Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, Oktober 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572rata diperoleh 7,43±0,23 mg/l. Perairan Labu Lalar diperoleh nilai DO dengan rata-rata7,5±0,20 mg/l. Pengukuran DO di Pantai Jelenga Kecamatan Jereweh diperoleh kisaran7,2-7,4 mg/l. Sebagai pembanding, kandungan DO yang terukur di Muara SungaiTaliwang sebesar 7,6 mg/l. Kandungan Biological Oxygen Demand (BOD) di perairan Kecamatan Poto TanoStasiun 1 rata-rata diperoleh 1,02±0,06 mg/l. Untuk Stasiun 2 dan Stasiun 3 masing-masing diperoleh 0,85-1,00 mg/l dan 0,99±0,10 mg/l. Perairan Desa Kertasari KecamatanTaliwang (Stasiun 4) memiliki kisaran nilai BOD 0,9-1,15 mg/l dengan rata-rata1,03±0,13 mg/l. Desa Labu Lalar (Stasiun 5) memiliki nilai kisaran BOD 0,80-0,90 mg/ldengan rata-rata 0,85±0,05 mg/l. Kisaran nilai BOD di Pantai Jelenga (Stasiun 6) 0,75-0,80 mg/l. Sebagai perbandingan, Nilai BOD yang diambil di muara Sungai Taliwangdiperoleh 0,92 mg/l. Kandungan COD pada Stasiun 1, Stasiun 2 dan Stasiun 3 di perairan KecamatanPoto Tano masing-masing 8,39±2,13 mg/l, 10,32-15,58 mg/l dan 10,67±1,99 mg/l.Perairan Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwang rata-rata kandungan CODsebesar 9,61±2,7mg/l dengan kisaran nilai 6,63-11,89 mg/l. Adapun di perairan DesaLabu Lalar (Stasiun 5) kandungan COD berkisar 8,21-13,47 mg/l dengan rata-rata11,02±2,65 mg/l. Untuk Pantai Jelenga (Stasiun 6) Kecamatan Jereweh Kandungan CODrata-rata mencapai 12,95-14,59 mg/l. Sebagai pembanding, nilai COD di muara SungaiTaliwang diperoleh 7,68 mg/l. Rata-rata derajat keasaman (pH) di masing-masing stasiun perairan pesisirKecamatan Poto Tano yaitu Stasiun 1 (8,15±0,02), Stasiun 2 (7,72-8,01), dan Stasiun 3(8,18±0,19). Nilai pH ini berada dalam kisaran yang dperbolehkan untuk budidayarumput laut. Adapun pH di perairan Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwangberkisar antara 8,10-8,28 dengan rata-rata 8,17±0,09. Di Labu Lalar (Stasiun 5), pHberkisar antara 7,96-8,3 dengan rata-rata 8,14±0,17. Di Pantai Jelenga (Stasiun 6)Kecamatan Jereweh pH yang terukur yaitu 8,25-8,26. Sebagai perbandingan, pengukuranpH yang coba dilakukan di Muara Sungai Taliwang diperoleh pH 7,9. Nilai pH yangterukur pada ke enam stasiun ditunjukkan oleh Tabel 3 dibawah ini: 98
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, Oktober 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Tabel 3. Hasil Analisis Kualitas AirParameter Baku mutu St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6 7 –15 3,00±2,60 6,17±0,76 2-3,5 0,15-Depth (m) 10,89±4,04 13-13,5 7,00±4,36 0,09±0,001 0,10±0,06 0,10-0,11 0,50Arus (m/s) <10 10-30 <10 >30 cm 0,11±0,041 0,16-0,17 0,16±0,01 3,90±1,91 7,46±0,55 2-3,5 0,270±0,165 0,193±0,021 0,15-0,25 >3Gel (cm) 28,4±0,53 28,1±0,79 29,2-30,4 <5 10-30 10-30 10-30 8,17±0,09 8,14±0,17 8,25-8,26 34,67±0,58 34,67±0,58 28 -Visibility 33-34 32 7,43±0,23 7,50±0,20(m) 8,47±3,63 10,44-10,80 8,60±3,26 1,03±0,13 0,85±0,05 7,2-7,4 6.5- 9,61±2,70 11,02±2,65 0,75-0,80 8.5Turbid 0,203±0,075 0,30-0,45 0,230±0,061 12,95-14,59 33 - <0,005 <0,005 34(NTU) 27,3±1,04 27,30-28,00 29,3±0,70 0,116±0,029 0,212±0,055 <0,005 >5Temp (0C) 0,099-0,115 20pH 8,15±0,02 7,72-8,01 8,18±0,19 -Salinity 34±0,00 34±0,00 33,67±0,58(ppt) 0,015DO (mg/l) 7,67±0,61 7,4-7,5 7,63±0,15 1,02±0,06 0,85-1,00 0,99±0,10 0,008BOD-5(mg/l) 8,39±2,13 10,32-15,58 10,67±1,99COD(mg/l) <0,001 <0,005-0,01 <0,005PO4-P(mg/l) 0,16±0,046 0,154-0,056 0,270±0,191NitratTabel 4. Hasil Analisis Logam Berat Kolom AirLoga Baku St. 5 St.6 Mutu m St. 1 St. 2 St. 3 St. 4Berat(mg/l)Hg <0,0002- <0,0002- <0,0002- <0,0002- <0,0002- <0,0002- 0,00 0,0003 0,0003 1 0,00045 0,0003 0,0003 0,0003 <0,0010 <0,0010 0,00Cr6+ <0,0010 <0,0010 <0,0010 <0,0010 <0,0002- <0,0002- 5 0,0003 0,0003As <0,0002- <0,0002 <0,0002- <0,0002- <0,0010 <0,0010 0,01 2 0,00045 0,0003 0,0004 <0,005-0,011 0,008-0,01 0,00Cd <0,0010 <0,0010 <0,0010 <0,0010 <0,005-0,007 <0,0050 1 <0,005-0,009 <0,005-0,009Cu 0,005-0,011 <0,005-0,009 0,005-0,008 0,005-0,343 0,00 <0,0050 <0,0050 8Pb <0,0050 <0,0050 <0,0050 <0,0050 0,05Zn 0,006-0,009 <0,005-0,016 <0,005-0,016 0,006-0,011 0,05Ni <0,0050 <0,0050 <0,0050 <0,0050 0,05Tabel 5. Jenis substrat dasar perairan pada keenam stasiun pengamatanStasiun St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6Jenis Substrat Pasir halus Pasir, pecahan karang Pasir dan Pasir kasar dan Pasir Pasir dan campuran dan sangat sedikit pecahan pecahan karang berlumpur berukuran sangat sedikit lumpur karang besar dan lumpur pecahan karang. 99
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, Oktober 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Kandungan logam berat digunakan oleh Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al.(2007) dalam membangun matrik kesesuaian. Kadar logam berat <0,01 mg/l masukdalam kelas sangat sesuai, kadar 0,01-0,04 mg/l masuk dalam kelas sesuai, kadar 0,03-0,06 mg/l masuk dalam kelas sesuai bersyarat dan kadar >0,06 mg/l masuk dalam kelastidak sesuai. Pada tujuh jenis logam berat yang dianalisis hampir semuanya masuk dalamkelas sangat sesuai. Hanya pada sub-stasiun 1, 2, dan 3 untuk tembaga, walaupun masukdalam kisaran sangat sesuai tetapi menurut aturan baku mutu kementerian lingkunganhidup memiliki nilai di atas baku mutu. Pengaruh logam berat dalam rumput laut akanhilang ketika proses pengolahan rumput laut menjadi karaginan dilakukan sesuai proseduryang berlaku.3.3. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Berdasarkan hasil analisis GIS (Gambar 3) diperoleh kawasan yang sesuai untukaktivitas budidaya rumput laut Euchema cottonii meliputi Stasiun 1 yang terdiri dariwilayah pesisir Labu Beru dan sekitar pelabuhan Poto Tano, Stasiun 3 yang meliputiwilayah pesisir Sagena, Kuang Busir, dan Tua Nanga yang masih termasuk dalamwilayah administratif Kecamatan Poto Tano, Stasiun 4 yang meliputi wilayah TelukKertasari dan sekitarnya yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Taliwang,dan Stasiun 6 yang meliputi wilayah Pantai Teluk Jelenga yang masuk kedalam wilayahadministratif Kecamatan Jereweh. Peta lokasi kesesuaian untuk budidaya rumput lautselengkapnya dapat dilihat pada gambar. Berdasarkan hasil kajian kesesuaian ekologis dan analisa GIS yang dilakukan padaperairan kecamatan pesisir yang Kabupaten Sumbawa Barat diperoleh luasan perairanyang sesuai beserta rekomendasi teknologi untuk budidaya rumput laut di tampilkan padaTabel 6 berikut ini.Tabel 6. Luasan perairan, rekomendasi teknik dan identifikasi aktivitas budidaya diperairan pesisir Kabupaten Sumbawa Barat Luas Perairan Sesuai Untuk SyaratKecamatan Ekologis Rumput Laut Rekomendasi AktivitasPesisir Sangat Sesuai Sub Total Teknologi Budidaya Budidaya SesuaiPototano(St. 1 410 ha 395 ha 805 ha Metode Long Line Sudahdan St. 3) Ada SebagianTaliwang(St. 70 ha - 70 ha Metode Tancap Dasar Sudah4) Ada 100
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, Oktober 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Jereweh (St. 6) - 86 ha 86 ha Metode Tancap Dasar Tidak 961 ha AdaTotal 480 ha 481 haGambar 4. Peta kesesuaian untuk budidaya rumput laut dengan metode tanam mengapung atau long line. 101
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, Oktober 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Gambar 5. Peta kesesuaian untuk budidaya rumput laut dengan metode tanam tancap dasar Berdasarkan hasil analisis diperoleh luasan perairan yang sesuai untuk budidayarumput laut untuk Kecamatan Poto Tano adalah 805 ha dengan rincian sebesar 410 Hatelah dimanfaatkan untuk kegiataan budidaya (existing), masih ada peluang untukpengembangan untuk kedepannya dengan luasan mencapai 395 Ha. Untuk DesaKertasari, Kecamatan Taliwang yang merupakan sentra pembudidaya rumput laut denganMetode Tancap Dasar peluang untuk pengembangan sudah tidak memungkinkanmengingat areal lahan budidaya hampir 100 persen telah dimanfaatkan dengan luasanmencapai 70 ha. Di Kecamatan Jereweh, tepatnya di Pantai Teluk Jelenga. Peluang untukpengembangan budidaya rumput laut masih terbuka. Mengingat saat ini areal seluas 86Ha belum termanfaatkan untuk aktivitas budidaya rumput laut.4. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil analisis total luasan areal yang memenuhi persyaratan ekologisuntuk budidaya rumput laut adalah 961 ha. Dari total luasan, areal yang sesuai mencapai481 ha. Adapun lahan yang dikategorikan sangat sesuai untuk budidaya mencapai 468 ha.Untuk meningkatkan potensi produksi lahan budidaya dapat digunakan pendekatan 102
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, Oktober 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572teknologi budidaya. Untuk kawasan pesisir Poto Tano direkomendasikan penggunaanmetode long line. Untuk Taliwang dan Jereweh metode tancap dasar lebih efektif karenakondisi kedalaman perairan yang relatif dangkal.Pada penelitian kali ini aspek sosialekonomi tidak menjadi bagian dari kajian. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lainyang melakukan kajian terhadap aspek kesesuaian dari sisi sosial ekonomi.Daftar PustakaAkbar, H. 2008. Studi Karakter Morfometrik - Meristik Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) di DAS Mahakam Tengah Propinsi Kalimantan Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.Aslan, LM. 1988. Budidaya Rumput Laut. Kanisius Yogyakarta. 96 hal.Http://www.algaebase.org/search/species/detail/?species_id=14273 diakses tanggal 07 Januari 2013Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) 1988. Keputusan Menteri KLH No. 02/1988 Tentang Baku Mutu Lingkungan untuk budidaya laut. KLH Jakarta.Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). 2004. Keputusan Menteri KLH No. 51/2004. Tentang Baku Mutu Lingkungan Perairan Untuk Biota Laut.Peira, P. 2002. Beach Carrying Capacity Assesment : How Important it is ?. Journal of Coastal Recearch, Special Issue 36 : 190 – 197Rorrer, GL. 2000. Cell and Tissue Cultures of Marine Seaweeds. In Spier, R.E. (Ed.) Encyclopedia of Cell Technology Willey, pp. 1105 – 1116.Sirajuddin. 2008. Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima. Tesis. Pascasarjana IPB.Zuccarello, G. C., A. T. Critchley, J. Smith, V. Sieber, G. B. Lhonneur & John A. West. 2006. Systematics and Genetic Variation in Commercial Kappaphycus and Eucheuma (Solieriaceae, Rhodophyta). Journal of Applied Phycology. DOI: 10.1007/s10811-006-9066-2. 103
KETENTUAN PENULISANRuang LingkupArtikel yang diusulkan untuk diterbitkan di Jurnal Perikanan Tropis (JPT) belum pernahdipublikasikan secara tertulis pada jurnal atau majalah ilmiah manapun. Jurnal PerikananTropis memuat artikel ilmiah yang berkaitan dengan perikanan dalam artian luas (budidayaperairan, perikanan tangkap, pengolahan hasil perikanan, manajemen sumberdaya perairan,ilmu kelautan, sosial ekonomi perikanan), ilmu perairan, maupun masalah-masalah lainnyayang relevan dengan masalah perikanan, serta tinjauan buku dalam bidang-bidang tersebut.Jurnal Perikanan Tropis terdaftar resmi pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII)Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan nomor ISSN: 2355-5572.BahasaNaskah yang dimuat dalam jumal ilmiah ini menggunakan Bahasa Indonesia, Bahasa Malaysiaatau Bahasa Inggris yang baik dan benar. Penggunaan istilah-istilah mengacu pada kaidah yangbenar.Pengetikan NaskahNaskah diketik menggunakan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word dengan ukurankertas A4 dengan jarak 1,5 spasi dengan huruf Times New Roman ukuran 12. Tata letakhalaman tegak (portrait) dengan jarak sembir (margin) kiri 3,5 cm; kanan, atas dan bawah 3 cm.Panjang naskah antara 15-20 halaman termasuk gambar dan tabel. Naskah dan CV penulisdikirim ke Redaksi dalam bentuk Softcopy pada sebuah CD (Compact Disk) atau dikirim viaemail.Isi Naskah dan Sistematika Penyajian1. Artikel ditulis dengan gaya esai, menggunakan sub-judul untuk masing-masing bagian, kecuali bagian latarbelakang atau pendahuluan.2. Artikel hasil penelitian meliputi : (a) Judul; (b) Nama lengkap penulis (tanpa gelar), lembaga ataua filiasinya, dan korespondensi peneliti (email); (c) Abstrak dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (maks. 250 kata), 1 spasi; (d) Kata kunci; (e) Pendahuluan (tanpa judul, termasuk tujuan penelitian) (f) Metode penelitian, (g) Hasil/Temuan dan Pembahasan, (i) Kesimpulan (j) Daftar Pustaka; dan (k) Lampiran (jika ada).3. Artikel bukan hasil penelitian meliputi: (a) Judul; (b) Nama lengkap penulis (tanpa gelar), lembaga atau afiliasinya, dan korespondensi peneliti (email); (c) Abstrak dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (maks. 150 kata); (d) Kata kunci; (e) Pendahuluan (tanpa judul); (f) Isi Bahasan; (g) Referensi.4. Referensi disajikan secara alfabetis dan kronologis, dengan urutan Nama, tahun, judul buku, kota penerbit, nama penerbit (Judul dicetak miring).Judul dan Nama PengarangJudul harus berupa ungkapan dalam bentuk kalimat pendek yang mencerminkan isi penelitianatau artikel konseptual/kajian. Jika penulis lebih dan seorang, hendaknya diurutkan dimulaidengan penulis utama/sesuai dengan kode etik penulisan.Tabel dan GambarTabel dan gambar diberi judul singkat dan jelas. Setiap tabel dan gambar diberi nomor urut(1,2,3,…dst). Nomor dan judul tabel berada diatas, sedangkan untuk gambar berada di bawah.Bilagambar berupa foto, maka kualitas foto harus baik. Agar memudahkan proses editing,dianjurkan gambar di”group”
Daftar Rujukan (Daftar Pustaka)Daftar Rujukan yang ditampilkan hanya yang dikutip saja. Penulisan daftar rujukan mengikutikode etik penulisan ilmiah pada umumnya dan disusun menurut abjad nama penulis.PenerbitanNaskah dan CV penulis dikirim ke alamat Redaksi dalam bentuk Softcopy pada sebuah CD(Compact Disk) atau dikirim via email ke [email protected] dengan CC ke [email protected] ditulis dalam bentuk narasi yang menjelaskan identitas penulis, minat penelitian dankepakaran. Naskah yang diterima akan di telaah oleh Mitra Bestari yang akan menyetujui ataumenolak penerbitannya. Penulis yang naskahnya disetujui, maka harus mengirimkan lembarAssignment of Copyright (Persetujuan Hak Cipta) ke Redaksi. Naskah akan diterbitkan dalamedisi cetak dan online.
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 DEWAN REDAKSI JURNAL PERIKANAN TROPIS Penanggung Jawab Rektor Universitas Teuku Umar Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan PembinaKetua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Ketua Penyunting/Redaktur Afrizal Hendri, S.Pi., M.Si Mitra Bestari Prof. Dr. Sugeng Heri Suseno Prof. Dr. Sukendi Prof. Dr. Muchlisin ZA Penyunting Pelaksana/Editor Hafinuddin, S.Pi., M.Sc Arif Nasution, S.Pi., M.Si Sekretariat Nabila Ukhty, S.Pi., M.Si Perancang Sampul Irwandi, S.Sos. I Penerbit Universitas Teuku Umar Alamat Redaksi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku UmarJln. Kampus Alue Peunyareng, Kecamatan Meurebo, Meulaboh 23615, Aceh Barat, Indonesia CP: 085260089035, 081378081300, 085288323477, W: www.utu.ac.id, E: [email protected], [email protected] Perikanan Tropis terbit dua kali dalam setahun pada bulan April dan Oktober yangberisi artikel ilmiah hasil penelitian atau kajian bidang berkaitan dengan perikanan dalamartian luas (budidaya perairan, perikanan tangkap, pengolahan hasil perikanan, manajemensumberdaya perairan, ilmu kelautan, sosial ekonomi perikanan), ilmu perairan, maupunmasalah-masalah lainnya yang relevan dengan masalah perikanan
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Daftar Isi1. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Kerling Jantan, Tor tambroides, (Cyprinidae) yang Tertangkap di Daerah Aliran Sungai Jambak Kabupaten Aceh Barat: Pendekatan Histologi Afrizal Hendri, Baihaqi, Husni Yulham, Agusriana .................................................. 12. Respon Fotosintesis Makroalga Terhadap Tekanan Desikasi pada Zona Intertidal Berbatu Di Denshin Hama Perairan Muroran, Jepang Mohamad Gazali, Yun- kae kiang, Masataka Hoashi ............................................... 283. Status Keberlanjutan Ketersediaan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Aceh Barat Edwarsyah, Mohamad Gazali ................................................................................... 374. Distribusi Logam Berat pada Air dan Sedimen Laut Di Wilayah Pesisisr Kabupaten Sumbawa Barat Helmy Akbar, Singgih Afifa Putra, Muhammad Arif Nasution ............................... 445. Laju Pertumbuhan Chaetoceros calcitrans dalam Media Kultur Ekstrak Tauge pada Skala Semi Massal Mahendra ................................................................................................................... 526. Senyawa Metabolit Sekunder Kapang Endofit TP6 dan TPL2 yang Diisolasi dari Tumbuhan Pesisir Terong Pungo (Solanum sp.) Nabila Ukhty, Kustiariyah Tarman, Iriani Setyaningsih ........................................... 647. Pengaruh Penggunaan Konsentrasi Air Kelapa Muda pada Pengencer NaCl Fisiologis Terhadap Motilitas dan Mortalitas Spermatozoa Ikan Tawes ( Puntius javanicus) Farah Diana, Muhammad Rizal, Dewi Mariani ........................................................ 708. Pengaruh Penggunaan Konsentrasi Air Kelapa Muda pada Pengencer NaCl Fisiologis Terhadap Kualitas Spermatozoa Ikan Tawes ( Puntius javanicus) Muhammad Rizal, Farah Diana, Dewi Mariani ....................................................... 779. Teknologi Pembenihan Sebagai Upaya Pelestarian Ikan Lokal (Tor spp) di Desa Kuta Teungoh Kecamatan Beutong Banggalang Baihaqi, Husni Yulham, Afrizal Hendri ................................................................... 8310. Analisis Kriteria Ekologi Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Helmy Akbar, Muhammad Arif Nasution ................................................................ 89
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN KERLING JANTAN, Tor tambroides, (Cyprinidae) YANG TERTANGKAP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI JAMBAK KABUPATEN ACEH BARAT: PENDEKATAN HISTOLOGI Afrizal Hendri1, Baihaqi1, Husni Yulham1, Agusriana11 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstrak Kajian tentang tingat kematangan gonad ikan air tawar menjadi dasar dalam upayapemantauan reproduksi (breeding) dan program konservasi kedepannya. Beberapa asesmenyang bisa dilakukan untuk mengamati tingkat kematangan gonad ikan diantaranya plasma level(hormon), indeks kematangan gonad dan histologi. Ikan kerling adalah salah satu spesies airtawar yang terdapat di Aceh. Namun seiring semakin tingginya tingkat eksploitasi dandegradasi lingkungan sungai telah mengancam kelestarian ikan ini di habitatnya. Penelitian inibertujuan untuk melihat pofil kematangan gonad ikan kerling jantan melalui pendekatanhistologi. Pengambilan ikan sampel dilaksanakan selama 6 bulan yaitu Juli sampai Desember,dengan menggunakan alat tangkap jala meshsize 1”, 2”. Penelitian ini bersifat surveyeksploratif, yang mana pengembilan sampel ikan dilakukan di sungai jambak, pembuatanpreparat dan analisis histologi di laboratorium histologi Balai Budidaya Air Payau Aceh. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa tahapan perkembangan gonad ikan kerling jantan didapatkanadanya sel-sel spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid dan iniumumnya terdapat pada semua bulan pengamatan. Namun dilihat dari nilai proporsinya,tahapan sel-sel yang mendominasi spermatogenesis ialah spermatid yaitu sebesar 55.5%. Inididuga ikan kerling jantan memasuki fase pemijahan pada bulan Juli.Kata kunci: Tor tambroides, Tingkat Kematangan Gonad, Spermatogenesis1. Pendahuluan Ikan kerling merupakan salah satu spesies ikan air tawar yang masih hidup liar di sungaiJambak Kabupaten Aceh Barat serta mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dalam beberapa tahunterakhir, ikan ini menjadi perhatian para peneliti dan dimasa mendatang diharapkan menjadisalah satu komoditi yang berkontribusi untuk meningkatkan produksi akuakultur. Permintaandaging ikan kerling terus meningkat, walaupun harganya sangat mahal. Sebaliknya aspekbudidayanya belum berhasil dan bahkan belum banyak diteliti. Selain itu, tingkat eksploitasinyadi alam terus meningkat yang berakibat pada semakin kritisnya populasi di habitat aslinya.Kottelat (1993) dan Rupawan (1999) menyatakan bahwa ikan dari marga Tor termasuk jenisyang terancam punah akibat penangkapan yang berlebihan dan kerusakan habitat berupapenggundulan hutan dan penambangan pasir/batu sungai. Gonad adalah organ reproduksi yang terdapat dalam tubuh individu ikan, pada ikan gonadberada disamping kiri dan kanan gelembung renang, dibawah vertebrae dan diatas saluran 1
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572pencernaan. Jumlahnya sepasang dan menggantung pada selaput mesorchia dan mesovariayaitu tergantung pada bentuk tubuh dan rongga tubuh individu ikan itu sendiri. Pada spesiesikan dari ordo Siluriformes memiliki bentuk testes yang berbeda dengan bentuk testes pada ikandari ordo Cypriniformes. Peninjauan terhadap perkembangan gonad pada ikan dilakukan dari berbagai aspektermasuk proses- proses yang terjadi didalam gonad baik terhadap individu maupun populasi.Perkembangan gonad didalam tubuh ikan sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitasmakanan yang dimakan juga kondisi lingkungan seperti suhu, yaitu pada saat gonad sedangdalam proses perkembangannya, sehingga mempelajari tahapan-tahapan perubahanperkembangan gonad dari suatu spesies ikan sangat penting dalam mendalami aspek biologiikan. Dengan diketahuinya rekaman data tentang pentahapan testes dan ovary pada individuikan maka kita dapat membandingkan antara individu ikan yang belum dewasa dengan yangsudah dewasa, antara individu yang sudah matang gonad dengan yang belum matang gonad,antara individu yang belum bereproduksi dengan yang sudah pernah bereproduksi, selain itudapat diketahui pada ukuran berapa individu dari spesies ikan itu pertama kali megalami matanggonad dan mijah, untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad tersebut secarakuantitatif dapat dinyatakan dengan suatu indeks yang dinamakan indeks kematangan gonad,yaitu nilai dalam persen sebagai hasil perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikantermasuk gonadnya. Pengamatan tentang tahap- tahap kematangan gonad ikan dapat dilakukansecara: morfologi dan histologi. Asesmen secara histologi akan diketahui anatomiperkembangan gonad menjadi lebih jelas dan mendetail, Sedangkan hasil pengamatan secaramorfologi tidak akan sedetail cara histologi. Kajian dasar tentang ikan-ikan lokal yang berpotensi dan memiliki nilai ekonomis, yangkelestariannya mulai terancam sangat diperlukan terutama kaitannya denganpengembangbiakan. Di habitatnya kendala yang sering muncul dalam prakteknya adalahtertangkapnya ikan-ikan yang sedang memasuki fase reproduksi (matang kelamin), kondisi initentunya akan berpengaruh pada status populasi ikan. Karena itulah diperlukannya selektif danwaktu tangkap yang ideal oleh warga lokal. Pengelolaan terhadap ikan Kerling dapat dilihat dari beberapa aspek seperti pertumbuhan,reproduksi, genetik, makanan, pola migrasi, dan lain-lain. Namun, penelitian ini difokuskanuntuk menelaah tingkat kematangan gonad melalui pendekatan histologi. Dengan harapandidapatkan profil proporsi spermatogenesis dan waktu pemijahan. 2
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Waktu Pengambilan sampel ikan dilakukan selama 6 bulan: Juli sampai Desember 2014.Sedangkan penelitian ini melibatkan bebepa tempat yaitu 1) Daerah Aliran Sungai JambakMeureubo Kecamatan Pante Ceureumen Kabupaten Aceh Barat: Pengambilan sampel Ikan, 2)Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee Kabupaten Aceh Besar Propinsi Aceh:Pembuatan preparat histologi dan analisis proporsi kematangan gonad.2.2. Alat dan Bahan PenelitianAlat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperti yang tertera dalamTabel 1 dan 2.Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitianNo Jenis Alat Fungsi1 Mikroskop kamera Untuk mendiagnosa sampel2 Disetting sets Membedah ikan dan mengambil gonad3 Tissue embedding centre Untuk memblok sampel4 Oven Untuk mencairkan paraffin5 Timer Untuk mengatur waktu6 Floating beth Untuk melengketkan sampel pada objek glass7 Mikrotom Untuk pemotongan sampel8 Cassette embedding Wadah sampel agar mudah dibekukan dan dipotong9 Parafin mold Untuk pembekuan sampel10 Fume Hood Untuk menyaring asam atau bahan- bahan kimiaTabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitianNo Jenis Bahan Fungsi1 Gonad Jantan Ikan Kerling Sebagai Objek penelitian2 Alkohol absolute Untuk mengeluarkan air3 Plastik Tempat sampel ikan4 Alkohol 70 %, Alkohol 80 %, Untuk mengeluarkan air dari jaringanAlkohol 95 %5 Xylol Untuk melarutkan sisa- sisa paraffin6 Paraffin Untuk memperkuat jaringan7 Heamatoxylen Untuk pewarnaan inti sel8 Eosin Untuk pewarnaan sitoplasma9 Entelan/ lem Untuk merekatkan jaringan10 NBF Untuk perendaman sampel agar struktur jaringan sampel dapat bertahan2.3. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat survey eksploratif, yang mana aktivitas penangkapan ikandilakukan menyusuri aliran sungai Jambak sepanjang 1,5 km, dan melemparkan jala sebanyak10 kali pada satu titik dari 15 titik pengambilan sampel. 3
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722.4. Prosedur Pengamatana. Pengambilan Ikan Sampel Ikan Sampel diambil dari hasil tangkapan nelayan lokal dalam kondisi masih hidupdengan jumlah 10 ekor/ bulan selama 6 bulan. Setelah pengukuran panjang total dan berat totalikan segera dibedah. Ikan dibedah dengan menggunakan gunting dimulai dari bagian anushingga belakang operculum kemudian diambil gonad dimasukkan kedalam botol sampel yangdiberikan cairan BNF (buffer Formalin), kemudian diberi kode/ Label sampel dan dibawa keLaboratorium Perikanan dan ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar untuk disimpan dalamfreezer sampai digunakan. Selanjutnya dibawa ke laboratorium BBAP Ujong Batee untukpembuatan preparat histologi.b. Pembuatan Preparat Tahap- tahap pembuatan preparat Histologi: 1) Fiksasi Dilakukan dengan cara perendaman pada larutan NBF dengan perbandingan volume 1bagian spesimen dan 10 bagian larutan NBF. Fiksasi ini bertujuan agar struktur jaringan sampeldapat dipertahankan seperti saat ikan masih hidup. 2) Preparasi organ Seluruh organ target dalam pemeriksaan dimasukkan dalam kaset embedding. 3) Dehidrasi, clearing dan infiltrasi organ atau jaringan proses ini dapat menggunakan automatic atau manual tissue processor. a. Dehidrasi Merupakan cara pengeluaran air dari jaringan dengan menggunakan alkohol bertingkatdimulai dari alkohol 70% sampai 100%. Apabila jaringan masih keruh pada proses clearing,maka proses dehidrasi harus diulang. b. Clearing Untuk menghilangkan bahan kimia dehidrasi, sehingga contoh menjadi transparan. Bahanclearing ini mempunyai sifat mampu menggantikan bahan kimia dan mampu melarutkanparaffin. Bahan yang dipergunakan adalah xilol, dilaksanakan dengan cara: contoh diataskemudian dipindahkan ke xilol I (kesatu) selama 2 jam kemudian dipindahkan ke xilol II(kedua) selama 2 jam. c. Infiltrasi Cara menyusupkan paraffin kedalam jaringan contoh untuk menggantikan xilol. Sehinggacontoh tidak rusak waktu pemotongan dengan mikrotom. Dilaksanakan setelah proses clearing, 4
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572kemudian dipindahkan ke paraffin cair I (kesatu) selama 2 jam dan dipindahkan ke paraffin IIselama 2 jam. 4) Embedding Setelah clearing dan infiltrasi organ atau jaringan diambil dan ditempatkan pada paraffinmold dengan posisi sesuai tujuan pemeriksaan kemudian ditambahkan paraffin cair dan ditutupdengan kaset embedding. Selanjutnya dibekukan dan siap untuk dipotong. 5) Pemotongan organ atau jaringan Pemotongan dilakukan menggunakan mikrotom dengan ketebalan irisan 5µm. Hasilpemotongan direnggangkan pada permukaan air pada floating bath yang bersuhu 45 °C.selanjutnya dilakukan penempelan irisan pada gelas objek yang telah diolesi dengan albumin-gliserin. 6) Pewarnaan jaringan atau preparat a. Deparafinasi Proses pewarnaan dimulai dengan contoh sediaan (slide) yang akan diperiksa direndamdalam xilol I (kesatu) selama 2 menit, kemudian dipindahkan dan direndamkan dalam larutanxilol II (kedua) selama 2 menit. b. Rehidrasi Untuk memberikan air pada contoh jaringan dari alkohol konsentrasi tinggi ke alkoholkonsentrasi rendah, dengan cara : contoh diatas dipindahkan dan direndam dalam alkoholabsolute I (kesatu) selama 2 menit, kemudian dipindahkan dan direndam dalam alkoholabsolute II (kedua) selama 2 menit, lalu dipindahkan dan direndamkan dalam alkohol 95% I(kesatu) selama 2 menit selanjutnya dipindahkan dan direndam dalam alkohol 95% II (kedua)selama 2 menit. c. Pewarnaan Dalam pewarnaan ini dipergunakan teknik pewarnaan heamatoxylen dan eosinyellowfish. Contoh dipindahkan dan direndam dalam heamatoxylen selama 10 menit,selanjutnya dipindahkan dan direndam dalam aquades selama 2 menit. Selanjutnya direndamdalam acit alkohol selama 1 menit, setelah itu dicuci dengan air bersih mengalir selama 5 menit.Kemudian direndam dalam eosin selama 2 -5 menit. d. Dehidrasi 5
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Sediaan direndam dalam alkohol 95% I (kesatu) selama 2 menit, direndam dalam alkohol95% II (kedua) selama 2 menit, dan direndam dalam alkohol absolute I (kesatu) selama 2 menit,direndam dalam alkohol absolute II (kedua) selama 2 menit, setelah itu dipindahkan dandirendam dalam xilol I (kesatu) selama 2 menit, lalu dipindahkan dan direndam dalam xilol II(kedua) selama 2 menit, kemudian dipindahkan dan direndam dalam xilol III (ketiga) selama 2menit. 7) Pelekatan (mounting) Merupakan proses pelekatan gelas penutup dengan zat perekat supaya sediaan jaringantidak rusak. Pelekatan ini dilaksanakan setelah proses dehidrasi, kemudian angkat sediaan laludibersihkan sekelilingnya. Setelah itu ditetesi dengan entellan. 8) Penutupan Merupakan proses penempelan gelas penutup sedemikian rupa sehingga tidak adagelembung udara, kotoran pada contoh yang diamati. Hal ini dilaksanakan setelah ditetesientellan dan kemudian ditutup dengan gelas penutup (cover glass). Contoh jaringan siap diamati di mikroskop. 9) Pembacaan sediaan Pembacaan sediaan untuk diagnosa dengan metode komparasi di bawah mikroskopdengan pembesaran 40 x.2.5. Analisa Data Analisis data dilakukan secara deskriptif yang meliputi parameter berat tubuh, beratgonad dan disajikan dalam bentuk foto gambaran histologis. Tingkat kematangan gonad bisadiketahui dari pengamatan mikroskopis tehadap ukuran diameter dan penampakan ovary, atauirisan histologis dari gonad (Kesteven, 1968). Untuk penghitungan proporsi setiap tahapanperkembangan oosit, secara garis besar oosit dikategorikan ke dalam tahap previtellogenesis,vitellogenesis awal, vitellogenesis pertengahan, vitellogenesis akhir dan maturasi. Tahapanperkembangan oosit pada ovarium ikan nilem ditentukan menurut Wijayanti et al (2004).Jumlah oosit pada masing-masing tahap perkembangan dihitung dengan mengevaluasi histologiovarium bagian anterior, median dan posterior masing-masing sebanyak 5 irisan (15 irisan perovarium). Dalam penghitungan jumlah oosit hanya oosit yang memperlihatkan inti yangdihitung. Oosit pada masing-masing tahapan kemudian dipresentasekan terhadap jumlah totaloosit yang diamati. Tahapan perkembangan oosit ikan nilem ditentukan berdasarkan Wijayanti 6
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572et al., 2004. Proporsi oosit pada masing-masing tahapan perkembangan (X) dihitung denganrumus : X= oosit pada tahap tertentu x100 oosit yang diamati3. Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan terhadap ikan Kerling didapatkan gambaran tahapan perkembangangonadnya melalui pendekatan histologi adalah sebagai berikut:A. Histologia. Pengamatan bulan Juli 2013 (n=9 ekor) 1. Ikan Sampel 1. proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalahfase Spermatosit Sekunder (41.3%) dan Spermatid (58.7%). Rataan Proporsi 70 Spermatosit (%) 60 58.7 50 40 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad2. Ikan Sampel 2. proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (100%) 120 Rataan Proporsi 100 Spermatosit (%) 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan gonad3. Ikan Sampel 3. proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatid (100%) 7
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit 120 S. Primer S. Sekunder 100 (%) 100 Spermatid 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad4. Ikan Sampel 4 proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatosit primer (36%) dan spermatosit sekunder (64%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 60 50 40 30 20 10 0 S. Primer S. Sekunder Spermatid Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad5. Ikan Sampel5 proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 S. Primer S. Sekunder 88 90 Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan gonad6. Ikan Sampel 6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatosit sekunder (51%) dan spermatid (49%). 60 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 50 40 30 20 10 0 S. Primer S. Sekunder Spermatid Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad 8
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55727. Ikan Sampel 7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (4.3%) dan spermatid (95.6 %) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 S. Primer 95.6 100 S. Sekunder Spermatid 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad8. Ikan Sampel8, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Primer S. Sekunder Spermatid Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad9. Ikan Sampel 9, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatosit sekunder (40.7%) dan spermatid (59.2%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 S. Primer S. Sekunder 59.2 60 Spermatid 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonadb. Agustus 2013, jumlah sampel (n=6) 1. Ikan Sampel 1, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatosit sekunder (20.8%) dan Spermatid (79.2%) 9
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 90 79.2 Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad2. Ikan Sampel2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 S. Primer S. Sekunder Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad3. Ikan Sampel 3, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (100%) 120 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad4. Ikan Sampel 4, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad 10
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55725. Ikan Sampel 5, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 S. Sekunder Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad6. Ikan Sampel 6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (81,2%) dan spermatosit sekunder (18,8%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 90 S. Primer S. Sekunder 18.8 80 Spermatid 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad7. Ikan Sampel 7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (88%) dan spermatid (12%) rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 S. Primer Proporsi; 12 90 S. Sekunder Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad 11
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572c. September 2013, jumlah sampel (n=10 ) 1. Ikan Sampel 1, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad2. Ikan Sampel2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad3. Ikan Sampel 3, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (6.6%) dan spermatid (93.4%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 93.4 90 Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad 12
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55724. Ikan Sampel4, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad5. Ikan Sampel 5, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad6. Ikan Sampel 6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (100%) 120 Rataan Proporsi 100 Spermatosit (%) 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad 13
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55727. Ikan Sampel 7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi 120 100 Spermatosit (%) 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad8. Ikan Sampel 8, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%). 120 Rataan Proporsi 100 Spermatosit (%) 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad9. Ikan Sampel 9, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 60 50 40 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad 14
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-557210. Ikan Sampel 10, Proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 S. Primer S. Sekunder Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonadd. Oktober 2013 , jumlah sampel (n=10)Rataan Proporsi Spermatosit (%) 1. Ikan Sampel 1, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (100%). 120 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Spermatid Tahapan perkembangan gonad2. Ikan Sampel 2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad 15
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55723. Ikan Sampel 2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan gonad4. Ikan Sampel 4, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (70,6 %) dan spermatid (29,4 %) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 80 70 60 50 40 30 29.4 Spermatid 20 10 0 S. Sekunder Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad5. Ikan Sampel 5, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (83,7%) dan spermatosit sekunder (16,3%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 90 S. Primer S. Sekunder Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan gonad6. Ikan Sampel 6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (64,1 %) dan spermatid (35,9 %) 16
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 S. Primer S. Sekunder 35.9 60 Spermatid 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad7. Ikan Sampel 7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer(70 %) dan spermatosit sekunder (29%) Rataan Proporsi 80 29 Spermatosit (%) 70 Spermatid 60 50 S. Primer S. Sekunder 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad8. Ikan Sampel 8, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad9. Ikan Sampel 9, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (55%) dan spermatosit sekunder (47%) 60 Rataan Proporsi Spermatosit 50 (%) 40 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad 17
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-557210. Ikan Sampel 10, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (56 %) dan spermatid (43 %) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 60 50 43 40 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonade. November 2013, jumlah sampel (n=10) 1. Ikan Sampel 1, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad2. Ikan Sampel 2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (32%) dan spermatosit primer (76%) Rataan proporsi Spermatosit (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad3. Ikan Sampel 3, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (56%) dan spermatosit sekunder (44%). 18
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 60 50 40 39 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad4. Ikan Sampel 4, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (13,3%) dan spermatid (86,6%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 86.6 90 Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad5. Ikan Sampel5, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (62%) dan spermatosit sekunder (38%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 60 50 40 39 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad6. Ikan Sampel6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (61,5%) dan spermatosit sekunder (38,5%) 19
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 70 Rataan Proporsi Spermatosit 60 (%) 50 40 39 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad7. Ikan Sampel7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad8. Ikan Sampel8, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) 120 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad9. Ikan Sampel 9, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (61%) dan spermatid (39%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 60 50 40 39 Spermatid 30 20 10 0 S. Primer S. Sekunder Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad 20
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-557210. Ikan Sampel10, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 S. Primer 100 100 S. Sekunder Spermatid 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonadf. Desember 2013 , jumlah sampel (n=10) 1. Ikan Sampel1, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (70,3%) dan spermatid (29,6%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 80 S. Primer S. Sekunder Spermatid 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad2. Ikan Sampel 2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 100 Spermatid 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad3. Ikan Sampel 3, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) 21
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad4. Ikan Sampel 4, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (% 120 S. Primer S. Sekunder Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad5. Ikan Sampel5, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (20,3%) dan spermatid (79,6%) Rataan Proporsi Spermatosit (% 90 79.6 80 Spermatid 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad6. Ikan Sampel 6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (22,4%) dan spermatid (77,6%) Rataan Proporsi Spermatosit 90 S. Primer S. Sekunder 77.6 (%) 80 Spermatid 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad 22
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55727. Ikan Sampel 7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatidRataan Proporsi Spermatosit (%) (100%) 100 120 100 80 60 40 20 0 Tahapan Perkembangan Gonad8. Ikan Sampel 8, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (% 120 100 100 Spermatid 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad9. Ikan Sampel 9, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (21,9%) dan spermatosit sekunder (78,1%) 90 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Spermatid Tahapan Perkembangan Gonad10. Ikan Sampel 10, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (11%) dan spermatid (88%) 23
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 88 Spermatid 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur jaringan secara detailmenggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang dipotong tipis. Dari hasil pengamatansecara histologi menunjukkan bahwa ikan kerling jantan diduga akan melakukan pemijahanpada bulan Juli ditandai dengan banyaknya jumlah spermatid yang terdapat pada setiap ikansampel, dan terlihat juga dari tingginya nilai IKG yaitu 7.12%. Pengamatan sampel pada bulan Juli 2013 di dapatkan sel-sel tahap perkembanganspermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid. Namun didominasi oleh sel spermatid(55,5%). Sedangkan pada bulan agustus didapatkan sel-sel tahapan spermatogonia, spermatositprimer, spermatosit sekunder dan spermatid namun lebih didomonasi oleh sel spermatogonia(57,7%), bulan September di dapatkan sel-sel tahapan spermatogonia, spermatosit sekunder danspermatid namun lebih didomonasi oleh selsel spermatogonia (50%), bulan Oktober didapatkan sel-sel tahapan spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder danspermatid namun lebih didomonasi oleh selspermatosit primer (50%), November di dapatkansel-sel tahapan spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid namunlebih didomonasi oleh selspermatogonia (60%) dan pada bulan Desember di dapatkan sel-seltahapan spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid namun lebihdidomonasi oleh spermatid (70%). Tahap perkembangan gonad yang dibagi menjadi empat tahapan (Spermatogonia,spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid) dikarenakan tidak diketemukannyaikan kerling dengan tingkat kematangan gonad tahap V (Spermatozoa). Selama penelitian, ikankerling jantan dengan TKG IV (Spermatid) ditemukan pada setiap bulannya, sehingga dapatdikatakan bahwa musim pemijahan ikan Kerling adalah lebih dari satu dalam setahun selamaperiode Juli yang merupakan waktu dilakukannya penelitian ini. Ingram (2007) mengemukakanbahwa spesies Tor memiliki tipe pemijahan parsial, asinkronous/intermitton. Kecenderungansemakin tinggi TKG maka kisaran panjang tubuh semakin tinggi. Ada dua faktor yang 24
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572mempengaruhi perkembangan gonad, yaitu faktor lingkungan dan hormone (Affandi dan Tang,2000). Beberapa faktor yang diduga dapat menjadi penyebab perbedaan pencapaian ukuranpertama kali matang gonad, seperti sifat genetik populasi, perbedaan letak wilayah, kualitasperairan dan besarnya tekanan penangkapan. Selain itu kematangan gonad berhubungan denganpertumbuhan dan faktor lingkungan terutama ketersediaan makanan baik secara kualitasmaupun kuantitas (Tpelihehre 1985 dalan Affandi dan Tang 2000). Effendi (1997) menyatakan faktor yang mempengaruhi pertama kali ikan matang gonadada dua yaitu faktor luar seperti suhu dan arus serta faktor dari dalam seperti umur, jeniskelamin, sifat-sifat fisiologis ikan seperti kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sertaukuran. Testis merupakan sepasang organ memanjang yang terletak pada dinding dorsal (Tangdan Affandi, 2002). Testis sebagai gonad jantan memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai penghasilspermatogonia dan mensekresi hormon androgen (Nalbandov, 1990). Pada testis mudabiasanya terlihat hanya ada sel spermatogonia dan sel sertoli pada tubulusnya(Prasetyaningtyas, 2006). Tubulus biasanya belum mengandung rumen dan terdapat jaringanikat yang tebal di sekitar tubulus (Prasetyaningtyas, 2001). Tubuli seminiferi adalah bagianyang dominan dalam testis yang berupa buluh bulat dan berliku – liku. Pada tubuli terdapat sel– sel spermatogenik dan selSertoli. Sel – sel spermatogenik terdiri dari spermatogonia,spermatosit, spermatid, dan spermatozoa. Berbagai sel spermatogenik menunjukkanperbedaantahapan dalam perkembangan dan diferensiasi spermatozoa. Spermatogonia berbentuk bulat dan terlihat paling besar diantara sel spermatogeniklainnya dengan warna lebih gelap. Spermatosit letaknya lebih ke sentral dari spermatogonia danbentuknya bulat. Spermatid letaknya lebih ke sentral dari spermatosit, bentuknya bulat kecildengan inti bulat di tengah. Adapun spermatozoa letaknya di sentral tubuli, bentuknya jelaskarena mempunyai kepala dan ekor. Menurut Djuwita (2000), proses spermatogenesis dibagi menjadi dua tahap yaitu : 1).Spermatositogenesis, adalah pertumbuhan jaringan spermatogenik dengan pembelahan mitosisyang diikuti dengan pembelahan reduksi (meiosis). Pada fase ini spermatogonia mempunyaikemampuan memperbaharui diri, sehingga menjadi dasar spermatogonial stem cell (Ogawa etal., 1997). Pada pembelahan meiosis jumlah kromosom dibagi dua sama banyak yaitu daridiploid (2n) menjadi haploid (n), sehingga pada saat yang bersamaan sel benih primordial juga 25
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572berkembang menjadi spermatogonia yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi spermatositprimer. Spermatosit primer akan berkembang menjadi spermatosit sekunder. Spermatositsekunder melalui pembelahan meiosis akan menghasilkan spermatid; 2). Spermiogenesis, yaitusel spermatid akan mengalami metamorfosa dan membentuk spermatozoa secara sempurna.Perubahan proses metamorfosa ini meliputi pembentukan akrosom, kepala, badan, dan ekordari spermatozoa. Sel spermatogonia merupakan sel pertama dari proses spermatogenesis. Selspermatogonia akan tetap dalam masa dorman hingga masa pubertas (Slomianka, 2006).Menurut Wodzicka-Tomaszewska (1991), sel spermatogonia merupakan sel yang paling awalyang terdiri dari dan terletak satu lapis dibawah membran dasar, sedangkan turunan berikutnyasecara cepat mendekati lumen. Sel spermatosit primer terletak di sekitar sel spermatogonia,tetapi lebih dekat ke lumen, setiap sel membelah secara meitotik menjadi dua sel yang lebihkecil. Sedangkan sel spermatosit sekunder, membelah segera setelah pembentukannya. Selspermatid merupakan sel yang jauh lebih kecil, sangat dekat dan berhubungan dengan selsertoli, kebanyakan dari sel ini mempunyai inti dan tidak menunjukkan gambaran mitotik, sel-sel ini mengalami perubahan bentuk menjadi spermatozoa. Secara kuantitatif perkembangan testis ikan dapat dilihat dengan membandingkangambaran histologis testis secara mikroskopis dengan nilai IKG. Pada bulan September terlihatpopulasi sel spermatogonia yang lebih dominan hampir di seluruh tubulus dengan bentuk bulatdan seragam, terlihat sebuah nukleus di dalamnya. Menurut Chinabut et al., (1991), kebanyakansel spermatogonia mempunyai sebuah nukleus yang bentuknya tidak beraturan sertamempunyai sebuah nukleolus. Proses akhir sel spermatogonia, akan tumbuh dan membelahmenjadi spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid dan spermatozoa, Pada bulan Oktober Populasi sel spermatosit primer sudah terlihat cukup banyak denganwarna biru keunguan, terletak dekat dengan sel spermatogonia dan bentuknya lebih kecildaripada sel spermatogonia. Sel spermatosit sekunder bentuknya lebih kecil daripada selspermatosit primer, sedangkan sel spermatid terlihat lebih kecil daripada sel spermatositsekunder dengan warna biru pekat, dan jumlahnya lebih banyak daripada sel germinal lainnya. 26
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55724. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan1. Tahapan perkembangan gonad ikan kerling jantan di dominasi oleh sel spermatid yang terdapat pada bulan Juli.2. Indeks kematangan gonad (IKG) yang tertinggi didapatkan pada bulan Juli dengan nilai 7.12%.4.2. Saran Perlunya studi lebih lanjut/mendalam tentang reproduksi ikan kerling (Tor tambroides)di sungai-sungai yang terdapat di Aceh Barat.Daftar PustakaChinabut S C, Limsuwan and P Kitsawat. 1991. Histology Of The Walking Catfish, Clarias batrachus. International Development Research Centre, Canada.Djuwita I, Boediono A, Mohamad K. 2000. Bahan Kuliah Embriologi. FKH.IPB. Bogor.Effendie M I. 1997. Biologi perikanan. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163 hal.Kottelat M, A J Whitten with S N Kartikasari and S Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition (HK), Jakarta.Prasetyaningtias W E. 2001. Studi histokimia lektin pada distribusi glikokonjugat di epitel tubuli seminiferi testis babi rusa Babyrousa babyrussa. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.Rupawan. 1999. Beberapa sifat biologi dan ekologi ikan semah (Tor douronensis) di Danau Kerinci dan Sungai Merangin. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 5 (4): 1-6.Slomianka. 2006. Blue Histology - Male Reproduction System. School Of Anatomy And Human Biology – The University Of Western Australia. Australia.Tang M U. dan Affandi R. 2002. Biologi reproduksi ikan.Tang, U. M. dan R. Affandi. 2000. Biologi reproduksi ikan. Bogor. 150 hal.Wodzicka-Tomaszewska, Manika. Sutama I K, Putu I G, Chaniago, Tamrin D. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, Dan Produksi Ternak Di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 27
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572RESPON FOTOSINTESIS MAKROALGA TERHADAP TEKANAN DESIKASI PADA ZONA INTERTIDAL BERBATU DI DENSHIN HAMA PERAIRAN MURORAN, JEPANG Mohamad Gazali1, Yun- kae kiang2, Masataka Hoashi31 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat 2 National Taiwan University, Taiwan 3 Sekolah Ilmu Kedokteran Hewan , Kitasato University, Jepang Korespondensi : [email protected] Abstrak Faktor desikasi mempengaruhi respon fotosintesis pada daun makroalga yang terpaparpada cahaya lingkungan. Hipotesis dari mini riset ini bahwa spesies makroalga yang tersebardi zona atas mempunyai toleransi yang tinggi melawan desikasi. Mini riset ini bertujuan untukmenganalisis produktivitas spesies makroalga dengan menggunakan PAM fluorometer.Beberapa spesies rumput laut yang dikoleksi meliputi Ulva pertusa, Polyopes affinis,Gloiopeltis furcata, Sargassum thunbergiii, dan Saccharina japonica. Pengambilan sampelrumput laut tersebut berdasarkan dominansi di intertidal berbatu yang meliputi zona atas, zonatengah dan zona bawah. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan Ulva pertusa kurangbertoleransi dengan tekanan desikasi dan jarang dapat tumbuh berkembang pada zona intertidalberbatu. Sementara, spesies Polyopes affinis, Gloipertis furcata, Sargassum thunbergii danSaccharina japonica mulai mengalami peningkatan secara berangsur-angsur yangmenunjukkan kemampuan toleransi terhadap tekanan desikasi akibat terpapar pada udara bebas.Kata Kunci : Desikasi, fotosintesis, makroalga, intertidal1. Pendahuluan Desikasi meningkatkan termotoleransi untuk suatu varietas taksa mulai dari seranggasampai tumbuhan dan mikroba (Rothschild dan Mancinelli, 2001; Alpert dan Oliver 2002).Peranan protektif terhadap desikasi yang diketahui selama tahap istirahat dan spesies dapatbertahan hidup pada periode lama ketidakaktifan yang mengalami desikasi (Crowe et al. 1992,Gaff 1997, Crowe et al. 1998, Alpert 2000, Hoekstra et al. 2001, Rascio dan La Rocca 2005).Pengeringan juga meningkatkan termotoleransi di dalam toleransi desikasi makroalga intertidallaut (Davison dan Pearson,1996) yang terkena panas, kondisi kering selama kondisi surut.Meskipun kelimpahan psikologi yang memainkan peranan penting dalam desikasi, eksperimenekologi di dalam suatu interaksi antara temperatur dan desikasi pada makroalga intertidal yangsudah fokus secara ekslusif pada efek disruptif desikasi (Hodgson, 1981 ; Matta dan Chapman,1995 ; Beach dan Smith 1997). Secara Konsekuensi, perspektif ilmuwan ekologi yangdidominasi oleh tekanan yang diasosiasikan dengan desikasi (Schoenbeck dan Norton,1978;Williams dan Dethier, 2005). 28
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Kemampuan makroalga intertidal dalam mentolerir keterpaparan periodik pada udarabebas yang sudah dihipotesiskan dengan melibatkan sejumlah perbedaan mekanisme yangmeliputi adaptasi yang dikhususkan untuk mengurangi kehilangan jaringan air(Zaneveld, 1937). Kemampuan untuk memelihara tingkat fotosintesis yang tinggi di udarabebas (Dring dan Brown, 1982) dan cepat serta pemulihan (recovery) fotosintesis selamahidrasi kembali (Dring dan Brown, 1982; Beer dan Kautsky, 1992). Hipotesis pertama sudahditolak studi berikutnya yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkatkehilangan jaringan air dan posisi vertikal spesies pada zona intertidal (Shockbeck dan Norton,1979 ; Droomgole, 1980 ; Lipkin et al. 1993). Hal ini menunjukkan bahwa hidrasi secara penuhdari makroalga intertidal mampu memelihara kemunduran tingkat fotosintesis yang tinggidengan mengurangi kandungan air dimana perubahan variasi terjadi oleh spesies (Wilten et al.1978 ; Dring dan Brown, 1982). Namun demikian, hal tersebut diperluas dengan aparatusfotosintesis yang dapat memulihkan kehilangan air selama pencelupan yang sangat jelasdibedakan spesies toleransi desikasi mulai dari spesies sensitif desikasi (Wilten et al. 1978 ;Dring dan Brown, 1982 ; Smith dan Berry, 1986 ; Brown, 1987). Hipotesis dari mini riset inimenunjukkan bahwa spesies makroalga yang tersebar di zona atas mempunyai toleransi yangtinggi melawan desikasi. Mini riset ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas spesiesmakroalga dengan menggunakan PAM fluorometer.2. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Riset tersebut dilaksanakan pada tanggal 5 – 10 Agustus 2013 diawali denganpengambilan sampel makroalga yang mendominansi di Zona Intertidal Berbatu PantaiDenshin Hama Muroran Kota Hokkaido, Jepang (Gambar 1). Setelah itu, sampel tersebutdibawa ke Laboratorium Muroran Marine Station untuk diidentifikasi dan diuji skalalaboratorium. 29
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel, Sumber : (Google Earth, 2013)2.2. Alat dan Bahan Adapun alat yang digunakan didalam riset ini meliputi Pulse Amplitude modulated(PAM) fluorometer, oven, wet suit, sepatu boot, jaket parasut, ember, transek kuadrat 20 x 20cm, timbangan eletrik, kertas aluminium foil. Bahan kimia yang digunakan hanya berupametanol (MeOH) untuk pengawetan.2.3. Koleksi Sampel Beberapa spesies rumput laut yang dikoleksi meliputi Ulva pertusa, Polyopes affinis,Gloiopeltis furcata, Sargassum thunbergiii, dan Saccharina japonica. Pengambilan sampelrumput laut tersebut berdasarkan dominansi di intertidal berbatu yang meliputi zona atas, zonatengah dan zona bawah.2.4. Prosedur PenelitianEffective quantum electron yield (Y) fotosistem II yang diukur di dalam kondisi cahayalingkungan (sekitar 180 mmol m-2 s-1) tanpa adaptasi kondisi gelap dengan menggunakan suatuPulse Amplitude modulated (PAM) fluorometer (Diving-PAM, Waltz) berdasarkan proseduryang dideskripsikan oleh Bjork et al (1999). Ujung optik mikrofiber ditempatkan pada jarak 5mm and sudut 608 pada sampel dengan menggunakan leaf distance clip. Sampel diiradiasidengan suatu fluks foton fotosintesis 500 mmol m-2s-1 pada temperatur 22 0C. 30
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Hasil efektif (Y) dihitung sebagai ðF0m – FÞ = F0m ¼ DF = F0m, dimana F adalahfluorescence maksimum selama 0.8 detik tekanan cahaya jenuh dan F adalah fluorescencekeadaan tetap yang diberikan iradiasi (Genty et al. 1989). Respon dehidrasi yang dievaluasioleh penodaan halus pertama pada bagian daun rumput laut untuk menghilangkan kelebihanair. Sampel ditempatkan secara seimbang dan berat basah penuh yang dicatat. Hasil ujiteknologi tersebut dilanjutkan sampai nilai nol untuk hasil yang didapatkan. Kandungan AirRelatif (KAR) didefinisikan oleh Slayter (1967) sebagai berikut : ������������������������������������������������������������ ������������������������ℎ������ − ������������������ ������������������������ℎ������������������������ = ������������������������ℎ ������������������������ℎ������ − ������������������ ������������������������ℎ������ ������ 100% Dimana berat segar merupakan berat ketika hidrasi penuh. Berat yang terdesikasimerupakan berat sampel ketika kandungan air relatif (KAR) dihitung and berat keringmerupakan berat kering-oven (50 0C). Selama keterpaparan, temperatur oven dicatat tiap menitdengan menggunakan iButton temperature logger. Proses ini diulang selama empat kalipengulangan pada setiap spesies makroalga. Untuk mengevaluasi kemampuan daun-daundalam pemulihan dari dehidrasi, enam kali pengulangan pada bagian daun tiap spesies menjadikering di laboratorium pada temperatur 22-23 0C dalam suatu seri kandungan air pra-penentuanBjork et al., 1999) : 15%, 32% and 53% kandungan air relatif3. Hasil dan Pembahasan Respon fotosintesis pada desikasi 5 spesies makroalga yang berbeda. Grafik yangdigambarkan menunjukkan pola-pola yang berbeda. Hal ini menunjukkan perbedaankemampuan yang diharapkan berdasarkan distribusi pada zona intertidal berbatu di pantaiDenshin Hama.y 1000 900 800 20 40 700 Kandungan Air Relatif 600 500 400 300 200 100 0 0Gambar 2. Kandungan air relatif Ulva pertusa 31
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Status kandungan air 5 sampel bervariasi secara signifikan selama periode eksperimentalkarena perbedaan kemampuan dalam toleransi tekanan desikasi. Setiap spesies rumput lautdiukur dengan 5 kali pengulangan. Spesies Ulva pertusa digambarkan pola sampel yangberbeda dengan sampel lainnya. Berdasarkan grafik tersebut menunjukkan bahwa Ulva pertusakurang bertoleransi dengan tekanan desikasi dan jarang dapat tumbuh berkembang pada zonaintertidal berbatu (Gambar 2). Dibawah kondisi cahaya lingkungan di dalam laboratorium,tingkat kekurangan air dari Ulva pertusa lebih cepat daripada spesies lain. Respon rehidrasijuga mengindikasikan bahwa proses-proses fotosintesis di dalam Ulva pertusa yang dapatdibandingkan pada tingkat kandungan air.y 800 20 40 60 80 100 y 700 Kandungan air relatif 600 500 400 300 200 100 0 0Gambar 3. Kandungan air relatif spesies Polyopes affinis 1000 800 600 400 200 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90100 Kandungan air relatifGambar 4. Kandungan air relatif spesies Gloipertis furcata 32
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572y 1000 y 800 600 400 200 0 0 20 40 60 80 100 Kandungan air relatifGambar 5. Kandungan air relatif spesies Sargassum thunbergii 1100 20 40 60 80 100 1000 Kandungan air realtif 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 0Gambar 6. Kandungan air relatif Saccharina japonica Sementara kandungan air relatif pada sampel lainnya seperti Gloipertis furcata,Sargassum thunbergii dan Saccharina japonica mulai mengalami peningkatan secaraberangsur-angsur. Grafik ini menunjukkan kesamaan pola. Kebanyakan spesies inimenunjukkan kandungan air relatif yang cukup tinggi sampai mencapai kurva maksimum.Spesies Sargassum thunbergii menunjukkan toleransi standar dalam melawan desikasiketerpaparan udara. Hal ini menunjukkan bahwa mereka toleran menghadapi tekanan desikasidi intertidal berbatu (Gambar 5). Jadi, distribusi Gloipertis furcata ( Gambar 4) dan Saccharinajaponica (Gambar 6) sangat mendominansi di zona atas intertidal berbatu karena memilikitoleransi yang sangat tinggi dalam melawan tekanan desikasi pada semua zona. Hal inidiasumsikan karena adanya perbedaan morfologi dan kandungan pigmentasi setiap makroalgaberbeda-beda sehingga memiliki kemampuan terhadap tekanan desikasi berbeda pula. Meskipun hasil penelitian menunjukkan variasi yang cukup signifikan, hal inimengindikasikan bahwa kita harus mempertimbangkan mekanisme alternatif jika kitamenjelaskan pola-pola zonasi yang diamati pada ekosistem intertidal berbatu. Bjork et al.(1999) menghipotesiskan bahwa kemampuan dalam mentoleransi periode-periode keterpaparanpada udara itu lebih penting sebagai suatu sistem dari interaksi kompleks ciri-ciri morfologi 33
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572dan strategi pertumbuhan melibatkanseluruh tumbuhan daripada respon psikologi daun-daunindividual. Pada zona intertidal bagian atas makroalga nampaknya memiliki beberapa spesialisasiadaptasi untuk mengurangi tingkat kehilangan air dari jaringan daun atas keterpaparan udarabebas. Meskipun adaptasi morfologi yang membatasi keterpaparan padang lamun intertidalpada kondisi kekeringan, kerusakan signifikasi pada jaringan daun yang terjadi sebagai hasildesikasi (Elftemeijer and Herman, 1994 ; Boese et al., 2003). Ketika daun menjadi rusak, makamekanisme lain dalam percetakan dengan tekanan desikasi yang melibatkan leaf-shedding.Kegiatan pemotongan daun terhadap respon pada defisit air seudah diamati pada tumbuahnterestrial dan lahan basah (McMichael et al. 1973 ; Saltmarsh et al. 2006). Sama halnya seperti padang lamun, toleransi desikasi pada padang lamun yangkemungkinan melibatkan suatu kombinasi sistem morfologi dan strategi pertumbuhan sepertiturun besaran (downsizing) contohnya daun lebih kecil dan sempit, mengurangi kekakuanstruktural (Bjork et al. 1999; Tanaka and Nakaoka, 2004 ).4. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa alga Ulva pertusa kurang bertoleransidengan tekanan desikasi keterpaparan cahaya sinar matahari pada zona atas (upper zone)intertidal berbatu sehingga sebagian besar spesies tersebut berada di zona tengah (middle zone)dan zona bawah (bottom zone). Sementara spesies seperti Polyopes affinis dan Sargassumthunbergii memiliki toleransi yang cukup terhadap tekanan desikasi keterpaparan cahaya sinarultraviolet matahari. Spesies Gloipertis furcata dan Saccharina japonica memiliki distribusiyang tertinggi karena memiliki kemampuan yang tinggi dalam melawan tekanan desikasi akibatketerpaparan sinar ultraviolet matahari.4.2. Saran Perlu adanya penelitian lanjutan tentang pengaruh perbedaan pigmentasi makroalgaterhadap stres desikasi akibat keterpaparan sinar ultraviolet matahari dalam skala laboratoriumUcapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih yang terdalam kepada Prof. Masahiro Nakaoka dariAkkeshi Marine Station dan Prof. Taizo Motomura dari Muroran Marine Station yangmembimbing dan memberikan ilmu pengetahuan yang besar manfaatnya. Tidak lupa pula 34
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572kepada Yoshiyushi Tanaka, PhD dari JAMSTEC MIO yang sudah memberikan asistensipraktikum sebelum melakukan sampling dan riset skala laboratorium. Dana mini-riset inidibantu oleh Universitas Hokkaido Jepang melalui JASSO Scholarship.Daftar PustakaAlpert, P. and Oliver, M.J. 2002. Drying without dying. In Black, M. dan Pritchard, H. [Eds.] Desiccation dan Survival in Plants. CAB International, Wallingford, UK, pp. 3–43.Alpert, P . 2000. The discovery, scope, and puzzle of desiccation tolerance in plants. Plant Ecology. 151:5–17.Boese, B.L., Alayan, K .E ., Gooch, E.F. , Robbins , B.D., 2003. Desiccation index : a measure of damage caused by adverse aerial exposure on intertidal eelgrass (Zostera marina) in an Oregon (USA) estuary. Aquatic Botany. 76, 329–337.Bjork, M., Uku, J., Weil, A., Beer, S., 1999. Photosynthetic tolerances to desiccation of tropical intertidal seagrasses. Marine Ecology Progress Serial 191, 121– 126.Beer, S., Kautsky, L., 1992. The recovery o f net photosynthesis during rehydration of three Fucus species from the Swedish west coast following exposure to air. Botany Marine. 35, 487–491.Brown, M.T., 1987. Effects of desiccation on photosynthesis on intertidal makroalgae from a Southern New Zealdan shore. Bot. Mar. 30, 121–127.Beach, K.S . dan Smith, C. M. 1997. Ecophysiology of a tropical rhodophyte III: recovery from emersion stresses in Ahnfeltiopsis concinna (J. Ag.) Silva et DeCew. Journal Experiment. Marine Biology Ecology. 211:151– 67.Crowe, J.H., Carpenter, J. F. dan Crowe, L. M. 1998. The role of vitrification in anhydrobiosis. Annual. Revision. Physiology. 60:73–103.Crowe, J.H., Hoekstra, F. A. dan Crowe, L. M. 1992. Anhydrobiosis. Annu. Rev. Physiol. 54:579–599.Dromgoole, F.I. 1980. Desiccation resistance in intertidal dan subtidal makroalgae. Botany Marine. 23:149–159.Dring, M.J., Brown, M.T., 1982. Photosynthesis o f intertidal brown makroalgae during dan after periods of emersion: a renewed search for the causes of zonation. Marine. Ecology. Progress. Serial. 8 , 301–308.Erftemeijer, P.L.A., Herman, P.M.J., 1994. Seasonal changes in environmental variables, biomass, production, dan nutrient contents in two contrasting tropical intertidal seagrass beds in South Sulawesi, Indonesia. Oecologia 99, 45–59.Davison, I.R., Pearson, G.A., 1996. Stress tolerance in intertidal seaweeds. Journal of Phycology. 32, 197–211.Genty, B., Briantais, J.M., Baker, N.R., 1989. The relationship between the quantum yield of photosynthetic electron transport dan quenching of chlorophyll fluorescence. Biochemistry Phycology Acta. 990, 87–92.Gaff, J.L. 1997. Mechanisms of desiccation tolerance in resurrection vascular plants. In Basra, A. S. dan Basra, R. K. [Eds.] Mechanisms of Environmental Stress Resistance in Plants. Harwood Academic Publishers, London, pp. 43–58Hodgson, L . M . 1981. Photosynthesis of the red makroalga Gastroclonium coulteri (Rhodophyta) in response to changes in temperature, light intensity and desiccation. Journal of Phycology. 17:37–42.Lipkin, Y. , Beer, S., Eshel, A., 1993. The ability of Porphyra linearis (Rhodophyta) to tolerate prolonged periods of desiccation. Botany Marine. 36, 517– 523. 35
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Matta, J.L . and Chapman, D.J . 1995. Effects of light, temperature dan desiccation on the net emersed productivity of the intertidal makroalga Colpomenia peregrina Sauv. (Hamel). Journal of Experiment. Marine. Biology. Ecology. 189:13–27.McMichael, B.L., Jordan, W.R., Powell, R.D., 1973. Abscission processes in cotton: induction by plant water deficit. Agron. J. 65, 202–204.Rothschild, L.J . and Mancinelli, R.L. 2001. Life in extreme environments. Nature. 409: 109–110.Rascio, N . and La Rocca, N. 2005. Resurrection plants: the puzzle of surviving extreme vegetative desiccation. Critical Revision Plant Science. 24:209–25.Saltmarsh, A., Mauchamp,A., Rambal, S., 2006. Contrasted effects of water limitation on leaf functions dan growth of two emergent co-occurring plant species, Cladium mariscus and Phragmites australis. Aquatic Botany. 84, 191–198.Schoenbeck, M. and Norton, T.A. 1978. Factors controlling the upper limits of fucoid makroalgae on the shore. Journal of Experimen. Marine. Biology. Ecology. 31:303–14.Slayter, R.D . 1967. Plant–Water Relationships. Academic Press, London, 366 pp.Smith, C.M. dan Berry, J.A. 1986. Recovery of photosynthesis after exposure of intertidal makroalgae to osmotic dan temperature stresses: comparative studies of species with differing distributional limits. Oecologia 70:6–12.Tanaka, Y., Nakaoka, M., 2004. Emergence stress and morphological constraints affect the species distribution dan growth of subtropical intertidal seagrasses. Marine Ecology. Progress Serial. 284, 117–131.Williams , S. L. and Dethier, M. N. 2005. High dan dry: variation in net photosynthesis of the intertidal seaweed Fucus gardneri. Ecology 86:2373–9.Wiltens, J., Schreiber, U., Vidaver, W., 1978. Chlorophyll fluorescence induction: an indicator of photosynthetic activity in marine makroalgae undergoing desiccation. Can. Journal of Botany. 56, 2787–2794.Zaneveld, J.S., 1937. The littoral zonation of some Fucaceae in relation to desiccation. Journal of Ecology. 25, 431–468. 36
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572STATUS KEBERLANJUTAN KETERSEDIAAN SUMBERDAYA PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN ACEH BARAT Edwarsyah1, Mohamad Gazali21 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstract Fisheries production in West of Aceh was still insufficient to provide the local communityconsumption. However, fisheries resources in West of Aceh water are abundant. But utilizationof fisheries particularly skipjack tuna (cakalang) hasn’t been yet optimalized. This aiming toanalyse the status of sustainablity of skipjack (Katsuwonus pelamis) fisheries in West of Acehwater. The study was conducted in November to Desember 2012 at the Fish Landing Port ofKuala Bubon and Fish Landing Bases (PPI) Ujong Baroh. The result shown that sustainabilityindex value by using multidimensional scaling is 88,42 with stress value is 0.12 and coefisienof determination (R2) is 0,95 or 95%. Such index value show that sustainablity of skipjackresources were good status. It means that multidimensional of skipjack stock were still paidattention in fisheries management sustainable. Beside that, it shown from water condition andfishing gears were still support viability of such comodity.Keywords:, Rapfish, Sustainablity, Skipjack .1. Pendahuluan Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan olehUndang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebutyaitu pada Undang-Undang No 45/2009. Dalam konteks adopsi hukum tersebut, pengelolaanperikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalampengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasisumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturanperundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lainyang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dantujuan yang telah disepakati. Secara alamiah, pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yangtidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistem; (2)dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001 dalam KKP-RI, 2014).Berkaitan dengan ketiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini belummempertimbangan keseimbangan ketiga dimensi tersebut dimana kepentingan pemanfaatansumberdaya perikanan lebih mendominansi dibandingkan dengan kesehatan ekosistem/habitatsehingga dperlukan suatu pendekatan ekosistem dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. 37
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Bengen (2005), mengatakan bahwa suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabilakegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu berkelanjutansecara ekologi, sosial-budaya dan ekonomi. Usaha perikanan tangkap, permasalahan yang sering terjadi adalah tingkat penangkapanikan di suatu wilayah yang melebihi produksi lestarinya (maximum sustainable yield) sehinggaterjadi fenomena tangkap lebih (overfishing) yang berakibat pada penurunan hasil tangkapanyang pada gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia Sampai saat ini pihak pemerintah, yakniKementerian Kelautan dan Perikanan yang merupakan pengelola sumberdaya perikanan, terusmencari dan menyempurnakan cara yang tepat untuk diterapkan. Salah satu contoh adalahpembagian daerah perairan Indonesia menjadi sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).Pembagian wilayah ini didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan dipelabuhan. Pengelompokan tidak didasarkan pada kemiripan ekosistem yang ada, tapi lebihkepada lokasi pendaratan ikan. Kemampuan menduga jumlah populasi ikan (stock assessment)secara akurat sangat ditentukan ketersediaan informasi dan data yang tepat. Namun, penentuanjumlah tangap maksimum lestari (maximum sustainable yield) perlu disikapi hati-hati. Berbagaiasumsi dalam perhitungan MSY telah banyak berubah dan tidak valid lagi. Koefisienkemampuan penangkapan (catchability coefficient) yang digunakan dalam perhitungan MSYtidak dapat dianggap konstan karena sangat bergantung pada perkembangan teknologi. Adapun hasil tangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Kabupaten Aceh Baratdari bulan Januari – Maret 2012 mencapai 95.918 kg sedangkan dari bulan April – Juni 2012mencapai 67.606 kg. Dalam kegiatan penangkapan, para nelayan menggunakan bermacam alattangkap yang terdiri dari; (1) Pukat Cincin; (2) Rawai; (3) Pancing Tonda; (4) Payang; (5)Jaring Insang sedangkan untuk armada tangkapan sebagian besar dari nelayan menggunakanperahu motor yang berjumlah 644 unit. Dari sebagian kecil para nelayan menggunakan perahutanpa motor dengan jumlah 160 unit (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat,2012). Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan kajian pengelolaan sumberdayaperikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Aceh Barat sehingga menjadi bahanpertimbangan bagi stakeholder dalam melakukan suatu pengelolaan perikanan cakalang secaraberkelanjutan (sustainable). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status keberlanjutanperikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Aceh Barat. 38
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini sudah dilaksanakan mulai dari bulan November sampai dengan bulanDesember 2012 yang berlokasi di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kuala Bubon KecamatanSamatiga, dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ujong Baroh Kecamatan Johan PahlawanKabupaten Aceh Barat (Gambar 1). Gambar 1. Peta lokasi penelitian, Sumber : BAPPEDA Kabupaten Aceh Barat, 20132.2. Jenis Data Penelitian ini dilaksanakan dengan metode deskriptif yaitu metode penelitian untukmembuat gambaran mengenai sistem dan kejadian dengan pemeliharaan metode survei danstudi kasus (case study) (Nazir, 2005). Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dansekunder. Data primer yaitu data yang dikumpulkan langsung di lapangan yang terdiri dari: dataspesifikasi kapal, pola usaha perikanan dan hasil tangkapan, data ini diperoleh secara langsungdengan melakukan pengamatan dan pencatatan dari hasil observasi, wawancara dan partisipasiaktif. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukanpenelitian dari sumber-sumber yang telah ada. 39
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217