Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore KISAH SANG PETANI HATI ISI

KISAH SANG PETANI HATI ISI

Published by sasmoyohermawan, 2021-02-23 05:24:58

Description: Kisah-kisah reflektif pendek tentang sembarang lir alias segala hal tentang hidup

Search

Read the Text Version

Kisah Sang Petani Hati ataupun membangun karakter anak- anak negeri ini. Dan itu harus kami lakukan di tengah gempuran per­ kem­bangan jaman yang seperti sekarang ini. Dulu kami dihormati karena kami tahu lebih banyak dari apa yang diketahui anak didik kami. Lha sekarang, mereka tahu jauh lebih banyak dari kami. Jadi kami sekarang ora kajen, tidak dihormati. Belum lagi, kami harus membangun karakter, tapi yang dipertontonkan di TV dan koran tiap hari, isinya tidak berkarakter, tidak mendidik. Kasarnya kami harus membangun di tengah orang-orang yang kerjanya merusak. Boro-boro mem­ bantu. Mau minta bantuan orang tua anak saja susah. Semua menganggap pendidikan gratis, semua diurus negara”, ganti Pak Guru berpanjang lebar mengeluh. “Lho lho lho, Pak Guru ini, malah lebih panjang dari saya keluh kesahnya”, Kang Moyo tertawa. “Wah iya ya. Saya juga kebablasen”, Pak Guru ikut tertawa. “Ya intinya sepertinya sama Kang. Kang Moyo mau tetap menanam tapi janganlah kiri kanan dibangun gedung, janganlah sampah dibuang ke sawah, janganlah air dihalangi masuk ke sawah, sediakanlah pupuk dengan harga yang terjangkau, jagalah harga waktu masa panen”, lanjut Pak Guru. “Waa lha kalau Pak Guru bisa bikin itu, kami angkat dadi ratu, jadi penguasa”, sahut Kang Moyo. “Berarti Pak Guru maunya guru bisa tetap dihargai, orang lain ikut membantu mendidik dan 39

Kisah Sang Petani Hati TV koran menampilkan yang bisa membantu Pak Guru membangun karakter anak-anak, bukan malah merusaknya. Begitu Pak Guru?” kelakar Kang Moyo. “Waa lha kalau Kang Moyo bisa bikin itu, kami angkat jadi menteri pendidikan”, Pak Guru ganti tertawa. “Ah Pak Guru ini, kok malah tiru-tiru saya lho”, Kang Moyo tersipu, ”Wong bodho kok jadi menteri, nanti malah gawe aturan aneh-aneh, yang penting kelihatan ampuh, hebat. Kelihatan ampuh ya, bukan ampuh beneran”. “Wis lah Kang, nanti malah ngrasani orang lain. Saya pamit dulu. Nanti saya terlambat, potong gaji, mati lah saya. Honorer kayak saya tidak kurang masalah. Pun, matur nuwun teh dan jadahnya”, Pak Guru berjalan menuju motornya. “Iya Pak Guru, ati-ati di jalan”, sahut Kang Moyo. Pak Guru melambaikan tangan sambil menghidup­ kan motornya. Suara berisiknya memecah pagi yang sunyi. Perlahan motor itu meninggalkan Kang Moyo. “Pak Guruuuu, selamat hari pendidikan yaaa. Jangan menyerah”, teriak Kang Moyo. “Kamu juga Kangggg”, Pak Guru berteriak membalas. -=⌘=- 40

Jadilah Daun, Daun Yang Bersari Jadilah daun, daun yang bersari Yang menyerap sinar Sang Mentari Yang sadar dengan sang akar yang memberinya sari Yang mengolah sari pati dengan bantuan Sang Mentari dan daun lain yang bersari Yang bersama daun lain yang bersari membentuk buah pada pohon tempatnya berdiri Yang senantiasa menebar oksigen murni pada makhluk lain di bumi Jadilah daun kering, daun tanpa sari Yang merasa menyerap sinar Sang Mentari sendiri Yang tidak mau peduli dengan akar yang memberinya sari Yang terbakar habis hanya karena sepercik api Yang lantas menghanguskan seluruh pohon tempatnya bersandar diri Daun kering dan daun bersari Pilihan masing - masing pribadi Berdasar akal budi dan nurani

‘Krambil Urip’– Kelapa Si Simbol Hidup “Kene leyeh–leyeh kene sik To, ngaso dhisik,”ajak Kang Moyo suatu siang. “Iya Kang, memang sudah saatnya istirahat. Sudah setugel dina, separuh hari, kita macul tanpa henti,” sahut Parto. “Si Partini tadi kasih bekal ‘intip krawu’– kerak nasi dicampur parutan kelapa dan garam, sama teh panas, Kang. Mari dinikmati seadanya, toh lauk paling enak itu ya rasa lapar,” lanjut Parto. “Wah malah istimewa itu, sudah lama gak ketemu,” senyum Kang Moyo sambil mengepal ngepal ‘intip krawu’ nya. “Pas kelapanya,” serunya begitu kepalan ‘intip’ nya masuk ke mulut. “Ngomong–ngomong soal kelapa. Kelapa memang luar biasa ya, Kang. Benar–benar ‘migunani’, berguna seluruh bagiannya, bukan hanya buahnya, sampai ke batang dan daun serta pelepahnya saja bisa dimanfaatkan,” kata Parto dengan mulut penuh ‘intip’. “Kamu betul To, memang kelapa ini pohon istimewa. Tetapi ada satu hal yang lebih hebat lagi dari si kelapa ini,” lanjut Kang Moyo. “Apa itu Kang?” si Parto bertanya–tanya. “Habiskan dulu ‘intip’ mu, nanti malah mubazir. Kita ini ‘kere’, cuma buruh tani, jadi kalau bisa jangan

Kisah Sang Petani Hati sampai ada makanan terbuang percuma,” jawab Kang Moyo. Lalu mereka berdua pun sibuk mengunyah ‘intip krawu’ mereka dengan nikmat. “Wis Kang, gek ndang cerita, sudah tidak sabar saya.,” seru Parto tidak sabar sesaat setelah makanannya habis. “Iya, sabar ya,” Kang Moyo menyahut, sambil nyruput tehnya, “Segerrrr”. “Kelapa ini bisa menggambarkan keseluruhan siklus hidup manusia,” Kang Moyo mengawali ceritanya. “Lir e Kang? Kok isa?” Parto menyela. “Mari kita lihat. Sebelum akhirnya jadi buah kelapa yang besar, bagaimana bentuk kelapa itu?” Kang Moyo balik bertanya. “Maksud Kang Moyo, kembang kelapa, manggar gitu?” jawab Parto. “Betul, manggar, si kembang kelapa. Di tahap ini, calon buah kelapa ini sangat rapuh, kena angin sedikit saja gogrok, runtuh. Bukankah mirip dengan awal kehidupan manusia?” kata kang Moyo. “Weh iya ya. Mirip dengan calon manusia. Bayi dalam kandungan, ada gangguan sedikit saja bisa tidak jadi,” sahut Parto manggut–manggut. “Setelah lolos dari manggar, lalu jadi apa To?” lanjut Kang Moyo. 43

Kisah Sang Petani Hati “Bluluk Kang, berbentuk kelapa namun dalam ukuran kecil, paling segenggam saja,” jawab Parto dengan cepat. “Betul lagi To. Bluluk memang sudah berbentuk seperti kelapa, namun belum ada manfaatnya. Paling buat main–main atau hiasan saja. Selain itu, juga masih sering ‘gogrok’ - jatuh - saat kena gangguan sedikit saja. Mirip dengan anak kecil ya To. Belum banyak memberi manfaat, lebih banyak main–main saja’” jelas Kang Moyo. “Wah, bener juga Kang. Lalu setelah itu kan jadi ‘cengkir’, buahnya sudah agak besar, sudah berisi air, namun belum berdaging, itu berarti siklus berikutnya?” Parto tidak sabar lagi. “Iya To, istilah jaman sekarang menginjak usia remaja itu si cengkir. Dari fisiknya sudah mulai nampak dewasa, tetapi isinya belum ada, kalaupun ada, belum bisa dimanfaatkan,” jawab Kang Moyo lugas. “Baru setelah itu, mereka jadi ‘degan’ alias kelapa muda. Ingat gak kamu waktu masa SMA, umur 17 an? Hidup itu indah, manis, nyenengke. Persis ‘degan’ kan? Manis airnya, nikmat rasa dagingnya? Dari sisi fisik pun, kelihatan hijau segar dan kencang,” goda Kang Moyo. “Haha, Kang Moyo bisa saja. Berarti sekarang Kang Moyo ini kelapa tua, kering, berkerut–kerut,” balas Parto. 44

Kisah Sang Petani Hati “Kamu tidak salah To. Aku memang kelapa tua. Kulitnya sudah tidak segar, tidak kencang lagi. Sudah kelihatan bercak–bercak, malah di sana sini kering penuh keriput, dagingku juga sudah tidak enak dimakan. Tapi kan santanku banyak. Saat kita tua, sudah bukan fisik kita yang dimanfaatkan. Tetapi sari pati kita, pengalaman, pemikiran dan ‘iguh pertikel’ - pertimbangan kita yang bermanfaat buat orang lain,” jawab Kang Moyo tenang. “ Wahhhh jiannnnn, Kang Moyo ini mengelak sambil nyekak saya,” lanjut Parto sambil tersipu malu. “Tapi sebentar Kang, sekarang lihat anak–anak di dusun kita. Masih SMP saja sudah dandan, bedakan, lipenan, pakai sandangan yang ‘methet methet’. Mereka itu ‘cengkir’ atau ‘degan’ Kang?” “’Cengkir’ tetapi bertingkah seperti ‘degan’. Menya­ lahi waktu, ‘nggege mangsa’, terburu–buru sebelum waktunya. Kan tidak beda dengan Yu Gini kae, sudah tuwek keklek, masih dandan kaya cah enom, mukanya ditarik sana sini. Kelapa tua yang masih ingin terlihat seperti ‘degan’ yang hijau seger dan kencang tadi,” sahut Kang Moyo sambil menggerutu. “E e e e e, lha kok pas sekali ya penjelasan Kang Moyo ini, luar biasa,” seru Parto. “Lha terus, kalau kayak anak ePakde Jito, si Adi yang kemarin meninggal kecelakaan itu? Bisa dijelaskan dengan si kelapa ini?” 45

Kisah Sang Petani Hati “Kelapa kan tidak semuanya jatuh karena tua. Ada juga yang jatuh karena angin, dimakan tupai, samber geledek dan sebagainya. “ balas Kang Moyo, “ Seperti kita ini, kalau gak cepet–cepet pulang, bisa disambar geledek wong mendungnya sudah gelap gini.” “Eh, iya ya. Ayo Kang, segera pulang. Matur nuwun sudah berbagi cerita tentang si kelapa. Seperti biasa, kata–kata Kang Moyo selalu mak thes, pas banget,” sahut Parto. “Iya To, sudah yuk, segera pulang,” Kang Moyo menjawab singkat. -=⌘=- 46

Kerbau Bule Pagi-pagi Kang Moyo sudah sibuk menghela Si Bolot, kerbaunya. Awal musim hujan seperti ini memang waktu yang baik buat Kang Moyo untuk membajak sawah. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara yang memecah kesunyian. “Suara montore Sutris kae!” pikirnya. Dan benar, sejurus kemudian, motor Sutris melintasi ‘galengan’-jalan setapak di sela-sela lahan persawahan. “Lik, ndherek langkung, permisi lewat yaaa!”serunya. “Mbok mampir ta Tris. Gogok, jagongan sik kene, kok kesusu temen.–Duduk, ngobrol dulu sini, kok terburu- buru bener!” sahut Kang Moyo. “Nggih Lik”, Trisna menghentikan motornya, lalu duduk di atas batu besar di pinggir sawah Kang Moyo. “Pagi-pagi sudah mau selesai membajak sawah, wiwit jam pira je Lik?” tanya Trisna. “Lebar subuh-lepas subuh tadi”, jawab Kang Moyo seraya memarkirkan Si Bolot. “Mau ke mana ta Tris kok terburu-buru?’ “Ya mau ke sawahnya Simbok, ke mana lagi kalua gak ke situ? Iya sebenernya juga masih ngantuk, semalem baru pulang lepas tengah malam”, keluh Trisna. “Lho, lha saka ngendi? Dari mana?” Kang Moyo penasaran.

Kisah Sang Petani Hati “Nganter Simbok, nunggu Kyai Slamet lewat, mau ngalap-mencari berkah”, Trisna menjawab malas. “Kyai Slamet siapa ta?’ Kang Moyo tambah penasaran. “Kyai Slamet, kerbau bulenya Kraton Solo. Semalam kan Kyai Slamet diarak keliling keraton. Jadi penuh orang di sepanjang jalan menunggu si kerbau lewat. Biasa Lik, nunggu lewat, mau ngelus elus, bahkan menunggu kotoran dan kencingnya”, jelas Trisna. “Woalah, masih pada nunggu itu ta?” Kang Moyo sambal mengangguk. “Tetep Lik. Begitu keluar kotoran dan kencingnya, berebut semua, dorong mendorong, desak mendesak, tanpa jijik meraup si kotoran dan kencing untuk dibawa pulang”, lanjut Trisna sambil tersenyum. “Weleh weleh, itu punya Si Bolot saja banyak di kandang, tinggal ambil sebanyak yang mereka mau”, Kang Moyo menyahut sinis. “Ya itulah Lik, kotoran dan kencing si kebo bule kan dianggap bisa menyuburkan sawah, memberi panen berlimpah, pokoknya bertuah lah”, kata Trisna. “Nah itulah, orang begitu percaya dengan si kebo bule. Karena bule lalu ditunggu, dielu elukan, dijadikan rebutan, bahkan kotoran dan kencingnya pun dipakai rebutan. Sebegitu percayanya dengan si bule. Apa gak ada yang mikir bahwa Namanya kebo, mau bule mau nggak ya sama saja, telek uyuhe padha 48

Kisah Sang Petani Hati wae. Kotoran dan kencingnya ya sama saja. Aku malah lebih percaya Si Bolot ini yang kuat membajak sawah, bahkan seharian sekalipun. Kotoran dan kencingnya juga sudah kubuktikan menyuburkan sawahku ini ta Tris”, lanjut Kang Moyo panjang lebar. “Wah wah, Lik Moyo kok terus emosi. Wis ah, saya tak ke sawah dulu. Ini punyanya si bule sudah menunggu mau ditabur ke sawah”, jawab Trisna. “Tapi saya setuju lho Lik, kebo bule sama kebo ndesa sama saja. Telek dan uyuhnyayasama,tidakadayangperludilebih-lebihkan”. “Ya wis kana. Bilang sama Simbok, itu kotoran dan kencingnya Si Bolot banyak, gak usah nunggu si bule”, Kang Moyo mengakhiri. “Siaappp”, sahut Trisna sambil memacu motornya. -=⌘=- 49

Luku dan Traktor, Gelas dan Gentong “Ndherek langkung Kang Moyo”, sapa Mas Guru siang itu sepulang sekolah. “Eh, Mas Guru, kondur?” sahut Kang Moyo. “Iya Kang. ‘Mluku’–membajak sawah, Kang? Kok gak pakai traktor saja ta Kang? Bukannya lebih cepet dan lebih rapi hasilnya?” lanjut Mas Guru seraya turun menuntun sepedanya menyusuri ‘galengan’–pematang sawah. “Sini lah Mas Guru, mampir dulu di gubuk, sambil ngobrol-ngobrol. Ada wedang anget sama ‘balok’– isitlah kampung Kang Moyo untuk singkong goreng”, ajak Kang Moyo. “Wah, kalau ada teh dan balok, saya harus mam­ pir’, kelakar Mas Guru sambil memarkirkan sepedan­ ya di pinggir gubuk. “Iya Mas Guru, saya memang lebih memilih mluku pakai sapi daripada traktor”, Kang Moyo meneruskan obrolan sambil menuang teh dari ‘omprong’–tempat airnya. “Lho kenapa Kang?” sahut Mas Guru ingin tahu. “Memakai traktor memang cepet dan rapi. Tapi traktor hanya mbalik lapisan tanah di atas saja, tidak mampu menusuk tanah sampai dalam. Jadi yang dibalik hanya sedikit lapisan tanah”, jelas Kang Moyo.

Kisah Sang Petani Hati “O gitu, saya malah baru tahu. Tak pikir sama saja, yang penting tanah diaduk-aduk saja”, Mas Guru menjawab sambil ‘ngemplok’–melahap si balok. “Ya gitu Mas Guru. Banyak yang mengira begitu kok. Traktor lebih cepet, lebih rapi, jadi bisa segera ‘nandur’–menanam. Tetapi sebenarnya adukannya tidak ‘uli’–seksama. Bagian dalam tanah yang mungkin lebih ‘loh’–subur tidak bisa bercampur dengan tanah yang sudah kurang subur, sehingga tanaman nantinya ya kurang bagus”, lanjur Kang Moyo dengan mulut penuh ‘balok’. “Woo, jadi banyak petani ‘mburu’ cepet saja ya Kang. Wah sayang no”, Mas Guru mencoba menyimpulkan. “Mluku ini memang lebih lama. Tapi saya ini kan nandur. Namanya nandur, ya jangan kesusu keburu. Hanya karena butuh waktu lebih lama, bukan berarti hasilnya tidak akan lebih baik ta Mas?” Kang Moyo menjawab sambil ‘nyruput’ teh nya. “Wahh, kok saya jadi mak ‘gregel’ gitu ya? Kok saya tiba-tiba berasa kena sentil ya sebagai guru?” seru Mas Guru tiba-tiba. “Lho kenapa Mas Guru? Saya kan bicara tentang ‘mluku’?” giliran Kang Moyo penasaran. “Oo bukan apa-apa Kang. Saya tiba-tiba mikir tentang saya sendiri. Saya ini mulang-mengajar kadang ya tidak ‘sranta’–tidak sabar. Menganggap bocah-bocah yang mikir kelamaan kualitasnya tidak sebaik yang 51

Kisah Sang Petani Hati cepet nampa, cepet ‘mudheng’–menerima. Yang penting semua paham dalam waktu yang telah ditentukan, ada target-target yang sudah ditetapkan”, keluh Mas Guru. “Wooo gitu, ya mirip kalau begitu”, sahut Kang Moyo. “Iya Kang. Harusnya ya kayak Kang Moyo tadi. Lebih baik mendalam dan ‘uli’, walau butuh waktu lebih lama daripada cepet tapi hanya di permukaan saja. Ke depannya yang mendalam tadi kan lebih siap ditanduri daripada yang hanya di permukaan”, sesal Mas Guru. “Bener kuwi Mas Guru. Tapi kalau buruh tani seperti saya kan punya mandor. Nah, mandor ini yang sering tidak paham dan punya target sendiri yang seringkali juga tidak sesuai dengan kondisi maupun tujuannya”, sambung Kang Moyo. “Weh jangan salah, Kang. Saya juga jadi buruh e orang lain. Para orang pinter di atas sana pengine juga hasil yang cepet dan ukuran-ukuran yang belum tentu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Pokoke mirip kayak ngisi air di gelas ini lho Kang”, Mas Guru terus mengoceh. “Lha ini saya gak paham. Kok kayak ngisi air barang?” Kang Moyo bingung. “Iya, banyak orang kan lebih milih ngisi air di gelas. Cepet isi dan kelihatan kalau terisi. Coba ngisi 52

Kisah Sang Petani Hati gent­ong air, males lah. Lama penuhnya dan belum tentu kapan penuhnya. Padahal yang gentong air kan punya kemampuan menyimpan jauh lebih banyak air daripada gelas”, jelas Mas Guru. “Weh weh weh, kalau gak denger sendiri dari Mas Guru, saya tidak akan paham juga ini. Intine bocah kan beda-beda ta Mas? Ada yang kayak gelas ada yang kayak gentong ya? Ada yang cepet tapi isine sedikit, ada yang lama tapi isinya jauh lebih banyak. Bener ra Mas Guru?” ujar Kang Moyo sambil manthuk-manthuk. “Lha, Kang Moyo sudah lulus. Mari Kang, dirayakan kelulusannya sambil minum tehnya”, canda Mas Guru. “Halah Mas Guru ini lho”, Kang Moyo tersipu malu. -=⌘=- 53

Mati Untuk Memberi Hidup Hari masih pagi, namun Kang Moyo sudah bekerja di kebun Ndoro Bei, salah satu tuan tanah di tlatah ini. Hari ini Kang Moyo didaulat ‘neres’ beberapa pokok jati yang akan dibeli oleh Ndoro Sinder. ‘Neres’ adalah menghentikan atau mengurangi aliran sari makanan dari akar ke batang dengan cara melukai atau memotong bagian akar utama, khususnya yang nampak di permukaan tanah. Hal ini dilakukan agar ba­tang pohon dapat kering sempurna pada saat akan ditebang, sehingga bisa segera dipergunakan. Baru selesai ‘neres’ 2 pokok jati, Kang Moyo tiba-tiba ‘digeplek’ dari belakang. Kang Moyo terkejut dan sege­ ra menoleh ke belakang. “Eh Ndoro Agung, kaget saya!” serunya. Ndoro Agung adalah anak laki-laki satu-satunya Ndoro Sinder. “Hehe iya Kang. Kang Moyo tekun banget sampai tidak mendengar langkah kaki saya”, Ndoro Agung tersenyum. “Nggih Ndoro, nyuwun pangapunten”, sahut Kang Moyo. “ Ada apa Ndoro, kok pagi-pagi sudah blusukan ke sini?” “Ya mau melihat pokok jati ini. Kan saya yang mau pakai buat mbangun joglo saya barat kampung ini”, jawab Ndoro Agung.

Kisah Sang Petani Hati “Woo nggih. Mau mbangun joglo lagi ta?” kata Kang Moyo. “Iya Kang, mumpung ada sedikit rejeki, buat investasi. Kalau punya tanah agak luas sedikit apalagi ada joglonya kan lumayan kalau dijual harganya tinggi”, lanjutnya. “Nggih, sumangga kersa, silakan”, Kang Moyo mengiyakan. Ndoro Agung memang terkenal tukang jual beli tanah dan rumah. “Apa Ndoro Agung tidak tertarik menanam pokok jati atau pohon apa gitu di kebun dan tanah kosong milik Ndoro?” tanya Kang Moyo sambil melanjutkan ‘neres’ dengan kapaknya. “Wah, kesuwen Kang. Terlalu lama tumbuh dan nunggunya. Ndak balik modal nanti. Mending begini, beli tanah, ditanduri omah - dibanguni rumah, terus dijual. Cepet dan untungnya lumayan”, sahut Ndoro Agung cepat. “Wis ngono ya Kang. Saya masih ada urusan di kampung lor sana, ada yang mau nglego kebunnya”. “Wo nggih Ndoro, mangga ndherekke”, jawab Kang Moyo. Kang Moyo melanjutkan mengayunkan kapaknya, sambil terus memikirkan perkataan Ndoro Agung. “Ya seperti itulah orang jaman sekarang. Yang banyak dipikir keuntungan jangka pendek saja. Beli 55

Kisah Sang Petani Hati tanah dibanguni rumah rumah lalu dijual. Nanti seluruh tanah penuh rumah, bingung mau menanam padi di mana. Mau menanam pohon di mana. Sambat susah nyari kayu buat bangun rumahnya. Lagian membangun rumah banyak banyak, nanti tidak ditinggali, jadi kota mati, yang tersisa ya hanya bekas bangunan. Mending menanam pohon, kalaupun pohon tumbang, mati, tidak berapa lama akan ada tumbuhan yang menggantikannya, bahkan tumbuh di atas pohon-pohon yang mati itu” Sebelum tengah hari, Kang Moyo sudah selesai ‘neres’, tapi otaknya belum selesai memikirkan banyak hal. “Ah, sudahlah. Buruh sepertiku bisanya juga Cuma berangan angan. Yang penting tak melanjutkan urip sepertipohon-pohonini.Padasaatnyanantiakutumbang dan mati, setidaknya tidak hanya meninggalkan puing-puing, tapi memberi arti dan kesempatan bagi tumbuhan lain untuk hidup, bertumbuh dan bersemi” “Wis, tak ‘udud’ - merokok saja”, kata Kang Moyo dalam hati. -=⌘=- 56

Memanen Apa Yang Ditanam “Kulonuwun, permisi, Kang Samin”, seru Kang Moyo di depan warung Kang Samin di suatu sore. “Eeh Kang Moyo, piye Kang, ada yang bisa dibantu?” jawab Kang Samin renyah. “Iya Kang, mau beli ‘mbako’ - tembakau, buat ‘nginang’ - menyirih, simbok”, lanjut Kang Moyo. Kok jam segini sudah jaga warung Kang?” “Ini, tinggal segenggam ini saja, semoga cukup buat Simbok”, kata Kang Samin,”Iya Kang, lagi ana ‘ontran- ontran’- masalah di sekolah tadi”. “Weleh, serius kayaknya”, jawab Kang Moyo sambil mengulurkan uang untuk membayar tembakaunya. “Ya agak bikin pusing Kang. Duduk dulu lah Kang Moyo, Ibu ne anak anak bikin ‘brangkal’ ini lho, mari dicicipi”, Kang Samin mempersilahkan Kang Moyo duduk di teras, sambil menghidangkan ‘brangkal’ - adonan tepung tapioka berempah yang digoreng dan ditaburi kacang merah. “Dinas itu buat aturan baru. Jadi insentif kami sebagai guru mau diberikan sesuai dengan apa yang sudah kami hasilkan, bukan lagi apa yang kami lakukan saja”, desah Kang Samin. “Piye kuwi maksude?” tanya Kang Moyo “Kok saya ora mudheng, nggak paham”.

Kisah Sang Petani Hati “Dadi selama ini, pokoknya yang penting mengajar sejumlah jam, terus berhak mendapatkan insentif, begitu. Lha kok sekarang, guru harus nulis ini itu, ikut pelatihan ini itu, baru insentif turun”, gerutu Kang Samin. “O begitu, sebentar, coba saya ulangi, bener gak saya. Jadi kalau misalnya guru itu buruh tani seperti saya ini, dulu dibayarnya sesuai jam kerja saya gitu? Pokoke macul sekian jam terus dibayar, gitu? Pokoke kalau sudah sesuai jam berhak dibayar, gitu?” seru Kang Moyo. “Kurang lebih begitu Kang”, Kang Samin membenarkan sambil garuk-garuk kepala. “Waaa lha ya enak itu?” Kang Moyo berseru cepat. “Lho, diceritai masalah, kok malah gitu ta Kang”, Kang Samin menyahut dengan sebel. “Lha kalau buruh tani kayak saya, dibayare kan sesuai hasil panen, wong tanahnya bukan tanah sendiri. Kalau panen sedikit, ya dapet bagiannya sedikit, banyak ya banyak, gak panen, ya gak dapet apa-apa”, kelakar Kang Moyo. “Lha Kang Samin enak, yang penting ngajar sekian jam, otomatis dapet insentif”. “Ah Kang Moyo ini, kan memang beda profesi kita? Kang Samin membela diri. “Iya, memang. Saya mana mungkin bisa jadi guru ya Kang Samin”, canda Kang Moyo. “Wis lah, yang penting disyukuri wae”, jawab Kang Samin singkat. 58

Kisah Sang Petani Hati “Iya ya Kang”, lanjut Kang Moyo. “Tapi berani gak ya Kang, kalau guru itu ditantang untuk dihargai sesuai hasil dari apa yang dilakukannya gitu? Mendapatkan hak dari kewajiban yang memang betul-betul sudah dilakukan dan nyata hasilnya, seperti kami dibayar sesuai panen yang kami hasilkan?” -=⌘=- 59

‘Memilih Senjata dengan Bijak’ Esuk-esuk, pagi-pagi, Kang Moyo sudah leyeh- leyeh di gubuk sawahnya. Matanya masih mengantuk karena nonton wayang semalaman tadi malam di balai desa. Pikirannya ngelantur ke mana-mana, sampai kepada perang Bratayuda wayang tadi malam. “Mikir apa ta Pak?” tiba-tiba Ito, anak lanangnya menepuk pundaknya. “Duh, ngaget-ngageti saja le, ya mung berhandai- handai aj. Bab wayang tadi malam. Masih ingat betapa hebatnya perang senjata di wayang tadi malam, le”, lanjut Kang Moyo. “O, itu. Aku ya mikir tentang itu je Pak. Tapi mung­ kin beda dengan bapak”, Ito menyahut sambil menuang teh panas untuk bapaknya. “Sebenarnya sama dengan wayang, manusia modern mempunyai ‘senjata’ untuk ‘menyerang’ siapa­ pun yang mereka anggap musuh sesuka hati. Melalui status, pesan singkat, dsb. di media sosial mereka bisa saling menyakiti atau bahkan ‘membunuh’. Jika menggunakan perumpamaan cerita pewa­ yanga­n, manusia modern lebih memilih ‘gandewa’ alias panah atau ‘tumbak’ alias tombak sebagai senja­ ta. Dengan kedua senjata tersebut mereka mampu menyerang dari jarak jauh. Sebuah cara yang sebenarnya

Kisah Sang Petani Hati pengecut. Mereka mampu mengkritik manusia lain tanpa harus takut terluka oleh senjata mereka sendiri. Gandewa panah hanya akan menyakiti tangan, ujung tombak pun hanya bagian yang tumpul yang akan mengenai sang pengguna. Saat manusia modern bertatap muka secara lang­ sung - ‘adu arep’ kata orang Jawa -, senjata mereka sembunyikan. Lalu mulailah mereka memasang topeng topeng untuk berpura-pura atau kalau malas memakai topeng, cukup memakai gembok mulut. Saat manusia berkumpul secara fisik, situasinya tidak seramai dibandingkan saat mereka ‘berkumpul secara virtual’. Sedikit, jika tidak boleh dikatakan tidak ada, manu­ sia berani menggunakan ‘nenggala’ - sebuah senjata mirip tombak tetapi kedua ujungnya runcing. Sebuah senjata yang saat dipergunakan, si pengguna harus ekstra hati hati. Saat menyerang ‘lawan’ dengan satu ujung runcingnya, si pengguna harus juga waspada karena ujung runcing satunya bisa menusuk dirinya sendiri. Saat mengkritisi orang lain, si kritikus juga harus siap dikritik. Sebuah hukum ‘sithik edhing’ atau ‘ringan sama dipikul, berat sama dijinjing’. Benar atau tidak analogi senjata senjata ini, silakan ‘digelar dan digulung’ sendiri, karena itu yang membedakan manusia dengan spesies yang lain”, Ito mengakhiri cerita Panjang lebarnya sambal melahap tempe goreng buatan simboknya. 61

Kisah Sang Petani Hati “Wueh, lha kok entek golek kurang amek, Panjang lebar critamu le. Bapak ra pati mudheng bab modern modern gitu. Tapi setuju dengan pilihan senjata dan sithik edhing itu tadi. Makin titis kowe To”, Kang Moyo menyahut. -=⌘=- 62

Memilih Untuk Tahu Kang Moyo sibuk umak umik, merapal doa di antara para sesepuh dan penari desa yang duduk di sekitar bawah pohon beringin di tengah kampung - pohon beringin terakhir yang masih berdiri sejak pertama kali babat alas membuka desa ini ratusan tahun yang lalu. Begitu Kang Moyo selesai memanjatkan doa, semua lalu bangkit, dan pada saat itu juga “Pung pung pung jing pung, pung jing pung jur …” musik gamelan pun menyentak kesunyian. Serentak rombongan penari yang sejak semula siaga ikut bangkit dan mulai lenggak lenggok mereka. Dan dimulailah tarian Reog Mataraman yang menandai pesta panen juga resmi dimulai. Sebuah pesta yang merayakan keberhasilan para petani di desa mengolah sawah mereka hingga menghasilkan panen padi berlimpah. “Jiannn meriah pesta panen kita beberapa tahun terakhir ini ya Kang Moyo,” seru Jumadi di sore hari. Kang Moyo dan Jumadi sedang melepas penat setelah sehari penuh menari berkeliling desa. “Makin banyak pihak yang terlibat, Ndara Gubermen, Ndara Mantri, Ndara Sinder, Ndara Mandor, lengkap beserta rombongannya berpartisipasi hampir di tiap pesta panen beberapa tahun belakangan ini. Jadi tambah semangat saya njoged tiap tahunnya”, ocehnya.

Kisah Sang Petani Hati “Berapa tahun kamu sudah njoged Reog ini, Di?” Kang Moyo menyela. “Wah sejak mas­ih legan–­perjaka Kang, kira–kira ya 15 tahun yang lalu. Kan Kang Moyo sendiri yang ngajari saya?” jawab Jumadi terheran–heran. “Iya Di. Kamu masih ingat tarian ini tentang apa?” lanjut Kang Moyo. “Ya pasti lah Kang, luar kepala. Ini tentang prajurit putih yang mewakili kebaikan, melawan prajurit hitam yang mewakili kejahatan. Di awal prajurit putih kalah, namun akhirnya prajurit hitam bisa ditumpas oleh prajurit putih beserta pasukannya. Sama saja prajurit yang pakai kuda lumping ataupun tidak alurnya seperti itu. Kenapa ta Kang Moyo ini?” jelas Jumadi sambil meneruskan keheranannya. “Ora papa Di. Bagus kamu masih ingat. Tarian ini memang seperti yang kauceritakan tadi. Kebaikan melawan kejahatan. Kali ini kita memang merayakannya di pesta panen ini. Kita sudah berhasil mengalahkan hal– hal yang tidak baik yang mungkin bisda menghalangi atau mengurangi panen padi kita. Itulah kenapa kita menari keliling di dusun - dusun dan di akhir setiap tarian di dusun kita membawa persembahan hasil panen dusun tersebut. Itulah hasil kemenangan kita sehingga tahun ini kita bisa melaksanakan pesta panen lagi,” sahut Kang Moyo. 64

Kisah Sang Petani Hati “Lalu kenapa Kang Moyo tanya saya?” lanjut Jumadi gusar. Kang Moyo me­ nyu­lut rokok lin­ thing­nya, meng­hi­ sap­nya kuat–kuat, lalu menjawab,” Tadi aku mendengar tamu–tamunya Nda­ ra Ndara itu berta­ nya tentang tarian itu. Dan para Ndara gla­gepa­ n ndak bisa jawab. Ndara Mandor yang di­ dhaw­uhi untuk menjawab pun memberikan penjelasan yang salah. Pokoknya yang penting tarian bagus dan kita semua bersenang– senang. Gitu saja pada akhirnya”. “O gitu ya Kang? Kok bisa ndak tahu ya Kang. Padahal mereka kan sudah mengikuti pesta panen sejak mereka lahir,” Jumadi ikut menggerutu. Kang Moyo menghisap rokoknya lagi kuat–kuat sambil mengeryipkan mata. “Yang penting meriah, yang penting seneng–seneng, yang penting lancar. Rata–rata orang jaman sekarang memang hanya melihat wadhag nya, melihat fisiknya. Malas menganalisa dan 65

Kisah Sang Petani Hati mencari filosofi, mencari nilai–nilai yang terkandung di dalamnya, tidak mau neges, mencari makna nya. Hasilnya ya walaupun sudah melakukan sebuah kegiatan berulang kali, tidak juga paham makna dan tujuannya. Bagiku mereka bukan tidak tahu. Mereka memang memilih untuk tidak tahu.” “Gitu ya Kang, saya kok juga baru sadar,” desis Jumadi. “Apa arti melakukan sesuatu apalagi berulang kali, tanpa tahu makna dan tujuannya ya Di?” kata Kang Moyo sambil nyecek, mematikan rokoknya. “Wis yo, kita lanjut. Berangkat kita ke balai desa. Persembahan hasil bumi lambang kemenangan kita ini harus kita nikmati bersama seluruh warga desa,” sergah Kang Moyo. “Siapppp Kang, lanjut sampai malammmm,” jawab Jumadi lantang. Semangatnya terbarukan oleh makna yang baru ia temukan. Hidup adalah tentang mencari makna dan memaknai hidup. Hidup memang harus filosofis. -=⌘=- 66

Pelatihan, Menyemai Bibit Ide “Aku pulang’, seru Ening sambil membuka pintu rumah sore itu. “Saka ngendi ta Nok?” sahut Kang Moyo. ‘Nok’ berasal dari kata ‘dhenok’, panggilan masyarakat Jawa untuk anak perempuan. “Pelatihan Pak. Di Pendopo Kabupaten”, jawab Ening singkat. “Pelatihan apa Nok?” lanjut Kang Moyo. “Pelatihan pembuatan media pembelajaran anak SD. Ening kemarin minta uang Simbok buat ndaftar karena pengin belajar itu, biar makin jago mengajar”, jelas Ening. “Jago kan jantan. Kamu kan wedok, ‘babon’ lah!” canda Kang Moyo. ‘babon’ adalah sebutan untuk ayam betina. “Ih bapak, dijelaskan betul malah nggak serius”, Ening sebel. “Iya, bapak guyon saja kok. Cuma bapak gak dong, apa itu media pembelajaran? Petani macam bapak ya tahunya media tanam” Kang Moyo menenangkan anaknya sambil melanjutkan obrolan. “Ya pokoknya apapun yang bisa dipakai untuk memb­antu murid-murid supaya lebih mudah mem­ pelajari sesuatu. Itu sederhananya”, kata Ening serius.

Kisah Sang Petani Hati “Terus sekarang sudah bisa buat sendiri?” Kang Moyo melanjutkan. “Ya belum dicoba ta Pak, kan baru pulang. Tapi sudah ada bayangan. Tinggal memindahkan apa yang sudah Ening coba di sekolah”, jawab Ening. “Aku kok njur dadi mikir ta Nok?” Kang Moyo menyahut lirih. “Mikir apa meneh ta Pak?” gentian Ening ingin tahu. “Itu pelatihan-pelatihanmu itu lho. Kan rata-rata kamu mendapat pengetahuan baru, pemahaman baru, ngelmu baru. Pas pelatihan sudah dicoba sedikit- sedikit”, Kang Moyo menjawab. “Iya, simulasi istilahnya”, Ening mengiyakan. “Iya itulah, apapun istilahnya. Berarti kan mirip kerjaan bapak nandur ta? Bapak menyemai benih padi. Merawatnya dengan sebaik-baiknya sampai tumbuh dengan baik sampai jadi bibit. Lalu memindahkannya ke sawah. Menanamnya saja di persemaian tidak akan membuatnya panen. Gitu lho Nok”, jelas Kang Moyo. “Iya juga ya Pak. Saya belajar ilmu baru, ide baru, terbukti bagus di pelatihan, tetapi tidak akan berguna jika tidak menggunakannya di sekolah Ening. Menyemai benih, jadi bibit yang baik, tapi tidak memindahkannnya ke sawah kan tidak akan menghasilkan panenan ya Pak”, sahut Ening mencoba menyimpulkan. 68

Kisah Sang Petani Hati “Nahhh gitu, baru anakku sing puinter puinter dhewe, sing ayu ayu dhewe, sing wedok wedok dhewe”, canda Kang Moyo memuji Ening. Ening pun tersipu malu, “Wis ah, bapak ra mutu”. -=⌘=- 69

Mewakilkan Proses Kehidupan? Seiring perkembangan jaman, manusia mempunyai kesempatan untuk melengkapi diri mereka dengan berbagai fasilitas yang memudahkan berbagai pro­ ses dalam kehidupan mereka. Seiring itu pula, ketergantungan mereka terhadap orang lain menjadi berkurang. Dan perlahan tapi pasti entitas manusia sebagai makhluk sosial pun terkikis dan bergeser ke arah manusia yang individualis. Berbagai proses yang tadinya melibatkan interaksi langsung antar manusia digantikan ataupun diwakili oleh berbagai fasilitas yang ada. Dan lama kelamaan, fenomena mewakilkan ini merasuk ke berbagai bagian kehidupan manusia. Ucapan suka cita maupun duka cita diwakili pesan singkat. Ekspresi marah diwakilkan oleh emoticon. Kegiatan gotong royong diwakilkan kepada uang atau asisten rumah tangga. Kehadiran seseorang pun acapkali diwakili oleh tandatangan yang dilakukan oleh orang lain. Bahkan yang sekarang marak, proses refleksi maupun memotivasi diri pun diwakilkan kepada motivator. Celakanya fenomena mewakilkan ini juga mem­ pen­ garuhi dunia pendidikan. Banyak kasus di mana (hanya) satu sekolah didukung habis habisan oleh pemerintah daerah dan berbagai pihak lain, kemudian

Kisah Sang Petani Hati sekolah tersebut dianggap mewakili kualitas sekolah sekolah di daeah tersebut. Faktanya sekolah sekolah yang lain sulit bahkan hampir tidak mungkin mensejajarkan diri dengan sekolah tersebut. Proses proses belajar mengajar seringkali menggunakan cara cara perwakilan ini. Pengembangan kapasitas guru yang seyogyanya diikuti oleh semua guru, diwakilkan kepada guru guru muda atau guru guru honorer yang belum mendapatkan posisi yang ‘mapan’. Akibatnya banyak guru yang secara kualifikasi stagnan, tidak berkembang dan cenderung di bawah standar kualifikasi yang ditentukan. Proses pengembangan kapasitas yang lain juga tidak luput dari hal ini. Proses penulisan karya ilmiah, thesis bahkan disertasi diwakilkan kepada orang lain entah dengan menyewa mereka untuk menulis atau dengan ‘mengambil’ atau ‘mencomot sana sini’ karya orang lain. Akibatnya kemampuan mengembangkan karya ilmiah tidak dipunyai oleh si pembelajar. Di sekolah menengah, berbagai proses belajar yang mungkin sudah dikuasai sebelumnya dimentahkan dengan berbagai trik dan jalan pintas yang mereka pelajari di berbagai kursusan dan bimbingan belajar. Proses menemukan trik dan jalan pintas tersebut diwakilkan kepada para tutor dan pembimbing mereka. 71

Kisah Sang Petani Hati Akibatnya para pelajar negeri ini ‘hanya’ hebat saat ditanyai, dan lemah saat harus mempertanyakan yang sedianya menjadi awalan sebuah proses pembelajaran. Apakah hal yang sama terjadi di pendidikan dasar? Tidak sulit mencari contoh di level ini. Pembicaraan di ruang kelas lebih banyak diwakilkan kepada guru padahal adalah peserta didik yang seharusnya belajar untuk mengekspresikan diri mereka. Akibatnya tidak ban­ yak peserta didik yang mampu mengekspresikan dirinya dengan baik di level ini. Proses pembuatan tugas maupun pertanyaan sepenuhnya diwakilkan 72

Kisah Sang Petani Hati kepada guru. Konsekuensinya, peserta didik hampir tidak pernah melakukan proses belajar secara mandiri, mereka lebih banyak mengerjakan tugas. Tidak ada tugas berarti tidak belajar. Masih banyak contoh contoh lain bagaimana proses proses yang seharusnya dilakukan sendiri oleh peserta didik tetapi pada prakteknya prses proses tersebut dilakukan oleh orang lain.Proses proses pengembangan diri seharusnya dilakukan secara pribadi oleh setiap individu. Dalam konteks dunia pendidikan, tugas guru kemudian adalah memfasilitasi proses pengembangan diri tersebut. Proses proses mempertanyakan, mencari jawaban, menemukan masalah dan menemukan solusi sedapat mungkin dilakukan oleh si pembelajar Mari kita kembalikan proses proses kehidupan ini kepada si pembelajar, kita bantu pembelajar memam­ pukan diri mereka agar mampu hidup lebih baik. -=⌘=- 73

Petani Tanpa Pesta Panen Setelah satu lenguhan lirih saat meregang punggung, sepotong ubi rebus dan segelas teh hangat, Sang Petani beranjak dari balai balai bambu peristirahatannya. Hari ini hari yang istimewa. Cucuran peluh dan darah, kerja dan doa Kang Moyo, Sang Petani di lahan garapannya sudah saatnya dipanen. Hamparan palawija garapan Sang Petani memberikan hasil yang melimpah. Tanpa basa basi Sang Petani mengayunkan sabit ke kanan dan ke kiri. Sejengkal demi sejengkal panenan dikumpulkan dengan telaten. Tiada boleh sedikitpun palawija tercecer jika tidak mau mendengar ‘nyanyian merdu’ makian Ndara Sinder, sang mandor. Genggam demi genggam, ikat demi ikat, pikul demi pikul, gerobak demi gerobak penuh palawija ‘mengalir’ masuk ke lumbung Ndara Wedana, sang tuan tanah. “Malam nanti kita pesta”, seru Ndara Wedana ke Ndara Sinder, “Siapkan semuanya”. Dan keringat belum lagi kering, punggung belum lagi lurus, penat belum lagi berkurang, Sang Petani harus menerima perintah menyiapkan ‘ubarampe’ pesta panen nanti malam. Menjelang senja, obor-obor sudah mulai dinyalakan gamelan sudah mulai ditabuh, tembang para sinden sudah mulai mengalun, tamu -

Kisah Sang Petani Hati tamupun sudah mulai berdatangan. Pesta panen pun dimulai. Rumah Ndara Wedana dipenuhi gelak tawa para tamu. Ndara Wedana terlihat asyik berbincang dan bercanda tawa dengan Ndara Gubermen, penguasa wilayah ini. Berulang kali Ndara Gubermen melontarkan pujian kepada Ndara Wedana atas berhasilnya panen palawijanya. Ndara Wedana mencoba merendahkan dengan balas memuji Ndara Sinder yang dianggapnya sudah bekerja dengan sangat baik. Dan Sang Petani? Sang Petani seperti biasa, duduk balai - balai bambunya di bagian belakang kawedanan, jauh dari hingar bingarnya pesta panen. Ia merenung sambil memijat dan mengoleskan parem pada tangan, tubuh dan kakinya. Sang Petani tidak mengeluh karena seorang petani penggarap tidak punya hak untuk itu. Sang Petani tidak hadir pada pesta panen itu karena seseorang dari kastanya tidak boleh terlihat bersama para tamu agung. Namun Sang Petani tidak mengeluh. Sang Petani adalah Sang Petani Hati. Sang Petani Hati paham bahwa seperti layaknya tukang bangunan yang membangun rumah, adalah pemilik rumah - bukan tukang bangunannya- yang akan dipuja puji dan diselamati atas kemegahan rumahnya. Sang Petani Hati paham bahwa panen adalah 75

Kisah Sang Petani Hati milik Ndara Wedana dan penghargaan adalah milik Ndara Sinder. Sang Petani Hati paham bahwa yang penting baginya adalah mencurahkan segenap akal budinya untuk menghasilkan panenan yang melimpah. Sang Petani Hati yakin bahwa hasil panenannya pada akhirnya akan dinikmati banyak orang, walaupun dirinya tidak; tapi hati dan sukmanya iya. Maka Sang Petani Hati akan terus menanam sepenuh hati, walau tidak punya hak menikmati pesta panen di akhir hari. - Selamat Ulang Tahun, Pak Petani - -=⌘=- 76

Petani yang Menghormati Masa Setelah seharian penuh membajak sawah garapan milik Ndara Wedana, Kang Moyo dan Kang Ngatiman mengi­stirahatkan raga mereka di gubuk kecil di pinggir sawah. Secangkir kopi pahit, selinting rokok dan sing­ kong rebus buatan Yu Ngatini, istri Kang ngatiman, me­ ne­mani saat istimewa yang jarang mereka dapatkan itu. “Ada apa Man, kok kelihatannya suntuk begitu?” Kang Moyo memecah kesunyian sore itu. “Biasanya kamu ceriwis seperti burung kutilang di pagi hari”. “Nggih Pakde, saya itu kepikiran anakku Ngatino”, sa­hut Kang Ngatiman. “Sebab?” tanya Kang Moyo pen­ dek. Kang Ngatiman lalu memulai keluh kesahnya. “Si Ngatino ini sejak awal katanya tertarik mau jadi petani yang bener, yang winasis, yang mumpuni. Lha ini saya dan Ngatini sudah ajari tiap hari sejak dia kecil,

Kisah Sang Petani Hati kok sepertinya belum bisa apa-apa. Dari pagi sampai sore, kami ajari, dari membajak sawah, menebar benih, memupuk, menyiangi, merawat tanaman, sampai memanen. Malamnya juga masih kami nasehati berbagai hal tentang bertani, kok ya belum juga bisa. Membajak sawah terlalu lambat, menebar benih tidak rata, memupuk kalau nggak terlalu banyak ya kurang atau tidak rata, menyiangi tidak bersih, memanen pun tidak telaten. Kok tidak seperti Ngadino dan Ngamini kakak-kakaknya. Waktu mereka seumur Ngatino, mereka sudah bisa mandiri menggarap sawah. Makanya sekarang sudah dipercaya menggarap sawah Ndara Wedana di kampung sebelah. Saya dan Ngatini sampai kehabisan akal, harus bagaimana lagi”, Kang Ngatiman mengakhiri kisahnya dengan menarik nafas panjang. “Bagaimana menurut Pakde Moyo?” Kang Moyo malah menjawabnya dengan manggut– manggut sambil tertawa terkekeh–kekeh. “Lho Pakde ini bagaimana, diceritai dan ditanyai serius, malah ‘ketawa ketiwi’,” sungut Kang Ngatino. “Oalah Man, Man, kamu ini kok lucu bener?” sahut Kang Moyo. “Lho kok malah lucu ta Pakde?” Kang Ngatiman makin panas. “Coba dengarkan ya. Kamu tahu padi gogo, padi genjah dan padi padi varitas lain kan?” Pakde Moyo memulai penjelasannya. “Tahulah Pakde, wong sejak kecil itu saja yang dipelajari”, sahut Kang Ngatiman 78

Kisah Sang Petani Hati cepat. “Bentuk tanamannya lain, masa tanamnya lain, masa panennya lain, bentuk bulir padinya juga lain. Pokoknya padi padi itu punya ciri sendiri lah, tidak bisa disamakan.” “Lha itu tahu. Apa lumrah kalau kamu berharap padi gogo bisa dipanen seperti padi IR punyanya Ndara Gubermen yang 5 bulanan itu? Terus apakah kalau kamu sering mengomeli benih atau tanaman padi gogo dan genjahmu itu, lalu padimu itu lebih cepat besar, lebih cepat panen begitu?” ujar Kang Moyo sambil terus tertawa. “Weladalah, saya kok ndak mikir sampai segitu ya? Betul juga kata Pakde Moyo ini. Ngatino kan bukan Ngadino, bukan Ngamini. Saya dan Ngatini salah selama ini. Kemarin malah sudah sampai kami maki– maki si Ngatino ini. Oalah Ngatiman, Ngatiman, orang bodoh ya begini ini,” sahut Ngatiman sambil tersipu malu. “Lha itu tahu. Mosok Ngatino kalah sama padimu. Padimu saja tidak pernah kamu maki–maki lho. Wis lah Man, ayo kita beresi ini, terus pulang. Keburu petang nanti susah kita pulang,” Kang Moyo mengakhiri hari itu. “Iya Pakde Moyo, saya utang maaf sama si Ngatino ini,” Ngatiman mengiyakan. Begitulah, semua memang punya waktunya sendiri. Sudahkah kita hormati? -=⌘=- 79

Saat Angin Besar Datang, Jangan Biarkan Pintu Dan Jendelamu Terbuka Prapto heran dengan Kang Moyo. Di akhir setiap obrolan Kang Moyo dengan siapa saja satu kalimat yang menurutnya aneh. Penasaran, suatu hari Prapto bertanya, Kang, kenapa kok Kang Moyo ini selalu bilang “ Yen pas angin gedhe teka, lawang lan jendhelamu aja dingakke–saat angin badai datang, jangan biarkan pintu dan jendelamu terbuka?” “Ndak papa To. Siapa juga mau mendengarkanku bicara? Apalagi hal yang yidak jelas seperti itu?” sahut Kang Moyo. Prapto garuk garuk kepala. Kang Moyo memang orang cukup dikenal di tlatah ini. Dulu memang Kang Moyo ini pernah melakukan kesalahan yang dianggap besar sehingga banyak orang yang selalu menjaga jarak dengannya. Namun semenjak itu juga, Kang Moyo mencoba hidup sederhana, nebus dosa dengan banyak bercocok tanam di sawah Ndara Gubermen dan di kebunnya sendiri. Hasil kebunnya juga selalu dibagi–bagikannya ke siapapun yang membutuhkannya. Hari berikutnya tiba–tiba Prapto mendengar kabar buruk tentang Kang Moyo. Kang Moyo masuk rumah sakit!!! “Weladalah, ada apa gerangan dengan Kang Moyo?” pikir Prapto

Kisah Sang Petani Hati sambil bergegas mengayuh onthelnya menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Prapto hanya bisa trenyuh, mengelus dada melihat kondisi kang Moyo. Seluruh badan dan mukanya memar dan.penuh luka. “Oalah Kangggg, kenapa kangggg?” raung si Prapto. Yu Giyem, istri Kang Moyo, lalu mengajak Prapto keluar. “Kang Moyo tidak mau cerita To,” ujar Yu Giyem. “Dia cuma bilang bahwa ada yang membiarkan pintu dan jendela terbuka saat angin besar datang. Mbuh apa artinya aku ra dong”. Namun akhirnya dari berbagai cerita Prapto tahu apa yang sudah terjadi. Saat Kang Moyo berjalan lewat depan rumah Karso, orang terpandang yang memang terkenal blak–blakan alias terang–terangan, alias kalau marah ya marah betul, pas baik ya baik betul, sesuatu terjadi. Saat itu kaki Kang Moyo menginjak kerikil tajam. Buru buru Kang Moyo mengangkat kaki untuk memeriksa, sambil tangannya menopang, menempel pada pagar rumah megah Karso yang masih basah kena cat. Karso tidak melihat kaki Kang Moyo namun melihat tangannya menodai cat basah di pagarnya. Karso naik pitam, memaki–maki dan menghajarnya. Kebetulan anak–anak Karso pun bukannya melerai, malah menimpali. Kang Moyo bisa saja melawan dan menghajar semuanya, namun Prapto tahu Kang Moyo sudah berjanji tidak akan menggunakan kemampuannya untuk menyakiti orang 81

Kisah Sang Petani Hati lain. Prapto mbrebes mili, air matanya meleleh di pipi. “Kang Moyo, Kang Moyo, sekarang saya paham Kang. Seseorang membiarkan pintu dan jendelanya terbuka saat angin besar datang. Semoga saya bisa diparingi sabar dan mampu berpikir jernih ya Kang, meski saat angin besar datang,” isaknya. -=⌘=- 82

Kang Moyo yang Tetap Menabur Walau Tak Tumbuh Pagi ini, Kang Moyo berangkat lebih pagi dari biasanya. Di bahu kokohnya Kang Moyo memikul sekarung benih palawija. Sudah sejak panen palawija sebelumnya Kang Moyo menyisihkan butir–butir palaw­ ija yang terbaik, membersihkan, merawat dan menyimpannya dengan penuh perhatian. Setiap butir biji adalah hasil jerih payah seluruh akal budinya pada musim tanam sebelumnya– sari pati dari daya upaya, keringat dan doanya. Hari yang sangat penting adalah hari ini, hari menabur benih–benih simpanannya tersebut. Setibanya di ladang garapannya, Kang Moyo segera menyiapkan benih–benih tersebut. Lalu mulailah taburan benih demi benih di ladang garapan itu. Kang Moyo paham betul bahwa tidak semua benih tersebut akan tumbuh sama suburnya. Akan ada benih yang jatuh pada lubang tanah yang subur, yang kemudian akan bertumbuh dengan baik. Akan ada benih yang jatuh pada tanah keras, yang kemudian akan tumbuh walaupun tidak akan umbuh subur. Akan ada benih yang jatuh pada tanah berbatu yang kemudian akan mengering tanpa pernah tumbuh. Maklum saja, Kang Moyo adalah petani penggarap, tidak mungkin baginya meminta pada Ndara Wedana untuk memberikan

Kisah Sang Petani Hati tanah tersuburnya padanya. Maka dengan berbekal keyakinan bahwa benih yang ditanamnya adalah benih–benih terbaik, Kang Moyo akan terus menabur. Urusan berikutnya adalah urusannya dengan Ndara Sinder alias Ndara Mandor. Ndara Sinder ini orang yang sangat sulit untuk disenangkan hatinya. Jika benih yang ditabur Kang Moyo tumbuh subur, Ndara Sinder akan melihatnya, dan hanya akan bilang,”Memang sudah kewajibanmu menanam dengan baik”. Namun jika benih yang ditabur, tidak tumbuh dengan baik, apalagi tidak tumbuh sama sekali, Kang Moyo akan mendapatkan ‘bebendu’ alias ‘malapetaka’. Ndara Sinder akan memaki habis Kang Moyo. Banjir makian dari seluruh isi kebun binatang hingga seluruh isi hutan harus dengan ‘sukarela’ diterima oleh Kang Moyo. Ndara Sinder tidak akan peduli apakah ladang garapan adalah tanah berbatu, atau lebih seringnya, tidak tahu atau tidak mau tahu. Ndara Sinder tidak akan memaklumi bahwa untuk tumbuh dengan baik, benih harus mendapatkan dukungan pasokan air yang mencukupi. Ndara Sinder tidak akan paham bahwa walaupun tumbuh subur, tanaman palawija harus dirawat, dan dihindarkan dari pengaruh tanaman–tanaman gulma maupun hama yang lain. Tapi Kang Moyo paham itu semua. Dan Kang Moyo adalah Kang Moyo, si petani hati. 84

Kisah Sang Petani Hati Kang Moyo sadar bahwa benih–benih ide yang ia persiapkan lalu ia tabur dengan sepenuh hati dan sepenuh akal budinya tidak semuanya jatuh pada tanah yang subur. Kang Moyo sadar bahwa akan ada benih– benih ide yang jatuh pada tanah keras ataupun tanah berbatu, yang tidak akan tumbuh dengan baik atau tidak tumbuh sama sekali. Kang Moyo paham bahwa untuk tetap tumbuh dengan subur, benih yang ditanam membutuhkan dukungan pasokan air yang mencukupi dan asupan sinar matahari yang berlimpah. Kang Moyo pun paham mengapa Ndara Sinder memaki–makinya. Kang Moyo paham bahwa Ndara Sinder memaki–makinya karena kegagalannya untuk paham. Maka Kang Moyo akan tetap menabur benih sambil berharap benihnya tumbuh berkembang berbuah dan berdaya. Kang Moyo akan tetap menabur benih sambil berharap air akan mengairi lahannya dan matahari akan membantu menumbuhkannya. Kang Moyo Hati akan tetap menabur benih sambil berharap Ndara Sinder akan paham dan berhenti memaki - makinya. Kang Moyo Hati akan tetap menabur benih–benih ide terbaik setulus hatinya walau apapun juga - karena dia adalah Kang Moyo si Petani Hati. -=⌘=- 85

Saringan Akal Budi Dan Nurani Air yang sehat yang seharusnya masuk ke dalam tubuh manusia adalah air murni dengan kandungan mineral yang mencukupi dan mempunyai suhu sesuai dengan suhu tubuh si peminum air. Adalah tugas si peminum air untuk memastikan kondisi kondisi tersebut terpenuhi sehingga dengan kadar air yang cukup, ia bisa beraktifitas dengan optimal. Ibarat air, informasi yang seharusnya masuk ke otak adalah informasi yang telah disaring dan dikon­ di­sikan terlebih dahulu. Informasi, ibarat air, bisa datang dalam kondisi kotor, berlumpur, berbau, de­ ngan kata lain informasi tersebut bisa jadi tidak benar,

Kisah Sang Petani Hati penuh manipulasi, tidak utuh bahkan tidak jelas. Untuk itulah manusia diberi akal budi dan nurani untuk menyaring dan mengolah informasi agar kemudian memicu tindakan yang sesuai juga dengan akal budi dan nurani. Akal budi dan nurani ini jika diaktifkan dan diberdayakan dengan baik sangat mampu menyaring dan mempergunakan semua informasi yang datang. Manusia pada masa kini dihadapkan dengan banjir informasi. Seyogyanya mereka dituntut untuk semakin memberdayakan akal budi dan nurani mereka untuk menyaring seluruh informasi yang datang sebelum mempergunakannya. Persoalan kemudian muncul saat kemampuan akal budi dan nurani yang ada di setiap individu ini sengaja dilumpuhkan, baik secara sadar oleh si empunya yang menganggap hal hal yang mereka percayai tidak perlu disaring dan diolah lagi, atau oleh orang lain yang sengaja melumpuhkan akal budi dan nurani orang lain untuk kepentingan mereka. Apakah akal budi dan nurani kita berdaya? Sudah kah kita memastikan kejernihan seluruh informasi yang memicu tindakan kita? Salam damai -=⌘=- 87

Saya adalah ‘Senthir’ Sore itu, matahari hampir mencapai ufuk barat, aku mengambil ‘senthir’ simbok di dapur, maklum listrik belum bisa mencapai wilayah kampungku. Siapa sangka bahwa begitu ‘senthir’ itu menyala,perjalanan hidup pun dimulai. ‘Senthir’ adalah istilah jawa untuk lampu pelita sederhana yang hanya terdiri dari penampung minyak, sumbu dan penahan sumbu. ‘Senthir’ tidak didesain untuk menerangi seluruh ruangan. ‘Senthir’ hanya akan menerangi area di sekitar ia berada dengan radius hanya satu sampai dua meter saja. Pada mulanya ‘Senthir’ selama bertahun tahun lamanya tinggal di kota. Belajar tentang ilmu nyala api dan kelengkapannya. Setelah mampu memulai nyalanya sendiri dan setelah melihat hingar bingar kehidupan kota dengan berbagai fasilitas dan kenikmatannya, si ‘Senthir’ memutuskan untuk meninggalkan semuanya itu. “Apalah arti nyala ‘senthir’ ku di tengah lampu panjang, obor besar dan api unggun yang menyala sepanjang hari? Dengan semuanya ini, tiada tersisa lagi kegelapan yang akan memberi kesempatan untukku, untuk dibutuhkan. Aku tiada berguna di sini.” Maka si ‘Senthir’ memutuskan untuk pergi ke kampung kampung di ujung angin, ke tempat tempat


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook