Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore IMAM FARIH

IMAM FARIH

Published by IMAM FARIH, 2022-06-08 15:42:23

Description: Memilih Guru

Search

Read the Text Version

MEMILIH GURU Oleh: IMAM FARIH NIP: 19810606 201102 1 002 SEKOLAH DASAR NEGERI 016 SUKA MULYA KECAMATAN BANGKINANG KABUPATEN KAMPAR RIAU 2021

CARA MEMILIH GURU IMAM FARIH [email protected] Kepala SDN 016 Suka Mulya ABSTRAK Setelah wafatnya Rasulullah saw, kedudukan Nabi sebagai utusan Allah tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai Guru harus dilanjutkan. Kelanjutan peran Guru setelah Rasulullah saw wafat telah dijelaskan dalam QS. Al-Fatir (35):32. Namun ada saja manusia dengan kategori Zalimu Linafsihi yaitu orang aniaya, dosa, tidak adil, dan jauh dari kata cahaya islam yang justru bersikeras berperan sebagai ustadz padahal tidak memenuhi syarat. Hal ini senada dengan fakta fenomena ustadz-ustadz yang beredar dimedia sosial yang tampil padahal tidak layak disebut sebagai ustadz. Beberapa dari mereka sempat membuat polemik karena menyampaikan ajaran yang tak tepat bahkan cendrung membuat keresahan. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dalam memilih guru yakni dengan cara: Meneliti sanadnya, kealimannya, ke wara’annya, kedewasaannya, kewibawaan dan sikap santunnya. Kata kunci : memilih, guru After the death of the Prophet Muhammad SAW, the position of the Prophet as the messenger of Allah cannot be replaced, but his duties as a teacher must be continued. The continuation of the teacher's role after the Prophet's death has been explained in the QS. Al-Fatir (35):32. However, there are people with the Zalimu Linafsihi category, namely people who are persecuted, sinful, unfair, and far from the light of Islam who insist on acting as ustadz even though they do not meet the requirements. This is in line with the fact that the phenomenon of clerics circulating on social media appears even though they do not deserve to be called ustadz. Some of them had time to make polemics because they conveyed inappropriate teachings and even tended to cause unrest. Therefore, we must be careful in choosing a teacher, namely by: Examining the “sanad”, wisdom, “wara'”, maturity, authority and polite attitude. Keywords: choose, teacher .‫ ولكن يجب أن تستمر واجباته كمعلم‬، ‫ لا يمكن استبدال مكانة النبي كرسول الله‬، ‫بعد وفاة النبي محمد صلى الله عليه وسلم‬ ‫ أي‬، ‫ هناك بشر من فئة ظالم لنفسه‬، ‫ ومع ذلك‬32 : )35( ‫تم شرح دور المعلم بعد وفاة النبي في القران شورة الفاطر‬ ‫الأشخاص المضطهدون والخاطئون والظالمون والبعيدين عن نور الإسلام الذين يصرون فعل ًيا على التصرف كأستادز‬ ‫على الرغم من أنهم لا يستوفون المتطلبات وهذا يتماشى مع حقيقة أن ظاهرة تداول رجال الدين على وسائل التواصل‬ ‫ كان لدى بعضهم الوقت لإثارة الجدل لأنهم نقلوا تعاليم غير‬.‫الاجتماعي تظهر على الرغم من أنهم لا يستحقون تسمية استاذ‬ :‫ أي عن طريق‬، ‫مناسبة وحتى أنهم كانوا يميلون إلى التسبب في الاضطرابات لذلك لا بد من الحرص في اختيار المعلم‬ ‫ واحلمه‬، ‫ ووقوره‬،‫ واسنه‬، ‫ واورعه‬، ‫ واعلمه‬، ‫فحص سنده‬ ‫ مدرس‬، ‫ اختر‬:‫الكلمات الرئيسية‬ 2

A. Pendahuluan Sumber ilmu Islam pada masa Rasulullah saw masih hidup terhimpun dalam satu sumber yakni, Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW dari sisi Allah. Wahyu ada dua macam: Wahyu yang terbaca seperti Al-Quran dan Wahyu yang tidak bisa dibaca yakni sunnah Nabawiyah. Rasulullah Saw adalah tokoh yang memiliki banyak peran. Ia adalah seorang pemimpin umat, komandan perang, referensi bagi umat dan hakim dalam menyelesaikan berbagai masalah. Tapi dari sekian banyak peran beliau, peran paling utama dan esensial adalah peran sebagai seorang pendidik atau guru. Sebagimana dijelaskan QS. Al-Jumuah (62):2: ‫ُه َو الَّ ِذي َبعَ َث فِي ا ْلأُ ِم ِيي َن َر ُسو ًلا ِم ْن ُه ْم يَتْلُو َع َل ْي ِه ْم آيَاتِ ِه َويُ َز ِكي ِه ْم َويُ َع ِل ُم ُه ُم ا ْل ِكتَا َب َوا ْل ِح ْك َمةَ َو ِإ ْن‬ ‫َكانُوا ِم ْن قَ ْب ُل لَ ِفي َض َلا ٍل ُم ِبي ٍن‬ Artinya: Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar- benar dalam kesesatan yang nyata. Peran Nabi sebagai seorang guru dipertegas dalam hadis yang diriyatkan oleh Muslim berikut ini: ‫قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أ َّن َّل َّلاَ َل ْم يَ ْب َعثْ ِني ُم َع ِنتًا َو َلا ُمتَعَنِتًا َولَ ِك ْن َب َعثَنِي ُم َع ِل ًما ُم َي ِس ًرا‬ Artinya: Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak mengutusku sebagai orang yang kaku dan keras akan tetapi mengutusku sebagai seorang pendidik dan mempermudah. (HR. Muslim) Namun, setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, dan berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat Jibril. Demikian juga halnya dengan Sunnah yang berakhir pula setelah wafatnya Rasulullah. Kedudukan Nabi sebagai utusan Allah tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai 3

Guru harus dilanjutkan.Kelanjutan peran Guru setelah Rasulullah saw wafat telah dijelaskan dalam QS. Al-Fatir (35):32 yakni: ‫ثُ َّم أَ ْو َرثْنَا ٱ ْل ِك َٰتَ َب ٱلَّ ِذي َن ٱ ْص َطفَ ْينَا ِم ْن ِعبَا ِدنَا ۖ فَ ِم ْن ُه ْم َظا ِل ٌم ِلنَ ْف ِس ِهۦ َو ِم ْن ُهم ُّم ْقتَ ِص ٌد َو ِم ْن ُه ْم َسابِ ٌۢ ٌق بِٱ ْل َخ ْي َٰ َر ِت بِإِ ْذ ِن‬ ‫ٱََّّل ِل ۚ َٰذَ ِل َك ُه َو ٱ ْلفَ ْض ُل ٱ ْل َكبِي ُر‬ Artinya: Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. Dalam ayat diatas dengan gamblang menjelaskan berbagai macam sikap manusia yang memerankan perannya sebagai guru yang mewarisi ilmu nabi yaitu: 1. ‫( َظا ِل ٌم ِلنَ ْف ِس ِهۦ‬dzalim pada diri sendiri), Istilah zalim berasal dari kata zalama yang berarti aniaya, dosa, tidak adil, keburukan dan lawan dari kata cahaya. Atau makna lainnya adalah menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya.1 Imam al-Gazali (1059-1111 M) membagi ulama kepada dua bagian: ulama akhirat dan ulama dunia. Ulama akhirat ialah ulama yang khasyah (takut) kepada Allah swt. dan zuhud. Sedangkan ulama dunia ialah ulama yang menjual ayat-ayat Allah demi kepentingan dunia. Itulah yang dinamakan ulama al-Suu’,2 Dapat dipahami bahwa ulama zalim li nafsih (menganiaya diri sendiri), relevan dengan pernyataan al-Gazali sebagai ulama al-Suu’ yaitu ulama yang buruk, seperti ulama yang mengajarkan ilmu nya demi untuk mencari kemewahan dunia semata, mengajarkan kebencian, perpecahan, saling mencaci dan lain sebagainya. 1 Abu Husain Ahmad Al-Faris, Mu’jam Maqayis al-Lugah, J. II, (Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabiy, 1972), h. 641 2 Abu Hamid Muhammad bin Muhamad al-Gazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid. I, (al-Qahirah: Maktabat al-Mashad al-Husaini, t. th.), h. 61 4

2. ‫ ُّم ْقتَ ِصد‬yang berarti di antara mereka ada yang pertengahan. Kata muqtasid berakar dari struktur huruf qaf, sad dan dal (qasada) yang mempunyai makna: 1) mendatangi sessuatu, 2) menghancurkan, 3) penyimpanan atau penghematan (sederhana).3 Untuk memahami makna minhum muqtasid dapat dikemukakan pendapat mufassir. Di antaranya, Ibnu Kasir berpendapat, yaitu golongan yang melaksanakan yang wajib, meninggalkan yang haram dan masih meninggalkan sebagian yang sunnat dan melaksanakan hal-hal yang makruh.4 dapat dipahami bahwa golongan ulama muqtasid adalah ulama yang pertengahan atau yang sedang-sedang saja dalam beramal, bukan termasuk yang menganiaya dirinya. Dalam hal ini peran muallim tidak sepenuhnya dijalankan sesuai dengan yang seharusnya, dalam kondisi tertentu peran itu bisa disalah gunakan sebagai mana pada sikap yang pertama. 3. ‫ َسابِ ٌۢ ٌق بِٱ ْل َخ ْي َٰ َر ِت‬Kategori ulama yang ketiga, ialah sabiq bi al-khairat. Kata sabaqa bermakna terdahulu dan isim failnya sabiq bermakna mendahului atau berpacu.5 Sedangkan kata al-Khairat bermakna seluruh kebaikan yang diperintahkan Allah swt. dan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan syariatNya.6 Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa golongan ulama yang sabiq bi alKhairat adalah ulama yang amal kebaikannya mendominasi dalam kehidupannya dan meminimalisir perbuatan dosa dan pelanggaran. Kategori ulama inilah yang sangat dibutuhkan umat masa kini dan masa akan datang. Golongan inilah yang pantas disebut warasat al-anbiya’ pada sikap golongan ini adalah muallim yang benar benar menjalankan tugasnya sesaui dengan amanah warisan dari para nabi. 3 Abu al-Husain Ahmad bin Faris, Op. Cit., J. II. h. 891 4 Abu al-Fida Ismail Ibnu Kasir al-Qurais, Tafsir al-Qur’an al-Azim, J. III; (Mesir: Dar al-Ihya al- Kutub, t. th.), h. 554. 5.Abu al-Husain Ahmad bin Faris, Op. Cit., J. II. h. 503. 6 Abdullah bin Ahmad bin Mas’ud alNasafiy, Tafsir al-Nasafiy, J. I; (t. p.:Dar al-Fikr, 701), h. 282. 5

Berdasarkan ayat di atas maka, dapat difahami bahwa sebagai muslim harus berhati-hati dan selektif dalam memilih guru, karena bila salah dalam memilih guru akan menjadi kerugian yang nyata. Makalah ini akan membahas tentang bagaimana cara memilih guru. B. Pembahasan 1. Istilah Guru dalam Islam Dalam dunia pendidikan, pihak yang melakukan tugas-tugas mendidik dikenal dengan dua predikat , yakni pendidik dan guru.7 Dalam UU SISDIKNAS, pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Dalam UndangUndang tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 1 disebutkan guru adalah pendidik professional. Sedangkan dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6 disebut sebagai pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyasuara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Guru adalah suri teladan kedua setelah orang tua. Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu, serta mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik. Guru yang bekerja sebagai tenaga pengajar adalah elemen yang terpenting dan ikut bertanggung jawab dalam proses pendewasaan bagi anak didik tersebut. 7 Moh Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta : LKIS, 2009. h.36 6

Guru dalam perspektif Islam dijelaskan oleh Muhaimin bahwa tugas pendidik (guru) sekaligus dengan karakteristiknya yang diawali menguraikannya dari istilah yang dipakai terhadap guru dalam literatur kependidikan Islam yaitu:8 a. Ustadz, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang berkomitmen terhadap profesional, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement. b. Mu’allim, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer ilmu/pengetahuan, internalisasi, serta amaliyah (implementasi). c. Murabby, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. d. Mursyid, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi dirinya atau menjadi pusat panutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya. e. Mudarris, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. 8 Dra. Alfiah, M.Ag, Hadist Tarbawy Pendidikan Islam Tinjauan Hadits Nabi, (Pekanbaru: Kreasi Edukasi, 2015), h. 33 7

f. Mu’addib, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. Dari beberapa istilah tersebut dapat dapat diartikan bahwa guru adalah sebagai sosok yang mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab sepenuhnya di kelas atau di sekolah untuk mengembangkan segenap potensi peserta didik yang dimiliki sehingga mampu mandiri dan mengembangkan nilai kepribadian sesuai ajaran Islam, dengan demikian tujuan akhirnya adalah kedewasaan dan kesadaran untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah dan hamba Allah Swt. Oleh karena itu, setiap guru hendaknya mempunyai kepribadian yang akan dicontoh dan diteladani oleh anak didik, baik secara sengaja maupun tidak. Sudah barang tentu, pekerjaan sebagai guru tidak sama dengan pekerjaan apapun, diluar itu pengetahuan dan keterampilan yang akan diajarkan.9 Keahlian sebagai guru atau pendidik dalam Islam tidak hanya sekedar memiliki kemampuan mentransfer pengetahuan kepada peserta didik sebagaimana yang terjadi pada umumnya, namun diperlukan syarat dan kepribadian yang ketat serta memadai untuk menjadi seorang guru atau pendidik dalam Islam. 2. Karakteristik Guru Karakter guru adalah kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti pendidik/guru yang merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada pendidik. Seseorang dapat dikatakan berkarakter apabila telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat, melekat sebagai perilakunya serta digunakan sebagai kekuatan moral di dalam hidupnya 9 Ahmad Farid. Etika Guru dalam Pendidikan Islam, Telaah Terhadap Hadits Larangan Menerima Upah Bagi Guru. (Yogyakarta:Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2004), h. 15 8

Syaikh Ahmad al-Rifai mengungkapkan, bahwa seseorang bisa dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam pendidikan Islam apabila memenuhi dua kriteria: (1) Alim yaitu mengetahui betul tentang segala ajaran dan syariahnya Nabi Muhammad Saw, sehingga ia akan mampu mentransformasikan ilmu yang komprehenshiv tidak setengah-setengah dan (2) Adil riwayat yaitu tidak pernah mengerjakan satupun dosa besar dan mengekalkan dosa kecil, seorang pendidik tidak boleh fasik sebab pendidik tidak hanya bertugas mentransformasikan ilmu kepada anak dididiknya namun juga pendidik harus mampu menjadi contoh dan suri tauladan bagi seluruh peserta didiknya. Di khawatirkan ketika seorang pendidik adalah orang fasik atau orang bodoh, maka bukan hidayah yang diterima ank didik namun justru pemahaman-pemahaman yang keliru yang berujung pada kesesatan Imam al-Ghazali menyusun sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik adalah (1) memandang murid seperti anaknya sendiri, (2) tidak mengharapkan upah atau pujian, tetapi mengharapkan keridhaan Allah dan berorientasi mendekatkan diri kepada-Nya, (3) memberi nasehat dan bimbingan kepada murid bahwa tujuan menuntut ilmu ialah mendekatkan diri kepada Allah, (4) Menegur murid yang bertingkah laku buruk dengan cara menyidir atau kasih sayang, (5) tidak fanatik terhadap bidang studi yang diasuhnya, (6) memperhatikan fase perkembangan berpikir murid, (7) memperhatikan murid yang lemah dengan memberinya pelajaran yang mudah dan jelas dan (8) mengamalkan ilmu.10 Dalam hal pendidik Islam ini Al-Ghozali mewajibkan kepada para pendidik Islam harus memiliki adab yang baik, karena anak didiknya selalu melihat pendidiknya sebagai contoh yang harus diikuti 10 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Dar al-Fikr, Beirut, tt, Juz I,h. 212-223 9

3. Cara memilih guru Beragamnya ilmu pengetahuan yang berkembang, menuntut seorang pelajar harus berhati-hati dalam memilih dan memilah mana di antara buku-buku bacaan ilmiah yang bisa mengantarkannya ke jalan yang lebih positif dan berpikir dengan benar terutama bila menyangkut teologis, bahkan buku-buku bacaan tentang agama sangat rawan bila kemudian dibaca sendiri dan difahami sendiri tanpa ada bimbingan pemahaman dari guru. Kemajuan teknologi telah memudahkan banyak aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya, di antaranya dalam mencari ilmu. Fenomena mengaji daring lewat berbagai media sosial telah menjadi tren di kalangan milenial. Kondisi ini sungguh sangat memperihatinkan karena tak semua ustadz yang tampil masih belum cakap dalam bidang ilmu agama. Beberapa dari mereka sempat membuat polemik karena menyampaikan ajaran yang tak tepat. Hal ini membuktikan ada masalah dalam hal kapasitas dan sanad keilmuan, sangat ironisnya mereka terlanjur dikerubungi para pengikut fanatik. Hal ini karena pengguna media sosial dapat dengan mudah melakukan penyebaran konten-kontennya. Layanan media sosial untuk membagi pengalaman, gagasan, hingga iklan melalui video dengan mudah menjadikannya dapat menggeser kedigdayaan konten tulis pada blog-blog yang dulu sempat menjamur dan juga budaya baca buku. Fenomena ustadz baru yang mencari panggung dimedia sosial bisa dinilai dalam beberapa kriteria berikut: Pertama, materi dakwahnya kadang hanya bermodalkan copy paste, yang mana isinya kurang mendidik dikarenakan lebih memperkeruh suasana atau membuat ajaran Islam yang mulia terkihat kurang hikmah dan bijaksana. Kedua, kalau ada pertanyaan segera mereka mencari dan bertanya di “Google” padahal belum tentu yang ada di google itu benar semua, dan berbicara masalah agama perlu ilmu “ta’shil/dasar” 10

tidak cukup hanya bermodalkan pesantren kilat saja, ilmu dasar juga perlu waktu yang cukup lama sehingga tidak gegabah dalam berfatwa. Ketiga, mengaku ustadz, tetapi adab dan akhlaknya jauh dari akhlah dan adab islami. Keempat, berkomentar mengenai fenomena yang terjadi tetapi bukan untuk menyejukkan, menenangkan apalagi mencerahkan. Kelima, suka mengkritik bahkan menyalhkan Ulama yang lebih senior Oleh karena itu, penting sekali dalam makalah ini membahas mengenai tata cara memilih guru agar kemudian masyarakat tidak terjerumus dalam pemahaman islam yang sangat jauh dari kasih sayang dan cendrung membenci antar sesama muslim bahkan antar sesama manusia. Adapun cara memilih guru yang baik adalah: 1). Mempunyai Sanad Keilmuan Gambaran tentang pentingnya sanad dalam keilmuan telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang termaktub dalam kitab Maraqil ‘ubidiyah: ‫ان رجلا ساءل النبي صلى الله عليه و سلم فقال لا ادري حتى اسئل جبريل فساءله فقال لا ادري حتى اسئل رب‬ ‫العزة‬ Artinya: “seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad saw, Maka Nabi menjawab “Aku tidak tau sampai nanti aku tanyakan pada Jibril”, kemudian Nabi menanyakan kepada Jibril, dan Jibril berkata “Aku tidak tahu sampai nanti aku bertanya kepada Robb yang maha suci”.11 Kata sanad merupakan bahasa Arab yang berasal dari kata sanada, yasnudu, sunudan, wa sanadan yang memiliki arti bersandar, sedangkan asnadahu ila berarti menyandarkan, dan almasnad penopang atau sandaran.12 Secara etimologi, sanad berarti sandaran atau sesuatu yang kita di jadikan sandaran.13 Bentuk jamaknya adalah “asnad”. Segala sesuatu yang disandarkan kepada yang lain disebut “musnad”.14 11 Syeikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Maraqil ‘Ubudiyah, (Surabaya: Mahkota, tth), h. 88 12 Suhaili, “Otoritas Sanad Keilmuan Ibrahim Al-Khalidi (1912-1993): Tokoh Pesantren Di Lombok NTB”, Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, Dan Agama 22, no.1 (2016): h. 47 11

Al-Tarmasi menuturkan dalam mukaddimahnya, bahwa sanad adalah sesuatu yang sangat mulia bagi para pemilik ilmu, dan keutamaan derajatnya tidak lagi di ragukan baik dalam tekstual maunpun nontekstual.15 Secara umum, Zainul Milal Bizawie mengatakan bahwa sanad keilmuan merupakan latar belakang pengajian ilmu agama seseorang yang bersambung dengan para ulama setiap generasi sampai kepada generasi sahabat yang mengambil pemahaman agama yang shahih dari Rasulullah saw.16 Lebih jauh, sanad ilmu yang juga biasa disebut dengan sistem-sistem jejaring sanad (isnad) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari terbentuknya jaringan keulamaan. Artinya, jaringan keulamaan dapat di ketahui dan ditemukan sumber dan alurnya adalah melalui sanad keilmuan tersebut. Kedua jejaring tersebut, sanad ilmu dan ulama menjadi elemen utama dalam tradisi pesantren untuk menjaga dan menjelaskan tradisi amalan para ulama terdahulu dalam keotentikan keilmuan mereka.17 Abdullah bin Mubarak dalam Muqaddimah Shahih Muslim mengatakan: ‫ ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء‬،‫قال عبد الله بن مبارك الإسناد من الدين‬ Artinya:“Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya tidak ada kewajiban mengambil sanad, niscaya siapa pun akan mengucapkan apa pun yang ia inginkan (mengenai agama)”18 13 Umma Farida, Naqd Al-Hadits (Kudus: STAIN Kudus,2009), h. 27 14 Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Teras,2009), h. 99 15 Fathurrahman, “Mengkaji (Budaya) Sanad Ulama Tanah Jawa”, jurnal ThaqafiyyaT 14, no. 1, (2013), h. 66. 16 Zainul Milal Bizawie, Materpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri [1830- 1945] (Ciputat: Pustaka Compass, 2016), h. 299 17 Ulfatun Hasanah, “Pesantren Dan Transmisi Keilmuan Islam Melayu-Nusantara; Literasi, Teks, Kitab Dan Sanad Keilmuan”, ‟Anil Islam 8, no. 2 (2015), h. 217 18 Muqaddimah Shahih Muslim, h. 9 12

Sanad keilmuan adalah nilai penting dalam mencari ilmu agama. Oleh karena itu, agama memerintahkan kita untuk lebih selektif dalam memilih seorang guru. Sebagaimana Muhammad Sirin berkata: ‫قَا َل ُم َح َّم ِد ْب ِن ِسي ِري َن ِإ َّن َهذَا ا ْل ِع ْل َم ِدي ٌن َفا ْن ُظ ُروا َع َّم ْن تَأْ ُخذُو َن ِدي َن ُك ْم‬ Artinya: “Muhammad bin Sirin mengatakan “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian”19 Syekh Ibrahim bin Musa asy-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat memberikan kita tips dalam mencari guru yang tepat: ‫من أنفع طرق العلم الموصلة إلى غاية التحقق به أخذه عن أهله المتحققين به على الكمال والتمام‬ Artinya: “Di antara jalan untuk mencari ilmu yang dapat mengantarkan pelajar ke ujung kepakaran dalam bidangnya adalah mengambil ilmu dari ahli/pakar yang telah membidangi ilmu tersebut secara sempurna dan menyeluruh”20 Imam asy-Syathibi dalam kitab yang sama menjabarkan dua tanda dan bukti kepakaran seorang guru dalam bidang ilmu. Pertama, ia telah mengamalkan apa yang telah ia pelajari sehingga ucapan yang keluar darinya sesuai dengan perbuatannya. Apabila perbuatannya tidak sesuai dengan ucapannya maka ia bukan ahli/pakar yang pantas untuk diambil ilmu darinya serta ia tidak pantas dijadikan panutan dalam ilmu. Kedua, ia adalah seorang guru yang dahulunya ditempa oleh para pakar dalam bidang keilmuan tersebut. Ia telah sempurna mengambil ilmu dari guru-gurunya serta ia telah lama hidup bersama (mulazamah) dengan para guru-gurunya. Sehingga ia pantas mendapatkan pujian dan gelar sebagaimana guru-gurunya. Menurut Imam asy-Syatibi, begitulah tradisi ulama terdahulu. Pada mulanya, para sahabat Nabi hidup bersama (mulazamah) dengan Nabi, mereka mengambil manfaat dari segenap perkataan dan perbuatan Nabi, serta mereka juga mengikuti seluruh ketetapan Nabi dalam setiap keadaan. Dan tradisi para sahabat Nabi 19 Ibid, h. 10 20 Ibrahim bin Musa asy-Syathibi, al-Muwafaqat, Juz 1, [Beirut: Dar Ibnu Affan], 2007), h. 139 13

diturunkan kepada generasi selanjutnya. Kemudian, para tabi’in juga meneladani tradisi para sahabat bersama Nabi. Sehingga, para tabi’in mampu sampai ke dalam derajat kesempurnaan dalam ilmu syariat. Dan cukuplah bagi seseorang bukti bahwa tidak ada seseorang yang alim lagi masyhur bermanfaat di antara masyarakat, kecuali mereka memiliki panutan yang masyhur diikuti di zamannya. Dan sedikit sekali ditemukan golongan atau seseorang yang melenceng dari sunnah Nabi, kecuali mereka telah menyimpang dari sifat-sifat (guru) yang telah dijelaskan di atas.21 Senada dengan itu, para ahli pendidikan Islam juga sangat memperhatikan budi perangai atau sifat-sifat yang baik yang harus dimiliki oleh guru di samping harus mengetahui ilmu atau pengetahuan yang akan diajarkan kepada muridnya. Dengan sifat- sifat yang baik tersebut diharapkan apa yang disampaikan oleh guru bisa didengar dan dipatuhi, tingkah lakunya dapat diteladani dan ditiru dengan baik. Atas dasar ini para ahli sepakat menetapkan sifat-sifat tertentu yang harus dimiliki oleh guru. Sifat-sifat yang baik itu juga menjadi referensi dalam memilih guru pada urutan berikutnya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Az-zarnuji dalam kitab Ta’lim muta’allim: 2). ‫( اعلم‬lebih alim) Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata alim. Alim adalah isim fail dari kata dasar: alima yang artinya yang terpelajar, sarjana, yang berpengetahuan, ahli ilmu.22 Jadi alim adalah orang yang berilmu dan ulama adalah orang-orang yang punya ilmu. Sedangkan kata a’lam merupakan isim tafdhil yang berarti lebih alim. Yang dimaksud lebih alim yaitu guru yang ilmunya selalu bertambah. Bila kita menganalisis dari segi bahasa bahwa kata a’lam merupakan isim tafdhil yang berarti 21 Ibid 22 Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, cet. XXV, 2002), h. 22 14

lebih alim. Jadi sosok guru yang diinginkan oleh Az-Zarnûjî adalah guru yang tidak hanya sekedar alim tetapi guru yang lebih alim yang ilmunya selalu bertambah. Di sisi lain, kata alim dapat juga disamakan dengan kata ulu al-albab, ulu alnuha, al-mudzakki, dan al-mudzakkir. Oleh karena itu, dengan mengacu makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut, guru yang alim sesuai dengan kata ulu al-albâb berarti dia harus memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi sehingga mampu menangkap pesan-pesan ajaran, hikmah, petunjuk, dan rahmat dari segala ciptaan Tuhan, serta memiliki potensi batiniah yang kuat sehingga dia dapat mengarahkan hasil kerja dan kecerdasannya untuk diabdikan kepada Tuhan. Ulu al-nuha, berarti guru harus dapat mempergunakan kemampuan intelektual dan emosional spiritualnya untuk memberikan peringatan kepada manusia lainnya, sehingga manusia-manusia tersebut dapat beribadah kepada Allah swt. Al-mudzakki, berarti seorang guru harus dapat membersihkan diri orang lain dari segala perbuatan dan akhlak yang tercela. Adapun arti kata al-mudzakkir, maka seorang guru harus berfungsi sebagai pemelihara, pembina dan pengarah, pembimbing, dan pemberi bekal pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan kepada orang yang memerlukannya.23 3). ‫( اورع‬lebih wara’) Terkait dengan guru, Syekh Ibrahim bin Isma‘il mengungkapkan bahwa guru yang wara’ berarti guru yang dapat menjauhi dari pembicaraan yang tidak bermanfaat, senda gurau dan menyia-nyiakan umur atau waktu, menjauhi perbuatan ghibah (menuturkan kejelakan orang lain) dan bergaul bersama orang yang banyak bicara tanpa membuahkan hasil dalam pembicaraan, ngobrol, dan omong kosong.24 Sehubungan dengan hal ini, seorang guru yang kita pilih hendaknya memiliki kepribadian dan harga diri. Ia harus menjaga kehormatan, menghindari hal-hal yang 23 Abudin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf al- Ghazâlî, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. I, h. 44-47. 24 Ibrahim Ibn Isma‘il, op.cit., h. 39 15

rendah dan hina, menahan diri dari sesuatu yang buruk, tidak membuat keributan, dan tidak berteriak-teriak minta dihormati. Selain itu seorang guru harus memiliki sifat-sifat khusus sesuai dengan martabatnya sebagai seorang guru. Umpamanya dia harus menjaga kehebatannya dan ketenangannya dalam mengajar. Untuk menciptakan situasi seperti ini seorang guru harus mempunyai pretise dan terhormat. Karena itu, tidak aneh jika sikap wara’ melahirkan pribadi-pribadi yang menakjubkan, mendekatkan pemiliknya sedekat mungkin dengan sosok pribadi Rasulullah saw. Tampak jelas bahwa mensyaratkan guru harus wara‟ berarti bagaimana dimensi moral dikedepankan pada guru. Alangkah indah dan damainya masyarakat terutama dalam lingkungan sekolah atau lingkungan di mana guru mengajar, apabila guru memiliki sifat wara‟, yaitu sikap kehati-hatian dalam makanan, berpakaian, berbicra dan bertindak karena akibat dari sikap wara’ ini bukan hanya pada hamba yang berhubungan dengan Tuhannya melainkan juga terhadap sesama manusia 4). ‫( الاسن‬Kebapakan) Dalam hal ini Az-Zarnuji memang tidak memberikan penjelasan yang lebih spesifik, akan tetapi kita bisa menganalisis dari apa yang dimaksudkan oleh Az-Zarnûjî. Yang pasti guru harus lebih tua atau dewasa dibanding muridnya karena guru yang lebih tua lebih mengerti dan ilmunya lebih luas. Dan di dalam pengertian pendidikan itu sendiri ada unsur bimbingan oleh orang dewasa terhadap peserta didiknya. Oleh karenanya pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan apabila tidak dilakukan oleh orang yang dewasa. Ibrahim bin Isma‘il memberikan sedikit penjelasan tentang hal ini dalam mensyarahi kitab Ta’lim, yaitu sebagai berikut: “Yang dimaksud lebih tua, yaitu guru yang bertambah umur dan kedewasaannya”. hal ini mungkin tepat karena mengingat bahwa posisi guru adalah sebagai pendidik, dan mereka adalah orang yang bertanggung 16

jawab terhadap perkembangan anak atau karena guru mempunyai makna sebagai seseorang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik peserta didik dalam mengembangkan kepribadian, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Demikian pula, bahwa menjadi guru berarti mereka dituntut harus memiliki keahlian sebagai guru, memiliki kepribadian dan terintegrasi, memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, dan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas. Sebaliknya, siswa atau anak didik adalah manusia yang belum dewasa. Sebagai manusia yang belum dewasa, tentu saja siswa belum dapat mandiri pribadi (selfstanding), dia masih mempunyai moral yang heteronom, dan masih membutuhkan pendapat-pendapat orang yang lebih dewasa (pendidik) sebagai pedoman bagi sikap dan tingkah lakunya. 5). ‫( وقورا‬Berwibawa) Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Guru yang berwibawa berarti guru yang dapat membuat siswanya terpengaruhi oleh tutur katanya, pengajarannya, patuh kepada nasihatnya, dan mampu menjadi magnet bagi siswanya sehingga siswanya akan terkesima dan tekun menyimak pengajarannya. Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Guru harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada unsur kewenangan jabatan. 17

Kewibawan justru menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk mengakui, menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung yang terlepas dari kritik. Kewibawaan itu ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua. Kewibawaan yang ada pada orang tua itu bisa dikatakan asli. Karena orang tua langsung mendapat tugas dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Orang tua atau keluarga mendapat hak untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak tidak dapat dicabut karena terikat oleh kewajiban. Hak dan kewajiban yang ada pada orang tua tidak dapat dipisahkan. Guru tanpa wibawa akan diremehkan murid tetapi bila tidak bersahabat dengan murid maka murid akan takut, jauh serta benci pada guru. Guru yang berwibawa tapi bersahabat dengan murid yang dimaksud adalah guru yang dekat dengan murid dan komunikasinya juga baik, namun murid tetap hormat dan tidak meremehkan karena kedekatannya itu. Walau antara guru dengan murid dekat, namun masih ada semacam batas di antara mereka, mungkin dari segi bahasa atau dari perilaku saat berbicara. 6). ‫( الحلم‬santun) Sifat pokok lain yang menolong keberhasilan pendidik atau guru dalam tugas kependidikannya adalah sifat santun. Dengan sifat santun anak akan tertarik pada gurunya sebab anak akan memberikan tanggapan positif pada perkataannya. Dengan kesantunan guru, anak akan berhias dengan akhlak yang terpuji, dan terhindar dari perangai yang tercela. Ciri-ciri santun adalah: lembut dalam katakata, perintah, maupun larangan; penyayang terhadap sesamanya apalagi terhadap orang-orang yang lebih lemah dan orang-orang yang lebih tua; menjadi penolong pada saat orang lain memerlukan pertolongannya 18

Kita harus mengakui bahwa saat ini kita hidup pada masa-masa krisis kasih sayang. Pembahasan kasih sayang seakan telah tertutup dan hanya menjadi dongeng manis, imajinasi atau kumpulan kisah seribu satu malam. Sifat kasih sayang telah langka dan jarang ditemukan, bahkan di antara kaum muslimin sendiri, kecuali orang- orang yang memperoleh rahmat Allah. Tiada daya dan upaya kecuali dengan bantuan- Nya. Pada dasarnya, sifat ini bermuara dari dalam jiwa manusia, yaitu menyayangi sesama mereka; perasaan yang kemudian mengundang kasih sayang Allah. Hati orang mukmin secara alamiah memiliki sifat kasih sayang kepada orang lain. Ia yakin bahwa dengan menyayangi orang lain, ia akan memperoleh balasan kasih sayang yang jauh lebih besar dan luas di dunia dan akhirat. Hati yang penuh kasih, tidak pernah lama ada isinya, karena kasihnya diberikan. Berati jika kasihnya kosong, maka yang akan mengisi kasih berikutnya adalah Allah. Orang yang mengasihi sesama, hatinya diisi kasih sayang Allah. Menurut para ahli pendidikan Islam, kasih sayang guru terhadap muridnya sangat ditekankan. Sepertinya pendapat mereka didasarkan atas sabda Rasulullah yang artinya Tidak beriman kamu bila tidak mengasihi saudara-saudaramu seperti mengasihi dirimu sendiri.‖ Menurut Imam suhaimi saudara yang dimaksud disini adalah saudara sesama makhluk manusia. Asma Hasan Fahmi menjelaskan sebagai mana yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, bahwa kasih sayang itu dapat dibagi dua: pertama, kasih sayang dalam pergaulan; berarti guru harus lemah lembut dalam pergaulan. Konsep ini mengajarkan agar tatkala menasihati murid yang melakukan kesalahan, hendaknya menegurnya dengan cara memberikan penjelasan, bukan dengan cara mencelanya karena celaan akan melukai prestisenya. Kedua, kasih sayang yang diterapkan dalam mengajar. Ini berarti guru tidak boleh memaksa murid mempelajari sesuatu yang belum dapat dijangkaunya. Pengajaran harus dirasakan mudah oleh anak didiknya. Dalam kasih sayang yang kedua ini terkandung pengertian bahwa guru harus mengetahui perkembangan kemampuan muridnya. 19

C. Kesimpulan Tujuan akhir pendidikan muslim adalah perwujudan ketundukan kepada Allah. Untuk bisa mencapai kepada tujuan tersebut diperlukan pendidik yang memiliki sanad dan kepribadian yang baik sesuai dengan tuntunan agama. Guru memegang peranan yang penting dan strategis. Sebagai pendidik, guru merupakan agent of social change yang mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku manusia menuju yang lebih baik, lebih bermartabat dan lebih mandiri. Karena itulah kehatian-hatian dalam memilih guru sangat wajib dilakukan. 20

DAFTAR PUSTAKA Al-Faris, Ahmad, Husain, Abu, Mu’jam Maqayis al-Lugah, J. II, (Mesir: Mustafa al-Bab al- Halabiy, 1972) Alfiah, Hadist Tarbawy Pendidikan Islam Tinjauan Hadits Nabi, (Pekanbaru: Kreasi Edukasi, 2015) Al-Gahzali, Muhammad, bin, hamid Muhammad, Abu, Ihya Ulum al-Din, Jilid. I, (al- Qahirah: Maktabat al-Mashad al-Husaini, t. th.) Al-Jawi, Nawawi, Muhammad, Syeikh, Maraqil ‘Ubudiyah, (Surabaya: Mahkota, tth), Al-Qurais, kasir, ibnu, ismaal, al-fida, abus, Tafsir al-Qur’an al-Azim, J. III; (Mesir: Dar al- Ihya al-Kutub, t. th.) An-nasafy, mas’ud, bin ahmad, Tafsir al-Nasafiy, J. I; (t. p.:Dar al-Fikr, 701) Asy-Syathibi , Musa, Bin, Ibrahim, al-Muwafaqat, Juz 1, (Beirut: Dar Ibnu Affan, 2007) Bizawie , Milal, Zainul, Materpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri [1830-1945] (Ciputat: Pustaka Compass, 2016) Farid, Ahmad . Etika Guru dalam Pendidikan Islam, Telaah Terhadap Hadits Larangan Menerima Upah Bagi Guru. (Yogyakarta:Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2004) Farida, Umma , Naqd Al-Hadits (Kudus: STAIN Kudus,2009) Fathurrahman, “Mengkaji (Budaya) Sanad Ulama Tanah Jawa”, jurnal ThaqafiyyaT 14, no. 1, (2013) Hasanah, Ulfatun, “Pesantren Dan Transmisi Keilmuan Islam Melayu-Nusantara; Literasi, Teks, Kitab Dan Sanad Keilmuan”, ‟Anil Islam 8, no. 2 (2015) Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, cet. XXV, 2002) Nata, Abudin, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazâlî, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001) Roqib,Moh, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta : LKIS, 2009 Suhaili, “Otoritas Sanad Keilmuan Ibrahim Al-Khalidi (1912-1993): Tokoh Pesantren Di Lombok NTB”, Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, Dan Agama 22, no.1 (2016) Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Teras,2009) 21


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook