Principle of Reaction Terdapat lima reaksi pokok yang harus ditampilkan guru dalam melakukan pendekatan bermain peran, yaitu: (1) guru harus menerima tanggapan dan pendapat siswa terutama yang mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara netral dan tidak berusaha untuk mengevaluasinya; (2) guru harus merespon dengan cara yang mampu mendorong siswa berani menggali beragam sisi sudut pandang yang berbeda dari permasalahan; (3) melalui proses refleksi, parafrase dan menyimpulkan tanggapan yang ada guru meningkatkan kesadaran siswa akan pandangan dan perasaan mereka sendiri; (4) guru menekankan jika terdapat beragam alternatif cara untuk memainkan peran yang sama dan masing-masing alternatif akan menghasilkan hasil yang berbeda; (5) tidak ada satu cara yang benar, guru membantu siswa memahami konsekuensi dari setiap ragam pilihan respon yang ditampilkan. Support System Penerapan pendekatan ini cukup sederhana dan tidak membutuhkan banyak peralatan pendukung. Peralatan utama yang diperlukan adalah lembar paparan situasi permasalahan yang menggambarkan pikiran dan perasaan masing- masing tokoh/karakter yang terlibat sehingga dapat memberikan gambaran yang detail dan mendalam bagi aktor yang akan berada dalam peran tersebut. Selain itu adanya form pengamatan juga akan membantu menjadi acuan pengamat untuk berfokus pada poin yang akan diamati dan menjadi tempat untuk menuliskan temuan pengamatan mereka. Situasi yang akan dianalisis bisa diperoleh baik dari film, novel maupun cerpen. Application Penerapan pendekatan bermain peran dapat digunakan untuk menghadapi berbagai permasalahan pendidikan karena melalui bermain peran siswa akan meningkatkan kemampuannya untuk mengenali perasaan dirinya dan orang lain, mereka akan mempelajari perilaku baru dalam menghadapi situasi yang rumit yang terjadi dimasa lalu sehingga membuat mereka dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalahnya. Pendekatan ini memungkinkan siswa untuk dapat menikmati proses karena menawarkan beragam pilihan keterlibatan yang dapat dipilih siswa dan mereka dapat menggunakan pilihan keterlibatan peran mereka untuk belajar memahami makna dari situasi yang dihadapi. Role Playing and The Curriculum Setidaknya terdapat dua alasan mengapa guru memilih untuk menggunakan metode bermain peran. Pertama, sebagai awal untuk mengajarkan pendidikan sosial secara sistematis. Kedua, untuk mengkonseling sekelompok siswa dalam menghadapi permasalahan tentang interaksi sosial sehingga membuat siswa untuk membangun inquiry atas permasalahan yang dihadapi. Beberapa tipe 92
permasalahan sosial yang dapat dihadapi menggunakan pendekatan ini diantaranya konflik interpersonal, hubungan antar kelompok, dilema individu, dan permasalahan dimasa lalu. Namun apapun permasalahan sosial yang dihadapi menggunakan pendekatan ini, siswa akan secara alami berfokus pada aspek situasi yang menurut mereka penting yang mereka tangkap dari pilihan kata, perilaku, pemecahan masalah maupun konsekuensi dari perilaku yang ditampilkan oleh aktor. Oleh karenanya guru dapat memfokuskan analisis pada eksplorasi perasaan, eksplorasi sikap, nilai dan persepsi yang ditampilkan aktor, pengembangan sikap dan keterampilan dalam pemecahan masalah serta eksplorasi bahan. Proses diskusi dapat berkembang secara luas karena kekayaan dan keragaman data yang dihasilkan, oleh karena itu pengarahan penekanan fokus pada satu atau dua fokus bahasan menjadi sesuatu yang penting untuk menjaga agar diakhir diskusi diperoleh hasil pembelajaran yang diharapkan. Selecting Problem Situation Pemilihan bahasan fokus dalam bermain peran dapat dipengaruhi oleh beragam faktor seperti usia, latar belakang budaya, kompleksitas situasi, sensitifitas topik yang diangkat. Semakin erat hubunga antara guru dan siswa dan adanya keterbukaan antar siswa maka akan memungkinkan untuk dapat membahas topik yang semakin sensitif. Instructional and Nurturant Effects Pendekatan bermain peran secara instruksional dirancang secara spesifik untuk mendorong tercapainya: (1) analisis nilai dan perilaku personal; (2) pengembangan strategi dalam memecahkan permasalahan personal dan interpersonal; (3) pengembangan empati terhadap orang lain. Sedangkan secara jangka panjang diharapkan pendekatan ini akan dapat memperoleh informasi akan permasalah sosial yang sedang terjadi dan memunculkan kenyamanan dalam menyampaikan pendapat orang lain. Daftar Rujukan Joyce, B. & Weil, M. (2003). Models of Teaching New Delhi: Prentice Hall of India. 93
Bagian 10 Information Processing Models: Concept Attainment Lily Eka Sari Pendahuluan Sebuah konsep seringkali merupakan sesuatu yang abstrak. Sebagai akibatnya, siswa bisa jadi hanya menghafalkan definisi mengenai suatu konten yang dibahas dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, siswa belum tentu mampu menguraikan ciri-ciri, karakteristik, atau memberi contoh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tersebut belum memahami konsep. Oleh karena itu, guru perlu menggunakan model Concept Attainment sebagai salah satu metode pembelajaran. Merriam-Webster Dictionary mendefinisikan attain sebagai “mencapai,” “meraih,” atau “memperoleh.” Hal ini mengandung makna bahwa proses pembelajaran merupakan sebuah proses berkelanjutan yang melibatkan perencanaan, usaha, dan evaluasi serius. Makalah ini merangkum Bab 6 buku Models of Teaching edisi ke-9, yang ditulis oleh Joyce, Weil, & Calhoun (2015). Pembahasan Concept Attainment merupakan pencaharian dan penyusunan daftar yang bisa digunakan untuk membedakan contoh yang tepat maupun yang tidak tepat dalam kategori yang berbeda-beda. Dalam Concept Attainment Model, siswa menguji rangkaian data untuk mempelajari kategori yang telah diseleksi oleh guru (Bruner, Goodnow, & Austin, 1967 dalam Joyce, Weil, & Calhoun, 2015). Melalui prosedur dalam model ini, siswa dapat mempelajari beberapa keterampilan. Siswa harus menggali atribut sebuah kategori yang sudah terbentuk dalam pemikiran orang lain. Hal ini ditempuh dengan cara menyusun persamaan dan perbedaan dalam contoh (eksemplar) yang ada. Contoh tersebut mengandung karakteristik (atribut) konsep beserta contoh-contoh yang tidak mengandung atribut tersebut. Model ini juga membuat siswa menentukan dasar penyusunan kategori yang mereka susun. Penyusunan konsep ini merupakan dasar model induktif. Eksemplar merupakan sebuah subset kumpulan data, atau bisa juga merupakan serangkaian data. Kategori artinya serangkaian contoh yang memiliki satu atau lebih karakteristik yang tidak dimiliki kelompok lain. Dengan membandingkan eksemplar positif serta mencari perbedaan di antara kelompok yang ada, siswa bisa mempelajari konsep kategori tersebut. 94
Atribut berarti fitur yang dimiliki semua data. Sedangkan atribut yang penting adalah atribut yang sangat dibutuhkan dalam kategori itu. Eksemplar sebuah kategori bisa memiliki banyak atribut lain. Atribut lain itu bisa saja tidak relevan dengan kategori itu sendiri. Sebagian dari penguasaan akan sebuah konsep adalah mengenali contoh positif mengenainya, serta membedakan contoh yang sangat berhubungan, tapi merupakan contoh negatif. Ada konsep yang memiliki lebih dari satu atribut. Konsep tersebut bisa jadi merupakan sebuah rentang (range) yang terdiri atas kasus yang hanya memerlukan satu atribut. Tapi bisa juga terjadi bahwa beberapa atribut dibutuhkan untuk membangun sebuah konsep. Sewaktu mengajar mengenai konsep, guru perlu melakukan penjelasan mengenai atribut yang menentukan, serta apakah nilai-nilai (values) sebuah atribut perlu dipertimbangkan. Guru juga perlu melakukan seleksi untuk memastikan bahwa dalam eksemplar negatif beberapa, tapi tidak semua, atribut bisa dicoret dari daftar. Buku ini membahas mengenai dua macam konsep, yaitu konsep conjuctive dan disjunctive. Konsep conjunctive ditengarai dengan adanya satu atau lebih atribut. Eksemplar yang ada dihubungkan oleh satu atau lebih karakteristik. Sedangkan konsep disjunctive bisa dilihat dari keberadaan beberapa atribut dan tidak adanya atribut lain. Beberapa konsep mengharuskan adanya hubungan antara eksemplar dan entitas lain. Kebanyakan konsep tentang manusia masuk dalam kategori ini. Concept Attainment Model memiliki susunan yang telah ditentukan. Joyce, Weil, & Calhoun (2009) menuliskan susunan atau syntax sebagai berikut: Fase Satu: Presentasi Data dan Identifikasi Konsep 1. Guru menyajikan contoh yang telah diberi nama (label) 2. Siswa membandingkan atribut dalam contoh positif dan negatif 3. Siswa menyusun dan menguji hipotesis 4. Siswa menulis sebuah definisi berdasarkan atribut yang penting Fase Dua: Menguji Penerimaan Konsep 1. Siswa mengidentifikasi contoh tambahan, yang tidak diberi nama (label) dalam kategori ‘ya’ dan ‘tidak’ 2. Guru mengkonfirmasi hipotesis, konsep penamaan, serta menyatakan ulang definisi menurut atribut yang penting 3. Siswa membuat contoh lain Fase Tiga: Menganalisis Strategi Berpikir 1. Siswa menguraikan jalan pemikiran 2. Siswa mendiskusikan peranan hipotesis dan atribut 3. Siswa mendiskusikan tipe dan jumlah hipotesis Dalam merancang proses pembelajaran, guru perlu terlebih dahulu memikirkan kategori yang jelas. Sebaiknya, guru memberi contoh kosa kata dalam 95
konteks kalimat agar siswa dapat menangkap inofrmasi. Guru dapat memberi 20 pasang kata, bahkan lebih jika dirasa konsepnya agak rumit. Setiap pasang memiliki contoh yang dimaksud (positif) dan kata yang tidak berhubungan (negatif). Siswa diizinkan mencatat hal-hal yang menurut mereka memiliki persamaan. Selanjutnya, guru memberi eksemplar lain, seraya bertanya apakah siswa masih yakin akan persamaan yang dicatat siswa tadi. Jika siswa berubah pendapat, guru dapat menanyakan pemikiran mereka yang baru. Guru terus memberikan eksemplar hingga sebagian siswa memiliki pendapat yang kokoh dan dapat diuji. Guru dapat meminta salah satu siswa menguraikan pendapatnya, serta proses hingga siswa tersebut sampai ke pemahaman demikian. Siswa bisa bergiliran mengutarakan pendapat dan jalan pemikiran. Sampai ke tahap ini, guru bisa terus memberi contoh lebih banyak. Sedikit demi sedikit, siswa mencapai kesepakatan bahwa semua eksemplar positif memberi kontribusi bagi makna kata mengenai objek, orang, atau kualifikasi tertentu. Dalam kegiatan penutup, guru dapat meminta siswa mendeskripsikan pemikiran mereka. Siswa dapat menjelaskan alur pokok pikiran hingga mereka bisa mendapatkan konsep. Guru juga bisa meminta siswa menjelaskan cara mereka memanfaatkan informasi yang sudah didapatkan. Sebagai tugas atau pekerjaan rumah, guru dapat meminta siswa mencari kata kerja dalam teks cerita pendek. Guru akan memeriksa eksemplar yang mereka punya untuk memastikan bahwa mereka sudah memiliki gambaran yang jelas mengenai konsep yang dibahas. Buku ini membahas beberapa strategi mengajar dengan menggunakan Concept Attainment. Ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan oleh guru. Pembahasannya dapat dilihat pada bagian berikut: 1. Guru bisa menyusun latihan Concept Attainment agar dapat mempelajari cara siswa berpikir 2. Siswa bisa menjelaskan cara mereka mendapatkan konsep. Siswa juga bisa belajar menjadi lebih efisien dengan cara membongkar-pasang strategi dan belajar menggunakan strategi lain 3. Dengan mengubah cara menyajikan informasi, guru bisa sedikit memodifikasi model ini. Hal ini bisa berdampak pada cara siswa mengolah informasi Proses ini menjamin bahwa siswa mempelajari atribut yang menjelaskan sebuah konsep. Di samping itu, proses ini mengajari siswa membedakan atribut yang tidak menjelaskan sebuah konsep. Ketika mengajar dengan metode ini, guru perlu membantu siswa. Dengan demikian, siswa bisa belajar untuk bekerja secara lebih efisien dalam merumuskan konsep. Selain itu, siswa bisa belajar mengenai aturan model pembelajaran ini. 96
Model pembelajaran ini memberi guru kesempatan menganalisis proses berpikir siswa, serta membantu siswa mengembangkan strategi lain yang lebih efektif. Melalui model ini, siswa bisa berpartisipasi dengan wujud berbeda-beda. Dengan adanya model ini pula, siswa bisa memegang kendali dalam proses pembelajaran. Di samping itu, guru dapat menyajikan materi dalam skala kompleksitas yang beragam. Dalam merencanakan model pembelajaran seperti ini, guru perlu memikirkan masak-masak kategori yang akan dibahas. Akan lebih baik lagi jika guru menyampaikan kata dalam kalimat untuk menyajikan informasi lebih banyak. Misalnya: guru dapat menunjukkan fungsi kata, seperti kata sifat, dalam konteks pemakaian di kalimat. Eksemplar dan atribut memiliki makna dan fungsi masing- masing dalam semua bentuk pembelajaran kontekstual, terutama dalam model Concept Attainment. Simpulan Pendidikan bertujuan menghasilkan perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Hal ini menuntut adanya usaha guru merancang proses pembelajaran. Guru perlu jeli mempelajari potensi dan kemampuan siswa. Guru juga perlu sigap memahami kebutuhan siswa. Melalui model pembelajaran yang tepat, siswa dapat menguasai konsep berpikir yang benar. Model pembelajaran ini merupakan alat evaluasi yang sangat baik, agar guru dapat menguji apakah konten utama yang telah diajarkan sudah dikuasai siswa. Model ini mengungkapkan kedalaman pemahaman siswa, serta memperkokoh (reinforce) pengetahuan sebelumnya. Di pihak lain, siswa bisa belajar bahwa informasi yang mereka terima perlu ditelaah dan dikaji, disortir untuk mengetahui hal-hal yang perlu diproses lebih lanjut. Hal ini akan mempengaruhi cara siswa menghadapi masalah. Dengan demikian, terjadi transformasi dalam pola pemikiran siswa. Daftar Rujukan Joyce, B.R., Weil, M. & Calhoun, E. (2015). Models of Teaching (9th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson. Merriam-Webster. (n.d.). Attain. In Merriam-Webster.com dictionary. Retrieved October 21, 2021, from https://www.merriam- webster.com/dictionary/attain. 97
Bagian 11 Personal Models (Nondirective Teaching: The Learner at the Center) Sri Yunita Taligansing Pengantar Model pembelajaran non-directive dikemukakan oleh Carl Rogers dan para pendukung lain dari konseling non-directive. Rogers memperluas pandangan terapinya sebagai suatu model pembelajaran bagi pendidikan. Model pembelajaran ini dikembangkan untuk membuat pendidikan menjadi suatu proses yang aktif bukan pasif. Cara belajar ini dilakukan agar para siswa mampu melakukan observasi mereka sendiri, mampu mengadakan analisis mereka sendiri, dan mampu berpikir sendiri. Dimana mereka bukan hanya mampu menghafalkan dan menirukan pendapat orang lain. Juga dapat merangsang para siswa agar berani dan mampu menyatakan dirinya sendiri aktif, bukan hanya menjadi pendengar yang pasif terhadap segala sesuatu yang dikatakan oleh guru. Dan siswa diizinkan untuk meneliti sendiri dari perpustakaan, ataupun kenyataan di lapangan. Nondirective Teaching atau yang lebih dikenal dengan model pembelajaran tidak langsung merupakan suatu proses membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik tanpa arahan dari guru. Model pengajaran tanpa arahan ini berfokus pada memfasilitasi pembelajaran. Dimana guru menghormati dan menghargai kemampuan siswa untuk diasuh mengidentifikasi masalahnya sendiri dan merumuskan solusinya. Siswa bersedia bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri, dan keberhasilannya tergantung pada kesediaan siswa dan guru untuk berbagi ide secara terbuka dan berkomunikasi secara jujur satu sama lain. Peran guru dalam pembelajaran non-directive yaitu sebagai fasilitator bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa. Guru akan membantu siswa untuk menemukan gagasan-gagasan baru tentang kehidupannya, baik yang berhubungan dengan sekolah maupun dalam kehidupannya sehari-hari. Model ini berasumsi bahwa siswa mau bertanggungjawab atas proses belajarnya dan keberhasilannya sangat tergantung kepada keinginan siswa dan pengajar untuk berbagi gagasan secara terbuka, berkomunikasi secara jujur dan terbuka dengan orang lain. Adapun tujuan model pengajaran nondirektif adalah : (1) Untuk membantu siswa dalam mendapatkan integrasi pribadi yang lebih besar, efektivitas dan 98
penilaian diri yang realistis; (2) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif; (3) Melakukan proses stimulasi, pemeriksaan dan evaluasi dengan persepsi baru; (4) Untuk membantu siswa memahami kebutuhan dan nilai-nilai mereka sendiri; (5) Agar siswa mampu mengarahkan keputusan pendidikannya sendiri; (6) Membantu siswa untuk membuat hidup mereka konstruktif; (7) Melihat dunia seperti yang dilihat siswa; (8) Menciptakan suasana komunikasi yang empatik; (9) Untuk mengembangkan pikiran dan perasaan; (10) Untuk membuat perkembangan emosional. Wawancara nondirektif adalah teknik yang paling penting dan dapat diterapkan untuk memelihara hubungan fasilitatif yang membutuhkan rantai pertemuan tatap muka antara guru dan siswa. Guru membantu siswa dalam proses eksplorasi diri siswa dan pemecahan masalah. Struktur wawancara guru untuk fokus pada keunikan siswa dan pentingnya kehidupan emosional mereka dalam semua aktivitas manusia. Teknik wawancara diambil dari konseling yang banyak digunakan dalam setting klinis. Kegunaan wawancara nondirektif yaitu sebagai berikut: (1) Berguna untuk konseling akademik; (2) Berguna untuk konseling perilaku; (3) Mengembangkan perasaan siswa; (4) Menjalin kerjasama yang baik antara siswa dan guru; (5) Mengidentifikasi perubahan perilaku yang tepat. Menurut Rogers, wawancara yang dilakukan oleh guru harus memenuhi empat syarat yaitu: Pertama, guru harus mampu menunjukkan kehangatan dan tanggap atas masalah yang dihadapi siswa dan memperlakukannya sebagaimana layaknya manusia. Kedua, guru harus mampu membuat siswa dapat mengekspresikan perasaannya tanpa tekanan dengan cara tidak memberikan penilaian. Ketiga, siswa harus bebas mengekspresikan secara simbolis perasaanya, dan keempat, proses konseling (wawancara) harus bebas dari tekanan. Pembelajaran non-directive mempunyai struktur sebagai berikut: 1. Sintaks Rogers menyimpulkan bahwa interview non-directive mempunyai sebuah rangkaian, meskipun tidak stabil dan tidak terprediksi. Rangkaian ini dibagi ke dalam lima tahap kegiatan, diantaranya: Pada tahap satu; ditetapkan bantuan situasi. Tahap ini mendefinisikan kebebasan siswa untuk mengekspresikann perasaan, sebuah argumen, sebuah permulaan permasalahan, dan beberapa pembahasan dari suatu hubungan jika hal ini terjadi secara terus menerus. Tahap dua; siswa dianjurkan untuk menerima dan mengklarifikasi yang dimiliki oleh guru mengungkapkan perasaan positif dan negatif guna untuk mengeksplor dan menetapkan permasalahan. Tahap tiga; siswa mengembangakan wawasan secara terus menerus; merasakan pemahaman baru dalam pengalamannya, melihat hubungan baru dari penyebab dan dampaknya, serta memahami pengertian dari 99
perilaku sebelumnya. Tahap empat; siswa bertindak terhadap perencanaan dan pembuatan keputusan dengan cara menghargai permasalahan. Peran guru untuk mengklarifikasi alternatif. Dan tahap lima; siswa melaporkan tindakan yang telah diambil, mengembangkan wawasan selanjutnya, dan merencanakan kegiatan yang positif. Sintaks yang diberikan di sini dapat terjadi dalam satu interview atau dalam sebuah seri interview. Lima tahap interview non-direktif menyediakan guru dengan sebuah ringkasan proses yang digunakan didalamnya. Meskipun arus spesifik yang dimiliki guru secara minimal hanya dalam hal kontrol. 2. Sistem Sosial Menurut Carl Rogers, sistem sosial dalam pembelajaran non-directive yaitu: Sistem sosial dari strategi nondirektif mempunyai sedikit susunan eksternal. Hal ini membutuhkan guru untuk mengasumsikan peran fasilitator dan reflektor. Siswa utamanya bertanggungjawab pada permulaan dan pemeliharaan kontrol proses interaksi; kekuasaan dibagi antara siswa dan guru. 3. Prinsip Reaksi Menurut Carl Rogers, prinsip reaksi dalam pembelajaran non-directive yaitu: Prinsip reaksi bagi guru didasarkan pada respon nondirektif. Guru mendekati siswa, memperhatikan dengan kepribadian dan permasalahannya, bereaksi untuk membantu siswa menegaskan perasaan dan permasalahannya, bertanggungjawab terhadap tindakannya, merencanakan objektifnya, serta bagaimana untuk mencapai mereka. 4. Sistem Pendukung Menurut Carl Rogers, sistem pendukung dalam pembelajaran non- directive yaitu: Sistem pendukung untuk strategi ini varies dengan fungsi interview. Jika interview adalah untuk menegosiasikan kontrak akademik, kemudian kebutuhan sumberdaya untuk arah pembelajaran itu sendiri harus tersedia. Jika interview berisi konseling untuk sebuah perilaku permasalahan, tidak membutuhkan sumber daya di luar kemampuan guru. Strategi Model Pembelajaran Non-Directive Aplikasi yang ditawarkan Carl Rogers dalam pembelajaran non-directive adalah Model pembelajaran tidak langsung (non-directive) digunakan untuk beberapa tipe situasi permasalahan, baik masalah personal, sosial, dan akademik. Dalam masalah pribadi, siswa menggali perasaannya tentang dirinya. Dalam masalah sosial, siswa menggali perasaannya tentang hubungannya dengan orang lain dan menggali bagaimana perasaan tentang dirinya tersebut berpengaruh terhadap orang lain. Dalam masalah akademik, siswa menggali perasaannya tentang kompetensi dan minatnya. 100
Alexander memberikan langkah-langkah untuk memulai pembelajaran non-directive yaitu jika guru baru mengenal pembelajaran ini, cara terbaik untuk belajar adalah mencobanya. Berlatihlah dengan rekan kerja saat bekerja dengan peserta didik. Jelaskan apa yang guru sedang lakukan dan mengapa, sehingga rekan kerja bisa membantu. Tujuan utama pembelajaran non-directive yaitu: (1) Bangunlah pengetahuan siswa; (2) Meningkatkan kesadaran siswa; dan (3) Beri siswa tanggungjawab penuh atas pembelajaran mereka sendiri. Model pembelajaran non-directive yaitu sebagai berikut: Personal Awareness Non-Directive Self Development Teaching Model A Variety of Social and Academic Goals Rancangan Model Pembelajaran Non-Directive Tahap-tahap dalam membuat rancangan model pembelajaran non-directive yaitu sebagai berikut: 1. Perencanaan/persiapan tindakan Perencanaan merupakan persiapan yang dilakukan sebelum pelaksanaan tindakan. Adapun yang akan dipersiapkan yaitu: a. Menyusun rencana pembelajaran berdasarkan langkah-langkah penerapan metode non-directive. b. Meminta kesediaan teman sejawat untuk menjadi observasi dalam pelaksanaan pembelajaran. 2. Pelaksanaan tindakan Adapun langkah-langkah yang akan dilaksanankan dalam pembelajaran dengan penerapan metode non-directive ini adalah sebagai berikut: a. Guru memberikan tugas pokok yang berhubungan dengan objek pelejaran. b. Guru meminta murid untuk mengobservasi objek pelajaran tersebutdiruangan perpustakaan. c. Guru meminta murid untuk menganalisa fakta atau permasalahan yangdihadapi. 101
d. Guru meminta murid unutk menyimpulkan sendiri hasil pengamatannya. e. Guru meminta murid untuk menjelaskan apa yang telah ditemukan f. Guru meminta murid untuk membandingkan dengan fakta yang lain. 3. Observasi Keaktifan Siswa Pada proses pembelajaran model non-directive, maka dilakukan observasi untuk mengukur keaktifan belajar siswa. Adapun aktivitas belajar siswa pada tiap aspek dapat dilihat sebagai berikut: a. Siswa belajar tidak hanya menerima tetapi mencari dan memberikan informasi. b. Siswa banyak melakukan tanya jawab dengan guru dan teman belajar. c. Siswa memberikan pendapat tentang penjelasan guru atau teman belajar. d. Siswa memberikan respon yang nyata terhadap pelajaran yang diberikan. e. Siswa memberikan penilaian dan penyempurnaan terhadap hasil pekerjaan dalam belajar. f. Siswa membuat kesimpulan pelajaran dengan bahasanya sendiri g. Siswa memanfaatkan sumber belajar yang ada dilingkungan belajarnya. Daftar Rujukan Braddell, Alexander. (2017). Citizens Curriculum Guide to Non-directive Coaching. London: Learning and Work Institute. Joyce, Bruce, Marsha Weil dan Emily Calhoun. (2009) Models of Teaching (Model-model Pengajaran Edisi Kedelapan). Yogyakarta: Pustaka Belajar. Lutfiyah, M. 2019. Penerapan model pembelajaran non-directive pada mata pelajaran pendidikan agama islam siswa kelas x smk islam pemalang, Jurnal Kajian Pendidikan Islam dan Studi Islam. 2 (2) 85-102. Roestiyah. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Rusman. (2012). Model-model pada Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Siddiqui, MH. (2013). Nondirective Teaching Model: An Effective Way of Counseling. Education. 2(4)51-53. Tenenbaum, Samuel. (1959). Carl R. Rogers and Non-Directive Teaching. Journal: Educational Leadership. 102
Bagian 12 Behavioral System Models (Mastery Learning) Moh. Sarifudin S. Auna Pengantar Model belajar tuntas (Mastery Learning) adalah pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran baik secara perseorangan maupun kelompok, dengan kata lain apa yang dipelajari siswa dapat dikuasai sepenuhnya. Ide-ide dasar yang terkandung dalam definisi mastery learning dari International Dictionary of Education (1979, 215), Mastery learning bersandar pada asumsi bahwa penguasaan suatu topik, bidang pengetahuan manusia atau perilaku manusia adalah hal yang sangat mungkin bagi semua individu asalkan setiap peserta didik diberi kualitas instruksi optimal yang sesuai dan setiap pelajar diberi waktu yang dia butuhkan.” Dalam buku All Our Children Learning (1981), Bloom juga telah mengembangkan pandangan optimisnya tentang pendidikan, dan menawarkan penilaian mastery learning berdasarkan model Carroll. Perhatian khusus diberikan untuk membuat variabel yang lebih menguntungkan pembelajaran sekolah, dan optimalisasi kualitas instruksi dan kemampuan siswa untuk memahaminya dengan tujuan mendorong siswa untuk menghabiskan cukup waktu untuk belajar (variabel ketekunan). Interpretasi optimis pendidikan: bahwa sifat manusia mampu pembangunan budaya melalui pendidikan. Konsep mastery learning diperkenalkan oleh Bloom (1968), kemudian dikembangkan menjadi model pembelajaran sekolah yang dikemukakan oleh Carroll (1963), Beberapa peran penting dalam menyebarkan gagasan mastery learning. Tiga konsepsi belajar siswa menurut Bloom, yaitu: 1. Ada pembelajar yang baik dan ada peserta didik yang buruk. Diyakini bahwa perbedaan yang relatif stabil diperoleh antara siswa dalam tingkat pembelajaran mereka, dan bahwa ini dapat ditelusuri dalam kecerdasan, bakat, dan hasil tes prestasi mereka. 2. Ada peserta didik yang lebih cepat dan ada peserta didik yang lebih lambat. Menurut Carroll (1963), kecepatan belajar individu bukanlah fitur yang stabil, dan tingkat pencapaian peserta didik yang lebih lambat dapat 103
ditingkatkan dengan memberi mereka waktu yang cukup untuk belajar dan dengan instruksi perbaikan yang tepat. 3. Sebagian besar siswa menjadi sangat mirip berkaitan dengan kemampuan belajar, tingkat pembelajaran, dan motivasi untuk pembelajaran lebih lanjut - ketika diberikan kondisi belajar yang menguntungkan.\" Untuk mendukung ide-idenya, Bloom mengembangkan 'teori pembelajaran sekolah'. Ada tiga variabel yang saling bergantung yang merupakan pusat teori ini (Bloom 1976): 1. Sejauh mana siswa telah mempelajari prasyarat dasar untuk pembelajaran yang harus dicapai. 2. Sejauh mana siswa (atau dapat) termotivasi untuk terlibat dalam proses pembelajaran. 3. Sejauh mana instruksi yang akan diberikan sesuai dengan peserta didik. Model theory of school learning ini berkaitan dengan karakteristik siswa, instruksi, dan hasil belajar. Variabel yang terjadi dalam teori ini juga telah dikemukakan dalam bentuk yang sedikit berbeda (Anderson 1973). Teori kausalistik memberi efek diberikan oleh variabel tertentu pada hasil belajar, mengajar, dan belajar. Teori ini tidak berangkat hanya untuk memberikan abstraksi atau mitos, tetapi untuk memprediksi jalannya peristiwa dalam pembelajaran. Hal ini juga dimaksudkan sebagai teori umum, yaitu menjelaskan dan memprediksi pembelajaran sekolah terlepas dari objek yang terlibat. Oleh karena itu, pribadi individu seperti pengalaman, karakteristik, dll, memiliki efek yang menentukan pada keberhasilan sekolahnya, dalam instruksi 'konvensional' perbedaan antara murid akan berkembang, mengikuti hukum kausalitas. Strategi mastery learning: 1. Meningkatkan standar instruksi sedemikian rupa untuk mempertimbangkan karakteristik individual dengan cara yang optimal. 104
2. Memastikan kondisi belajar yang menguntungkan bagi setiap individu, Bloom berpendapat, akan mengarah pada pencapaian oleh sebagian besar bakat belajar, tingkat pembelajaran, dan motivasi. Model belajar tuntas ini terdiri atas lima tahap, yaitu orientasi (orientation), penyajian (presentation), latihan terstruktur (structured practice), latihan terbimbing (guided practice) dan latihan mandiri (independent practice). 1. Tahap Model Belajar Tuntas (Mastery Learning) a. Orientasi; Pada tahap ini dilakukan penetapan suatu kerangka isi pembelajaran. Guru akan menjelaskan tujuan pembelajaran, tugas-tugas yang akan dikerjakan dan mengembangkan tanggung jawab siswa selama proses pembelajaran. b. Penyajian; Pada tahap ini guru menjelaskan konsep-konsep atau keterampilan baru disertai dengan contoh-contoh. Jika yang diajarkan adalah konsep baru, maka penting untuk mengajak siswa mendiskusikan karakteristik konsep, definisi serta konsep. Jika yang diajarkan berupa keterampilan baru, maka penting untuk mengajar siswa mengidentifikasi langkah-langkah kerja keterampilan dan berikan contoh untuk setiap langkah-langkah keterampilan yang diajarkan. c. Latihan Terstruktur; Pada tahap ini guru memberi siswa contoh praktik penyelesaian masalah/tugas. Dalam tahap ini, siswa perlu diberi beberapa pertanyaan, kemudian guru memberi balikan atas jawaban siswa. d. Latihan Terbimbing; Pada tahap ini guru memberi kesempatan pada siswa untuk latihan menyelesaikan suatu permasalahan, tetapi masih dibawah bimbingan dalam menyelesaikannya. Melalui kegiatan terbimbing ini memungkinkan guru untuk menilai kemampuan siswa dalam menyelesaikan sejumlah tugas dan melihat kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa. Jadi peran guru dalam tahap ini adalah memantau kegiatan siswa dan memberikan umpan balik yang bersifat korektif jika diperlukan. e. Tahap latihan; mandiri adalah inti dari strategi ini. Latihan mandiri dilakukan apabila siswa telah mencapai skor unjuk kerja antara 85%- 90% dalam tahap latihan terbimbing. Tujuan latihan terbimbing adalah memperkokoh bahan ajar yang baru dipelajari, memastikan daya ingat, serta untuk meningkatkan kelancaran siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam tahap ini siswa menyelesaikan tugas tanpa bimbingan ataupun umpan balik dari guru. Kegiatan ini dapat dikerjakan di kelas ataupun berupa PR (Pekerjaan Rumah). Adapun peran guru pada tahap ini adalah memberi nilai hasil kerja siswa setelah selesai 105
mengerjakan tugas secara tuntas. Guru perlu memberikan umpan balik kembali jika siswa masih ada kesalahan dalam pengerjaannya. Mastery Learning dalam Inovasi Praktis Ada banyak strategi alternatif untuk mastery learning, 'Salah satunya adalah pendekatan Keller, yang disebut 'Personalized System of Instruction', di mana setiap siswa berjalan dengan kecepatannya sendiri. Yang lainnya adalah pendekatan berbasis kelompok, di mana guru mengajar kelas, dan menggunakan umpan balik sebagai dasar untuk individualisasi prosedur korektif bagi siswa. Pada artikel ini, istilah mastery learning akan merujuk secara khusus pada pendekatan pengajaran kelompok. Bloom menekankan penerapan strategi mastery learning dalam situasi pengajaran normal, di mana guru memiliki kelompok murid yang relatif besar; Selain itu, teori Bloom secara eksplisit dimaksudkan sebagai model pembelajaran sekolah. Para pendukung mastery learning merupakan salah satu aliran pemikiran inovator dalam instruksi sekolah modern di Amerika Serikat, didukung oleh filosofi pendidikan mereka sendiri dan strategi praktis mereka sendiri. Lahdes (1980) telah membuat penilaian komparatif mastery learning dan pendekatan inovator lainnya, dan sampai pada kesimpulan. Teknologi pendidikan merupakan pendekatan didaktik modern yang sulit untuk menawarkan definisi yang valid secara universal. Namun demikian telah melakukan pengaruh yang nyata pada instruksi: perencanaan dan pelaksanaan instruksi telah menjadi lebih sistematis; lebih banyak perhatian telah diberikan pada karakteristik pupil pada saat awal; dan bentuk pengajaran baru (instruksi terprogram) telah dikembangkan, bersama dengan berbagai alat bantu dan bahan pengajaran yang terus berkembang. Literatur tentang proyek-proyek mastery learning dan penelitian muncul melalui teknologi pendidikan. Dalam strategi pembelajaran penguasaan, penggunaan terbuat dari alat bantu, bahan, dan teknik instruksional teknologi pendidikan, dan fitur bersama lainnya adalah perawatan yang dihabiskan untuk perencanaan. Akibatnya, mastery learning telah diserang oleh para kritikus 'humanis' (Barone 1978; Horton 1979). Kecurigaan telah berpusat pada dasar teoritisnya, dikategorikan sebagai behavioris psychology; tentang kurangnya pemikiran yang berbeda; dan pada fragmentasi belajar menjadi unit kecil, dll. Kategorisasi serupa ditunjukkan oleh definisi model mastery learning dan pelatihan dalam Encyclopedia of Educational Evaluation (1977), Model seperti itu mungkin lebih umum berlaku untuk pelatihan dalam keterampilan tertentu daripada upaya pendidikan umum seperti yang biasanya kita pikirkan. Dalam tulisan-tulisan ahli pendidikan terkemuka, di sisi lain (Anderson 1979; Blok 1979; Bloom 1976, 1978, 1981), ada keinginan yang nyata untuk 106
mengurangi aspek teknologi pembelajaran, yang penting dalam mengajar adalah manusia, bukan alat bantu dan materi. Penulis-penulis ini menjauhkan diri dari ekstrem pendekatan teknologi, dan menekankan pentingnya siswa, instruksi dalam mata pelajaran artistik, dan pemikiran kreatif, dll. Pendidikan Berbasis Kompetensi (CBE), yang ditandai dengan keinginan untuk mendefinisikan lebih tepat tingkat prestasi yang dituntut dari siswa pada berbagai tahap sekolah dan dalam mata pelajaran yang berbeda. Menurut Daloz (1978), gerakan CBE ditandai dengan fitur-fitur berikut: perencanaan kurikuler berasal dari deskripsi hasil pembelajaran yang diinginkan; deskripsi kompetensi berasal secara logis dari model peran tertentu; deskripsi ini didasarkan kriteria; dan metode penilaian ditentukan sebelumnya dan spesifik. Mastery learning dan CBE bertujuan untuk pengembangan dari siswa 'kompeten'. Hyman dan Cohen (1979) mengkritik CBE karena hubungan yang tidak memadai. Lahdes (1980) mengidentifikasi tiga perbedaan dasar antara kedua pendekatan: a. CBE mengakui tujuan siswa sendiri, dan dengan demikian juga munculnya tujuan yang berbeda. Fitur ini tidak ditekankan dalam mastery learning, yang beroperasi dalam hal pencapaian oleh semua siswa dari tujuan yang ditentukan. b. Mastery learning lebih terkait erat dengan kurikulum yang didefinisikan secara sosial daripada CBE, yang memungkinkan kebebasan kurikuler yang lebih besar. c. Mastery learning adalah pendekatan yang lebih komprehensif, karena berkonsentrasi pada proses pengajaran itu sendiri sebagai peristiwa penting antara tujuan dan evaluasi. Pendidikan adaptif juga mencakup sejumlah interpretasi yang berbeda. Fitur penting adalah bahwa pengajaran sekolah atau sistem sekolah harus beradaptasi, dengan satu atau lain cara, dengan karakteristik siswa. Pendidikan adaptif dengan demikian dapat dilihat sebagai kebalikan dari pendidikan selektif, di mana sekolah dan pengajaran adalah faktor utama, di mana siswa diharapkan untuk beradaptasi, sementara sekolah memiliki hak untuk memilih murid- muridnya. Anderson (1979) menolak pendidikan selektif, dan menganggap mastery learning sebagai salah satu bentuk pendidikan adaptif; Bentuk lain termasuk sistem IGE, IPI, dan PLAN. Masing-masing sistem ini menyadari satu atau lebih prinsip pendidikan adaptif. mastery learning tidak menetapkan karakteristik individu siswa uji dengan maksud untuk menempatkan mereka dalam kelompok kemampuan yang tepat atau mengarahkan mereka ke karir pendidikan yang berbeda; Sebaliknya, itu menekankan pentingnya umpan balik dan instruksi korektif. Selain 107
itu, ia menerima metode pengajaran kolektif. Poin-poin ini adalah hasil dari tujuan mastery learning untuk memberikan pendidikan adaptif di kelas sekolah konvensional. Anderson (1979) melihat tujuan pendidikan adaptif untuk menjadi adaptif, siswa lebih independen, proses mental yang lebih tinggi, percaya diri, termotivasi secara internal, dan beradaptasi secara sosial dan bertanggung jawab. Dalam hal dimensi selektif-adaptif dalam pendidikan, tiga tahap dapat dibedakan (Lahdes 1980,78): 1. Pendidikan selektif: siswa diminta untuk beradaptasi (karakteristik kognitif dan afektif), sedangkan lingkungan (instruksi dan kurikulum) tetap stabil. 2. Pendidikan adaptif yang berpusat pada murid: lingkungan beradaptasi, sedangkan pupil mewakili faktor yang stabil. 3. Pendidikan adaptif yang berpusat pada pengajaran: siswa sampai batas tertentu tetap konstan, tetapi sampai batas tertentu juga diperlukan untuk beradaptasi dengan harapan kurikuler, dengan bantuan pengajaran adaptif dan perbaikan. Glaser dan Cronbach termasuk dalam kategori kedua ini, sementara pembelajaran penguasaan jatuh ke yang ketiga. Pendekatan psikologi diferensial, berdasarkan diferensiasi individu atau seleksi dalam hal bakat yang relatif stabil. Secara keseluruhan, tujuan mastery learning adalah reformasi keseluruhan pendidikan sekolah tetapi dalam istilah yang realistis. Akibatnya, pembelajaran penguasaan menolak ekstrem baik pendidikan individu dan pendidikan adaptif yang berpusat pada murid, bersama dengan teknologi pendidikan yang terkait dengan ini, dan juga terlalu bergantung pada definisi tujuan atau evaluasi. Realismenya dapat dilihat dalam asumsi fundamentalnya tentang penggunaan kurikulum berbasis sekolah, penerimaan dan penggunaan bentuk pengajaran kolektif, pengakuannya terhadap sekolah sebagai komunitas sosial, dan penekanannya pada proses tujuan, pengajaran, evaluasi secara keseluruhan. Strategi mastery learning dalam Praktek Beberapa penelitian menemukan tentang efektivitas strategi mastery learning. Burns (1979) melaporkan temuan dari 97 studi mastery learning hasilnya efektif, penelitian kelompok eksperimental yang bekerja dengan strategi mastery learning memperoleh hasil yang lebih baik daripada kelompok kontrol menggunakan metode pengajaran tradisional. Hasilnya juga signifikan secara statistik dalam sebagian besar penelitian, terutama dengan mengacu pada pembelajaran kognitif, sektor lain yang digunakan adalah pembelajaran afektif dan memori. Burns menganggap bahwa mastery learning biasanya mengarah pada pengajaran yang lebih efektif, meskipun ia membuat reservasi tertentu dan menganggap penelitian lebih lanjut sebagai diinginkan. 108
Strategi yang digunakan bervariasi dalam praktik sesuai dengan kondisi lokal, fitur dasar tertentu selalu menjadi ciri mastery learning, misalnya lima komponen dasar khas yang diajukan oleh Ryan dan Schmidt (1979): 1. Spesifikasi formal tujuan kognitif; 2. Pembagian konten dan tujuan ke dalam unit instruksional; 3. Evaluasi formatif/diagnostik; 4. Instruksi korektif dan/atau perbaikan; 5. Evaluasi sumatif yang direferensikan kriteria. Berbagai bentuk pelatihan dalam layanan telah digunakan bersamaan dengan pengenalan strategi mastery learning. Secara khusus, otoritas sekolah untuk mengembangkan metode pengajaran untuk mengatasi kesulitan belajar siswa dengan mengalokasikan dana untuk proyek-proyek didaktik eksperimental dan penelitian. Komite Sekolahmenetapkan prinsip-prinsip panduan berikut untuk pengembangan metode pengajaran: 1. Penyediaan perbaikan pembelajaran untuk siswa yang mengalami kesulitan belajar; 2. Penyelidikan kesesuaian proses pembelajaran; 3. Konsentrasi perhatian pada analisis area masalah di setiap subjek; 4. Penyediaan waktu yang cukup untuk memecahkan masalah bidang subjek. Prinsip-prinsip ini mencerminkan pengaruh ide-ide mastery learning, yang telah diperkenalkan di Finlandia dari awal 1970-an. Dewan Sekolah Nasional menjadi tertarik pada eksperimen dan pengembangan program mastery learning, dan menyisihkan dana baik untuk tujuan ini dan untuk pelatihan guru untuk program eksperimental. Karena kesulitan belajar siswa paling sering muncul pada tahap awal sekolah, dianggap penting untuk mengembangkan strategi mastery learning untuk membantu siswa kelas satu dan dua mencapai tujuan dasar tertentu dalam mata pelajaran inti matematika dan Bahasa Finlandia. Kerangka dasar strategi ini didasarkan pada lima komponen yang sama seperti yang diuraikan di atas oleh Ryan dan Schmidt (1979). Setiap tahun, para guru untuk masing-masing distrik sekolah mengurangi kurikulum lokal. Namun, dalam situasi pengajaran, setiap guru memiliki kebebasan didaktik untuk memecahkan masalah pengajaran secara fleksibel, meskipun disepakati untuk memanfaatkan sebanyak mungkin dalam situasi 'isyarat' ini kepada siswa, penguatan, partisipasi aktif oleh murid, dan umpan balik dan korektif, bersama dengan pengajaran perbaikan antisipatif di awal setiap unit. Strategi mastery learning akan berbeda dari kelompok yang menerima pengajaran tradisional dalam memiliki tingkat pencapaian yang lebih tinggi dan standar deviasi yang lebih kecil, Temuan dengan demikian mendukung asumsi 109
bahwa metode pembelajaran penguasaan mengurangi tingkat penyimpangan dalam pencapaian dibandingkan dengan pengajaran tradisional. Temuan dari percobaan ini mendukung teori mastery learning dalam membagi materi pembelajaran menjadi unit, dan menggunakan penguatan langsung dan berkelanjutan, meningkatkan sikap keseluruhan siswa terhadap sekolah dan citra diri; tetapi tidak ditemukan bahwa metode pembelajaran penguasaan meningkatkan sikap siswa terhadap bidang subjek tertentu (Soininen 1981). Daftar Rujukan Anderson, L.W. (1973). Time and School Learning. Unpublished Ph.D. dissertation, Department of Education, University of Chicago. Anderson, L.W. (1979). Adaptive education. Educational Leadership 37, 140-143. Barone, T.E. (1978). Reading, writing, and mastery learning: are they compatible? Educational Leadership 36, 187-191. Block, J.H. (ed.) (1971). Mastery Learning: Theory and Practices. New York: Holt, Rinehart & Winston. Block, J.H. (1977). Individualized instruction: a mastery learning perspective. Educational Leadership 34, 337-341. Block, J.H. (1979). Mastery learning: the current state of the craft. Educational Leadership 37, 114-117. Bloom, B.S. (1968). Learning for mastery. Evaluation Comment 1, UCLA-CSEIP. Bloom, B.S. (1971). Individual differences in school achievement: a vanishing point. Education at Chicago. Winter 1971, 4-14. Bloom, B.S. (1976). Human Characteristics and the School Learning. New York: McGraw-Hill Book Company. Bloom, B.S. (1978). New views of the learner: implications for instruction and curriculum. Educational Leadership 35, 363-376. Bloom, B.S. (1980). New directions in educational research: alterable variables. In The State of Research on Selected Alterable Variables in Education. MESA seminar, Department of Education, University of Chicago. Pp. 5-17. Bloom, B.S. (1981). All Our Children Learning. New York: McGraw-Hill. Burns, R.B. (1979). Mastery learning: does it work? Educational Leadership 37, 110- 113. Carroll, J.B. (1963). A model of school learning. Teachers College Record 64, 723- 733. Cronbach, L.J. (1971). Comments of mastery learning and its implications for curriculum development. In W. Eisner (Ed.), Confronting Curriculum Reform. Boston: Little, Brown & Co. 110
Daloz, L.A. (1971). Now they're competent. So what? Educational Technology 18, 22-26. Glaser, R. (1972). Individuals and learning: the new aptitudes. Educational Researcher 1, 5-15. Horton, L. (1979). Mastery learning: sound in theory, but ... Educational Leadership 37, 154-156. Hyman, J.S.-Cohen, S.A. (1979). Learning for mastery: ten conclusions after 15 years and 3,000 schools. Educational Leadership 37, 104-119. Lahdes, E. (1983). Mastery Learning in Theory and in Practical Innovation. Scandinavian Journal of Educational Research, 27(2), 89–107 Ryan, D.W.-Schmidt, M. (1979). Mastery Learning: Theory, Research and Implementation. Toronto: Ontario Dept. of Education 111
Buku yang berjudul “Menyelami Pemikiran Pakar Psikologi Pendidikan” ini berisi tema-tema penting dalam dunia Pendidikan. Pada bagian ke-1, berisi tentang Habits of Mind: Creating Curriculum with Healthy Habits of Mind at the Heart, bagian ke-2: The Central Puzzles of Learning, bagian ke-3: Multiple Inteligences, bagian ke-4: Five Minds for The Future (Mind Viewed Globally), bagian ke-5: Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized, bagian ke-6: Emotional Intelligence, bagian ke-7: Social Intelligence, bagian ke-8: Seven Criteria for Investigating Children’s Learning in a Digital World, bagian ke-9: Models Of Teaching: Role Playing Studying Social Behavior and Values, bagian ke-10: Information Processing Models: Concept Attainment, bagian ke-11: Personal Models (Nondirective Teaching: The Learner at the Center), dan bagian ke-12: Behavioral System Models (Mastery Learning). Awang Setiawan Wicaksono Merly Erlina Dewi Eko Wati Moh. Sarifudin S. Auna Fuadatul Huroniyah Sri Yunita Taligansing Haryu Islamuddin Tri Wiganti Andayani Lily Eka Sari Zainul Anwar
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121