Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Contoh Bab 1-3

Contoh Bab 1-3

Published by R Landung Nugraha, 2020-10-28 03:02:32

Description: Contoh Bab 1-3

Search

Read the Text Version

1 DINAMIKA PENGALAMAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENGAKHIRI HUBUNGAN PACARAN PENUH KEKERASAN PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA BAB I Pendahuluan Latar Belakang Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk berelasi dengan orang lain. Kebutuhan untuk berafiliasi dengan orang lain merupakan kebutuhan psikologis utama dan sama pentingnya dengan kebutuhan fisik seperti makan dan minum (Baumester & Leary, 1995; Koole, Greenberg, & Pyszczynski, 2006 yang dikutip dalam Branscombe & Baron, 2017). Apabila kebutuhan untuk menjalin relasi dengan orang lain tidak dapat terpenuhi, maka manusia cenderung merasa tidak memiliki kontrol diri, merasa marah dan sedih dan kesepian (Buckley, Winkel, & Leary, 2004 yang dikutip dalam Branscombe & Baron, 2017). Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar psikologis untuk memiliki hubungan dengan orang lain. Saat menjalin hubungan dengan orang lain, manusia akan terdorong untuk menjalin relasi dan memiliki ketertarikan seksual dengan lawan jenisnya. Menjalin relasi personal dengan lawan jenis atau disebut sebagai pacaran, telah dimulai sejak manusia menginjak usia remaja (Santrock, 2012). Pacaran pada masa remaja merupakan sebuah bentuk rekreasi, sumber status dan kesempatan untuk belajar menjalin relasi dan upaya untuk mencari pasangan yang tepat (Santrock, 2012). Remaja pada usia 12 – 14 tahun, hubungan pacaran mereka hanya berlangsung sebentar. Saat mereka memasuki usia remaja akhir, mereka telah siap untuk menjalin hubungan dengan komitmen, mencari seseorang yang menawarkan pertemanan, cinta dan dukungan sosial (Brown, 2004; Collins & van Dulmen, 2006c yang dikutip dalam Berk, 2012). Selanjutnya saat mereka memasuki masa dewasa muda, Erickson yang dikutip dalam Santrock (2012) menungkapkan bahwa dewasa muda mengalami konflik keintiman dan isolasi. Keintiman terjadi saat individu telah mengetahui identitas mereka dan mampu meleburkan diri dengan orang lain (Santrock, 2012). Saat individu telah menginjak usia dewasa muda, mereka akan mengeksplorasi hubungan percintaan dengan pasangan yang berbeda-beda (Arnett, 2004). Masa pencarian ini normal terjadi, yakni sebagai upaya menyiapkan diri sebelum berkomitmen dalam hubungan

2 pernikahan (Arnett, 2004). Arnett juga berpendapat bahwa individu yang bertahan dalam hubungan dengan pasangan yang sama cenderung dianggap tidak sehat, karena mereka mempersempit pilihan dalam mencari pasangan yang akan berdampak buruk pada hubungan pernikahan. Kemudian saat individu menjalin hubungan yang penuh komitmen atau pernikahan pada masa dewasa madya, perasaan aman, loyalitas, dan minat emosional yang timbal balik memiliki kekuatan lebih dibandingkan ketertarikan fisik, romansa dan gairah yang terjadi pada masa dewasa awal (Santrock, 2012). Oleh karena itu, masa dewasa awal di mana individu melakukan eksplorasi dengan seringnya berganti pasangan hingga menemukan pasangan yang cocok dan siap untuk berkomitmen dalam hubungan pernikahan. Masa eksplorasi tersebut sering dikenal dengan istilah pacaran. Saat individu berganti-ganti pasangan, mereka akan belajar dan bereksplorasi di dalam interaksinya dengan berbagai lawan jenis. Dengan demikian, keputusan individu di dalam menentukan pasangan akan lebih akurat dan bertanggung jawab, sehingga kepuasan dalam hubungan akan lebih memungkinkan untuk dicapai. Menurut Berscheid yang dikutip dalam Fletcher, Simpson, Campbell, dan Overall (2013), kepuasan dalam hubungan pacaran mampu membuat hidup menjadi lebih bermakna. Aron, et al. yang dikutip dalam Fletcher, et al. (2013) mengungkapkan pasangan yang melakukan aktivitas bersama dapat meningkatkan kepuasan dalam hubungan. Selain itu, Gable, et al. yang dikutip dalam Fletcher, et al. (2013) berpendapat dengan saling membagikan pengalaman positif membutuhkan keterbukaan diri dan komunikasi terbuka. Pasangan yang menanggapi pengalaman positif tersebut secara antusias yang ditandai dengan perasaan senang atas keberhasilan pasangan, memiliki tingkat kesejahteraan hubungan lebih tinggi. Oleh karena itu dapat disimpulkan dengan menjalin hubungan pacaran, seseorang lebih merasakan emosi positif. Semua pasangan ingin mencapai tingkat kesejateraan hubungan yang tinggi seperti yang diuraikan di atas. Namun, beberapa pasangan gagal mencapainya. Kegagalan dalam hubungan dapat mengakibatkan stres, ketidakmampuan menjalin relasi dengan pasangan yang baru, dan perasaan menyalahkan diri sendiri (Santrock, 2012). Berdasarkan Fletcher, et al. (2013), terdapat beberapa prediktor yang menyebabkan hubungan menjadi tidak stabil seperti perselingkuhan, komunikasi yang lemah, penyelesaian konflik yang kurang baik, lemahnya dukungan, tidak memiliki sikap dan nilai yang sama, lemahnya komitmen, cinta dan kepercayaan hingga mengarah pada kekerasan dalam hubungan.

3 Faktanya perempuan dewasa muda memiliki risiko tinggi mengalami kegagalan dalam hubungan yang disebabkan karena adanya kekerasan di dalam hubungan. Secara global, satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan baik fisik maupun seksual (WHO, 2017). Sedangkan di Indonesia, berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN, 2016) mengungkapkan bahwa satu dari tiga perempuan berusia 15 hingga 64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual oleh pasangan maupun bukan pasangan. Kekerasan fisik maupun seksual banyak terjadi di perkotaan yakni 36,3% sedangkan di pedesaan sebanyak 29,8%. Berdasarkan CATAHU (2018) pada tahun 2017, kekerasan dalam pacaran menempati angka terbesar ketiga setelah kekerasan terhadap anak yaitu 1.873 kasus. Kemudian pada tahun 2019 dalam CATAHU (2020), kekerasan ranah personal / pacaran memiliki risiko tinggi bagi perempuan yakni sebesar 11.105 kasus. Tingginya kasus kekerasan dalam pacaran yang terjadi perempuan dewasa muda dipengaruhi oleh salah satu kebutuhan perempuan untuk memiliki hubungan dengan orang lain. Menurut Santrock, menjalin relasi dan memiliki hubungan baik dengan orang lain merupakan hal yang berharga bagi perempuan dewasa muda. Miller yang dikutip dalam Santrock (2012), mengatakan bahwa dalam sejumlah penelitian yang dilakukan, perempuan sangat terlibat aktif dalam upaya mengembangkan orang lain secara emosional, intelektual dan sosial. Saat perempuan dewasa muda menjalin hubungan romantis, mereka cenderung melaporkan kepuasan dalam hubungannya (Matlin, 2012). Berdasarkan Fletcher, et al. (2013), perempuan cenderung memiliki sifat posesif pada pasangannya dan terdorong mempertahankan pasangan untuk membesarkan anak. Oleh karena itu, perempuan cenderung merasa terancam dan memiliki ketakutan kehilangan pasangannya. Perasaan takut kehilangan pasangan ini membuat perempuan dewasa muda bertahan dalam hubungan pacaran yang penuh kekerasan (Fletcher, et al. 2013). Hubungan pacaran yang penuh dengan kekerasan berdasarkan The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center in Ann Arbor yang dikutip dalam Murray (2007), merupakan perilaku kekerasan yang disengaja untuk mempertahankan kekuatan dan mengambil kontrol atas pasangan. Berdasarkan Murray (2007), terdapat tiga tingkat kekerasan dalam pacaran yakni kekerasan verbal dan emosional, kekerasan seksual dan kekerasan fisik. Terdapat tiga siklus kekerasan dalam hubungan pacaran, yakni: 1). Tension building, di mana perilaku kekerasan baik fisik atau verbal / emosional terjadi. Pada tahap ini korban bersikap pasif dan mencoba untuk menenangkan pasangannya; 2) The acute battering incident, di mana perilaku

4 kekerasan mencapai titik ekstrim sehingga korban tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan pasangannya; 3.) Loving contrition atau biasa dikenal dengan honeymoon phase, di mana pelaku menunjukkan kebaikan dengan meminta maaf, memberikan hadiah dan berjanji untuk tidak melakukan kekerasan lagi (Walker, 2009). Maka, perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran memiliki ketidakmampuan untuk meninggalkan atau melepaskan diri dari pelaku kekerasan. Ketidakmampuan perempuan untuk keluar dari hubungan pacaran yang penuh kekerasan dipengaruhi oleh faktor risiko, baik dari dalam maupun luar diri korban. Berdasarkan WHO (2017), faktor risiko korban kekerasan dalam pacaran terdiri atas rendahnya pendidikan, memiliki pengalaman kekerasan pada masa kecil, penggunaan minuman beralkohol dan budaya patriarki yang merendahkan peran perempuan. Selain itu, Walker (2009) juga mengungkapkan bahwa perempuan yang mengalamai child abuse memiliki faktor risiko menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan masa kecil memiliki rasa takut kehilangan afeksi pasangan dan cenderung mempertahankan hubungan yang penuh kekerasan (Walker, 2009). Selain memiliki faktor risiko, perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran memiliki berbagai pertimbangan irasional dalam mengambil keputusan untuk bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Walker (2009) menyatakan bahwa tak jarang perempuan memiliki harapan untuk menikah dengan pasangan sebagai bukti bahwa mereka sangat mencintai pasangan. Perempuan percaya bahwa tidak ada jalan lain selain menikah dengan pasangan (Walker, 2009). Walker juga menambahkan bahwa perempuan mempelajari ketidakberdayaannya (learned helplessness) yang merupakan kepercayaan korban bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan untuk meninggalkan pasangan. Selain itu dalam Frieze dan Stahly yang dikutip dalam Matlin (2012), berpendapat bahwa perempuan korban kekerasan dalam pacaran percaya bahwa pasangan merupakan sosok laki-laki yang baik dan dapat berubah. Perempuan kesulitan untuk meninggalkan pasangan dikarenakan adanya ancaman dari pasangan sehingga membuatnya ketakutan (Matlin, 2012). Hal tersebut menjadi penyebab perempuan korban kekerasan dalam pacaran semakin sulit untuk keluar dari hubungan yang penuh kekerasan. Keputusan perempuan untuk bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan tentunya memiliki efek negatif terhadap perempuan sendiri, baik luka secara fisik, psikologis maupun seksual. Apabila korban mengalami kekerasan fisik secara berkala,

5 maka dirinya akan mengalami luka fisik yang parah (Fletcher, et al. 2013). Korban juga akan mengalami post-traumatic stress disorder atau PTSD (Walker, 2009). Berdasarakan Hakimi, Hayati, Marlinawati, Winkvist, dan Ellsberg (2011) efek kekerasan terhadap masalah kesehatan mental, seperti rendahnya keberhargaan diri, depresi, upaya bunuh diri, fobia, kecemasan, PTSD hingga penyalahgunaan minuman beralkohol dan obat-obatan. Selain itu Hakimi, et al. (2011) juga berpendapat bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diharapkan, HIV AIDS, serta gangguan kesehatan reproduksi perempuan bahkan dapat berakibat fatal yakni pembunuhan. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti berasumsi perempuan dewasa memiliki risiko tinggi menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran yang telah terjebak dalam hubungan merasa kesulitan untuk mengambil keputusan untuk meninggalkan pasangan. Mereka akan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian atas keputusannya tersebut. Asumsi ini didukung oleh kajian literatur oleh Pugh, Li dan Sun (2018) bahwa korban kekerasan yang terjebak dalam hubungan cenderung memiliki kepribadian diri sendiri atau self- blame (Eckstein, 2011; Patzel, 2006); kurangnya dukungan sosial dan isolasi diri (Estrellado & Loh, 2014; Velonis et al., 2017); dan mempelajari ketidakberdayaan (Eckstein, 2011). Walker yang dikutip dalam Estrellado dan Loh (2016) juga berpendapat bahwa korban mempelajari ketidakberdayaannya sehingga muncul kepercayaan bahwa dirinya tidak punya kontrol dan kekuatan untuk meninggalkan pasangan. Estrellado dan Loh (2016) menambahkan bahwa perempuan yang memilih bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan memiliki komitmen yang tinggi dan telah mengorbankan segala hal untuk hubungannya (P. K. Anderson & Saunders, 2003; Arriaga & Capezza, 2005; Bostock et al., 2009; Estrellado & Loh, 2014). Meskipun demikian, peneliti juga berasumsi bahwa sebagian korban kekerasan memiliki pertimbangan yang kuat hingga memutuskan untuk meninggalkan pasangan. Asumsi didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Estrellado dan Loh (2013) bahwa faktor yang melatarbelakangi korban meninggalkan pasangan yakni adanya kelelahan korban atas perlakuan karena pasangan yang kerap melakukan tindakan kekerasan terhadapnya, baik secara fisik maupun verbal; adanya dukungan sosial dari keluarga, teman, dan komunitas; serta karakteristik personal korban yang mandiri dan percaya diri bahwa meninggalkan pasangan adalah pilihan yang tepat. Korban yang telah memutuskan untuk meninggalkan pasangan meskipun dirinya tidak lagi memiliki pasangan namun korban kembali mendapatkan keberhargaan dirinya, merasakan

6 ketenangan diri, kebebasan dan mendapatkan kekuatan diri serta adanya harapan positif. Oleh karena itu, pengambilan keputusan untuk meninggalkan pasangan yang melakukan kekerasan merupakan keputusan yang positif dan mampu berdampak baik, terutama demi kesejahteraan psikologis korban salah satunya dengan kembalinya perasaan berharga. Peneliti melakukan inventarisasi penelitian dalam dan luar negeri. Peneliti memanfaatkan alat bantu Google Scholar, Research Gate, SAGE Journals, dan Garuda Dikti dan ditemukan sebelas jurnal penelitian yang relevan, dengan menggunakan kata kunci “pengambilan keputusan”, “kekerasan dalam pacaran” dan “perempuan dewasa muda”. Penelitian yang dilakukan oleh Yuliani dan Fitria (2017) didapatkan hasil uji regresi bahwa preoccupied attachment style memiliki pengaruh (F = 4,556, P < 0,05) terhadap kecenderungan perempuan menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Hal ini disebabkan karena ikatan emosional yang kuat antara korban kekerasan dan pelaku. Responden penelitian ini terdiri atas 323 partisipan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Penelitian ini juga didukung oleh Andayu, Riskyanti dan Kusumawardhani (2019), bahwa sebanyak 393 partisipan perempuan remaja akhir bahwa gaya kelekatan insecure, rentan menjadi korban kekerasan dalam pacaran (B = 1.676, p= .004). Hal ini berarti secara positif gaya kelekatan insecure berpengaruh secara positif terhadap kecenderungan perempuan remaja akhir memiliki hubungan penuh kekerasan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Setyarini, Selviana, dan Triningsih (2018) terhadap 98 siswi remaja di Malang didapatkan hasil nilai Correlation Coefficient sebesar -0,937 dengan Sig. (2-tailed) = 0,000 < 0,05 (p < 0,05). Oleh karena itu, terdapat hubungan antara self-efficacy dengan kekerasan dalam pacaran terhadap siswi pada tahun 2018. Korelasi yang negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat self-efficacy maka semakin rendah kecenderungan siswi menjadi korban kekerasan dalam pacaran, dan sebaliknya. Ketiga penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya kelekatan insecure dan rendahnya self-efficacy berpengaruh terhadap kecenderungan perempuan dewasa muda menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Selain itu, penelitian Domenech del Rio dan Gracia del Valle (2016) pada 10.171 perempuan berusia 16 tahun ke atas didapatkan hasil bahwa responden yang telah disarankan untuk memberi tahu pengalaman kekerasan dalam hubungannya memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk meninggalkan hubungan (OR = 2.61, CI =

7 [1.92, 3.56]). Sebaliknya perempuan yang tidak meminta bantuan kepada lembaga formal (n = 765, 48.4% dari sampel) atau tidak melaporkan tindakan kekerasan pada kepolisian atau melanjutkan ke persidangan (n = 1,112, 70.4% dari sampel) memiliki alasan sebagai berikut, yakni merasa dapat mengatasi sendiri/dianggap tidak terlalu serius, ketakutan kepada pelaku, perasaan malu dan tidak ingin orang lain mengetahuinya. Kemudian pertimbangan perempuan korban kekerasan dalam pacaran untuk bertahan atau meninggalkan pasangan, dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal korban. Pada penelitian studi kasus yang dilakukan Widiyanti (2012) didapatkan hasil penelitian bahwa terdapat pengaruh internal, yakni distorsi kognitif dengan memaafkan perilaku pasangan dan adanya harapan hubungan berlanjut ke jenjang pernikahan. Selain itu proses pengambilan keputusan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yakni dengan meminta bantuan kepada orang lain agar tetap bertahan pada keputusan meninggalkan pasangan. Keputusan perempuan sebagai korban kekerasan dalam pacaran mendapat perhatian oleh beberapa peneliti. Mereka mengungkapkan alasan-alasan mengapa perempuan korban kekerasan dalam pacaran memilih bertahan. Pada penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Sari (2018) mengungkap perempuan remaja akhir korban kekerasan dalam pacaran, terdapat beberapa alasan korban kekerasan memilih bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan, yakni ketidaksetaraan gender dan mempertimbangkan keuntungan dari yang telah dikorbankan. Penelitian lain oleh Wishesa dan Suprapti (2014) terhadap perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran memilih bertahan dalam hubungan penuh kekerasan dikarenakan mereka memiliki hubungan dekat dengan keluarga pasangan dan pasangan berjanji untuk berubah. Sedang penelitian yang dilakukan oleh Ananda dan Hamidah (2019), terhadap perempuan dewasa awal korban kekerasan dalam pacaran didapatkan hasil bahwa perempuan mengalami penurunan motivasi untuk meninggalkan pasangan yang melakukan kekerasan. Korban menjadi pasif dan menyembunyikan pengalaman kekerasan yang dialami dari keluarga karena perasaan malu. Penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Sambhara dan Cahyanti (2013) terhadap perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran, didapatkan hasil mengenai tahapan pengambilan keputusan korban kekerasan meninggalkan pasangan, berdasarkan stages of change. Tahapan tersebut terdiri atas precontemplation, contemplation, preparation, action, dan maintenance. Tahapan pengambilan

8 keputusan untuk meninggalkan pasangan ini semestinya dilalui secara bertahap, namun beberapa informan mengalami kemunduran tahap atau tidak melalui secara berurutan (Sambhara & Cahyanti, 2013). Meskipun demikian, perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran yang mempertimbangkan untuk meninggalkan pasangan memiliki tujuan akhir yang ditandai perilaku memutuskan hubungan dan tidak kembali kepada pasangan. Penelitian dengan metode fenomenologis yang dilakukan oleh Estrellado dan Clemena (2007), didapatkan hasil bentuk kekerasan yang dialami korban yakni kekerasan fisik, psikologis, ekonomi dan seksual; faktor yang mempengaruhi kekerasan yakni pasangan dalam pengaruh alkohol dan obat-obatan, korban mengorbankan diri dan toleran dengan pasangan, rendahnya keberhargaan diri, berasal dari keluarga yang disfungsional; dan efek dari kekerasan terhadap korban yakni rendahnya keberhargaan diri, gangguan kecemasan, depresi, pesimistis, dan kurangnya rasa percaya terhadap orang lain dalam menjalani hubungan yang baru. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Estrellado dan Loh (2016), terhadap 60 perempuan dewasa madya yang telah menikah didapatkan hasil mengenai keuntungan dan kerugian perempuan meninggalkan pasangan serta keuntungan dan kerugian perempuan bertahan dalam hubungan. Keuntungan meninggalkan pasangan yakni perasaan bebas, mendapatkan ketenangan, mendapatkan kembali kepercayaan diri, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan kerugian meninggalkan pasangan yakni kehilangan harapan memiliki keluarga yang utuh, tidak memiliki sumber finansial, tidak memiliki pasangan untuk membesarkan anak dan pengorbanan diri perempuan dalam hubungan menjadi sia-sia. Kemudian keuntungan bertahan dalam hubungan yakni memiliki keluarga yang utuh dan memiliki tempat tinggal serta tercukupinya kebutuhan finansial. Sedangkan kerugian bertahan dalam hubungan yakni kehilangan keberhargaan diri, lemahnya identitas diri, kehilangan kesempatan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dan ketenangan diri. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di atas, peneliti menemukan beberapa kekurangan penelitian mengenai faktor risiko perempuan dewasa muda menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Pada penelitian Yuliani dan Fitria (2017); Andayu, Riskyanti dan Kusumawardhani (2019); dan Setyarini, Selviana, dan Triningsih (2018) didapatkan hasil bahwa faktor yang melatarbelakangi perempuan dewasa muda menjadi korban kekerasan dalam pacaran yakni memiliki gaya kelekatan insecure dengan pasangan dan self-efficacy yang rendah. Sedangkan

9 dalam pemaparan empiris oleh WHO (2017) maupun Walker (2009) disebutkan bahwa faktor risiko perempuan menjadi korban kekerasan dalam pacaran antara lain rendahnya pendidikan, memiliki pengalaman kekerasan pada masa kecil, penggunaan minuman beralkohol dan budaya patriarki yang merendahkan peran perempuan dan belum ada temuan yang menggali lebih dalam mengenai faktor internal korban kekerasan. Oleh sebab itu, peneliti bermaksud melengkapi kekurangan temuan tersebut dengan menggali lebih dalam mengenai faktor risiko baik internal maupun eksternal perempuan dewasa muda yang melatarbelakangi dirinya terjebak dalam hubungan pacaran penuh kekerasan. Selain itu peneliti menemukan kekurangan penelitian mengenai pertimbangan perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran. Pada penelitian yang dilakukan oleh del Rio dan del Valle (2016); Sari (2018); Widiyanti (2012); Wishesa dan Suprapti (2014); serta Ananda dan Hamidah (2019) ditemukan berbagai alasan dan pertimbangan perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran memutuskan untuk bertahan, antara lain memiliki hubungan dekat dengan keluarga, penurunan motivasi meninggalkan pasangan, perasaan malu dan merasa mampu mengatasi sendiri. Sedangkan pada pemaparan empiris oleh Walker (2009) dan Matlin (2012), alasan perempuan korban kekerasan dalam pacaran bertahan dalam hubungan yakni learned helplessness, takut dengan ancaman pasangan, dan memiliki harapan akan pernikahan. Peneliti menemukan beberapa pertimbangan yang belum digali lebih dalam pada wacana empiris. Maka peneliti bermaksud melengkapi kekurangan tersebut dengan mengeksplorasi pengalaman hidup informan yang relevan berkaitan dengan pertimbangan korban yang memutuskan untuk bertahan maupun meninggalkan pasangan. Peneliti juga menemukan kekurangan penelitian terhadap pengambilan keputusan perempuan dewasa korban kekerasan dalam pacaran untuk meninggalkan pasangan. Pada penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Sambhara dan Cahyanti (2013) dan Widiyanti (2012) didapatkan hasil bahwa perempuan dewasa muda korban kekerasan akan melalui beberapa tahapan pengambilan keputusan mengakhiri hubungan yang didasari oleh pengaruh internal maupun eksternal. Pada wacana empiris, proses pengambilan keputusan telah dipaparkan secara umum namun belum ada wacana yang memaparkan secara khusus mengenai pengambilan keputusan pada perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran untuk meninggalkan pasangan. Oleh karena itu, peneliti ingin mendapatkan wacana informan yang relevan sehingga diperoleh variasi pengalaman yang dapat menggambarkan gambaran

10 psikologis proses pengambilan keputusan melalui pengalaman hidup perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran. Kemudian peneliti menemukan kekurangan penelitian terhadap efek, baik positif maupun negatif terhadap perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran. Pada penelitian yang dilakukan oleh Estrellado dan Clemena (2007) serta Estrellado dan Loh (2016), didapatkan hasil penelitian mengenai dampak negatif secara psikologis terhadap perempuan dewasa muda, yakni rendahnya keberhargaan diri, gangguan kecemasan, depresi, pesimistis, dan kurangnya rasa percaya terhadap orang lain dalam menjalani hubungan yang baru. Sedangkan penelitian oleh Estrellado dan Loh (2016) mengenai keuntungan meninggalkan pasangan yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan relevan dengan hubungan pacaran yakni perasaan bebas, mendapatkan ketenangan, mendapatkan kembali kepercayaan diri, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Namun pada pemaparan empiris, belum dieksplorasi mengenai efek positif meninggalkan pasangan. Oleh karena itu, penelitian terkait dengan efek negatif maupun positif dari pengambilan keputusan meninggalkan hubungan penuh kekerasan perlu digali lebih mendalam melalui gambaran pengalaman hidup perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran. Pertanyaan Penelitian Pada penelitian ini permasalahan yang hendak diungkap oleh peneliti adalah “Bagaimana proses pengambilan keputusan meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan pada perempuan dewasa muda?” Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pengalaman proses pengambilan keputusan perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran, faktor yang melatarbelakangi perempuan meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan serta efek yang ditimbulkan dari pengambilan keputusan meninggalkan pasangan. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pada ilmu Psikologi Klinis, terutama kajian proses pengambilan keputusan adaptif maupun maladaptif pada perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran termasuk pertimbangan

11 korban dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Peneliti juga berharap dapat berkontribusi mengenai efek negatif maupun positif yang dirasakan oleh perempuan dewasa muda korban kekerasan pasca pengambilan keputusan terhadap kesehatan mental. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa wawasan mengenai pengalaman pengambilan keputusan adaptif dengan mampunya korban meninggalkan pasangan dan maladaptif yang ditandai dengan ketidakmampuan perempuan korban kekerasan meninggalkan pasangan. Hasil penelitian ini diharapkan juga mampu memberi wawasan berkaitan dengan efek yang dirasakan dalam pengambilan keputusan perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran terhadap kesehatan mental korban kekerasan.

12 BAB II Landasan Teori Perempuan Dewasa Muda Arnett dalam Santrok (2012), dewasa muda merupakan individu yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda yaitu dalam rentang usia 18 hingga 25 tahun. Sedangkan Berk (2012) menungkapkan rentang usia dewasa muda yakni 18 hingga 40 tahun. Arnett (2004) berpendapat bahwa terdapat lima karakteristik masa dewasa muda, antara lain: 1. Eksplorasi identitas, terutama pada hubungan percintaan dan pekerjaan 2. Seiring bergantinya pekerjaan dan hubungan percintaan menjadikan dewasa muda mengalami ketidakstabilan 3. Masa dewasa muda merupakan masa di mana individu berfokus pada diri sendiri. Hal ini sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan dalam hidup sehari- hari, pemahaman mengenai keinginannya dalam hidup dan mulai membangun fondasi untuk kehidupan selanjutnya. 4. Berada di antara masa remaja dan dewasa. Individu dewasa muda merasa telah bukan lagi remaja namun merasa belum mencapai kedewasaan 5. Dewasa muda merupakan masa dengan terbukanya banyak kesempatan dan memiliki harapan dan ekspektasi yang besar akan masa depan. Tannen dan Miller (seperti dikutip dalam Santrock, 2012), berpendapat bahwa perempuan dewasa muda senang menjalin relasi dengan orang dan berfokus mengembangkan orang lain baik secara emosional, intelektual dan sosial. Lerner (seperti yang dikutip dalam Santrock, 2012) menambahkan bahwa penting bagi perempuan untuk tidak hanya berfokus mempertahankan relasi dengan orang lain, namun juga perlu memiliki kepribadian yang kuat, mandiri, asertif dan otentik. Hubungan yang baik adalah hubungan yang mampu memisahkan individualitas masing-masing, saling menghargai, mengembangkan satu sama lain, dan tetap saling terhubung secara emosional. Maka Tannen, Miller, dan Carol Gilligan (seperti dikutip dalam Santrock, 2012) menyimpulkan bahwa perempuan dewasa muda lebih berfokus menjalin hubungan dengan orang lain dibandingkan dengan laki-laki. Krisis Psikososial Dewasa Muda: Keintiman vs Isolasi Erickson (seperti dikutip dalam Feist & Feist, 2016) menyatakan bahwa tahap perkembangan dewasa muda ditandai dengan krisis keintiman dan isolasi, yang

13 tercermin pada pikiran serta perasaan individu dewasa muda saat berkomitmen pada hubungan pacaran. Keintiman yang matang memiliki rasa percaya satu sama lain dengan melibatkan pengorbanan, kompromi dan komitmen (Feist & Feist, 2016). Selain itu Berk (2012), menyatakan bahwa kematangan dalam hubungan interpersonal melibatkan kekuatan untuk mendamaikan kebebasan diri dengan keingininan untuk mempertahankan hubungan intim. Upaya untuk mempertahankan kekuatan tersebut menciptakan kedewasaan secara emosional seorang dewasa muda, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut Erickson tanpa adanya hubungan intim, individu dewasa muda akan menghadapi situasi yang kurang menyenangkan seperti kesepian dan hanya berfokus pada diri sendiri (Berk, 2012). Tercapainya perkembangan identitas diri yang baik diprediksi juga mampu berkomitmen dalam hubungan pacaran (Berk, 2012). Meskipun demikian, Archer (seperti dikutip dalam Berk, 2012) berpendapat bahwa upaya menyeimbangkan identitas diri dan tercapainya hubungan intim pada perempuan dewasa muda lebih kompleks dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan perempuan dewasa muda mempertimbangkan pengaruh dari tujuan pribadinya pada hubungan intim. Individu dewasa muda yang telah mencapai keintiman akan lebih kooperatif, toleran dan menerima perbedaan latar belakang dan nilai hidup. Sebaliknya, seseorang dengan mengalami isolasi diri akan menolak segala bentuk hubungan dekat karena mereka takut kehilangan dirinya sendiri, tidak kooperatif dan toleran, dan lebih mudah merasa terancam jika orang lain terlalu dekat dengan dirinya. Hubungan Pacaran (Dating Relationship) Hubungan pacaran merupakan interaksi romantis antar dua individu yang menghabiskan waktu berdua bersama (Matlin, 2012). Sedangkan menurut Manjorang dan Aditya (2015), pacaran merupakan hubungan yang melibatkan dua individu yang saling berkomitmen untuk menjalin hubungan cinta dengan melakukan aktivitas bersama dan saling berbagi perasaan. Hubungan pacaran telah dimulai sejak individu menginjak usia remaja yakni pada usia 12 hingga 16 tahun (Berk, 2014). Namun kebanyakan hubungan pada masa remaja berlangsung tidak lama dan bertujuan untuk rekreasi dan mendapatkan status. Saat individu telah menginjak dewasa muda, mereka mulai mencari hubungan pacaran yang mengutamakan kecocokan, kedekatan, afeksi dan dukungan sosial (Collins & van Dulmen, 2006n; Meier & Allen, 2009).

14 Arnett (2004) berpendapat saat dewasa muda menjalani hubungan pacaran, mereka menyukai pasangan yang berbeda usia, memiliki kesamaan karakteristik seperti kepribadian, kepintaran, kelas sosial, latar belakang etnis, agama dan kepercayaan, dan ketertarikan fisik. Berk (2014) menambahkan, saat individu dewasa muda baik laki-laki maupun perempuan memilih pasangan yang memiliki kesamaan dengan dirinya, seperti sikap, kepribadian, rencana pendidikan, kecerdasan, ketertarikan fisik (Keith & Schafer, 1991; Simpson & Harris,1994). Berdasarkan sudut pandang evolusi, perempuan cenderung memilih pasangan yang memiliki kekuatan dan komitmen secara emosional. Karakteristik ini penting bagi perempuan demi menjamin keberlangsungan hidup dan kesejahteraan keturunannya (Berk, 2012). Oleh sebab itu, perempuan lebih mengutamakan hubungan mencapai kedekatan secara psikologis (Buss, seperti dikutip dalam Berk, 2012). Kepuasan dalam Hubungan Pacaran Fletcher, et al. (2013) mengungkapkan bahwa pasangan kekasih yang puas dalam hubungannya memiliki bentuk perilaku yang suportif, seperti pengasuhan (nurturant) dan memberi masukan kepada pasangan. Pasangan yang memiliki kepuasan dalam hubungan juga memiliki sedikit perilaku negatif saat berdiskusi mengenai permasalahan pasangan (e.g. Lawrence, et al., 2008; Pasch & Bradbury, 1998; Saitzyk et al., 1997). Pach dan Bradbury, serta Cobb, et al. yang dikutip dalam Fletcher, et al. berpendapat bahwa saat perempuan cenderung berperilaku negatif dalam diskusi yang suportif maka hubungan diprediksi akan berakhir dalam satu hingga dua tahun kedepan. Beberapa penelitian menemukan bahwa pasangan yang saling mendukung satu sama lain mempengaruhi kesejahteraan di dalam hubungan Julien et al., 2003; Pasch & Bradbury, 1998 yang dikutip dalam Fletcher, et al., 2013). Fletcher, et al. menambahkan bahwa perilaku mendukung secara positif memengaruhi kesejahteraan karena pasangan memberikan perasaan nyaman atau membantu menyelesaikan permasalahan pasangan. Berdasarkan Fletcher, et al. pasangan kekasih yang memiliki kepuasan dalam hubungan mampu membuat hidup menjadi lebih bermakna. Aron, et al. yang dikutip dalam Fletcher, et al. berpendapat bahwa pasangan kekasih yang melakukan kegiatan baru bersama dapat memberi kesempatan untuk meningkatkan keintiman. Selain itu, Gable et al. yang dikutip dalam Fletcher et al. menambahkan bahwa pasangan kekasih yang saling berbagi pengalaman yang menggembirakan, mampu mempertahankan cinta dan keintiman dalam hubungan.

15 Kegagalan dalam Hubungan Pacaran Fletcher, et al. (2013), menyimpulkan terdapat empat faktor utama yang menyebabkan hubungan pacaran dapat berakhir, antara lain: 1. Sosiodemografis, yakni usia yang lebih muda, tidak bekerja, rendahnya pendapatan, rendahnya tingkat pendidikan, tidak beragama, etnis dan gender. 2. Hubungan di masa lalu, yakni perpisahan/perceraian orangtua dan orangtua berkonflik. 3. Perbedaan individual, yakni penerimaan terhadap perpisahaan, neurotis, dan gaya kelekatan cemas dan menghindar. 4. Faktor lain dalam hubungan, yakni ketidakmampuan menerima persamaan dalam sikap dan nilai, banyak permasalahan dalam hubungan, perselingkungan, kurangnya komunikasi, rendahnya dukungan, rendahnya komitmen, cinta dan kepercayaan serta agresi dan kekerasan dalam hubungan. Meskipun demikian, Fletcher, et al. menambahkan bahwa komitmen dalam hubungan memiliki peran penting dalam memprediksi berakhirnya hubungan. Seseorang yang berkomitmen akan bertahan dalam hubungan, secara psikologis sudah melekat dalam hubungan dan berorientasi pada masa depan hubungan (Arriaga & Agnew, 2001). Kegagalan dalam hubungan pacaran akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman bagi sebagian orang, seperti depresi, pikiran obsesif, disfungsi seksual, ketidakmampuan dalam bekerja, kesulitan dalam menjalin relasi sosial, dan menghukum diri sendiri (Santrock, 2012). Meskipun demikian, pilihan untuk mengakhiri hubungan menjadi keputusan yang bijak sana apabila pasangan telah mengkhianati kepercayaan, menguras energi dan ketergantungan finansial serta kelelahan secara emosional karena pasangan tidak membalas perasaan. Penelitian yang dilakukan oleh Kato (seperti dikutip dalam Santrock, 2012) ditemukan bahwa kegagalan hubungan pacaran dapat menimbulkan efek positif yaitu perubahan pribadi yang menjadi lebih percaya diri dan mandiri, perubahan relasi sosial yang lebih baik dan perubahan lingkungan melalui persahabatan yang baik. Kekerasan dalam Pacaran The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center yang dikutip dalam Murray (2007), mengatakan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan strategi yang digunakan dengan sengaja, pemaksaan secara fisik untuk

16 mempertahankan kekuatan untuk mengendalikan pasangan intim. Sedangkan dalam Women’s Health in the U.S Department of Health and Human Services (2018), mengatakan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan tindakan kekerasan secara fisik, seksual, emosional atau verbal yang dilakukan oleh pasangan. Kemudian berdasarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2018) berpendapat bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan tindakan kekerasan secara fisik, seksual, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas kepada pasangan yang belum terikat dalam hubungan pernikahan. Saat ini di Indonesia belum ada peraturan serta undang-undang yang secara khusus mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan. Adapun Undang-Undang yang telah mengatur mengenai hukum kekerasan berbasis gender, yaitu Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat dilakukan oleh suami/istri, anak/anak tiri, orang tua/mertua, orang yang memiliki hubungan darah dan atau asisten rumah tangga. Namun, dalam kasus kekerasan dalam pacaran, undang-undang mengenai PKDRT kurang sesuai untuk kasus kekerasan dalam pacaran karena kekerasan tidak terjadi dalam lingkup rumah tangga. Oleh karena itu, dalam Manjorang dan Aditya (2015) kasus kekerasan dalam pacaran dapat diberikan sanksi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai berikut: a. Kekerasan Seksual, melingkupi pelecehan seksual, pemerkosaan pada perempuan dan anak di bawah umur dan pelanggaran asusila yang diatur dalam Pasal 286 – 289 dan Pasal 506 KUHP. b. Kekerasan Fisik, melingkupi penganiyayan hingga menyebabkan luka fisik yang diatur dalam Pasal 351 – 358 KUHP. Kekerasan Fisik. Kekerasan dalam pacaran meliputi kekerasan secara fisik, yaitu tindakan yang mengacu pada perilaku dengan tujuan menyebabkan sakit secara fisik atau terluka (Burke, Stets, & Pirog-Good, 1988). Berdasarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2018), kekerasan fisik melingkupi tindakan pemukulan, menampar, menendang, mendorong pasangan, mencekram tubuh perempuan serta tindakan kekerasan fisik lainnya. Berdasarakan Burke, Stets, dan Pirog-Good (1988) tindakan kekerasan fisik berupa melemparkan barang pada pasangan; mendorong dengan keras dan menarik secara paksa; menampar, menendang, menggigit, memukul pasangan dengan tinju; memukul atau mencoba memukul; serta menghabisi pasangan yaitu dengan

17 memukulinya berkali-kali, mengancam pasangan dengan menggunakan pisau atau senjata, dan menggunakan pisau dan senjata. Kekerasan Emosional. Berdasarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2018), kekerasan emosional atau psikologis melingkupi tindakan mengancam, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan pasangan menjelek-jelekan dan lainnya. Murray (2007) menyatakan bahwa tindakan kekerasan emosional berupa memanggil dengan kasar, seperti pelacur; menyalahkan pasangan; mempermalukan pasangan di depan publik; merusak barang kesayangan pasangan; mengatakan pasangannya gila; mengintimidasi. Tindakan mengontrol atau mendominasi merupakan perilaku untuk menunjukkan kekuatan, menggunakan kekuatan atau kekuatan yang dilakukan (Cartwright, 1959; French & Raven, 1959; Molm, 1981; Wrong, 1988 seperti dikutip dalam Stets, 1993). Tindakan untuk mengontrol orang lain yaitu tindakan yang dilakukan secara sengaja dan meregulasi perilaku orang lain (Cartwright, 1959 dalam Stets). Stets juga menambahkan bahwa tindakan mengontrol atau mendominasi berupa membuat pasangan melakukan apa yang diinginkan; menjaga pasangan dengan ketat; memberikan peraturan dan hukuman kepada pasangan; mengatur siapa yang akan pasangan temui; mengawasi pasangan; menjaga pasangan agar tidak melakukan sesuatu yang tidak disetujui; membuat pasangan berhenti melakukan sesuatu yang tidak disukai; membuat peraturan dalam hubungan. Kekerasan Seksual. Kekerasan seksual dalam Burke, Stets, Pirog-Good (1988) merupakan tindakan koersif erotis atau pemaksaan seksual yang tidak diinginkan. Sedangkan berdasarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2018), kekerasan seksual berupa tindakan memeluk, mencium, meraba tanpa persetujuan perempuan hingga melakukan pemaksaan hubungan seksual yang disertai dengan ancaman.Berdasarakan Burke, Stets, Pirog-Good (1988) tindakan kekerasan seksual berupa menyentuh dada; menyentuh bagian genital; mencoba melakukan hubungan seksual tetapi gagal; melakukan hubungan seksual; ciuman yang tidak diinginkan. Dalam Komnas Perempuan terdapat 15 bentuk kekerasan seksual berdasarkan hasil pemantauan selama 15 tahun (1998-2013), antara lain: 1. Perkosaan, yaitu pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan penis ke arah vagina/anus/mulut selain itu bisa juga dengan menggunakan jari atau benda lainnya.

18 2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, yaitu tindakan menyerang seksualitas pada perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung serta dapat menimbulkan perasaan takut dan penderitaan fisik. 3. Pelecehan Seksual, yaitu perilaku seksual yang dilakukan baik secara fisik maupun non fisik dan dapat menyebabkan perasaan takut dan penderitaan secara fisik. 4. Eksploitasi Seksual, yaitu tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan pemuasan seksual maupun memperoleh keuntungan dalam bentuk keuntungan berupa uang, sosial, politik dan lainnya. 5. Perdagangan Perempuan, yaitu tindakan merekrut seseorang dengan ancaman kekerasan dan tindakan penyalahgunaan korban secara langsung terhadap orang lain yang menguasainya untuk memperoleh bayaran. 6. Prostitusi Paksa, yaitu perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. 7. Perbudakan Seksual, yaitu pelaku merasa berhak atas tubuh korban untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. 8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung yaitu pemaksaan perkawinan dan hubungan seksual. Selain itu, praktik cerai gantung merupakan pemaksaan terhadap perempuan untuk bertahan dalam hubungan pernikahan meskipun korban ingin bercerai. 9. Pemaksaan kehamilan, yaitu ketika perempuan dipaksa untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dikehendaki, misalnya korban perkosaan. 10. Pemaksaan aborsi, yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. 11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, yaitu pemaksaan pemasangan alat kontrasepsi dan atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan. 12. Penyiksaan seksual, yaitu tindakan menyerang orang dan seksualitas perempuan sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. 13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, yaitu cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan dan rasa malu dalam diri perempuan. Termasuk di dalamnya penyiksaan, termasuk hukum cambuk dan hukuman yang merendahkan harkat dan martabat manusia. 14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan, yaitu kebiasaan masyarakat dengan alasan adat atau budaya yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan luka secara fisik, psikologis dan seksual.

19 15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskrimantif beralasan moralitas dan agama, yaitu kontrol seksual yang dilakukan lewat aturan yang memuat kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu. Siklus Kekerasan dalam Hubungan Pacaran Siklus kekerasan dalam hubungan pacaran sebelumnya diawali dengan ketertarikan pelaku pada kehidupan perempuan yang diikuti dengan perilaku mencintai (Walker, 2009). Namun pada saat ini perempuan telah berkomitmen dengan pasangan untuk menjalin hubungan, sehingga dirinya tidak memiliki kekuatan untuk memutuskan hubungannya. Siklus kekerasan dalam hubungan pacaran menurut Walker (2009), akan dipaparkan sebagai berikut: Tension Building. Perilaku kekerasan semakin meningkat yang ditunjukkan oleh tindakan yang menyebabkan perselisihan seperti panggilan nama dengan kasar (name-calling), perilaku kasar secara fisik yang disengaja, dan atau kekerasan fisik lainnya (Walker, 2009). Pelaku mengungkapkan ketidaksenangan dan ketidakpuasannya kepada korban, namun belum mencapai titik puncak. Korban mencoba menenangkan pasangannya, melakukan sesuatu yang mungkin dapat menyenangkan pasangan dan tindakan lainnya yang tidak memicu kemarahan pasangan. Saat korban berhasil menenangkan pasangan, korban merasa hal ini menguatkan kepercayaannya yang tidak realistis bahwa hanya dirinya yang mampu mengontrol pasangannya. Hal ini dapat memicu korban pada perilaku learned helplessness atau ketidakberdayaan yang dipelajari (Walker, 2009). The acute battering incident. Pada fase ini ketegangan meningkat, korban menjadi ketakutan dan tidak dapat mengontrol kemarahan pasangannya. Fase ini dikarakteristikan dengan pelepasan ketegangan yang tidak terkontrol yang telah menumpuk selama fase pertama (Walker, 1979 yang dikutip dalam Walker, 2009). Pasangan akan melepaskan seluruh agresi verbal dan fisik yang dapat menyebabkan perempuan menjadi sangat terguncang dan terluka. Perempuan akan melakukan yang terbaik yang bisa ia lakukan untuk melindungi dirinya dengan menutupi wajah dan tubuhnya untuk memblokir pukulan-pukulan tersebut sehingga biasanya luka dan cedera terjadi selama fase ini (Walker, 2009) Loving contrition. Pada fase ini, pelaku meminta maaf, mencoba melindungi korban, menunjukkan kebaikan, memberikan hadiah dan berjanji pada korban bahwa dirinya akan berubah. Pasangan mungkin tidak melakukan tindak kekerasan lagi. Perempuan mencoba untuk memercayai pasangannya sehingga dirinya mampu

20 memperbaharui harapan bahwa pasangannya memiliki kemampuan untuk berubah. Pada fase ini pasangan memberikan penguatan positif pada korban untuk bertahan pada hubungan tersebut. Akan tetapi pada fase ketiga ini, ketegangan dan kekerasan tidak terjadi, dengan tidak adanya perilaku penuh kasih sayang yang dapat diamati, dan masih dapat memperkuat perempuan. Terkadang persepsi ketegangan dan bahaya masih sangat tinggi dan tidak kembali pada fase kasih sayang atau loving contrition. Hal ini merupakan tanda bahwa risiko tindakan kekerasan yang mematikan sangat tinggi (Walker, 2009).

21 Keputusan Bertahan dalam Hubungan Pacaran Penuh Kekerasan Walker (2009) mengungkapkan bahwa perempuan korban kekerasan dalam pacaran memiliki harapan menikah dengan pasangannya, terutama korban yang telah menyerahkan keperawannya kepada pelaku. Oleh karena itu korban kekerasan merasa tidak memiliki jalan lain selain menikahi pasangannya. Walker (2009) menambahkan bahwa korban mempelajari ketidakberdayaannya (learned helplessness) dengan adanya penurunan motivasi dan kepercayaan bahwa diri tidak memiliki kekuatan untuk meninggalkan hubungan pacaran yang penuh kekerasan. Selain itu, dalam kajian oleh Frieze dan Stahly yang dikutip dalam Matlin (2012), perempuan korban kekerasan dalam pacaran percaya bahwa pasangan merupakan sosok laki-laki yang baik dan dapat berubah. Selain itu, perempuan korban kekerasan merasa kesulitan untuk meninggalkan hubungan juga disebabkan karena adanya ancaman oleh pasangan sehingga membuat dirinya ketakutan (Matlin, 2012). Faktor Risiko Perempuan Korban Kekerasan dalam Pacaran WHO (2017), mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam hubungan intim, yakni rendahnya tingkat pendidikan, memiliki pengalaman kekerasan pada masa kecil, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga, konsumsi minuman beralkohol, dan normal sosial yang meninggikan peran laki-laki dan merendahkan perempuan. Sedangkan berdasarkan Walker (2009), terdapat beberapa faktor risiko perempuan dapat terjebak dalam hubungan pacaran yang penuh kekeran, antara lain: 1. Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) Pada teori learned helplessness, memprediksi bahwa kemampuan kontrol diri seseorang dalam menghadapi situasi dapat terancam oleh pengalaman yang tidak menyenangkan serta dapat menimbulkan trauma. Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam hubungan intim tidak sepenuhnya mengalami ketidakberdayaan. Sebaliknya, perempuan justru berhasil untuk tetap bertahan hidup dan mampu mengatasi lukanya baik secara fisik dan psikologis dalam hubungan intim yang penuh kekerasan. Namun, perempuan korban kekerasan berupaya untuk bertahan pada diri sendiri sehingga mereka harus mengorbankan diri untuk hubungannya. Perempuan

22 yang mengalami ketidakberdayaan tidak mampu memprediksi tindakannya akan berujung pada hasil yang ia inginkan atau tidak. 2. Perbedaan peran gender Keyakinan tradisional yang merendahkan peran perempuan dan meninggikan peran laki-laki menjadi salah satu faktor risiko kekerasan dalam hubungan pacaran. Perempuan memiliki persepsi bahwa pelaku kekerasan memiliki pandangan lebih tradisional dibanding dirinya. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa laki-laki sebagai pelaku kekerasan memaksakan pandangan tradisionalnya untuk mengontrol perilaku korban. Hal ini dapat menghilangkan kekuatan dan kontrol atas diri korban dan memberikannya kepada pelaku, sehingga perempuan menganggap dirinya sebagai korban kekerasan. Selain itu, pandangan ini juga menimbulkan ketergantungan satu dengan yang lainnya. Pasangan percaya bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk merawat diri sendiri. 3. Kekerasan fisik dan seksual masa kecil (child abuse) Perempuan yang mengalami kekerasan seksual di masa kecil, tingginya tingkat kekerasan pada masa kecil di lingkungan keluarga, persepsi terhadap pengalaman kritis serta pengalaman traumatis lainnya yang menyebabkan depresi. Respon terhadap pengalaman kekerasan di masa kecil untuk berupaya untuk bertahan hidup namun tidak berupaya mengakhiri atau meninggalkan rumah saat perempuan menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam keluarganya. Hal ini mendorong kepercayaan masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat diterima dengan alasan sosial seperti pemberian hukuman. 4. Kecanduan minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang Perempuan yang memiliki kecanduan terhadap minuman beralkohol dan obat- obatan terlarang dapat memprediksi terjadinya kekerasan dalam hubungan pacaran. Semakin tinggi tingkat kecanduan maka semakin tinggi pula tingkat kekerasan yang terjadi. Pengambilan Keputusan ditinjau dari Psikologi Kognitif Pengambilan keputusan merupakan evaluasi terhadap pilihan yang memungkinkan dan menentukan pilihan mana yang memiliki kemungkinan terbaik untuk meraih tujuan tertentu (Smith & Kosslyn, 2007). Sedangkan menurut Sternberg (2008), pengambilan keputusan digunakan untuk melakukan seleksi terhadap kesempatan atau pilihan yang ada. Suharnan (2005) juga berpendapat bahwa

23 pengambilan keputusan merupakan proses untuk menentukan pilihan terhadap situasi yang tidak menentu. Proses ini terjadi pada situasi yang memaksa seseorang harus membuat prediksi, memilih salah satu pilihan dari berbagai pilihan yang ada, dan membuat perkiraan berdasarkan bukti yang ada (Suharnan, 2005). Suharnan (menurut Holyoak, 1986; Hastjarjo, 1991) juga mengungkapkan bahwa terdapat dua pendekatan dalam proses pengambilan keputusan yang terdiri atas: 1. Pendekatan normatif, di mana seseorang mengambil keputusan berdasarkan penilaian dan perhitungan yang sistematis. 2. Pendekatan deksriptif, di mana seseorang mengambil keputusan berdasarakan apa saja yang telah ia lakukan tanpa memperhatikan rasionalitasnya. 3. Pendekatan heuristik, di mana seseorang mengambil keputusan melalui hukum kedektatan, kemiripan, kecenderungan atau keadaan yang mendekati kenyataan. Oleh karena itu, pendekatan ini cenderung menghasilkan keputusan yang tepat namun tidak selalu tepat. Perangkap (Entrapment). Perangkap merupakan suatu situasi saat individu melakukan proses pengambilan keputusan untuk memperkuat komitmen terhadap pilihan yang telah dibuat sebelumnya (Suharnan, 2005). Meskipun keadaan seseorang tidak menyenangkan, namun ia tetap akan mempertahankan keputusannya dengan harapan agar apa yang telah ia korbankan sebelumnya akan membuat situasi menjadi lebih baik. Maka, seringkali keputusan yang dibuat oleh seseorang saat ia terperangkap kurang bijaksana (Suharnan, 2005). Seseorang yang terjebak dalam perangkap cenderung akan memilih tindakan untuk mempertahankan keputusannya daripada harus melepaskan keputusan tersebut meskipun dirinya memiliki alternatif lain (Surharman, 2005). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terjebak, yakni: 1. Imbalan atau reward. Seseorang cenderung mempertahankan keputusannya karena membayangkan imbalan atau reward yang akan ia peroleh daripada melihat kerugian yang didapat apabila mengalami kerugian. 2. Tujuan hampir didapatkan. Seseorang cenderung mempersepsikan bahwa ia hampir mencapai tujuannya sehingga hal ini mendorong seseorang untuk melanjutkan perjalananan daripada harus menyerah. 3. Investasi

24 Seseorang telah melakukan investasi yang jumlah yang cukup besar, investasi tersebut seperti uang, waktu, tenaga dan pikiran. Oleh karena itu seseorang cenderung merasa bahwa menyerah dapat menjadi suatu kerugian. 4. Perasaan malu Seseorang cenderung merasa malu karena merasa apabila ia menyerah maka berarti harga dirinya menjadi rendah di mata orang lain. Oleh karena itu, tak jarang seseorang akan melakukan segala cara yang tidak manusiawi demi mempertahankan harga dirinya. 5. Tanggung jawab Seseorang merasa bertanggungjawab terhadap keberhasilan atau kegagalan tugas yang merupakan bagian dari tanggung jawabnya. Semakin besar tanggung jawab seseorang terhadap keberhasilan atau kegagalan, maka semakin besar potensi terperangkap. Langkah Pembuatan Keputusan. Dalam membuat keputusan, terdapat langkah- langkah yang perlu dilalui. Berikut skema atau kerangka berpikir menurut Harlpern yang dikutip dalam Suharnan (2005) : Mengidentifikasi, mengenali dan Mengevaluasi ulang, membingkai keputusan membingkai ulang, mencari ulang alternatif lainnya Mencari dan menemukan sejumlah alternatif Melakukan tindakan sesuai yang terdiri dari: pengaruh individu, keputusan kemlesetan kognitif dan sosial budaya, variabel lingkungan Mengevaluasi hasilnya Mengevaluasi alternatif yang dihasilkan dengan mempertimbangkan aspek : peluang, konsekuensi dan risiko Memilih salah satu alternatif dan melakukan tindakan Tahapan Stages of Changes

25 Berdasarkan Proschaska dan Norcross (2014), seseorang yang berhasil melakukan perubahan menggunakan cara tertentu pada waktu tertentu dan menggunakan cara lain apabila situasi mendorongnya menggunakan pendekatan yang berbeda. Fenomena ini disebut sebagai tahapan perubahan (stages of change). Tahapan ini mewakili susuan spesifik terhadap sikap, intensi, dan perilaku yang berkaitan dengan kesiapan sesorang pada siklus perubahan (Proschaska & Norcross, 2014). Setiap tahapan tidak hanya mencerminkan periode waktu tertentu namun juga rangkaian tugas yang diperlukan untuk bergerak ke tahap berikutnya. Meskipun waktu yang dibutuhkan individu pada setiap tahapan bervariasi, namun tugas yang harus dicapai cenderung tidak beragam. Tahapan perubahan terdiri atas enam tahap, antara lain precontemplation, contemplation, preparation, action, maintenance, dan termination (Proschaska & Norcross, 2014). Apabila perubahan tidak berhasil, maka invidu akan mengulang kembali pada tahapan sebelumnya. Namun apabila individu telah berhasil dan stabil maka akan memasuki termination. Berikut pemaparan pada setiap tahapan: Precontemplation. Orang yang berada pada tahap ini biasanya tidak memiliki keinginan untuk mengubah perilakunya dan menyangkal bahwa dirinya memiliki masalah. Perilaku menyangkal merupakan karakteristik seseorang yang berada di tahap ini (Proschaska & Norcross, 2010). Chesterton yang dikutip dalam Proschaska dan Norcross (2014) berpendapat bahwa seseorang yang berada di tahap ini bukan tidak mampu menemukan solusi, akan tetapi mereka tidak mampu melihat permasalahan. Seseorang dapat melakukan perubahan selama dirinya berada di dalam tekanan namun saat tidak ada tekanan, ia akan kembali pada perilakunya yang lama. Seseorang dapat melanjutkan ke tahap berikutnya, ia perlu mampu memahami permasalahan, meningkatkan kepekaan terhadap aspek negatif pada permasalahan tersebut, dan melakukan evaluasi terhadap kapasitas regulasi diri. Contemplation. Orang yang berada pada tahap ini mulai mengetahui bahwa dirinya memiliki masalah dan mulai untuk berpikir untuk mengatasinya. Pada tahap ini, orang kesulitan untuk memahami masalah, penyebab dari masalah, dan memikirkan solusi yang memungkinkan, sehingga seseorang dapat bertahan pada tahap ini dalam waktu yang cukup lama (Proschaska & Norcross, 2014). Seseorang kemudian mengevaluasi pilihannya untuk dapat maju ke tahap berikutnya. Mereka harus menghindari pemikiran yang obsesif dan membuat keputusan yang tegas untuk mulai bertindak. Langkah kecil ini merupakan awal bagi individu untuk dapat memasuki tahapan berikutnya.

26 Preparation. Orang yang berada pada tahap ini memulai untuk merencanakan tindakan dan melakukan tindakan perubahan kecil (Proschaska & Norcross, 2014). Meskipun mereka telah berupaya mengurangi perilaku negatif, namun individu yang berada di tahap persiapan belum mencapai perilaku yang efektif. Oleh karena itu, individu yang berada di tahap ini perlu untuk menentukan tujuan dan prioritas. Mereka perlu mendedikasikan diri pada rencana untuk mengubah perilakunya. Action. Pada tahap ini individu memodifikasi perilaku, pengalaman, dan atau lingkungan untuk mengatasi permasalahannya (Proschaska & Norcross, 2014). Tindakan melibatkan perubahan perilaku yang terlihat dan membutuhkan komitmen terhadap waktu dan tenaga. Modifikasi terhadap perilaku yang bermasalah menjadikan tahapan ini menjadi tahapan yang paling tampak dan menerima pengakuan dari pihak lain. Seseorang dapat dikategorikan telah mencapai tahap action apabila ia mampu mengubah perilaku yang bermasalah mulai dari hari pertama hingga enam bulan kedepan. Maintenance. Orang pada tahap ini perlu untuk mengkonsolidasikaan manfaat atau keuntungan yang didapatkan saat berada di tahap action dan perlu untuk berjuang untuk tetap mempertahankan perilakunya (Proschaska & Norcross, 2014). Tahap maintenance merupakan keberlanjutan dari perubahan. Pada beberapa permasalahan, maintenance dapat berlangsung seumur hidup. Kriteria seseorang yang telah mencapai tahap ini yakni mereka tidak lagi memiliki perilaku permasalah dan dapat berlangsung lebih dari enam bulan. Dampak Kekerasan dalam Pacaran terhadap Perempuan Perempuan yang bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan akan menerima efek negatif dalam bentuk luka secara fisik, psikologis, seksual bahkan dapat menjadi korban pembunuhan. Berdasarkan Hakimi, Hayati, Marlinawati, Winkvist, dan Ellsberg (2011) secara fisik perempuan korban kekerasan akan menyebabkan kehamilan yang tidak diharapkan akibat pemerkosaan, ancaman tertular HIV/AIDS, dan gangguan reproduksi perempuan dan bahkan mengalami pembunuhan. Secara psikologis, Hakimi et al (2011) menambahkan bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan akan mengalami masalah kesehatan mental seperti rendahnya keberhargaan diri, depresi, upaya bunuh diri, kecemasa, fobia, PTSD dan penyalahgunaan minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang. Walker (2009), berpendapat korban kekerasan yang mengalami trauma secara berkala mengulang pengalaman dalam pikirannya dan hal ini menyebabkan

27 kecemasan. Seseorang yang mengalami trauma akan berupaya untuk melemahkan perasaannya dan dapat berkembang pada gangguan tidur, gangguan makan dan gangguan kecemasan. Selain itu, perempuan korban kekerasan juga akan mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD). Perempuan yang mengalami kekerasan seksual juga memiliki masalah pada body image. Kerangka Berpikir Peneliti berasumsi bahwa perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran memiliki pertimbangan dalam prosesnya mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungannya. Korban kekerasan memiliki faktor risiko yang pada akhirnya mendorong korban berada dalam hubungan yang penuh kekerasan. Berdasarkan WHO (2017), faktor risiko perempuan menjadi korban kekerasan dalam pacaran yakni rendahnya pendidikan, pernah mengalami child abuse, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga, dan budaya patriarki. Sedangkan faktor risiko menurut Walker (2009) terdiri atas ketidakberdayaan yang dipelajari, perbedaan peran gender, child abuse serta konsumsi minuman beralkohol dan narkoba. Walker (2009) berpendapat bahwa kekerasan dalam hubungan romantis terdiri atas tiga siklus, yaitu tension building di mana perilaku meningkat secara bertahap. Pada siklus pertama ini korban mencoba untuk menenangkan pasangannya dan melakukan segala cara untuk membahagiakan pasangan. Selain itu dalam siklus tension building juga ditandai dengan tahapan pengambilan keputusan berdasarkan tahapan perubahan yaitu precontemplation, penyangkalan (denial) korban kekerasan menjadi karakteristik bahwa korban belum menyadari bahwa dirinya sedang mengalami kekerasan oleh pasangan (Proschaska & Norcross, 2010). Siklus selanjutnya yakni, the acute battering incident. Pada siklus ini, perempuan mengalami ketakutan dan kekerasan menjadi tidak dapat dikendalikan (Walker, 2009). Korban kekerasan mulai menyadari bahwa dirinya berada di situasi mengancam, namun belum mampu memahami permasalahan, penyebab dari masalah tersebut dan solusi untuk mengatasinya. Tahap ini disebut sebagai contemplation. Oleh sebab itu, seseorang dapat bertahan pada tahap ini dalam waktu yang cukup lama (Proschaska & Norcross, 2014). Perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran mempertimbangkan beberapa hal sehingga mereka kesulitan untuk meninggalkan pasangan. Berdasarkan Walker (2009), pertimbangan tersebut yakni bahwa ada harapan korban untuk menikah dengan pasangan, korban juga memiliki ketidakberdayaan yang dipelajari sehingga mengalami penurunan motivasi untuk

28 meninggalkan pasangan. Kemudian Frieze dan Stahly (seperti dikutip dalam Matlin, 2012) menambahkan bahwa perempuan percaya bahwa pasangan merupakan sosok laki-laki yang baik dan dapat berubah. Selain itu, kroban juga mengalami ketakutan karena adanya ancaman oleh pasangan. Pertimbangan tersebut membuat perempuan korban kekerasan dalam pacaran tidak dapat menghindari atau meninggalkan pasangan, sehingga korban memilih bertahan dalam hubungannya. Situasi ini disebut sebagai entrapment. Suharnan (2005) berpendapat bahwa entrapment atau perangkap membuat individu mempertahankan keputusan tanpa melihat alternatif lainnya. Hal ini semakin diperkuat dengan harapan bahwa apa yang telah dikorbankan akan membuat situasi menjadi lebih baik (Suharnan, 2005). Terdapat lima faktor yang menyebabkan seseorang mengalami perangkap yakni adanya imbalan/reward, tujuan yang hampir didapatkan, investasi yang cukup besar, perasaan malu dan merasa bertanggungjawab (Suharnan, 2005). Siklus berikutnya yakni, loving contrition yang ditandai dengan perilaku pelaku yang menunjukkan kebaikan, meminta maaf dan berjanji untuk berubah (Walker, 2009). Namun, pada tahap ini pula korban kekerasan dihadapkan pada pilihan untuk memberi kesempatan kepada pasangan atau tidak, dengan mempertimbangkan risiko dan konsekuensinya. Apabila perempuan kembali memberikan kesempatan kepada pasangan, maka siklus kekerasan tersebut kembali ke siklus awal yakni tension building dan terus berputar. Saat korban mencoba menemukan alternatif yaitu upaya meninggalkan pasangan, mereka mempertimbangkan beberapa aspek yang terdiri atas peluang, konsekuensi dan risiko (Suharnan, 2005). Meskipun demikian, perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran juga dapat membuat keputusan yang adaptif baginya dengan meninggalkan pasangan. Pada tahap perubahan preparation, perempuan akan menyiapkan tindakan pasti dan memilih satu alternatif dan melakukan tindakan untuk mencapai tujuan akhir yaitu meninggalkan pasangan. Kemudian perempuan korban kekerasan memasuki tahap berikutnya yaitu action yang ditandai dengan keputusan akhir meninggalkan pasangan dan mampu mempertahankan keputusannya mulai dari hari pertama hingga enam bulan kedepan. Apabila korban berhasil mempertahankan konsistensinya, ia memasuki tahap maintenance dengan tidak kembali pada pasangan dan mengevaluasi hasil dari keputusannya berupa refleksi. Perempuan dewasa muda yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran akan merasa efek negatif dari kekerasan tersebut seperti post traumatic stress disorder dan trauma (Walker, 2009); kehamilan yang tidak direncanakan, HIV/AIDS, gangguan

29 kesehatan reproduksi, rendahnya keberhargaan diri, depresi, upaya bunuh diri, kecemasan, fobia dan PTSD (Hakimi et al., 2011). Fokus dari pada penelitian ini yakni peneliti ingin mengekplorasi pengalaman pengambilan keputusan perempuan dewasa muda yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran baik secara fisik, emosional dan seksual. Selain itu, peneliti akan menggali lebih dalam mengenai pertimbangan perempuan yang sempat bertahan pada hubungannya hingga pada keputusan meninggalkan pasangan. Peneliti akan mencoba melakukan identifikasi terhadap faktor lain yang akan muncul selama proses pengumpulan data.

Bagan Kerangka Berpikir Siklus Kekerasan I, Tension 30 Building Faktor Risiko Perempuan Dewasa Pertimbangan: Muda Korban Kekerasan dalam Siklus Kekerasan II, The Accute 1 Learned Helplessness Pacaran: Battering Incident 2. Harapan untuk menikah 1. Rendahnya tingkat 3. Percaya pasangan dapat berubah pendidikan 4. Ketakutan karena adanya 2. Child abuse ancaman dari pasangan 3. Penggunaan minuman Tahap pengambilan keputusan beralkohol dan narkoba meninggalkan pasangan: 4. Budaya patriarki 1. Precontemplation 5. Learned Helplessness Tahap pengambilan keputusan Perempuan Dewasa Muda Korban meninggalkan pasangan: Kekerasan dalam Pacaran 2. Contemplation Siklus Kekerasan III, Loving Tahap pengambilan keputusan Contrition meninggalkan pasangan: 3. Preparation Tahap pengambilan keputusan meninggalkan pasangan: 4. Action Tahap pengambilan keputusan meninggalkan pasangan: 5. Maintenance, ditandai dengan tidak kembalinya korban pada pasangan Dampak negatif antara lain: kehamilan, HIV/AIDS, kecemasan, rendahnya keberhargaan diri, depresi, upaya bunuh diri, fobia, PTSD, dan penyalahgunaan minuman beralkohol dan narkoba

31 BAB III Metodologi Penelitian Pendekatan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam gambaran pengalaman pengambilan keputusan meninggalkan pasangan pada perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran. Peneliti menggunakan desain penelitian kualitatif untuk mengeksplorasi data secara lebih mendalam. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengungkap pemaknaan pengalaman seseorang terhadap fenomena tertentu serta mendeskripsikan atau menginterpretasikan pengalaman seseorang terhadap fenomena tertentu (Supratiknya, 2018). Metode penelitian yang akan digunakan peneliti merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Penelitian fenomenologis merupakan penelitian yang berfokus pada pengalaman hidup atau pengalaman subjektif seseorang (Kahija, 2017). Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode penelitian fenomenologis agar mampu mendalami dinamika pengalaman pengambilan keputusan meninggalkan hubungan pacaran yang penuh kekerasan pada perempuan dewasa muda. Tipe analisis data yang digunakan peneliti merupakan Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) atau analisis fenomenologis interpretatif yang berfokus pada penelitian mendalam mengenai pengalaman hidup seseorang (Smith, Flowers, & Larkin, 2009). Dalam Kahija (2017), peneliti dapat menginterpretasikan atau menafsirkan pemaknaan pengalaman hidup informan penelitian. Peneliti akan mendapatkan hasil dari interpretasi makna subjektif infoman dalam bentuk laporan pengalaman unik setiap informan dan bagaimana pengalaman tersebut saling terhubung (Kahija, 2017). Fokus dari penelitian IPA adalah peneliti menafsirkan bagaimana seseorang memaknai pengalamannya (Kahija, 2017). Aktivitas utama dalam penelitian IPA merupakan penafsiran yang terdiri dari dua proses penafsiran yakni penafsiran oleh infoman dan penafsiran oleh peneliti, sehingga peneliti dituntut untuk memiliki kemampuan penafsiran (Kahija, 2017). Teknik analisis ini sesuai dengan tujuan peneliti yaitu mengeksplorasi pengalaman proses pengambilan keputusan perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran. Oleh karena itu, peneliti dapat

32 mendalami serta memaknai pengalaman perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran. Penelitian dengan teknik analisis IPA, berbeda dengan menggunakan teknik analisis fenomenologis deskriptif (PFD). Menurut Husserl dalam Kahija (2017), penelitian fenemenologis deskriptif yaitu di mana peneliti dapat melihat pengalaman orang lain dalam keadaan bebas tanpa disertai dengan teori, asumsi, prasangka. Peneliti akan menghadapi pengalaman langsung dari orang lain secara apa adanya (Kahija, 2017). Fokus dari penelitian deskriptif menekankan pada epochē, yakni peneliti masuk ke dalam pengalaman informan dan akan menemukan berbagai fenomena. Melalui fenomena tersebut, peneliti mendeskripsikan kembali pengalaman informan secara fenomenologis (Kahija, 2017). Terdapat tiga pilar utama dalam penelitian fenomenologis interpretatif: Fenomenologis Dalam Kahija (2017), fenomenologi artinya kembali ke fakta (fenomena), berarti peneliti mau melihat pengalaman partisipan subjek tanpa dikendalikan oleh pandangan-pandangan teoretis tertentu apalagi asumsi-asumsi. Menurut Smith et al. (seperti dikutip dalam Kahija, 2017) fenomenologi merupakan pendekatan filosofis untuk penelitian mengenai pengalaman yang menyediakan sumber yang kaya mengenai pengalaman hidup seseorang. Husserls (seperti dikutip dalam Kahija, 2017) berpendapat bahwa prinsip dasar pendekatan fenomenologis adalah pengalaman yang sebaiknya diteliti bagaimana hal itu terjadi serta berfokus pada pengalaman kesadaran seseorang. Hermeneutika Menurut Smith et al. (2009) hermeneutika merupakan teori interpretasi, yaitu memberikan landasan yang pasti pada interpretasi teks. Schleiermacher (seperti dikuip dalam Kahija, 2017), membagi interpretasi menjadi dua yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Interpretasi gramatikal merupakan interpretasi teks secara objektif; sedangkan interpretasi psikologis merupakan interpretasi teks secara psikologis. Penelitian dengan metode IPA, peneliti ingin memaknai pengalaman yang dialami oleh partisipan serta menginterpretasi pengalaman tersebut. Peneliti mempunyai pemikiran dan perasaannya sendiri, begitu juga dengan partisipan. Peneliti perlu jujur dengan pemikiran dan perasaannya sehingga diperlukan perbaikan terus

33 menerus agar dapat mencapai pemahaman yang jelas dalam memaknai fenomena. Menurut Heidegger (seperti dikutip dalam Kahija, 2017) diperlukan penyatuan pandangan peneliti dengan partisipan yang disebut sebagai fusion of horizons. Idiografi Idiografi merupakan pengakuan bahwa setiap individu memiliki ciri khas yang unik dalam memaknai pengalaman yang terjadi dalam hidupnya (Kahija, 2017). Oleh sebab itu idiografi tidak mengacu pada generalisasi, tetapi menetapkan dengan cara berbeda dalam membangun generalisasi tersebut (Harre dalam Smith, 2009). Pengalaman manusia yang satu dengan yang lainnya bisa saja memiliki kemiripan. Tetapi kemiripan tersebut tidak dapat dikaitkan dengan generalisasi atau perlakuan untuk menemukan prinsip umum yang bisa berlaku untuk seluruh orang. Pada dasarnya, penelitian IPA fokus pada pengalaman khas dan unik, tetapi juga menerima bahwa partisipan bisa saja menunjukkan kemiripan dalam pengalaman mereka (Kahija, 2017). Fokus Penelitian Penelitian ini berfokus pada pengalaman pengambilan keputusan mengakhiri hubungan penuh kekerasan pada perempuan korban kekerasan dalam pacaran. Diawali dari proses memutuskan untuk menjalin hubungan pacaran, pengalaman korban selama menjalin hubungan hingga proses pengambilan keputusan korban untuk meninggalkan pasangan. Refleksi Peneliti Penelitian ini berangkat dari keprihatinan personal peneliti terkait dengan ketidakadilan yang sering dirasakan oleh kaum perempuan. Dimulai dari hal sederhana seperti asumsi negatif terhadap pemimpin perempuan hingga permasalahan ekstrem seperti kekerasan pada perempuan. Ditambah lagi dengan media sosial, peneliti sering menjumpai kasus-kasus yang berkaitan dengan pelecehan seksual, kekerasan seksual bahkan pembunuhan kepada perempuan pada relasi intim, baik itu pacaran maupun pernikahan.

34 Selain itu peneliti juga seorang perempuan yang memiliki empati yang cukup mendalam dengan korban kekerasan dalam pacaran. Hal ini menjadi tantangan dan pertimbangan tersendiri bagi peneliti, karena jika peneliti tidak bisa memposisikan diri sebagi pihak netral maka akan sangat memungkinkan menimbulkan bias. Selain itu sebagai peneliti perlu untuk tidak memberikan empati yang terlalu mendalam karena hal ini mempengaruhi pemaknaan pengalaman partisipan. Informan Penelitian Informan yang dibutuhkan dalam penelitian ini merupakan perempuan korban kekerasan dalam pacaran berusia 18-30 tahun dan telah mengakhiri hubungan pacaran. Pertimbangan peneliti memilih informan yang telah mengakhiri hubungan yang penuh kekerasan karena diasumsikan informan memiliki kondisi pengalaman pengambilan keputusan untuk meninggalkan pasangan yang lengkap dari awal hingga akhir. Metode Pengambilan Data Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengalaman pengambilan keputusan meninggalkan pasangan pada perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti melakukan pengumpulan data dengan metode wawancara. Kahija (2017) berpendapat bahwa penelitian fenomenologi interpretatif membutuhkan kekayaan data, sehingga informan penelitian diberikan kebebasan untuk menceritakan pengalamannya secara terbuka dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, dan sikap sebagai seseorang yang mengalami langsung. Berdasarkan Kahija (2017) penelitian fenomenologis pada umumnya menggunakan jenis wawancara semi-terstruktur. Peneliti dapat menggunakan panduan wawancara sebagai pedoman untuk menggali pengalaman informan secara lebih mendalam. Wawancara semi-terstruktur, peneliti dapat mengajukan pertanyaan dalam panduan wawancara dan dapat dikembangkan untuk dapat menggali lebih dalam pengalaman informan. Alshenqeeti (seperti dikutip dalam Supratiknya, 2019) berpendapat bahwa jenis wawancara semi-terstruktur merupakan versi fleksibel dari wawancara terstruktur, artinya peneliti dapat melakukan probing secara mendalam tanpa keluar dari tujuan penelitian.

35 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara semi-terstruktur. Alshenqeeti yang dikutip dalam Supratiknya (2019) mengungkapkan bahwa jenis wawancara ini lebih fleksibel. Peneliti menggunakan pedoman wawancara yang terdiri atas beberapa daftar pertanyaan namun tidak membatasi informan kebebasan informan dalam membagikan pengalamannya. Pengumpulan data dengan metode wawancara perlu memperhatikan keetisan demi menjaga dan melindung partisipan, seperti disebutkan dalam Kode Etik Psikologi pasal 41 ayat 1 yang berbunyi: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu mengambil langkah-langkah untuk melindungi perorangan atau kelompok yang akan menjadi partisipan penelitian dari konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari keikutsertaaan atau penarikan diri/pengunduran dari keikutsertaan (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010, p. 73) Oleh karena itu, demi menjaga dan melindungi kesejahteraan partisipan, peneliti tidak dapat melakukan wawancara selain bertatap muka langsung dengan informan penelitian. Pedoman Wawancara Dalam penyusunan pedoman wawancara, peneliti memperhatikan dua hal yang perlu diamati. Berdasarkan Yusainy (2019), terdapat dua hal yang wajib diamat dalam penelitian yakni necessary condition (kondisi yang diperlukan) dan sufficient condition (kondisi yang tercukupi). Oleh karena itu, peneliti mengajukan pertanyaan yang dapat mencukupi kebutuhan tujuan penelitian yakni mengungkap dinamika proses pengalaman pengambilan keputusan perempuan dewasa muda korban kekerasan dalam pacaran. Tabel 2 Tujuan Pertanyaan Mengetahui relasi dengan keluarga Bagaimana relasi dengan lingkungan dan teman terdekat terdekat? (orangtua dan relasi) Mengetahui kebutuhan pacaran • Kebutuhan apa saja yang ingin Anda penuhi ketika berpacaran? • Apakah kebutuhan Anda terpenuhi oleh pasangan?

36 Mengetahui harapan yang muncul • Pada waktu Anda memutuskan untuk saat memutuskan untuk berpacaran berpacaran, harapan apa saja yang dengan pacar yang melakukan muncul? kekerasan • Berapa lama menjalin hubungan pasangan? Mengetahui awal terjadinya Bagaimana awal terjadi kekerasan dalam kekerasan dalam hubungan pacaran hubungan Anda? Mengetahui bentuk-bentuk • Kekerasan apa saja yang Anda kekerasan yang dialami terima? • Apakah ada yang lain? Mengetahui alasan bertahan dalam Apa yang membuat Anda memilih untuk hubungan yang penuh kekerasan bertahan pada hubungan tersebut? Mengetahui proses pengambilan • Apa yang mendorong Anda bertekad keputusan untuk meninggalkan untuk mengakhiri hubungan? pasangan serta pertimbangannya • Bagaimana pengalaman Anda selama proses pengambilan keputusan tersebut? Mengetahui tindakan pasangan • Bagaimana respon/sikap/tingkah setelah mengakhiri hubungan laku pasangan Anda saat Anda meminta putus? Mengetahui efek yang dirasakan • Bagaimana respon Anda setelah korban setelah meninggalkan mengakhiri hubungan dengan pasangan pasangan? (kognitif, psikologis, perilaku) • Bagaimana perasaan Anda setelah mengakhiri hubungan dengan pasangan? Mengetahui dukungan sosial dari • Apakah Anda mendapatkan lingkungan dukungan dari lingkungan sekitar Anda? (microsystem, macrosystem) Metode Analisis Data Berdasarkan Kahija (2017), analisis penelitian IPA adalah analisis terhadap transkrip dengan menjalankan tiga pilar penelitian, yaitu a.) fenomenologi yang

37 bersandar pada epochē, b.) interpretasi yang bersandar pada pemahaman terhadap setiap pernyataan partisipan, c.) idiografi yang memperhatikan keunikan pengalaman dari setiap partisipan. Peneliti menggunakan aplikasi MAXQDA untuk membantu proses analisis daata. Tahapan analisis data adalah sebagai berikut: Membaca Berulang-Ulang Dalam penelitian IPA, tahapan ini merupakan bentuk dari pengalaman informan melalui transkrip sehinga pada tahapan ini diperlukan untuk membaca transkrip berulang kali (Smith et al., 2009). Pada tahap ini, peneliti perlu memastikan bahwa informan menjadi fokus analisis. Pengulangan membaca juga penting agar peneliti dapat mengembangkan pemahaman pengalaman informan (Smith et al., 2009). Kahija (2017) menambahkan bahwa tujuan membaca transkrip berulang kali agar peneliti bisa menjadi akrab dengan pengalaman partisipan. Menuliskan Catatan Awal (Initial Noting) Setelah membaca berulang kali dan peneliti sudah akrab dengan transkrip maka tahap selanjutnya adalah menuliskan catatan kecil. Tahap ini merupakan tahap yang membutuhkan ketelitian dan waktu yang lama (Smith et al., 2009) Peneliti perlu untuk mempertahankan pemikiran terbuka dan mencatat segala sesuatu yang menarik dalam transkrip (Smith et al., 2009). Tahapan ini untuk memastikan keakraban peneliti dengan transkrip dan mulai mengidentifikasi hal spesifik mengenai pemahaman informan terhadap fenomena. Catatan-catatan tersebut disebut sebagai komentar eksploratoris yaitu menggali lebih dalam agar semakin paham (Kahija, 2017). Oleh karena itu, komentar peneliti merupakan pernyataan interpretatif peneliti terhadap pernyataan partisipan yang dirasakan penting dalam transkrip (Kahija, 2017). Mengembangkan Tema Emergen Setelah membuat komentar eksplonatoris, tahap selanjutnya adalah membuat tema yang emergen. Saat membuat tema emergen, peneliti mengurangi detail pada komentar eksplonatoris, namun tetap mempertahankan kompleksitas dengan memetakan hubungan timbal balik, koneksi dan pola antar komentar (Smith et al., 2009). Hal ini melibatkan analisis pada catatan kecil atau komentar eksploratoris daripada dengan transkrip wawancara (Smith et al., 2009). Tema yang dibuat pada dasarnya adalah pemadatan dari komentar eksploratoris yang telah dibuat sebelumnya, sehingga tema tidak lagi berupa pernyataan tetapi berupa kata atau frasa (Kahija, 2017).

38 Perumusan Tema Superordinat Tahap selanjutnya adalah merumuskan tema superordinat yang merupakan tema yang posisinya di atas tema emergen (Kahija, 2017). Tema superordinate terdiri atas beberapa tema-tema emergen yang muncul pada seluruh informan (Kahija, 2017). Pada tahap ini, peneliti memilih tema-tema yang relevan dengan pertanyaan penelitian (Kahija, 2017). Pola-Pola Antarkasus / Antarpengalaman Partisipan Saat seluruh data partisipan selesai dianalisis, peneliti dapat mencari pola-pola yang ada di antara tema-tema emergen yang telah di dapatkan dari keseluruhan partisipan (Kahija, 2017). Peneliti perlu dalam keadaan fokus dan konsentrasi dalam menemukan hubungan yang ada di antara tema-tema tersebut serta tema-tema yang menonjol yang ada pada hamper seluruh partisipan (Kahija, 2017). Penataan Seluruh Tema Superordinat Tahap selanjutnya yaitu merumuskan keterkaitan tema partisipan yang satu terhubung dengan pengalaman partisipan yang lainnya yang disebut sebagai perumusan tema superordinate antarpartisipan (Kahija, 2017). Peneliti akan membuat tabel induk untuk tema semua partisipan, sehingga bertujuan untuk melihat semua tema superordinate sekaligus dapat melihat keterhubungan tema antarpartisipan dan menyederhanakan tema superordinate antarpartisipan (Kahija, 2017). Kemudian peneliti akan membuat tabel identifikasi tema berulang untuk melihat siapa saja yang terjaring dalam satu tema antarpartisipan (Kahija, 2017). Tabel ini berguna untuk memberikan gambaran mengenai persebaran tema pada seluruh partisipan (Kahija, 2017). Kredibilitas Penelitian Berdasarkan Creswell (2007), terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan untuk memeriksa validitas penelitian ini, yaitu: Member Checking Member checking digunakan untuk menentukan keakuratan hasil penelitian dan hasil interpretasi kepada informan (Creswell, 2007). Creswell menambahkan bahwa dalam prosedur ini peneliti tidak memberikan data mentah namun terkandung di dalamnya deskripsi analisis atau tema emergen, sehingga informan dapat memberikan pandangan dalam analisis data.

39 Refleksi Peneliti Refleksi diri digunakan untuk mengklarifikasi bias yang dibawa peneliti pada penelitian, sehingga pembaca dapat mengetahui posisi peneliti yang dapat memengaruhi hasil penelitian (Merriam seperti dikutip dalam Creswell, 2007). Refleksi menciptakan narasi yang terbuka dan jujur yang berisikan komentar peneliti mengenai interpretasi penelitian yang terbentuk dari latar belakang peneliti seperti pengalaman masa lalu, bias, penilaian dan orientasi yang dapat membentuk interpretasi hasil penelitian (Creswell, 2007). Auditor Eksternal Auditor eksternal merupakan seseorang yang tidak familiar dengan penelitian sehingga dapat memberikan penilaian secara obyektif melalui proses penelitian atau kesimpulan pada penelitian. Auditor eksternal mampu memberikan penilaian terkait beberapa aspek penelitian, seperti keakuratan transkrip, hubungan antara pertanyaan penelitian dengan data, tingkat analisis data dari data mentah hingga interpretasi, sehingga dapat meningkatkan validitas dari penelitian ini (Creswell, 2007). Peneliti selanjutnya memohon penilaian dari pakar penelitian kualitatif untuk memberikan penilaian terkait dengan metode penelitian serta analisis data yang dilakukan oleh peneliti. Peneliti memilih pakar yang tidak familiar dengan penelitian peneliti sehingga dapat memberikan penilaian secara obyektif. Peneliti memilih dua pakar yakni Bapak Edward Theodorus, M. App. Psy untuk memberikan penilaian terkait dengan metode penelitian dan Ibu Febriana Ndaru Rosita, M. Psi., Psikolog sebagai pakar yang akan memberikan penilaian terkait dengan hasil analisis data (terlampir). Penjelasan Singkat/Debriefing Penjelasan singkat/debriefing telah dipaparkan dan diatur dalam Kode Etik Psikologi Indonesia pasal 51 ayat 1 yang berbunyi: Ilmuwan Psikologi dapat memberikan penjelasan secara singkat segera setelah pengambilan data penelitian, dalam bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat pada umumnya, agar partisipan memperoleh informasi yang tepat tentang sifat, hasil, dan kesimpulan penelitian; agar Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengambil langkah tepat untuk meluruskan persepsi atau konsepsi keliru yang mungkin dimiliki partisipan (HIMPSI, 2010, p. 86-87)

40 Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti akan memberikan penjelasan kepada masing-masing informan terkait dengan hasil penelitian yang telah dilakukan berupa narasi dalam bentuk teks softfile. Hal ini peneliti lakukan demi memastikan kesejahteraan informan dengan tidak membiarkan informan mempertanyakan data yang telah informan berikan kepada peneliti yang dimungkinkan dapat memengaruhi psikologis informan.

41 Daftar Pustaka Ananda, N. C. & Hamidah. (2019). Learned helplessness pada wanita dewasa awal korban kekerasan dalam pacaran yang masih bertahan dengan pasangannya. Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental. 4(1). 36-42. https:doi.org/ 10.20473/jpkm.v5i22018.36-42 Andayu, A.A., Rizkyanti, C. A., & Kusumawardhani, S. J. (2019). Peran insecure attachment terhadap kekerasan psikologis dalam pacaran pada perempuan remaja akhir. Jurnal Ilmiah Psikologi. 6(2). 181-190. https://doi.org/ 10.15575/psy.v6i2.5231 Arnett, J. J. (2004). Emerging Adulthood : the winding road from the late teens throught the twenties. Ofxord University Press, Inc. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199929382.001.0001 Berita Resmi Statistik. (2017). Prevalensi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, hasil SPHPN 2016 [Infografik]. Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/website/images/Prevalensi-Kekerasan-Terhadap- Perempuan-ind.jpg Berk, L. E. (2012). Development through the lifespan edisi kelima. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Berk, L. E. (2014). Development through the lifespan (6th ed.). Pearson Education, Inc. Burke, P. J., Stets, J. E., & M. A. Pirog-Good. (1988). Gender indentity, self-esteem, and physical and sexual abuse in dating relationship. Social Psychology Quarterly. 51(3). 272-285. Branscombe, N. R., Baron, R. A. (2017). Social psychology (14th ed.). Pearson Education Limited Ciccarelli, S. K., & White, J. N. (2015). Psychology (4th ed.). Pearson Education. Costa, R. M. (2017). Encyclopedia of Personality and Individual Differences. Encyclopedia of Personality and Individual Differences. 8–10. https://doi.org/10.1007/978-3-319-28099-8 Creswell, J. W. (2007). Qualitative inquiry & research design: Choosing among five approaches (2nd ed.). Sage Publication, Inc David, P. (t.t.). Stages of development in intimate relationships. Antioch University Seattle. http://pauldavidphd.com/wp-content/uploads/Stages-of-Intimacy.pdf Domenech del Rio, I. & Garcia del Valle, E. S. (2016). Influence of intimate partner violence severity on the help-seeking strategies of female victims and the influence of social reactions to violence disclosure on the process of leaving a violent relationship. Journal of Interpersonal Violence. 34(21-22). 4550-4571. https://doi.org. 10.1177/0886260516676473 Estrellado, A. F., & Loh, J. (2013). Factors associated with battered Filipino women’s decision to stay in or leave an abusive relationship. Journal of Interpersonal Violence. 29(4). 575-592. https://doi.org/10.1177/0886260513505709 Estrellado, A. F., & Loh, J. (2016). To stay in or leave an abusive relationship: Losses and gains experienced by battered Filipino women. Journal of Interpersonal Violence. 1-21. https://doi.org/ 10.1177/0886260516657912 Estrellado, A. F. & Salazar-clemena, R. M. (2007). Dynamics of abuse: case studies of five Filipino battered women. Philippine Journal of Psychology. 40(2). 5-33 Feist, J., & Feist, G. J. (2016). Teori kepribadian. Salemba Humanika Fletcher, G., Simpson, J. A., Campbell, L., & Overall, N.C. (2013). The science of intimate relationships. Blackwell Publishing.

42 Hakiki, M., Hayati, E. N., Marlinawati, V. U., Winkvist, A., & Ellsberg, M. C. (2001). Membisu demi harmoni: Kekerasan terhadap isteri dan kesehatan perempuan di Jawa Tengah, Indonesia. LPKGM-FK-UGM, Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Umea University, & Women’s Health Exchange Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia Jakubiak, B. K., & Feeney, B. C. (2017). Affectionate touch to promote relational, psychological, and physical well-being in adulthood: A Theoretical Model and Review of the Research. Personality and Social Psychology Review. 21(3). 228– 252. https://doi.org/10.1177/1088868316650307 Kahija, L. YF. (2017). Penelitian fenomenologis. Penerbit Kanisius. Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak. (2018, 20 Maret). Waspada bahaya kekerasan dalam pacaran. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1669/waspada-bahaya- kekerasan-dalam-pacaran Knoll, M., Starrs, C. J., & Christopher, J. (2017). Encyclopedia of Personality and Individual Differences. Encyclopedia of Personality and Individual Differences, Perry 1990, 1–5. https://doi.org/10.1007/978-3-319-28099-8 Komnas Perempuan. (2002). Peta kekerasan: pengalaman perempuan Indonesia. https://www.komnasperempuan.go.id/reads-peta-kekerasan-pengalaman- perempuan-indonesia. Ameepro Komnas Perempuan. (2018, 7 Maret). Tergerusnya ruang aman perempuan dalam pusaran politik populisme. Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2017. https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Catatan%20T ahunan%20Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202018.pdf Komnas Perempuan. (2020, 6 Maret). Kekerasan meningkat: Kebijakan penghapusan kekerasan seksual untuk membangun ruang aman bagu perempuan dan anak perempuan. Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019. https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2020/Catatan%20Tahunan%2 0Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202020.pdf Komnas Perempuan. (t.t.). 15 Bentuk kekerasan seksual: Sebuah pengenalan. https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/K ekerasan%20Seksual/15%20BTK%20KEKERASAN%20SEKSUAL.pdf Manjorang, A. P. & Aditya, P. (2015). The law of love: Hukum seputar pranikah, pernikahan, dan perceraian di Indonesia. Visimedia Matlin, M. W. (2012). The psychology of women (7th ed). Cangage Learning McKinley, N. M. (1999). Women and objectified body consciousness: mothers’ and daughters’ body experience in cultural, developmental, and familial context. Developmental Psychology, 35(3), 760–769. https://doi.org/10.1037/0012- 1649.35.3.760 Murray, J. (2007). But I love him: Protecting Your Teen Daughter from Controlling, Abusive Dating Relationships. HaperCollins Publisher Inc. Office on Women’s Health. (2018, 13 September). Dating violence and abuse. https://www.womenshealth.gov/relationships-and-safety/other-types/dating- violence-and-abuse Pugh, B., Li., L., & Sun, I.Y. (2018). Perceptions of why women stay in physically abusive relationships: A comparative study of Chinese and U.S. College Students. Journal of Interpersonal Violence. 00(0). 1-36.

43 Putri, Y. Z., & Kilis, G. (2012). Hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self esteem pada perempuan dewasa muda. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 1-20. Presiden Republik Indonesia. (2004). Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/24.pdf Prochaska, J. O., Norcross, J. C., & Diclemente, C.C. (2010). Changing for good. HaperCollins ebooks. Prochaska, J. O. & Norcross, J. C. (2014). Systems of psychotherapy: A transtheoretical analysis (8th ed.). Cengange Learning Sambhara, D. W., & Cahyanti, I. Y. (2013). Hubungan pacaran dengan kekerasan pada perempuan dewasa awal ditinjau dari stages of change. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 2(02). 69-78. Santrock, J. W (2012). Life-span development (14th ed.). McGraw-Hill Education Sari, I. P. (2018). Kekerasan dalam hubungan pacaran di kalangan mahasiswa: studi refleksi pengalaman perempuan. Jurnal Demensia. 7(1). 64-84. Setyarini, D. I., Selviana, & Triningsih, R. W. (2019). Self-efficacy pada remaja putri yang mengalami dating violence. Mimbar Ilmiah Kesehatan Ibu dan Anak. 3(1). 1-7. https://doi.org/10.36696/mikia.v3i1.55 Smith, E. E., & Kosslyn., S. M., Cognitive psychology: Mind and brain (1st ed.). Pearson Education Limited. Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative phenomenological analysis. SAGE Publications Ltd Sterberg, R. J. (1986). A triangular theory of love. Psychological Review. 93(2). 19- 135. https://doi.org/10.4324/9780203311851 Stets, J. E. (1993). Control in dating relationship. Journal of Marriage and Family. 55(3). 673-685. https://doi.org/10.2307/353348 Suharnan. (2005). Psikologi kognitif. Srikandi Supratiknya, A. (2019). Serba-serbi metode & penelitian ilmiah dalam psikologi. PT Kanisius. Walker, L. E. A. (2009). The battered woman syndrome, third edition. Springer Publishing Company, LLC. World Health Organization. (2017, 29 November). Violence against women. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-women Wishesa, I. A., & Suprapti, V. (2014). Dinamika emosi remaja perempuan yang sedang mengalami kekerasan dalam pacaran. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. 3(3). 159-163. Widiyanti, P. D. R. (2012). Studi kasus mengenai decision making untuk keluar dari abusive relationship pada remaja akhir. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 1(1). 1–10. Yuliani, A. & Fitria, N. (2017). Peran preoccupied attachment style terhadap kecenderungan mengalami Stockholm syndrome pada perempuan dewasa awal. Jurnal Ilmiah Psikologi. 4(2). 275-288. https://doi.org/ 10.15575/psy.v4i2.1341 Yusainy, C. (2019). Panduan riset eksperimental dalam psikologi. UB Press


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook