Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572permukaan membentuk gerombolan yang menyebar (scattered). Ikan juga dapat munculke permukaan pada siang hari, apabila cuaca mendung disertai hujan gerimis. Adanyakecenderungan bergerombol berdasarkan kelompok ukuran dan berupaya mengikutimakanannya (Suyedi 2001). Ini merupakan tingkah laku ikan pelagis yang terjadidiperairan. Hasil hitungan tingkat produktivitas berbedasarkan jenis spesies yang tertangkapdi lokasi PKN menunjukkan bahwa ikan layang yang paling dominan dengan totaljumlahnya mencapai 1,024,4, berikutnya ikan tembang (893,7 ekor) dan yang palingsedikit jenis ikan yang tertangkap adalah julung-julung dengan jumlah total tangkapan89 ekor. Untuk lebih jelas tentang produktivitas per spesies dominan dapat dilihat padagambar berikut ini: Gambar 3. Produktivitas per spesies dominan Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan nelayan sertahasil yang diperoleh selama 4 bulan penelitian di lokasi PKN diperoleh bahwa gillnetdan tremmel net dioperasikan sebanyak 20 trip/bulan dengan frekuensi penangkapan 3kali/trip. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan pukat pantai 25 trip/bulan (2kali/trip), rawai 7 trip/bulan (2 kali/trip) dan alat pengumpul 4 trip/bulan (2 kali/trip).Faktor lain yang tak kalah penting adalah daerah penangkapan ikan. Hasil penelitianterhadap daerah penangkapan gillnet dan tremmel net terdapat lebih banyakdibandingkan dengan alat tangkap pukat pantai dan pukat udang pengoperasian gillnetdan tremmel net antara 2 - 8 mil dari pantai. Pada daerah pengoperasian tersebut,populasi spesies target cukup besar dan lebih menyebar. Adapun daerah penangkapanpukat pantai dan alat pengumpul hanya berjarak kurang dari 1 mil dari garis pantai.Area pengoperasian kedua alat tangkap ini sangat terbatas. Keterbatasan daerahpenangkapan pukat pantai lebih dikarenakan pada minimnya daerah pengoperasiandengan topografi dasar perairan yang landai. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardjudo(2011) yang menyatakan pengoperasian pukat pantai berkaitan erat dengan perairandangkal dekat garis pantai. Pola terakhir dalam penelitian ini menyusun strategi konseptualisasi pengelolaanperikanan tangkap skala kecil dilokasi PKN dilakukan dengan pendekatan analisisSWOT. Untuk mengetahui strategi yang diambil, maka dilakukan analisis SWOT dengan158
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572mengidentifikasi berbagai faktor lingkungan internal dan eksternal secara sistematik dandilanjutkan dengan merumuskannya. Kemudian membandingkan antara faktor internalyaitu kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness) dengan faktor eksternal yaitupeluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) (Rangkuti, 2006). Hasil matriks lingkungan internal dan eksternal dibentuk perumusan strategipengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Nagan Raya. Alternatif strategidiformulasikan atau dirumuskan berdasarkan kombinasi faktor internaleksternal kedalam model matriks SWOT. Perumusan menghasilkan empat kategori strategi yaitu: [1]Strategi S-O, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang; [2] Strategi W-O,memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan; [3] Strategi S-T,menggunakan kekuatan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman; [4]Strategi W-T, merupakan taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahandan menghindari ancaman. Alternatif strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecildi lokasi PKN Kabupaten Nagan Raya telah dirumuskan dalam matriks SWOTsebagaimana disajikan dalam Tabel berikut:Tabel 1. Matriks SWOT untuk strategi Pengelolan perikanan tangkap skala kecil di lokasi PKN kedepan STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W) Faktor 1. Lembaga adat 1. Ukuran kapal skala Internal sebagai pengontrol kecil/ GT kecil nelayan dan 2. Jenis ikan tertangkap lingkungan didominasi oleh ikan 2. Hasil tangkapan yang belum layak tinggi dan di tangkap/TKG 1 dan 2 dominasi ikan 3. Minimnya bantuan pelagis kecil yang tepat sasaranFaktor 3. Masih tingginya 4. Jenis ikan yangEksternal keragaman ikan tertangkap dominan hasil tangkapan ikan yang kurang nilai 4. Produktifitas ekonomisnya tertinggi hasil 5. Belum ada zonasi tangkap melalui operasi jenis alat pukat pantai tangkap. 5. Hasil tangkapan nelayan yang didaratkan dikelola oleh pedagang pengumpulOPPORTUNITIES STRATEGI SO STRATEGI WO (O) Menerapkan Ko- Menyusun konsep1. Potensi SDI di manajemen dalam sistem penggunakan 159
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572 ZEEI Samudera pemanfaatan potensi jenis dan kurang mesh Hindia belum SDI berbasis kearifan zise alat tangkap dimanfaatkan lokal secara efektif, efisien, dan dengan efektif berkelanjutan optimum2. Tingkatkan volume Peningkatkan Standarisasi GT kapal dalam produksi HT bernilai terhadap kapal dan alat menjelajah fishing ekonomis melalui GT tangkap perikanan skala ground kapal yang lebih besar kecil menurut zonasi3. Permintaan ikan- Pola tangkap ikan nilai pengembangan Mengembangkan ekonomis/unggul pemasaran yang saling konsep penanganan sangat tinggi di menguntungkan ikan ekonomis higienis Aceh berbasis kebijakan yang dan sehat serta4. Menata aturan ada. terintegrasi dengan pemarasan dengan aktivitas bisnis lainnya baik dan efektif STRATEGI ST oleh stakeholder Memantapkan STRATEGI WT THREATS (T) Penataan nelayan1. IUU fishing kerjasama yang sinergi nelayan pendatang dengan semua skala kecil dalam dari kabupaten lain stakeholder distribusi bantuan tepat dan nelayan Penegakan hukum sasaran sibolga dengan melaksanakan Peningkatan2. Belum sistem MCS penegakkan hukum menggunakan alat (monitoring, Adanya sistem tangkap yang controlling dan online harga ikan secara ramah lingkungan suvailance) nasional (pukat pantai) secaraTerpadu3. Nelayan masih Membina dan menggunakan alat memberi informasi ke tangkap dengan nelayan tentang mesh zise kecil penggunaan alat4. Penentuan harga tangkap yang ikan berfluktuatif bertanggung jawab Berdasarkan Alalisis SWOT menghasilkan kombinasi pola strategi. Hasil analisisterhadap pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di lokasi PKN Kabupaten NaganRaya menghasilkan 12 (duabelas) alternatif strategi konseptualisasi.IV Kesimpulan160
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Jenis alat tangkap yang dominan hasil tangkapan adalah pukat pantai danSpesies yang mendominasi hasil tangkapan adalah Sardinella lemuru dan Selar spp danTerdapat dua belas strategis melalui faktor lingkungan internal dan eksternal yangdominan berpengaruh terhadap pola konseptualisasi pengelolaan perikanan tangkapskala kecil di lokasi PKN Kabupaten Nagan Raya.Daftar pustaka[FAO] Food and Agriculture Organization. 1999. Guidelines for the routine collection of capture fishery data. Rome (IT): FAOMonintja DR. 1987. Beberapa Teknik Pilihan untuk Memanfaatkan Sumberdaya Hayati Laut di Indonesia. Buletin PSP FPIK IPB 1: 14-25.Nurani TW. 2010. Model Pengelolaan Perikanan: Suatu Kajian Pendekatan Sistem. Bogor (ID): IPB Press.Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi.“Ed Ke-3”. Tjahyono Samingan, penerjemah. Yogyakarta (ID): UGM Press. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology.Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.Hlm 18-35.Smith.I.R. 1979.A Research Framework for Traditional Fisheries.Studies and Reviews Manila (PH): International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARM).Wiyono ES. 2011. Reorientasi Manajemen Perikanan Skala Keci. Buku II New Paradigm in Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Berkelanjutan. (II):23-35. 161
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5572162
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564SKREENING POTENSI ANTIBAKTERI EKSTRAK Padina australis Hauck TERHADAP BAKTERI Vibrio harveyii POTENCY SCREENING OF ANTIBACTERIAL OF Padina australis Hauck to Vibrio harveyii BACTERIA 1Mohamad Gazali, 2Eri Safutra 1Jurusan Manajemen Sumberdaya Akuatik, Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh2Jurusan Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar, Meulaboh Korespondensi : [email protected] Abstract Nowadays, a lot of research about the treatment a safe and environmentallysound which uses natural ingredients, one of which seaweed. In the last decade, a widevariety of structures is very unique bioactive compounds from algae isolates have beenisolated. But, the resource utilization of bioactive compound from algae has not beendone. This study aimed to test the ability of marine macroalgae P. australis Hauck inproducing antibacterial compounds Vibrio harveryi. The existence of macroalgaeP. australis antibacterial producer is expected to decrease the number of pathogenicbacteria, so as to decrease the likelihood of developing a disease that attacks fish. Theresearch was conducted in two laboratories, the Laboratory of Biological MIPAUniversitas Syiah Kuala, Banda Aceh and Brackish Water Aquaculture Institute(BBAP) Batee Ujong, Aceh Besar. Marine macroalgae taken from the waters aroundLabuhan Haji South Aceh District. The location was selected because of macroalgae inthe area are plentiful because the waters are clean. Based on phytochemical test onP. australis extract containing flavonoids, tannins and saponins. The results ofmeasurements of inhibition zone formed in each treatment obtained the largestinhibition zone at 12:55 mm on a 80% concentration of the extract. While the smallestinhibitory zone at 6:19 mm at a concentration of 100%. Thus, inhibition zone onextracts of P. australis against V. harveyi bacteria at a concentration of 80% is theoptimum inhibition of the extract.Keywords : P. australis, antibacterial, Vibrio harveyii, screeningI. Pendahuluan1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara maritim dianugrahi biodiversitas hayati laut yangtinggi. Salah satu biodiversitas hayati laut yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakatIndonesia adalah makroalga. Chee et al., (2011) menjelaskan bahwa untuk kepentingankomersial, makroalga sudah dilakukan skreening aktivitas yang bermanfaat untukbioproduk. Hal ini meliputi skreening antibakteri melawan penyakit bakteri yangmenyerang biota budidaya. Makroalga merupakan tumbuhan yang hidup di laut,tergolong dalam Thalophyta, karena tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati,melainkan hanya menyerupai batang yang disebut thallus (Handayani et al., 2014). Morfologi makroalga secara umum terdiri atas filoid, kaloid dan holdfast, ketigakomponen ini disebut thallus. Filoid merupakan thallus yang menyerupai daun. Kaloid 163
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564merupakan thallus yang menyerupai batang terdapat banyak percabangan menyerupaitumbuhan darat sedangkan holdfast adalah thallus yang menyerupai akar berbentukcakram, berfungsi untuk melekat pada substrat. Pada beberapa marga Phaeophyta adayang mempunyai vesicle atau gelembung udara (Anggadiredja et al., 2006). Makro algaPhaeophyta sumber potensial senyawa bioaktif yang bermanfaat bagi pengembanganindustri farmasi sebagai antibakteri, anti tumor, anti kanker dan industri agrokimiaterutama untuk fungisida dan herbisida (Bachtiar, 2007). Menurut Salem et al., (2011)beberapa jenis makro alga dari divisi Phaeophyta memiliki daya antimikroba, antaralain Sargassum sp dan Turbinaria sp. Kecenderungan menurunnya produksi ka di perairan tambak adalah merebaknyapenyakit pada ikan yang disebabkan oleh bakteri pathogen. Penambahan antibiotik kedalam perairan tambak akan menimbulkan kekebalan. Disamping itu, kandunganantibiotik pada komoditas ikan menyebabkan jatuhnya harga ikan di pasaran. Olehkarena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mencari alternatif lain dalam mengatasimerebaknya penyakit ikan. Hanya sedikit data yang bisa ditemukan tentang pengaruh organisme-organismeyang melawan bakteri patogen di dalam aktivitas budidaya (Bansemir et al., 2006). Diantara bakteri patogen seperti spesies Aeromonas dan Vibrio dimana bertanggung jawabpada mortalitas berat terhadap organime akuatik baik yang di alam bebas maupundibudidayakan (Kayis et al., 2009). Dewasa ini telah banyak dilakukan penelitian tentang pengobatan yang amandan berwawasan lingkungan yaitu menggunakan bahan-bahan alami, salah satunyarumput laut. Hasil penelitian mengenai rumput laut telah banyak dilaporkan, yaitu :Mtolera (1996) yang mengekstrak 6 algae hijau dengan bahan pelarut diethyl eterterhadap 3 bakteri uji yaitu : S. aureus, B.subtilis, E. coli, ekstrak Valonia aegrophilapaling aktif terhadap semua organisme uji. Vitor et al., (2002), ekstrak Heksan,kloroform dan etanol dari 6 makroalgae laut (Rhodophyta dan Chlorophyta)menunjukkan bahwa dari ekstrak makroalge bersifat menghambat terhadap bakteri.Choudhury (2005) melaporkan tiga ekstrak algae laut, G. corticata, U. fasciata,E. compressa dengan menggunakan heksan, cloroform, etil asetat, cloroform, alkoholdan metanol, menunjukkan penghambatan terhadap bakteri pathogen yaitu, E. tarda,V. alginolyticus, P. fluorescens, P. aeruginosa dan A. hydrophila. MenurutTaskin et al., (2007), ekstrak kasar dari semua algae yang diuji kecuali C. officinalismenunjukkan hambatan terhadap S. aureus dan U. rigida merupakan ekstrak yangpaling efektif. Aktivitas hambatan paling tinggi terdapat pada E. aerogenes(34.00 ± 1.00 mm) dari C. officinalis dan diikuti dengan E. coli dan E. faecalis.D. dichotoma mempunyai aktivitas hambatan yang paling rendah (10.66 ± 1.52 mm).Ekstrak C. barbata mempunyai aktivitas spektrum yang paling luas, D. dichotoma danH. filicina mempunyai aktivitas yang paling rendah terhadap mikroorganisme.Metabolit primer atau sekunder dari rumput laut ini mungkin mengandung senyawabioaktif yang berpotensi untuk industri obat. Hasil penelitian juga dilaporkan bahwa164
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564aktivitas algae dapat digunakan sebagai antiviral, antibakteri dan antifungal yangberpengaruh terhadap beberapa pathogen (Vitor et al., 2002). Antibiotik dan desifektan merupakan salah satu solusi dalam mengatasi penyakitakibat bakteri dalam aktivitas budidaya (Austin dan Austin, 2007). Namun demikian,penggunaan antibiotik dan desifektan dalam aktivitas budidaya memiliki kerugiankhususnya yang berhubungan dengan generasi toksikan dimana menyebabkanresiko-resiko pada lingkungan dan resistansi bakteri pada antibiotik (Jones et al., 2004).Antibiotik yang digunakan dalam manusia dan hewan sudah diuji secara eksperimentaldapat mengobati infeksi bakteri pada ikan. Permasalahannya adalah solubilitas,palabilitas, toksisitas, biaya dan layanan dan aturan pemerintah sudah membatasiketersediaan antibiotik untuk diseleksi khususnya ikan budidaya yang dikonsumsi.Menurunnya khasiat dan resistansi patogen pada antibiotik diperlukan pengembanganalternatif baru (Smith et al., 1994). Oleh karena itu, solusi lain untuk mencegahpenyakit akibat bakteri dalam aktivitas budidaya yakni menggunakan makroalga lautseperti rumput laut dan padang lamun (Bansemir et al., 2006). Banyak bioaktif dansubstansi aktif farmakologi sudah diisolasi dari alga. Misalnya, ekstrak alga lautdilaporkan menunjukkan aktivitas antibakteri (Siddhanta et al., 1997). Dalam dekade terakhir ini, berbagai variasi struktur senyawa bioaktif yangsangat unik dari isolat alga telah berhasil diisolasi. Namun pemanfaatan sumber bahanbioaktif dari alga belum banyak dilakukan. Berdasarkan proses biosintesisnya, alga lautkaya akan senyawa turunan dari oksidasi asam lemak yang disebut oxylipin. Melaluisenyawa ini berbagai jenis senyawa metabolit sekunder diproduksi(Putra, 2006). Misonou et al., (2003) melaporkan bahwa jenis rumput laut merahPhorphyra yeszoensis mengandung potensi senyawa antioksidan yang dapatmenghambat penetrasi sinar UV yang kuat kedalam jaringan atau sel. Menurut Kardono(2004) terdapat sekitar 2500 jenis senyawa bioaktif dari laut yang telah berhasil diisolasidan diidentifikasi, dan 93 % diantaranya diperoleh dari rumput laut. Di Afrika Selatanekstrak methanol dari 56 rumput laut yang berasal kelas Chlorophyta (hijau),Phaeophyta (coklat) dan Rhodophyta (merah), dari ketiga kelas rumput laut tersebutyang mempunyai antibakteri paling tinggi terdapat pada kelas Phaeophyta(Choudhury, et al., 2005). Salah satu alternatif yang dapat dilakukan guna mengatasimasalah penyakit adalah penggunaan rumput laut sebagai bahan antimikroba. Dengandemikian, perlu alternatif lain untuk mengganti antibiotik dengan bioaktif yang ramahlingkungan dan mudah terurai. Senyawa bioaktif yang mulai banyak dikaji yaitu rumputlaut yang mengandung senyawa bioaktif sebagai antibakteri. Salah satu rumput lautyang banyak ditemukan di perairan Indonesia adalah rumput laut jenis K. alvarezii danE. denticullatum. Dengan adanya kandungan senyawa bioaktif pada rumput laut maka,dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai pemanfaatan rumput lautsebagai antibakteri. Dari ekstrak K. alvarezii dan E. denticullatum, diharapkan dapatberfungsi sebagai antibakteri yang dapat mengontrol pertumbuhan bakteri A. hydrophiladan V. harveyii. 165
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564 Bakteri genus Vibrio pada umumnya ditemukan di perairan pesisir dan estuaria.Beberapa strain Vibrio bersifat patogenik yang dapat menyebabkan Vibriosis yangmerupakan suatu penyakit infeksi serius yang menyerang biota ikan baik di alam liarmaupun yang dibudidayakan (Austin dan Austin, 1993). Vibrio harveyii merupakanbakteri patogenik dalam budidaya air laut and diakui sebagai agen kausatif utama vibrioyang sering menghasilkan mortalitas massal pada biota laut yang dibudidayakan(Premananthan et al., 1999). Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuanmakroalga laut P. australis Hauck dalam menghasilkan senyawa antibakteriVibrio harveryi. Keberadaan makroalga P. australis penghasil antibakteri ini diharapkandapat menurunkan jumlah bakteri patogen, sehingga mampu menurunkan kemungkinanberkembangnya penyakit yang menyerang ikan.II. Metode Penelitian2.1. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : biakan murni bakteriV. harveyii, rumput P. australis. Media TSA (Tryptone Soy Agar) dan media TCBSA(Thiosulfat Citrate Bilesalt Sucrose Agar), NB (Nutrient Broth), Alumonium foil,Aquades, Kertas cakram (paper disc), Metanol (99,8%) dan etanol (99,8%) semuanyadengan grade PA. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : rotaryvacuum evaporator, pH meter, Autoclave, Micro pipette, Cawan petri, Tabung reaksi,Erlenmeyer, Jarum ose, Bunsen, Oven, Timbangan Analitik, blender, Inkubator,penyaring, kertas saring, Water pump filtrasi, Colony Counter, Pinset, Triangle.2.2. Lokasi, Persiapan Penelitian dan Ekstraksi Penelitian ini dilaksanakan di 2 laboratorium yaitu Laboratorium MIPA HayatiUniversitas Syiah Kuala, Banda Aceh dan Balai Budidaya Air payau (BBAP) UjongBatee, Aceh Besar. Makroalga laut diambil dari perairan sekitar Labuhan HajiKabupaten Aceh Selatan. Lokasi ini dipilih karena makroalga di daerah tersebutberlimpah karena perairannya bersih. Simplisia tersebut diekstraksi dengan metodemaserasi tunggal yang mengacu pada Quinn (1988) dalam Darusman (1995) yaknimenggunakan pelarut organik dengan tingkat kepolaran yang berbeda yaitu metanol(polar), etil asetat (semi polar) dan n-heksan (non polar). Tujuan menggunakan ketigapelarut tersebut untuk mengetahui rendemen dan senyawa aktif dari P. australisberdasarkan tingkat kepolarannya. Sebelum diekstraksi, P. australis terlebih dahuludibersihkan dengan menggunakan air bersih. Hal ini bertujuan untuk membersihkanP. australis dari garam dan parasit yang menempel. Ekstraksi dilakukan denganmenggunakan tiga (3) macam pelarut yaitu metanol, etil asetat dan n-heksan. Tujuanmenggunakan tiga pelarut yaitu untuk memastikan senyawa bioaktif P. australis dapatterlarut pada pelarut polar, semi-polar dan non-polar. Sebelum diekstraksi, P. australisdirendam dalam air selama 24 jam, kemudian dicuci dan dijemur hingga kering.Ekstrasi dilakukan sebanyak 3 ulangan (triplo) dengan bobot 50 g pada setiap ulangansehingga menghasilkan 3 ekstrak kasar yaitu ekstrak metanol, ekstrak etil asetat dan166
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564ekstrak n-heksan. Ekstrak tersebut disaring menggunakan kertas saring dan dipekatkandengan penguap putar (rotary evaporator) pada suhu 30 0C (Batubara et al., 2010).2.3. Uji Fitokimia Uji fitokimia merupakan uji pendahuluan untuk mengetahui kandungan senyawaspesifik seperti alkaloid, triterpenoid, steroid, saponin, flavonoid, kuinon, tanin danfenol secara kualitatif (Harborne 1987).2.4. Uji Alkaloid Ekstrak P. australis dengan bobot tertentu dilarutkan dengan ml kloroform danbeberapa tetes NH4OH kemudian disaring ke dalam tabung reaksi bertutup. Ekstrakkloroform dalam tabung reaksi dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2 M dan lapisanasamnya dipisahkan ke dalam tabung reaksi lain. Lapisan asam ini diteteskan padalempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Mayer, Wagnerdan dragendorf yang akanmenimbulkan endapan dengan warna berturut-turut putih, coklat,dan merah jingga.2.5. Uji Saponin dan Flavonoid Ekstrak P. australis dengan bobot tertentu, dimasukkan ke dalam gelas kimiabesar kemudian ditambahkan 100 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, setelahitu disaring dan filtratnya digunakan untuk pengujian. Uji saponin dilakukan denganpengocokan 10 ml filtrat dalam tabung reaksi tertutup selama 10 detik kemudiandibiarkan selama 10 menit, adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buihstabil. Sebanyak 10 ml filtrat yang lain ditambahkan 0,5 g serbuk magnesium,2 mlalkohol klorhidrat (campuran HCl 37 % dan etanol 95 % dengan volume yang sama)dan 20 ml amil alkohol kemudian dikocok kuat-kuat, terbentuknya warna merah, kuningdan jingga pada lapisan amil akohol menunjukkan adanya flavonoid.2.6. Uji Tanin Ekstrak P. australis ditambah 100 ml air panas dididihkan selama 5 menit dandisaring. Lalu ke dalam sebagian filtrat ditambahkan larutan FeCl3, bila terjadi warnahitam kehijauan menunjukkan adanya tanin.2.7. Pengujian Efektivitas ekstrak P. australis Pengujian efektivitas ekstrak P. australis sebagai antibakteri Vibrio harveyiimenggunakan uji difusi menurut Kirby – Bauer dengan metode oles (Lay, 1994). Padamedia dioleskan satu ose bakteri Vibrio harveyi, kemudian kertas media cakram yangtelah mengandung ekstrak P. australis letakkan pada media dan ditekan agar ekstrakP. australis meresap pada media dengan baik. Pembacaan hasil dilakukan setelahdiinkubasi pada suhu 35 0C selama 24 jam dengan cara mengukur daerah hambatan(zona bening) di sekitar kertas cakram menggunakan kertas millimeter atau penggaris.Perlakuan yang digunakan pada dalam pengujian ini yaitu ekstrak dengan konsentrasi40%, 60% dan 80% dan 100% (b/v). Analisis data menggunakan Rancangan Acak 167
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564Lengkap yang dilanjutkan dengan uji acak berganda Duncan dengan taraf kepercayaan95%.III. HASIL DAN PEMBAHASAN3.1. Hasil Ekstraksi Hasil ekstraksi P. australis dengan menggunakan pelarut etanol 96% diperolehekstrak cair berwarna hijau tua kemudian dievaporasi menggunakan rotary evaporatordiperoleh ekstrak kasar berwarna hijau tua (Gambar 1). (a) (b) (c)Gambar 1. Hasil Ekstraksi P. australis tiga pelarut (a) Metanol ; (b) etil asetat ; (c) n-heksan Hasil maserasi sebanyak 50 g simplisia P. australis dengan pelarut metanoldiperoleh ekstrak cair berwarna hijau pekat dan setelah dipekatkan menjadi ekstrakkasar yang berwarna hijau dan simplisia P. australis dengan pelarut etil asetat diperolehekstrak cair berwarna kekuning-kuningan dan setelah dipekatkan menjadi ekstrak kasarberwarna kuning muda. Sementara maserasi simplisia P. australis dengan menggunakanpelarut n-heksan diperoleh ekstrak cair berwarna putih kekuningan dan setelahdipekatkan menjadi ekstrak cair berwarna bening. Rendemen ekstrak metanol sebesar11,3 %. Sementara, rendemen ekstrak etil asetat sebesar 6,2 % dan rendemen ekstrak n-heksan sebesar 5,2 %. Rendemen ekstrak metanol mempunyai polaritas yang tinggisehingga mampu melarutkan senyawa aktif dalam simplisia P. australis lebih banyakdibandingkan jika menggunakan pelarut lainnya. Selain itu, metanol mempunyai titikdidih dan cenderung aman apabila digunakan sebagai pelarut. Hasil ekstrak kentalmengindikasikan bahwa ekstrak P. australis mengandung komponen senyawa aktifyang larut dalam pelarut polar.3.2. Hasil Uji Fitokimia Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandunganmetabolit sekunder pada suatu sampel (Harborne, 1984). Analisis ini sangat bergunauntuk menentukan golongan utama senyawa aktif dari ekstrak P. australis memilikipotensi sebagai antibakteri. Uji yang dilakukan meliputi uji saponin, flavonoid dan168
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564tanin. Berdasarkan uji fitokimia pada ekstrak P. australis mengandung flavonoid, tanindan saponin. Adapun hasil pengujian fitokimia ekstrak P. australis ditunjukkan padaTabel 1.Tabel 1. Hasil analisis fitokimia ekstrak kasarIdentifikasi senyawa Flavonoid Tanin Saponinn-heksana -- -Etil asetat -- -Metanol +++ +++ ++Keterangan : +: kurang pekat, ++: sedang dan +++ : pekat. Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa filtrat ekstrak P. australis denganmenggunakan pereaksi etanol menunjukkan adanya flavonoid dengan kisaran pekat,sedangkan senyawa saponin berada pada kisaran pekat. Saponin nampak jelas ketikaada busa stabil pada saat filtrat dipanaskan. Tanin pada filtrat P. australis mempunyaikisaran pekat. Menurut Basmal (1999), bahwa senyawa tanin dan triterpenoidmerupakan suatu senyawa metabolit sekunder yang dapat dijumpai pada jenismakroalga dan mempunyai aktivitas sebagai antibakteri. Pendapat Fitriyani (2012)mengemukakan bahwa dalam ekstrak makroalga terdeteksi senyawa alkaloid, tanin dantriterpenoid yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri.3.3. Uji Efektivitas Ekstrak P. australis terhadap Bakteri Vibrio harveyi Pengujian efektivitas ekstrak P. australis terhadap antibakteri Vibrio harveyidilakukan dengan mengukur zona hambat pada variasi konsentrasi rendemen ekstraksecara berturut-turut 60%, 80%, dan 100%. Hasil pengukuran zona hambat dapatdisajikan pada Tabel 2.Tabel 2. Hasil analisis fitokimia ekstrak kasar Zona Hambat ekstrak P. australis (mm) 60% 80% 100% 12.18 12.55 6.19 Lebar zona hambat yang terbentuk ini dipengaruhi oleh konsentrasi bahan aktifyang terkandung dalam ekstrak P. australis, sensitivitas bakteri Vibrio harveyi terhadapekstrak, serta kecepatan difusi bahan aktif yang terdapat dalam ekstrak terhadapmedium agar. Selain itu, kondisi lingkungan media bakteri uji yaitu suhu, waktuinkubasi, umur bakteri juga mempengaruhi lebar zona hambat yang terbentuk dalamsetiap perlakuan konsentrasi ekstrak. Hal ini sesuai dengan pendapat Rajendra (2011)bahwa senyawa tanin yang terkandung dalam makroalga dapat menyebabkan denaturasi 169
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564dan koagulasi protein sel bakteri, sehingga menyebabkan kematian sel bakteri.Hadioetomo (1993), menyatakan bahwa waktu inkubasi, umur, dan jumlah sel bakteriberpengaruh terhadap pengujian daya hambat suatu bahan sebagai antibakteri.Sementara Dwijoseputro (1987), menyatakan bahwa tingkat efektivitas suatu bahanmenggunakan metode Kirby Bauer dikatakan sensitif jika terbentuk zona hambat(daerah bening) di sekeliling kertas cakram. Hasil pengukuran zona hambat yangterbentuk pada tiap perlakuan diperoleh zona hambat terluas sebesar 12.55 mm padakonsentrasi ekstrak 80%. Sementara zona hambat terkecil sebesar 6.19 mm padakonsentrasi 100%. Jadi, zona hambat pada ekstrak P. australis terhadap bakteriV. harveyi pada konsentrasi 80% merupakan penghambatan optimum dari ekstraktersebut. P. australis memiliki kandungan senyawa bioaktif yang berpotensi sebagaiantibakteri (Atmadja, 1992). Hasil penelitian uji fitokimia dengan ekstrak asetondiperoleh bahwa P. australis mengandung senyawa steroid, terpenoid, polifenol dansaponin yang berpotensi sebagai antibakteri (Salosso, 2012). Selain itu, hasil penelitianIzzati (2007) menunjukkan Padina sp efektif untuk menekan pertumbuhan bakteriPseudomonas. Makroalga mempunyai kandungan metabolit primer seperti vitamin,mineral, serat, alginat, karaginan dan agar yang digunakan dalam industri farmasi,kosmetik dan tekstil (Pratomo dan Sulistyowati, 2001). Makroalga juga memilikikandungan metabolit sekunder berupa senyawa bioaktif yang berpotensi sebagaiantibakteri, antivirus, antijamur dan sitostatik (Zainuddin dan Malina, 2009). Selain itu Kerans (2010) menyatakan bahwa Padina sp. adalah rumput laut yangberasal dari kelas Phaeophyta (rumput laut coklat) dan memiliki banyak kegunaan.Padina sp. dilaporkan memiliki potensi sebagai antimikroba karena mengandungsenyawa bioaktif diantaranya 1,4-Naphthoquinone dan triterpenoid. Gambar 1. Zona Hambat pada konsentrasi 60%170
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564 Gambar 2. Zona Hambat pada konsentrasi 80% Gambar 3. Zona Hambat pada konsentrasi 100% Ardiansyah (2007), menyatakan bahwa kemampuan antimikroba dalammemberikan penghambatan terhadap mikroorganisme yang merusak bahan pangansangat tergantung pada konsentrasi dan kandungan senyawanya. Pada dasarnyamekanisme penghambatan mikroorganisme oleh antimikroba dapat disebabkan olehbeberapa faktor diantaranya 1) Gangguan pada senyawa penyusun dinding sel; 2) 171
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564Peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat menyebabkan kehilangankomponen penyusun sel; 3) Menginaktivasi enzim dan 4) Kerusakan fungsi materialgenetik. Rachmaniar (1996) dalam Prajitno (2006) mengatakan bahwa beberapa jenisrumput laut dari perairan pantai Indonesia mempunyai aktivitas sebagai zat antibakteri,antara lain E. cottonii, E. spinosum, G. Verrucosa, G. conferviodes, Sargassum sp,H. opuntia yang menunjukkan aktivitas antibakteri patogen pada Staphylococcusaureus, Bacillubtilis, V. parahaemolyticus dan Vibrio harveyii. Hal ini dipertegas olehPrajitno (2006) menyatakan bahwa Halimeda opuntia yang mempunyai kandunganfenol sebagai zat antibakteri lebih dari 50 % berat basah. Menurut Prajitno, (2006)menyatakan bahwa pada E. cottonii, Gracilaria maupun H. opuntia pada konsentrasi 3% mempunyai sifat bakteriostatik dan bakteriosidal terhadap bakteri Vibrio harveyii,pada ekstrak H. opuntia mengandung 52,25% fenolik (flavonoid). Hal ini dipertegasoleh Pelczar, et al (1988) menyatakan bahwa persenyawaan fenolik sebagai antibakterimenghambat pertumbuhan dan metabolisme bakteri dengan cara merusak membransitoplasma dan mendenaturasi protein sel. Golongan senyawa kimia utama yangmempunyai sifat antibakteri adalah fenol, alkohol, halogen, logam berat, zat warna,deterjen, senyawa kuarter, asam dan basa. Senyawa fenol dapat berinteraksi dengankomponen dinding sel bakteri sehingga mengakibatkan permeabilitas pada sel bakteridan dapat juga berdifusi kedalam sel.IV. KESIMPULAN DAN SARAN4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa zona hambat yang terbentukpada tiap perlakuan diperoleh zona hambat terluas sebesar 12.55 mm pada konsentrasiekstrak 80%. Sementara zona hambat terkecil sebesar 6.19 mm pada konsentrasi 100%.Jadi, zona hambat pada ekstrak P. australis terhadap bakteri V. harveyi pada konsentrasi80% merupakan penghambatan optimum dari ekstrak tersebut. Berdasarkan ujifitokimia pada ekstrak P. australis mengandung flavonoid, tanin dan saponin. Hal inimenunjukkan bahwa senyawa polar memiliki peranan penting dalam menghambatpertumbuhan bakteri V. harveyi.4.2. Saran 1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai uji pemanfaatan ekstrak bioaktif P. australis pada pemeliharaan ikan pada skala laboratorium. 2. Perlu adanya uji histologi ikan yang sehat, sakit, dan setelah pengobatanDaftar PustakaAnggadiredja, J. T., A. Zatnika, H. Purwoto dan S. Istini. 2006. Rumput Laut. Cetakan I. Jakarta : Penerbit Swadaya172
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564Ardiansyah. 2007. Antimikroba dari Tumbuhan (Bagian Kedua). Berita Iptek Online. 4 hal. http ://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek2007-06-0Antimikroba- dariTumbuhan.Austin, B.B. & Austin, D.A. 1999. Bacterial Fish Pathogens: Disease of farmed and Wild Fish. Chichester, United Kingdom: Praxis Publishing Ltd.Atmadja, WS. 1992. Rumput Laut Sebagai Obat. Oseana, Vol: XXII No 1:1-8. LIPI.Bachtiar, A. 2007. Penelusuran Sumber Daya Hayati Laut (Alga) sebagai Biotarget Industri. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran. Jatinagor.Bansemir, A., Blume, M., Schröder, S. & Lindequist, U. 2006. Screening of cultivated seaweeds for antibacterial activity against fish pathogenic bacteria. Aquaculture 252: 79-84.Basmal, JJT. Murtini dan Yunizal. 1999. Teknologi Ekstraksi Alginat dari Rumput Laut Coklat. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.Batubara I, Darusman LK, Mitsunaga T, Rahminiwati M, Djauhari E. 2010. Potency of indonesia medicinal plants as tyrosinase inhibitors and antioxidant agent. J. Biol. Sci 10 (2) : 138-144.Chee, S-Y., Wong, P-K. & Wong, C-L. 2011. Extraction and characterisation of alginate from brown seaweeds (Fucales, Phaeophyceae) collected from Port Dickson, Peninsular Malaysia. Journal of Applied Phycology 23: 191-196.Choudhury S, Sree A, Mukherjee S C, Pattnaik P and Bapuji M. Antibacterial Algae and mangrove against fish pathogen, Asian Fisheries Sci., 18 (2005) 287 – 296Darusman LK, Sajuthi D, Sutriah K, Pamungkas D. 1995. Ekstraksi Komponen Bioaktif sebagai Bahan Obat dari Karang-Karangan, Bunga Karang dan Ganggang Laut di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Buletin Kimia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.Dwijoseputro. 1987. dasar-dasar Mikrobiologi. Universitas Brawidjaya, Djambatan, Malang.Fitriany, P. 2012. Kandungan Fenol, Senyawa Fitokimia, Aktivitas Antioksidan Rumput Laut Padina australis. Bogor. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.Hadioetomo, Ratna Siri. 1993. Mikrobiologi dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia, Pustaka Utama, jakarta.Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, Penerjemah; Niksolihin S, Editor. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.Handayani, S. Setia, TM. Rahayu, SE. 2014. Pengenalan makro alga Indonesia. Dian Rakyat. Jakarta.Izzati, M. 2007. Skreening potensi antibakteri pada beberapa spesies rumput laut terhadap bakteri patogen pada udang windu. Bioma ISSN : 1410-8801, 9(2): 62- 67.Jones, O.A.H., Voulvoulis, N. & Lester, J.N. 2004. Potential ecological and human health risks associated with the presence of pharmaceutically active compounds in the aquatic environment. Critical Reviews in Toxicology 34: 335-350. 173
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564Kayis, S., Ozcelep, T., Capkin, E. & Altinok, I. 2009. Protozoan and metazoan parasites of cultured fish in Turkey and their applied treatments. The Israeli Journal of Aquaculture 61: 93-102.Kerans FA. 2010. Optimasi lama waktu maserasi dan volume metanol terhadap aktivitas antibakteri ekstrak Padina sp. (Linn.) pada Klebsia pneumoniae MGH 76578, Staphylococcus aureus SNCC 0047, dan Bacillus subtilis SNCC 0061 [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Atma Jaya Yogyakarta.Kardono, L.B. 2004. Prospecting on Marine Natural Products for Potensial Functional Foods and Bioactive Substance. Makalah disampaikan pada forum Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan, 25 Maret 2004. 15 pp.Mtolera and AK. Semeso. 1996. Antimicrobial Activity of Extracts from Six Green Algae from Tanzania. University of Dar es Salaam. Tanzamania.Misonou, T. Saitoh, J. Oshiba, S. Tokitomo, Y. Maegawa, M. Inoue, Y. Hori, H and Sakurai, T. 2003. UVAbsorbing Substance in Red Alga Porphyra Yezoensis (Bangiales, Rhodophyta) Block Thymine Photodimer Production. Mar. Biotechnol. 5 : 194-200Pelczar, M. J dan E.C.S. dan Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Alih Bahasa R.S. Hadioetomo, T. Imas, S.S. Tjitrosomo dan S.L. Angka. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 88 hal.Pratomo, H. Sulistyowati, L. 2001. 'Studi Karakter Fisika dan Kimia Perairan Pulau Kelapa untuk Penentuan Lokasi Budidaya Rumput Laut'. Laporan Penelitian, Universitas Terbuka, Universitas Terbuka, JakartaPrajitno, A. 2006. Pengendalian Penyakit Vibrio harveyii dengan Ekstrak Rumput laut (Halimeda opuntia) pada Udang Windu (Penaeus monodon Fab) PL-13. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.Putra, I.N. K. 2007. Study Daya Antimikroba Ekstrak Beberapa Bahan Tumbuhan Pengawet Nira Terhadap Mikroba Perusak Nira Serta Kandungan Senyawa Aktifnya. Disertasi.Premanathan, M., Rajendran, S., Ramanathan, T., Kathiresan, K., Nakashima, H. & Yamamoto, N. 2000. A survey of some Indian medicinal plants for anti-human immunodeficiency virus (HIV) activity. Indian Journal of Medical Research 112: 73-77.Rajendra, C.E., Gopal S., Mahaboob Ali., Yashoda S.V., Manjula M. 2011. Phytocemical screening of the Rhizome of Kaempferia galanga. Internasional Journal of Pharmacognosy and Phytocemical Research 2011:3 (3): 61-63Salem, WM. Galal, H. Nasr, EF. 2011. Screening for antibacterial activities in some marine algae from The Red Sea (Hurghada, Egypt). African Journal of Microbiology Research, 5 (15): 2160-2167.Salosso, Y. 2012. Pemberian ekstrak aseton Padina Australis sebagai antibakteri alami dalam pengobatan ikan kerapu tikus (Cromileptus altivelis) yang terinfeksi Vibrio alginolyticus. Jurnal Bahan Alam Indonesia, Vol. 8 No. 1Smith, P., M.P. Hiney and O.B. Samuelsen. 1994. Bacterial resistance to antimicrobial agents used in fish farming. Annual Review of Fish Diseases 4: 273-313.174
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564Siddhanta, A.K, K.H. Mody, B.K. Ramavat, V.D. Chauhan, H.S. Garg, A.K. Goel, M. Jinandra Doss, M.N. Srivastava, G.K. Patnaik and V.P. Kamboj. 1997. Bioactivity of marine organisms: Part VIII-Screening of some marine flora of Western coast of India. Indian Journal Experimental Biology 35:638-643.Taskin, E., Oz. turk, M. & Kurt, O. 2007. Antibacterial activities of some marine algae from the Aegean Sea (Turkey). African Journal Biotechnology 6: 2746-2751.Vitor J.M, Carvalho A.F.F.U, Freitas S.M, Melo V.M.M. 2002. Antibacterial Activity of Extracts of Six Macroalgae From The Northeastern Brazilian Coast.. Departamento de Microbiologia, Instituto de Ciencias Biologicas, Universidade Federal de Minas Gerais, Belo Horizonte;Departamento de Biologia, Universidade Federal do Ceara, Fortaleza, CE, Brasil. Brazilian Journal of Microbiology. 33:311-313.Zainuddin, EN. Malina, AC. 2009. Skrining Rumput Laut Asal Sulawesi Selatan sebagai Antibiotik Melawan Patogen pada Ikan. Laporan Penelitian Research Grant, IMHERE-DIKTI, IMHERE DIKTI. 175
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564176
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564PEMBUATAN DAN PENGEMBANGAN LAMPU LED CELUP (SUPERBRIGHT BLUE) UNTUK PERIKANAN BAGAN APUNG DI PERAIRAN PATEK KABUPATEN ACEH JAYA PROPINSI ACEHMAKING AND DEVELOPMENT OF UNDERWATER LAMP (SUPER BRIGH BLUE) FOR FISHERIES IN THE WATER LIFTNET YAWS ACEH JAYA DISTRICT ACEH PROVINCE Taufiq1, Wazir Mawardi2, Mulyono S Baskoro2, Zulkarnain21 Jurusan Perikanan, Fakukltas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Meulaboh. 2 Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian, Bogor. Korespondensi: [email protected] Abstract Fishery potential utilization in the waters of Aceh Jaya was dependent on fishingtechnology and still limited.The type of fishing gears which used in Aceh Jaya werebeach seine, line fishing, gillnet, and liftnet. Liftnet used by Patek fishermen wasfloating liftnet. Bagan was classified in light fishing. The type of lamps which used byfishermen was fluorescent and set on the surface, whereas the surface lamp was lesseffective for use. This research used underwater lamp. The aims of this research were toget underwater lamp construction and determine the LED effectiveness. Construction ofunderwater lamp designed an innovation, that was the dimmed, so that fish which haveaggregated by the light would more focus to the liftnet. The research methods weredescriptive, fishing gear construction design, experiment or experimental fishing.Underwater lamp lights could help Patek fishermen for fishing and got maximumcatches. Total catches by using fluorescent light were 2343 kg. Meanwhile, total catcheswith underwater lamp were 3779 kg. Fish species that were caught by lift net wereanchovy, peperek, tembang, mackerel, selar, japuh, and layur for 10 trip, 5 trip in thedark and the bright moon. Seen that there were differences of catches amount andcomposition by using fluorescent lamps and underwater lamp. The results of research itwas concluded effective underwater lamp as a tool in fisheries liftnet.Keywords : LED, Underwater lamp, Lift netI. Pendahuluan Kondisi sumberdaya perikanan di Kabupaten Aceh Jaya masih dapatdikategorikan perikanan yang baik dan belum banyak dimanfaatkan, karena kurangtesedianya armada perikanan tangkap yang memadai karena nelayan masih banyakmenggunakan kapal-kapal yang berukuran kecil. Salah satu lokasi operasi penangkapanikan di Aceh Jaya adalah perairan Patek. Hasil tangkapan ikan di perairan Pateksebagian besar adalah jenis ikan pelagis kecil seperti ikan teri, kurisi, kembung, ekorkuning, selar, kuniran, yang berharga rendah, dibandingkan hasil tangkapan ikan pelagisbesar seperti ikan tongkol, tuna, cakalang, yang nilai jualnya lebih tinggi (Nasrudin2009). Jenis alat tangkap yang dominan digunakan dalam kegiatan operasi penangkapanikan di Aceh Jaya diantaranya adalah pukat pantai, pancing, jaring insang, bagan tancapdan bagan apung. Jenis alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan Patek adalah 177
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564bagan apung. Salah satu faktor pendukung keberhasilan perikanan bagan adalah cahaya(Sudirman dan Nessa 2011). Cahaya merupakan alat bantu untuk mengumpulkan ikandi daerah cakupan alat tangkap sehingga ikan-ikan dapat ditangkap (Notanubun danPatty 2010). Penelitian mengenai bagan telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti sumbercahaya sebagai alat bantu pada bagan. Bermacam sumber cahaya yang digunakan padabagan diantaranya lampu petromaks. Setelah pencabutan subsidi bahan bakar minyaktanah pada tahun 2010 lampu petromaks di nilai tidak lagi ekonomis. Nelayan baganberalih ke lampu neon dengan menggunakan bahan bakar sumber energi listrik yang dihasilkan dari generator set (genset). Lampu petromaks dan lampu neon dioperasikan diatas permukaan air. Lampu permukaan kurang efektif karena terjadinya pemantulancahaya yang diakibatkan oleh permukaan air (Syafrie 2012). Penelitian lainpun telah dilakukan mengenai aplikasi lampu LED padapengoperasian bagan tancap. Penelitian tersebut merancang konstruksi lampu LEDcelup dengan dimensi yang masih terbatas. Peneliti juga menyimpulkan penggunaanlampu LED celup dapat memberikan hasil yang lebih banyak dibandingkan lampu yangdioperasikan di atas permukaan air. Jenis lampu yang digunakan tipe LED ultra brightwhite 5 mm (3.2-3.4 V dan 0.04 A) (Thenu 2015). Penelitian ini merupakan penelitianlanjutan dengan merancang kembali kostruksi lampu dengan dimensi lebih panjang dandi rancang inovasi pada lampu yaitu sistem penurunan intensitas cahaya (sistemperedupan). Jenis lampu LED yang digunakan tipe LED super bright blue 5 mm (3.2-3.4 V dan 0.02 A), jenis lampu yang digunakan dalam penelitian ini lebih murahdibandingkan LED ultra bright white 5 mm. Tujuan dari penelitian ini adalahmendapatkan konstruksi dan menentukan efektivitas lampu celup dalam air denganmenggunakan lampu LED (Light Emitting Diode). Manfaat penelitian ini adalah dapatmemberikan masukan kepada nelayan Aceh Jaya dalam meningkatkan produksiperikanan bagan apung dan menghematkan biaya operasional serta memberikaninformasi dasar untuk pengembangan lampu LED celup.II Metode Penelitian2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam perancangan lampu LED celup adalah alat ukurpanjang, gergaji besi, spidol, solder, bor listrik, ATK, Avometer, luxmeter, dan baganapung. Bahan yang digunakan dalam perancangan dan pembuatan lampu LED celupadalah lampu kamera, LED super bright blue 5 mm, pipa PVC (polyvinil chloride),accu, power supply, mangkok plastik, resistor, cat pilox, timah solder, mata bor, kabellisrik, dimmer DC, lem akrilik (acrylic polycarbonat), dan tabung akrilik.2.2 Metode Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancang bangunalat, experimental fishing, dan pengumpulan data dilakukan menggunakan metodedeskriptif komparatif dengan mengumpul jenis data yaitu data primer dan data178
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564sekunder. Data primer dikumpulkan dengan cara melakukan pengukuran langsungdengan parameter terkait seperti, pengukuran iluminasi cahaya, biaya operasional, danwaktu operasi penangkapan serta jenis dan komposisi hasil tangkapan ikan di perairanPatek. Sedangkan, data sekunder dikumpulkan dengan cara studi literatur yangmenyangkut dengan penelitian ini.2.3 Konstruksi Elektronik Lampu LED Celup Tahap pertama, lampu LED yang digunakan yaitu tipe LED super bright blue 5mm, 3.2 V - 3.4 V dan 0.02 A. Tahap kedua, menentukan rangkaian listrik yangdigunakan pada saat merangkai lampu LED celup yaitu rangkaian paralel. Tahap ketiga,menentukan resistor yang digunakan dalam rangkaian lampu. Resistor yang digunakandalam rangkaian ini adalah 47 Ohm - 2 Watt. Jika diketahui tahanan resistor (Ohm)yang digunakan maka akan diketahui juga berapa Arus (A) dan daya (W). =( ) = ℎ ;(1) =( ) = Ampare (2) = = ; dan = = (3) = =Keterangan :R : Tahanan resistor (Ohm),V : Tegangan Sumber (V),V : Tegangan LED (V),I : Arus LED (A),P : Daya LED (W). Tahap keempat, merancang sistem penurunan intensitas cahaya (sistemperedupan) pada lampu. Sistem peredupan pada lampu dengan menggunakan dimmerDC. Merancang sistem peredupan ini bertujuan pada saat lampu sudah dinyalakan dapatdiredupkan, sehingga ikan-ikan yang sudah terkumpul di area lampu lebihterkonsentrasi pada area alat tangkap.2.4 Mendesain Bentuk Konstruksi Lampu LED Celup (Underwater Lamp). Tahap pertama, bentuk konstruksi lampu LED celup dirancang berbentuk tabungatau silinder vertikal. Tahap kedua, merancang pemberat yang diletakkan pada bagiantengah lampu. Bahan yang digunakan adalah pemberat batangan seberat 12 kg, laludicor dengan semen pada pipa PVC Ø 3 inchi, panjang 80 cm. Tahap ketiga, membuattabung pelindung lampu dengan menggunakan tabung akrilik bening. Tabung iniditutup pada bagian bawah dengan lem khusus akrilik dan dibuat penutup atas tabung,sehingga tabung bisa di buka-tutup dan lampu bisa di keluar masukkan. Setalah 179
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564semuanya dibuat akan diujicoba kedap air, apabila tabung tidak kemasukan air makadianggap berhasil.2.5 Pembuatan Lampu LED Celup Dalam Air (Underwater lamp) Tahapan dan proses pembuatan lampu LED celup adalah dengan didokumentasikan secara terstruktur mulai dari awal hingga selesai. Analisis yangdigunakan dalam proses pembuatan lampu celup adalah analisis deskriptif yaitumenjabarkan proses dari pembuatan dan pemilihan bahan yang digunakan, selain itudidukung juga oleh referensi yang ada serta spesifikasi dari bahan material yangdigunakan (Sugioyono 2007).2.6 Sistem Rangkaian Lampu Tahap pertama, disiapkan pipa PVC Ø 4 inch, panjang 85 cm. Pipa dibelahmenjadi 2 bagian untuk mempermudah pemasangan lampu, kedua permukaan paralondilubangi menggunakan bor listrik dengan mata bor 4.5 mm, jarak antar lubang 1.5 x1.5 cm. Selanjutnya pipa dicat menggunakan cat pilox berwarna perak sehingga dapatmemantulkan cahaya. Disiapkan pula mangkok lalu dilakukan seperti halnya paralon(dilubangi, dan dicat dengan warna perak). Mangkok ini nantinya dipasang pada bagianbawah paralon. Tahap kedua adalah melakukan pemasangan lampu LED pada pipa paralon.Rangkaian listrik yang digunakan pada perancangan lampu yaitu rangkaian paralel.LED ditentukan bagian positif–negatifnya terlebih dahulu dengan melihat pada kakiyang panjang sebelah, panjang (+) dan pendek (-) (Setiadi et al. 2012). Lampu LEDyang dipasang pada pipa setiap 10 LED terdapat 1 resistor.2.7 Pembuatan Tabung Pelindung Lampu Pembuatan tabung pelindung lampu dengan mengunakan bahan akrilik. Tabungyang digunakan dengan ukuran (panjang 100 cm, Ø 6 inchi, dan ketebalan 5 mm).Setelah ditentukan bagian bawah dilakukan penutupan secara pemanen pada bagianbawah dengan menggunakan akrilik, selanjutnya dirancang penutup bagian atas dibuatbisa buka-tutup. Setelah bagian bawah dan atas tabung ditutup dilakukan uji kedap air.2.8 Uji Kedap Air Tabung pelindung diujicobakan atau dimasukkan kedalam air 1-2 meter dalamwater tank untuk diuji ada kebocoran atau tidak. Lama perendaman sekitar 1-2 jam,kemudian tabung di angkat ke atas dan dipastikan tidak ada air yang masuk kedalamtabung. Apabila tidak ada air yang masuk maka uji kedap air selasai. Tabungdiujicobakan dalam keadaan kosong atau tanpa rangkaian lampu. Lampu yang sudahselesai dirangkai pada paralon, lalu dimasukkan ke dalam tabung pelingdungnya yangsudah teruji kedap air.2.9 Uji Sebaran Cahaya di Udara180
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564 Iluminasi merupakan intensitas penerangan atau kekuatan penerangan. Intensitaspenerangan adalah flux cahaya yang jatuh pada suatu permukaan, atau kekuatan cahayayang dipancarkan dari suatu sumber cahaya. Besarnya diukur dengan satuan candela.Sementara flux cahaya dipancarkan oleh suatu sumber cahaya adalah seluruh jumlahcahaya yang dipancarkan dalam satu detik. Iluminasi cahaya akan turun jika jarak darisumber cahaya semakin jauh dan apabila cahaya melewati medium air. Mengukuriluminasi cahaya dari suatu sumber cahaya digunakan rumus berikut (Puspito 2008). =/Keterangan :E : Iluminasi cahaya (lux),I : Intensitas cahaya (candela),R : Jarak dari sumber cahaya (m).2.10 Uji Coba Lampu LED Celup Pada Saat Operasi Penangkapan Ikan Penelitian ini dilakukan uji coba pada saat penagkapan ikan dengan tujuan dapatmengetahui kemampuan dari lampu LED celup dalam mengumpulkan danmengkonsentrasikan ikan-ikan di dalam area jaring bagan. Pengamatan di dalam airdilakukan dengan menggunakan metode pengamatan visual dan melihat komposisi hasiltangkapan bagan. Selanjutnya diamati beberapa variabel pada saat lampu LED celupdalam air dioperasikan diantaranya adalah tingkah laku dan sebaran kawan ikan yangberada di area bagan apung dalam beberapa waktu setting dan hauling, tingkah lakuikan pada saat lampu dilakukan peredupan, dan tingkah laku ikan setelah dilakukanhauling. Analisis data mengenai tingkat efektifitas alat dapat dilihat dari total tangkapanperhauling, komposisi tangakapan, rata-rata tangkapan dengan menggunakan lampuLED celup maupun lampu neon.III Hasil dan Pembahasan3.1 Rancangan dan Konstruksi Lampu LED Celup Kelebihan daripada rancangan kostruksi lampu LED celup adalah sebuah inovasiterbaru yang telah disebutkan diatas. Sistem lampu ini terhubung dengan dengandimmer DC supaya penurunan intensitas cahaya dapat diatur sesuai kebutuhan, lalusistem lampu juga terhubung dengan sistem power supply menggunakan sakelar.Sumber energi yang digunakan untuk lampu berasal dari sumber arus yaitu accu,sehingga dapat memudahkan para nelayan dalam mengoperasikannya. Sistem rangkaianpada lampu LED celup terdapat pada gambar dibawah. Sistem Dimm Sakelar er Lamp u Power Battery LED Celup Accu Supply 12 V 120Gamb(Aarda1ptSoirs) tem lampu LED celup. rangkaian Aphada 181
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-55643.2 Sistem Rangkain Lampu Lampu hasil rekayasa yang digunakan adalah lampu LED SPB 5mm sebanyak1457 lampu yang dipasang pada pipa PVC dengan rangkaian paralel. Lampu LED yangterpasang terhubung dengan resistor yang berfungsi untuk menahan arus, sehingga aruslebih stabil. Tipe resistor yang digunakan adalah 47 Ohm – 2 watt dengan jumlahsebanyak 146. Resistor dihubungkan pada kaki positif lampu dan pada kaki negatifdihubungkan dengan kabel, maka setiap kabel pada bagian positif dijadikan satu begitujuga pada bagian negatifnya. Setelah itu bagian (+) dan (-) dihubungkan pada dimmersebagai sistem peredupan pada lampu. Kabel yang terhubung pada dimmerdihubungkan ke power supply dengan sistem sakelar, lalu dihubungkan pada ke accusebagai sumber daya. Hasil rancangan konstruksi lampu LED celup terdapat padaGambar 2 dan 3.Gambar 2 Bentuk konstruksi lampu LED celup. Gambar 3 Hasil konstruksi lampu LED celup.3.3 Uji Sebaran Cahaya Lampu LED Celup Uji sebaran cahaya dilakukan untuk mengetahui tingkat iluminasi dan polasebaran cahaya lampu LED yang di buat. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada4 jarak yang berbeda yaitu 50 cm, 75 cm, 100 cm, dan 125 cm. Pengukuran inidilakukan secara horizontal dan vertikal dengan kelipatan sudut 10° pada medium182
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564udara. Ilustrasi pengukuran iluminasi cahaya pada lampu LED celup terdapat padaGambar 4. abGambar 4 Ilustrasi pengukuran iluminasi cahaya pada lampu LED celup a. Posisi horizontal; b. posisi vertikal. Pengukuran hanya dilakukan pada 2 sisi lampu dengan sudut yang di ambil 0° -180° dan untuk sudut 180° - 360° dianggap sama nilainya, baik pengukuran secarahorizontal maupun vertikal. Hal ini dipengaruhi oleh bentuk desain konstruksi lampuyang berbentuk tabung atau silinder vertikal dan jenis maupun jumlah lampu yangdigunakan sama. Pola sebaran cahaya pada lampu LED celup posisi horizontal danvertikal terdapat pada Gambar 5 dan 6.Posisi Horizontal - 360° Posisi Vertikal - 360° . Jarak 50 cm Jarak 50 cm Jarak 75 cm Jarak 75 cm Jarak 100 cm Jarak 100 cm Jarak 125 cm Jarak 125 cmGambar 5 Pola sebaran cahaya lampu LED celup3.4 Uji Sebaran Cahaya pada Lampu Noen Uji sebaran cahaya pada lampu neon juga dilakukan dengan cara yang samaseperti pada lampu LED celup. Ilustrasi pengukuran intensitas dan pola sebaran cahayaterdapat pada 6 dan 7. 183
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564 Gambar 6 Ilustrasi pengukuran intensitas cahaya pada lampu neon. Posisi Horizontal - 360° Posisi Vertikal - 360° Jarak 50 cm Jarak 50 cm Jarak 75 cm Jarak 75 cm Jarak 100 cm Jarak 100 cm Jarak 125 cm Jarak 125 cm Gambar 7 Pola sebaran cahaya pada lampu neon.3.5 Daya Tahan Accu Terhadap Lampu LED Celup Perhitungan terkait berapa lama waktu tahan accu dapat membackup lampuLED celup. Perhitungan ini sangat diperlukan untuk mengetahui berapa lama waktuaccu bertahan pada saat digunakan pada saat operasi penangkapan ikan berdasarkanbesar sumber daya beban yang digunakan. Spesifikasi accu yang digunakan dengansumber daya 12 V 120 Ah dan beban daya lampu LED sebesar 93 Watt. Untukmenghitung berapa lama daya tahan accu terhadap beban berdasarkan persamaandibawah ini (Zunelfi 2012), yaitu : V : 3,2 – 3,4 V; R : 44 Ohm47 Ohm; Dayaaccu : 12 V 120 Ah; I : 29 Ampare; dan P : 93 watt. = = A (1) = (2) = −3 ( ); atau = ℎ= (3)184
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564 (4), = =( ) ) −3Keterangan : = (I : Arus accu (A),P : Daya LED (W),V : Tegangan sumber (V),t : Daya tahan accu (t),P : Daya accu (Wh). Hasil perhitungan daya tahan accu terhadap beban didapatkan hasil, accu bertahanselama 12.48 jam/menit. Dari hasil perhitungan maka nelayan cukup untuk digunakanselama satu malam. Untuk penangkapan malam berikutnya nelayan cukup mengecaskembali accu tersebut.3.6 Penelitian di Lapangan Pengoperasian bagan apung dibutuhkan 3 orang ABK yang dipimpin oleh satuorang juragan laut (nahkoda). Juragan laut memimpin dan bertanggung jawab terhadapseluruh operasi penangkapan ikan. Waktu penangkapan dibagi dalam 2 tahap yaitu daripukul 19. 30 - 00. 30 WIB dan 00.30 - 05.30 WIB. Jumlah hauling dalam 1 malamsebanyak 4 kali hauling. Adapun waktu operasi penangkapan ikan bisa dilihat padatabel dibawah.Tabel 1 Waktu operasi penangkapan ikan. Waktu yang dibutuhkan (menit) 10 - 15 menit No. Deskripsi 1. Persiapan, penurunan jaring 90 - 120 menit 2. Pencahayaan dan pengamatan : 120 - 180 menit a. Lampu celup 20 - 30 menit b. Lampu neon Langsung dengan lampu hauling 3. Pemadaman secara bertahap : a. Lampu celup 10 - 20 menit b. Lampu neon 10 - 15 menit 4. Pengangkan jaring 10 - 15 menit 5. Mengiring ikan ke sisi kapal 20 - 90 menit 6. Mengangkat ikan ke atas kapal 7. Sortir3.7 Hasil Tangkapan Bagan Apung Jumlah dan komposisi jenis hasil tangkapan dengan menggunakan alat bantulampu LED celup dan lampu neon adalah teri (Stolephorous sp), peperek (Leiognathussp), tembang (Sardinella sp), selar (selar sp), kembung (Rastrelliger sp), japuh(Dussumeriea sp), layur (Trichiurus sp), cumi-cumi (Loligo sp), julung-julung(Hemirhamphus sp), layang (Decapterus sp), terbang (Cypsilurus sp), bawal (Formio 185
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564sp), dan rambeng (Dipterygonous sp). Hasil tangkapan total dengan menggunakan alatbantu lampu LED celup dan lampu neon dapat dilihat pada gambar 8. Total Hasil Tangkapan Dengan Lampu LED dan NeonTotal Hasil Tangkapan (Kg/Hauling) Total Hauling Total HT L. Neon (Kg) Total HT L. Celup(Kg) Gambar 8 Total hasil tangkapan dengan lampu LED celup dan lampu neon.Jenis ikan dominan yang tertangkap dengan lampu LED adalah teri (Stolephorous sp),peperek (Leiognathus sp), tembang (Sardinella sp), kembung (Rasrelliger sp), selar(Selar sp), japuh (Dussumeriea sp), dan layur (Trichiurus sp), jumlah total tangkapansebanyak 3779 kg dengan rata-rata tangkapan sebesar 377.9 kg/trip. Sedangkan jenisikan dominan yang tertangkap dengan lampu neon adalah teri (Stolephorous sp),peperek (Leiognathus sp), tembang (Sardinella sp), selar (Selar sp), kembung(Rastrelliger sp), japuh (Dussumeriea sp), dan layur (Trichiurus sp), jumlah total 2343dengan rata-rata tangkapan adalah 234.3 kg/trip selama 10 trip. Hasil tangkapan baganapung dengan menggunakan lampu LED celup dan neon terdapat pada Tabel 2 dan 3.Tabel 2 Hasil tangkapan bagan apung dengan lampu LED celupNo. Nama Ikan Hasil Tangkapan Perhauling (Kg) Total Hasil Tangkapan Ikan 12 3 4 (Kg) (%)1 Teri 223 266 283 216 988 26,144%2 Peperek 163 211 209 114 697 18,444%3 Tembang 563 14,898% 118 183 169 934 Kembung 98 130 139 78 445 11,776%5 Selar 79 103 97 70 349 9,235%6 Japuh 51 99 87 48 285 7,542%7 Layur 44 88 79 39 250 6,616%8 Lain-lain 46 55 62 39 202 5,345% Total 3779 100,000%186
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564Tabel 3 Hasil tangkapan bagan apung dengan lampu neon.No. Nama Ikan Hasil Tangkapan Perhauling (Kg) Total Hasil Tangkapan Ikan 12 34 (Kg) (%)1 Teri 103 149 152 122 526 22,450%2 Peperek 66 131 125 89 411 17,542%3 Tembang 71 109 115 80 375 16,005%4 Selar 59 75 77 67 278 11,865%5 Kembung 43 76 89 466 Japuh 39 70 79 32 254 10,841% 220 9,390%7 Layur 34 40 48 38 160 6,829%8 Lain-lain 23 30 39 27 119 5,079% Total 2343 100,000%IV Penutup4.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian yang telah dilakukan adalahsebagai berikut :1. Desain dan konstruksi lampu LED celup yang berbentuk tabung atau silinder vertikal, efektif sebagai alat bantu pengumpul ikan pelagis kecil pada bagan apung di perairan Patek, Kabupaten Aceh Jaya.2. Berdasarkan hasil tangkapan total dengan lampu LED celup sebanyak 3779 kg dan lampu neon sebanyak 2343 kg, rata-rata tangkapan dengan lampu LED celup sebesar 377,9 kg/trip dan lampu neon sebesar 234,3 kg/trip, dan komposisi tangkapan. Pengggunaan lampu LED celup lebih efektif dibandingkan lampu neon.4.2 Saran Ada beberapa saran yang didapatkan setelah melakukan penelitian ini, yaitusebagai berikut :1. Untuk penelitian selanjutnya perlu dirancang lampu LED dengan dimensi yang lebih kecil sehingga lebih ringan dan mudah dalam pengoprasiannya atau bisa dirancang tiang di atas bagan untuk pengangkatan lampu ke atas bagan.2. Selanjutnya perlu dilakukan perancangan konstruksi dan ujicoba dengan variasi warna lampu LED yang berbeda.Daftar PustakaNasruddin. 2009. Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Pelagis Besar di Kabupaten Aceh Jaya Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.Notanubun J, Patty W. 2010. Perbedaan Penggunaan Intensitas Cahaya Lampu Terhadap Hasil Tangkapan Bagan Apung di Perairan Selat Rosenberg Kabupaten Maluku Tenggara Kepulauan Kei. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Surakarta. Solo. Vol. VI-3.Puspito G. 2008. Lampu Petromaks : Manfaat, Kelemahan dan Solusinya pada Perikanan Bagan. Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 187
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564Sudirman H, Nessa N. 2011. Perikanan Bagan dan Aspek Pengelolaannya. UMM Press. Malang.Sugioyono. 2007. Statistik Untuk Penelitian. Alfa Beta. Bandung.Setiadi FD, Purnomo DD, Susilo D. 2012. Modul Lampu LED (Light Emitting Diode) Tang Dicatu Oleh Sel Surya. Prgoam Studi Teknik Elektro, Fakultas Elektronika dan Komputer, Universitas Kristen Setya Wacana. Salatiga. Vol. IV. 133-134.Syafrie H. 2012. Efektivitas Lampu Tabung pada Perikanan Bagan. Thesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.Thenu IM. 2014. Aplikasi Lampu LED (Light Emitting Diode) pada Pengoperasian Bagan Tancap. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Zunelfi. 2012. Perhitungan Lama Waktu Pemakaian dan Pengisian Aki. Fakultas Teknik Elektro, Universitas Palembang. Palembang. E-Journal. Vol. 3.62-64.188
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564AMPAH LAUT: ULASAN PENCEMARAN LINGKUNGANMARINE DEBRIS: A REVIEW OF ENVIRONMENTAL POLLUTION Ika kusumawatiJurusan Manajemen Sumberdaya Akuatik, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar, Meulaboh. Penulis Korespondensi: [email protected] Abstract Man-made debris exist in every ocean and contaminate marine habitats. Solidmaterials, typically waste, that has found its way to the marine environment is calledmarine debris. Composed largely of plastics, marine debris can include cigarette filters,baby diapers, automobiles, six-pack rings, beverage bottles and cans, disposablesyringes, plastic bags, bottle caps, fishing line and gear, and thousands of other objects.Plastic items are the most abundant type of marine debris on a global scale and plastic isalso the most frequently reported material in encounters between debris and marineorganisms. There are various sources of marine debris from activities both on land andat sea. Land-based sources include littering, losses from plastic manufacturing plants,landfills and storm drains.While sea-based sources include fishing gear, garbage fromshipping and recreational boats, offshore drilling platforms and rigs. Marine debris ismore than an unsightly inconvenience for beach-bound vacationers or pleasure boaters.It also affects the inhabitants and economies of coastal and waterside communitiesworldwide. In addition to the increasingly well-recognised problems that marine debriscauses to the environment, coastal communities and marine industries, there is nowcompelling evidence of the large-scale and serious threat that it poses to the welfare ofwild marine animals. The resulting poor welfare, outlined and summarised in thisreport, creates a compelling argument that marine debris must be viewed not only as aserious environmental, conservation, human health and economic issue, but also as asignificant global animal welfare issue that requires urgent action.Keywords: Marine Debris, Marine Pollution, Marine Litter1. Latar Belakang Masyarakat Aceh merupakan kelompok masyarakat yang hidupnya sangat terikatdengan laut. Identitas masyarakat pesisir yang sudah tersemat dalam diri setiap orangmembuat orang Aceh tidak bisa jauh dari ekosistem laut. Makanan tradisional acehseperti Asam Keueng pada umumnya menggunakan ikan laut sebagai bahan utama.Tidak hanya makanan, laut juga memberi pengaruh pada budaya masyarakat sepertitarian dan musik tradisional. Masyarakat Aceh dan juga wisatawan menyukai laut Aceh sehingga menjadidestinasi unggulan yang dikunjungi masyarakat setiap hari libur. Masyarakat sukabersantai dengan keluarga dan makan-makan di pantai atau dalam istilah orang Acehdisebut meuramien. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat untuk meuramien di pantaipada hari-hari libur, hari meugang (hari makan-makan menyambut bulan Ramadhan),atau sekedar bersantai di sore hari selepas rutinitas pekerjaan dan sekolah. 189
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564 Namun demikian, kunjungan yang tinggi ke pantai-pantai menimbulkan dampakyang besar terhadap kebersihan pantai. Sampah-sampah berbagai jenis banyakberserekan di sepanjang pantai. Tidak hanya di pantai, sampah-sampah juga banyakditemukan di permukaan laut dan dasar laut. Jumlah sampah yang mencemari laut terusbertambah seiring waktu karena minimnya perhatian dari berbagai pihak terhadapkebersihan laut. Minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan menjadipenyebab kotornya laut Aceh (Anshar, 2016). Lebih dari itu, sampah laut tidak hanya mengganggu keindahan pantai sebagaipusat destinasi wisata namun juga telah mengotori perairan Aceh. Kawasan lalu lintaskapal nelayan di Lampulo- Banda Aceh sudah terlihat kotor dengan tumpukan sampah.Menurut nelayan setempat, sampah-sampah tersebut dibawa oleh arus dan terusmenumpuk karena masih kurangnya usaha pembersihan (Fahlevi, 2015). Sampah lautyang tenggelam ke dasar laut juga merusak biota laut. Wilayah perairan Aceh yangmenjadi tujuan wisata khususnya daerah kepulauan terancam mengalami kerusakanterumbu karang akibat sampah laut yang dibuang oleh wisatawan dan masyarakat yangbelum sadar akan bahaya sampah laut (Khalifa,2016). Akhirnya permasalahan sampah laut sudah mulai menarik perhatian masyarakatdan pemerintah. Aktivis lingkungan dari Aceh Wetland Fund mulai menyuarakanpengelolaan sampah dan sosialisasi terhadap semua pihak terkait (Yusuf, 2016).Mahasiswa STAIN Malikussaleh dalam kegiatan Kuliah Pengabdian Masyarakat(KPM) juga turut mengajak masyarakat Aceh, khususnya warga Kecamatan Seunuddonuntuk membersihkan sampah di pantai sebagai langkah menjaga keindahan pantai yangmenjadi objek wisata (Khaini, 2016). Demikian juga dengan LSM Aku Sahabat Laut,melalui program Peugleh Pasie Aceh upaya pembersihan pantai dilakukan untukmenarik perhatian publik dan pemerintah dalam menjaga kelestarian ekosistem lautakibat pembangunan dan pengelolaan kawasan pesisir yang tidak berkelanjutan. Dengan meningkatnya aksi dan kepedulian pemerintah dan lembaga swadayamasyarakat (LSM) terhadap sampah laut maka wawasan dan kesadaran masyarakatperlu ditingkatkan. Literatur yang terbatas tentang sampah laut menjadi salah satukendala bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyebarluaskan informasi. Olehsebab itu, problema sampah laut perlu dipelajari dan diketahui oleh masyarakat demikelestarian sumber daya laut Aceh.2. Pengertian Sampah Laut Definisi sampah laut menurut lembaga dunia United Nation EnvironmentProgram (UNEP) (2005) adalah setiap material padat hasil produksi manufaktur yangdibuang atau ditinggalkan oleh masyarakat di pantai dan laut. Sampah laut terdiri daribenda-benda yang digunakan oleh manusia yang kemudian masuk ke laut baik secarasengaja maupun tidak sengaja, termasuk melalui aliran sungai, saluran drainase, saluranlimbah, atau karena terbawa oleh angin (Galgani et al., 2010)190
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55643. Sumber Sampah Laut Pada prinsipnya, sampah laut merupakan akibat dari perilaku dan aktivitasmanusia yang sengaja atau tidak, baik karena manajemen sampah yang buruk,infrastuktur yang tidak memadai, dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentangdampak membuang sampah sembarangan (UNEP, 2009). Penentuan sumber sampahlaut adalah hal yang sangat sulit karena sampah laut bisa berpindah tempat mengikutiarus laut. Namun demikian pada umumnya para pakar menentukan sumber-sumbersampah laut berdasarkan bagaimana cara sampah tersebut masuk ke perairan (Sheavly,2007). Menurut GESAMP (1991), sampah laut yang masuk ke perairan sebanyak 80%berasal dari daratan dan 20% berasal dari laut.3.1. Sumber Berbasis Daratan Sheavly (2007) menjelaskan bahwa sampah laut yang sumbernya berbasis daratanadalah sampah laut yang dibuang, dialirkan, dan terbawa angin ke laut. Sumber sampahlaut berbasis daratan antara lain (Allsopp et al., 2006): Membuang sampah sembarangan Perilaku masyarakat membuang sampah di pantai, laut, sungai baik secara sengaja atau tidak, menyebabkan penumpukan berbagai jenis sampah laut. Praktik manajemen sampah yang buruk Pengumpulan, pengangkutan, dan tempat pembuangan akhir sampah yang dikelola dengan buruk bisa menyebabkan sampah berpindah ke laut baik melalui saluran air (parit, gorong-gorong, kanal) maupun sampah yang dibawa oleh angin. Aktivitas industri Hasil industri berupa produk-produk dapat menjadi sampah laut apabila tidak dibuang dengan benar, hilang ketika pengangkutan, atau hilang ketika bongkar muat di pelabuhan barang (US EPA, 2002). Limbah rumah tangga (Sewage related debris) Limbah rumah tangga yang dibuang ke laut tanpa diolah terlebih dahulu akibat dari lemahnya fasilitas pengelolaan limbah rumah tangga dan akibat dari meluapnya saluran pembuangan karena hujan lebat dapat turut membawa sampah seperti kantong plastik, botol plastik, dan berbagai jenis sampah lainnya yang sering berada di lingkungan masyarakat. Pembuangan air genangan banjir/hujan/badai Selama musim hujan atau badai, sampah akan terkumpul dan mengalir langsung ke laut atau melalui saluran-saluran air dan sungai.3.2. Sumber Berbasis lautan Sampah laut yang sumbernya berasal langsung dari laut adalah sampah akibat dariaktivitas pengangkutan laut, industri perikanan, dan pengeboran minyak atau gas lepaspantai (Allsopp et al., 2006). Sampah yang terbuang boleh jadi karena faktorketidaksengajaan, tidak paham terhadap bahaya sampah laut, atau karena sengaja 191
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564membuang secara ilegal (Sheavly 2005). Sumber sampah laut berbasis daratan antaralain (Allsopp et al., 2006): Industri Perikanan Sampah laut seperti jaring, tali tambang, dan perlengkapan lainnya dalam kapal pencari ikan merupakan material yang sering ditemukan di laut baik dibuang karena insiden dalam menjaring ikan atau dibuang karena faktor kesengajaan. Perhubungan Laut Kapal-kapal besar yang membawa ramai anak buah kapal (ABK) berlayar selama berbulan-bulan dalam setiap pelayaran selalu dilengkapi dengan logistik dalam jumlah besar. Apabila sampah-sampah dari aktivitas para ABK tidak ditangani dengan baik maka akan menyebabkan pencemaran laut. Kapal pengangkut barang juga menghasilkan sampah laut ketika kotak kontainer yang dibawa tidak diatur dengan baik dapat jatuh ke laut akibat insiden kapal atau faktor cuaca. Menurut Podsada (2001) jumlah kargo kontainer yang hilang di laut sekitar 10.000 setiap tahunnya. Industri Pariwisata Pemilik kapal wisata dapat mencemari laut dengan membuang sampah seperti kantong plastik, kemasan makanan, dan perlengakapan memancing (Sheavly 2005). Explorasi Minyak dan Gas Lepas Pantai Aktivitas explorasi tambang lepas pantai dapat mencemari laut baik sengaja atau pun tidak dengan berbagai macam barang seperti perlengkapan harian pekerja antara lain: sarung tangan; helm pekerja; begitu juga dengan limbah hasil kegiatan eksplorasi (Mouat et al., 2010).4. Jenis-Jenis Sampah Laut Sampah laut dapat berasal dari beragam sumber namun dapat dibedakan menjadibeberapa jenis antara lain (Mouat et al., 2010): Plastik, seperti jaring, tali, pelampung, puntung rokok, mancis, partikel mikro plastik, botol minuman, botol perlengkapan mandi, kantong plastik, dan lain-lain Logam, seperti kaleng minuman, kaleng parfum, kaleng makanan, dan sebagainya. Kayu olahan, seperti kayu kerat untuk botol minuman. Kertas dan kardus, seperti karton dan kantong makanan. Karet, seperti ban, balon, dan sarung tangan. Pakaian dan bahan tekstil, seperti sepatu, handuk, baju, karpet, dan lain-lain.5. Dampak Sampah Laut Laut yang tercemar oleh sampah akan menimbulkan dampak serius bagi hewanlaut dan ekosistemnya. Dampak yang paling terasa adalah masuknya sampah kedalamtubuh satwa and terjerat sampah laut (Gregory, 2009) dan jumlah satwa yang terkenadampak sampah laut sangat signifikan yaitu lebih dari 267 spesies satwa di seluruh192
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564dunia (Laist, 1997). Sampah laut juga dapat berdampak pada lingkungan (Moore, 2008),mempengaruhi keanekaragaman hayati (Derraik, 2002) dan berpotensi pada hilangnyafungsi ekosistem (Ten Brink, 2009). Berdasarkan laporan hasil penelitian yangdilakukan di Indonesia (Uneputty & Evans, 1997), sampah laut juga dapat berdampakpada jumlah dan jenis satwa yang dapat bertahan hidup di dasar laut karenapenumpukan sampah yang terapung di bawah laut akan mengganggu kehidupan satwatersebut.5.1. Masuknya sampah laut ke dalam tubuh hewan laut-Ingestion Hasil penelitian mendapati banyak burung laut, mamalia laut, penyu, dan ikanmemakan sampah laut. Menurut Laist (1997), 86% spesies penyu, 44% spesies burunglaut, dan 43% mamalia laut terpapar sampah. Satwa laut yang memakan sampah bisajadi karena faktor ketidaksengajaan namun boleh jadi juga karena kekeliruan satwatersebut yang berpikir bahwa sampah plastik adalah makanannya (Allsopp et al., 2006).Sebagian besar penelitian tentang ingestion dilakukan pada burung laut dan penyusebagai sampel penelitian (Allsopp, 2006) dan hanya sedikit penelitian ini dilakukanpada ikan (Moore et al., 2001). Dampak yang utama akibat ingestion antara lain(Derraik, 2002; Gregory,2009; OSPAR, 2009): Kerusakan saluran pencernaan seperti luka dan bengkak yang dapat menyebabkan infeksi, kelaparan, dan berpotensi kematian Tertutupnya saluran pencernaan Mengurangi kualitas hidup dan berkembang biak Tenggelam dan berkurangnya kemampuan untuk menghindari pemangsa Kekurangan gizi dan menurunnya kemampuan mencari makan Sedikit makanan yang masuk kedalam tubuh yang membuat satwa menjadi lemah, kelaparan, dan mati Racun kimia yang berasal dari sampah plastik dapat menyebabkan gangguang reproduksi, meningkatkan resiko penyakit, perubahan tingkat hormon tubuh dan kematian5.2. Terjerat-entanglement Terjerat sampah laut adalah ancaman serius bagi satwa laut. Jenis sampah lautyang paling berbahaya adalah perlengkapan memancing seperti jaring, benang pancing,tali, dan lain-lain (Sheavly, 2005). Berdasarkan hasil penelitian Laist (1997), 32 spesiesmamalia laut, 51 spesies burung laut, dan 6 spesies penyu signifikan beresiko terjeratsampah laut. Hewan yang terjerat sampah laut akan sulit bergerak bahkan dapatmenyebabkan hewan tersebut mati akibat tenggelam dan sulit bernafas (US EPA, 1992).Dampak yang muncul akibat entanglement adalah (Derraik, 2002; Gregory, 2009): Luka dan sayatan yang dapat menyebabkan infeksi, bernanah, dan berujung pada kematian Kesulitan bernafas, tercekik, dan tenggelam khususnya pada hewan yang tidak menggunakan insang 193
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564 Kesulitan bernafas pada ikan karena memerlukan gerakan yang stabil untuk bernafas Menurunnya kemampuan bergerak dan menghindari pemangsa Melemahkan kondisi tubuh karena mengeluarkan energi yang lebih besar untuk bergerak Menurunnya kemampuan mencari makanan Kurangnya pertumbuhan dan terhambatnya sirkulasi ke seluruh anggota tubuh5.3. Merusak terumbu karang Perlengkapan memancing yang dibuang dapat merusak terumbu karang. Jaringdan benang pancing yang tersangkut di karang yang kemudian dipengaruhi olehgelombang dapat membuat karang patah. Walaupun jaring dan benang pancing tersebutsudah lepas tapi ia dapat tersangkut kembali pada karang yang lain. Keadaan ini akanterus berulang hingga sampah tersebut dibuang atau tenggelam dan tertindih patahankarang di dasar laut (NOAA, 2005).5.4. Ghost Fishing Peralatan memancing yang hilang atau dibuang di laut oleh nelayan dapat terusberfungsi menangkap ikan (Matsuoka et al., 2005). Penangkapan ikan yang terusberlangsung pada perlengkapan memancing yang tertinggal di laut ini lah yang disebutdengan ghost fishing. Siklus yang berlangsung pada jaring dan sejenisnya adalahtertangkapnya spesies ikan kecil yang kemudian membuat ikan besar (predator) ikutterjerat dan mati. Bangkai ikan tersebut kemudian menarik hewan laut lainnya yangmembuat mereka kemudian ikut terjerat dalam jaring tersebut. Jaring ini kemudiandisebut oleh Sheavly (2005) sebagai mesin pembunuh abadi yang tidak akan pernahberhenti memancing5.5 Ekonomi dan Sosial Akibat yang ditimbulkan oleh sampah laut pada sektor ekonomi dan sosialsesungguhnya lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah data yang tersedia pada saat ini(STAP, 2011). Sektor perikanan, pariwisata, dan transportasi laut pihak pemerintah danswasta adalah sektor yang paling terpengaruh oleh dampak sampah laut (Brink etal.,2009; Mouat et al.,2010). Laut merupakan tujuan pariwisata masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatanyang menyenangkan seperti berenang, menyelam, permainan dan olahraga pantai, sertaaktivitas lainnya. Namun sampah laut dapat membuat pengunjung enggan pergi ke lautdan pantai (Ballance et al., 2000; Sheavly & Register, 2007). Sampah laut dapat secara negatif mempengaruhi kualitas hidup manusia karenamerusak pemandangan alam yang menjadi objek kesenangan manusia (Cheshire et al.,2009). Perubahan persepsi masyarakat tentang kualitas dapat menyebabkan kerugianpendapatan beberapa negara yang sangat bergantung padasektor pariwisata. Sebuahpenelitian di Afrika Selatan melaporkan bahwa turunnya tingkat kebersihan pantai194
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564menyebabkan turunnya pendapatan negara dari sektor pariwisata hingga 52% (STAP,2011). Sektor industri perikanan juga mengalami imbas dari dampak sampah laut.sampah yang mencemari laut menyebabkan kapal tangkap mengeluarkan biaya yanglebih dalam setiap pelayaran dan mengalami kerugian karena berkurangnya potensitangkapan ikan dan dan jumlah ikan tangkap. Meningkatnya biaya yang dikeluarkanpihak swasta dalam memperbaiki kerusakan kapal akibat sampah menjadi salah satukerugian yang dialami (Mouat et al., 2010). Sampah laut yang menjadi penyebab ghost fishing dapat mengurangi peluangnelayan menangkap ikan dan mengurangi jumlah tangkapan ikan. Sebuah penelitian diAmerika Serikat melaporkan bahwa ghost fishing menimbulkan kerugian potensitangkapan lobster sebesar $250 juta setiap tahun (Macfadyen et al., 2009). Dalamjangka panjang, dampak ghost fishing terhadap ekonomi dapat lebih besar denganterancamnya konservasi dan pembaruan stok ikan yang berstatus terancam (Sheavly &Register 2007).6. Solusi Sumber dan akibat sampah laut sangat beragam tergantung dengan jenis danbanyaknya sampah yang menumpuk di sebuah wilayah. Banyak cara yang telahditerapkan untuk mencegah masuknya sampah dan meingkatnya jumlahpenumpukansampah di wilayah perairan. Oleh karena itu, setiap individu masyarakat,pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat perlu mengetahui langkah-langkah dansolusi untuk mengatasi sampah laut. Menurut Butterworth et al. (2012), ada tigalangkah yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah sampah laut secara efektifyaitu: mengurangi jumlah sampah laut yang masuk ke ekosistem laut; mengangkat ataumengumpulkan sampah laut yang sudah mencemari laut; menyelamatkan satwa lautyang sakit dan terluka akibat sampah laut.7.1. Mengurangi sampah laut Pendidikan sangat penting sebagai usaha jangka panjang untuk mengurangikebiasaan masyarakat membuang sampah ke laut. melalui pendidikan, masyarakat dapatmemahami permasalahan terkait sampah laut sehingga mereka dapat mencegahmembuang sampah ke laut. Selain itu, pendidikan yang diterapkan kepada anak-anakdapat membentuk kebiasaan sejak dini untuk menjaga kebersihan laut dan diharapkanjuga mampu menyebarkan kebiasaan baik tersebut kepada keluarga mereka(Derraik,2002). Peningkatan kesadaran para nelayan dan pemilik perahu-kapal terhadap bahayasampah laut juga perlu dilakukan lewat sektor pendidikan agar mereka mengerti efekdari jaring, benang pancing, tali, mata pancing, dan sampah yang dibuang ke laut(Butterworth et al., 2012). Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bekerja di bidang lingkungan yaituUnited Nations Environment Programme (UNEP) telah memperkenalkan langkah untukmenangani masalah sampah laut. UNEP mengusulkan diberlakukannya Market-Based 195
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564Instrument (MBIs) agar sektor perdagangan dan ekonomi dapat turut berpartisipasimengurangi sampah laut (UNEP, 2009). Program MBIs yang dapat dilakukan antaralain: deposit-refund programme, adalah program yang memberikan insentif bagi kegiatan yang mengurangi penumpukan sampah seperti menggunakan botol plastik dan kaca yang dapat digunakan berulang kali; pajak kantong plastik, pajak kantong plastik dapat mengurangi konsumen menggunakan kantong plastik ketika berbelanja; biaya tambahan produk, merupakan penambahan biaya yang diterapkan kepada beberapa produk yang dianggap menjadi sumber utama sampah laut yang sangat berbahaya; akuntabailitas terhadap pemcemaran laut, apabila sampah laut yang menjadi polusi dapat diketahui sumbernya maka pihak yang bertanggung jawab harus membayar kompensasi untuk membiaya kegiatan pembersihan laut sesuai dengan peraturan yang ditetapkan di wilayah tersebut; denda, diterapkan agar masyarakat yang membuang sampah dapat bertanggungjawab terhadap sampah masing-masing dan akan dikenakan hukuman denda apabila membuang sampah sembarangan; retribusi sampah kapal, kapal yang bersandar di pelabuhan harusmembayar retribusi untuk membantu meningkatkan kualitas infrastruktur manajemen limbah dan untuk meluncurkan program inovatif dalam rangka membersihkan sampah di laut; insentif desa, desa-desa yang berhasil menerapkan sistem manajemen limbah akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk insentif agar dapat meningkatkan kebijakan, program, dan teknologi yang dapat mengolah dan mengurangi sampah laut; dukungan finansial dan teknologi, tujuannya adalah membantu kapal-kapal nelayan yang belum memiliki fasilitas memadai agar dapat memasang sistem manajemen limbah di kapal. Kerjasama pemerintah dan organisasi masyarakat dengan perusahaan-perusahaandalam sektor industri dapat meningkatkan usaha kelestarian laut dengan mengurangisampah laut dan meningkatkan angka daur ulang. Perusahaan-perusahaan yangberhubungan dengan peralatan memancing juga dapat bekerjasama denganmengeluarkan produk yang ramah lingkungan serta ikut memberikan penyuluhankepada masyarakat nelayan tentang bahaya sampah laut yang berasal dari perlengkapanmenangkap ikan (Butterworth et al., 2012). Agar pengurangan jumlah sampah laut dalam berjalan efektif, pemerintah perlumenerapkan berbagai bentuk kebijakan mulai dari tingkat perundang-undangan hinggake peraturan daerah dan hukum adat desa. Dengan adanya kekuatan hukum, setiappemangku kepentingan diharapkan dapat lebih sadar akan pentingnya menjagakelestarian dengan tidak membuang sampah ke laut. kebijakan pemerintah tentang196
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564sampah laut juga dapat menjadi alat pemerintah untuk lebih gencar mensosialisasikantentang sampah laut baik tentang jenis sampah, dampak, langkah-langkah untukmengurangi sampah, dan sanksi hukum terhadap para pelanggar. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi tentang konvensihukum laut-The United Nations Convention on the Law of the Sea(UNCLOS) turutmengambil langkah strategis untuk menanggulangi sampah laut. UNCLOS telahmengajukan sebuah kerangka formil untuk mengajak para negara-negara anggota agarmengeluarkan peraturan tentang penanggulangan sampah laut yang berbasis daratan(Butterworth et al., 2012).7.2. Mengangkat sampah laut Usaha membersihkan laut dari kontaminasi sampah memerlukan kerjasamapemerintah, pemerintah daerah, LSM, dan para relawan. Program ini sudah lamadilaksanakan di Amerika Serikat dan saat ini sudah menjadi program dunia yaituInternational Coastal Cleanup (ICC) yang beranggotakan 128 negara (Allsopp et al.,2006). Kegiatan mengangkat sampah yang diselenggarakan oleh ICC pada tahun 2011telah berhasil menggerakkan sekitar 600.000 relawan untuk membersihkan laut. padakegiatan ini relawan diseluruh dunia telah mengumpulkan sampah sebanyak 4.100 tondengan panjang garis pantai sekitar 32.186,88 km. Aksi tersebut juga berhasil mendatasatwa yang terkena dampak sampah laut yaitu 27 jenis mamalia laut, 46 jenis burung, 18jenis reptil, yang semuanya terjerat berbagai jenis sampah laut (Ocean Conservancy,2012).8. Menyelamatkan satwa Penyelamatan satwa yang terjerat sampah laut seperti jaring nelayan dan benangpancing dapat menjadi usaha yang berat. Satwa yang terjerat akan bereaksi dengan liaryang dapat membahayakan pihak penyelemat. Oleh karena itu, setiap misipenyelamatan ini harus dilakukan oleh orang-orang yang profesional dan terlatih saja. Lembaga dunia seperti International Fund for Animal Welfare (IFAW) danBritish Divers Marine Life Rescue (BDMLR) memberikan pelatihan kepada pararelawan untuk dapat menggunakan berbagai perlengkapan selam dan teknikpenyelamatan satwa (Butterworth et al., 2012). Sementara itu, NOAA membuatpetunjuk teknis bagi masyarakat tentang penanganan satwa yang terjerat atauterperangkap sampah laut (NOAA, 2012). Optimalisasi peran lembaga pengawas pantai (coastguard) juga dapat membantuusaha menyelamatkan satwa laut yang terkena dampak sampah laut. Laporan tentangpenyelamatan satwa laut yang dilakukan pengawas pantai memang sulit didapatkannamun beberapa aksi mereka dapat ditemukan pada media internet.9. Kesimpulan Jumlah sampah yang mencemari laut terus bertambah seiring waktu karenaminimnya perhatian dari berbagai pihak terhadap kebersihan laut. Sampah laut adalah 197
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564semua benda padat yang dihasilkan dari proses manufaktur dan kemudian dibuangsecara langsung atau tidak langsung dan sengaja atau tidak sengaja ke laut. Walaupunpermasalahan sampah laut sudah mulai mendapat perhatian dunia, namun penelitiantentang hal tersebut masih sangat terbatas. Dampak sampah laut sangat besar mengingatjumlah sampah laut selalu bertambah setiap tahun. Negara-negara yang menjadikanpariwisata sebagai sektor unggulan akan mengalami kerugian apabila sampah laut tidakdapat diatasi. Sektor swasta yang bergerak pada industri perikanan juga akan merasakanimbasnya dengan berkurangnya jumlah tangkapan akibat aktivitas ghost fishing.Daftar PustakaAllsopp, M., Walters, A., Santillo, D. & Johnston, P. 2006. Plastic debris in the world’s oceans. Retrieved September 20, 2016, from: http://www.unep.org/regionalseas/marinelitter/publications/docs/plastic_ocean_re port.pdf.Anshar, M. 2016. Lintas Ulee Lheue-Gampong Jawa bertabur sampah. Serambi Indonesia. Retrieved September 20, 2016, from http://aceh.tribunnews.com/2016/03/26/lintas-ulee-lheue-gampong-jawa-bertabur- sampah.Ballance, A., Ryan, P.G. & Turpie, J.K. (2000) How much is a clean beach worth? The impact of litter onbeach users in the Cape Peninsula, South Africa. South Africa Journal of Science, 96: 5210 – 5213.Beatley, T. 1991. Protectingbiodiversity in coastal environments: introduction and overview. Coastal Management, 19: 1–19.Brink, P. T., Lutchman, I., Bassi, S., Speck, S., Sheavly,S., Register, K. & Woolaway, C. 2009. Guidelines on the Use of Market-based Instruments to Address the Problem of Marine Litter. Brussels: Institute forEuropean Environmental Policy (IEEP).Butterworth, A., Clegg, I., & Bass, C. 2012. Untangled – Marine debris: a global picture of the impact on animal welfare and of animal-focused solutions.London: World Society for the Protection of Animals.Cheshire, A.C., Adler, E., Barbière, J., Cohen, Y., Evans, S., Jarayabhand, S., Jeftic, L., Jung, R.T., Kinsey, S., Kusui,E.T., Lavine, I., Manyara, P., Oosterbaan, L., Pereira, M.A., Sheavly, S., Tkalin, A., Varadarajan, S., Wenneker, B.& Westphalen, G. 2009. UNEP/IOC Guidelines on Survey and Monitoring of Marine Litter. UNEP Regional Seas Reports and Studies, No. 186; IOC Technical Serious No. 83.Derraik, J.G.B. 2002. The pollution of the marine environment by plastic debris: a review. Marine Pollution Bulletin, 44: 842-852.Fahlevi, R. 2015. Nelayan resah sampah berserakan di Krueng Aceh. Analisa Daily. Retrieved from http://harian.analisadaily.com/aceh/news/nelayan-resah-sampah- berserakan-di-krueng-aceh/118547/2015/03/24.198
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564Galgani, F., Fleet, D., Van Franeker, J., Katsanevakis, S., Maes, T., Mouat, J., Oosterbaan, L., Poitou, I., Hanke, G., Thompson, R., Amato, E., Birkun, A. & Janssen, C. 2010. Marine Strategy FrameworkDirective, Task Group 10 Report: Marine Litter. In JRC Scientific and Technical Reports (ed. N. Zampoukas).Ispra: European Commission Joint Research Centre.GESAMP [Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine Pollution]. 1991. The State of the Marine Environment. London: Blackwell Scientific Publications.Gregory, M.R. 2009. Environmental implications of plastic debris in marine settings entanglement, ingestion,smothering, hanger’s on, hitch-hiking and alien invasions. Philosophical Transactions of the Royal Society B:Biological Sciences. 364 (1526): 2013-2025.Irish, K.E., Norse, E.A. 1996. Scant emphasis on marine biodiversity. Conservation Biology. 10: 680.Khaini 2016. Mahasiswa KPM STAIN Malikussaleh bersihkan sampah di pantai bantayan. Radar Aceh. Retrieved September 20, 2016, from http://www.radaraceh.com/2016/05/mahasiswa-kpm-stain-malikussaleh.html.Khalifa, S. 2016. Camat Pulau Banyak himbau wisatawan jaga kebersihan. Kanal Aceh. Retrieved September 20, 2016, from http://www.kanalaceh.com/2016/07/09/camat-pulau-banyak-imbau-wisatawan- jaga-kebersihan.Laist, D.W. 1997. Impacts of marine debris: entanglement of marine life in marine debris including acomprehensive list of species with entanglement and ingestion records. In: Coe, J.M. and D.B. Rogers (eds.) Marine Debris: Sources, Impacts, Solutions. New York: Springer Verlag: 99-140.Lovejoy, T.E. 1997. Biodiversity: what is it? In M.K.Reaka-Kudla, D.E.Wilson, E.O. Wilson (Eds.), Biodiversity II: Understanding and Protectingour Biological Resources. Washington DC: Joseph Henry Press: 7–14.Macfadyen, G., Huntington, T. & Cappell, R. 2009. Abandoned, lost or otherwise discarded fishing gear. UNEP Regional Seas Reports and Studies No. 185; FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper No. 523. Rome: UNEP/FAO.Matsuoka, T., Nakashima, T. & Nagasawa N. (2005). A review of ghost fishing: scientific approaches to evaluation and solutions. Fisheries Science. 71, 691-702.Moore, C.J. 2008. Synthetic polymers in the marine environment: a rapidly increasing, long term threat. Environmental Research,108: 131-139.Moore C.J., Moore S.L., Leecaster M.K. and Weisberg S.B. 2001. A comparison of plastic and planktonin the North Pacific central gyre. Marine Pollution Bulletin 42 (12): 1297-1300.Mouat, J., Lopez-Lozano, R. & Bateson, H. 2010. Economic impacts of Marine litter. KIMO(Kommunenes Internasjonale Miljøorganisasjon). 199
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564NOAA [National Oceanic and Atmospheric Association]. 2005. Coral reef restoration through marine debris mitigation. Background. Retrieved September 20, 2016, from http://www.pifsc.noaa.gov/cred/program_review/marine_debris_PICS.pdfNOAA [National Oceanic and Atmospheric Association]. 2012. Marine Mammal Entanglement: Large Whale. Retrieved September 20, 2016, from http://www.fakr.noaa.gov/protectedresources/entanglement/whales.htm.Ocean Conservancy. 2012. International Coastal Clean Up:2012 data release. Retrieved September 20, 2016, from http://www.oceanconservancy.org/our- work/marine-debris/2012-datarelease.html.Oslo and Paris Conventions for the Protection of the Marine Environment of the North- East Atlantic (OSPAR). 2009. Marine litter in the North-East Atlantic Region: Assessment and priorities for response. London: United Kingdom.Podsada, J. 2001. Lost Sea Cargo: Beach Bounty or Junk?Retrieved September 20, 2016, from: http://news.nationalgeographic.co.uk/news/2001/06/0619_seacargo.htmlSheavly, S.B. 2005. Sixth Meeting of the UN Open-ended Informal Consultative Processes on Oceans &the Law of the Sea. Marine debris – an overview of a critical issue for our oceans. Retrieved September 20, 2016, from http://www.un.org/Depts/los/consultative_process/consultative_process.htmSheavly, S.B. 2007. National Marine Debris Monitoring Program: Final Program Report, Data Analysis and Summary. Prepared for U.S. Environmental Protection Agency by Ocean Conservancy.Sheavly, S.B. & Register, K.M. 2007. Marine Debris and Plastics: Environmental Concerns, Sources, Impacts and Solutions. Journal of Polymers and the Environment, 15: 301-305.Scientific and Technical Advisory Panel (STAP). 2011. Marine Debris as a Global Environmental Problem: Introducing a solutions based framework focused on plastic. A STAP Information Document. Washington DC: Global Environment Facility.Ten Brink, P., Lutchman, I., Bassi, S., Speck, S., Sheavly, S., Register, K. & Woolaway, C. 2009. Guidelineson the Use of Market-based Instruments to Address the Problem of Marine Litter. Institute for EuropeanEnvironmental Policy (IEEP), Brussels, Belgium, and Sheavly Consultants, Virginia Beach, Virginia, USA.The United Nations Environment Programme (UNEP). 2005. Marine Litter: An Analytical Overview. Retrieved September 20, 2016, from: http://www.unep.org/regionalseas/marinelitt er/publicati ons/docs/anl_oview.pdf.UNEP (2009). Marine Litter: A Global Challenge. Nairobi: UNEP.Uneputty, P. & Evans, S.M. 1997.The impact of plastic debris on the biota of tidal flats in Ambon Bay (Eastern Indonesia). Marine Environmental Research, 44 (3): 233- 242.200
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564U.S. Environmental Protection Agency (US EPA). 1992. Turning the tide on trash. A learning guide on marine debris. Washington DC: US EPAU.S. Environmental Protection Agency (US EPA). 2002. Assessing and monitoring floatable debris. Washington DC: US EPAYusuf, Y. 2016. Yuk bersatu belajar mengelola “sampah menjadi uang”. Serambi Indonesia. Retrieved September 20, 2016, from http://aceh.tribunnews.com/2016/02/21/yuk-bersatu-belajar-mengelola-sampah- menjadi-uang. 201
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564202
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN ACEH SELATAN (STUDI KASUS DI DESA SAWANG BA’U)FACTORS THAT AFFECT THE INCOME OF FISHERMEN IN SOUTHERN ACEH DISTRICT (A CASE STUDY AT THE VILLAGE SAWANG BA’U) YasrizalJurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Teuku Umar, Meulaboh Korespondensi: [email protected] Abstract Sawang Ba'u is a coastal region village located in South Aceh. There are 1069fishermen living in this village. This village given major contribution to the productionof fish in South Aceh, which amounted to 3,042 tons/year. Capital, work experience,price, and haul as a measure of the high and low fishermen revenue. Therefore, it isnecessary to investigate the effect of capital, work experience, price, and haul tofishermen revenue in the Sawang Ba'u South Aceh. Descriptive quantitative approach isused in this study with multiple linear regression model. Sample of this research are 30fishermen that are taken from total population using incidental sampling method.Sample shown there are 80% samples earn IDR 51,000 up to IDR 70,000 per day. It isalso shown 73% of samples have work experience for 11 to 20 years. Everyday 45% ofsamples would be able to catch 6 kg of fish which reach IDR 25,000 up to IDR 35,000.The result of multiple linear regression shows that capital variable, work experience,price and haul simultaniously have effect on fishermen revenue at Sawang Ba’u village,South Aceh District. In conclusion, capital, sale price and haul of fishes effect thefishermen revenue.Keywords: Fisherman Revenue, Work Experience, Fish Price and CapitalI. Pendahuluan Minimnya pendapatan nelayan saat ini menjadi salah satu permasalahan ekonomimasyarakat pesisir. Hingga saat ini permasalahan tersebut masih belum juga teratasi.Hal yang menjadi masalah utama tersebut adalah mahalnya harga Bahan Bakar Minyak(BBM) dan minimnya peralatan melaut serta modal usaha yang diperlukan dalamkegiatan penangkapan ikan di laut. Disisi lain nelayan perlu memenuhi kebutuhansehari-harinya, hal tersebut mengakibatkan banyaknya masyarakat yang berprofesisebagai nelayan berada dalam garis kemiskinan karena pendapatannya yang tidaksebanding dengan tingkat konsumsinya. Permasalahan utama yang dialami oleh nelayan Sawang Ba’u adalah tingkatpendapatannya yang setiap tahunnya tetap (cenderung konstan) dan hampir tidakberkembang. Menurut Primyastanto (2013) kegiatan ekonomi rumah tanggadipengaruhi oleh modal atau pengeluaran, total produksi, pendapatan, dan pengeluaranatau konsumsi”. Pengalaman kerja seorang nelayan juga dapat berpengaruh terhadaptingkat pendapatannya, hal tersebut karena semakin lama pengalaman kerja yang 203
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564dimiliki oleh nelayan menyebabkan semakin banyak hasil tangkapan ikan yangdiperoleh, dengan demikian semakin tinggi potensi pendapatan yang diperoleh nelayan. Aceh Selatan merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh, yang terletak disepanjang garis pantai Samudera Hindia. 16.173 penduduk Aceh Selatan berprofesisebagai nelayan, dengan jumlah hasil tangkapan sebesar 12.154 ton/tahun (DKP Aceh2014). Sawang Ba’u adalah satu diantara Pelabuhan Perikanan (PPI) yang terdapat diKabupaten Aceh Selatan. Jumlah nelayan yang berlabuh di PPI Sawang Ba’u sebanyak1.069 orang, dengan jumlah armada penangkapan sebanyak 291 unit (DKP Aceh 2014). Desa Sawang Ba’u merupakan salah satu desa yang memiliki produktivitas tinggi.Berdasarkan jumlah produksi ikan seharusnya nelayan di Desa Sawang Ba’u sudahmampu mensejahterakan kehidupannya.Namun kondisi tersebut belum terjadi secaramerata, beberapa keluarga nelayan di desa Sawang Ba’u masih hidup dalam kondisimiskin. Salah satu sebab permasalahan tersebut adalah kecilnya modal yang merekamiliki dan harga ikan yang cenderung tidak stabil. Nelayan khususnya nelayan buruh yang masih bekerja kepada nelayan yangmemiliki modal.Sehingga nelayan yang seharusnya memiliki pendapatan yang dapatmensejahterakan dapat terbantu dengan adanya campur tanganpemerintah.Permasalahan nelayan yang begitu komplek khususnya masalah pendapatannelayan di desa Sawang Ba’u Kabupaten Aceh Selatan sangat menarik untuk diteliti.Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang diangkat padapenelitian ini adalah apakah faktor modal, pengalaman kerja,harga jual ikan dan hasiltangkapan ikan mempengaruhi pendapatan nelayan pesisir Desa Sawang Ba’u,Kabupaten Aceh Selatan.II. Metode Penelitian2.1 Populasi Penelitian dan Metode Pengumpulan Data Menurut Sugiono (2013) populasi adalah wilayah generasi yang terdiri dari objekatau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan olehpeneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan atau menurut Furchan (2005)populasi di rumuskan sebagai “ semua anggota kelompok kejadian atau objek yangtelah dirumuskan secara jelas” atau kelompok lebih besar yang menjadi sasarangeneralisasi. Terdapat tiga teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitianini. Teknik pengumpulan data tersebut antara lain:1. Wawancara (interview) Menurut Bungin (2005) “wawancara atau interview adalah sebuah prosesmemperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambilbertatap muka antar pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai,dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara”. Metode wawancara digunakanuntuk menggali informasi dari Nelayan Desa Sawang Ba’u dan pihak terkait dengantopik penelitian ini.Menambahkan bahwa metode wawancara lebih efektif diterapkan diDesa Sawang Ba’u dari pada metode angket atau metode kuisioner.204
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55642. Observasi (pengamatan) Jenis observasi yang digunakan pada penelitian ini adalah observasi langsung.Menurut Bungin (2005) observasi atau pegamatan adalah kegiatan keseharian manusiadengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pencaindralainnya seperti telinga , penciuman , mulut , dan kulit. Dalam observasi ini peneliti akanmelihat langsung kelapangan untuk memperoleh data yang akurat.3. Dokumentasi Menurut Bungin (2011) metode dokumenter adalah salah satu metodepengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Metodedokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah tersedia atau telahdisediakan oleh pihak lain.2.2 Metode Analisis Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode analisis regresi berganda(multiple regression) karena penelitian ini menggunakan variabel multivariat dengansatu variabel dependenyang bersifat matrik. Metode analisis ini berguna untukmengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.Model regresi linier berganda pada penelitian ini adalah Y= C + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4+eKeterangan :Y : Pendapatan Nelayan Desa Sawang Ba’u (Rp)C : Konstantaβ1, β2…..β6 : Koefisien regresiX1 : Modal (Rp)X2 : Pengalaman Kerja (tahun)X3 : Harga Jual (Rp)X4 : Hasil Tangkapan Ikan (Kg)E : Error (variabel bebas lain diluar model regresi)III. Hasil dan Pembahasan3.1. Hasil3.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Variabel Pendapatan Tingkat pendapatan yang diperoleh nelayan dalam satu hari sangat bervariasi.Perbedaan pendapatan diantara nelayan sangat dipengaruhi oleh produktifitas nelayan.Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor atau variabel bebas dalam modelpenelitian. Berikut data pendapatan nelayan Desa Sawang Ba’u yang diperoleh darihasil observasi:Tabel 1 Hasil Pendapatan Nelayan Dalam Satu Hari 205
Available online at: Jurnal Perikanan Tropishttp://utu.ac.id/index.php/jurnal.html Volume III, Nomor 2, 2016 ISSN: 2355-5564 Pendapatan Jumlah Responden Prosentase % Rp 20.000 - Rp 50.000 3 10 Rp 51.000 – Rp 70.000 24 80 Rp 71.000 – Rp 90.000 3 10Sumber : Data Primer Diolah 2015 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa pada pendapatan nelayan dalam satuhari melaut. Pada kelompok pendapatan nelayan sebesar Rp. 20.000 sampai Rp 50.000terdapat 3 nelayan atau 10% dari jumlah responden. Pada kelompok pendapatansebesar Rp. 51.000 sampai Rp 70.000 terdapat 24 orang nelayan atau 80 % dari jumlahresponden. Pada kelompok pendapatan Rp 71.000 sampai dengan Rp 90.000 terdapat 3orang nelayan atau 10% dari jumlah responden.3.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Variabel Modal Modal merupakan komponen yang berperan penting dalam kegiatan nelayandalam melaut. Setiap Nelayan menggunakan modal yang berbeda diantara nelayan satudan nelayan lainnya. Nelayan Desa Sawang Ba’u memiliki variasi besarnya modalyang digunakan selama melaut. Modal nelayan selama melaut menurut surveylapangan terdapat beberapa bentuk. antara lain: makanan atau bekal selama melaut danbahan bakar mesin yang berupa solar. Sedangkan bekal selama melaut para nelayanhanya membutuhkan air mineral, kopi dan nasi untuk sarapan dan lauknya diperolehdari hasil tangkapan yang di peroleh nelayan. Berikut data modal yang di keluarkanoleh nelayan dalam satu hari melaut:Tabel 2 Modal Nelayan Desa Sawang Ba’u Dalam Kegiatan Melaut Modal Jumlah Prosentase % Rp 25.000 – Rp 50.000 6 20 Rp 51.000 – Rp 75.000 19 63 Rp 75.000 – Rp 100.000 5 17Sumber : Data Primer Diolah 2015 Penyajian data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa besarnya modal yangdigunakan oleh nelayan Desa Sawang Ba’u dalam sehari bervariasi. Modal terbesaryang digunakan nelayan Desa Sawang Ba’u untuk sehari melaut adalah Rp. 100.000dan modal terkecil yang digunakan oleh nelayan Desa Sawang Ba’u adalah Rp.25.000. Dapat disimpulkan jumlah responden yang bermodal Rp 25.000 sampaidengan Rp 50.000 sebanyak 6 orang atau 20 % dari jumlah responden. Jumlahresponden yang bermodal Rp 51.000 sampai dengan Rp 75.000 sebanyak 19responden atau 63% dari jumlah responden. Jumlah responden yang bermodal Rp206
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 2, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-556475.000 sampai dengan Rp 100.000 sebanyak 5 responden atau 17% dari jumlahresponden.3.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Variabel Pengalaman Pengalaman menjadi hal yang tidak terlepas dari kehidupan nelayan DesaSawang Ba’u.Pengalaman digambarkan sebagai ciri keberhasilan seseorang nelayanterhadap profesinya.Dalam kehidupan nelayan, pengalaman juga berpengaruh terhadaphasil tangkapan. Namun, disisi lain pengalaman bukan jaminan yang dapatberpengaruh terhadap tingkat keberhasilan atau bukanlah cerminan dari perolehanpendapatan seorang nelayan, karena pekerjaan mencari ikan atau nelayan sangat besarkaitannya dengan kondisi alam. Pengalaman dalam profesi nelayan sangat dibutuhkanoleh setiap nelayan di Desa Sawang Ba’u, oleh sebab itu perlu adanya data tingkatpengalaman nelayan untuk membuktikan apakah variabel tersebut berpengaruhsignifikan terhadap pendapatan nelayan di Desa Sawang Ba’u. Data pengalamannelayan dapat di sajikan sebagai berikut:Tabel 3 Pengalaman nelayan Desa Sawang Ba’u Jumlah Prosentase % Lama menjadi nelayan0-10 tahun 4 7%11-20 tahun 22 73%21-30 tahun 6 20%Sumber : Data Primer Diolah 2015 Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat 4 responden yang memiliki pengalamankerja selama 0-10 tahun.Selanjutnya terdapat 22 responden yang memiliki pengalamankerja selama 11-20 tahun.Sedangkan 6 responden lainnya memiliki pengalaman kerjaselama 21-30 tahun. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengalaman kerjaselama 11-20 tahun merupakan pengalaman terbanyak. Sedangkan pengalaman kerjaselama 0-10 dan 21-30 tahun merupakan pengalaman yang paling sedikit dimilikinelayan Desa Sawang Ba’u.3.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Variabel Harga Ikan Harga ikan di Sawang Ba'u sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan cuaca.Seperti konsep demand dan supply dimana ketika musim paceklik yang biasanyadipengaruhi oleh kondisi alam dan cuaca akan menyebabkan produktifitas nelayanmenurun. Hal tersebut akan berdampak terhadap harga ikan yang melambung tinggi diatas harga rata-rata. Kondisi sebaliknya ketika musim ikan dimana kondisi alam dancuaca mendukung kegiatan pencarian ikan sehingga hasil tangkapan ikan melimpahdan menyebabkan harga ikan cenderung murah. Perbandingan harga ikan ketikamusim peceklik dan musim ikan dapat dilihat pada Tabel 4. 207
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119