Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore 201812-V13N2 The Indonesia Journal of Public Health

201812-V13N2 The Indonesia Journal of Public Health

Published by UMG, 2022-07-20 02:03:37

Description: 201812-V13N2 The Indonesia Journal of Public Health

Search

Read the Text Version

192 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 181-194 musim dan cuaca tidak menentu (Aridini el kepada manusia, sehingga pada musim al, 2015). hujan kemungkinan jumlah kasus penyakit DBD akan meningkat (Fathi et al., 2005). Peramalan Kasus DBD Di Provinsi Hasil peramalan yang diperoleh Jawa Timur tahun 2017-2018 diharapkan dapat membantu upaya penanggulangan DBD di Provinsi Jawa Total jumlah peramalan kasus DBD Timur yang telah dilakukan oleh pada tahun 2017 adalah 14.277,12 pemerintah dan Dinas Kesehatan Provinsi menurun dibandingkan tahun sebelumnya selama bertahun-tahun. Tahapan dalam yaitu 24.461 kasus DBD. Hasil peramalan memberantas dan meminimalisir DBD menunjukkan angka kenaikan pada tahun yang pertama yaitu dengan melakukan 2018 yaitu sebanyak 22.384,54 kasus surveilans DBD yang bertujuan untuk DBD. Puncak tertinggi kasus DBD tetap memantau kecenderungan dan tren dari terjadi pada bulan Januari setiap tahun DBD dan melakukan kewaspadaan dini pada 2 tahun mendatang jika melihat dari akan adanya KLB (Kejadian Luar Biasa). hasil peramalan. Penelitian yang dilakukan Iriani (2012) menunjukkan puncak kasus Kewaspadaan dini juga dilakukan DBD berkorelasi dengan puncak curah sebelum musim penularan (SMP). SMP hujan pada musim penghujan. adalah periode bulan dengan rata-rata terendah selama 3-5 tahun terakhir. Iklim merupakan salah satu faktor Pengendalian yang dilakukan masa SMP terpenting dalam DBD (Margaretha, 2007). yaitu adanya penyuluhan kepada Iklim yang sesuai akan mempengaruhi masyarakat, Bulan Bakti Gerakan (BBG) perkembangbiakan vektor nyamuk DBD. PSN 3M plus yang dilaksanakan serentak Iklim akan mempengaruhi musim dan oleh masyarakat, kemudian dilakukan cuaca harian di wilayah tersebut. larvasidasi secara selektif ke tempat Perwitasari (2015) mengatakan bahwa penampungan air (TPA) dan tempat non pergeseran peningkatan kasus DBD TPA yang berpotensi menjadi tempat dikarenakan musim penghujan yang terjadi perindukan nyamuk aedes (Kemenkes RI, pada bulan tersebut. Hasil penelitian yang 2015). dilakukan oleh Sitorus (2003) mengatakan bahwa sebanyak 120% peningkatan kasus Penyelidikan Epidemiologi (PE) DBD dipengaruhi oleh curah hujan dan Penanggulangan Fokus (PF) dilakukan bulanan. jika terdapat kasus DBD di wilayah tersebut. PE bertujuan untuk mengetahui Jumlah kasus DBD berkaitan potensi penularan dan penanggulangan dengan curah hujan di wilayah tersebut DBD lebih lanjut serta tindakan (Mustazahid, 2013). Penelitian yang penanggulangan yang perlu dilakukan di dilakukan Sulasmi (2013) juga wilayah penularan dan untuk menetukan menunjukkan jika curah hujan mempunyai PF yang akan dilakukan. PE yang sudah pengaruh dominan terhadap kejadian DBD, dilakukan sebelumnya setelah terdapat semakin tinggi intensitas curah hujan maka kasus, maka tindakan PF yang dilakukan akan menimbulkan lebih banyak genangan antara lain yaitu penggerakan masyarakat air hujan yang berpotensi menjadi tempat dalam PSN DBD dan larvasidasi, yang potensial untuk perkembangbiakkan melakukan penyuluhan dan fogging larva nyamuk aedes. Musim hujan dengan dengan insektisida. frekuensi hujan yang tinggi akan meningkatkan jumlah tempat dan habitat Kasus DBD di Provinsi Jawa Timur perkembangbiakan vektor. Vektor ini tidak hanya dibebankan pada sektor mempunyai larva yang hidupnya di air kesehatan tetapi harus ada kerjasama untuk perkembangan pupa. Nyamuk yang dengan sektor lain. Kerjasama lintas sektor berkembangbiak semakin banyak, maka perlu ditingkatkan seperti dengan sektor akan terjadi peningkatan intensitas gigitan pendidikan dan kebudayaan, agama,

Muhammad Bintang Pamungkas dan Arief Wibowo, Aplikasi Metode ArimaBox... 193 kebersihan, pariwisata, dan sektor-sektor Universitas Padjajaran. Vol 1: 43- lain yang terkait secara langsung dan tidak langsung agar program berjalan dengan 47. baik. Partisipasi dari berbagai pihak juga sangat dibutuhkan, tidak hanya pemerintah Baroroh, N. 2013. Analisis Pengaruh selaku pemegang program tetapi juga meliputi petugas kesehatan, kader dan Modal Intelektual terhadap Kinerja khususnya peran aktif dari berbagai lapisan masyarakat untuk mendukung dan ikut keuangan Perusahaan Manufaktur serta dalam program-program yang ada maupun yang akan dilakukan agar kasus di Indonesia. Jurnal Dinamika DBD di Provinsi Jawa Timur kemudian hari dapat terus diturunkan dan Akutansi. Vol 5(2): 173-182. diminimalisir. Fathi, Keman, S., Wahyuni, C.U. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol 2(1): 1-10. Halide, Halmar, Rais dan P. Ridd. 2011. Early Warning System for Dengue SIMPULAN Hemorrhagic Fever (DHF) Epidemics in Makassar. Jurnal Peramalan menggunakan metode Matematika Dan Sains. Juli ARIMA musiman untuk meramalkan 2011.Vol 16 No 2. jumlah kasus DBD di Provinsi Jawa Timur Iriani, Y. 2012. Hubungan antara Curah menghasilkan model terbaik yaitu ARIMA Hujan dan Peningkatan Kasus (1,1,2)(2,1,1)12. Model ARIMA Demam Berdarah Dengue Anak di (1,1,2)(2,1,1)12 memenuhi semua asumsi Kota Palembang. Jurnal Sari yang diperlukan sebagai syarat peramalan Pediatri. Vol 13(6): 378-383. menggunakan metode ini. Asumsi yang Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela diperlukan yaitu uji signifikansi parameter Epidemiologi. Pusat Data dan dan uji diagnostik. Surveilans Epidemiologi Hasil peramalan menggunakan Kementerian Kesehatan RI model terbaik menghasilkan pada tahun Kemenkes RI. 2015. Pedoman 2017-2018 di Provinsi Jawa Timur akan Pengendalian Deman Berdarah terjadi peningkatan selama 2 tahun Dengue Di Indonesia. Jakarta mendatang. Hasil peramalan juga :Kementerian Kesehatan RI. menunjukkan puncak kasus DBD tertinggi Luluk N.K. 2016. Aplikasi ARIMA Untuk terjadi pada bulan Januari 2017 dan Januari Meramalkan Jumlah DBD Di 2018. Hasil tersebut mengikuti data aktual Pusksmas Mulyorejo. Jurnal di tahun sebelumnya. Hasil peramalan Biometrika dan Kependudukan. kasus DBD memberikan nilai MAPE Surabaya: Universitas Airlangga. sebesar 43,51%. Nilai tersebut Vol 5(2): 177-186. menunjukkan jika peramalan adalah cukup Makridakis, S., Wheelwright, S.C., Victor, baik, layak dan memadai. E.M. 1999. Metode dan Aplikasi Peramalan, second edition. DAFTAR PUSTAKA Erlangga: Jakarta. Margaretha, M.S. 2007. Pengaruh Iklim Aritonang, L. 2009. Peramalan Bisnis. Terhadap Kasus Demam Berdarah Jakarta : Ghalia Indonesia. Dengue. Jurnal Kesehatan Ardini, S.R., Nita, A., Fedri, R. 2015. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Masyarakat. Jakarta: Universitas Kejadian Demam Berdarah Di Jawa Barat. Jurnal Ilmu Kesehatan Trisaksi. Vol 2(1): 11-18. Masyarakat. Jawa Barat: Mustazahid, A.W. 2013. Hubungan Kejadian Deman Berdarah Dengan Iklim di Kota Semarang Tahun

194 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 181-194 2006-2011. Unnes Journal of Epidemiologi dan Penyakit Public Health. ISNN 2252-6528. Perwitasari, D., Yusniar, A. 2015. Model Bersumber Binatang. Vol 4 (4): 171-174. Prediksi Demam Berdarah Dengue Sukowati S., Achmadi U.F., dan Sudjana P. 2010. Demam Berdarah Dengue. dengan Kondisi Iklim di Kota Buletin Jendela Epidemiologi. Vol 2(1): 20−26. Yogyakarta. Jakarta: Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Tantawichien, T. 2012. Dengue Fever and Masyarakat. Dengue Haemorrhagic Fever in Dinkes Provinsi Jawa Timur. 2016. Profil adolescents and adults. Paediatrics Kesehatan Jawa Timur. Surabaya. 2015 and International Child Health Rais. 2009. Pemodelan Data Time Series dengan Metode Box-Jenkins. JIMT. .Vol 32 :22-27. Wahyono T., Haryanto., Budi., Mulyono., Jurnal Matematika, Fakultas Sigit., Adiwibowo.,Andrio. 2010. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Alam. Tadulako: Universitas dan Penanggulanganya di Tadulako. Vol. 6 (1), pp. 1-10. Kecamatan Cimanggis, Depok, Sitorus, J. 2003. Hubungan Iklim dengan Jawa Barat. Buletin Jendela Kasus Penyakit Demam Berdarah Epidemiologi. Vol 2. Dengue di Kotamadya Jakarta Wei, W.S. 1994. Time Series Analysis: Timur Tahun 1998-2002. Tesis. Universitas Indonesia. Univariate and Multivariate Srikiatkhachorn A. 2010. Dengue Method. Addison Wesley Hemorrhagic Fever: The Sensitivity Publishing Company. New York. Yulianti, F. 2012. Modelling dan and Sensitivity of the WHO Forecasting Tingkat Produksi Gas di Indonesia Menggunakan Metode Definition for Identification of ARIMA. Skripsi. Depok: Fakultas Teknik Program Sarjana Teknik Severe Cases of Dengue in Industri Universitas Indonesia. Thailand, 1994-2005. Clinical Infectious Diseases. 50:1135-1143. Sulasmi, S. 2013. Kejadian Deman Berdarah Dengue Kabupaten Banjar Berdasarkan Data Curah Hujan Normal Bulanan. Jurnal

HUBUNGAN PERCEIVED QUALITY DENGAN KEPUASAN FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP) DI WILAYAH SURABAYA TIMUR PADA PELAYANAN BPJS KESEHATAN Arinda Zahra Puspitasari1, Ernawaty2 1,2Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya Alamat Korespondensi: Arinda Zahra Puspitasari Email: [email protected] ABSTRACT Primary health cares facility called as FKTP as partners of social health insurance organization called BPJS Kesehatan to provided basic health services. It is important to paid attention for FKTP satisfaction toward BPJS Kesehatan to optimized health services that gave to public. One of the factors that influence satisfaction is perceived quality, which is perception of services. The main purposed of this research is to analyze the correlation between satisfaction and perceived quality included professionalism and skills, attitude and behavior, accessibility and flexibility, reliability and truth worthiness, recovery, reputation and credibility. This research is an observational research with cross sectional design. Sample was determined by using the total population method involving 35 FKTP in East Surabaya area consisting of puskesmas and primary health clinic. This research used the primary data obtained from the questionnaire. The results of research show that most FKTP is satisfied. The result of the correlation between variable reliability and trustworthiness; reputation and credibility with satisfaction is strong, attitudes and behavior; recovery with satisfaction is quite strong, and professionalism and skill; accessibility and flexibility with satisfaction is low. Needs improvement for recovery aspects about the existence of a fast and responsive complaint handling system with assignation BPJS Kesehatan employee in every FKTP for direct complaints handling that related to JKN-KIS program. Keyword: BPJS kesehatan, FKTP satisfaction, perceived quality ABSTRAK FKTP sebagai mitra kerja BPJS Kesehatan berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat. Penting untuk memperhatikan kepuasan dari FKTP terhadap BPJS Kesehatan agar pelayanan kesehatan yang diberikan terhadap masyarakat dapat optimal. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan adalah perceived quality. Perceived quality adalah persepsi penerimaan kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh provider. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat hubungan antara kepuasan dengan perceived quality BPJS Kesehatan yang meliputi professionalism and skill, attitudes and behavior, accessibility and flexibility, reliability and trustworthiness, recovery, reputation and credibility serta keterkaitan antara kepuasan dengan perceived quality. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh puskesmas dan klinik pratama yang berada di wilayah Surabaya yang berjumlah 35 faskes. Pengambilan data dilakukan dengan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar FKTP merasa puas. Tingkat hubungan yang kuat antara reliability and trustworthiness, reputation and credibility dengan kepuasan. Tingkat hubungan yang cukup kuat antara attitudes and behavior, recovery dengan kepuasan. Tingkat hubungan rendah antara professionalism and skill, accessibility and flexibility dengan kepuasan. Perceived quality yang diberikan BPJS Kesehatan sudah baik, namun perlu adanya peningkatan pada indikator recovery melalui peningkatan kinerja pelayanan BPJS Kesehatan dalam penyelesaian masalah melalui pemberian solusi secara cepat dan tepat dengan upaya penempatan karyawan BPJS Kesehatan pada setiap FKTP untuk penanganan keluhan secara langsung yang berkaitan dengan program JKN-KIS. Kata Kunci: BPJS kesehatan, kepuasan FKTP, perceived quality PENDAHULUAN Nasional (SJSN) memberikan perintah bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh Undang-Undang No. 40 Tahun penduduk termasuk Jaminan Kesehatan 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (yang selanjutnya disebut JKN) ©2018 IJPH. License doi: 10.20473/ijph.vl13il.2018.195-207 Received 30 April January 2018, received in revised form 1 May 2018 , Accepted 3 May 2018 , Published online: December 2018

196 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 195-207 melalui suatu Badan Penyelenggara kesehatan wajib berkerjasama dengan sarana penunjang yang diperlukan. Jaminan Sosial (yang selanjutnya disebut Pada pelaksanaan program JKN- BPJS). Pada saat ini dikenal dengan KIS, yang menjadi fokus utama dalam pelaksanaannya bukan hanya peserta JKN- program Jaminan Kesehatan Nasional KIS namun juga provider sebagai pemberi pelayanan kesehatan, dalam hal ini adalah Kartu Indonesia Sehat (yang selanjutnya FKTP. Hal tersebut tidak dapat dikesampingkan karena pemberi pelayanan disebut JKN-KIS). Program JKN-KIS ini kesehatan tersebut secara langsung berhubungan dengan peserta yang nantinya mulai di berlakukan pada tanggal 1 Januari akan diberi penilaian kesimpulan oleh peserta JKN-KIS bagaimana kualitas serta 2014. Dengan adanya JKN-KIS yang kinerja dari provider tersebut. Kualitas kerja serta kinerja sangat dipengaruhi oleh dijalankan oleh BPJS Kesehatan, kepuasan. diharapkan seluruh masyarakat Indonesia BPJS Kesehatan dalam pelaksanaan JKN-KIS memiliki kewajiban untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memberikan segala informasi kepada FKTP mengenai kepesertaan, prosedur layak dan bermutu. pelayanan, proses kerjasama dengan BPJS Kesehatan serta melakukan pembayaran Pada penyelenggaraan program kapitasi maupun klaim terhadap FKTP. Dalam proses pelaksanaan kewajiban JKN-KIS, BPJS Kesehatan pelayanan diberikan harus berkualitas yaitu sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak bertanggungjawab terhadap kepuasan ada keterlambatan serta kesalahan dalam proses pelayanannya. pelayanan kesehatan dengan menyediakan Berdasarkan hasil studi layanan kesehatan yang berkualitas. Dalam pendahuluan terhadap 8 FKTP di wilayah Surabaya Timur didapatkan sebanyak menjalankan program JKN-KIS diharuskan 62,5% FKTP merasa puas dan 37,5% FKTP merasa tidak puas terhadap BPJS adanya kerjasama antara BPJS Kesehatan Kesehatan. Hasil capaian indeks kepuasan FKTP secara Nasional yang diperoleh pada dengan fasilitas kesehatan sebagai pemberi Tahun 2016 adalah sebesar 76,3% yang artinya angka capaian kepuasan FKTP layanan kesehatan kepada peserta JKN- yang ada di Surabaya Timur pada Tahun 2017 masih di bawah dari angka nasional KIS. Pada era JKN-KIS, pemerintah yang telah dicapai pada Tahun 2016. menerapkan gate keeper concept dimana Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan hasil FKTP bertanggungjawab sebagai pemberi yang dirasakan dengan harapannya (Kotler, 2004). Kepuasan merupakan hasil pelayanan kesehatan dasar serta dapat penilaian pelanggan tentang produk atau pelayanan yang didapatkan apakah sesuai berfungsi optimal sesuai standar dengan harapan dari pelanggan tersebut. Kepuasan pelanggan dalam industri jasa kompetensinya dan memberikan pelayanan dapat diukur berdasarkan indikator: persepsi perasaan konsumen yang kesehatan sesuai standar pelayanan medis. Fasilitas kesehatan dibedakan menjadi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (yang selanjutnya disebut FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (yang selanjutnya disebut FKTL). Adapun yang tergolong FKTP adalah Puskesmas, Praktek Dokter, Dokter Gigi, Klinik Pratama atau yang setara, dan Rumah Sakit Kelas D atau yang setara. FKTP wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang komprehensif meliputi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk pelayanan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila fasilitas kesehatan tidak memiliki sarana penunjang, maka fasilitas

Arinda Zahra Puspitasari dan Ernawaty, Hubungan Perceived Quality Dengan... 197 dikembangkan dari dimensi kinerja jasa, pelanggannya dan berusaha membantu beban biaya, citra perusahaan dan dalam memecahkan masalah yang dihadapi keputusan menggunakan jasa. pelanggan secara spontan dan senang hati. Accessibility and flexibility, pelanggan Salah satu faktor penyebab merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kepuasan adalah kinerja jasa, atau dalam kerja, karyawan dan sistem operasionalnya konteks penelitian ini adalah kualitas jasa dirancang dan dioperasikan sedemikian yang diberikan. Pada pengukuran indeks rupa disesuaikan dengan pelanggan, kepuasan American Customer Satisfaction sehingga pelanggan dapat melakukan akses Index (ACSI) kepuasan dipengaruhi oleh dengan mudah. Reliability and tiga faktor utama yaitu perceived quality, trustworthiness, pelanggan memahami perceived value, dan customer expectation bahwa setiap apapun yang terjadi, (National Quality Research Center, 2008). pelanggan dapat mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia jasa beserta Kualitas pelayanan memiliki peran karyawan dan sistemnya. Recovery, penting untuk mempengaruhi kepuasan pelanggan menyadari bahwa apabila terjadi yang dirasakan oleh pengguna pelayanan sebuah kesalahan atau bila terjadi sesuatu atau jasa tersebut. Kepuasan pengguna yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa layanan akan baik apabila kualitas akan segera mengambil tindakan untuk pelayanan yang diberikan memiliki standar mengendalikan situasi dan mencari yang baik. Sebaliknya, kepuasan akan pemecahan atau solusi yang tepat. buruk apabila pelayanan yang diberikan tidak berkualitas. Unsur terakhir yaitu reputation and credibility yang merupakan image related Pengukuran kualitas pelayanan criteria. Reputation and credibility, yang dilakukan selama ini menggunakan pelanggan meyakini bahwa sistem operasi dimensi SERVQUAL, namun dalam dari penyedia jasa dapat dipercaya dan penelitian ini pengukuran kualitas memberikan nilai atau imbalan yang sesuai pelayanan akan menggunakan dimensi dengan pengorbanannya. kualitas yang dikemukakan oleh Gronross (2000). Indikator kualitas jasa Gronroos Berdasarkan penjabaran diatas, menyatakan bahwa terdapat tiga kriteria penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pokok dalam menilai kualitas jasa, yaitu gambaran kepuasan FKTP terhadap outcome related, process related, image perceived quality dari BPJS Kesehatan related criteria (Gronroos, 2000). Ketiga yang meliputi professionalism and skill, kriteria tersebut dapat dijabarkan menjadi attitudes and behavior, accessibility and enam unsur, antara lain; unsur pertama flexibility, reliability and trustworthiness, adalah professionalism and skill. Kriteria recovery, reputation and credibility serta ini merupakan outcome related criteria, keterkaitannya dengan kepuasan yang yang artinya pelanggan menyadari bahwa dirasakan FKTP di wilayah Surabaya penyedia jasa (service provider), Timur dengan menganalisis tingkat karyawan, sistem operasional, dan sumber hubungannya. daya fisik memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk METODE PENELITIAN memecahkan masalah pelanggan secara profesional. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancang bangun Untuk kriteria process related cross sectional. Populasi dalam penelitian criteria terdiri dari empat unsur yaitu ini adalah puskesmas dan klinik pratama yang berada di wilayah Surabaya yang attitudes and behavior, accessibility and telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan minimal 2 tahun yaitu sebanyak 35 faskes. flexibility, reliability and trustworthiness, recovery. Attitudes and behavior, pelanggan merasa bahwa karyawan perusahaan menaruh perhatian terhadap

198 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 195-207 Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh diberikan oleh BPJS Kesehatan secara populasi penelitian yaitu sebanyak 35 keseluruhan. faskes yang terdiri dari 14 puskesmas dan 21 klinik pratama dengan responden Kepuasan FKTP penelitian adalah Kepala Puskesmas atau Penanggungjawab Klinik Pratama dan PIC Tabel 1. Kepuasan FKTP terhadap BPJS BPJS Kesehatan. Kesehatan Tahun 2017 Penelitian ini dilaksanakan di Kepuasan Frekuensi Persentase wilayah Surabaya Timur pada bulan (%) Desember 2017 sampai Januari 2018. Variabel dependen yang diteliti adalah Sangat Puas 2 5,7 kepuasan FKTP dan variabel independen adalah professionalism and skill, attitudes Puas 22 62,9 and behavior, accessibility and flexibility, reliability and trustworthiness, recovery, Tidak Puas 11 31,4 reputation and credibility. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah Total 35 100,0 kuesioner. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini diawali dengan Berdasarkan Tabel 1 dapat analisis univariat dengan melihat distribusi diketahui bahwa FKTP dengan kategori frekuensi dari setiap dimensi yang diteliti, sangat puas sebanyak 5,7%, kategori puas kemudian menyimpulkan hasil penelitian sebanyak 62,9% dan tidak puas sebanyak dengan prinsip Pareto. Penilaian kurang 31,4%. FKTP dengan kategori tidak puas baik apabila kategori sangat baik dan baik masih tergolong tinggi. kurang dari 80% sedangkan berkategori baik apabila kategori baik dan sangat baik Perceived Quality mencapai 80% atau lebih (Apriyanti & Damayanti, 2017). Perceived quality dinilai Selanjutnya dilakukan analisis berdasarkan indikator penilaian kualitas bivariat dengan menggunakan uji korelasi dengan membaca nilai correlation yang terdiri dari professionalism and skill, coefficient untuk mengetahui tingkat hubungan antara dimensi kualitas dengan attitudes and behavior, accessibility and kepuasan. Interval 0,00 – 0,199 adalah sangat rendah, interval 0,20 – 0,399 adalah flexibility, reliability and trustworthiness, rendah, interval 0,40 – 0,599 adalah cukup kuat, interval 0,60 – 0,799 adalah kuat, recovery, reputation and credibility. interval 0,80 – 1,00 adalah sangat kuat (Sugiyono, 2014). Professionalism and Skill HASIL PENELITIAN Tabel 2. Distribusi Frekuensi Professionalism and Skill Hasil penelitian menggambarkan penilaian responden terhadap variabel yang BPJS Kesehatan Tahun di teliti. Kepuasan FKTP dinilai 2017 berdasarkan bagaimana persepsi FKTP diwakili oleh anggota organisasi atau Professionalism Frekuensi Persentase tenaga kesehatan di FKTP tersebut and Skill (%) terhadap pelayanan dan jasa yang 7 Sangat Baik 27 20,0 Baik 1 77,1 Kurang Baik 35 2,9 Total 100,0 Penilaian berdasarkan prinsip Pareto dapat diberi kesimpulan bahwa professionalism and skill BPJS Kesehatan sudah baik namun masih terdapat penilaian kurang. Berdasarkan Tabel 2 diketahui

Arinda Zahra Puspitasari dan Ernawaty, Hubungan Perceived Quality Dengan... 199 bahwa sebanyak 2,9% FKTP menilai reliability and trustworthiness BPJS professionalism and skill BPJS Kesehatan Kesehatan sudah baik namun masih kurang baik. terdapat penilaian kurang. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa sebanyak 14,3% Attitudes and Behavior FKTP menilai reliability and trustworthiness BPJS Kesehatan kurang Penilaian berdasarkan prinsip baik. Pareto dapat diberi kesimpulan bahwa attitudes and behavior BPJS Kesehatan Tabel 5. Distribusi Frekuensi Reliability sudah baik namun masih terdapat penilaian and Trustworthiness BPJS kurang. Berdasarkan Tabel 3 diketahui Kesehatan Tahun 2017 bahwa sebanyak 2,9% FKTP menilai attitudes and behavior BPJS Kesehatan Reliability and Frekuensi Persentase kurang baik. Trustworthiness (%) 5 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Attitudes and Sangat Baik 25 14,3 Behavior BPJS Kesehatan Tahun Baik 5 71,4 2017 Kurang Baik 35 14,3 Total 100,0 Attitudes and Frekuensi Persentase Recovery Behavior 11 (%) Tabel 6. Distribusi Frekuensi Recovery 23 BPJS Kesehatan Tahun 2017 Sangat Baik 1 31,4 Baik 35 65,7 Recovery Frekuensi Persentase Kurang Baik 2,9 Total 100,0 Sangat Baik 5 (%) Baik 24 Accessibility and Flexibility Kurang Baik 6 14,3 Total 35 68,6 Tabel 4. Distribusi Frekuensi Accessibility 17,1 and Flexibility BPJS Kesehatan 100,0 Tahun 2017 Accessibility Frekuensi Persentase Penilaian berdasarkan prinsip Pareto dapat diberi kesimpulan bahwa and Flexibility 13 (%) recovery BPJS Kesehatan sudah baik 21 namun masih terdapat penilaian kurang. Sangat Baik 1 37,1 Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa Baik 35 60,0 sebanyak 17,1% FKTP menilai recovery Kurang Baik 2,9 BPJS Kesehatan kurang baik. Total 100,0 Penilaian berdasarkan prinsip Reputation and Credibility Pareto dapat diberi kesimpulan bahwa accesibility and flexibility BPJS Kesehatan Penilaian berdasarkan prinsip sudah baik namun masih terdapat penilaian Pareto dapat diberi kesimpulan bahwa kurang. Berdasarkan Tabel 4 diketahui reputation and credibility BPJS Kesehatan bahwa sebanyak 2,9% FKTP menilai sudah baik namun masih terdapat penilaian accesibility and flexibility BPJS Kesehatan kurang. Berdasarkan Tabel 7 diketahui kurang baik. bahwa sebanyak 5,7% FKTP menilai reputation and credibility BPJS Kesehatan Reliability and Trustworthiness kurang baik. Penilaian berdasarkan prinsip Pareto dapat diberi kesimpulan bahwa

200 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 195-207 Tabel 7. Distribusi Frekuensi Reputation dikategorikan kuat, reliability and and Credibility BPJS Kesehatan Tahun 2017 truthwortiness BPJS Kesehatan memiliki keeratan hubungan yang kuat terhadap Frekuensi Persentase kepuasan FKTP. (%) Reputation Hasil uji statistika pada dimensi and 14 40,0 19 54,3 reputation and credibility dengan kepuasan Credibility 2 5,7 35 100,0 memiliki nilai 0,632, yang artinya tingkat Sangat Baik Baik hubungan reputation and credibility Kurang Baik dengan kepuasan dikategorikan kuat, Total reputation and credibility BPJS Kesehatan memiliki kerentanan hubungan yang kuat terhadap kepuasan FKTP. Hasil uji statistika pada dimensi Hasil Correlation Coefficient recovery dengan kepuasan memiliki nilai 0,511, yang artinya tingkat hubungan Pembacaan hasil correlation recovery dengan kepuasan dikategorikan coefficient bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat hubungan antara cukup kuat, recovery yang diberikan oleh kepuasan dengan dimensi kualitas pelayanan. BPJS Kesehatan memiliki keeratan hubungan yang cukup kuat terhadap kepuasan FKTP. Hasil uji statistika pada attitudes Tabel 8. Hasil Correlation Coefficient and behavior dengan kepuasan memiliki Indikator Perceived Quality dengan Kepuasan FKTP nilai 0,443, yang artinya tingkat hubungan attitudes and behavior dengan kepuasan dikategorikan cukup kuat, attitudes and Variabel Koefisien Tingkat behavior BPJS Kesehatan memiliki Korelasi Hubungan Professionalism keeratan hubungan yang cukup kuat and skill dengan 0,375 Rendah kepuasan terhadap kepuasan FKTP. Attitudes and 0,443 Cukup behavior dengan kuat Hasil uji statistika pada kepuasan 0,375 Accessibility and Rendah professionalism and skill dengan kepuasan flexibility 0,664 dengan kepuasan Kuat memiliki nilai 0,375, yang artinya tingkat Reliability and 0,511 trustworthiness 0,632 Cukup hubungan professionalism and skill dengan dengan kepuasan Kuat Recovery Kuat kepuasan dikategorikan rendah, dengan kepuasan Reputation and professionalism and skill BPJS Kesehatan credibility dengan kepuasan memiliki keeratan hubungan yang rendah terhadap kepuasan FKTP. Hasil uji statistika pada dimensi accessibility and flexibility dengan kepuasan memiliki nilai 0,375, yang artinya tingkat hubungan accessibility and flexibility dengan kepuasan dikategorikan rendah, accessibility and flexibility BPJS Kesehatan memiliki keeratan hubungan yang rendah terhadap kepuasan FKTP. Berdasarkan Tabel 8 diketahui Hasil uji statistika pada dimensi bahwa terdapat empat unsur indikator yang reliability and truthwortiness dengan memiliki keeratan hubungan yang positif kepuasan memiliki nilai 0,664, yang terhadap kepuasan FKTP yaitu reliability artinya tingkat hubungan reliability and and truthwortiness, reputation and truthwortiness dengan kepuasan credibility, recovery, attitudes and

Arinda Zahra Puspitasari dan Ernawaty, Hubungan Perceived Quality Dengan... 201 behavior. Keempat indikator tersebut dapat diketahui dan menjadi bahan merupakan process related criteria dan masukan serta pertimbangan bagi BPJS image related criteria. Kesehatan. PEMBAHASAN Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi pasca pembelian dimana alternatif Kepuasan FKTP yang dipilih setidaknya memberikan hasil sama atau melebihi harapan pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan Apabila pelayanan atau hal segala hal yang bahwa sebagian besar FKTP merasa puas berhubungan dengan pemberi pelayanan terhadap pelayanan dan jasa yang gagal atau jauh dibawah ekspektasi diberikan oleh BPJS Kesehatan. Hal (disconfirmation negatif), maka pelanggan tersebut merupakan sebuah pencapaian akan merasa tidak puas (Syanalia, 2012). yang baik dimana FKTP merasa Pelanggan atau konsumen yang dimaksud terpuaskan oleh BPJS Kesehatan, namun dalam penelitian ini adalah Fasilitas yang perlu kita perhatikan juga bahwa Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) selaku masih terdapat FKTP yang merasa belum mitra kerja BPJS Kesehatan. Apabila puas terhadap pelayanan dan jasa yang harapan dari FKTP dapat terpenuhi maka diberikan oleh BPJS Kesehatan walaupun akan terjadi kepuasan pada FKTP terhadap penilaian mereka terhadap kualitas BPJS Kesehatan, bila FKTP merasa puas pelayanannya baik. maka pelayanan yang diberikan kepada pasien pun akan semakin baik. Berdasarkan keenam indikator perceived quality yang di ukur terdapat Selain tidak terpenuhinya harapan empat indikator yang memiliki keeratan yang dapat menimbulkan ketidakpuasan hubungan yang cukup kuat yaitu reliability FKTP, hal lain yang dapat mempengaruhi and truthwortiness, reputation and adalah adanya keluhan. Keluhan adalah ungkapan ketidakpuasan terhadap credibility, recovery, attitudes and pelayanan yang diberikan, dalam hal ini behavior dimana keempat indikator adalah program JKN-KIS. Salah satu tersebut termasuk dalam process related bentuk pertanggungjawaban dari BPJS criteria dan image related criteria. Process Kesehatan adalah penyelesaian keluhan related criteria merupakan functional yang di hadapi oleh FKTP yang berkaitan quality, adalah bagaimana penilaian FKTP dengan program JKN-KIS. BPJS saat menerima pelayanan dan pengalaman Kesehatan wajib berupaya untuk yang dirasakan pada saat interaksinya mengetahui permasalahan secara jelas, dengan BPJS Kesehatan. Sedangkan image menilai dan menyelesaikan permasalahan related criteria adalah bagaimana sebuah tersebut. Prinsip dari penanganan keluhan brand atau nama, termasuk di dalamnya oleh BPJS Kesehatan adalah obyektif, sumber daya serta sistem operasional dari responsif, koordinatif, efektif dan efisien, BPJS Kesehatan mempengaruhi persepsi akuntabel serta transparan. kualitas yang diberikan. Sejalan dengan misi BPJS Kualitas pelayanan sudah baik Kesehatan yaitu meningkatkan kualitas namun masih belum mampu memenuhi layanan yang berkeadilan kepada peserta, harapan dari FKTP hal tersebut pemberi pelayanan kesehatan dan memungkinkan FKTP menjadi tidak puas. pemangku kepentingan lainnya melalui Selain hal tersebut, mungkin juga masih sistem kerja yang efektif dan efisien, hal terdapat permasalahan-permasalahan yang tersebut berkaitan dengan upaya untuk terjadi selama proses kerjasamanya FKTP mewujudkan program JKN-KIS yang dengan BPJS Kesehatan yang masih belum berkualitas. Dengan pemenuhan kebutuhan dapat terselesaikan secara tuntas. Harapan- peserta, terutama untuk provider harapan FKTP ini yang selanjutnya dapat kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan digali lebih mendalam untuk bagaimana

202 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 195-207 yang diberikan kepada peserta JKN-KIS artinya semakin tinggi atau baik pun akan semakin baik. Pelayanan yang professionalism and skill maka FKTP diberikan oleh BPJS Kesehatan meliputi semakin puas. Meski sudah dinilai baik, pemberian informasi kepada FKTP masih terdapat penilaian kurang dalam berkaitan dengan kepesertaan, prosedur indikator ini. Perlu adanya peningkatan pelayanan, pembayaran serta segala yang agar kedepannya professionalism and skill berakitan dengan proses kerjasama dengan keseluruhan dinilai baik. BPJS Kesehatan, melakukan pembayaran Hasil penelitian yang dilakukan kapitasi dan klaim kepada FKTP. oleh Arifah (2013), diketahui bahwa Kepuasan merupakan bagaimana dimensi profesionalisme memiliki nilai pemenuhan atas harapan yang dimiliki oleh signifikansi (0,026 kurang dari 0,05) yang pelanggan atas pelayanan yang didapatkan. artinya berpengaruh positif terhadap Pemenuhan harapan dijadikan tolak ukur kepuasan. Sejalan dengan pendapat evaluasi kualitas pelayanan ataupun Gronroos (2000) yang menyatakan bahwa kepuasan dari FKTP, sehingga semakin dimensi profesionalisme dan keterampilan terpenuhinya harapan maka semakin puas merupakan salah satu kriteria penilaian FKTP. Apabila dalam perjalanan kualitas jasa yang mempengaruhi citra kerjasamanya dengan BPJS Kesehatan organisasi. FKTP merasa tidak puas atau tidak sesuai Para aparatur atau pegawai harapan, FKTP dapat mempertimbangkan dilingkungan pemerintah maupun swasta untuk menghentikan hubungan sebaiknya memiliki keterampilan sesuai kerjasamanya dengan BPJS Kesehatan. bidangnya, memiliki inovasi dan Perjanjian kerjasama BPJS Kesehatan kreatifitas, bertanggungjawab dan dengan FKTP dilakukan setiap tahunnya bersungguh-sungguh, menunjukkan melalui proses kredensialing atau motivasi dan komitmen pelayanan yang rekredensialing. tinggi serta perpegang teguh terhadap etika Melihat misi BPJS Kesehatan yang profesional. Hal tersebut dapat lainnya yaitu peningkatan kerja sama antar mewujudkan pelayanan publik yang lembaga, kemitraan, koordinasi dan optimal. Profesionalisme adalah cerminan komunikasi dengan seluruh pemangku dari kemampuan, yaitu ditandai dengan kepentingan serta mengoptimalkan sistem memiliki pengetahuan, keterampilan, pembayaran fasilitas kesehatan, maka ability, yang ditunjang dengan kepuasan dari fasilitas kesehatan ini tidak pengalaman. Karyawan dengan dapat diabaikan agar tercipta kepercayaan profesionalisme yang baik akan memiliki dan loyalitas dari fasilitas kesehatan ciri-ciri bertanggungjawab, bersikap adil terhadap BPJS Kesehatan. dan loyal (Andriyani, 2016). Professionalism and skill BPJS Professionalism and Skill dengan Kesehatan merupakan hal yang sangat Kepuasan penting dalam pelaksanaan program dan Professionalism and skill pemberian pelayanan terhadap FKTP. merupakan kriteria dimana FKTP merasa bahwa BPJS Kesehatan termasuk Hasil penelitian ini menunjukkan didalamnya karyawan, sumber daya fisik, dan sistem operasional memiliki keterkaitan antara profesionalisme dan pengetahuan dan keterampilan untuk memecahkan masalah yang dihadapi FKTP keterampilan dengan kepuasan tidak terlalu secara profesional. berhubungan, meskipun demikian hal ini Professionalism and skill dari BPJS Kesehatan dinilai baik dengan hasil uji tidak dapat dikesampingkan. Hal tersebut korelasi menandakan nilai positif yang kemungkinan terjadi karena FKTP tidak dapat merasakan secara langsung bagaimana profesionalisme serta keterampilan dari BPJS Kesehatan karena sebagai faskes mereka jarang berinteraksi

Arinda Zahra Puspitasari dan Ernawaty, Hubungan Perceived Quality Dengan... 203 dengan BPJS Kesehatan, lebih sering harapan FKTP bahwa karyawan BPJS untuk peserta JKN-KIS sendiri yang berinteraksi langsung. Kesehatan berusaha membantu FKTP dapat menilai langsung menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh bagaimana kualitas jasa yang diberikan oleh BPJS Kesehatan sehingga FKTP, bersikap ramah, sopan santun serta mempengaruhi persepsi kepuasan dari FKTP terhadap BPJS Kesehatan. Dengan peduli terhadap keluhan FKTP. meningkatkan profesionalisme dan keterampilan dalam sebuah institusi Meskipun telah dinilai baik, maupun organisasi maka kualitas pelayanan pun akan meningkat. Kualitas berdasarkan hasil wawancara terhadap pelayanan meningkat maka konsumen akan puas. responden diketahui bahwa salah satu Attitudes and Behavior dengan Kepuasan elemen yang dirasa kurang pada attitudes Attitudes and behavior merupakan and behavior dari karyawan BPJS kriteria dimana FKTP merasa bahwa karyawan BPJS Kesehatan menaruh Kesehatan adalah respon cepat tanggapnya. perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah Daya tanggap merupakan bagaimana mereka secara spontan dan senang hati (Gronroos, 2000). Attitude atau sikap kemampuan organisasi untuk membantu merupakan suatu hasil evaluasi terhadap obyek sikap yang diekspresikan ke dalam dan memberikan pelayanan yang cepat proses-proses kognitif, afektif serta perilaku. Attitudes and behavior termasuk (responsif) dan tepat kepada para dalam process related criteria yang merupakan functional quality, adalah pelanggan dengan penyampaian informasi bagaimana penilaian FKTP saat menerima pelayanan dan pengalaman yang dirasakan yang jelas. Respon cepat tanggap pada saat interaksinya dengan BPJS Kesehatan. karyawan sangat berpengaruh terhadap Attitudes and behavior BPJS kepuasan yang dirasakan oleh FKTP. Kesehatan dinilai baik. Hasil uji korelasi menujukkan bahwa tingkat hubungan yang FKTP berhubungan langsung dengan cukup kuat antara attitudes and behavior dengan kepuasan, serta menandakan nilai pasien, mereka diharuskan memberikan positif yang artinya semakin tinggi atau baik attitudes and behavior karyawan pelayanan yang terbaik agar pasien BPJS Kesehatan maka FKTP semakin puas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh terpuaskan. Pada saat mengalami kendala Arifah (2013), diketahui bahwa dimensi attitude memiliki nilai signifikansi (0,031 atau masalah mengenai BPJS Kesehatan di kurang dari 0,05) yang artinya dimensi attitude berpengaruh positif terhadap FKTP, respon cepat dan tanggap dari BPJS kepuasan. Menurut Gronroos (2000) attitudes and behavior berkaitan dengan Kesehatan sangat diperlukan pada saat bagaimana sikap karyawan dalam memberikan pelayanan kepada FKTP, FKTP meminta bantuan atau berkonsultasi. Attitudes and behavior merupakan elemen penting dalam sebuah pelayanan. Bagaimana karyawan memperlakukan pelanggannya sesuai dengan norma etika dan SOP yang berlaku akan sangat membantu penilaian pelanggan terhadap karyawan tersebut dalam pemberian pelayanan. Semakin baik attitudes and behavior maka semakin baik penilaian yang diberikan oleh pelanggan, semakin baik attitudes and behavior, semakin baik pula kualitas pelayanan yang diberikan. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan, dalam hal ini adalah FKTP, FKTP akan semakin puas apabila sikap dan perilaku dari karyawan BPJS Kesehatan semakin baik. Accessibility and Flexibility dengan Kepuasan Accessibility and flexibility adalah bagaimana pelanggan merasa bahwa provider, lokasi, jam kerja, karyawan dan

204 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 195-207 sistem operasionalnya dirancang dan Reliability and Trustworthiness dengan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukan akses dengan Kepuasan mudah (Gronroos, 2000). Accessibility and flexibility termasuk dalam process related Gronroos (2000) menyatakan criteria, merupakan functional quality, reliability and trustworthiness merupakan adalah bagaimana penilaian FKTP saat salah satu penilaian kualitas jasa yang menerima pelayanan dan pengalaman yang berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan, dirasakan pada saat interaksinya dengan pelanggan paham bahwa apapun yang BPJS Kesehatan. terjadi, mereka dapat mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia jasa Accessibility and flexibility dari atau provider beserta karyawan dan BPJS Kesehatan dinilai sudah baik. Hasil sistemnya dan penyedia jasa dapat uji korelasi menandakan nilai positif yang memenuhi janji-janjinya dengan tepat dan artinya semakin tinggi atau baik bertindak demi kepentingan pelanggannya. accessibility and flexibility BPJS Reliability and trustworthiness termasuk Kesehatan maka FKTP semakin puas. dalam process related criteria merupakan Hasil penelitian yang dilakukan oleh functional quality, adalah bagaimana penilaian FKTP saat menerima pelayanan Arifah (2013), diketahui bahwa dan pengalaman yang dirasakan pada saat dimensi accesibility memiliki nilai interaksinya dengan BPJS Kesehatan. signifikansi (0,020 kurang dari 0,05) yang artinya dimensi accesibility berpengaruh Berdasarkan hasil penelitian positif terhadap kepuasan. diketahui bahwa reliability and trustworthiness sudah baik dengan hasil uji Aksesibilitas merupakan suatu korelasi menandakan nilai positif yang ukuran kenyamanan dan kemudahan artinya semakin tinggi atau baik reliability pencapaian lokasi dan hubungannya satu and trustworthiness BPJS Kesehatan maka sama lain. Aksesibilitas memiliki konsep FKTP semakin puas. Hasil penelitian yang yang luas dan fleksibel. Aksesibilitas dan dilakukan oleh Arifah (2013), diketahui fleksibilitas merupakan hal yang saling bahwa dimensi reliability memiliki nilai berkaitan. Selain hal tersebut aksesibilitas signifikansi (0,020 kurang dari 0,05) yang berhubungan dengan masalah waktu artinya dimensi reliability berpengaruh (Talav Era, 2012). positif terhadap kepuasan. Meski pencapaian sudah baik Meski pencapaian penilaian namun berdasarkan wawancara kepada indikator ini sudah baik, berdasarkan hasil responden, diketahui bahwa masih terdapat wawancara yang didapatkan dari kekurangan dalam hal kemudahan responden adalah masih terdapat berkomunikasi. BPJS Kesehatan tidak fast kekurangan dalam dimensi ini yaitu pada respon dalam menerima panggilan ataupun hal konsistensi pemberian informasi. membalas pesan teks dari FKTP. Komunikasi merupakan hal yang sangat Pada saat proses pelayanan penting dan utama dalam hubungan antara terhadap FKTP, BPJS Kesehatan sering FKTP dengan BPJS Kesehatan. FKTP kali memberikan informasi yang tidak perlu adanya komunikasi yang lancar konsisten, sering berubah terkait kebijakan dengan BPJS Kesehatan, terutama dalam atau peraturan program JKN-KIS ini, hal hal konsultasi atau penyelesaian masalah tersebut menimbulkan banyaknya yang dihadapi pasien. kesalahpahaman antara FKTP dengan BPJS Kesehatan ataupun FKTP dengan Perlu adanya perbaikan dalam hal FKTL. Konsisten merupakan salah satu komunikasi agar mudah mendapatkan kunci untuk membangun kepercayaan. respon dari BPJS Kesehatan pada saat Kunci dalam membangun kepercayaan FKTP membutuhkan jawaban atau bantuan memiliki lima dimensi, yaitu integritas, secara cepat terhadap BPJS Kesehatan.

Arinda Zahra Puspitasari dan Ernawaty, Hubungan Perceived Quality Dengan... 205 kompetensi, konsistensi, kesetiaan dan BPJS Kesehatan sangatlah penting. keterbukaan (Robbins, 2008). Keluhan pun tidak hanya datang dari pasien, namun dari FKTP itu sendiri. Selain hal tersebut, reliability and Keluhan yang datang dari pasien yang ada trustworthiness dari BPJS Kesehatan di FKTP mengharuskan FKTP dan BPJS memiliki tingkat hubungan yang kuat, Kesehatan bergerak cepat untuk artinya hal tersebut berhubungan kuat menyelesaikan masalah tersebut agar terhadap kepuasan dari FKTP. Perlu pasien merasa puas dengan pemberian adanya peningkatan pada dimensi ini solusi yang cepat untuk setiap masalah terutama dalam hal konsistensi informasi. yang terjadi. Selama ini FKTP dituntut untuk memberikan penyelesaian Recovery dengan Kepuasan permasalahan sendiri yang terjadi di FKTP nya yang berkaitan dengan peserta JKN- Recovery dalam konteks ini KIS, padahal menurut mereka memiliki arti bahwa pelanggan menyadari permasalahan tersebut harus ditangani oleh bahwa bila ada kesalahan atau bila terjadi BPJS Kesehatan secara langsung agar sesuatu yang tidak diharapkan, maka peserta JKN-KIS lebih mengerti dan penyedia jasa akan segera mengambil paham, hal tersebut menyebabkan sering tindakan untuk mengendalikan situasi dan terjadinya kesalahpahaman antara peserta mencari pemecahan masalah melalui solusi JKN-KIS dengan BPJS Kesehatan. yang tepat. Recovery termasuk dalam process related criteria, merupakan Recovery dalam pelayanan sangat functional quality, adalah bagaimana berpengaruh terhadap kepuasan para penilaian FKTP saat menerima pelayanan pelanggan, terutama untuk pasien dan juga dan pengalaman yang dirasakan pada saat FKTP sebagai mitra kerja BPJS Kesehatan. interaksinya dengan BPJS Kesehatan. Peningkatan kepedulian pada setiap anggota karyawan sangat diperlukan untuk Hasil penelitian menunjukkan menyelesaikan masalah yang dikeluhkan bahwa recovery dari BPJS Kesehatan oleh pelanggan (Arifah, 2013). Mekanisme sudah baik. Namun pada variabel ini penanganan keluhan atau pengaduan yang memiliki paling banyak penilaian kurang jelas, terstruktur dan sesuai kewenangan baik dibanding dengan ke lima variabel sangat diperlukan, terutama untuk kualitas pelayanan yang lain. Hasil uji kesesuaian kompetensi karyawan yang korelasi menandakan nilai positif yang berhubungan langsung dengan FKTP, artinya semakin tinggi atau baik recovery selain hal itu pemberian solusi BPJS Kesehatan maka FKTP semakin penyelesaian masalah yang cepat dan tepat puas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh juga sangat dibutuhkan oleh FKTP. Arifah (2013), diketahui bahwa dimensi recovery memiliki nilai signifikansi (0,013 Reputation and Credibility dengan kurang dari 0,05) yang artinya dimensi recovery berpengaruh positif terhadap Kepuasan kepuasan. Dalam hal penyediaan layanan jasa, recovery merupakan bagaimana Reputation and credibility pelayanan karyawan dengan pelanggannya termasuk daya tanggap, sikap, perilaku merupakan penilaian dimana pelanggan karyawan dalam memenuhi kebutuhan meyakini bahwa pelaksanaan program dari pelanggannya. penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai Berdasarkan hasil wawancara dengan pengorbanannya. Reputation and diketahui bahwa pemberian solusi atas credibility termasuk dalam image process setiap masalah dinilai masih kurang. related dimana sebuah nama atau brand Pengendalian situasi dan menemukan serta sistem operasional dan sumber daya solusi yang tepat dalam penanganan nya mempengaruhi kualitas yang diterima. permasalahan pada pelaksanaan program

206 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 195-207 Reputasi merupakan bagaimana recovery, reputation and credibility sudah baik namun masih perlu peningkatan. persepsi seseorang atau beberapa orang Tingkat hubungan yang kuat antara reliability and trustworthiness, reputation pengamat terhadap individu atau sebuah and credibility dengan kepuasan. Tingkat hubungan yang cukup kuat antara organisasi, dimana persepsi tersebut attitudes and behavior, recovery dengan kepuasan. Tingkat hubungan rendah antara muncul atas penilaian kinerja atau kualitas professionalism and skill, accessibility and flexibility dengan kepuasan. Indikator yang dari individu atau organisasi tersebut. memiliki keeratan hubungan kuat dan cukup kuat termasuk dalam process related Kredibilitas merupakan hal yang penting criteria dan image related criteria. Peningkatan pada dimensi recovery bagi penilaian pelanggan. Kredibilitas diperlukan melalui adanya peningkatan kinerja pelayanan BPJS Kesehatan dalam karyawan dapat diartikan sebagai penyelesaian masalah melalui pemberian solusi secara cepat dan tepat dengan upaya kemampuan sesorang karyawan dalam penempatan karyawan BPJS Kesehatan pada setiap FKTP. memberikan pelayanan yang efektif dan relibel (Halim dan Suryani, 2013). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa reputation and credibility sudah baik. Hasil uji korelasi menandakan nilai positif yang artinya semakin tinggi atau baik reputasi dan kredibilitas BPJS Kesehatan maka FKTP semakin puas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunawan, dkk (2016) dimana dimensi kredibilitas memiliki nilai signifikansi sebesar 0,003 yang artinya dimensi DAFTAR PUSTAKA kredibilitas berpengaruh positif terhadap kepuasan. Andriyani, Yesy. 2016. Profesionalisme Hovland (2007) menyatakan bahwa Kerja Pegawai dalam seseorang akan lebih mudah dipersuasi Penyelenggaraan Administrasi apabila sumber-sumber persuasinya cukup Pelayanan Publik Di Kecamatan kredibel. Sumber yang memiliki Samarinda Utara Kota Samarinda. kredibilitas tinggi akan lebih banyak Jurnal Administrasi Negara, menghasilkan perubahan sikap 4(1):pp. 2320-2333. dibandingkan dengan sumber yang Apriyanti, Selly dan Damayanti, Nyoman memiliki kredibilitas rendah. A. 2017. Service Convenience UPT Reputasi merupakan berbagai Rumah Sakit Mata Masyarakat persepsi keseluruhan terhadap perusahaan, Jawa Timur. The Indonesian brand, jasa yang dipegang oleh Journal of Public Health. (Online), stakeholder. Reputasi organisasi ada 12(2):pp. 263-275. kaitannya dengan kepuasan pelanggan dan Arifah, U. 2013. Pengaruh Kualitas kesetiaan pelanggan (Utari, 2015). FKTP Pelayanan Terhadap Kepuasan akan puas apabila reputation and Pasien Rawat Jalan Di Balai Besar credibility BPJS Kesehatan baik. Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Thesis. SIMPULAN Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan Gunawan, dkk. 2016. Pengaruh sebagian besar FKTP merasa puas terhadap pelayanan dan jasa BPJS Kesehatan. Profesionalisme, Kredibilitas, Penilaian terhadap perceived quality yang meliputi professionalism and skill, Responsif, dan Teamwork attitudes and behavior, accessibility and flexibility, reliability and trustworthiness, Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Gowa.

Arinda Zahra Puspitasari dan Ernawaty, Hubungan Perceived Quality Dengan... 207 Jurnal Mirai Manajemen, 1(1):pp. 34-60. Robbins, Stephen P. 2008. Organizational Gronroos, Christian. 2000. Service Behaviour. Edisi Sepuluh, Alih Management and Marketing: A Bahasa Drs. Benyamin Molan. Customer relationship Jakarta: Salemba Empat. Management Approach. 2nd Ed. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Chichester: John Wiley & Sons, Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Ltd. Bandung: Penerbit Alfabeta. Halim, Chairun Nisa dan Suryani, Tatik. Syanalia, Ami Raisya. 2012. Analisis 2013. Pengaruh Keramahan, Pengaruh Kebudayaan Terhadap Kredibilitas dan Citra Karyawan Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan: Terhadap Kedekatan Karyawan dan Suatu Perbandingan Lintas Negara. Kepuasan Nasabah Produk Skripsi. Depok: Universitas Tabungan Bank Konvensional di Indonesia. Surabaya. Journal of Business and Talav Era, Ruben. 2012. Improving Banking, 3(1):pp.81-92 Pedestrian Accesibility To Public Hovland, Carl L. 2007. Definisi Space Trough Space Syntax Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Analysis, Environmental Planning Persada. Laboratory (LABPLAM). Kotler, Philip. 2004. Manajemen Departemen Of Urbanism And Pemasaran. Edisi Millenium Jilid Spatial Planning. University Of 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Granada Spain PUC. National Quality Research Center Utari, Desi Suci. 2015. Pengaruh Reputasi (NQRC). 2008. The American Perusahaan Terhadap Loyalitas Costumer Satisfaction Index- Nasabah Pada Jasa Asuransi. Methodology Report. The Reegent Jurnal FISIP, 2(2):pp.1-8. of The University of Michigan.

HUBUNGAN FAKTOR DEMOGRAFI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN KUSTA MULTIBASILER PASCA MULTY DRUG THERAPY (STUDI KASUS DI RS KUSTA SUMBERGLAGAH MOJOKERTO) Denyk Eko Meiningtyas1, Arief Hargono2 1,2Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Kampus C Mulyorejo Alamat Korespondensi: Denyk Eko Meiningtyas Email: [email protected] ABSTRACT Leprosy is a complex condition involving the physical health and quality of life of the patient. Measurement of quality of life aims to assess health and health care obtained by patients. Quality of life is closely related to the stigma. Stigma in leprosy patients can decrease the quality of life of leprosy patients. The purpose of this study is to analyze quality of life leprosy patients with post-Multy Drug Therapy at Sumberglagah leprosy hospital Mojokerto Regency. This research was an observational research, using cross sectional research design. A sample of 80 subjects, was taken by consecutive sampling. Secondary data in the form of list of leprosy patients and primary data was obtained by questionnaires. Data was analysed by Chi Square. The result showed that the distribution of leprosy patients was mostly in the productive age group of 49 people (61,3%), male gender 45 people (56,3%), low educated 58 people (72,5%), and had high social support 52 people (65%). Age factor (p=0,035), education (p=0,003) and social support (p=0,009) have positif correlation with quality of life of leprosy patients. The sex factor (p=0.623) has no relationship with quality of life of leprosy patients. The conclusions of this study were age, education, and social support factors has relationship with the quality of life of patients with post-Multy Drug Therapy mutlibacillary leprosy in Sumberglagah Mojokerto Hospital. Efforts to hold discussion groups for leprosy patients, increase the leprosy confidence of lepers to be active and productive, and conduct health promotion with socialization is expected to improve the quality of life of leprosy patients. Keywords: social support, demographic factors, quality of life ABSTRAK Penyakit kusta merupakan kondisi kompleks yang melibatkan kesehatan fisik dan kualitas hidup pasien. Pengukuran kualitas hidup bertujuan untuk penilaian kesehatan dan perawatan kesehatan yang diperoleh oleh penderita. Kualitas hidup berkaitan erat dengan stigma. Stigma yang di dapat penderita kusta dapat menurunkan nilai kualitas hidup penderita kusta. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kualitas hidup pasien kusta pasca Multy Drug Therapy di RS Kusta Sumberglagah Mojokerto. Penelitian ini merupakan penelitian observasional, menggunakan desain penelitian cross sectional. Sampel penelitian sebesar 80 orang, diambil dengan consecutive sampling. Pengumpulan data menggunakan data sekunder berupa daftar pasien kusta dan data primer diperoleh dengan kuisioner. Analisis data yang digunakan Chi Square. Hasil penelitian diketahui distribusi pasien kusta sebagian besar ada pada kelompok umur produktif 49 orang (61,3%), berjenis kelamin laki-laki 45 orang (56,3%), berpendidikan rendah 58 orang (72,5%), dan memiliki dukungan sosial tinggi 52 orang (65%). Faktor umur (p=0,035), pendidikan (p=0,003) dan dukungan sosial (p=0,009) memiliki hubungan positif dengan kualitas hidup pasien kusta. Sedangkan faktor jenis kelamin (p=0,623) tidak memiliki hubungan dengan kualitas hidup pasien kusta. Kesimpulan penelitian ini adalah faktor umur, pendidikan, dan dukungan sosial memiliki hubungan dengan kualitas hidup pada pasien kusta mutlibasiler pasca Multy Drug Therapy di RS Kusta Sumberglagah Mojokerto. Upaya mengadakan kelompok diskusi untuk penderita kusta, meningkatkan rasa percaya diri penderita kusta untuk aktif dan produktif, dan mengadakan promosi kesehatan dengan sosialisasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita kusta. Kata Kunci: Dukungan Sosial, Faktor Demografi, Kualitas Hidup ©2018 IJPH. License doi: 10.20473/ijph.vl13il.2018.256-267 Received 30 April 2018, received in revised form 26 May 2018 , Accepted 28 May 2018 , Published online: December 2018

Denyk Eko Meiningtyas dan Arief Hargono, Hubungan Faktor Demografi Dan... 257 PENDAHULUAN Jawa Timur (4.132 kasus baru), Jawa Barat (2.180 kasus baru), Jawa Tengah (1.765 Penyakit kusta merupakan salah kasus baru), Papua (1.180 kasus baru), dan satu penyakit kulit menular yang di Sulawesi Selatan (1.172 kasus baru) sebabkan oleh infeksi bakteri (Pusdatin Kemenkes RI, 2015). mycobacterium leprae yang menyerang bagian tubuh seperti kulit, mukosa, tulang Di Provinsi Jawa Timur prevalensi dan bagian tubuh yang lainya kecuali saraf rate penyakit kusta pada Tahun 2014 masih pusat. Penyakit kusta tidak hanya sebesar 1,07 per 10.000 penduduk. Tahun menimbulkan masalah medis namun juga 2015 sebesar 1,02 per 10.000 penduduk, pada masalah sosial, budaya, ekonomi, dan Tahun 2016 1,24 per 10.000 keamanan dan juga ketahanan nasional penduduk. Penemuan kasus baru Tahun (Dirjen P2 dan PL, 2012). 2014 sebanyak 4.116 orang, Tahun 2015 sebanyak 3.946 orang, dan Tahun 2016 Penyakit kusta sampai saat ini sebanyak 4.809 orang. (Dinas Kesehatan masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga Provinsi Jawa Timur, 2016). bahkan sebagian tenaga kesehatan. Penyakit kusta mempunyai masa inkubasi Penderita kusta baru di kabupaten rata-rata 2-5 tahun. Penularan penyakit Mojokerto tahun 2015 yang dilaporkan kusta dapat terjadi apabila Mycobacterium sebanyak 116 orang dimana kasus MB+PB Leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh laki-laki sebesar 76 orang dan perempuan penderita dan masuk ketubuh orang lain. sebesar 40 orang (Dinas Kesehatan Penularan penyakit kusta dapat terjadi Kabupaten Mojokerto, 2015). Penyakit apabila Mycobacterium Leprae. Secara kusta merupakan kondisi kompleks yang teoritis penularan ini dapat terjadi dengan melibatkan kesehatan fisik dan kualitas cara kontak yang lama dengan penderita hidup pasien. Masalah yang kompleks kusta. Stigma negatif yang ada di pada penderita kusta akan berpengaruh masyarakat bahwa penyakit kusta terhadap kualitas hidup penderita kusta itu menakutkan, sampai menyebut penyakit sendiri. kusta merupakan penyakit kutukan. Kurang pengetahuan atau kepercayaan Kualitas hidup adalah persepsi yang keliru dalam masyarakat terhadap individu terhadap statusnya dalam kusta dan cacat yang ditimbulkan kehidupan, dalam konteks budaya, sistem merupakan sebab adanya stigma negatif nilai dimana mereka berada dan dalam masyarakat. Stigma negatif dari hubungannya terhadap tujuan hidup, masyarakat bisa menyebabkan penderita harapan, standart, dan lainya yang terkait kusta membatasi diri untuk keluar rumah (WHO, 2002). Kualitas hidup (Quality Of dan bersosialisasi, bahkan untuk berobat Life) dalam bidang pelayanan kesehatan (Dirjen P2 dan PL, 2012). digunakan untuk menganalisis emosional seseorang, faktor sosial, dan kemampuan Jumlah penderita kusta yang untuk melakukan kegiatan dalam dilaporkan dari 121 negara di 5 regional kehidupan secara normal (Brooks & WHO sebanyak 175.554 kasus di akhir Anderson, 2007). tahun 2014 dengan 213.899 kasus baru (www.who.int). Indonesia merupakan Penyakit kusta maupun deformitas salah satu negara dengan beban penyakit fisik yang ditimbulkan merupakan sumber kusta yang tinggi. Tahun 2012, penemuan terjadinya stigma dan isolasi sosial penderita baru sebanyak 16.123 orang, terhadap pasien maupu keluarganya dalam tahun 2013 sebanyak 16.856 kasus baru. masyarakat. Kecacatan dan stigma yang Berdasarkan data Tahun 2013 didapatkan dirasakan pasien akan berperan besar 14 dari 33 Provinsi di Indonesia memiliki dalam penurunan kualitas hidup. Selain itu, beban kusta tinggi, di antaranya di Provinsi stigma negatif penyakit kusta akan menghalangi program kesehatan komunitas yang berkaitan dengan pencegahan,

258 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 256-267 diagnosis dini, terapi dan ketaatan berobat alami oleh penderita kusta dapat pasien kusta (Rinadewi, dkk. 2013). mempengaruhi kualitas hidupnya. Selain dukungan sosial faktor demografi seperti Penelitian Rahayuningsih (2012) umur, jenis kelamin, dan pendidikan menunjukan hasil bahwa terdapat penderita kusta dapat mempengaruhi hubungan yang bermakna antara perceived kualitas hidup pada penderita itu sendiri. stigma dengan kualitas hidup dan penghasilan memiliki hubungan paling Tingkat umur yang lebih matang kuat dengan kualitas hidup. Penelitian atau dewasa biasanya dapat mengelola Tsutsumi et al (2007) menyebutkan bahwa kecemasan dan perasaan emosional dengan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap baik dari pada mereka yang berumur masih penurunan skor kualitas hidup adalah muda. Jenis kelamin perempuan umumya adanya perceive stigma, pendidikan, lebih sabar dan lebih bijaksana dalam adanya kecacatan kusta dan penghasilan menerima kenyataan terkait sakit kusta yang rendah. yang dialami dari pada laki-laki. Pendidikan yang tinggi tentunya akan Penelitian Pratama (2012) memiliki wawasan yang lebih baik dari dijelaskan bahwa tingkat kualitas hidup pada mereka yang memiliki pendidikan pada pasien kusta buruk sebesar 41,2% dan rendah. Seseorang dengan pendidikan tidak ada subjek yang memiliki tingkat tinggi akan memiliki jaringan pertemanan kualitas hidup yang baik. Disampaikan lebih luas dari pada mereka yang memiliki juga pada penelitian Maziyya dkk (2016) pendidikan rendah, dan tentunya bahwa persepsi individu, kerentanan dan bermanfaat dalam semakin luasnya sumber keseriusan dapat menjadi faktor yang informasi yang dapat diterima oleh mempengaruhi kualitas hidup penderita penderita kusta. Sehingga perlu dilakukan kusta. penelitian untuk melihat hubungan faktor demografi dan dukungan sosial dengan Kasus kusta baru dan lama yang kualitas hidup pada penderita kusta masih banyak dapat memberikan beban multibasiler pasca Multy Drug Therapy. pada pemerintah sehubungan dengan penurunan Quality Of Life (QOL) pada Tujuan dari penelitian ini adalah Orang Yang Pernah Mengalami Kusta untuk menganalisis hubungan faktor (OYPMK), karena Orang Yang Pernah demografi dan dukungan sosial dengan Menderita Kusta dalam kehidupannya kualitas hidup pasien kusta multibasiler mengalami gangguan kesehatan fisik, pasca Multy Drug Therapy di RS Kusta gangguan kesejahteraan psikologis, Sumberglagah Mojokerto. gangguan hubungan sosial dan masalah lingkungan. Hal tersebut bisa berdampak METODE PENELITIAN buruk terhadap kualitas hidupnya seperti dalam mobilitas, hubungan interpersonal, Jenis penelitian yang digunakan dan kegiatan sosial lainya (Ulfa, 2015). dalam penelitian ini adalah jenis penelitian observasional dimana peneliti tidak Hasil beberapa penelitian yang memberikan perlakuan terhadap subjek sudah disampaikan dapat diketahui bahwa penelitian, akan tetapi dengan melakukan masih adanya stigma yang dapat pengamatan dan menganalisis hubungan mempengaruhi kualitas hidup dari pasien antar variabel. Desain yang digunakan kusta. Stigma yang terjadi pada penderita dalam penelitian ini adalah dengan kusta dapat berasal dari teman, tetangga, pendekatan cross sectional. Variabel yang masyarakat bahkan dapat berasal dari diteliti dalam penelitian ini adalah faktor keluarga penderita kusta itu sendiri. Tanpa demografi, dukungan sosial dan kualitas disadari stigma dapat muncul dari hidup pada penderita kusta multibasiler. lingkungan sekitar penderita kusta. Stigma positif akan menghasilkan dukungan sosial yang positif. Dukungan sosial yang di

Denyk Eko Meiningtyas dan Arief Hargono, Hubungan Faktor Demografi Dan... 259 Penelitian ini dilaksanakan di Poli pasien kusta multibasiler berada pada Kusta Rumah Sakit Kusta Sumberglagah kelompok umur produktif sejumlah 49 Mojokerto pada bulan Desember 2017. orang (61,3%). Sedangkan pada kelompok Populasi pada penelitian ini adalah umur tidak produktif sejumlah 31 orang penderita kusta multibasiler yang di (38,8%). nyatakan sembuh dan terdaftar pada register Poli RS Kusta Sumberglagah Tabel 1. Distribusi Pasien Kusta Mojokerto. Jumlah populasi pada Berdasarkan Kelompok Umur penelitian ini adalah 124 responden. di RS Kusta Sumberglagah Sampel pada penelitian ini adalah Mojokerto Tahun 2017 penderita kusta multibasiler yang dinyatakan sembuh dan terdaftar pada Pasien Kusta register poli di RS Kusta Sumberglagah Mojokerto yaitu sejumlah 80 orang. Umur Jumlah Persentase Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu (%) usia responden lebih dari 18 tahun. Cara Produktif pengambilan sampel yaitu dengan Tidak 49 61,3% menggunakan non probability sampling Produktif jenis Consecutive sampling yaitu dengan Total 31 38,8% menentukan subjek penelitian yang diambil memenuhi kriteria tertentu dari 80 100% peneliti dan diambil dalam kurun waktu tertentu (Hidayat, 2009). Tabel 2. Distribusi Pasien Kusta Berdasarkan Jenis Kelamin di Variabel pada penelitian ini yaitu RS Kusta Sumberglagah kualitas hidup pasien kusta multibasiler Mojokerto Tahun 2017 sebagai variabel dependen. Faktor demografi pasien kusta multibasiler dan Jenis Pasien Kusta dukungan sosial pasien kusta multibasiler Kelamin sebagai variabel independen. Sumber data Jumlah Persentase pada penelitian ini yaitu data primer dan Laki-laki 45 (%) data sekunder. Cara pengumpulan data 56,3% yaitu dengan menggunakan kuisioner WHOQOL-BREF untuk menganalisis Perempuan 35 43,8% kualitas hidup, kuisioner faktor demografi untuk menganalisis faktor demografi, dan Total 80 100,0% kuisioner dukungan sosial untuk menganalisis dukungan sosial. Teknik Tabel 3. Distribusi Pasien Kusta analisis data univariat dan bivariat pada penelitian ini menggunakan aplikasi Berdasarkan Tingkat komputer. Analisis univariat pada penelitian ini untuk menghitung distribusi Pendidikan di RS Kusta frekuensi pada tiap variabel. Analisis bivariat pada penelitian ini untuk Sumberglagah Mojokerto mengetahui hubungan pada variabel, yaitu dengan melihat hasil nilai p value. Tahun 2017 HASIL Tingkat Pasien Kusta Pendidikan Berdasarkan kelompok umur Jumlah Persentase diketahui bahwa sebagian besar responden Rendah 58 (%) 72,5% Tinggi 22 27,5% Total 80 100,0% Berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa sebagian besar responden

260 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 256-267 pasien kusta multibasiler pada penelitian Tabel 5. Distribusi Pasien Kusta ini memiliki jenis kelamin laki-laki Berdasarkan Kualitas Hidup sejumlah 45 orang (56,3%). Sedangkan di RS Kusta pada jenis kelamin perempuan sejumlah 35 Sumberglagah Mojokerto orang (43,8%). Tahun 2017 Berdasarkan tingkat pendidikan Kualitas Pasien Kusta diketahui bahwa sebagian besar responden Hidup Jumlah Persentase pasien kusta multibasiler pada penelitian ini memiliki tingkat pendidikan rendah Kualitas (%) sejumlah 58 orang (72,5%). Sedangkan Hidup 24 30% pada tingkat pendidikan tinggi diketahui Kurang sejumlah 22 orang (27,5%). Baik 56 70% Kualitas 80 100% Tabel 4. Distribusi Pasien Kusta Hidup Baik Berdasarkan Dukungan Sosial Total di RS Kusta Sumberglagah Mojokerto Tahun 2017 Dukungan Pasien Kusta Analisis Bivariat Sosial Jumlah Persentase Hasil analisis bivariat pada variabel Dukungan (%) umur dapat dilihat pada tabel 6. Tabel Sosial 28 35% tersebut menunjukan bahwa berdasarkan Rendah analisis Chi-Square Test diketahui nilai p= Dukungan 52 65% 0,035, artinya p kurang dari 0,05. Sehingga Sosial Tinggi dapat disimpulkan bahwa ada hubungan Total 80 100% antara kelompok umur dengan kualitas hidup pada pasien kusta multibasiler di RS Berdasarkan dukungan sosial Kusta Sumberglagah Mojokerto. diketahui bahwa sebagian besar responden pasien kusta memiliki dukungan sosial Perhitungan nilai PR yaitu 2,21 yang tinggi sejumlah 52 orang (65%). dengan C1955% yaitu 1,13 – 4,34. Sedangkan pada dukungan sosial yang Sehingga hasil analisis pada variabel umur rendah diketahui sejumlah 28 orang (35%). bisa disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki umur produktif beresiko 2,21 kali Berdasarkan kualitas hidup lebih tinggi untuk mengalami kualitas diketahui bahwa sebagian besar responden hidup kurang baik dibandingkan dengan pasien kusta memiliki kualitas hidup baik orang yang memiliki umur produktif. sejumlah 56 orang (70%). Tabel 6. Hubungan Kelompok Umur Dengan Kualitas Hidup Di RS Kusta Sumberglagah Mojokerto Tahun 2017 Umur Kualitas Hidup Total Asymp. Sig. (2- Tidak Produktif sided) Produktif Kurang Baik 49 Total 100% ,035 14 17 31 45,2% 54,8% 100% 10 39 80 100% 20,4% 79,6% 24 56 30% 70%

Denyk Eko Meiningtyas dan Arief Hargono, Hubungan Faktor Demografi Dan... 261 Tabel 7. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kualitas Hidup di RS Kusta Sumberglagah Mojokerto Tahun 2017 Jenis Kelamin Kualitas Hidup Total Asymp. Sig. (2- Laki-laki sided) Perempuan Kurang Baik 45 ,623 Total 100% 15 30 35 33,3% 66,7% 100% 9 26 80 100% 25,7% 74,3% 24 56 30% 70% Hasil analisis bivariat pada variabel dilihat pada Tabel 8. Tabel tersebut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 7. menunjukan analisis Chi-Square Test Tabel tersebut menunjukan analisis Chi- diketahui nilai p= 0,005, artinya p kurang Square Test diketahui nilai p= 0,623, dari 0,05. Sehingga hasil analisis variabel artinya p lebih dari 0,05. Sehingga hasil tingkat pendidikan disimpulkan bahwa ada analisisnya dapat disimpulkan bahwa tidak hubungan antara tingkat pendidikan pasien ada hubungan antara jenis kelamin dengan dengan kualitas hidup pada pasien kusta kualitas hidup pada pasien kusta multibasiler di RS Kusta Sumberglagah multibasiler di RS Kusta Sumberglagah Mojokerto. Mojokerto. Perhitungan nilai PR yaitu 8,7 Perhitungan nilai PR (Prevalen dengan CI95% 1,252 – 60,772. Nilai Ratio) yaitu 1,2 dengan CI95% 0,645 – tersebut signifikan atau bermakna karena 2,606. Hasil penelitian ini diketahui bahwa nilai CI95% tidak melewati angka 1. pada analisis variabel jenis kelamin bisa Sehingga hasil analisis pada variabel disimpulkan yaitu seseorang yang berjenis tingkat pendidikan bisa disimpulkan kelamin laki-laki beresiko 1,2 kali lebih bahwa seseorang yang memiliki tingkat tinggi untuk mengalami kualitas hidup pendidikan rendah beresiko 8,7 kali lebih kurang baik dibandingkan dengan orang tinggi untuk mengalami kualitas hidup yang berjenis kelamin perempuan. kurang baik dibandingkan dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi. Hasil analisis bivariat variabel tingkat pendidikan pada pasien kusta dapat Tabel 8. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kualitas Hidup di RS Kusta Sumberglagah Mojokerto Tahun 2017 Kualitas Hidup Asymp. Sig. (2- sided) Pendidikan Kurang Baik Total Rendah ,005 Tinggi 23 35 58 Total 39,7% 60,3% 100% 1 21 22 4,5% 95,5% 100% 24 56 80 30% 70% 100%

262 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 256-267 Tabel 9. Hubungan Dukungan Sosial Dengan Kualitas Hidup Pasien Kusta Di RS Kusta Sumberglagah Mojokerto Tahun 2017 Dukungan Sosial Kualitas Hidup Total Asymp. Sig. Rendah ,009 Tinggi Kurang Baik 28 Total 100% 14 14 52 50,0% 50,0% 100% 10 42 80 100% 19,2% 80,8% 24 56 30% 70% Hasil analisis bivariat pada variabel Pensiun bahwa usia pertama kali pensiun dukungan sosial pasien kusta multibasiler ditetapkan pada usia 56 tahun. Seseorang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel tersebut yang berusia lebih dari 56 tahun dianggap menunjukan bahwa berdasarkan analisis sudah menurun produktifitasnya untuk Chi-Square Test diketahui nilai p= 0,009, menghasilkan suatu produk atau jasa. artinya p kurang dari 0,05. Sehingga hasil analisis penelitian pada variabel dukungan Hasil analisis Chi-Square sosial pasien kusta multibasiler dapat menunjukan nilai p= 0,035, artinya ada disimpulkan bahwa ada hubungan antara hubungan antara umur dengan kualitas dukungan sosial pasien kusta multibasiler hidup pada pasien kusta di RS Kusta dengan kualitas hidup pada pasien kusta Sumberglagah Mojokerto. Hal ini berbeda multibasiler di RS Kusta Sumberglagah dengan penelitian yang disampaikan oleh Mojokerto. Slamet dkk., (2015) bahwa umur tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan Perhitungan nilai PR yaitu 2,6 kualitas hidup. Sebagai makhluk sosial dengan CI 95% 1,332-5,076. Nilai tersebut setiap manusia tentunya harus signifikan atau bermakna karena nilai CI bersosialisasi dengan orang lain untuk 95% tidak melewati angka 1. Nilai PR memenuhi kebutuhan hidup. Orang yang lebih dari 1 berarti bersifat resiko. pernah menderita kusta pada usia produktif Sehingga hasil analisis pada variabel maupun tidak produktif di tuntut untuk dukungan sosial bisa disimpulkan bahwa tetap bersosialisasi dengan orang lain seseorang yang memiliki dukungan sosial dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. rendah beresiko 2,6 kali lebih tinggi untuk Penyakit kusta yang diderita oleh mengalami kualitas hidup kurang seseorang dapat menimbulkan rasa cemas dibandingkan dengan orang yang memiliki yang dapat mengganggu aktivitas sehari- dukungan sosial yang tinggi. hari. Pada usia produktif merupakan usia seseorang yang masih dapat bekerja untuk PEMBAHASAN menghasilkan produk atau jasa. Seseorang yang menderita penyakit kusta akan Faktor Umur membatasi aktifitas dalam bersosialisasi termasuk dalam bekerja. Distribusi frekuensi pada variabel Menurut Dirjen PP dan PL (2012) umur pada pasien kusta multibasiler di RS faktor penentu terjadi kusta adalah sumber penularan, cara keluar pejamu, cara Kusta Sumberglagah Mojokerto penularan, cara masuk dalam pejamu, dan pejamu. Penyakit kusta dapat terjadi pada menunjukan bahwa mayoritas ada pada semua umur, anak-anak, dewasa serta lansia. Sehingga umur tidak termasuk kelompok umur produktif 15-55 tahun dalam faktor penentu terjadinya kusta. sejumlah 49 orang (61,3%). Menurut UU No. 45 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan

Denyk Eko Meiningtyas dan Arief Hargono, Hubungan Faktor Demografi Dan... 263 Penelitian Tsumsumi dkk, (2007) Menderita penyakit kusta bisa menjadi menyebutkan bahwa tidak ada hubungan ancaman tersendiri bagi laki-laki yang bermakna antara umur dengan sehubungan dengan peran laki-laki sebagai kualitas hidup. Namun dengan adanya rasa kepala keluarga. Seorang kepala keluarga cemas yang dialami oleh penderita kusta berperan aktif dalam memenuhi kebutuhan pada kelompok usia produktif yang dapat hidup keluarga seperti hal nya bekerja. menyebabkan pembatasan aktifitas sehari- Kepala keluarga yang menderita kusta hari seperti bertemu orang lain, berkumpul tidak akan maksimal dalam bekerja dengan teman, bahkan bekerja. Penyakit sehingga akan menurunkan pendapatan kusta merupakan penyakit kronis yang keluarga. Adanya rasa cemas tidak dapat menyerang bagian tubuh kecuali saraf bekerja maksimal untuk memenuhi pusat. Orang yang menderita kusta kebutuhan keluarga dapat menurunkan tentunya akan mengalami gangguan kualitas hidup pada laki-laki dalam fungsional tubunya. Hal tersebut dapat peranya sebagai kepala keluarga. menimbulkan rasa kurang percaya diri Perempuan cenderung lebih siap dalam karana cacat fisik yang dialami oleh menerima keadaan bahwa dirinya penderita kusta sehingga dapat menderita kusta. Perempuan dapat lebih menurunkan kualitas hidup pada penderita baik dalam mengelola perasaan emosional kusta. mereka dari pada laki=laki. Sehingga perempuan dapat lebih baik dalam Faktor Jenis Kelamin mengelola kualitas hidupnya. Namun perempuan yang menderita kusta akan Distribusi frekuensi pada variabel melakukan pembatasan pada segala jenis kelamin mayoritas berjenis kelamin aktifitas di lingkungan keluarga, laki-laki sejumlah 45 orang (56,3%). Hasil masyarakat bahkan lingkungan pekerjaan perhitungan Chi-Square didapatkan nilai yang dapat berdampak pada menurunnya p=0,623, artinya tidak ada hubungan antara kualitas hidup pada seorang perempuan. jenis kelamin dengan kualits hidup pasien kusta di RS Kusta Sumberglagah Faktor Tingkat Pendidikan Mojokerto. Seperti yang disampaikan oleh peneliti Slamet dkk (2015) bahwa jenis Distribusi frekuensi tingkat kelamin laki-laki banyak dijumpai dari pendidikan didapatkan hasil bahwa pada perempuan, namun jenis kelamin sebagian besar pasien memiliki tingkat tidak berhubungan dengan kualitas hidup pendidikan rendah sebanyak 58 orang pada penderita kusta. (72,5%). Hasil analisis Chi-Square diketahui nilai p= 0,003, artinya ada Jenis kelamin laki-laki atau hubungan antara tingkat pendidikan perempuan mempunyai peluang yang sama dengan kualitas hidup pasien kusta di RS untuk mengalami kusta. Seperti yang Kusta Sumberglagah Mojokerto. Seperti disampaikan oleh Dirjen PP dan PL (2012) yang disampaikan peneliti JG An dkk bahwa faktor penentu terjadinya kusta (2010) bahwa pendidikan merupakan salah adalah sumber penularan, cara keluar dari satu faktor yang dapat mempengaruhi pejamu, cara penularan, cara masuk kualitas hidup pasien kusta di Cina. kedalam pejamu, dan pejamu. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa jenis kelamin Teori Lawrence Green dalam tidak mempengaruhi terjadinya penyakit Nursalam (2016) disampaikan bahwa yang kusta. Peneliti Mankar dkk, (2011) berkaitan dengan perubahan perilaku menyebutkan bahwa laki-laki dan seseorang dapat ditentukan oleh faktor perempuan memiliki dampak yang sama predisposisi, faktor enabling, dan faktor terhadap penyakit kusta dalam peran reinforcing. Bentuk faktor enabling salah mereka dalam pergaulan bermasyarakat. satunya yaitu pendidikan. Pendidikan yang

264 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 256-267 didapat oleh seseorang dapat hanya berdiam diri saja dan berobat setelah mempengaruhi pola berfikir orang tersebut. ada reaksi lanjut. Padahal hal tersebut juga Seseorang dengan tingkat pendidikan yang akan merugikan penderita karena tinggi akan lebih mudah menerima adanya pengobatan yang terlambat akan informasi. Selain itu pengetahuan yang menyebakan cacat fisik. Cacat fisik dapat luas juga dapat berpengaruh terhadap pola berdampak pada pembatasan diri terhadap berfikir seseorang. Pendidikan yang tinggi aktifitas sehingga menyebabkan kualitas memberikan peluang pada seseorang untuk hidup akan menurun. lebih banyak menerima informasi. Informasi dapat diterima dari berbagai Dukungan Sosial sumber seperti media elektronik, media cetak, internet, poster, leaflet bahkan dari Distribusi frekuensi pada dukungan dinformasi yang disampaikan oleh orang sosial pada pasien kusta di RS Kusta lain. Seperti halnya terkait penyakit kusta, Sumberglagah Mojokerto mayoritas dengan adanya informasi tentang penyakit memiliki dukungan sosial yang tinggi yaitu kusta dapat diterima lebih baik oleh sejumlah 52 orang (65%). Hasil analisis seseorang yang memiliki pendidikan Chi-Square Test (Tabel 5.8) menunjukan tinggi. Pengetahuan dan wawasan yang nilai p=0,009, artinya ada hubungan antara diterima seseorang dapat membantu dukungan sosial dengan kualitas hidup mengelola pola berfikir untuk mengurangi pada pasien kusta di RS Kusta bahkan menghindari rasa cemas yang Sumberglagah Mojokerto. Perhitungan dialami penderia kusta. Mengelola rasa nilai PR di dapatkan hasil 2,6 dengan CI cemas dengan baik dapat meningkatkan 95% 1,332-5,076. Nilai tersebut tidak kualitas hidup pada penderia kusta. melewati angka 1 sehingga nilai tersebut bermakna atau signifikan. Nilai PR lebih Penyakit kusta merupakan penyakit dari 1 berarti resiko. Dapat disimpulkan yang mengalami gangguan fungsional pada bahwa penderita kusta yang memiliki tubuh. Tahap pertama penyakit kusta akan dukungan sosial rendah beresiko 2,6 kali menyerang saraf tepi, kemudian berlanjut lebih tinggi mengalami kualitas hidup menyerang kulit, mukosa mulut, saluran kurang dibandingkan penderita kusta yang napas bagian atas, sistem retikuloendotial, memiliki dukungan sosial yang tinggi. otot mata, tulang dan testis kecuali saraf pusat. Penanganan yang lambat pada Hubungan dukungan sosial dengan penderita kusta dapat menyebabkan kualitas hidup pada penelitian ini sesuai terjadinya kerusakan akut pada fungsi saraf dengan penelitian Melisa dkk., (2012) yang berakibat kecacatan. Adanya cacat yaitu dukungan sosial yang tinggi pada pada tubuh pasien kusta dapat seseorang akan meningkatkan kualitas menimbulkan rasa cemas dan tidak percaya hidup orang tersebut, dan adanya diri dalam hidup bermasyarakat. Cacat hubungan yang bermakna antara dukungan tubuh pada pasien kusta dapat sosial dengan kualitas hidup. Seseorang menimbulkan stigma pada masyarakat. yang menerima dukungan sosial yang baik Stigma negatif sering muncul dalam akan meningkatkan perasaan lebih percaya masyarakat yang kurang memahami diri, lebih dihargai, diperhatikan bahkan tentang penyakit kusta. Masyarakat merasa di cintai. menganggap penyakit kusta merupakan penyakit kutukan yang dapat menular. Penelitian Tsutsumi dkk., (2007) Stigma negatif yang muncul dalam menyebutkan bahwa hasil penelitian yang masyarakat menyebabkan penderita kusta dilakukan di Bangladesh menunjukan akan membatasi diri untuk bersosialisasi, bahwa ada hubungan stigma yang dialami bahkan untuk pergi berobat saja mereka pasien kusta dengan kesehatan mental. takut. Sehingga penderita kusta cenderung Kesehatan mental merupakan penentu dari kualitas hidup seseorang. Kesehatan

Denyk Eko Meiningtyas dan Arief Hargono, Hubungan Faktor Demografi Dan... 265 mental seseorang baik bila orang tersebut Menurut Rafferty (2005) beberapa merasa tentram, tenang dan bahagia upaya yang bisa dilakukan untuk dengan hidupnya tentunya akan berdampak mengurangi timbulnya stigma yaitu dengan pada kualitas hidup juga. Kesehatan mental rehabilitasi fisik dan sosial ekonomi. yang baik tentunya akan meningkatkan Upaya tersebut dapat bermanfaat untuk kualitas hidup. meningkatkan harga diri dan status penderita kusta di masyarakat. Berbagi Penelitian Brakel dkk., (2012) pengalaman dan informasi pada pasien menyebutkan bahwa perceive stigma yang kusta lain dalam konseling kelompok dapat dialami seseorang dapat menyebabkan membantu meningkatkan stigma positif stress, kecemasan, depresi, bahkan usaha pada diri sendiri. Manusia merupakan untuk bunuh diri. Kusta merupakan makluk sosial yang membutuhkan interaksi penyakit yang mengalami gangguan sosial dalam kehidupan sehari-hari. fungsional pada anggota tubuh. Seseorang Timbulnya sakit kusta akan menjadi beban yang menderita kusta akan merasa tersendiri pada penderita kusta untuk terganggu karena cacat fisik yang berinteraksi sosial. Upaya konseling ditimbulkan oleh penyakit kusta tersebut, kelompok akan memfasilisasi penderita sehingga penderita kusta akan membatasi kusta untuk mendapatkan pengetahuan diri dalam bersosialisasi dengan baru, teman baru, bahkan untuk lingkungan sekitarnya. Membatasi diri mendapatkan pekerjaan, sehingga dalam bersosialisasi dengan masyarakat penderita kusta tidak akan merasa ditambah dengan adanya stigma negatif sendirian atau merasa terisolasi dengan pada penderita kusta akan berdampak keadaanya, karena dalam konseling menurunya kualitas hidup penderita kusta, kelompok akan saling menguatkan antar karena penderita kusta akan merasa penderita kusta. Tentunya upaya tersebut terisolasi dan tidak bebas untuk melakukan dapat meningkatakan kualitas hidup aktivitas seperti masyarakat lainya. seseorang. Penelitian Yen dkk., (2009) SIMPULAN menyebutkan bahwa seseorang yang mengalami depresi karena stigma pada diri Hasil penelitian ditemukan bahwa sendiri buruk akan memiliki kualitas hidup variabel umur produktif, jenis kelamin yang rendah. Seseorang yang menderita laki-laki, tingkat pendidikan rendah dan kusta akan merasa hidupnya telah berakhir dukungan sosial yang tinggi memiliki karena sakit kusta. Penderita kusta merasa hubungan yang signifikan atau bermakna tidak bisa melakukan apapun seperti dengan kualitas hidup pada penderita kusta layaknya orang normal yang tidak sakit multibasiler di RS Kusta Sumberglagah kusta. Merasa tidak bisa bekerja, tidak Mojokerto. Dukungan sosial yang tinggi akan punya pendamping hidup, bahkan pada pasien kusta dapat meningkatkan merasa tidak punya masa depan. Adanya kualitas hidup pasien kusta itu sendiri. stigma negatif pada diri sendiri tersebut Pasien kusta akan termotivasi untuk tentunya akan menurunkan kualitas hidup melakukan berbagai kegiatan yang dapat penderita kusta. Namun sesungguhnya memaksimalkan kualitas hidupnya. penderita kusta bisa sembuh dengan melakukan pengobatan secara teratur dan Diharapkan untuk tenaga kesehatan cacat kusta bisa dihindari dengan deteksi lebih maksimal dalam menyampaikan dini sakit kusta. Seperti yang disampaikan promosi kesehatan terkait penyaki kusta, oleh Dirjen PP dan PL., (2012) bahwa seperti dengan mengadakan sosialisasi pengobatan kusta akan memutus rantai tentang penyakit kusta. Sumber informasi penularan kusta, menyembuhkan sakit yang didapat masyarakat dapat menambah kusta, mencegah cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang susdah ada.

266 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 256-267 pengetahuan sehingga masyarakat tidak Mankar MJ., Joshi SM., Velankar DH., akan salah menilai tentang penyakit kusta. Mhatre RK, and Nalgundwar AN. Diharapkan penderita kusta dapat meningkatkan rasa percaya diri untuk aktif 2011. Comparative study of the dan produktif dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dengan membuka usaha seperti quality of life, knowledge, attitude berdagang. Penderita kusta tidak menutup diri dari lingkungan masyarakat. and belief about leprosy disease Diharapkan untuk pemerintah dapat memberikan fasilitas seperti membuat among leprosy patients and suatu perkumpulan atau kelompok sehingga penderita kusta dapat berbagi community members in Shantivan informasi, pengalaman, bahkan pekerjaan kepada penderita kusta yang lain. leprosy rehabilitation centre. DAFTAR PUSTAKA Maharashtra, India: J Glob Infect Brakel WH., Sihombing B., Djarir H., Dis. Social Science & Medicine 64, Beise K., Kusumawardhani L., Yulihane R., Kurniasari I., Kasim 2443-2453. M., Kesumaningsih Kl., dan Wilder SA., 2012. Disability in people Maziyya, N., Nursalam, N., Mariyanti, H. affected by leprosy the role of impairment, activity, sosial 2016. Kualitas hidup penderita participation, stigma and discrimination. kusta berbasis teori heatlh belief Brooks, B., Anderson, M. A. 2007. models (HBM). [e-journal] 1: Defining quality of nursing work life. nursing economic. pp.96-102. Dinkesprov Jawa Timur, 2016. Profil Melisa., Jeavery B., dan Frenly MU., 2012. Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2016. Hubungan dukungan sosial dengan Dinkeskab Mojokerto, 2015. Profil kualitas hidup pada pasien Kesehatan Kabupaten Mojokerto 2015. Tuberkulosis Paru di Poli Paru Dirjen P2PL, 2012. Pedoman nasional BLU RSUP Prof. DR. R. D Kandou program pengendalian penyakit kusta. Manado. Universitas Sam Hidayat, A. 2009. Riset keperawatan dan Ratulangi. [e-journal] 1:1. teknik penulisan ilmiah. Jakarta: salemba medika. Nursalam, 2016. Metodologi penelitian JG An., J-H Ma., SX Xiao., SB Xiao, dan ilmu keperawatan. Jakarta: F Yang., 2010. Quality of life in patients with lepromatous leprosy Salemba Medika. in China. [e-journal] 24 (7):827- 32. Pratama, S., 2012. Tingkat kualitas hidup Kementerian Kesehatan Republik pasien kusta yang datang berobat Indonesia. 2015. Profil kesehatan indonesia ke RSU DR. Pirngadi Medan. [e- journal] 1698. Rafferty, J. 2005. Curing the stigma of Leprosy. Leprosy Review Pubmed Journal, 119-126. Rahayuningsih, E., 2012. Analisis kualitas hidup penderita kusta di puskesmas kedaung. Tesis. Universita Indonesia. Rinadewi A., Wieke T., dan Sri LM., 2013. Kualitas hidup pasien kusta.Universitas Indonesia Slamet., Hadyana S., dan Sharon G., 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi quality of life orang yang pernah mengalami kusta di Kabupaten Cirebon. Universitas Padjajaran. [e- journal] Tsutsumi, A., Izutsu, T., Akramul Islam MD., Maksuda, A., Kato, H., & Wakai, S. (2007) The quality of life, mental health, and perceived

Denyk Eko Meiningtyas dan Arief Hargono, Hubungan Faktor Demografi Dan... 267 stigma of leprosy patients in WHO. (2002). WHOQOL-SRPB: User Bangladesh sosial science & manual. Geneva: WHO. medicine 64: pp. 2443-2453. Ulfa F., Dwi MW., dan Pudjo W., 2015. WHO. (2004). The world health Perbedaan kualitas hidup Orang organization quality of life Yang Pernah Menderita Kusta (WHOQOL)-BREF. (OYPMK) yang tergabung dengan kelompok perawatan diri dan Yen CF., Cheng CC., Yu L., Tze-Chun OYPMK yang tinggal di wilayah Tang., Chih HK., dan Ju-Yu Y., tanpa KPD 2009. Association bertween quality WHO. (2010). Global leprosy situation of life and self stigma, insight, and 2010. Weekly epidemiological adverse effects of medication in record 35: pp. 337-348. patients with depressive disorder. Pubmed Journal. Vol. 26 (11) 1033-1039

PERILAKU CUCI TANGAN DI KALANGAN SISWA-SISWI SMAK SANTA AGNES SURABAYA Eka Cipta Halim1, Oedojo Soedirham2 1,2Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Alamat Korespondensi: Eka Cipta Halim Email : [email protected] ABSTRACT Cleanliness is a state free of dirt, including dust, garbage and odors. Hygiene is also a lifestyle, and is also included in Clean and Healthy Lifestyle. Student always consumption of food after exercise can restore lost of body stamina. However, student often forget the Wash the Hand with Soap before eating food. Behavioral factors consist of supporting factors, enabling factors and strengthening factors. This purpose of study in order to know the knowledge, attitude and behavior of informants. The research was done at High School of Santa Agnes Surabaya by using descriptive method of qualitative approach. Instrument in this research is guidance of deep interview with informant amounted to 8 people. The variables in this study were the students' knowledge, the attitude of the students and the behavior of the students associated with the CTPS. Supporting factors consist of attitude and behavioral knowledge. Knowledge of students was in the low knowledge, because only limited to know. Attitudes toward the behavior of CTPS at SMAK Santa Agnes support CTPS as a beneficial healthy behavior. The behavior of CTPS at SMAK Santa Agnes was lacking, especially after sports. Possible factors in the form of facilities that have been good, but the number is still inadequate. The reinforcing factor of the teacher's encouragement to perform the CTPS and the motivation of the dirty hand-related sectional environment can lead to ill experiences of illness that have been experienced and are accustomed to CTPS. The conclusion that can be drawn is that all informants have diverse behavior and risk to their health. Lazy behavior is the main key that must be resisted so as not to interfere with health. Keywords: antiseptic soap, high school students, hand washing behavior ABSTRAK Kebersihan adalah keadaan yang bebas dari kotoran, termasuk debu, sampah dan bau. Kebersihan juga merupakan gaya hidup, dan juga termasuk dalam Gaya Hidup Bersih dan Sehat. Konsumsi makanan setelah berolahraga dapat mengembalikan daya tahan tubuh yang hilang. Namun, sering lupa Cuci Tangan dengan Sabun antiseptik sebelum makan makanan. Faktor perilaku terdiri dari faktor pendukung, faktor pemungkin dan faktor penguatan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku informan. Penelitian ini dilakukan di SMA Santa Agnes Surabaya dengan menggunakan metode deskriptif pendekatan kualitatif. Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara mendalam dengan informan berjumlah 8 orang. Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan siswa, sikap siswa dan perilaku siswa yang terkait dengan CTPS. Faktor pendukung terdiri dari sikap dan pengetahuan perilaku. Pengetahuan siswa dalam pengetahuan rendah, karena hanya sebatas tahu. Sikap terhadap perilaku CTPS di SMAN Santa Agnes mendukung CTPS sebagai perilaku sehat yang bermanfaat. Perilaku CTPS di SMAN Santa Agnes kurang, terutama setelah olahraga. Kemungkinan faktor dalam bentuk fasilitas yang sudah baik, tetapi jumlahnya masih belum mencukupi. Faktor penguat dorongan guru untuk melakukan CTPS dan motivasi lingkungan yang terkait dengan tangan yang kotor dapat menyebabkan pengalaman sakit yang telah dialami dan terbiasa dengan CTPS. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa semua informan memiliki beragam perilaku dan risiko terhadap kesehatan mereka. Perilaku malas adalah kunci utama yang harus dilawan agar tidak mengganggu kesehatan. Kata kunci : sabun antiseptik, siswa-siswi SMA, perilaku cuci tangan ©2018 IJPH. License doi: 10.20473/ijph.vl13il.2018.208-219 Received 2 May 2018, received in revised form 12 May 2018 , Accepted 14 May 2018 , Published online: December 2018

Eka Cipta Halim dan Oedojo Soedirham., Perilaku Cuci Tangan Di... 209 PENDAHULUAN individu. PHBS sebagai dasar dalam terwujudnya peningkatan tingkat kesehatan Kebersihan kondisi dimana sesuatu memuat kunci utama dalam hal CTPS. Hal terbebas dari kotoran, termasuk debu, yang harus terus ditingkatkan adalah sampah dan bau. Indonesia menjadi salah perilaku CPTS yang benar yaitu cuci tangan satu negara dengan masalah kebersihan dengan air yang mengalir dan sabun yang terus berkembang, menurut Alfarisi antiseptik pada saat setelah buang air besar (2008) kasus yang mengenai masalah dan sebelum makan. kebersihan meningkat setiap tahunnya. Terciptanya kesehatan memerlukan CTPS merupakan usaha untuk kebersihan sebagai salah satu kuncinya. menjaga kebersihan seluruh bagian tangan dengan media air dan sabun antiseptik Menjaga kebersihan diri menjadi sebagai penghilang kotoran. Melakukan penting karena akan berpengaruh terhadap CTPS merupakan salah satu usaha kesehatan. Diharapkan dengan tubuh yang pencegahan penyakit yang mudah untuk bersih tidak terjadi penyebaran kotoran dan dilakukan. Perilaku CTPS menjadi penting tidak terjadi penularan penyakit, baik bagi mengingat fungsi dari tangan yang sering individu tersebut atau bagi orang lain. kontak dengan tubuh sendiri atau orang lain Kebersihan diri merupakan suatu proses baik secara langsung maupun menggunakan pertahanan dan pemeliharaan kebersihan media atau kontak tidak langsung. Bahaya serta kesehatan tubuh. Langkah seseorang muncul apabila kontak dilakukan dalam untuk dapat memelihara kebersihan dan kondi tangan yang sedang kotor, hal ini kesehatan dapat dimulai dengan mandi dapat memicu penyebaran penyakit melalui secara teratur, selalu tampil rapi, merawat pemindahkan bakteri, virus, dan parasit dari gigi secara teratur, memakai selalu pakaian satu orang ke orang lain tanpa disadari. yang bersih dan mencuci tangan memakai WHO sangatlah serius dengan masalah sabun antiseptik (Timmreck, 2004). CTPS hingga tanggal 15 Oktober diperingati sebagai Hari Mencuci tangan Pemeliharaan kebersihan dan pakai sabun antiseptik Sedunia. Indonesia kesehatan masuk dalam program Perilaku menjadi satu dari 20 negara dari seluruh Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Program negara di dunia sebagai pendukung gerakan PHBS adalah usaha yang dilakukan dengan CTPS (WHO, 2009). tujuan menambah pengalaman belajar atau mewujudkan keadaan hidup bersih dan Pengetahuan adalah merupakan sehat di lingkungan perorangan, keluarga, hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang kelompok, dan masyarakat, dengan melakukan penginderaan terhadap obyek mengungkapkan alasan dari seseorang tertentu. Penginderaan terhadap obyek untuk mau atau tidak mau melakukan terjadi melalui panca indera manusia, perilaku bersih dan sehat (Janz & Becker, yakni: penglihatan, pendengaran, 1984). penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui Perilaku CTPS adalah bagian dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). PHBS menyita bayak perhatian Sikap adalah respons tertutup khususnya mengenai perilaku CTPS. seseorang terhadap stimulus atau objek Menurut Depkes RI (2008) minimnya tertentu. Sebagai contohnya yang sudah praktek CTPS di berbagai negara, mulai melibatkan faktor pendapat dan emosi yang dari negara yang sedang berkembang bersangkutan atau senang-tidak senang, sampai negara maju pun masih masih setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan menjadi masalah. Kesulitan dalam sebagainya (Notoatmodjo, 2010). mengatasi masalah CPTS dengan baik sesuai anjuran dikarenakan alasan lupa dan Tindakan adalah mekanisme dari malas menjadi pemicu utama dari tiap suatu pengamatan yang muncul dari persepsi sehingga ada respon untuk

210 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 208-219 mewujudkan suatu tindakan. Kebiasaan Surabaya agar sadar, mau, dan mampu setiap anak dalam berperilaku mencuci untuk membiasakan hidup bersih dan sehat. tangan dengan sabun antiseptik agar Pelajar berperan dalam gerakan kesehatan terhindar dari berbagai macam penyakit di masyarakat agar tercipta pemeliharaan sehingga dapat diterapkan dalam kegiatan kesehatan, peningkatan kesehatan serta sehari-hari. pencegahan risiko terjadinya penyakit (DepkesRI, 2009). Kebiasaan setiap anak dalam berperilaku CTPS dengan benar perlu CTPS dapat mencegah infeksi ditanamkan sejak dini. Keyakinan yang cacingan. Cuci tangan tidak menggunakan terbentuk dari perilaku CTPS agar terhindar sabun antiseptik, dapat menularkan infeksi dari berbagai macam penyakit dapat pada diri sendiri terhadap bakteri dan virus menjadi bentuk penerapan yang sering dengan memegang bagian hidung, mata dan dijumpai setiap harinya. Demi memperoleh mulut. Selain itu juga dapat menyebarkan hasil yang maksimal, maka mencuci tangan atau menularkan bakteri kepada orang lain. hendaknya menggunakan air bersih yang Penyakit infeksi biasanya terjangkit melalui mengalir dengan menggunakan sabun kontak tangan ke tangan termasuk flu dan antiseptik, kemudian dikeringkan dengan common cold. Pada tangan yang kurang handuk bersih atau menggunakan tisu bersih tidak hanya dapat menyebabkan (Kemenkes, 2010). ISPA dan diare tetapi juga dapat menimbulkan penyakit terkait infeksi Siswa-siswi di SMAK Santa Agnes bakteri Salmonella dan E.coli (Lestari, Surabaya sering melakukan kegiatan olah 2008). raga di pagi hari yang dilanjutkan dengan sarapan bersama. Kebiasaan yang sangat Mencuci tangan umumnya buruk di kalangan siswa-siswi SMAK Santa dilakukan dengan air, karena terbukti Agnes Surabaya adalah lupa untuk mencuci dengan melakukan cuci tangan tangannya dengan sabun antiseptik sebelum menggunakn air saja kurang efektif untuk mengkonsumsi makanan. Depkes RI (2009) menghilangkan kuman di tangan menyatakan penyakit yang timbul jika tidak dibandingkan dengan mencuci tangan melakukan CTPS adalah infeksi saluran dengan sabun antiseptik. Cuci tangan pernapasan karena tidak melakukan CTPS menggunakan sabun antiseptik sebenarnya akan menimbulkan kuman pernapasan yang menyebabkan orang harus meluangkan ada pada tangan dan permukaan telapak waktu lebih lama, namun penggunaan tangan, kuman tersebut tidak akan sabun antiseptik mampu membersikan menghilang dan masuk kedalam tubuh. lemak dan kotoran yang menempel di Diare penyakit selanjutnya yang timbul dari telapak tangan. Lemak dan kotoran yang perilaku tidak melakukan cuci tangan pakai menempel pada telapak tangan akan sabun antiseptik karena kuman penyebab terlepas saat tangan digosok dan diare ditularkan melalui fecal-oral. bergesekan, sehingga akan lebih efektif Penelitian telah membuktikan bahwa selain untuk menghilangkan lemak dan kotoran diare dan infeksi saluran pernapasan, tidak serta kuman. Lemak dan kotoran yang menggunakan sabun antiseptik saat menempel inilah menjadi tempat kuman mencuci tangan dapat meningkatkan penyakit hidup. Penggunaan hand kejadian penyakit kulit, infeksi mata, dan sanitaiser tidaklah salah akan tetapi cacingan. sebaiknya mencuci tangan dengan sabun antiseptik agar kuman yang terdapat pada Perilaku cuci tangan pakai sabun tangan dapat hilang sepenuhnya. Penelitian antiseptik merupakan salah satu dari ini bertujuan untuk menganalisis faktor program PHBS di lingkungan sekolah. yang mempengaruhi siswa-siswi di SMAK Program PHBS dilakukan dalam usaha Santa Agnes Surabaya terkait perilaku tidak untuk memberdayakan tiap individu CTPS. khususnya siswa-siswi SMA Santa Agnes

Eka Cipta Halim dan Oedojo Soedirham., Perilaku Cuci Tangan Di... 211 METODE PENELITIAN Agnes dan perilaku yang dilakukan oleh siswa-siswi terkait CTPS. Teknik analisis Penelititan ini menggunakan metode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah penelitian kualitatif dengan pendekatan sebagai berikut : Pengumpulan data (Data Collection), Reduksi data (Data Reduction), fenomenologi. Penggunaan metode ini Penafsiran data dan Analisis dengan penarikan kesimpulan dan saran serta dengan alasan bahwa fokus dalam triangulasi data. Triangulasi yang digunakan pada penelitian ini adalah penelititan ini adalah perilaku tidak cuci triangulasi sumber yaitu berupa siswa dan guru. Serta triangulasi teknik berupa tangan pakai sabun antiseptik. Pendekatan observasi dan wawancara.Batas akhir dari penelitian ini tidak ditentukan, dikarenakan fenomenologi bertujuan untuk peneliti harus mengikuti proses penelitian itu sendiri. Peneliti mengakhiri menggambarkan makna dari pengalaman pengumpulan data setelah mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan, atau hidup yang dialami oleh beberapa individu, pada saat melakukan penelitian peneliti sudah tidak menemukan data baru lagi, dan tentang konsep atau fenomena tertentu, peneliti sudah mengalami kejenuhan data. dengan mengeksplorasi struktur kesadaran manusia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan tujuan untuk menggambarkan suatu obyek yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, tanpa mempersoalkan hubungan antar variabel. Pendekatan kualitatif digunakan peneliti hanya untuk memahami sebuah fakta yang ada di lapangan, dan bukan untuk menjelaskan fakta yang ada. HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber data pada penelitian ini berasal dari informan. Informan penelitian Karakteristik Informan ini adalah siswa – siswi SMAK Santa Informan penelitian ini adalah siswa Agnes Surabaya yang tidak mencuci – siswi SMAK Santa Agnes Surabaya berusia 15 – 17 tahun yang tidak mencuci tangannya dengan sabun antiseptik setelah tangannya dengan sabun antiseptik setelah berolah raga atau sebelum mengkonsumsi berolah raga atau sebelum mengkonsumsi makanan. makanan. Siswa – siswi yang menjadi informan tersebut berusia antara 15 – 17 tahun. Serta para guru yang akan dilakukan wawancara mendalam guna untuk Faktor Pendorong Pengetahaun Cuci tangan pakai sabun mengcross check tentang kebenaran data antiseptik yang telah didapat. Penentuan informan dengan teknik ini adalah dengan mengambil informan Sebagian besar informan secara accidental atau secara bebas oleh mengatakan manfaat cuci tangan adalah peneliti sesuai dengan kriteria informan untuk menghilangkan kuman dan kotoran yang diperlukan untuk penelitian. Informan agar bakteri tidak masuk dan tidak sakit. dipilih oleh peneliti karena aksesibilitas “Supaya kalo ada kuman gitu bisa terhindar dari penyakit” Informan 6, 15 rasa nyaman serta kedekatan informan tahun dengan peneliti. “Bisa ngilangin kuman yang pertama, yang kedua bisa ngilangin kotoran” Informan 7, Instrumen pengumpulan data untuk 17 tahun penelitian ini berupa pedoman wawancara “Yah kalo mau makan gitu supaya bakterinya ngga masuk” Informan 8, 16 dan lembar observasi. Pedoman wawancara tahun. ini berisikan beberapa pertanyaan yang akan ditanyakan pada informan yaitu siswa- siswi. Lembar observasi berisikan tentang poin fasilitas yang terdapat di SMAK Santa

212 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 208-219 Informan berpendapat bahwa tidak mengetahui berapa langkah CPTS bahaya yang dapat timbul akibat dari tidak yang baik sesuai dengan anjuran WHO. mencuci tangan pakai sabun antiseptik adalah sakit perut seperti mules, diare dan “Umm kalo aku liat di rumah sakit itu ada keracunan 3 atau 4” Informan 1 15 Tahun “4 atau 3 langkah gitu” Informan 2 15 “Iya, bisa sakit perut, sakit perut Tahun mules mules gitu terus sering kekamar “Ada 4 langkah ko” Informan 3 15 Tahun kecil” Informan 2, 15 Tahun “Umm berapa ya 6 paling hehe” Informan “Iya, kalok misal e habis megang bahan 4 16 Tahun kimia kan bisa keracunan terus isa sakit “Ya pokok e 3 langkah” Informan 5 15 perut, sakit perut e mencret gitu” Informan Tahun 5, 15 Tahun “Ada 3 sih” Informan 6 15 Tahun “Yah tau, bisa kena diare” Informan 6, 15 “Ada 3” Informan 7 17 Tahun Tahun. Sikap terhadap perilaku Cuci tangan Ada juga informan yang berkata pakai sabun antiseptik tidak mengetahui bahaya dari tidak mencuci tangan pakai sabun antiseptik. Semua informan bersikap positif terhadap perilaku CPTS, mereka merasa “Gatau sih kalo bahayanya hehe” bahwa cuci tangan dapat membersikan Informan 7, 17 Tahun. tangan mereka dari kuman sehingga dapat membantu menjaga kesehatan. Informan melaksanakan cuci tangan pada umumnya sebelum dan setelah makan, “Ya bagus sih buat hilangin kuman” informan lain menambahkan pas mandi, Informan 1, 15 Tahun setelah olahraga, saat akan cuci muka dan “Biar bersih biar kumannya ngga ada saat akan tidur. Terdapat 1 informan yang “ Informan 2, 15 Tahun menjawab cukup banyak yaitu setelah dari “Apa yaa umm kebersihan” Informan 4 16 kamar kecil atau toilet, setelah memegang Tahun sampah setelah praktikum tetapi tidak “Yah cuci tangan tuh bermanfaat bagi menyebutkan setelah makan atau sebelum kesehatan” Informan 8, 16 Tahun makan. Perilaku Cuci tangan pakai sabun “Selesei makan terus sebelum makan juga antiseptik pas mandi” Informan 1, 15 Tahun “Setelah dan sebelum makan setelah Perilaku CTPS dalam penelitian ini melakukan kegiatan setelah dari kamar meliputi kebiasaan cuci tangan memakai kecil” Informan 4, 16 tahun sabun antiseptik, langkah yang digunakan, “Setelah ketoilet terus setelah megang kebiasaan CTPS setelah berolahraga, sampah atau habis dari apa yaa praktikum kebiasaan mengkonsumsi makanan setelah atau apalah” Informan 5, 15 Tahun berolahraga. Berdasarkan hasil wawancara “Sebelum makan terus kalo abis olahraga mendalam sebagian besar siswa-siswi mau cuci muka kan cuci tangan dulu” mencuci tangan memakai sabun antiseptik, Informan 6, 15 tahun hanya ada 3 Informan yang menjawab “Saat mau makan dan saat mau tidur” kalau tidak males dan kadang. Informan 8, 16 tahun “Kalo ngga males pake sabun antiseptik Informan memahami bahwa jumlah hehe” Informan 5, 15 Tahun langkah CTPS yang baik adalah 3 langkah, “Ya kadang sih” Informan 6, 15 Tahun 4 langkah atau 6 langkah. Semua informan

Eka Cipta Halim dan Oedojo Soedirham., Perilaku Cuci Tangan Di... 213 “Kadang iya kadang engga sering “Kadang iya kadang engga sih, tapi kalo engganya sih hehe” Informan 8, 16 Tahun ngga makan pas berangkat jadi e aku beli Hasil wawancara untuk jumlah nasi hehe” Informan 5, 15 Tahun. langkah yang digunakan saat mencuci tangan masil belum sesuai dengan anjuran Faktor Pemungkin WHO sebanyak 7 langkah. Sebagian besar dari mereka melakukan 4 atau 3 langkah Sebagian besar informan saja. mengatakan bahwa sekolahan tidak “Langkah sih ya 3 langkah” Informan 1, 15 Tahun menyediakan fasilitas yang baik untuk “4 langkah” Informan 2, 15 Tahun “3 langkah saat cuci tangan” Informan 3 menunjang perilaku CPTS para siswa-siswi, 15 Tahun. “Ngga ngitung sih ngasal aja mungkin 2 sehingga pasa siswa hanya menggunakan atau 3 langkah” Informan 4, 16 Tahun air saja atau tissue basah untuk Hasil penelitian tentang perilaku CTPS setelah berolahraga menunjukkan membersihkan tangannya yang kotor bahwa sebagain besar dari siswa-siswi tidak melakukan CTPS setelah melakukan tersebut. olahraga “Ya karena ngga ada sabun antiseptik “Ngga cuci tangan” Informan 1, 15 Tahun “Kadang iya kadang engga tapi banyak jadinya ngga cuci tangan. Pake tissue engganya hehe” Informan 7, 17 Tahun basah sih biasanya jadi ngga perlu cuci Hasil wawancara mendalam untuk tangan lagi” Informan 3, 15 Tahun perilaku CPTS setelah melakukan olahraga, “Umm males mungkin dan juga karena ditanyakan kebiasaan konsumsi makanan setelah melakukan olahraga. Sebagian besar fasilitas e kurang buat cuci tangan terus ya mengatakan bahwa mereka langsung makan setelah melakukan kegiatan olahraga tanpa jarang ada sabun antiseptiknya juga, dan mencuci tangan dengan sabun antiseptik juga males itu tadi hehe” Informan 4, 16 terlebih dahulu. Hal ini tidak baik untuk Tahun kesehatan tubuh, karena dapat “Yah rasa e sabun antiseptik yang ada di menyababkan sakit perut (diare) yang tidak sekolah itu rodok kurang meyakinkan gitu” di ingingkan. Informan 7, 17 Tahun. “Iya makan makanan ringan sih kayak Faktor Penguat, Pendorong, dan snack” Informan 3, 15 Tahun penghambat dalam cuci tangan pakai “Iya ko, aku beli nasi kadang hehe” sabun antiseptik Informan 4, 16 Tahun “Iya, aku beli roti kalo ngga yah makan Sebagian informan mengatakan nasi ato beli mie ayam hehe” Informan 8, bahwa aktivitas yang membuat tangan kotor 16 Tahun. menjadi pendorong untuk melakukan CTPS. Terdapat informan yang mengatakan Terdapat informan yang hanya sering sakit sehingga selalu mencuci kadang makan setelah olahraga atau bahkan tangan. tidak makan. “Kalo misal e tangan e kotor cuci tangan biar kalo misal e mau makan pake tangan biar ngga ada kuman yang masuk” Informan 2, 15 Tahun “Soal e kan aku sering sakit perut jadi e aku harus cuci tangan, sakit perut e mules mules gitu tapi bukan haid” Informan 3, 15 Tahun “Umm ya kalo kita habis melakukan sesuatu kan tangan e kotor ya jadi e cuci tangan” Informan 4, 16 Tahun

214 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 208-219 Hasil wawancara mendalam terkait Rahmawati (2012) tangan dengan kondisi denagan hambatan saat mencuci tanagn bersih dapat menghindarkan seseorang dari menggunakan sabun antiseptik lebih terjangkit penyakit diare, cacingan, mengarah ke malas dengan berbagai alasan penyakit kulit, Infeksi saluran pernafasan dan menganggap bahwa tangan mereka akut (ISPA) dan flu burung. tidak kotor meskipun setelah melakukan aktivitas. Secara kasap mata, tangan tidak Indikasi waktu untuk mencuci kotor maka mereka menganggap tangan tangan menurut Kemenkes RI (2013) yaitu mereka bersih. setiap kali tangan kita kotor, setelah BAB (buang air besar), sebelum memegang “Mikirnya ga kotor tangannya” Informan makanan, setelah bersin, batuk, membuang 2, 15 Tahun ingus, Setelah pulang dari bepergian dan “Makan chiki atau makan makanan yang Setelah bermain. Pada intinyaa aktifitas ada bungkusnya jadi ga perlu cuci tangan” yang dapat menimbulkan kotoran atau Informan 3, 15 Tahun. kuman menjdi waktu wajib untuk mencuci “Umm kalo kayak mungkin ngga lagi tangan. Temuan diatas tidak sesui dengan ngelakuin sesuatu no activity” Informan 4, perilaku CTPS yang dianjurkan oleh WHO. 16 Tahun. Menurut WHO (2008) langkah mencuci “Pemikiran kalo orang miskin ajah ngga tangan yang benar berjumlah 7 langkah. Langkah tersebu adalah basuh tangan cuci tangan ngga sakit gitu jadinya yah dengan air bersih yang mengalir, ratakan males buat cuci tangan” Informan 8, 16 sabun antiseptik dengan kedua telapak Tahun. tangan sebagai langkah awal. Selanjutnaya, gosok punggung tangan dan sela jari PEMBAHASAN tangan kiri dan tangan kanan, begitu pula sebaliknya. Ketiga, gosok kedua telapak Faktor Pendorong dan Pengetahuan dan sela - sela jari tangan, Keempat, jari - jari sisi dalam kedua tangan saling Berdasarkan hasil observasi tidak mengunci, Kelima, gosok ibu jari kiri terihat poster atau himbauan untuk berputar dalam genggaman tangan kanan melakukan CTPS dengan baik. Belum dan lakukan sebaliknya. Keenam, gosokkan adanaya program CPTS di lingkungan dengan memutar ujung jari-jari tangan sekolah membuat siswa-siswi kebingungan kanan di telapak tangan kiri dan sebaliknya. untuk menjawab pertanyaan wwancara dan Ketujuh, bilas kedua tangan dengan air terlhat dari pengetahuan siswa-siswi yang yang mengalir dan keingkan kurang Menurut (Notoatmodjo, 2003), Sebagian besar siswa-siswi pengetahuan dapat masuk dalam 6 mengatakan bawha CTPS mempunyai tingkatan, yaitu: Tahu, Memahami, manfaat terhadap kebersihan dan kesehatan Aplikasi, analisis Sintesis Evaluasi. Tingkat pada diri merekan. Manfaat yang dirasakan pengetahuan dari siswa-siswi SMAK Santa setelah melaukan CTPS membuat informan Agnes masuk dalam kategori tahu, karena berperilaku positif terhadap cuci tangan. dari hasil wawancara sebagian besar siswa Seseorang melakukan suatu perilaku akan hanya mengingat atau menjawab setahunya. mempertimbangkan menfaat yang didapat. Dapat dikatakan bahwa siswa-siswi SMAK Apakah perilaku tersebut memiliki manfaat santa Agnes hanya sekedar tahu. yang baik untuk dirinya sendiri atau tidak. Hasil wawancara menunjukkan Mencuci tangan menjadi salah satu siswa-siswi belum dapat menjelaskan apa cara preventif suatu penyakit yaitu dengan itu CTPS. Hal itu terlihat dari hasil jalan menghilangkan kuman penyakit yang wawancara yang menunjukkan jawaban menempel di bagian tangan yang yang kurang tepat pada pertanyaan jumlah mengakibatkan tangan bersih dan bebas langkah cuci tanagan. Dan siswa-siswi kuman. Menurut Proverawati dan

Eka Cipta Halim dan Oedojo Soedirham., Perilaku Cuci Tangan Di... 215 tidak dapat menyebutkan sebagian dari pada setiap individu tergantung daya seluruh waktu yang tepat untuk cuci tangan tangkap individu tersebut. Media tenpat yang dianjurkan oleh kemenkes. medapatkan informasi biasannya adalah buku, media massa, media elektronik, Menurut Tarwoto dan Wartonah poster, saodara atau petugas kesehatan. (2004) faktor yang berpengaruh terhadap Kegiatan kesehatan yang mendidik melalui seseorang untuk berperilaku CTPS adalah penyuluhan kesehatan dapat memberikan seberapa besar pengetahuan yang dimiliki. informasi dengan jangkauan yang luas , Guru memegang tanggung jawab penuh sehingga dapat menambah wawasan dan disekolah untuk mengajarkan perilaku pengetahaun. Diharapkan dengan menyatu CTPS di sekolah. Pengetahuan siswa dengan lingkungan sekitar seseorang dapat tentang mencuci tangan yang diperoleh dari memperoleh informasi tentang perilaku guru, diantaranya tentang waktu dan cara CTPS. mencuci tangan. Pengetahuan tersebut dapat di publikasikan tidak hanya saat jam Sikap mengajar namun juga memfasilitasi poster yang berisi anjuran untuk CTPS Sehingga Sikap merupakan reaksi tak terlihat, karena kurangnya pengetahuan dari tiap bersifat intagible,sebagai langkah untuk siswa-siswi tentang pengetahuan CTPS bersiapa atau bersedia untuk melakukan akan menyebabkan perilaku mencuci sesuatu. Sikap belum memunculkan suatu tangan siswa relatif kurang. tindakan yang nyata, namun hanya faktor pendorong dari suatu tindakan atau perilaku Berdasarkan hasil penelitian (Wawan dan Dewi, 2011). Sikap biasanya Risnawati (2016) pada masyarakat dengan diukur menggunakan dua cara yaitu secara tingkat pengetahuan terhadap perilaku langsung dan secara tidak langsung. CTPS termasuk tinggi, namun perilaku Menanyakan melalui kegiatan wawancara CTPS masuk dalam kategori rendah, untuk menggali pendapat seseorang sehingga pengetahuan belumtentu menjadi mengenai suatu objektermasuk kedalam faktor penentu masyarakat untuk pengukuran secara langsung. Penelitian ini berperilaku CTPS. Menurut wawan (2011) dilakukan dengan mewawancarai perilaku seseorang dengan pengetahuan tertentu CTPS informan dengan hasil sebagian besar tidak menjamin kalau dia akan berperilaku responden mendukung akan perilaku CTPS. sesuai dengan apa yang dia ketahui sebelum orang tersebut melewati tahap dari awal Sikap adalah bagain tervital dalam hingga akhir sampai dapat menerapkan psikologi sosial sesorang yang pengetahuan tersebut.. hal ini diperparah menerangkan respon sebagain individu dengan kondisi pengetahuan siswa-siswi ataupun kelompok. Menurut wawan dan yang rendah tentang CTPS. Dewi (2011) Studi terus dilakukan guna memperoleh rumusan yang tepat dan Pengetahuan yang dimilki seseorang mengikuti perkembangan jaman tentang dapat bersumber dari pendidikan formal pengertian, proses terbentuknya dan yang pernah dijalani, pengalaman yang perubahan dari sikap itu sendiri. Penelitian pernah dilalui, interaksi sosial dengan sering dilakukan untuk membuktian kaitan lingkungan sekitar dan akses informasi dari atau pengaruh antara sikap dalam media masa. Sebagian besar informan membentuk karakter seseorang, interaksi berpendapat mendapatkan terdapat mafaat dengan individu lain atau kelompok yang dari perilaku CTPS sehingga terbentuk menimbulkan berbagai pilihan sikap yang pengetahuan yang baik mengenai manfaat menyesuaikan dengan lingkungan serta perilaku CTPS dan bahaya apabila tidak perubahan yang mungkin terjadi (Wawan melakukan CTPS (KemenkesRI, 2014). ‘ dan Dewi, 2011). Lingkungan sekitar dimana setiap Hasil wawancara mendalam dan harinya menjadi temapt untuk beraktifitas observasi yang dilakukan menunjukkan memberikan pengalaman yang berbeda

216 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 208-219 bahwa siswa-siwi mempunyai sifat sikap Perilaku “malas dan tidak punya yang positif yaitu kecenderungan tidakan waktu untuk mencuci tangan” seperti alasan untuk mendekati menyatakan dan mengharap objek tertentu. Sikap dari informan tidak hanya bersumber dari Siswa-siswi yang berada dilingkungan pengetahuan dan keyakinan, tetapi juga sekolah sangatlah dipengaruhi oleh faktor “kecukupan waktu” yang secara pengalaman pribadi. Siswa-siswi berpendapat bahwa dengan muncuci tangan konsep merupakan faktor yang mereka dapat merasakan hasilnya sendiri memungkinkan untuk timbulnya perilaku tanpa perlu pengaruh dari luar untuk (Notoatmodjo, 2009). Menurut informan, membuktikan manfaat dari perilaku CTPS. mereka tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mencuci tangan pakai sabun Temuan studi ini menunjukkan antiseptik. Dasar pengetahuan yang kurang beberapa informan merasa rentan terhadap baik dan tidak didukung oleh waktu yang penyakit sehingga membuat informan cukup, maka akan mempengaruhi bersikap positif terhadap cuci tangan. Sikap terjadinya perilaku tidak cuci tanagan. positif ini belum memunculkan perilaku cuci tangan seperti yang diharapkan, yakni Temuan perilaku cuci tangan pakai pada waktu setelah olahraga. Sesuai dengan sabun antiseptik menunjukkan bahwa teori yang digunakan, ancaman (kerentanan sebagian besar informan tidak ada yang dan keparahan) yang dirasakan oleh siswa- menjalankan perilaku cuci tangan pakai siswi masih kurang.. Notoatmodjo (2010) sabun antiseptik setelah olahraga. Mencuci menyatakan bahwa terwujudnya suatu tangan sebelum dan sesudah makan tindakan bukan hanya akibat dari sikap dilakukan oleh sebagian besar informan, seseorang terhadap suat objek.sikap dapat namun tidak sama halnya setelah terwujud kedalam suatu tindakan melakukan olahraga yang dilanjutkan membutuhkan lingkungan yang menunjang makan. Perilaku para informan pelajar ini berupa fasilitas layak tidak konsisten dengan pengetahuan tentang waktu mencuci tangan yang menjadi Penilaian diambil melalui pendapat patokan Depkes RI (2009). Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek dalam hal informan yang tidak cukup tentang “cara” ini adalah masalah kesehatan khususnya perilaku cuci tangan pakai sabun antiseptik, cuci tangan pakai sabun antiseptik ternyata termasuk penyakit akibat tidak melakukan menghasilkan perilaku “, terus ga cuci CTPS yang dipernah dialami maupun hanya tangan pakai sabun antiseptik juga ngga ada sebatas pengetahuan adalah aspek yang masalah jadi yah ngga pake sabun masuk dalam penilaian sikap seseorang. antiseptik deh hehe”. Diharapkan informan dapat menggali pengalam yang pernah diaami, pengaruh Penelitian yang dilakukan oleh orang lain dan medai sosial terkait dengan Lindawati (2013) yang mengatakan bahwa perilaku CTPS, sehingga akan terlihat guru mempunyai kesempatan untuk bagaimana seseorang menilai atau bersikap mengarahkan perilaku anak didiknya terhadap perilakuk CTPS. Kombinasi dari disekolah melalui pembuatan aktivitas yang pengetahuan yang kurang dengan sikap dikemas menarik baik dalam jam sekolah yang mendukung perilaku CTPS. Hasilnya ataupun diluar jam sekolah yang dengan terlihat perilaku CTPS yang masih rendah tujuan agar para siswa memperhatikan. di SMAK Santa Agnes yang tidak sesuai Aktivitas yang dibuat oleh guru harus dapat dengan harapan kerena kurangnya menyalurkan perilaku CTPS yang baik dan kesadaran individu. benar karena perhatian siswa-siswi terhadap suatu hal dipengaruhi oleh guru, Perilaku lingkungan, orang tua, saudara dan teman bermainnya. Rabbi dan Dey (2013) menyatakan untuk mengatasi masalah kesenjangan antara pengetahuan dengan praktik CTPS

Eka Cipta Halim dan Oedojo Soedirham., Perilaku Cuci Tangan Di... 217 memerlukan usaha yang memakan waktu Didasari keyakinan menyangkut CPTS, lama sebagai langkah dalam perbaikan maka perilaku muncul menyesuaikan PHBS melalui CTPS. Program CTPS sudah keyakinan yang dimiliki informan. dicanangkan dalam kurun waktu yang lama, keyakinan akan kemampuan individu akan namun melihat fakta yang ada perilaku menggerakkan motivasi, kemampuan CTPS di lingkungan sekolah sangatlah kognitif, dan tindakan yang diperlukan rendah. Padahal sekolah merupakan tempat untuk memenuhi tuntutan situasi (Ghufron, membentuk karakter dari siswa-siswi yang 2014). Perlu disadari bahwa keyakinan ada didalamnya sehingga kegiatan promosi kecakapan diri adalah persepsi spesifik kesehatan dibidang CTPS secara rutin tentang kemampuan seseorang untuk dilakukan sebagai upaya peningkatan melakukan perilaku tertentu yaitu perilaku derajad kesehatan melalui kesadaran siswa- untuk melakukan CTPS. siswi untuk melakukan CTPS. Faktor Penguat Penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) tentang Faktor penguat yang terwujud usaha penurunan angka kejadian diare dan dalam sikap dan perilaku guru SMAK ISPA melaui peningkatan perilaku CTPS di Santa Agnes menjadi panutan bagi masyarakat. Tindakan yang dilakukan terbentuknya perilaku para siswa. Perlunya adalah melalui langkah CTPS yang telah dilakukan program promotif dan preventif dianjurkan oleh WHO. Tidakan tersebut kesehatan yang efektif melalui perilaku dilakukan untuk menghilangkan kuman dan CTPS di lingkungan sekolah. Pihak sekolah penyakit sehinga kejadian diare dan ISPA hendaknya lebih meningkatkan program dapat turun. Penelitian yang dilakukan oleh promosi kesehatan rutin dan membuat Risnawati (2016) menunjukkan bahwa hasil pelatihan bagi siswa terkait seperti, anggota yang lebih efektif dalam menghilangkan UKS, OSIS dan bidang lain yang terkait, kuman terlihat pada responden yang diharapkan terbentuk perilaku CTPS di melakukan cuci tangan menggunakan sabun kalangan sekolah dengan para anggota antiseptik dari pada hanya dengan air saja. UKS, OSIS dan bidang lain yang terikat Dalam penelitian ini sekolahan dan rumah menjadi contoh sekaligus mengajari di lingkungan sekitar sudah dilengkapi temannya. Diluar itu guru juga menjadi dengan cara CTPS yang baik. panutan bagi pasa siswa tentang perilaku hidup bersih dan sehat (Notoatmodjo, Faktor Pemungkin 2010). Faktor pemungkin yang terdapat di Penelitian ini menggunakan sekolah lingkungan sekolah, terdapatnya fasilitas dalam hali in SMAK Santa Agnes sebagai CTPS yang sudah baik dan layak untuk tempat observasi. Peran guru menjadi mendukung terciptanya perilaku CTPS. paling dominan dalam mengarahkan Hasil observasi menunjukkan fasilitas yang perilaku CTPS para siswa diluar minim dilingkungan sekolah. Terlihat dai penyuluhan oleh tenaga kesehatan jawaban informan yang tidak singkron setempat. Hasil observasi dan wawancara dengan hasil observasi. Meskipun sudah mendalam saat kegiatan olahraga terdapat sarana atau fasilitas CTPS pada berlangsung dan setelah selesai melakukan kenyataannya belum dapat merubah atau olahraga menunjukkan minimnya peran mendukung perilaku para siswa untuk guru sebagai penguat dari perilaku CTPS. bercuci tangan pakai sabun antiseptik di Perilaku telihat dari banyaknya siswa-siswi sekolah. yang tidak melakukan cuci tangan setelah olahraga. Temuan studi ini menunjukkan bahwa keyakinan dari siwa-siswi untuk melakukan CPTS sudah ada disertai dengan fasilitas memadai dari pihak sekolah.

218 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 208-219 SIMPULAN Later, Health Education Faktor Pendorong berupa Siswa- Quarterly;11:1-47. siswi memiliki pengetahuan yang kurang mengenai CTPS. Seluruh siswa-siswi hanya Kemenkes RI. 2010. Profil Kesehatan sebatas tahu tentang CTPS akan tetapi siswa-siswi tidak dapat menyebutkan Indonesia. Jakarta: Kementrian dengan benar terkait langkah cuci tangan yang baik dan benar sesuai dengan anjuran Kesehatan Republik Indonesia. dari WHO. Manfaat yang dirasakan oleh siswa-siswi terkait dengan CTPS yaitu Kemenkes, R.I. 2013. Profil Kesehatan menghilangkan kuman dan bakteri. Indonesia. Jakarta: Kementrian Sikap siswa-siswi mendukung jika CTPS merupakan hal yang baik dan Kesehatan Republik Indonesia. bermanfaat. Perilaku CTPS dilingkungan sekolah masih kurang meskitpu setelah Kemenkes, R.I. 2014. Profil Kesehatan melakukan aktifitas kotor berupa olahraga. Kebiasaan siswa-siswi terkait CTPS kurang Indonesia. Jakarta: Kementrian baik, dikarenakan siswa-siswi mengatakan bahwa saat hendak mengkonsumsi Kesehatan Republik Indonesia. makanan seharusnya melakukan CTPS terlebih dahulu. Akan tetapi setelah berolah Lestari, D. 2008. Metode Expository raga, siswa-siswi tersebut langsung mengkonsumsi makanan tanpa melakukan Teaching terhadap Perilaku CTPS, CTPS terlebih dahulu Universitas Katolik Soegijapranata, Faktor pemungkin agar siswa-siswi SMAK Santa Agnes dalam perilaku CTPS Semarang. adalah tersediannya fasilitas CTPS yang baik, namun masih belum memadai jika Lindawati. 2013. Faktor yang Berhubungan dilihat dari jumlahnya. Fator Penguat perilaku CTPS di SMAK Santa Agnes dengan Perkembangan Motorik adalah dukungan dari guru berupa motivasi. Anak Usia Pra Sekolah, Jurnal DAFTAR PUSTAKA Keperawatan, 4(1):1-7 Alfarisi, 2008. Pentingnya Menjaga kebersihan. Diakses 21 Desember Notoatmodjo. S. 2003. Pendidikan dan 2017. Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT DepKes RI. 2008. Panduan Manajemen PHBS Menuju Kabupaten/Kota Rineka Cipta Sehat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan DepKes RI. (2009). Panduan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Penyelenggaraan Cuci tangan pakai Cipta. sabun antiseptik Sedunia (HCTPS). Jakarta: Departemen Kesehatan RI Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Ghufron. 2014. Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. Penelitian Kesehatan. Jakarta: Janz, N.K. and Becker, M.H. 1984. The Health Belief Model A Decade Rineka Cipta. Proverawati A., Rahmawati E.. 2012. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Yogyakarta: Nuha Medika. Rabbi, E.S and Dey, N.C. 2013. Exploring the gap between handwashing knowledge and practice in Bangladesh, a cross-sectional comparative study, BMS Public Health. 13(89):2-7 Risnawati, G. 2016. Faktor Determinan Perilaku Cuci tangan pakai sabun antiseptik (CTPS) pada Masyarakat di Tanah Kali Kedinding. Jurnal Promkes, Juli 2016; 4:70-81. Tarwoto, Warwonah. 2004. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi ketiga. Jakarta : Salemba Medika. Timmreck, T. C. 2004. Epidemiologi Suatu Pengantar Edisi Kedua (Mulyana Fauziah). Jakarta: EGC.

Eka Cipta Halim dan Oedojo Soedirham., Perilaku Cuci Tangan Di... 219 Wawan A. and Dewi M. (2011). Teori dan Manusia. Yogyakarta: Nuha Pengukuran Pengetahuan, Sikap, Medika. WHO and Unicef. 2008. Progress on dan Perilaku Manusia. Cetakan II. Drinking and Sanitation. Geneva: Yogyakarta: Nuha Medika. Unicef & WHO. Wawan. 2011. Teori dan Pengukuran WHO. 2009. Guidelines on Hand Hygiene Pengetahuan, Sikap dan Perilaku in Healthcare. Geneva: WHO.

PENGARUH STATUS HUBUNGAN BERPACARAN TERHADAP PERILAKU PACARAN BERISIKO PADA MAHASISWA PERANTAU ASAL PAPUA DI KOTA SURABAYA Christine Ohee1), Windhu Purnomo2) 1, 2)Departemen Biostatistika dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Alamat Korespondensi: Christine Ohee Email: [email protected] ABSTRACT The quality of education in eastern part of Papua is still low so that many teenagers choose to go out the Papua for study.One of the factors of risky sexual behavior among adolescents students is wandered. The risky dating behavior of Papuan students in Surabaya is 76.7%. The purpose of this study is to analyze the impact of dating status with the risky dating behavior among Papuan origin students in Surabaya. This research is an observational analytic research with cross sectional design. The research population was 260 migrant college students from Papua. The research sample was 70 male and female college students. The independent variables of this research were age, sex, relationship status, intention of risky dating behavior, and knowledge level. The statistical analysis were using multiple logistic regression test with the significance level of 5%. The result of this research showed that relationship status influenced college students’ risky dating behavior (p = 0.001), while age, sex, intention of risky dating behavior and knowledge level did not influence college students’ risky dating behavior (p > 0.05). The conclusion of the research is the status of dating relationship has an effect on the risky courtship behavior of Papuan native students in Surabaya city. Therefore, students are advised not to date during the study period. Keywords : influence, dating risky behavior, wandering college students, dating status. ABSTRAK Kualitas pendidikan di daerah timur Indonesia khususnya Provinsi Papua masih sangat kurang sehingga banyak remaja yang memilih untuk merantau ke luar Pulau untuk melanjukan studi. Merantau menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual berisiko pada remaja khususnya mahasiswa. Demikian pula perilaku pacaran berisiko mahasiswa perantau asal Papua di Kota Surabaya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh status hubungan berpacaran terhadap perilaku pacaran berisiko pada mahasiswa perantau asal Papua di Kota Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancang cross sectional. Populasi penelitian adalah 260 mahasiswa perantau asal Papua. Sampel penelitian sebesar 70 mahasiswa laki- laki dan perempuan. Variabel bebas penelitian ini adalah, usia, jenis kelamin, status hubungan, niat perilaku pacaran berisiko, dan tingkat pengetahuan. Analisis statistik menggunakan uji regresi logistik ganda dengan tingkat signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status hubungan (p = 0,001) mempengaruhi perilaku pacaran berisiko mahasiswa, sedangkan usia, jenis kelamin, niat perilaku pacaran berisiko, dan tingkat pengetahuan tidak mempengaruhi perilaku pacaran berisiko mahasiswa (p > 0,05). Kesimpulan dari penelitian adalah status hubungan berpacaran berpengaruh terhadap perilaku pacaran berisiko mahasiswa perantau asal Papua di Kota Surabaya. Mahasiswa disarankan untuk tidak berpacaran selama masa studi. Kata kunci : pengaruh, status hubungan pacaran, perilaku pacaran berisiko, mahasiswa perantau PENDAHULUAN tingginya populasi bangsa Indonesia. Remaja dimulai dari saat SMP/sederajat, Remaja adalah penduduk dalam SMA/Sederajat, hingga perguran tinggi. rentang usia 10-19 tahun (WHO). Terdapat Mayoritas remaja yang lulus dari Sekolah 43,5 juta atau sekitar 18% remaja usia 10- Menengah Atas atau sederajat memilih 19 tahun dari jumlah penduduk total di untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Indonesia (Sensus Penduduk, 2010). yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi. Remaja merupakan salah satu penyumbang Mahasiswa adalah seseorang yang sedang ©2018 IJPH. License doi: 10.20473/ijph.vl13il.2018.268-280 Received 2 May 2018, received in revised form 26 May 2018 , Accepted 28 May 2018 , Published online: December 2018

Christine Ohee dan Windhu Purnomo, Pengaruh Status Hubungan Berpacaran... 269 dalam proses menimba ilmu ataupun Berdasarkan hasil survei kesehatan belajar dan terdaftar sedang menjalani reproduksi remaja, remaja Indonesia pendidikan pada salah satu perguruan pertama kali pacaran pada usia 15-17 tinggi yang terdiri dari akademik, tahun. sekitar 33,3% remaja perempuan politeknik, sekolah tinggi, institut dan dan 34,5% remaja laki-laki yang berusia universitas (Hidayangsih, 2014). 15-19 tahun mulai berpacaran pada saat Perguruan tinggi yang berkualitas menjadi mereka belum berusia 15 tahun. 92% pilihan utama bagi pelajar yang tamat remaja berpegangan tangan saat pacaran, sekolah menengah atas. Bukan hanya 82% berciuman, 63% rabaan petting. kualitas yang dilihat, letak geografis perilaku-perilaku tersebut kemudian wilayah suatu perguruan tinggi juga memicu remaja melakukan hubungan menjadi faktor pertimbangan dalam seksual (Riskesdas, 2013). Di Indonesia pemilihan perguruan tinggi. Banyak 62,7% remaja sudah pernah melakukan mahasiswa perantau yang berasal dari luar hubungan seksual dengan lawan jenisnya kota yaitu dari Sabang sampai Merauke dan 21% dari remaja yang hamil diluar memilih Kota Surabaya untuk berkuliah. nikah pernah melakukan aborsi (Survei Terdapat 500 putra-putri asli Papua yang oleh KPAI dan Kemenkes Tahun 2013). mendpatkan beasiswa setiap tahunnya Hasil Survei Demografi dan Kesehatan untuk melanjutkan pendidikan di 10 Indonesia (SDKI) 2012 menyatakan terjadi Universitas di Pulau Jawa (DIKTI/ADIK, peningkatan hubungan seks pranikah pada 2015). Universitas yang berada di Jawa remaja usia 15-24 tahun dibanding tahun- Timur khususnya Kota Surabaya yang tahun sebelumnya. Hubungan seksual menjadi pilihan beasiswa ADIK yaitu terbanyak dilakukan pada remaja usia 20- Universitas Airlangga, Universitas Negeri 24 tahun sebesar 9,9%, dan 2,7% pada usia Surabaya, dan Institute Sepuluh 15-19 tahun. Salah satu faktor penyebab November. Sampai tahun 2015, beasiswa hubungan seks pra nikah adalah perilaku ADIK sudah diberikan kepada 1487 pacaran remaja. Menurut Survei Kesehatan mahasiswa, yakni 1218 mahasiswa yang Reproduksi Remaja (SKRRI) 2012 sedang menempuh pendidikan tinggi di 39 menunjukkan 28% remaja pria dan 27% PTN Luar Papua dan 269 mahasiswa remaja wanita menyatakan bahwa mereka sedang berkuliah di Papua. Slain penerima memulai berpacaran sebelum berumur 15 beasiswa, banyak mahasiswa yang berada tahun, sedangkan menurut SKRRI tahun di perguruan tinggi di Kota Surabaya 2007 hanya 19% remaja pria dan 24% dengan biaya sendiri atau tanggungan remaja wanita memulai berpacaran orang tua sebelum berumur 15 tahun. 30% remaja pria dan 6% remaja wanita melakukan Remaja cenderung memilih untuk aktivitas meraba/merangsang bagian tubuh berpacaran ketika berada di bangku yang sensitif pada saat pacaran. Survei perkuliahan, demikian pula dengan Indikator Kinerja Rencana Pembangunan mahasiswa yang merantau. Perilaku Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pacaran mahasiswa perantau dapat tahun 2014 menunjukan terdapat 77% dipengaruhi oleh kebebasan saat merantau. remaja pria dan 76% remaja wanita pernah Perilaku pacaran yang dimaksud adalah berpacaran dan 5,6% diantara remaja perilaku pacaran yang berisiko dan yang tersebut telah melakukan hubungan tidak berisiko. Kebebasan yang dimaksud seksual sebelum nikah, angka ini lebih adalah kurang mendapat pengawasan tinggi dibanding tahun 2013 yaitu 3,6% langsung dari orang tua, kebebasan dalam dan tahun 2012 yaitu 2,5% (Riskesdas, memilih teman dan lingkungan, dan juga 2013). bebas menjalin hubungan asmara bersama lawan jenis. Data mengenai perilaku pacaran berisiko pada remaja di Indonesia juga

270 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 268-280 merujuk pada remaja di Provinsi Papua. menudukung untuk dilakukan penelitian Perilaku pacaran berisiko pada remaja dengan judul pengaruh status hubungan Papua juga tinggi, hal ini dapat dilihat dari berpacaran terhadap perilaku pacaran dampak perilaku pacaran berisiko remaja berisiko pada mahasiswa perantau asal Papua yaitu Papua menjadi provinsi Papua di Kota Surabaya. dengan penderita HIV/AIDS tertinggi di Indonesia. Data Kementrian Kesehatan METODE PENELITIAN hingga September 2014, menunjukkan jumlah kumulatif HIV dan AIDS di Papua Penelitian ini merupakan penelitian masing-masing 16.051 dan 10.184 kasus. dengan metode kuantitatif, dengan jenis Fenomena ini bukanlah hal yang penelitian analitik. Rancang bangun mengherankan mengingat kondisi penelitian dengan menggunakan rancangan geografis Papua yang cukup jauh sehingga cross sectional karena data variabel akses pendidikan di Papua sangat terbatas. independen dan variabel dependen Namun, melalui usaha dan kerja keras dikumpukan dalam kurun waktu yang pemerintah untuk mengurangi angka bersamaan dan dilakukan hanya satu kali. HIV/AIDS di Papua melalui program- (Angket, 2008). Populasi penelitian ini program penyuluhan tentang pentingnya yaitu seluruh mahasiswa perantau asal kesehatan terutama kesehatan seksual, Papua yang sedang berkuliah di Kota penularan HIV/AIDS di Papua mulai Surabaya yang berdomisili di wilayah menurun. Data Komisi Penanggulangan kota Surabaya Timur yang berjumlah 260 AIDS Nasional menyebutkan, prevalensi orang, pada penelitian ini terdapat batasan penularan HIV/AIDS di Papua turun usia yaitu mahasiswa yang berusia 18 menjadi 2,3 persen pada 2013 dari tahun sampai dengan usia 21 tahun, karena pendataan terakhir 2007 yang mencapai merujuk pada pengertian remaja menurut 2,4 persen (Lestary, 2014). Penelitian Giay Badan Kependudukan dan Keluarga (2017) mengenai perilaku seksual Berencana Nasional (BKKBN), mahasiswa mahasiswa Papua di Kota Surabaya yang diteliti hanya mahasiswa yang sedang menyatakan bahwa proporsi responden berpacaran atau mahasiswa yang pernah laki-laki yang melakukan perilaku seksual berpacaran selama masa studi. berisiko sebesar 63,3% dan responden perempuan sebesar 34,8%. Penelitian ini menggunakan data yang tercatat oleh Ikatan Pelajar dan Hasil penelitian yang telah Mahasiswa Papua di Kota Surabaya. Data diuraikan diatas menjadi dasar penelitian yang tercatat hanya berupa jumlah pelajar ini, yaitu perilaku seksual mahasiswa, dan mahasiswa asal Papua di Kota khususnya mahasiswa asal Papua di Kota Surabaya. Lokasi penelitian di lakukan di Surabaya. Selain data yang ada, penelitian kota Surabaya, khususnya wilayah ini diperkuat dengan adanya studi Surabaya Timur. Pengumpulan data pendahuluan dengan metode observasi penelitian dilakukan selama 4 minggu yang dilakukan pada bulan Oktober 2108 yaitu pada tanggal 20 Agustus hingga pada menunjukkan bahwa perilaku pacaran tanggal 22 September 2017. Sedangkan remaja di Papua mengakibatkan tingginya pengumpulan data lainnya akan dilakukan KTD di Papua, pernikahan dini, dan selama kurang lebih satu bulan sampai tingginya angka HIV/AIDS di Provinsi seluruh data yang dibutuhkan dalam Papua. Observasi selama penelitian juga penelitian ini terpenuhi. menunjukkan tingginya perilaku seksual berisiko pada mahasiswa dan ada lebih Besar sampel pada penelitian ini dari satu kasus mahasiswa Papua ditentukan dengan rumus, Lemeshow mengalami kehamilan yang tidak (1991) yakni sebagai berikut: diinginkan (KTD). Demikian hal tersebut

Christine Ohee dan Windhu Purnomo, Pengaruh Status Hubungan Berpacaran... 271 (������1− ������)2������(1 − ������)������ HASIL ������ = 2 Responden dalam penelitian ini ialah mahasiswa/i perantau asal Papua ������2(������ − 1) + (������1− ������ )2������(1 − ������) yang sedang berkuliah di Kota Surabaya 2 yang berdomisili di Wilayah Kecamatan Mulyorejo, Kecamatan Gubeng, Berdasarkan rumus pengambilan Kecamatan Tambaksari dan Kecamatan besar sampel di atas, maka dapat dihitung Sukolilo. Mahasiswa/i yang menjadi besar sampel sebagai berikut: responden merupakan remaja akhir yang ber-usia 18–21 tahun dan yang telah (������1− ������)2������(1 − ������)������ memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti. Jumlah subyek ������ = 2 penelitian. ini sebanyak 70 orang. Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa ������2(������ − 1) + (������1− ������ )2������(1 − ������) terdapat 70 responden mahasiswa yang 2 terdiri dari 50% mahasiswa laki-laki dan 50% perempuan dengan tingkat ������ pendidikan yang sama yakni 100% mahasiswa perantau asal Papua sedang (1,96)20,40(1 − 0,40)260 menempuh studi pada jenjang Sarjana (S1) = (0,1)2(260 − 1) + (1,96)20,40(1 − 0,40) pada tahun 2017. Usia responden minimal 18 tahun (11,4%) dan maksimal 21 tahun ������ = 68,25 ≈ 70 orang (50%). Sebagian besar mahasiswa yang sedang berpacaran dan berada di Kota Berdasarkan perhitungan rumus yang sama (65,7%), berpacaran jarak jauh tersebut, maka didapatkan besar sampel (15,7%) dan yang tidak sedang berpacaran minimal 70 mahasiswa perantau asal (18,6%). Variabel status hubungan Papua yang berusia kurang dari sama berpacaran mempermudah penelitian yaitu dengan 21 tahun yang sedang berpacaran untuk mengetahui kemungkinan responden atau pernah berpacaran selama masa studi melakukan pacaran berisiko, juga untuk di Kota Surabaya. melihat ada tidaknya hubungan antara status hubungan berpacaran dengan Pengambilan sampel dalam perilaku pacaran berisiko. penelitian ini menggunakan teknik sampel acak sederhana atau simple random Sebaran karakteristik responden sampling, teknik ini memperhatikan penelitian pada perilaku pacaran berisiko kerangka sampel yang dapat membedakan mahasiswa perantau asal Papua yang antara subyek penelitian yang satu dengan berada di wilayah Kota Surabaya Timur lainnya. Data yang telah terkumpul dapat dilihat pada Tabel 1. sebagai berikut berdasarkan hasil data primer penilitian : diolah menggunakan aplikasi komputer dengan program statistik. Uji statistik yang Berdasarkan Tabel 1. diketahui digunakan yaitu uji regresi logistik bahwa terdapat 70 responden mahasiswa sederhana (simple logistic regression) yang yang terdiri dari 50% mahasiswa laki-laki digunakan untuk menyeleksi kandidat dan 50% perempuan dengan tingkat regresi logistik ganda yang akan diuji. pendidikan yang sama yakni 100% Variabel independen yang menjadi mahasiswa perantau asal Papua sedang kandidat (p kurang dari 0,25) akan diuji menempuh studi pada jenjang Sarjana (S1) kembali dengan uji statistik regresi logistik pada tahun 2017. Usia responden minimal ganda (multiple logistic regression) secara 18 tahun (11,4%) dan maksimal 21 tahun bersamaan sehingga dapat diketahui (50%). Sebagian besar mahasiswa yang variabel independen yang berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu status hubungan terhadap perilaku pacaran berisiko mahasiswa perantau asal Papua di Kota Surabaya.

272 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 268-280 berdomisili di Wilayah Timur Kota Variabel Usia Surabaya tinggal di kos (71,4%) yaitu kos putra atau kos putri yang memiliki aturan Variabel usia responden dan bukan kos bebas, sedang sisanya dikategorikan berdasarkan kategori usia bertempat tinggal di Kos Campur (14,3%) remaja, dimana remaja akhir dimulai pada atau kos bebas tanpa aturan, Asrama usia 18-21 tahun, dan merupakan usia (7,1%) dan Kontrakan (7,1%). Penelitian mahasiswa sarjana pada umumnya. perilaku pacaran berisiko pada mahasiswa Sebaran proporsi berdasarkan usia perantau asal Papua membutuhkan salah terhadap perilaku pacaran berisiko satu karakteristik yaitu status hubungan, mahasiswa dapat dilihat pada Tabel 2 status hubungan dalam penelitian ini untuk sebagai berikut; mengetahui kemungkinan responden melakukan pacaran berisiko, dan juga Tabel 2. Distribusi Perilaku Pacaran melihat ada tidaknya hubungan antara Berisiko Berdasarkan Usia status hubungan dengan pacaran berisiko. Mahasiswa Perantau Asal Sebagian besar mahasiswa yang sedang Papua di Kota Surabaya berpacaran dan berada di Kota yang sama (65,7%). Berdasarkan hasil distribusi pada Tabel 2 diketahui bahwa proporsi Tabel 1. Distribusi Variabel Independen responden di masing-masing usia yang dan Variabel Dependent melakukan pacaran berisiko yaitu usia 18 Perilaku Pacaran Berisiko pada tahun (62,5%), 19 tahun (83,3%), 20 tahun Mahasiswa Perantau Asal Papua (73,3%), dan usia 21 tahun (71,4%). di Kota Surabaya Proporsi tertinggi remaja melakukan pacaran berisiko yaitu pada usia 21 tahun, Variabel Jumlah (n = dikarenakan 25 (71,4%) dari 35 (100%) 70) mahasiswa pada usia 21 tahun telah Usia N% melakukan pacaran berisiko. Sedangkan 18 tahun proporsi terendah mahasiswa melakukan 19 tahun 8 11,4 pacaran berisiko terdapat pada 18 tahun 20 tahun 12 17,1 yaitu 5 (62,5%) dari 8 (100%) usia 18 21 tahun 15 21,4 tahun yang melakukan pacaran berisiko. 35 50,0 Berdasarkan hasil distribusi dapat Jenis Kelamin disimpulkan bahwa risiko mahasiswa Laki- laki 35 50,0 melakukan pacaran berisiko terdapat pada Perempuan 35 50,0 usia 21 tahun. Mahasiswa yang berusia 21 tahun sudah masuk pada masa remaja Status Hubungan 46 65,7 akhir, yaitu masa menuju dewasa. Masa Berpacaran 13 18,6 dimana remaja merasa bahwa diri mereka Tidak Berpacaran 11 15,7 sudah mampu bertanggungjawab dengan Pacaran Jarak Jauh diri mereka sendiri. Pada usia ini juga 51 72,9 remaja telah melalui banyak pengalaman, Perilaku Pacaran 19 27,1 memiliki banyak pengetahuan dan Berisiko Tidak Berisiko 35 50,0 29 41,4 Niat Perilaku Pacaran 6 8,6 Berisiko 1 1,4 Rendah 15 21,4 Sedang 54 77,1 Tinggi Tingkat Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi

Christine Ohee dan Windhu Purnomo, Pengaruh Status Hubungan Berpacaran... 273 kemampuan. Sehingga hal ini juga Variabel Status Hubungan berdampak pada perilaku pacaran remaja usia 21 tahun. Remaja pada usia ini Variabel status hubungan cenderung memiliki keinginan seksual dikategorikan menjadi tiga yatu berpacaran yang lebih tinggi sehingga dapat memicu atau mahasiswa yang sedang menjalin remaja melakukan perilaku pacaran relasi dengan lawan jenis dan berada di berisiko. kota yang sama yaitu Kota Surabaya selama masa studi, tidak berpacaran yaitu Variabel Jenis Kelamin mahasiswa yang sedang tidak berpacaran namun pernah berpacaran selama masa Variabel jenis kelamin responden studi, dan pacaran jarak jauh yaitu dikategorikan menjadi laki-laki dan mahasiswa ang sedang menjalin relasi perempuan. Sebaran reponden berdasarkan dengan lawan jenis namun berada di kota jenis kelamin terhadap perilaku pacaran yang berbeda. Sebaran responden berisiko mahasiswa dapat dilihat pada berdasarkan status hubungan responden Tabel 3 sebagai berikut. terhadap perilaku pacaran berisiko mahasiswa perantau asal Papua dapat Tabel 3. Distribusi Perilaku Pacaran dilihat pada Tabel 4. Berisiko Berdasarkan Jenis Kelamin Mahasiswa Perantau Tabel 4. Distribusi Perilaku Pacaran Asal Papua di Kota Surabaya Berisiko Berdasarkan Status Hubungan Mahasiswa Perantau Asal Papua di Kota Surabaya Berdasarkan hasil distribusi pada Berdasarkan hasil distribusi pada Tabel 3 diketahui bahwa proporsi Tabel 4 diketahui bahwa proporsi responden yang berperilaku pacaran responden yang melakukan pacaran berisiko dengan jenis kelamin laki-laki berisiko dengan status sedang berpacaran (74,3%) sedang yang berjenis kelamin (93,5), yang tidak berpacaran dan perempuan (71,4%). Perbandingan melakukan pacaran berisiko (30,8%), dan perilaku pacaran berisiko berdasarkan jenis yang melakukan pacaran berisiko dengan kelamin tidak terlalu jauh, meski proporsi pacaran jarak jauh (36,4%). Artinya bahwa laki-laki lebih banyak yang melakukan mahasiswa perantau asal Papua yang perilaku pacaran berisiko dibanding sedang berpacaran lebih banyak perempuan. Jenis kelamin laki-laki lebih melakukan pacaran berisiko, sehingga berisiko melakukan perilaku pacaran status berpacaran berisiko terhadap berisiko dibanding jenis kelamin perilaku pacaran. Hal ini sejalan dengan perempuan. Hal ini juga sejalan dengan pengamatan peneliti saat melakukan observasi peneliti selama melakukan pengumpulan data yakni banyak pengumpulan data yang menunjukkan mahasiswa perantau asal Papua yang bahwa laki-laki lebih berani menunjukkan bahwa mereka sering melakukan perilaku pacaran berisiko, dan tidak malu mengakui hal tersebut.

274 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 268-280 belum menikah tinggal bersama pasangan dengan niat tinggi hanya 5 orang (83,3%). mereka. Sehingga niat perilaku pacaran berisiko seharusya tidak mempengaruhi perilaku Variabel Niat Perilaku Pacaran pacaran berisiko pada mahasiswa perantau asal Papua di Kota Surabaya. Tetapi hal ini Variabel niat perilaku pacaran ini berbanding terbalik dengan kenyatan dikategorikan berdasarkan niat responden bahwa mahasiswa perantau asal Papua melakukan hubungan seksual dengan memiliki tingkat perilaku pacaran berisiko pasangan. Niat perilaku pacaran di lihat yang tinggi yaitu 72,9%. dari faktor yang mendorong responden ingin melakukan hubungan seksual, Variabel Tingkat Pengetahuan sehingga niat perilaku pacaran tinggi ketika banyak responden yang ingin Variabel tingkat pengetahuan melakukan hubungan seksual dengan responden dikategorikan menjadi tingkat pasangan dan rendah jika sedikit yang pengetahuan kurang, tingkat pengetahuan ingin melakukan hubungan seksual dengan sedang dan tingkat pengetahuann baik. pasangan mereka. Semakin banyak alasan Sebaran perilaku pacaran berisiko yang mendorong responden melakukan berdasarkan tingkat pengetahuan pada hubungan seksual dengan pasangan mahasiswa perantau asal Papua dapat menunjukan semakin tinggi niat perilaku dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut. pacaran yaitu pacaran berisiko pada responden. Sebaran responden berdasarkan Tabel 6. Distribusi Perilaku Pacaran niat perilaku pacaran terhadap perilaku pacaran berisiko pada mahasiswa perantau Berisiko Terhadap Tingkat asal Papua dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut. Pengetahuan Mahasiswa Perantau Asal Papua Tabel 5. Distribusi Perilaku Pacaran Berisiko Berdasarkan Niat Perilaku Pacaran Berisiko Mahasiswa Perantau Asal Papua di Kota Surabaya Berdasarkan hasil distribusi pada Berdasarkan hasil distribusi pada Tabel. 5 diketahui bahwa proporsi Tabel 6 diketahui bahwa proporsi responden perilaku pacaran berisiko responden yang pacaran berisiko dengan dengan niat pacaran sedang (89,7%) lebih tingkat pengetahuan tinggi (75,9%) lebih banyak dibanding proporsi perilaku banyak dari pada proporsi responden pacaran berisiko responden dengan niat dengan tingakat pengetahuan sedang tinggi (83,3%) dan niat rendah (57,1%). (60%) dan kurang (100%%). Dapat Mahasiswa perantau asal Papua tidak disimpulkan bahwa mahasiswa memiliki memiliki niat untuk berperilaku pacaran pengetahuan yang baik mengenai berisiko, hal ini dilihat dari hasil distribusi seksualitas dan perilaku pacaran. Hasil yang menunjukkan bahwa mahasiswa distribusi menunjukan bahwa hanya 1 responden yang memiliki pengetahuan rendah dan memiliki perilaku pacaran yang berisiko, sehingga semakin tinggi tingkat pengetahuan maka semakin baik perilaku pacaran mahasiswa. Namun, berdasarkan hasil distribusi responden

Christine Ohee dan Windhu Purnomo, Pengaruh Status Hubungan Berpacaran... 275 dengan tingkat pengetahuan tinggi juga Uji regresi logistik ganda yang memiliki perilaku pacaran yang berisiko. digunakan dalam pemilihan model, variabel yang menjadi kandidat Hasil Uji Statistik berdasarkan uji regresi logistik sederhana dimasukkan semua ke dalam regresi Variabel independen yang diteliti logistik ganda dengan metode akan diseleksi berdasarkan uji regresi mengeliminasi secara bertahap variabel logistik sederhana untuk memperoleh yang signifikansinya terbesar (Backward variabel kandidat regresi logistik gana. LR) hingga diperoleh model terbaik. Hasil Hasil dari seleksi kandidat akan diuji uji regresi logistik ganda dapat dilihat pada berdasarkan uji regresi logistik ganda dan tabel 8 sebagai berikut. memperoleh model terbaik dalam menetukan determinan yang berpengaruh Tabel 8. Hasil Uji Regresi Logistik Ganda terhadap perilaku pacaran berisiko pada Berdasarkan Variabel Dependen mahasiswa perantau asal Papua di Kota dengan Variabel Independen Surabaya. Hasil seleksi kandidat regresi logistik ganda berdasarkan uji regresi Uji regresi logistik ganda logistik sederhana ditampilkan pada Tabel merupakan uji statistik yang digunakan 7, sebagai berikut; untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku pacaran berisiko Tabel 7. Hasil Seleksi Kandidat Regresi pada mahasiswa perantau asal Papua di Logistik Ganda Berdasarkan Uji Kota Surabaya. Berdasarkan hasil uji Regresi Logistik Sederhana regresi logistik ganda menunjukan bahwa variabel independen yang terbukti secara Variabel ������ Keterangan statistik signifikan (p kurang dari 0,05) Independen 0,000 mempengaruhi perilaku pacaran berisiko Status 0,249 Kandidat pada mahasiswa perantau asal Papua di Hubungan 0,788 Kota Surabaya adalah status hubungan, Niat Perilaku 0,621 Kandidat sedangkan variabel independen lainnya Pacaran 1,000 yaitu usia, jenis kelamin, niat perilaku Bukan pacaran berisiko, tingkat pengetahuan Jenis kelamin Kandidat tidak mempengaruhi perilaku pacaran Bukan berisiko pada mahasiswa perantau asal Usia Kandidat Papua di Kota Surabaya. Status hubungan Bukan yaitu status hubungan berpacaran. Status Tingkat Kandidat mahasiswa perantau asal Papua yang Pengetahuan sedang berpacaran memiliki risiko terhadap perilaku pacaran berisiko pada Berdasarkan tabel diatas remaja. Sedang status sedang tidak berpacaran tidak memiliki perngaruh menunjukan bahwa variabel independen terhadap perilaku pacaran berisiko pada mahasiswa perantau asal Papua di Kota yang masuk kandidat regresi logistik Surabaya.Variabel independen yang secara ganda (p kurang dari 0,25) adalah status hubungan dan niat perilaku pacaran berisiko, sedangkan variabel lain yaitu usia, jenis kelamin, jenis tempat tinggal, peran orang tua, dan kepercayaan terhadap pasangan dinyatakan tidak berpengaruh terhadap perilaku pacaran berisiko pada mahasiswa perantau asal Papua karena nila p lebih dari 0,25.

276 The Indonesian Journal of Public Health, Vol 13, No 2 Desember 2018: 268-280 statistik signifikan mempengaruhi perilaku pacaran berisiko pada mahasiswa perantau pacaran berisiko pada mahasiswa perantau asal Papua yaitu status hubungan. Variabel asal Papua di kota Surabaya. status hubungan mahasiswa perantau asal Papua memiliki nilai p sebesar 0,001 yang Kemungkinan mahasiswa melakukan mana lebih besar dari 0,05 dengan nilai koefisien sebesar 22,933, yang berarti perilaku pacaran berisiko dengan status risiko mahasiswa melakukan pacaran berisiko yang sedang berpacaran sebesar berpacaran sebesar 25,083 kali lebih besar 22,933 kali dari pada mahasiswa yang sedang tidak berpacaran. dibandingkan dengan mahasiswa yang PEMBAHASAN memiliki perilaku pacaran berisiko dengan Sebanyak 70 mahasiswa yang status tidak berpacaran dan pacaran jarak menjadi responden dalam penelitian ini dan memiliki karakterisik sebagian besar jauh. sedang berpacaran, karakteristik pacaran yang ditunjukkan oleh mahasiswa yaitu Pacaran menjadi awal mula karakteristik pacaran bereiko yakni berciuman, melakukan gigitan cinta perilaku seksual seperti kissing, necking, (cupang), saling meraba-raba organ sensitif pasangan, saling menggesekan petting, dan intercourse. Paul dan White kemaluan pada pasangan (petting), memasturbasi/dimasturbasi dan melakukan mengatakan bahwa pacaran di masa hubungan seksual. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sekarrini (2012) remaja merupakan bagian dari proses yang mengkatergorikan perilaku seksual pada remaja menjadi dua yaitu perilaku sosialisasi, mempelajari keakraban dan seksual ringan dan perilaku seksual berat. Perilaku seksual ringan diantaranya yaitu memberi kesempatan untuk menciptakan mengobrol, nonton film, pegangan tangan, jalan-jalan, pelukan, sampai cium pipi, relasi bermakna dan unik dengan lawan sedang perilaku seksual berat atau berisiko yaitu ciuman bibir, ciuman mulut, ciuman jenis, serta menjadi konteks untuk leher, meraba bagian tubuh sensitif, petting, masturbasi dan intercourse. melakukan eksperimen dan eksplorasi Karakteristik lain pada responden diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan seksual (Setiawan, 2008). perempuan, memiliki pengetahuan tinggi tentang perilaku pacaran berisiko, Hal ini sejalan dengan Data Survei memiliki niat untuk melakukan perilaku pacaran berisiko (Harefa, 2013). Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia Hasil penelitian menunjukkan (SKRRI) tahun 2007 Pengalaman bahwa terdapat satu variabel independen yang mempengaruhi perilaku pacaran berpacaran remaja di Indonesia cenderung berisiko pada mahasiswa perantau asal Papua yaitu status hubungan. Hasil semakin berani dan terbuka. Remaja mulai penelitian menunjukkan bahwa status hubungan berpengaruh terhadap perilaku berpegangan tangan, berciuman dan meraba/merangsang. Dalam survei juga diungkap 1% remaja perempuan dan 5% remaja laki-laki usia 15-24 tahun menyatakan pernah melakukan hubungan seksual pranikah, hasil tersebut juga menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku pacaran berisiko adalah mempunyai teman yang sedang berpacaran dan pengaruh teman yang pernah melakukan hubungan seksual dengan pacar (Umaroh, 2015). Selain hai tersebut, hasrat seksual seseorang juga mempengaruhi terjadinya hubungan seksual. Menurut Sumiatin (2017) hasrat untuk melakukan hubungan seksual adalah timbulnya minat melakukan hubungan seksual. Hasrat seksual dapat timbul apabila tidak terjadi hambatan selesa seksual, hambatan gairah seksual, dan hambatan orgasme. Hasrat melakukan hubungan seksual dapat muncul kapan saja dan dimana saja. Keimanan seseorang juga mempengaruhi seseorang untuk mengendalikan hasrat seksual. Dalam

Christine Ohee dan Windhu Purnomo, Pengaruh Status Hubungan Berpacaran... 277 penelitian Suwarni (2015) menyatakan berisiko pada mahasiswa perantau asal bahwa iman yang lemah tidak dapat Papua di Wilayah Timur Kota Surabaya. menolong remaja untuk menahan nafsu Hal ini sejalan dengan penelitian yang seksualnya. Kematangan iman seseorang dilakukan oleh Muliyati (2012) bahwa menolong dirinya untuk menahan perilaku tidak ada hubungan yang signifikan antara seksual yang progresif dan memunculkan jenis kelamin dengan perilaku pacaran rasa bersalah apabila melewati batas berisiko. Penelitian yang dilakukan oleh tertentu dalam perilaku seksual. Sekarrini (2012) juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara Kategori usia pada penelitian ini jenis kelamin dengan perilaku pacaran diukur berdasarkan definisi remaja berisiko pada remaja. Pada penelitian ini menurut BKKBN yaitu remaja adalah faktor yang memungkinkan tidak adanya seseorang yang belum menikah dan pengaruh yang signifikan antara jenis berusia 10-21 tahun. Responden dalam kelamin dan perilaku pacaran berisiko penelitian ini merupakan mahasiswa pada adalah status berpacaran, dimana tahap remaja akhir yaitu 18-21 tahun. responden merupakan mahasiswa yang Masa remaja merupakan masa dimana sedang berpacaran, hingga perilaku seseorang mengalami perubahan baik pacaran berisiko dilakukan dengan secara fisik maupun psikis, fase persiapan pasangan mereka, yakni antara laki-laki menjadi dewasa. Kenyataan dilapangan dan perempuan. Dimana pasangan laki- menunjukkan bahwa terdapat mahasiswa laki melakukan aktivitas seksual yang yang menganggap diri mereka sudah mulai diresponi oleh perempuan, sehingga baik dewasa dan mandiri, hingga tidak laki-laki maupun perempuan, sama-sama mempertimbangkan usia dalam melakukan menunjukkan perilaku seksual berisiko. segala hal. Sehingga usia tidak Hal ini sejalan dengan penelitian yang berpengaruh terhadap perilaku pacaran dilakukan oleh Muliyati (2012) bahwa mahasiswa, baik perilaku pacaran berisiko tidak ada hubungan yang signifikan antara maupun tidak (Azinar, 2013). jenis kelamin dengan perilaku pacaran berisiko. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa Hasil penelitian menunjukkan yang merupakan remaja akhir banyak yang bahwa niat perilaku pacaran tidak melakukan pacaran berisiko, namun hasil berpengaruh secara signifikan terhadap penelitian ini menunjukkan bahwa usia perilaku pacaran berisiko pada mahasiswa tidak berpengaruh terhadap perilaku perantau asal Papua di Wilayah Timur pacaran berisiko mahasiswa perantau asal Kota Surabaya. Teori Perilaku Berencana Papua di Wilayah Timur Kota Surabaya. (TPB) menyatakan bahwa perilaku Hal ini sejalan dengan penelitian Sekarrini dipengaruhi oleh niat individu dalam (2012) yang meneliti remaja menengah melakukan sesuatu perilaku tertentu. dan mendapati tidak ada hubungan antara Semakin kuat niat seseorang untuk terlibat usia dengan perilaku seksual. Tidak dalam perilaku maka semakin besar adanya hubungan yang bermakna antara kemungkinan perilaku tersebut dilakukan. usia dengan perilaku pacaran berisiko ini Niat untuk melakukan suatu perilaku juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu Mahmudah dkk (2016). sikap, norma subyektif dan pengendali perilaku. Hasil penelitian ini tidak sejalan Hasil penelitian menunjukkan dengan penelitian yang dilakukan oleh bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh Purwanza, dkk (2017) yang menyatakan terhadap perilaku pacaran berisiko pada bahwa ada pengaruh antara niat perilaku mahasiswa perantau asal Papua di Wilayah seksual dan perilaku seksual. Juga Timur Kota Surabaya. Hasil penelitian penelitian yang dilakukan oleh Anniswah menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap perilaku pacaran


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook