Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore jurnal oftalmologi april 2021

jurnal oftalmologi april 2021

Published by satriawidy, 2021-05-06 02:31:23

Description: jurnal oftalmologi april 2021

Search

Read the Text Version

ARTIKEL PENELITIAN Jurnal Oftalmologi 2021, Vol. 3, No. 1. P-ISSN.2723-6935, E-ISSN.2541-4283 GAMBARAN KEBERHASILAN OPERASI DAN KOMPLIKASI VITREKTOMI PADA PASIEN RETINOPATI DIABETIKA PROLIFERATIF DI PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT CICENDO BANDUNG Patriotika Muslima, Shanti F. Boesoirie Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung *Correspondence : Patriotika Muslima, E-mail : [email protected] ABSTRAK Pendahuluan : Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi baik makrovaskular dan mikrovaskular, termasuk retinopati diabetik sebagai penyebab utama hilangnya penglihatan yang didapat. Pasien diabetes melitus dengan komplikasi retina yang sudah lanjut sering memerlukan tindakan operasi (vitrektomi). Metode : Penelitian ini merupakan suatu penelitian retrospektif dari 148 mata yang telah dilakukan operasi vitrektomi karena komplikasi retinopati diabetik. Keberhasilan secara fungsional didefinisikan tajam penglihatan 20/200 atau lebih baik setelah evaluasi 1 bulan pasca operasi sedangkan keberhasilan anatomi didefinisikan menempelnya retina 3600 setelah evaluasi 1 bulan pasca operasi. Hasil : Jumlah total terdapat 158 mata yang dilakukan tindakan VPP akibat komplikasi dari retinopati diabetika proliferatif dan dilakukan kontrol 1 bulan pasca operasi, didapatkan 68,5% perempuan dan 31,95% laki-laki dengan usia rerata 59,11 tahun. Keberhasilan secara fungsional dan anatomis adalah 27,22% dan 98,1. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah peningkatan tekanan intraokular (8,86%), perdarahan vitreus berulang (5,06%), katarak (2,53%), dan ablasio retina (1,9%). Simpulan : Vitrektemi dilakukan pada retinopati diabetika proliferatif dengan indikasi utama adanya perdarahan vitreus dan ablasio retina traksi. Keberhasilan operasi secara anatomi lebih baik dibandingkan dengan keberhasilan secara fungsional. Penelitian prospektif lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi keberhasilan operasi secara fungsional dan anatomi dalam jangka panjang serta faktor prediksi keberhasilan operasi pada retinopati diabetika proliferatif. Kata kunci : diabetes melitus, keberhasilan anatomi, retinopati diabetic proliferatif, tajam penglihatan, vitrektomi Pendahuluan dengan jumlah penderita DM pada tahun Diabetes melitus (DM) merupakan 2000 mencapai 8,4 juta dan diperkirakan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun masalah kesehatan global dan termasuk 2030.1,2,3 lima besar penyebab kematian di sebagian negara maju dan kejadiannya Diabetes melitus merupakan penyakit meningkat di negara berkembang. Seratus metabolik yang dapat mengakibatkan tujuh puluh satu juta penduduk dunia komplikasi makrovaskular maupun menderita DM pada tahun 2000 d1an mikrovaskular termasuk retinopati diperkirakan jumlah tersebut akan naik diabetika. Komplikasi okular yang hampir tiga kali lipat pada tahun 2030 berhubungan dengan retinopati diabetika yang dipengaruhi oleh pertumbuhan menjadi penyebab utama kebutaan pada penduduk, perubahan pola makan, dan penderita DM yang memiliki kemungkinan gaya hidup yang tidak sehat. Indonesia menjadi buta 15 kali lebih tinggi daripada menempati urutan keempat di dunia penderita non diabetes. Penelitian di setelah India, China, dan Amerika Serikat Indonesia, DiabCare 2008 Indonesia Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 1-7. 1

Study terhadap 1.785 penderita DM dari ARTIKEL PENELITIAN 18 pelayanan primer dan sekunder menunjukkan bahwa 42% diantaranya VPP, tajam penglihatan sebelum dan telah mengalami komplikasi retinopati setelah operasi, tindakan panretinal diabetik, 6,4% diantaranya merupakan photocoagulation (PRP) preopersi, injeksi retinopati diabetik proliferatif.4,5,6 anti vascular endothelial growth factor (VEGF) preoperasi, endotamponade yang Penatalaksanaan operatif dengan dipakai intraoperasi, dan komplikasi pasca vitrektomi pada pasien dengan retinopati operasi. diabetika proliferatif diindikasikan pada perdarahan vitreus (PV) yang persisten, Indikasi utama dilakukan VPP adalah ablasio retina traksi (ART) yang adanya perdarahan vitreus yang persisten melibatkan makula, kombinasi ablasio dan ablasio retina traksi. Tindakan VPP retina regmatogen dan traksi (ARRT), yang dilakukan menggunakan mesin vitreomacular traction (VMT) dan vitrektomi kecepatan tinggi dengan proliferasi fibrovaskular progresif. Tujuan mikroskop wide-angle. Penggunaan utama dilakukannya vitrektomi adalah endotamponade berupa gas sulfur untuk mendapatkan peningkatan tajam hexaflouride (SF6), gas octafluropropane penglihatan. Selain itu juga untuk (C3F8), minyak silikon, udara steril, atau mencegah progresivitas lebih lanjut dari cairan yang ditentukan oleh operator pada proses proliferasi diabetika sehingga saat tindakan operasi. dicapai keberhasilan secara anatomi dan fungsional.4,7 Pada penelitian ini, keberhasilan secara fungsional didefinisikan tajam Penelitian ini bertujuan untuk penglihatan 20/200 atau lebih baik mengetahui gambaran hasil secara setelah evaluasi 1 bulan pasca operasi. anatomi dan fungsional serta komplikasi Keberhasilan anatomi didefinisikan yang terjadi setelah dilakukan tindakan menempelnya retina 3600 setelah vitrektomi pars plana pada pasien evaluasi 1 bulan pasca operasi retinopati diabetika proliferatif di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Data yang didapat kemudian Bandung. dipaparkan secara deskriptif terhadap seluruh variabel dengan menggunakan Microsoft Excel 2013 dan ditampilkan dalam bentuk tabel. METODE PENELITIAN HASIL Penelitian ini merupakan penelitian Jumlah total terdapat 130 pasien (158 observasional yang dilakukan secara mata) yang dilakukan tindakan VPP akibat retrospektif dengan melakukan telaan komplikasi dari retinopati diabetika rekam medis pasien dengan retinopati proliferatif antara Januari 2012 sampai diabetika proliferatif yang telah dilakukan dengan Juni 2015 yang melakukan kontrol vitrektomi pars plana di Pusat Mata minimal 1 bulan pasca operasi yang Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo dari diinklusikan pada penelitian ini. Januari 2012 sampai dengan Juni 2015. Karakteristik pasien dapat dilihat pada Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah tabel 1. Pasien perempuan sebanyak 76 pasien retinopati diabetika proliferatif yang orang (58,46%) lebih banyak telah dilakukan tindakan vitrektomi pars dibandingakn laki-laki sebanyak 54 orang plana dan melakukan kontrol minimal 1 (41,54%). Usia pasien berkisar antara 32 bulan. tahun sampai 66 tahun dengan rata-rata usia pasien 50,2 tahun. Terdapat 28 Data yang dikumpulkan meliputi data pasien yang dilakukan VPP pada kedua demografi pasien, indikasi dilakukannya Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 1-7. 2

ARTIKEL PENELITIAN matanya (bilateral). Indikasi paling tindakan VPP dan terdapat 18,99% (30 banayak dilakukannya VPP adalah ART (62,66%, n=99) diikuti oleh PV mata) yang diberikan injeksi antiVEGF 3 (37,34%,n=59) hari sebelum dilakukan VPP pada mata yang bersangkutan. Tamponade intraokular yang paling banyak adalah gas Tabel 1. Karakteristik Pasien dengan SF6 (58,86%, n=93), diikuti minyak silikon retinopati diabetika yang dilakukan tindakan VPP (20,88%, n=33), cairan (7,59%, n=12), udara steril (3,80%, n=6), dan gas C3F8 Karakteristik Jumlah Persentasi (0,63%, n=1). Endotamponade tidak (%) Jenis Kelamin 54 diperlukan pada 6,96% kasus (11 mata). (n= 130 orang) 76 41,54 58,46 Perubahan tajam penglihatan dan Laki-laki 102 Perempuan 28 78,46 keberhasilan anatomi dapat dillihat pada Lateralisasi 21,54 (n=130 orang) 58 tabel 3. Sebagian besar pasien memiliki Unilateral 41 37,34 Bilateral 57 visus lebih buruk dari 20/200 pada saat Indikasi Vitrektomi 2 25,32 (n=158 mata) 36,07 sebelum dilakukan tindakan VPP yaitu PV 1,27 ART 75,31% (n=119), terdapat 24,69% (n=39) Keterlibatan makula Dengan PV yang memliki visus lebih baik dari 20/200. Kombinasi ARRT Visus setelah dilakukan tindakan VPP pada saat evaluasi 1 bulan terdapat 72,78% (n=115) dengan visus lebih buruk dari 20/200 dan sebanyak 27,22% (n=43) PV: Perdarahan vitreus dengan visus lebih baik dari 20/200. ART: Ablasio retina traksi ARRT : Ablasio retina regmatogen traksi Keberhasilan anatomi setelah tindakan VMT: Vitreomacular traction VPP pada bulan ke-1, 98,1% (n=155) dengan retina yang melekat. Terdapat 3 Tabel 2. Penatalaksanaan Preoperatif dan mata (1,9%) dengan retina tidak melekat Intraoperatif pada pasien retinopati diabetika yang dilakukan tindakan VPP pada bulan ke-1 pasca VPP. Karakteristik Jumlah Persentasi Tabel 3. Perubahan tajam penglihatan dan (n=158 (%) keberhasilan anatomi 1 bulan pasca Penatalaksanaan mata) tindakan VPP preopratif 48 30,38 Karakteristik Jumlah Persentasi PRP 110 69,62 (n=158 (%) Ya Visus preoperasi mata) Tidak 30 18,99 5,70 128 81,01 ≥20/40 9 18,99 Injeksi antiVEGF 20/40 – 20/200 30 75,31 Ya 119 Tidak <20/200 Endotampodane Visus pasca Tidak ada SF6 11 6,96 operasi 5 3,17 C3F8 93 58,86 38 24,05 Minyak silikon 1 0,63 ≥ 20/40 115 72,78 Udara 33 20,88 20/40 – 20/200 Cairan 6 3,80 155 98,10 12 7,59 <20/200 3 1,90 Hasil anatomi Retina melekat Retina tidak melekat Penatalaksanaan preoperatif dan intraoperatif dapat dilihat pada tabel 2. Sebanyak 30,38% (48 mata) yang dilakukan PRP terlebih dahulu sebelum Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 1-7. 3

Tabel 4. Komplikasi vitrektomi pars plana ARTIKEL PENELITIAN Karakteristik Jumlah Persentasi permukaan posterior dari vitreus. Pada (n=158) (%) daerah yang berdekatan dengan Glaukoma 8,86 pembentukan pembuluh darah baru sering sekunder 14 tampak jaringan fibrosa. Jaringan fibrosa Katarak 2,53 ini akan menempel pada vitreus yang Perdarahan 4 5,06 berdekatan dan dapat menyebabkan vitreus 8 terjadinya ablasio retina dan perdarahan Ablasio retina 1,90 preretina sehingga menyebabkan 3 gangguan penglihatan yang berat.1,8-13 Tabel 4 menunjukkan komplikasi yang Prevalensi retinopati diabetika banyak terjadi setelah dilakukan tindakan VPP terjadi pada wanita karena mempunyai pada pasien dengan retinopati diabetika berbagai faktor risiko terjadinya diabetes proliferatif. Komplikasi yang terjadi meliputi melitus. Kasimov et al. melaporkan di glaukoma sekunder (8,86%), katarak amerika terdapat 55% penderita retinopati komplikata (2,53%), perdarahan vitreus diabetika adalah wanita dan 45% adalah ulang (5,06%), dan ablasio retina (1,9%). laki-laki. Hasil ini sesuai dengan penelitian ini dimana penderita retinpati diabetika DISKUSI didapatkan lebih banyak perempuan Retinopati diabetik adalah komplikasi daripada laki-laki.14-15. akibat mikroangiopati paling sering pada Usia merupakan salah satu faktor yang pasien DM. Terdapat beberapa faktor menyebabkan meningkatnya insidensi resiko dari DR, yaitu durasi dari DM yang diabetes melitus dan diikuti dengan merupakan faktor resiko yang penting, meningkatnya insidensi dari retinopati kontrol terhadap DM yang buruk, diabetika. Klein et al melaporkan bahwa hipertensi, nefropati, hiperlipidemia, dan pada 996 penderita diabetes melitus, faktor resiko lainnya seperti obesitas dan ditemukan bahwa sekitar 90% dari kebiasaan merokok. Kelainan pada penderita retinopati diabetika berusia lebih retinopati diabetik terjadi akibat perubahan dari 50 tahun. Chelala et al menyatakan pada pembuluh darah mikro di retina. bahwa di Libanon dari 119 penderita Kerusakan kapiler ditandai dengan retinopati diabetika, didapatkan rata-rata hilangnya perisit, menebalnya membran penderita retinopati diabetika berusia 51,7 basal kapiler, hilangnya sel otot halus tahun.16-19 pembuluh darah, dan proliferasi sel endotel. Neovaskularisasi terjadi akibat Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil gangguan perfusi kapiler yang dari penelitian diatas yang menyatakan menyebabkan hipoksia retina sehingga bahwa angka kejadian retinopati diabetika merangsang faktor angiogenik seperti paling banyak usia diatas dekade ke 5, VEGF. Retinopati diabetik dapat rata-rata usia penderita pada penelitian ini diklasifikasikan menjadi retinopati diabetik adalah 50,2 tahun. nonproliferatif dan retinopati diabetik proliferatif. Retinopati diabetik proliferatif Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study merupakan bentuk paling berat dari (DRVS) merekomendasikan dilakukan retinopati diabetik dan sebagian besar vitrektomi apabila sudah terjadi pasien tersebut memiliki resiko yang perdarahan vitreus pada pasien retinopati signifikan dalam menyebabkan hilangnya diabetika proliferatif,. DRVS melakukan penglihatan. Retinopati diabetik proliferatif perbandingan dilakukan vitrektomi pada ditandai dengan adanya pertumbuhan pasien retinopati diabetika proliferatif pembuluh darah baru pada retina dan dengan perdarahan vitreus yang sudah terjadi selama 1-6 bulan dengan 1 tahun, Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 1-7. 4

hasil dari penelitian yang dilakukan DRVS ARTIKEL PENELITIAN menyatakan angka keberhasilan yang dilakukan VPP pada pasien retinopati diabetika proliferatif adalah perdarahan tinggi pada pasien dengan onset vitreus dan ablasio retina traksi. Komplikasi yang paling sering terjadi pada perdarahan vitreus yang sudah terjadi penelitian ini adalah glaukoma sekunder (8,86%), diikuti oleh perdarahan vitreus selama 1-6 bulan dibanding dengan 1 (5,06%), katarak (2,53%), dan ablasio retina (1,9%). Pada tabel 6 digambarkan tahun. Komplikasi lain dari retinopati perbandingan dengan penelitian serupa lainnya. diabetika proliferatif adalah menyebabkan Vitrektomi pada retinopati diabetika traksi pada vitreus dan retina akibat proliferatif dapat menjadi tindakan yang rumit dan menantang. Tingkat kejadian peningkatan produksi jaringan perdarahan vitreus berulang dalam 1 bulan setelah operasi adalah 5,06% di fibrovaskular. Kontraksi dari jaringan mana hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hal ini fibrovaskular menyebabkan tarikan kemungkinan karena teknik operasi yang baik dan teliti dalam mengontrol terhadap vitreous dan retina sehingga hemostasisk secara retrospekstif sehingga kemungkinan adanya kondisi perdarahan mengakibatkan robekan pada retina. vitreus yang ringan atau tidak signifikn tidak tertulis dalam laporan di rekam Selain mekanisme diatas, jaringan medis. fibrovaskular yang terbentuk sangat rapuh sehingga mudah terjadinya perdarahan. Vitrektomi dilakukan untuk membebaskan tarikan dari jaringan fibrovaskular.4,20 Penelitian ini menggambarkan keberhasilan operasi dan komplikasi pasca virektomi pada pasien retinopati diabetika proliferatif. Keberhasilan fungsional (visus ≥ 20/200) dan keberhasilan anatomi adalah sebesar 27,22% dan 98,1%. Indikasi utama Tabel 5. Perbandingan komplikasi post vitrektomi pars plana pada retinopati diabetika proliferatif Komplikasi DRVS Yorston DRIVE UK Kamura Ting Muslima Perdarahan vitreus (n=317) (n=174) (n=185) (n=1007) (n=108) (n=158) 43,3% 12,3% 5,06% - 22% 3,6% Peningkatan TIO 7,7% - 8,2% 3,9% 13,2% 8,86% Katarak - 11,50% 22,6% - 13,2% 2,53% Ablasio retina 12-21% 3% 10% 3% 1,9% 1,9% Beberapa penelitian telah melaporkan dilakukan PRP akan > 50% mengurangi penggunaan antiVEGF dalam terjadinya perburukan dibandingkan dengan tanpa PRP.4,20-23 menurunkan insidensi perdarahan vitreus pasca operasi tanpa memberikan Minyak silikon digunakan pada kasus pengaruh terhadap tajam penglihatan operasi ablasio retina dimana tamponade pasca operasi. Diabetic Retinopathy jangka panjang diperlukan, namun dapat Study (DRS) merekomendasikan pasien menyebabkan fmeningkatan tekanan PDR dilakukan panretinal intraokular (TIO) pasca operasi. Pada photocoagulation (PRP), tujuan PRP Silicone Study Report 4, peningkatan TIO adalah terjadinya regresi terhadap dapat menetap setelah 36 bulan pada 9% jaringan neovaskular dan mencegah kasus. Peningkatan TIO dapat disebakan progresifitas neovaskularisasi. DRS oleh kelebihan minyak silikon, emulsifikasi menyatakan bahwa apabila pasien PDR silikon pada anyaman trabekular, atau Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 1-7. 5

ARTIKEL PENELITIAN akibat faktor lain seperti neovaskularisasi 3. Hawrami A. Anterior eye complication in sudut dan sinekia aterior perifer dengan diabetes mellitus. Continuing Education sudut tertutup. Oleh karena sangat penting and Training. 2011. [diunduh 24 Maret 2014]: 40-7. Tersedia dari: dalam memonito TIO pasca operasi untuk www.optometri.co.uk. mencegah terjadinya gangguan yang 4. Surgical outcomes,complication mengancam penglihatan.4,24 5. Cordiero MF. Endocrine disorder. Dalam: Kelemahan dari penelitian ini adalah Crick RP, Khaw PT, editor. A texbook of clinical ophthalmology. Edisi ke-3. New pengumpulan data hanya berdasarkan Jersey: World Scientific; 2003. hlm. 312-7. dari retkam medis yang dapat 6. Sitompul, R. Retinopati diabetik. J Indon mempengaruhi hasil karena adanya bias Med Assoc. 2011; 61(8): 337-41 dari pelaporan. Pelaporan pada rekam 7. Mustafa Guzey, Gülipek Müftüoglu. Pars Plana Vitrectomy for High Risk Severe medis yang masih belum seragam seperti Proliferative Diabetic Retinopathy: penetapan notasi yang digunakan pada Anatomical and Functional Outcomes. tajam penglihatan masih berbeda-besa. Turkish Journal of Diperlukan dilakukan penelitian lebih lanjut Endocrinology and Metabolism. 2001; 1: yang bersifat prospektif untuk melihat 31-8 keberhasilan secara fungsional dan 8. Vasudevan M. Eye manifestation of diabetes mellitus. Chettinad Health City anatomi secara jangka panjang serta Medical Journal. 2013. [diunduh 24 Maret faktor-faktor yang dapat mempengaruhi 2014]; 1(4): 163-7. Tersedia dari: keberhasilan operasi. http://www.chcmj.ac.in. 9. Cade WT. Diabetes-related microvascular and macrovascular disease in the SIMPULAN physical therapy setting. Journal of The Vitrektomi dilakukan pada retinopati American Physical Therapy Association. diabetika proliferatif dengan indikasi utama 2008. [diunduh 23 Maret 2014]; 88(11): 1322-35. Tersedia dari: adanya perdarahan vitreus dan ablasio http://ptjournal.apta.org. retina traksi. Keberhasilan operasi secara 10. Sovani I. Analisis molekular gen HSP70, GRP78, TNFα dan kaitannya dengan anatomi lebih baik dibandingkan dengan patogenesis edema makula diabetik DM keberhasilan secara fungsional. tipe 2. Doktor [disertasi]. Bandung: Sebaiknya diperlukan suatu penelitian Universitas Padjadjaran; 2013. hlm. 1-2. prospektif untuk mengevaluasi 11. Cavallerano J. Optometric clinical practice keberhasilan operasi secara fungsional guideline care of the patient with diabetes dan anatomi dalam jangka panjang serta mellitus. Edisi ke-3. St. Louis: American Optometric Association; 2009. hlm. 16-23 faktor prediksi keberhasilan operasi pada 12. Ryan S. J. Retina. Philadelphia. Elsevier; retinopati diabetika proliferatif. Fourth Edition. 2006. 13. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course: Retina DAFTAR PUSTAKA and Vitreous. San Fransisco. 2011-2012. 1. Rema M, Pradeepa R. Ocular 14. Kasimov et al. YAG-Laser Vitreolysis in complication in diabetes. Dalam: Tripathy BB, Chandalia HB, Das AK, Rao PV, proliferative Diabetic Retinopathy editor. RSSDI textbook of diabetes mellitus. Edisi ke-2. Vol 2. New Delhi: Complicated by Vitreous Hemorrhage. Jaypee; 2012. hlm. 990-1006. Vestn Oftalmol; 2014. 2. Ahmed KA, Muniandy S, Ismail IS. Type 2 diabetes and vascular complication: a 15. Wilkinson CP, Ferris FL III, Klein RE, et patophysiology view. Biomedical Research. 2009. [diunduh 24 Maret 2014]; al. Proposed international clinical diabetic 21(2): 147-55. Tersedia dari: http://eprints.um.edu.my/. retinopathy and diabetic macular edema disease severity scales. Ophthalmology. 2003;110:1677-82. 16. Chelala et al. Screening of Diabetic Retinopathy and Maculopathy in Lebanese Population Using Retinography and SD-OCT. J. Med Liban; 2015 Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 1-7. 6

ARTIKEL PENELITIAN 17. Klein R, Klein BE, Moss SE, Davis MD, DeMets DL. The Wisconsin epidemiologic study of diabetic retinopathy. II. Prevalence and risk of diabetic retinopathy when age at diagnosis is less than 30 years. Arch Ophthalmol; 1984;102:520-26 18. Hutchinson A, McIntosh A, Peters J, et al. Effectiveness of screening and monitoring tests for diabetic retinopathy - a systematic review. Diabet Med; 2000;17:495-506. 19. Liu et al. Incidence Density and Risk Factors of Diabetic Retinopathy. Int. J. Environ Res Public Health. 2015. 20. Individualised treatment of proliferative diabetic retinopathy: optimal surgical timing improves long-term outcomes Stefano Zenoni & Natalia Comi & Piero Fontana 21. Cheema RA, Mushtaq J, Al-Khars W, Al- Askar E, Cheema MA (2010) Role of intravitreal bevacizumab (Avastin) injected at the end of diabetic vitrectomy in preventing postoperative recurrent vitreous hemorrhage. Retina 30: 1646- 1650. 22. Lo WR, Kim SJ, Aaberg TM Sr, Bergstrom C, Srivastava SK, et al. (2009) Visual outcomes and incidence of recurrent vitreous hemorrhage after vitrectomy in diabetic eyes pretreated with bevacizumab (avastin). Retina 29: 926- 931. 23. Yang CM, Yeh PT, Yang CH, Chen MS (2008) Bevacizumab pretreatment and long-acting gas infusion on vitreous clear- up after diabetic vitrectomy. Am J Ophthalmol 146: 211-217. 24. Barr CC, Lai MY, Lean JS, Linton KL, Trese M, et al. (1993) Postoperative intraocular pressure abnormalities in the Silicone Study. Silicone Study Report 4. Ophthalmology 100: 1629-1635. Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 1-7. 7

ARTIKEL PENELITIAN Jurnal Oftalmologi 2021, Vol. 3, No. 1. P-ISSN.2723-6935, E-ISSN.2541-4283 PENGARUH KECANDUAN PENGGUNAAN SMARTPHONE TERHADAP HASIL SCHIRMER TEST PADA MAHASISWA FK UPH TAHUN 2019 Josiah Irma, Jennifer Angelina Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Indonesia *Korespondensi: Jennifer Angelina, [email protected] ABSTRAK Pendahuluan : Penggunaan gadget terutama smartphone telah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2019, pengguna gadget mayoritas adalah perempuan dengan persentase 71% dan sebanyak 2/5 dari mahasiswa menggunakan gadget selama 1-3 jam setiap harinya. Prevalensi populasi yang mengalami mata kering di Asia Tenggara memiliki variasi antara 20% - 52,4%. Pengguna smartphone dapat mengalami computer vision syndrome yang dapat menyebabkan mata kering. Salah satu pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah menggunakan schirmer test. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh kecanduan penggunaan smartphone terhadap hasil schirmer test pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode studi observasional dengan desain potong lintang pada 119 responden mahasiswa FK UPH yang menggunakan smartphone sehari-hari. Hasil Analisis Data : Data didapatkan dari 130 responden menggunakan kuesioner SAS-SV serta schirmer test. Data diolah menggunakan uji chi square. Penelitian ini menunjukkan adanya hasil yang signifikan antara kecanduan smartphone terhadap hasil schirmer test pada mahasiswa FK UPH dengan p value 0.001. Nilai odds ratio yang didapatkan sebesar 3.989 dan confidence interval 95% sebesar 1.744-9.124. Simpulan : Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecanduan penggunaan smartphone terhadap hasil schirmer test pada mahasiswa FK UPH. Kata kunci : Kecanduan • Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan • Schirmer test • Sindroma mata kering • Smartphone PENDAHULUAN usia yang lebih tua. Banyak remaja Penggunaan gadget saat ini sudah menggunakan smartphone sebagai menjadi kebutuhan dasar bagi manusia. sarana untuk komunikasi, menggunakan Terdapat berbagai jenis gadget yang media sosial, mengerjakan tugas sekolah umumnya digunakan oleh manusia seperti atau kuliah dan bermain game. Vasant smartphone, ipad, tab, laptop dan masih Ramraoji Lunge pada tahun 2019 telah banyak lagi. Smartphone merupakan melakukan penelitian mengenai tingkat salah satu jenis gadget yang paling umum penggunaan smartphone pada dimiliki dan digunakan oleh seluruh mahasiswa kedokteran.2 Hasil yang manusia. Smartphone telah digunakan didapatkan adalah mayoritas pengguna oleh masyarakat di seluruh dunia gadget adalah perempuan dengan termasuk di Indonesia. Menurut prevalensi 71% dan setengahnya berada Kementrian Komunikasi dan Informatika pada rentang usia 21-23 tahun. Sebanyak Republik Indonesia, pengguna 2/5 dari seluruh mahasiswa menggunakan smartphone di Indonesia berkembang gadget selama 1-3 jam per harinya. dengan pesat.1 Smartphone juga memiliki dampak Masyarakat dengan usia muda lebih buruk bagi setiap penggunanya. sering menggunakan smartphone jika Pengguna smartphone dapat mengalami dibandingkan dengan masyarakat dengan mata kering apabila menatap layar terlalu Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 8-14. 8

lama.3 Dengan tingginya prevalensi ARTIKEL PENELITIAN populasi yang menggunakan smartphone, prevalensi pengguna smartphone yang pengaruh dari smartphone terhadap mengalami mata kering pun juga ketajaman penglihatan. Penurunan meningkat. Di seluruh dunia, terdapat ketajaman penglihatan juga menjadi salah antara 5% dan 34% yang mengalami satu komplikasi dari sindroma mata kering sindroma mata kering. Berdasarkan Dry itu sendiri.6 Namun, belum pernah Eye Workshop committee, prevalensi diadakan penelitian yang melihat populasi yang mengalami mata kering di pengaruh dari kecanduan smartphone Asia Tenggara memiliki variasi mulai dari terhadap sindroma mata kering sendiri. 20% hingga 52,4%.4 Hal tersebut juga memicu peneliti untuk melakukan penelitian ini karena jurnal Pengguna smartphone sering pembanding belum pernah dilakukan mengalami kondisi yang dinamakan penelitian yang mengukur tingkat computer vision syndrome. Computer sindroma mata kering menggunakan vision syndrome disebabkan oleh schirmer test.8,9 menatap layar terlalu lama. Hal tersebut kemudian dapat mengakibatkan 2 Berdasarkan hal di atas, peneliti ingin masalah yaitu mata lelah dan mata kering melakukan penelitian mengenai pengaruh yang disebabkan karena pengguna tidak kecanduan penggunaan smartphone berkedip saat menatap layar dalam waktu terhadap hasil schirmer test pada yang lama. Untuk memproduksi ulang mahasiswa Fakultas Kedokteran lapisan air mata pada mata, pengguna Universitas Pelita Harapan Tahun 2019. smartphone harus berkedip setelah Peneliti ingin meneliti hal tersebut karena menatap layar dalam waktu yang lama. prevalensi penggunaan smartphone terus Jika mata menjadi kering, pengguna meningkat setiap tahunnya dan prevalensi smartphone dapat mengalami pandangan penyakit sindroma mata kering juga buram dan mata menjadi tidak nyaman.3 tergolong cukup tinggi. Maka, peneliti ingin meneliti apakah kecanduan Untuk mendiagnosis kejadian sindroma smartphone memiliki hubungan yang mata kering, ada beberapa cara yang signifikan dengan hasil schirmer test yang dapat dilakukan mulai dari pengisian digunakan sebagai pemeriksaan penyakit kuesioner hingga pemeriksaan fisik. sindroma mata kering. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan antara lain adalah schirmer test, tear METODE function index, tear break-up time dan functional visual acuity.5 Pada penelitian Penelitian ini dilakukan menggunakan ini, peneliti akan menggunakan salah satu desain studi potong lintang. Penelitian ini dari pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan di Fakultas Kedokteran menegakkan diagnosis dari sindroma Universitas Pelita Harapan. Responden mata kering yaitu menggunakan schirmer penelitian adalah mahasiswa kedokteran test. Pemeriksaan schirmer test preklinik yang menggunakan smartphone digunakan di dalam penelitian ini karena sehari-hari. Sampel minimum yang telah tidak membutuhkan waktu yang lama dan dihitung menggunakan metode analitik alat yang diperlukan tidak sulit dicari, komparatif kategorik tidak berpasangan prosedur yang simpel serta sensitivitasnya dengan total responden sebanyak 119 yang mencapai 80% dan spesifisitasnya sampel. Penelitian ini dilakukan dalam 53%.7 periode November 2019 – Februari 2020. Data primer didapatkan dari pemeriksaan Jurnal yang serupa telah dipublikasikan fisik dan kuesioner. oleh beberapa peneliti mengenai Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 8-14. 9

ARTIKEL PENELITIAN Responden akan dilihat apakah HASIL memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini membahas tentang pengaruh kecanduan penggunaan Responden yang memenuhi kriteria akan smartphone terhadap hasil schirmer test yang dilakukan kepada 130 responden diminta untuk menandatangani lembar dengan rata – rata usia 19 tahun yang diambil dari mahasiswa preklinik Fakultas persetujuan. Kemudian, responden akan Kedokteran Universitas Pelita Harapan dalam periode November 2019 – Februari diminta untuk mengisi kuesioner 2020. kecanduan smartphone (SAS-SV) dan dilakukan pemeriksaan fisik schirmer test. Setelah responden mengisi kuesioner dan sudah dilakukan pemeriksaan fisik, data akan dianalisis. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah Tabel 1. Data Demografik Responden mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Frekuensi Persentase Universitas Pelita Harapan yang (N=130) (%) menggunakan smartphone sehari-hari. Jenis Kelamin Kriteria eksklusi termasuk responden yang Laki-laki 51 39.2 Perempuan 79 60.8 menggunakan lensa kontak, memiliki penyakit autoimun, menggunakan obat- Angkatan 2016 obatan seperti antihistamin, antidepresan, 2017 26 20.0 2018 25 19.2 pil KB, pengganti hormon, obat untuk 2019 44 33.8 ansietas, obat untuk parkinson’s, obat 35 26.9 hipertensi.10 Responden yang telah menjalani LASIK, sedang mengalami Berdasarkan tabel 1, data demografik dari responden dapat dilihat berdasarkan rosacea dan blepharitis, memiliki kondisi jenis kelamin dan angkatan. 39.2% responden berjenis kelamin laki – laki dan medis seperti diabetes, penyakit tiroid dan 60.8% responden berjenis kelamin perempuan. Mayoritas responden ada defisiensi vitamin A juga tidak diikutkan pada angkatan 2018 dengan jumlah 44 dalam penelitian ini.11,12,13,14,15 responden, diikuti dengan angkatan 2019 berjumlah 35 responden, angkatan 2016 Kecanduan smartphone termasuk berjumlah 26 responden dan angkatan 2017 berjumlah 25 responden. dalam kategori kecanduan kebiasaan karena sering diasosiasikan dengan penggunaan internet. Kuesioner yang akan digunakan adalah Smartphone Addiction Scale – Short Version. Penilaian didapatkan apabila jawaban “Ya” <5 artinya responden tidak kecanduan Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Responden smartphone. Apabila jawaban “Ya” ≥5 Frekuensi Persentase artinya responden kecanduan (N=130) ( = %) smartphone. Hasil Schirmer Pengumpulan data dilakukan test 83 63.8 Schirmer ≥ 15 menggunakan software Microsoft Excel mm 2016 dan analisis statistik dilakukan Schirmer < 15 47 36.2 menggunakan program SPSS 22.0. mm Analisis data dilakukan menggunakan Kecanduan smartphone metode uji chi square. Kecanduan Tidak kecanduan 33 25.4 97 74.6 Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 8-14. 10

ARTIKEL PENELITIAN Tabel 2 menunjukkan terdapat 83 responden (25.4%) memiliki kecanduan responden (63.8%) dengan hasil schirmer smartphone, sementara 97 responden test ≥ 15 mm dan 47 responden (36.2%) (74.6%) tidak memiliki kecanduan smartphone. dengan hasil schirmer test < 15 mm. 33 Tabel 3. Analisis Bivariat berdasarkan Kecanduan Smartphone terhadap Hasil Schirmer Test Responden Schirmer test Schirmer Schirmer P-Value Ratio CI (95%) < 15 mm ≥ 15 mm (OR) N(%) N(%) Kecanduan 20 13 N(%) (60.6) (39.4) 0.001 3.989 1.744-9.124 Tidak Kecanduan 27 70 N(%) (27.8) (72.2) Tabel 3 menunjukkan analisis bivariat terdapat 2 aspek yang diuji. Hasil p value menggunakan metode uji chi square. untuk kecanduan dan jenis kelamin Berdasarkan tabel di atas, p value yang adalah 0.292 yang berarti tidak terdapat didapatkan adalan 0.001, yang adalah hubungan yang signifikan antara dibawah 0.05. Hal tersebut menunjukkan kecanduan smartphone dan jenis kelamin. bahwa terdapat hubungan yang signifikan Sementara hasil p value untuk analisis antara kecanduan smartphone dan hasil kecanduan dan usia adalah 0.380, yang schirmer test pada mahasiswa Fakultas tidak menunjukkan adanya hubungan Kedokteran Universitas Pelita Harapan. yang signifikan antara kecanduan smartphone dan usia. Tabel 4 menunjukkan analisis bivariat menggunakan metode uji chi square dan Tabel 4. Analisis Bivariat berdasarkan Kecanduan Smartphone terhadap Karakteristik Responden CI (95%) Kecanduan Tidak P-Value Ratio Laki-laki N(%) Kecanduan (OR) N(%) 16 (31.4) N(%) 35 (68.6) Perempuan 17 62 0.292 1.667 0.705- N(%) (21.5) (78.5) 3.705 < 21 tahun 25 82 0.380 0.572 0.217- N(%) (23.4) (76.6) 1.505 ≥ 21 tahun 8 15 N(%) (34.8) (65.2) DISKUSI menyebabkan berkurangnya jumlah kedipan.16 Kedipan mata sangat penting Hasil dari penelitian ini sesuai dengan untuk menyebarkan air mata ke teori yang menyatakan bahwa kecanduan permukaan okular dan mendukung sekresi dari kelenjar meibom. smartphone dapat menyebabkan Berkurangnya jumlah kedipan tersebut terjadinya sindroma mata kering. Gadget termasuk smartphone dapat Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 8-14. 11

yang menyebabkan permukaan okular ARTIKEL PENELITIAN mata tidak terlubrikasi dan terjadi bahwa responden yang mengalami kecanduan smartphone memiliki evaporasi dari air mata sehingga mata probabilitas 3.989 kali lebih besar akan menjadi kering.17,18 mendapatkan hasil schirmer test < 15 mm dibandingkan dengan responden yang Selain itu, kecanduan smartphone tidak mengalami kecanduan smartphone. dapat memicu terjadinya penutupan Nilai confidence interval dari penelitian ini adalah 1.744 – 9.124. Apabila kelopak mata yang parsial yang penelitian ini dilakukan 100 kali, hasil odds ratio yang akan didapatkan berkisar menyebabkan bukaan dari kelenjar antara 1.744 hingga 9.124. Hal tersebut berarti kecanduan smartphone selalu tertutup oleh sel keratotik sehingga menjadi sebuah faktor risiko dari terjadinya hasil schirmer test < 15 mm. lapisan lipid dari air mata tidak dapat Hasil penelitian yang dilakukan oleh diperbarui. Kebutuhan visual juga akan Andriana Kirana Puspa pada tahun 2018 yang berjudul ‘Pengaruh Penggunaan meningkat dengan resolusi yang buruk Gadget terhadap Penurunan Kualitas Penglihatan Siswa Sekolah Dasar’ sehingga orang yang menatap layar menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan gadget gadget terlalu lama akan mengalami dengan ketajaman pengelihatan dengan nilai p value sebesar 0.966.8 Namun, dari computer vision syndrome. Computer penelitian ini juga didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara vision syndrome sendiri disebabkan oleh 3 penggunaan gadget dengan kejadian sindroma mata kering dan p value yang mekanisme yaitu mekanisme didapatkan adalah sebesar 0.042. Penelitian ini dilakukan kepada 43 siswa- ekstraokular, akomodatif dan permukaan siswi SD Muhammadiyah 4 Surabaya yang berusia 11 tahun, sementara okular. Mekanisme permukaan okular penelitian ini dilakukan kepada 130 mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran yang dapat menyebabkan gejala seperti Universitas Pelita Harapan. Metode pengambilan data yang digunakan pada kekeringan pada mata, kemerahan, rasa penelitian sebelumnya adalah tear break up time, sementara pada penelitian ini terbakar dan perasaan seperti ada pasir di menggunakan metode schirmer test. Pada penelitian tersebut juga didapatkan data dalam mata. Hal tersebut merupakan responden yang mengalami sindroma gejala dari sindroma mata kering.19,20 mata kering ada sebanyak 88% dari total responden, sementara pada penelitian ini Hasil yang didapatkan dari penelitian didapatkan data responden yang mengalami sindroma mata kering ada ini adalah mayoritas orang yang sebanyak 36.2% dari total responden. mengalami kecanduan smartphone Penelitian yang serupa belum pernah dilakukan di kalangan remaja yang memiliki sindroma mata kering dan orang tergolong cukup tinggi tingkat yang tidak mengalami kecanduan smartphone tidak memiliki sindroma mata kering. Hasil p value yang didapatkan adalah 0.001 yang berarti nilai p value < 0.05. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecanduan smartphone dan kejadian sindroma mata kering. Dari hasil penelitian ini, didapatkan juga nilai odds ratio sebesar 3.989. Nilai odds ratio yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa variabel bebas merupakan faktor risiko terjadinya variabel terikat. Sementara nilai odds ratio kurang dari 1 menunjukkan bahwa variabel bebas merupakan faktor protektif dari terjadinya variabel terikat. Dapat disimpulkan bahwa faktor kecanduan smartphone merupakan faktor risiko dari hasil schirmer test < 15 mm. Selain itu, dapat juga disimpulkan Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 8-14. 12

ARTIKEL PENELITIAN kecanduannya. Selain itu, penelitian DAFTAR PUSTAKA serupa belum pernah dilakukan menggunakan schirmer test dan 1. Kominfo P. Indonesia raksasa teknologi digital kuesioner SAS-SV sebagai metode pengambilan data, sehingga penelitian ini asia [Internet]. Website Resmi Kementerian membuktikan bahwa penggunaan kedua metode tersebut menghasilkan hasil yang Komunikasi dan Informatika RI. 2019 [cited 20 signifikan. Penggunaan metode schirmer test lebih praktis dan objektif dibandingkan August 2019]. Available dengan penggunaan metode tear film break up time yang digunakan pada from:https://kominfo.go.id/content/detail/6095/i penelitian sebelumnya. Hal tersebut menjadi kelebihan dari penelitian ini. ndonesia-raksasa-teknologi-digital- Keterbatasan penelitian ini adalah asia/0/sorotan_media jumlah populasi mahasiswa yang kecanduan atau yang memiliki sindroma 2. Lunge V, Kokiwar P. Prevalence and purposes mata kering tergolong sedikit. Perbandingan jumlah antara responden of gadget use among medical students. 2019; laki-laki dan perempuan juga tidak terbagi secara merata. Penggunaan kuesioner http://dx.doi.org/10.18203/2394- kecanduan smartphone dengan SAS-SV juga dapat menimbulkan hasil yang 6040.ijcmph20190083 subjektif. Adanya keterlibatan dari faktor genetik, penggunaan AC sehari-hari serta 3. Electronic screen alert: avoid this vision risk - kebiasaan membaca yang buruk juga menjadi keterbatasan dari penelitian ini. Harvard Health [Internet]. Harvard Health. Selain itu, penggunaan metode schirmer test memiliki tingkat sensitivitas dan 2017 [cited 20 August 2019]. Available from: spesifisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan metode tear film https://www.health.harvard.edu/diseases-and- break up time. conditions/electronic-screen-alert-avoid-this- KESIMPULAN vision-risk Prevalensi kecanduan penggunaan smartphone pada mahasiswa Fakultas 4. Uchino M. What we know about the Kedokteran Universitas Pelita Harapan adalah sebesar 25.4%. Tingkat kejadian epidemiology of dry eye disease in Japan. sindroma mata kering pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Investigative Opthalmology & Visual Science. Harapan adalah sebesar 36.2%. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara 2018; Vol.59(14):DES1. kecanduan penggunaan smartphone terhadap hasil schirmer test pada 5. Latkany R, Miller D, Zeev M. Diagnosis of dry mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan dengan p eye disease and emerging technologies. value 0.001. Clinical Ophthalmology 2014 Mar 20; 10.2147/OPTH.S45444 6. Scott C. [Internet]. My.ico.edu. 2011 [cited 5 September 2019]. Available from: https://my.ico.edu/file/CPG-10---Ocular- Surface-Disorders.pdf 7. Kwon M, Kim D, Cho H, Yang S. The smartphone addiction scale: development and validation of a short version for adolescents. PLoS ONE. 2013; Vol.8: e83558. 8. Panambunan J. Hubungan penggunaan smartphone dengan ketajaman penglihatan pada mahasiswa laki-laki fakultas kedokteran universitas Sam Ratulangi angkatan 2015. Jurnal Medik dan Rehabilitasi. 2019; Vol.1(3). 9. Puspa A. Pengaruh penggunaan gadget terhadap penurunan kualitas penglihatan siswa sekolah dasar. Global Medical and Health Communication. 2018; Vol.6(1) 28-33 10. Ali-javadi M. dry eye syndrome. PMC. 2011; Vol.6:192-8. 11. H. Sidarta I. Ilmu penyakit mata. 3th ed. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2009. 1-3, 140-1 p. 12. Spring S. Lasik [Internet]. U.S. food and drug administration. 2019 [cited 15 October 2019]. Available from: https://www.fda.gov/medical- devices/surgery-devices/lasik 13. Soelistijo S. Pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia 2015. 1st ed. 11-14: pb perkeni; 2015. 14. Wartofsky L. Hyperthyroidism (overactive thyroid) | NIDDK [Internet]. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. 2019 [cited 15 October 2019]. Available from:https://www.niddk.nih.gov/health- information/endocrine- diseases/hyperthyroidism Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 8-14. 13

ARTIKEL PENELITIAN 15. Byod K. What is vitamin A deficiency? [Internet]. American Academy of Ophthalmology. 2019 [cited 15 October 2019]. Available from:https://www.aao.org/eye- health/diseases/vitamin-deficiency 16. Messmer E. The pathophysiology, diagnosis, and treatment of dry eye disease. Deutsches Aerzteblatt Online. 2015; Vol.112:71-82. 17. Korb D, Baron D, Herman J, Finnemore V, Exford J, Hermosa J et al. Tear film lipid layer thickness as a function of blinking. Cornea. 1994; Vol.13:354-9. 18. Holland M, Tarlow G. Blinking and thinking. Perceptual and Motor Skills. 1975; Vol.41:403- 6. 19. Loh K, red S. Understanding and preventing computer vision syndrome. 2008; Vol.3:128- 130. 20. Computer vision syndrome [Internet]. Aoa.org. 2019 [cited 1 September 2019]. Available from: https://www.aoa.org/patients-and- public/caring-for-your-vision/protecting-your- vision/computer-vision-syndrome Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 8-14. 14

ARTIKEL PENELITIAN Jurnal Oftalmologi 2021, Vol. 3, No. 1. P-ISSN.2723-6935, E-ISSN.2541-4283 KARAKTERISTIK DAN PENANGANAN TRAKHOMA PASIEN RAWAT JALAN DI RS. MATA PASURUAN PERIODE OKTOBER 2019 – JANUARI 2021 Nur Rizqillah Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Rumah Sakit Mata Pasuruan, Pasuruan,Indonesia *Korespondensi : Nur Rizqillah, E-mail : [email protected] ABSTRAK Pendahuluan: Trakhoma merupakan penyebab kebutaan ketiga setelah katarak dan glaukoma di seluruh dunia. Trakhoma penyebab gangguan penglihatan bagi sekitar 1,9 juta orang di seluruh dunia sekitar 1,4% diantaranya mengalami buta total. Di Indonesia prevalensi trakhoma yang menjadi penyebab kebutaan sekitar 0,98%. Penyakit trakhoma disebabkan oleh infeksi Chlamydia Trachomatis. Tujuan: Saat ini belum ada penelitian mengenai karakteristik dan pengobatan trakhoma di Pasuruan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan penanganan trakhoma pada pasien rawat jalan di Rumah Sakit Mata Pasuruan periode Oktober 2019 hingga Januari 2021. Metode: Penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif diambil data retrospektif dengan metode cross sectional pada bulan Oktober 2019 hingga Januari 2021. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling. Data yang memenuhi kriteria inklusi selanjutnya dianalisis. Hasil: Dari 38 kasus trakhoma di Rumah Sakit Mata Pasuruan pada periode Oktober 2019-Januari 2021 didapatkan kasus terbanyak pada jenis kelamin perempuan (68,4%) dengan kategori usia 11-20 tahun (65,8%), trakhoma ODS trakhoma IIA jenis yang sering muncul (63,2%) dengan sebagian besar gejala muncul pada oculli dekstra sinistra (86,9%) dan penanganan dengan pemberian ointment oxytetracycline (55,3%). Simpulan : Secara umum trakhoma terbanyak pada jenis kelamin perempuan dengan usia 11-20 tahun, derajat yang sering muncul yaitu ODS trakhoma IIA dengan posisi gejala pada oculli dekstra sinistra, serta penanganan dengan pemberian ointment oxytetracycline. Penelitian ini merupakan hasil objektivitas peneliti terhadap kasus trakhoma, dan tidak ada maksud lain dari peneliti selain mendapatkan luaran hasil penelitian mengenai trakhoma. Kata kunci : Karakteristik, Manajemen, Trakhoma. PENDAHULUAN anak dan terinfeksi berulang maka dapat menimbulkan gangguan penglihatan Trakhoma merupakan penyebab hingga kebutaan.2 kebutaan ketiga setelah katarak dan glaukoma di seluruh dunia.1 Diperkirakan Penyakit trakhoma menjadi penyakit bahwa trakhoma penyebab gangguan endemik terutama di Afrika, Amerika penglihatan bagi sekitar 1,9 juta orang di Tengah dan Selatan, Asia, Australia, dan seluruh dunia dimana sekitar 1,4% Timur Tengah, dimana daerah tersebut diantaranya mengalami buta total.2 tingkat kebersihan yang masih rendah.4 Sedangkan di Indonesia, prevalensi Pada 10 September 2020, 10 negara yaitu trakhoma yang menjadi penyebab Kamboja, Cina, Republik Islam Iran, kebutaan sekitar 0,98%.3 Dimana Republik Laos, Ghana, Meksiko, Maroko, perempuan memiliki resiko lebih tinggi Myanmar, Nepal, dan Oman telah daripada laki-laki diakibatkan perempuan divalidasi oleh World Health Organization kontak erat dengan anak-anak yang (WHO) telah menghilangkan trakhoma terinfeksi aktif. Anak-anak paling rentan sebagai masalah kesehatan di mengalami trakhoma aktif. Bila penyakit masyarakat.2 trakhoma sudah di alami saat usia anak- Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 15-22. 15

Penyakit trakhoma disebabkan oleh ARTIKEL PENELITIAN infeksi Chlamydia Trachomatis sering sehingga menimbulkan gangguan penglihatan hingga kebutaan.11 pada serotipe A, B, Ba, atau C. Berdasarkan MacCallan, trakhoma Sedangkan C Trachomatis serotipe D dapat diklasifikasikan menjadi 4 stadium menurut gambaran klinisnya yaitu:11 hingga K menyebabkan infeksi mata- Tr I : Merupakan stadium insipien atau genital.5 Chlamydia Trachomatis stadium awal. Terdapatnya folikel imatur pada konjungtiva tarsal minimal. merupakan bakteri intraseluler gram Tr II : Didapatkan folikel dan papil pada negatif dan obligat.6 tarsus superior. Stadium ini dibagi menjadi dua yaitu IIA dan IIB. Trakhoma dapat menyebar melalui Tr II A : Pada tarsus superior terdapat kontak langsung dengan bersentuhan hipertrofi folikel-folikel yang sudah matur. pada orang yang terinfeksi atau melalui Tr II B : Pada tarsus superior tampak lebih banyak hipertrofi papil yang kontak tidak langsung (misalnya melalui menutupi folikel dan infiltrasi difus. Pada kornea ditemukan pannus dan infiltrat dari kontak pada lalat dan penggunaan air Herbert’s pits. yang tercemar).6 Trakhoma adalah Tr III : Dikenal sebagai trakhoma penyakit menular yang biasanya sikatriks. Terbentuk jaringan parut atau sikatriks pada konjungtiva tarsal superior menyerang kedua mata7 infeksi paling yang berupa garis putih halus. Stadium ini masih terdapat folikel di konjungtiva tarsal sering asimptomatik.8 superior dan pannus yang aktif. Awalnya trakhoma merupakan Tr IV : Stadium trakhoma sembuh. Pada stadium ini, fase inflamasi pada konjungtivitis folikel kronis pada masa konjungtiva sudah tidak ada. Pada fase ini, penyakit sudah tidak menular namun kanak-kanak, yang berkembang menjadi perubahan pada kornea akibat jaringan parut masih berlanjut. jaringan parut konjungtiva.7 Jaringan parut Klasifikasi trakhoma menurut WHO, yang sudah parah dapat menghilangkan dibedakan menjadi 5 tingkatan, yaitu:12 sel goblet pada kelenjar lakrimal dapat a. Trachomatous Inflammation - terjadi entropion sikatriks.9 Masa inkubasi Follicular (TF): Terdapat lima atau lebih folikel (diameter >0,5 mm) konjungtiva trakhoma rata-rata adalah 7 hari, tetapi tarsal superior.12 Trakhoma folikular menandai penyakit aktif. Sering dijumpai bervariasi dari 5 hingga 14 hari.7 Pada pada anak-anak usia 3-5 tahun.13 orang dewasa, biasanya akut atau b. Trachomatous Inflammatous - Intense (TI): Ditandai penebalan inflamasi subakut.10 Gejala trakhoma biasanya mirip yang jelas pada konjungtiva tarsal yang mengaburkan lebih dari setengah dengan konjungtivitis bakteri. Tanda dan pembuluh tarsal yang normal akibat repons inflamasi aktif. gejala biasanya berupa mata berair, c. Trachomatous Scarring (TS): fotofobia, nyeri, eksudasi, edema Adanya jaringan parut pada konjungtiva tarsal. Pada stadium TS ini, dapat palpebra, kemosis konjungtiva bulbaris, hiperemia, hipertrofi papilar, folikel tarsal maupun limbal, keratitis superior, serta makropannus.7 Penyakit ini memiliki tingkat kekambuhan/rekurensi yang tinggi bila tidak mendapatkan penanganan dan cara pencegahan yang tidak benar. Dengan adanya kekambuhan yang dapat memicu episode peradangan folikel kronis sehingga menimbulkan jaringan parut di konjungtiva tarsal. Adanya jaringan parut pada beberapa orang dapat terjadi entropion dan trikhiasis. Apabila tidak diobati, akan terjadi erosi kornea, terdapatnya jaringan parut pada kornea Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 15-22. 16

ARTIKEL PENELITIAN berlanjut menjadi trikhiasis dan mata tetracycline topikal dapat diberikan untuk kering (dry eyes).13 pengobatan trakhoma aktif. Obat tersebut d. Trachomatous Trichiasis (TT): dapat meningkatkan kesembuhan pada penyakit trakhoma.16 Pengobatan pada Minimal terdapat satu bulu mata yang mengarah ke dalam bola mata (trikhiasis) tahap inflamasi sangat efektif dengan sehingga potensial dapat menggores azythromycine dosis tunggal (20 mg/kg kornea. hingga dosis maximum 1 g).17 Pengobatan e. Corneal Opacity (CO): Kekeruhan topikal dengan tetracycline atau salep kornea yang terlihat jelas hingga pupil erythromycine dapat efektif diberikan dua sehingga dapat mengaburkan sebagian kali sehari selama enam minggu sebagai atau seluruh penglihatan.12 CO adalah pilihan kedua.1 tahap kebutaan dari trakhoma. Opasitas Namun pemberian obat antibiotik saja meliputi pannus, vaskularisasi epitel, dan tidak dapat mengendalikan penyakit infiltrasi.13 trakhoma, karena penyakit tersebut dapat Jika kondisi mata cukup parah, mengalami rekurensi/ kekambuhan bila terdapat hipertrofi papil yang tidak didukung pada lingkungan yang mengaburkan pembuluh darah tarsal dan bersih. Selain itu, kondisi tempat tinggal terdapat infiltrat pada kornea (pannus). yang padat, kurangnya akses air bersih, Selain pannus, dapat dijumpai keratitis dan sanitasi yang buruk dapat epitel superior, keratitis subepitel, folikel meningkatkan penyebaran trakhoma. limbus superior, dan akhirnya sikatriks Kebersihan lingkungan meliputi patognomonik folikel tersebut sering tersedianya jamban/tempat MCK yang dikenal sebagai Herbert’s pits.7 bersih dan pembasmian lalat yang World Health Organization memiliki menjadi vektor utama penyebaran trakhoma.14 beberapa program dalam penghapusan penyakit trakhoma yang salah satu Berdasarkan data kunjungan pasien penyebab kebutaan di dunia. WHO rawat jalan di Rumah Sakit Mata membentuk organisasi Global Elimination Pasuruan tahun 2019 hingga 2021, of Trachoma di tahun 2020 (GET 2020) trakhoma termasuk ketiga kasus penyakit bertujuan untuk penghapusan penyakit terbanyak setelah katarak dan trakhoma global.14 konjungtivitis. Rumah Sakit Mata WHO bekerjasama dengan berbagai Pasuruan terletak di Kabupaten Pasuruan, organisasi non pemerintah dan layanan hingga saat ini berdasarkan kajian litaratur Kesehatan nasional mulai menerapkan penulis belum mendapatkan hasil program untuk menghilangkan penelitian mengenai karakteristik dan trakhoma.14 Strategi ini diambil dari SAFE penanganan trakhoma khususnya di terdiri dari langkah-langkah pengendalian, Pasuruan. Tujuan peneliti melakukan yaitu : Surgery (pembedahan), Antibiotics penelitian ini adalah untuk mengetahui (pemberian antibiotik), Fascial cleanliness karakteristik dan penanganan trakhoma (menjaga kebersihan daerah wajah), pasien rawat jalan di Rumah Sakit Mata Environmental improvement (menjaga Pasuruan pada periode Oktober 2019- kebersihan lingkungan).15 Pembedahan Januari 2021. dilakukan pada kasus entropion atau trikiasis, pemberian antibiotik pada kasus METODE menular, kebersihan lingkungan, dan Penelitian dilakukan dengan analisis akses air bersih.16 data 38 pasien rawat jalan Rumah Sakit Mata Pasuruan. Desain penelitian Pemberian obat antibiotik azythromycine (golongan makrolida) dan Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 15-22. 17

ARTIKEL PENELITIAN menggunakan model deskriptif dengan (63,2%) dengan sebagian besar gejala menggunakan data retrospektif yang muncul pada oculi dekstra sinistra diambil secara cross sectional pada (86,9%). periode Oktober 2019 – Januari 2021. Penelitian ini menggunakan total sampling Tabel 2. Jenis Distribusi Gejala Trakhoma yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi No Trakhoma Frek % sebagai responden atau sampel. Variabel 1 Jenis OS Trakhoma IIA 2 5,2 yang akan diteliti dalam penelitian ini 1 2,6 adalah jenis kelamin, usia, jenis, posisi 2 Jenis OS Trakhoma III 1 2,6 gejala, dan obat yang diberikan. Data 1 2,6 sekunder dari penelitian dikumpulkan 3 Jenis OD Trakhoma II 1 2,6 melalui proses observasi dan pencatatan 1 2,6 data rekam medis semua pasien yang 4 Jenis OD Trakhoma IIA 24 63,2 menjalani perawatan trakhoma di poliklinik mata Rumah Sakit Mata Pasuruan periode 5 Jenis ODS Trakhoma I 6 15,8 Oktober 2019-Januari 2021. Teknik pengolahan data menggunakan metode 6 Jenis ODS Trakhoma II 1 2,6 statistik deskriptif dengan bantuan software SPSS versi 23 untuk 7 Jenis ODS Trakhoma 2 5,3 menggambarkan fenomena. IIA 3 7,9 33 86,9 8 Jenis ODS Trakhoma IIB 9 Jenis ODS Trakhoma IIA-IIB A Gejala OD B Gejala OS C Gejala ODS HASIL *) OD = Oculi Dekstra, OS= Oculli Sinistra, ODS= Oculli Dekstra Sinistra Karakteristik Sosiodemografi Manajemen Berdasarkan analisis data 38 pasien pada tabel 1 terlihat bahwa pasien Tabel 3 menjelaskan bentuk sediaan trakhoma didominasi oleh perempuan dan manajemen yang didapatkan oleh (68,4%) dalam rentan usia 11-20 tahun pasien. Hasil analisis menunjukkan bahwa (65,8%). sebagian besar pasien diberikan antibiotik salep mata (100%), oral (100%) dan tetes Tabel 1. Karakteristik Sosiodemografi mata (70,6%). Penggunaan sediaan terbanyak berupa ointment oxytetracycline Trakhoma (55,3%). No Variabel Frekuensi % 1 Laki - Laki 12 31,6 2 Perempuan 26 68,4 Tabel 3. Manajemen Pasien Trakhoma A Usia 0-10 2 5,3 No Variabel Manajemen Frek % B Usia 11-20 25 65,8 1 Salep Mata - Oxytetracycline 18 100 2 Tetes Mata - Levofloxacin C Usia 21-30 5 13,2 Ofloxacin 12 70,6 D Usia 31-40 4 10,5 Sulfacetamide Sodium 3 Tetes Mata - Tobramycin E Usia 41-50 2 5,3 kombinasi dexamethasone 3 17,6 Neomycin, Polymyxin B Jenis dan Distribusi Munculnya Gejala kombinasi Dexamethasone Tabel 2 menjelaskan diagnosa jenis 4 Tetes Mata - dan posisi munculnya gejala trakhoma. Hasil analisis menunjukkan bahwa Carboxymethylcellulose 2 11,8 trakhoma jenis ODS trakhoma IIA Dextran, Hydroxypropyl merupakan jenis yang sering muncul Methycellulose 5 Oral - Ciprofloxacin Doxycycline 9 100 Amoxicillin 6 Bentuk Sediaan Salep Mata 21 55,3 Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 15-22. 18

ARTIKEL PENELITIAN 7 Bentuk Sediaan Tetes Mata 8 21,1 Mata Pasuruan sebanyak 63,2%. Tipe ini 8 Bentuk Sediaan Oral+Tetes 9 23,7 merupakan tipe yang sangat umum Mata menjangkit pasien dikarenakan berdasarkan referensi menunjukkan DISKUSI penyakit trakhoma aktif biasanya terlihat di Karakteristik Sosiodemografi masa kanak-kanak dan komplikasi Berdasarkan gejala diketahui bahwa sikatrikal atau jaringan parut tampak pada trakhoma lokasi tersering adalah kedua mata.7 Penelitian di Rumah Sakit Mata remaja dan orang dewasa.19 Hal ini Pasuruan juga menunjukkan lokasi terbanyak adalah kedua mata yaitu menjelaskan bahwa alasan trakhoma jenis muncul pada bagian oculi dekstra sinistra (86,9%) dari 38 kasus. Trakhoma ini sering terjangkit. biasanya ditransmisikan melalui kontak mata-tangan yang terkontaminasi kuman, Manajemen sehingga lokasi kedua mata yang berdekatan menjadi risiko penularan ke Sediaan ointment yang digunakan mata sisi yang lainnya meningkat.2 untuk pasien trakhoma pada Rumah Sakit Hasil analisis data terlihat bahwa mayoritas pasien yang menderita Mata Pasuruan merupakan obat trakhoma berjenis kelamin perempuan sebanyak 68,4%. Hal ini sesuai dengan oxytetracycline EO (Eye Ointment) referensi yang menyatakan bahwa trakhoma dapat mengenai seluruh jenis dengan sediaan ointment 3,5 G yang kelamin namun jenis kelamin perempuan merupakan jenis antibiotik dengan 4x lebih berisiko pada karena ditularkan dengan anak-anak dengan trakhoma kandungan bahan aktif oxytetracycline aktif.2 Ditinjau berdasarkan kategori usia, pasien dengan rentan usia 11-20 tahun hydrochloride 1%. Berdasarkan WHO lebih dominan yaitu 25 pasien atau 65,8 %. Hal ini berbeda dengan referensi yaitu merekomendasikan 2 antibiotik untuk menjelaskan bahwa prevalensi lebih dari 50% anak-anak berusia 1-9 tahun dan kontrol trachoma yakni azythromycine oral trikhiasis mempengaruhi lebih banyak dan salep mata tetracycline.17 10% orang dewasa. Prevalensi trichiasis pada dewasa berusia 15 tahun ke atas Oxytetracycline adalah antibiotik golongan telah diskrining adalah 0,3% dan 0,5% pada orang dewasa berusia 40 tahun tetracycline. Golongan tetracycline lebih.18 Hal ini menjelaskan bahwa kategori usia tidak memiliki pengaruh termasuk antibiotik yang bersifat signifikan terhadap infeksi trakhoma. bakteriostatik dan bekerja dengan Jenis dan Distribusi Gejala menghambat sintesa protein kuman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Oxytetracycline memberikan efek trakhoma jenis ODS trakhoma IIA merupakan jenis trakhoma yang paling bakteriostatik lebih dari satu jenis sering mengenai pasien di Rumah Sakit bakteri.20 Saat ini, tetracycline topikal (sebagai salep mata atau suspensi) adalah sediaan yang umumnya direkomendasikan untuk pengobatan trakhoma skala besar. Resistensi yang signifikan terhadap tetrasiklin belum ditunjukkan dalam chlamydia trakhomatis.17 Pasien juga diberikan obat 3 jenis obat tetes mata yaitu; antibiotik tunggal, kombinasi antibiotik dengan steroid, serta air mata buatan. Tetes mata jenis antibiotik tunggal yang diberikan adalah levofloxacin ED (Eye Drop), ofloxacin ED, dan sulfacetamide sodium ED dengan kandungan bahan aktif masing-masing yaitu levofloxacin 0,5%, ofloxacin 0,3% Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 15-22. 19

ARTIKEL PENELITIAN dan sulfacetamide sodium 15%. Pemberian kombinasi antibiotik dan Levofloxacin dan ofloxacin merupakan kortikosteroid diharapkan dapat golongan fluorokuinolon, memiliki cara mengurangi peradangan akibat proses kerja mempengaruhi sintesis atau inflamasi dan menghambat pertumbuhan metabolisme asam nukleat. Sulfacetamide bakteri pada infeksi Chlamydia adalah senyawa termasuk golongan Trachomatis. sulfonamida, memiliki mekanisme kerja Selain itu, pasien juga diberikan jenis dengan menghambat enzim-enzim sediaan air mata buatan yaitu essensial dalam metabolisme folat.20 carboxymethylcellulose ED dan Chlamydia trachomatis sangat sensitif pemberian dextran, hydroxypropyl terhadap tetrasiklin, eritromicin, dan methycellulose ED. Penderita chlamydia makrolida lain termasuk azitromisin, trachomatis aktif terutama pada anak- rifampisin, dan kuinolon, terutama anak akan mengalami episode infeksi ofloxacin.12 Obat topikal dapat menembus berulang akan meningkatkan risiko segmen anterior setelah melewati jaringan parut konjungtiva berikutnya, membran sel hidrofobik di epitel kornea, yang menyebabkan kelopak mata terbalik kemudian melewati stroma hidrofilik, dan (entropion) sehingga bulu mata terakhir melalui membran sel hidrofobik di menggores kornea (trichiasis). Akhirnya endotelium kornea. Partikel non-ionik lebih penglihatan hilang karena kekeruhan lipofilik daripada partikel ionik sehingga kornea yang tidak dapat diubah partikel ini lebih mudah melewati berkembang dari kombinasi serangan, membran fosfolipid seluler. Tetes mata yang membahayakan permukaan mata tersedia sebagai larutan atau suspensi air (trichiasis, dryness, infeksi bakteri atau dan lipid.21 jamur sekunder).22 Sehingga pemberian Obat tetes mata jenis kombinasi air mata buatan dapat digunakan untuk antibiotik dengan steroid yang digunakan mencegah dryness pada mata. untuk pasien adalah tobramycin kombinasi Tetes mata diberikan secara berkala dexamethasone ED dan neomycin, bertujuan menjaga kuantitas obat tidak polymyxin B kombinasi dexamethasone turun yang diakibatkan oleh barrier mata ED. Pada referensi dijelaskan bahwa sifat seperti berkedip, drainase nasolakrimal, imunopatogenik dari trakhoma adalah kornea, konjungtiva, dan sawar darah peradangan konjungtiva yang terlihat aquous.21 sering ditemukan tanpa adanya Jenis obat oral yang diberikan pada Chlamydia Trachomatis yang dapat pasien trakhoma merupakan ciprofloxacin dideteksi. Pemberian obat antibiotik tab, doxycycline tab, dan amoxicillin tab tobramycin, neomycin, polymyxin B dalam bentuk sediaan tablet. Sediaan merupakan antibiotik golongan obat oral yang diberikan merupakan aminoglikosida. Pada anak-anak dengan antibiotik dengan kandungan bahan aktif trachoma aktif, IL-1 telah ditemukan pada ciprofloxacin 500 mg, doxycycline 100 mg, sel epitel permukaan. Mendorong dan amoxicillin 500 mg. Ciprofloxacin perekrutan sel imun bawaan, termasuk merupakan golongan fluorokuinolon. neutrofil dan makrofag, yang memang Doxycycline termasuk antibiotik golongan terlihat dalam jumlah besar di substansia tetrasiklin, merupakan antibiotik propria subepitel pada anak-anak dengan bespektrum luas (broad spectrum) yaitu trakhoma aktif. Sehingga pemberian antibiotik yang dapat menghambat atau kortikosteroid untuk tambahan secara membunuh bakteri dari golongan gram nyata mengurangi peradangan dan positif maupun negatif. Sedangkan mencegah komplikasi jaringan parut.22 amoxicillin merupakan antibiotik golongan Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 15-22. 20

penicillin, mekanisme kerja dengan ARTIKEL PENELITIAN menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti -laktam.20 Dan jika timbul entropion dapat dilakukan Chlamydia trachomatis sebagian sensitif prosedur operasi. Dua prosedur terhadap kloramfenikol dan penisilin yang pembedahan biasanya digunakan untuk mempengaruhi pertumbuhan bakteri.12 mengoreksi TT: prosedur rotasi tarsal Berdasarkan referensi tersebut, ketiga bilamellar (BLTR) dan prosedur rotasi golongan antibiotik tersebut dapat tarsal lamelar posterior (PLTR).14 diberikan memiliki sensitivitas dan efektivitas terhadap bakteri Chlamydia Program pemberantasan apa pun akan Trachomatis. Semua bentuk pemberian gagal tanpa tingkat sanitasi, pembuangan obat oral akan mengalami proses air, dan ketersediaan air bersih. Penularan absorpsi. Pemberian obat sistemik agar trachoma terjadi bila kebersihan mencapai dosis terapeutik diperlukan lingkungan yang buruk, kepadatan rumah konsentrasi obat yang relatif tinggi dalam penduduk, dan lalat (vektor penyebab). plasma darah untuk mencapai dosis yang Oleh karena itu, strategi SAFE menangani efektif di dalam mata. Barier pemberian masalah kemiskinan dan kepadatan obat sistemik terdapat di saluran lingkungan, yang bertujuan untuk pembuluh darah endotel di retina. Obat meningkatkan kualitas hidup jutaan orang dengan kandungan lipid yang tinggi lebih di negara-negara termiskin di dunia.2 mudah menembus sawar darah mata.21 Keempat komponen strategi SAFE Berdasarkan bentuk sediaan obat yang sangatlah penting dalam setiap program diberikan rumah sakit, dijelaskan bahwa pengendalian yang berhasil. Antibiotik dan sebagian besar, pasien mendapatkan pembedahan tanpa higiene dan sanitasi jenis obat ointment (55,3%) lalu sisanya hanya dapat menghilangkan gejala dan diberikan sediaan berupa obat oral dan bukan penyebab penyakit. Peningkatan tetes mata. Berdasarkan penelitian Dias kebersihan rumah tangga dan pribadi Ardini pada Pemakaian berulang terhadap memiliki potensi besar untuk sterilitas salep mata oxytetracycline yaitu menghilangkan trakhoma secara keuntungan utama suatu salep mata di berkelanjutan, sementara pengobatan bandingkan larutan untuk mata adalah kasus aktif dengan antibiotik dapat penambahan waktu hubungan antara obat menyebabkan pengurangan reservoir mata dengan mata. Waktu kontak antara patogen.2 obat mata dengan mata pada salep mata, dua sampai empat kali lebih besar SIMPULAN dibandingkan larutan untuk mata. Namun salah satu kekurangan penggunaan salep Penelitian ini merupakan gambaran mata adalah kaburnya penglihatan yang karakteristik manajemen pasien trakhoma terjadi saat salep mata meleleh dan di Rumah Sakit Mata Pasuruan pada menyebar melalui lensa mata.23 periode Oktober 2019 hingga Januari 2021 dengan total 38 pasien yang Pengobatan terhadap penyakit menjalani rawat jalan. Penelitian ini trakhoma diberikan sesuai dengan menunjukkan bahwa pasien sebagian stadiumnya. Pada stadium trachomatous besar berjenis kelamin perempuan follikularis dan trachomatous intense dengan sebagian besar dalam rentan usia diberikan kombinasi obat lokal dan 11-20 tahun. Trakhoma ODS trakhoma IIA sistemik. Pada stadium trachomatous merupakan jenis yang sering muncul trichiasis dilakukan epilasi pada trichiasis. (63,2%) dengan sebagian besar gejala muncul pada oculi dekstra sinistra (86,9%). Penanganan pasien dilakukan dengan obat jenis antibiotik tunggal, Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 15-22. 21

ARTIKEL PENELITIAN steroid dan air mata buatan dalam bentuk 12. David,S., Uwe,P., 2007. Ocular Infection. ointment, oral dan tetes mata. Sebagian besar pasien diberikan ointment dengan Second Edition. New York Berlin jenis antibiotik oxytetracycline. 13. Mohammadpour, M., Mojtaba, A., Ahmad, M., Hassan., 2016. Trachoma: Past, Present, and Future. Available from: https://doi.org/10.1016/j.joco.2016.08.011 14. World Health Organization, 2001. Report DAFTAR PUSTAKA of the First Meeting of the WHO Alliance for the Global Elimination of Trachoma, Geneva, Switzerland. The SAFE strategy 1. Burton, M.J., Trachoma : An Overview. for the elimination of trachoma by 2020: British Medical Bulletin. 2007. Available will it work? Available from: from: https://doi.org/10.1093/bmb/ldm034 https://www.who.int/bulletin/archives/79(3 2. World Health Organization, 2020. )233.pdf Trachoma. https://www.who.int/news- 15. Schachter, J., West, S.K., Mabey, D.H., room/fact-sheets/detail/trachoma Dawson, C.R., Bobo, L., Bailey, R., 2002. 3. Kementerian Kesehatan RI, 2020. Situasi Trachoma. Lancet. Journal of Current Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. Ophthalmology. 354:630-5. Pusat Data Dan Informasi Kementerian 16. Laver, N.V., Charles, S., Specht., 2016. Kesehatan RI, 1-4. Available from : The Infencted Eye Clinical Practice and https://infodatin-Gangguan-penglihatan- Pathological Principles.p.42-44 2018%20.pdf 17. Bailey, R.L., Arrulendran, P., Whittle, 4. Mecaskey, J.W., Knirsch, C.A., H.C., Mabey, D.C.W., Randomised Kumaresan, J.A., Cook, J.A., 2003. The control azitromisin in treatment of Possibility Of Eliminating Blinding trachoma British Journal of Trachoma. Lancet Infect Dis. 3:728-734. Ophthalmology. 2005.. Lancet. 353:1401- Available from : 3. Available from: https://www.who.int/blindness/publication doi: 10.1136/bjo.2004.062489 s/GET17Report_final.pdf?ua=1 18. World Health Organization, 2018. Global 5. Tabbara, K.F., 2014. Ocular Infections Trachoma Atlas :Trachoma Altas. [editorial] Saudi J Ophthalmol. p.28-29. Georgia. 6. American Academy of Ophthalmology, 19. WHO Alliance for The Global Elimination 2020. Basic and Clinical Science Course of Trachoma by 2020 : Progress report. 2019-2020. Section 8: External Disease The American journal of tropical medicine and Cornea. San Francisco. and hygine. 2003. Available from : 7. Vaughan, D., Asbury, T., 2007. General https://doi.org/10.4269/ajtmh.2003.69.24 Ophthalmology 17 th Edition. Lange 20. Kementerian Kesehatan Republik Medical Publi-cation, California, 418. Indonesia, 2011. Pedoman Pelayanan 8. Lanjouw, E., Ouburg, S., Vries, H.J., Kefarmasian Untuk terapi antibiotik. Stary, A., Radcliffe, K., Unemo, M., 2015. Jakarta.Available from : European guideline on the management https://farmalkes.kemkes.go.id/2014/12/p of Chlamydia trachomatis infections. edoman-pelayanan-kefarmasian-untuk- International Journal of STD & AIDS, 2, 1- terapi-antibiotik/ 16. Available from: 21. Haryono, Aditia, A., 2020. Desain dan https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/2660857 Metode Penghantaran Obat Mata 7/ Fakultas Kedokteran Universitas 9. Kanski, J.J., 2020. Clinical Padjadjaran. Pusat Mata Nasional Rumah Ophthalmology A Systematic Approach, Sakit Mata Cicendo.. Ninth Edition Butterworth Heinemann 22. Trachoma: Protective and Pathogenic Elsevier. Ocular Immune Responses to Chlamydia 10. Terry, J.E., 2004. Ocular Disease trachomatis PLoS Negleted Tropical Detection, Diagnosis and treatment. Diseases. 2013 Feb; 7(2): e2020. Butterworths, Boston London. p. 411 - Published online 2013 Feb 14. Available 413 and 673 – 677 form: doi: 10.1371/journal.pntd.0002020 11. World Health Organization, 2006. Guide 23. Ardini, D., 1990. Pengaruh Pemakaian Trachoma Control. Geneva. Available Berulang terhadap sterilitas salep mata from : “oxytetraxyclin”. Perpustakaan https://apps.who.int/iris/handle/10665/434 Universitas Airlangga. Available from : 05 http://repository.unair.ac.id/10091/2/Binde r2.pdf Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 15-22. 22

CASE REPORT Jurnal Oftalmologi 2021, Vol. 3, No. 1. P-ISSN.2723-6935, E-ISSN.2541-4283 IMMEDIATE MANAGEMENT OF OCULAR BEE STING RESULTS IN BETTER VISUAL OUTCOME – A CASE REPORT Siska*, Nadia Elena Pamudji Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar *Correspondence : Siska, E-mail : [email protected] ABSTRACT Introduction: Ocular bee stings is an uncommon environmental eye injury that can result in various ocular complications. Due to the rarity of cases and controversial management, there are only a few literatures reported. Unfortunately, delay in management will be fatal for patients. Purpose: To highlight early management and complication of ocular bee sting case Case Presentation: A 24-year-old man presented to our hospital with chief complaint pain and blurred vision on his right eye in the last 2 days ago after being stung by bee. A part of the sting was already revoked, and the eye was rinsed off with tap water. The visual acuity on the right eye was hand movement with corneal edema, and bee sting track seen at the cornea. The anterior chamber was covered with hypopion and fibrins. An emergency bee sting extraction was quickly performed. We found the sting pierced in a diagonal way to the iris. We injected triamcinolone acetate intracamerally to make sure the exact location and how deep the sting embedded. The visual acuity improved to 6/30 a day after the surgery, but the cornea was melted and anterior uveitis still discovered, with increasing intraocular pressure. Topical and systemic corticosteroid, oral acetazolamide, topical antibiotic, and atropine were prescribed. The last condition, 2 weeks after extraction, best corrected visual acuity became 6/12 and no anterior chamber reaction discovered with corneal scarring. Conclusions: Immediate bee sting extraction with triamcinolone acetate injection intracamerally to ensure the location of the sting can be beneficial to patient’s visual outcome. Keywords: bee stings, corneal bee stings, triamcinolone acetate, immediate surgery, high IOP INTRODUCTION the bee and the subsequent inflammatory response of the patient3,5. Ocular bee stings are an infrequent form of eye trauma characterized by Unfortunately, due to rarity of this penetrating, infectious, toxic, and condition, there is no clear guideline for immunologic reaction1. This rare condition management of affected individuals. that can lead to potentially devastating Overall, in the current literature, the clinical complications including keratitis, corneal approach to corneal bee stings remains opacity, uveitis, iris atrophy, glaucoma, controversial, ranging from conservative to cataract, lens subluxation, bullous surgical choices6. The current clinical keratopathy, optic neuritis, and approach to corneal bee sting is to remove retinopathy2. Bee venom is a mixture of the embedded sting from the cornea, toxic substances such as phospholipase followed by topical steroid and antibiotics, A, phospholipase B, apamine, and mydriatic-cycloplegic eyedrops3,6,7. hyaluronidase, and mast cell This case is made to highlight early degranulating peptide 2,3,4. The ocular management and complication of a rare morbidity associated with this trauma case patient with ocular bee sting resulting would depend on the interplay between better visual outcome and manageable the nature and virulence of the venomous complications achieved. toxins elaborated by the constituents of Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 23-27. 23

CASE PRESENTATION CASE REPORT A 24 year old man presented to perivascular injection were present. His emergency department complaining best corrected visual acuity was hand moderate pain and blurry vision on his movement in the affected eye. Slit lamp right eye (RE) since 2 days ago after being biomicroscope revealed a bee sting stung by bee. From history taking, the embedded into the cornea at 1 o’clock patient admitted that a part of the sting position with fibrin filled all layer of cornea was already revoked with bare hand and and severe descemet fold around the sting then the eye was rinsed off with tap water. (Figure 1a). Anterior chamber reaction Before admitted to the hospital, patient was notable with hypopyon presenting. was already being prescribed some The intraocular pressure and depth of the medications, but the patient could not anterior chamber were within normal limits recall the medications. The right upper and and the lens was seems clear. lower eyelids were swollen and spasm, Examination was unremarkable in the left and significant conjunctival and eye. A B Figure 1.(A) Photographs of the sting cornea in diffuse and (B) slit illumination during initial examination Slit-lamp guided sting removal was not 45o curved forceps. We made sure the iris possible because the tip of the sting was was free from bee sting toxin by irrigating not accessible (Figure 1b). the patient was and aspirating the anterior chamber. initially treated with a topical antibiotic Intracameral antibiotics and air bubble (levofloxacin eye drops every 3 hours), a were injected to made sure the anterior topical and oral corticosteroid chamber was deep. (prednisolone acetate eye drops every 3 hours and methyl prednisolone 24 mg Postoperatively, the patient received every 8 hours), a topical cycloplegic (1% extra vitamin C every 8 hours orally and, atropine sulphate eye drops every 8 epithelial regeneration sterile eye drops hours), and oral analgesic (diclofenac every 6 hours. Follow-up on the first day sodium every 12 hours). A local after the removal of bee sting, the visual anesthesia assisted bee sting removal acuity improved to 6/12 with minimal was immediately prepared. Explore the descemet fold, and keratic precipitate cornea using cresent make sure where (Figure 2A&B). The intraocular pressure was the sting. Stung was not discovered in was 47 and the patients was prescribed the cornea. We made main incision at 9 acetazolamide every 6 hours, and o’clock and put some 10% triamcinolone aspartate kalium every 12 hours orally the acetate into the anterior chamber to locate being discharged from the hospital. the exact location of the bee sting. Follow-up day 5, the intraocular pressure Removal of the foreign body was done by was decreased to 23 but the visual acuity became 1-meter counting finger due to Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 23-27. 24

moderate descemet fold and dilated pupil CASE REPORT on cycloplegic agent (Figure 2C). The corticosteroid being tapered off, as well as 15 days of follow-up, the fibrin inside all the acetazolamide. Within approximately layer of cornea decreased gradually leaving scarring (Figure 2D), and BCVA improved to 6/12. AB CD Figure 2. Photographs of anterior segment in diffuse illumination during approximately 15 days of follow-up (A-B) Day 1 of follow-up (ie, the surgery date). Note the air bubble in the anterior chamber and leaving corneal fibrin after removing the sting. (C) Day 5 of follow-up. The pupil was dilated do to cycloplegic agent. The descemet fold started to reform, and the fibrin was reduced. (D) Day 15 after the surgery, descemet fold was reduced, leaving the scarring. DISCUSSION strategies, depending on the severity of ocular complications and the status of the In the present study, we describe a sting within the eye. Several studies patient with a deeply embedded bee sting recommend initial therapy with topical in the cornea. We conducted immediate antibiotics and corticosteroids for the sting extraction due to possible severe prevention of secondary infection and complication following the toxic venom. suppression of venom-induced The condition of the eye is judged by inflammation. Analgesics and cycloplegics severity of corneal reactions in the were also reported to be beneficial in inflammation, infiltration, edema, the some instances6,7,9,10. In several studies, distance of the stinger from the visual axis the sting was removed manually from the and consequent visual disturbances, depth cornea in the first step by extracting its of the protrusion, and its external visible end from the cornea. However, accessibility. Based on these factors, external removal of the sting can be removal of the sting at the slit lamp or in difficult and is sometimes associated with the operating room may be indicated. The the risk of leaving broken fragments within bee sting in the superficial cornea can be the cornea6,9,12. Deeply embedded sting, readily accessed and removed at the slit especially those extending to the anterior lamp3. chamber, need surgery. A technique described by Sedaghat is that with a side In the literature, studies are port knife, an incision perpendicular to the controversial in respect of management Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 23-27. 25

CASE REPORT corneal surface over the area of the sting High dose systemic steroid to suppress was removed completely and one 10-0 the active inflammation was suggested in polyamide suture applied3,12. In our case, previous report2,14. With the intensive initial the sting was embedded into the iris and it treatment, we obtained visual recovery was not possible to remove it on slit lamp. and decreasing of corneal fibrin in 15 So, we perform emergency surgery to days. We believe the intensive treatment remove bee sting from iris. An incision was including early surgical interventions and made with a side port knife and high-dose steroid therapy has advantages triamcinolone acetate was injected such as prevent sight-threatening serious intracamerally to locate the sting, and then sequelae by eliminating the venom and removed the sting from iris using 45o blocking the inflammatory response in curved forceps. Irrigation and aspiration early stage, enables rapid visual recovery were done to clean toxin from anterior so early return to work and daily life can chamber. Then the patient continued the be achieved. Quality of life of the patients topical antibiotics (levofloxacin eye drops), can also be promoted. Thus, we believe topical and oral corticosteroid attention should be paid to the risk of (prednisolone acetate eye drops and secondary infection and reverse raise of methyl prednisolone 24 mg), topical intraocular pressure when administering cycloplegic (1% atropine sulphate eye high dose steroid. In the present case, we drops), and oral analgesic (diclofenac used systemic and topical antibiotics for sodium). We also prescribed vitamin C prevention of the secondary infection and and epithelial regeneration sterile eye systemic antiglaucoma agent to control drops. intraocular pressure. Complications following ocular bee CONCLUSION sting penetration such as uveitis (59.09%), cataract (34.09%), raised intraocular Ocular bee stings injuries are rare but pressure (18.18%) were reported in many literatures as described by Semler-Collery can have serious complications that can et al. In more than 70% of previous publications, there was conjunctival include uveitis, and raised intraocular hyperemia associated with conjunctival edema on initial examination, which pressure. Although there are no treatment indicated a local inflammatory reaction due to the components of bee venom. In 60% guidelines, management includes the of cases, there was a visible corneal stromal inflammation around the bee sting withdrawal of the stinger and the use of site, and in 40% of cases, there was associated edema of the eyelid7. Such topical anti-inflammatory eye drops and findings were also found in our study which intraocular pressure began to raise antibiotics combined with systemic the first day after removal of bee sting that was controlled with antiglaucoma agent. corticosteroid treatment and cycloplegics Anterior uveitis was also occurred before and after extraction of bee sting. agent. We recommend surgical removal of Conjunctival hyperemia and edema were also discovered on initial examination bee sting in all cases. Preferably, patients followed by corneal stromal inflammation that occurred post operatively. should be admitted in the ward for close monitoring of complications untill the condition improves. Appropriate management of bee sting can save the patient’s vision and reduce the risk of complications. REFERENCES 1. Rai, R. R., Gonzalez-Gonzalez, L. A., Papakostas, T. D., Siracuse-Lee, D., Dunphy, R., Fanciullo, L., Daly, M. K. Management of Corneal Bee Sting Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 23-27. 26

Injuries. Seminars in Ophthalmology; CASE REPORT 2017: 32(2), 177–181. 27 2. Kim, J.-H., Kim, M., Lee, S.-J., Han, S. B., & Hyon, J. Y. Corneal Bee Sting Controlled with Early Surgical Intervention and Systemic High-Dose Steroid Therapy. Case Reports in Ophthalmological Medicine; 2014: 1–3. 3. Kularia, A. K., Vyas C.S. Bee Sting Injury to Cornea: A Case Report. DJO 2019; 29:108-110 4. Vélez, Mauricio, Salazar, Gloria I, & Monsalve, Patricia. Bee sting of the cornea. Case report. Colombia Médica; 2010: 41(2), 176-178. 5. Gudiseva, H., Uddaraju, M., Pradhan, S., Das, M., Mascarenhas, J., Srinivasan, M., & Prajna, N. V. Ocular manifestations of isolated corneal bee sting injury, management strategies, and clinical outcomes. Indian journal of ophthalmology; 2018: 66(2), 262–268. 6. Razmjoo, Abtahi, Roomizadeh P, Mohammadi, Abtahi S. Management of corneal bee sting. Clin Ophthalmol. 2011;5:1697-1700. 7. Semler-Collery, A., Hayek, G., Ramadier, S., & Perone, J. M. A Case of Conjunctival Bee Sting Injury with Review of the Literature on Ocular Bee Stings. The American journal of case reports 2019; 20: 1284–1289. 8. Smith, D. G., & Roberge, R. J. (2001). Corneal bee sting with retained sting. The Journal of Emergency Medicine, 20(2), 125–128. 9. Teoh SC, Lee JJ, Fam HB. Corneal honeybeesting. Can J Ophthalmol. 2005;40(4):469–471. 10. Choi MY, Cho SH. Optic neuritis after bee sting. Korean J Ophthalmol. 2000;14(1):49–52. 11. Chuah G, Law E, Chan WK, Ang CL. Case reports and mini review of bee stings of the cornea. Singapore Med J. 1996;37(4):389–391. 12. Yildirim N, Erol N, Basmak H. Bee sting of the cornea: a case report.Cornea. 1998;17(3):333–334. 13. Sedaghat, MR. Mazouchi M., Saghen Hossein Poor S. Corneal Bee Sting Causing Seriois Visual Complications: A Case Report. Iranian Journal of Ophthalmology 2012; 24: 66-70, https://youtu.be/nLhehkqbvkw. 14. Kim J. M.; Kang, S.J.; Kim, M.K.; Wee, W.R.; and Lee, J.H. Corneal Wasp Sting Accompanied by Optic Neuropathy and Retinopathy. Japanese Journal of Ophthalmology. 2011; Vol 55 no 2: 165-7 Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 23-27.

LAPORAN KASUS Jurnal Oftalmologi 2021, Vol. 3, No. 1. P-ISSN.2723-6935, E-ISSN.2541-4283 PROGRESIVITAS DAN TATALAKSANA KERATOKONUS SETELAH SATU TAHUN TINDAKAN CORNEAL CROSS-LINKING Aditia Apriyanto Haryono1,2, Karmelita Satari1,2, Susanti Natalya Sirait1,2, Ine Renata Musa1,2 1Pusat Mata Nasional, Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung. 2Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung. *Korespondensi : Aditia Apriyanto H, E-mail : [email protected] ABSTRAK Pendahuluan : Keratokonus merupakan kelainan ektasia kornea bersifat progresif tanpa inflamasi dengan penipisan dan penonjolan kornea yang menyebabkan astigmatisme ireguler. Diagnosis keratokonus ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftamologi, dan pemeriksaan topografi. Tatalaksana keratokonus berupa kacamata, lensa kontak dan corneal cross-linking. Progresivitas keratokonus dapat diturunkan melalui tindakan corneal cross-linking. Tujuan : Untuk melaporkan progresivitas dan tatalaksana keratokonus setelah satu tahun tindakan corneal cross-linking. Laporan Kasus : Perempuan usia 30 tahun datang ke Rumah Sakit Mata Cicendo dengan keluhan buram kedua mata sejak 4 bulan yang lalu. Riwayat corneal cross-linking satu tahun yang lalu. Riwayat penggunaan kacamata 5 bulan yang lalu. Riwayat menggosok mata dan alergi. Pemeriksaan tajam penglihatan mata kanan 3/60 dengan pin hole 0,2 dan mata kiri 2/60 dengan pin hole 0,2. Tajam penglihatan terbaik dengan koreksi mata kanan S-5,00 C-5,00 x 180 sebesar 1,0 dan mata kiri S-6,00 C-6,00 x 170 sebesar 1,0. Pemeriksaan tomografi pentacam dibandingkan sebelum dan setelah tindakan cross-linking. Terdapat penurunan ketebalan kornea setelah satu tahun corneal cross-linking mata kanan 4% dan mata kiri 3,2%. Terdapat peningkatan nilai Kmax pada mata kanan 0,4D sedangkan mata kiri 2,6D. Simpulan : Tomografi pentacam dapat menilai progresivitas keratokonus. Tindakan corneal cross- linking dapat menurunkan progresivitas keratokonus. Tatalaksana keratokonus berdasarkan pada derajat keratokonus. Kata kunci : corneal cross-linking, progresivitas keratokonus, tomografi pentacam. PENDAHULUAN Diagnosis keratokonus dapat ditegakan Keratokonus adalah kelainan ektasia berdasarkan anamesis, gejala klinis, dan kornea yang bersifat progresif, tanpa inflamasi dengan penipisan aksial kornea hasil pemeriksaan topografi atau sehingga terjadi penonjolan bentuk kornea seperti kerucut yang menyebabkan tomografi. Tomografi kornea merupakan astigmatisme ireguler. Keratokonus terjadi pada kedua mata, namun dapat bersifat alat diagnostik untuk menganalisis asimetris. Progresivitas keratokonus dimulai usia dekade kedua hingga morfologi kornea secara kualitatif dan keempat. Insidensi keratokonus sekitar satu berbanding 2000 pada populasi kuantitatif. Keratokonus dapat dinilai lebih umum. Insidensi lebih besar di Asia selatan dan Timur tengah dengan kejadian awal melalui tomografi kornea sehingga perempuan sedikit lebih besar dibandingkan laki-laki. Prevalensi dapat menentukan tatalaksana lebih dini Keratokonus sekitar satu berbanding 375 pada populasi umum. 1–4 agar progresivitas keratokonus dapat dikontrol.4,5 Tatalaksana keratokonus ditentukan berdasarkan tingkat derajat. Tujuan tatalaksana keratokonus yaitu memberikan penglihatan optik yang baik dengan mengkoreksi kelainan refraksi dan menurunkan progresivitas keratokonus. Kacamata, kontak lensa lunak, dan kontak Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 28-34. 28

lensa rigid gas permeable (RGP) hanya LAPORAN KASUS memperbaiki tajam penglihatannya tetapi tidak dapat menghentikan progresivitas makanan yang timbul merah-merah dan keratokonus. Corneal cross-linking (CXL) gatal. Pasien memiliki kebiasan suka adalah modalitas pilihan tindakan untuk menggosok matanya. menurunkan progresivitas keratokonus.5,6 Laporan kasus ini akan membahas Riwayat dilakukan tindakan CXL mengenai progresivitas dan tatalaksana dengan protokol dresden satu tahun yang keratokonus setelah satu tahun tindakan lalu di RS Mata Cicendo tanggal 29 CXL. Januari 2020 pada mata kanan dan tanggal 9 Maret 2020 pada mata kiri. Mata LAPORAN KASUS kanan terdapat komplikasi ulkus steril setelah satu minggu tindakan CXL Pasien Ny. S, perempuan usia 30 sedangkan mata kiri tidak terdapat tahun datang ke Poliklinik Refraksi, Lensa komplikasi. Pasien tidak kontrol satu bulan Kontak dan Low Vision Rumah Sakit Mata setelah tindakan CXL untuk koreksi ulang Cicendo pada tanggal 4 Maret 2021 kacamata. dengan keluhan buram pada kedua mata sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan buram Pemeriksaan fisik dalam keadaan baik, terutama pada mata kiri. Tiga minggu tanda vital dan status generalis dalam yang lalu mata kiri merah setelah batas normal. Pemeriksaan refraktometer memakai kontak lensa yang dipakai pupil kecil menunjukan mata kanan S-7,50 hingga dua hari. Pasien sehari-hari C-7,25 x 180 dan mata kiri S-8,75 C-10,00 memakai kacamata tetapi jika ada x 165. Pemeriksaan lensometer kacamata kegiatan perkerjaan pasien memakai mata kanan S-4,50 C-5,25 x 172 dengan lensa kontak yang dibeli dioptik. visus 0,8f2 dan mata kiri S-4,50 C-6,00 x Perkerjaan sebagai administrasi di suatu 177 dengan visus 0,25. Visus dasar mata perusahaan dan pekerjaan lain sebagai kanan 3/60 dengan pin hole 0,2 dan mata pembawa acara. Riwayat menggunakan kiri 2/60 dengan pin hole 0,2. Visus mata kacamata sejak kecil. Kacamata yang kanan dengan koreksi S-5,00 C-5,00 x terakhir dipakai sejak 5 bulan yang lalu. 180 menjadi 1,0 dan mata kiri dengan Riwayat keluarga ada yang memakai koreksi S-6,00 C-6,00 x 170 menjadi 1,0. kacamata tebal. Riwayat alergi obat Visus dekat dengan menggunakan koreksi disangkal tetapi terdapat riwayat alergi terbaik adalah 0,8M/30cm. Jarak antar pupil penglihatan dekat 64 mm dan jauh 66 mm. AB Gambar 1. Pemeriksaan Segmen Anterior A. Mata kanan B. Mata kiri. Pada pemeriksaan Hirschberg orthotropia. Pemeriksaan gerak bola mata didapatkan kedudukan kedua bola mata normal kesegala arah. Tekanan Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 28-34. 29

intraokular menggunakan non contact LAPORAN KASUS tonometer mata kanan 16 mmHg dan mata kiri 17 mmHg. Pemeriksaan segmen iris sinekia (-), lensa jernih. Pemeriksaan anterior mata kanan dan kiri didapatkan segmen posterior kedua mata didapatkan hasil palpebra tenang, konjungtiva tenang, myopic fundus. Penilaian kualitas air mata kornea sikatrik, bilik mata depan Van kedua mata dengan Schirmer test 1 Herick grade III, flare/sel -/-, pupil bulat, adalah 15 mm, tes tear break up time (TBUT) 8”, dan horizontal visible iris diameter (HVID) 11 mm. AB Gambar 2. Pemeriksaan Pentacam Mata Kanan A. Sebelum Tindakan CXL, Kmax 48,4D, Pakimetri 522μm. B. Satu Tahun Setelah Tindakan CXL, Kmax 48,8D, Pakimetri 501 μm. AB Gambar 3. Pemeriksaan Pentacam Mata Kiri A. Sebelum Tindakan CXL, Kmax 48,4D, Pakimetri 522μm. B. Satu Tahun Setelah Tindakan CXL, Kmax 51,0D, Pakimetri 505 μm. Pemeriksaan tomografi kornea setelah kanan 522 μm menjadi 501 μm dan mata satu tahun CXL pada mata kanan kiri 522 μm menjadi 505 μm. didapatkan K1 42,9D, K2 47,9D, Kmax 48,8D, progression indeks min 0,94, Pasien didiagnosis dengan keratokonus progression indeks max 1,58, ketebalan post CXL satu tahun dengan astigmatisme kornea 501 μm. Pada mata kiri didapatkan miopia compositus mata kanan dan kiri. K1 43,6D, K2 49,4D, Kmax 51,0D, Pasien direncanakan untuk pemberian progression indeks min 0,72, progression kacamata dan lensa kontak lunak torik indeks max 1,92, ketebalan kornea 505 sekali pakai. Parameter yang diukur ketika μm. Jika dibandingkan dengan hasil fitting adalah diameter, base curve, dan tomografi satu tahun yang lalu, terdapat power. Pada mata kanan didapatkan K1 penurunan ketebalan kornea pada mata 7,86 mm dan K2 7,05 mm sedangkan mata kiri didapatkan K1 7,74 mm dan K2 6,83 mm. Pasien dilakukan fitting lensa kontak Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 28-34. 30

LAPORAN KASUS lunak torik pada mata kanan S-5,50 C-2,25 riwayat anggota keluarga dengan keluhan x 180 dan mata kiri S-6,50 C-2,25 x 180 dengan base curve 8,5 mm dan diameter serupa, tetapi pasien memiliki faktor risiko 14,5 mm. Visus yang didapatkan setelah pasien menggunakan lensa kontak pada seperti riwayat alergi dan suka menggosok mata kanan dan kiri 0,8. mata. Evaluasi fitting lensa kontak lunak torik menggunakan slitlamp untuk melihat Gejala klinis pada keratokonus memiliki sentrasi dan pergerakan. Hasil slitlamp indeks sentrasi yang baik, pergerakan beragam jenis. Pada tahap awal hasil lensa kontak saat mata berkedip baik, penanda tidak terjadi malrotasi. Pasien pemeriksaan keratometri dapat indeks mendapat edukasi penggunaan lensa kontak yang hanya digunakan sekali pakai, astigmatisme yang tinggi hingga dapat tidak dipakai ketika tidur atau seharian penuh, dan tidak dipakai berulang kali. menyebabkan penurunan tajam DISKUSI penglihatan terbaik dengan koreksi. Progresivitas keratokonus dimulai dari Refleks scissoring dan tanda Charleux usia 20 hingga 40 tahun. Angka kejadian relatif sama pada laki-laki maupun merupakan tanda awal pada keratokonus. perempuan. Golongan Asia Selatan dan Timur Tengah lebih tinggi angka kejadian Cincin Fleischer, Vogt striae, tanda keratokonus.2,3 Pada laporan kasus ini berusia 30 tahun dapat mengalami Munson dan tanda Rizutti dapat tejadi pada progesivitas keratokonus hingga usia dekade keempat. keratokonus tahap lanjut. Komplikasi Etiologi dan patofisiologi keratokonus keratokonus dapat terjadi hidrop akut dan hingga saat ini belum dapat dipastikan. Keratokonus dapat terjadi pada setiap sikatrik kornea.2,4,8 Pada pasien ini hasil lapisan kornea. Sel epitelial kornea dapat membesar dan memanjang. Degenerasi refraktometer indeks nilai astigmatisme awal pada basal sel epitelium dapat merusak lapisan dalam posterior epitelium yang tinggi. Koreksi penglihatan jauh dapat ke lapisan Bowman dan kolagen anterior stroma. Secara histologi keratokonus dapat tercapai baik dengan koreksi. Tanda klinis berupa deposit zat besi di basal epitelium pada dasar kerucut, fragmentasi atau lanjut pasien ini tidak muncul dikarenakan kerusakan di lapisan Bowman, penipisan stromal kornea dan epitelial, lipatan atau masih dalam tahap awal keratokonus. kerusakan di membran Descemet, dan jaringan parut. Keratokonus berkaitan Berdasarkan Global Consensus in dengan genetik dan faktor lingkungan seperti adanya anggota keluarga yang Keratoconus and Ectactic Disease, memiliki keluhan serupa, alergi okular, riwayat atopi, faktor mekanik seperti keratokonus terdiri dari tiga kriteria yaitu, menggosok mata, floppy eye syndrome.4,7 Pada pasien ini tidak terdapat adanya ektasia kornea posterior yang tidak normal, distribusi ketebalan lapisan kornea yang tidak normal, dan penipisan lapisan kornea yang tidak bersifat inflamasi. Terdapat klasifikasi ABCD yang memasukan data topografi kornea sehingga dapat mempresentasikan kondisi perubahan anatomi dan fungsional keratokonus. Klasifikasi ini terdapat 4 hal yang diperhitungkan yaitu radius kelengkungan anterior, radius kelengkungan posterior, pemeriksaan pakimetri, tajam penglihatan dengan koreksi terbaik dan ada tidaknya sikatrik kornea.2,5 Pada mata kanan terdapat radius kelengkungan anterior 7,49 mm, radius kelengkungnan posterior 6,13 mm, pakimetri 501 μm dan tajam penglihatan koreksi terbaik 1,0. Pada mata kiri terdapat radius kelengkungan anterior 7,42 mm, radius kelengkungnan posterior 6,12 mm, pakimetri 505 μm dan tajam penglihatan koreksi terbaik 1,0. Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 28-34. 31

Pemeriksaan penunjang untuk LAPORAN KASUS diagnosis keratokonus dapat dilakukan insidensi progresivitas keratokonus setelah 1 tahun tindakan CXL sebanyak 23% keratometri, topografi dan tomografi dengan membandingkan nilai Kmax yang meningkat >1,0D.5,10–12 Pasien ini kornea, dan Anterior segment optical mempunyai D-indeks mata kanan sebelum CXL sebesar 1,08 dan satu tahun coherence tomography (AS-OCT). setelahnya 1,93, sedangkan mata kiri sebelum CXL sebesar 1,29 dan satu tahun Pentacam merupakan jenis pemeriksaan setelahnya 1,53. Nilai Kmax pada mata kanan terdapat peningkatan sebesar 0,4D tomografi kornea berbasis prinsip sedangkan pada mata kiri sebesar 2,6D. Berdasarkan nilai Kmax pada mata kanan Scheimpflug. Pemeriksaan tomografi ini tidak terdapat progresivitas keratokonus sedangkan pada mata kiri terdapat dapat memperoleh gambaran kornea progresivitas. Berbeda dengan parameter nilai pakimetri terdapat penurunan ≥2% secara tiga dimensi, permukaan kornea pada kedua mata, yaitu sebesar 4% pada mata kanan dan 3,2% mata kiri. anterior dan posterior. Pentacam Tatalaksana keratokonus dapat dengan memberikan informasi mengenai maupun tanpa tindakan operasi. Penanganan tanpa tindakan seperti keratometri, pakimetri, peta elevasi kornea, penggunaan kacamata atau lensa kontak. Tindakan operatif berupa CXL, intracorneal ukuran pupil, peta Belin Ambrosio ring segments, deep anterior lamellar keratoplasty, dan penetrating keraoplasty. Enhanced Ectasia Display (BAD) dan Tujuan dari tatalaksana keratokonus yaitu memaksimalkan tajam penglihatan. segmen anterior mata. Peta BAD dapat Corneal cross-linking merupakan modalitas pertama dapat menurunkan progresivitas menilai perubahan elevasi kornea anterior keratokonus. Tindakan CXL merupakan tindakan yang aman dan low invasive dan posterior, ketebalan kornea pada titik untuk pasien yang memiliki risiko progresivitas keratokonus tinggi.13,14 Pada tertipis, perpindahan titik tertipis, dan pasien ini dilakukan pemasangan lensa perkembangan pakimetri.3,9 Pada pasien ini kontak torik pada mata kanan S-5,50 C- 2,25 x 180 dan mata kiri S-6,50 C-2,25 x dilakukan pemeriksaan pentacam peta 180 dengan base curve 8,5 mm, diameter 14,5 mm dan visus 0,8 pada kedua mata. BAD sebelum dan setelah dilakukan CXL Pasien memiliki riwayat kebersihan yang kurang baik sehingga pemberian lensa satu tahun untuk menilai progresivitas kontak lunak torik sekali pakai keratokonus berdasarkan dari nilai Kmax, Tindakan CXL memiliki tujuan untuk memperkuat jaringan kornea dan pakimetri di titik tertipis, dan nilai D indeks. menghentikan progresivitas keratokonus. Penggunaan riboflavin (vitamin B2) Progresivitas keratokonus dapat dinilai sebagai fotosensitizer alami dan sinar Ultraviolet-A (UVA) untuk melepaskan dengan membandingkan hasil radikal bebas yang meningkatkan pemeriksaan tomografi. Berdasarkan Global Consensus in Keratoconus and Ectactic Disease terdapat dua perubahan dari tiga parameter untuk menilai progresivitas ektasia, yaitu perubahan kecuraman permukaan kornea anterior, perubahan kecuraman permukaan kornea posterior, penipisan dan atau peningkatan laju perubahan ketebalan kornea dari perifer ke titik tertipis. Beberapa parameter dapat menilai progresivitas keratokonus, yaitu peningkatan Kmax ≥1,0D, Kmax – Kmin ≥1,0D, Kmean ≥0,75D, power apex kornea ≥1,0D, manifest refractive sperical equivalent (MSRE) ≥0,5D, dan penurunan pakimetri ≥2%. Shajari dkk merekomendasikan penggunaan dua parameter berupa Keratoconus Progression Indeks (KPI) dan D-indeks dalam evaluasi progresivitas keratokonus. Kuechler dkk menyatakan terdapat Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 28-34. 32

pembentukan kovalen berbasis karbonil LAPORAN KASUS intrafibrillar dan interfibrillar melalui proses oftalmologi, dan pemeriksaan topografi atau tomografi kornea. Tomografi kornea photopolymerization. Proses ini berupa pentacam dapat menilai progresivitas keratokonus. Tatalaksana menyebabkan terbentuknya ikatan antar keratokonus ditentukan berdasarkan derajat keparahannya seperti penggunaan molekul dan meningkatkan kekakuan kacamata, lensa kontak, maupun tindakan operatif. Tujuan dari tatalaksana kornea pada anterior stroma. Terdapat keratokonus adalah untuk memaksimalkan fungsi penglihatan pasien dan menurukan dua protokol dalam penatalaksanaan CXL progresivitas kertokonus. Corneal cross- linking merupakan modalitas yang aman yaitu protokol Dresden dan accelerated dan minimal invasif untuk menurunkan progresivitas keratokonus. Progresivitas protocol. Kontraindikasi utama CXL adalah keratokonus menurun setelah satu tahun tindakan CXL dengan pencapaian visus ketebalan kornea kurang dari 400 μm pada menggunakan kacamata 1,0 pada kedua titik tertipisnya.13,15 Pasien ini dilakukan mata. CXL dengan protokol Dresden pada kedua mata dengan ketebalan kornea pada titik tertipis di atas 400 μm. Tindakan CXL dapat dilakukan kembali apabila terdapat progresivitas keratokonus. Turhan dkk menyatakan bahwa tindakan CXL ulang mempunyai efektivitas untuk menstabilkan progresivitas keratokonus. Pasien dinilai hingga 2 tahun setelah CXL DAFTAR PUSTAKA pertama dengan parameter nilai Kmax. Antoun dkk menyatakan bahwa tindakan 1. Godefrooij DA, de Wit GA, Uiterwaal CS, CXL kembali dapat dilakukan dengan Imhof SM, Wisse RPL. Age-specific Incidence and Prevalence of Keratoconus: aman dan efektif untuk menurunkan A Nationwide Registration Study. Am J progresivitas keratokonus setelah tindakan Ophthalmol. 2017;175(November CXL pertama.16,17 Pasien ini terdapat 2019):169–72. adanya progresivitas keratokonus pada 2. Mas Tur V, MacGregor C, Jayaswal R, O’Brart D, Maycock N. A review of kedua mata setelah satu tahun tindakan keratoconus: Diagnosis, pathophysiology, CXL menurut parameter pakimetri titik and genetics. Surv Ophthalmol. 2017;62(6):770–83. tertipis, sedangkan nilai Kmax hanya mata 3. Garcia-Ferrer FJ, Akpek EK, Amescua G, kiri terdapat progresivitas. Follow up lebih Farid M, Lin A, Rhee MK, et al. Corneal lanjut harus dilakukan untuk menilai Ectasia Preferred Practice Pattern. Am Acad Ophthalmol. 2019;126(1):P170–215. apakah tetap terdapat progresivitas 4. Weisenthal R, Daly M, Freitas D de, Feder keratokonus. Tindakan CXL ulang dapat R, Orlin S, Tu E, et al. Corneal Dystrophies dipertimbangkan kembali jika terdapat and Ectasias. In: External Disease and progresivitas yang berlanjut. Cornea. San Francisco: The American Efektifitas pada 33indakan CXL Academy of Ophthalmology; 2020. hal. 133–72. membutuhkan follow up lebih lanjut hingga 5. Gomes JAP, Rapuano CJ, Belin MW, dua tahun. Prognosis quo ad vitam ad Ambrósio R. Global consensus on bonam, quo ad functionam dubia ad bonam keratoconus diagnosis. Cornea. karena masih terdapat progresivitas 2015;34(12):e38–9. keratokonus sehingga perlu follow up lebih 6. Peyman A, Kamali A, Khushabi M, Nasrollahi K, Kargar N, Taghaodi M, et al. lanjut hingga tahun kedua sedangkan visus Collagen cross-linking effect on koreksi terbaik dengan menggunakan progressive keratoconus in patients kacamata 1,0 pada kedua mata. younger than 18 years of age: A clinical SIMPULAN trial. Adv Biomed Res. 2015;4(1):245. 7. Espandar L, Meyer J. Keratoconus: Diagnosis keratokonus dapat ditegakkan overview and update on treatment. Middle East Afr J Ophthalmol. 2010;17(1):15–20. melalui anamnesis, pemeriksaan Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 28-34. 33

LAPORAN KASUS 8. Ming W, Khachikian SS, Belin MW. Clinical Cornea. 2018;37(11):1444–8. Characteristics of Keratoconus. In: 13. Andreanos KD, Hashemi K, Petrelli M, Keratoconus and keratoectasia prevention, Droutsas K, Georgalas I, Kymionis GD. diagnosis and treatment. Shanghai: SLACK Incorporated; 2010. hal. 33–43. Keratoconus Treatment Algorithm. 9. Upadhyaya A. Pentacam – A Corneal Ophthalmol Ther. 2017;6(2):245–62. Tomography System. Delhi J Ophthalmol. 2020;31(1):90–5. 14. Sinjab MM. Quick Guide to th Management 10. Shajari M, Steinwender G, Herrmann K, of Keratoconus. In: Quick Guide to the Kubiak KB, Pavlovic I, Plawetzki E, et al. Management of Keratoconus. London, Evaluation of keratoconus progression. Br J Ophthalmol. 2019;103(4):551–7. New York: Springer; 2012. 11. Belin MW, Meyer JJ, Duncan JK, Gelman 15. Idrus EA. Penatalaksanaan Keratokonus R, Borgstrom M. Assessing Progression of Progresif menggunakan Corneal Cross- Keratoconus and Cross-linking Efficacy: linking : Tinjauan Kepustakaan. The Belin ABCD Progression Display. Int J Ophthalmol Indones. 2019;44(2):54. Keratoconus Ectatic Corneal Dis. 16. Antoun J, Slim E, El Hachem R, Chelala E, 2017;6(1):1–10. Jabbour E, Cherfan G, et al. Rate of 12. Kuechler SJ, Tappeiner C, Epstein D, corneal collagen crosslinking redo in private practice: Risk factors and safety. J Frueh B. Keratoconus Progression After Ophthalmol. 2015;2015. Corneal Cross-Linking in Eyes With 17. Turhan SA, Aydin FO, Toker E. Clinical Results of Repeated Corneal Collagen Preoperative Maximum Keratometry Cross-linking in Progressive Keratoconus. Cornea. 2020;39(1):84–7. Values of 58 Diopters and Steeper. Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 28-34. 34

TINJAUAN SISTEMATIS Jurnal Oftalmologi 2021, Vol. 3, No. 1. P-ISSN.2723-6935, E-ISSN.2541-4283 EFEKTIVITAS STATIN TERHADAP PENCEGAHAN AWITAN DAN PROGRESI AGE RELATED MACULAR DEGENERATION: SEBUAH TINJAUAN SISTEMATIS Rizki Adi Santosa1, Uray Nabila Yuna2, Rova Virgana3 1Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Belitung Timur, Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung. 2Klinik Pratama Sehat Mandiri, Kota Bandung, Jawa Barat. 3Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Unit Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat Korespondensi : Rizki Adi Santosa, E-mail : [email protected] ABSTRAK Pendahuluan : Age Related Macular Degeneration (AMD) merupakan salah satu penyebab gangguan penglihatan yang hingga saat ini belum memiliki terapi definitif. Golongan statin memiliki efek pleiotropi yang diduga berpotensi sebagai salah satu terapi untuk AMD. Studi ini berupa tinjauan sistematis yang bertujuan untuk menilai efektivitas pemberian statin terhadap pencegahan awitan dan progresi AMD. Metode : Dilakukan pencarian artikel yang terbit antara bulan Januari 2011 hingga Desember 2020 pada beberapa database; PubMed, CENTRAL, sciencedirect, Latin American and Caribbean Health Sciences Literature Database (LILACS), metaRegister of Controlled Trials (mRCT), WHO International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP) dan clinicaltrials.gov. Kata kunci yang digunakan dalam pencarian; “hydroxymethylglutaryl-CoA reductase inhibitor”, “statin”, \"HMG-CoA reductase inhibitor\", \"3-hydroxy-3- methylglutaryl co-enzyme A reductase\", “macular degeneration\", \"age-related macular degeneration”, \"age-related eye disease”, \"advanced age-related macular degeneration”, “maculopathy”, “retinal degeneration”, \"retinal disease”, dan \"neovascular age-related macular degeneration”. Setelah artikel tersaring, dilakukan telaah kritis dengan menggunakan The Joanna Briggs Institute (JBI) Critical Appraisal Tools. Adanya perbedaan pendapat dan ketidaksepakatan antara penulis diselesaikan dengan diskusi. Hasil : Didapatkan 4 studi dari proses seleksi, berupa 1 RCT, 1 studi case-control, 1 studi cohort, dan 1 studi cross-sectional. Terdapat variasi pada variabel yang dinilai, metode intervensi, dan metode penilaian luaran yang dilakukan pada studi-studi tersebut. Potensi efek protektif statin terhadap progresivitas AMD yang signifikan secara statistik hanya ditemukan pada 1 studi (OR= 0,43 (95% CI 0,18, 0,99), P= 0,047). Simpulan : Tidak ditemukan cukup bukti efektivitas pemberian statin terhadap pencegahan awitan dan progresi AMD. Financial disclosure: Penulis menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan dan pernyataan finansial. Kata kunci : age related macular degeneration, atrofi geografik, neovaskularisasi koroid, pleiotropik, statin PENDAHULUAN prevalensi kebutaan sebesar 1,46%-12,18% dan prevalensi gangguan penglihatan Age Related Macular Degeneration sedang-berat sebesar 1,05%-9,15% pada (AMD) merupakan salah satu penyebab populasi yang berusia 50 tahun ke atas.2 gangguan penglihatan dan kebutaan yang Studi yang dilakukan oleh Wong dkk, perlu diperhatikan mengingat belum adanya memproyeksikan bahwa akan ada 196 juta terapi definitif penyakit tersebut.1 orang penderita AMD pada tahun 2020 dan Berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh meningkat hingga sejumlah 288 juta orang Flaxman dkk., pada tahun 2015, secara penderita pada tahun 2040.3 Di Indonesia, global, AMD berkontribusi terhadap Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 35-47. 35

belum terdapat studi populasi ataupun TINJAUAN SISTEMATIS estimasi terhadap prevalensi penderita AMD. Adapun studi yang telah beberapa mekanisme terkait efek pleiotropik dipublikasikan adalah studi deskriptif statin.8–11 berbasis klinik yang dilakukan di rumah sakit rujukan tersier di Manado, yang Pada penelitian yang dilakukan oleh mendapatkan 41 orang pasien AMD dalam periode waktu Januari 2013-Oktober 2015.4 Barathi dkk., untuk melihat efek pemberian Obat-obatan golongan 3-hydroxy-3- simvastatin secara oral dengan dosis 10 methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reductase inhibitor atau yang lebih dikenal mg/kgBB/hari selama 30 minggu pada tikus sebagai statin, merupakan golongan obat yang umum digunakan dalam terapi wild-type C57BL/6 yang berusia 6 minggu dislipidemia dan penyakit kardiovaskuler. Statin bekerja dengan menghambat enzim dan menerima diet tinggi lemak terhadap HMG-CoA reductase (HMGCR) sehingga terjadi penurunan kolesterol intraseluler dan ultrastruktur dan fungsi epitel pigmen retina peningkatan ekspresi low density lipoprotein receptor (LDL-R) pada permukaan sel yang (RPE), membran Bruch (BM), dan akan meningkatkan penyerapan LDL dari sirkulasi sistemik. Menurunnya kadar LDL fotoreseptor, menemukan bahwa pada foto didalam sirkulasi akan diikuti dengan penurunan kadar kolesterol. Statin juga fundus setelah 30 minggu, tikus tanpa diduga memiliki efek pleiotropi berupa anti- inflamasi, antioksidan, anti-angiogenik, simvastatin memiliki gambaran bintik-bintik imunomodulator, vasodilator, stabilisasi plak, dan anti-trombotik.5,6 putih yang diskrit dan multipel, namun pada AMD mempengaruhi struktur dan fungsi tikus dengan pengobatan simvastatin, retina melalui proses patogenesis yang hingga saat ini belum diketahui secara jelas. gambaran tersebut secara signifikan AMD memiliki tanda dan karakteristik yang khas berupa gambaran drusen dan endapan berkurang sekitar 73%. Selain itu, pada drusenoid pada subretina, yang keduanya merupakan lesi dengan kandungan tikus diet tinggi lemak tampak adanya kolesterol yang signifikan. Dengan demikian, banyak peneliti yang menguji akumulasi lemak dan penebalan membran kegunaan statin dalam mengurangi ukuran lesi dan mencegah progresivitas AMD. Bruch serta penurunan fungsi retina pada Adanya persamaan antara faktor risiko penyakit dan karakteristik gambaran drusen ERG. Perubahan tersebut mengalami pada AMD dengan plak atherosklerotik telah dilaporkan pada literatur.6,7 Selain itu, perbaikan signifikan pada kelompok tikus golongan statin juga memiliki potensi untuk yang diberi simvastatin.12 Adapun pada mempengaruhi patogenesis AMD melalui studi pilot dengan subjek manusia yang dilakukan oleh Vavvas dkk., menemukan bahwa penggunaan 80 mg atorvastatin dapat menyebabkan regresi berupa resolusi dari pelepasan epitel pigmen retina, tanpa disertai kemunculan atrofi geografik atau neovaskularisasi pada penderita AMD yang berisiko tinggi.13 Penelitian dan telaah lebih lanjut mengenai tatalaksana AMD sangat penting dilakukan untuk mengendalikan angka kebutaan dan gangguan penglihatan. Sampai saat ini, belum ada terapi standar yang dilakukan pada pasien dengan AMD, kecuali pada AMD tipe basah (yang ditandai dengan neovaskularisasi koroid), yang umumnya diberikan Anti–vascular endothelial growth factor (anti-VEGF).1,14 Studi ini adalah tinjauan sistematis untuk menilai efektivitas pemberian statin Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 35-47. 36

TINJAUAN SISTEMATIS terhadap pencegahan awitan dan progresi Kriteria Inklusi dan Eksklusi AMD. Kriteria inklusi pada penelitian ini antara METODE lain; (1) penelitian-penelitian dengan desain studi berupa Randomized Controlled Trial, Strategi Pencarian Quasi-randomized Trial, dan Observational Study (Case-control, Cohort, dan Cross- Tinjauan sistematis ini dilakukan dengan sectional), (2) penelitian yang bertujuan untuk menentukan potensi dan efektivitas mengikuti Preferred Reporting Items for penggunaan obat-obatan jenis statin dibandingkan dengan terapi lain, tanpa Systematic Reviews and Meta-Analyses terapi atau plasebo terhadap awitan baru dan progresivitas AMD, dan (3) diterbitkan (PRISMA). Dalam mengidentifikasi dan dalam jangka waktu antara Januari 2011 sampai dengan Desember 2020. Artikel mencari artikel yang relevan untuk tinjauan penelitian yang memenuhi kriteria diatas akan ditelaah lebih lanjut. Artikel yang tidak sistematis ini, kami menggunakan beberapa memenuhi seluruh, sebagian atau salah satu dari kriteria tersebut akan dieksklusi database antara lain; PubMed, CENTRAL, dari penelitian. sciencedirect, Latin American and Diagram alur proses penyaringan studi artikel ditunjukkan pada Gambar 1. Dari 9 Caribbean Health Sciences Literature artikel, 4 artikel tereksklusi berdasarkan ketidaksesuaian dengan tujuan penelitian Database (LILACS), metaRegister of saat dievaluasi melalui teks lengkap dan 1 artikel tereksklusi berdasarkan hasil telaah Controlled Trials (mRCT), WHO kritis yang tidak memenuhi syarat. Empat artikel yang terpilih selanjutnya akan International Clinical Trials Registry Platform dilakukan tinjauan sistematis. (ICTRP) dan clinicaltrials.gov. Pencarian dimulai dari artikel yang diterbitkan pada bulan Januari 2011 hingga Desember 2020. Kata kunci yang digunakan dalam pencarian antara lain; “hydroxymethylglutaryl-CoA reductase inhibitor”, “statin”, \"HMG-CoA reductase inhibitor\", \"3-hydroxy-3- methylglutaryl co-enzyme A reductase\", Penilaian Luaran “macular degeneration\", \"age-related macular degeneration”, \"age-related eye disease”, \"advanced age-related macular degeneration”, “maculopathy”, “retinal degeneration”, \"retinal disease”, dan \"neovascular age-related macular Luaran yang diukur adalah terjadinya kasus AMD baru pada pasien yang belum degeneration”. Pencarian artikel dibatasi hanya pada artikel yang berbahasa pernah terdiagnosis dan terjadinya progresivitas AMD. Kriteria pengukuran Indonesia dan yang berbahasa Inggris atau luaran didefinisikan sebagai: yang memiliki terjemahan ke dalam salah satu dari kedua Bahasa tersebut. Setelah 1. Tanda dan gejala awal baru AMD sesuai menghapus artikel duplikat yang ditemukan, dengan definisi dalam studi yang dilibatkan; secara independen, dilakukan skrining dan 2. Progresivitas AMD sesuai dengan penyaringan studi artikel untuk dimasukkan ke dalam penelitian dan ditentukan definisi yang ditentukan dalam studi kelayakannya. Adanya perbedaan pendapat yang dilibatkan. dan ketidaksepakatan akan diselesaikan dengan diskusi. Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 35-47. 37

TINJAUAN SISTEMATIS 150 studi artikel Identifikasi teridentifikasi 25 artikel duplikat dieksklusi 125 artikel terpilih dilakukan Skrining skrining 116 artikel di eksklusi berdasarkan judul, abstrak, dan kata kunci 9 artikel terpilih dilakukan tinjauan ulang 4 artikel di eksklusi berdasarkan teks lengkap 5 artikel terpilih dilakukan penilaian Elektabilitas dan telaah kritis 1 artikel di eksklusi berdasarkan hasil telaah kritis 4 artikel terpilih dan di lakukan Inklusi tinjauan sistematis Gambar 1 Diagram Alur Seleksi Studi akan Telaah Kritis ditelaah. Dalam tinjauan ini, terdapat 4 Checklist Tools yang akan digunakan sesuai Telaah kritis dilakukan pada 5 artikel dengan desain studi artikel yang dilibatkan, penelitian yang disertakan untuk menilai yaitu: Checklist for Randomized Controlled kualitas penelitian setelah melalui proses Trials, Checklist for Case Control Studies, penyaringan yang sebelumnya telah Checklist for Cohort Studies, dan Checklist dijelaskan. Telaah secara independen for Analytical Cross Sectional Studies. dilakukan dengan menggunakan The Penelitian yang tidak dapat menjawab lebih Joanna Briggs Institute (JBI) Critical dari setengah pertanyaan dalam Checklist Appraisal Tools,15 yang memiliki Checklist Tools, dipertimbangkan untuk tidak Tools untuk tinjauan sistematis dan sintesis diikutsertakan dalam tinjauan sistematis. data penelitian sesuai dengan desain studi Jika terdapat perbedaan hasil telaah kritis, yang maka akan dilakukan diskusi dan telaah Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 35-47. 38

kritis ulang hingga didapatkan hasil yang TINJAUAN SISTEMATIS disepakati. tereksklusi. Pada sembilan artikel yang Ekstraksi Data tersisa, dilakukan peninjauan berdasarkan teks lengkap, dan 4 artikel tidak Setiap studi yang memenuhi syarat dan diikutsertakan. Selanjutnya telaah kritis sudah melalui proses telaah kritis, akan dilakukan dan terdapat 1 artikel yang tidak ditinjau dan dievaluasi secara independen. memenuhi syarat dan kriteria kelayakan, Ekstraksi data dilakukan dengan sehingga didapatkan 4 studi artikel yang menganalisa studi yang disertakan untuk dilibatkan dalam sintesis data. Empat studi mencari jawaban dari pertanyaan penelitian. tersebut, terdiri dari 1 studi RCT16 dan 3 Kemudian dilakukan sintesis data untuk studi observasional yaitu 1 studi case- merangkum semua temuan yang control17, 1 studi cohort18, dan 1 studi cross- berhubungan dengan tujuan penelitian. sectional19. Secara kumulatif, terdapat Karakteristik studi penelitian yang 10.474 peserta dari seluruh studi tersebut. diekstraksi berupa: desain penelitian, Variabel karakteristik yang dinilai, metode karakteristik sampel berdasarkan variabel intervensi, dan metode penilaian luaran yang disesuaikan, tujuan penelitian, metode yang dilakukan pada studi-studi tersebut intervensi/pemberian statin, metode bervariasi. penilaian luaran, dan temuan yang relevan untuk tinjauan sistematis ini. Rincian Dari 4 studi yang dilibatkan, terdapat 2 tersebut disajikan dalam Tabel 1. studi artikel yang menilai efek penggunaan statin terhadap progresivitas stadium AMD. Sintesis Data Studi penelitian yang dilakukan oleh Guymer dkk., melaporkan kemungkinan Pada tinjauan sistematis ini, tidak progresi AMD yang lebih rendah pada dilakukan kajian meta analisis. Hal ini kelompok yang menerima simvastatin dosis didasari atas desain penelitian, bentuk 40 mg setiap harinya dibandingkan dengan placebo selama periode 3 tahun, yang intervensi, dan metode penilaian luaran signifikan secara statistik setelah dilakukan yang bervariasi pada studi-studi yang penyesuaian dengan pembaur potensial dilibatkan dalam tinjauan sistematis ini, baik (OR= 0,43 (95% CI 0,18, 0,99), P= 0,047).16 Namun studi cohort yang dilakukan oleh Al- berupa uji klinis maupun studi Holou dkk., menyimpulkan bahwa tidak observasional. ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan statin Hasil terhadap progresi menuju AMD lanjut pada populasi yang berisiko setelah disesuaikan Pencarian literatur melalui database dengan pembaur potensial (HR 0,92; 95% elektronik telah dilakukan dan 150 studi CI, 0,62-1,36).18 artikel teridentifikasi, 9 artikel dari CENTRAL, 77 artikel dari PubMed, 7 artikel dari sciencedirect, 25 artikel dari LILACS, 24 artikel dari mRCT, dan 8 artikel dari ICTRP. Setelah 25 artikel duplikat yang ditemukan dihapus, tersisa 125 studi artikel. Kemudian dilakukan skrining dan penyaringan berdasarkan judul, abstrak dan kata kunci yang digunakan, 116 studi artikel Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 35-47. 39

Tabel 1 Karakteristik Studi yang Dilibatkan No Penulis, Tujuan Penelitian Karakteristik Sampel & Variabel Desa Tahun yang Disesuaikan Penel 1 Guymer et Menentukan Negara: Australia Double al, 2013 adanya potensi blinded efikasi dari Grup 1 (simvastatin): Random simvastatin d Place terhadap N: 57 Control progresivitas AMD Usia, mean (SD): 74,4 (6,4) Trial stadium dini, baik Perempuan, no. (%): 38 (66,7) menjadi stadium Riwayat merokok, no. (%): 25 (43,9) lanjut atau menjadi AMD lanjut pada satu mata, no. stadium dini (%): 16 (28,1) dengan tingkat keparahan yang Grup 2 (placebo): lebih berat. N: 57 Usia, mean (SD): 74,8 (7,5) Perempuan, no. (%): 39 (68,4) Riwayat merokok, no. (%): 35 (61,4) AMD lanjut pada satu mata, no. (%): 32 (56,1) 2 *Lee et al, Menentukan Negara: Korea Selatan Case 2019 apakah pengguna Control statin memiliki Grup 1 (Case): Study risiko yang lebih rendah untuk N: 210 mengalami AMD Durasi kumulatif penggunaan statin (tanpa (%): memperhitungkan <90 hari: 33 (15,71) jenis dan derajat 90-299 hari: 77 (36,67) keparahannya) ≥ 300 hari: 100 (47,62) dibandingkan Kategori penggunaan statin dengan bukan berdasarkan penggunaan terkini pengguna. (%): 1Current use: 164 (78,09) 2Recent use: 16 (7,62) 3Past use: 30 (14,29) Grup 2 (Control): N: 2009 Jurnal Oftalmologi (2021),

ain Metode Metode Penilaian Temuan litian Pemberian Luaran (1) Kemungkinan progresi e- Statin Evaluasi dilakukan AMD pada kelompok d, dengan foto fundus. simvastatin lebih rendah mize 40 mg Klasifikasi berdasarkan dibandingkan dengan ebo- simvastatin satu ICGS. Follow up kelompok placebo yang lled kali per hari dilakukan setiap 6 ditemukan bermakna secara bulan selama 3 tahun. statistik setelah dilakukan penyesuaian. (2) Terdapat proporsi yang setara dalam progresi menuju AMD lanjut antara kelompok simvastatin dan kelompok placebo. Riwayat statin Kasus dipilih (1) Penggunaan statin tidak l yang diresepkan berdasarkan data menurunkan risiko terjadinya untuk partisipan diagnosis AMD AMD pada populasi lanjut usia dalam dosis pertama kali dari setelah disesuaikan dengan berapapun database NHIS-NEC beberapa potensial pembaur. hingga 1 tahun dalam periode waktu sebelum tanggal Januari 2012 – (2) Tidak ada hubungan yang indeks. Desember 2015. Jenis signifikan antara risiko AMD dan derajat keparahan dan durasi penggunaan atau AMD tidak dijelaskan. riwayat penggunaan terkini statin. , Vol. 3, No. 1, 35-47. 40

No Penulis, Tujuan Penelitian Karakteristik Sampel & Variabel Desa Tahun yang Disesuaikan Penel Durasi kumulatif penggunaan statin (%): <90 hari: 268 (13,34) 90-299 hari: 877 (43,65) ≥ 300 hari: 864 (43,01) Kategori penggunaan statin berdasarkan penggunaan terkini (%): 1Current use: 1527 (76,01) 2Recent use: 145 (7,22) 3Past use: 337 (16,77) 3 Al Holou Penelitian ini Negara: Amerika Serikat Prospe et al, 2015 bertujuan untuk Cohort melihat hubungan Grup 1 (tidak menggunakan statin): Study penggunaan statin terhadap N: 1256 progresivitas AMD Usia, tahun (mean±SD): 73,3±7,8 stadium dini Wanita: 727 (57,9%) menjadi stadium Ras: lanjut. Kulit putih: 1215 (96,7%) Tingkat pendidikan: Perguruan tinggi: 593 (47,2%) Riwayat merokok Tidak pernah: 564 (44,9%) Dahulu: 613 (48,8%) Saat ini: 79 (6,3%) Penggunaan NSAID: 126 (10,0%) Penggunaan acetaminophen: 130 (10,4%) Penggunaan aspirin: 685 (54,5%) Diabetes: 143 (11,4%) Hipertensi: 818 (65,1%) Gagal jantung kongestif: 34 (2,7%) Penyakit jantung koroner: 72 (5,7%) Angina: 42 (3,3%) Riwayat infark miokard: 54 (4,3%) Riwayat stroke: 60 (4,8%) Grup 2 (menggunakan statin): N: 1256 Jurnal Oftalmologi (2021),

ain Metode Metode Penilaian Temuan litian Pemberian Luaran Statin ective Adanya riwayat Evaluasi dilakukan (1) Tidak ditemukan hubungan penggunaan dengan foto fundus. yang signifikan antara statin dengan Klasifikasi berdasarkan penggunaan statin dengan dosis berapapun AREDS. Follow up progresi menuju AMD lanjut pada tahun dilakukan setiap 1 pada populasi berisiko setelah 2006-2008 atau tahun. Didapatkan dilakukan penyesuaian. saat baseline median follow up penelitian selama 5 tahun. (2) Penggunaan statin tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap munculnya gambaran khas pada AMD lanjut, seperti: GA, central GA, dan neovaskular AMD. , Vol. 3, No. 1, 35-47. 41

No Penulis, Tujuan Penelitian Karakteristik Sampel & Variabel Desa Tahun yang Disesuaikan Penel Usia, tahun (mean±SD): 73,2±7,4 Wanita: 697 (55,5%) Ras: Kulit putih: 1213 (96,6%) Tingkat pendidikan: Perguruan tinggi: 591 (47,1%) Riwayat merokok Tidak pernah: 545 (43,4%) Dahulu: 628 (50,0%) Saat ini: 83 (6,6%) Penggunaan NSAID: 136 (10,8%) Penggunaan acetaminophen: 115 (9,2%) Penggunaan aspirin: 668 (53,2%) Diabetes: 137 (10,9%) Hipertensi: 811 (64,6%) Gagal jantung kongestif: 40 (3,2%) Penyakit jantung koroner: 84 (6,7%) Angina: 45 (3,6%) Riwayat infark miokard: 58 (4,6%) Riwayat stroke: 68 (5,4%) 4 †Barbosa Penelitian ini Negara: Amerika Serikat Cross et al, 2014 bertujuan untuk ‡Grup 1 (tidak menggunakan section mempelajari study hubungan antara statin): penggunaan statin dengan prevalensi N: 4373 kasus AMD. Perempuan: 54,0% Ras: Kulit putih: 76,0% Tingkat pendidikan: Setara perguruan tinggi: 29,4% Pendapatan rumah tangga: ≥$75.000: 35,7% Riwayat merokok Saat ini: 22,0% Dahulu: 28,2% Tidak pernah: 49,9% Riwayat stroke: 3,3% Riwayat ekstraksi katarak: 9,9% Kondisi kesehatan secara umum (laporan pribadi): Jurnal Oftalmologi (2021),

ain Metode Metode Penilaian Temuan litian Pemberian Luaran Statin Penggunaan Diagnosis dilakukan (1) Tidak ditemukan hubungan nal statin dosis dengan foto fundus. yang signifikan secara statistik berapapun saat Klasifikasi berdasarkan antara penggunaan statin baseline NHANES. dengan AMD setelah penelitian yang dilakukan penyesuaian didapatkan dengan pembaur potensial. (2) Pada kelompok usia 68 tahun ke atas, pengguna statin memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami AMD dan hubungan tersebut lebih kuat pada individu dengan durasi penggunaan statin lebih lama. , Vol. 3, No. 1, 35-47. 42

No Penulis, Tujuan Penelitian Karakteristik Sampel & Variabel Desa Tahun yang Disesuaikan Penel Baik: 45,1% Diagnosis AMD: 5,8% Grup 2 (menggunakan statin): N: 1231 Usia: 40-67 tahun, n (%): 620 (50,4%) ≥ 68 tahun, n (%): 611 (49,6%) Perempuan: 46,0% Ras: Kulit putih: 82,1% Tingkat pendidikan: Setara sekolah menengah atas: 30,9% Pendapatan rumah tangga: $20.000-49.999: 32,8% Riwayat merokok Saat ini: 15,1% Dahulu: 42,1% Tidak pernah: 42,9% Riwayat stroke: 7,7% Riwayat ekstraksi katarak: 34,3% Kondisi kesehatan secara umum (laporan pribadi): Cukup: 40,8% Diagnosis AMD: 9,9% Keterangan: ACE, angiotensin-converting enzyme inhibitors; AMD, Age-related macular degeneration System; NHANES, National Health and Nutrition Examination Survey; NHIS-NEC, Na inflammatory drug *Penyesuaian dilakukan berdasarkan variabel tingkat pendapatan, indeks komorbidita hiperlipidemia, hipertensi, dan penyakit vaskuler perifer, dan penggunaan alpha bloker, a sulfonylurea, atau thiazolidinedione. Publikasi ini hanya menjabarkan jumlah dan propors ACEI, metformin, ARB, atau segala bentuk kombinasinya). †Proporsi yang dijabarkan pada semua variabel merupakan estimasi terbobot dari popula ‡Jumlah dan proporsi partisipan berdasarkan pembagian kelompok usia pada kelompok y 1Penggunaan terkini statin terjadi dalam waktu 30 hari dari tanggal indeks 2Penggunaan terkini statin terjadi saat tanggal indeks 3Penggunaan terkini statin yang tidak termasuk dalam definisi current use dan recent use Jurnal Oftalmologi (2021),

ain Metode Metode Penilaian Temuan litian Pemberian Luaran Statin n; ARB, angiotensin II receptor blockers; ICGS, International Classification and Grading ational Health Insurance Service-National Elderly Cohort; NSAID, non steroid anti- as Charlson, jumlah peresepan, riwayat penyakit serebrovaskuler, riwayat diabetes, alpha-glucosidase, aspirin, beta-blocker, calcium channel blocker, diuretics, meglitinide, si masing-masing variabel tersebut dari kasus total (jumlah kumulatif pengguna statin, asi Amerika Serikat, kecuali pada variabel usia yang merupakan data riil dari studi. yang tidak menggunakan statin tidak dijabarkan di dalam studi. e , Vol. 3, No. 1, 35-47. 43

Dua studi lainnya membahas mengenai TINJAUAN SISTEMATIS potensi dan efektivitas penggunaan statin terhadap risiko terjadinya awitan AMD. studi observasional oleh Ma dkk., ditemukan Dalam penelitian Lee dkk., ditemukan tidak adanya hubungan yang signifikan bahwa penggunaan statin, tidak secara statistik antara statin dengan AMD menurunkan risiko terjadinya AMD secara tanpa mempertimbangkan stadiumnya. signifikan, setelah disesuaikan terhadap Namun, dalam analisis yang terpisah, studi pembaur potensial (OR 1,12 (0,94–1,32)). tersebut menemukan hubungan protektif Hubungan yang tidak signifikan secara yang signifikan secara statistik antara statin statistik juga ditemukan pada analisis dan AMD dini, namun tidak pada AMD berdasarkan durasi kumulatif penggunaan lanjut.21 statin (<90 hari OR 1,30 (0,90–1,90), 90-299 hari OR 0,95 (0,74–1,22), ≥ 300 hari OR Patogenesis terjadinya AMD masih 1,22 (0,97–1,53) dan penggunaan terkini belum diketahui secara jelas. Namun, pada statin (Current use OR 1,13 (0,94–1,37), kasus AMD lanjut, baik fenotipe kering Recent use OR 1,28 (0,76–2,17), Past use maupun basah, dalam perkembangan alami OR 0,97 (0,66–1,42)) setelah disesuaikan patologisnya, selalu didahului oleh disfungsi dengan pembaur potensial.17 Hasil studi dan atropi RPE. Gangguan pada RPE tersebut serupa dengan studi Barbosa dkk., tersebut dapat dipicu oleh berbagai macam yang menemukan bahwa penggunaan statin stimulus yang melibatkan inflamasi, faktor memiliki asosiasi yang tidak signifikan vaskuler, dan proses degenerasi.9 Selain secara statistik terhadap AMD setelah gangguan pada RPE, diduga kerusakan disesuaikan dengan pembaur potensial (OR struktur dan fungsi BM juga terjadi pada 0,91, 95% CI 0,67–1,24; P=0,539). Namun, patomekanisme AMD. BM berfungsi untuk pada analisis terpisah terhadap kelompok memindahkan nutrisi ke RPE dan pengguna statin yang berusia 68 tahun ke membuang sisa-sisa metabolisme yang atas, ditemukan risiko lebih rendah untuk sudah tidak digunakan. Permeabilitas BM mengalami AMD setelah disesuaikan dipengaruhi oleh usia, perfusi lipoprotein, dengan pembaur potensial (OR 0,69, 95% serta peningkatan akumulasi matriks CI 0,51–0,94; P=0.018).19 ekstraselular yang dapat meningkatkan ketebalan BM. Perkembangan AMD diawali DISKUSI dengan adanya gangguan regulasi kolesterol didalam tubuh yang Tinjauan sistematis ini menemukan meningkatkan akumulasi lipoprotein bahwa berdasarkan pencarian studi-studi berkepanjangan dan meningkatkan diffusion terkini, baik uji klinis maupun studi barrier serta menurunkan permeabilitas observasional, tidak ditemukan cukup bukti hidrolik pada BM, sehingga terjadi bahwa statin efektif terhadap awitan dan kekurangan suplai metabolik ke retina yang progresivitas AMD. Potensi efek protektif menyebabkan hipoksia retina, disfungsi statin terhadap progresivitas AMD yang fotoreseptor, peningkatan ekspresi VEGF, signifikan secara statistik hanya ditemukan hingga akhirnya berkembang menjadi AMD pada studi Guymer dkk.16 Temuan ini stadium lanjut.12 serupa dengan kesimpulan studi yang dilakukan oleh Gehlbach dkk.20 Dalam meta Statin memiliki sifat kimia dan analisis lain yang dilakukan terhadap studi- farmakologis yang bervariasi, menyebabkan potensi, keamanan, dan efek sampingnya pun bervariasi sesuai dengan jenis statin yang digunakan.6 Statin diduga dapat Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 35-47. 44

berperan dalam manajemen AMD melalui TINJAUAN SISTEMATIS efek vasodilatasi dan stabilisasi plak yang diharapkan dapat menjaga perfusi pada seperti, heterogenitas fenotipe penyakit retina luar.5,8 Pada studi yang dilakukan AMD, keterbatasan pada standarisasi oleh Terai dkk., ditemukan bahwa intensitas dan jenis statin yang digunakan, pemberian statin, dengan intensitas yang perbedaan kemampuan lipofilitas statin, bervariasi, selama 4 minggu, menyebabkan serta belum diketahuinya lama periode vasodilatasi arteriol dan venula retina follow up yang perlu dilakukan untuk secara signifikan.10 Selain itu, efek mendapatkan hasil temuan yang bermakna antiinflamasi dan antioksidan statin juga pada studi yang mempertimbangkan diharapkan dapat memengaruhi proses hubungan temporal.11,13 Salah satu hal yang inflamasi dari patomekanisme AMD.5,8,11 menyulitkan dalam memahami interaksi Perlu diperhatikan bahwa penggunaan lingkungan, genetik, dan hasil luaran yang statin tentunya tidak terlepas dari profil lipid kompleks pada penyakit AMD adalah penggunanya. Dengan mempertimbangkan heterogenitas fenotipe yang diamati pada kemiripan antara faktor risiko AMD dan masing-masing tahapan atau stadium AMD. gangguan kardiovaskuler1,7, profil lipid Adapun salah satu cara yang dapat seharusnya menjadi variabel yang penting dilakukan untuk mengurangi efek dalam analisis efek statin terhadap AMD. heterogenitas tersebut adalah dengan Dalam tinjauan sistematis ini, profil lipid analisis kluster untuk mengidentifikasi dilibatkan pada analisis hanya dalam studi macam-macam subkelompok pada Guymer dkk.16 Pada studi lain yang penderita AMD.14 dilakukan oleh Vanderbeek dkk., ditemukan bahwa pada pasien dengan kadar LDL atau Keterbatasan pada standarisasi trigliserida yang tinggi walaupun telah penggunaan statin juga merupakan faktor menggunakan statin lebih dari 12 bulan yang berperan penting dalam hasil memiliki peningkatan risiko yang signifikan penelitian yang bervariasi. Pada beberapa untuk mengalami AMD lanjut tipe penelitian yang dilibatkan, jenis, intensitas, eksudatif.22 Namun pada studi Alienor, dan dosis statin yang digunakan tidak ditemukan bahwa peningkatan HDL secara dideskripsikan. Seperti yang diketahui obat- signifikan berhubungan dengan segala obatan statin memiliki 2 jenis klasifikasi, gambaran AMD. Pada studi tersebut, tidak yaitu lipofilik dan hidrofilik. Klasifikasi ini ditemukan hubungan antara AMD dengan menjadi penting, karena statin lipofilik parameter profil lipid lainnya dan juga memiliki efektivitas yang lebih unggul penggunaan statin.23 Hal ini perlu diteliti dibandingkan hidrofilik statin dalam lebih lanjut mengingat bahwa obat-obatan mengurangi sekresi ApoB100 dan kadar golongan statin, dalam berbagai jenis dan kolesterol pada sel RPE manusia yang intensitasnya, memiliki efek peningkatan dikultur.11,25 Selain itu, lipofilik statin dapat HDL yang tidak berhubungan dengan efek meningkatkan fungsi fagositik pada RPE. penurunan LDL.24 Temuan-temuan tersebut mendukung bahwa tidak semua jenis statin Hasil penelitian-penelitian mengenai memperlihatkan efek yang setara, sehingga efektivitas penggunaan statin terhadap penting untuk memilih jenis statin yang awitan dan progresi AMD yang inkonsisten tepat, dosis serta intensitas yang cukup dapat disebabkan oleh beberapa faktor untuk mendapatkan efek yang diinginkan.11 Tinjauan sistematis ini mencoba untuk melanjutkan studi yang telah dilakukan oleh Jurnal Oftalmologi (2021), Vol. 3, No. 1, 35-47. 45


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook