Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Imam Farih

Imam Farih

Published by IMAM FARIH, 2022-06-07 16:23:24

Description: SEYYED HOSSEIN NASR: INTEGRASI BERBASIS
TAUHID MELALUI HIRARKI ILMIAH

Search

Read the Text Version

SEYYED HOSSEIN NASR: INTEGRASI BERBASIS TAUHID MELALUI HIRARKI ILMIAH Ditulis sebagai ide dalam usaha Integrasi Islam dan Sains Oleh: IMAM FARIH NIP. 198106062011021002 SD NEGERI 022 PASIR SIALANG KECAMATAN BANGKINANG, KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU 1442 H/2022 M

SEYYED HOSSEIN NASR: INTEGRASI BERBASIS TAUHID MELALUI HIRARKI ILMIAH IMAM FARIH [email protected] KEPALA SEKOLAH ABSTRAK Modernization that goes hand in hand with secularization has presented a gloomy face, namely the erasing of religion from human life, eliminating religious and spiritual values in viewing the universe, removing spiritual and religious aspects. Nasr is concerned with the reality of modern man which is too difficult to appreciate something sacred. Nasr emphasized the importance of religiosity in the development of science. Nasr then gave his thoughts on the concept of integration of science and Islam based on monotheism through a scientific hierarchy in the form of the concept of unity, namely the integration of Islam (Ilahiyah), Man (Khalifah), and nature (Kosmos). So that one can go towards the Divine unity which is imagined in the unity of Nature. The idea of unity in science is an idea derived from the shahadah: la ilaha illa Allah. With the concept of unity or what is commonly called monotheism, it is also possible to integrate the diversity of knowledge into cohesiveness. In other words, the idea of unity allows the integration of human knowledge and action into a harmonious whole. Keywords: Sayyed Hosein Nasr, Integration, Tawhid, Scientific

A. Pendahuluan Masalah-Masalah yang muncul di dunia Islam dalam hubungannya dengan dunia modern adalah terombang-ambing dalam dua kekuatan, di satu sisi kekuatan tradisi Islam, dan di sisi lain adalah kekuatan sekularisme dan modernisme. Sejak awal revolusi pemikiran yang dirintis oleh Descartes dengan argumen epistemologis tentang akar kebenaran adalah akal, maka pada saat itu ada mulai terjadi pemisahan antara agama dan sains. Manusia menganggap diri mereka sebagai makhluk super yang mampu menyelesaikan semua masalah yang muncul dengan akalnya dan teknologi sebagai alat yang paling sakti untuk menyelesaikan semua masalah manusia. Manusia modern semakin kehilangan sisi kemanusiaannya karena sudah tergantung pada benda-benda yang notabenenya merupakan unsur yang memiliki tingkat kesempurnaan di bawah manusia. padahal, hakikat kemanusiaan itu bisa terwujud ketika manusia bebas dari apapun yang berhubungan dengan materi dan hanya bergantung pada absolut Tuhan. Modernisasi yang berjalan beriringan dengan sekularisasi telah menghadirkan wajah suram yakni terhapusnya agama dari kehidupan manusia, menghilangkan nilai-nilai religius dan spiritual dalam melihat alam semesta, menyingkirkan aspek spiritual dan agama dari pergolakan politik, serta menghilangkan kesakralan nilai-nilai agama dari kehidupan. Sehingga konsekuensi dari proses sekularisasi ini adalah manusia menjadi lebih mengutamakan kehidupan duniawi secara rohani. Kehidupan manusia dari berbagai aspek seperti perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, politik dan sebagainya terpisah dari hal-hal yang berkaitan dengan agama dan nilai- nilai spiritual yang menjadikan manusia dalam kehidupan modern dalam kekosongan spiritual Fakta yang harus diterima bahwa efek modernisasi telah menimbulkan ekses negatif dalam krisis makna kehidupan, kekosongan spiritual, dan perpindahan agama dalam kehidupan manusia. Hanya beberapa orang yang mau menerima fakta bahwa perdamaian dalam masyarakat akan

terwujud jika manusia mau mengambil langkah berdamai dengan alam bukan dengan melakukan pengembangan yang berlebihan mengakibatkan rusaknya alam. Dan tidak semua orang juga menyadari bahwa untuk berdamai dengan alam, manusia juga harus berdamai dengan tatanan spiritual. tidak dengan menghilangkan nilai-nilai spiritual seperti terjadi saat ini. Seyyed Hossein Nasr memiliki kekhawatiran tentang penawaran alternatif untuk penyembuhan krisis spiritual manusia modern, krisis eksistensialisme serta spiritual yang dialami oleh manusia modern adalah ketika manusia mulai meninggalkan Tuhan dalam hidupnya untuk menguatkan eksistensinya sendiri. Hal ini mengakibatkan keberadaan manusia mulai kehilangan identitas keberadaannya. Kejadian ini tidak hanya dialami oleh Barat tetapi juga dialami oleh dunia Islam. Kesalahan yang telah dibuat Barat telah diulang oleh hampir semua Negara-negara di Timur, yaitu dengan menciptakan masyarakat kota industri dan peradaban modern. Timur harus bisa membuat Barat sebagai studi kasus bukan sebaliknya membuat kesalahan yang sama tanpa melakukan penilaian reset dulu alias terima begitu saja. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang pemikir kontemporer yang tegas mengungkapkan pemikirannya tentang Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik, Seyyed Hossein Nasr berusaha memasukkan Tauhid ke dalam skema teorinya. Prinsip Tauhid, yaitu Kesatuan Tuhan dijadikan sebagai prinsip kesatuan alam tabi'i. Para pendukung model ini juga yakin bahwa alam tabi'i hanyalah merupakan tanda atau ayat bagi adanya wujud dan kebenaran yang mutlak. Hanya Allah-lah Kebenaran sebenar-benarnya, dan alam tabi'i ini hanyalah merupakan wilayah kebenaran terbawah. Atas dasar itulah kemudian makalah ini diberi judul Seyyed Hossein Nasr: Integrasi Berbasis Tauhid Melalui Hirarki Ilmiah untuk menjawab pertanyaan bagaimana integrasi islam dan sains berbasis tauhid melalui hirarki ilmiah menurut Seyyed Hossein Nasr?

B. Pembahasan 1. Seyyed Hossein Nasr Seyyed Hossein Nasr lahir pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran Republik Islam Iran. Nama ayahnya adalah Seyyed Waliyullah Nasr bekerja sebagai sarjana, dokter, dan pendidik. Seyyed Hossein Nasr menjalani pendidikan dasar di kampung halamannya di Teheran. Kemudian dia dikirim ke kota Qum oleh ayahnya untuk belajar kepada sejumlah ulama besar di berbagai bidang pengetahuan seperti filsafat, ilmu kalam, tasawuf, menghafal Al-Qur'an dan sastra.1 Nasr dikirim ke Barat untuk mengikuti pendidikan tingkat atas pada usia 13 tahun dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Universitas Massachusetts di bawah bimbingan filsuf Betrand Russel. Selain itu, ia juga belajar filsafat Islam di di bawah bimbingan George de Santilana. Nasr melanjutkan pendidikannya di Harvard University untuk mempelajari geologi dan geofisika pada tahun 1954. Kemudian Nasr beralih ke bidang ilmu-ilmu tradisional yang berfokus tentang filsafat Islam.2 Pada tahun 1956, Nashr memperoleh gelar Master di Massacusetts Institute of Technology (MIT) dalam bidang geologi berfokus pada geofisika. Setelah memperoleh gelar master, Nasr melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Harvard pada tahun 1958 dengan spesialisasi dalam kosmologi dan sains Islam. Dalam kompilasi Disertasinya, Nasr dibimbing oleh George Sarton, tapi sebelumnya disertasi selesai, Sarton meninggal, jadi dia mendapatkan bimbingan lebih lanjut dari tiga profesor, yaitu Bernard Cohen, Hammilton Gibb dan Harry Wolfson. Disertasi Nasr berjudul “Konsepsi Alam dalam Pemikiran Islam” kemudian diterbitkan oleh Harvard University Press pada tahun 1964 dengan judul “Pengantar Doktrin Kosmologi Islam”. Pada H.A.R. Gibb, 1 Fathin Fauhatun, “Islam Dan Filsafat Perenial: Respon Seyyed Hossein Nasr Terhadap Nestapa Manusia Modern,” Jurnal Fuaduna : Jurnal Kajian Keagamaan dan Kemasyarakatan 4, no. 1 (2020): h. 58. 2 Ibid.

Nasr mempelajari sejarah dan pemikiran Islam, sedangkan tentang sejarah ilmu pengetahuan ia pelajari dari George Sarton dan sejarah teologi dan pada Harry Wolfson ia belajar filsafat.3 Di satu sisi, Nasr sangat kredibel dalam mengapresiasi khazanah keilmuan Islam tradisional seperti karya-karya Suhrawardi, Ibn Arabi dan Mulla Sadra. Di sisi lain, latar belakang pendidikan Barat yang diambil membuatnya bisa menghargai khazanah intelektual Barat. Kombinasi latar belakang budaya dan intelektual ini membuat Nasr menempati posisi khusus dalam pemikiran dan karya, memiliki otoritas dalam berbicara tentang banyak topik, terutama mengenai titik temu timur dan barat, tradisi dan modernisasi. Ditambah asosiasinya yang luas dengan Muslim dan non-Muslim, menjadikan Nasr sebagai sosok yang langka dan tak tertandingi. Satu bentuk rasa hormat internasional adalah ketika dia dipercaya menjadi dosen tamu di Gifford.4 Bahkan nama Nasr yang berarti kemenagan merupakan nama penghargaan yang diberikan oleh raja persia kepada kakeknya karena sebagai bentuk penghargaan atas pengabidannya, sehingga dengan itu Sayyed Hossein Nasr menjadi keturunan bangsawan dari kakek yang terkemuka yakni Mulla Sayyed Muhammad Taqi Poshtmasshad.5 Nama Nasr semakin dikenal khalayak umum ketika Nasr diangkat menjadi guru besar di almamaternya yakni Harvad pada tahun 1962-1968, namun pada tahun 1968 itu pula Nasr pulang ke negaranya Iran dan dipercaya menjadi dekan fakultas sastra dan seni di Universitas Teheran sekaligus dipercaya menjadi Pembantu Rektor. Selama kiprahnya di Iran tersebut Nasr mendirikan Akademi Filsafat Islam Iran sekaligus nasr menjadi presiden akademi itu untuk pertama kalinya.6 3 Syarif Hidayatullah, “Konsep Ilmu Pengetahuan Syed Hussein Nashr: Suatu Telaah Relasi Sains Dan Agama,” Jurnal Filsafat 28, no. 1 (2018): h. 121. 4 Ibid. 5 Maimun, Sayyed Hossein Nasr: Pergulatan sains dan spritualitas menuju paradigma kosmologi alternatif, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 44 6 Heri Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qordhowi, (Bandung: Mizan Publika, t.th), h. 324

Dalam urusan karya tulis, Nashr telah menulis lebih dari lima puluh buku, ratusan artikel dan mengajar berbagai mata kuliah mulai dari, kosmologi tradisional Islam, metafasika, sains, filsafat, teologi, tasawuf, seni dan arsitektur Islam menuju modernitas dan pluralisme agama. Ia telah banyak berkontribusi dan menjadi penyunting beberapa buku antologi dan ensiklopedi, seperti Spiritualitas Islam (1991) yang merupakan bagian dari buku Spiritualitas Dunia, Sejarah Filsafat Islam (1996), Antologi Filsafat Persia (1999, 2000) dan Warisan Sufisme (1999). Selain karya-karya akademis tersebut, Nashr juga menulis beberapa buku yang ditujukan bagi khalayak umum dalam rangka memperkenalkan Islam dalam kaitannya dengan modernitas, seperti Islam Tradisional dalam Dunia Modern (1985), Islam dan Nasib Manusia Modern (1975) dan Panduan Anak Muda Islam atas Dunia Modern (1998). Karya-karya Nashr banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa: Indonesia, Jepang, Bosnia, Turki, Arab, Urdu, Persia, Polandia, Tamil, Prancis, Belanda dan lain-lain (total ada dua puluh dua bahasa). Dua bukunya yang terakhir, Jiwa Islam: Mempertahankan Nilai Kemanusiaan (2004) dan Taman Kebenaran: Visi dan Janji Sufi, Tradisi Mistik Islam (2007) adalah buah karya yang menyajikan wajah Islam dan sufisme dengan memesona kepada masyarakat di seluruh dunia (Anne Marieke Schwencke, 2009).7 2. Relasi agama dan sains menurut Sayyed Hossein Nasr Pemikiran Nashr terhadap relasi agama dan sains, menjadi fokusnya ketika ia telah menamatkan studi di universitas Harvard, hal ini dapat terlihat lewat disertasi yang ia garap, yang kemudian di publikasikan oleh Universitas Harvard dengan judul, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines : conception of nature and methods used for its study by the Ikhwan Al-Shafa, AlBiruni and Ibn Sina. Ada banyak karyanya yang membahas tentang relasi agama dan sains, antara lain 7 Andrian Syahidu, “Metodologi Sains Menurut Seyyed Hossein Nashr (Studi Atas Krisis Ekologi),” Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains 3 (2021): h. 9.

yaitu, Man and Nature, The Spiritual Crisis of Modern Man, Science and Civilization in Islam, Islamic ScienceAn Illustrated Study, Knowledge and The Sacred yang merupakan Gifford Lecture-nya. Ada tiga hal yang berkaitan dengan pemikiran Nashr terhadap relasi agama dan sains:8 Pertama, Pentingnya pengkajian sejarah dan filsafat sains, Nashr mengajak umat Islam untuk menengok sejarah masa kemajuan serta kemunduran yang dihadapi dunia Islam. Sejarah ini akan membantu umat Islam untuk menemukan kembali jati dirinya sebagai umat yang pernah mengalami masa keemasan pada pencapaian kemajuan sains. Tidak hanya sejarah dari dalam Islam, Nashr juga mendorong untuk mengkaji kembali sains dan teknologi yang berasal dari Barat. Untuk argumennya yang terakhir ini bukan berarti Nashr melihat sains dan teknologi yang diciptakan Barat tidak bersifat netral. Namun ia menekankan bahwa sebagai masyarakat yang tumbuh dari nilai-nilai Islam, sudah sepatutnya kita tidak hanya menerima sains dan teknologi Barat secara mentah namun perlu dikritisi lagi. Kedua, Fokus permasalahan bersama sains dan agama saat ini adalah krisis ekologi lingkungan Hal lain yang perlu diperhatikan dalam relasi agama dan sains, yaitu mengenai konfrontasi antara sains dan Islam, bukan pada sisi intelektual, namun lebih pada masalah etika, yang mana Barat telah memisahkan sains modern dari implikasi etika dari penggunaan sains. Dalam hal ini, Nashr memberikan contoh, seperti yang terjadi pada perang teluk Persia, meskipun secara fisik perang dipandang sebagai adu kekuatan teknologi, namun ini bukanlah kesalahan sains, melainkan kesalahan pengaplikasian etika sains modern. Nashr yang merupakan tokoh pengkaji agama, dalam hal ini memberikan pandangannya bahwa berdasarkan atas aturan Tuhan yang telah diberikan kepada agama-agama yang ada di bumi, yang kemudian dijadikan landasan berperilaku, dalam kaitannya dengan masalah ini, yaitu secara etika telah ada aturan tentang bagaimana pola hubungan manusia 8 Ibid.

seharusnya terhadap alam maupun makhluk lain yang tentunya menginginkan adanya keharmonisan. Ketiga, Selain dua hal di atas, yang menjadi titik fokus pemikiran Nashr terhadap relasi agama dan sains. Mengenai hal ini, Nashr memberikan pandangan awalnya, sains merupakan bidang yang memiliki sudut pandangnya tersendiri. Hal ini sebagaimana dalam pernyataan Nashr “science arose under particular circumstance in the west with certain philosophical presumptions about the nature of reality” (sains muncul di bawah keadaan khusus di Barat dengan pandangan filosofis tertentu tentang realitas alam). Terhadap sains, Nasr berpendapat bahwa ada intuisi terdalam dalam Islam dan pada faktanya dalam doktrin ketimuran bahwa tujuan utama pengetahuan tidak hanya mengeksplor sesuatu yang asalnya tidak diketahui, lalu kemudian ditemukan, melainkan juga untuk mengetahui hakikat kembalinya makhluk dari keragaman menuju pada penyatuan kepada sumber yang azali. Untuk itu pengetahuan tidak sekedar memberikan dampak secara materi, namun juga immateri yang terdapat dalam hatinya.9 3. Hirariki Ilmiah Ilmu pengetahuan menurut Nasr bersifat suci karena ia bersumber dari realitas yang suci. Ilmu pengetahuan akan membawa orang-orang yang mengkajinya berjalan menuju kesucian. Alam semesta hadir sebagai tanda-tanda yang dapat dibaca oleh para ilmuwan. Baik alam semesta menurut Nasr maupun al-Qur‘an sama-sama hadir sebagai tanda-tanda atau perlambang untuk dipelajari. Di sini lah terdapat prinsip unitas yang menyatukan berbagai fenomena alam yang nampak berserakan menjadi satu prinsip yang holistik. Prinsip unitas inilah yang mewarnai berbagai jenis ilmu pengetahuan dan seni yang dikembangkan di dalam tradisi Islam. Berbagai prinsip unitas ini coba ditampilkan di dalam ilmu 9 Ibid., h. 10.

pengetahuan dan seni meskipun secara terselubung. Di dalam Islam, hanya prinsip unitaslah yang pantas ditampilkan di dalam ilmu pengetahuan. Prinsip kesatupaduan inilah yang menjadi corak utama dari ilmu pengetahuan yang harus dikembangkan para ilmuwan Muslim.10 Bila dikaji lebih dalam, maka prinsip ilmiah sayyed Hossein Nasr merupakan hirarki dari satu kesatuan yang tidak terpisahkan yakni dari islam (Ilahiyah), Manusia (Khalifah), dan alam (Kosmos) a. Islam Islam menurut Seyyed Hossein Nasr memiliki tiga makna sekaligus. Pertama, Islam merupakan karaktek utama dari seluruh makhluk yang ada di alam semesta. Sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh alam semesta sebetulnya seorang muslim. Tidak mungkin suatu bunga akan tumbuh menjadi bunga tanpa sikap pasrah dan menyerah kepada kehendak Allah. Begitupun dengan matahari yang terbit di pagi hari serta terbenam di sore hari yang memang berislam karena tunduk dan pasrah kepada Allah. Kedua, Islam terkait dengan semua manusia yang menerima serta tunduk kepada aturan wahyu yang suci serta mau menyerahkan kemauan sendiri hanya semata untuk mengikuti aturan tersebut. Dengan penerimaan dan ketundukan yang pasif kepada wahyu yang suci akan mendorong suatu vitalitas yang akan mendorong kepada aktivitas yang tidak dapat dibendung. Ketiga, Islam dipahami sebagai ilmu-ilmu ma‘rifah di mana seseorang yang mengamalkannya dapat disebut sebagai ‘arif. Seorang ‘arif (gnostik) adalah seorang muslim sudah menyerahkan seluruh dirinya semata kepada Allah sehingga eksistensi dirinya sendiri sudah tidak ada. Ia bagaikan pepohonan atau hewan-hewan yang memiliki tingkap kepasrahan total kepada Sang Pencipta. Meski demikian, seseorang yang berislam akan merefleksikan kehadiran dirinya secara aktif 10 Suharsono dkk , Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), h. 142

penuh dengan kesadaran di mana makhluk lainnya merefleksikannya secara pasif.11 Dalam pengertian ini, ilmu pengetahuan dirumuskan dengan cara yang sangat berbeda karena motif mengembangkannya bukan atas pertimbangan hanya ingin tahu atau mungkin berasal dari spekulasi analitik melainkan sebagai proses antara dua pasangan yang memiliki kesamaan hakiki di mana Islam dirinya menyatu dengan Islam alam semesta sebagai sesuatu yang saling melengkapi. Di sinilah Islam dan ilmu pengetahuan saling bersinergi untuk saling mengisi kekosongan masing-masing Seyyed Hossein Nasr, bersepakat untuk meletakkan Islam dan ilmu pengetahuan berjalan harmonis. Kedua-duanya menyetujui al-Qur‘an dan alam semesta memiliki tingkat ontologis yang sama sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping itu, keduanya juga memiliki kesamaan pendapat terkait dengan prasyarat seseorang mendalami ilmu pengetahun di mana kerendahhatian atau ketundukan menjadi poin penting di dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Islam memberikan motivasi serta dorongan bagi ilmu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan pada level tertingginya, sedangkan ilmu pengetahuan memberikan informasi serta guideline bagi agama dalam memahami realitas sehari-hari yang membutuhkan insight dari ilmu pengetahuan. Dialog yang terjadi di antara keduanya akan saling memperkaya meskipun keduanya berangkat dari titik awal yang berbeda. Seseorang yang berislam sudah barang tentu dengan sendirinya akan mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebaliknya seseorang yang mengembangkan ilmu pengetahuan sudah barang pasti akan mengenal Islam. Di sini Nasr lebih cocok masuk ke dalam kategori pendekatan integrasi di mana Islam dan ilmu pengetahuan 11 Ibid, h. 135.

merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Memisahkan keduanya hanya akan melahirkan krisis kehidupan yang tidak akan pernah selesai. Sebagaimana yang terjadi di dunia Barat di mana agama dan ilmu pengetahuan dipisahkan secara tegas, sehingga pada akhirnya melahirkan sekularisme yang berbuntut kepada penolakan metafisika di dalam pengembangan ilmu pengetahuan. b. Manusia Menurut Nasr, Ilmu pengetahuan dapat dilihat dari pesan alqur'an itu sendiri yang menyatakan bahwa manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan dimuka bumi ini. Sebagaimana firman-Nya \"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang wakil (khalifah) di muka bumi\" (QS. Al-Baqarah: 30). Dengan demikian, umat manusia sudah semestinya pasrah sepenuhnya pada yang di Langit sebagai seorang hamba atau pelayan Tuhan (Abdullah), dan bersikap aktif terhadap dunia di sekelilingnya sebagai khalifah Tuhan dimuka bumi. Menjadi manusia yang seutuhnya, lanjut Nashr, adalah menerima dengan kepasrahan total pada yang berasal dari Allah, dan memperlakukan makhluk ciptaan Allah sebagai media perantara utama berupa karunia untuk terciptanya ketaraturan alam semesta. Dan sisi ketinggian derajat manusia itu dilihat dari kepasrahan dan ketaatannya kepada Allah.12 Kemunculan manusia di dunia adalah untuk memperoleh pengetahuan total tentang benda, untuk menjadi menjadi Manusia Universal (al-Insan al-kamil) ,yang merupakan cermin yang memantulkan semua Nama dan Sifat Ilahi. Sebelum jatuh kebumi, manusia berada di Syurga sebagai Manusia Primordial (al-Insan al- Qadim), setelah jatuh kebumi, manusia kehilangan keadaan ini, tetapi dengan menjadi makhluk sentral di sebuah alam semesta yang dapat dia ketahui secara lengkap, kemudian dia dapat melampaui keadaan 12 Syahidu, “Metodologi Sains Menurut Seyyed Hossein Nashr (Studi Atas Krisis Ekologi),” h. 13.

dirinya sebelum kejatuhan untuk menjadi Manusia Universal. Artinya, apabila manusia dapat memanfaatkan kesempatan hidup yang diberikan padanya, dengan bantuan alam semesta, dia dapat meninggalkan alam ini untuk menggapai keadaan yang lebih mulia dibandingkan apa yang dia peroleh sebelum kejatuhan. Maka manusia menduduki posisi sentral di dunia ini, yaitu sebagai penjaga dan sekaligus penguasa alam. Disinilah letak eksistensi Tuhan sebagai yang Maha Kuasa yang dapat menciptakan dan mengatur ciptaan-Nya, yaitu alam, secara sempurna.13 Seyyed Hossein Nasr memiliki pandangan tersendiri terkait fungsi kekhalifahan manusia. Ia mendekati persoalan kekhalifahan manusia dari sisi tasawwuf, yakni berusaha memahami hakikat manusia sebagai “aku” yang terlepas dari ikatan inderawi sehinggi meskipun jiwa berada dalam tubuh tapi dirinya sendiri bukanlah berasal dari tubuh. Ia memiliki pengalaman kosmik yang diraih melalui jalan spiritual yang selalu mengarahkan jiwa manusia berjalan terus sampai kepada realitas paling tinggi. Jiwa di sini melampaui berbagai emosi serta kondisi psikologis. Jiwa suci ini memiliki kemampuan untuk mengatur berbagai emosi yang dimiliki manusia sehingga manusiapun tidak dapat didefinisikan berdasarkan emosi yang dimilikinya. Ia terhubung langsung dengan akar eksistensi yang terdapat pada Yang Maha Suci.14 Manusia memiliki keunikan tersendiri karena pada satu sisi hakikat dirinya terhubung erat dengan Allah, sedangkan pada saat yang bersamaan dirinya juga terhubung dengan realitas manusiawi dan individual yang juga diciptakan Allah. Untuk itu, meskipun manusia memiliki jiwa yang dengannya terhubung dengan yang ilahi tidak berarti manusia menjadi Tuhan. Selama manusia menjadi hamba Allah maka tidak mungkin dirinya menjadi Allah. Manusia tetap 13 Ibid., h.12. 14 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Newyork: State University of Newyork Press, 1989), 144

memiliki kewajiban ‘ubudiyyah untuk menjadikan Allah semata sebagai satu-satunya yang patut untuk disembah. Hamba (al-‘abd) akan tetap menjadi hamba dan Allah (al-Rabb) akan tetapi menjadi Tuhan. Akan tetapi karena rahmat dan kasih sayang Allah serta izin- Nya, manusia diberikan kemampuan untuk melampaui dualitas hamba dan Tuhan menuju Yang Satu, Zat Ilahi, yang merupakan akar darimana “aku” berasal.15 Di dalam Islam, satu-satunya alasan dari penciptaan manusia yaitu untuk menyembah Allah dengan cara menghadirkan penghambaan (ibadah) yang sempurna. Dengan demikian, manusia menjadi mengerti akan arti menjadi manusia seutuhnya. Penghambaan tersebut akan mengantarkan manusia menjadi cermin yang dapat memantulkan semua nama dan sifat Allah. Manusia karena itu diciptakan dalam citra (surah) Allah. Citra di sini dalam artian penciptaan manusia memantulkan nama dan sifat Ilahiah. Dengan penyembahan itu akan mengantarkan manusia untuk mengetahui (ma’rifah) dengan kesadaran bahwa hanya Allah, Sang Pemilik segala sesuatu sedangkan manusia sendiri berada dalam kefakiran. Ketika kita beribadah di hadapan-Nya, kita betul-betul “meniadakan” (fana’) diri kita agar dapat terhubung dengan kekekalan (baqa‘) di dalam Tuhan serta dapat mencapai akar dari diri sendiri. Menjadi manusia menurut Nasr yaitu ikhtiar terus-menerus untuk mewujudkan penghambaan diri secara maksimal melalui amalan spiritual sehingga realitad diri kita yang sakral maupun yang profan dapat sama-sama bertemu dalam ucapan “Aku”.16 Keagungan manusia menurut Nasr bukan dikarenakan kemampuannya membuat mesin-mesin yang canggih atau mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan tetapi karena dirinya diajak bicara langsung oleh Allah melalui al-Qur‘an serta atas 15 Seyyed Hossien Nasr, The Garden of Truth The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), h. 12. 16 Ibid

bimbingan-Nya. Menjadi manusia berarti mendengarkan kalam Allah serta diajak untuk kembali kepada-Nya dalam kondisi apapun. Di dalam pelaksanaan ibadah shalat sehari-hari, kita pun diajak untuk berdialog langsung dengan Allah tanpa perantara. Bagi kaum Sufi, kegiatan ibadah bukan sekedar kegiatan rutin manusia, lebih daripada itu ibadah dapat menentukan status kehambaan (‘ubudiyyah) seseorang. Karakter manusia pun direkonstruksi Nasr berdasarkan pandangan ini. Menurut Nasr, Manusia Sempurna inilah sebagai cermin di hadapan Realitas Ilahiah yang dapat memantulkan Nama dan Sifat- Nya dan juga mampu merenungkan Allah melalui berbagai ciptaan- Nya. Manusia Sempurna dapat terealisasi di saat dirinya mampu menjadi hamba Allah yang patuh dan loyal, menyadari sepenuhnya tugas utama dirinya di atas muka bumi ini sebagai wakil Allah (khalifatullah) yang mampu melampaui berbagai ego dirinya melalui proses peniadaaan (takhalli) untuk kemudian diisi dengan Nama dan Sifat-Nya melalui tahapan pengisian (tahalli) yang kemudian berujung kepada manifestasi Yang Ilahi pada dirinya (tajalli).17 c. Alam Menurut Nasr fokus permasalahan bersama sains dan agama saat ini adalah krisis ekologi lingkungan Hal lain yang perlu diperhatikan dalam relasi agama dan sains, yaitu mengenai konfrontasi antara sains dan Islam. Untuk mengetahui konsep integrasi berbasis tauhid Sayyed Hossein Nasr adalah dengan mengetahui dan mengkaji pemikiran dan pandangan Nasr tentang alam. Sebagai seorang tradisionalis, Nashr memandang perkembangan teknologi modern yang pesat dengan pesimis terutama 17 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Newyork: State University of Newyork Press, 1989), h. 155

dampak negatif yang ia soroti yaitu kerusakan lingkungan, yang terjadi mengerikan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Sumber ini semua adalah teknologi yang dirancang semata-mata dengan memperhatikan nilai-nilai dunia modern, seperti efisiensi, efektivitas, dan nilai ekonomis, tanpa memperhatikan kebutuhan manusia, jasmaniah maupun ruhaniah, dan tanpa memperhatikan hubungan ruhaniah antara manusia dengan bumi dan makhluk-makhluk lainnya.18 Atas masalah ini kemudian Sayyed Hossein Nasr mempunyai rumusan berupa agenda agenda besar yang harus dilakukan oleh akademisi islam, yakni: Pertama, adalah perumusan kembali nilai-nilai kearifan perennial Islam mengenai tatanan alam seperti konsep tentang alam, hubungan alam dengan manusia, telaah kritis terhadap ilmu pengetahuan modern, dan signifikansi ilmu pengetahuan Islam tradisional tidak hanya di lihat sebagai bagian dari pengetahuan Barat, tetapi merupakan bagian integral tradisi intelektual Islam. Kedua, adalah memperluas kesadaran akan ajaran Syari'ah mengenai perlakuan etis terhadap lingkungan alam dan memperluas bidang aplikasinya sesuai dengan prinsip syari'ah itu sendiri, Artinya untuk melakukan penegakan hukum tersebut tidak akan terjadi tanpa penekanan terhadap ajaran-ajaran hukum Ilahi.19 Dari kedua agenda tersebut, maka jelas terlihat perlunya untuk memformulasi kembali dimensi kosmologik, yaitu pandangan terhadap tatanan alam semesta. Dalam Islam, menurut Nashr, konsep tentang alam bersumber dari al-Qur'an. Menurut al-Qur'an, alam semesta adalah wujud atau eksistensi Tuhan dalam kehidupan ini, atau alam sebagai perwujudan dari Tuhan. ini mencerminkan kebesaran Allah sebagai pencipta yang agung, sebagaimana tertera dalam al- 18 Hidayatullah, “Konsep Ilmu Pengetahuan Syed Hussein Nashr: Suatu Telaah Relasi Sains Dan Agama,” h. 131. 19 Syahidu, “Metodologi Sains Menurut Seyyed Hossein Nashr (Studi Atas Krisis Ekologi),” h. 10.

Qur'an; \"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa alQur'an itu adalah benar\" (Q.S. Fushshilat: 53). Maka disini jelas terlihat bahwa ayat-ayat al- Qur'an, maupun fenomena alam disebut dengan ayat yang ada dalam jiwa manusia maupun dalam ciptaan-Nya yang lain sebagai tanda- tanda atau isyarat Allah. Yang dimasud oleh Nasr disini adalah Allah adalah \"Yang Awal\" dan \"Yang Akhir\", \"Yang Tersembunyi\" dan \"Yang Nampak\", kedua sifat \"yang awal\" dan \"yang akhir\" adalah sesuai dengan kepercayaan waktu di dunia. waktu disini ditentukan oleh pergantian siang dan malam, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an QS. Yunus: 5, \"Allah Yang Awal\", artinya alam semesta mulai dari-Nya, dan \"Allah Yang Akhir\", maksudnya alam semesta akan kembali kepada-Nya. kemudian, Allah sebagai \"Yang Tersembunyi\" dan \"Yang Tampak\", yaitu berhubungan dengan \"ruang\" - ruang yang \"sesuai\" dan \"sakral\", sama seperti dua yang awal menyamai waktu, yaitu dipandang sebagai yang tampak, artinya Allah menjadi realitas yang mencakup segalanya, yang \"meliputi\" dan \"merangkum\" kosmos. Artinya eksistensi fisik alam ini merupakan lambang hakikat ilahi. Oleh karena itu, Tuhan menegaskan Diri-Nya sebagi al-Muhith; yaitu yang meliputi segala sesuatu sebagaimana dalam QS. al-Fushilat:53- 54.20 Dengan demikian Memahami alam bagi Nasr sama halnya dengan memahami al-Qur‘an. Jika al-Qur‘an merupakan wahyu tertulis (al-Qur’an al-Tadwin), maka alam semesta merupakan wahyu dalam bentuk ciptaan (al-Qur’an al-Takwin). Masing-masing memiliki pola yang sama sebagai media komunikasi antara sang Ilahi dengan manusia. 20 Ibid., h. 11.

4. Integrasi berbasis tauhid Nashr memang sangat menyesalkan banyak umat Islam dewasa ini yang justru mengambil dan mengikuti sikap dan pola pikir Barat yang meniadakan unsur ketuhanan dalam hirarki ilmiahnya. Baginya, kebebasan manusia yang benar adalah kesadaran akan hubungan dasar antara dirinya sendiri dan Allah SWT, seperti yang sudah seringkali dijelaskan dalam filsafat dan tasawuf Islam. Nashr meyakini ilmu pengetahuan yang benar adalah ilmu pengetahuan yang mengetahui hubungan antara yang duniawi dan yang ukhrawi.21 Konsep sentral Nashr tentang pengetahuan, adalah unitas; yaitu paham kesatupaduan dan interelasi dari segala yang ada dalam kosmos, sehingga dengan merenungkan kesatupaduan kosmos, seseorang dapat menuju ke arah kesatupaduan Ilahi yang dibayangkan dalam kesatuan Alam. Ide unitas dalam ilmu pengetahuan ini merupakan ide turunan dari syahadah: la ilaha illa Allah. Dengan konsep unitas atau yang lazim disebut tauhid itu pula memungkinkan terjadinya integrasi keanekaragaman pengetahuan ke dalam keterpaduan. Dalam kata lain, ide unitas itu memungkinkan integrasi pengetahuan dan tindakan manusia ke dalam sebuah kesatuan yang harmonis. Sesungguhnya, menurut Nashr, ide unitas semacam ini tidak hanya khas Islam tetapi lazim dalam semua peradaban tradisional, termasuk Kristen. Namun, aplikasinya di dalam Islam mampu melahirkan sesuatu yang unik, yang tidak ditemukan dalam derajat yang sama pada peradaban dari tradisi lainnya. Menurut Nashr, kosmologi mampu untuk menjadi “alat integrasi konseptual” karena tujuannya untuk mengadakan sebuah pengetahuan yang memperlihatkan kesalingterkaitan segala sesuatu dan mengadakan hubungan dengan tingkat-tingkat hierarki kosmik satu sama lain. Dengan demikian, ia menjadi sebuah pengetahuan yang memungkinkan terjadinya integrasi keanekaragaman ke dalam keterpaduan. 21 Ibid.

Menurut Nashr, metodologi ilmu pengetahuan dalam Islam didasarkan atas sebuah epistemologi yang secara fundamental berbeda dengan epistemologi yang dominan dalam ilmu pengetahuan Barat modern. Baginya, keimanan kepada wahyu al-Quran akan menyingkap semua kemungkinan yang terdapat pada akal manusia. Ketundukan kepada wahyu, pada setiap tingkat membuat akal mampu untuk mengaktualisasikan kemungkinankemungkinan ini. Pengembangan akal muslim didasarkan atas suatu kesadaran yang utuh tentang prinsip ini. Dalam perspektif ini, dalam memecahkan masalah-masalah filosofis dan ilmiahnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa penyucian jiwa dipandang sebagai bagian yang terpadu dari metodologi pengetahuan. Penyucian jiwa menjadi perhatian utama, untuk proteksi dan penggunaan akal manusia dengan benar. Suasana religius dan spiritual yang tercipta dari al-Quran sekaligus menghilangkan rintangan bagi pertumbuhan akal yang wajar dan optimal, dengan cara yang benar. Intelek di sini, digunakan dalam pengertian asal, intellectus (Latin) atau nous (Yunani). Dalam bahasa al-Quran disebut ‘aql yang berarti mengikat manusia ke asalnya (origin). 22 Secara etimologis, intellect atau ‘aql mempunyai makna yang sama dengan agama karena agama mengikat manusia kepada Tuhan. Pengertian itu, dalam paham modern, menurut Nashr telah mengalami reduksi menjadi hanya reasoning semata-mata. Di dalam Islam, relasi ilmu alam dan agama tidak dapat dipisahkan, bahkan menjadi satu bagian yang utuh. Islam tidak menghendaki pemisahan antara manusia dan alam bahkan kokoh mempertahankannya sebagai pandangan integral yang holistik. Jika terjadi keteraturan alam, sebagaimana al-Qur‘an, itu merupakan kasih sayang Allah atau barakah. Setiap apapun yang terjadi di atas muka bumi akan selalu terdapat barakah di dalamnya. 22 Ibid., h. 12.

Relasi manusia, alam dan Kitab Suci menduduki posisi yang sangat sentral. Tidak bisa ketiganya dipisahkan secara parsial. Menurut Nasr baik alam maupun Kitab Suci keduanya adalah ayat-ayat Ilahiah. Ayat-ayat tersebut memanifestasikan dirinya baik di dalam Kitab Suci, alam semesta (afaq) maupun pada diri manusia (anfus). Baik di dalam alam semesta, maupun Kitab Suci dan juga manusia memiliki dimensi batin yang saling terhubung satu dengan yang lainnya. Manusia dapat menangkap yang batin dengan dimensi inteleknya, alam mewujud sebagai teofani Yang Ilahi dan berbagai fenomena alam ditransformasikan ke dalam ayat yang disebut al-Qur‘an. Jadi ketiga-tiganya bergerak kepada arah yang sama yaitu untuk menyingkap jejak-jejak Ilahiah (vestigia dei) yang terdapat di semua fenomena. Menurut Nasr, manusia perlu mengembangkan scientia sacra di dalam memahami alam semesta. Melalui scientia sacra ini berbagai keterpisahan realitas dapat disatukan kembali menjadi satu gambaran yang utuh. Baik alam maupun manusia masing-masing memiliki dharma- nya sendiri-sendiri.23 Melalui scientia sacra ini berbagai dharma dapat dipahami dengan baik yang pada akhirnya akan melahirkan manusia- manusia yang bijaksana. Bagi Nasr, puncak tertinggi manusia mengetahui yaitu ketika ia sampai kepada realitas sejati yang termanifestasi dalam alam semesta dan juga pada diri manusia sendiri. Di dalam scientia sacra ini tidak cukup bagi seseorang hanya mengetahui. Pengetahuan yang didapatkan manusia harus mampu mengantarkan dirinya menjadi pribadi- pribadi bijaksana yang kelak akan mendorong diri mereka menjadi manusia universal (al-insan al-kamil). Akibatnya, kehadiran manusia di atas muka bumi ini membawa rahmat bagi sekalian alam. 23 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, h. 130

C. Kesimpulan Seyyed Hossein Nasr sebagai cendekiawan Muslim yang berpengaruh dalam hal perkembangan ilmu modern dan hubungannya dengan agama. Beliau adalah orang orang pertama yang menulis buku tentang sejarah sains di era Islam yang komprehensif. Selain itu, Nasr juga mendiskusikan berbagai topik, mulai dari ilmu dan filsafat Islam, tasawuf, perenialisme, hingga masalah yang dihadapi manusia dan peradaban modern. Nasr prihatin dengan realitas manusia modern yang terlalu sulit untuk menghargai sesuatu yang suci. Nasr menekankan pentingnya religiusitas dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Definisi pengetahuan tentang Nasr sangat berbeda dari sains seperti yang umum dipahami saat ini. Oleh karena itu, Nasr menggunakan istilah scientia sacra (ilmu suci) untuk menunjukkan bahwa itu harus menjadi aspek kebijaksanaan jauh lebih penting dalam sains daripada aspek teknologi, yang merupakan ciri utama sains pengetahuan modern Oleh karenanya konsep integrasi berbasis tauhid melalui hirarki ilmiah Sayyed Hossein Nasr merupakan jawaban dari tantangan modern, dimana ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari islam (Ilahiyah), Manusia (Khalifah), dan alam (Kosmos).

DAFTAR PUSAKA Fauhatun, Fathin. “Islam Dan Filsafat Perenial: Respon Seyyed Hossein Nasr Terhadap Nestapa Manusia Modern.” Jurnal Fuaduna : Jurnal Kajian Keagamaan dan Kemasyarakatan 4, no. 1 (2020): 54–68. Hidayatullah, Syarif. “Konsep Ilmu Pengetahuan Syed Hussein Nashr: Suatu Telaah Relasi Sains Dan Agama.” Jurnal Filsafat 28, no. 1 (2018): 113–139. Maimun, Sayyed Hossein Nasr: Pergulatan sains dan spritualitas menuju paradigma kosmologi alternatif, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015) Nasr, Hossein, Seyyed, Knowledge and the Sacred (Newyork: State University of Newyork Press, 1989) Nasr, Hossein, Seyyed, Knowledge and the Sacred (Newyork: State University of Newyork Press, 1989) Nasr, Hossein, Seyyed, The Garden of Truth The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007) Sucipto, Heri, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qordhowi, (Bandung: Mizan Publika, t.th) Suharsono , Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, terj. (Jakarta: Inisiasi Press, 2004) Syahidu, Andrian. “Metodologi Sains Menurut Seyyed Hossein Nashr (Studi Atas Krisis Ekologi).” Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains 3 (2021): 8–14.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook