["tempat terbuka, dan tiba-tiba dia berhenti menyerang, dan berucap. \u201cAku senang kau datang Dik. Kau berani. Apakah kau hendak teruskan tantanganmu ini?\u201d \u201cLangkah sudah dilangkahkan Mas, aku tak akan mundur.\u201d \u201cBaiklah, tetapi aku hendak bicara dahulu sedikit.\u201d \u201cSilahkan, Mas.\u201d \u201cDik, kau orang baru masuk ke daerah kami. Hendak mencari nafkah janganlah ke desa kami., dan desa-desa lain di sini. Masih Banyak daerah lain tempat mencari naflkah. Pergilah Baik-baik. Kita semua sama- sama mencari hidup dengan cara kita. Tetapi aku harus membela daerah ini, jika orang lain mencoba masuk. Aku undang kau kemari untuk menyampaikan ini.\u201d Lawannya yang kelihatan lebih muda dari dia berkata, \u201cSaya mengerti Mas, tapi saya tidak bisa mundur.\u201d \u201cSayang adik masih muda. Kalau aku ajak kau ikut dengan aku?\u201d \u201cTidak Mas,, aku tak hendak diperintah siapa pun juga.\u201d \u201cSayang, \u201c katanya lagi, \u201c karena orang seperti kita seharusnya tidak saling bermusuhan dan berbunuhan. Kita punya nasib sama. Kita bukankah orang-orang terbuang, sejak tanah-tanah nenek moyang kita dari tangan mereka, dan kita harus turun-temurun hidup dari keberanian dan keahlian kita berkelahi? Hanya itu modal kita. Kau sudah beristri Dik?\u201d tanyanya. \u201cBelum.\u201d Oh, karena itu engkau tidak mau ,berpikir lebih panjang sedikit. Masihkah kau hendak meneruskan ini?\u201d Tiba-tiba lawannya melopmpat menyerang., dia mengelak cepat, dan lawannya cukup berkata, \u201cCukup Mas, kata-kata tidak menyelesaikan perkara di anatar kita.\u201d 93","Dan mereka berhantam lagi beberapa jurus. Ternyata lawannya cukup tangguh, kuat dan cepat. Beberapa kali dia terdesak, akan tetapi pengalamnnya melepaskannya dari desakan. Sesekali dia melakukan penyerangan, bertubi-tubi, tendangan, pukulan tangan kanan dan kiri, tendangan waktu membalikkan badan, semuanya dilakukan untuk mengukur keampuhan lawannya. Dia senang melihat nafasnya tidak terengah-engaH. Dia senang merasa pe.luh mengalir membasahi badannya. Setelah lima belas menit kedua belah pihak saling mencoba mencari tempat masuk melalui pertahanan masing-masing, dia merasa kondisi badannya, kesiagaannya, kecepatannya, dan kemampuannya telah berkembang mencapai puncaknya. Tiba-tiba dia menghentikan serangannya, dan berhenti, beridiri tenang, bersikap siap sedia, matanya bertaut ke mata lawannya. Lawannya merasakan sesuatu berubah. Perkelahian mereka seakan telah mencapai taraf baru, yang menentukan. Lawannya jadi berhati-hati, bergerak perlahan-lahan, siap membela diri atau menyerang, melangkah perlahan mengelilinginya, dan dia ikut memutar badannya mengikuti gerak dan langkah lawannya. Dia merasa tenang danbtentram dalam dirinya, nafasnya mengalir dengan teratur, dan tiap dia menarik nafas, dia merasa kekuatan dalam dirinya bertambah besar, dan dia memerintahkan dengan kemauannya agar kekuatan yang berkumpul dalam dirinya mengalir ke kedua kakinya, sampai ke ujung kakin, ke kedua tangannya sampai ke ujung jari-jarinya, dan ke seluruh relung tubuhnya. Dia merasa kuat, kuat, kuat, dan tiba- tiba seluruh kekuatan diledakkannya, dia melompat menyerang, kakinya, kiri dan kanan, tanganya, kiri dan kanan, kepalan tinjunya semua bergerak dengan cepat. 94","Semuanya terasa mudah dan ringan olehnya, dia tak merasa gerakan yang demikian cepat dan keras meletihkannya. Gerakan-gerakan itu seakan terjadi sendiri, mudah, ringan, dan lancar baginya. Lawannya tak kurang tangguhnya. Serangan tendangan dan pukulan-pukulan pertama yang datang dengan cepat dielakkannya dengan baik, serangan datang bertambah cepat, terus juga ditahan dan dielakkannya. Serangan yang datang bertambah cepat, bertambah cepat, dan bertambah cepat, satu pukulan masuk, yang lain dielakkannya, pukulan masuk lagi, masuk lagi, masuk\u2026 lawannya terhoyong sedikit, segera memperbaiki sikap dan pertahanannya, pertahanan lawan telah dapat digoyahkannya, dan dia terus menyerang, lebih cepat, lebih cepat, dan sebuah tendangan masuk, lawannya terdorong ke belakang, berdiri goyah, dan sebuah lagi tendangan dilepaskannya, dan lawannya jatuh ke tanah dan dia melompat mendekati kepada lawannya, sebelah kakinya terangkat akibat melepaskan tendangan ke kepala lawannya, tetapi sesuatu menahannya, dan dia menurunkan kakinya ke tanah. Lawannya mencoba mengangkat badannya, tetapi jatuh kembali. Kemudian dia membuka matanya dan memandang pada lawannya yang telah mengalahkannya. \u201cMengapa Mas tidak sudahi?\u201d pintanya. \u201cKau masih muda Dik, pergilah.\u201d Dia membalikkan badannya, dan melangkah ke dalam hutan jati, menuruni bukit, dan melintasi sawah, jauh dari orang- orang kampung yang dsudah mulai bekerja. Dia tahu, akibat apa yang telah dilakukakannya. Kemungkinan besar lawannya akan mendendamnya seumur hidup dan akan selalu membalas dendamnya itu, mencoba membunuhnya. Yang paling baik yang seharuusnya dilakukan adalah membunuh lawannya. Bukannya dia tak pernah membunuh orang. Sejak ayahnya meninggal dia telah membunuh tiga orang. 95","Ayahnya sendiri dikabarkan sedikitnya telah membunuh dua belas orang selama hidupnya. Tetapi tadi ketika dia hendak melepaskan tendangan mautnya ke kepala lawannya, tiba-tiba saja di matanya terbayang anaknya yang masih tidur berselimut kain sarung sampai ke kepala. Sejak anaknya jadi besar, dan telah mulai bersekolah; dia merasa tak ingin anaknya menggantikannya, dan mengikuti cara hidupnya. Hidup yang bertumpu pada kejagoan berkelahi, kejagoan membunuh, merampok, mencuri, hidup dengan perbuatan yang satu hari harus dibayar dengan nyawa atau hukuman penjara. Benang merah kehidupan mereka turun-temurun harus diputuskan dengan diriku, katanya pada dirinya sendiri. Dia gemetar takut membayangkan seandainya anaknya yang dewasa, seorang muda, tergeletak dalam tempat terbuka di hutan jati, menunggu tendangan maut ke kepalanya seoerti yang terjadi tadi dengan lawannya. Dia teringat pada isterinya, ibu anaknya. Dan pada waktu yang bersamaan dia merasa pula tak berdaya mengubah hidupnya. Dia ingat, ketika dia mengembara menuntut ilmu silat, di berbagai tempat bertemu dengan berbagai macam orang, dan dalam berbagai percakapan ada yang mengatakan bahwa, nasib orang kecil, orang yang tak memiliki tanah, tani yang menggarap tanah milik orang lain, mereka yang mengganggur di desa-desa, nasib mereka hanya dapat diperbaiki jika susunan masyarakat diubah, dan tanah dibagi-bagi pula pada mereka yang tidak punya tanah. Banyak tanah rakyat dahulu, kata nereka, dirampas orang Belanda, dijadikan tanah-tanah perkebunan besar. Akibatnya rakyat banyak yang tidak memiliki tanah lagi. Mendengar kat-kata demikian, hatinya merasa oenuh harap, akan tetapi harapannya tidak kunjung tercapai, dan kini dia merasa harapan itu hanya akan tinggal harapan saja. 96","Tiba di jalan ke kampungnya, dia berpapasan dengan orang kampung yang menyapanya, dan dia membalas menyapa mereka kembali. Tetapi selalu dia merasa, bahwa meskipun dia warga kampung mereka, namun, berada di luar masyarakat kampung. Dia juga merasa bimbang apakah dia akan mengajar anaknya ilmu silat. Anaknya telah berumur delapan tahun, dan sebenarnya telah dapat mulai belajar ilmu silat. Tetapi jika dia mengajar anaknya ilmun silat, apstilah anaknya akan mengikuti jejaknya, seperti dia mengikuti jejak ayahnya, dan seperti ayahnya mengikuti jejak neneknya, dan neneknya mengikuti jejak ayahnya, dan demikian seterusnya. Sebaliknya seandainya dia tidak menurunkan ilmu silatnya pada anaknya, akan jadi apa anaknya nanti? Mereka tidak punya tanah, kecuali sepotong kecil tanah tempat rumah mereka berdiri. Anaknya akan menjadi penganggur di desa? Anaknya akan menjadi penggarap tanah milik orang lain, hidup penuh dengan kemelaratan tanpa harapa sepanjang umurnya? Ketika dia tiba di rumahnya, anaknya telah pergi sekolah, dan isterinya telah menyediakan sarapan pagi untuknya. Isterinya telah menyediakan sarapan pagi untuknya. Isterinya tidak bertanya ke mana dia pagi-pagi buta telah meninggalkan rumah. Isterinya tak pernah menanyakan dari mana dia mendapat uang, yang sewaktu-waktu diberikannya kepada isterinya. Sesekali banyak, sering sedikit, dan terkadang cukup lama dia tak memberi uang. Isterinya telah biasa untuk menjaga agar belanja dapur mereka diulur selama mungkin. Dia sendiri tiap ada kesempatan bekerja, membantu panen di sawah, menumbuk beras, ah, tak banyak kerja tersedia dalam desa. Sorenya, ketika mereka makan, dia berkata kepada isterinya, \u201cAku sudah pikir-pikir, hidup kita begini tidak bisa terus. Kita tidak punya apa-apa.\u201d 97","Isterinya diam, tidak berkata apa=apa. Sebulan kemudian dia pergi ke kantor lurah, dan mencatatkan dirinya, isteri dan anaknya untuk calon transmigrasi ke luar Jawa. Setelah tiga bulan dia tidak juag mendapat berita, dan lurah tidak bisa memberikan penjelasan padanya, sedang beberapa kepala keluarga di kampungnya dan beberapa kampung berdekatan telah berangkat, dia mencari sendiri keterangan. Seorang pegawai kantor kecamatan yang dikenalnya akhirnya menunjukkan padanya bahwa dia ditolak sebagai transmigran dengan alasan, karena dia dikenal sebagai seorang\u2026\u2026\u2026\u2026\u2026bromocorah! Dia tidak terkejut. Dia telah menduga demikian. Sebagai telah dibayangkannya sendiri, bagi orang seperti dia, tidak ada jalan keluar. Hanya kalau masyarakatnya bisa berubah, baru hidupnya bisa berubah. Dia kembali ke rumahnya. Setelah anaknya pulang sekolah, petang hari diajaknya anaknya ke tegalan sepi dekat puncak bukit jauh di luar desa. \u201cAyo, tole!\u201d dia berseru kepada anaknya. Dan dia mulai mengajar anaknya ilmu silatnya! Mochtar Lubis, dalam Bromocorah, 1993) Sumber: https:\/\/www.google.com\/search?q=oleh+mochtar+lubis+d alam+bromocorah+1993 Tes Formatif Bacalah sebuah cerpen yang dimuat dalam Surat Kabar Kompas atau majalah Horizon. Kajilah cerrpen tersebut berdasarkan unsur-unsur yang membangunnya. Pedomani uraian materi di atas! 98","Umpan Balik dan Tindak Lanjut Carilah sebuah hikayat yang ada dalam wilayah Propinsi Jambi. Cari juga dan baca sebuah novel yang dikarang oleh Iwan Simatupang atau Marianne Katoppo! Bandingkan kedua karya satra tersebut. Kajilah cerpen dan novel tersebut dari segi penanda mengapa disebut cerpen dan mengapa yang satunya lagi disebut nocel. Uraikan berdasarkan hasil bacaan Saudara. Untuk kedua hal ini, konsultasikan dulu dengan dosen mata kuliah Kajian Prosa Fiksi. Laporakan kajian Saudara dalam bentuk tulisan ilmiah. 99","BAB VI UNSUR-UNSUR DALAM PROSA FIKSI 6.1 Setting Sebuah peristiwa dalam cerita fiksi selalu dilatarbelakangi oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Akan tetapi, dalam karya fiksi, setting bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis. Ia juga memiliki fungsi psikologis sehingga setting pun mampu menuansakan makna tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya. Uraian di atas memberikan simpulan kepada kita bahwa setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Untuk membedakan setting yang bersifat psikologis itu telaahlah kutipan paragraf cerita di bawah ini baik-baik! Anak kecil itu masih duduk sendiri di atas gundukan sampah yang menjulang. Di tangannya tergenggam kertas-kertas bekas, sementara di sebelah kanannya tumpukan kertas-kertas, kardus pilihan yang dikumpulkannya. Matanya yang kecil dan menis itu melihat ke atas, memandang fajar yang pelan-pelan memancarkan sinar. (\u201cburik\u201d,N.K.S Hendrowinoto) 100","Setelah membaca kutipan di atas, Saudara tentunya dapat menunjukkan setting tertentu, meliputi: 1. gundukan sampah yang menjulang, 2. tumpukan kertas dan kardus pilihan, serta 3. fajar yang pelan-pelan memancarkan sinar. Dalam rangka membangun logika peristiwa dalam suatu cerita, ketiga setting itu memiliki fungsi yang bersifat fisikal. Akan tetapi, pada sisi lain setting itu juga mampu mengajuk perbedaan makna tertentu, misalnya dengan melihat ada anak-anak kecil yang pagi-pagi sudah duduk- duduk di gundukan sampah, dan bukannya masih lelap tertidur di atas kasur, pembaca sudah dapat memastikan bahwa anak kecil tersebuttentu anak seorang yang tidak mampu. Hal itu diperjelas dengan adanya setting berupa tumpukan kertas dan kardus pilihan si anak. Akan tetapi, meskipun ia anak kecil dari golongan bawah; pada sisi lain juga masih diberi setting berupa fajar yang memancarkan sinar. Pemberian setting itu dalam hal ini juga memberikan perbedaan makna tertentu, mungkin ada harapan bahwa anak kecil tersebut suatu saat akan menjumpai kehidupan yang lebih baik, atau mungkin juga pemberian tanda bahwa meskipun sekarang nasib anak itu menderita, di depan masih menunggu sejuta harapan. Selain itu, pemberian setting itu juga akan mampu mengajuk emosi pembaca, mungkin rasa iba atau sedih. Setting yang mampu menuansakan makna tertentu serta mampu mengajuk emosi pembaca demikian itulah yang disebut dengan setting yang bersifat psikologis atau metaforis. Di sisi lain ada ahli yang mengatakan bahwa setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu. Setting juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, 101","maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menghadapi suatu problema tertentu. Setting dalam bentuk ini dimasukkan ke dalam setting yang bersifat psikologis. Dari keseluruhan uraian di atas, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara setting yang bersifat fisikal dengan yang bersifat psikologis adalah: 1. Setting yang bersifat fisikal berhubungan dengan tempat, misalnya kota, daerah, pedesaan, pasar, sekolah, dan lain-lain, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan makna apa-apa, sedangkan setting psikologis adalah setting berupa lingkungan atau benda- benda dalam lingkungan tertentu yang mampu menuansakan suatu makna serta mampu mengajuk emosi pembaca. 2. Setting fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik; sedangkan setting psikologis dapat berupa suasana maupun sikap serta jalan p[ikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu, 3. Untuk memahami setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat dari apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penfsiran. 4. Terdapat saling pengaruh dan tumpah tindih antara setting fisikal dengan setting psikologis. 6.2 Gaya Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin Stilus dan mengandung arti leksikal \u201ealat untuk menulis\u201f. Dalam karya sastra, istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media 102","bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dalam suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Sejalan dengan uraian pengertia gaya di atas, Scharbach menyebut gaya \u201csebagai hiasan, sebagai suatu yang suci, sebagai sesuatu yang indah dan lemah gemulai serta sebagai perwujudan manusia itu sendiri\u201d. Bagaimana cara seorang pengarang mengungkapkan gagasannya dalam wacana ilmiah dengan cara pengarang dalam kreasi cipta sastra, dengan demikian akan menunjukkan adanya perbedaan meskipun dua pengarang itu berangkat dari satu ide yang sama.pengarang dalam wacana ilmiah akan menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandungmakna konotatif. Sedangkan pengarang dalam wacana sastra justru akan menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, replektif, asosiatif, dan bersifat konotatif. Selain itu, tatanan kalimat- kalimatnya juga menujkkan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan hanya nuansa makna tertentu saja. Oleh sebab itulah masalah gaya dalam sastra akhirnya juga berkaitan erat dengan masalah gaya dalam bahasa itu sendiri. Bila berbicara tentang masalah gaya, pada akhirnya kita memang tidak dapat lepas dari pembicaraan tentang: 1. Masalah media berupa kata dan kalimat, 2. Masalah hubungan gaya itu sendiri, baik dengan kandungan makna dan nuansa maupun keindahannya, serta 3. Seluk beluk ekspresi pengarangnya sendiri yang akan berhubungan erat dengan masalahy individual kepengarangan maupun konteks sosial masyarakat yang melatarbelakanginya. 103","6.3 Tokoh, Penokohan, dan Perwatakan Peristiwa dakam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Hakikat tokoh, penokohan, dan perwatakan dikemukakan oleh beberapa penulis, di antaranya adalah Waluyo (2006), Sumadrjo dan Saini (1997), Semi (1988), dan Aminuddin (2002). Tokoh merupakan bagian penting dalam drama. Tanpa adanya tokoh, cerita tidak berjalan dan tidak akan terbentuk konflik-konflik. Konflik ini hanya mungkin diciptakan oleh tokoh-tokoh yang mempunyai karakter berlainan. Peran tokoh akan berarti apabila penempatannya selaras dengan suasana yang dikehendaki. Sumardjo dan Saini (1997:31) menyatakan: Cerita yang disajikan dalam sastra drama, walau kadang-kadng dialami oleh binatang atau mahluk lain, umumnya dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang berupa manusia. Dengan demikin dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa yang di gambarkan dalam plotPelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan. Boulton mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan dirinya sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi 104","sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, sepatu, dan lain-lainnya. Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatui cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena kemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tambahan pembantu. Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh tambahan dalam suatu cerpen pembaca dapat menentukannya dengan jalan melihat keseringan kemunculannya dalam suatu cerita. Selain lewat memahami peranan dan keseringan pemunculannya, dalam menentukan tokoh utama serta tokoh utama dapat juga ditentukan lewat petunjuk yang diberikan oleh pengaramngnya. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya. Selain itu, lewat judul cerita anda juga dapat menentukan siapa tokoh utamanya. Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia kahidupan sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu. Sehubungan dengan watak ini, tentunya Saudara sudah mengetahui apa yang disebut dengan pelaku yang protagonis, yaitu pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca. Pelaku antagonis yakni pelaku yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan pembaca. Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya lewat: (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpkaian, (3) 105","menunjukkan bagaimana perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5) memahami bagaiman jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan rekasi terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya. Pemahaman watak seseorang juga dapat diketahui lewat apa yang dibicarakan orang lain terhadapnya. Begitu juga pergaulan seseorang dengan yang lain, kita sering kali dapat menebak watak yang dimilikinya. Seseorang yang suka berbincang dengan berkacak pinggang, bibir terkatup tanpa senyum ramah, dapat ditebak bagaimana watak yang dimilikinya. Diperkirakan orang ini memiliki watak yang sombong, pemarah, dan kasar. 6.4 Alur Alur dalam karya fiksi adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alaur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam. Loban dalam Aminuddin (1987) menggambarkan gerak tahapan alur cerita seperti halnya gelombang. Gelombang yaitu berawal dari (1) eksposisi, (2) komplikasi atau intrik- intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik hingga menjadi konflik, (3) klimaks, (4) revelasi atau penyingkapan tabir suatu problema, dan (5) denoument atau penyelesaian yang membahagiakan, yang dibedakan dengan catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan, dan solution yakni penyelesaian yamng 106","masih bersifat terbuka karena pembaca sendirilah yang dipersilakan menyelesaikan lewat daya imajinasinya. Istilah lain yang digunakan untuk alur atau kerangka cerita adalah plot. Secara sederhana, plot atau alur dapat dikatakan sebagai rangkaian atau urutan peristiwa dalam cerita. Waluyo (2006) menyebut alur dengan istilah plot atau kerangka cerita. Secara jelas Waluyo (2006:6) menjelaskan sebagai berikut. Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan. Konflik itu berkembang karena kontradiksi para pelaku. Sifat dua tokoh utama bertentangan, misalnya kebaikan kontra kejahatan, tokoh sopan kontra tokoh brutal, tokoh pembela kebenaran kontra bandit, tokoh kesatria kontra penjahat, tokoh bermoral kontra tokoh tidak bermoral, dan sebagainya. Konflik semakin lama semakin meningkat untuk kemudian mencapai titik klimaks. Setelah klimaks lakon menuju penyelesaian. Sebagai perbandingan tetang alur, Nurgiyantoro (1994) mengungkapkan bahwa untuk mengetahui wujud struktur sebuah karya, diperlukan kerja analisis. Dari sinilah kita dapat mendeskripsikan plot (alur) suatu karya, kesamaan dan perbedaan karya yang lain. Alur atau plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis sudut yang berbeda berdasarkan sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula berdasarkan dari kreteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatan. Istilah plot atau alur lurus, (progresif), yaitu jika peristiwa peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa yang kemudian. Naskah yang menggunakan alur ini secara runtun cerita dimuali dari tahap awal sampai penyelesaian (penyesuasian, pengenalan, klimaks, dan akhir penyelesain). 107","Selanjutnya, dikenal istilah plot atau alur sorot balik (flash-back). Alur jenis ini menggambarkan urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya yang berplot regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai pada tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika) melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang menggunakan plot jenis ini langsung menyuguhkan adegan-adegan konfik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Pembaca, belum lagi dibawa masuk mengetahui situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konfik dan pertentangan itu. Semuanya itu dikisahkan justru sesudah peristiwa-peristiwa yang secara kronologis terjadi sesudahnya. Plot sebuah karya yang langsung menghadapkan pembaca kepada adegan-adegan konflik yang sudah meninggi, langsung menerjunkan pembaca ke tengah pusat pertentangan disebut sebagai plot in median res. Hal lain, ada plot atau alur campuran. Plot jenis ini berplot lurus kronologis atau sebaliknya sorot-balik. Secara garis besar plot mungkin progresif tetapi sering terdapat adegan-adegan sorot-balik. Demikian pula sebaliknya. Bahkan sebenarnya, boleh dikatakan, tak mungkin ada sebuah cerita pun yang mutlak menggunakan plot atau alur sorot balik. Hal itu disebabkan jika demikian terjadi, pembaca akan sangat sulit untuk dikatakan tidak bisa, mengikuti kisah yang diceritakan yang secara terus-menerus dilakukan secara mundur. Pengkategorian plot sebuah karya progresif atau flash-bach, sebenarnya, lebih didasarkan pada mana yang lebih menonjol. Hal itu disebabkan pada kenyataan pada umumnya mengandung keduanya, atau berplot campuran; progresif-regresif. Untuk mengetahui secara pasti kelompok peristiwa (yang mendukung satu kesatuan makna) yang tergolong progresif-kronologis 108","atau sorot-balik, kita dapat melihat secara sintakmatik dan prakdigmatik semua peristiwa (motif dan sekuen unutk istilah tersebut) yang ada dengan mensejajarkan keduanya. Di samping itu, kita dapat mencari dan mengetahui bagaimana saling terkaitnya antara kejadian yang dikisahkan. Alur merupakan rentetan peristiwa dalam cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara tokoh yang berperan dalam naskah. Konflik berkembang karena kontradiksi para pelaku. Sifat tokoh utama itu bertentangan, misalnya: kebaikan kontra kejahatan, tokoh sopan kontra tokoh brutal, tokoh pembela kebenaran kontra bandit, dan sebagainya. Konflik semakin lama semakin meningkat untuk kemudian mencapai titik klimaks. Setelah klimaks lakon akan menuju penyelesaian. Hasanuddin (2009:90) menyatakan: Alur sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa yang saling berhubungan secara kuasalitas akan menunjukan kaitan sebab akibat jika hubungan klausalitas peristiwa terputus dengan peristiwa yang lain maka dapat dikatakan bahwa alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang memiliki kausalitas sesama peristiwa ynag ada didalam sebuaah (teks) drama. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa bagaimana pengarang mengungkan gagasan atau idenya sehingga terjalin sebuah peristiwa yang indah dan enak dibaca, itulah yang disebut plot atau alur. Perbedaan caranya memulai, memadu, dan mengakhiri ceritalah yang menentukan jenis plot atau alur apa yang digunakannya. Istilah penokohan sering dikacaukan dengan istilah perwatakan. Sebenarnya, keduanya itu merupakan dua istilah yang berbeda namun sangat berhubungan. 109","Waluyo (2006:14) menyatakan \u201cPenokohan erat hubungannya dengan perwatakan\u201d. \u201cPenokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita\u201d (Kosasih, 2012:67). Sejalan dengan hal itu, Aminuddin (2002:79) menyatakan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan. Semi (1988) menjelaskan bahwa ada dua jenis penokohan, yaitu secara analitik dan secara dramatik. Penokohan secara analitik yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya. Penokohan secara dramatik yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan langsung tetapi hal itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh, penggambaran fisik atau postur tubuh, dan melalui dialog, baik dialog yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain. Sejalan dengan konsep Semi, Hudson (1963:146-147) menyatakan bahwa tokoh dapat ditampilkan secara dramatik dan analitik. Secara dramatik watak tokoh ditampilkan lewat gambaran ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelaku lain. Secara analitik, tokoh digambarkan langsung oleh pencerita. Pendramatisasian tokoh dapat berbentuk: cakapan atau dialog, pikiran tokoh, atau apa yang melintas dalam pikirannya, stream of conciousness yang menunjukkan arus bawah sadar. Secara konkret dapat berupa monolog atau solilokui, perbuatan dan sikap tokoh, lukisan fisik, dan lukisan kata. Nurgiyantoro (1994:248) meyatakan \u201cPenokohan sekaligus merujuk pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita\u201d. Sejalan dengan penokohan, dikenal istilah perwatakan. Perwatakan adalah kualitas tokoh, kualitas 110","nalar, dan jiwa tokoh yng membedakan dengan tokoh lain. Perwatakan adalah pelukisan karakteristik tokoh melalui sifat-sifat, sikap, dan tingkah laku yang lebih menunjukkan pada kualitas pribadi sesuai penafsiran pembaca. Waluyo (2006:17) menyatakan bahwa watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional). Penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis, psikologis, sosiologis). Keadaan fisik biasanya dilukiskan paling dulu, baru kemudain sosialnya. Pelukisan watak pemain dapat langsung pada dialog yang mewujudkan watak dan perkembangan lakon, tetapi banyak juga kita jumpai dalam catatan samping (catatan teknis). 6.5 Titik Pandang Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang atau biasa diistilahkan dengan point of view atau titik kisah meliputi (1) narrator omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator observer omnicient, dan (4) narrator the third person omnicient. Narrator omniscient adalah narator atau pengisah yang juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Karena pelaku juga adalah pengisah, maka akhirnya pengisah juga merupakan penutur yang tahu tentang apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya, baik secara fisikal maupun psikologis. Dengan demikian, apa yang terdapat dalam batin pelaku serta kemungkinan nasibnya, pengisah atau narator juga mampu memaparkannya meskipun itu hanya berupa lamunan pelaku tersebut atau merupakan sesuatu yang belum terjadi. Narrator observer adalah bila pengisah hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para 111","pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batiniah para pelaku. Bila dalam narrator omnicient, pengarang atau pengisah menyebut pelaku utama dengan nama pengarang sendiri, saya atau aku, maka dalam narrator observer pengarang menyebutkan nama pelakuknya dengan ia, dia, nama-nama lain, maupun mereka.Pembuatan keterbatasan pemahaman pengarang terhadap gejala dan karakteristik batin para pelaku, sebenarnya juga sesuai dengan keterbatasan pemahaman kita terhadap karakteristik kejiwaan orang lain yang kebetulan kita amati. Berkaitan dengan narator observer, dalam narrator omnicient pengarang meskipun hanya menjadi pengamat dari pelaku, dalam hal itu juga merupakan pengisah atau penutur yang serba tahu meskipun pengisah masih juga menyebut nama pelaku dengan ia, mereka, maupun dia. Hal itu memang masih mungkin terjadi karena pengarang prosa fiksi adalah juga pencipta dari para pelaku dalam prosa fiksi yang dipaparkannya. Ibaratnya, pengarang adalah juga dalang. Dalam hal itu memang pengarang bukan hanya tahu tentang ciri-ciri fisikal dan psikologis pelaku secara menyeluruh, melainkan juga sewajarnya tahu tentang nasib yang nantinya dialami para pelaku. Dalam cerita fiksi, mungkin saja pengarang hadir di dalam cerita yang diciptakannya sebagai pelaku ketiga yang serba tahu. Dalam hal ini, sebagai pelaku ketiga pengarang masih mungkin menyebut namanya sendiri, saya, atau aku. Sebagai pelaku ketiga yang tidak secara langsung dalam keseluruhan satuan dan jalinan cerita, pengarang dalam hal ini masih merupakan juga sebagai penutur yang serba tahu tentang ciri-ciri fisikal, psikologis, maupun kemungkinan kadar nasib yang nanti dialami oleh para pelaku. 112","6.6 Tema Istilah tema menurut Scharbach dalam Aminuddin (1987) berasal dari bahasa Latin yang berarti \u201etempat meletakkan suatu perangkat\u201f. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sebab itulah penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan pembaca umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut. Lebih lanjut Scharbach dalam Aminuddin (1987) menjelaskan bahwa tema is not synonymous with moral or message....theme does relate to meaning and purpose, in the sense. Karena tema adalah kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa fikso oleh pengarangnya, maka untuk memahami tema, seperti telah disinggung di atas, pembaca terlebih dahulu harus memahami unsur-unsur signifikan yang membangun suatu cerita, menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan pengarangnya. Di sisi lain, Brooks dalam Aminuddin (1987) mengungkapkan bahwa dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal. Tema dalam hal ini tidaklah terumus dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi tersebar di balik keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemapar prosa fiksi. Dalam upaya 113","pemahaman tema, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut secara cermat. 1. Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca. 2. Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca. 3. Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran, serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca. 4. Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca. 5. Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan- satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. 6. Menentukan sikap pengarang terhadap pokok- pokok pikiran yang ditamp[ilkannya. 7. Mengidentifikasikan tujuan pengarang dalam memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap pengarang terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. 8. Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya. 6.7 Amanat Amanat merupakan opini, kecendrungan dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal kesemunya itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan karakteristik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar dan ruag cerita (Hasanuddin, 2009). Amanat yang disampaikan dalam sebuah karya sastra tidak jauh dari tema yang diberikan oleh 114","pengarang. Amanat yang terdapat dalam cerita atau karya sastra lebih dari satu yang terkandung dalam teks karya sastra tersebut. Rangkuman 1. Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. 2. Setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana, serta benda- benda dalam lingkungan tertentu. Setting juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menghadapi suatu problema tertentu. Setting dalam bentuk ini dimasukkan ke dalam setting yang bersifat psikologis. 3. Istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dalam suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. 4. Cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan. 5. Alur dalam karya fiksi adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alaur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita. 6. Gerak tahapan alur cerita berawal dari (1) eksposisi, (2) komplikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik hingga 115","menjadi konflik, (3) klimaks, (4) revelasi atau penyingkapan tabir suatu problema, dan (5) denoument atau penyelesaian yang membahagiakan, yang dibedakan dengan catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan, dan solution yakni penyelesaian yamng masih bersifat terbuka karena pembaca sendirilah yang dipersilakan menyelesaikan lewat daya imajinasinya. 7. Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang atau biasa diistilahkan dengan point of view atau titik kisah meliputi (1) narrator omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator observer omnicient, dan (4) narrator the third person omnicient. 8. Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. 9. Langkah-langkah dalam memahami tema adalah memahami setting, memahami penokohan dan perwatakan para pelaku, memahami satuan peristiwa, pokok pikiran, serta tahapan peristiwa, memahami plot atau alur cerita, menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita, menentukan sikap pengarang terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkannya, mengidentifikasikan tujuan pengarang dalam memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap pengarang terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya, dan menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam 116","satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya. Tugas 6 Carilah sebuah cerpen yang dimuat di koran terbitan Jambi! Pahamilah cerpen tersebut dan buatlah sebuah cerpen lain dengan berpedoman pada cerpen yang Saudara baca! Tema cerpen yang akan Saudara tulis tersebut boleh saja sama atau berbeda dengan tema cerpen yang Saudara baca. Tes Formatif 1. Jelaskanlah unsur-unsur yang terkandung di dalam prosa fiksi! 2. Apakah yang dimaksud dengan setting dalam prosa fiksi? 3. Apakah yang dimaksud dengan alur cerita? 4. Bagaimanakah cara memahami penokohan dan perwatakan dalam cerita prosa fiksi? 5. Adakah perbedaan antara titik pandang, tema, pokok persoalan, dan pesan dalam prosa fiksi? Tindak Lanjut dan Umpan Balik Diskusikanlah dengan anggota kelompok Saudara hal-hal yang berkaitan dengan setting, alur, penokohan, perwatakan, tema, dan amanat dalam cerpen yang telah Saudara buat sebagai latihan individu Saudara! 117","BAB VII PENDEKATAN DALAM MENGAPRESIASI SASTRA Pendekatan sebagai suatu prinsip dasar atau landasan yang digunakan oleh seseorang sewaktu mengapresiasi karya sastra dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan itu dalam hal ini lebih bahjyak ditentukan oleh (1) tujuan dan apa yang akan diapresiasi lewat teks sastra yang dibacanya, (2) kelangsungan apresiasi itu terproses lewat kegiatan bagaimana, dan (3) landasan teori yang digunakan dalam kegiatan apresiasi. Pemilihan dan penentuan pendekatan tersebut tentu sangat ditentukan oleh tujuan pengapresiasi itu sendiri. Bertolak dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi, pembaca dapat menggunakan sejumlah pendekatan meliputi: (1) pendekatan parafrasis, (2) pendekatan emotif, (3) pendekatan analitis, (4) pendekatan hiostoris, (5) pendekatan sosiopsikologis, dan (6) pendekatan didaktis. Sementara bila dikaitka dengan proses kelangsungan apresiasi menurut Olsen terdapat sejumlah pendekatan, meliputi (1) pendekatan emotif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan kognitif, (4) pendekatan semantic, dan (5) pendekatan structural. Sedangkan bila dikaitkan dengan landasan teori yang digunakan, dalam kegiatan apresiasi sastra terdapat sejumlah teori, meliputi (1) teori fenomenologi, (2) 118","hermeneutika, (3) formalisme, (4) strukturalisme, (5) semiotika, (6) teori resepsi, dan (7) teori psikoanalisis. Pendekataan yang berkaitan dengan cirri-ciri dan proses apresiasi serta landasan teori yang digunakan, beberapa di antaranya secara sepintas dibahas pada butir lain. Hal itu dimaksudkan untuk menambah ionformasi sebagai bahan masukan dalam rangka menentukan pemilihan pendekatan yang berkaitan dengan tujuan dan apa yang akan diapresiasi. Sementara pembahasan yang dipaparkan dalam buku ini sepenuhnya terpusat pada pendekatan yang hadir dengan bertolak dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi, untuk itu pun pendekatan parafratis dan emotif belum terbahas dalam buku ini. Uraian tentang pengertian setiap jenis pendekatan tersebut, prinsip dasar yang melatarbel;akanginya serta gambaran penerapannya dalam kegiatan apresiasi sastra dapat diuraikan sebagai berikut. 7.1 Pendekatan Parafratis Pengertian pendekatan parafratis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan pendekatan parafratis itu adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata-kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Aminuddin (1991) menyatakan bahwa pendekatan parafratis merupakan pendekatan yang melatih pembaca sastra untuk mengungkapkan kembali ide pengarang dengan menggunakan bahasa atau penafsiran individu 119","pembaca yang berbeda dengan yang digunakan pengarang tetapi masih mengandung tujuan yang sama. Menurut Aminuddin (1991) prinsip dasar dari penerapan pendekatan parafratis pada hakikatnya berangkat dari pemikiran bahwa (1) gagasan yang sama dapat disanpaikan lewat bentuk yang berbeda, (2) symbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambing atau bentuk lain yang tidak mengandung ketaksaan makna, (3) kalimat- kalimat atau baris dalam suatu cipta sastra yang mengalami pelesapan dapat dikembalikan kepada bentuk dasarnya, (4)pengubahan suatu cipta sastra baik dalam hal kata maupun kalimat yang semula simbolik dan eliptismenjadi suatu bentuk kebahasaan yang tidak lagi konotatif akan mempermudah upaya seseorang untuk memehami kandungan makna dalam suatu bacaan, dan (5) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri. Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa penerapan pendekatan parafrasis selain untuk mempermudah upaya pemahaman makna suatu bacaan, juga digunakan untuk mempertajam, memperluas, dan melengkapi pemahaman makna yang diperoleh pembaca itu sendiri. Sebab itu, dalam pelaksanaannya nanti, pendekatan parafrasis ini selain dapat dilaksanakan pada awal kegiatan mengapresiasi sastra juga dapat dilaksanakan setelah kegiatan apresiasi berlangsung. 7.2 Pendekatan Emotif Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan 120","keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik. Pendekatan emotif adalah suatu cara yang digunakan untuk menemukan unsur-unsur yang menyebabkan munculnya emosi dan perasaan pembaca. Wujudnya bisa berbentuk keindahan, gaya bahasa, penggambaran latar cerita yang menarik, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan ide, plot, dan penokohan. Artinya, pendekatan emotif berkaitan dengan usaha menikmati keindahan pengungkapan cerita oleh pengarang oleh pembaca, baik dari sisi ceritnya, rangkaian kejadian, maupun ide yang dianggap menarik. Pendekatan emotif disebut juga sebagai usaha memahami dan menghayati unsur-unsur yang mampu menggugah atau mengajuk emosi pembaca, sementara unsur-unsur yang mampu memberikan ajukan emosi tersebut , pada dasarnya adalah juga unsur-unsur yang hadir dari kedalaman emosi pengarang serta daya ekspresi pengarang dalam mengolah segala realitas yang ada dan mungkin ada dalam kreasi penciptaan. Pendekatan emotif adalah pendekatan apresiasi karya sastra dengan cara menemukan unsur- unsur yang mengajuk emosi dan perasaan pembaca. Emosi yang dimaksud meliputi sedih, senang, lucu, gembira, jengkel, dansebagainya. Prinsip-prinsip dasar yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif ini adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bgian dari karya seni yang hadir di hadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan. Selanjutnya, dengan menerapkan pendekatan emotif inilah diharapkan pembaca mampu menemukan unsure- unsur keindahan maupun kelucuan yang terdapat dalam suatu karya sastra. 121","Oleh sebab itulah, dalam pelaksananan pendekatan emotif ini, pembaca akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang: Adakah unsur-unsur keindahan dalam cipta sastra yang akan saya baca ini? Bagaiman cara pengarang menampilkan keindahan itu? Bagaimana wujud keindahan itu sendiri setelah digambarkan pengarangnya? Bagaimana cara pembaca menemukan keindahan Itu? Serta berapa banyak keindahan itu dapat ditemukan? Selain berhubungan dengan masalah keindahan yang lebih lanjut akan berhubungan dengan masalah gaya bahasa seperti metaphor, simile, maupun penataan setting yang mampu menghasilkan panorama yang menarik. Penikmatan keindahan itu juga dapat berhubungan dengan penyampaian cerita, peristiwa, maupun gagasan tertentu yang lucu dan menarikl sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan kepada pembacanya. 7.3 Pendekatan Analitis Sewaktu berhadapan dengan sebuah cipta sastra, pembaca dapat menampilkan pertanyaan: Unsur-unsur apakan yang membangun cipta sastra yang saya baca ini? Bagaimanakah unsur-unsur itu ditata dan diolah oleh pengarangnya? Bagaimanakah peranan setiapunsur itu dan bagaimanakah hubungan antara unsur yang satu dengan lainnya? Dan, bagaimanakah cara memahaminya? Jika pembaca berusaha mencari jawaban dari keseluruhan pertanyaan itu, pada dasarnya pembaca telah melaksanakan atau menerapkan pendekatan analitis. Pengertian pendekatan analitis itu dengan demikian adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam 122","menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsic dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga mampu membangun totalitas bentuk meupun totalitas maknanya. Penerapan pendekatan analitis itu pada dasarnya akan menolong pembaca dalam upaya mengenal unsure- unsur intrinsic sastra yang secara actual telah bereada dalam suatu cipta sastra dan bukan dalam rumusan- rumusan atau defenisi seperti yang terdapat dalam kajian teori sastra. Selain itu, pembaca juga dapat memahami bagaimana fungsi setiap elemen cipta sastra dalam rangka membangun keseluruhannya. Dengan kata lain, pendekatan analitis ini adalah suatu pendekatan yang bertujuan menyusun sintesis lewat analisis. Lewat penerapan pendekatan ini diharapkan pembaca pada umumnya menyadari bahwa cipta sastra itu pada dasarnya diwujudkan lewat kegiatan yang serius dan terencana sehingga tertanamkan rasa penghargaan atau sikap yang baik terhadap karya sastra. Dalam kehadiran pendekatan analitis ini, prinsip dasar yang melatarbelakanginya adala anggapan bahwa (1) cipta sastra itu dibentuk oleh elemen-elemen tertentu, (2) setiap elemen dalam cipta sastra memiliki fungsi tertentu dan senantiasa memiliki hubungan antara yang satu denga lainnya meskipun karakteristik setiap elemen itu berbeda, (3) dari adanya cirri karakteristik setiap elemen itu, maka antara elemen yang satu dengan elemen elemen yang lain, pada awalnya dapat dibahas secara terpisah meskipun pada akhirnya setiap elemen itu harus disikapi sebagai suatu kesatuan. Dalam pelaksanaannnya, penerapan pendekatan analitis itu diawali dengan kegiatan membaca teks secara keseluruhan . Setelah itu, pe,mbaca menampilkan beberapa pertanyaan yang yang berhubungan dengan unsure-unsur intrinsic yang membangun cipta sastra 123","yang dibacanya. Misalnya, sewaktu pembaca mengapresiasi salah satu judul cerpen, lewat judul cerpen yang dibacanya itu, setelah pembaca melaksanakan kegiatan baca terhadap keseluruhan cerpen itu secara skimming, pembaca lebih lanjut menampilkan pertanyaan-pertanyaan, misalnya bagaimana penokohannya, setting-nya, perwatakan setiap tokoh, dan pertanyaan tentang unsure intrinsic lain yang terdapat dalam cerpen itu. Setelah itu, pembaca kembali membaca ulang sambil berusaha menganalisis setiap unsure yang telah ditetapkannya. Dari hasil analisis setiap unsure itu, pembaca lebih lanjut berusaha memahami bagaimana mekanisme hubungannya. Lewat analisis mekanisme hubungan ini lebih lanjut pembaca menganalisis bagaimana fungsi setiap elemen itu dalam rangka mewujudkan suatu cipta saastra. Dalam pelaksanaannya, kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra. Dalam hal ini pembaca dapat membatasi diri pada analisis struktur, diksi, atau gaya bahasa, atau mungkin analisis unsure kebahasaan seperti yang dilaksanakan dalam pendekatan linguistik. Kegiatan mengapresiasi sastra dengan menerapkan pendekatan analisis ini dapat dianggap sebagai suatu kerja yang bersifat saintifik karena dalam menerapkan pendekatan ini pembaca harus berangkat dari landasan teori tertentu, bersikap objektif dan harus mewujudkan hasil analisis yang tepat, sistematis, dan diakui kebenarannya oleh umum. Metodse kerja pada linguis dalam upayanya menerapkan metode deskriptif yang bersifat eksak dalam rangka menelaah aspek kebahasaan dalam cipta sastra. Sebab itulah dalam pelaksanaannya nanti, apresiator dapat saja menggunakan bagan, table, maupun formulasi atau rumus-rumus seperti yang digunakan ilmu eksakta. 124","7.4 Pendekatan Historis Pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankkan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sestar itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman. Prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan ini adalah anggapan bahwa cipta sastra begeimanapun juga merupakan bagian dari zamannya. Selain itu, pemehaman terhadap pengarang juga sangat penting dalam upaya memahami kandungan makna dalam suatu cipta sastra. Sebab itulah telaah makna suatu teks dalam pendekatan sosiosemantik sangat menutamakan konteks, baik konteks sosio-budaya, situasi atau zaman, maupun konteks kehidupan pengarangnya sendiri. Dalam telaah karya sastra Indonesia lewat pendekatan histories ini, pembaca dapat memanfaatkan buku Kritik dan Esei dari H.B. Jassin, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia karangan Ajip Rosidi, serta buku Leksikon Sastra karangan Pamusuk Eneste. Sebagai informasi kesejarahan tambahan, pembaca dapat juga melihat dalam keterangan tentang biografi pengarangyang terdapat di bagian belakang maupun esei-esei tentang kehidupan pengarang yang terdapat dalam buku-buku kumpul;an karangan maupun majalah dan Koran. 7.5 Pendekatan Sosiopsikologis Dalam mengkaji sebuah karya sastra, kita tidak dapat melepaskan diri dari cara pandang yang bersifat parsial, maka ketika mengkaji karya sastra, seringkali 125","seseorang akan memfokuskan perhatiaanya hanya kepada aspek-aspke terentu dari karya sastra. Aspek- aspek tertentu itu misalnya berkenaan dengan persoalan estetika, moralitas, psikologi, masyarakat, beserta dengan aspek-aspeknya yang lebih rinci lagi, dan sebagainya. Hal itu sendiri, memang bersifat multidimensional. Oleh sebab itulah maka muncul berbagai macam pendekatan kajian sastra, di antaranya adalah pendekatan Sosiologis. Pendekatan sosiopsikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan social budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini memang sering tuimpang tindih dengan pendekatan histories. Akan tetapi, selama masalah yang akan dibahas untuk setiap pendekatan itu dibatasi dengan jelas, maka ketumpangtindihan itu pasti adapt diatasi. Sehubungan dengan penerapan pendekatan sosiopsikologis itu, terdapat anggapan bahwa cipta sastra merupakan kreasi manusia yang terlibat dalam kehidupan serta mampu menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Sebab itulah dengan mengutip pendapat Greibstein, Sapardi Djoko Damono mengungkapkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan. Pada mulanya sosiologi sastra yang merupakan perkawinan ilmu sosiologi dan sastra. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Pendekatan sosiologis merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik. Pendekatan ini memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek 126","sosial kemasyarakatannya. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang terjadi di suatu masyarakat (Damono 2005). Pendekatan sosiologis, sepanjang sejarahnya, khususnya di dunia Barat, selalu menduduki posisi penting. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dan masyarakat. Hubungan tersebut disebabkan oleh (a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, (b) pengarang adalah anggota masyarakat, (c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Ratna, 2004). Pendekatan sosiologis ini, khususnya di Indonesia, tidak akan pernah kering. Mengapa demikian? Karena karya sastra Indonesia akan selalu memberi peluang munculnya aspek-aspek sosial (kemasyarakatan) yang tidak pernah berhenti dari segi kurun waktu maupun wilayah yang berbeda. Masyarakat Indonesia yang beragam adalah rujukan bagi munculnya aspek sosial yang juga beragam dalam karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang Indonesia yang juga berasal dari latar sosial yang beragam. 7.6 Pendekatan Didaktis Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan, tanggapan, maupun sikap itu dalam hal ini mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca. 127","Pendekatan didaktis ini pada dasarnya juga merupakan pendekatan yang telah beranjak jauh dari pesan tersurat yang yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Sebab itulah penerapan pendekatan didaktis dalam apresiasi sastra akan menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yanmg mapan dari pembacanya. Bagi pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingkatan pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kematangannya akan terasa lebih banyak mengasyikkan. Hal itu terjadi karena pembaca umumnya berusaha mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Akan tetapi,, pada sisi lain sikap itu juga berlawanan dengan sikap tidak senangnya jika harus menerima pesan, petuah, atau nasihat dari oranmg lain yang bernada menggurui. Sebab itulah dengan menemukan nilai-nilai kehidupan lewat daya piker kritisnya sendiri, nilai yang didapat akan lebih mengendap pada aspek kejiwaannya serta lebih menikmatkan batinnya. Dalam pelaksanaannya, penggunaan pendekatan didaktis ini diawali dengan upaya pemahaman satuan- satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran itu pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskripsi peristiwa dari pengarangnya. Dalam penerapan pendekatan didaktis ini, sebagai poembimbing kegiatan berpikirnya, pembaca dapat berangkat dari pola-pola berpikir, misalnya jika Malin Kundang itu akhirnya mati karena durhaka kepada ibunya maka dalam hidupnya, manusia itu harus bersifat baik kepada orang tua. Dalam pelaksanaannya, keenam pendekatan yang telah diuraikan di atas pada umumnya digunakan secara enklitik, yakni pendekatan yang satu mungkin saja 128","digunakan secara bersamaan dengan pendekatan lain. Tujuan penerapan pendekatan secara enklitik itu adalah: (1) agar pembaca tidak merasa bosan dan (2) apresiasi yang hanya menekankan pada satu pendekatan saja akan memberikan informasi yang tidak lengkap atau bahkan salah. 7.7 Pendekatan Struktural Pendekatan struktural merupakan pebndekatan yang bertujuan memaparkan secara cermat fungsi dan keterkaitan antar unsur sebuah karya sastra dan akan menunjukkan hubungan antar unsur tersebut (Nurgiyantoro, 1995 :37). Misalnya hubungan tema dengan nama tokoh, hubungan latar dengan nama tokoh, hubungan gaya bahasa dengan tema dan perwatakan, hubungan perwatakan dengan lalar, dan hubungan antara setiap unsur yang membangun karya sastra sebagai sebuah struktur yang membangunnya. Menurut Junus ( dalam Endraswara, 2011) strukturalisme dipahami sebagai bentuk, dan karya sastra merupakan suatu bentuk sehingga stukturalisme ini dianggap sebagai formalisme modern. Persamaan dari strukturalisme dan formalisme yaitu sama-sama mencari arti dari teks yang diteliti. Strukturalis memeiliki ide dasar dalam menolak kaum mimetik dan ekspresif. Dalam hal ini, pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan kenyataan. Pendekatan ekspresif memandang karya sastra sebagai ungkapan watak dan perasaan pengarang. Konsep inilah yang ditantang oleh strukturalisme. Selain itu, struykturalisme juga menentang konsep yang menyatakan bahwa karya sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca. Artinya, strukturalisme mengutamakan otonomi penelitian sastra. Pendekatan ini muncul untuk melengkapi 129","penelitian sastra yang ekspesivisme dan berbau historis. Menurut paham strukturalisme, paham ekspresivisme dan historis telah \u201cgagal\u201d dalam memahami karya sastra karena, selalu mengaitkan karya sastra dengan bidang lain. Padahal, karya sastra sendiri telah dibangun oleh kode-kode tertentu yang telah disepakati, sehingga memungkinkan pemahaman secara mandiri. Pendekatan struktural memandang bahwa memahami sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan mengkaji struktur karya sastra itu. Karya sastra dilihat sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw, 1982). Pendekatan ini mencoba melepaskan keterkaitan aspek lain yang menyertai kemunculan karya sastra sebagai karya yang tidak terikat dengan apapun, ia berdiri secara otonom atau sendiri. Dalam penerapannya, pendekatan struktural ini memahami karya sastra secara close reading (membaca karya sastra secara tertutup tanpa melihat pengarangnya, realitas, dan pembaca). Pendekatan ini mengkaji karya sastra tanpa melihat pengarang dan hubungan dengan realitasnya. Analisis pemaknaan (penelitian) difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra. Dalam hal ini setiap unsur intrinsik dianalisis dalam hubungannya dengan unsur intrinsik yang lain. Pendekatan struktural dikembangkan oleh formalis Rusia (1915-1930). Latar belakang pendekatan ini keinginan membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu yang lain. Tujuan pendekatan ini adalah membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil, dan sedalam-dalamnya keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan maksud menyeluruh (Teeuw, 1982). Dengan kata lain, keutuhan pemaknaan karya sastra dapat dipahami melalui unsur intrinsik, 130","tanpa bergantung unsur lain di luar keberadaan karya sastra itu sendiri. 7.8 Pendekatan Struktural Hermeneutik Di dalam kajian ilmu-ilmu Humaniora, di antaranya; Teologi, Kitab Suci, Sejarah Kebudayaan, Filsafat, dan ilmu sosial lainnya, hermeneutika bukanlah suatu kajian dalam ilmu yang sangat asing. Hermeneutika adalah sebuah kemahiran yang dimiliki oleh seseorang untuk memahami teks-teks yang tidak terlepas dari persoalan karena pengaruh waktu, perbedaan-perbedaan kultural, atau karena sejarah. Secara historis, hermeneutika berasal dari mitologi Yunani, yang berasal dari seorang tokoh mitologis yang bernama Hermes, yakni seorang utusan yang mempunyai tugas sebagai perantara atau penghubunga antra dewa Jupiter dengan manusia. Pada intinya, ia menyampaikan pesan dari dewa Jupiter kepada manusia. Hermes dilukiskan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Merqurius dalam bahasa latin. Hermeneutika merupakan suatu pendekatan yang digunakan di dalam penelitian teks-teks kuno yang otoritatif, misalnya kitab suci kemudian diterapkan dalam penelitian teologi dan direfleksikan secara filosofis. Hermeneutika adalah seni tafsir atau seni mengartikan yang berasal dari bahasa Yunani \u201cHermeneuien\u201d yang berarti tafsir atau interpretasi. Plato menyebut para penyair dengan sebutan hermenes Tuhan. Aristoteles juga menggunakan istilah ini di dalam bukunya pada bab logika proposisi yang bertajuk \u201cPeri Hermeneutis.\u201d. Menurut Ricouer Hermenuetika berarti \u201cTafsir atau interpretasi, dengan penekanan tertentu pada sistem simbolik 131","Hermeneutik menegaskan bahwa manusia autentik selalu dilihat dalam kontek ruang (Lokus) dan waktu (Tempos) di mana manusia sendiri mengalami dan menghayatinya. untuk memahami desain (manusia autentik). Kita tidak bisa lepas dari konteks yang ada, sebab itu kalau dilihat dari luar konteksnya yang nampak ialah manusia semu yang artifesial atau hanya buatan saja. Manusia autentik hanya bisa dimengerti atau dipahami dalam ruang dan waktu yang persis di mana ia berada. Dengan kata lain, setiap individu selalu dipengaruhi oleh situasi dan benar-benar dapat dipahami di dalam situasinya. Hermeneutik menurut pandangan kritik sastra ialah sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermeneutik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkut paut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra terutama dalam prosesnya pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Adapun mekanisme kerja hermeneutika adalah: 1. Pengungkapan pikiran dalam kata kata, penterjamahan, dan tindakan sebagai penafsir. 2. Usaha mengalihkan dari sutau bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca. 3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas. Ada tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam hermeneutika, yaitu: penggagas atau pengujar pesan, teks, dan pembaca. Ini terlihat dari hubungan penggagas dengan teks. Pola hubungan yang dimaksud dalam 132","bahasan ini adalah, dalam arti, apakah teks itu menjadi media penyampaian pesan penggagas kepada audiens, dan karena itu teks masih terikat dengan penggagas, atau teks itu memiliki eksistensinya sendiri yang terpisah dari penggagas. Selanjutnya, terdapat hubungan pembaca, penggagas, dan teks. Dalam hal ini: Pertama; seorang pembaca harus mengandaikan dirinya sebagaipenggagas teks demi mendapatkan makna yang objektif, dan dimungkinkan seorang pembaca akan mampu lebih baik memahami dari pada penggagas itu sendiri. Kedua; seorang pembaca dengan berbekal pra pemahamannya harus membuka diri terhadap teks, dan berdialog dengannya, karena antara teks dan pembaca sama-sama memiliki horizon yang tidak bisa diabaikan. Ketiga; seorang pembaca dalam satu kesempatan harus mencurigai teks, karena teks dianggap bukan lagi sekedar media penyampaian pesan, tetapi teks merupakan media legitimasi kekuasaan atau kepentingan. Plus minusnya. kekurangan teori ini adalah objektivitas teori ini diragukan karena terjadi subjektivitas penafsir atau interpreter. Oleh sebab itu, peran interpreter sangat penting sekali dalam memberi makna dan pemahaman terhadap teks. Jadi, sebetulnya yang terpenting bagi interpreter adalah bagaimana hermeneutika itu dapat diterapkan secara kritis agar tidak ketinggalan zaman. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis. Kelebihan teori ini ialah memberikan interpretasi terhadap kajian dalam teks sastra secara terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus menerus. Proses pemahaman dan interpretasi teks 133","bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting menyadari bahwa interpreter harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya. Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutika memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutika tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutika mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini kaitannya dengan tiga varian hermeneutika (tradisional, dialektik, dan ontologis). 7.9 Pendekatan Struktural Genetik Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania- Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: A study of Tragic Vision in the Penses of Pascal and the Tragedies of Racine, dalam bahasa Perancis terbit pertama kali tahun 1956. Strukturalisme genetik menurut Endraswara (2003:55) adalah salah satu metode penelitian sastra yang bersifat tidak murni yang merupakan bentuk penggabungan anatara struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Menurut Goldmann dalam Faruk menyebutkan bahwa teorinya sebagai strukturalisme genetik yang artinya ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang berlangsung, proses 134","strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat karya sastra yang bersangkutan. Strukturalisme genetik merupakan salah satu metode penelitian sastra yang populer digunakan dalam menganalisis karya sastra baik novel, cerpen, maupun puisi. Teori ini merupakan salah satu cabang sosiologi sastra yang memadukan antara struktur teks, konteks sosial, dan pandangan dunia pengarang (Yasa, 2012:28). Teori ini menekankan hubungan antara karya sastra dengan lingkungan sosialnya. Dalam masyarakat sesungguhnya manusia berhadapan dengan norma dan nilai, dalam karya sastra juga dicerminkan norma dan nilai yang secara sadar difokuskan dan diusahakan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Sastra juga melukiskan kecemasan, harapan dan aspirasi manusia. Oleh karena itu, kemungkinan karya sastra tersebut dapat dijadikan ukuran sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial. Struktural genetik merupakan suatu teori yang dimunculkan atas reaksi terhadap kemandegan(stagnasi) teori strukturalisme.strukturalisme meninggalkan satu aspek penting dalam proses lahirnya suatu karya,yaitu manusia.manusia sebagai subjek kreator menjadi satu sisi diluar karya yang penting.pemahaman yang maksimal akan tercapai manakala sisi historis suatu karya dapat diketahui. Atas dasar kondisi,dengan tetap berlandaskan pada teori strukturalisme,licien goldmann memunculkan suatu teori strukturalisme genetik. Sebuah teori yang mencoba memasukkan unsur-unsur historis karya sastra terkait dengan subjek kreator untuk menguatkan temuan dari suatu kajian strukturalisme. Goldmann menyebutkan teorinya sebagai strukturalisme genetik.artinya,ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur.akan tetapi,struktur 135","itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung,proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat karya sastra yang bersangkutan. Teori strukturalisme genetik merupakan pecahan dari sosiologi sastra yang dikemukakan oleh sosiolog Perancis bernama Lucien Goldmann. Teori ini merupakan analisis struktural tak murni. Teori ini mucul karena adanya ketidaksepakatan para ahli pada saat itu tentang teori strukturalisme murni. Teori tersebut mengkaji karya sastra yang hanya dititikberatkan pada unsur-unsur instrinsik karya sastra dan mengesampingkan unsur yang lain. Dengan menggabungkan unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra akan dirasakan lebih adil dan demokrat dalam menganalisis karya sastra. Pengintegrasian dua unsur yang berbeda tersebut paling tidak akan membentuk kelengkapan makna teks dalam memaknai karya sastra. Strukturalisme genetik berusaha untuk memadu- padankan unsur-unsur karya sastra itu sendiri dengan unsur di luar karya sastra. Teori ini hadir dan dianggap sebagai penyempurna teori strukturalisme murni dengan 136","memasukkan unsur genetik dalam memahami karya sastra. Awalnya teori ini diperkenalkan oleh Taine yang selanjutnya diteruskan oleh Goldmann. Menurut Goldmann, ada beberapa unsur penopang dalam teori ini, yaitu fakta kemanusiaan, konsep subjek kolektif, pandangan dunia pengarang, dan konsep pemahaman- penjelasan. Berdasarkan konsep teori tersebut, strukturalisme genetik merupakan cikal bakal penelitian sastra dari ranah sosial atau sosiologi sastra. Namun kelebihan teori ini adalah kekonsistensian dalam mengedepankan pentingnya aspek struktur karya sastra. Kedua aspek struktur karya sastra tersebut, baik struktur dalam maupun struktur luar dipandang sama pentingnya dalam memahami karya sastra. Intinya, penelitian strukturalisme genetik mencakup tiga hal: (1) aspek instrinsik teks sastra,(2) latar belakang pengarang, dan (3) latar belakang sosial budaya serta sejarah masyarakatnya. Secara rinci, Goldmann (dalam Endraswara,2003:60) juga menyarankan agar karya sastra yang dianalisis dengan teori ini merupakan karya sastra tertentu, yaitu pada sastra besar. Tujuan pemilihan pada sastra besar ini adalah untuk menjembatani beberapa fakta estetik. Ada beberapa fakta estetik yang dimaksud di atas, yaitu: (1) hubungan pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami pengarang dan (2) hubungan alam ciptaan dengan alat sastra seperti diksi, sintaksis, plot, dan gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam ciptaannya. Goldmann juga memberikan dasar-dasar bagi peneliti strukturalisme genetik, yaitu: 1. Semua perilaku manusia mengarah pada hubungan rasionalitasnya (manusia selalu merespon terhadap lingkungannya). 137","2. Kelompok sosial mempunyai tendensi untuk menciptakan pola tertentu yang berbeda dari pola yang sudah ada. 3. Perilaku manusia merupakan usaha yang dilakukan secara tetap menuju transendensi yang berupa aktivitas, transformasi, dan kualitas kegiatan dari semua aksi sosial dan sejarah. 7.10 Pendekatan Pragmatik Abrams (1976) secara lebih khusus menyebutkan ada empat pendekatan dalam penelitian sastra. Keempat pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan ekspresif, objektif, mimetik, dan pragmatik. Jika disejajarkan dengan pendekatan sebelumnya, yakni intrinsik dan ekstrinsik (Welek dan Warren, 1956), pendekatan objektif sejajar dengan pendekatan intrinsik. Sementara pendekatan ekspresif, mimetik, dan pragmatik dapat disejajarkan dengan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang pemaknaan karya sastra ditentukan oleh publik pembaca selaku penerima karya sastra tersebut. Dalam hal ini, karya sastra dipandang sebagai karya seni yang berhasil (atau unggul) dan baik apabila bermanfaat bagi masyarakat atau pembacanya. Tolok ukurnya adalah pembaca, apakah pembaca dapat merasakan hal-hal yang menyenangkan, menghibur, atau mendidik. Pendekatan pragmatik ini dikembangkan dari fungsi sastra sebagaimana dirumuskan filsuf Horace, yaitu \u201emenyenangkan dan berguna\u201f (dulce et utile). Jika pendekatan pragmatik yang digunakan berarti penelitian ini menelaah manfaat karya sastra bagi masyarakat atau publik pembaca. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk 138","menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacannya (Pradopo, 2003). Pendekatan pragmatik ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyaknya nilai-nilai tersebut terkandung dalam karya sastra makan semakin tinggi nilai karya sastra tersebut bagi pembacannya. 7.11 Pendekatan Semiotik Dalam penelitian sastra, pendekatan semiotik ini memandang sebuah karya sastra sebagai sebuah sistem tanda (semeion, bahasa Yunani yang berarti tanda). Secara sistematik, semiotik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem lambang, dan proses- proses perlambangan. Pemaknaan terhadap karya sastra tentu saja berpijak dari sistem tanda, perlambangan, dan proses perlambangan. Pendekatan semiotik ini memandang fenomena sosial dan budaya sebagai suatu sistem tanda. Tanda tersebut hadir juga dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam sebuah teks terdapat penggalan kalimat bendera putih di depan gang. Bendera yang dimaksud biasanya berwarna putih yang di dalamnya terdapat simbol \u201epositif\u201f dengan warna mencolok, dapat berwarna hitam atau hijau. Berdasar penggalan kalimat tersebut, secara umum, orang akan berpikir ada salah satu keluarga di sekitar gang tersebut yang sedang berduka. Untuk memahami sistem tanda tersebut diperlukan pengetahuan tentang latar belakang sosial-budaya karya sastra tersebut kapan ditulis. Lebih lanjut, tanda dan 139","sistemnya, dalam pendekatan ini terdiri dari dua aspek yaitu: penanda (hal yang menandai sesuatu) dan petanda (referent yang diacu). Manusia selalu berada dalam proses semiosis, yaitu memahami sesuatu yang ada di sekitar sebagai sistem tanda. 7.12 Pendekatan Stilistika Stilistika merupakan sebuah kajian wacana sastra yang orientasinya adalah lingusitik. Pendekatan ini berusaha mengkaji cara sastrawan memanipulasi, memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa, dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaan bahasa itu. Secara etimologi, stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan style merupakan cara khas untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara tertentu sehingga, maksud dan tujuan tercapai secara maksimal. Kedua istilah tersebut dalam menganalisis memerlukan peran yang besar dari majas (Ratna, 2009: 3). Style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Style atau gaya bahasa adalah cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang (Keraf, 2008: 113). Gaya bahasa yang digunakan seseorang bertujuan untuk mengungkapkan pikiran yang dapat mencerminkan jiwa dan kepribadian pengarang. Gaya bahasa mencakup diksi, struktur kalimat, majas, citraan dan rima. Dengan demikian stilistika kesusastraan merupakan metode analisis yang menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan impresif dengan analisis style teks kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah. Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda linguistik yang dipergunakan seperti terlihat dalam struktur lahir. Dengan cara ini akan diperoleh bukti-bukti konkret tentang style sebuah karya. 140","Rangkuman 1. Bertolak dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi, pembaca dapat menggunakan sejumlah pendekatan yaitu: (1) pendekatan parafrasis, (2) pendekatan emotif, (3) pendekatan analitis, (4) pendekatan hiostoris, (5) pendekatan sosiopsikologis, dan (6) pendekatan didaktis. 2. Pengertian pendekatan parafratis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. 3. Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsure-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. 4. Pengertian pendekatan analitis itu dengan demikian adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide- idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsic dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsic itu sehingga mampu membangun totalitas bentuk meupun totalitas maknanya. 5. Pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankkan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sestar itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman. 141","6. Pendekatan sosiopsikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan social budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan. 7. Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan, tanggapan, maupun sikap itu dalam hal ini mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca. 8. Pendekatan struktural merupakan pebndekatan yang bertujuan memaparkan secara cermat fungsi dan keterkaitan antar unsur sebuah karya sastra dan akan menunjukkan hubungan antar unsur tersebut. 9. Pendekatan hermeneutika merupakan suatu pendekatan yang digunakan di dalam penelitian teks-teks kuno yang otoritatif, misalnya kitab suci kemudian diterapkan dalam penelitian teologi dan direfleksikan secara filosofis. 10. Pendekatan strukturalisme genetik merupakan salah satu metode penelitian sastra yang populer digunakan dalam menganalisis karya sastra baik novel, cerpen, maupun puisi. Teori ini merupakan salah satu cabang sosiologi sastra yang memadukan antara struktur teks, konteks sosial, dan pandangan dunia pengarang. 11. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang pemaknaan karya sastra ditentukan oleh publik pembaca selaku penerima karya 142"]
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160