Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore 1614302394-publikasi-Mindful+Parenting

1614302394-publikasi-Mindful+Parenting

Published by sasmoyohermawan, 2021-03-24 08:57:55

Description: 1614302394-publikasi-Mindful+Parenting

Search

Read the Text Version

ANAK JADI MUDAH BERSOSIALISASI LHO.. MASA MANUSIA MAHLUK SOSIAL DIKURUNG AJA DIDALAM RUMAH. 104

Rasa bahagia yang didapat ketika bermain membuat anak-anak juga ingin teman-teman sekitarnya ikut bermain dan berbagi bersama. Nah ketika bermain mereka punya tujuan yang sama dan mereka sadar bahwa mereka tidak bisa main sendirian dan butuh kebersamaan. 105

LEBIH BISA MENGENDALIKAN EMOSI Jangan main-main lho emosi yang negatif kalau dipendam bisa meledak!!!! Gak mau kan????? 106

Pernah dengarkan kasus anak yang berprestasi bunuh diri??? Kog bisa? Dan menurut analisa psikolog dikarenakan anak tidak tahu bagaimana mengenali emosi dalam dirinya sehingga tidak pandai mengatasi keadaan yang tidak sesuai dengan kondisi biasanya. Nah ketika bermain bersamalah anak-anak akan melewati masa sedih , marah ketika berebut mainan, apalagi dipukul sampai nangis. Bolehkah ????? yang penting dalam batas tidak membahayakan. 107

Dengan melewati kondisi demikian disitulah anak belajar tentang : - Kecewa - Sedih - Marah - Berbagi - Empati kesel Dll KERENKAN ???? Makanya jangan kerem anak di dalam rumah 108

LEBIH BISA BEREMPATI????? JELAS LAH YAW KAN SETIAP KONDISI DIAMATI, DIPELAJARI DAN DIPRAKTIKKAN 109

Anak yang bahagia karena bermain pasti ingin mengulanginya dan dia akan terus ajak teman temannya untuk bermain bersama. Bahkan ketika ada temannya yang tidak bisa bermain, mereka rela untuk tidak bermain karena teman mainnya harus menjalankan konsekuensinya. Dari sinilah benih empati bertumbuh karena merasa senasib. 110

LEBIH DISIPLIN SAMA WAKTU ??? TAK USAH DITANYA. 111

Sebenarnya ini kesempatan yang tepat buat menanamkan disiplin pada anak, mereka akan melakukan apa sajaagar bisa memenuhi keinginan bermainnya. Kadang bingung juga ya, kog anak seusia Matthew yang belum genap 8 tahun dan tidak bawa jam tangan untuk melihat waktu, namun selalu tepat waktu pulang ke rumah (tepatnya sebelum Magrib). Karena ada konsekuensi yang telah disepakati, maka muncul pengendalikan diri yang sangat alami yang berhubungan dengan waktu. KETEPATAN WAKTU ITULAH AWAL DISIPLIN 112

BOLEH APA SAJA MAIANNYA ???? Pisau ? Pedang ? Pistol ? Main api (lilin) Naik tangga Ih... Kog serem banget. Jika sudah tanamkan 4 chips dalam diri anak semua itu jadi tidak serem. Kesempatan ajak anak berpikir secara logis dan tunjukkan ada solusi yang baik untuk semuanya lewat praktek langsung. 113

1. PISAU Pisau di ciptakan buat apa ? Buat memotong buah, sayur dan daging untuk kebutuhan hidup manusia sehari hari. Tetapi jika ada yang pakai pisau untuk membunuh apakah itu salah pisaunya ? Tentutidak bukan? Dan jelaskan fungsi pisau itu, apa kegunaannya, bagaimana kita perlu berhati-hati karena tajam. Jika perlu perlihatkan dan ajak mereka gunakan pisau untuk motong sayur maupun buah. 114

2. PEDANG Nah kebetulan anak-anak saya waktu itu tahu kalau pedang digunakan untuk perang melawan monster (notabene saat mereka itu monster jahat) dan ulangi tentangfungsi pedang sesuai dengan yang mereka ketahui. Bahkan aku buatkan pedang dengan gunakan bahan sisa kayu dari customer-ku dan merangkainya. Cara memberikannya juga dengan cara kreatif dan unik. Aku buatkan peta buta dan nitip di pos satpam. Setelah mereka mencari dan menemukan di pos satpam mereka dapat pembelajaran yang sangat luar biasa. - Melawan rasa takut - Kreatif dengan peta buta - Berbagi sama teman - Dan gunakan pedang hanya untuk permainan dan tidak menyakiti sesama teman. 115

3. PISTOL Jelaskan kegunaan pistol adalah untuk polisi menjaga keamanan dan hanya polisi yang boleh memilikinya, bisa diskusi dengan film yang sedang ditonton sehingga anak anak lebih masuk diskusinya. Ternyata saat ada permainan mereka mengerti kog kalau menembak itu hanya menembak lawan karena mereka diajarin untuk berpikir yang baik. 116

4. NAIK TANGGA Aduh khawatir jatuh tidak sih ? Pasti khawatir, nanti sajalah kalau anak sudah besar. Jika mereka bisa dilatih dan diajari dari kecil mengapa harus tunggu sampai besar? Itu prinsip suamiku. Julian 1 tahun lebih dikit diajari naik tangga yang cukup tegak dan tinggi. Setelah sampai diatas, papanya ngajari dia putar pantatnya dan turunnya mundur. Bukan perkara salah atau benar, tetapi yakinkan anak tahu bagaimana cara turun yang aman. Toh setelah besar dia juga mengerti bagaimana turun tangga yang seharusnya. Minimum dia benar belajar bahwa keamanan dirinya harus dia yang jaga dan bagaimana harus berhati-hati. Ternyata benar adanya anak sekecil apapun bisa dididik dan diberikan rasa tanggung jawab. Nenek Babyboomers-nya teriak teriak tidak lagi jadi kendala karena dia yakin dirinya mampu. 117

5. MAIN LILIN KENAPA TIDAK ? Aku juga sama pertama melihat Julian pegang lilin yang nyala spontan aku berteriak karena takut Julian sakit karena api dari lilin itu. Saat aku teriak pertanyaan suami cukup tegas “Li, apakah Julian sudah pernah kena panas lilin?” Sambil mikir saya jawab “belum”. “Lho kog kamu teriak-teriak? Dengan pandangan bingung karena tidak bisa berargumen. 118

Tak lama kemudian namanya juga anak-anak Julian pegang lagi dan benar tangannya kena api dan kesakitan. Suami dengan sangat santai : “sekarang ambilkan odol dan oleskan ke tangannya”. Dia dekatin lilin itu ke Julian sambil minta Julian untuk memegangnya dan Julian jawab “emong, tet (tidak panas). Dalam hati iya juga ya, anak belum tahu panas akuyang ambil pusing berlebihan. Anak belajar merasakan apa yang ada. 119

MAIN BANJIR GAK SALAH KOG Aku punya pengalaman main banjir yang sangat unik ketika kecil. Karena aku bahagia, maka ketika Jakarta terendam air th 2006, saya melihat anak- anak kami Julian dan Matthew ada di atas loteng hanya menyaksikan banjir, saya suruh turun dan main banjir seperti Mama kecil. Dan lucu sekali dengan pikiran kecilnya dia menolak dengan halus. “Mama airnya kotor”, begitu penolakan halusnya. “Nanti bisa mandi pakai sabun, cepetan turun”, semangatnya aku ajak mereka turun untuk merasakan main banjir. 120

Akhirnya jebol juga ketahanan mereka dan mereka main banjir dengan bahagia sampai anak tetangga keluar semua, dan saya dimarahin tetangga. Tetapi kesempatan itu saya pakai untuk diskusi sama mereka atas apa yang mereka lihat langsung. Saya bawa mereka jalan ke sekeliling dan bertanya apa yang menyebabkan terjadinya banjir? 121

Menurut mereka karena: - Masyarakat yang buang sampah sembarangan - Masyarakat yang tidak jaga lingkungan dengan mene- bang pohon sembarangan - Gak memperlakukan sampah dengan bijaksana. Terus setelah lihat ke dapur umum mereka bertanya apa itu dan kesempatan yang sangat bagus untuk menjelaskan pentingnya kepedulian terhadap sesama dan gotong-royong serta empati. Dari situ mereka bisa merasakan bagaimana kondisi yang rumahnya kena banjir dan apa yang bisa dilakukan untuk menolong. 122

“Mama kenapa mereka tidur dan masak disitu?”, tanya Julian dan Matthew. “Karena rumahnya lebih rendah disana dan terendam banjir, jadi mereka tidur dan makan bersama di dapur umum ini. Mereka saling tolong menolong “begitu penjelasan sederhanaku. Ternyata sekembalinya dari sana, Julian dan Matthew berinisitif menyumbangkan kaosnya yang dirasa sudah sempit ke anak-anak yang ada dipengungsian sebagai rasa empatinya. 123

MEREKA BISA DIDIDIK BEREMPATI JIKA MEREKA MELIHAT SECARA LANGSUNG DAN MERASAKANNYA. 124

125

126

PENUTUP DARI BUDIMAN GOH Keluarga adalah miniature dari sebuah bangsa. Bangsa yang kuat berakar dari keluarga yang harmonis. Saya selalu miris membaca data-data KDRT dalam laporan komprehensif yang ditulis oleh sebuah lembaga, belum lagi angka pecandu narkoba di kalangan anak dan remaja yang semakin tinggi. Orang tua menyalahkan guru, guru menyalahkan orang tua. Keadaan pun tidak menjadi lebih baik dengan saling menuding. Bahkan bisa menjadi warisan yang sungguh memprihatinkan bagi masa depan bangsa Indonesia. Berangkat dari rasa cinta terhadap bangsa Indonesia yang konon adalah bangsa besar (terbukti dari peninggalan arsitek sejarahnya yang luar biasa), kami menggali kembali falsafah dan kearifan yang pernah diwariskan oleh nenek moyang kita. Berbagai literature telah kami telaah, berbagai diskusi kecil kami laksanakan untuk memberikan warna bagi pola pengasuhan dalam keluarga yang bernapaskan pada kesadaran (eling). 127

Eling merupakan padanan kata yang kami rasa paling cocok dengan konsep-konsep parenting berlandaskan mindfulness yang kini mulai banyak dikembangkan diluar negeri. Membawa kembali kesadaran kita dalam pola asuh dalam keluarga seyogianya adalah esensi mindful parenting. Orang tua dan anak kemudian berlatih untuk saling menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing. Dalam hubungan mindful parenting, orang tua memberikan suri teladan dengan melakukan praktik-praktik yang memungkinkan terciptanya atmosfer yang kondusif bagi keluarga untuk dapat mengembangkan sikap saling menghargai, mendengarkan dengan sepenuhnya, berperilaku dan berbicara dengan welas asih, tidak menghakimi, tidak berlebihan dalam bertindak, serta dapat mengendalikan diri dan mematangkan emosi. Hal tersebut di atas hanya dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas “eling” tiap individu dalam keluarga. Tentu hal itu harus dimulai dari orang tua terlebih dahulu. “Anak adalah peniru yang hebat,” demikian kata Melly Kiong. 128

Tentu orang yang ditiru pertama kali adalah orang tuanya. Orang tua yang dapat menerapkan mindful parenting dalam kesehariannya akan melahirkan generasi masa depan yang hebat. Hebat karena memiliki kualitas manusia yang diharapkan untuk menjadi saka guru bagi pembangunan bangsa Indonesia. Saatnya kita menjadi malu untuk melihat praktik korupsi dalam negeri ini, miris melihat narkoba yang merajalela, menangis melihat bangsa besar ini ternyata masih terjajah oleh warisan budaya penjajah. Mari kita mulai dari diri kita, keluarga kita, dan lingkungan kita. Kami yakin bangsa ini akan menjadi bangsa yang kuat dan kukuh. Budiman Goh, Pembina Yayasan Karakter Eling Indonesia 129

PROFIL PENULIS Melly kiong adalah seorang ibu Rumah Tangga yang lahir dari sebuah keuarga sederhana di Kota Singkawang (Kalimantan Barat). Lika-liku perjalanan hidupnya membuat dirinya berani bermimpi untuk selamatkan anak Indonesia lewat peran orangtua dalam Keluarga. Kepedulian yang sangat nyata dalam gerakannya mengajak orangtua berubah dengan nempraktekkan Mindful Parenting eMKa dengan terbentuknya komunitas Menata Keluarga (eMKa). 130

Keyakinannya jika orangtua berubah maka akan bawa perubahan dalam keluarga. Jika semua keluarga berubah, maka masyarakat akan menjadi berkualitas. Masyarakat yang berkualitaslah menbuat negara jadi kuat. Semoga sebatang lilin yang dinyalakan seorang Melly Kiong mampu menyalakan seribu lilin lainnya sesuai dengan motto hidupnya.. smile, Mell Kiong 131



9 786239 225537