RINGKASAN DISERTASIMODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUKREHABILITASI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA PROVINSI GORONTALO Program Studi Geografi oleh DEWI WAHYUNI K. BADERAN NIM : 08/278454/SGE/171 KEPADA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013
1 MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA PROVINSI GORONTALO (RINGKASAN)I. PENDAHULUAN Wilayah pesisir dan laut Indonesia mempunyai kekayaan dankeanekaragaman hayati (biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin padakeberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padanglamun dan berjenis-jenis ikan, baik ikan hias maupun ikan konsumsi (Bappenas,2007). Perlindungan hutan mangrove merupakan hal yang penting dilakukanmengingat mangrove memiliki manfaat yang luas ditinjau dari aspek fisik, kimia,biologi, dan sosial ekonomi. Ketidak-tahuan akan nilai ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh duafaktor utama, yaitu : (1) kebanyakan barang dan jasa yang dihasilkan olehekosistem mangrove tidak diperdagangkan di pasar, sehingga tidak memiliki nilaiyang dapat diamati, dan (2) beberapa dari barang dan jasa tersebut berada jauhdari ekosistem mangrove sehingga penghargaan terhadap barang dan jasa tersebutsering dianggap tidak ada kaitannya dengan mangrove (misalnya produktivitasperairan hasil dari kontribusi mangrove, yang menyebabkan banyaknya ikan,udang, kepiting, moluska disuatu wilayah perairan pantai yang jauh dari hutanmangrove seperti di laut Kwandang, Gorontalo) Di Indonesia, penilaian (valuasi) ekonomi dari nilai ekologi yangbersumber dari hutan mangrove berdasarkan nilai guna tidak langsung, nilaipilihan, nilai keberadaan dan nilai warisan sering terabaikan. Penelitian yangsering dilakukan kebanyakan lebih memfokuskan pada penilaian nilai gunalangsung dari ekosistem hutan mangrove berdasarkan nilai ekonomi dipasarandiantaranya harga kayu bakar, kayu bangunan, ikan, udang, kepiting, burung dansebagainya. Metode untuk penilaian produk dan jasa lingkungan sebenarnyamenawarkan penilaian yang lebih komprehensif terhadap penilaian berbagai
2barang dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistem mangrove, dimana selanjutnyahasil penilaian dapat memberikan kontribusi informasi yang lebih mendalam bagipara pengambilan keputusan. Tidak diketahuinya nilai pasti dari nilai ekonomi yang bersumber dari nilaiekologi hutan mangrove mengakibatkan kerusakan atau kehilangan sumberdayaini tidak dirasakan sebagai suatu kerugian, sehingga banyak komponen ekologidari mangrove menjadi tidak/kurang mendapat perhatian di dalam pengelolaanlebih lanjut. Oleh sebab itu, kajian tentang penilaian ekonomi sumberdayamangrove khususnya untuk nilai ekologi dari pemanfaatan tidak langsung,pilihan, keberadaan dan warisan, penting untuk sesegera mungkin dilakukan dandiharapkan dapat memberikan informasi atau penafsiran berapa besar nilaiekonomi suatu sumberdaya di suatu wilayah pesisir baik dari penilaianberdasarkan nilai ekonomi secara langsung dan nilai ekologinya, di manakeberadaan sumberdaya mangrove mempunyai pengaruh besar bagi standarkehidupan masyarakat, terutama di desa pantai yang sangat menggantungkansumber penghasilannya dari sumberdaya ini. Dalam kaitannya dengan uraian sebelumnya, Provinsi Gorontalomempunyai kawasan mangrove yang luas salah satu kawasan mangrove tersebutberada di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara,Provinsi Gorontalo. Pulau Sulawesi dipilih menjadi fokus penelitian karenamemiliki kelebihan dari segi biodiversity dan mempunyai keunikan yang berasaldari variasi jenis yang hidup tidak berdasarkan pola zonasi pada umumnya. Secaraekologis, wilayah ini dihadapkan pada masalah kerusakan ekosistem setempatterutama kerusakan hutan mangrove. Luas kawasan hutan mangrove di wilayahini sebagian besar telah mengalami penyusutan diakibatkan oleh penebangan liar,utamanya diakibatkan oleh adanya aktivitas manusia disekitar hutan yangmelakukan penebangan dan pengambilan kayu mangrove spesies Rhizophora spuntuk pemenuhan kayu bakar serta kontruksi bangunan. Masyarakat lokalmengenal nama kayu mangrove dengan istilah Loraro/Wuwa’ata yakni kayu yangsangat kuat dan tahan lama untuk kontruksi bangunan serta baik untuk dijadikan
3kayu bakar. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukupbesar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan. Hal yang mengkhawatirkan apabila tidak ada model valuasi ekonomi yangdapat dijadikan dasar dalam merehabilitasi kerusakan hutan mangrove makaekosistem ini akan hilang atau habis. Adanya model valuasi ekonomi terhadapsumberdaya mangrove, maka dapat dijadikan acuan dalam hal pengaturan alokasipemanfaatan hutan mangrove di daerah ini dan diharapkan beberapa tahunkedepan keberadaan ekosistem ini masih tetap ada. Model valuasi ekonomi menggambarkan prosedur atau kerangkakonseptual didasarkan pada data spasial, kondisi ekologis dan kerusakan hutanmangrove, antara lain bentuklahan, penggunaan lahan, kondisi tanah, iklim, jenismangrove, struktur vegetasi mangrove, dan zonasi mangrove, penilaian dari segiekonomi dan ekologi pemanfaatan mangrove, yang kesemua variabel tersebutdigunakan sebagai dasar untuk merehabilitasi kerusakan hutan mangrove.II. TELAAH PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI2.1 Telaah Pustaka2.1.1 Konsep Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Menurut Marx (1883, dalam Suparmoko, 2006), selama sumberdaya alamitu belum dicampuri oleh tenaga manusia, maka sumberdaya alam itu tidakmempunyai nilai. Sebaliknya, menurut para ahli ekonomi klasik segala sesuatuyang dapat dijualbelikan pasti mempunyai nilai. Dalam hal ini ”nilai” dibedakandengan ”harga”, ”harga” selalu dikaitkan dengan jumlah rupiah yang harusdibayarkan untuk memperoleh suatu barang, sedangkan nilai suatu barang tidakselalu dikaitkan dengan jumlah rupiah tetapi termasuk manfaat dari barangtersebut bagi masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar pemikiran tersebut terjadikecenderungan pengambilan berlebihan dan pemborosan sumberdaya. KemudianDavis dan Johnson (1987) mengklasifikasikan nilai berdasarkan cara penilaianatau penentuan besar nilai dilakukan, yaitu : (a) nilai pasar, yaitu nilai yangditetapkan melalui transaksi pasar, (b) nilai kegunaan, yaitu nilai yang diperolehdari penggunaan sumberdaya tersebut oleh individu tertentu, dan (c) nilai sosial,
4yaitu nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum, ataupun perwakilanmasyarakat. Sedangkan Pearce (1992 dalam Munasinghe, 1993) membuatklasifikasi nilai manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (TotalEconomic Value) berdasarkan cara atau proses manfaat tersebut diperoleh. Nilai ekonomi (economic value) dari suatu barang atau jasa diukur denganmenjumlahkan kehendak untuk membayar (willingness to pay) dari banyakindividu terhadap barang atau jasa yang dimaksud. Pada gilirannya, kehendakuntuk membayar merefleksikan preferensi individu untuk suatu barang yangdipertanyakan. Jadi dengan demikian, valuasi ekonomi dalam konteks lingkunganhidup adalah tentang pengukuran preferensi dari masyarakat untuk lingkunganhidup yang baik dibandingkan terhadap lingkungan hidup yang jelek. Valuasimerupakan fundamental untuk pemikiran pembangunan berkelanjutan(sustainable development). Hal yang sangat penting untuk dimengerti adalah, apayang harus dilakukan dalam melaksanakan valuasi ekonomi. Hasil dari valuasidinyatakan dalam nilai uang (money tems) sebagai cara dalam mencari preferencerevelation, misalnya dengan menanyakan \"apakah masyarakat berkehendak untukmembayar?\". Lebih lanjut dinyatakan bahwa penggunaan nilai uangmemungkinkan membandingkan antara \"nilai lingkungan hidup (environmentalvalues)\" dan \"nilai pembangunan (development values)\" (Cserge, 1994). Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilaiekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudutpandang masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan valuasi ekonomi perludiketahui sejauh mana adanya bias antara harga yang terjadi dengan nilai riil yangseharusnya ditetapkan dari sumberdaya yang digunakan tersebut. Selanjutnyaadalah apa penyebab terjadinya bias harga tersebut. Ilmu ekonomi sebagaiperangkat melakukan valuasi ekonomi adalah ilmu tentang pembuatan pilihan-pilihan (making choices). Pembuatan pilihan-pilihan dari alternatif yangdihadapkan kepada kita tentang lingkungan hidup adalah lebih kompleks,dibandingkan dengan pembuatan pilihan dalam konteks barang-barang privatmurni (purely private goods).
5 Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalamsuatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harusdiperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi danalternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran.Nilai ekonomi total ini dapat dipecah-pecah ke dalam suatu himpunan bagiankomponen. Sebagai ilustrasi, misalnya dalam konteks penentuan alternatifpenggunaan lahan dari hutan mangrove. Berdasarkan hukum biaya dan manfaat(a benefit-cost rule), keputusan untuk mengembangkan suatu ekosistem hutanmangrove dapat dibenarkan (justified) apabila manfaat bersih dari pengembanganekosistem tersebut lebilh besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal inimanfaat konservasi diukur dengan nilai ekonomi total dari hutan mangrovetersebut. Nilai ekonomi total ini juga dapat diinterpretasikan sebagai nilaiekonomi total dari perubahan kualitas lingkungan hidup.2.1.2 Ekosistem dan Zonasi Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untukmenggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi olehbeberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyaikemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1992). Hutanmangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muarasungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh padapantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjangsisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepaspantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992). Menurut Irwanto (2006,dalam Katili, 2009), bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleksterdiri dari flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan danair laut, antara batas air pasang surut. Pengertian hutan mangrove, menurut Alikodra (1998), adalah suatuformasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan keadaan tanah yanganaerobik. Sementara itu, Bengen (2002) mendefinisikan hutan mangrove sebagaikomunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon
6mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantaiberlumpur. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut,mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, deltadan pantai yang terlindung. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yangmemiliki muara sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di wilayahpesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidakoptimal. Sedangkan menurut Aksornkoae (1993), mangrove juga dapat umbuhdengan baik di substrat berlumpur dan perairan pasang yang menyebabkankondisi anaerob, hal ini disebabkan mangrove memiliki akar-akar khusus yangberfungsi sebagai penyangga sekaligus penyerap oksigen dari udara di permukaanair secara langsung. Zonasi hutan mangrove ditentukan oleh keadaan tanah, salinitas,penggenangan, pasang surut, laju pengendapan dan pengikisan serta ketinggiannisbi darat dan air. Zonasi juga menggambarkan tahapan suksesi yang sejalandengan perubahan tempat tumbuh. Perubahan tempat tumbuh bersifat sangatdinamis disebabkan oleh adanya laju penggendapan atau pengikisan. Dayaadaptasi suatu jenis mangrove terhadap keadaan tempat tumbuh dapat menentukankomposisi jenis pada tiap zonasi. Semakin jauh dari laut maka suatu jenis akanmenggantikan jenis lain, dan proses ini dapat terjadi sampai ke daerah peralihan,yaitu berbatasan dengan komunitas rawa, air tawar dan hutan pedalaman.2.1.3 Penyebab dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008)berdasarkan Direktoral Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (DitjenRLPS), Dephut (2000) luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah9.204.840.32 ha dengan luasan yang berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisirusak sedang 4.510.456,61 ha dan kondisi rusak 2.146.174,29 ha. Data hasilpemetaan Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal denganmenganalisis data citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190scenes), mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha
7(Hartini, et al., 2010). Kementerian kehutanan tahun 2007 juga mengeluarkandata luas hutan mangrove Indonesia, adapun luas hutan mangrove Indonesiaberdasarkan kementerian kehutanan adalah 7.758.410,595 ha (Direktur BinaRehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini Et al,2010), tetapi hampir 70%nya rusak (belum tau kategori rusaknya seperti apa). Kerusakan mangrove bisa disebabkan oleh beberapa faktor sepertiaktivitas manusia, pencemaran, sedimentasi, gelombang, pasang surut dan arus.Aktivitas manusia yang berupa penebangan liar, pembukaan lahan, pembuanganlimbah memberikan pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove. Bersumberdari keinginan manusia untuk mengkonversi hutan mangrove menjadi lahanperumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itumeningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan meningkatnyapula eksploitasi berlebihan terhadap mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkankerusakan hutan mangrove adalah pembukaan lahan-lahan tambak untuk budidayaikan. Kegiatan terakhir ini memberikan konstribusi besar dalam pengrusakanekosistem ini (Dahuri, 2002). Pembukaan lahan tambak bukan saja menjadi penyebab utama terjadinyakerusakan mangrove seperti yang di jelaskan oleh Bengen dan Adrianto (1998)tapi juga dapat disebabkan oleh faktor lain seperti; adanya tekanan penduduk yangtinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi, perencanaandan pengelolaan sumberdaya pesisir khususnya mangrove dimasa lalu bersifatsangat sektoral, rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi dan fungsiekosistem dan kemiskinan masyarakat pesisir yang terdesak oleh kebutuhanekonomi, sehingga dengan seenaknya membuka lahan di areal hutan mangroveuntuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Demikian pula penebangan liar untuktujuan memperoleh kayu sebagai bahan bangunan, kayu bakar dan lainnya.Mereka masih beranggapan bahwa hutan mangrove adalah milik bersama dandapat dimanfaatkan kapan saja dan oleh siapa saja. Selanjutnya Saparinto (2007)menyatakan bahwa tingkatan kerusakan mangrove dapat dibagi dalam tiga kondisiyaitu; (1) rusak berat, ditandai dengan habisnya hutan mangrove dalam satuwilayah, rusaknya keseimbangan ekologi, intrusi air laut yang tinggi dan
8menurunnya kualitas tanah, (2) rusak sedang, ditandai masih tersisa sedikit hutanmangrove dalam satu wilayah, keseimbangan ekologi dalam tingkatan sedang danintrusi yang terjadi tidak terlalu parah, dan (3) tidak rusak, kondisi mangrovemasih terjaga dengan baik dan lestari.2.1.4 Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove Rehabilitasi intinya adalah penanaman kembali hutan mangrove yang telahmengalami kerusakan. Agar rehabilitasi dapat berjalan secara efektif dan efisienperlu didahului dengan survei untuk menetapkan kawasan yang potensial untukrehabilitasi berdasarkan penilaian kondisi fisik dan vegetasinya. Di banyak negaraberbagai upaya telah dilakukan untuk memulihkan habitat bakau yang hancurdengan program penanaman kembali, atau bahkan menanam bakau di tempat yangbelum diketahui/dikenal sebelumnya. Alasanya sangat beragam. Pada beberapakasus, tujuannya adalah untuk melestarikan atau menciptakan kembali sebuahekosistem untuk kepentingan sendiri. Yang lebih umum, penanaman kembalidilakukan karena kesadaran terhadap nilai sumberdaya bakau bagi perikanan atauaktivitas lain, atau untuk menahan erosi pantai (Hogarth, 1999).2.1.5 Pemetaan Kerusakan Mangrove Penginderaan jauh menyediakan satu-satunya cara efisien untuk pemetaandan pemantauan perubahan ekologi pada daerah yang luas. Sehubungan denganzona ekologis, penginderaan jauh menyediakan sarana untuk mengamati daerah-daerah pada skala yang global dan lokal. Identifikasi obyek dengan menggunakanteknologi penginderaan jauh dilaksanakan dengan beberapa pendekatan antaralain; karakteristik spektral citra, visualisasi, floristik, geografi dan phsygonomikHartono (2003). Pada pengenalan objek melalui citra yang dihasilkan oleh sistemsatelit lebih banyak didasarkan atas karakteristik spektral. Obyek yang berbedaakan memberikan pantulan spektral yang berbeda pula, bahkan obyek yang samadengan kondisi dan kerapatan yang berbeda akan memberikan nilai spektral yangberbeda (Swain dan Davis, 1978). Menurut Danoedoro (2009), kajian ekosistem mangrove melaluipendekatan secara spasial dapat diterapkan dengan menggunakan citra skala besar
9atau resolusi spasial tinggi. Melalui pendekatan spasial akan terlihat teksturkanopi dan lokasi yang menjadi fokus penelitian. Untuk melihat apakah terdapatmangrove dan bukan mangrove dapat menggunakan citra resolusi sedang-rendahyang tercetak pada skala 1:100.000 hingga 1:300.000 dengan asumsi bahwa lebarsatuan pemetaan terkecil adalah 1 mm atau setara 100-300 meter. Meskipundemikian, pada kenyataannya, lebar 1 zona mangrove bisa kurang dari 15 meter,dan pada citra tercetak zona ini bisa teridentifikasi dan terpetakan hingga 1mm.Dengan demikian, skala paling kasar untuk pemetaan detil zona mangrove ialah1:15.000 (meskipun penggambaran satu zona selebar 1 mm akan kurang akurat)dan resolusi spasial paling kasar sekitar 2,5-4 m. Danoedoro (1996) menjelaskan masukan data dapat dilakukan dengan tigacara, yaitu: pelarikan atau penyiaman (scanning), digitasi, dan tabulasi.Komponen manajemen data meliputi semua operasi penyiapan, pengaktifan,penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari masukandata. Manipulasi dan analisis data untuk menghasilkan informasi baru. Denganbeberapa fasilitas, antara lain: interpolasi spasial, tumpangsusun peta (mapcrossing, tumpangsusun dengan bantuan matriks atau tabel dua dimensi, dankalkukasi peta), pembuatan model dan analisis data. Komponen keluaran yangberupa informasi spasial baru, dapat berupa peta, tabel atau hasil cetak dan datatabuler maupun dalam bentuk elektronik. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa SIG mampu menganalisis danmengkonversi sekumpulan data spasial menjadi informasi untuk keperluantertentu. Kunci kemampuan SIG adalah analisis data untuk menghasilkaninformasi baru. Salah satunya dengan tumpangsusun peta (overlay). SIGmenyediakan fasilitas tumpangsusun secara cepat untuk menghasilkan satuanpemetaan baru sesuai dengan kriteria yang dibuat (Danoedoro, 1996). Dilihat daridefenisinya, SIG adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yangtidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Memiliki perangkat keras komputer besertadengan perangkat lunaknya belum berarti bahwa kita sudah memiliki SIG apabiladata geografis dan sumberdaya manusia yang mengoperasikannya belum ada.Sebagaimana sistem komputer pada umumnya, SIG hanyalah sebuah ”alat ” yang
10mempunyai kemampuan khusus. Kemampuan sumberdaya manusia untukmemformulasikan persoalan dan menganalisa hasil akhir sangat berperan dalamkeberhasilan SIG.2.2 Kerangka Teori Hutan mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang pada kondisisekarang telah mengalami kerusakan akibat pemanfaatan dan pengelolaan yangkurang memperhatikan aspek kelestarian. Ekosistem mangrove yang rusakmembawa dampak diantaranya perubahan luasan, produktivitas ekosistemmangrove terganggu, dan keanekaragaman spesies mangrove di kawasan inisemakin habis. Kerusakan hutan mangrove yang terjadi di wilayah pesisir KecamatanKwandang selain disebabkan oleh kegiatan masyarakat yang bermukim di sekitarkawasan mangrove tersebut, juga diakibatkan oleh percepatan pembangunan diKabupaten Gorontalo Utara. Kecamatan Kwandang adalah salah satu Kecamatanyang merupakan bagian dari wilayah pemekaran di Kabupaten Gorontalo Utarasekaligus menjadi ibu kota Kabupaten di bagian utara, Provinsi Gorontalo. Kegiatan pembangunan di suatu daerah, terutama yang menjadi wilayahpemekaran, dapat memberikan dampak positif dari pembangunan tersebut, tetapisekaligus membawa risiko yang cukup besar terutama pada aspek lingkunganhidup. Oleh sebab itu, kedua aspek ini perlu diperhitungkan secara seimbang.Sama halnya dengan membabat hutan mangrove untuk dijadikan tambak udangdengan tujuan utama guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dari segiekonomi, namun tidak bisa dipungkiri pembukaan tambak tersebut justrumemberikan ancaman terbesar terhadap keberadaan ekosistem mangrove yangnotabenenya bisa menyebabkan kerusakan hutan mangrove bahkan sampaimenyebabkan kepunahan spesies tertentu dari biodiversity yang dimiliki hutanmangrove tersebut. Kerusakan hutan mangrove membawa akibat pada ketidakmampuan suatukawasan dalam mendukung kehidupan sekelilingnya. Hutan mangrove dapatdicirikan dengan adanya biodiversity tinggi yang mampu memberikan manfaat
11terhadap kehidupan. Untuk menentukan sejauh mana tingkat kerusakan hutanmangrove tersebut harus diketahui distribusi spasial dan luas kerusakan hutanmangrove di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang Provinsi Gorontalo, yangdidahului dengan melakukan pemetaan satuan lahan berdasarkan bentuklahan danpola penggunaan lahan melalui tumpang susun (overlay) peta yang memanfaatkanteknologi sistem informasi geografis. Informasi tentang satuan bentuklahan(landform) dapat diperoleh melalui intrerpretasi citra multitemporal meliputiLandsat ETM+ tahun 2000, citra ALOS/AVNIR-2 (Advanced Land ObservingSatelite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) tahun 2010, danuji lapangan, 2010. Hasil dari interpretasi citra ini kemudian dapat dipetakan.Perubahan luas daerah yang mengalami kerusakan menggunakan citra LandsatETM+ tahun 2000 dan citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010, penggunaan perekamandua waktu yang berbeda tersebut guna mendapatkan data pasti dan akurat akanluas kawasan mangrove yang telah rusak. Penggunaan lahan di suatu daerah dapat memberikan gambaran tentangaktivitas masyarakat akan pemanfaatan lahan sehingga dapat digunakan menjadiindikator cara masyarakat memperlakukan sumberdaya alam. Perubahanpenggunaan lahan yang ada dapat digunakan untuk mengevaluasi bentuk/polainteraksi manusia, tanah, dan tumbuhan yang ada di lahan tersebut. Penggunaanlahan tahun 2000 dan tahun 2010 menggunakan Peta RBI 1991 sebagai referensipembuatan peta dan hasil interpretasi citra Landsat ETM+ tahun 2000 dan citraALOS AVNIR-2. Penggunaan lahan tahun 2000 bersumber dari citra LandsatETM+ tahun 2000, dan pengecekan lapangan pada 2010, dan informasipenggunaan lahan 2010 diperoleh berdasarkan interpretasi Peta RBI skala1:50.000 tahun 1991, citra ALOS (Advanced Land Observing Satelite) AVNIR-2(Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) tahun 2010, danpengecekan lapangan pada 2010. Dalam studi ini pengunaan lahan dibatasi danmengacu pada jenis penggunaan lahan tertentu yang berkaitan langsung denganfaktor penyebab kerusakan hutan mangrove. Pengambilan data kerusakan hutan mangrove dilakukan secara StratifiedSampling, yaitu berdasarkan satuan lahan yang menyebabkan kerusakan hutan
12mangrove, yang lebih difokuskan pada mangrove yang rusak. Untuk lokasisampel dipilih berdasarkan kriteria kondisi mangrove. Penilaian ekonomiberdasarkan kerusakan ekosistem mangrove. Variabel yang dilibatkan dalampenelitian ini yakni semua pemanfaatan yang bersumber dari ekosistem hutanmangrove, baik itu nilai ekonomi dari pemanfaatan secara langsung maupun tidaklangsung. Nilai ekonomi pemanfaatan langsung meliputi kayu untuk kayu bakardan bahan bangunan, hasil tangkapan ikan, udang, kepiting, dan burung,sementara nilai ekonomi tidak langsung berasal dari fungsi ekologis yaknipenahan intrusi, penahan gelombang dan pengendali banjir, dan sebagai sumberpenyedia pakan. Disamping itu diukur pula nilai pilihan, yakni keanekaragamanhayati dan penyimpanan karbon, nilai keberadaan spesies langka, satwadilindungi, dan perlindungan habitat, dan nilai warisan. Karena keterbatasan biayamaka variabel lain yang merupakan bagian dari pemanfaatan mangrove tidakdilakukan diantaranya nilai pendidikan dan penelitian, garam, bahan pengawet,bahan pewarna jala, dan sebagainya. Selain komponen variabel nilai dariekosistem mangrove, variabel yang juga terlibat yakni variabel karakteristiklingkungan sosial-ekonomi meliputi kependudukan, tingkat pendidikan penduduk,pendapatan dan pengeluaran; variabel karakteristik ekologis hutan mangrovemeliputi bentuklahan, penggunaan lahan, satuan lahan, kondisi tanah, iklim; danvariabel karakteristik kerusakan hutan mangrove meliputi alih fungsi hutanmangrove dan perubahan luas hutan mangrove. Gambar 2.2 secara ringkas menunjukkan kerangka teori yang dibangununtuk menjembatani telaah pustaka dengan metode yang dikembangkan dalamdisertasi ini. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa untuk menghasilkanmodel valuasi ekonomi memerlukan metode valuasi yang berbeda berdasarkantingkat kerusakannya pada ekosistem mangrove di wilayah pesisir KecamatanKwandang, sehingga dengan model valuasi ekonomi inilah yang akan digunakansebagai dasar untuk merehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisirKecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
13 Ekosistem hutan mangrove Pesisir Terjadi kerusakan Asumsi : Kwandang Keberlangsungan ekosistem Produktivitas ekosistemKeanekaragaman terganggu merupakan keberlanjutan hayati yang ekologis jangka panjang tinggi Kelangsungan ekosistem paling tergantung pada Citra penginderaan jauh, ekosistem yang terganggu peta, dan data lapangan Perlu rehabilitasi Informasi tentang luas, lokasi, dan jenis mangrove yang rusak, serta intensitas kerusakan Model untuk Valuasi ekonomi Kerusakan hutan mangrovewilayah mangrove meliputi nilai guna langsung, nilai guna tidak lain di Indonesia langsung, nilai pilihan, nilai keberadaan dan nilai warisan Perlu metode valuasi yang berbeda berdasarkan tingkat kerusakannya pada ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kwandang Model valuasi ekonomi sebagai dasar untuk rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir Kwandang Rekomendasi 1. Menetapkan Perda di bidang kehutanan yang mengatur status hutan mangrove 2. Semua aspek yang bersentuhan langsung dengan pemanfaatan mangrove harus memperhitungkan nilai-nilai ekologiKeterangan: = Sumber = Proses = HasilGambar 2.2 Skema pemikiran teoritik kerusakan hutan mangrove di lokasi penelitian
14 III. METODE PENELITIAN Provinsi Gorontalo mempunyai kawasan mangrove yang luas di pantaiutara Kabupaten Gorontalo Utara, serta di pantai selatan Pohuwato. KabupatenGorontalo Utara dipilih sebagai daerah penelitian karena terdapat hutan mangroveyang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi, dan memiliki keunikan polazonasi yang berbeda dengan pola zonasi pada umumnya, meski pada saat ini telahmengalami kerusakan. Lokasi penelitian tersebar di 6(enam) desa yaitu DesaBulalo, Desa Dambalo, Desa Leboto, Desa Molinggapoto, Desa Moluo, dan DesaMootinelo.3.1 Bahan, Data dan Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian3.1.1 Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :1. Citra Digital Landsat ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus) dengan resolusi spasial 30m tahun perekaman 2000 yang digunakan untuk membuat peta penggunaan lahan, peta penutupan vegetasi, dan peta kerusakan mangrove tahun 20002. Citra ALOS/AVNIR-2 (Advanced Land Observing Satelite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) dengan resolusi spasial 10m tahun perekaman 2010 digunakan untuk membuat peta bentuklahan, peta penggunaan lahan, peta penutupan vegetasi, peta kerusakan, peta vegetasi, dan untuk menghitung karbon.3. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000, Lembar Kwandang 2216-64 tahun 1991, digunakan sebagai referensi geometrik dan topografis bagi peta administrasi, peta lokasi sampel, peta bentuklahan, peta penggunaan lahan tahun 2000, peta penggunaan lahan tahun 2010, peta penutupan vegetasi tahun 2000, peta penutupan vegetasi tahun 2010, peta satuan lahan dan peta kerusakan mangrove tahun 2000-2010.4. Peta bentuklahan dibuat dengan interpretasi Peta RBI, Peta Administrasi Kecamatan Kwandang tahun 2010, Peta Geologi Lembar Tilamuta, Citra Alos AVNIR-2 tahun 2010 digunakan untuk memberikan data dan informasi satuan
15 bentuklahan, luas dan sebarannya di hutan mangrove wilayah pesisir Kecamatan Kwandang.5. Peta penggunaan lahan tahun 2000 dibuat dengan interpretasi Peta RBI, Peta Administrasi Kecamatan Kwandang tahun 2010, Citra Landsat ETM+ tahun 2000 digunakan untuk melihat perubahan peruntukkan lahan mangrove akibat kegiatan masyarakat akan penggunaan lahan mangrove yang telah berubah peruntukkannya untuk pembuatan tambak, pemukiman, sawah, pelabuhan, kebun, dan lain sebagainya di tahun 2000.6. Peta penggunaan lahan tahun 2010 dibuat interpretasi Peta RBI, Peta Administrasi Kecamatan Kwandang tahun 2010, Citra ALOS/AVNIR-2 tahun 2010 digunakan untuk melihat perubahan peruntukkan lahan mangrove akibat kegiatan masyarakat akan penggunaan lahan mangrove yang telah berubah peruntukkannya untuk pembuatan tambak, pemukiman, sawah, pelabuhan, kebun, dan lain sebagainya di tahun 2010.7. Peta satuan lahan digunakan untuk menunjukkan wilayah mana yang memiliki kesamaan bentuklahan dan penggunaan lahan pada kondisi sekarang yang dibuat dengan menumpangsusunkan peta-peta tematik yang telah disusun meliputi Peta Rupa Bumi, Peta Administrasi Kecamatan Kwandang tahun 2010, Peta bentuklahan tahun 2010, Peta penggunaan lahan tahun 2010, untuk bahan pertimbangan dalam menentuan satuan-satuan lahan.3.1.2 Data Sekunder Yang Diperlukan Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian adalah :1. Data sekunder terdiri dari data iklim (curah hujan dan jumlah hari hujan per tahun) selama 6 tahun digunakan untuk menganalisis keadaan iklim pada daerah penelitian.2. Data Dalam Angka (DDA) Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2010, dan DDA Kecamatan Kwandang tahun 2010.3. Data dan informasi sekumder dari Dinas, Instansi Teknis Pemerintah yang trekait dengan penelitian ini.
163.1.3 Alat-alat Yang Digunakan Dalam Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.1. Perangkat computer Notebook Tosibha, Intel Core 2 Duo.2. Software SIG Arc View versi 3.3, ENVI 4.8, extensi xtool, extensi transform dan registry tool yang digunakan dalam pemrosesan SIG dan pembuatan tampilan atau layout peta, dan extensi edit tools merupakan ekstensi tambahan yang digunakan untuk proses editing peta.3. Program Microsoft Office Excel 2007 untuk membantu dalam perhitungan yang berkaitan dengan pemetaan, analisis vegetasi, perhitungan karbon, dan valuasi ekonomi hutan mangrove.4. Alat tulis menulis sebagai pendukung pekerjaan di lapangan, Lembar ceklis untuk kerja lapangan, yaitu mencek kondisi lapangan, kuisioner untuk para nelayan, masyarakat, dan pemangku kepentingan yang berada di sekitar Kawasan Hutan Mangrove.5. Alat untuk survey dan pengukuran lapangan meliputi : a. Global Posistion System (GPS) receiver garmin e-map, untuk menentukan koordinat lokasi penelitian di lapangan. b. Bor tanah untuk pengambilan sampel tanah yang akan di lakukan analisa di laboratorium. c. Salinometer untuk mengukur salinitas (kadar garam) yang terlarut dalam air. d. Kertas lakmus untuk mengukur tingkat keasaman atau kebasahan tanah dan air. e. Kamera digital untuk dokumentasi gambar obyek di lapangan. f. Kabel data untuk pemindahan gambar obyek dari kamera digital ke komputer. g. Perlengkapan tape recorder untuk merekam kegiatan wawancara.6. Perangkat analisis tanah di laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada.
173.2 Populasi dan Sampel Penelitian3.2.1 Populasi Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yangmempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untukdipelajari dam kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Populasidalam penelitian adalah seluruh kawasan mangrove, masyarakat, tokohmasyarakat, instansi yang terkait dengan permasalahan yang diteliti baik diKabupaten Gorontalo Utara, maupun ditingkat Provinsi Gorontalo. Kerusakanmangrove merupakan obyek kajian utama. Kajian ini akan dilakukan denganmenggunakan pendekatan valuasi ekonomi untuk tingkat kerusakan mangrove.Sebagai faktor yang juga memanfaatkan mangrove yaitu masyarakat padaumumnya dan nelayan pada khususnya. Aspek yang menjadi sasaran kajian padakelompok masyarakat meliputi pemanfaatan mangrove, dengan mengkaji kondisisosial-ekonomi dalam hubungannya dengan pemanfaatan mangrove itu sendiri.Jumlah Populasi diambil berdasarkan jumlah penduduk berdasarkan matapencaharian yakni sebanyak 3432 orang. Jumlah satuan lahan di kawasan hutanmangrove untuk tahun 2010 adalah 31 unit yang terbagi menjadi 9 kelas satuanlahan.3.2.2 Sampel Penelitian Penentuan titik sampel di lapangan dilakukan dengan menggunakanmetode Stratified Random Sampling atau sampel secara acak berstrata.Pertimbangan yang diambil dalam penentuan lokasi sampel adalah sukar ataumudahnya dikenali suatu obyek pada saat interpretasi, tingkat kesulitan danketerjangkauan dalam mencapai lokasi sampel yang ditetapkan. Dalam penentuantitik sampel pada setiap satuan lahan tetap memperhatikan penggunana lahan akanpemanfaatan lahan kawasan hutan mangrove yang telah berubah peruntukkannya.Satuan lahan diperoleh dari hasil tumpang susun peta bentuklahan dan petapenggunanaan lahan/pemanfaatan lahan hutan mangrove. Hasil overlai parameterbentuklahan dan penutupan/penggunaan lahan hutan mangrove di wilayah studimenghasilkan 31 satuan lahan yang terbagi menjadi 9 kelas satuan lahan.
183.2.3 Teknik Pengambilan Sampel Tanah Teknik pengambilan sampel tanah ditentukan dengan metode StratifiedSampling. Penentuan sampel berdasarkan sebaran jenis tanah yang ada di lokasipenelitian baik yang terdapat vegetasi, dan yang telah berubah peruntukkannyamenjadi tambak dan kebun. Berdasarkan kondisi kerusakannya yang homogenmaka pengambilan titik sampel tanah hanya diwakili dengan 11 titik sampel daritotal 31 titik sampel plot pengamatan. Untuk ketelitian hasil sampel tanah dilokasi penelitian dilakukan pengujian laboratorium. Komponen yang diukur dandianalisis di laboratorium meliputi kondisi tanah yakni tekstur tanah, kelas teksturtanah, pH H20, Ph KCL, nitrogen total, nitrogen tersedia, P tersedia, K tersedia,KPK, Ca, Mg, K, Na, kejenuhan basa, bahan organik, dan salinitas.3.2.4 Teknik Pengambilan Sampel Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan StratifiedSampling yaitu menentukan orang-orang yang dijadikan responden pada daerahitu secara sampling juga mengingat setiap desa yang ada di Kecamatan Kwandangitu berstrata (tidak sama) ada yang penduduknya padat, ada yang tidak, makapengambilan sampelnya perlu menggunakan stratified sampling, dan untukpenentuan responden menggunakan random sampling yakni secara acak dimanasemua individu dalam populasi baik sendiri-sendiri atau bersama-sama, diberikesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel yakni terdiri darinelayan, petani, pekerja tambak, pedagang, tokoh masyarakat, para pemangkukepentingan baik Provinsi dan pemerintah daerah. Jumlah responden yang diambil sampel ditarik 2% dari 3432 orang totalpopulasi di enam desa, hal ini didasarkan pada waktu dan dana yang terbatas.Sampel masyarakat yang telah ditetapkan sebesar 65 responden. Hal lain yangdilakukan untuk melengkapi data adalah melakukan wawancara dengan paratokoh masyarakat, para pemangku kepentingan baik Provinsi dan pemerintahdaerah sebanyak tiga responden pada saat survei dan pengukuran di lapangan.
193.2.5 Teknik Pengambilan Sampel Vegetasi Teknik pengambilan sampel vegetasi meliputi struktur vegetasi yaitudengan cara membuat transek segi empat yang ditandai dengan tali. Panjangtransek dibuat dengan ukuran 30 m x 30 m dengan mempertimbangkan resolusispasial dari citra yang digunakan. Selanjutnya, dipetakkan dan dicatat diameter,tinggi tajuk, tinggi bebas cabang dan lebar tajuk tiap pohon. Total transek yangdibuat sebanyak 31 transek, dari arah laut ke darat. Spesies mangrove di lokasipenelitian diketahui dengan melakukan identifikasi spesies secara langsung dilapangan pada setiap transek. Jumlah individu setiap spesies mangrove yangditemukan dalam transek dicatat.3.2.6 Pengambilan Data Instansional Pengambilan sampel pada instansi terkait adalah menggunakan metodePurposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dilakukan berdasarkankarakteristik yang ditetapkan terhadap elemen populasi target yang diperoleh.Teknik ini didasarkan atas cirri tertentu yang diperkirakan mempunyai hubungandengan penelitian yang dilakukan. Metode ini digunakan dengan pertimbanganbahwa hanya instansi tertentu yang memiliki kegiatan yang sesuai denganpenelitian. Setelah penetapan instansi dilakukan maka hanya bagian-bagiantertentu yang menjadi sasaran untuk dilakukan wawancara. Instansi terkait yakniBadan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gorontalo Utara, BPS Provinsi Gorontalo,Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gorontalo Utara, Dinas Perikanandan Kelautan Kabupaten Gorontalo Utara, BALIHRISTIK Provinsi Gorontalo,BAPPEDA Kabupaten Gorontalo Utara, Badan Meteorologi, Klimatologi danGeofisika Provinsi Gorontalo.3.3 Variabel Penelitian Variabel penelitian terdiri atas : 1) Variabel Karakteristik LingkunganSosial-Ekonomi yakni kependudukan, tingkat pendidikan penduduk, pendapatandan pengeluaran; 2) Variabel Karakteristik Lingkungan Abiotik yaknibentuklahan, penggunaan lahan, kondisi tanah, iklim; 3) Variabel KarakteristikKerusakan Hutan Mangrove yakni alih fungsi hutan mangrove dan perubahan luas
20hutan mangrove; 4) Variabel Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove yakni nilai gunalangsung, nilai guna tak langsung, 3) nilai Pilihan, 4) nilai nilai keberadaanspesies langka, satwa dilindungi, dan perlindungan habitat , 5) nilai warisan.3.4 Prosedur Penelitian1. Penyusunan pete-peta tematik meliputi Interpretasi Citra Landsat ETM+Tahun 2000 dan ALOS ENVIR-2 Tahun 2010, Peta Bentuklahan, PetaPenggunaan/Pemanfaatan lahan, Peta Satuan Lahan, Peta Tanah, PetaPenutupan Vegetasi, Peta Kerusakan Hutan Mangrove Tahun 2000-2010.2. Analisis Ekosistem Mangrove Berdasarkan Peta meliputi karakteristikLingkungan Abiotik, kondisi struktur vegetasi mangrove, kondisi sosialekonomi.3. Analisis Valuasi Ekonomi Hutan MangroveTeknik dan metode perhitungan valuasi ekonomi hutan mangrove yangdigunakan bersumber dari semua manfaat yang dihasilkan dari hutanmangrove yang sesuai dengan hasil yang diperoleh baik itu dalam bentukproduk maupun jasa mangrove.Adapun teknik dan metode perhitungan valuasi ekonomi hutan mangrovedisajikan pada Tabel 3.5.Tabel 3.5 Teknik Dan Metode Perhitungan Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove Nilai Ekonomi Hutan Mangrove ValuasiA. Nilai Guna Langsung1. Kayu bakar Harga pasar, harga kayu bakar2. Kayu bangunan Harga pasar, harga kayu bangunan3. Hasil tangkapan ikan Harga pasar, harga hasil tangkapan ikan4. Udang Harga pasar, harga udang5. Kepiting bakau Harga pasar, harga kepiting bakau6. Ekowisata Biaya perjalanan7. Ilmu Pengetahuan Biaya langsungB. Nilai Guna Tak Langsung1. Penahan intrusi Biaya pengganti, biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air tawar2. Sebagai pelindung, penahan gelombang (tsunami) Biaya pengganti, biaya yangdan pengendali banjir dikeluarkan untuk membangun
213. Penyedia pakan sarana fisik break water danC. Nilai Pilihan tembok penahan air yang1. Keanekaragaman hayati digunakan sebagai pelindung, penahan gelombang dan2. Penyimpanan karbon pengendali banjir3. Memelihara iklim mikro dan makro hutan mangrove Harga pasar, harga pakanD. Nilai Keberadaan Nilai keanekaragaman hayati US $1. Spesies langka, satwa dilindungi, dan perlindungan 1500/km² Nilai karbon 1 ton US $ saat ini habitat Biaya relokasi yakni biayaE. Nilai Warisan penanaman, biaya bibit yang dikeluarkan untuk melestarikanSumber : Data Primer, 2010 kembali kawasan hutan mangrove yang telah rusak Nilai spesies langka US $ 30 ha/th Metode contingent valuation4. Total Valuasi Ekonomi Kerusakan Hutan Mangrove Perhitungan nilai ekonomi total mangrove menggunakan pendekatan,yakni dengan menjumlahkan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilaipilihan, nilai keberadaan, dan nilai warisan.5. Upaya Rehabilitasi Hutan Mangrove Analisis rehabilitasi hutan mangrove didasarkan pada nilai yang diperolehdari kerusakan hutan mangrove berdasarkan bobot nilai kondisi rusaknyamangrove di lokasi penelitian yakni pada pengklasifikasian kondisi mangroveberdasarkan kriteria baku kerusakan hutan mangrove dengan kriteria baik-sangatpadat, baik-sedang, rusak-jarang. Sementara itu, aktivitas rehabilitasi hutanmangrove yang dilakukan masyarakat melalui kegiatan penanaman kembalimangrove yang rusak dianalisis berdasarkan hasil kuisioner. Dengan nilai inilahyang nantinya dijadikan acuan guna merehabilitasi kondisi mangrove yang telahrusak.
226. Penyusunan Model Valuasi Ekonomi sebagai Dasar untuk Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove di Kecamatan Kwandang Penyusunan model valuasi ekonomi yang nantinya digunakan sebagaidasar untuk merehabilitasi kerusakan hutan mangrove di kecamatan kwandangdiperoleh dengan melibatkan berbagai komponen analisis variabel penyusunnya.Model valuasi yang dihasilkan dapat membuktikan bahwa nilai ekologis dari nilaiekonomi hutan mangrove lebih besar dari nilai ekonomi yang bersumber daripemanfaatan langsung, sehingga nilai pasti (rill) dari nilai ekologis akibatkerusakan ekosistem ini dapat diterima. IV. KONDISI DAERAH PENELITIAN4.1 Kondisi Ekosistem Mangrove Di Daerah Penelitian4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi serta Luas Wilayah Wilayah Kecamatan Kwandang berdasarkan Daerah Dalam Angka (DDA),2010 terdiri atas 13 desa. Luas daerah penelitian berdasarkan data BPS adalah301,26 Km², luas berdasarkan hasil perhitungan dengan bantuan Sistem InformasiGeografi (SIG) adalah 306,23 Km². Adanya perbedaan hasil antara data BPS danhasil perhitungan dengan SIG, disebabkan oleh perhitungan dari BPS hanyadidasarkan pada perhitungan luas berdasarkan surat sertifikat tanah tanpamenggunakan perhitungan dari citra. Sedangkan untuk penelitian ini semua dataakan mengacu pada luasan berdasarkan hasil citra ALOS/AVNIR-2 (AdvancedLand Observing Satelite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2)tahun perekaman 2010.Berdasarkan luas Desa yang berada di daerah penelitian, Desa Bualemo memilikiluas terbesar yaitu 117,96 Km² atau 38,52% lebih luas dibandingkan dengan Desalainnya di Kecamatan Kwandang, dan Desa Moluo memiliki luas paling kecilyaitu 4,6 Km² atau 1,51%. Dari 13 Desa yang terlihat pada peta adminstrasiKecamatan Kwandang, hanya enam desa yang dipilih sebagai lokasi pengambilansampel yaitu Desa Molingkapoto, Dasa Mootinelo, Desa Leboto, Desa Bulalo,Desa Moluo dan Desa Dambalo, dengan titik sebaran sampel sebanyak 31 titik
23sampel penelitian. Hal ini didasarkan pada kerusakan hutan mangrove yang terjadidi wilayah tersebut.4.1.2 Iklim Curah hujan di wilayah Kwandang dari tahun 2006-2011 memberikanpengaruh sangat besar akan pertumbuhan mangrove di daerah ini. Gambaran rata-rata curah hujan selang tahun 2006-2011 secara lengkap disajikan pada Gambar4.2. Curah Hujan Jumlah Hari Hujan 2904 2289 24321524 1500 1007 83 66 248 125 89 982006 2007 2008 2009 2010 2011Gambar 4.2 Rata-rata Curah Hujan Selang Waktu Tahun 2006-2011 Kecamatan Kwandang4.1.3 Bentuklahan Daerah Desa lokasi penelitian tersusun dari 6 bentuklahan yaitu perbukitanberbatuan sedimen non-gamping diselingi sedimen gampingan, lereng kakiperbukitan terkikis, rataan pasang surut, pegunungan berbatuan dominan vulkaniknon-intrusi, dataran alluvial dan dataran alluvial pantai. Dari keenam bentuklahandi lokasi penelitian bentuklahan yang mendominasi adalah lereng kaki perbukitanterkikis dan rataan lumpur pasang surut.4.1.4 Penggunaan lahan Penelitian ini menghasilkan data penggunaan lahan untuk dua tahun yangberbeda, tahun 2000 melalui interpretasi Citra Digital Landsat ETM+ tahunperekaman 2000 dan penggunaan lahan tahun 2010 melalui interpretasi citraALOS/AVNIR-2 tahun perekaman 2010. Analisis data ini memberikan informasi
24sejauh mana perkembangan pola penggunaan lahan masyarakat di lokasipenelitian dalam kurun waktu 10 tahun. Berdasarkan hasil interpretasi Peta RBI skala 1:50.000 tahun 1991 lembarKwandang, Peta Administrasi Kwandang tahun 2010, Citra Digital Landsat ETM+(Enhanced Thematic Mapper Plus) tahun perekaman 2000, dan pengecekanlapangan pada 2010, luas mangrove yang telah di konversi menjadi tambakadalah 115.9 Ha yang terdapat di Desa Bulalo dengan luas 42,73 Ha, dan di DesaMoluo seluas 73,17 Ha. Pola penggunaan lahan di lokasi penelitian, untuk DesaMolingkapoto, Desa Mootinelo, Desa Leboto, dan Desa Dambalo belum terdapatadanya penggunaan lahan untuk tambak. Sedangkan berdasarkan hasil interpretasiPeta RBI skala 1:50.000 tahun 1991 lembar Kwandang, Peta AdministrasiKwandang tahun 2010, Citra ALOS/AVNIR-2 tahun 2010, dan pengecekanlapangan tahun 2010, untuk penggunaan lahan di tahun 2010, terjadi perubahanpenggunaan lahan untuk desa-desa yang pada tahun 2000 belum terdapat adanyapembukaan tambak maka untuk tahun 2010 telah terlihat adanya pembukaantambak, untuk Desa Molingkapoto terdapat adanya tambak dengan luas 110,3 Ha,untuk Desa Mootinelo daerah tambak yang ada seluas 111,1 Ha, untuk DesaLeboto seluas 167,6 Ha, sedangkan untuk Desa Dambalo areal tambak yang adaseluas 25,96 Ha.Penggunaan lahan untuk tambak di Desa Bulalo dan Desa Moluo di tahun 2010telah terjadi perubahan luasan yakni untuk Desa Bulalo sekarang luasantambaknya adalah seluas 105,2 Ha, sedangkan untuk Desa Moluo areal tambakyang ada adalah seluas 70,94 Ha. Berdasarkan data ini untuk Desa Bulalo terjadipeningkatan luasan areal pembukaan tambak disebabkan aktivitas masyarakatyang terus memanfaatkan kawasan mangrove tersebut, sedangkan untuk DesaMoluo terjadi perubahan luas tambak di mana pada tahun 2000 luas areamangrove yang telah dikonversi menjadi tambak adalah 73,17 Ha sekarang telahterjadi penurunan luasan areal tambak yakni 70,94 Ha, hal ini disebabkan karenaadanya pertumbuhan mangrove di kawasan bekas mangrove.
254.1.5 Tanah Hasil analisa Laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air Fakultas GeografiUniversitas Gadjah Mada dan Uji Lapangan menunjukkan kondisi tanahmangrove pada lokasi penelitian bahwa kondisi tekstur tanah di titik 28, 4, 5, 23,24, dan 31 yang masih terdapat vegetasi mangrove terdiri atas pasir kasar (2,77%-62,33%), pasir sangat halus (5,35%-19,58%), pasir (9,87%-67,68%), debu(19,30%-58,07%), dan lempung (13,02%-35,71%), dengan kondisi tanah sepertiini maka terlihat mangrove di wilayah Kwandang di dominasi oleh genusAvicennia dan Sonneratia yang hidup dengan baik pada tanah berpasir,Rhizophora sp lebih menyukai debu halus, dan Bruguiera sp menyukai tanahlempung yang mengandung sedikit bahan organik, sedangkan yang tidak terdapatvegetasi (telah diubah menjadi tambak dan kebun) tekstur tanahnya yakni pasirkasar (7,28%-42,72%), pasir sangat halus (4,02%-18,14%), pasir (11,30%-60,86%), debu (24,66%-58,07%), dan lempung (14,48%-31,32%). Bila dilihat dari tekstur tanahnya kawasan mangrove wilayah Kwandangtidak cocok untuk tambak karena kandungan pasirnya ( > 50%) sehingga kurangmampu menahan air dan mudah hancur. Hal ini dipertegas oleh penelitian Johari(2009), bahwa tanah yang baik untuk tambak adalah jenis tanah dengankandungan lempung tinggi dan kandungan pasirnya rendah, kandungan pasirtinggi umumnya tidak cocok untuk tambak, karena selain porositasnya tinggi dayaikat tanahnya juga rendah sehingga mudah terlepas jika digunakan untukmembangun tanggul. Tekstur tanah juga menentukan sumber air yang cocokuntuk tambak. Melihat data ini menegaskan bahwa wilayah Kwandang lebihcocok untuk ditanami mangrove daripada di buat tambak.4.1.6 Alih Fungsi Hutan Mangrove4.1.6.1 Spesies Mangrove Spesies mangrove yang di temukan di lokasi penelitian sebanyak 16spesies yakni Rhizophora mucronata Blume, Rhizophora apiculata Lamk,Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob, Brugueiragymnorrhiza (L) Lamk, Bruguiera paviflora (Roxb) W&A, Sonneratia alba J.E.
26Smith, Soneratia caseolaris (L) Eng, Xylocarpus mulocensis (Lamk) Roem,Xylocarpus granatum Koen (niri), Avecennia alba Blume, Avecennia marina(Forsk) Vierh, Avicennia officinalis (L) Lamk, Acanthus ilicifolius L, Heritieralittoralis Dryand. Ex W.Ait, Aegiceras corniculatum (L.) Blanco, dan distribusispasialnya di posisikan pada citra ALOS/AVNIR-2.4.1.6.2 Struktur Vegetasi Mangrovea. Struktur Vegetasi Mangrove dan Nilai Penting Tingkat Pohon PadaKriteria RusakPada Tabel 4.7, terlihat adanya spesies-spesies tertentu yang memilikinilai-nilai parameter vegetasi yang tinggi dan hal ini dapat mencirikan spesiesyang dominan dalam suatu komunitas tersebut. Spesies Avicennia alba Blumememiliki nilai penting sebesar 89,3%, dominansi sebesar 312 cm², frekuensisebesar 0,42%, kerapatan sebesar 0,05 m², hal inilah yang menjadikan spesiesAvicennia alba Blume terlihat paling dominan (30%) dari pada spesies lainnya.Sedangkan spesies Aegiceras corniculatum (L.) Blanco memiliki penyebaran yangtidak merata hanya ditemui pada titik tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan nilaipenting terkecil yakni 3,03%, dominansi sebesar 4,91 cm², frekuensi sebesar0,03%, kerapatan sebesar 0,001 m².Tabel 4.7 Struktur Vegetasi Mangrove Dan Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Kriteria RusakNama Spesies K Kr D Dr F Fr INP (m²) (%) (cm²) (%) (%) (%) (%)Avicennia alba 0,05 34,6 312 31,9 0,42 22,8 89,3Sonneratia alba 0,024 16,9 210 21,5 0,29 15,8 54,2Avicennia marina 0,018 12,3 133 13,6 0,19 10,5 36,5Brugueira gymnorrhiza 0,011 7,69 85,1 8,71 0,16 8,77 25,2Rhizophora Apiculata 0,01 6,92 52,7 5,39 0,19 10,5 22,8Xylocarpus mulocensis 0,006 3,85 36,3 3,71 0,16 8,77 16,3Soneratia caseolaris 0,006 3,85 38,6 3,94 0,13 7,02 14,8Ceriops decandra 0,007 4,62 48,5 4,96 0,06 3,51 13,1Rhizophora mucronata 0,004 3,08 14,3 1,46 0,06 3,51 8,05Ceriops tagal 0,003 2,31 18,9 1,93 0,06 3,51 7,75Xylocarpus granatum 0,003 2,31 8,65 0,89 0,03 1,75 4,95Avicennia officinalis 0,001 0,77 14,7 1,51 0,03 1,75 4,03Aegiceras corniculatum 0,001 0,77 4,91 0,5 0,03 1,75 3,03Sumber : Analisis Data Primer, 2010
27b. Struktur Vegetasi Mangrove dan Nilai Penting Tingkat Pancang PadaKriteria Rusak Berdasarkan analisis vegetasi untuk tingkat pancang terlihat adanyaspesies-spesies tertentu yang memiliki nilai-nilai parameter vegetasi yang tinggidan hal ini dapat mencirikan spesies yang dominan dalam suatu komunitas.Spesies-spesies mangrove tersebut, yakni Rhizophora apiculata Lamk adalahspesies yang paling mendominasi di lokasi penelitian sebesar 15% dengan nilaipenting sebesar 46,5%, dominansi sebesar 174 cm², frekuensi sebesar 0,32%, dankerapatan sebesar 0,02 m², sedangkan Rhizophora mucronata Blume memilikinilai penting sebesar 39%, dominansi sebesar 111 cm², frekuensi sebesar 0,39%,dan kerapatan sebesar 0,05 m². Hal ini dapat berarti bahwa penyebaran mangroveRhizophora dapat dikatakan merata pada lokasi penelitian dan karena memilikidominansi yang besar dibandingkan dengan spesies lainnya di lokasi yang samaini dapat berarti bahwa bentuk pohon Rhizophora apiculata Lamk lebih besar danmemiliki penutupan tajuk yang lebih luas dibandingkan dengan spesies lainnya.Struktur vegetasi mangrove dan sebaran spesies dominan untuk tingkat pancangdisajikan pada Tabel 4.8Tabel 4.8 Struktur Vegetasi Mangrove Dan Nilai Penting Tingkat Pancang Pada Kriteria RusakNama spesies K Kr D Dr F Fr INP (m²) (%) (cm²) (%) (%) (%) (%)Rhizophora apiculata 0,02 1,72 174 32,9 0,32 11,9 46,5Rhizophora mucronata 0,05 3,72 111 21 0,39 14,29 39Ceriops decandra 0,39 31,9 10,8 2,04 0,13 4,762 38,7Avicennia alba 0,14 11,2 58 10,9 0,35 13,1 35,2Avicennia officinalis 0,26 21,1 17,8 3,35 0,1 3,571 28,1Sonneratia alba 0,04 2,99 43,6 8,23 0,39 14,29 25,5Ceriops tagal 0,01 0,54 52,4 9,89 0,35 13,1 23,5Avicennia marina 0,13 10,3 18,6 3,51 0,19 7,143 21Brugueira gymnorrhiza 0,1 8,08 25,2 4,76 0,19 7,143 20Bruguiera paviflora 0,03 2,45 9,1 1,72 0,1 3,571 7,74Xylocarpus mulocensis 0,06 4,81 2,83 0,54 0,06 2,381 7,73Xylocarpus granatum 0 0,18 2,32 0,44 0,06 2,381 3Soneratia caseolaris 0,01 0,45 2,67 0,5 0,03 1,19 2,15Heritiera littoralis 0,01 0,54 1,13 0,21 0,03 1,19 1,95Sumber : Analisis Data Primer, 2010
28c. Struktur Vegetasi Mangrove dan Nilai Penting Tingkat Semai PadaKriteria Rusak Hasil perhitungan nilai penting untuk mangrove semai pada lokasipenelitian menunjukkan bahwa terdapat dua spesies mangrove semai yangmemiliki nilai dominan yang besar yakni 21% untuk spesies Rhizophora apiculataBlume dengan nilai penting sebesar 42,74%, kerapatan sebesar 0,357 m²,frekuensi 0,23% dan spesies Rhizophora mucronata Lamk dengan nilai pentingsebesar 41,22%, kerapatan sebesar 0,303 m², frekuensi 0,26%. Struktur vegetasimangrove dan sebaran spesies dominan untuk tingkat semai disajikan pada Tabel4.9Tabel 4.9 Struktur Vegetasi Mangrove Dan Nilai Penting Tingkat Semai Pada Kriteria Rusak Nama spesies K KR F FR INP (m²) (%) (%) (%) (%)Rhizophora apiculata 0,357 26,1 0,23 16,7 42,74Rhizophora mucronata 0,303 22,2 0,26 19 41,22Ceriops tagal 0,182 13,3 0,16 11,9 25,23Avicennia alba 0,172 12,6 0,16 11,9 24,5Acanthus 0,154 11,3 0,06 4,76 16,05Avicennia marina 0,068 4,96 0,13 9,52 14,48Xylocarpus mulocensis 0,053 3,9 0,13 9,52 13,42Brugueira gymnorrhiza 0,036 2,6 0,13 9,52 12,12Sonneratia alba 0,031 2,27 0,06 4,76 7,04Ceriops decandra 0,011 0,81 0,03 2,38 3,19Sumber : Analisis Data Primer, 20104.1.6.3 Zonasi Mangrove Berdasarkan profil zonasi di lokasi penelitian memiliki keunikandibandingkan dengan hutan mangrove yang ada di daerah lain. Salah satukeunikan tersebut berasal dari variasi jenis yang hidup tidak berdasarkan polazonasi pada umumnya. Hasil analisis vegetasi berdasarkan Indeks Nilai Pentingdan Indeks vegetasi berdasarkan citra dan uji lapangan di temukan dari pinggirpantai sampai pedalaman daratan setiap spesies saling berasosiasi dalam satulapisan, sehingga zonasi di wilayah ini masuk zonasi sederhana yakni satu zonasiatau zonasi campuran.
29Profil zonasi di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang tidak terdiri atas beberapazonasi, karena tidak ada zonasi yang murni satu genus saja, yang ditemukan hanyasatu zonasi yang miks, dimana setiap spesies tumbuh berulang sampai kearahdaratan, dan tumbuh saling bercampur antara beberapa spesies, tidak ditemukanspesies yang dominan untuk menentukan pembagian zonasi.4.1.7 Perubahan Luas Hutan Mangrove Hasil analisis data kerusakan hutan mangrove tahun 2000 diperoleh databahwa total luas hutan mangrove di lokasi penelitian adalah seluas 759,1 Ha, yangmengalami kerusakan seluas 155,8 hektar dengan kondisi kerusakannya adalahrusak total dengan tidak ditemukannya lagi vegetasi mangrove di lokasi tersebutadalah seluas 106 hektar atau 14% dari total luas hutan mangrove, sementara itu,yang rusak-jarang adalah seluas 49,8 hektar atau 7%. Untuk kawasan mangrovedengan kriteria baik-sangat padat adalah seluas 570,3 hektar atau 75% dari luashutan mangrove tahun 2000, dan luas kawasan mangrove dengan kriteria baik-sedang adalah seluas 33 hektar atau 4%. Jika kondisi ini di bandingkan dengankerusakan di tahun 2010, terlihat adanya perubahan luasan yang sangat cepat. Kerusakan mangrove tahun 2010 mencapai kenaikan sebesar 41% dari21% di tahun 2000, sehingga total kerusakan mangrove tahun 2010 telahmencapai 62%, di mana kawasan mangrove yang telah mengalami kerusakantelah mencapai 687,3 hektar, dengan kondisi kerusakan yang terjadi adalah rusaktotal tanpa ada vegetasi mangrove lagi adalah seluas 551,5 hektar atau 51% daritotal luas hutan mangrove, sedangkan untuk kondisi rusak-jarang adalah seluas135,8 hektar atau 12% dari total luas hutan mangrove. Sementara itu, kawasanmangrove dengan kriteria baik-sangat padat adalah seluas 341,8 hektar atau 31%dari total luas hutan mangrove tahun 2010, dan kondisi mangrove dengan kriteriabaik-sedang adalah seluas 64,6 hektar atau 6 % dari total luasan mangrove. Dari data kerusakan yang di peroleh terlihat perbedaan total luasanmangrove di daerah penelitian, di mana hasil deliniasi area untuk kawasanmangrove tahun 2000 luasan mangrove adalah seluas 759,1 hektar dan pada tahun2010 terjadi peningkatan luasan area mangrove menjadi 1.093,7 hektar. Melihat
30data ini diasumsikan sebelum tahun 2000, telah ada kegiatan rehabilitasi hutanmangrove pada kawasan yang memang telah mengalami kerusakan, tetapi belumterbaca oleh citra Landsat ETM+ karena spesies yang di tanam masih berupasemai. Kondisi ini diperkuat dengan data hasil wawancara pribadi dengan pihakDinas Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Kwandang yang diwakili olehBapak Imanuel Ruruh dan tim yang terlibat langsung pada kegiatan tersebut yakniRauf (45 th) bahwa sebelum tahun 2000 telah ada kegiatan rehabilitasi yangdilaksanakan oleh salah satu Perguruan Tinggi di daerah Gorontalo yaitu STKIP(UNG sekarang) yakni pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1995. Wujud nyatadari hasil kegiatan tersebut dapat di lihat dengan penambahan areal luas hutanmangrove di tahun 2010, walaupun memang kondisi kerusakannya lebihmeningkat yakni mencapai 687,3 hektar, di mana rusak total seluas 551,5 hektardan rusak jarang seluas 135,8 hektar, bahkan melebihi dari vegetasi yang terdapatdi tahun 2000 yakni 603,3 hektar.V. VALUASI EKONOMI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE5.1 Valuasi Ekonomi Kerusakan Hutan Mangrove Valuasi ekonomi kerusakan hutan mangrove membuktikan bahwa nilaiekonomi yang bersumber dari fungsi ekologis lebih besar nilainya dibandingkandengan nilai ekonomi, sehingga mempertahankan mangrove lebih baik dari padamembabat habis untuk pembukaan tambak atau peruntukkan lainnya denganalasan faktor ekonomi. Total valuasi ekonomi kerusakan hutan mangrove danproporsi nilai guna di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.20 dan Gambar 5.8.Tabel 5.20 Total Valuasi Ekonomi Mangrove di Kecamatan Kwandang No Jenis nilai Jumlah Nilai Rp/ha/th 1 Nilai Guna Langsung 20.183.079.000 2 Nilai Guna Tidak Langsung 23.213.053.409 3 Nilai Pilihan 9.084.019.871 4 Nilai Keberadaan 185.571.010 5 Nilai Warisan 6.790.000 52.672.513.290 Jumlah Total NilaiSumber : Analisis Data Primer, 2010
31 1%0% Nilai Guna Langsung 17% Nilai Guna Tidak Langsung Nilai Pilihan 38% Nilai Keberadaan Nilai Warisan44% Gambar 5.8 Proporsi Nilai Guna Total Valuasi Ekonomi Di Lokasi Penelitian, Tahun 20105.2 Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove di Lokasi Penelitian Rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di lokasi penelitian sepenuhnyaadalah merupakan tanggung jawab dari pemerintah yang kemudian diikuti olehmasyarakat dan kelompok pelestari mangrove yang terdapat di lokasi tersebut.Setalah dilakukan rehabilitasi kondisi hutan mangrove lima tahun terakhir dari 65responden yang menjawab kondisi tidak berubah yakni 9,23% (6 orang), kondisisemakin baik yakni 20% (13 orang), kondisi semakin buruk yakni 49,23% (32orang) dan lainnya yakni 21,23% (14 orang). Responden yang masuk kategorilainnya menjawab kondisi mangrove tidak ada perubahan begitu-begitu teruskerusakannya, tidak ada perubahan yang serius, sudah rusak dan tidak adapenanaman. Pelaksanaan rehabilitasi hendaknya pemerintah daerah KecamatanKwandang lebih melibatkan masyarakat sepenuhnya dengan harapan apabilagerakan rehabilitasi tersebut dipercayakan sepenuhnya kepada masyarakat yangberada di kawasan mangrove secara otomatis mereka merasa memiliki hutanmangrove tersebut sehingga tanpa adanya perintah masyarakat setempat akanberupaya ikut menjaga, memelihara, dan melakukan pengawasan akan keberadaanhutan mangrove yang memang berada tidak jauh dari tempat tinggal mereka.Selain itu juga dalam melakukan rehabilitasi lebih dititik beratkan pada kondisi
32kerusakannya, seperti di desa Mootinelo yang telah mengalami kerusakan 2,6 Kmdari garis pantai dengan luas kerusakannya mencapai 181,29 hektar, Desa Lebotoyang kerusakannya mencapai 181,23 hektar, dan desa Bulalo yang kerusakannya80 meter dari garis pantai dengan luas kerusakannya mencapai 123,4 hektar.5.3 Model Valuasi Ekonomi sebagai Dasar untuk Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove Model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini yakni modelprosedur atau berupa kerangka konseptual yang diperoleh dengan melibatkanberbagai komponen analisis dan memberikan hasil yang bervariasi. Kerusakanhutan mangrove di lokasi penelitian berada pada kriteria rusak jarang. Hal inimenandakan bahwa mangrove di wilayah ini sebagian besar sudah habis. Pemicuterbesar akan rusaknya hutan mangrove di lokasi penelitian yakni karena adanyapembukaan tambak-tambak, baik yang masih produktif maupun non produktif.Dari segi ekonomi ini memberikan keuntungan yang besar, akan tetapi keadaanini tidak akan berlangsung lama, terbukti banyak lahan ambak yang sudak tidakproduktif lagi. Hal ini diperkuat dengan temuan penelitian ini bahwa berdasarkanuji analisis kondisi tanah di lokasi penelitian tidak cocok untuk tambak, karenabila dilihat dari tekstur tanahnya kawasan mangrove wilayah Kwandangkandungan pasirnya (> 50%) sehingga kurang mampu menahan air dan mudahhancur. Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa kondisi masyarakat di lokasipenelitian kurang memberikan perhatian terhadap pelestraian hutan mangrove, halini terutama disebabkan karena tingkat ekonomi masyarakat masih rendah,terbatasnya pengetahuan, tingkat pendidikan, dan kesadaran akan nilai manfaatmangrove bagi kehidupan mereka. Nilai ekosistem mangrove lebih diutamakanuntuk nilai ekonomi saja sedangkan nilai ekologis dari mangrove itu sendiri terusterabaikan. Pandangan ini yang harus segera diluruskan, berdasarkan temuanpenelitian ini terbukti bahwa nilai ekonomi yang bersumber dari fungsi ekologislebih besar nilainya dibandingkan dengan nilai ekonomi, di mana nilai yangbersumber dari fungsi ekologis mencapai 61,7% lebih besar dari nilai guna
33langsung 38,3%. Berdasarkan temuan ini terbukti bahwa mempertahankanmangrove lebih baik dari pada membabat habis untuk pembukaan tambak atauperuntukkan lainnya dengan alasan faktor ekonomi. Kontribusi utama penelitian ini secara teoritis terletak pada aspek-aspekberikut:a. Untuk melakukan valuasi ekonomi ekosistem mangrove seharusnya perhitungan tersebut tidak sekedar berdasarkan nilai guna dan non guna yang diperoleh dari ekosistem mangrove, tetapi juga nilai kerusakan diakibatkan oleh ekosistem ini perlu di nilai. Sehingga nilai ekologis dari mangrove itu sendiri tidak selalu terabaikan. Selain itu untuk keakuratan data riil luasan yang rusak dan masih terdapat vegetasi mangrove jangan hanya berdasarkan perhitungan manual di lapangan tetapi juga harus menggunakan pola spasial dalam valuasi ekonomi yang bersumber dari citra.b. Metode valuasi yang digunakan, di mana peneliti menemukan cara-cara baru dalam melakukan valuasi ekonomi diantaranya memodifikasi semua rumus yang digunakan untuk masing-masing nilai yang bersumber dari hutan mangrove dengan melibatkan proses analisis spasial dan pemetaan. Nilai guna langsung dengan memasukkan nilai kerusakan, menemukan persamaan regresi linier untuk nilai tangkapan ikan, udang, dan kepiting, terbukti bahwa semakin luas mangrove maka tangakapan ikan, udang, dan kepiting pun meningkat. Nilai guna tidak langsung memasukaan luas area yang rusak menemukan nilai riil fungsi mangrove sebagai penahan intrusi, sebagai pelindung, penahan gelombang, dan pengendalian banjir, dan fungsi mangrove sebagai penyedia pakan. Nilai pilihan untuk fungsi mangrove sebagai penyimpan karbon diperoleh dengan cara menghitung langsung nilai karbon di lapangan berdasarkan volume batang pohon dari spesies mangrove dan dipadukan dengan nilai karbon dari citra dengan menggunakan persamaan regresi. Nilai keberadaan spesies langka, satwa dilindungi, dan perlindungan habitat memasukkan nilai hasil temuan di lapangan berdasarkan komposisi ekofloristik dan analisis vegetasi.
34c. Valuasi ekonomi dengan menggunakan pola spasial perlu dilakukan sebagai salah satu fondasi penilaian kerusakan ekologis, agar penentuan target lokasi, intensitas rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan lebih tepat. Menurut pandangan penulis, hal-hal tersebut di atas belum dilakukan olehpeneliti lain di Indonesia baik setiap aspek secara terpisah maupun keseluruhanaspek secara terkombinasi.VI. KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI6.1 Kesimpulan(1) Laju perubahan luasan hutan mangrove dilihat dari Citra Digital Landsat ETM+ tahun 2000 hutan mangrove di lokasi penelitian yang rusak adalah seluas 155,8 Ha, dan selang waktu 10 tahun, berdasarkan Citra ALOS/AVNIR- 2 tahun 2010 perubahan luasan mangrove yang telah mengalami kerusakan mencapai 687,3 hektar. Melihat data ini terjadi peningkatan kerusakan hutan mangrove mencapai 531,596 hektar atau meningkat 63% dari kondisi sekarang.(2) Ditemukan 16 spesies yang mendiami hutan mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara yakni spesies Rhizophora mucronata Blume, Rhizophora Apiculata Lamk, Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob, Brugueira gymnorrhiza (L) Lamk, Bruguiera paviflora (Roxb) W&A, Sonneratia alba J.E. Smith, Soneratia caseolaris (L) Eng, Xylocarpus mulocensis (Lamk) Roem, Xylocarpus granatum Koen (niri), Avecennia alba Blume, Avecennia marina (Forsk) Vierh, Avicennia officinalis (L) Lamk, Acanthus ilicifolius L, Heritiera littoralis Dryand. Ex W.Ait, Aegiceras corniculatum (L.) Blanco. Dari 16 spesies tersebut terlihat adanya kehadiran spesies yang langka secara global sehingga berstatus rentan dan memerlukan perhatian khusus dalam hal pengelolaannya yakni spesies Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou. Hasil analisis vegetasi berdasarkan Indeks Nilai Penting dan Indeks vegetasi (berdasarkan citra dan uji lapangan) di temukan bahwa profil zonasi di wilayah ini masuk pada zonasi sederhana (satu zonasi atau zonasi campuran)
35 dimana dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan setiap spesies saling berasosiasi dalam satu lapisan. Profil zonasi di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang tidak terdiri atas beberapa zonasi, karena tidak ada zonasi yang murni satu genus saja, yang ditemukan hanya satu zonasi yang merupakan campuran (mixel), dimana setiap spesies tumbuh berulang sampai kearah daratan, dan tumbuh saling bercampur antara 16 spesies tersebut.(3) Valuasi ekonomi berdasarkan kerusakan hutan mangrove ditemukan bahwa nilai guna dari total hutan mangrove lokasi penelitian mencapai Rp52.672.513.290/10th (± 52,672 milyar/10th). Jika nilai ini dibahagi 10 tahun, maka kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan hutan mangrove rerata pertahunnya mencapai Rp5.267.251.329/tahun. Dari nilai ekonomi total tersebut diketahui bahwa nilai ekologi dari nilai guna tidak langsung memiliki nilai lebih tinggi dari nilai lainnya yakni Rp23.213.053.409/10th. Jenis nilai lainnya yang diperoleh yakni nilai guna langsung sebesar Rp20.183.079.000/10th, nilai pilihan sebesar Rp9.084.019.871/10th, nilai keberadaan spesies langka, satwa dilindungi, perlindungan habitat sebesar Rp185.571.010/10th dan nilai warisan sebesar Rp6.790.000/10th.Valuasi ekonomi kerusakan hutan mangrove membuktikan bahwa nilai ekonomi yang bersumber dari fungsi ekologis lebih besar nilainya dibandingkan dengan nilai ekonomi, sehingga mempertahankan mangrove lebih baik dari pada membabat habis untuk pembukaan tambak atau peruntukkan lainnya dengan alasan faktor ekonomi.(4) Hasil penelitian ini menemukan bahwa model valuasi ekonomi berbasis data spasial belum di lakukan di Indonesia dan valuasi ekonomi untuk aspek rehabilitasi hutan mangrove dari segi kerusakannya di Indonesia belum dibahas secara rinci. Model yang dikembangkan dalam penelitian ini yakni dalam bentuk kerangka kerja untuk valuasi ekonomi kerusakan ekologis yang mutlak memerlukan proses analisis spasial dan pemetaan, dengan melibatkan berbagai variabel yakni variabel karakteristik lingkungan sosial, variabel karakteristik abiotik hutan mangrove, variabel karakteristik kerusakan hutan mangrove, dan variabel valuasi ekonomi hutan mangrove. Dana yang
36 dialokasikan pada tahun 2010 untuk rehabilitasi kerusakan hutan mangrove yakni seluas 24 hektar tidak sebanding dengan kerusakannya yakni sebasar 687,3 hektar dan nilai rupiah dari hasil valuasi ekonomi kerusakan hutan mangrove tersebut.6.2 Saran(1) Valuasi ekonomi dengan menggunakan pola spasial perlu dilakukan sebagai salah satu fondasi penilaian kerusakan ekologis, agar penentuan target lokasi, intensitas rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan lebih tepat.(2) Untuk melakukan valuasi ekonomi ekosistem mangrove seharusnya perhitungan tersebut tidak sekedar berdasarkan nilai guna dan non guna yang diperoleh dari ekosistem mangrove, tetapi juga nilai kerusakan diakibatkan oleh ekosistem ini perlu di nilai. Sehingga nilai ekologis dari mangrove itu sendiri tidak selalu terabaikan. Selain itu untuk keakuratan data riil luasan yang rusak dan masih terdapat vegetasi mangrove jangan hanya berdasarkan perhitungan manual di lapangan tetapi juga harus menggunakan pola spasial dalam valuasi ekonomi yang bersumber dari citra.6.3 Implikasi(1) Perubahan luasan mangrove dengan menggunakan pola spasial diperlukan untuk melakukan valuasi ekonomi terutama untuk memperoleh data riil akan tingkat kerusakan hutan mangrove pada kondisi rusak jarang, rusak total, dan kondisi baik.(2) Berdasarkan karakteristik abiotik hutan mangrove pembukaan tambak yang terjadi di daerah penelitian semua berada di dalam kawasan yang tadinya adalah merupakan hutan mangrove. Bila dilihat dari tekstur tanahnya kawasan mangrove wilayah Kwandang tidak cocok untuk tambak karena kandungan pasirnya ( > 50%) sehingga kurang mampu menahan air dan mudah hancur. Pendapat Johari (2009), bahwa tanah yang baik untuk tambak adalah jenis tanah dengan kandungan lempung tinggi dan kandungan pasirnya rendah, kandungan pasir tinggi umumnya tidak cocok untuk tambak, karena selain porositasnya tinggi daya ikat tanahnya juga rendah sehingga mudah
37 terlepas jika digunakan untuk membangun tanggul. Tekstur tanah juga menentukan sumber air yang cocok untuk tambak. Melihat data ini menegaskan bahwa wilayah Kwandang lebih cocok untuk ditanami mangrove daripada di buat tambak.(3) Hasil analisis vegetasi kerusakan hutan mangrove menunjukkan kondisi mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang berada pada kondisi sangat buruk, dengan tingkat kerapatan vegetasi mangrove kurang dari satu atau berkisar pada nilai rata-rata 0 – 0,3. Indeks Nilai Penting (INP) menemukan kelompok spesies yang paling banyak hilang di lokasi penelitian adalah species Avicennia alba Blume yang memiliki nilai penting sebesar 89,31%, spesies Rhizophora Apiculata Lamk dengan nilai penting sebesar 46,52%, spesies Rhizophora mucronata Blume memiliki nilai penting sebesar 38.96%. Hal ini diakibatkan tempat tumbuh (habitat) spesies-spesies ini telah berubah peruntukkannya menjadi tambak, kebun, sawah, pelabuhan dan sebagainya. Bila kondisi ini terus menerus dibiarkan kemungkinan besar spesies Rhizophora mucronata pun semakin habis. Dari keseluruhan spesies yang ditemukan terdapat spesies Ceriops decandra yang merupakan spesies langka secara global sehingga berstatus rentan dan memerlukan perhatian khusus dalam hal pengelolaannya.(4) Terbatasnya pengetahuan, tingkat pendidikan, dan kesadaran akan nilai manfaat mangrove bagi kehidupan masyarakat di lokasi penelitian merupakan skala prioritas untuk segera ditingkatkan, agar nilai ekosistem mangrove yang bersumber dari nilai ekologis yang terabaikan bisa segera dibenahi. Pandangan bahwa keuntungan ekonomi lebih baik dibandingkan dengan nilai ekologi harus segera diluruskan karena, nilai ekonomi yang bersumber dari fungsi ekologis lebih besar nilainya dibandingkan dengan nilai ekonomi, di mana nilai yang bersumber dari fungsi ekologis mencapai 75,28% lebih besar dari nilai guna langsung 24,7%. Valuasi ekonomi dengan menggunakan pola spasial perlu dilakukan sebagai salah satu fondasi penilaian kerusakan ekologis, agar penentuan target lokasi, intensitas rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan lebih tepat.
SUMMARY DISSERTATION ECONOMIC VALUATION MODEL AS THE BASIS FORREHABILITATING MANGROVE FOREST DAMAGE ALONG THE COASTAL AREA IN KWANDANG NORTH GORONTALO GORONTALO PROVINCE The program of study Geography By DEWI WAHYUNI K. BADERAN NIM : 08/278454/SGE/171 GRADUATE PROGRAM FACULTY OF GEOGRAPHY GADJAH MADA UNIVERSITY YOGYAKARTA 2013
ECONOMIC VALUATION MODEL AS THE BASIS FOR REHABILITATING MANGROVE FOREST DAMAGE ALONG THE COASTAL AREA IN KWANDANG NORTH GORONTALO GORONTALO PROVINCE (A SUMMARY)I. INTRODUCTION The coastal area and the sea of Indonesia has the richness as well as thelargest biodiversity in the world, which is reflected in the exictence of coastalecosystem, such as mangrove forests, coral reefs, seagrass, and a wide variety of fish(Bappenas, 2007). The protection of mangrove forests is important because theseforests have significant benefit in physical, chemical, biological, and socio-economical aspects. The ignorance of the value of mangrove forest ecosystems is caused by twomain factors, namely: (1) most goods and services generated by the mangroveecosystem is not traded in the market, so it does not have a value that can beobserved, and (2) some of these goods and services are far from the mangroveecosystem, so the appreciation of the goods and services are often considered to havenothing to do with mangroves (eg marine productivity resulted from the contributionof mangroves, which increases the number of fish, shrimp, crabs, mollusks in aregion far from the coastal waters such as mangrove forests in the sea of Kwandang,Gorontalo). In Indonesia, economic valuation of ecological value on mangrove forestswhich is based on indirect use value, option value, existence value, and legacy valueis often neglected. Most researches have only focused on examining direct use valueof mangrove forest ecosystem based on economic value in the market, some of whichare the price of firewood, fish, shrimps, crabs, birds, and etc. Essentially, the methodfor examining environmental products and services offers a more comprehensiveassessment towards the assessment of various products and services from mangrove 1
ecosystem. This assessment will subsequently provide detailed for the decisionmakers. The inavailability of data on the economic value of mangrove resourcesreulting in the damage or the loss of these resources are not perceived as adisadvantage. As a result, many ecological components of mangrove received lessattention in the further management. Therefore, studies on the economic valuation ofmangrove resources, particularly for ecological value of indirect use value, optionvalue, existence value, and legacy value is important to be done immediately and isexpected to provide information or interpretations about how much economicvalue of a resource in a coastal region is, where the existence of mangroveresources have a great influence to the standards of the locals life,especially in coastal villages that economically depends on this resource. In light of the earlier discussion, Province of Gorontalo has large mangroveforests areas. One of these areas lies in the coastal of Kwandang, North Gorontalo,Province of Gorontalo. Sulawesi Island has been selected as the focus of this researchbecause it has some advantages, such as its biodiversity and the variety of livingspecies which do not correspond to the general zonation. Ecologically, the area in thisisland is confronted to the damaged ecosystem, particularly mangrove.Mangrove forest area in this island has largely been shrinking due to illegallogging, mainly caused by human activities around the forest who do the logging andtimber extraction (Rhizophora sp) for fuelwood and construction of building. Localpeople recognise the name of mangrove wood by the term Loraro/Wuwa 'ata woodwhich means very strong and durable for the construction of buildings as wellas excellent for firewood. Another activity that contributes significantly to thedamage of mangrove is the opening of ponds for aquaculture. It is worrying if there is no model of economic valuation that can be the basisfor rehabilitating mangrove forest; the ecosystem can be lost. A model of economicvaluation of the mangrove resource, it can be used as a reference in terms of the 2
allocation of the utilization of mangrove forests in this area and this model helps themanagement of mangrove forest to maintain the ecosystem. Model of economic valuation describes the procedures or conceptualframework, based on the spatial data, the ecological condition and the damage ofmangrove forest (which includes land form, land use, land structure, weather, types ofmangroves, mangrove structure and mangrove zonation). In addition, economicalassessment and ecologically mangrove use are also part of the basis for mangroverehabilitation.II. LITERATURE REVIEW AND THE ORETICAL FRAMEWORK2.1 Literature review2.1.1 Concept of natural resources economic valuation According to Max (1883, dalam Suparmoko, 2006), natural resources haveno value unless there is human activity in there. Instead, according to classicaleconomic experts, everything that can be brought into transaction must have a value.In this case, the “value” is distinguished by “price”, “price” is always associated withthe amount of rupiahs that must be paid to obtain goods, while the value of an item isnot always associated with the amount of rupiahs but has included the benefits ofsuch goods for society as a whole. On the basis of this thought, there is a trend oftaking resources excessively. Furthermore, Davis and Johnson (1987) classify thevalue based on method of judgment or value judgment, namely: (a) market value, thevalue specified through market transaction, (b) the value of usability, the valuederived from the use of such resources by a particular individual, and (c) socialvalues, values that are specified by the regulations, legal representative, or the public.While Pearce (1992 in Munasinghe, 1993) classifies values of benefits whichdescribes Total Economic Value based on the way the benefit obtained or its process. Economic value of a product or service is measured by calculating thewillingness to pay from individuals over the product or service. Subsequently, thewillingness to pay reflects individual preference for a particular product being 3
questioned. Therefore, economic valuation in the context of environment is about thepreference measurement of the locals for better environment. Valuation is thefundamental for sustainable development. The most important thing to point out iswhat needs to be done to execute economic valuation. The result of valuation is statedin money terms as a way to find preference revelation. For example, asking ” do thelocals have a willingness to pay?”. In addition, it is stated that the use of money valueenables us to compare environmental values and development values (Cserge, 1994). Basically, economic valuation aims at providing economic values to the usedresources thats suits the real value of the locals perspective. Therefore, it is importantto undertsand to what extent the bias occures between the price and the real value thatshould be determined from the used resources. It is also important to fogure outfactors leading to the bias. Economics as a tool to execute economic valuation is aknowledge of making choices. Making choices out of alternatives about environmentthat we have iscomplicated, compared to the one in the context of purely privategoods. Total economic values are economic values in natural resources, such asusability and functional values that must be taken into account in drawing up themanagement policy so that the allocation and its implementation can be appropriatelydetermined. As an illustration, for example, in the context of alternative land usedetermination of the magrove forests. Based on the law of costs and benefits ( abenefit-cost rule), the decision to develop a mangrove forest can be justified if the netbenefits from the development of the ecosystem is higher that that of conservation.Thus, in this case, the benefits of conservation is measured by the total of economicvalue of mangrove forests. Total economic value can also be interpreted as the totaleconomic value of the change in the quality of the environment.2.1.2 Ecosystem and Zonation of Mangrove Forest The mangrove forest is a general term used to describe a variety of tropicalbeach communities that are dominated by a few species of distinctive trees and shrubs 4
which have the ability to grow in salty waters (Nybakken, 1992). Mangrove forest isa typical forest found along the coast or estuaries that are affected by the tides.Mangroves grow in sheltered or flat beaches, usually along the side of the island,protected from the wind or behind a coral reef in the sheltered offshore (Nontji, 1987;Nybakken, 1992). According to Irwanto (2006, in Katili, 2009), mangrove forests arecomplex ecosystem that consist of the flora and fauna of coastal areas, living on theland and sea together, between the tides. The notion of mangrove forests, according to Alikodra (1998), is a forestformation that are affected by the sea water tides with anaerobic soil. Meanwhile,Bengen (202) defines mangrove forests as tropical beach vegetation communitiesdominated by a few species of mangrove trees that are ablto to grow and develop inthe muddy tidal beach. Mangrove forest is a type of typical rainforest growing alongthe coast or estuaries that are affected by the sea water tides, mangroves are mostlyfound on the beaches of shallow bay, estuary, the delta and sheltered beaches.Mangroves grow optimally in the coaastal area that has a large muddy estuary,whereas in the coastal areas with no estuariy, mangrove cannot grow optimally.According to Aksornkoae (1993), mangroves can also grow optimally in muddy andtidal areas which cause anaerobic conditions, this is due to the mangroves that haveroots which serve as a buffer and to absorb oxygen from the air of the water surfacedirectly. Zoning mangrove forest is determined by the state of the soil, salinity,flooding, tidal, the rate of deposition and erosion as well as the relative height of landand water. Zoning also describes the stages of succession which are in line with thechanges in place to grow. The change are very dynamic place to grow due to the rateof precipitation or erosion. Adaptability of a species to a state where mangroves growcan determine the species composition in each zone. The farther from the sea then aspecies will replace another type, and this process can take up to the transition area,which is bordered by swamp communities, freshwater and inland forests. 5
2.1.3 The Cause and Extent of Mangrove Forest Damage Data from the Ministry of Environment (MoE) RI (2008) by DirectorateGeneral of Land Rehabilitation and Social Forestry (DG RLPS), Ministry of Forestry(2000) Indonesia states that vast potential of mangrove forests is 9.204.840.32 ha areawith a good condition 2,548,209.42 ha , the condition of damaged and defectivecondition 4,510,456.61 2,146,174.29 ha. Data mapping results from Survey Center ofNatural Resources of the Sea (PSSDAL)-Bakosurtanal by analyzing Landsat ETMimage data (image data accumulated in 2006-2009, 190 scenes), estimating vastmangrove in Indonesia is 3,244,018.46 hectares (Hartini, et al ., 2010). Ministry ofForestry in 2007 also issue data on Indonesian mangrove forest, which is7,758,410.595 hectares (Director of Forest and Land Rehabilitation Ministry ofForestry, 2009 in Hartini et al, 2010), but almost 70% of it is broken (do not knowwhat kind of damage categories). Mangrove damage can be caused by several factors, such as human activities,pollution, sedimentation, waves, tides and currents. Human activities, such as illegallogging, land clearing, waste disposal influence or give pressure on the mangrovehabitat. Sourced from the human desire to convert mangrove forests into land forhousing, commercial activities, industry and agriculture. Besides, the increaseddemand for wood production also led to the increased exploitation of mangroves.Other activities that cause damage to mangrove forests are clearing land for fishponds. This last activity contributes largely in this ecosystem destruction (Dahuri,2002). Land clearing ponds is not the only main cause of mangrove destruction asdescribed by Bengen and Adrianto (1998), but can also be caused by other factors,such as high population pressure that demands higher mangrove conversion, planningand management of coastal resources in particular past mangroves which are highlysectoral, low public awareness about conservation and ecosystem services andpoverty of coastal communities that are forced by economic necessity, so as toarbitrarily open land in the mangrove forest area to meet the needs of its economy. 6
Similarly, for the purpose of obtaining illegal wood as building materials, firewoodand more. They still think that mangrove forests are common property and can beused at any time and by anyone. Furthermore, Saparinto (2007) states that the level ofdamage to mangroves can be divided into three conditions, namely: (1) damaged,marked by endless mangrove forests in the region, the destruction of the ecologicalbalance, the high sea water intrusion and soil degradation, (2) moderate damage,marked little remaining mangrove forest in the region, the ecological balance in thelevels of moderate and intrusion that occurred not too severe, and (3) not damaged,the condition of mangroves is still well preserved and conserved.2.1.4 Damaged Mangrove Forest Rehabilitation Rehabilitation is essentially replanting mangrove forests that have beendamaged. Rehabilitation in order to operate effectively and efficiently should bepreceded by a survey to determine the potential for rehabilitation based on assessmentof physical conditions and vegetation. In many countries, efforts are being made torestore habitats of destroyed mangrove by replanting program, or even plantmangroves in the unknown / known areas before. The reasons vary. In some cases,the goal is to preserve or re-create an ecosystem for its own sake. The more common,replanting is done because of awareness of the value of mangrove resources forfishing or other activities, or to prevent coastal erosion (Hogarth, 1999).2.1.5 Mapping of Mangrove Damage Remote sensing provides the only efficient way for mapping and monitoringecological changes in a large area. With respect to ecological zones, remote sensingprovides a means to observe regions on a global and local scale. Object identificationusing remote sensing technology is implemented with several approaches, amongothers; characteristic spectral imagery, visualization, floristic, geography andphsygonomik Hartono (2003). In the object recognition through image generated bythe satellite system has been based on spectral characteristics. Different objects will 7
give different spectral reflectance, even the same objects with different conditionsand densities will give different spectral value(Swain and Davis, 1978). According Danoedoro (2009), the study of mangrove ecosystem throughspatially approach can be applied by using a large-scale image or a high spatialresolution. Spatial approach enable us to see canopy texture and location that are thefocus of the research. To see if there are mangroves and non mangrove forestmedium-low resolution images printed on a scale of 1:300.000 1:100.000 can beapplied, with the assumption that the width of the smallest mapping unit is 1 mm orequivalent to 100-300 meters. However, in reality, width 1 mangrove zones can beless than 15 meters, and the printed image of this zone can be identified and mappedto 1mm. Thus, the raw scale for detailed mapping is 1:15,000 mangrove zone(although depictions of a wide zone of 1 mm will be less accurate) and the raw spatialresolution is approximately 2.5 to 4 m. Danoedoro (1996) describes that the input data can be done in three ways,namely: scanning, digitized, and tabulation. Data management component includesall operations preparation, activation, storage and re-printing all the data obtainedfrom the input data. Manipulation and analysis of data are to produce newinformation. In some facilities, such as: spatial interpolation, ’tumpangsusun’ maps(map crossing, ’tumpangsusun’ with the help of two-dimensional matrices or tables,and calculations map), modeling and data analysis. Component output in the form ofnew spatial information, it can be a map, chart or tabular printout and data as well asin electronic form. Furthermore, it is also noted that the SIG is able to analyze and convert the setof spatial data into information for specific purposes. The key is the ability of GISdata analysis to produce new information. One of them is ’tumpangsusun’ map(overlay). GIS provides ’tumpangsusun’ facilities quickly to generate new mappingunit in accordance with the criteria established (Danoedoro, 1996). The definitionsuggests that GIS is a system that consists of various components that can not standon their own. Having a computer hardware along with the software does not mean 8
that we already have a GIS when geographic data and human resources to operate it isnot available yet. As computer systems in general, GIS is simply a \"tool\" that hasspecial abilities. Human resource capacity to formulate problems and to analyze thefinal result are very instrumental in the success of GIS.2.2 Theoretical Framework Mangrove forest in coastal Kwandang district has been damage because of theuse and management that have less attention to sustainability aspect. Damagedmangrove ecosystem bring about impacts such as changes in area, disturbedmangrove ecosystem productivity and running out of the diversity of mangrovespecies in this region. Mangrove forest damage occurred in coastal areas of DistrictKwandang is not only caused by the activities of people living around the mangroveareas, but also caused by the acceleration of development in North Gorontaloregency. Kwandang is one district that is part of the expansion in North Gorontalodistrict as well as a district capital in the northern province of Gorontalo. Development activities in the area, especially the area of expansion, can havepositive effects of such development, but at the same time carry a considerable risk,especially on the environmental aspect. Therefore, these two aspects need to be takeninto account in a balanced way. Similarly, clearing mangroves for shrimp farmingwith the main aim to meet the needs of people living in economic terms, but it can notbe denied the opening of the pond actually provide the greatest threat to the existenceof the mangrove ecosystem that can cause damage to mangrove forests and even leadto the extinction of certain species of biodiversity owned mangrove forest. Mangroveforest damage brings about the inability of the region in supporting its surrounding.Mangrove forests can be characterized by the presence of high biodiversity that isable to provide benefits to life. To determine the extent of mangrove forestdestruction, we must know the spatial distribution and extensive destruction ofmangrove forests in coastal areas Kwandang district of Gorontalo Province, whichwas preceded by mapping land units based on landform and land use patterns with 9
overlapping stacking (overlay) maps that utilize technology geographic informationsystems. Information on landform units can be obtained through multitemporal imageinterpretation which includes Landsat ETM+ in 2000, the image of ALOS/AVNIR-2(Advanced Land Observing Satellite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometertype-2) in 2010, and field tests, 2010. Then the results of image interpretation weremapped. Changes in the area that suffered from damage using Landsat ETM+ in 2000and the image of ALOS AVNIR-2 in 2010, the use of those two recording fromdifferent times is to get the exact and accurate data on damaged mangrove areas. The use of land in an area can provide a snapshot of the community land-useactivities that can be used as an indicator of how society treats the natural resources.Existing land-use change can be used to evaluate the shape or pattern of humaninteraction, soil, and plants that exist on the land. Land use in 2000 and in 2010 using1991RBI map as a reference in mapping and interpretation of the results of LandsatETM+ in 2000 and the image of ALOS AVNIR-2. Land use in 2000 derived fromLandsat ETM+ in 2000, and field checks in 2010 and 2010 land-use informationobtained by the interpretation of 1:50,000 scale map RBI in 1991, the image of ALOS(Advanced Land Observing Satellite) AVNIR-2 (Advanced Visible and near InfraredRadiometer type-2) in 2010, and field checks in 2010. In this study we limit the useof land and refer to certain types of land uses that are directly related to thedestruction causes of mangrove forests. Data retrieval of mangrove forest destruction was done by stratified sampling,which is based on units of land damage mangrove forests, which more focused on thedamaged mangroves. For the location of the sample was selected by mangroveconditions criteria. Economic assessment based on mangrove ecosystem damage. Thevariables included in this study are all utilization derived from mangrove forestecosystem, both direct and indirect use of economic value. The economic value ofdirect use include wood for firewood and building materials, the catch of fish, shrimp,crabs, and birds, while indirect economic value derived from retaining the ecological 10
functions of intrusion, anchoring wave and flood control, and as a source of feedproviders. Besides that, we also measured the option value, the biodiversity andcarbon storage, the value of the presence of endangered species, protected species andhabitat protection, and heritage value. Due to the costs limitations, other variables thatare part of the utilization of mangrove are not include, such as the value of educationand research, salt, preservatives, dyes nets, and so on. In addition to the variablecomponent of the mangrove ecosystem value, we also involved socio-economiccharacteristics variables include demographics, level of education, income andexpenditure; mangrove forest ecological characteristics variables include landforms,land use, land units, soil conditions, climate, and characteristics of mangrove forestdestruction variable which covers over the functions of mangroves and mangroveforest area changes. Figure 2.2 shows a brief theoretical framework that was built to bridge theliterature review with the methods developed in this dissertation. In the picture showsthat to generate economic valuation models require different valuation methods basedon the level of damage to the mangrove ecosystem in coastal areas KwandangDistrict, so that this economic valuation model is to be used as the basis for therehabilitation of mangrove forest destruction in the coastal district of Kwandang,North Gorontalo. 11
Search