tertiary English teachers in Indonesia,” Regional Language Centre Journal, 36 (1), 2005.Wintergerst, A.C., DeCapua, A., & Verna, M.A. “Conceptualizing learning style modalities for ESL/EFL students,” System, 31, 2003.66 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
6 POSTMODERNISME; Implikasinya atas Paradigma Pendidikan Indonesia Firdaus M. Yunus Bio Data: Firdaus M. Yunus adalah staf pengajar pada Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Menyelesaikan sarjana dalam bidang studi Akidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2000. Magister (S2) pada Fakultas Ilmu Filsafat, 2003, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, program studi Sosiologi pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2005. Abstract Implicitly, the paradigm of education in Indonesia, in many ways, has adopted the thought of postmodernisme. One of which is the emergence of argument towards narration that is marginalized by bigger narration through curriculum and education centralization. Critics brought about by postmodernisme in education sector questions the effectiveness of educational institutions in giving the transformation of value dan transformation of knowledge. Postmodernisme, with its deconstruction theme, pluralism, deferentiation, etc, can be found in the problem facing the Education sector in Indonesia. Kata Kunci: Postmodernisme, Paradigm, Education
Firdaus M. Yunus ..................................................................................................................................................................................................Pendahuluan Kehadiran postmodernisme dalam ruang pergulatan intelektualitasmanusia disadari telah membuat warna baru yang menarik untuk dikaji. Halini tidak saja karena kehadirannya cukup menyentakkan dunia akademik,melainkan juga postmodernisme telah turut membawa pesan-pesan kritisuntuk melakukan pembacaan ulang atas berbagai tradisi yang selama inidiyakini kebenarannya. Masyarakat dikagetkan dengan munculnya gejalapostmodernisme yang ‘meluluh-lantakkan’ dimensi-dimensi ontologi,epistimologi, bahkan aksiologi yang tumbuh dalam pengetahuan dasarmasyarakat mengenai realitas. Bagi gerakan postmodernisme, manusiatidak akan mengetahui realitas yang objektif dan benar, hanyalah sebuahversi dari realitas. Postmodernisme yang semula hanya berkembang dalam bidangarsitektur, mulai merambah ke dalam seluruh bidang kehidupanmanusia, justru setelah Lyotard mengintegrasikannya ke dalam filsafatsebagai bentuk ketidakpercayaan pada metanarasi, (Lyotard, 1979/1984: xxiv). Pengintegrasian gerakan postmodern ke dalam (ruang) filsafatmemberikan konsekuensi logis bagi munculnya ‘pembacaan ulang’ padasetiap dasar kehidupan manusia, (Sugiharto, 1996 : 28-32). Hal ini karenafilsafat merupakan pengetahuan dasar yang memberikan konstruksibagi munculnya setiap bentuk pemahaman (ideologi) dalam masyarakat.Postmodernisme dalam filsafat berujung pada sikap kritis untuk mengkajiulang setiap bentuk kebenaran yang selama ini diterima secara apa adanya.Terminologi inilah yang kemudian dikenal dengan metode dekonstruksi yangdalam banyak hal diusung oleh Derrida, (Norris, 2003 : 20). Gerakan postmodernisme ini pada dasarnya muncul sebagaikritik atas kegagalan manusia modern (kehidupan modernitas) dalammenciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif dan berkeadilan sosial,(Ritzer, 2003 : 31). Munculnya perang, gejolak sosial dan revolusi yangmenimbulkan anarki dan relativisme total. Keadaan tersebut melahirkansejumlah kegelisahan berkaitan dengan problem pengetahuan dasarmanusia mengenai modernisme yang diklaim mengusung kemajuan,rasionalitas, dan sebagainya. Rasio manusia yang oleh masyarakat moderndiyakini sebagai suatu kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisisdan transendental. Kemudian diyakini pula mengatasi semua pengalaman68 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
................................................................................................................... Posmodernisme; Implikasinya atas Paradigma Pendidikan Indonesiayang bersifat partikular, dan dianggap menghasilkan kebenaran mutlak,dan tidak terikat waktu. Asumsi-asumsi mutlak di atas dengan tegas ditolak oleh Heidegger,Horkheimer dan Adorno. Menurut mereka, modern (modernisasi)bukanlah sekedar perjalanan terseok-seok, melainkan perjalanan kesebuah disintegrasi total, sebuah malapetaka sejarah umat manusia. Dalampemikiran Bataille, Rorty, Foucault, dan Derrida, juga terkandung “nafsu”yang sama untuk menyingkapkan bahwa “kehendak untuk menjadi moderntak kurang untuk berkuasa, (Hardiman, 2003 : 151). Untuk itu, usaha membebaskan diri dari dominasi konsep dan praktekilmu, filsafat dan kebudayaan modern menjadi signifikan. Jika dalamvisi modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai sumber utamailmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal,maka dalam visi postmodernisme hal itu justru dipandang sebagai alatdominasi terselubung yang kemudian tampil dalam bentuk imperialismedan hegemoni kapitalistik. Sebuah warna yang paling dominan dalammasyarakat modern. Maka postmodernisme menyadari bahwa seluruhbudaya modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan danteknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuranepistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benaritu adalah ‘rasional’. Meskipun postmodernisme sendiri juga berusahamenggiring manusia ke dalam sebuah paradoks, yaitu di satu pihak telahmembuka cakrawala dunia yang serba plural yang kaya warna, kayanuansa, kaya citra, tetapi di lain pihak, ia menjelma menjadi sebuah duniayang seakan–akan tanpa terkendali, (Pilliang, 2004 : 358). Persoalannya, apakah bangunan epistemologi yang demikianmempunyai pengaruh signifikan dalam bidang pendidikan ? Kalaulah iaterintegrasi dalam filsafat sebagaimana dilontarkan oleh Lyotard, apakahsistem filsafat pendidikan dalam banyak hal juga mulai bersinggungandengan gejala postmodernisme ? Lalu, bagaimana bentuk keterpengaruhandalam sistem pendidikan, baik persoalan kurikulum maupun praktekpengajarannya? Sebab sejak beberapa dekade tema postmodernisme lebihbanyak dikontekskan pada seni, arsitektur, kebudayaan, dan juga filsafat. Untuk melihat pengaruh pendidikan (utamanya dalam persekolahan)oleh pendekatan postmodernisme memang sulit untuk dilacak. IniPROGRESIF 69Volume 1, Number 1, July 2009
Firdaus M. Yunus ..................................................................................................................................................................................................dikarenakan sangat jarang diskursus postmodernisme dikaitkan denganmasalah pendidikan. Akan tetapi, kalau diperhatikan secara kritis danmendasar, berbagai bentuk kritik epistemologi yang ditampilkan olehgerakan postmodernisme yang mengusung tema; dekonstruksi, pluralitas,anti kemapanan, deferensiasi, dan lain-lain, tampaknya secara implisitditemukan dari problem pendidikan di Indonesia. Maka untuk itu yangpenting bagaimana menempatkan paradigma baru pendidikan Indonesiadari keterpengaruhan postmodernisme.Melacak Pengaruh Postmodernisme Dalam Pendidikan Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme, maka dapat dilacakdimana letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma pendidikan.Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan prosestransformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah(pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasanmasyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat padaguru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit,yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat,entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luarsekolah. Ivan Illich, (2003 : 33-34) mengatakan bahwa proses pendidikanakan memperoleh keuntungan dari upaya membebaskan masyarakat yangcenderung mendewakan sekolah, dengan demikian kegiatan sekolah tidaklebih hanya sebagai pengkhianatan terhadap upaya pencerahan budi. Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitasserta deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melaluikerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitasmembuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatisdan dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai)serta transfer of knowledge (transformasi pengetahuan). Peran guru, bahkanjuga institusi sekolah seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnyasebagai pembelenggu kreativitas anak didik. Anak didik di sekolah seringdiperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong yang siap diisitanpa boleh dibantah. Pendidikan seperti ini yang dikritik oleh Freiresebagai model pendidikan “gaya bank” (banking system), (Freire, 2002 :70 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
................................................................................................................... Posmodernisme; Implikasinya atas Paradigma Pendidikan Indonesia28). Sementara pola ujian akhir nasional (UAN) sebagai ukuran terakhirkemampuan anak didik adalah representasi bagi ‘penindasan’ yangdilakukan institusi-institusi tersebut terhadap pengembangan kreativitasanak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat, meminimilisasikankemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’ berdasarkankemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan beban-beban yang cukup membelenggu. Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukankemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban beratpengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidangtersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakatmodern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya,yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagaiukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang cukup beratmenimpa masyarakat modern. Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikanjawaban atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern,sehingga proses pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan rasioatau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan.Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagaialat untuk memanusiakan manusia, (Drost, 1998 : 74). Pengangkatan harkatdan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasiosemata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual. Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikannasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tigakemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik, (Suparno, 1996:43). Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah tersebut dipandangakan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, prosespendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agartetap berjalan. Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat modernsebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanyamengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia. Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikanberbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritikmendasar postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkanPROGRESIF 71Volume 1, Number 1, July 2009
Firdaus M. Yunus ..................................................................................................................................................................................................berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme, (Santoso, 2003 :331), deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuahtatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnyamemberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma) pendidikanyang perlu diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat Indonesia.Dari Grand Narative ke Local Narative Bangsa Indonesia saat ini tengah disibukkan dengan geliat reformasi disegala bidang, termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendakdilakukan adalah mereformasi sistem pendidikan nasional yang selamaini terkesan sentralistik menuju prinsip-prinsip desentralisasi, otonomidan keadilan. Reformasi sistem pendidikan nasional bertujuan untukmeningkatkan mutu, efisiensi, dan efektivitas pengelolaan pendidikan.Prinsip ini juga bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakatsecara luas dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan di berbagai belahan dunia selalu dipakai sebagai modaldasar pengembangan dan pemilihan kebijakan pembangunan. Hampir disemua negara selalu menggunakan pendidikan sebagai proses pencapaianpembentukan kualitas sumberdaya manusia (SDM), baik sebagai subjeksekaligus objek pembangunan. Negara yang mempunyai konsep danproses pendidikan yang baik dan modern biasanya menghasilkan output pendidikan yang mempunyai kemampuan melaksanakan segenapagenda pembangunan. Melalui pendidikan, proses pemenuhan kualitassumberdaya manusia dan penggalian potensi nasional maupun lokalsebagai pendukung utama keberlangsungan pembangunan dapatterpenuhi. Itulah sebabnya di banyak negara maju, selalu menggunakanpendidikan sebagai proses mengejar ketertinggalan di berbagai bidang.Dalam hal ini bisa dilihat negara Jepang, dan Jerman, yang memiliki SDMberkualitas dapat membangun negara mereka dengan cepat, meskipunseluruh infrastrukturnya mengalami kehancuran karena perang duniakedua, (Nugroho, 2003 : 115-116). Memahami apsek pendidikan sebagai bagian yang tidak terpusatkandalam proses berlangsungnya pembangunan nasional maupun lokal,selayaknya untuk selalu dikedepankan. Selama ini terkesan bahwa pendidikannasional selalu menjadi agenda yang dinomorsekiankan setelah agenda72 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
................................................................................................................... Posmodernisme; Implikasinya atas Paradigma Pendidikan Indonesiapembangunan bidang ekonomi dan politik. Padahal kedua bidang tersebuttidak pernah bisa berjalan tanpa keberhasilan sektor pendidikan. Apalagidalam terminologi memasuki otonomi daerah (otda) yang telah dilaksanakansejak bulan Januari 2001, maka sektor pendidikan sebagai sarana awalpemecahan persoalan-persoalan lokal, seperti pemenuhan kebutuhan SDM,penentuan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan lokal dan sebagainya,harus menjadi agenda pembangunan yang tidak bisa ditunda-tunda. Selama ini yang terjadi adalah betapa proses pendidikan selalu tidaksejalan dengan agenda pembangunan lokal. Artinya, proses pendidikan,dalam artian pendidikan formal (sekolah) sesunguhnya diterapkan dalamrangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan SDM yang (minimal)sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya. Dalam artian,bahwa setiap proses pendidikan di dalamnya seharusnya mengandungberbagai bentuk pelajaran dengan muatan lokal yang signifikan dengankebutuhan masyarakat. Sehingga out put pendidikan adalah manusia yangsanggup untuk memetakan sekaligus memecahkan masalah yang sedangdihadapi oleh masyarakat. Bagaimana mungkin dapat diperoleh keluaranpendidikan yang mengerti kebutuhan daerah (lokal) manakala prosesbelajarnya tidak pernah bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan yangmemang mengakar dalam masyarakat. Berbagai ilustrasi dimunculkan, betapa proses pendidikan yangdijalankan seringkali tercerabut dari akar persoalan yang sebenarnya, tapiilustrasi tersebut hanya menjadi bahan pembicaraan yang tidak bergaung.Misalnya; fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia ada di pedesaan yangnotabene adalah masyarakat agraris, tetapi dalam praktek pendidikannyahampir tidak berorientasi pada problem masyarakat, khususnya masyarakatdesa. Praktek pendidikan yang demikian disinyalir membuat orangsekolahan menjadi asing dan tidak mengenal persoalan yang sedang terjadidi sekitarnya. Bahkan tidak jarang, justru banyak produk-produk pendidikantersebut seringkali malah melecehkan kehidupan dan pekerjaan masyarakatsekitar misalnya sebagai petani. Hal ini karena anak didik lebih banyakdi ‘intervensi’ oleh praktek pendidikan model perkotaan dengan tipikalmasyarakat industrialnya sehingga muncul ketidakpercayaan diri anak didikatas profesi sebagai petani dan memilih gaya hidup sebagai anak pejabatdengan fenomena rebutan keluaran pendidikan untuk menjadi pegawainegeri sipil atau minimal bekerja di perkantoran. PROGRESIF 73Volume 1, Number 1, July 2009
Firdaus M. Yunus .................................................................................................................................................................................................. Selain itu banyak ilustrasi menarik lain yang menggambarkanseringnya praktek pendidikan yang tidak berkorelasi dengan kebutuhanmendasar. Di beberapa daerah pedalaman atau masyarakat terisolir, yangmerupakan daerah pedesaan atau perkampungan hutan atau masyarakatnelayan, ditemukan suatu kenyataan betapa anak-anak yang seharusnyaberada pada jam sekolah tetapi justru melakukan aktivitas, semisal bertani,mencari rumput, menggembala, berladang di hutan serta mencari ikan dansebagainya. Secara spontan kita akan menuduh bahwa budaya masyarakat ditempat tersebut kurang mendukung pembangunan pendidikan denganadanya kebiasaan orang tua untuk mengajak anak-anak mereka masukhutan, bertani atau berlayar mencari ikan. Pernyataan tersebut nampaknyamau menunjuk bahwa kebiasaan orang tua mengajak mereka untuk masukke hutan berladang dan menangkap ikan adalah anti tesis tersendiri daridunia pendidikan yang seharusnya diikuti oleh anak-anak. Anti tesis duniapendidikan bisa diperluas cakupannya menyangkut kebiasaan orang tuanelayan yang mengajak anaknya melaut, kebiasaan orang tua perkotaanyang mengharuskan anaknya bekerja di sektor informal. Ketika anak-anak lain sedang menekuni pelajaran di bangku sekolahdengan paket kurikulum yang telah digariskan, anak-anak pedalaman(anak nelayan dan juga anak-anak petani) justru mengikuti orang tuanyaberladang menembus hutan belajar tentang dunia hutan sekitar mereka.Mereka belajar tentang kesuburan tanah, bibit tanaman, tanda-tanda alam,pergantian musim, berpindah lahan demi pemulihan kesuburan dan dauralam. Atau anak-anak nelayan yang seperahu dengan bapaknya belajartentang angin, ombak, kehidupan laut dan sebagainya. Kita jangan bertanya;mengapa mereka tidak bersekolah ? Ini soal biaya atau kesempatan ? Karenasesungguhnya mereka belajar tentang keseharian dengan lingkungan yangterdekat; persoalan riil yang mesti dihadapinya, bukan persoalan globalyang seringkali jauh dari pikirannya. Ilustrasi di atas sekedar memberikan sebuah gambaran bahwa banyaksekali praktek pendidikan yang diterapkan justru mencerabut anak didikdari akar budayanya, mencerabut juga dari persoalan-persoalan yangsemestinya ia pelajari untuk kemudian bersama dicarikan titik solusinyamelalui proses yang bernama pendidikan.74 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
................................................................................................................... Posmodernisme; Implikasinya atas Paradigma Pendidikan Indonesia Kegagalan membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengankebutuhan lokal sesungguhnya seringkali menghambat keberhasilan agendapembangunan daerah yang sudah dicanangkan. Hal ini karena, sekali lagiproses pendidikan yang tidak bersentuhan langsung dengan persoalankehidupan yang dihadapi oleh anak didik dan masyarakat sekitar. Berdasarkan ilustrasi tersebut, apa yang sebenarnya menjadi landasanpijak bagi dunia pendidikan untuk kembali merenungkan beberapa aspekyang berkaitan dengan proses belajar-mengajar harus diprioritaskan. Apalagidalam konteks saat ini telah diberlakukan paket otonomi pada masing-masing daerah, tentang pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah yangtentu saja di dalamnya ada bidang pendidikan, maka praktek pendidikanharus dibuat sedemikian rupa agar berkorelasi dengan kebutuhan mendasarmasyarakat, yang pada akhirnya pola kebijakan pendidikan selaras denganpemenuhan keberhasilan program otonomi daerah. Itulah sebabnya, makawacana mengenai desentralisasi pendidikan menjadi mengedepan seiringdengan pelimpahan kewenangan pusat ke daerah. Dalam konteks ini polapengambilan keputusan mengenai proses pendidikan yang berintikan padakepentingan lokal, tanpa mengesampingkan kepentingan nasional yangmelingkupinya yaitu kepentingan nasional. Mendesaknya agenda pengembangan pendidikan dalam rangkapembangunan, baik nasional maupun daerah, sebenarnya terkait dengandua dokumen penting yang dikeluarkan beberapa waktu yang lalu yangdiperkirakan berdampak langsung pada sistem pendidikan nasional yanglayak mendapat perhatian serius. Dokumen pertama adalah rekomendasijangka panjang Bank Dunia terhadap pendidikan Indonesia dalammenghadapi krisis ekonomi dan moneter sebagaimana tercantum dalamlaporan Nomor 18651-IND Bank Dunia bertajuk Education in Indonesia:From Crisis to Recovery (9 Desember 1998) yang berisi tentang kegagalanpendidikan di Indonesia yang dianggap masih belum memuaskan,sehingga salah satu rekomendasinya adalah mendesaknya diberlakukandesentralisasi pendidikan. Dokumen kedua adalah keluarnya Undang-Undang No. 22/1999tentang otonomi daerah, di mana kabupaten/kota menjadi basis pengelolaanpemerintah daerah otonom. Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentangotonomi daerah secara politis-sosiologis bermakna strategis dalam jangkaPROGRESIF 75Volume 1, Number 1, July 2009
Firdaus M. Yunus ..................................................................................................................................................................................................panjang. Secara politis, UU ini akan mereduksi peranan pemerintahpusat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang selamatiga dasawarsa telah mengalami proses sentralisasi. UU ini merupakanlandasan hukum bagi diberlakukannya proses desentralisasi kekuasaandengan memberikan otonomi penuh kepada daerah. Secara sosiologis, UUini merupakan langkah nyata pemberdayaan daerah, (Amich Alhumami,Kompas, 11/9/2000). Berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pendidikan, maka revisiUUSPN tentang perlunya asas desentralisasi dan otonomi pendidikanmerupakan babak baru menguatnya iklim demokratisasi dalam pendidikannasional. Desentralisasi pendidikan mengandaikan dimulainya pemberianperan lebih besar kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten kotaatau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan. Desentralisasi iniberkaitan dengan sebuah keinginan mendasar bahwa kebutuhan lokal ataujuga nilai-nilai sosial kultural setiap daerah berbeda sehingga memungkinkandiberlakukannya suatu sistem pendidikan yang mengakomodir kebudayaanlokal tersebut, (Suparno, 2001 : 71). Desentralisasi pendidikan mengisyarakatkan suatu sistem pendidikanyang bersifat indegneous (pribumisasi) karena didasarkan pada aspek-aspekdasar dari lokalitas masyarakat. Hal ini agar masyarakat atau peserta didiktidak tercerabut dari akar kebudayaannya. Dengan demikian ada relasimutualistik antara penyelenggaraan pendidikan dengan situasi lokal yangmembutuhkan penjelasan dan pengenalan secara lebih komprehensif. Sistem ini jelas memberikan peluang terjadinya demokratisasi pen-didikan, karena ia tidak lagi terpusat dalam soal penyusunan kurikulumbahkan soal pengangkatan guru. Desentralisasi pendidikan merupakanlangkah strategis untuk menguatkan daerah dan memberikan kebebasan dalammenyusun sebuah kurikulum yang belakangan sedang ramai dibicarakan. Peralihan kewenangan dari pusat ke daerah ini bertujuan agarsetiap daerah mampu memberikan kontribusi positif bagi pengembanganpendidikan nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhandaerah untuk mampu dihadapkan pada wacana global, (Jalal, 2003 :99). Misalnya, daerah Sabang yang dikelilingi oleh laut, hendaknya jugadiberikan penekanan pada sistem pembelajaran mengenai kelautan danperikanan, sehingga sumberdaya alam dapat dioptimalisasikan dan76 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
................................................................................................................... Posmodernisme; Implikasinya atas Paradigma Pendidikan Indonesiasumberdaya manusia dapat diarahkan pada kerja-kerja tersebut. Uraian tentang desentralisasi pendidikan memperlihatkan betapatema tentang local narative merupakan pilihan penting untuk menggantikangrand narative yang selama ini mendominasi sistem pendidikan nasional.Awalnya negara memainkan peranan besar untuk menghegemonisistem penyelenggaraan pendidikan di setiap sekolah. Negara mencobamenerapkan pendidikan yang sifatnya homogen. Situasi ini jelas menjaditema dan sasaran kritik utama postmodernisme, yang sejak semula tidaksepakat dengan apa yang disebut sebagai homogen, sebab masyarakatadalah heteregon, baik karakter maupun kebutuhannya. Sehingga menjaditidak populer kalau negara masih memaksakan kehendaknya untukmempengaruhi dan menjadi pendidikan persekolahan menjadi seragamatau homogen. Peralihan wacana dari grand narative ke local narative tersebut ditandaidari pergeseran peran yang semula sentralistik menuju desentralistik. Jikadulu negara yang sangat berperan dalam menentukan berbagai kebijakanmenyangkut pendidikan persekolahan, maka dengan diterapkannya sistemdisentralisasi, pihak sekolah dan masyarakatlah yang harus berperan aktifsecara profesional mengembangkan sistem pendidikan persekolahannya.Penutup Terminologi postmodernisme terlalu sulit untuk dikontekskan padabidang pendidikan secara ekplisit. Tetapi kalau memperhatikan tema-temabesar yang diusung oleh postmodernisme, maka secara implisit paradigmapendidikan yang ada di Indonesia dalam banyak hal sudah menggunakanakar-akar pemikiran postmodernisme. Namun, yang pasti diperjuangkan oleh kaum postmodernisme adalahpembelaannya terhadap suatu komunitas dan narasi kehidupan yangtersingkir, yang telah tergilas oleh narasi besar (grand narative) modernismedengan berbagai dimensi yang dominatif dan imperialistik. Arus pemikiranpostmodernisme bagaikan sebuah protes terhadap berbagai pemikiranyang absolutistik dan cenderung untuk menggembar-gemborkan fenomenamodernisme, seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalamanpersonal, tradisi, dst., (Rosenou, 1992 : 6), dan sebagai substitusinya tak lainadalah pendekatan yang bersifat relativistik dan pluralistik dengan sikapPROGRESIF 77Volume 1, Number 1, July 2009
Firdaus M. Yunus ..................................................................................................................................................................................................kerendahan hati untuk mendengarkan dan mengapresiasi ‘yang lain’.Absolutistik tersebut biasanya hadir dalam bentuk dominasi penguasaanilmu oleh guru dan sekolah kepada anak didik, dan itu menjadi sasarankritik dari gerakan postmodernisme. Selain itu, sebagai semangat zaman, postmodernisme dapat jugadiartikan sebagai keterbukaan untuk melihat hal-hal baru, yang berbeda,‘yang lain’ sambil menolak kecenderungan dogmatis dan ketaatan padasuatu otoritas, tatanan, atau kaidah baru. Era postmodernisme memilikikarakteristik betapa kebenaran memang terlalu besar untuk bisa dimonopolisatu sistem saja dan bahwa keragaman pandangan itu lebih ‘indah’ daripadakeseragaman yang meskipun menghasilkan kesatuan, namun membelenggukebebasan manusia bahkan mengeksploitasinya. Bahasa-bahasa yangkerap dimunculkan dalam postmodernisme kemudian dianggap bernada‘sinis’ atas kemapanan pengetahuan, kemapanan kebudayaan bahkanapalagi kemapanan kekuasaan. Entah model ‘dekonstruksi’, ‘instabilitas’,fragmentasi, anarkisme, menjadi ciri khas postmodernisme. Model-modelseperti ini memang acapkali ‘membahayakan’ bagi kepentingan statusquo, di bidang apapun, sehingga menjadi wajar bila banyak yang tidakmenyukainya. Persoalannya, bukanlah suka atau tidak suka, melainkanitulah ‘wajah’ postmodern. ‘Wajah’ itu telah terpampang secara lugas dihadapan kita semua; namun ironisnya justru sebagai komunitas yangsebenarnya baru merangkak menjadi modern. Diskursus postmodernisme pada akhirnya hanya bisa dilihat dalamtiga kategori besar; di luar kepentingan pilihan tematiknya. Pertama,pemikiran-pemikiran yang dalam rangka merevisi kemodernan tetapicenderung kembali pada pola berpikir pra-modern. Misalnya, ajaran yangbiasa menyebut dirinya metafisika new age, seperti Capra, Prigonine. Kedua,pemikiran-pemikiran yang terkait erat dengan dunia sastra dan banyakberurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang populer digunakanadalah dekonstruksi’ yang berusaha membongkar segala unsur yang pentingdalam gambaran dunia modern. Sebut saja tokoh seperti Derrida, Foucault,Vattimo, dan Loytard, ketiga, segala pemikiran yang hendak merevisimodernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkandengan meperbaharui premis-premis modern. Artinya, lebih merupakankritik imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai78 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
................................................................................................................... Posmodernisme; Implikasinya atas Paradigma Pendidikan Indonesiakonsekuensi negatif yang ditimbulkannya. Realitas yang demikian tampak nyata dalam dekonstruksi atasmo-del pendidikan kontemporer yang selama ini digunakan untuk me-majukan masyarakat. Kritik-kritik yang digulirkan oleh postmodernismejuga merambah pada dunia pendidikan, yang berakibat semakin diper-tanyakannya keampuhan institusi pendidikan (sekolah) dalam mem-berikan transformation of value dan transformation of knowledge. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari keinginan untuk melakukanberbagai bentuk revisi atas sistem pendidikan yang selama dijalankan.Misalnya melalui revisi UUSPN. Melalui revisi UUSPN no 2/1989 diharapkanpengembangan pendidikan nasional mengarah pada acceptability danpartisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah.Prinsip ini menunjukkan adanya progress ke arah yang lebih demokratis,sebab ada peralihan penentuan kebijakan pendidikan di sekolah, dari soalpendanaan sampai kurikulum, oleh pusat kepada daerah dan sekolah. Peralihan kewenangan secara penuh ini mencitrakan sebuah de-mokrasi pendidikan. Artinya, masyarakat dan sekolah berkepentingandan bertanggungjawab secara optimal atas kemajuan sebuah penyelengga-raan pendidikan. Melalui desentralisasi pendidikan, maka komponenkurikulum dan pengangkatan guru misalnya akan dapat disesuaikandengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, sesuai dengan kesiapansumberdaya alam (SDA), dan sumberdaya manusia (SDM). Prinsip inijelas menuntut kesiapan SDM agar penentuan kurikulum berbasiskankompentensi dapat diwujudkan dan dihasilkan secara optimal. Desentralisasi pendidikan dengan demikian juga mengharuskandidirikannya manajemen berbasiskan sekolah yang beranggotakan seluruhelemen masyarakat yang berkepentingan dengan sekolah untuk bersama-sama memikirkan model pembelajaran dan kurikulum yang hendakdiberikan oleh sekolah. Sehingga diperoleh model pendidikan yangkhas, yang berakar atas kenyataan riil masyarakat, dalam konteks inilahdemokrasi pendidikan Indonesia dapat diwujudkan.PROGRESIF 79Volume 1, Number 1, July 2009
Firdaus M. Yunus .................................................................................................................................................................................................. DAFTAR PUSTAKADrost. J, 1998, Sekolah Mengajar atau Mendidik, Kanisius, YogyakartaFreire, Paulo, 2002, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Pustaka Pelajar, YogyakartaHardiman, Budi. F, 2003, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Kanisius, YogyakartaIllich, Ivan, 2003, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, Terjemahan, Sonny Keraf, Yayasan Obor Indonesia, JakartaLyotard, Jean, Francois, 1979/1984, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Minneapolis: University of Minnesota PressMangunwijaya, Y.B, 1999, Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, Kanisius, YogyakartaMulyasa, E., 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Rosdakarya, BandungNorris, Christopher, 2003, Membongkar Teori Dekonstruksi Jaques Derrida, Terjemahan, Inyiak Ridwan Muzir, Ar-Ruzz, YogyakartaNugroho, Heru, 2003, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Pustaka Pelajar, YogyakartaPilliang, Amir, Yasraf, 2004, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, YogyakartaRitzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, Terjemahan, Muhammad Taufik, Juxtapose, YogyakartaSantoso, Listiyono, 2003, “Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern, dalam, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz, Yogyakarta Roesnou, Pauline Marie, 1992, Post-Modernism and the Social Science: Insights Inroads, and Intrusions. Priceton: Rinceton University PressSugiharto, I. Bambang, 1996, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.Suparno, Paul, 2001, “Relevansi dan Reorintasi Pendidikan di Indonesia”, dalam, Basis, No. 01-02 Tahun ke 50, Januari-Februari Supriyadi, Dedi, dan Jalal, Faslil, 2001, Reformasi dalam Pendidikan Konteks Otonomi Daerah, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta80 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
7 The Analysis of Online Study and Face-to-face Classroom Instructions in Current Educational Context in Indonesia Habiburrahim Bio Data: Habiburrahim is an English teaching staff at the English Department of the Tarbiyah Faculty, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. He has a bachelor degree from Tarbiyah Faculty, IAIN Ar-Raniry,1996, an M.Com majoring in Human Resources Management from Curtin University of Technology, Perth Western Australia,2003 and an M.S majoring in Higher Educational Administration from Texas A&M University, Texas USA, 2007. Abstrak Artikel ini membahas tentang pembahasan praktisi pendidikan terhadap pembelajaran online yang semakin marak mewarnai dunia pendidikan hamper diseluruh dunia saat ini. Bagi sebahagian praktisi menganggap bahwa sistem pembelajaran online merupakan kemudahan bagi yang tidak mengikuti pendidikan formal karena memberikan ruang gerak kepada pelajar membuat keputusan, kebijaksanaan serta tanggungjawab yang berbasis individu yang menjadikan pelajar lebih termotivasi untuk belajar. Akan tetapi pada sebahagian praktisi juga beranggapan bahwa di samping sistem pembelajaran online merupakan kecenderungan ke arah ketidak jujuran akademis juga tidak semua orang dapat terlibat di dalamnya. Seperti kesukaran bagi para pelajar yang tinggal di negara-negara dunia ketiga di mana penggunaan teknologi masih jarang. Bagaimanakah tuduhan terhadap pendidikan online yang memudahkan pelajar untuk memperoleh gelar pendidikan dengan berbagai elemennya? Kata Kunci: Praktisi Pendidikan, Pendidikan Formal, Pembelajaran Online.
Habiburrahim .......................................................................................................................................................................................................Introduction The issues of online learning discussed by educational practitionersthroughout the world become an interesting point to be analyzed at thecurrent time as most, if not all, educational institutions in the world areoffering various worldwide online studies and degree programs. Someeducational practitioners claim that self-paced learning through onlinestudy is the best panacea for the people having limited time to go to weeklyclasses, (Vaughan, 2005; Burke, 2005; Bates & Khasawneh, 2007). Someothers contend that self-paced learning through online study with onlinedegree programs is backwards in the higher education era, as it may bringa deleterious tendency toward academic dishonesty, (Lanier, 2006). Proponents of online study approaches have persuasively proposedvarious benefits of this teaching-learning paradigm. They attempt to reformeducation systems to make them accessible to all people throughout theworld. In order to enable learners to participate easily in this new studyparadigm, comfortable internet access, updated computer programs,continuous online communication and mentoring are among the promisesof convenience they offer, (Dabbagh & Bannan, 2005; Shih et al. 2003).Through this flexibility, education has the potential to reach everyone inevery corner of the globe. A student who has access to and is supportedby technical devices from a different nation, for instance, can sit at home tostudy and attain a high quality education from a well-known university inthe world without having to spend his valuable time in the country wherethe university is located. Online learning also provides great freedom for students to studyand make decisions on their own. They are more motivated when they takeresponsibility for their own learning. In online education, each student takesprimary responsibility for the speed of their progress as they manage theirtime, e.g., consulting with their teachers, reading additional materials, andpreparing their study plans, (Clair, 2001). In this situation, students mayalso improve their time management skills and understand what they needto do to succeed in their study. In contrast, opponents of this study format harshly criticize the ideaof educational institutions offering online learning, as this learning systemmerely supports the middle-class society, (Brockett, 1994). Brockett adds that82 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
................................................................. The Analysis of Online Study and Face-to-face Classroom Instructions in Current Educational Context in Indonesiasome people believe that such study offers a very limited access for learnerswho have traditionally been marginalized or disempowered, such as womenand minorities. The access difficulty will profoundly be encountered bystudents living in the third world countries as the technological supports arestill sparse. In another discussion forum, in addition, Hedberg, (2006) saysthat the idea of some institutions offering online study has been denounceddue to their failure in facilitating learners to obtain a quality education. Many other criticisms of online education, especially online degreeprograms, have been addressed by educational experts who disagree withonline study. The promise of online education to be the next generation inempowering higher education has been regarded as a hoax. This is due tothe degradation of quality inherent in this study approach (Carr-Chellman,2005). In some other studies, in addition, there is also an indication that asmany as one-third of students have technophobia or fear of technologiessuch as computers or other online learning equipment (Bates & Khasawneh,2007). All these concerns have been seriously debated by both pro and conparties of this study. Each of them attempts to provide various analysesabout the benefits and weaknesses of the study in order that stakeholdersof both study approaches have a free choice. Then they may freely decidewhich study approach matches their times and circumstances.Problem Statement and Significance of Study The development of technology and the advance of job opportunityrequirements have, in the last decade, affected the educational world. Many,if not most, employees want to enrich their skills in order to perform theirbest work without having to quit their company. As a consequence, self-paced learning through online study or training becomes the best remedy toaccommodate this demand. To answer this worldwide need, furthermore,most educational institutions throughout the world harness this greatopportunity with the reason of helping people fulfill their educational need.Hundreds of university degrees can be obtained online now and around90 percent of the required credits are offered as distance learning (Dunn,2000). The eagerness of the universities offering this easy way of obtainingdegrees and skills, however, has been either simply accepted or harshlycriticized by most academicians and other education professionals.PROGRESIF 83Volume 1, Number 1, July 2009
Habiburrahim ....................................................................................................................................................................................................... The notions of various universities and colleges offering online study onone hand are very helpful as this online study may shorten the bureaucraticlines and save learners’ money and time. Yet, the credibility of educationalquality, technological constraints, and academic dishonesty issues on theother hand remain serious concerns. The primary purpose of this essay isto reveal the logical conclusions about whether self-paced learning throughonline study is more effective over traditional classroom instruction. Thepaper is dedicated to carefully analyzing the viewpoints of various researchersand educational practitioners on how they presume the existence of onlinelearning nuances and the barrier to traditional classrooms study. The problem statements of this essay lie on the following researchquestions (1) what are the advantages and disadvantages of self-pacedlearning through online study? (2) what are the main constraints in runningonline study? (3) what are the strength points of classroom oriented study?(4) are there any weaknesses of traditional classrooms oriented study?And (5) can classroom oriented approach be replaced by online study?The significant study of this essay is to provide a general understandingof both online and classrooms study approaches to all academicians andall stakeholders having interest to envision their bright future by pursuingparticular knowledge and skills. As the study offers balanced information,they may concisely select the appropriate study approach that suits theirtime and preference. I conclude the essay by identifying several advantagesand major barriers of online study by examining the readiness of countriesand communities to collaborate with this study paradigm.Literature Review The advances in technology have eased human beings in everysector, including in performing their work while they are obtaining specificknowledge from a certain education institution with online study, training,and online degree program. These trends may become a challenge in thefuture for conventional universities operating throughout the world. Noweducation, degrees, specific skills and training can easily be obtained online.Even several futurists estimated that in the next twenty five years, traditionaluniversities may become a big wasteland, (Dunn, 2000). This estimation seemsfairly reasonable as the flexibility of online education, training, and degreeoffered by various education institutions worldwide touch the knowledge84 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
................................................................. The Analysis of Online Study and Face-to-face Classroom Instructions in Current Educational Context in Indonesiaseekers. They may simply achieve a specific training and degree throughinternet link whenever and wherever they want (Henderson, 2001). Many researchers believe that online study has become a breakthroughin the education world. This trend enables learners who have an industrialcareer to complete their higher level education without sacrificing theirbusiness, (Shih et al. 2003). The existence of this learning paradigm hasalso made education available to those who currently cannot attend theresidential program due to geography and family obligations, ascertainsCarr-Chellman, (2005). Other various advantages make this study becomepopular. Convenience and flexibility are among the reasons why this form ofeducation flourishes. The growing numbers of internet users and web-basedlearning programs have enabled lifelong education anywhere, anytime andat any location. Henderson, (2003) cited in Mackay and Stockport, (2006)briefly indicates several advantages of online study as follows:- Traveling to class is minimized for students, meaning lower costs and reduced time loss;- One can learn at one’s own convenience;- One can absorb the materials in smaller portions- The costs of training can be lower as compared to instructor-led training. This refers to marginal costs for each additional learner.- It is easily scalable to handle more or less requirements such as instructor and time of delivery. This is due to the delivery mechanism being done electronically, resulting in one set material or course being be able to service an unlimited number of learners- There is a consistent message to multiple sites and participants- Learning is possible 24 hours a day and 7 days a week In line with the above significant views, Mackay and Stockport, (2006)discover that all fundamental features of online education above are theobvious bridge for learners who are busy with their business day to deepenthe knowledge as the initial process of their career enhancement. Theycan always participate in the process of enlightening their professionalismwithout any barriers. They even can minimize study costs as transportationand other related expenditures can be cut off. Dealing with this convenience,furthermore, the business people can manage their study time to time thatbest suits them. The concept of whenever, wherever, and whatever studycan occur is really visible in this circumstance.PROGRESIF 85Volume 1, Number 1, July 2009
Habiburrahim ....................................................................................................................................................................................................... If we look at the flexibility offered by this study then we comparewith traditional classrooms-oriented teaching-learning process, it may beobvious that classroom oriented study plays a role to “prevent” peoplefrom success. This harsh judgment emerges due to the rigid systems thatclassroom oriented studies have. For example, students might have faceda serious problem if there are two different subjects of classroom studyoffered on the same day at the same time. Or the subjects are only availableon the day where students cannot go to school because they must work,they have regular religious activities or several other activities that alwaysrequire their presence. The idea of a consistent message which is delivered by online studyhas also become an interesting point to note as this mechanism can assiststudents stay awake and remain active in discussion. Students can get theprecise and clear message as it is written even when they lack languageproficiency because they are able to see and read it. But it will be a problemfor students when they must be involved in discussion in classroomsoriented study as they must be familiar with verbal communication. Theymay be more dreadful as no spoken words can be caught. They cannotunderstand the core of communication due to their inability to deal withthe discussion session that they have. Nevertheless, the research does not provide adequate evidence andinformation on whether the online study paradigm is applicable for andappropriate to unemployed people or part time students. This may worrystudents, particularly those who are not affiliated with a career, takingcourses online. This worry emerges due to the belief that the online study,for some extent, cannot always provide a best warranty for job seekers in thefuture. There are only a handful of companies that would consider hiringapplicants who earned their degree online, (Henderson, 2001). To this end,they need to be more careful when they decide to acquire an online degreeprograms through online study. This online study, in principle, best suitsthe adult working student. Other research also indicates that this advanced technology maybest assist students and instructors with computer and internet assistedinstructions. According to Debevec, Shih, & Kashyap, (2006), instructorscan provide maximum ways of learning besides the traditional learning86 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
................................................................. The Analysis of Online Study and Face-to-face Classroom Instructions in Current Educational Context in Indonesiamethod. For example, if students are weak in verbal or linguistic ability, theinstructors may use visual cues in power point to help students grasp andconceptualize information and generate interest in the subject matter. As educational delivery systems in some traditional classroomsparadigm still rely on teachers’ oriented study and lack of innovativecreations such as limited technological utilization, this study is regardedirrelevant with the current career world development. As a consequence,some knowledge seekers attempt to find other study approaches that linkwith technology advancement as the application of technology in anycareer world cannot seemingly be separated in the future. According toCradler, (1996) cited in Ludwig and Taymans, (2005) successful professionaldevelopment clearly keeps technology in the role of a tool and focuseson how technology integration improves educational curriculum and itsquality. In fact, the actualization of technological development should toucheducational world by which students may enlighten their competencies fora better future career. The limitation of technological harnesses in educational acquisition ismore perceived in the third world countries, Indonesia for instance. In thiscountry, computer and internet link are regarded as expensive commoditiesthat not all people can afford. It is futile to mention that there will be veryeasy for us to find a school without a computer and internet connection.This miserable and hardship circumstance, indeed, has driven studentsto be the technological illiterate generations that augment the workforces’credibility from this country. Furthermore, to have a fair judgment on both self-paced learningand classroom orientation, Mackey and Stockport, (2006) provide severalpositive benefits of classroom instruction as follows:- People are suited to learning in social groups;- It is easier to exchange ideas and interact with peers in a face-to-face setting;- There is a lower possibility of misinterpreting the message. As a work field is an environment consisting of various peoplehaving diversity in characteristic and culture, people need to collaborateand acquaint themselves with different work environments. This studyparadigm then becomes the sole education efficacy for people coming intoa real work environment. They may have a good understanding and skillsPROGRESIF 87Volume 1, Number 1, July 2009
Habiburrahim .......................................................................................................................................................................................................of how to work together, value differences, and understand other people. Through face-to-face communication, people may achieve the real waythe message is delivered. They may look at the way how people expresstheir words and feelings. These may undoubtedly avoid any unintentionalcommunication gap that may sometimes bring a detrimental effect of themessage delivery. When students communicate face-to-face, they know thereaction of each other regarding the message or information that they aresharing. This enables students to feel confident too to express their feelings. Although various outstanding features can critically be gainedfrom self-paced learning, many research findings also indicate that thereare several constraints that may always stymie this study paradigm.The concern of educational practitioners is that the study cannot alwaysaccommodate whole community needs especially those who have limitedaccess to technology systems (Shih, et al. 2003). This problem may open aserious gap between the haves and have nots and tied education into twogroups: elitism and marginalism. Other critics have also outlined manypotentially troubling issues of this study format. For instance, studentsshould be able to use a variety of computer-related technologies such asemail, internet search engines, chat rooms, data base, and other softwaredevices, (Kinzie & Delcourt, 1991 cited in Bates & Khasawneh, 2007). Theybelieve that these various complex demands may affect students’ behaviors:they may leave student shocked, confused, frustrated, at a loss for personalcontrol, disappointed, and angry. All these behaviors and feelings mayaffect students’ capacity to deal with such technology in the future. Besides its superiority, online study also has several weaknesses asHenderson (2003) cited in Mackay and Stockport, (2006) says:- Without the interacting, it can be boring;- Computer pages on a screen (such as a book) are difficult to train on. Initially, this was the approach followed by a number of e-learning providers to place a book on a website and expect students to simply page through electronically. This dampened the initial expectation of e-learning- Hands-on experiences are difficult to provide;- There is minimal or no interaction with other class members, (p.84). All these points are among the tangible weaknesses of onlinestudy. Indeed, interaction between classmates and lecturers become thepreliminary step on how students act to communicate and interact in the88 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
................................................................. The Analysis of Online Study and Face-to-face Classroom Instructions in Current Educational Context in Indonesiaappropriate and acceptable manner. Hands-on experience, in addition, alsoplays a pivotal exercise for the learners to deal with the real world whenthey face real work. In essence, being able to communicate, cooperate, anddeal exclusively with others may always magnify a valuable expertise foreveryone’s great success.Relevant Literature The significant issues of this study lie exclusively on the argument ofthe educational experts’ online study and traditional classroom approach.This issue may be an interesting point to be analyzed and understood byboth academicians and schools founders as the actors of this knowledgeproviders, and stockholders as the consumers or buyers of this market.Most of the chosen articles provide balance information on both studyformats: Self-paced learning through online study and the conventionalstudy through teacher-oriented study preference. Some educational experts see the need of education institutions tooffer self-paced learning through online study; its demand is very high anddirectly related with the advance of technology at this late decade and thelevel of job density engaged by most people especially in most developedcountries. Some others, in addition, see that there is a potential misuse ofonline education in which they have deep concern for property right issues,level of its accessibility and several other weaknesses, especially in the thirdworld countries. As a consequence, they believe that a conventional studyformat, teacher oriented or classroom oriented study remain the best choicefor knowledge pursuers. To fairly justify both these arguments, it is crucial to comprehensivelypresent both positive and negative arguments on this study as they areexplored by researchers from selected articles. Thus, everyone who wouldlike to get involved in this study may have adequate understanding andinformation to make an appropriate decision for the sake of their futureeducation.Discussion The essay analyses various issues of two learning oriented models; self-paced learning through online study and old-fashioned classroom orientedstudy. The research findings briefly indicate that both study systems have, inPROGRESIF 89Volume 1, Number 1, July 2009
Habiburrahim .......................................................................................................................................................................................................fact, their strengths and weaknesses. They depend very much on the peoplewho will be active in this study environment, the availability of learningdevices, the access to all community as the learners, and where the studywill be carried out. Study indicates that there are several advantages that can be gainedfrom self-paced learning which sometimes cannot always be obtained fromteachers or classroom oriented study. The most prominent advantages arethat the learners who have industrial careers will be able to complete theirhigher level education without sacrificing their business, (Shih et al. 2003).This convenience and flexibility enables learners to deepen their knowledgewhile they are working. Online learning offers a very good time and costefficiency in which the learners may study in their own place without havingto come to daily meetings. They may study whenever and wherever as studyis accessible within twenty four hours a day and seven days a week.Effectiveness of Online LearningBuilding a better individual As a matter of fact, the notion of autonomy is the key perpetualelement that can be traced back from this online study. Autonomouslearners are characterized as independent, able to make choices based onrational reflection and having a strong sense of personal values and beliefs.All these qualifications are the core skills that should be owned by theindividuals seeking a job in the future as the employers will not “hold theemployees’ hands” to show them how to do some things, (Vaughan, 2005).According to Tait and Knight, (1996), the skills of value that an independentor autonomous learner can develop and enhance include:1. The ability to identify problems and work creatively towards solutions;2. The ability to reflect and build on knowledge as it is accumulated;3. Skill in working with others and appreciation of the benefits of collaboration;4. A willingness to see and benefit from a learning opportunity wherever it presents itself;5. The ability to take risk and do, not just to plan, and;6. An ability to continue to learn from learning. These salient characteristics not only serve them well on a personal levelbut it will also contribute to their future or current employment. Research90 PROGRESIF Journal of Multiperspective Education
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172