Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Anis Matta Visi Perjuangan Keumatan

Anis Matta Visi Perjuangan Keumatan

Published by Prasetyo, 2022-08-04 22:06:03

Description: Anis Matta Visi Perjuangan Keumatan

Search

Read the Text Version

Anis Matta LIMA VISI PERJUANGAN KEUMATAN DI TENGAH KRISIS

Penyunting: Dadi Krismatono Foto sampul: Woko Muchidin - Gelora Media Center Foto profil: Tubagus Banirizqi - Gelora Media Center Dokumentasi: Ahmad Sahal - Gelora Media Center Desain cover: Ariyadi Arnas Tata letak: Andung Bayumurti C 2022 - Anis Matta Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Pengantar Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Buku kecil ini merupakan rangkuman dari gagasan yang pernah saya sampaikan pada berbagai kesempatan. Catatan ini juga merupakan undangan terbuka kepada sahabat semua untuk mendiskusikan arah perjuangan umat di tengah situasi krisis nasional dan global yang makin kompleks dan sangat dinamis. Semoga buku sederhana ini bermanfaat memperkaya khazanah perbincangan kita. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Ciganjur, Juni 2022 Anis Matta



Dunia yang Bergejolak Indonesia kini berada di persimpangan sejarah. Bukan hanya sejarah nasional, tapi juga sejarah dunia. Mengikuti teori siklus perubahan, kita kini berada dalam proses perubahan yang terjadi setiap satu abad dan itu berarti perubahan sistem global. Semua kontradiksi internal yang ada dalam sistem global kini menemukan titik ledaknya yang mengakibatkan kontraksi yang meluas, sistemik, dan berlarut. Ledakan itu dimulai dengan pandemi COVID-19 yang menghentikan perputaran roda perekonomian dunia dan memicu proses deglobalisasi, karena masing-masing negara mempertahankan kepentingan domestiknya. Dari situ krisis global ini menyusuri jalan panjang yang tak jelas ujungnya. Pandemi ini segera disusul oleh krisis ekonomi, yang gejalanya sudah terasa mencekik leher kita dalam beberapa bulan ini. Jika tak tertangani dengan baik, krisis ekonomi ini dapat berkembang menjadi krisis sosial, lalu berkembang lagi menjadi krisis politik. 1

Anis Matta Kita menyaksikan sejumlah negara mengalami krisis politik hingga berujung jatuhnya pemerintahan. Dalam berbagai tingkatan, krisis sosial dan politik telah terjadi di Pakistan, Sri Lanka, dan Kepulauan Solomon. Sebelumnya telah terjadi kerusuhan yang meluas di Kazakhstan pada awal tahun ini akibat kenaikan drastis harga bahan bakar gas cair (LPG) dan kerusuhan di Afrika Selatan pada pertengahan 2021 yang dipicu pemenjaraan mantan presiden Jacob Zuma. Walau diwarnai konteks lokal yang berbeda-beda, peristiwa di atas tidaklah unik dan berdiri sendiri. Sudah lama lebih dari setengah penduduk Afrika Selatan yang berjumlah sekitar 60 juta hidup di bawah garis kemiskinan. Salah satu sumber menyebutkan tingkat pengangguran di negara itu mencapai 32%. Pandemi yang menyebabkan penutupan perusahaan dan pemutusan hubungan kerja semakin memperparah situasi. Di Pakistan, angka inflasi yang menyentuh dua digit dalam waktu yang lama menjadi backdrop dari krisis politik hingga membuat Imran Khan terdepak dari kursi perdana menteri. Sri Lanka mengalami krisis ekonomi setelah mengalami default atau gagal bayar utang luar negeri setara Rp 732 triliun pada April tahun ini. Devisa negara itu habis dan harga-harga melambung akibat ketergantungan terhadap impor. Utang luar negeri dan impor yang sebelumnya menjadi simbol globalisasi ekonomi kini menjadi pemicu krisis di banyak negara. Proteksionisme ekonomi, krisis politik yang terjadi bersamaan di berbagai tempat, dan perebutan sumber 2

Lima Visi Perjuangan Keumatan daya yang makin langka merupakan prakondisi bagi krisis yang lebih berat lagi, yakni perang militer. Dalam sejarah, perang selalu menjadi mekanisme dekonstruksi menyeluruh terhadap krisis sistemik yang berlarut. Perang Rusia-Ukraina adalah ledakan awal yang akan menandai perang global itu. Jika kita buka lagi catatan sejarah, kita akan menemukan bagaimana pada awal abad ke-20, menguatnya nasionalisme sebagai antitesis dari kolonialisme yang telah berlangsung lama menjadi pemicu proses perubahan global. Kita lihat di Indonesia. Belanda menerapkan Politik Etis pada 1901 sebenarnya untuk menyediakan tenaga kerja administrasi pemerintahan kolonial. Namun, terbukanya akses pendidikan membuat kaum pribumi juga mengakses khazanah filsafat, ilmu politik, ilmu sosial, dan sastra. Pengiriman pelajar pribumi ke Belanda juga membawa konsekuensi lain. Hanya butuh waktu tujuh tahun, kaum pribumi mulai memiliki kesadaran kebangsaan yang disuarakan lewat Boedi Oetomo yang berdiri pada 1908. Proses ini berlanjut hingga Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Kita bisa melihat dari catatan sejarah ada banyak negara yang merdeka pada tahun 1945 (yakni tahun berakhirnya Perang Dunia II) dan sesudahnya sebagai buah dari gelombang perubahan besar di dunia saat itu. Suasana ini juga dapat kita tangkap pada Pembukaan 3

Anis Matta UUD 1945 yang sangat menekankan kemerdekaan dan sarat dengan spirit anti-penjajahan. Sebagai gambaran, negara-negara yang merdeka pada 1945 adalah Indonesia yang merdeka dari Belanda, Korea—yang belum terpecah—merdeka dari Jepang, dan Vietnam merdeka dari Prancis. Pada 1946, Filipina, Yordania, dan Suriah merdeka, disusul India dan Pakistan pada 1947. Pada 1950-an banyak negara di Afrika merdeka dari Perancis. Dekolonisasi di Asia dan Afrika akan menemukan puncak semangat zamannya pada Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung. Perubahan besar pada paruh pertama abad ke-20 telah mengubah wajah dunia. Sejumlah negara lenyap dari peta bumi akibat Perang Dunia I. Perang Dunia II mengakhiri agresi fasisme sekaligus mengakhiri kolonialisme di banyak tempat. Jepang dan Jerman menjadi pecundang perang sementara tatanan dunia yang dikuasai Amerika Serikat dan sekutunya terbentuk dengan konfigurasi Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations), Bank Dunia (World Bank), dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF). Tatanan ini dibayang-bayangi Perang Dingin, sebagai manifestasi perang supremasi antara kapitalisme dan komunisme yang nantinya akan berakhir pada runtuhnya Tembok Berlin pada 1989 dan bubarnya Uni Soviet pada 1991. Jika kita perhatikan, siklus dari meluasnya paham nasionalisme dan sikap anti-penjajahan sebagai bagian 4

Lima Visi Perjuangan Keumatan dari humanisme hingga runtuhnya komunisme memakan waktu kurang lebih satu abad. Periode 30-40 tahun pertama adalah transisi dari sistem lama, sekitar 50 tahun sistem terbentuk dan berjalan hingga mencapai puncaknya, dan sepuluh tahun terakhir hingga masuk ke abad baru adalah masa kontraksi untuk mencari keseimbangan baru. Siklus tersebut juga terjadi di Indonesia. Awal semangat kebangsaan tumbuh pada awal abad ke-20, merdeka sebagai negara pada 1945, oleh Orde Baru dibawa bergabung dengan sistem kapitalisme global setelah mengalahkan komunisme pada akhir 1960-an, menikmati puncak pertumbuhan ekonomi pada akhir 1980-an hingga 1990-an, mengalami kontraksi ekonomi dan politik akibat krisis moneter 1997, dan memasuki masa transisi sejak era Reformasi 1998. Jika kita memakai teori konsolidasi demokrasi, maka Indonesia telah melewati transisi dari otoritarianisme ke demokrasi setelah dua kali pemilu yang dilaksanakan secara demokratis pada 2004 dan 2009. Artinya, kini kita sedang berada pada masa transisi memasuki siklus perubahan baru dan kita harus mampu membaca berbagai dinamika perubahan dengan cermat. Tahun ini kira-kira sudah 30 tahun sejak Uni Soviet runtuh dan dunia kini dipimpin oleh hanya satu kekuatan, yaitu Amerika Serikat. Karena sistem komunisme runtuh, maka sistem yang ada juga tinggal sistem kapitalisme, tepatnya sistem neoliberalisme. Namun, dalam 30 tahun terakhir ini pula terjadi perubahan yang sangat fundamental. 5

Anis Matta Perubahan pertama, sistem kapitalisme ternyata berujung pada pembelahan sosial yang sangat dalam yang disebabkan oleh ketimpangan ekonomi. Dalam waktu 30 tahun terakhir ini kira-kira 2.500 orang paling kaya di dunia tadinya kekayaannya ditaksir sekitar 800-900 miliar dolar AS, kini sudah di atas 12,7 triliun dolar AS. Majalah Forbes yang mengeluarkan data orang terkaya di dunia setiap tahun mencatat bahwa angka tahun ini tersebut turun sekitar 400 miliar dolar AS dari tahun 2021 akibat pandemi. Lompatan kekayaan ini terjadi karena proses “finansialisasi” dalam ekonomi dunia. Pasar saham dan keuangan menjadi tempat berputarnya uang dan jauh meninggalkan sektor-sektor riil. Akibatnya, uang melahirkan uang tapi tidak menciptakan pekerjaan. Kita melihat orang melipatgandakan uang tanpa kerja, melainkan melalui berbagai instrumen keuangan yang canggih namun hampa sehingga sering disebut gelembung (bubble). Gelembung itu pecah pada krisis keuangan 2008 yang dipicu krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Segera saja, krisis yang semula dianggap krisis korporasi itu berkembang menjadi krisis global yang memicu krisis utang di negara-negara Eropa yang relatif lemah dari sisi ekonomi (seperti Yunani dan Portugal), yang beriringan dengan krisis pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika, dan pergolakan Arab Spring. Semua ini saya paparkan agar kita bisa melihat keterhubungan dari berbagai peristiwa 6

Lima Visi Perjuangan Keumatan di dunia yang tentu mempengaruhi apa yang terjadi di Indonesia, terutama pada momen-momen politik penting. Kondisi ekonomi global mengingatkan kita pada lagu Rhoma Irama: “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” Dan ini terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang sering menjadi rujukan praktik demokrasi dan pengelolaan ekonomi. Data resmi pada 2020 menyebutkan kemiskinan di Amerika Serikat mencapai 37,2 juta jiwa atau 11,4% dari 329,5 juta populasi nasional (Sumber: US Census Bureau, Januari 2022). Di Uni Eropa, angka resmi kemiskinan mencapai 21,9% atau 96,5 juta dari sekitar 447 juta penduduk yang tersebar di 27 negara (Sumber: Eurostat, Oktober 2021). Jika kita sorot lebih tajam situasi di Amerika Serikat, maka kita akan menemukan angka kemiskinan tersebut naik 1,0% dari tahun 2019. Artinya, ada tambahan 3,3 juta orang miskin “baru” yang terjerembap dari kelas menengah di negara itu. Inilah pertama kali ada kenaikan angka orang miskin di Amerika setelah lima tahun berturut-turut selalu menurun. Kelas menengah di Amerika terus menyusut proporsinya. Ini terjadi karena proporsi orang kaya dan orang miskin sama-sama naik. Pada 1971, jumlah orang miskin 25%, kelas menengah 61% dan orang kaya 14%; sementara pada 2021 jumlah orang miskin naik menjadi 29%, kelas menengah turun 11% menjadi 50%, dan orang kaya naik cukup tajam menjadi 21% (Sumber: Pew Research Center, April 2022). 7

Anis Matta Gambar yang lebih menarik akan tampak jika kita melihat perubahan pendapatan masing-masing kelas dalam jangka waktu yang sama. Median pendapatan kelompok miskin naik 45% dari 20.604 dolar AS menjadi 29.963 dolar AS, kelas menengah naik 50% dari 59.934 dolar AS menjadi 90.131 dolar AS, dan kenaikan tertinggi terjadi di kelompok orang kaya, naik 69% dari 130.008 dolar AS menjadi 219.572 dolar AS. Jadi, kelas menengah di Amerika terimpit di tengah oleh dua kubu kaya dan miskin yang makin besar dan terpolarisasi. Ketimpangan dan pembelahan kaya-miskin inilah sumber dari seluruh gejolak dan pergolakan sosial yang sekarang ini ada di negara-negara Barat. Situasi ini memicu munculnya para pemimpin-pemimpin baru, pemimpin nasionalis, atau juga disebut ultranasionalis, ada yang menyebutnya pemimpin populis, hingga puncaknya adalah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat pada 2016 lalu. Walaupun akhirnya Trump kalah pada pemilu 2020, namun Trumpisme tetap bertahan, karena gejala ini adalah gejala umum di Barat yang berakar pada pembelahan sosial akibat ketimpangan ekonomi. Perubahan kedua, persis setelah runtuhnya Uni Soviet muncul satu gelombang demokratisasi di seluruh dunia yang beriringan dengan gelombang globalisasi. Kita melihat ada peralihan dalam sistem politik di hampir seluruh negara di seluruh dunia, mulai dari negara-negara Eropa timur eks-komunis, Asia Tengah, hingga sampai 8

Lima Visi Perjuangan Keumatan di Indonesia pada tahun 1998 yang dikenal dengan era Reformasi. Gelombang demokratisasi itu bahkan masih berlanjut dengan Kawasan Timur Tengah dan Afrika dalam ledakan Arab Spring tahun 2010. Perubahan ini disertai juga dengan gelombang globalisasi. Sisi lain dari koin demokrasi liberal adalah pasar bebas. Makanya seiring dengan perang politik, militer, dan intelijen melawan komunisme, agenda pasar bebas terus bergulir hingga mencapai puncaknya pada pendirian Organisasi Perdagangan dunia (World Trade Organization) pada 1995. Inti dari pasar bebas adalah memangkas seminimal mungkin hambatan pergerakan orang, uang, dan barang. Kita juga masih ingat bagaimana demokratisasi Indonesia pada 1998 juga beriringan dengan proses restrukturisasi, atau lebih tepatnya liberalisasi, ekonomi yang dikawal Bank Dunia dan IMF. Perhatikan momen-momen penting pada lini masa pergantian abad tersebut. Satu hal yang tidak disadari oleh Barat dan banyak pihak bahwa kekuatan utama yang mendapatkan keuntungan paling besar dari globalisasi itu adalah Cina. Secara perlahan terjadi perubahan pada perimbangan kekuatan ekonomi global. Pada awal 1990-an, kira-kira Amerika dan Eropa menguasai 80% ekonomi dunia. Sekarang, keduanya ini menguasai 40-45% ekonomi dunia. Asia Pasifik ini menjadi kekuatan ekonomi baru 9

Anis Matta terutama Cina, Jepang, Korea Selatan, dan gabungan Asia Tenggara. Jadi, bersamaan dengan terjadinya ketimpangan ekonomi yang terjadi di Barat, ini juga terjadi peralihan pada kekuatan ekonomi dari Barat ke Asia. Ketimpangan sosial dan perubahan pada struktur kekuatan dunia inilah yang memicu munculnya situasi baru. Pada satu sisi, di negara-negara Barat terjadi revolusi dan perpecahan elite di dalam mereka sendiri karena ada pembelahan, tapi pada waktu yang sama juga ada ancaman terhadap incumbent peradaban modern karena muncul kekuatan penantang baru yang datangnya dari Asia, terutama Cina. Karena itu, sejak 2015, arah hubungan global mulai menemukan titik baru yang sangat berbahaya, yaitu konflik supremasi. Konflik ini disebabkan oleh munculnya kekuatan baru yang tidak dinginkan oleh kekuatan lama. Karena yang bertengkar ini adalah kekuatan superpower dunia, maka medan pertempurannya terjadi di seluruh wilayah dunia. Konflik antara Amerika dan Cina ini menjadi salah satu faktor pemicu semua peristiwa global sejak 2015 sampai sekarang dan seterusnya nanti. Sejak 2015 juga tidak ada satu pemilu di dunia yang tidak mengangkat isu sentimen anti-Cina. Di Amerika, Eropa, Asia, juga di Afrika. 10

Lima Visi Perjuangan Keumatan Saya ingat pada 2015 saya memberikan ceramah tentang geopolitik di Aljazair. Karena tren ini sudah kita baca jauh sebelumnya, saya menyampaikan kepada teman-teman, “Sebentar lagi Anda akan menyaksikan satu pergolakan sosial di seluruh Afika ini yang temanya itu satu: bagaimana mengeluarkan atau mengganggu seluruh investasi Cina.” Mengapa? Karena Afrika semakin tergantung pada Cina. Negeri Panda telah berinvestasi lebih dari 70 miliar dolar AS dalam lima tahun terakhir (Sumber: EY Africa Attractivenes Report, 2021). Nilai investasinya mencapai 43,3 miliar dolar AS pada 2020. Utang Cina kepada negara- negara Afrika pada periode 2000-2020 mencapai 160 miliar dolar AS dalam 1.188 paket utang (Sumber: Bloomberg. com, 26 April 2022). Menariknya, pada saat yang sama Cina adalah mitra perdagangan utama Afrika hingga mencapai nilai perdagangan 254 miliar dolar AS pada 2021, naik 35% dari tahun sebelumnya. Cina menikmati surplus perdagangan yang terus tumbuh setiap tahunnya. Perhatikan di sini. Cina menguasai investasi dan utang luar negeri benua Afrika dan sekaligus menikmati surplus perdagangan dari ekspor-impor kedua pihak. Ekspansi dan penetrasi Cina ke berbagai negara dan kawasan mulai mengubah perimbangan kekuatan dunia. Konflik supremasi Amerika Serikat vs. Cina tak terhindarkan tapi pertarungannya tidak head-to-head langsung. Tidak ada perang terbuka tapi mereka bertarung di seluruh wilayah 11

Anis Matta dan isu strategis. Salah satunya adalah boikot diplomatik Amerika terhadap Olimpiade Musim Dingin 2022 di Beijing dengan alasan masalah HAM atas Muslim Uighur. Sebagai ajang olahraga terbesar di dunia, telah lama Olimpiade berubah menjadi panggung politik ideologi. Paling tidak ada tujuh kali pelaksanaan Olimpiade yang mengalami boikot dengan berbagai alasan. Situasi ini persis seperti yang dulu terjadi pada era Perang Dingin namun menjadi makin kompleks karena pihak yang berseteru bukan saja bipolar, tapi menjadi banyak kutub atau multipolar. Ini yang membuat situasi menjadi semakin rumit. Sistem global menimbulkan dampak ketimpangan sosial dan karena itu menimbulkan pergolakan sosial baru, tapi pada waktu yang sama tema geopolitik ini juga dipakai oleh banyak politisi di Barat untuk menutupi problem ketimpangan di dalam negeri masing-masing. Retorika Trump tentang pekerjaan orang-orang Amerika yang dirampas imigran dan dibawa oleh outsourcing ke Cina beresonansi atau “nyetrum” dengan perasaan kesulitan hidup yang dialami kelas pekerja negara itu. Global supply chain yang tadinya diagungkan sebagai ekonomi cerdas ternyata meninggalkan luka menganga pada kelas pekerja di berbagai negara. Orang makin sulit memahami situasi ini karena kemudian pertarungannya pindah ke mana-mana. Pada satu sisi, masalah internal mereka tidak teratasi, tapi 12

Lima Visi Perjuangan Keumatan konflik supremasi ini menyebabkan kekacauan menyebar ke seluruh dunia. Di dalam negeri kita juga menyaksikan sejak tahun 2015 hawa pembelahan itu kuat sekali. Saya dan teman- teman melakukan survei secara rutin. Ini bukan survei elektabilitas yang diramaikan di media melainkan survei untuk mengukur “suhu badan” masyarakat kita dalam kajian strategis internal. Dari survei demi survei saya menemukan fakta bawa bersamaan dengan meningkatnya semangat keagamaan kita, juga ada muncul sentimen etnis bersamanya. Hampir sama besarnya antara sentimen keagamaan dan sentimen anti-Cina. Ini jelas berkelindan dengan semua persoalan politik kita di dalam negeri yang lainnya. Proses ini menemukan puncaknya pada Pilkada Jakarta 2017 karena isu etnis bertemu dengan isu agama. Dampaknya adalah pembelahan sosial yang kita rasakan sampai sekarang. Situasi ini bertemu dengan faktor yang lain, yakni penemuan teknologi baru yang bersifat disruptif. Artinya, teknologi ini menghancurkan platform yang ada sebelumnya. Kita lihat misalnya bagaimana media sosial mematikan media mainstream secara perlahan. Kita akan menyaksikan secara perlahan TV akan bangkrut. Orang sudah berpindah platform dan cara mendapatkan informasi. Teknologi baru membuat teknologi yang sudah ada sebelumnya tidak relevan. Karena kita hidup dalam teknologi yang selalu baru dan terus menerus mendisrupsi platform yang sudah ada 13

Anis Matta sebelumnya, kita bisa membayangkan bagaimana politik dan ekonomi bekerja dalam situasi seperti itu. Pasti banyak kegaduhan dan kekacauan. Sekarang, kita masukkan faktor pandemi COVID-19 ke dalam situasi ini, maka kita akan menyaksikan kekacauan yang lebih rumit lagi. Pandemi ini menghentikan hampir seluruh aktivitas ekonomi kita. Setelah pandemi ini, pola kehidupan kita secara keseluruhan juga akan berubah. Salah satu di antara ramalan atau proyeksi menyebutkan bahwa pandemi ini efektif dipakai sebagai senjata dalam konflik geopolitik. Mengapa? Karena pandemi ini menghentikan pergerakan manusia, barang, dan jasa secara global. Mata rantai pasokan global terganggu dan karena itu semua industri yang terkait dengan pergerakan global akan mati. Begitu juga negara- negara yang kekuatan ekonominya bertumpu pada ekspor, seperti Cina, tentu akan terpukul lebih keras dari situasi ini. Walaupun pada akhirnya semua negara juga merasakan pukulan terhadap perekonomian mereka. Semua faktor-faktor ini, ketimpangan ekonomi, pembelahan sosial, teknologi yang bersifat disruptif, konflik geopolitik dan perang supremasi, serta sekarang ada pandemi, akan membuat krisis ini berlangsung jauh lebih lama daripada yang kita duga. Konflik Rusia-Ukraina yang telah berlangsung lebih dari 100 hari harus dibaca sebagai awal ledakan geopolitik akibat konflik supremasi antara Amerika Serikat dan sekutunya melawan Rusia 14

Lima Visi Perjuangan Keumatan yang didukung Cina. Ukraina hanya menjadi medan tempurnya. Ukraina tak lebih dari collateral damage alias menjadi pelanduk yang mati di tengah ketika dua gajah bertarung. Krisis Ukraina yang terus berlarut merupakan indikator bahwa institusi-institusi global yang mengawal tatanan dunia, termasuk Dewan Keamanan PBB, kini lumpuh dan tidak berdaya. Tidak efektifnya sanksi ekonomi kepada Rusia juga menunjukkan bahwa sistem global telah rusak berkarat dan bergerak out of control. 15



Umat sebagai Kesatuan Misi Umat Islam telah bersama dan menjadi bagian dari Indonesia, bahkan sebelum Indonesia lahir sebagai bangsa dan negara. Dalam buku Gelombang Ketiga Indonesia (2013) saya menulis bagaimana Islam menjadi faktor kohesi dalam proses pembentukan kebangsaan Indonesia. Sejak abad ke-13, Islam telah memberi warna dominan di bumi Nusantara. Kerajaan-kerajaan yang berjuang melawan kolonialisme hampir semuanya bercorak keislaman. Perlawanan tersebut selain menjadi artikulasi kepentingan lokal juga menjadi persemaian kesadaran nasionalisme di kalangan umat Islam. Ajaran Islam yang banyak menekankan persatuan umat juga telah membangun sentimen persatuan dan solidaritas antikolonialisme. Lebih jauh lagi, Islam menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Di sini juga ada peran pesantren yang selain mengajarkan ilmu agama juga menjadi tempat memompa semangat melawan penjajah. Islam menjadi rantai jejaring pergerakan yang melampaui ikatan kesukuan. 17

Anis Matta Islam menjadi lebih dari sekedar agama, tetapi juga menjadi kohesi bagi proses pembentukan bangsa Indonesia karena menyediakan wawasan dan pergaulan yang melintasi batas-batas kesukuan atau kewilayahan. Islam juga yang menjadi inspirasi solidaritas yang mempercepat persatuan kebangsaan. Dalam masa transisi sebelum kemerdekaan hingga saat ini, umat Islam terus terlibat dalam perdebatan penyusunan bangunan negara Indonesia: sejak di Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pemilu sejak 1955 sampai sekarang melalui partai-partai dan organisasi kemasyarakatan dengan segala pasang surutnya. Sampai di sini kita perlu kembali membaca kembali apa definisi umat. Kata umat dalam Al-Qur’an memiliki sejumlah dimensi, yakni individu, kelompok, misi, dan sejarah. Umat sebagai individu dijelaskan dalam ayat 120 surat an-Nahl: “… sesungguhnya Ibrahim adalah ummat.” Individu bisa disebut umat ketika ia memiliki kualitas memimpin sehingga mampu merepresentasi kelompoknya. Bisa juga dikatakan, individu disebut sebagai umat ketika memiliki kualitas setara dengan keseluruhan kelompoknya. Sesungguhnya penjelasan ini dekat dengan teori elite yang akan muncul belakangan dalam khazanah ilmu sosial dan politik. Dalam teori-teori modern, konsep elite merujuk pada minoritas individual yang melayani suatu 18

Lima Visi Perjuangan Keumatan kelompok karena memiliki nilai-nilai yang dianggap berharga oleh kelompoknya. Pada masa lalu, elite adalah mereka yang terkuat secara fisik dalam kelompoknya karena kehidupan manusia masih berkutat pada usaha mencari makanan dan melindungi diri dari serangan binatang buas dan cuaca. Seiring pertumbuhan peradaban manusia, orang atau kelompok menjadi elite karena mampu memberikan solusi terhadap apa yang dibutuhkan kelompoknya. Minoritas individual menjadi elite karena berperan efektif dan bertanggung jawab dalam memberi solusi, mencapai tujuan-tujuan sosial, dan menjaga berlangsungnya tatanan masyarakat. Umat sebagai kelompok diterangkan dalam surat Ali Imran (3:104) yang terjemahannya berbunyi: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Artinya, individu tidak hanya memiliki kewajiban untuk beribadah dan menegakkan kesalehan pribadi, namun juga diperintahkan berkumpul untuk mendorong kebaikan dan mencegah kerusakan. Jadi, terbentuknya umat sebagai kelompok merupakan tugas bagi orang-orang yang beriman. Umat bukan kelompok yang terbentuk begitu saja secara natural, namun didorong oleh kesadaran menjalankan perintah Allah SWT. 19

Anis Matta Definisi di atas berhubungan erat dengan dimensi umat sebagai cerminan tekad dan misi diutusnya manusia ke bumi. Inilah puncak dari efektivitas peran, tindakan yang dibimbing semangat. Umat adalah mereka yang disatukan oleh misi bersama. Mengenai hal ini dijelaskan dalam surat Ali Imran (3:110): “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” Umat juga bermakna sejarah karena konsep umat dalam Al-Qur’an juga beririsan dengan waktu dan ruang. Dalam surat Al-Baqarah (2:134), Allah berfirman: “Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan.” Dari empat dimensi di atas kita menemukan konstruksi bahwa umat sebagai individu (pemimpin) dan kelompok melebur dalam satu perjuangan membawa misi (risalah) dalam tindakan sejarah. Di situ manusia, individu atau pemimpin dan kelompok, secara kolektif menjadi pelaku atas semua peristiwa kehidupan yang kelak kita sebut sebagai sejarah. Mereka menjadi pelaku dan agama menjadi peta jalan (roadmap). Ruang dan waktu menjadi medan tindakan kesejarahan mereka. Sejarah kelak menjadi saksi atas tindakan “kepelakuan” mereka. Jadi yang dimaksud dengan tindakan sejarah adalah tindakan yang membawa perubahan yang kelak menjadi 20

Lima Visi Perjuangan Keumatan jejak perjalanan hidup mereka. Itulah misi sejarah kita dilahirkan di bumi ini. Tentu kita ingat bagaimana sejarah selalu bercerita tentang perubahan dan pergolakan yang menyertainya, bukan tentang hidup yang datar-datar saja. Inilah cara pandang yang penting kita miliki sebagai umat Islam di Indonesia hari ini. Kita hadir karena misi, dan dengan misi itu kita akan membuat sejarah. Pilihan aksinya bisa bermacam-macam. Bahkan dalam politik bisa saja kita berbeda pilihan, tapi perbedaan itu jangan sampai merobek kesatuan misi kita. Dengan kesatuan misi yang kita yakini tersebut, mari kita bersama memandang ke masa depan dalam suatu visi perjuangan keumatan. Apalagi, karena krisis ini akan berlangsung lebih lama, maka kita sebagai umat Islam perlu memahami dengan baik visi perjuangan kita ini seperti apa. Umat Islam sekarang ini perlu memahami dengan baik lanskap geopolitik global ini untuk merumuskan arah perjuangan kita. 21



Lima Visi Perjuangan Belum ada yang dapat memprediksikan kapan transisi global ini akan tuntas. Artinya, kita akan berada dalam ketidakpastian dalam waktu yang lama. Namun, cara lain melihat krisis adalah sebagai peluang. Krisis menjadi peluang karena itu menandakan sudah tidak bekerjanya sistem lama dan belum adanya sistem atau tatanan baru yang bekerja. Di tengah kekosongan inilah terbuka peluang bagi kita untuk ikut menyusun tatanan dunia baru. Istilah sederhananya, inilah kesempatan Indonesia menjadi “panitia” pembentukan tatanan dunia baru. Umat Islam di Indonesia perlu memahami krisis sebagai peluang agar tidak tenggelam dalam pesimisme apalagi fatalisme. Seharusnya, umat Islam bersikap optimis dan berpikir strategis memanfaatkan celah peluang atau window of opportunity yang hanya terbuka satu abad sekali. Menentukan arah perjuangan berdasarkan lanskap global dan regional seperti itu sangat penting. Atas dasar inilah, saya melihat bahwa paling tidak ada lima arah 23

Anis Matta perjuangan umat Islam di Indonesia. Angka lima di sini hanyalah alat membatu sistematika permasalahan, bukan angka yang mutlak. Lima arah tersebut adalah: mempertahankan kedaulatan nasional; memperkokoh Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai platform bersama; menemukan titik temu antara agama, demokrasi, dan kesejahteraan; mengubah umat dari kerumunan menjadi kekuatan riil; dan, terakhir, mewujudkan Indonesia menjadi kekuatan utama dunia. Arah ini akan mempersatukan umat dalam platform kolaborasi yang luas, yang mana di dalamnya masih tersedia ruang bagi perbedaan pilihan dalam hal-hal taktis. Pertama, mempertahankan kedaulatan nasional. Yang dimaksud mempertahankan kedaulatan di sini adalah tidak akan membiarkan Indonesia menjadi tempat atau medan pertempuran kekuatan global yang tengah berkonflik seperti Ukraina yang sekarang menjadi medan tempur semua kekuatan utama global saat ini: Rusia- China vs Amerika Serikat-Uni Eropa. Kita sudah punya pengalaman menjadi collateral damage dari peristiwa-peristiwa besar dunia yang di luar kendali kita. Lihatlah bagaimana kita menjadi jajahan Belanda ketika Eropa mengalami revolusi pengetahuan dan industri yang membawa mereka pada perebutan sumber daya alam. Kita lalu menjadi jajahan Jepang 24

Lima Visi Perjuangan Keumatan ketika negeri itu terlibat dalam Perang Pasifik tahun 1942- 1945 melawan Amerika Serikat dan membutuhkan basis militer di kawasan Asia Tenggara. Akan tetapi kita juga merdeka karena ada celah momentum ketika Jepang kalah dalam Perang Pasifik. Pada era Perang Dingin dulu, di sini ada tragedi berdarah kudeta G 30 S PKI tahun 1965 karena kekuatan Barat dan Timur sama-sama melakukan rekrutmen negara di mana-mana. Asia Tenggara adalah salah satu wilayah strategis yang diperebutkan. Dipicu konflik ideologi dari luar itu kita saling bunuh sesama saudara kita sendiri. Walhasil, isu komunisme dan PKI ini tidak selesai-selesai di negeri kita, padahal itu hanyalah residu Perang Dingin. Jangan sampai hal yang sama terjadi lagi. Orang lain yang bertengkar, sesama kita lalu berkelahi di negara kita sendiri. Sekarang coba kita lihat Suriah. Siapa yang punya negara itu sekarang? Semua negara dari pemain regional sampai pemain global ikut bermain di situ. Kita lihat Hong Kong. Tidak ada yang sebelumnya menyangka demonstrasi anak-anak muda itu akan terus berlanjut sampai harus diintervensi secara konstitusi oleh pemerintah Cina langsung. Tapi inilah contoh bagaimana Hong Kong menjadi tempat pertempuran dari konflik kekuatan-kekuatan global. Di tengah konflik Rusia-Ukraina yang sekarang terjadi pun ada tarikan-tarikan agar kita memihak kepada salah satu kubu dengan segala alasan dan argumentasinya. Pertanyaannya, apa untungnya bagi Indonesia? Apa 25

Anis Matta manfaat yang kita dapat jika hari ini kita memihak Rusia, atau memihak Ukraina yang artinya memihak Amerika? Dengan menyadari adanya begitu banyak tarikan kepentingan dalam berbagai isu global, maka yang harus menjadi fokus kita adalah kepentingan nasional kita sendiri. Kepentingan nasional itu sudah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jadi, pemihakan atau keterlibatan kita dalam suatu isu harus diukur dengan pertimbangan apakah itu dapat menjaga dan melayani kepentingan nasional kita. Coba kita perhatikan, tema konflik-konflik kita sebenarnya tanpa kita sadari kita sedang menjalankan agenda-agenda pihak lain. Umat Islam harus menjadi pengingat agar bangsa Indonesia tidak luput menjaga kepentingan nasionalnya serta menjaga agar energi bangsa tidak terkuras untuk melayani kepentingan dan agenda pihak lain. Termasuk juga dengan orkestrasi Islamophobia baik di tingkat global maupun nasional yang makin kencang terasa membatasi ruang gerak kita. Islamophobia merupakan proyek politik jangka pendek untuk mengonsolidasi masyarakat non- Muslim dan Muslim-sekuler ke dalam satu kelompok. Dengan menakut-nakuti bahwa Islam adalah ancaman, 26

Lima Visi Perjuangan Keumatan maka rakyat yang tidak mengerti akan bergabung dan mencari pelindung untuk “mengalahkan” Islam dalam peristiwa-peristiwa politik penting. Padahal, seperti saya katakan sebelumnya, Islam adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia dan tidak akan mungkin menjadi ancaman bagi Merah Putih. Kedua, Pancasila dan NKRI sebagai platform bersama Berangkat dari bacaan di atas, maka visi perjuangan kedua adalah meningkatkan partisipasi umat Islam dalam memperkokoh fondasi Pancasila dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kesepakatan dan platform bersama. Umat Islam bukan pihak di luar atau pihak yang tidak ikut mengikat konsensus untuk menjadi Indonesia. Ini adalah platform kita bersama, kesepakatan bahwa Indonesia adalah rumah bagi semua. Pancasila memberikan ruang bagi semua karena memang sejak awal diniatkan untuk itu. Dari sini kita kembali ke pelajaran dari Piagam Madinah (Watsiqatul Madinah). Asas dari Piagam Madinah adalah teritori atau tanah. Waktu Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, sebelum hijrah itu beliau menyatukan dua suku Yatsrib yang sudah masuk Islam, yakni Auf dan Khazraj yang telah berselisih puluhan tahun hingga merenggut nyawa dari kedua belah pihak. Dengan mediasi Rasulullah, kedua suku itu berdamai dan menjadi aktor penting penerimaan umat Islam di Madinah. 27

Anis Matta Begitu Rasulullah hijrah, suku-suku Yatsrib yang sudah menyatu dan masuk Islam ini disatukan lagi dengan para Muhajirin dari kaum Quraisy yang hijrah dari Makkah. Jadi, ada Anshor ada Muhajirin yang disatukan menjadi komunitas baru. Setelah itu Rasulullah mengikat komunitas Muslim ini dengan seluruh komunitas non-Muslim dalam satu perikatan bernegara yang disebut Piagam Madinah. Dalam teks Piagam Madinah, semua kelompok- kelompok itu disebut ummah oleh Rasulullah SAW. Apa dasarnya? Dasarnya adalah kita hidup di wilayah atau teritori tertentu dan memiliki hak dan kewajiban yang sama di wilayah ini. Platform negara juga seperti itu. Indonesia adalah kedaulatan negara berdasarkan properti atas tanah. Ini penting supaya kita tidak selalu setback, tidak selalu kembali. Pada saat yang sama kita perlu mendorong agar Pancasila dan NKRI tidak didominasi pemaknaannya atau menjadi alat identitas untuk kepentingan jangka pendek. Pancasila harus selalu menjadi panggung terbuka bagi identitas yang berbeda. Ketiga, mencari titik temu antara agama, demokrasi, dan kesejahteraan Arah yang ketiga adalah, di dalam ruang Pancasila dan NKRI ini kita beri isi atau konten yang bersumber pada usaha mempertemukan agama, demokrasi, dan kesejahteraan. Kita harus bisa menjadikan Indonesia sebagai model dari titik temu tersebut. 28

Lima Visi Perjuangan Keumatan Agama, dalam hal ini Islam, memberi orientasi berdasarkan nilai fundamental perdamaian, keselamatan dan kesejahteraan. Agama memberi arah bagi individu dan masyarakat sehingga tidak terombang-ambing dalam kebingungan dan alienasi. Pada tingkatan masyarakat, agama menjadi katalis kemajuan karena tuntunan untuk menuntut ilmu, berkolaborasi, dan mengusahakan kesejahteraan. Demokrasi bukan sekadar prosedur politik namun harus menjadi budaya dan cara dalam menyelesaikan masalah. Demokrasi prosedur baru bicara kepatuhan terhadap aturan, sementara budaya demokrasi adalah cara memastikan sebuah proses atau peristiwa politik membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Dengan masyarakat yang dituntun nilai-nilai agama dan menjunjung budaya demokrasi sebagai cara menyelenggarakan urusan bersama, kita bisa berharap kedua pilar ini menopang proses penciptaan kesejahteraan. Ke sinilah arah perjuangan kita, karena Pancasila dan NKRI memberikan ruang untuk itu. Jadi, menjadi religius adalah bagian dari platform ini, dari menjalankan Pancasila. Demokrasi adalah bagian dari platform ini. Kesejahteraan adalah output yang ingin dicapai oleh platform Pancasila itu. Kita mengisi platform Indonesia dengan mempertemukan ketiga unsur tersebut. Tidak boleh ketiga unsur ini saling menafikan. Jangan mempertentangkan agama dengan demokrasi. Atau, 29

Anis Matta agama dengan kesejahteraan. Apalagi kita di Indonesia ini mayoritasnya umat Islam. Ketika, misalnya, kita bicara tentang kemiskinan di Indonesia, itu artinya kita bicara tentang kemiskinan umat Islam. Karena itu kitalah yang paling berkewajiban mengisi ruang demokrasi, ruang Pancasila dan NKRI ini, dengan mempertemukan agama, demokrasi, dan kesejahteraan. Sikap-sikap kita di dalam politik, seperti pemilu dan pilkada, harus mencerminkan tiga unsur ini. Semua pilihan-pilihan politik kita adalah pilihan ijtihadi, sesuatu yang kita duga ada maslahat di situ. Demikianlah agama mengajarkan kita. Ketika kita mempertemukan unsur-unsur ini semuanya, kita akan melihat bahwa tujuan kita adalah mewujudkan maslahat. Akan tetapi, kita bisa berbeda dalam menentukan apa yang kita sebut sebagai maslahat. Perbedaan itu adalah perbedaan ijtihadi. Apa yang kita anggap benar hari ini belum tentu benar esok hari. Itu karena ijtihad kita hari ini dipengaruhi oleh situasi hari ini. Apalagi jika ijtihad itu tentang orang. Tidak ada orang yang permanen sifatnya. Nanti setelah dia mati baru dia bisa diukur seperti apa keseluruhan hidupnya. Sebelum mati, tidak ada yang bisa kita tentukan. Karena itu, sifat hubungan kita dalam pilihan-pilihan seperti ini lebih bersifat ta’aqudi, lebih bersifat perjanjian atau kontrak. Pilihan atas persyaratan dan ketentuan. Kita memilih seseorang karena kita menginginkan hal-hal yang 30

Lima Visi Perjuangan Keumatan kita perjanjikan. Begitu cara kita memandangnya. Dan dengan cara itu kita melihat bahwa output yang ingin kita capai dari proses ini adalah mempertahankan kebebasan orang dalam menjalankan agamanya, tapi kita juga ingin mendorong agar orang semua sejahtera karena orang yang sejahtera lebih dekat kepada agama. Mengapa ini penting? Karena krisis yang terjadi di dunia sekarang adalah krisis yang menyentuh sistem. Tidak ada lagi yang bisa memberi solusi, tidak ada sumber inspirasi baru, hanya agama yang bisa menjadi sumber inspirasi di sini. Itu sebabnya saya juga percaya bahwa Islam adalah masa depan. Hanya saja, diperlukan satu kekuatan untuk membawa dan menerjemahkan nilai-nilai Islam ini ke dalam satu model sosial, model politik, dan model ekonomi. Baru orang akan melihat Islam secara visual. Dengan cara itu kita mengubah wajah Islam dan dengan cara itu pula kita bicara atas nama Islam kepada seluruh dunia. Keempat, mengubah kerumunan umat menjadi kekuatan politik yang riil. Dari perjalanan panjang keterlibatan umat Islam di Indonesia dalam proses nation building dan dialektika dengan negara, sudah waktunya kita belajar sungguh- sungguh mengubah kerumunan menjadi kekuatan politik yang riil. 31

Anis Matta Dalam ilmu psikologi sosial dan sosiologi dikenal teori tentang herd behavior dan herd mentality, atau perilaku “kawanan” dan mentalitas “kawanan”. Perilaku kawanan atau kerumunan adalah perilaku individual dalam kelompok yang melakukan tindakan kolektif tanpa perintah dari suatu “pusat”. Mirip dengan perilaku sekelompok burung yang terbang bersama tanpa aba-aba dan komando. Kerumunan selalu bersifat sementara, emosional, dan individu-individu di dalamnya tidak memiliki nama. Inilah yang perlu kita ubah menjadi kekuatan politik dengan artikulasi kepentingan yang jelas. Ketika Nabi Shaleh AS begitu diangkat menjadi nabi beliau membuat pemetaan, lalu beliau mengatakan: “di negeri itu ada sembilan kekuatan atau sembilan kelompok yang kerjanya hanya merusak dan tidak pernah memperbaiki.” (QS An-Naml: 48). Perhatikan, Nabi Sholeh menyebut sembilan, bukan sepuluh, bukan delapan. Artinya, akurasi. Beliau membaca dengan tepat semua kelompok kekuatan anti-kebaikan yang ada di masyarakat itu. Kemudian, beliau mengatakan kelompok. Dia tidak mengatakan individu yang berarti adanya jaringan. Pernyataan beliau memiliki muatan pemahaman yang lain, bahwa untuk menghadapi masalah ini diperlukan kekuatan yang seimbang dengan kekuatan tersebut. Kita umat Islam gampang sekali dimobilisasi karena kita punya niat baik. Kita ikhlas dan tulus. Kita orang- 32

Lima Visi Perjuangan Keumatan orang yang jujur. Tapi yang namanya membuat kekuatan yang riil itu tidak terjadi hanya dengan demonstrasi atau unjuk kekuatan fisik sesaat. Itu adalah pekerjaan akumulasi yang panjang dan terus-menerus. Jika kita ingin melakukan perubahan dalam sistem politik, partai politik adalah tangganya. Melalui partai politiklah kita melakukan perubahan. Tentu saja akan ada pertempuran dalam usaha melakukan perubahan. Kita juga realistis tidak bisa melakukan perubahan terhadap semua hal sekaligus, tetapi inilah jalan yang dibuat oleh sistem untuk membuat perubahan. Karena itu, pekerjaan rumah paling berat bagi umat Islam saat ini adalah bagaimana mengubah semangat dan militansi kita, yang kadang-kadang berubah menjadi angkara murka di jalanan, menjadi kekuatan kerja, semangat bekerja, kerja dalam diam tapi terus-menerus. Dengan itulah nanti kita akan punya kekuatan yang riil. Coba kita lihat. Misalnya, ketika kita melakukan perubahan dalam bidang ekonomi. Ini tidak bisa hanya dilakukan dengan memberikan umat Islam akses kepada permodalan, misalnya akses perbankan. Mahathir Mohamad pernah melakukan ini di Malaysia tapi kenyataannya, orang-orang paling kaya di Malaysia tetap saja bukan orang Melayu. Padahal, dukungan negara sudah penuh kepada orang Melayu. Mengapa? Karena masalahnya bukan di situ. Ada masalah lain, yaitu budaya. Bagaimana mengubah budaya kerja. Di sinilah kita melihat tantangan terbesar kita saat ini adalah membangun satu 33

Anis Matta arus karakter baru, yang diintegrasikan ke dalam sistem politik, sehingga kita mengintegrasikan antara kerja keras dan sistematika dalam bekerja. Empat hal inilah yang menjadi arah perjuangan umat Islam di Indonesia. Kita jaga kedaulatan negara; kita pertahankan platform berbangsa, yakni falsafah negara Pancasila dan bentuk NKRI; kita isi platform besar itu dengan agama, demokrasi dan kesejahteraan; dan kita sebagai umat mayoritas di sini harus menggabungkan antara mayoritas kuantitas dan mayoritas secara kualitatif. Artinya, umat Islam yang mayoritas secara jumlah ini juga menjadi kekuatan mayoritas dalam bidang ekonomi dan politik. Ini membutuhkan suatu proses kerja yang berkesinambungan, sistematis, dan terus-menerus. Semangat sesaat tidak akan mengubah nasib kita. Perjuangan inilah yang dimaksud Allah SWT dalam surat Ar-Ra’d (13:11): “… Allah tidak akan mengubah keadaan satu kaum sampai mengubah apa yang ada pada diri mereka ....” Perhatikan teksnya. Allah menggunakan kata kaum di awal. Ini artinya komunitas. Namun, pada bagian berikutnya menggunakan “diri-diri mereka sendiri”. Allah memecah komunitas itu menjadi individu mengatakan: apa yang ada dalam diri mereka itu adalah cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak. Kita mulai dengan perubahan pada visi perjuangan kita. Visi ini sama dengan arus. Jika kita bikin sungai, 34

Lima Visi Perjuangan Keumatan kita membuat arus dan kita berikan arah. Setelah itu baru airnya mengalir dengan deras. Jika kita tidak punya visi, air tidak akan mengalir dan ketika jumlahnya banyak akan jadi masalah. Air itu akan tergenang di situ karena tidak mengalir dan bisa mengalami pembusukan. Tujuan dari visi adalah untuk membuat arus mengalir. Dan bagaimana caranya membuat umat Islam di Indonesia ini yang punya potensi besar ini mengalir? Visi inilah yang kita perlukan. Kelima, menjadikan Indonesia sebagai kekuatan utama dunia Saya ingin menambahkan poin yang kelima. Karena Indonesia ini adalah negara Islam terbesar di dunia, maka adalah tugas kita juga untuk berusaha sedapat mungkin menggabungkan antara mayoritas kuantitas dengan mayoritas secara politik dan ekonomi. Kita punya tugas sejarah lain, yakni bagaimana menjadikan Indonesia sebagai kekuatan utama dunia. Kita memiliki modal dan legitimasi untuk menjadi salah satu kekuatan utama dunia: sebagai negara dengan Produk Domestik Bruto yang masuk dalam 20 besar dunia (karena itu kita masuk dalam kelompok G20), posisi strategis sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, populasi Muslim terbesar, dan pengalaman demokrasi. Jika saja para pemimpin Indonesia mampu memainkan “catur” diplomasi dan geopolitik secara cantik, tentu kita bisa menjadi negara yang berpengaruh di kawasan dan dunia. 35

Anis Matta Indonesia memiliki basis legitimasi untuk memimpin dunia Islam, terutama dalam memecahkan masalah- masalah konkret seperti perubahan iklim, krisis pangan, dan sistem keuangan yang lebih adil. Namun, ini semua belum terwujud karena para elite tidak memiliki visi dan kemampuan untuk mengubah semua potensi itu menjadi aset yang membawa kemakmuran rakyat dan memperkuat posisi tawar Indonesia di panggung dunia. Seperti yang pernah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan: langit kita terlalu tinggi, tapi kita terbang terlalu rendah. Jadi waktu kita mengatakan ide tentang bagaimana menjadikan Indonesia sebagai lima besar dunia, inilah cara berpikirnya. Karena ini adalah tugas sejarah Indonesia. Sekali lagi, ini memerlukan pemikiran yang mendalam, semangat bekerja dalam diam. Militansi harus kita terjemahkan dalam jam kerja dan produktivitas. Baru akan kelihatan output-nya. Dengan arah seperti ini insya Allah umat Islam yang seperti air yang besar akan mengalir deras dalam satu arus baru. Arah inilah yang selalu saya sebut sebagai arah baru. Tentu ketika kita menerjemahkannya dalam langkah- langkah politik yang bersifat teknis dan operasional, pasti akan banyak perbedaan di situ. Namun, saya percaya ruang toleransi kita akan luas manakala kita sepakat pada ide-ide besar ini terlebih dahulu. Insya Allah kita bertemu bukan sekadar dalam momen politik, tetapi bertemu 36

Lima Visi Perjuangan Keumatan dalam ide dan narasi yang sama untuk mengokohkan agama kita di Indonesia dan membesarkan Indonesia dalam kepemimpinan global yang akan datang. Semoga Allah meridai perjuangan kita. 37

Anis Matta Profil Penulis Muhammad Anis Matta lahir di Welado, Bone, Sulawesi Selatan, pada 7 Desember 1969. Ia adalah cendekiawan Muslim Indonesia yang mendalami dunia pemikiran dan praktik politik secara beriringan. Perjalanan pendidikannya unik dan sebagian dijalani secara otodidak. Mengikuti orang tuanya yang berdagang di Tual, Maluku, Anis menempuh pendidikan dasarnya di SD Katolik Mathias di kota itu. Ketika keluarganya kembali ke Makassar, ia melanjutkan pendidikannya hingga SMA di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Gombara, Sulawesi Selatan. 38

Lima Visi Perjuangan Keumatan Pada 1986 ia masuk kuliah di jurusan syariah pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), Jakarta, sebuah perguruan tinggi Islam di bawah naungan Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, Arab Saudi. Setelah merampungkan studinya pada 1992, ia sempat menjadi dosen agama Islam di Program Ekstensi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dunia pemikiran dijalaninya dengan menulis artikel, buku, dan memberi ceramah dalam forum-forum diskusi nasional dan internasional. Anis kerap diundang menyampaikan pemikiran khususnya dalam isu-isu geopolitik dan dunia Islam di Mesir, Aljazair, dan Maroko, dan banyak negara lagi. Di pentas politik nasional, Anis pernah menjadi anggota DPR RI pada periode 2004-2009 dan Wakil Ketua DPR RI 2009-2013. Sejak awal Anis banyak menuangkan gagasan tentang Islam dan demokrasi serta dialektika antara agama dan negara dalam alam demokrasi, seperti yang dituangkannya dalam buku Menikmati Demokrasi (2002). Sejarah dan nasionalisme juga menjadi perhatian Anis karena dua hal itulah yang membentuk wajah Indonesia hari ini. Dalam buku Gelombang Ketiga Indonesia (2014), Anis membagi perjalanan sejarah Indonesia menjadi beberapa tahapan penting sebagai cara untuk menyusun peta jalan masa depan Indonesia. 39

Anis Matta Anis selalu yakin bahwa Indonesia dapat menjadi negara yang besar dan berpengaruh karena memiliki semua potensi dan legitimasi yang dibutuhkan, mulai dari jumlah penduduk, luasnya negara, ukuran ekonomi, jumlah populasi Muslim yang besar, hingga pengalaman panjang dalam pergulatan nasionalisme dan demokrasi. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah suatu Arah Baru Indonesia, agar negara yang kaya ini betul-betul menjadi kekuatan utama dunia. Dengan gagasan itu, Anis bersama sejumlah tokoh mendirikan Partai Gelombang Rakyat Indonesia atau Partai Gelora Indonesia pada 28 Oktober 2019. Partai ini melewati fase-fase awal yang krusial di tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Namun, Anis dan Partai Gelora menawarkan mimpi besar untuk mewujudkan Indonesia menjadi kekuatan kelima dunia. Kuncinya, menurut Anis, adalah optimisme dan kolaborasi dari semua anak bangsa untuk bersama-sama menjadikan Indonesia sesuai dengan kapasitas dan martabatnya yang sejati. 40

Lima Visi Perjuangan Keumatan Buku-buku Anis Matta Menikmati Demokrasi (2022) Membentuk Karakter Cara Islam (2003) Mencari Pahlawan Indonesia (2004) Dari Gerakan Menuju Negara (2006) Integrasi Politik & Dakwah (2007) Serial Cinta (2008) Delapan Mata Air Kecemerlangan (2009) Gelombang Ketiga Indonesia (2014) Gelora Muda Anak Bangsa (2019) Haji: Catatan & Refleksi (Juli 2021) Pesan Islam Menghadapi Krisis (Oktober 2021) 41


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook