Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore JURNAL PERIKANAN TROPIS Vol 2 No 2

JURNAL PERIKANAN TROPIS Vol 2 No 2

Published by Irwandi Aw, 2017-05-16 13:21:47

Description: JURNAL PERIKANAN TROPIS Vol 2 No 2

Search

Read the Text Version

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 DEWAN REDAKSI JURNAL PERIKANAN TROPIS Penanggung Jawab Rektor Universitas Teuku Umar Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan PembinaKetua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Ketua Penyunting/Redaktur Afrizal Hendri, S.Pi., M.Si Mitra Bestari Prof. Dr. Sugeng Heri Suseno Prof. Dr. Sukendi Prof. Dr. Muchlisin ZA Penyunting Pelaksana/Editor Hafinuddin, S.Pi., M.Sc Arif Nasution, S.Pi., M.Si Sekretariat Nabila Ukhty, S.Pi., M.Si Perancang Sampul Irwandi, S.Sos. I Penerbit Universitas Teuku Umar Alamat Redaksi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku UmarJln. Kampus Alue Peunyareng, Kecamatan Meurebo, Meulaboh 23615, Aceh Barat, Indonesia CP: 085260089035, 081378081300, 085288323477, W: www.utu.ac.id, E: [email protected], [email protected] Perikanan Tropis terbit dua kali dalam setahun pada bulan April dan Oktober yangberisi artikel ilmiah hasil penelitian atau kajian bidang berkaitan dengan perikanan dalamartian luas (budidaya perairan, perikanan tangkap, pengolahan hasil perikanan, manajemensumberdaya perairan, ilmu kelautan, sosial ekonomi perikanan), ilmu perairan, maupunmasalah-masalah lainnya yang relevan dengan masalah perikanan

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Daftar Isi1. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Kerling Jantan, Tor tambroides, (Cyprinidae) yang Tertangkap di Daerah Aliran Sungai Jambak Kabupaten Aceh Barat: Pendekatan Histologi Afrizal Hendri, Baihaqi, Husni Yulham, Agusriana .................................................. 12. Respon Fotosintesis Makroalga Terhadap Tekanan Desikasi pada Zona Intertidal Berbatu Di Denshin Hama Perairan Muroran, Jepang Mohamad Gazali, Yun- kae kiang, Masataka Hoashi ............................................... 283. Status Keberlanjutan Ketersediaan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Aceh Barat Edwarsyah, Mohamad Gazali ................................................................................... 374. Distribusi Logam Berat pada Air dan Sedimen Laut Di Wilayah Pesisisr Kabupaten Sumbawa Barat Helmy Akbar, Singgih Afifa Putra, Muhammad Arif Nasution ............................... 445. Laju Pertumbuhan Chaetoceros calcitrans dalam Media Kultur Ekstrak Tauge pada Skala Semi Massal Mahendra ................................................................................................................... 526. Senyawa Metabolit Sekunder Kapang Endofit TP6 dan TPL2 yang Diisolasi dari Tumbuhan Pesisir Terong Pungo (Solanum sp.) Nabila Ukhty, Kustiariyah Tarman, Iriani Setyaningsih ........................................... 647. Pengaruh Penggunaan Konsentrasi Air Kelapa Muda pada Pengencer NaCl Fisiologis Terhadap Motilitas dan Mortalitas Spermatozoa Ikan Tawes ( Puntius javanicus) Farah Diana, Muhammad Rizal, Dewi Mariani ........................................................ 708. Pengaruh Penggunaan Konsentrasi Air Kelapa Muda pada Pengencer NaCl Fisiologis Terhadap Kualitas Spermatozoa Ikan Tawes ( Puntius javanicus) Muhammad Rizal, Farah Diana, Dewi Mariani ....................................................... 779. Teknologi Pembenihan Sebagai Upaya Pelestarian Ikan Lokal (Tor spp) di Desa Kuta Teungoh Kecamatan Beutong Banggalang Baihaqi, Husni Yulham, Afrizal Hendri ................................................................... 8310. Analisis Kriteria Ekologi Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Helmy Akbar, Muhammad Arif Nasution ................................................................ 89

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN KERLING JANTAN, Tor tambroides, (Cyprinidae) YANG TERTANGKAP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI JAMBAK KABUPATEN ACEH BARAT: PENDEKATAN HISTOLOGI Afrizal Hendri1, Baihaqi1, Husni Yulham1, Agusriana11 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstrak Kajian tentang tingat kematangan gonad ikan air tawar menjadi dasar dalam upayapemantauan reproduksi (breeding) dan program konservasi kedepannya. Beberapa asesmenyang bisa dilakukan untuk mengamati tingkat kematangan gonad ikan diantaranya plasma level(hormon), indeks kematangan gonad dan histologi. Ikan kerling adalah salah satu spesies airtawar yang terdapat di Aceh. Namun seiring semakin tingginya tingkat eksploitasi dandegradasi lingkungan sungai telah mengancam kelestarian ikan ini di habitatnya. Penelitian inibertujuan untuk melihat pofil kematangan gonad ikan kerling jantan melalui pendekatanhistologi. Pengambilan ikan sampel dilaksanakan selama 6 bulan yaitu Juli sampai Desember,dengan menggunakan alat tangkap jala meshsize 1”, 2”. Penelitian ini bersifat surveyeksploratif, yang mana pengembilan sampel ikan dilakukan di sungai jambak, pembuatanpreparat dan analisis histologi di laboratorium histologi Balai Budidaya Air Payau Aceh. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa tahapan perkembangan gonad ikan kerling jantan didapatkanadanya sel-sel spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid dan iniumumnya terdapat pada semua bulan pengamatan. Namun dilihat dari nilai proporsinya,tahapan sel-sel yang mendominasi spermatogenesis ialah spermatid yaitu sebesar 55.5%. Inididuga ikan kerling jantan memasuki fase pemijahan pada bulan Juli.Kata kunci: Tor tambroides, Tingkat Kematangan Gonad, Spermatogenesis1. Pendahuluan Ikan kerling merupakan salah satu spesies ikan air tawar yang masih hidup liar di sungaiJambak Kabupaten Aceh Barat serta mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dalam beberapa tahunterakhir, ikan ini menjadi perhatian para peneliti dan dimasa mendatang diharapkan menjadisalah satu komoditi yang berkontribusi untuk meningkatkan produksi akuakultur. Permintaandaging ikan kerling terus meningkat, walaupun harganya sangat mahal. Sebaliknya aspekbudidayanya belum berhasil dan bahkan belum banyak diteliti. Selain itu, tingkat eksploitasinyadi alam terus meningkat yang berakibat pada semakin kritisnya populasi di habitat aslinya.Kottelat (1993) dan Rupawan (1999) menyatakan bahwa ikan dari marga Tor termasuk jenisyang terancam punah akibat penangkapan yang berlebihan dan kerusakan habitat berupapenggundulan hutan dan penambangan pasir/batu sungai. Gonad adalah organ reproduksi yang terdapat dalam tubuh individu ikan, pada ikan gonadberada disamping kiri dan kanan gelembung renang, dibawah vertebrae dan diatas saluran 1

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572pencernaan. Jumlahnya sepasang dan menggantung pada selaput mesorchia dan mesovariayaitu tergantung pada bentuk tubuh dan rongga tubuh individu ikan itu sendiri. Pada spesiesikan dari ordo Siluriformes memiliki bentuk testes yang berbeda dengan bentuk testes pada ikandari ordo Cypriniformes. Peninjauan terhadap perkembangan gonad pada ikan dilakukan dari berbagai aspektermasuk proses- proses yang terjadi didalam gonad baik terhadap individu maupun populasi.Perkembangan gonad didalam tubuh ikan sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitasmakanan yang dimakan juga kondisi lingkungan seperti suhu, yaitu pada saat gonad sedangdalam proses perkembangannya, sehingga mempelajari tahapan-tahapan perubahanperkembangan gonad dari suatu spesies ikan sangat penting dalam mendalami aspek biologiikan. Dengan diketahuinya rekaman data tentang pentahapan testes dan ovary pada individuikan maka kita dapat membandingkan antara individu ikan yang belum dewasa dengan yangsudah dewasa, antara individu yang sudah matang gonad dengan yang belum matang gonad,antara individu yang belum bereproduksi dengan yang sudah pernah bereproduksi, selain itudapat diketahui pada ukuran berapa individu dari spesies ikan itu pertama kali megalami matanggonad dan mijah, untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad tersebut secarakuantitatif dapat dinyatakan dengan suatu indeks yang dinamakan indeks kematangan gonad,yaitu nilai dalam persen sebagai hasil perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikantermasuk gonadnya. Pengamatan tentang tahap- tahap kematangan gonad ikan dapat dilakukansecara: morfologi dan histologi. Asesmen secara histologi akan diketahui anatomiperkembangan gonad menjadi lebih jelas dan mendetail, Sedangkan hasil pengamatan secaramorfologi tidak akan sedetail cara histologi. Kajian dasar tentang ikan-ikan lokal yang berpotensi dan memiliki nilai ekonomis, yangkelestariannya mulai terancam sangat diperlukan terutama kaitannya denganpengembangbiakan. Di habitatnya kendala yang sering muncul dalam prakteknya adalahtertangkapnya ikan-ikan yang sedang memasuki fase reproduksi (matang kelamin), kondisi initentunya akan berpengaruh pada status populasi ikan. Karena itulah diperlukannya selektif danwaktu tangkap yang ideal oleh warga lokal. Pengelolaan terhadap ikan Kerling dapat dilihat dari beberapa aspek seperti pertumbuhan,reproduksi, genetik, makanan, pola migrasi, dan lain-lain. Namun, penelitian ini difokuskanuntuk menelaah tingkat kematangan gonad melalui pendekatan histologi. Dengan harapandidapatkan profil proporsi spermatogenesis dan waktu pemijahan. 2

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Waktu Pengambilan sampel ikan dilakukan selama 6 bulan: Juli sampai Desember 2014.Sedangkan penelitian ini melibatkan bebepa tempat yaitu 1) Daerah Aliran Sungai JambakMeureubo Kecamatan Pante Ceureumen Kabupaten Aceh Barat: Pengambilan sampel Ikan, 2)Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee Kabupaten Aceh Besar Propinsi Aceh:Pembuatan preparat histologi dan analisis proporsi kematangan gonad.2.2. Alat dan Bahan PenelitianAlat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperti yang tertera dalamTabel 1 dan 2.Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitianNo Jenis Alat Fungsi1 Mikroskop kamera Untuk mendiagnosa sampel2 Disetting sets Membedah ikan dan mengambil gonad3 Tissue embedding centre Untuk memblok sampel4 Oven Untuk mencairkan paraffin5 Timer Untuk mengatur waktu6 Floating beth Untuk melengketkan sampel pada objek glass7 Mikrotom Untuk pemotongan sampel8 Cassette embedding Wadah sampel agar mudah dibekukan dan dipotong9 Parafin mold Untuk pembekuan sampel10 Fume Hood Untuk menyaring asam atau bahan- bahan kimiaTabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitianNo Jenis Bahan Fungsi1 Gonad Jantan Ikan Kerling Sebagai Objek penelitian2 Alkohol absolute Untuk mengeluarkan air3 Plastik Tempat sampel ikan4 Alkohol 70 %, Alkohol 80 %, Untuk mengeluarkan air dari jaringanAlkohol 95 %5 Xylol Untuk melarutkan sisa- sisa paraffin6 Paraffin Untuk memperkuat jaringan7 Heamatoxylen Untuk pewarnaan inti sel8 Eosin Untuk pewarnaan sitoplasma9 Entelan/ lem Untuk merekatkan jaringan10 NBF Untuk perendaman sampel agar struktur jaringan sampel dapat bertahan2.3. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat survey eksploratif, yang mana aktivitas penangkapan ikandilakukan menyusuri aliran sungai Jambak sepanjang 1,5 km, dan melemparkan jala sebanyak10 kali pada satu titik dari 15 titik pengambilan sampel. 3

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722.4. Prosedur Pengamatana. Pengambilan Ikan Sampel Ikan Sampel diambil dari hasil tangkapan nelayan lokal dalam kondisi masih hidupdengan jumlah 10 ekor/ bulan selama 6 bulan. Setelah pengukuran panjang total dan berat totalikan segera dibedah. Ikan dibedah dengan menggunakan gunting dimulai dari bagian anushingga belakang operculum kemudian diambil gonad dimasukkan kedalam botol sampel yangdiberikan cairan BNF (buffer Formalin), kemudian diberi kode/ Label sampel dan dibawa keLaboratorium Perikanan dan ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar untuk disimpan dalamfreezer sampai digunakan. Selanjutnya dibawa ke laboratorium BBAP Ujong Batee untukpembuatan preparat histologi.b. Pembuatan Preparat Tahap- tahap pembuatan preparat Histologi: 1) Fiksasi Dilakukan dengan cara perendaman pada larutan NBF dengan perbandingan volume 1bagian spesimen dan 10 bagian larutan NBF. Fiksasi ini bertujuan agar struktur jaringan sampeldapat dipertahankan seperti saat ikan masih hidup. 2) Preparasi organ Seluruh organ target dalam pemeriksaan dimasukkan dalam kaset embedding. 3) Dehidrasi, clearing dan infiltrasi organ atau jaringan proses ini dapat menggunakan automatic atau manual tissue processor. a. Dehidrasi Merupakan cara pengeluaran air dari jaringan dengan menggunakan alkohol bertingkatdimulai dari alkohol 70% sampai 100%. Apabila jaringan masih keruh pada proses clearing,maka proses dehidrasi harus diulang. b. Clearing Untuk menghilangkan bahan kimia dehidrasi, sehingga contoh menjadi transparan. Bahanclearing ini mempunyai sifat mampu menggantikan bahan kimia dan mampu melarutkanparaffin. Bahan yang dipergunakan adalah xilol, dilaksanakan dengan cara: contoh diataskemudian dipindahkan ke xilol I (kesatu) selama 2 jam kemudian dipindahkan ke xilol II(kedua) selama 2 jam. c. Infiltrasi Cara menyusupkan paraffin kedalam jaringan contoh untuk menggantikan xilol. Sehinggacontoh tidak rusak waktu pemotongan dengan mikrotom. Dilaksanakan setelah proses clearing, 4

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572kemudian dipindahkan ke paraffin cair I (kesatu) selama 2 jam dan dipindahkan ke paraffin IIselama 2 jam. 4) Embedding Setelah clearing dan infiltrasi organ atau jaringan diambil dan ditempatkan pada paraffinmold dengan posisi sesuai tujuan pemeriksaan kemudian ditambahkan paraffin cair dan ditutupdengan kaset embedding. Selanjutnya dibekukan dan siap untuk dipotong. 5) Pemotongan organ atau jaringan Pemotongan dilakukan menggunakan mikrotom dengan ketebalan irisan 5µm. Hasilpemotongan direnggangkan pada permukaan air pada floating bath yang bersuhu 45 °C.selanjutnya dilakukan penempelan irisan pada gelas objek yang telah diolesi dengan albumin-gliserin. 6) Pewarnaan jaringan atau preparat a. Deparafinasi Proses pewarnaan dimulai dengan contoh sediaan (slide) yang akan diperiksa direndamdalam xilol I (kesatu) selama 2 menit, kemudian dipindahkan dan direndamkan dalam larutanxilol II (kedua) selama 2 menit. b. Rehidrasi Untuk memberikan air pada contoh jaringan dari alkohol konsentrasi tinggi ke alkoholkonsentrasi rendah, dengan cara : contoh diatas dipindahkan dan direndam dalam alkoholabsolute I (kesatu) selama 2 menit, kemudian dipindahkan dan direndam dalam alkoholabsolute II (kedua) selama 2 menit, lalu dipindahkan dan direndamkan dalam alkohol 95% I(kesatu) selama 2 menit selanjutnya dipindahkan dan direndam dalam alkohol 95% II (kedua)selama 2 menit. c. Pewarnaan Dalam pewarnaan ini dipergunakan teknik pewarnaan heamatoxylen dan eosinyellowfish. Contoh dipindahkan dan direndam dalam heamatoxylen selama 10 menit,selanjutnya dipindahkan dan direndam dalam aquades selama 2 menit. Selanjutnya direndamdalam acit alkohol selama 1 menit, setelah itu dicuci dengan air bersih mengalir selama 5 menit.Kemudian direndam dalam eosin selama 2 -5 menit. d. Dehidrasi 5

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Sediaan direndam dalam alkohol 95% I (kesatu) selama 2 menit, direndam dalam alkohol95% II (kedua) selama 2 menit, dan direndam dalam alkohol absolute I (kesatu) selama 2 menit,direndam dalam alkohol absolute II (kedua) selama 2 menit, setelah itu dipindahkan dandirendam dalam xilol I (kesatu) selama 2 menit, lalu dipindahkan dan direndam dalam xilol II(kedua) selama 2 menit, kemudian dipindahkan dan direndam dalam xilol III (ketiga) selama 2menit. 7) Pelekatan (mounting) Merupakan proses pelekatan gelas penutup dengan zat perekat supaya sediaan jaringantidak rusak. Pelekatan ini dilaksanakan setelah proses dehidrasi, kemudian angkat sediaan laludibersihkan sekelilingnya. Setelah itu ditetesi dengan entellan. 8) Penutupan Merupakan proses penempelan gelas penutup sedemikian rupa sehingga tidak adagelembung udara, kotoran pada contoh yang diamati. Hal ini dilaksanakan setelah ditetesientellan dan kemudian ditutup dengan gelas penutup (cover glass). Contoh jaringan siap diamati di mikroskop. 9) Pembacaan sediaan Pembacaan sediaan untuk diagnosa dengan metode komparasi di bawah mikroskopdengan pembesaran 40 x.2.5. Analisa Data Analisis data dilakukan secara deskriptif yang meliputi parameter berat tubuh, beratgonad dan disajikan dalam bentuk foto gambaran histologis. Tingkat kematangan gonad bisadiketahui dari pengamatan mikroskopis tehadap ukuran diameter dan penampakan ovary, atauirisan histologis dari gonad (Kesteven, 1968). Untuk penghitungan proporsi setiap tahapanperkembangan oosit, secara garis besar oosit dikategorikan ke dalam tahap previtellogenesis,vitellogenesis awal, vitellogenesis pertengahan, vitellogenesis akhir dan maturasi. Tahapanperkembangan oosit pada ovarium ikan nilem ditentukan menurut Wijayanti et al (2004).Jumlah oosit pada masing-masing tahap perkembangan dihitung dengan mengevaluasi histologiovarium bagian anterior, median dan posterior masing-masing sebanyak 5 irisan (15 irisan perovarium). Dalam penghitungan jumlah oosit hanya oosit yang memperlihatkan inti yangdihitung. Oosit pada masing-masing tahapan kemudian dipresentasekan terhadap jumlah totaloosit yang diamati. Tahapan perkembangan oosit ikan nilem ditentukan berdasarkan Wijayanti 6

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572et al., 2004. Proporsi oosit pada masing-masing tahapan perkembangan (X) dihitung denganrumus : X=  oosit pada tahap tertentu x100  oosit yang diamati3. Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan terhadap ikan Kerling didapatkan gambaran tahapan perkembangangonadnya melalui pendekatan histologi adalah sebagai berikut:A. Histologia. Pengamatan bulan Juli 2013 (n=9 ekor) 1. Ikan Sampel 1. proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalahfase Spermatosit Sekunder (41.3%) dan Spermatid (58.7%). Rataan Proporsi 70 Spermatosit (%) 60 58.7 50 40 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad2. Ikan Sampel 2. proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (100%) 120 Rataan Proporsi 100 Spermatosit (%) 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan gonad3. Ikan Sampel 3. proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatid (100%) 7

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit 120 S. Primer S. Sekunder 100 (%) 100 Spermatid 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad4. Ikan Sampel 4 proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatosit primer (36%) dan spermatosit sekunder (64%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 60 50 40 30 20 10 0 S. Primer S. Sekunder Spermatid Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad5. Ikan Sampel5 proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 S. Primer S. Sekunder 88 90 Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan gonad6. Ikan Sampel 6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatosit sekunder (51%) dan spermatid (49%). 60 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 50 40 30 20 10 0 S. Primer S. Sekunder Spermatid Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad 8

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55727. Ikan Sampel 7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (4.3%) dan spermatid (95.6 %) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 S. Primer 95.6 100 S. Sekunder Spermatid 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad8. Ikan Sampel8, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Primer S. Sekunder Spermatid Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad9. Ikan Sampel 9, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatosit sekunder (40.7%) dan spermatid (59.2%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 S. Primer S. Sekunder 59.2 60 Spermatid 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonadb. Agustus 2013, jumlah sampel (n=6) 1. Ikan Sampel 1, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatosit sekunder (20.8%) dan Spermatid (79.2%) 9

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 90 79.2 Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad2. Ikan Sampel2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 S. Primer S. Sekunder Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad3. Ikan Sampel 3, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (100%) 120 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad4. Ikan Sampel 4, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase Spermatogonia (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad 10

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55725. Ikan Sampel 5, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 S. Sekunder Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad6. Ikan Sampel 6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (81,2%) dan spermatosit sekunder (18,8%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 90 S. Primer S. Sekunder 18.8 80 Spermatid 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad7. Ikan Sampel 7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (88%) dan spermatid (12%) rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 S. Primer Proporsi; 12 90 S. Sekunder Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad 11

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572c. September 2013, jumlah sampel (n=10 ) 1. Ikan Sampel 1, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad2. Ikan Sampel2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad3. Ikan Sampel 3, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (6.6%) dan spermatid (93.4%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 93.4 90 Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad 12

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55724. Ikan Sampel4, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad5. Ikan Sampel 5, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad6. Ikan Sampel 6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (100%) 120 Rataan Proporsi 100 Spermatosit (%) 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad 13

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55727. Ikan Sampel 7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi 120 100 Spermatosit (%) 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad8. Ikan Sampel 8, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%). 120 Rataan Proporsi 100 Spermatosit (%) 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad9. Ikan Sampel 9, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 60 50 40 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad 14

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-557210. Ikan Sampel 10, Proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 S. Primer S. Sekunder Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonadd. Oktober 2013 , jumlah sampel (n=10)Rataan Proporsi Spermatosit (%) 1. Ikan Sampel 1, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (100%). 120 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Spermatid Tahapan perkembangan gonad2. Ikan Sampel 2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (100%). Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad 15

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55723. Ikan Sampel 2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan gonad4. Ikan Sampel 4, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (70,6 %) dan spermatid (29,4 %) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 80 70 60 50 40 30 29.4 Spermatid 20 10 0 S. Sekunder Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad5. Ikan Sampel 5, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (83,7%) dan spermatosit sekunder (16,3%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 90 S. Primer S. Sekunder Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan gonad6. Ikan Sampel 6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (64,1 %) dan spermatid (35,9 %) 16

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 S. Primer S. Sekunder 35.9 60 Spermatid 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad7. Ikan Sampel 7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer(70 %) dan spermatosit sekunder (29%) Rataan Proporsi 80 29 Spermatosit (%) 70 Spermatid 60 50 S. Primer S. Sekunder 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad8. Ikan Sampel 8, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad9. Ikan Sampel 9, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (55%) dan spermatosit sekunder (47%) 60 Rataan Proporsi Spermatosit 50 (%) 40 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad 17

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-557210. Ikan Sampel 10, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (56 %) dan spermatid (43 %) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 60 50 43 40 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonade. November 2013, jumlah sampel (n=10) 1. Ikan Sampel 1, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad2. Ikan Sampel 2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (32%) dan spermatosit primer (76%) Rataan proporsi Spermatosit (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad3. Ikan Sampel 3, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (56%) dan spermatosit sekunder (44%). 18

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 60 50 40 39 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad4. Ikan Sampel 4, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (13,3%) dan spermatid (86,6%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 86.6 90 Spermatid 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad5. Ikan Sampel5, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (62%) dan spermatosit sekunder (38%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 60 50 40 39 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad6. Ikan Sampel6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (61,5%) dan spermatosit sekunder (38,5%) 19

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 70 Rataan Proporsi Spermatosit 60 (%) 50 40 39 30 20 10 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad7. Ikan Sampel7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad8. Ikan Sampel8, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatogonia (100%) 120 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatid Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad9. Ikan Sampel 9, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (61%) dan spermatid (39%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 70 60 50 40 39 Spermatid 30 20 10 0 S. Primer S. Sekunder Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad 20

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-557210. Ikan Sampel10, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 S. Primer 100 100 S. Sekunder Spermatid 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonadf. Desember 2013 , jumlah sampel (n=10) 1. Ikan Sampel1, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (70,3%) dan spermatid (29,6%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 80 S. Primer S. Sekunder Spermatid 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad2. Ikan Sampel 2, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 100 Spermatid 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad3. Ikan Sampel 3, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) 21

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 120 100 Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad4. Ikan Sampel 4, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (% 120 S. Primer S. Sekunder Spermatid 100 80 60 40 20 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad5. Ikan Sampel5, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (20,3%) dan spermatid (79,6%) Rataan Proporsi Spermatosit (% 90 79.6 80 Spermatid 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad6. Ikan Sampel 6, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (22,4%) dan spermatid (77,6%) Rataan Proporsi Spermatosit 90 S. Primer S. Sekunder 77.6 (%) 80 Spermatid 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia Tahapan Perkembangan Gonad 22

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55727. Ikan Sampel 7, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatidRataan Proporsi Spermatosit (%) (100%) 100 120 100 80 60 40 20 0 Tahapan Perkembangan Gonad8. Ikan Sampel 8, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatid (100%) Rataan Proporsi Spermatosit (% 120 100 100 Spermatid 80 60 40 20 0 S. Sekunder Spermatogonia S. Primer Tahapan Perkembangan Gonad9. Ikan Sampel 9, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit primer (21,9%) dan spermatosit sekunder (78,1%) 90 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Spermatid Tahapan Perkembangan Gonad10. Ikan Sampel 10, proporsi spermatogenesis yang mendominasi adalah fase spermatosit sekunder (11%) dan spermatid (88%) 23

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Rataan Proporsi Spermatosit (%) 100 88 Spermatid 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Spermatogonia S. Primer S. Sekunder Tahapan Perkembangan Gonad Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur jaringan secara detailmenggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang dipotong tipis. Dari hasil pengamatansecara histologi menunjukkan bahwa ikan kerling jantan diduga akan melakukan pemijahanpada bulan Juli ditandai dengan banyaknya jumlah spermatid yang terdapat pada setiap ikansampel, dan terlihat juga dari tingginya nilai IKG yaitu 7.12%. Pengamatan sampel pada bulan Juli 2013 di dapatkan sel-sel tahap perkembanganspermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid. Namun didominasi oleh sel spermatid(55,5%). Sedangkan pada bulan agustus didapatkan sel-sel tahapan spermatogonia, spermatositprimer, spermatosit sekunder dan spermatid namun lebih didomonasi oleh sel spermatogonia(57,7%), bulan September di dapatkan sel-sel tahapan spermatogonia, spermatosit sekunder danspermatid namun lebih didomonasi oleh selsel spermatogonia (50%), bulan Oktober didapatkan sel-sel tahapan spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder danspermatid namun lebih didomonasi oleh selspermatosit primer (50%), November di dapatkansel-sel tahapan spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid namunlebih didomonasi oleh selspermatogonia (60%) dan pada bulan Desember di dapatkan sel-seltahapan spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid namun lebihdidomonasi oleh spermatid (70%). Tahap perkembangan gonad yang dibagi menjadi empat tahapan (Spermatogonia,spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid) dikarenakan tidak diketemukannyaikan kerling dengan tingkat kematangan gonad tahap V (Spermatozoa). Selama penelitian, ikankerling jantan dengan TKG IV (Spermatid) ditemukan pada setiap bulannya, sehingga dapatdikatakan bahwa musim pemijahan ikan Kerling adalah lebih dari satu dalam setahun selamaperiode Juli yang merupakan waktu dilakukannya penelitian ini. Ingram (2007) mengemukakanbahwa spesies Tor memiliki tipe pemijahan parsial, asinkronous/intermitton. Kecenderungansemakin tinggi TKG maka kisaran panjang tubuh semakin tinggi. Ada dua faktor yang 24

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572mempengaruhi perkembangan gonad, yaitu faktor lingkungan dan hormone (Affandi dan Tang,2000). Beberapa faktor yang diduga dapat menjadi penyebab perbedaan pencapaian ukuranpertama kali matang gonad, seperti sifat genetik populasi, perbedaan letak wilayah, kualitasperairan dan besarnya tekanan penangkapan. Selain itu kematangan gonad berhubungan denganpertumbuhan dan faktor lingkungan terutama ketersediaan makanan baik secara kualitasmaupun kuantitas (Tpelihehre 1985 dalan Affandi dan Tang 2000). Effendi (1997) menyatakan faktor yang mempengaruhi pertama kali ikan matang gonadada dua yaitu faktor luar seperti suhu dan arus serta faktor dari dalam seperti umur, jeniskelamin, sifat-sifat fisiologis ikan seperti kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sertaukuran. Testis merupakan sepasang organ memanjang yang terletak pada dinding dorsal (Tangdan Affandi, 2002). Testis sebagai gonad jantan memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai penghasilspermatogonia dan mensekresi hormon androgen (Nalbandov, 1990). Pada testis mudabiasanya terlihat hanya ada sel spermatogonia dan sel sertoli pada tubulusnya(Prasetyaningtyas, 2006). Tubulus biasanya belum mengandung rumen dan terdapat jaringanikat yang tebal di sekitar tubulus (Prasetyaningtyas, 2001). Tubuli seminiferi adalah bagianyang dominan dalam testis yang berupa buluh bulat dan berliku – liku. Pada tubuli terdapat sel– sel spermatogenik dan selSertoli. Sel – sel spermatogenik terdiri dari spermatogonia,spermatosit, spermatid, dan spermatozoa. Berbagai sel spermatogenik menunjukkanperbedaantahapan dalam perkembangan dan diferensiasi spermatozoa. Spermatogonia berbentuk bulat dan terlihat paling besar diantara sel spermatogeniklainnya dengan warna lebih gelap. Spermatosit letaknya lebih ke sentral dari spermatogonia danbentuknya bulat. Spermatid letaknya lebih ke sentral dari spermatosit, bentuknya bulat kecildengan inti bulat di tengah. Adapun spermatozoa letaknya di sentral tubuli, bentuknya jelaskarena mempunyai kepala dan ekor. Menurut Djuwita (2000), proses spermatogenesis dibagi menjadi dua tahap yaitu : 1).Spermatositogenesis, adalah pertumbuhan jaringan spermatogenik dengan pembelahan mitosisyang diikuti dengan pembelahan reduksi (meiosis). Pada fase ini spermatogonia mempunyaikemampuan memperbaharui diri, sehingga menjadi dasar spermatogonial stem cell (Ogawa etal., 1997). Pada pembelahan meiosis jumlah kromosom dibagi dua sama banyak yaitu daridiploid (2n) menjadi haploid (n), sehingga pada saat yang bersamaan sel benih primordial juga 25

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572berkembang menjadi spermatogonia yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi spermatositprimer. Spermatosit primer akan berkembang menjadi spermatosit sekunder. Spermatositsekunder melalui pembelahan meiosis akan menghasilkan spermatid; 2). Spermiogenesis, yaitusel spermatid akan mengalami metamorfosa dan membentuk spermatozoa secara sempurna.Perubahan proses metamorfosa ini meliputi pembentukan akrosom, kepala, badan, dan ekordari spermatozoa. Sel spermatogonia merupakan sel pertama dari proses spermatogenesis. Selspermatogonia akan tetap dalam masa dorman hingga masa pubertas (Slomianka, 2006).Menurut Wodzicka-Tomaszewska (1991), sel spermatogonia merupakan sel yang paling awalyang terdiri dari dan terletak satu lapis dibawah membran dasar, sedangkan turunan berikutnyasecara cepat mendekati lumen. Sel spermatosit primer terletak di sekitar sel spermatogonia,tetapi lebih dekat ke lumen, setiap sel membelah secara meitotik menjadi dua sel yang lebihkecil. Sedangkan sel spermatosit sekunder, membelah segera setelah pembentukannya. Selspermatid merupakan sel yang jauh lebih kecil, sangat dekat dan berhubungan dengan selsertoli, kebanyakan dari sel ini mempunyai inti dan tidak menunjukkan gambaran mitotik, sel-sel ini mengalami perubahan bentuk menjadi spermatozoa. Secara kuantitatif perkembangan testis ikan dapat dilihat dengan membandingkangambaran histologis testis secara mikroskopis dengan nilai IKG. Pada bulan September terlihatpopulasi sel spermatogonia yang lebih dominan hampir di seluruh tubulus dengan bentuk bulatdan seragam, terlihat sebuah nukleus di dalamnya. Menurut Chinabut et al., (1991), kebanyakansel spermatogonia mempunyai sebuah nukleus yang bentuknya tidak beraturan sertamempunyai sebuah nukleolus. Proses akhir sel spermatogonia, akan tumbuh dan membelahmenjadi spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid dan spermatozoa, Pada bulan Oktober Populasi sel spermatosit primer sudah terlihat cukup banyak denganwarna biru keunguan, terletak dekat dengan sel spermatogonia dan bentuknya lebih kecildaripada sel spermatogonia. Sel spermatosit sekunder bentuknya lebih kecil daripada selspermatosit primer, sedangkan sel spermatid terlihat lebih kecil daripada sel spermatositsekunder dengan warna biru pekat, dan jumlahnya lebih banyak daripada sel germinal lainnya. 26

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55724. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan1. Tahapan perkembangan gonad ikan kerling jantan di dominasi oleh sel spermatid yang terdapat pada bulan Juli.2. Indeks kematangan gonad (IKG) yang tertinggi didapatkan pada bulan Juli dengan nilai 7.12%.4.2. Saran Perlunya studi lebih lanjut/mendalam tentang reproduksi ikan kerling (Tor tambroides)di sungai-sungai yang terdapat di Aceh Barat.Daftar PustakaChinabut S C, Limsuwan and P Kitsawat. 1991. Histology Of The Walking Catfish, Clarias batrachus. International Development Research Centre, Canada.Djuwita I, Boediono A, Mohamad K. 2000. Bahan Kuliah Embriologi. FKH.IPB. Bogor.Effendie M I. 1997. Biologi perikanan. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163 hal.Kottelat M, A J Whitten with S N Kartikasari and S Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition (HK), Jakarta.Prasetyaningtias W E. 2001. Studi histokimia lektin pada distribusi glikokonjugat di epitel tubuli seminiferi testis babi rusa Babyrousa babyrussa. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.Rupawan. 1999. Beberapa sifat biologi dan ekologi ikan semah (Tor douronensis) di Danau Kerinci dan Sungai Merangin. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 5 (4): 1-6.Slomianka. 2006. Blue Histology - Male Reproduction System. School Of Anatomy And Human Biology – The University Of Western Australia. Australia.Tang M U. dan Affandi R. 2002. Biologi reproduksi ikan.Tang, U. M. dan R. Affandi. 2000. Biologi reproduksi ikan. Bogor. 150 hal.Wodzicka-Tomaszewska, Manika. Sutama I K, Putu I G, Chaniago, Tamrin D. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, Dan Produksi Ternak Di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 27

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572RESPON FOTOSINTESIS MAKROALGA TERHADAP TEKANAN DESIKASI PADA ZONA INTERTIDAL BERBATU DI DENSHIN HAMA PERAIRAN MURORAN, JEPANG Mohamad Gazali1, Yun- kae kiang2, Masataka Hoashi31 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat 2 National Taiwan University, Taiwan 3 Sekolah Ilmu Kedokteran Hewan , Kitasato University, Jepang Korespondensi : [email protected] Abstrak Faktor desikasi mempengaruhi respon fotosintesis pada daun makroalga yang terpaparpada cahaya lingkungan. Hipotesis dari mini riset ini bahwa spesies makroalga yang tersebardi zona atas mempunyai toleransi yang tinggi melawan desikasi. Mini riset ini bertujuan untukmenganalisis produktivitas spesies makroalga dengan menggunakan PAM fluorometer.Beberapa spesies rumput laut yang dikoleksi meliputi Ulva pertusa, Polyopes affinis,Gloiopeltis furcata, Sargassum thunbergiii, dan Saccharina japonica. Pengambilan sampelrumput laut tersebut berdasarkan dominansi di intertidal berbatu yang meliputi zona atas, zonatengah dan zona bawah. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan Ulva pertusa kurangbertoleransi dengan tekanan desikasi dan jarang dapat tumbuh berkembang pada zona intertidalberbatu. Sementara, spesies Polyopes affinis, Gloipertis furcata, Sargassum thunbergii danSaccharina japonica mulai mengalami peningkatan secara berangsur-angsur yangmenunjukkan kemampuan toleransi terhadap tekanan desikasi akibat terpapar pada udara bebas.Kata Kunci : Desikasi, fotosintesis, makroalga, intertidal1. Pendahuluan Desikasi meningkatkan termotoleransi untuk suatu varietas taksa mulai dari seranggasampai tumbuhan dan mikroba (Rothschild dan Mancinelli, 2001; Alpert dan Oliver 2002).Peranan protektif terhadap desikasi yang diketahui selama tahap istirahat dan spesies dapatbertahan hidup pada periode lama ketidakaktifan yang mengalami desikasi (Crowe et al. 1992,Gaff 1997, Crowe et al. 1998, Alpert 2000, Hoekstra et al. 2001, Rascio dan La Rocca 2005).Pengeringan juga meningkatkan termotoleransi di dalam toleransi desikasi makroalga intertidallaut (Davison dan Pearson,1996) yang terkena panas, kondisi kering selama kondisi surut.Meskipun kelimpahan psikologi yang memainkan peranan penting dalam desikasi, eksperimenekologi di dalam suatu interaksi antara temperatur dan desikasi pada makroalga intertidal yangsudah fokus secara ekslusif pada efek disruptif desikasi (Hodgson, 1981 ; Matta dan Chapman,1995 ; Beach dan Smith 1997). Secara Konsekuensi, perspektif ilmuwan ekologi yangdidominasi oleh tekanan yang diasosiasikan dengan desikasi (Schoenbeck dan Norton,1978;Williams dan Dethier, 2005). 28

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Kemampuan makroalga intertidal dalam mentolerir keterpaparan periodik pada udarabebas yang sudah dihipotesiskan dengan melibatkan sejumlah perbedaan mekanisme yangmeliputi adaptasi yang dikhususkan untuk mengurangi kehilangan jaringan air(Zaneveld, 1937). Kemampuan untuk memelihara tingkat fotosintesis yang tinggi di udarabebas (Dring dan Brown, 1982) dan cepat serta pemulihan (recovery) fotosintesis selamahidrasi kembali (Dring dan Brown, 1982; Beer dan Kautsky, 1992). Hipotesis pertama sudahditolak studi berikutnya yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkatkehilangan jaringan air dan posisi vertikal spesies pada zona intertidal (Shockbeck dan Norton,1979 ; Droomgole, 1980 ; Lipkin et al. 1993). Hal ini menunjukkan bahwa hidrasi secara penuhdari makroalga intertidal mampu memelihara kemunduran tingkat fotosintesis yang tinggidengan mengurangi kandungan air dimana perubahan variasi terjadi oleh spesies (Wilten et al.1978 ; Dring dan Brown, 1982). Namun demikian, hal tersebut diperluas dengan aparatusfotosintesis yang dapat memulihkan kehilangan air selama pencelupan yang sangat jelasdibedakan spesies toleransi desikasi mulai dari spesies sensitif desikasi (Wilten et al. 1978 ;Dring dan Brown, 1982 ; Smith dan Berry, 1986 ; Brown, 1987). Hipotesis dari mini riset inimenunjukkan bahwa spesies makroalga yang tersebar di zona atas mempunyai toleransi yangtinggi melawan desikasi. Mini riset ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas spesiesmakroalga dengan menggunakan PAM fluorometer.2. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Riset tersebut dilaksanakan pada tanggal 5 – 10 Agustus 2013 diawali denganpengambilan sampel makroalga yang mendominansi di Zona Intertidal Berbatu PantaiDenshin Hama Muroran Kota Hokkaido, Jepang (Gambar 1). Setelah itu, sampel tersebutdibawa ke Laboratorium Muroran Marine Station untuk diidentifikasi dan diuji skalalaboratorium. 29

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel, Sumber : (Google Earth, 2013)2.2. Alat dan Bahan Adapun alat yang digunakan didalam riset ini meliputi Pulse Amplitude modulated(PAM) fluorometer, oven, wet suit, sepatu boot, jaket parasut, ember, transek kuadrat 20 x 20cm, timbangan eletrik, kertas aluminium foil. Bahan kimia yang digunakan hanya berupametanol (MeOH) untuk pengawetan.2.3. Koleksi Sampel Beberapa spesies rumput laut yang dikoleksi meliputi Ulva pertusa, Polyopes affinis,Gloiopeltis furcata, Sargassum thunbergiii, dan Saccharina japonica. Pengambilan sampelrumput laut tersebut berdasarkan dominansi di intertidal berbatu yang meliputi zona atas, zonatengah dan zona bawah.2.4. Prosedur PenelitianEffective quantum electron yield (Y) fotosistem II yang diukur di dalam kondisi cahayalingkungan (sekitar 180 mmol m-2 s-1) tanpa adaptasi kondisi gelap dengan menggunakan suatuPulse Amplitude modulated (PAM) fluorometer (Diving-PAM, Waltz) berdasarkan proseduryang dideskripsikan oleh Bjork et al (1999). Ujung optik mikrofiber ditempatkan pada jarak 5mm and sudut 608 pada sampel dengan menggunakan leaf distance clip. Sampel diiradiasidengan suatu fluks foton fotosintesis 500 mmol m-2s-1 pada temperatur 22 0C. 30

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Hasil efektif (Y) dihitung sebagai ðF0m – FÞ = F0m ¼ DF = F0m, dimana F adalahfluorescence maksimum selama 0.8 detik tekanan cahaya jenuh dan F adalah fluorescencekeadaan tetap yang diberikan iradiasi (Genty et al. 1989). Respon dehidrasi yang dievaluasioleh penodaan halus pertama pada bagian daun rumput laut untuk menghilangkan kelebihanair. Sampel ditempatkan secara seimbang dan berat basah penuh yang dicatat. Hasil ujiteknologi tersebut dilanjutkan sampai nilai nol untuk hasil yang didapatkan. Kandungan AirRelatif (KAR) didefinisikan oleh Slayter (1967) sebagai berikut : ������������������������������������������������������������ ������������������������ℎ������ − ������������������ ������������������������ℎ������������������������ = ������������������������ℎ ������������������������ℎ������ − ������������������ ������������������������ℎ������ ������ 100% Dimana berat segar merupakan berat ketika hidrasi penuh. Berat yang terdesikasimerupakan berat sampel ketika kandungan air relatif (KAR) dihitung and berat keringmerupakan berat kering-oven (50 0C). Selama keterpaparan, temperatur oven dicatat tiap menitdengan menggunakan iButton temperature logger. Proses ini diulang selama empat kalipengulangan pada setiap spesies makroalga. Untuk mengevaluasi kemampuan daun-daundalam pemulihan dari dehidrasi, enam kali pengulangan pada bagian daun tiap spesies menjadikering di laboratorium pada temperatur 22-23 0C dalam suatu seri kandungan air pra-penentuanBjork et al., 1999) : 15%, 32% and 53% kandungan air relatif3. Hasil dan Pembahasan Respon fotosintesis pada desikasi 5 spesies makroalga yang berbeda. Grafik yangdigambarkan menunjukkan pola-pola yang berbeda. Hal ini menunjukkan perbedaankemampuan yang diharapkan berdasarkan distribusi pada zona intertidal berbatu di pantaiDenshin Hama.y 1000 900 800 20 40 700 Kandungan Air Relatif 600 500 400 300 200 100 0 0Gambar 2. Kandungan air relatif Ulva pertusa 31

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Status kandungan air 5 sampel bervariasi secara signifikan selama periode eksperimentalkarena perbedaan kemampuan dalam toleransi tekanan desikasi. Setiap spesies rumput lautdiukur dengan 5 kali pengulangan. Spesies Ulva pertusa digambarkan pola sampel yangberbeda dengan sampel lainnya. Berdasarkan grafik tersebut menunjukkan bahwa Ulva pertusakurang bertoleransi dengan tekanan desikasi dan jarang dapat tumbuh berkembang pada zonaintertidal berbatu (Gambar 2). Dibawah kondisi cahaya lingkungan di dalam laboratorium,tingkat kekurangan air dari Ulva pertusa lebih cepat daripada spesies lain. Respon rehidrasijuga mengindikasikan bahwa proses-proses fotosintesis di dalam Ulva pertusa yang dapatdibandingkan pada tingkat kandungan air.y 800 20 40 60 80 100 y 700 Kandungan air relatif 600 500 400 300 200 100 0 0Gambar 3. Kandungan air relatif spesies Polyopes affinis 1000 800 600 400 200 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90100 Kandungan air relatifGambar 4. Kandungan air relatif spesies Gloipertis furcata 32

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572y 1000 y 800 600 400 200 0 0 20 40 60 80 100 Kandungan air relatifGambar 5. Kandungan air relatif spesies Sargassum thunbergii 1100 20 40 60 80 100 1000 Kandungan air realtif 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 0Gambar 6. Kandungan air relatif Saccharina japonica Sementara kandungan air relatif pada sampel lainnya seperti Gloipertis furcata,Sargassum thunbergii dan Saccharina japonica mulai mengalami peningkatan secaraberangsur-angsur. Grafik ini menunjukkan kesamaan pola. Kebanyakan spesies inimenunjukkan kandungan air relatif yang cukup tinggi sampai mencapai kurva maksimum.Spesies Sargassum thunbergii menunjukkan toleransi standar dalam melawan desikasiketerpaparan udara. Hal ini menunjukkan bahwa mereka toleran menghadapi tekanan desikasidi intertidal berbatu (Gambar 5). Jadi, distribusi Gloipertis furcata ( Gambar 4) dan Saccharinajaponica (Gambar 6) sangat mendominansi di zona atas intertidal berbatu karena memilikitoleransi yang sangat tinggi dalam melawan tekanan desikasi pada semua zona. Hal inidiasumsikan karena adanya perbedaan morfologi dan kandungan pigmentasi setiap makroalgaberbeda-beda sehingga memiliki kemampuan terhadap tekanan desikasi berbeda pula. Meskipun hasil penelitian menunjukkan variasi yang cukup signifikan, hal inimengindikasikan bahwa kita harus mempertimbangkan mekanisme alternatif jika kitamenjelaskan pola-pola zonasi yang diamati pada ekosistem intertidal berbatu. Bjork et al.(1999) menghipotesiskan bahwa kemampuan dalam mentoleransi periode-periode keterpaparanpada udara itu lebih penting sebagai suatu sistem dari interaksi kompleks ciri-ciri morfologi 33

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572dan strategi pertumbuhan melibatkanseluruh tumbuhan daripada respon psikologi daun-daunindividual. Pada zona intertidal bagian atas makroalga nampaknya memiliki beberapa spesialisasiadaptasi untuk mengurangi tingkat kehilangan air dari jaringan daun atas keterpaparan udarabebas. Meskipun adaptasi morfologi yang membatasi keterpaparan padang lamun intertidalpada kondisi kekeringan, kerusakan signifikasi pada jaringan daun yang terjadi sebagai hasildesikasi (Elftemeijer and Herman, 1994 ; Boese et al., 2003). Ketika daun menjadi rusak, makamekanisme lain dalam percetakan dengan tekanan desikasi yang melibatkan leaf-shedding.Kegiatan pemotongan daun terhadap respon pada defisit air seudah diamati pada tumbuahnterestrial dan lahan basah (McMichael et al. 1973 ; Saltmarsh et al. 2006). Sama halnya seperti padang lamun, toleransi desikasi pada padang lamun yangkemungkinan melibatkan suatu kombinasi sistem morfologi dan strategi pertumbuhan sepertiturun besaran (downsizing) contohnya daun lebih kecil dan sempit, mengurangi kekakuanstruktural (Bjork et al. 1999; Tanaka and Nakaoka, 2004 ).4. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa alga Ulva pertusa kurang bertoleransidengan tekanan desikasi keterpaparan cahaya sinar matahari pada zona atas (upper zone)intertidal berbatu sehingga sebagian besar spesies tersebut berada di zona tengah (middle zone)dan zona bawah (bottom zone). Sementara spesies seperti Polyopes affinis dan Sargassumthunbergii memiliki toleransi yang cukup terhadap tekanan desikasi keterpaparan cahaya sinarultraviolet matahari. Spesies Gloipertis furcata dan Saccharina japonica memiliki distribusiyang tertinggi karena memiliki kemampuan yang tinggi dalam melawan tekanan desikasi akibatketerpaparan sinar ultraviolet matahari.4.2. Saran Perlu adanya penelitian lanjutan tentang pengaruh perbedaan pigmentasi makroalgaterhadap stres desikasi akibat keterpaparan sinar ultraviolet matahari dalam skala laboratoriumUcapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih yang terdalam kepada Prof. Masahiro Nakaoka dariAkkeshi Marine Station dan Prof. Taizo Motomura dari Muroran Marine Station yangmembimbing dan memberikan ilmu pengetahuan yang besar manfaatnya. Tidak lupa pula 34

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572kepada Yoshiyushi Tanaka, PhD dari JAMSTEC MIO yang sudah memberikan asistensipraktikum sebelum melakukan sampling dan riset skala laboratorium. Dana mini-riset inidibantu oleh Universitas Hokkaido Jepang melalui JASSO Scholarship.Daftar PustakaAlpert, P. and Oliver, M.J. 2002. Drying without dying. In Black, M. dan Pritchard, H. [Eds.] Desiccation dan Survival in Plants. CAB International, Wallingford, UK, pp. 3–43.Alpert, P . 2000. The discovery, scope, and puzzle of desiccation tolerance in plants. Plant Ecology. 151:5–17.Boese, B.L., Alayan, K .E ., Gooch, E.F. , Robbins , B.D., 2003. Desiccation index : a measure of damage caused by adverse aerial exposure on intertidal eelgrass (Zostera marina) in an Oregon (USA) estuary. Aquatic Botany. 76, 329–337.Bjork, M., Uku, J., Weil, A., Beer, S., 1999. Photosynthetic tolerances to desiccation of tropical intertidal seagrasses. Marine Ecology Progress Serial 191, 121– 126.Beer, S., Kautsky, L., 1992. The recovery o f net photosynthesis during rehydration of three Fucus species from the Swedish west coast following exposure to air. Botany Marine. 35, 487–491.Brown, M.T., 1987. Effects of desiccation on photosynthesis on intertidal makroalgae from a Southern New Zealdan shore. Bot. Mar. 30, 121–127.Beach, K.S . dan Smith, C. M. 1997. Ecophysiology of a tropical rhodophyte III: recovery from emersion stresses in Ahnfeltiopsis concinna (J. Ag.) Silva et DeCew. Journal Experiment. Marine Biology Ecology. 211:151– 67.Crowe, J.H., Carpenter, J. F. dan Crowe, L. M. 1998. The role of vitrification in anhydrobiosis. Annual. Revision. Physiology. 60:73–103.Crowe, J.H., Hoekstra, F. A. dan Crowe, L. M. 1992. Anhydrobiosis. Annu. Rev. Physiol. 54:579–599.Dromgoole, F.I. 1980. Desiccation resistance in intertidal dan subtidal makroalgae. Botany Marine. 23:149–159.Dring, M.J., Brown, M.T., 1982. Photosynthesis o f intertidal brown makroalgae during dan after periods of emersion: a renewed search for the causes of zonation. Marine. Ecology. Progress. Serial. 8 , 301–308.Erftemeijer, P.L.A., Herman, P.M.J., 1994. Seasonal changes in environmental variables, biomass, production, dan nutrient contents in two contrasting tropical intertidal seagrass beds in South Sulawesi, Indonesia. Oecologia 99, 45–59.Davison, I.R., Pearson, G.A., 1996. Stress tolerance in intertidal seaweeds. Journal of Phycology. 32, 197–211.Genty, B., Briantais, J.M., Baker, N.R., 1989. The relationship between the quantum yield of photosynthetic electron transport dan quenching of chlorophyll fluorescence. Biochemistry Phycology Acta. 990, 87–92.Gaff, J.L. 1997. Mechanisms of desiccation tolerance in resurrection vascular plants. In Basra, A. S. dan Basra, R. K. [Eds.] Mechanisms of Environmental Stress Resistance in Plants. Harwood Academic Publishers, London, pp. 43–58Hodgson, L . M . 1981. Photosynthesis of the red makroalga Gastroclonium coulteri (Rhodophyta) in response to changes in temperature, light intensity and desiccation. Journal of Phycology. 17:37–42.Lipkin, Y. , Beer, S., Eshel, A., 1993. The ability of Porphyra linearis (Rhodophyta) to tolerate prolonged periods of desiccation. Botany Marine. 36, 517– 523. 35

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Matta, J.L . and Chapman, D.J . 1995. Effects of light, temperature dan desiccation on the net emersed productivity of the intertidal makroalga Colpomenia peregrina Sauv. (Hamel). Journal of Experiment. Marine. Biology. Ecology. 189:13–27.McMichael, B.L., Jordan, W.R., Powell, R.D., 1973. Abscission processes in cotton: induction by plant water deficit. Agron. J. 65, 202–204.Rothschild, L.J . and Mancinelli, R.L. 2001. Life in extreme environments. Nature. 409: 109–110.Rascio, N . and La Rocca, N. 2005. Resurrection plants: the puzzle of surviving extreme vegetative desiccation. Critical Revision Plant Science. 24:209–25.Saltmarsh, A., Mauchamp,A., Rambal, S., 2006. Contrasted effects of water limitation on leaf functions dan growth of two emergent co-occurring plant species, Cladium mariscus and Phragmites australis. Aquatic Botany. 84, 191–198.Schoenbeck, M. and Norton, T.A. 1978. Factors controlling the upper limits of fucoid makroalgae on the shore. Journal of Experimen. Marine. Biology. Ecology. 31:303–14.Slayter, R.D . 1967. Plant–Water Relationships. Academic Press, London, 366 pp.Smith, C.M. dan Berry, J.A. 1986. Recovery of photosynthesis after exposure of intertidal makroalgae to osmotic dan temperature stresses: comparative studies of species with differing distributional limits. Oecologia 70:6–12.Tanaka, Y., Nakaoka, M., 2004. Emergence stress and morphological constraints affect the species distribution dan growth of subtropical intertidal seagrasses. Marine Ecology. Progress Serial. 284, 117–131.Williams , S. L. and Dethier, M. N. 2005. High dan dry: variation in net photosynthesis of the intertidal seaweed Fucus gardneri. Ecology 86:2373–9.Wiltens, J., Schreiber, U., Vidaver, W., 1978. Chlorophyll fluorescence induction: an indicator of photosynthetic activity in marine makroalgae undergoing desiccation. Can. Journal of Botany. 56, 2787–2794.Zaneveld, J.S., 1937. The littoral zonation of some Fucaceae in relation to desiccation. Journal of Ecology. 25, 431–468. 36

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572STATUS KEBERLANJUTAN KETERSEDIAAN SUMBERDAYA PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN ACEH BARAT Edwarsyah1, Mohamad Gazali21 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstract Fisheries production in West of Aceh was still insufficient to provide the local communityconsumption. However, fisheries resources in West of Aceh water are abundant. But utilizationof fisheries particularly skipjack tuna (cakalang) hasn’t been yet optimalized. This aiming toanalyse the status of sustainablity of skipjack (Katsuwonus pelamis) fisheries in West of Acehwater. The study was conducted in November to Desember 2012 at the Fish Landing Port ofKuala Bubon and Fish Landing Bases (PPI) Ujong Baroh. The result shown that sustainabilityindex value by using multidimensional scaling is 88,42 with stress value is 0.12 and coefisienof determination (R2) is 0,95 or 95%. Such index value show that sustainablity of skipjackresources were good status. It means that multidimensional of skipjack stock were still paidattention in fisheries management sustainable. Beside that, it shown from water condition andfishing gears were still support viability of such comodity.Keywords:, Rapfish, Sustainablity, Skipjack .1. Pendahuluan Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan olehUndang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebutyaitu pada Undang-Undang No 45/2009. Dalam konteks adopsi hukum tersebut, pengelolaanperikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalampengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasisumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturanperundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lainyang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dantujuan yang telah disepakati. Secara alamiah, pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yangtidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistem; (2)dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001 dalam KKP-RI, 2014).Berkaitan dengan ketiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini belummempertimbangan keseimbangan ketiga dimensi tersebut dimana kepentingan pemanfaatansumberdaya perikanan lebih mendominansi dibandingkan dengan kesehatan ekosistem/habitatsehingga dperlukan suatu pendekatan ekosistem dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. 37

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572 Bengen (2005), mengatakan bahwa suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabilakegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu berkelanjutansecara ekologi, sosial-budaya dan ekonomi. Usaha perikanan tangkap, permasalahan yang sering terjadi adalah tingkat penangkapanikan di suatu wilayah yang melebihi produksi lestarinya (maximum sustainable yield) sehinggaterjadi fenomena tangkap lebih (overfishing) yang berakibat pada penurunan hasil tangkapanyang pada gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia Sampai saat ini pihak pemerintah, yakniKementerian Kelautan dan Perikanan yang merupakan pengelola sumberdaya perikanan, terusmencari dan menyempurnakan cara yang tepat untuk diterapkan. Salah satu contoh adalahpembagian daerah perairan Indonesia menjadi sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).Pembagian wilayah ini didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan dipelabuhan. Pengelompokan tidak didasarkan pada kemiripan ekosistem yang ada, tapi lebihkepada lokasi pendaratan ikan. Kemampuan menduga jumlah populasi ikan (stock assessment)secara akurat sangat ditentukan ketersediaan informasi dan data yang tepat. Namun, penentuanjumlah tangap maksimum lestari (maximum sustainable yield) perlu disikapi hati-hati. Berbagaiasumsi dalam perhitungan MSY telah banyak berubah dan tidak valid lagi. Koefisienkemampuan penangkapan (catchability coefficient) yang digunakan dalam perhitungan MSYtidak dapat dianggap konstan karena sangat bergantung pada perkembangan teknologi. Adapun hasil tangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Kabupaten Aceh Baratdari bulan Januari – Maret 2012 mencapai 95.918 kg sedangkan dari bulan April – Juni 2012mencapai 67.606 kg. Dalam kegiatan penangkapan, para nelayan menggunakan bermacam alattangkap yang terdiri dari; (1) Pukat Cincin; (2) Rawai; (3) Pancing Tonda; (4) Payang; (5)Jaring Insang sedangkan untuk armada tangkapan sebagian besar dari nelayan menggunakanperahu motor yang berjumlah 644 unit. Dari sebagian kecil para nelayan menggunakan perahutanpa motor dengan jumlah 160 unit (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat,2012). Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan kajian pengelolaan sumberdayaperikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Aceh Barat sehingga menjadi bahanpertimbangan bagi stakeholder dalam melakukan suatu pengelolaan perikanan cakalang secaraberkelanjutan (sustainable). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status keberlanjutanperikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Aceh Barat. 38

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini sudah dilaksanakan mulai dari bulan November sampai dengan bulanDesember 2012 yang berlokasi di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kuala Bubon KecamatanSamatiga, dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ujong Baroh Kecamatan Johan PahlawanKabupaten Aceh Barat (Gambar 1). Gambar 1. Peta lokasi penelitian, Sumber : BAPPEDA Kabupaten Aceh Barat, 20132.2. Jenis Data Penelitian ini dilaksanakan dengan metode deskriptif yaitu metode penelitian untukmembuat gambaran mengenai sistem dan kejadian dengan pemeliharaan metode survei danstudi kasus (case study) (Nazir, 2005). Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dansekunder. Data primer yaitu data yang dikumpulkan langsung di lapangan yang terdiri dari: dataspesifikasi kapal, pola usaha perikanan dan hasil tangkapan, data ini diperoleh secara langsungdengan melakukan pengamatan dan pencatatan dari hasil observasi, wawancara dan partisipasiaktif. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukanpenelitian dari sumber-sumber yang telah ada. 39

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55722.3. Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dalam rangka mendapatkan informasi dan pengetahuannya (akuisasipendapat pakar) ditentukan/dipilih secara sengaja (purposive sampling). Dasar pertimbangandalam penentuan atau pemilihan pakar untuk dijadikan sebagai responden menggunakankriteria sebagai berikut :1. Keberadaan responden dan kesediaannya untuk dijadikan responden.2. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dan telah menunjukan kredibilitasnya sebagai ahli atau pakar pada bidang yang diteliti.3. Telah memiliki pengalaman dalam bidangnya.4. Memiliki pengalaman dalam pakarnya.5. Keberadaan responden mengetahui benar tentang kondisi dan permasalahan keberlanjutan stok ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Aceh Barat.Tabel 2. Kategori RespondenNo Responden Jumlah1. Akademisi 32. Dinas Kelautan dan Perikanan Kab Aceh Barat 33. Pengusaha Perikanan Tangkap 44. Pemilik Kapal Tangkap 45. LSM (pemerhati lingkungan) 36. Panglima Laot 37. Nelayan 5 Jumlah 252.4. Analisis Data Analisis keberlanjutan sistem ketersediaan stok ikan cakalang dilakukan melaluibeberapa tahapan yaitu tahap penentuan atau deskriptor ketersediaan cakalang secarakeberlanjutan yang mencakup 4 dimensi (dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosialbudaya dan dimensi kelembagaan) dengan analisis koordinasi “Rap-Katsuwonus pelamis” yangberbasis metode “multidimensional scaling” (MDS), penyusunan indeks dan statuskeberlanjutan sistem ketersediaan stok ikan cakalang yang dikaji baik umum maupun padasetiap dimensi dengan menggunakan perangkat lunak SPSS (Kavanagh, 2001). Nilai inimerupakan nilai indeks keberlanjutan ketersediaan stok ikan cakalang yang dilakukan olehpemangku kepentingan (stakeholders) di Meulaboh saat ini. Ilustrasi hasil ordinasi yangmenunjukkan nilai indeks keberlanjutan dari sistem yang dikaji diperlihatkan pada Gambar 4. 40

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55720% 88 % 100 % Gambar 2. Ilustrasi Indeks Nilai Indeks Keberlanjutan (Edwarsyah, 2008) Teknik ordinasi (penentuan jarak) dalam MDS di dasarkan pada Euclidian Distance yangdalam ruang berdimensi dengan formulasi sebagai berikut :d =√(|������₁ − ������₂|2 + |������₁ − ������₂|2 + |������₁ − ������₂|2 + … … ) … (1) Titik tersebut kemudian diaplikasikan dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titiki ke titik j dengan titik asal (dij) dengan formulasi :dij = a + bdij + e Adalah meregresikan formulasi di atas digunakan teknik least squared bergantian yangdidasarkan pada akar Euclidian Distance (squared distance) atau disebut metode algoritmaASCAL. Metode ini mengoptimalisasi jarak kuadrat (squared distance dijk) terhadap datakuadrat (titik asal = 0ijk) yang dalam tiga dimensi (i, j, k) yang disebut S-stress dengan formulasi:s = √ ∑[ ]1 ∑∑(������2������ ������������− ������2������ ������������)2 ������ ∑ ∑ ������4������ ������������ … (2) Menurut Kavaragh dan Pitcher (2004); nilai stres yang dapat diperbolehkan adalahapabila berada dibawah nilai 0,25 (menunjukan analisis sudah cukup baik). Sedangkan nilai R²di harapkan mendekati nilai 1 (100%) yang berarti bahwa atibut-atribut yang terpilih saat inidapat menjelaskan mendekati 100 persen dari model yang ada.3. Hasil dan Pembahasan3.1. Ketersediaan Stok Ikan Cakalang Analisis Rap- Katsuwonus pelamis multidimensi dengan menggunakan teknik ordinasi melaluimetode “multidimensional scaling”(MDS) menghasilkan nilai Indeks KeberlanjutanCakalang(IkB-KP) yang terlihat pada Gambar 7 Nilai IkB-KP yaitu 88,42. Hasil nilai analisismultidimensi tersebut ikan cakalang termasuk dalam kategori baik berkelanjutan, karenanilainya berada pada selang 76–100. 41

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Sumbu Y Setelah Rotasi RAPFISH ORDINASI 60 UP 40 20 BAD GOOD Real Fisheries 0 20,0 40,0 60,0 80,0 88,42 120,0 References 0,0 100,0 -20 Anchors -40 DOWN -60 Status PerikananGambar 3. Posisi Indeks Keberlanjutan Multidimensi Ketersediaan Ikan Cakalang Hasil analisis MDS atribut-atribut dari multidimensi ketersediaan ikan cakalang disajikanpada Gambar 5. Menurut hasil pengolahan Multidimensional Scaling, nilai indekskeberlanjutan adalah sebesar 88,42. Nilai indeks tersebut menunjukkan bahwa keberlanjutansumberdaya perikanan cakalang berada pada status “Good” artinya berkelanjutan karena padaposisi 75 ≤ x ≤ 100. Ini menunjukkan bahwa multidimensi ketersediaan ikan cakalang yang adadi dalamnya sudah mendapat perhatian pada pengelolaan sumberdaya perikanan secaraberkelanjutan. Selain itu, karena ketersediaan cakalang dilihat dari kondisi perairan maupunalat tangkap yang digunakan masih menunjang keberlangsungan komoditi tersebut. Pada analisis tersebut, nilai stres sebesar 0.12 dan nilai koefisien determinasinya (R2)sebesar 0,95 atau 95%. Menurut Kavaragh dan Pitcher (2004), hasil analisis dianggap cukupakurat dan dapat dipertanggung- jawabkan secara ilmiah jika nilai stress lebih kecil dari 0.25dan nilai koefisien determinasi (R²) mendekati 1 atau mendekati 100%. Maka dapatdisimpulkan bahwa analisis indeks keberlanjutan akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Potensi ikan cakalang masih sangat baik di perairan Aceh Barat sehinggapemanfaatannya sangat menguntungkan nelayan lokal. Usaha perikanan tangkap sangatbergantung pada ekologis perairan dimana ekologis perairan masih sangat berperan dalamketersediaan maupun keberlangsungan ekosistem yang hidup di dalamnya. 42

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-55724. Kesimpulan dan Saran4.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang indeks dan status keberlanjutan pada ketersediaan sumberdayaperikanan cakalang disimpulkan bahwa nilai indeks keberlanjutan sebesar 88,42, yangmenunjukkan bahwa status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang di PerairanAceh Barat adalah “berkelanjutan”,4.2. Saran Perlu dikaji lebih lanjut dengan menggunakan pengelolaan perikanan dengan pendekatanekosistem atau yang lebih dikenal dengan istilah EAFM dengan menggunakan domainhabitat/ekosistem, domain sumberdaya ikan, domain teknik penangkapan ikan, domainekonomi, domain sosial, dan domain kelembagaan dengan menggunakan alat analisis berupa(multi – criteria analysis)Daftar PustakaBengen D G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.BAPPEDA Kabupaten Aceh Barat. 2010. Peta RTRW Kabupaten Aceh BaratDinas Kelautan dan Perikanan Kab.Aceh Barat. 2012. Data Statistik Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Aceh Barat.Edwarsyah. 2008. Rancang Bangun Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir. (Studi Kasus : DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat). (Disertasi Program Doktoral Sekolah Pascasarjana IPB tidak dipublikasi).Kavaragh P. dan T J Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for Rapfish: A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. University of British Columbia. Fisheries Centre Research Report 12 (2) ISSN:1198-672. Canada. 75pp.Kavaragh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project.Rapfish Software Discription (for Microsoft Excel).University of British Columbia.Fisheries Centre.Vancouver.Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. 2014. Indikator untuk Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management). National Working Group on Ecosystem Approach to Fisheries Management. KKP-RI. JakartaNazir M. 2005. Metode Penelitian. Indonesia : Penerbit Ghalia. 43

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572DISTRIBUSI LOGAM BERAT PADA AIR DAN SEDIMEN LAUT DI WILAYAH PESISISR KABUPATEN SUMBAWA BARAT Helmy Akbar1, Singgih Afifa Putra2, Muhammad Arif Nasution3 1 Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Samudra, Kota Langsa, Aceh2 Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan bidang Kelautan, Perikanan, Teknologi Informasi, dan Komunikasi [LP3TK-KPTK]. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sulawesi Selatan 3 Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstract Most of coastal waters of West Sumbawa are wave-exposed areas. As part of Alas Straitthis region is located between Lombok and Sumbawa Island. On the land and coastal areas,mineral mining (i.e. gold) activities are operated massively by large private company (i.e. PT.Newmont Nusa Tenggara) and traditional mining by local communities. These activities(especially for traditional mining) are expected to increase the content of heavy metals in themarine and coastal waters surrounding. A residual of mining processing will produce heavymetals disposal. In this study, the distributions of heavy metals (i.e. Hg, Cr6+, Cu, As, Ni, Zn,Pb, and Cd) were measured in the water column and bed sediments of coastal waters of WestSumbawa. This study was conducted during dry season in July 2011. The results show theheavy metal concentrations in water column were mainly within the permissible limits (basedon Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51, 2004). Except for Cu, the concentration washighest found on most of the stations. The heavy metal contents in bed sediment were low, butvaried among sampling points. Furthermore, Cu content in bed sediment also found remarkablyhigh (101,7 mg/Kg) with additionally Zn content was closed (10,6–105,5 mg/Kg) within thepermissible limits (based on criteria by Australian and New Zealand Environment andConservation Council – ANZECC, 2000).Keywords: heavy metal, sediment, water, West Sumbawa1. Pendahuluan Wilayah pesisir Kabupaten Sumbawa Barat sebagian besar berhadapan langsung denganSelat Alas. Berdasarkan aspek geografis kabupaten ini sebelah Utara berbatasan dengan LautFlores, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah Timur berbatasan denganKabupaten Sumbawa dan sebelah Barat berbatasan dengan Selat Alas. Sebagian besar wilayahpesisir Kabuaten Sumbawa Barat berhadapan langsung dengan Selat Alas. Berdasarkan aspekhidro-oseanografis wilayah Selat Alas merupakan pertemuan massa air yang berasal dari LautFlores dan Samudera Hindia. Wilayah Kabupaten Sumbawa Barat telah menjadi kawasantambang yang dapat memicu terjadinya pencemaran baik di darat maupun di wilayah pesisir.Aktivitas seperti penambangan emas tanpa izin (PETI) atau tradisional diamati semakinmeningkat, yang mana dapat menimbulkan dampak lingkungan yang cukup serius akibat 44

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572penggunaan zat berbahaya, seperti merkuri atau air raksa (Masnun, 2011). Pada saat dilakukanpengamatan pra-penelitian, pembuangan limbah sisa pengolahan emas tradisonal dijumpailangsung dibuang ke aliran sungai (i.e. Sungai Taliwang). Bahkan, aktivitas PETI dijumpaipersis dilakukan berdekatan dengan wilayah pesisir yang berbukit di wilayah perbatasan antaraKabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat. Dimana, nantinya proses run off dimusim hujanberpotensi membawa produk limbah sisa pencucian emas tersebut ke perairan pesisir. Kajian tentang kadar logam berat di lingkungan wilayah tambang di Nusa Tenggara Baratpernah dilakukan oleh Insiwiasri et al., (2008). Dimana, hasil yang diperoleh tidakmenunjukkan adanya pencemaran kadar logam berat (i.e. Hg, As, Cd, Cu, Fe, dan Mn) padalingkungan sekitar wilayah tambang. Namun, kajian tersebut belum mencakup wilayah pesisir,dimana masih meliputi perairan dan sedimen sungai, air minum, ikan, kerang, jagung dansayuran di Desa Tongo dan sekitarnya. Menurut Insiwari et al., (2008), Perusahaan-perusahaantambang di Nusa Tenggara Barat memperoleh kandungan logam dari batu-batuan denganmelalui 3 langkah. Langkah pertama adalah menggali batuan yang mengandung tembaga dansejumlah kecil emas dan perak. Langkah kedua adalah konsentrat, dimana kandungan logamdipisahkan dan diambil dari dalam batuan. Sedangkan langkah ketiga adalah filtrasi, yaitubahan tersebut dikeringkan agar siap dikirim. Berdasarkan hasil survey pra-penelitian, padaumumnya beberapa lokasi penambangan tradisonal dilakukan di dekat sungai dan pesisirpantai. Sehingga dinilai sangat penting untuk melakukan kajian lanjutan, di mana keterkaitanantara ekosistem darat dan laut lebih menjadi fokus perhatian.2. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada Juli 2011 (musim kering), dan pengamatan terhadapperkembangan aktivitas penambangan dilakukan kembali pada September 2012. Penelitian inidilakukan pada beberapa kecamatan di bagian pesisir barat Kabupaten Sumbawa Barat (i.e.Kecamatan Poto Tano, Taliwang dan Jereweh). Pengambilan sampel air dan sedimen dilakukanpada 16 titik (sub stasiun) yang terdiri atas 6 (enam) stasiun pengamatan (Lampiran 1).2.2. Bahan dan Alat Posisi stasiun dicatat dengan menggunakan GPS Garmin Map 76. Pembagian stasiun inidilakukan secara purposive berdasarkan atas kesamaan karakter oseanografis (i.e. kedalamandan karakter lokasi seperti teluk-teluk kecil atau tanjung) di sepanjang wilayah pesisirKabupaten Sumbawa Barat. Pada penelitian ini, sampling di wilayah pesisir sekitar kawasanTeluk Benete tidak dapat dilakukan karena keberadaan zona bongkar muat kapal pengangkut 45

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572milik PT. Newmont Nusa Tenggara, sedangkan di wilayah selatan (Samudera Hindia) dankawasan Labu Balat juga tidak dilakukan karena kondisi pasang surut yang ekstrim dangelombang yang tinggi. Pengambilan sampel air menggunakan Vandorn Water Sampler (5 L). Sampel air tersebutsegera disaring di lapangan dengan kertas saring sellulose nitrat berpori (0,45 µm) danberdiameter (47 mm), yang sebelumnya direndam dalam HNO3 (1:1). Selanjutnya, sampel airdiawetkan dengan HNO3 pekat sampai pH < 2. Sampel sedimen diambil dengan menggunakanGrab Sampler. Sampel sedimen dikumpulkan dari hasil tiga kali penurunan grab. Hasil tigakali penurunan grab tersebut kemudian dicampur (komposit) dan diambil sebanyak 250 gram,yang selanjutnya dimasukan ke dalam wadah polietilen. Sampel selanjutnya disimpan di dalamice box.2.3. Analisis Data Analisis logam berat dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Perairan IPB.Analisis logam berat pada sedimen mengikuti metode APHA, ed. 21, 2005, 3500 untuk jenisArsenik (As), Cadmium (Cd), Timbal (Pb), dan Raksa (Hg). Metode APHA, ed. 21, 2005, 3110untuk jenis Tembaga (Cu), Seng (Zn), dan Nikel (Ni), serta APHA, ed. 21, 2001 3500 untukjenis Chromium heksavalen (Cr6+). Analisis logam berat pada kolom air mengikuti metodeAPHA, ed. 21, 2005, 3110 untuk jenis Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Timbal (Pb), Seng (Zn),Nikel (Ni). Adapun analisis untuk Arsen (As) dan Raksa (Hg) mengikuti APHA, ed 19, 19953500. Metode APHA, ed. 21, 2001 3500 digunakan untuk Khromium heksavalen (Cr6+). Penilaian pencemaran logam berat pada kolom air mengacu pada standar baku mutu yangdigunakan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen-LH) No. 51 Tahun 2004(Lampiran untuk Biota Laut). Adapun untuk baku mutu logam berat pada sedimen mengacupada standar Australian and New Zealand Environment and Conservation Council (ANZECC)2000 yang tertuang dalam dokumen Australian and New Zealand Guidelines for Fresh andMarine Water Quality Paper No. 4 Volume 1. Parameter pendukung seperti pH diukur di lokasimenggunakan pH meter, salinitas dengan refraktometer portable, dan dissolved oxygen (DO)menggunakan DO meter. Analisis konsentrasi chemical oxygen demand (COD) menggunakanmetode pengukuran berdasar APHA, ed. 21, 2005, 5220-D.3. Hasil dan Pembahasan Hasil analisis parameter pendukung lokasi, waktu dan karakteristik ditampilkan padaTabel 1. 46

Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume 2, Nomor 2, 2015 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5572Tabel 1. lokasi, waktu, karakteristik dan parameter kualitas perairan di lokasi penelitianSt. Sub St. Kec. Desa Koordinat Tanggal Time Depth Sal DO COD Labo Bero 25/07/11 9:37 (m) (‰) 7,0 6,1 1a Labo Bero S 08⁰31'50.4'' 25/07/11 8:45 8,741 Tano E 116⁰51'12.2'' 25/07/11 8:00 14 34 10,32 S 08⁰32'50.4'' 15,58 1b Poto Tano E 116⁰51'05.1'' 9 34 8,2 10,32 S 08⁰31'59.4'' 9,791c E 116⁰50'19.3'' 6 34 7,8 9,26 12,952 2a Poto Tano Tambak S 08⁰33'04.7'' 24/07/11 17:30 13 34 7,5 10,32 2b Poto Tano Sari E 116⁰49'56.7'' 24/07/11 17:00 13 34 7,4 6,63 3a Sapekek S 08⁰34'24.2'' 24/07/11 16:20 9 34 7,5 11,89 E 116⁰49'09.7'' 24/07/11 14:00 10 34 7,8 13,473 3b Sagena S 08⁰34'38.5'' 24/07/11 13:00 2 33 7,6 8,21 3c Kuang E 116⁰48'55.4'' 11,37 Busir S 08⁰36'47.1'' 14,59 Tua Nanga E 116⁰46'50.7'' 12,95 S 08⁰39'38.2'' E 116⁰45'16.3'' 4a Kertasari S 08⁰42'13.3'' 26/07/11 9:20 1,5 35 7,34 E 116⁰46'37.2'' 4b Taliwang Kertasari S 08⁰42'37.8'' 26/07/11 9:50 1,5 35 7,3 E 116⁰46'21.1'' 4c Kertasari S 08⁰43'05.9'' 26/07/11 10:19 6 34 7,7 E 116⁰46'52.9'' 5a Labu Lalar S 08⁰49'10.9'' 26/07/11 12:19 6 35 7,35 E 116⁰48'33.7'' 5b Taliwang Labu Lalar S 08⁰49'22.9'' 26/07/11 12:55 5,5 35 7,7 E 116⁰48'06.5'' 5c Labu Lalar S 08⁰49'22.8'' 26/07/11 13:16 7 34 7,5 E 116⁰47'51.7''6 6a Jereweh Jelenga S 08⁰50'58.0'' 26/07/11 14:17 3,5 34 7,4 6b Jelenga E 116⁰45'55.0'' 26/07/11 14:50 2 33 7,2 S 08⁰50'37.7'' E 116⁰46'04.1'' Kondisi parameter kualitas perairan (i.e., salinitas, DO, dan COD) di lokasi penelitindiduga masih pada tahap normal. Konsentrasi salinitas dan DO yang diperoleh menunjukkanmasih dalam kisaran baku mutu yang diperbolehkan oleh Kepmen LH No. 51 Tahun 2004.Dimana baku mutu untuk salinitas berkisar antara 33-34 ‰, dan DO dibawah > 5 mg/L.Sedangkan konsentrasi COD masih dapat ditolerir, dimana merujuk pada Keputusan MenteriNegara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No: Kep-02/MENKLH/I/1988, dengan kisarannilai yang dinginkan adalah ≤ 40 mg/L dan ≤ 80 mg/L. Hasil analisis menunjukkan konsentrasi hampir semua logam berat (i.e. Hg, Cr6+, As, Cd,Pb, Ni, Zn) pada kolom air (Tabel 2) berada di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 (untuk Biota Laut). Hanya logam berat Cu yang berada di atas standarbaku mutu, dan dijumpai pada semua stasiun (0.009 – 0.343 mg/L). 47


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook