Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Ringkasan Disertasi Alfin Hikmaturokhman

Ringkasan Disertasi Alfin Hikmaturokhman

Published by Black, 2022-07-13 03:18:52

Description: Ringkasan Disertasi Alfin Hikmaturokhman

Search

Read the Text Version

UNIVERSITAS INDONESIA PENGEMBANGAN FORMULA BARU UNTUK BIAYA HAK PENGGUNAAN (BHP) FREKUENSI 5G-mmWAVE PRIVATE NETWORK 26/28 GHZ DI KAWASAN INDUSTRI INDONESIA RINKASAN DISERTASI Diajukan untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Teknik Elektro Yang dipertahankan di hadapan Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Indonesia Pada hari Selasa, 5 Juli 2022. Pukul 10.00 WIB ALFIN HIKMATUROKHMAN 1806156304 FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO PROGRAM PENDIDIKAN DOKTOR DEPOK JULI 2022

UNIVERSITAS INDONESIA PENGEMBANGAN FORMULA BARU UNTUK BIAYA HAK PENGGUNAAN (BHP) FREKUENSI 5G-mmWAVE PRIVATE NETWORK 26/28 GHZ DI KAWASAN INDUSTRI INDONESIA RINGKASAN DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Teknik Elektro Yang dipertahankan dihadapan Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Indonesia Pada hari Selasa, 5 Juli 2022, Pukul 10.00 WIB ALFIN HIKMATUROKHMAN 1806156304 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO PROGRAM PENDIDIKAN DOKTOR DEPOK JULI 2022 i

PROMOTOR Prof. Dr.-Ing. Ir. Kalamullah Ramli, M.Eng Guru Besar Tetap pada Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia KO-PROMOTOR Dr. Muhammad Suryanegara, S.T., MSc., IPU Dosen Tetap pada Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia KETUA SIDANG Prof. Dr. Ir. Riri Fitri Sari, M.M., M.Sc. Guru Besar Tetap pada Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI Prof. Dr. Ir. Dadang Gunawan M.Eng. Guru Besar Tetap pada Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia Ajib Setyo Arifin, S.T., M.T., Ph.D Dosen Tetap pada Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia Ibrahim Kholilul Rohman, SE., M.SE., Ph.D Dosen Tetap pada Departemen SKSG Universitas Indonesia Dr. Yohan Suryanto, S.T., M.T. Dosen Tetap pada Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia Dr. Ir. Ismail, MT Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika-SDPPI Kementrian Kominfo ii

KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor pada Program Doktoral Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan disertasi ini , sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: : 1. Prof. Dr.-Ing. Ir. Kalamullah Ramli, M.Eng., sebagai promotor yang telah menyediakan waktu tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam menyusun disertasi ini. 2. Dr. Muhammad Suryanegara, S.T., MSc., sebagai kopromotor yang telah menyediakan waktu tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam menyusun disertasi ini. 3. Dewan Penguji Prof. Dr. Ir. Riri Fitri Sari, M.M., M.Sc, Prof. Dr. Ir. Dadang Gunawan M.Eng., Ajib Setyo Arifin, S.T., M.T., Ph.D, Ibrahim Kholilul Rohman,SE., M.SE., Ph.D., dan Dr. Yohan Suryanto, S.T., M.T. dan Dr. Ir. Ismail, MT (Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika-SDPPI Kementrian Kominfo) 4. Ayahanda Abu Hamid (Almarhum), Ibunda Siti Musliah sebagai orang tua, Bapak Sugeng Riyadi dan Ibu Mu'minah sebagai Bapak dan Ibu mertua, serta Yeti Awaliyah sebagai istri, dan putra-putri Alifah Nuha Salsabila, Aghitsna Halila Marwa dan Muhammad Akmal Syafi, Kakak dan Adik yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan seluruh perhatian, dukungan, mendampingi dan membantu dalam banyak hal. 5. Pimpinan, staf pengajar, dan karyawan Fakultas Teknik dan Departemen Teknik Elektro Universitas Indonesia, atas semua kebaikan dan fasilitas yang penulis terima. 6. Rektor dan jajarannya, Dekan dan jajarannya, segenap pejabat dan rekan-rekan Insitut Teknologi Telkom Purwokerto yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah memberikan dukungan dan ijin untuk melaksanakan tugas belajar dalam menempuh pendidikan doktor. iii

7. Rekan-rekan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia yang sudah meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis. 8. Saudara dan sahabat – sahabat di EC UI khususnya Mba Nuha, Pak Deiny, Pak Nungky dan Pak Ferry, serta rekan-rekan lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan semangat dan doa untuk kelancaran penyusunan disertasi ini. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas kebaikan semua pihak yang telah berkontribusi. Semoga disertasi ini membawa manfaat kepada banyak orang, aamiin Depok, 5 Juli 2022 Penulis iv

ABSTRAK Nama : Alfin Hikmaturokhman Teknik Elektro Program Studi : Pengembangan Formula Baru Untuk Biaya Hak Penggunaan (Bhp) Frekuensi 5G-mmWave Private Network 26/28 Ghz Judul : Di Kawasan Industri Indonesia. Biaya penggunaan spektrum Indonesia, yang disebut dengan Biaya Hak Pengguna Frekuensi Izin Pita Frekuensi Radio (BHP-IPFR), saat ini dihitung berdasarkan formula yang ditentukan oleh tiga parameter utama, yaitu pita frekuensi, parameter ekonomi negara, dan jumlah penduduk secara nasional. Karena biaya penggunaan spektrum sebanding dengan besar bandwidth, maka formula yang berlaku saat ini akan menghasilkan harga yang ekstrim jika diterapkan pada 5G-mmWave private network dan membawa konsekuensi langsung berupa beban biaya bagi operator seluler. Namun, ada potensi keuntungan dari 5G-mmWave private network di kawasan industri. 5G-mmWave private network (26/28 GHz), dengan bandwidth 100 MHz menyediakan cakupan yang lebih kecil kemudian dapat menjadi platform teknologi yang sempurna untuk operasi dan lini produksi di pabrik. Dalam penelitian ini, penulis mengusulkan formulasi biaya penggunaan spektrum baru untuk implementasi 5G-mmWave private network di kawasan industri Indonesia. Metodenya adalah dengan mengevaluasi formula yang ada, mengadopsi framework ITU-R SM.2012-5 (06/2016), dan menggunakan indeks referensi industri, yang disebut skor Indonesia Industry Readiness Index 4.0 (INDI 4.0). Usulan tersebut penulis uji dengan menerapkan formula baru untuk menghitung biaya penggelaran 5G-mmWave private network di kawasan industri Jakarta sebagai studi kasus. Hasilnya menunjukkan bahwa formula baru akan selalu memberikan biaya penggunaan spektrum yang lebih rendah daripada formula saat ini untuk memberikan manfaat bagi setiap operator seluler 5G. Penghematan tersebut dapat dikatakan sebagai subsidi pemerintah bagi operator seluler untuk menerapkan berbagai use case di industri kemudian memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar. Menggunakan model Input-Output nasional dan regional Provinsi DKI Jakarta, penulis membuktikan bahwa meskipun formula baru yang diusulkan membawa biaya penggunaan spektrum yang lebih rendah, yang berarti berkurangnya pendapatan negara, namun akan mendapatkan kontribusi terhadap dampak ekonomi yang jauh lebih besar pada output perekonomian nasional Indonesia dan regional Provinsi DKI Jakarta. Peningkatan prosentase output perekonomian nasional sebesar 0.244% untuk Pulogadung dan 0.336% untuk KBN, sedangkan prosentase output perekonomian regional Provinsi DKI Jakarta sebesar 23.65 % untuk Pulogadung dan sebesar 32.59 % untuk KBN. Dengan menerapkan formula baru tersebut akan memberikan multiplier effect di berbagai sektor dan mendorong pertumbuhan ekonomi digital dan transformasi digital nasional, khususnya bagi industri vertikal v

di Indonesia. Kontribusi penelitian ini tidak hanya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan awal bagi pembuat kebijakan dan operator seluler di Indonesia untuk menerapkan formula baru BHP-IPFR untuk implementasi 5G-mmWave private network pada kawasan industri dan memperkirakan multiplier ekonomi untuk penyebaran 5G di kawasan industri tetapi juga dapat digunakan sebagai kasus benchmark bagi negara lain untuk menerapkan biaya hal penggunaan frekuensi pada 5G-mmWave private network di kawasan industri. Kata Kunci : 5G-mmWave; spectrum usage fee; 5G private network; input– output model; economic impact of 5G vi

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH .................................. iii DAFTAR ISI......................................................................................................... vii DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................ix BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1 1.1. Latar Belakang ..........................................................................................1 1.2. Permasalahan.............................................................................................5 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................................5 1.4. Kontribusi Penelitian.................................................................................6 1.5. Batasan Penelitian .....................................................................................6 BAB II EKOSISTEM DI INDONESIA ..................................................................7 2.1. Mobile Ekosistem, Managemen dan Regulasi Spektrum Frekuensi di Indonesia ..............................................................................................................7 2.1.1. Mobile Ekosistem di Indonesia..............................................................7 2.1.2. Managemen dan Regulasi Spektrum Frekuensi di Indonesia ................8 2.2. Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi ...............................................10 2.2.1. Formula BHP-IPFR .............................................................................10 2.2.2. Formula BHP ISR................................................................................11 2.3. Optimalisasi pemanfaatan spektrum .......................................................11 2.4. Teori Lisensi Spektrum ...........................................................................12 2.4.1. Rekomendasi ITU-R SM.2012-6 (06/2018).........................................12 2.4.2. Model penetapan harga spektrum berlisensi........................................12 2.5. Ekosistem Industri di Indonesia ..............................................................13 2.5.1. Kawasan Industri Pulogadung dan KBN .............................................13 2.5.2. Lima Sektor Industri Prioritas..............................................................14 2.5.3. Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0) ............................14 2.5.4. Tabel I-O Indonesia .............................................................................15 BAB III MODEL BHP-IPFR INDONESIA..........................................................16 3.1. Model BHP-IPFR Indonesia ...................................................................16 3.2. Asal Usul Formula BHP-IPFR Saat Ini ..................................................17 vii Universitas Indonesia

3.3. Penggunaan Indeks Referensi Industri pada usulan Formula Baru BHP- IPFR 18 3.3.1. Hasil dari skor INDI 4.0 ......................................................................18 3.3.2. Mengakomodir Jumlah Tenaga Kerja di Kawasan Industri ................18 3.4. Engineering Economic Model.................................................................19 3.4.1. Asumsi Parameter Engineering. ..........................................................19 3.4.2. Asumsi Parameter Economic ...............................................................20 3.5. I-O Model Indonesia ...............................................................................20 BAB IV FORMULA BARU BHP-IPFR...............................................................22 4.1. Penggunaan Indeks Referensi Industri dan Jumlah Tenaga Kerja pada usulan Formula Baru BHP-IPFR. ......................................................................22 4.2. Hasil Perhitungan antara formula BHP-IPFR saat ini dan formula BHP- IPFR baru pada 5 Industri Prioritas....................................................................23 BAB V PERHITUNGAN ENGINEERING ECONOMIC MODEL 5G- mmWAVE PRIVATE NETWORK DI KAWASAN INDUSTRI MENGGUNAKAN I-O MODEL..........................................................................26 5.1 Model Engineering dan Economic..........................................................26 5.1.1. Perhitungan Link Budget dan Jumlah gNB yang diperlukan berdasarkan cakupan. .....................................................................................26 5.1.2. Perhitungan Link Budget dan Jumlah gNB yang diperlukan berdasarkan kapasitas. ....................................................................................28 5.2 Dampak Ekonomi penggelaran 5G-mmWave private network di Wilayah Industri menggunakan Input-Output Model Tabel Nasional dan Tabel Regional DKI Jakarta. .......................................................................................................32 BAB VI KESIMPULAN DAN PENELITIAN SELANJUTNYA........................37 6.1 Kesimpulan .............................................................................................37 6.2 Penelitian Selanjutnya.............................................................................39 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................40 CURRICULUM VITAE PENULIS ......................................................................46 DAFTAR PUBLIKASI..........................................................................................47 A. Jurnal Internasional .................................................................................47 B. Konferensi Internasional .........................................................................47 viii Universitas Indonesia

DAFTAR SINGKATAN 3GPP : 3rd Generation Partnership Project 4IR : Fourth Industrial Revolution 5GC : 5G Core ACCED : Advanced Connectivity for Community and Economic Development AIP : Administrative Incentive Pricing AR : Augmented reality BHP : Biaya Hak Penggunaan BHP IPFR : Biaya Hak Penggunaan Ijin Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio BHP ISR : Biaya Hak Penggunaan Frekuensi Radio Untuk Izin Stasiun Radio BUMD : Badan Usaha Milik Daerah BUMN : Badan Usaha Milik Negara CAPEX : Capital Expenditure CN : Core Network CPS : Cyber-Physical Systems d’BP EIRP : Jarak break point eMBB : Equivalent Isotrophic Radiated Power EPC : Enhanced Mobile Broadband fc FDD Elvoved Packet Core FR : frekuensi carier FWA : Frequency Division Duplex gNB : Frequency Range h’BS : Fix Wireless Access h’UT : gNodeB HDDP : tinggi antena gNB HDLP : tinggi antena UT IHK : Harga Dasar Daya Pancar IIoT : Harga Dasar Lebar Pita. INDI 4.0 : Indeks Harga Konsumen InH IO Industrial Internet of Things IoT : Indonesia Industry 4.0 Readiness Index IRR : Indoor Hotspot ITU : Input Output JIEP : Internet of Things KBN : Internal Rate of Return LAA : International Telecommunication Union LOS : Jakarta Industrial Estate Pulogadung : Kawasan Berikat Nusantara : Licensed Assisted Access : Line Of Sight ix Universitas Indonesia

MAPL : Maximum path loss allows mmWave : mili meter wave MS : mobile station NLOS : Non Line Of Sight NPV : Net Present Value NR : New Radio NSA : Non Stand Alone OFDM : Orthogonal Frequency Division Multiplexing OH : overhead OPEX : Operational Expenditure PDB : Produk Domestik Bruto PDRB : Produk Domestik Regional Bruto PL : Path Loss PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak PRB : Physical Resource Blocks RB : Resource Block SA : Stand Alone SS : subcarrier spacing TASFRI : Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia TDD : Time Division Duplex UE : User Equipment Umi : Urban Microcell uRLLC : Ultra-Reliable Low Latency Communication UT : User Terminal x Universitas Indonesia

xi Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan komunikasi mobile broadband dari 2G hingga 5G saat ini menuntut pengiriman data dengan data rate yang tinggi dan juga mendorong kebutuhan penggunaan spektrum yang lebar [1] , pada gambar 1.1 ditunjukan evolusi dari mobile broadband dari teknologi 2G sampai dengan 5G. Gambar 1. 1, Evolusi Mobile Broadband (Gambar diambil dari referensi [1]). 5G adalah teknologi terbaru generasi ke-5 yang menawarakan banyak keunggulan dibanding teknologi-teknologi pendahulunya. 5G menawarkan 3 skenario penggunaan yang membutuhkan akses simultan ke low band, mid band dan high band untuk memenuhi kebutuhan kapasitas, latensi, jangkauan, dan kualitas [2], [3], [4]. Frekuensi adalah komponen penting dari komunikasi mobile broadband, terutama dalam 5G. Jaringan komunikasi mobile broadband di masa depan akan memiliki jumlah sel yang banyak dan cakupan yang berbeda-beda, dari sel makro hingga sel mikro. Sel mikro digunakan untuk meningkatkan kapasitas, dan sel makro digunakan untuk meningkatkan cakupan. Dengan semakin berkembangnya teknologi yang muncul, tentunya akan menghadirkan aplikasi-aplikasi yang boros terhadap bandwidth yang akan mengakibatkan operator seluler tidak hanya di Indonesia tetapi diseluruh dunia membutuhkan tambahan frekuensi dan bandwidth yang lebih lebar, Gambar 1.2 menginformasikan bahwa Total trafik data seluler secara global (tidak termasuk trafik yang dihasilkan oleh akses Fix Wireless Access/FWA) diperkirakan mencapai 1 Universitas Indonesia

2 sekitar 65EB per bulan pada akhir tahun 2021, dan diproyeksikan akan tumbuh dengan faktor sekitar 4,4 hingga mencapai 288EB per bulan pada tahun 2027 [6]. Gambar 1. 2 Global mobile network data traffic (EB per month) (Gambar diambil dari referensi [6]) Meningkatnya permintaan dari pengguna mobile broadband untuk layanan data yang tinggi, tentunya membutuhkan lebih banyak spektrum frekuensi yang tersedia di masa depan. Pada gambar 1.3 ditunjukan annual report dari tahun 2011-2020 untuk operator Telkomsel [7] dan XL Axiata [8]. Pada gambar 1.3 sangat jelas terlihat adanya kenaikan penggunaan data sejak tahun 2015. Gambar 1. 3 Penggunaan data oleh pengguna dari Operator Telkomsel dan XL Axiata (Gambar diolah dari referensi[7], [8]) Universitas Indonesia

3 Spektrum frekuensi merupakan sumber daya yang sangat terbatas, regulator di seluruh dunia dihadapkan dengan tantangan besar untuk memastikan pasokan spektrum frekuensi yang cukup untuk layanan yang berbeda-beda serta pengelolaan spektrum tersebut. Banyak negara menggunakan spektrum frekuensi sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Sementara itu, spektrum frekuensi adalah sumber daya terbatas, yang menjadikannya properti yang sangat berharga bagi operator seluler karena jumlah biaya lisensi spektrum yang harus dibayarkan kepada pemerintah [9]. Di Indonesia setiap penggunaan spektrum frekuensi diwajibkan mendapatkan izin dari Pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi sesuai ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku. Salah satu bentuk kewajiban bagi pengguna spektrum frekuensi radio dalam hal ini operator seluler adalah dikenakannya spectrum usage fee atau di Indonesia disebut dengan nama Biaya Hak Penggunaan Izin Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio (BHP-IPFR) yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pendapatan ini adalah pendapatan pemerintah Indonesia yang tidak berasal dari pendapatan pajak. Pada tahun 2018, BHP tersebut menyumbang 5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) negara. Kontribusi terhadap PDB ini harus diatur dalam formula yang tidak hanya menguntungkan pemerintah, tetapi juga bisnis dalam hal ini, operator seluler. Untuk mendorong penggunaan spektrum frekuensi secara efektif dan efisien maka disusunlah formula tarif Biaya Hak Penggunaan Ijin Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio (BHP-IPFR) yang tidak memerlukan pengawasan dan pengendalian yang kompleks. Kebijakan pemerintah Indonesia telah diterapkan per 29 November 2010 [10] memberlakukan BHP-IPFR pada frekuensi 800, 900, dan 1800 MHz. Penerapan kebijakan ini netral terhadap teknologi, artinya BHP-IPFR tersebut dapat digunakan untuk teknologi apapun (2G/3G/4G). Beberapa penelitian terkait dengan formula spectrum usage fee merujuk pada paper [11], [12], [13]. Ketiga penelitian tersebut menjelaskan bagaimana mengatur formula BHP yang digunakan oleh masing-masing negara, yaitu Taiwan dan Indonesia. Formula BHP yang diterapkan oleh negara-negara ini bervariasi tergantung pada situasi di masing-masing negara seperti kondisi persaingan operator seluler, kondisi geografis, kondisi populasi, kondisi bandwidth, ekspektasi Universitas Indonesia

4 pemerintah atas pendapatan dari biaya penggunaan spektrum, dll. Formula BHP pada paper yang dijelaskan diatas tersebut hanya feasible untuk bandwidth yang terbatas, dengan Frekuensi yang digunakan masih dibawah 3 GHz dan hanya berlaku pada teknologi 2G, CDMA, 3G dan 4G dengan bandwidth yang terbatas (dibawah 100 MHz dalam satu carier), sedangkan pada teknologi 5G, bandwidth yang didukung dapat mencapai 100 MHz pada Frekuensi range 1 dan 400 pada Frekuensi range 2 dengan catatan tanpa kombinasi dengan bandwidth pada band yang sama atau band berbeda. Tujuan masing-masing negara pada penyusunan BHP adalah sama, yaitu untuk merumuskan model BHP yang adil dan netral teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan spektrum. Penelitian yang dilakukan pada paper [14] sudah mulai melakukan penelitian awal terkait adanya private network pada teknologi 5G dengan melakukan pengubahan pada pengambilan populasi, yang semula cakupan populasi adalah nationwide sekarang menjadi kawasan tertentu saja. Sedangkan penelitian yang dilakukan pada tahun sebelumnya oleh peneliti yang sama pada paper [15] juga telah berusaha untuk melakukan valuasi pada private network LTE dan 5G. Dua penelitian tersebut masih dilakukan pada frekuensi 3.5 GHz atau midband dan masih menggunakan bandwidth yang terlalu sempit, yaitu 10 MHz, sehingga hasilnya pun tidak terlalu jauh berbeda dengan teknologi-teknologi sebelumnya. Penelitian terkait regulasi yang dilakukan oleh [16], [17], [18], [19] hanya melakukan penelitian terkait regulasi penggunaan 5G yang mempengaruhi vertical industries dinegara masing-masing, namun belum meneliti regulasi tentang penerapan BHP-IPFR karena adanya private network . Regulator memberikan hak BHP-IPFR eksklusif untuk komunikasi seluler melalui penyediaan akses spektrum kepada operator seluler dalam jangka waktu 10 tahun. Hal ini tentunya tidak mengakomodasi private network yang mungkin dilakukan oleh 5G di daerah-daerah kawasan industri atau kawasan tertentu. Oleh karena itu, akan ada permintaan untuk desain otorisasi spektrum baru yang memungkinkan operator private network untuk berpartisipasi dalam skenario- skenario penggunaan 5G. Universitas Indonesia

5 Oleh karena beberapa hal diatas, penelitian tentang pemodelan formula BHP- IPFR baru pada 5G-mmWave private network penting dan perlu untuk dilakukan, karena formula BHP-IPFR yang telah diterapkan sejak 29 November 2010 [10] sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan teknologi sekarang. 1.2. Permasalahan Dari latar belakang penelitian yang disampaikan, dirumuskan permasalahan yaitu sebagai berikut: a. Biaya Hak Pengguna Frekuensi Izin Pita Frekuensi Radio (BHP IPFR), saat ini dihitung berdasarkan formula yang ditentukan oleh tiga parameter utama, yaitu pita frekuensi, parameter ekonomi negara, dan jumlah penduduk secara nasional. Karena biaya penggunaan spektrum sebanding dengan besar bandwidth, maka formula yang berlaku saat ini akan menghasilkan harga yang ekstrim jika diterapkan pada 5G mmWave pita frekuensi 26/28 GHz dengan bandwidth yang lebar dan membawa konsekuensi langsung berupa beban biaya bagi operator seluler, oleh karena itu diperlukan adanya pemodelan formula baru Untuk BHP-IPFR yang akan di terapkan teknologi pada 5G-mmWave private network di kawasan industri Indonesia. b. Belum adanya analisis perhitungan multiplier effect untuk penggelaran 5G- mmWave private network di kawasan industri Indonesia. Penerapan formula baru akan memberikan multiplier effect di berbagai sektor dan mendorong pertumbuhan ekonomi digital dan transformasi digital nasional, khususnya bagi industri vertikal di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan pemodelan untuk mengetahui efek dari multiplier engineering economic untuk penggelaran 5G- mmWave private network di kawasan Industri terhadap output perekonomian nasional Indonesia dan regional Provinsi DKI Jakarta menggunakan Model Input-Output tabel nasional dan Model Input-Output tabel Provinsi DKI Jakarta. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah : Universitas Indonesia

6 a. Mengembangkan pemodelan formula Baru untuk BHP-IPFR yang dapat di terapkan di teknologi 5G-mmWave private network pada frekuensi 26/28 GHz di di kawasan industri Indonesia. b. Mengembangkan analisis perhitungan dari multiplier efek dari engineering economic untuk penggelaran 5G-mmWave private network di kawasan Industri terhadap output perekonomian nasional Indonesia dan regional Provinsi DKI Jakarta. 1.4. Kontribusi Penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa : a) Model formula BHP-IPFR yang baru untuk implementasi 5G-mmWave private network di kawasan industri. Metode yang digunakan adalah dengan mengevaluasi formula saat ini sesuai dengan PP no 80 tahun 2015, melihat kerangka kerja oleh ITU-R SM.2012-5 (06/2016), dan menggunakan indeks referensi industri, yang disebut Indeks Kesiapan Industri Indonesia 4.0 (INDI 4.0). b) Didapatkannya perkiraan multiplier efek dari engineering economic model untuk penggelaran 5G-mmWave private network di kawasan Industri terhadap output perekonomian nasional Indonesia dan regional Provinsi DKI Jakarta menggunakan Model Input-Output tabel nasional dan regional Provinsi DKI Jakarta. 1.5. Batasan Penelitian Adapun batasan penelitian yang sudah dilakukan adalah : a. Menggunakan teknologi 5G-mmWave private network pada pita frekuensi 26/28 GHz. a. Model Formula berlaku untuk frekuensi high band atau mmwave 26/28 GHz di kawasan industri Indonesia. c. Metode untuk mendapatkan estimasi multiplier effect di dua Kawasan Industri dengan Model Input Output (I-O) Table nasional dan regional Provinsi DKI Jakarta. Universitas Indonesia

BAB II EKOSISTEM DI INDONESIA 2.1.Mobile Ekosistem, Managemen dan Regulasi Spektrum Frekuensi di Indonesia Perkembangan industri telekomunikasi terutama terkait seluler mengalami perubahan fokus layanan, dari yang awalnya layanan voice menuju layanan data dan video dengan kebutuhan bandwidth yang besar, peningkatan kecepatan yang sangat tinggi dengan latensi yang sangat kecil untuk melakukan hal-hal yang bersifat mission critical, dan untuk keperluan komunikasi mesin ke mesin atau manusia ke mesin yang sifatnya masif. Dengan berkembangnya industri telekomunikasi tersebut, tentunya membutuhkan spektrum Frekuensi yang semakin lebar padahal spektrum frekuensi merupakan salah satu sumber daya alam terbatas dalam industri telekomunikasi, sehingga spektrum frekuensi memiliki nilai penting oleh banyak pihak. Hal ini disebabkan oleh kegunaan spektrum yang dapat digunakan untuk kepentingan publik. Oleh karena itu, pengaturan spektrum frekuensi menjadi salah satu tugas penting bagi regulator untuk memastikan industri telekomunikasi dapat berjalan dengan optimal. 2.1.1. Mobile Ekosistem di Indonesia Indonesia dengan sekitar 277,7 juta orang [68] , memiliki kepadatan penduduk terbesar keempat di dunia. Indonesia memiliki 13.000 pulau berpenghuni. Penduduk tersebar di enam wilayah pulau utama, dengan dua pulau yang paling padat penduduknya adalah Sumatera (20% dari populasi) dan Jawa (60% dari populasi) [40] . Dengan luas pulau dan kepadatan penduduk seperti yang dijelaskan di atas, pengguna seluler di Indonesia saat ini dilayani oleh enam operator seluler yang menggelar infrastruktur jaringan 2G, 3G, 4G dan beberapa lokasi tertentu terdapat juga infrastruktur Jaringan 5G, gambar 2.1 dan gambar 2.2 menunjukkan Jumlah Pelanggan Operator Seluler Indonesia dalam juta [69] dan jumlah BTS yang melayani diseluruh Indonesia [70]. 7 Universitas Indonesia

8 Gambar 2. 1 Jumlah Pelanggan Operator Seluler di Indonesia dalam juta (Juni 2021). (Gambar diambil dari referensi[69]). Gambar 2. 2 Jumlah BTS 2G-3G-4G yang melayani diseluruh Indonesia. (Gambar diambil dari referensi[70]. Sebagai pasar terbesar keempat di dunia, Indonesia merupakan pasar utama 5G [73], khususnya di sektor industri. Indonesia memiliki pasar 5G yang potensial dengan memiliki 25 terminal peti kemas besar di 17 kota; 28 bandara internasional; industri minyak dan gas yang sedang booming, yang menempati urutan ke-10 dunia dalam hal produksi gas alam dengan pangsa produksi 6,7 persen, dan 141 kawasan industri di seluruh negeri [74]. 2.1.2. Managemen dan Regulasi Spektrum Frekuensi di Indonesia Di Indonesia setiap penggunaan spektrum frekuensi diwajibkan mendapatkan izin dari Pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi sesuai ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku. Salah satu bentuk kewajiban bagi pengguna spektrum frekuensi radio dalam hal ini operator seluler adalah dikenakannya Biaya Hak Penggunaan (BHP) Spektrum Frekuensi yang Universitas Indonesia

9 merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pendapatan ini adalah pendapatan pemerintah Indonesia yang tidak berasal dari pendapatan pajak. Pada tahun 2018, BHP tersebut menyumbang 5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) negara. Kontribusi terhadap PDB ini harus diatur dalam formula yang tidak hanya menguntungkan pemerintah, tetapi juga bisnis dalam hal ini, operator seluler. Untuk mendorong penggunaan spektrum frekuensi secara efektif dan efisien maka disusunlah formula tarif Biaya Hak Penggunaan Ijin Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio (BHP-IPFR) yang tidak memerlukan pengawasan dan pengendalian yang kompleks. Kebijakan pemerintah Indonesia telah diterapkan per 29 November 2010 [10] memberlakukan BHP-IPFR pada frekuensi 800, 900, dan 1800 MHz dan diperbaharui dengan peraturan permerintah [79]. Penerapan kebijakan ini netral terhadap teknologi, artinya BHP-IPFR tersebut dapat digunakan untuk teknologi apapun (2G/3G/4G). Bandwidth dan pita frekuensi memainkan peran penting dalam keberhasilan implementasi teknologi 5G. Ketersediaan yang tepat waktu memungkinkan pasar seluler untuk menjawab permintaan pengguna dan industri untuk penyediaan layanan. Memutuskan berapa nominal nilai spektrum sangat diperlukan, tidak hanya oleh operator seluler tapi juga untuk regulator. Tabel 2.1 menunjukan bandwidth potensial dan pita frekuensi yang tersedia di Indonesia saat ini yang dapat digunakan menambah kekurangan bandwidth yang diperlukan untuk mengakomodir perkembangan teknologi yang semakin boros terhadap bandwidth [80]. Tabel 2. 1 Bandwidth dan pita frekuensi potensial di Indonesia (Tabel diolah dari referensi[80] ) Pita Catatan Bandwidth (MHz) Potensial 700 Migrasi dari analog ke digital broadcasting : digital 90 MHz dividend untuk mobile broadband : 2 × 45 MHz. 1400 Alokasi 1427 MHz - 1518 MHz (berdekatan dengan downlink MSS) untuk Mobile Broadband dengan 3 MHz 91 MHz guard band. 2000 3GPP-65 (UL: 1 920 MHz – 2 010 MHz; DL: 2 110 MHz – 2 200 MHz). Band 1 980 MHz – 2 010 MHz dan 2 170 60 MHz MHz – 2 200 MHz juga potensial untuk band MSS. Universitas Indonesia

10 2300 Digunakan oleh BWA pada 2 360 MHz – 2 390 MHz 30 MHz 2600 3300 Digunakan untuk satellite TV. Potential skenario : 3GPP- 190 MHz 3400 7 (FDD) + 3GPP-38 (TDD) : 190 MHz or 100 MHz 4400 3GPP-41 (TDD) : 194 MHz. 4800 Digunakan untuk BWA pada 3 300 MHz – 3 400 MHz 5000 26000 Koeksistensi antara FSS pada pita 3 400 MHz – 3 600 200 MHz 40000 400 MHz MHz. 4200 MHz – 4400 MHz digunakan untuk aeronautics; Diidentifikasi pada frek 4 400 – 4 500 MHz sebagai IMT band; 4 500 – 4 800 MHz digunakan oleh NGSO satellite dan wireless backhaul. Diidentifikasi sebagai IMT Band; sekarang digunakan 100 MHz untuk wireless backhaul. Unlicensed Licensed Assisted Acces (LAA) dapat 300 MHz digunakan untuk Mobile Broadband. 1.000 MHz 4.000 MHz Industrial preference di 24250 MHz – 27500 MHz dan 26000 MHz - 28000 MHz untuk 5G. Industrial preference di 37000 MHz – 43500 MHz untuk 5G. Di Indonesia, band 37000 MHz – 39500 MHz digunakan untuk link microwave. Total Bandwidth yang tersedia (MHz) 6.561 2.2.Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi Operator telekomunikasi memiliki kewajiban melakukan pembayaran BHP, setelah mendapatkan izin penggunan spektrum frekuensi radio. Pentarifan BHP pita berdasarkan PP Nomor 53 Tahun 2000 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: Dalam menetapkan besarnya biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio digunakan formula dengan memperhatikan komponen: Jenis frekuensi radio; Lebar pita dan atau kanal frekuensi radio; Luas cakupan; Lokasi; dan Minat pasar. Berdasarkan PP nomor 80 tahun 2015 Pasal 3 ayat 2, besarnya tarif Biaya Hak Penggunaan Frekuensi Radio untuk Izin Pita Frekuensi Radio (BHP-IPFR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dihitung dengan menggunakan: Mekanisme seleksi; atau Formula. 2.2.1. Formula BHP-IPFR BHP-IPFR adalah biaya yang harus dibayar oleh pemegang izin pita spektrum frekuensi radio. Tujuan dasar dari BHP-IPFR adalah untuk memberikan kompensasi Universitas Indonesia

11 kepada masyarakat atas penggunaan sumber daya publik yang sangat terbatas dan mendorong pengguna spektrum frekuensi radio untuk menggunakan spektrum secara lebih optimal. Persamaan formula BHP-IPFR adalah sebagai berikut [10], [79]. : (2.1) BHP-IPFR = N × K × I × C × B 2.2.2. Formula BHP ISR Tarif BHP ISR didasarkan pada data parameter teknis dan zona lokasi stasiun radio, sebagaimana diatur dalam PP No. 7 Tahun 2009 [83], sebagaimana telah diubah dengan PP No. 76 Tahun 2010 [10] dan yang terakhir diubah dengan PP No.80 Tahun 2015 [79]. Penggunaan BHP frekuensi berdasarkan ISR menyiratkan bahwa besaran BHP frekuensi sangat bergantung pada jumlah pemancar stasiun radio dengan menggunakan formula sebagai berikut: (2.3) 2.3.Optimalisasi pemanfaatan spektrum Tujuan dasar dari BHP-IPFR adalah untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat atas penggunaan sumber daya publik yang sangat terbatas dan mendorong pengguna spektrum frekuensi radio untuk menggunakan spektrum secara lebih optimal. Optimalisasi Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio yang selanjutnya disebut Optimalisasi adalah upaya meningkatkan nilai manfaat dari Spektrum Frekuensi Radio (PM Kominfo No 5 Tahun 2019) [87], [88]. Spektrum frekuensi radio dapat dimanfaatkan secara optimal, maka kapasitas jaringan seluler pun turut meningkat sehingga mampu mengimbangi pertumbuhan traffik data yang terus bertumbuh pesat. Menurut Pasal 6 PM Kominfo No 5 Tahun 2019 optimalisasi pemanfaatan spektrum dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut: a) Realokasi frekuensi radio; b) Refarming; c) Migrasi; d) Penetapan (assignment) pita frekuensi radio; e) Perubahan penetapan (reassignment) pita frekuensi radio; Universitas Indonesia

12 f) Penolakan atau persetujuan perpanjangan IPFR; g) Pengkajian ulang BHP spektrum frekuensi radio; h) Pengkajian ulang terhadap penggunaan teknologi; i) Perubahan pengenaan bentuk izin penggunaan spektrum frekuensi radio; dan/atau j) Tindakan teknis. 2.4.Teori Lisensi Spektrum Kewenangan pengaturan lisensi alokasi spektrum frekuensi di Indonesia diserahkan kepada Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Agar para pengguna dan calon pengguna Frekuensi tidak saling menggangu maka Kemkominfo mengatur spektrum frekuensi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 25 tahun 2014, tentang Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia (TASFRI) [27] sebagai turunan dari Radio Regulation International Telecommunication Union (ITU) serta peraturan terkait lainnya. Peraturan menteri ini bertujuan untuk menjadi landasan dan acuan bagi operator seluler yang menggunakan radio sebagai alat komunikasinya. 2.4.1. Rekomendasi ITU-R SM.2012-6 (06/2018) ITU-R SM.2012-6 (06/2018) [58] merupakan rekomendasi ITU-R yang sesuai dengan aspek ekonomi dari manajemen spektrum. ITU-R SM. 2012-2 telah mengusulkan model analitis untuk menghitung biaya lisensi berdasarkan insentif tertentu yang dirancang untuk mempromosikan penggunaan spektrum yang efisien [5]. Model ini dikembangkan oleh BDT Asia and Pacific Project on Spectrum Validation and Licensing, Bangkok. Model ini berasal dari dasar konseptual bahwa ada kebutuhan yang berbeda untuk harga spektrum. Tujuan dari model ini adalah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan spektrum. 2.4.2. Model penetapan harga spektrum berlisensi Spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya terbatas yang penggunaannya harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Sebagaimana yang berlaku umum saat ini, penetapan izin penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan berdasarkan ketersediaan jumlah spektrum (supply) dan permintaan kebutuhan spektrum itu sendiri (demand). Ketika permintaan kebutuhan spektrum diperkirakan tidak akan melebihi jumlah spektrum yang tersedia, maka digunakan Universitas Indonesia

13 proses perizinan lisensi spektrum berupa “first come, first served”. Di lain sisi, ketika permintaan kebutuhan spektrum diperkirakan akan melebihi jumlah spektrum yang tersedia, maka digunakan proses perizinan lisensi spektrum yang kompetitif melalui mekanisme seleksi. Seleksi pengguna dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu lelang atau metode auction, metode berdasarkan pasar atau market, dan metode Administrative Incentive Pricing (AIP), [59], [60]. 2.5.Ekosistem Industri di Indonesia Di Indonesia, sektor manufaktur memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor manufaktur saat ini mampu memberikan kontribusi sebesar 19% terhadap PDB nasional pada triwulan II tahun 2021 dan menempati urutan ke-5 di antara negara-negara anggota G20 [89]. Indonesia telah menempatkan ratusan perusahaan manufaktur di beberapa kawasan industri yang tersebar di pulau-pulau utama Indonesia, terdapat 141 kawasan industri pada tahun 2019, termasuk satu dalam pembangunan. Kawasan industri terbanyak berada di Pulau Jawa yaitu sebanyak 73 lokasi sedangkan kawasan industri paling sedikit berada di Nusa Tenggara yang hanya memiliki satu lokasi [74]. 2.5.1. Kawasan Industri Pulogadung dan KBN Penulis mengambil studi kasus yang berfokus pada wilayah Jakarta, di dua kawasan Industri yaitu: 1) Kawasan industri Pulogadung PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP) adalah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) / Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta. Kawasan industri Pulogadung berada di Jakarta, ibu kota negara Indonesia, dan dimiliki bersama oleh Republik Indonesia dan Pemerintah Provinsi Jakarta. Luas kawasan industri Pulogadung adalah 500 ha (5 km2) dan terdapat 400 perusahaan di kawasan indutri tersebut, baik perusahaan nasional maupun multinasional 2) Kawasan Industri Kawasan Berikat Nusantara (KBN) PT. KBN (Persero) telah tumbuh seiring dengan dinamika perekonomian Indonesia dan global selama lebih dari dua dekade. Selanjutnya, perusahaan tersebut Universitas Indonesia

14 berkembang sebagai akibat dari penggabungan BUMN lain yang telah dilikuidasi. Penggabungan pertama terjadi pada tahun 1990. Berbagai proses penggabungan ini tentunya menambah beragam warna pada campurannya. Sejak saat itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi pemegang saham PT. KBN (Persero). Hingga tahun 2020, pemerintah Indonesia memegang 73,15% dari perusahaan ini, sedangkan sisanya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Luas area PT KBN ini mencakup 800 ha (8 km2) [91], [92]. 2.5.2. Lima Sektor Industri Prioritas Inisiatif “Making Indonesia 4.0” dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian dan Presiden RI Joko Widodo untuk mengimplementasikan Strategi dan Roadmap Fourth Industrial Revolution (“4IR”) atau Revolusi Industri 4.0 di Indonesia. Indonesia mengembangkan lima sektor manufaktur dengan daya saing regional di masa depan. Kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), wearables, robotika canggih, dan pencetakan 3D adalah beberapa teknologi canggih yang tercakup dalam 4IR. Kementerian Perindustrian telah mengidentifikasi sektor-sektor prioritas untuk didorong menuju Industri 4.0 dan diprioritaskan dalam program Making Indonesia 4.0 berdasarkan nilai kontribusi, potensi perdagangan, dan kelayakannya [93]. Kriteria evaluasi tersebut menghasilkan pemilihan lima sektor sebagai prioritas implementasi Making Indonesia 4.0, yaitu sebagai berikut: Makanan Dan Minuman; Tekstil; Otomotif; Kimia, dan Elektronik. 2.5.3. Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0) Langkah awal transformasi industri menuju Industri 4.0 adalah menilai tingkat kesiapan industri di Indonesia. Sehingga, pemerintah memerlukan indeks standar nasional. Hasil pengindeksan tersebut nantinya akan digunakan oleh pemerintah untuk menentukan arah strategis untuk mendorong industri, khususnya di lima sektor prioritas Making Indonesia 4.0 menjadi Smart Factory. Indeks tersebut dikenal dengan Indeks Kesiapan Industri 4.0 Indonesia atau Indonesia Industry 4.0 Readiness Index disingkat INDI 4.0 [93], [96], [98]. Untuk menghitung kesiapan perusahaan memasuki periode Industri 4.0, pemerintah Indonesia telah membuat kriteria acuan. Skor tersebut diperoleh dengan mensurvei 303 perusahaan dari 5 sektor industri prioritas Universitas Indonesia

15 Seperti terlihat pada Tabel 2.2, skor dihitung dengan beberapa pengukuran, termasuk pengukuran kebijakan kepemimpinan serta pekerja dan budaya kerja di perusahaan menuju Industri 4.0 [98]. Skor tersebut juga mengukur produk dan layanan, dalam kaitannya dengan teknologi yang digunakan oleh perusahaan industri dalam transformasi digital mereka. Ini mencakup pengoperasian platform keamanan siber, Internet of Things (IoT), dan teknologi pendukung lainnya. Tabel 2. 2 Skor INDI untuk 5 sektor Industri prioritas ( Tabel diambil dari referensi [98].) No Sektor Jumlah Hasil Skor Rata-Rata (1) (2) (3) (4) (5) Nilai INDI 1 Tekstil 10 2.7 2.5 2.8 2.3 2.3 2.51 Makanan 2 dan 39 2.5 2.51 2.6 2.3 2.42 2.47 Minuman 3 Kimia 30 2.34 2.33 2.4 2.1 2.33 2.31 4 Elektronik 28 1.47 1.89 2.2 1.6 1.9 1.83 5 Otomotif 196 1.35 1.83 2 1.5 1.83 1.71 2.5.4. Tabel I-O Indonesia Tabel I-O Indonesia telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa kali. Seri Tabel I-O Indonesia telah dirilis untuk tahun 1971, 1975, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, 2005, 2010 dan 2016. Tabel I-O Indonesia diperbarui setiap lima tahun, dengan asumsi bahwa perubahan struktur ekonomi dan teknologi yang digunakan oleh sektor ekonomi dalam proses produksi dicatat secara teratur selama periode tersebut [99]. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah Tabel I-O Nasional dan Regional Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016 yang memiliki 185 sektor yang disusun dalam matriks berdimensi 185 x 185, untuk detailnya dapat dilihat pada Tabel Input- Output Indonesia Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Dasar (185 Produk) [100], yang dikelompokkan menjadi 17 produk. Universitas Indonesia

BAB III MODEL BHP-IPFR INDONESIA 3.1. Model BHP-IPFR Indonesia Bab ini menjelaskan model yang digunakan pada peneltian dan evaluasi yg dilakukan oleh penulis terhadap BHP-IPFR yang berlaku saat ini di Indonesia: Metode ini mengusulkan formula BHP-IPFR baru, menggunakan kerangka ITU-R SM.2012-5 (06/2016), dan menggunakan indeks referensi industri, yang disebut skor Indonesia Industry Readiness Index 4.0 (INDI 4.0) untuk lima sektor industri prioritas dengan jaringan geografi terbatas atau private network di kawasan Industri. Indeks Referensi diperhitungkan saat mengembangkan formula baru. Skor tersebut diperoleh dengan mensurvei 303 perusahaan dari 5 sektor industri prioritas. Pelaksanaan survei dilakukan pada tahun 2019-2020. Pada langkah selanjutnya penulis menghitung biaya deployment atau penggelaran 5G-mmWave private network yang ditempatkan di dua Kawasan Industri (Pulo Gadung, KBN) menggunakan Model Engineering-economic berdasarkan formula BHP-IPFR baru dari luaran sebelumnya Hasil dari model Engineering-economic untuk 5G-mmWave private network di kawasan industri akan dimasukkan ke dalam Tabel Input-Output (I-O) nasional dan regional provinsi DKI Jakarta 2016 (diperbarui pada 30 Apr 2021) yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) . Dimensi matriks Tabel Input-Output (I-O) yang digunakan adalah 17 x 17. Simulasi ini memperkirakan kontribusi penerapan 5G- mmWave private network terhadap output perekonomian nasional Indonesia dan regional Provinsi DKI Jakarta. Gambar 3.1 menunjukkan Model BHP-IPFR Indonesia untuk penelitian ini. 16 Universitas Indonesia

17 Gambar 3. 1 Model BHP-IPFR formula baru Indonesia 3.2.Asal Usul Formula BHP-IPFR Saat Ini Indonesia telah mengadaptasi dan memodifikasi model yang berasal dari ITU-R SM.2012-5 (06/2016) tersebut dengan Administrative Incentives Price (AIP) khusus untuk Indonesia. Gambar 3.2 menunjukkan struktur tentang bagaimana biaya penggunaan spektrum Indonesia saat ini mengadaptasi ITU-R SM.2012-5 (06/2016), yang mengarah ke persamaan akhir (4.4). Gambar 3. 2 Mapping antara ITU-R SM.2012-5 (06/2016) dengan BHP-IPFR Gambar 3.2 juga menunjukkan bahwa, ketika diadopsi oleh pemerintah Indonesia, setiap faktor yang ditentukan oleh ITU diterjemahkan ke dalam 5 faktor yang menyusun biaya penggunaan spektrum Indonesia. Persamaan (2.1) menyatakan persamaan saat ini sedangkan faktor-faktornya dijelaskan pada bab sebelumnya [79]. BHP-IPFR = N x K x I x C x B (3.1) Universitas Indonesia

18 3.3.Penggunaan Indeks Referensi Industri pada usulan Formula Baru BHP-IPFR Indeks referensi industri mencerminkan kesiapan sektor industri untuk mengadopsi teknologi di era Industri 4.0. Untuk menghitung kesiapan perusahaan menghadapi Industri 4.0, pemerintah Indonesia membuat skor INDI 4.0 untuk menetapkan kriteria acuan ke depan. 3.3.1. Hasil dari skor INDI 4.0 Skor INDI 4.0 diperoleh dengan mensurvei 303 perusahaan di lima sektor industri prioritas [98] Tabel 3.1, skor dihitung menggunakan pengukuran tertentu, termasuk kebijakan kepemimpinan serta pekerja dan budaya kerja di perusahaan, yang relevan dengan Industri 4.0. Tabel 3.1 menyajikan hasil untuk setiap perhitungan dari rata-rata nilai sector industri tertentu dibagi dengan total rata-rata Nilai INDI (CINDI). CINDI tertinggi (1,16) ada di sektor tekstil, dan skor terendah, dengan rata-rata 0,79, ada di industri otomotif. Tabel 3. 1 Skor CINDI untuk lima sektor industri prioritas No Sektor Industri Jumlah Hasil Skor Pengukuran CINDI (1) (2) (3) (4) (5) 1 Tekstil 10 2.7 2.5 2.8 2.3 2.3 1.16 2 Makanan dan 39 2.5 2.51 2.6 2.3 2.42 1.14 Minuman 3 Kimia 30 2.34 2.33 2.4 2.1 2.33 1.07 4 Elektronik 28 1.47 1.89 2.2 1.6 1.9 0.85 5 Otomotif 196 1.35 1.83 2 1.5 1.83 0.79 Catatan: Kolom (1) = pengukuran managemen dan organisasi; Kolom (2) = pengukuran orang dan budaya kerja; Kolom (3) = pengukuran produk dan layanan; Kolom (4) = pengukuran teknologi, Kolom (5) = pengukuran operasi pabrik. 3.3.2. Mengakomodir Jumlah Tenaga Kerja di Kawasan Industri Pertimbangan kedua dari formula baru tersebut adalah jumlah tenaga kerja di industri tersebut. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan jumlah pekerja relatif terhadap kawasan industri dan jumlah total pekerja di provinsi tersebut, karena jumlah pekerja mungkin tidak proporsional antar industri yang berbeda di lima sektor prioritas. Universitas Indonesia

19 3.4. Engineering Economic Model Pada bagian ini membahas secara detail terkait asumsi-asumsi yang digunakan pada parameter engineering economic model. 3.4.1. Asumsi Parameter Engineering. Pada tahapan ini, yang dilakukan adalah melakukan perencanaan jaringan 5G- mmWave private network pada sisi cakupan area dikawasan industri Pulogadung dan KBN. Hasil Akhir pada engineering model penelitian ini adalah berapa jumlah site yang dibutuhkan untuk mencakup daerah yang telah ditentukan. Tahapan pertama terletak pada penentuan wilayah yang dilakukan perencanaan jaringan 5G-mmWave private network, yaitu kawasan industri Pulogadung dan KBN. Tabel 3.2 memperlihatkan asumsi dari parameter-paramater yang digunakan Tabel 3. 2 Parameter Engineering Model penggelaran 5G-mmWave private Network di Kawasan Industri Parameter Notasi Nilai gNodeB transmiter power (dBm) A 35 Resource block B 132 Subcarrier quantity C 1584 gNodeB antenna gain (dBi) D 2 gNodeB cable loss(dBi) E 0 Penetration loss (dB) F Foliage loss (dB) G 12,23 Body block loss (dB) H 5 Interference margin (dB) I 15 Rain//ice margin (dB) J 1 Slow fading margin (dB) K 3 UT antenna gain (dB) L 7 Bandwidth (MHz) M 0 Konstanta boltzman (mWs/K) N 100 Suhu (Kelvin) O Thermal noise power (dBm) P 1,38 x 10-20 UT noise figure (dB) Q 293° -154,93 7 Universitas Indonesia

20 Demodulation threshold SINR (dB) R -1,1 Model Propagasi 3GPP 38.901 Throughput gNB (Mbps), dengan 3 sektor 5322 Baseline per user (Mbps) 50 Over Booking Factor 1:5 Throughput per user (Mbps) 10 3.4.2. Asumsi Parameter Economic Bagian ini menjelaskan perhitungan analisis ekonomi untuk penggelaran 5G-mmWave private network di wilayah Pulogadung dan KBN. Pada bagian ini parameter Capital Expenditure (CAPEX) dan Operation Expenditure (OPEX) dihitung untuk menentukan besaran biaya yang digunakan untuk menggelar 5G-mmWave private network. Tabel 3. 3 Parameter Capex Parameter Nilai gNodeB (Per NE) Rp 550.000.000,- Instalasi (Per NE) 25 % Transmisi Rp. 100.000.000,- Core Network Rp. 450.000.000,- Parameter Tabel 3. 4 Parameter Opex Site Maintenance Biaya (Rupiah) Rp. 35.000.000,- / bulan Equipment Maintenance gNB Rp. 65.000.000,-/ bulan dan Transmisi Equipment maintenance core Rp. 45.000.000,-/bulan BHP-IPFR Sesuai dengan hasil dari perhitungan sebelumnya. 3.5.I-O Model Indonesia Penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut untuk menghitung dampak ekonomi dari biaya deployment atau penggelaran 5G-mmWave private network di kawasan industri selama periode sepuluh Tahun (2021-2031), gambar 4.3 menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan dampak ekonomi dari penggelaran 5G. Universitas Indonesia

21 Gambar 3. 3 Langkah-langkah mendapatkan dampak ekonomi dari biaya penggelaran 5G-mmWave private network Hasil dari perhitungan biaya penggelaran 5G-mmWave private network dikawasan industri Pulogadung dan KBN akan menjadi input untuk tabel I-O nasional dan Regional Provinsi DKI Jakarta. Untuk melakukannya, penulis terlebih dahulu melakukan perhitungan efek pengganda atau multiplier dari tabel I-O Nasional dan Regional Provinsi DKI Jakarta, dengan ukuran matriks 17x17 seperti yang ditunjukan pada (Tabel 4.6), yang merupakan tabel nasional Indonesia. Penulis menggunakan tabel I-O Nasional dan Regional Provinsi DKI Jakarta untuk menunjukkan bagaimana implementasi 5G-mmWave private network di kawasan industri Pulogadung dan KBN akan menghasilkan dampak ekonomi yang lebih besar daripada adanya potensi hilangnya pendapatan negara. Dampak ekonomi ini juga mengkompensasi perbedaan biaya penggunaan spektrum. Universitas Indonesia

BAB IV FORMULA BARU BHP-IPFR Pada penelitian ini, penulis mengembangkan kerangka kerja yang mengarah pada perumusan formula baru BHP-IPFR untuk implementasi 5G-mmWave private network di kawasan industri Indonesia. Dasar utama pengembangan formula yang diusulkan adalah dengan mengadopsi indeks acuan industri yang disebut skor Indonesia Industry Readiness Index 4.0 (INDI 4.0) untuk 5 sektor industri prioritas Indonesia dan mempertimbangkan jumlah pekerja di industri, kemudian menggabungkannya dengan kerangka kerja ITU-R SM.2012-5 (06/2016). 4.1.Penggunaan Indeks Referensi Industri dan Jumlah Tenaga Kerja pada usulan Formula Baru BHP-IPFR. Berdasarkan indeks referensi industri dan jumlah tenaga kerja, penulis mengusulkan formula BHP-IPFR baru, seperti pada pada persamaan 4.1. Penulis menambahkan adanya faktor CAlt. sebagai fungsi dari nilai INDI (CINDI), jumlah pekerja di kawasan industri (CEDIA ), jumlah pekerja di provinsi tempat kawasan industri berada (CEDPROP ), dan luas kawasan industri (AIA ). Sehingga formula BHP-IPFR yang baru menjadi sebagai berikut: Formula Baru BHP-IPFR = N x K x I x C x B x C Alt (4.1) C Alt didapatkan dari persamaan 5.2 dibawah ini C Alt   CEDIA  *  1km  CINDI * CEDPROP AIA (4.2) Persamaan 4.2 menunjukkan bahwa semakin tinggi CINDI, semakin rendah biaya BHP-IPFR, dan semakin luas wilayah, semakin rendah biayanya. Bagi industri CINDI bertindak sebagai nilai insentif bagi industri terkait, semakin banyak manfaat yang mereka terima, dan semakin rendah kewajiban mereka untuk membayar biaya BHP-IPFR. 22 Universitas Indonesia

23 4.2.Hasil Perhitungan antara formula BHP-IPFR saat ini dan formula BHP- IPFR baru pada 5 Industri Prioritas. Pada bagian ini, penulis melakukan pengujian formula baru untuk menghitung BHP-IPFR di kawasan industri Indonesia. Perhitungannya untuk biaya lisensi 10 tahun pada pita spektrum mmWave 26/28 GHz dengan bandwidth 100 MHz. Untuk memudahkan membaca, semua nilai telah dibulatkan tanpa menampilkan nilai desimal. Penulis mengambil studi kasus yang berfokus pada wilayah Jakarta di dua kawasan industri: Pulogadung dan KBN. Asumsi Nilai NxK digunakan menggunakan nilai 28.36, nilai ini diambil menggunakan nilai NxK pada frekeunsi 2100 MHz, dikarenakan belum adanya nilai N x K pada mmWave 26/28 GHz. Sedangkan nilai Index Price (I) pada Frekuensi 22,000–31,300 MHz (mmWave), yaitu Rp 2,383,-. Dibawah ini adalah salah satu contoh perhitungan untuk memperoleh BHP-IPFR menggunakan formula yang berlaku saat ini: NxK = 28.36 Index Price (I) = Rp 2,383,- Kilopopulation (C) = 65 Bandwidth (B) = 100 MHz Oleh karena itu, BHP-IPFR saat ini adalah= N x K x I x C x B = 28.36 x Rp 2,383,- x 65 x 100 = Rp 439,221,848 per tahun atau Rp 4,392,218,48 untuk 10 tahun. Berikut ini adalah salah satu contoh perhitungan untuk memperoleh BHP-IPFR menggunakan formula baru, pada pabrik kimia di Kawasan Industri Pulogadung: NxK = 28.36 Index Price (I) = Rp 2,383,- Kilopopulation (C) = 65 Bandwidth (B) = 100 MHz CAlt = 0.16844 Oleh karena itu, formula BHP-IPFR yang baru adalah = = N x K x I x C x CAlt chemistry x B = 28.36 x Rp 2,383 x 65 x 0.16844 x 100 Universitas Indonesia

24 = Rp 73,983,868,- per tahun atau Rp 739,838,681,- untuk 10 tahun Tabel 4. 1 Perbandingan BHP-IPFR formula saat ini dan formula baru di lima industri prioritas (1) (2) (3) (4) (1) Pulogadung KBN (2) Informasi Dasar Jumlah Karyawan di 80,000 Kawasan Industri (CEDIA) 65,000 8 (3) Luas Area (AIA) dalam km2 5 (4) Provinsi Jakarta Jakarta (5) Jumlah karyawan dikawasan Industri di Jakarta (C EDPROP) 145,000 145,000 (6) Formula baru BHP- Sektor Industri Kimia Rp 740 Juta Rp 714 Juta IPFR untuk durasi (7) 10 tahun. Sektor Industri Makanan (Pembulatan dan Minuman Rp 692 Juta Rp 668 Juta (8) keatas) Sektor Industri Automotive Rp 999 Juta Rp 965 Juta (9) Sektor Industri Tekstil Rp 681 Juta Rp 657 Juta (10) Sektor Industri Electronik Rp 934 Juta Rp 901 Juta (11) Total formula baru (a) Total formula baru: BHP-IPFR selama Penjumlahan dari semua Rp 4,046 Juta Rp 3,905 Juta 10 tahun sektor diatas (12) Total formula saat (b) BHP-IPFR ini BHP-IPFR menggunakan formula Rp 4,392 Juta Rp 5,406 Jutas selama 10 tahun saat ini (13) (c) Selisih = (a) – (b) - Rp 347 Juta - Rp 1,500 Juta (14) Perbedaan Prosentase Penurunan antara BHP-IPFR formula baru dengan formula saat 8 % loss 28% loss ini. Penulis menghitung BHP-IPFR menggunakan formula baru, seperti yang ditunjukkan pada baris (6)–(10) dari Tabel 4.1. Baris ini menunjukkan hasil untuk setiap jenis industri – yaitu, sektor industri kimia, sektor industri makanan dan minuman, sektor industri otomotif, sektor industri tekstil dan sektor industri Universitas Indonesia

25 elektronik. Jumlah total nominal BHP-IPFR selama 10 tahun untuk semua jenis industri ditunjukkan pada baris (11) Tabel 4.1. Jumlah BHP-IPFR selama 10 tahun yang dihasilkan dengan menggunakan formula baru untuk semua sektor industri di Pulogadung tercantum pada Tabel 4.1 – baris (11) kolom (3), dengan nilai Rp 4,046 Juta, sedangkan di kawasan industry KBN pada Tabel 4.1 – baris (11) kolom (4), dengan nilai Rp 3,905 juta. Perbandingan nilai BHP-IPFR formula baru dengan formula saat ini menghasilkan selisih sekitar Rp 347 Juta pada kawasan industri Pulogadung (Tabel 4.1 – baris (13) kolom (3)), lebih rendah sekitar 8% dari formula BHP-IPFR saat ini dan selisih sekitar Rp 1,500 juta pada kawasan industri KBN (Tabel 4.1 – baris (13) kolom (4)), lebih rendah sekitar 28% dari formula BHP-IPFR saat ini Hasil pada Tabel 4.1 secara jelas menunjukkan bahwa formula yang diusulkan selalu menghasilkan nilai yang lebih rendah dari formula BHP-IPFR yang berlaku saat ini. Nilai yang lebih rendah tersebut berdampak positif bagi industri karena operator membayar harga yang lebih murah dan membuat biaya ekonomi menjadi lebih efisien. Namun, sudah menjadi pemahaman umum bahwa pemerintah mengharapkan pendapatan negara dari komersialisasi teknologi baru. Nilai yang lebih rendah berarti negara tersebut kehilangan potensi pendapatan dari biaya penggunaan spektrum. Oleh karena itu, bagaimana penurunan pendapatan negara ini dapat dikompensasikan? Penulis berpendapat bahwa hal itu dapat dikompensasi dengan menggunakan efek pengganda atau multiplier sektor di tingkat nasional atau ditingkat regional. Dengan kata lain, meskipun mengalami penurunan pendapatan, nilai yang lebih rendah menghasilkan dampak ekonomi positif yang jauh lebih besar di tingkat nasional. Untuk membuktikan argumen penulis, maka penulis mengembangkan model I- O untuk menunjukkan bagaimana implementasi 5G-mmWave private network di kawasan industri Pulogadung dan KBN menghasilkan dampak ekonomi yang lebih besar daripada berkurangnya potensi pendapatan negara. Dampak ekonomi ini juga mengkompensasi perbedaan BHP-IPFR. Universitas Indonesia

BAB V PERHITUNGAN ENGINEERING ECONOMIC MODEL 5G-mmWAVE PRIVATE NETWORK DI KAWASAN INDUSTRI MENGGUNAKAN I-O MODEL Penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut untuk menghitung dampak ekonomi dari biaya penggelaran jaringan 5G-mmWave private network di kawasan industri selama periode sepuluh Tahun. Untuk melakukannya, penulis terlebih dahulu membuat perkiraan CAPEX dan OPEX untuk mengevaluasi efek pengganda dari model input-output Indonesia, dengan ukuran matriks 17x17. Berdasarkan biaya penggelaran 5G-mmWave private network di kawasan industri, penulis memperkirakan jadwal belanja modal 10 tahun dari 2021 hingga 2031. Penulis menggunakan model I-O untuk menunjukkan bagaimana implementasi 5G-mmWave private network di kawasan industri Pulogadung dan KBN menghasilkan dampak ekonomi yang lebih besar daripada berkurangnya pendapatan negara. Dampak ekonomi ini juga mengkompensasi perbedaan biaya penggunaan spektrum. 5.1 Model Engineering dan Economic 5.1.1. Perhitungan Link Budget dan Jumlah gNB yang diperlukan berdasarkan cakupan. Tujuan dari perhitungan link budget adalah untuk mengestimasi nilai Maximum Allowable Path Loss (MAPL) atau redaman sinyal maksimum yang diterima antara antenna pada user terminal/MS dan antena pada gNB, dengan nilai parameter seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, yang pada akhirnya akan menghasilkan jumlah gNB yang diperlukan dari berdasarkan cakupan, tabel 6.1 memperlihatkan hasil dari jumlah gNB berdasarkan cakupan untuk masing-masing kawasan industri berdasarkan Frekuensi 26 GHz dan 28 GHz. Tabel 5. 1 Hasil perhitungan Jumlah gNB per kawasan industri berdasarkan cakupan 26 Universitas Indonesia

27 Parameter Notasi Nilai gNodeB transmiter power (dBm) A 35 Resource block Subcarrier quantity B 132 gNodeB antenna gain (dBi) gNodeB cable loss(dBi) C 1584 Penetration loss (dB) Foliage loss (dB) D2 Body block loss (dB) Interference margin (dB) E0 Rain//ice margin (dB) Slow fading margin (dB) F 12,23 UT antenna gain (dB) Bandwidth (MHz) G5 Konstanta boltzman (mWs/K) Suhu (Kelvin) H 15 Thermal noise power (dBm) UT noise figure (dB) I1 Demodulation threshold SINR (dB) Model Propagasi J3 H User Terminal/MS (Meter) H gNB (meter) K7 Pathloss (dB) Jumlah gNB untuk frek 28 GHz Pulogadung L0 Jumlah gNB untuk frek 26 GHz Pulogadung Jumlah gNB untuk frek 28 GHz KBN M 100 Jumlah gNB untuk frek 26 GHz KBN N 1,38 x 10-20 O 293° P -154,93 Q7 R -1,1 3GPP 38.901 1.5 10 109.8049812 47 gNB 41 gNB 75 gNB 65 gNB Universitas Indonesia

5.1.2. Perhitungan Link Budget dan Jumlah gNB yang diperlu Pada sub bab ini akan membahas jumlah gNB yang diperlukan ber pada tabel 3.2 s/d tabel 3.4. Proses perhitungan adalah sebagai be Kawasan Industri per Tahun. Jumlah karyawan di Pulogadung dan KBN adalah 65.000 jiwa d asumsi jumlah subscriber pada tabel 5.2, dengan asumsi pertamba Sehingga pertumbuhan dari Tahun 2021-2031 adalah sebagai beriku Tabel 5. 2 Asumsi Jumlah Subscriber per Ka Kawasan Asumsi Mobile subscribers berdasarkan Industri 2020 2021 2022 2023 2024 20 Pulogadung 65,000 66,950 68,959 71,027 73,158 75, 80,000 KBN 82,400 84,872 87,418 90,041 92, Jumlah demand 5G-mmWave private network pada kawasan in sebelumnya, sedangkan asumsi prosentase pertumbuhan demand network perkawasan industri dapat dilihat di tabel 6.4. Tabel 5. 3 Asumsi Prosentase Pertumbuhan per tahun per K 2021 2022 2023 Asumsi Prosentase Pe 2% 5% 8% 2024 2025 202 11% 14% 17%

28 ukan berdasarkan kapasitas. rdasarkan pertimbangan kapasitas dengan mempertimbangan asumsi erikut: Menghitung demand dari 5G-mmWave private network per dan 80.000 jiwa, data inilah yang menjadi asumsi pada perhitungan ahan subscriber tiap tahun dikawasan industri tersebut adalah 3%. ut: awasan Industri (Diolah dari berbagai sumber) n Jumlah Karyawan masing-masing Kawasan Industri 025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 ,353 77,613 79,942 82,340 84,810 87,355 89,975 ,742 95,524 98,390 101,342 104,382 107,513 110,739 ndustri ini diambil dari demand jumlah subscriber pada tabel 6.2 adalah seperti tabel 5.3, sehingga demand 5G-mmWave private Kawasan Industri (Tabel diolah dari referensi [102], [103]) ertumbuhan pertahun 2029 2030 2031 26 2027 2028 26% 29% 32% % 20% 23% Universitas Indonesia

Tabel 5. 4 Demand 5G-mmWave private network p Kawasan Demand 5G-mmWave priva Industri 2021 2022 2023 2024 2025 Pulogadung 3,348 6,896 10,654 14,632 18,838 KBN 4,120 8,487 13,113 18,008 23,185 1) Menghitung traffic per Kawasan Industri per Tahun Perhitungan trafik 5G-mmWave private network pada kawasan indu adalah 50 Mbps. Overbooking factor yang digunakan 1:5, sehingg didapat. Dari asumsi tersebut maka didapatkan nilai trafik 5G-mmW ������������������������������������������ 5������ = ������������������������������ℎ ������������������������ ∗ ������������������������������������������������������ ������������������������ ������������������ ������������������������ Tabel 5. 5 Traffik 5G-mmWave private network per Kawasan Traffic 5G-mmWave private Industri 2021 2022 2023 2024 2025 Pulogadung 13,390 34,479 56,822 80,474 105,494 KBN 16,480 42,436 69,935 99,045 129,839 2) Menghitung jumlah 5G-mmWave private network gNB per Kaw Berikut ini adalah detail penjelasan dari Tabel 5.6. Asumsi data ra berikut: ������������������������������������ℎ������������ ������������������ = ������������������������������ ������������������������������������������ 5������ ������������������������ ������������������������ 5������ Berikut ini adalah Total gNB per kawasan industri per Tahun.

29 per Kawasan Industri (Diolah dari berbagai sumber) ate network per Kawasan Industri per tahun 2026 2027 2028 2029 2030 2031 23,284 27,980 32,936 38,165 43,677 49,486 28,657 34,436 40,537 46,972 53,757 60,906 ustri mengasumsikan bahwa Baseline yang digunakan oleh user 5G ga 1 subscriber dapat menggunakan 10 Mpbs untuk data rate yang Wave private network yang dapat dihitung adalah sebagai berikut: (5.1) r Kawasan Industri (Diolah dari berbagai sumber) e network per Kawasan Industri per tahun 2031 2026 2027 2028 2029 2030 131,943 159,884 189,382 220,507 253,328 287,921 162,391 196,780 233,086 271,393 311,789 354,364 wasan Industri per Tahun ate 5G adalah 5322 Mbps, dengan kebutuhan gNB adalah sebagai (5.2) Universitas Indonesia

Tabel 5. 6 Jumlah gNB per Kawasan I Kawasan Total gNB per Industri 2021 2022 2023 2024 20 Pulogadung 3 7 11 16 20 KBN 4 8 14 19 25 3) Menghitung Biaya Capex dan Opex per Kawasan Industri per T a. Perhitungan capital expenditure (CAPEX) Nilai Capex per site didapatkan dari perhitungan sebagai beriku ������������������������������ ������������������ ������������������������ = ������������������������������ 5������ ������������������ + ������������������������������ ������������������������������������������������������ + ������������ = (550 + 100 + 450)+(25%) = Rp 1,375 Juta b. Perhitungan operational expenditure (OPEX) Nilai Opex per site didapatkan dari perhitungan sebagai berikut ������������������������ ������������������ ������������������������ = ������������������������ ������������������������������������������������������������������ + ������������������������������������������������������ 5������ ������������������ + = 420 + 65 + 45 + 405 = Rp 3,845 Juta Berikut ini adalah detail Total Biaya Capex atau Opex per kaw masing-masing kawasan industri.

Industri (Diolah dari berbagai sumber) 30 (5.3) r Kawasan Industri per tahun 025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 0 25 31 36 42 48 55 5 31 37 44 51 59 67 Tahun ut. ������������������������ ������������������������ + ������������������������������ ������������������������������������������������������ t. (5.4) + ������������������������������������������������������ ������������������������ + ������������������������������������������������������ ������������������������������������������������������ + ������������������ wasan industri per tahun. Dan jumlah Total Biaya Capex dan Opex Universitas Indonesia

4) Total Biaya Capex dan Opex per Kawasan Industri per Tahun Tabel 5. 7 Total Biaya Capex dan Opex P Total Capex dan Opex per Kawasan Indu Tahun 2021 2022 2023 2024 2025 2026 Capex 4,125 3,250 3,250 4,063 3,250 4,063 Opex 1,905 3,845 5,785 8,210 10,150 12,575 Total 6,030 7,095 9,035 12,272 13,400 16,637 Tabel 5. 8 Total Biaya Capex dan Opex Kawasa Total Capex dan Opex per Kawasan I Tahun 2021 2022 2023 2024 2025 2026 Capex 5,500 5,500 8,250 6,875 8,250 8,250 Opex 2,376 3,925 6,835 9,260 12,170 15,080 Total 7,876 9,425 15,085 16,135 20,420 23,330

31 Pulogadung (Diolah dari berbagai sumber) usti Pulogadung per Tahun (Juta Rupiah) 2027 2028 2029 2030 2031 Total 4,875 4,063 4,875 4,875 5,688 46,375 5 15,485 17,910 20,820 23,730 27,125 147,536 7 20,360 21,972 25,695 28,605 32,812 193,911 an Industri KBN (Diolah dari berbagai sumber) Industi KBN per Tahun (Juta Rupiah) 2031 Total 2027 2028 2029 2030 8,250 9,625 9,625 11,000 11,000 92,125 17,990 21,385 24,780 28,660 32,540 175,001 26,240 31,010 34,405 39,660 43,540 267,126 Universitas Indonesia

32 5.2 Dampak Ekonomi penggelaran 5G-mmWave private network di Wilayah Industri menggunakan Input-Output Model Tabel Nasional dan Tabel Regional DKI Jakarta. Pada model I-O, input dari penelitian ini adalah total biaya pengelaran 5G- mmWave private network di kawasan industri yang dihasilkan dari tabel 5.7 dan tabel 5.8, dan outputnya adalah dampak ekonomi terhadap output perekonomian nasional dan regional Provinsi DKI Jakarta. Biaya penggelaran 5G-mmWave private network di setiap kawasan industri akan menjadi input untuk model I-O, penulis mendefinisikan dampak output menjadi 17 sektor yang secara resmi ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Ke-17 sektor ini akan terpengaruh oleh input biaya penggelaran 5G-mmWave private network di setiap kawasan industri yang tercantum pada Tabel 5.9 dan Tabel 5.10, kolom (1) baris (2)–(18). Sektor-sektor tersebut berkisar dari pertanian hingga layanan kesehatan, dengan berbagai sektor. Tabel 5.9 dan Tabel 5.10, kolom (2) mendefinisikan nilai multiplier. Multiplier adalah peningkatan atau penurunan proporsional dalam pendapatan akhir yang dihasilkan dari suntikan atau penarikan pengeluaran. Tabel 5.9 dan Tabel 5.10, kolom (3) dan (4) mencantumkan hasil model I-O yang menghasilkan output, atau dampak ekonomi, karena input dari biaya penggelaran 5G-mmWave private network . Tabel 5.9 dan Tabel 5.10, kolom (3) dan (4) menunjukkan dampak pada 17 sektor saat 5G digelar di kawasan industri Pulogadung dan KBN. Jumlah keseluruhan dari sektor-sektor ini tercantum dalam baris (19). Dengan demikian, Tabel 5.9 dan Tabel 5.10 baris (19) menunjukkan bahwa biaya penggelaran 5G-mmWave private network di kawasan industri akan menghasilkan output sebesar Rp 308,384 juta untuk kawasan industri Pulogadung dan 424,820 juta untuk kawasan industri KBN. Nilai-nilai tersebut merupakan peningkatan kontribusi terhadap output perekonomian nasional Indonesia sebagai efek dari multiplier. Sedangkan pada Tabel 5.10 menghasilkan output sebesar Rp 263,106 juta untuk kawasan industri Pulogadung dan 362,447 juta untuk kawasan industri KBN. Nilai- nilai tersebut merupakan peningkatan kontribusi terhadap output perekonomian regional Provinsi DKI Jakarta sebagai efek dari multiplier di tingkat regional. Universitas Indonesia

Tabel 4. 1, kolom (3) baris (13), menunjukkan bahwa penerapan for mengakibatkan penurunan pendapatan negara sebesar Rp 347 juta, dan dengan kontribusi terhadap output perekonomian nasional Indonesia kontribusi sebesar 424,820 juta untuk kawasan industri KBN yang m nasional Indonesia sebesar 0.244% dan 0.336%. Sedangkan kontribusi Rp 263,106 juta untuk Kawasan Industri Pulogadung, dan kontribusi peningkatannya sebesar 23.65% dan 32.59% selama periode 10 tahun. Tabel 5. 9. Pengganda/multiplier dan dampak ekonomi dari biaya menggunakan Tabel I-O (1) (2) (1) Multiplier OUTPUT (Damp Sektor Kawasan Indust rupiah) (2) Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1.28 (3) Pertambangan dan Penggalian 1.46 (4) Industri Pengolahan 1.73 (5) Pengadaan Listrik dan Gas 2.95 (6) Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, 1.63 Limbah dan Daur ulang

33 rmula baru untuk perhitungan BHP-IPFR di wilayah Pulogadung akan n Rp 1,500 Juta diwilayah KBN. Namun, hal itu akan dikompensasikan a sebesar Rp 308,384 juta untuk Kawasan Industri Pulogadung, dan merupakan peningkatan total kontribusi terhadap output perekonomian i terhadap output perekonomian regional Provinsi DKI Jakarta sebesar sebesar 362,447 juta untuk kawasan industri KBN, secara prosentase a penggelaran 5G-mmWave private network di Kawasan Industri O Nasional (Juta Rupiah). (3) (4) pak Ekonomi secara Nasional, OUTPUT (Dampak Ekonomi secara tri Pulogadung, dalam juta Nasional, Kawasan Industri KBN, dalam juta rupiah) Rp 2,274 Rp 3,132 Rp 5,478 Rp 7,547 Rp 14,487 Rp 19,956 Rp 17,641 Rp 24,301 Rp 79 Rp 109 Universitas Indonesia


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook