Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Kekuatan diam

Kekuatan diam

Published by perpus smp4gringsing, 2021-12-07 02:29:59

Description: Kekuatan diam

Search

Read the Text Version

berbicara pada residen berjalan hilir mudik di galeri samping, setelah nama mereka ditulis pada batu tulis, yang kemudian dibawa masuk oleh kepala penjaganya. Tetapi, mereka harus menunggu karena residen sedang berbicara dengan kepala polisi. Leoni mendengarkan dengan telinga menempel pada penyekat. Dan wajahnya menjadi pucat ketika telinganya menangkap beberapa kata. Dengan membisu ia menuju ke kamarnya ketakutan. Pada waktu makan siang ia bertanya apakah kehadirannya pada saat pesta memang diperlukan, karena ia akhir-akhir ini sakit gigi, dan harus ke dokter gigi di Surabaya; itu akan memakan waktu karena ia sudah lama tidak ke dokter gigi. Namun,Van Oudijck tetap dalam suasana muram karena kehati-hatian dan kesunyian yang penuh rahasia, mengatakan kepadanya bahwa itu tak mungkin; bahwa dia pada salah satu malam pesta itu harus hadir, sebagai nyonya residen. Ia bersungut-sungut dan menutupi mulutnya dengan saputangan, sehingga Van Oudijck gugup. Siang itu dia tidak tidur, tidak membaca, tidak bermimpi karena ketegangan yang tak biasa. Ia takut, ia ingin pergi. Dan pada waktu minum teh di sore hari, dia mulai menangis, dan berkata bahwa kepalanya sakit akibat sakit gigi, bahwa dia menderita dan tak tahan lagi menanggungnya. Van Oudijck, senewen, khawatir, terbujuk; dia tak pernah dapat melihat air mata Leonie. Dan dia mengabulkan permintaanya, sebagaimana biasa, apabila menyangkut kepentingan pribadi. Hari berikutnya Leonie berangkat ke Surabaya, menginap di rumah residensi dan betul-betul membiarkan giginya dirawat oleh dokter gigi. Hal itu memang selalu baik, satu kali dalam setahun, kali ini dia menghabiskan kira-kira lima ratus gulden. Saat ini para perempuan mereka-reka apa yang terjadi di Labuwangi di balik kabut tipis kerahasiaan. Ida van Helderen, si nona putih tragis ini, matanya terbelalak takut: memberitahukannya kepada Eva Eldersma bahwa suaminya dan juga Eldersma serta residen takut akan pemberontakan rakyat, yang disulut oleh keluarga bupati, yang tidak akan pernah bisa memaafkan pemecatan bupati Ngajiwa. Namun, para laki-laki itu tidak berkomentar lebih jauh dan menenangkan istri-istri mereka. Namun, sebuah gelombang gelap tetap menggelegak di bawah ketenangan seperti yang tampak dari kehidupan mereka di pusat kota waktu itu. Dan perlahan pembicaraan-pembicaraan itu bocor dan membuat takut rakyat Eropa di Hindia Belanda. Berita-berita kabur di koran-koran, komentar-komentar mengenai pemecatan sang bupati, ikut andil di dalamnya. Sementara itu kesibukan seputar persiapan pesta tetap berjalan terus, tetapi mereka tidak bekerja dengan sepenuh hati dan jiwa. Mereka hidup dalam kesibukan dan ketidaktenangan dan menderita karena kegelisahan. Pada malam hari mereka lebih teliti menutup pintu-pintu rumah, senjata-senjata disiapkan, terbangun tiba-tiba karena takut, mendengarkan 101 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

suara-suara malam, yang menggetarkan di luar. Dan mereka mengecam ketergesa- gesaan Van Oudijck, setelah peristiwa pesta balapan kuda itu, yang tak ragu mengusulkan pemecatan Bupati, yang rumahnya terikat dengan tanah Labuwangi, satu kesatuan dengan Labuwangi. Residen telah memerintahkan untuk diadakan pasar malam, sebagai pesta rakyat, di alun-alun, yang berlangsung beberapa hari dan bersamaan dengan dilangsungkannya pesta besar. Itu akan merupakan pesta rakyatnya: banyak kedai– kedai dan warung-warung, Komedi Stambul dengan pertunjukan tonil Seribu Satu Malam. Itu dilakukannya untuk menyenangkan rakyat Jawa, bersamaan dengan pesta orang Eropa. Hari ini beberapa hari sebelum pesta besar dan satu hari sebelumnya, secara kebetulan bertepatan dengan acara kumpulan di kabupaten. Ketakutan, kepanikan, kegelisahan, di kota kecil yang biasanya sepi, diam-diam menggerogoti emosi yang hampir membuat orang menderita. Sebagian ibu membawa pergi anak-anak mereka dan ada juga yang tak dapat mengambil keputusan. Tetapi pesta besar itu menjadi alasan bagi banyak orang untuk tetap tinggal. Apakah mereka ingin melewatkan pesta besar itu? Sangat jarang ada kesenangan seperti itu. Tetapi, jika betul meletus pemberontakan! Mereka tak tahu apa yang harus dilakukan: mereka tidak tahu apakah memang perlu menganggap ancaman yang mengeruhkan yang banyak diduga orang itu secara serius; atau hanya merupakan tantangan yang ringan. Satu hari sebelum kumpulan Van Oudijck mengunjungi Raden Ayu Pangeran, yang tinggal dengan anaknya. Kereta kudanya bergerak melewati kedai-kedai dan warung-warung di alun-alun, dan melalui gapura-gapura hias dari pasar malam: yang berupa batang-batang bambu yang saling membungkuk, dengan bendera kecil, yang ditiup angin: hiasan yang dalam bahasa Jawa juga disebut sebagai “kabeling”. Malam itu adalah malam pertama pesta. Orang-orang sibuk dengan persiapan terakhir dan dalam kesibukan memalu dan menata itu, tidak selalu penduduk pribumi membungkuk di depan kereta kuda residen, dan mereka tidak memperhatikan payung emas, yang dipegang oleh penjaga di tempat duduk kusir, bagaikan matahari yang bersinar terang. Tetapi ketika kereta kuda itu bergerak melewati tiang bendera menuju jalan besar kabupaten dan orang melihat bahwa residen pergi mengunjungi bupati, orang-orang berkerumun dan bicara sambil berbisik-bisik dan seru. Di pintu masuk jalan besar orang berdesak-desakan, mengintai. Tetapi mereka tidak melihat apa pun melalui bayangan pohon-pohon beringin kecuali pendopo kosong yang remang-remang di kejauhan, dengan barisan kursi kosong yang menanti untuk digunakan. Kepala polisi, yang tiba-tiba melintas dengan sepedanya, secara naluriah membubarkan kumpulan masa itu. 102 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Di galeri depan, sang permaisuri yang sudah tua itu menanti kedatangan residen. Ketenangan menyelimuti wajahnya yang bermartabat dan tidak memperlihatkan apa yang bergejolak dan ada dalam hatinya. Ia mempersilakan residen untuk duduk dan dengan beberapa patah kata pembicaraan dimulai. Kemudian muncullah empat orang pelayan dengan berjalan jongkok: yang satu membawa botol-botol; yang kedua membawa nampan yang berisi berbagai macam gelas; yang ketiga membawa termos es yang penuh berisi pecahan-pecahan es; yang keempat, tanpa membawa apa pun, melakukan sembah. Sang permaisuri bertanya kepada residen, apa yang ingin diminumnya, dan ia mengatakan ia ingin minum segelas wiski soda. Pelayan yang terakhir, dengan masih berjalan jongkok melewati tiga pelayan lain, meracik minuman itu, mengisi gelas dengan setuangan wiski, membuka botol air soda seperti meriam, dan memasukan pecahan es bak gletser kecil ke dalam gelas. Tak ada lagi yang diucapkan. Residen membiarkan minumannya dingin, ke empat pelayan itu pergi dengan berjalan jongkok. Kemudian akhirnya Van Oudijck berbicara dan bertanya kepada sang permaisuri apakah dia dapat berbicara dalam situasi saling percaya atau mengatakan apa yang ada dalam hatinya. Ia, dengan sopan, memintanya untuk melakukannya. Dan dengan suara yang tegas tetapi teredam, Van Oudijck mengatakan kepadanya, dalam bahasa Melayu, kalimat-kalimat yang penuh tata krama, penuh persahabatan dan sopan santun, betapa tinggi dan besar cintanya dulu pada sang Pangeran dan juga pada keluarganya yang agung, walaupun Van Oudijck, dengan rasa sesal yang mendalam, harus bertindak bertentangan dengan cintanya; itu semua karena kewajiban yang diembannya. Van Oudijck memintanya, jika seorang ibu bisa, untuk tidak menaruh kebencian atas kewajiban yang telah dilaksanakannya itu; sebaliknya ia meminta belas kasih keibuannya, bagi pegawai Eropa itu, yang juga dicintai oleh Pangeran bagai cinta ayah pada anaknya, dan untuk bersama-sama dengannya, sang pegawai ̶ ia, ibu sang bupati ̶ bekerja sama dengan menggunakan pengaruhnya yang begitu besar itu untuk kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Dalam pandangan saleh dan jauhnya atas hal-hal yang tak kelihatan, kadangkala Soenario melupakan kenyataan-kenyataan sebenarnya, yang berada di depan mata; dan sekarang residen memintanya, sang ibu dengan kekuasaan yang penuh pengaruh, untuk bekerja sama dengannya untuk menghadapi apa yang terlewatkan oleh Soenario, bekerja sama dalam kesepakatan dan cinta. Dan dengan bahasa Melayunya yang luwes, Van Oudijck membuka seluruh hatinya kepadanya, mengatakan kepadanya bahwa gejolak, yang telah beberapa hari ini menggelegak di antara rakyat, merupakan sebuah racun, yang dapat membuatnya mabuk dan mengantarnya pada hal-hal, perbuatan-perbuatan yang akan sangat disesali. Dan dengan kata terakhir ‘sangat disesali’, membuatnya merasa, melalui kata-katanya, bahwa pemerintahlah yang terkuat, dan bahwa sebuah hukuman yang 103 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

berat akan dijatuhkan pada siapa pun yang bersalah, tinggi atau rendah kedudukannya. Tetapi bahasa Van Oudijck tetap sopan dan kata-katanya penuh rasa hormat, bak kata-kata seorang anak kepada ibunya. ‘Sang Permaisuri’, walaupun ia memahaminya, menghargai keanggunan yang bijak dari cara-caranya, dan melalui bahasa yang dalam, bertabur bunga dan serius itu Van Oudijck telah menghormatinya dan itu hampir membuatnya kagum –dalam orang Belanda rendah itu, bukan darah dan keturunan. Namun, Van Oudijck meneruskan kata-katanya, tanpa mengatakan bahwa dia sebenarnya mengetahui kalau Sang Permaisurilah penggerak dalam gejolak ini –tetapi bahwa dia memaafkan gejolak itu, dan mengatakan bahwa ia memahami bahwa rakyat ikut menderita bersama Sang Permaisuri dalam kesedihan atas kejadian yang dialami putra yang tak bermartabat itu, yang tetap juga merupakan keturunan keluarga ningrat itu; dan bahwa itu begitu alamiah, bahwa rakyat begitu merasakan simpati untuk sang Ratu mereka, walaupun perasaan itu sekarang tak dapat dipahami dan tak beralasan. Karena sang putra tak bermartabat, Bupati Ngajiwa telah bertindak tak bermartabat, dan apa yang sudah terjadi, tidak bisa diubah. Suara Van Oudijck sesaat menjadi tegas dan Ratu menundukkan kepalanya yang berambut putih itu, tetap membisu dan tampak menerima. Tetapi sekarang kata-kata Van Oudijck kembali melembut dan meminta sekali lagi kerja samanya untuk mempergunakan sebaik mungkin pengaruhnya. Van Oudijck mempercayainya seutuhnya. Dia tahu, bahwa sang Permaisuri begitu menjunjung tinggi tradisi keluarganya, setia pada Kumpeni, setia secara jujur dan teguh pada pemerintah. Baiklah, dia memintanya untuk mempergunakan kekuasaan dan pengaruhnya, dengan cinta dan hormat, bahwa ia, dengan bantuannya, residen, akan meredakan apa yang bergejolak dalam keremangan; bahwa ia akan membawa orang yang tak berpikir kepada sifat bijak; bahwa ia akan berdamai dengan apa yang mengancam, tak terpikirkan dan sembrono dalam kerahasiaan terhadap kekuasaan yang bermartabat dan kuat. Dan sementara Van Oudijck membujuk dan mengancam secara bersamaan, dia merasa bahwa sang Permaisuri –walaupun ia hampir tak mengatakan sepatah katapun, dan hanya membiarkan kata-kata Van Oudijck menekannya: “Saya…”– berada dalam pengaruh kuat laki-laki bijak dan berkuasa itu, sehingga ia membuat sang Permaisuri merenung. Van Oudijck merasa, bahwa saat Sang Permaisuri merenung kebencian dalam dirinya jatuh, nafsu balas dendam dalam dirinya lumpuh dan bahwa ia telah menghancurkan kekuatan dan kebanggaan darah tua sultan-sultan Madura itu. Van Oudijck melihat samar-samar di depan matanya, di bawah pengaruh bahasa Van Oudijck yang berbunga-bunga, kejatuhan, hukuman berat dan kekuasaan yang lebih besar dari gubernemen. Van Oudijck menundukkan sang Permaisuri di bawah kekuasaan. Dia mengejarnya, bahwa lebih baik menjadi dingin dan bijaksana dan menyesuaikan diri sekali lagi, 104 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

daripada secara implusif bangkit dan melepaskan beban yang dibenci. Ia mengangguk dan menjawab lemah ya, dengan kepalanya dan Van Oudijck merasa bahwa ia telah menguasainya. Kebanggaan bangkit dalam dirinya. Dan sekarang sang Permaisuri juga berbicara dan berjanji, dengan suara terputus-putus dengan tangis dalam hati. Bahwa ia menyayangi Van Oudijck sebagai seorang putra, bahwa ia akan melakukan apa yang diinginkannya, dan akan menggunakan pengaruhnya di luar kabupaten untuk meredakan kekeruhan yang mengancam di kota. Ia membebaskan diri dari tuduhan, dan mengatakan bahwa kekeruhan muncul dari cinta rakyatnya yang tak pikir panjang, yang turut menderita bersamanya karena putranya. Ia mengatakan seperti apa yang dikatakan Van Oudijck: hanya ia tak mengatakan mengenai tak bermartabat. Karena ia adalah ibu. Dan sekali lagi ia mengulangi, bahwa Van Oudijck dapat mempercayainya, bahwa ia akan melakukan apa yang diinginkannya. Saat itu Van Oudijck memberitahukan kepadanya, bahwa besok ia dengan para pegawainya, dengan para pemimpin pribumi akan menghadiri acara kumpulan, dan ia berkata bahwa ia mempercayai sang Permaisuri, bahwa mereka semua, orang-orang Eropa, tak akan membawa senjata. Van Oudijck menatap matanya. Dengan mengatakan ini, Van Oudijck mengancamnya lebih dari sekadar akan mengatakan soal senjata. Dia mengancamnya, tanpa mengatakan sepatah kata pun, hanya dengan intonasi Melayu, dengan hukuman, balas dendam dari pemerintah, jika satu rambut pun dari pegawainya yang terendah disakiti. Van Oudijck bangkit. Sang Permaisuri juga bangkit, meremas tangan, mendesak Van Oudijck untuk tidak berbicara seperti itu, mendesak Van Oudijck untuk mempercayainya dan putranya. Dan ia menyuruh agar Soenario dipanggil. Bupati Labuwangi datang dan sekali lagi Van Oudijck mengulangi bahwa dia mengharapkan perdamaian dan permenungan. Dan dalam nada suara sang Permaisuri kepada anaknya, Van Oudijck merasa, bahwa ia menginginkan akan adanya permenungan dan perdamaian. Dia merasakannya, sang ibu, yang paling berkuasa di kabupaten. Bupati menganggukkan kepalanya, menyetujui, berjanji, bahkan mengatakan dirinya telah meredakannya, bahwa ia selalu menyesali ketegangan rakyat, bahwa itu sangat menyakitkan, saat residen telah melihatnya, walaupun sudah dia – Soenario – redakan. Residen tidak mendesak lebih jauh ketidakketulusan ini. Dia mengetahui, bahwa gejolak itu disulut dari kabupaten, tetapi dia juga tahu, bahwa ia telah menang. Namun, sekali lagi dia menekankan kepada Bupati mengenai tanggung jawab nuraninya, jika terjadi sesuatu di pendopo, besok, pada saat kumpulan. Sang Bupati berjanji bahwa itu tak dipikirkan olehnya. Dan sekarang untuk berpisah sebagai sahabat, ia meminta Van Oudijck untuk duduk kembali. Van Oudijk bergerak menempatkan diri. Gerakan ini membuat Van Oudijck seperti tak sengaja menyenggol gelas yang basah di luarnya karena air es, dan yang belum dia minum. 105 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Gelas itu jatuh berkeping-keping di lantai. Residen memohon maaf atas kekikukannya. Raden Ayu Pangeran melihat gerakannya itu dan wajah tuanya menjadi pucat. Ia tidak mengatakan sesuatu, tetapi ia memberi isyarat kepada seorang abdi dalem. Dan muncul kembali keempat pelayan itu dengan jalan jongkok, membuat gelas wiski soda yang kedua. Van Oudijck segera meminumnya. Saat itu ada kebisuan yang menyakitkan. Sejauh mana gerakan residen, yang telah menyenggol gelas itu, dapat dibenarkan, akan tetap merupakan sebuah teka- teki, yang takkan pernah diketahuinya. Tetapi dia ingin memperlihatkan kepada Sang Permaisuri, bahwa dia, dengan datang ke situ, telah mempersiapkan segalanya, sebelum pembicaraan mereka; bahwa dia, setelah pembicaraan itu, ingin mempercayainya sama sekali, baik dalam minuman yang ditawarkan, maupun besok pada saat kumpulan, ketika ia dengan semua pegawainya akan hadir tanpa senjata; maupun dalam pengaruh terbaiknya, yang hendak membawa ketenangan dan perdamaian di antara rakyat. Dan untuk menunjukan bahwa sang Permaisuri memahaminya dan bahwa seluruh kepercayaannya dapat dibenarkan, ia berdiri dan membisikkan beberapa kata kepada seorang abdi yang dipanggilnya. Abdi dalem itu menghilang dan kembali berjalan jongkok di sepanjang ruangan depan dengan membawa sebuah benda panjang dalam sarung kuning. Sang Permaisuri mengambilnya dari tangannya dan menyerahkannya pada Soenario yang kemudian mengeluarkan sebuah tongkat dari sarung sutra kuning, yang lalu diberikannya kepada residen sebagai bukti persahabatan mereka. Van Oudijck menerimanya, mengetahui makna simbol itu. Karena sarung sutra kuning merupakan warna dan bahan dari kekuasaan: sutra dan kuning atau emas; tongkat itu sendiri terbuat dari kayu, untuk melindungi terhadap gigitan ular dan malapetaka, dan kancing hitam dihiasi logam yang melambangkan kekuasaan, emas, dalam bentuk mahkota sultan. Tongkat ini, yang diberikan pada saat ini, melambangkan bahwa keluarga Adiningrat akan mematuhinya dan Van Oudijck dapat mempercayai mereka. Dan ketika berpamitan,Van Oudijck begitu bangga dan menghormati dirinya sendiri. Karena dengan kebijaksanaan, dengan diplomasi, dengan pengetahuannya mengenai orang-orang Jawa, dia telah menang; hanya dengan kata-kata dia telah mengatasi pemberontakan yang mengancam. Itu merupakan sebuah fakta. Itu memang demikian, itu memang akan demikian: sebuah fakta. Malam pertama pasar malam, yang diterangi dengan meriah oleh seratus lampu-lampu minyak, bau gorengan yang mengepul menggoda, dipenuhi beragam orang lalu lalang menikmati pesta. Malam pertama itu tidak lebih dari sekadar pesta dan rakyat saling membicarakan kunjungan persahabatan yang lama dari residen kepada Bupati dan ibunya; karena kereta kuda dengan payung terlihat lama menunggu di jalan 106 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

besar, dan para abdi dalem dari Bupati bercerita mengenai hadiah berupa tongkat itu. Itu memang demikian: sebuah fakta, dan terjadi sebagaimana telah dipikirkan dan diinginkan Van Oudijck sebelumnya. Dan bahwa dia bangga, merupakan hal yang manusiawi. Tetapi apa yang tak dia paksakan dan pikirkan sebelumnya adalah kekuatan diam yang tersembunyi, yang tak pernah dia duga, yang akan selalu ia ingkari dalam kehidupan sederhana yang alamiah. Apa yang tidak dia lihat dan dengar dan rasakan adalah kekuatan diam, yang mengembun, tetapi juga membara, bak sebuah api vulkanis di bawah hamparan bunga-bunga dan persahabatan dan perdamaian yang tampak tenang: kebencian, yang akan mempunyai kekuatan misteri yang tak dapat ditembus; terhadap itu, sebagai orang Barat, dia tak bersenjata. 6 Van Oudijck menyukai dampak tertentu. Van Oudijck tak banyak bicara hari itu soal kunjungannya ke kabupaten. Juga tidak dengan Eldersma dan Van Helderen sore itu ketika mereka datang untuk berbicara tentang kumpulan yang besok pagi akan difungsikan. Mereka tidak merasakan ketenangan dan bertanya apakah perlu mempersenjatai diri. Van Oudijck begitu tegas dan kukuh melarang mereka membawa senjata dan berkata tidak ada yang akan diizinkan. Pegawai Pemerintahan menyetujuinya tetapi tidak ada seorang pun tenang. Kumpulan jadi dilaksanakan dalam harmonis dan sama sekali tak terganggu; hanya ada sekelompok besar penduduk di antara keramaian pasar malam, selebihnya polisi berada di dekat pintu gerbang jamuan yang berhias bendera tipis bertiup-tiup. Tak ada sesuatu terjadi. Para wanita di rumah masih ketakutan dan menghela nafas ketika laki-laki mereka kembali aman di rumah. Dan Van Oudijck sudah berhasil. Dia sekarang mengunjungi beberapa tempat, yakin persoalannya, percaya pada Raden Ayu. Dia menenangkan para perempuan dan berkata bahwa sekarang berpikir saja pada Fancy-fair, tetapi wanita-wanita itu tak percaya. Beberapa keluarga, pada malam-malam mengunci pintu mereka dan tinggal bersama-sama dengan kerabat, anak dan pembantu di ruang tengah, bersentaja, mendengarkan, dalam kewaspadaan. Theo yang pernah diberi tahu ayahnya ketika mereka dalam suasan akrab telah menjadikannya masalah itu sebagai lelucon bersama dengan Addy. Kedua anak muda itu, pada suatu malam, mendatangi rumah-rumah yang mereka tahu penghuninya sangat ketakutan. Mereka memasuki serambi depan dan berteriak minta dibukakan. Di ruang tengah terdengar suara senjata dipicu. Kedua anak muda itu mengalami malam yang gila. Akhirnya Fancy-fair berlangsung. Pada panggung sandiwara yang dikelola oleh 107 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Eva ada sebuah seri dari tiga tablo Artur-Sage: Viviane, en Ginevra en Lancelot; di tengah kebun ada perahu Madura dalam bentuk perahu Viking di mana orang dapat minum punch ala Roma. Sebuah prabrik gula yang dekat masih selalu menyenangkan, terkenal dengan keramahannya, mengelola tenda poffertjes atau apem mini, Belanda yang komplet, sesuatu yang membangkitkan ingatan dan kerinduan akan Belanda. Para wanita berpakaian seperti petani Frislandia, semua pekerja pabrik seperti koki. Sebuah emosi untuk Transvaal dirayakan dengan sebuah bukit tempat Mayuba berikut tuan dan nyonya dalam pakaian petani Belanda di Afrika Selatan yang fantastis. Tsunami besar untuk Ternate tidak dibicarakan meskipun separuh penghasilan akan diberikan untuk daerah yang terkena bencana. Di bawah sinar lampu yang berseliweran di atas kebun ada sebuah kesenangan dan kenikmatan besar hingga banyak uang keluar terutama untuk Transvaal. Meski demikian ketakutan masih menyelinap. Kelompok-kelompok saling bersama, mereka mengintip-intip ke arah keluar di mana berdesak-desakan: Indo, orang Jawa, orang Cina, Arab di gerobak-gerobak tarik yang asapnya mengepul-ngepul. Di antara gelas sampanye dan sepiring poffertjes, si kue apem mini, orang-orang mendengarkan dengan takut ke arah alun-alun, di mana pasar malam bergejolak meriah. Ketika Van Oudijck muncul dengan Doddy, disambut iringan lagu Wien Neerlands Bloed, menebarkan uang-uang kertas, orang-orang bertanya silih berganti secara misterius di telinganya, dan karena mereka tak melihat Nyonya Oudijck, orang-orang saling menyelidik di manakah dia. Ia sakit gigi, kata mereka: makanya ia ke Surabaya. Menurut mereka tindakannya itu tak baik; mereka tidak menyukainya kalau tak melihatnya. Ia banyak menjadi bahan omongan malam itu: orang-orang menceritakan skandal-skandal yang paling memalukan yang dilakukannya. Doddy berdiri di perahu Madura dan berperan menjadi penjual, dan Van Oudijck bersama dengan Eldersma, Van Helderen, beberapa pengawas dari luar, berkeliling, dan menjamu para anggota Binnenlands Bestuur. 10 Jika orang-orang bertanya mengenai keterangan yang penuh rahasia itu kepadanya, dengan pandangan takut ke luar, dengan telinga yang terarah ke alun-alun, dia menenangkan dengan senyum yang penuh keagungan bahwa tidak ada apa-apa. Dia berani bersumpah. Mereka menganggapnya bisa dipercaya, tahu pasti apa yang dikerjakannya, tetapi senyum ramah di bawah kumis lebarnya itu menenangkan. Da mendorong setiap orang agar mengasosiasikan kata Labuwanginya itu hanya pada kegembiraan dan kedermawanan. Dan ketika, tiba-tiba, muncul sang bupati, Raden Adipati Soenario 10 Pemerintahan dalam negeri 108 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

dan istrinya, Raden Ayu muda, dan membayar di pintu masuk untuk buket- buket, program-program dan kipas-kipas dengan selembar uang 100 gulden, kelegaan muncul pada semua hadirin di kebun itu. Uang kertas seratus gulden dari sang Bupati diketahui di pesta itu. Dan sekarang semua orang bernafas lega; sekarang mereka mengerti bahwa semua ketakutan itu tidak perlu. Tidak ada pemberontakan yang akan meletus malam itu. Orang-orang merayakan bupati dan istrinya yang masih muda dan penuh senyum, yang gemerlap oleh perhiasan-perhiasan indahnya. Dari hanya sekadar hiburan, tarikan nafas lega, kemeriahan, orang-orang semakin banyak mengeluarkan uangnya, ingin menandingi beberapa orang Cina kaya raya –dari sebelum masa monopoli opium teratur– pemilik istana-istana marmer putih dan stuko. Jika mereka dengan istri-istri mereka, dalam pakaian Cina berwarna abu-abu dan hijau yang dibordir, rambut berkilap yang dipenuhi bunga dan batu-batuan, dengan wangi cendana yang kuat, melemparkan koin-koin. Uang mengalir, dan berjatuhan serupa tetes-tetes perak dalam kaleng-kaleng milik para pedagang yang gembira. Pesta besar itu sukses. Dan ketika Van Oudijck akhirnya secara perlahan bercerita ke sana ke mari, kepada Doorn de Bruijn, kepada Rantzow, kepada para pegawai dari luar, mengenai kunjungannya ke kabupaten – secara rendah hati dan sederhana, walaupun wajahnya sendiri berbinar-binar, karena kesombongan yang menggembirakan, karena kegembiraan atas kemenangannya– ketika itulah ia memperoleh dampak yang terbesar. Cerita itu mengalir di seluruh kebun, mengenai kebijaksanaan, mengenai kejeniusan residen, yang dengan hanya kata-katanya menggagalkan revolusi itu. Dia kemudian dipuja-puja. Dia menuangkan sampanye ke siapa saja, dia memborong habis semua kipas, dia membeli semua lotre dari tombola, yang belum terjual. Orang-orang memujanya, itu merupakan saat sukses dan popularitasnya. Dan dia bersenda gurau dengan para perempuan, dia merayu-rayu mereka. Pesta berlangsung lama sampai jam enam pagi. Para juru masak apem mini yang gembira mabuk dan menari-nari mengelilingi tungku apem mini tersebut. Dan ketika akhirnya Van Oudijck pulang ke rumah, ia merasa puas dengan dirinya, dia merasa kuat, gembira; merasakan mabuk kesenangan. Di dunia kecilnya ia merasa dirinya raja dan juga diplomat serta dicintai oleh semua, yang ia janjikan ketenangan dan kedamaian. Malam ini membuatnya lebih menghormati dirinya sendiri dan dia menghargai dirinya lebih tinggi dari sebelumnya. Dia merasa begitu bahagia yang sebelumnya tidak pernah dirasakannya. Dia menyuruh kereta kudanya pulang dan berjalan kaki ke rumah bersama 109 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Doddy. Beberapa pedagang berangkat ke pasar pagi-pagi itu. Doddy, setengah mengantuk, lelah, berjalan terseret-seret di lengan ayahnya…. Ketika itu, dekat sekali, Doddy melewati seseorang, dan walaupun dia lebih merasakan daripada melihat, tiba-tiba ia diliputi kengerian. Ia menengadah. Sosok itu telah lenyap. Dia menengok ke belakang dan mengenali punggung dari sang haji, yang sedang terburu-buru… Ia merasa dingin dan hampir jatuh pingsan. Tetapi ketika itu, lelah, berjalan terkantuk-kantuk, ia mengira bahwa ia setengah bermimpi, memimpikan Addy, Pacaram, malam bulan purnama di bawah pohon-pohon cemara, di mana di ujung jalan itu sang haji berpakaian putih mengejutkannya….. 110 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Bagian Kelima 1Eva Eldersma dalam suasana kelemahan dan kemurungan hati, sepertinya suasana ini belum pernah dialaminya di Hindia Belanda. Sesudah semua kerjanya, kesibukannya, sukses Fancy Fair –sesudah ketakutan mengerikan pada pemberontakan –tempat itu kembali tidur tenang, seperti kembali bisa tidur ayam lagi sebagaimana biasanya. Sekarang bulan Desember sudah datang dan hujan lebat sudah mulai, seperti biasa. Desember tanggal lima: musim hujan, tidak berubah, mulai di hari Sinterklas11. Awan-awan yang selama satu bulan telah menempatkan diri sedang membengkak di kerendahan kaki langit dan membentang serupa gorden, serupa layar penuh air yang semakin tinggi di atas cakrawala, dan robek terbuka seolah-olah kemarahan listrik-listrik yang menerangi sampai jauh, jatuhlah hujan dengan deras bak kekayaan hujan yang tidak bisa dipertahankan lagi di atas. Kini layar-layar yang terlalu penuh telah robek dan semua kelebihan air mengalir seperti keluar dari satu koyakan. Sepanjang malam serambi depan rumah Eva diterbangi oleh kerumunan serangga gila, yang mabuk api dengan menjatuhkan diri di lampu sampai mati seperti dalam apotheoze12 kematian karena api dan mengisi gelas-gelas lampu dengan tubuh- tubuh menggelepar, dan sekarat, menaburi meja marmer. Angin yang lebih sejuk dihirup Eva, tapi kabut tipis lembab berasal dari tanah dan dedaunan menempel di tembok, tampak sebagai keringat yang keluar dari mebel, melemah di cermin- cermin, membasahi permukaan sutra, menjamuri sepatu-sepatu, seakan-akan kekuatan arus alam yang sedang turun akan membusukkan semua hal kecil dan cemerlang dan menyenangkan dari hasil kerja manusia. Tapi, pohon-pohon dan dedaunan dan rumput kembali hidup, melampiaskan gairah hidup, bertumbuh terlalu cepat dan liar dalam ribuan kilauan warna hijau baru dan di dalam kemenangan yang muncul dari alam yang hijau, ada kota manusia di mana menelusup rumah-rumah terbuka, basah dan becek, dan semua keputihan pilar dan pot bunga yang dikapur hancur menjadi hijau-jamur. Eva mengamati kehancuran yang pelan dan berangsur-angsur pada rumahnya, 11 Tradisi perayaan hari Sinterklas di Belanda pada tanggal 5 Desember 12 Babak penutupan akbar suatu pertunjukan 111 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

mebelnya, pakaiannya. Dari hari ke hari, tanpa dapat dicegah, sesuatu hancur, sesuatu membusuk, sesuatu berjamur, sesuatu berkarat. Dan segala filosofi estetika, yang dia dalami untuk mencintai Hindia, menghargai juga di Hindia yang baik, juga mencari penampilan dan keindahan batiniah dari jiwa, tapi tidak bertahan terhadap aliran air, terhadap kehancuran mebel, terhadap pelapukan gaun dan kaos tangannya, terhadap semua kelembaban, jamur dan karat yang merusak lingkungan yang indah dan sedap yang dia ciptakan, yang dia bentuk sebagai sesuatu hiburan untuknya, sesuatu pelipur lara untuk Hindia. Semua pikiran dan rasio sesuaikan diri, yaitu untuk menemukan sesuatu yang manis dan indah di negara dengan alam yang terlalu berkuasa dan orang yang mencari uang dan posisi, gagal, ambruk. Setiap saat dia dipaksa menjadi jengkel, sebagai ibu rumah tangga, sebagai perempuan anggun, sebagai perempuan artistik. Mustahil di Hindia mengelilingi diri sendiri dengan selera dan keperisaan. Dia hanya beberapa tahun lagi di sini, dan dia merasa punya tenaga berjuang demi peradaban-Baratnya, tetapi dia sudah mengerti lebih baik daripada hari-hari pertama kedatangannya, sikap yang membiarkan saja, laki-laki sesudah kerja keras, perempuan di rumah tangganya. Tentu, para pembantu yang berjalan tanpa suara, kerja dengan tangan lembut, siap sedia, tidak pernah kasar, yang diistemewakannya dibandingkan pembantu yang berjalan menghentakkan kaki di Belanda, tapi dia tetap merasakan seluruh rumahnya ada perlawanan Timur yang antipati terhadap ide-ide Barat miliknya. Selalu, adalah perjuangan untuk tidak tenggelam dalam sikap membiarkan, membiarkan halamannya yang terlalu luas menjadi liar, halamannya dipenuhi oleh gantungan cucian pembantu yang kucel dan ditebari dengan sisa-sisa buah mangga, membiarkan rumah menjadi kotor dan cat yang mengelupas, terlalu besar, terlalu terbuka, terlalu telanjang terhadap cuaca dan angin untuk dirawat dengan kebersihan ala Belanda, hanya berayun tanpa pakaian rapi, dalam sarung dan kebaya, kaki telanjang berselop karena sungguh terlalu panas, terlalu pengap untuk memakai gaun atau daster yang akan basah berkeringat. Untuk Eva, suaminya selalu memakai pakaian rapi, jas hitam dan kerah tinggi pada waktu makan malam. Tetapi ketika dia melihat rautnya yang lelah, melihat kelelahan kerja yang semakin bertambah di atas kerah tinggi, dia sendiri menganjurkan suaminya agar selanjutnya tidak berpakaian rapi sesudah mandi sore dan memperkenankan suaminya makan dalam jas putih atau bahkan celana tidur dan baju koko. Dia anggap hal itu tak menyenangkan, sesuatu hal mengerikan yang tak dapat diucapkan, yang menggoncangkan seluruh peradabannya. Akan tetapi, sungguh suaminya terlalu capai dan cuaca terlalu pengap untuk menuntut lain darinya. Dan dia, baru dua tahun di Hindia, semakin mengerti sikap membiarkan 112 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

saja –dalam berpakaian, tubuh, jiwa– karena saat ini setiap hari semakin kehilangan sesuatu dari Belanda yang segar dan juga energi Barat. Sekarang dia mengakui bahwa di Hindia mungkin orang bekerja keras daripada di Belanda, tapi hanya bekerja dengan tujuan di depan mata: posisi, uang, berhenti bekerja, pensiun, dan kembali, kembali ke Eropa. Memang ada orang-orang lain yang lahir di Hindia, yang hampir-hampir tidak meninggalkan Hindia setahun pun, yang memuja tanah matahari mereka, yang tak mau mendengar apa pun tentang Belanda. Dia tahu bahwa keluarga de Luce seperti itu dan dia tahu demikianlah yang lain .Tapi dalam lingkungannya yang terdiri atas pegawai pemerintah dan pemilik perkebunan yang bertujuan hidup sama, posisi, uang, pergi, pergi ke Eropa. Setiap orang menghitung tahun-tahun kerja yang masih harus ditempuh dan setiap orang melihat dalam masa depan ilusi untuk istirahat di Eropa. Segelintir orang seperti Van Oudijck, satu dua orang pegawai yang mungkin mencintai pekerjaannya dan karena harmonis dengan karakternya, mencemaskan masa pensiunnya yang akan menganggur saja. Namun, Van Oudijck adalah kekecualian. Kebanyakan orang melayani dan menanam untuk istirahat di masa datang. Suaminya juga sebetulnya bekerja memeras keringat, untuk mengambil pensiun beberapa tahun lagi, jika sudah menjadi asisten residen: bekerja untuk ilusi istirahatnya. Sekarang dia merasakan tenaganya tenggelam dengan setiap tetes darah yang terasa lebih pelan mengalir dalam nadinya. Di hari-hari pertama musim hujan ini, got-got di rumahnya secara tak berhenti mengalirkan suara gemericik air yang gemuruhnya .menjengkelkan. Waktu kini dia melihat kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh jamur dan kelembaban pada hal-hal material yang dia pilih dengan cita rasa di sekelilingnya sebagai hiburan artistik untuk Hindia. Sekarang dia menjadi lesu seperti belum pernah dia alami. Dia tidak cukup puas hanya dengan anaknya yang masih terlalu kecil untuk menghibur jiwanya. Suaminya bekerja, bekerja selalu. Baginya, dia seorang suami yang baik dan penyayang, suami yang berani, seorang pria yang sederhana, yang mungkin dia pilih karena kesederhanaan itu, karena ketenangan kalem dari wajah Frislandia pirang, yang tersenyum dan kegagahan bahunya yang lebar setelah beberapa pacar yang menggairahkan, yang keranjingan, kesalahpahaman, selisih pendapat dari perasaan jiwanya yang agung, muncul dari pacar pada masa gadisnya. Dia yang tidak tenang dan sederhana telah mencari kesederhanaan kekasih, tetapi kualitasnya tidak memuaskannya; terutama sekarang sesudah dia semakin lama di Hindia, dan menjadi kalah dalam pertarungan dengan tanah ini yang nalurinya tidak simpatik maka cinta tenang suaminya tidak memuaskannya. Dia mulai merasa tidak bahagia. Dia adalah istri yang serba bisa untuk dapat menemukan semua kesenangan dalam bocah kecilnya. Dirasakan benar bahwa 113 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

kecemasan kecil masa kini dan pemikiran tentang masa depan mengisi sebagian hidupnya. Dia menyusun teori yang lengkap tentang pendidikan, namun semua itu tak mengisi seluruh hidupnya. Kerinduan pada Belanda mengitarinya: kerinduan pada orang tuanya, kerinduan akan rumah seni di mana orang selalu bertemu pelukis, penulis, pemusik, sebuah kekecualian dari galeri artistik di Belanda di mana untuk sesaat elemen-elemen seni yang biasanya terisolir di Belanda datang berkumpul. Seperti sebuah mimpi jauh yang samar keluarlah visi itu melewatinya sementara dia mendengarkan gemuruh guntur pada langit yang sesak pengap; sementara dia melihat ke arah curah air sesudahnya turun hujan dengan deras. Di sini dia tidak punya apa-apa. Dia merasa berada di tempat yang salah. Di sini dia memiliki klub yang setia, yang menjadi kumpulannya karena menyenangkan, tidak dari simpati yang lebih dalam, tidak dari pembicaraan yang lebih intim selain dengan Van Helderen. Dengannya dia akan hati-hati agar tak memberinya ilusi. Hanya Van Helderen dan dia berpikir pada orang-orang lain di sekelilingnya di Labuwangi. Dia memikirkan orang-orang, banyak orang dari mana saja. Dengan pesimistis di hari-hari ini, dia menemukan ini hanyalah egois, kepentingan diri, hal kurang kecintaan, tertutup dalam dirinya. Dia hampir tidak dapat mengungkapkan, semua terganggu oleh kekuatan air hujan yang deras. Akan tetapi, dia menemukan hal yang disadari dan tidak disadari akan ketiadaan cinta dalam setiap orang. Juga dalam pendukung setianya, juga dalam diri suaminya. Dalam diri para laki-laki, perempuan-perempuan muda, gadis-gadis muda, anak-anak muda dalam lingkungannya. Setiap orang egois. Tak seorang pun punya keselarasan untuk dirinya dan untuk yang lain. Pada seseorang dia menemukan hal ini tidak bagus, pada seorang yang lain hal itu menjengkelkan; pada orang lain lagi sama sekali dicela. Ini adalah kritik yang membuatnya sedih dan muram karena keadaan ini bertentangan dengan nalurinya. Dia suka menyayangi. Dia senang hidup sama-sama, spontan, selaras dengan banyak yang lain. Aslinya, dalam dirinya ada cinta bagi manusia, kecintaan akan kemanusiaan. Masalah besar membangkitkan emosi dalam dirinya, namun semua yang dia rasakan tidak menemukan tanggapan. Kosong dan kesendirian di negeri ini, di kota ini, di lingkungan di mana semua hal besar, hal kecil mengganggu jiwanya, tubuhnya, karakternya, nalurinya. Suaminya bekerja, anaknya sudah menjadi Indis. Pianonya tidak disetem. Dia berdiri untuk mencoba piano. Deretan-deretan panjang dalam “Feuerzauber van de Walküre” tetapi hujan bersuara lebih keras daripada alunan musiknya. Ketika dia berdiri kembali, tanpa harapan karena patah semangat, dia melihat Van Helderen. 114 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Kamu mengagetkan saya,” kata Eva. “Saya boleh makan di sini?” tanya Van Helderen. “Saya sendirian di rumah. Ida ke Tosari untuk malarianya dan anak-anak ikut serta. Kemarin dia pergi. Ini mahal. Bagaimana saya bisa bertahan bulan ini, saya tidak tahu.” “Biarkan anak-anak di sini jika mereka telah beberapa hari di atas.” “Kamu tidak keberatan?” “Tentu saja tidak. Saya akan menyurati Ida.” “Ini benar-benar hal terbaik darimu. Kamu pasti akan membantu saya dalam hal ini.” Eva tertawa lesu. “Kamu sakit?” “Saya merasakan mati,” kata Eva. “Apa maksudmu?” “Setiap hari saya merasa mati sedikit demi sedikit.” “Mengapa?” “Di sini mengerikan. Kita merindukan hujan, dan sekarang hujan datang, namun itu membuatku gila. Saya tidak tahu, saya tidak lagi tahan di sini.” “Di mana?” “Di Hindia. Saya telah belajar melihat yang terbaik, yang terindah di negeri ini. Semuanya sia-sia. Sekarang saya tak bisa lagi.” “Pergilah ke Belanda,” ucapnya lembut. “Orang tuaku tentu akan senang melihatku kembali. Untuk anak laki-lakiku itu bagus karena setiap hari dia semakin melupakan bahasa Belanda yang dengan begitu bersemangat saya mulai ajarkan padanya, dan dia berbicara Melayu atau lebih parah bahasa sinyo. Saya tidak mau meninggalkan suami saya sendirian di sini. Dia tak akan punya apa-apa tanpa saya. Setidaknya –itu saya percaya– hal itu masih tinggal sebagai ilusi. Mungkin tidak begitu.” “Tapi kamu menjadi sakit...” “Ah,...saya tidak tahu...” Ada satu keletihan yang tak biasa di seluruh dirinya. “Mungkin kamu berlebihan,” Helderen mulai bersemangat. “Ayo, kamu mungkin berlebihan. Ada apa? Apa yang mengganggumu, apa yang membuatmu begitu tak bahagia. Mari kita buat daftaran.” “Daftar ketidakberuntungan. Kebunku menjadi rawa-rawa. Tiga kursiku di serambi berkertak-kertak. Rayap memakan tikar Jepangku yang cantik. Baju sutraku 115 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

yang baru, tak bisa dijelaskan, diserang noda-noda lembab. Baju yang lain, semata- mata karena panas musnah menjadi benang-benang saja. Ada kesulitan-kesulitan remeh yang bermacam-macam dan sejenis. Untuk menghibur diri saya mencurahkan diri dalam ‘Feuerzauber’. Pianoku sumbang; saya kira ada kecoa- kecoa berkeliaran di antara senar-senar.” Van Helderan tersenyum kecil. “Kita di sini adalah idiot, orang-orang Barat yang di negeri ini. Mengapa kita berlarut-larut membawa ke sini seluruh peradaban kita yang mahal, yang tidak bisa tahan di sini. Mengapa kita tidak tinggal rumah bambu yang segar, tidur di atas tikar, berbaju kain panjang dan kebaya Cina dengan selendang di atas bahu dan dengan bunga di rambut, kita toh tidak tahan untuk tinggal di sini. Semua budaya kalian, sebagai cara kalian menjadi kaya, adalah ide Barat yang lama-lama akan gagal. Semua administrasi itu membuat capai dalam kepanasan. Mengapa jika kita ingin hidup di sini, kita tidak hidup sederhana dengan menanam padi dan hidup tak punya apa-apa.” “Kamu bicara seperti seorang perempuan.” Van Helderen tertawa sedikit. “Itu mungkin saja,” kata Eva. “Saya bicara begini setengahnya iseng, tapi saya merasakan kekuatan yang menentang saya, menentangku, melawan semua administrasi kita. Semua ke-Barat-an saya ini...Itu pasti. Saya di sini kadang-kadang takut. Saya merasa di sini selalu...akan dilanda sesuatu. Tak tahu persis sebab- musababnya, saya selalu dilanda ketakutan: oleh sesuatu dari tanah, oleh kekuatan alam, oleh kerahasiaan jiwa orang-orang hitam yang saya tak kenal. Terutama di waktu malam saya ketakutan.” “Kamu tegang,” katanya lembut. “Mungkin,” balasnya dengan lelah sambil melihat bahwa Helderen tidak mengerti dan dia terlalu lelah untuk menjelaskan lebih jauh. “Biarkan kita berbicara tentang sesuatu yang lain. Tafeldans toh aneh.” “Ya,” jawab Van Helderen. “Ketika kita bertiga: Ida, kamu dan saya, dahulu melakukannya.” “Yah, itu sangat aneh.” “Ingat kali pertama? Addy de Luce....yang sekarang tampaknya benar dia bertalian dengan Nyonya Van Oudijck. Juga tentang pemberontakan. Meja telah meramalnya.” “Apakah tanpa sadar kita tersugesti?” “Saya tak tahu. Tapi, pikirkan bahwa kita semua jujur dan bahwa meja akan mengetuk dan berbicara dengan mengikuti sebuah alfabet.” 116 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Janganlah kamu sering melakukannya, Eva.” “Tidak, saya anggap itu tak dapat dipahami. Sudah membosankan untukku. Orang akan terbiasa dengan sesuatu yang tak dapat dimengerti.” “Semua tak dapat dimengerti...” “Yah, segalanya adalah sesuatu yang biasa.” “Eva,” katanya tersenyum lembut sedikit menyesalkan. “Saya sudah berhenti berjuang. Saya akan melihat hujan dan berayun-ayun.” “Dulu kamu melihat keindahan di tanahku.” “Di tanahmu? Bukankah kamu lebih senang untuk meninggalkannya menuju pameran Paris.” “Saya tak pernah mempertimbangkan sesuatu.” “Kamu begitu rendah hati hari ini.” “Saya sedih untukmu.” “Oh, tak perlulah begitu.” “Mainkan sesuatu ....” “Marilah minum seloki. Ambillah untukmu. Saya akan memainkan pianoku yang fals yang akan harmonis dengan jiwaku yang juga kacau.” Dia kembali melangkah ke ruang tengah dan memainkan ‘Parzifal’. Van Helderen, di depan, masih duduk dan mendengarkan. Hujan masih turun deras. Kebun penuh air hujan. Letusan guntur muncul membelah bumi. Alam adalah kuasa tertinggi dan dalam wahyu besar dua orang di rumah lembab ini menjadi kecil, cinta si lelaki tak berarti, kemurungan si wanita tak berarti; musik mistik Graal serupa sebuah nada-nada kekanakan dibandingkan misteri kilatan gemuruh guntur, yang dengan nasib buruk sendiri tampak berlayar dengan simbal Ilahi di atas orang- orang yang tenggelam dalam air bah. 2 Dua anak dari Van Helderen, satu anak perempuan berusia 7 tahun dan anak laki-laki berumur 6 tahun berada di rumah Eva dan Van Helderen secara teratur datang ke rumah Eva satu kali satu hari untuk makan. Frans van Helderen tak pernah lagi membicarakan perasaan jujurnya karena tak ingin mengganggu kemesraan yang menghibur hati dari keberasamaan mereka. Dan Eva menerima bahwa Van Helderen setiap hari makan bersamanya; dia tak kuasa menolaknya. Van Helderen adalah satu-satunya pria di lingkungannya; dengannya dia dapat berpikir dan berbicara lantang. Juga bagi Eva, dia menjadi seorang pelipur lara di hari-hari yang murung. Eva tidak mengerti bagaimana dirinya jadi begitu; tetapi dirinya masuk 117 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

bertahap dalam sebuah apatis atau tak acuh dalam sejenis pendapat tak perlu apa- apa dalam nihilismenya. Dia itu tak pernah begitu. Nalurinya akan keaktifan dan kegembiraan, akan pencarian sesuatu yang indah dan mengagumkan, akan puisi, musik dan seni: hal-hal yang dilihatnya, yang dirasakannya, dan dibahasnya di sekitarnya sejak masa kecilnya, masa buku-buku anak-anak miliknya. Di Hindia berangsur-angsur dia merindukan semuanya, pada apa yang dia butuhkan. Sebuah kekosongan untuk diucapkan: untuk apa semua, untuk apa dunia dan orang dan gunung-gunung, untuk apa semua hal kecil yang melayang-layang dalam hidup...menjadikan dirinya dikuasai, tanpa harapan. Dan ketika dia membaca hal- hal mengenai daya penggerak sosial, di Eropa menjadi permasalahan sosial besar dan di Hindia menjadi permasalahan Indo, dia berpikir: “Mengapa dunia, jika manusia tetap yang sama selama-lamanya: kecil dan menderita dan ambruk dalam semua kesengsaraan kemanusiaan.” Dia tak melihat tujuan. Separuh umat manusia menderita kemiskinan dan berjuang mengangkat diri dari kegelapan: ke mana? Separuh yang lain hidup menganggur, tertidur dalam uang. Di antara keduanya ada tangga-tangga yang beraneka warna dari kemiskinan gelap hingga kekayaan. Mereka diwarnai, di atasnya: cinta, seni, tanda tanya besar mengenai keadilan dan damai, dan masa depan ideal. Menurutnya semuanya tak mengenai apapun. Dia tak melihat adanya tujuan dan dia berpikir: mengapa semuanya begitu dan mengapa dunia dan orang-orang malang? Tak pernah ia merasa seperti itu, namun itu tidak bisa dilawan. Perlahan-lahan setiap hari Hindia membuatnya sakit jiwa. Frans van Helderen adalah satu-satunya hiburannya. Kontrolir ini tak pernah pergi ke Eropa; seluruh pendidikannya ditempuh di Batavia; ujian-ujiannya dilakukan di Batavia. Ia pirang, lincah dengan kesopanan yang luwes, dengan tipe nasionalitas asingnya yang tak dapat dijabarkan. Pendidikannya yang hampir eksotis, adalah berharga untuk persahabatannya…. Eva mengatakan kepadanya betapa menyenangkan persahabatan itu baginya, dan Frans tak lagi menjawab dengan cintanya. Ada terlalu banyak cinta dalam hubungan mereka. Ada sesuatu yang idealistik yang dibutuhkan keduanya. Di dalam lingkungan mereka, dari kebiasaan, persahabatan untuk mereka berkilau keluar sebagai sebuah kegembiraan yang begitu penuh keindahan, penuh perisa yang dibanggakan keduanya. Van Helderen sering datang, terutama di saat sekarang ketika istrinya di Tosari. Dalam keremangan senja mereka berjalan-jalan ke menara api yang berdiri di pinggir laut bagaikan kandelabra 13 Eiffel kecil. Banyak orang membicarakan acara jalan-jalan mereka itu, tetapi mereka tidak terganggu karenanya. 13 Lampu gantung dengan banyak tangkai untuk lampu atau lilin 118 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Di atas lantai menara api mereka duduk, memandang jauh ke laut dan mendengarkan suara-suara di kejauhan. Perahu-perahu, serupa hantu, dengan layar- layar serupa burung malam, menyusuri kanal dengan nyanyian keluh kesah para nelayan. Kelelahan oleh nasib hidup, oleh dunia kecil dan manusia kecil, bergentayangan dibawah udara penuh bintang-bintang, di mana, mistik memendarkan cahaya Salib-selatan atau bulan Turki-separuh, sang bulan kadang bertanduk. Dan di atas kelelahan dari nelayan yang berkeluh kesah itu, perahu- perahu reyot dari orang kecil di bawah menara semu, berlayarlah keluasan tanpa dasar: langit dan cahaya abadi. Dan dari keluasan itu berlayarlah apa yang tak terkatakan, seperti ketuhanan yang berada di atas kemanusian, tempat semua kemanusiaan yang kecil itu tenggelam dan mencair. “Mengapa harus terikat pada nilai tertentu dalam hidup jika besok saya mati,”pikir Eva. “Mengapa semua kekacauan itu dan tekanan pada manusia ada jika esok semua mati…” Dan ia mengatakan pada Van Helderen yang menjawab bahwa manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri dan waktu sekarang, tetapi untuk semua dan untuk masa depan. Eva tertawa pahit, mengangkat bahunya, menganggapnya dangkal. Dan dia anggap diri sendiri juga dangkal, berpikir hal-hal seperti itu, yang sudah begitu sering dipikirkan. Tapi toh, walaupun kritiknya terhadap diri sendiri, obsesi ketidakbergunaan kehidupan tetap menekannya, jika esok semua bisa mati. Kekecilan merendahkan mereka, mereka berdua, duduk memandang luasnya langit dan terang abadi. Toh mereka menyukai saat-saat itu, saat yang berharga dalam hidup mereka. Karena jika mereka tidak terlalu banyak merasakan kekerdilan mereka, mereka berbicara mengenai buku, musik, seni, dan tentang hal-hal tinggi dari kehidupan. Walaupun ikut pada kotak bacaan dan opera Italia dari Surabaya, mereka merasa tidak lagi ikut aktualitas. Mereka merasakan begitu banyak hal-hal agung jauh dari mereka. Saat ini keduanya tidak lagi merasakan kecil, sebuah kerinduan tanah air telah melanda mereka, untuk ke Eropa. Keduanya dengan senang hati ingin pergi ke Eropa. Tapi keduanya tak bisa. Keseharian yang kecil memenjarakan mereka. Kemudian, dengan sendirinya, secara bersama-sama, mereka berbicara mengenai apa itu jiwa dan hakikatnya dan semua misteri mengenainya. Semua kerahasiaan. Mereka merasakannya pada laut, di udara, tapi dengan diam, mereka mencarinya juga pada kaki meja yang menari. Mereka tidak mengerti bahwa roh atau jiwa dapat menampakkan diri melalui sebuah meja, dimana mereka secara serius meletakkan tangan dan melalui itu mengalir dari mati menjadi hidup. 119 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Tapi jika mereka meletakkan tangan, meja hidup, dan mereka harus percaya benar. Secara aneh datanglah huruf-huruf yang sering kacau, yang harus mereka hitung dengan teliti dan meja seakan dimasuki oleh jiwa yang setiap kali cenderung mengganggu, mengacau, tiba-tiba menjadi kurang ajar dan kotor. Bersama-sama mereka membaca buku tentang spiritisme, dan mereka tidak tahu apakah mereka akan mempercayainya atau tidak. Hari-hari masih tenang oleh kebosanan dalam kota yang terguyur hujan deras. Hidup mereka satu sama lain adalah serupa sesuatu yang tak sebenarnya, seperti mimpi yang tampak kabur melewati hujan sekitarnya. Dan itulah Eva, ketika tiba-tiba bangkit pada suatu siang, berjalan di jalanan yang basah dan menunggu Van Helderen, Van Oudijck melihatnya mendekat. “Saya dalam perjalanan ke tempat Anda, Nyonya!” dia berbicara penuh semangat. “Saya kebetulan ingin bertanya pada Anda. Inginkah Anda kembali membantu?” “Apakah itu Residen?” “Pertama katakan pada saya, kamu kelihatan tak nyaman?” “Bukan sesuatu yang serius,” dia tertawa, “semua akan kembali berlalu. Apa yang bisa saya bantu Residen?” “Ada sesuatu yang mesti dilakukan, Nyonya dan kami tidak dapat lakukan tanpa Anda. Istri saya juga berkata pagi ini: tanyalah pada Nyonya Eldersma.” “Apa itu?” “Anda tahu Nyonya Staat, istri kepala stasiun yang meninggal. Nyonya malang itu ditinggal begitu saja, sendirian dengan lima anak-anaknya dan sejumlah hutang.” “Kepala stasiun itu bunuh diri?” “Ya, hal itu sangat menyedihkan. Kita harus membantunya. Dibutuhkan banyak uang untuk hal itu. Daftaran diedarkan tapi hasilnya kurang. Orang-orang cukup gampang memberi, tetapi akhir-akhir ini mereka sudah begitu banyak berkurban. Mereka tergila-gila dengan Fancy Fair. Pada saat ini, pada akhir bulan, tidak banyak yang akan diberikan. Tapi, dalam awal bulan depan, mulai Januari, Nyonya, ada pertunjukan komedi Thalia. Begitu cepat, sejumlah teater kamar yang menawan hati dan tanpa ongkos. Satu kali masuk mungkin, 1,5 gulden atau 2,5 gulden dan jika Anda mengurus ini, gedung pertunjukan cepat penuh, mereka datang dari Surabaya. Anda harus membantu saya, bukan begitu Nyonya?” “Tapi Residen,”kata Eva lelah, “baru saja tableaux-vivants. Jangan gusar, tapi saya 120 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

kurang berminat selalu memainkan komedi.” “Ya, ya tapi harus,” desak Van Oudijck bersemangat dengan rencananya dan sedikit bersuara tinggi. Eva menjadi tersinggung. Dia mencintai kebebasannya dan terutama pada hari- hari murung ini dia terlalu bersedih, pada hari-hari mimpi ini dia merasakan diri terlalu samar-samar untuk segera mengikuti permintaan dari orang yang berkuasa itu. “Betul, Residen, kali ini saya tak tahu,” jawabnya pendek. “Mengapa Nyonya Van Oudijck tidak melakukannya sendiri....?” Eva terkejut karena telah mengatakannya dengan tersinggung. Van Oudijck yang berjalan di sampingnya kaget, wajahnya menjadi muram. Tarikan ramah, tawa ramah pada kumis tebalnya tiba-tiba pergi. Eva melihat bahwa dirinya telah kejam dan dia sangat menyesal. Dan untuk pertama kali tiba-tiba Eva sadar, walaupun Van Oudijck begitu menyukai istrinya, dia tidak setuju bahwa Leoni selalu mundur dari hal itu. Eva sadar bahwa dia menderita karenanya. Menjadi terang baginya, ada sesuatu muncul dalam karakter Van Oudijck. Eva lihat untuk pertama kalinya dan jelas. Van Oudijck tak menjawab; sementara mencari kata-katanya, dia berdiam diri. Ketika Eva berkata, merayu, “Jangan marah, Residen. Sesuatu tak ramah dari saya. Saya tahu benar bahwa Nyonya Van Oudijck menganggap urusan itu membosankan. Saya akan dengan senang hati mengambil alih darinya. Saya akan melakukan semua seperti Anda inginkan.” Gelisah matanya berurai air mata. Van Oudijck melihatnya, sekarang dia tertawa, memandangnya dengan kepala dimiringkan. “Betapa pun gelisahnya kamu, namun saya tahu benar bahwa Anda punya hati baik dan tidak akan membiarkanku sendiri dengan rencana-rencana dan akan membantu Nyonya Staats. Tapi, janganlah mahal-mahal, jangan ada ongkos dan dekorasi baru. Hanya jiwa Anda, bakat Anda, cara bicara Anda yang indah dari bahasa Perancis atau Belanda, apa pun yang Anda inginkan. Itulah yang kita bangggakan di Labuwangi dan semua yang indah-indah, yang Anda berikan cuma- cuma untuk kami, yang sama sekali memadai untuk mengadakan pertunjukan itu. Tapi, mengapa Anda gugup, Nyonya? Mengapa menangis? Kamu tak sehat? Katakan apa yang dapat saya lakukan untuk Anda?” “Jangan berikan suami saya terlalu banyak kerja, Residen. Saya tidak pernah memilikinya.” 121 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Dia membuat gerakan bahwa dia tidak dapat membantu. “Hal itu memang begitu, sangat sibuk,” dia mengakuinya, “apakah ini masalahnya?” “Dan mengajariku untuk melihat hal-hal yang baik dari Hindia. “Apa itu masalahnya?” “Dan masih banyak lagi.” “Kamu rindu kampung halaman? Kamu tidak senang lagi dengan Hindia, dengan Labuwangi, di mana kita semua memuja Anda? Kamu telah keliru menilai Hindia. Coba sekali lagi melihat hal yang baik.” “Saya sudah mencobanya.” “Tidak suka lagi?” “Tidak.” “Anda terlalu bijaksana untuk tidak dapat melihat hal yang baik dari negeri ini.” “Anda terlalu mencintai tanah ini untuk tidak memihaknya. Dan saya juga dapat memihak. Katakan pada saya sesuatu yang bagus.” “Dengan apa saya akan mulai. Hal bagus yang dapat dilakukan orang sebagai pejabat untuk tanah dan penduduk negeri ini, dan itu kembali pada kita dalam bentuk kepuasan. Menyenangkan kerja bagus untuk tanah dan penduduk: kerja keras dan banyak yang mengisi kehidupan dengan penuh di sini.... Saya tidak berbicara tentang kerja meja suami Anda, sebagai sekretaris, tapi saya berbicara mengenainya kemudian jika sudah menjadi asisten residen.” “Berapa lama lagi hal itu terjadi...!” “Jadi kehidupan materi yang menjadi masalahnya?” “Material yang selalu dikerikiti rayap” “Ini kecerdasan yang palsu.” “Sangat mungkin, Residen. Semuanya tidak enak pada diri saya, kecerdasan saya, piano saya, dan jiwa malang saya.” “Bagaimana dengan alam?” “Saya tak begitu merasakannya. Alam begitu hebat untuk saya dan memakanku habis.” “Lingkungan kerjamu sendiri?” “Lingkungan kerjaku...satu di antara hal-hal yang baik dari Hindia...” “Ya. Kami, manusia material dari praktik, kadang-kadang disemangati oleh jiwa Anda.” “Residen, sebuah pujian! Apakah semua untuk pertunjukkan sandiwara!” 122 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Dan dengan jiwa itu melakukan sesuatu yang baik untuk Ibu Staats.” “Tidakkah saya akan dapat melakukan sesuatu yang baik di Eropa?” “ Pasti bisa,”katanya pendek. “Pergilah ke Eropa, Nyonya. Jadilah anggota Armenzorg 14di Den Haag; dengan kaleng di depan pintu Anda dan mendapat dua setengah gulden... tapi dalam waktu berapa lama?” Eva tertawa. “Sekarang kamu tak adil. Di Belanda banyak kebaikan juga dilakukan.” “Tapi untuk melakukan tindakan bagi satu orang yang tak beruntung, seperti kami, seperti Anda akan lakukan...; apakah itu pernah dilakukan di Belanda? Jangan katakan padaku bahwa di sini kemiskinan lebih sedikit diderita.” “Jadi...?” “Jadi ada hal baik di sini untuk Anda, lingkungan kerjamu, melakukan pekerjaan untuk orang lain, baik material maupun moral. Jangan biarkan Van Helderen terlalu tergila-gila padamu. Dia adalah seorang pemuda mempesona, tapi terlalu sastrawi di dalam laporan kontrol bulanannya. Saya melihatnya datang dan saya harus pergi. Saya bisa mengandalkan Anda?” “Sepenuhnya.” “Kapan rapat pertama pengurus sandiwara dan para ibu-ibu?” “Besok malam, di tempat Anda Residen?” “Setuju. Saya akan menyuruh mengirimkan daftarnya. Kita harus menghasilkan banyak uang.” “Kita akan membantu dia, Nyonya Staats,” katanya lembut. Van Oudijck menyalami erat-erat tangannya dan kemudian pergi. Eva merasakan dirinya lemah, tapi tak tahu mengapa. “Residen telah memperingatkanku tentangmu karena kamu terlalu sastrawi!” goda Eva pada Van Helderen. Mereka duduk di teras depan. Langit terbuka: gorden pucat yang terbentuk dari guyuran hujan yang jatuh seumpama ploi-ploi air. Masuklah belalang yang meloncat genit lewat beranda. Kerumunan serangga sangat kecil berdesir pojok-pojok tembok serupa harpa Eolis. Eva dan Van Helderen meletakkan tangan pada meja kecil dan mengangkat 14 Bantuan perawatan untuk orang miskin 123 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

dengan sentakan kaki meja, sementara kumbang-kumbang beterbangan di sekitar mereka. 3 Daftar beredar. Pertunjukan sandiwara dilatih, setelah tiga minggu dimainkan dan Dewan Sandiwara menyerahkan uang sejumlah hampir 1500 gulden kepada residen untuk Ibu Staats. Hutang-hutang Ibu Staats dilunasi; dia disewakan sebuah rumah, dan dipekerjakan pada toko pakaian kecil yang diusahakan Eva dengan menulis ke Paris. Semua ibu-ibu di Labuwangi memesan pada Ibu Staats. Dalam waktu kurang dari sebulan dia tidak hanya terhindar dari kehancuran total tetapi hidupnya pun terurus, anak-anaknya bersekolah lagi, dan dia mempunyai penghasilan lumayan. Semua ini terjadi begitu cepat dan tanpa menarik perhatian. Orang-orang menyumbang begitu banyak di daftar, dan ibu-ibu begitu mudah memesan sebuah gaun atau topi yang tidak mereka perlukan sehingga Eva merasa heran. Dan dia harus mengakui bahwa keegoisan, mementingkan diri sendiri, hal-hal yang kurang menyenangkan, dan yang begitu sering dia jumpai dalam kehidupan sosial mereka: pergaulan, percakapan, intrik, gosip, tiba-tiba terdesak ke belakang oleh suatu bakat solidaritas untuk melakukan kebaikan, melulu karena harus, karena tidak ada kemungkinan lain, karena wanita tersebut harus dibantu. Bangkit dari kesedihannya karena kesibukannya untuk pertunjukan tersebut, terpana untuk bertindak cepat, dia menghargai hal baik-indah di sekitarnya dan dia menulis begitu bersemangat tentang hal ini ke Belanda sehingga orang tuanya yang tidak tahu apa-apa tentang Hindia tersenyum. Akan tetapi, walaupun episode ini membangkitkan sesuatu yang lembut dan menghargai dalam dirinya, hal ini merupakan suatu episode. Eva tetap seperti semula ketika emosi mengenai hal-hal itu berlalu. Dan walaupun dia merasakan pencelaan Labuwangi di sekitarnya, dia terus saja menemukan seluruh hidupnya dalam persahabatannya dengan Van Helderen. Karena selebihnya hanya ada sedikit. Pengikut-pengikutnya yang setia yang dia kumpulkan di sekitarnya dengan begitu banyak ilusi, yang dia undang untuk makan, yang selalu ia terima di rumahnya, apakah sebenarnya itu? Dia menganggap keluarga Doorn de Bruijn, dan Rantzow sekarang sekedar kenalan biasa, tidak lagi sebagai teman. Dia menduga bahwa Nyonya Doorn de Bruijn curang, dokter Rantzow terlalu picik, kurang beradab, istrinya seorang ibu rumah tangga Jerman yang remeh. Memang, mereka memainkan tafeldans, tari meja, tetapi mereka senang akan kebodohan yang tak masuk akal, kejorokan dari si pengolok. Dia dengan Van Helderen menanggapinya dengan serius walaupun dia menganggap meja tersebut sebenarnya lucu. Dan dengan begitu tidak ada orang lain yang dia sukai kecuali Van Helderen. 124 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Tetapi dalam kekagumannya muncullah Van Oudijck. Tiba-tiba ia melihat Van Oudijck dalam karakternya dan walaupun sama sekali berbeda dari pesona artistik, yang sampai saat ini secara eksklusif menariknya dalam karakter-karakter, dia melihat garis indah dalam lelaki ini juga yang sama sekali tidak artistik, yang tak tahu apa-apa tentang seni, tetapi memiliki begitu banyak keindahan dalam pendapat- pendapat sederhana yang jantan tentang kewajiban dan ketenangannya, yang dipakainya untuk menerima kekecewaan kehidupan keluarganya. Karena Eva melihat, walaupun ia memuja istrinya, dia tidak membenarkan ketidakpeduliannya akan kepentingannya, yang merupakan bagian dari hidup Van Oudijck. Apakah selebihnya dia tidak melihat apa-apa, apakah dia buta segala sesuatu dalam lingkungan keluarganya, kekecewaan ini rahasia dan penderitaannya bagaimana di lubuk hatinya dia tidak buta mengenai hal tersebut. Dan dia mengagumi Van Oudijck dan kekagumannya bagaikan suatu kesadaran bahwa seni tidak selalu merupakan hal terbaik dalam kehidupan. Dia tiba-tiba menyadari bahwa tingkah yang berlebih-lebihan dengan seni pada masa ini merupakan suatu penyakit dia sendiri juga menderitanya dan masih menderita. Karena apalah yang dia lakukan? Tidak ada. Kedua orang tuanya adalah seniman besar, artis murni, dan rumah mereka merupakan suatu pemujaan dan kepicikan. Mereka dapat dipahami dan dimaafkan. Tetapi dirinya? Dia bisa bermain piano cukup baik. Hanya itu. Dia mempunyai ide-ide dan selera baik; itulah semuanya.Namun, dahulu dia meracau dengan para muda-mudi yang lain, dan sekarang dia teringat akan hal konyol tersebut, sedang menulis surat yang berfalsafah meniru gaya modern, dengan kenangan akan Kloos dan Gorter. Dalam kemurungannya, lamunannya membawa diri lebih jauh dan berevolusi. Karena dia, sebagai anak dari orang tuanya, hampir tidak percaya bahwa dia tidak selalu menganggap seni sebagai hal terbaik. Dan di dalam dirinya ada hal tarik menarik akan pencarian dan berpikir untuk menemukan jalannya, sekarang saat dia tersesat di suatu negeri, yang asing bagi falsafahnya, di antara orang-orang yang dia anggap rendah, tetapi tanpa memperlihatkan kepada mereka hal tersebut. Dia berusaha menemukan hal positif di negeri tersebut, untuk menyesuaikan dengan sifatnya sendiri dan menghargainya, dia gembira bahwa di antara orang-orang ditemukan beberapa yang dia sukai dan dia kagumi; tetapi hal-hal baik tersebut tetap hanya merupakan suatu episode baginya; beberapa orang tersebut merupakan pengecualian, dan walaupun dia mencari dan memikirkan dia tidak menemukan jalannya dan dia tetap merasa tidak senang sebagai seorang wanita yang terlalu bersikap Eropa, terlalu artistik, –walaupun pengetahuan akan dirinya dan penolakan hal tidak meyakini seni– untuk hidup tenang dan puas di kota kecil di Hindia, di sisi suaminya yang tenggelam dalam pekerjaannya; di iklim yang membuatnya sakit; di suatu alam yang menakutkannya; 125 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

di lingkungan yang penuh antipati. Dan saat-saat paling terang dari tarik menarik ini adalah rasa takut yang nyata, rasa takut yang dari semua hal paling jelas dia rasakan; rasa takut yang dia rasakan mendekat, dia tidak tahu dari mana datangnya, dia tidak tahu ke mana perginya, tetapi berkeliaran di atas kepalanya, seakan-akan dengan cadar yang berdesir dari suatu nasib melayang di udara berhujan yang panas lembab. Dalam rasa tidak senang ini dia tidak mengumpulkan pengikut-pengikutnya karena dia sendiri tidak berusaha dan kenalan-kenalannya tidak cukup mengenalnya untuk mengunjunginya. Mereka kehilangan keriangan yang dulu mempesona mereka dalam diri Eva. Sekarang iri hati dan permusuhan terungkap dan orang- orang banyak membicarakannya; dia terlalu betingkah, angkuh, suka bersolek, sombong, dia berlagak selalu ingin menjadi orang nomor satu di kota tersebut; dia berlagak seolah-olah dia istri residen dan memberi perintah kepada semua orang. Sebenarnya dia tidak cantik, cara berpakaiannya aneh, penataan rumahnya mustahil dipahami. Selain itu hubungannya dengan Van Helderen, jalan-jalan malam mereka di sekitar mercusuar. Di Tosari, di kelompok tukang gosip di hotel kecil sempit tersebut, di mana tamu-tamu merasa bosan jika mereka tidak pergi jalan-jalan dan karena itu hampir duduk berdampingan di serambi depan mereka yang sempit, mengintip ke kamar masing-masing, menguping melalui sekat dinding yang tipis, di Tosari itu Ida mendengar tentang hal itu. Hal ini cukup membangkitkan dalam diri perempuan Indis tersebut naluri nonna putihnya dan tiba-tiba, tanpa penjelasan, dia mengambil anak-anaknya dari Eva. Van Helderen yang untuk beberapa hari pergi ke atas meminta penjelasan pada istrinya dan bertanya mengapa istrinya menyinggung perasaan Eva karena tanpa alasan mengambil anak-anak untuk dibawa ke atas yang menyebabkan biaya hotel bertambah banyak. Ida berteriak-teriak dengan kata-kata keras, dengan serangan nafas yang membuat seluruh hotel bergemuruh, setiap orang memasang telinganya. Seperti angin yang berhembus, gosip-gosip berkembang seperti lautan. Dan tanpa penjelasan lebih lanjut Ida memutuskan hubungan dengan Eva. Eva menarik diri ke Surabaya, tempat dia kadang-kadang berbelanja. Dia mendengar fitnahan dan omelan, dan dia menjadi sakit hati pada dunianya dan orang-orangnya sehingga diam-diam dia menarik diri. Dia menulis pada Van Helderen untuk tidak datang lagi. Dimintanya dia berdamai dengan istrinya. Dia tidak menerimanya lagi. Eva sekarang sendiri sama sekali. Dia merasa tidak dalam suasana untuk mendapatkan penghiburan dari siapa pun juga di sekitarnya. Bagi suasana hati seperti yang dialaminya di Hindia, tidak ada simpati dan pengertian. Karenanya, dia menutup diri. Suaminya bekerja. Eva lebih mengabdikan diri pada anak laki-lakinya; dia membenamkan diri pada cintanya terhadap anaknya. Dia 126 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

menarik diri ke dalam cintanya pada rumahnya. Itulah hidupnya sekarang; tidak pernah bepergian, tidak pernah berjumpa orang lain, tidak pernah mendengar musik lain, kecuali musiknya sendiri. Sekarang dicarinya hiburan dari rumahnya, anaknya, buku-bukunya. Itulah penyamaan dirinya yang terjadi setelah ilusi-ilusi dan energi-energinya yang semula. Sekarang dia selalu merasa rindu akan Eropa, akan Holland, akan orang tuanya, dan akan orang-orang artistik. Dan sekarang timbul kebencian pada negeri ini, yang semula dia pandang luar biasa indah, dengan gunung-gunungnya yang agung, dan dengan misteri alam dan orang-orangnya. Sekarang dia membenci alam dan manusianya dan misteri tersebut membuatnya merasa takut. Sekarang Eva mengisi hidupnya dengan memikirkan anaknya. Putranya, si kecil Onno berumur tiga tahun. Dia akan membimbingnya, akan menjadikannya orang sejati. Sejak anaknya lahir Eva memikirkan ilusi samar, akan melihat putranya menjadi seniman terkenal, paling ingin melihatnya menjadi penulis terkenal, termasyur di seluruh dunia. Tetapi, sejak waktu itu Eva mulai lebih mengerti. Dia merasa bahwa kesenian tidak selalu merupakan hal yang terbaik. Dia merasa bahwa ada hal-hal yang lebih baik, yang membuatnya bersedih dan kadang-kadang tidak dia akui, tetapi memang ada, besar berkilauan. Hal tersebut adalah masa depan, hal-hal tersebut terutama perdamaian, keadilan dan persaudaraan. Persaudaraan antara kaya dan miskin, sekarang, dalam kesepiannya dan menganggap hal tersebut sebagai ideal tertinggi yang dapat diusahakan seperti seorang pemahat membuat sebuah monumen. Ini kemudian akan diikuti keadilan dan perdamaian. Tetapi pertama- tama harus diusahakan adalah persaudaraan dan Eva ingin putranya bekerja untuk hal ini. Di mana? Di Eropa? Di Hindia? Dia tidak tahu, dia tidak membayangkan hal itu. Dia lebih melihat ini terjadi di Eropa daripada di Hindia. Di Hindia pikirannya dipenuhi hal-hal yang tidak dapat dijelaskan, yang aneh, yang menakutkan. Betapa anehnya.... Dia seorang wanita yang penuh hal-hal ideal. Mungkin hanya ini yang menjelaskan apa yang dia rasakan dan takuti di Hindia. “Kamu punya kesan yang sama sekali salah tentang Hindia,”kata suaminya kadang-kadang. “Kamu sama sekali salah tentang Hindia. Sepi? Kamu pikir di sini sepi? Kenapa orang mempunyai begitu banyak pekerjaan di Hindia jika di Labuwangi sepi. Kita mewakili ratusan kepentingan orang Eropa dan Jawa. Kebudayaan dilakukan sekuat mungkin. Penduduk bertambah, selalu bertambah. Sebuah koloni, runtuh, tempat begitu banyak kejadian. Itu ide-ide gila Van Helderen. Ide-ide renungan yang tidak realistik, yang kamu ikuti.... Aku tidak mengerti pandangannmu akan Hindia, sekarang. Dulu ada masa ketika kamu bisa 127 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

melihat hal-hal yang indah dan menarik di sini. Itu tampaknya masa lalu…. Kamu sebenarnya harus kembali ke Holland saja.” Akan tetapi, Eva tahu bahwa suaminya akan sangat kesepian; karenanya, dia tidak mau pergi. Di kemudian hari, ketika putranya sudah lebih besar, waktu itu dia harus pergi. Saat itu Eldersma pasti sudah menjadi asisten residen. Sekarang di atasnya masih ada 17 kontrolir, sekretaris. Ini sudah bertahun-tahun seperti ini, menunggu-nunggu masa depan yang masih jauh berupa kenaikan pangkat, seperti merindukan suatu fatamorgana. Dia bahkan tidak memikirkan menjadi residen. Beberapa tahun menjadi asisten residen, dan kemudian ke Holland, pensiun. Eva menganggapnya sebagai suatu kesedihan, membanting tulang demi Labuwangi... Eva terkena malaria, dan pembantunya Saina, dengan jari-jari lentiknya memijit anggota badannya yang sakit. “Saina, kalau saya sakit, repot kamu tinggal di kampung. Nanti malam pindahlah ke mari dengan keempat anakmu.” Saina menganggap usulan itu repot, banyak susah, “Mengapa?” Rumahnya merupakan peninggalan suaminya. Dia lengket pada rumahnya walaupun reyot. Sekarang pada musim hujan, sering air hujan masuk, dan ia tidak bisa memasak dan anak-anaknya tidak bisa makan. Sulit untuk membetulkan rumahnya. Dia mendapat satu ringgit dalam seminggu dari sang Nyonya; 60 sen terpakai untuk membeli beras saja. Beberapa sen dari sisanya untuk membeli ikan, minyak kelapa, sirih, dan bahan bakar setiap harinya...Rumahnya tidak bisa diperbaiki. Di tempat Kanjeng Nyonya, untuk dia akan lebih baik, dengan halaman jauh lebih baik. Masalahnya sulit mencari penghuni untuk rumahnya yang reyot dan nyonya tahu, bahwa rumah di kampung tidak boleh dibiarkan kosong. Ada denda besar untuk hal ini. Jadi, dia lebih baik tinggal di rumahnya yang basah... Pada malam hari dia bisa jaga nyonya; anak gadis tertuanya akan mengawasi adik-adiknya. Takluk pada kehidupannya yang penuh derita, Saina meluncurkan jari-jari lenturnya yang menekan kuat dan lembut pada anggota badan nyonyanya yang sakit. Dan Eva menganggap kehidupan dengan satu ringgit dalam seminggu, dengan empat anak, di satu rumah yang bocor sehingga tidak bisa memasak adalah hal menyedihkan. “Biarkan saya mengurus anak keduamu, Saina” kata Eva pada hari lain. Saina ragu-ragu, tersenyum; dia kurang setuju tetapi tidak berani mengatakannya. “Ya,” Eva mendesak. “Biarkan dia ke sini, kamu melihatnya sepanjang hari, dia tidur dalam pengawasan koki. Saya yang memberinya pakaian dan dia tak perlu melakukan apa-apa kecuali merapikan kamar tidurku. Kami bisa mengajarinya.” 128 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Ia masih muda sekali, nyonya, dia baru 10 tahun.” “Ya, desak Eva, “biarkan dia membantumu dengan cara itu. Siapa namanya?” “Mina, Nyonya.” “Mina? Tidak!” kata Eva. “Penjahit namanya juga Mina. Kita akan mencari nama lain untuknya...” Saina membawa anaknya yang sangat pemalu; segores bedak di dahinya, dan Eva memberikannya pakaian yang rapi. Anak tersebut sangat cantik, coklat lembut dan manis dalam pakaian segarnya. Dia dengan hati-hati mengatur sarung di lemari pakaian dan meletakkan bunga-bunga putih yang harum diantaranya. Bunga-bunga tersebut setiap hari harus diganti dengan yang segar. Secara iseng Eva memanggilnya Melati karena gadis tersebut begitu senang mengatur bunga-bunga itu. Beberapa hari kemudian Saina berjongkok di dekat nyonyanya,”Ada apa Saina?” Dia bertanya apakah anaknya boleh kembali ke rumahnya di kampung yang basah. “Mengapa,” tanya Eva heran, “apakah anakmu tidak diurus baik di sini?” “Baik, tetapi anaknya lebih suka di rumahnya,” kata Saina dengan malu-malu, “ Nyonya sangat baik, tetapi Mina kecil lebih suka di rumahnya sendiri. Eva marah dan membiarkan anak tersebut pergi dengan pakaian-pakaian baru yang dibawa oleh Saina. “Kenapa anak tersebut tidak boleh tingggal?” tanya Eva pada koki yang latah. Koki pada mulanya tidak berani mengatakannya. “Ayo kenapa, koki?” desak Eva. Karena Kanjeng menyebut gadis tersebut Melati. Nama bunga dan buah hanya dipakai untuk penari, jelas si Koki dengan lagak misterius. “Mengapa Saina tidak mengatakannya kepadaku?” tanya Eva murka, “Saya sama sekali kan tidak tahu hal itu.” “Malu...” kata koki seraya minta maaf, “minta ampun Nyonya.” Hal itu merupakan peristiwa-peristiwa kecil dalam kehidupan sehari- harinya sebagai ibu rumah tangga; anekdot-anekdot dalam rumah tangganya. Dia menjadi getir karena hal-hal itu; dia merasakan suatu jarak antara dirinya dengan orang-orang dan hal-hal di Hindia yang akan selalu ada. Dia tidak mengenal negeri ini, dia tidak akan pernah kenal orang-orangnya. Dan kekecewaan kecil pada masa-masa itu memenuhinya dengan kegetiran yang sama besar seperti yang terjadi dengan ilusi- ilusi besar, karena hidupnya dalam hal-hal sepele, dalam rumah tangganya yang setiap hari terulang menjadi semakin kecil dan lebih kecil. 129 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Bagian Keenam 1 Seringkali pagi hari menjadi sejuk karena dibasuh bersih oleh hujan yang melimpah ruah dan dalam cahaya matahari dini hari pagi pertama keluarlah dari bumi sebuah kabut tipis. Ada sebuah sapuan biru di setiap garis tajam dan berwarna sehingga bulevar dengan rumah-rumah villa mereka dan kebun-kebun lebat yang secara indah dan kabur menyelubungi sebuah bulevar impian: pilar-pilar impian bangun sebagai sebuah visi dari ketenangan pilar, garis-garis atap beragung diri dalam ketidakjelasannya, warna-warna pohon dan siluet pucuk dedaunan yang membersihkan diri dalam merah jambu kabur, dan biru yang lebih kabur dengan satu atau dua sinar kuning pagi yang menyilaukan. Garis berperspektif keunguan subuh dan pada keseluruhan fajar ada embun kesegaran, serupa sebuah daun terperciki tetes-tetes tipis yang memancar dari tanah yang terendam dan bergulir kembali di kelembutan kekanak-kanakan dari cahaya matahari yang pertama. Kemudian, seperti setiap pagi, bumi dan dunianya dimulai untuk pertama kali dan seperti manusia yang tidak akan berbeda dengan saat diciptakan oleh Tuhan dalam kenaifan masa muda dan ketidaktahuan surgawi. Akan tetapi, ilusi dini hari remang berlangsung beberapa saat saja, tak sampai beberapa menit: matahari, merangkak lebih tinggi, menyala dari kabut keperawanannya, matahari membual dan menjulangkan aureol bangga cahaya- cahaya menyengat, memancarkan sinar keemasannya yang membakar, bangga dewata menguasai sesaatnya pada hari ini, karena awan-awan berkumpul padu, datang berlayar, bagai kelompok-kelompok perjuangan jiwa pengolok, menghantui dalam hitam pekat kebiruan dan abu-abu timbal berat, dan mengalahkan matahari dan menghancurkan bumi di bawah curahan hujan yang menggenang. Keremangan malam dengan tergesa-gesa menuruni kabut yang satu di atas kabut yang lain sebagai sebuah kesedihan mendalam dari bumi, alam dan kehidupan, di mana mereka lupa bahwa saat itu surga dibagi. Hujan putih jatuh berdesir sebagai kesedihan yang menenggelamkan semua; jalanan, kebun-kebun amat basah dan menyerap curahan air hingga menyerupai genangan rawa dan banjir pun membayang dalam malam yang gelap: sebuah kabut yang dingin menusuk menguap bagai gerakan lamban dari pakaian hantu, yang bergerak di atas genangan air, dan rumah 130 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

dingin diterangi sedikit lampu-lampu berasap, dikelingi kerumunan serangga beterbangan yang di mana-mana mati terjatuh dengan sayap yang hangus, mengisi diri sendiri dengan melankolis yang lebih dingin; sebuah ketakutan membayang untuk hal-hal di luar, untuk kelompok-kelompok awan yang berkuasa, bagi kebesaran tanpa batasan yang berdesir dengan tiupan angin dari kejauhan, dari sesuatu yang tak dikenali dari kejauhan: seagung surga, seluas cakrawala, pada apa rumah-rumah terbuka tampak seperti tak terlindungi, manusia menjadi kecil dan tak berarti dengan segala peradaban, pengetahuan dan emosi jiwa mereka, kecil seperti serangga yang berjejal-jejal, sepele, dialihkan pada misteri raksasa yang melambai- lambai dari kejauhan. Leoni van Oudijck, di serambi belakang rumah residen yang remang-remang, berbicara dengan Theo, dengan suara lembut, dan mbok Oerip berjongkok di sampingnya. “Ini omong kosong, Oerip!” katanya kesal. ”Tidak Kanjeng, ini bukan omong kosong,” kata pembantu. “Saya dengar mereka setiap sore.” “Di mana?” tanya Theo. “Di pohon beringin belakang, di cabang tertinggi.” “Itu luwak,” kata Theo. “Itu bukan luwak, Tuan,” pembantu itu bertahan. “Masa, Oerip tidak tahu meongan luwak. Kriauw kriauw, laku mereka. Apa yang setiap malam sekarang kita dengar adalah pontianak! 15 Mereka adalah anak-anak kecil yang mungil, yang menangis di pohon. Jiwa-jiwa dari anak-anak kecil yang mungil yang menangis di pohon!” “Itu angin, Oerip...” “Masa, Kanjeng, Oerip tidak dapat mendengar suara angin. Buh...! Angin bertiup menggerakkan cabang-cabang. Ini adalah jiwa-jiwa anak-anak kecil yang mengeluh di ranting-ranting tertinggi dan malahan cabang-cabang tidak bergerak-gerak. Semua sunyi senyap. Ini celaka, Kanjeng.” “Mengapa celaka, Oerip?” “Oerip tahu pasti, tetapi tidak berani bicara. Tentu Kanjeng akan marah.” “Ayo, katakan, Mbok Oerip!” “Ini tentang Tuan Kanjeng, Tuan Residen.” 15 Nama lain dari kuntilanak 131 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Kenapa?” “Dengan pasar malam di alun-alun terdahulu, pasar malam untuk orang-orang Belanda di kebun kota.” “Memang ada apa?” “Pasar malam dilakukan pada hari yang tidak bagus menurut petangan. Itu hari yang tidak menguntungkan...juga dengan sumur yang baru...” “Ada apa dengan sumur yang baru?” “Tidak ada sedekah untuk sumur. Tak seorang pun menggunakan sumur itu. Semua masih memakai sumur lama... meski airnya tak bagus. Karena dari sumur yang baru muncul perempuan dengan lubang berdarah di dadanya... Juga dengan Nona Doddy.” “Apa?’ “Nona Doddy melihatnya berjalan, haji putih! Itu bukan haji baik, haji putih… Itu hantu. Dua kali nona melihatnya, di Pacaram dan di sini…Dengar Kanjeng!” “Apa?” “Anda tidak mendengar? Rintihan jiwa anak-anak kecil di ranting-ranting tertinggi. Saat ini angin tidak bertiup. Dengar, dengar, itu bukan luak. Kriauw, kriauw laku luak saat berahi. Yang itu adalah jiwa-jiwa...” Ketiganya mendengarkan. Leoni otomatis merapat ke arah Theo. Wajahnya pucat pasi. Serambi belakang yang luas, selalu dengan meja makan yang ditata rapi, terentang panjang dalam sinar yang suram dari sejumlah lampu minyak gantung. Kebun belakang yang tergenang memantulkan kebasahan malam pohon beringin, menitikkan tetes-tetes air, tapi tak bergerak dalam kumpulan daun-daun beludru kedap. Dan sebuah rintihan yang tak bisa dijelaskan, hampir tak terdengar, sebagai rahasia lembut jiwa-jiwa kecil yang disakitkan mengomel di atas ketinggian, seperti di udara, seperti di cabang-cabang pohon yang tinggi. Kadang jerit pendek, lain kali sebuah rintihan seakan dari anak-anak yang sakit, kadang sedu sedan lembut seolah dari anak gadis yang teraniaya. “Binatang macam apakah itu?” kata Theo, “mereka burung atau serangga?” Erangan dan sedu sedan begitu jelas. Leoni terlihat pucat pasi dan seluruh tubuhnya gemetar. “Janganlah takut,”kata Theo, “itu benar-benar binatang....” Theo sendiri pun wajahnya pucat pasi ketakutan dan ketika mereka saling menatap mata, tahulah Leoni bahwa Theo juga takut. Leoni merangkul tangannya 132 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

dan meremasnya. Pembantu membungkuk dalam, merendahkan diri, seakan menerima semua nasib buruk dari kerahasiaan yang tak dapat diterangkan. Dia tak akan melarikan diri tetapi di mata orang putih tampak sebagai satu pikiran, satu pikiran untuk melarikan diri. Tiba-tiba mereka berdua, ibu tiri dan anak tiri, yang menodai rumah, menjadi ketakutan, semacam ketakutan mendapat hukuman. Mereka tidak berbicara, mereka tidak berkata-kata: mereka tetap berdekatan, gemetar oleh hal yang sama-sama dimengerti, mereka berdua anak-anak putih dari tanah Hindia yang rahasia. Mereka sudah menghirup udara Jawa yang penuh rahasia pada masa kanak-kanak mereka, yang tanpa disadari mendengar samar-samar misteri yang mendebarkan bagai musik yang biasa, sebuah musik yang tidak dianggap, seolah-olah misteri menjadi kebiasaan. Ketika mereka berdiri serupa itu dan gemetar saling menatap, angin mulai berhembus dan membawa serta kerahasiaan jiwa-jiwa, membawa serta jiwa-jiwa. Cabang-cabang bergerak-gerak, dan hujan mulai turun lagi. Berembuslah angin dingin yang menusuk menerpa rumah dan matilah lampu karena embusannya. Dalam kegelapan malam mereka masih sesaat tinggal. Leoni walaupun dalam keterbukaan serambi, hampir-hampir dalam tangan anak dan kekasihnya; pembantu di kaki mereka. Namun, ketika dia melepaskan diri dari lengannya, dia melepaskan diri dari cengkeraman kegelapan dan ketakutan, sementara hujan masih berdesir; angin meniupkan hawa dingin menusuk dan Leoni sempoyongan ke dalam, persis saat akan jatuh pingsan. Theo dan Oerip mengikutinya. Di serambi tengah ada cahaya. Kantor Van Oudijck masih terbuka. Dia masih bekerja. Leoni tanpa ambil keputusan tetap berdiri, sementara Theo tak tahu harus berbuat apa. Pembantu komat-kamit, menghilang. Ketika sayup-sayup mereka mendengar batu kecil melayang dan terjatuh dalam serambi, Leoni menjerit. Di belakang sekat yang memisahkan kantor Van Oudijck, Leoni kehilangan seluruh kehati-hatian, ia menubruk Theo dan jatuh dalam pelukan lengannya. Dada mereka bergetar satu sama lain. Mendengar teriakan istrinya, Van Oudijck berdiri dan muncul dari belakang penyekat. Matanya berkedip-kedip karena lelah kerja. Leoni dan Theo tersadar kembali. “Ada apa, Leoni...?” “Tidak ada apa-apa,” katanya, tidak berani mengatakannya baik tentang jiwa-jiwa, batu-batu, ketakutan akan hukuman yang mengancam. Leoni, Theo berdiri sebagai pesakitan, keduanya pucat pasi dan menggigil. Van Oudijck yang masih sibuk dengan kerjanya tidak melihatnya. “Tidak,” ulangnya. “Keset rusak dan saya hampir terjatuh karenanya. Tapi, saya ingin bicara denganmu, Otto...” 133 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Suaranya gemetaran, tapi Oudijck tak mendengarnya, buta akan istrinya, tuli akan dia, saat ini masih tenggelam dalam kerjanya. “Ada apa?” “Oerip memberi saya pertimbangan bahwa pembantu-pembantu segera akan memberikan sedekah. Karena sumur di kebun yang baru saja dibangun ...” “Lho, sudah dibangun dua bulan yang lalu toh!” “Mereka tidak menggunakan airnya.” “Kenapa tidak?” “Mereka percaya takhayul, seperti kamu ketahui. Mereka tidak menggunakan airnya sebelum sedekah diberikan.” “Seharusnya langsung dilakukan upacara sedekah. Mengapa mereka tidak langsung memintaku lewat Kario. Saya sendiri tak memikirkan hal omong kosong itu. Saya akan memberinya sedekah waktu itu. Nasi telah jadi bubur. Sumur itu sudah berumur dua bulan.” “Masih bagus untuk dilaksanakan,” kata Theo. “Papa tahu sendiri bagaimana orang Jawa. Mereka tak akan menggunakan sumur itu jika tak diberi sedekah.” “Tidak,” kata Oudijck bersikeras, menggelengkan kepalanya. “Memberikan sedekah sekarang tidak akan ada artinya. Dulu pasti saya melakukannya, tetapi setelah dua bulan itu adalah omong kosong. Mereka seharusnya langsung memintanya.” “Ayo Otto,” mohon Leoni. “Kasihlah sedekah itu. Dengan begitu kamu menyenangkan saya” “Mama setengahnya sudah berjanji pada Oerip,” desak Theo lembut. Mereka berdiri tegang di depannya, pucat pasi serupa pengemis. Tapi dalam dirinya, capai, Van Oudijck memikirkan kerjanya; dia dengan kaku menolaknya meskipun jarang dia dapat menolak permintaan istrinya. “Tidak,” katanya teguh. “Kamu jangan pernah menjanjikan sesuatu yang belum pasti...” Dia mundur diri, pergi melewati penyekat dan duduk bekerja. Mereka berdua saling melihat, ibu dan anak tirinya. Pelan-pelan tanpa tujuan, mereka meninggalkan ruang itu menuju serambi depan di mana kegelapan yang basah menyelimuti antara pilar-pilar. Dari kebun yang tergenang air mereka melihat sebentuk putih datang. Mereka terkejut, sekarang takut pada semua hal, dengan 134 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

setiap siluet mereka memikirkan hukuman yang akan terjadi pada mereka, selama tinggal di rumah orang tua, rumah yang telah mereka nodai. Akan tetapi, ketika diamati lebih jelas dia adalah Doddy. Dia pulang dan dengan gemetar berkata bahwa dia baru saja dari rumah Eva Eldersma. Dalam faktanya dia berjalan-jalan dengan Addy de Luce dan sebelum hujan bersembunyi di kampung. Doddy begitu pucat dan gemetar, tetapi dalam kegelapan serambi depan mereka tak melihat hal itu sebagaimana Doddy yang tak melihat ketakutan mereka. Doddy gemetar begitu karena saat Addy mengantarnya hingga pagar, di kebun mereka telah dilempari batu- batu. Dia memikirkan seorang Jawa brutal yang membenci ayahnya, rumah dan keluarganya. Di kegelapan serambi depan di mana mereka duduk berdekatan seperti kehilangan akal, dia melihat ibu tirinya dan saudaranya duduk, sekejap dia merasakan, tak tahu mengapa, bahwa tadi bukan orang Jawa yang brutal... Dia duduk dengan mereka, diam. Mereka melihat pada kebun yang gelap dan basah, di mana malam yang lebar melayang sebagai sayap-sayap kelelawar raksasa. Dalam suasana melankolis tanpa kata-kata, yang menyaring keremangan abu-abu di antara pilar-pilar putih, mereka bertiga, Doddy sendiri, tetapi sang ibu dan putra tirinya bersama, merasakan ketakutan dan terbinasa pada keanehan yang akan terjadi. 2 Walaupun ketakutan, merek semakin sering saling mencari, masih merasakan terikat oleh sebuah penyatuan yang tak terpatahkan. Siang itu Theo berjalan menyelinap ke kamar Leoni dan walaupun takut, mereka masih berpelukan dengan liar dan masih dekat satu sama lain. “Itu semua omong kosong, Leoni...,” bisik Theo. “Ya, tapi apa itu, aku toh mendengar suara rintihan itu,” dia membalasnya berbisik.”Saya toh mendengar suara rintihan itu dan batu-batu berdesir dari udara.” “Lalu...” “Apa? “ “Jika itu sesuatu..., bayangkan, jika itu sesuatu yang kita tak bisa menjelaskannya” “Tapi saya tak mempercayainya...” “Kalau saya lebih tak percaya....Tapi hanya...” “Apa?” “Jika itu adalah sesuatu yang tak dapat dijelaskan, lalu….” “Lalu apa?” “Lalu...ini...ini bukan tentang kita!”dia berbisik hampir tak terdengar. “Oerip mengatakannya sendiri. Ini tentang papa.” 135 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Tapi itu kan terlalu gila...” “Saya juga tak percaya omong kosong itu.” “Rintihan...itu suara binatang.” “Dan batu itu...mesti dilemparkan oleh seorang bedebah..., seorang pembantu, seorang laki-laki, yang bertingkah...atau yang disuap.” “Disuap? Oleh siapa?” “Oleh... sang... Bupati.” “Ah, Theo!” “Oerip bilang erangan itu datang dari arah Kabupaten...” “Apa maksudmu?” “Dan bahwa mereka ingin mengganggu papa dari situ...” “Mengganggu?” “Karena Bupati Ngajiwa dipecat.” “Oerip bilang begitu...?” “Tidak, dia tidak bilang begitu. Itu omonganku. Oerip bilang bahwa bupati memiliki kekuatan guna-guna. Ini betul-betul omong kosong. Laki-laki itu adalah seorang pemalas brengsek... Dia membayar orang... untuk mengusik papa. “ “Tapi papa tak menyadarinya...” “Tidak, kita jangan mengatakannya. Ini yang terbaik. Kita harus me- nyembunyikannya.” “Mengenai, haji berbaju putih, Theo, dua kali Doddy melihatnya ...dan ketika mereka bermain tari meja, Ida juga melihatnya... “Ah, itu pasti antek bupati...” “Ja, bisa jadi. Tapi itu toh menyebalkan. Theo, Theo-ku aku takut.” “Untuk hal omong kosong! Ayoh jangan takut.” “Jika itu benar... itu bukan tentang kita?” Theo tertawa. “Ah, untuk kita. Ini penipuan, akal-akalan, bupati….” “Kita sebaiknya tidak tampil bersama-sama.” “Jangan begitu, saya cinta kamu dan tergila-gila padamu.” Theo menciuminya bernafsu, dan keduanya ketakutan. Tapi, Theo membual. “Ayo Leoni, semua hanyalah takhayul.” “Ketika kecil babuku bercerita...” Leoni membisikkan cerita itu pada telinga Theo, dia kemudian menjadi pucat. “Ah, itu omong kosong, Leoni.” 136 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Ada hal-hal aneh di Hindia ini... Jika mereka menguburkan apa saja dari milikmu, sapu tangan atau sehelai rambut... mereka dapat...hanya dengan mantra.... membuat kamu menjadi sakit atau merana, dan mati... tanpa seorang dokter pun tahu sakit apa itu...” “Omong kosong!” “Ini benar!” “Saya tak tahu bahwa kamu percaya takhayul” “Saya dulu tak pernah memikirkannya. Sekarang baru saja saya memikirkannya waktu terakhir ini. Theo akankah ada sesuatu khusus?” “Tidak... selain daripada mencium.” “Tidak....tenanglah, jangan! Aku takut. Ini sudah sore. Sebentar lagi hari akan menjadi gelap. Papa sudah bangun, Theo. Pergilah sekarang, Theo, lewat kamar rias! Saya akan cepat mandi. Saya menjadi takut bila hari menjadi gelap. Dengan adanya hujan maka tak ada senja. Malam menyergapmu tiba-tiba... Kemarin saya tidak mengurus lampu di kamar mandi dan kemudian hari sudah gelap...setengah enam... dua kampret...terbang berputar. Saya begitu takut bahwa mereka akan duduk di atas rambutku... Diam,, papakah itu?” “Bukan, itu Doddy yang bermain dengan kakaktua.” “Sekarang pergilah, Theo!” Theo pergi lewat kamar rias menuju kebun. Leoni berdiri, mengenakan sebuah kimono di atas sarung yang diikat di bawah lengannya, memanggil mbok Oerip. “Bawa alat-alat mandi!” “Kanjeng..!” “Di mana kamu Oerip?” “Di sini, Kanjeng...” “Di mana kamu tadi?” “Di sini, Kanjeng, di depan pintu kebun.... Saya menunggu!” kata pembantu dengan arti bahwa dia menunggu sampai Theo pergi. “Sudah bangunkah Tuan Kanjeng?” “Sudah...sudah mandi, Kanjeng.” “Bawalah pakaian mandiku. Pasang lampu di dalam kamar mandi. Kemarin gelas lampunya pecah dan tak diganti.” “Dulu-dulu Kanjeng tak pernah mandi dengan lampu.” “Oerip...siang ini apakah sesuatu terjadi?” 137 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Tidak...semuanya tenang-tenang. Tapi jika malam tiba...semua pembantu takut, Kanjeng. Koki tak mau tinggal.” “Ah, apa susahnya Oerip. Janjikan dia 5 gulden sebagai bonus jika dia mau menginap.” “Spen juga takut, Kanjeng.” “Ah, susah amat. Saya tak pernah begitu kenal susah Oerip.” “Tidak, Kanjeng.” “Saya selalu dapat mengatur kehidupan saya dengan begitu baik... tapi hal ini...’ “Apa boleh buat Kanjeng. Hal-hal ini lebih berkuasa daripada manusia...” “Mungkinkah itu benar-benar bukan luwak... dan laki-laki yang melempar batu- batu?” “Masa, Kanjeng.” “Baiklah....bawa alat-alat mandiku, jangan lupa lampunya...!” Pembantu pergi. Mulailah kegelapan tersaring bersama langit berhujan. Sunyi senyap rumah residensi yang besar pada malam dengan beringin-beringin raksasanya. Dan lampu-lampu belum dinyalakan. Di serambi depan, Van Oudijck sendirian minum teh, berbaring pada kursi gelagah dalam baju dan celana tidur. Di kebun bayangan tebal berkumpul, semacam kain-kain kafan dari beludru semu yang gelap, berjatuhan dari pepohonan. “Tukang lampu!” teriak Leoni. “Kanjeng!” “Pasang lampu. Mengapa kamu begitu telat. Pertama-tama nyalakan lampu di kamar tidur saya...” Leoni berjalan ke dalam kamar mandi...melewati gudang dan kamar-kamar pembantu yang menutupi kebun. Dia melihat pada pohon-pohon beringin pada cabang-cabang tertinggi tempat dia mendengar rintihan jiwa-jiwa. Cabang-cabang tak bergerak, tanpa hembusan angin, langit pengap oleh ancaman guntur, hujan yang terlalu berat untuk jatuh. Di dalam kamar mandi Oerip menyalakan lampu. “Kamu sudah bawa semuanya, Oerip?” “Saya, Kanjeng...” “Kamu tidak melupakan botol besar dengan anyerwangi putih?” “Ini apa, Kanjeng?” “Baguslah. Selanjutnya berikan saya handuk yang lebih halus untuk muka saya. Saya selalu bilang untuk memberiku handuk yang halus. Saya tidak ingin yang kasar...” 138 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Saya akan kembali untuk mengambilnya.” “Tidak, tetaplah di sini. Duduklah di depan pintu!” “Saya, Kanjeng.” “Kamu harus bilang pada tukang besi untuk memeriksa kunci.... Kami tidak bisa mengunci kamar mandi. Ini gila, kalau ada tamu.” ”Saya akan mengingatnya besok.” “Jangan lupa...” Dia menutup pintu. Pembantu berjongkok di depan pintu yang tertutup, bersabar, nrimo di bawah hal-hal hidup yang besar dan kecil, hanya mengenal kesetiaan pada nyonyanya, yang memberinya sarung indah dan begitu banyak persekot jika dia memintanya. Di dalam kamar mandi bersinar lampu kecil dari nikel pada dinding di atas lantai marmer hijau yang basah, di atas air, yang meluap dalam bak mandi persegi empat bertembok batu. “Besok-besok, saya akan mandi sore lebih awal,” pikir Leoni. Dia melepaskan kimono dan sarungnya; telanjang. Sesaat melalui cermin dia melihat sebentuk kemolekan putih susu, dari seorang wanita yang begitu banyak dicintai. Rambut pirangnya menjadi emas, dan sebuah tetesan kilauan mutiara jatuh pada bahunya melewati lehernya dan hilang di antara dua bundaran di dada. Dia mengangkat rambutnya, mengagumi dirinya, meneliti, apakah ada kerut-merut, merasakan apakah dagingnya padat. Salah satu pingggulnya membusung karena dia berdiri di atas kaki yang lain dan satu garis panjang dari lengkungan putih terbentuk melewati paha dan lutut sampai hilang di atas kakinya....Tapi, dia terkejut dalam pemeriksaan kekagumannya: dia ingin cepat-cepat. Tergesa-gesa dia menggelung rambutnya dan menggosok tubuhnya dengan busa sabun, dan mengambil gayung, dia guyurkan air ke tubuhnya. Dalam pancaran panjang air jatuh dari tubuhnya, dan dia berkilau seperti marmer, yang dipoles pada bahunya, dada dan pinggulnya di dalam sinar lampu kecil. Dia lebih ingin terburu-buru, melihat-lihat ke jendela kaca, jika kampret kembali terbang masuk...Ya, dia selanjutnya akan mandi lebih awal. Di luar sudah gelap. Dia keringkan diri dengan handuk yang kasar. Dia gosok badannya, secara cepat, dengan salep putih yang selalu mbok Oerip siapkan, mukjizat kemudaannya, kelentikannya, keputihannya. Saat itu dia melihat bercak merah kecil di pahanya. Dia tidak menghiraukan, dipikirnya sesuatu yang berasal dari air, sebuah daun, seekor serangga mati. Dia mengusapnya. Tapi dia lihat dua tiga bercak besar di dadanya, berwarna merah tua dan gelap. Tiba-tiba dia menggigil dingin, tidak tahu, tidak mengerti. Kembali diusapnya; dan dia mengambil handuk, 139 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

di mana bercak-bercak sudah meninggalkan kotoran serupa darah kental. Getar menggigil mulai dari kepala hingga kakinya. Dan tiba-tiba dia lihat sesuatu. Dari pojok kamar mandi, dari mana dan bagaimana dia tidak melihatnya, datanglah bercak-bercak, mula-mula kecil, kemudian membesar, serupa ludahan yang keluar dari mulut yang bersirih. Ketakutan setengah mati, dia berteriak. Bercak-bercak, lebih tebal, menjadi penuh serupa ludahan merah tua, mengenainya. Tubuhnya dinodai dengan kotoran merah. Sebuah bercak merah mengenai punggungnya... Pada kepucatan lantai hijau bintik-bintik ludahan kotor merata, berenang dalam air yang masih belum hilang. Bercak-bercak itu juga mengotori air kolam hingga pudarlah warna kotor itu di dalamnya. Seluruh badannya terlihat merah, ternoda kotor seperti dinodai oleh sebuah aib merah tua kotor yang dikumpulkan dari kerongkongan sirih yang tak terlihat, keluar dari pojok kamar dan muncrat kepadanya, dicipratkan ke rambutnya, pada matanya, pada buah dadanya, pada perutnya. Dia menjerit sejadi-jadinya, benar-benar gila dengan kejadian aneh. Dia menabrak pintu, dia ingin membukanya tetapi macet pada handelnya. Karena pintu tidak dikunci, gerendel tak dipakai. Di punggungnya ludah itu berkali-kali dirasakannya, dan dari pantatnya menetes warna merah. Dia meneriaki mbok Oerip dan didengarnya pembantu itu berada di luar, di sisi pintu yang lain, menarik dan mendorong pintu. Akhirnya pintu pun terbuka. Dan gila, nanar, gendeng, telanjang, ternoda dia ambruk dalam pelukan lengan pembantunya. Para pembantu mendekat. Dari ruang tengah tampak Van Oudijck, Theo, dan Doddy datang. Dalam kesintingannya yang tertinggi, matanya terbuka lebar, dia merasa malu bukan karena ketelanjangannya, namun karena penodaannya. Pembantu mengambil kimono, yang juga kotor, dari pegangan pintu, dan mengacungkannya pada majikan perempuan. “Pergilah!” teriaknya nanar. “Jangan mendekat! “jeritnya. “Oerip, bawa saya ke kolam renang. Lampu... lampu... di kolam renang!” “Ada apa Leoni?” Leoni tidak ingin bicara. “Saya injak seekor katak!” dia berteriak keras.“Saya takut pada...kudis! Jangan mendekat...! Saya telanjang! Ayo pergilah, pergilah! Lampu, lampu....minta lampu di kolam renang! Jangan... Otto! Pergilah! Kalian semua pergi! Saya telanjang! Pergilah! Bawakan lam...pu!” Para pembantu berjalan sliweran. Satu orang membawa Sebuah lampu ke kolam renang. “Oerip! Oerip!” Leoni memegang erat pembantunya. “Mereka...meludahi saya...dengan...kunyahan sirih! Mereka meludahi....saya... dengan...kunyahan sirih!! Mereka...meludahi saya... dengan air kunyahan sirih!!! “ “Tenang, Kanjeng....mari kita ke kolam renang...!” 140 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Basuh saya, Oerip! Basuh rambut saya, mata saya...oh...Tuhan, saya mencicipinya di dalam mulutku!!” Dia tersedu-sedu tak tertahan, pembantu memapahnya. “Oerip... periksa dahulu... apakah mereka juga meludahi... kolam renang... dengan air sirih!!” Gemetar, pembantu melangkah masuk. “Tidak ada, Kanjeng.” “Cepatlah, mandikan saya, basuh saya, Oerip...” Dia melepaskan kimono, pada badannya yang indah dalam sinar lampu nampak seakan ada noda darah yang kotor... “Oerip, basuh saya... Tidak usah pakai sabun...pakai air saja. Jangan biarkan saya sendiri! Basuh saya di sini... Bakar kimono! Oerip....” Dia menyelam di kolam renang. Dia berenang kesetanan; pembantu setengah telanjang, ikut menyelam, memandikannya.... “Bergegas Oerip... cepatlah, hanya pada yang dikotori... Saya takut! Nanti...nanti mereka meludah di sini. Di dalam kamar, Oerip...sekarang...sekarang bersihkan lagi, di kamar, Oerip! Teriaklah, tidak boleh ada orang di kebun! Saya tidak ingin memakai kimono lagi. Cepatlah, Oerip, saya ingin pergi dari sini!” Pembantu berteriak ke arah kebun dalam bahasa Jawa. Leoni, keluar dari air, telanjang dan basah cepat melewati kamar-kamar para pelayannya, sang pembantu di belakangnya. Di rumah datanglah Oudijck, panik dan tak tenang, mendekat. “Pergilah, Otto. Biarkan saya! Saya...telanjang!” pekiknya. Dia rebah di kamarnya dan sesudah Oerip masuk, dia mengunci semua pintu. Di kebun para pembantu bergerak dalam kerumunan di bawah dak serambi di dekat rumah. Guntur masih bergemuruh pelan, dan tak bersuara hujan mulai turun. 3 Leoni sakit untuk beberapa hari dan tinggal di ranjangnya. Di Labuwangi orang berbicara bahwa rumah residen berhantu. Di pertemuan mingguan kebun kota, ketika musik dimainkan, ketika anak-anak dan pemuda berdansa di lantai batu yang luas, ada bisik-bisik pembicaraan tentang kejadian aneh di rumah residen. Dokter Rantzow ditanya, tapi dia hanya menceritakan apa yang diceritakan residen padanya, apa yang diceritakan Nyonya Oudijck padanya. Nyonya Van Oudijck terkejut oleh 141 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

katak lompat di kamar mandi yang terinjak hingga dia jatuh terjerumus. Dari pembantu orang tahu lebih, tapi jika ada yang bercerita mengenai lemparan batu, ludahan air sirih, yang lain akan menertawakan dan menyebutnya sebagai ocehan para babu. Karenanya, ketidakpastian tetap ada. Di koran Surabaya hingga Batavia muncul berita pendek yang aneh yang tak jelas tapi menimbulkan teka-teki tentang hal itu. Van Oudijck sendiri tak pernah membicarakan hal itu dengan siapapun, tidak dengan istrinya, tidak dengan anak-anaknya, tidak dengan para pegawai dan tidak dengan para pembantu. Tapi, sekali waktu dia keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat pasi, mata besar dan nanar. Dengan tenang dia masuk ke dalam, menguasai diri hingga tak seorang pun menyadari keadaannya. Kemudian dia berbicara dengan kepala polisi. Kebun rumah residen berbatasan dengan kuburan tua. Siang malam kuburan dijaga, dan juga tembok belakang kamar mandi. Kamar mandi itu tak digunakan lagi; mereka menggunakan kamar mandi tamu. Segera setelah Nyonya Van Oudijck sembuh, dia pergi ke Surabaya untuk menginap di rumah kenalannya. Dia tak pernah kembali lagi. Dia mengusahakan Oerip, secara bertahap, mengepak semua pakaian dan macam-macam barang kecil yang dia sukai dibawanya, tanpa kentara dan tak membicarakannya dengan Van Oudijck. Satu per satu koper-koper dikirim kepadanya. Ketika Van Oudijck secara kebetulan masuk ke kamar Leoni, dia mendapati kamar itu kosong, hanya tertinggal mebel saja. Di kamar rias istrinya barang-barangnya juga menghilang. Dia tak menyadari kiriman koper-koper itu, tapi dia mengerti bahwa Leoni tak akan kembali. Van Oudijck membatalkan resepsi berikutnya. Ini bulan Desember, dan untuk liburan Natal, Rene dan Ricus akan datang berlibur untuk satu minggu hingga sepuluh hari, tetapi Van Oudijck membatalkannya. Kemudian Doddy diundang untuk menginap di Pacaram pada keluarga Luce. Walaupun dia berdasarkan insting Belandanya tidak menyukai keluarga Luce, dia mengijinkannya. Mereka di sana menyukai Doddy. Doddy akan lebih senang di sana daripada di Labuwangi. Dia menyerah pada tujuan idealnya: anak perempuannya tidak akan keindis-indisan. Tiba-tiba Theo juga pergi karena pengaruh Leoni di Surabaya pada perusahaan besar; sangat beruntung, tiba-tiba dia ditempatkan pada kantor ekspor dan impor. Sekarang, Van Oudijck sendirian di rumah yang besar sebab Koki dan kepala gudang juga sudah pergi, Eva dan Eldersma meminta Van Oudijck makan di rumahnya, makan siang dan malam. Di meja makan mereka, Van Oudijck tidak pernah membicarakan masalah rumahnya, dan hal itu tidak pernah dibahas. Apa yang dibicarakannya secara rahasia 142 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

dengan Eldersma selaku sekretaris, apa yang dibicarakannya secara rahasia Van Helderen selaku kontrolir kota, tak pernah dibicarakan keduanya karena menjadi rahasia jabatan. Pimpinan polisi, yang biasanya setiap hari melapor secara pendek, bahwa tak ada sesuatu yang khusus, atau bahwa ada kebakaran, atau seorang laki-laki terluka, sekarang memberikan laporan yang panjang dan rahasia. Pintu-pintu kantor ditutup agar para penjaga di luar tidak akan mendengarnya. Lambat laun para pembantu pergi, mereka pada malam hari berangkat diam-diam dengan keluarga dan perabotannya, dan dalam kekosongan kotor rumah-rumah ditinggal. Mereka bahkan tidak tinggal di residensi. Van Oudijck membiarkan mereka pergi. Dia hanya mempertahankan Kario dan para penjaga; dan terpidana setiap hari mengurus kebun. Maka dari luar rumah itu tampak tak berubah. Tapi di dalam, rumah tak terurus: ada debu-debu di atas mebel, semut-semut putih atau rayap memakan anyaman, jamur dan noda lembab muncul. Residen tidak pernah keliling rumah dan hanya meninggali kamar tidur dan kantornya. Pada wajahnya muncul kemuraman bagaikan sebuah keraguan diam yang pahit. Dia menjadi lebih cermat dalam bekerja daripada biasanya dan menjadi lebih keras pada pegawai-pegawainya, seolah dia tak pernah memikirkan kepentingan yang lain selain Labuwangi. Dalam posisinya yang terisolasi dia tak memiliki teman dan dia pun tak mencarinya. Dia memikul semuanya sendiri. Sendirian, di atas bahunya, di atas punggungnya yang membungkuk di bawah ketuaan yang mendekat, dia memikul beban berat rumahnya yang hancur; rumah tangganya, yang celaka oleh kejadian aneh, tidak dapat ditelusuri walaupun ada para polisi, penjaga, pengawal pribadi: walaupun ada para agen rahasia. Dia tak dapat menemukannya. Orang tak mengatakan apa pun padanya. Orang tak membawa titik terang. Kejadian aneh tetap berlangsung. Sebuah batu besar memecahkan sebuah cermin. Dia dengan tenang menyuruh orang membereskan pecahan-pecahan. Nalurinya tak dapat mempercayai hal-hal supranatural dari kejadian-kejadian dan dia juga tak percaya. Bahwa dia tak dapat menemukan pelaku dan penjelasan membuatnya berang. Tapi, dia tak percaya. Dia tak percaya ketika tempat tidurnya dikotori dan Kario bersumpah di kakinya bahwa dia tak tahu. Dia tak percaya ketika gelas yang dia ambil pecah menjadi kepingan kecil. Dia tak percaya ketika mendengar suara-suara dari atas yang memukul-mukul dengan palu. Tapi, tempat tidur kotor, gelas pecah, suara palu adalah fakta. Dia menyelidiki fakta-fakta itu dengan teliti sebagaimana dia menyelidiki sebuah perkara pidana dan tak ada titik terang. Dia tetap tenang dalam hubungannnya dengan para pegawai Eropa dan Jawa dan dengan Bupati. Tak ada orang yang menyadari ada sesuatu padanya dan walaupun pada malam-malam dia tetap bekerja pada mejanya sementara dentuman dan paluan, dan di kebun malam berbulu seolah-olah tersihir. Di luar, pada tangga, masing-masing penjaga merayap, mendengarkan, berbisik – 143 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

bisik: melihat diam-diam majikan mereka yang menulis, sebuah kerut dari pikiran kerja di antara kening . “Apakah dia tak mendengar?” “Tentu saja mendengar, dia toh tidak tuli...” “Dia harus mendengarkan...” “Dia pikir dapat menemukannya dengan para penjaga...” ”Akan datang tentara dari Ngajiwa.” “Dari Ngajiwa?” “Ya, Dia tak percaya penjaga. Dia sedang menulis Tuan Mayor.” “Minta serdadu?” “Ya, akan datang tentara...” “Lihat kerutan pada keningnya…” “Dia terus-terusan bekerja.” “Saya takut. Saya tidak pernah berani jaga jika tidak harus.’ “Selama dia ada, saya berani...” “Ya... dia pemberani.” “Dia seorang pemberani.” “Dia laki-laki pemberani” “Tapi dia tak paham.” “Tidak, dia tak tahu apakah itu...” “Dia pikir itu adalah tikus...” “Dia telah menyuruh untuk mencari tikus di atap.” “Orang Belanda tak tahu.” “Mereka memang tak mengerti.” “Dia merokok banyak...” “Ya benar, 12 cerutu setiap hari.” “Dia tak banyak minum.” “Hanya wisky soda pada malam hari.” “Tunggu dia memintanya...” “Tak ada yang tinggal bersamanya.” “Tak ada, yang lain sudah mengerti .Mereka semua pergi.” “Sangat malam dia ke tempat tidur.” “Ya, dia bekerja banyak.” “Dia hampir tak tidur pada malam hari. Hanya pada siang hari.” 144 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Lihat dia mengerutkan kening.” “Dia bekerja terus...” “...Penjaga!” “Dia memanggil...” “Kanjeng!” “Bawa wiski soda!” “Kanjeng...” Seorang penjaga berdiri untuk mengambil minuman. Semuanya diletakkan dekat kantor, di kamar inap tamu agar tidak perlu masuk rumah. Penjaga lain saling menempel berdekatan berbisik. Bulan memanggul awan dan menyinari kebun dan genangan air dengan sinar serupa kabut basah penyihiran, sunyi senyap. Seorang penjaga menyiapkan minuman, membungkuk menghidangkannya. “Letakkan di sini,” kata Van Oudijck Penjaga meletakan gelas pada meja tulis dan pergi pelan-pelan. Para penjaga yang lain berbisik. “Penjaga!” teriak Van Oudijck sesaat kemudian. “Kanjeng!” “Apakah kamu yang menuangkan minuman ini ke dalam gelas?” Laki-laki itu gemetar, berjalan, laku dhodhok, di depan kaki Van Oudijck. “Kanjeng: ini bukan racun saya, dengan hidup dan mati saya; jangan salahkan, Kanjeng. Injak saya, bunuh saya: jangan salahkan saya, Kanjeng.” Gelas berwarna kuning oksidasi. “Ambil gelas lain dan tuang di sini.” Penjaga berlalu dengan gemetar. Penjaga yang lain duduk berdekatan, masing-masing merasakan tubuh mereka berkeringat oleh kain seragam dan terbelalak takut. Bulan naik, tertawa mengejek seperti seorang peri jelek muncul dari balik awannya; sihirnya yang sunyi dan basah memberi nuansa keperakan pada kebun nan luas. Di kejauhan, dari kebun belakang, jerit rintihan seakan berasal dari seorang anak yang tercekik. 4 “Apa kabar Nyonya? Masih muramkah atau Hindia saat ini sudah lebih bagus?” Kata-katanya terdengar ramah untuk Eva ketika dia melihatnya datang melalui kebun, sekitar jam delapan, untuk makan malam. Tak ada nada lain selain salam ramah dari seorang laki-laki yang telah bekerja keras di belakang meja tulisnya; dia sekarang senang berjumpa dengan nyonya cantik yang baik hati yang sebentar lagi 145 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

akan duduk makan bersamanya. Eva heran, Eva mengaguminya. Tidak ada tanda dalam dirinya sebagai seseorang yang sepanjang hari diganggu dalam rumah sepi oleh kejadian-kejadian yang aneh dan tak dapat dipahami. Hampir tiada kabut kesedihan pada dahinya yang lebar. Hampir tiada kecemasan di punggungnya yang lebar dan sedikit bengkok. Gurat ramah pada sekitar kumisnya yang tebal ketika tersenyum masih seperti biasanya. Eldersma berjalan mendekat dan memberi salam dalam jabat tangan persaudaraan yang tak terucapkan dan tampaknya saling dimengerti dan penuh kepercayaan, sebagaimana diduga Eva. Dan Van Oudijck meminum isi gelasnya, seperti biasanya, berbicara tentang sepucuk surat dari istrinya yang rupa-rupanya akan ke Batavia; Rene dan Ricus sedang menginap di rumah teman di Priangan, di sebuah perkebunan kopi. Mengapa dia tidak berada bersamanya, mengapa dia ditinggalkan seluruh keluarganya dan semua pembantunya, Van Oudijck tidak membicarakannya. Dalam keakraban lingkungan mereka, di mana Van Oudijck datang dua kali setiap hari untuk makan, dia tidak pernah membicarakan hal itu. Dan walaupun Eva tidak menanyakannya, toh hal itu telah membuat dirinya gelisah. Begitu dekat dengan rumah berhantu yang pada siang hari pilar-pilarnya samar-samar dapat dilihatnya dari kejauhan menembus dedaunan pepohonan, dia merasakan setiap hari semakin bertambah gelisah. Sepanjang hari, di sekitarnya, para pembantu berbisik-bisik dan mengintip dengan takut-takut ke arah keresidenan yang berhantu. Pada malam-malam dia tidak dapat tidur, dia berusaha mendengar sendiri apakah ada suara-suara aneh: tangisan anak-anak kecil. Malam di Hindia terlalu penuh suara untuk membuatnya tidak gemetar di ranjangnya. Oleh suara-suara korekan kodok minta hujan, minta hujan, selalu meminta tambah hujan, yang berbunyi terus menerus dengan korekan monoton, dia mendengar seribu suara- suara berkeliling-menyihir, yang mencegahnya tidak tidur. Muncul suara-suara tokek berbunyi bercampur dengan suara kodok, tokek berbunyi sebagai jam-jam aneh yang penuh misteri. Sepanjang hari Eva memikirkannya. Juga Eldersma tidak pernah membicarakannya. Tetapi, ketika dia melihat Van Oudijck datang untuk makan malam, dia harus menutup mulutnya agar tidak menanyakan hal itu. Pembicaraan mengenai berbagai berita, tetapi tidak pernah tentang kejadian aneh tersebut. Sesudah makan siang Van Oudijck menyeberang; sesudah makan malam, pukul sepuluh, Eva menyaksikan Van Oudijck menghilang di kegelapan kebun yang berhantu. Dengan langkah pasti setiap malam dia akan kembali melalui malam yang penuh sihir menuju rumah terkutuk dan sepi, di mana di depan kantornya, penjaga dan Kario, duduk bersila dan dia bekerja hingga larut. Dia tak pernah mengeluh. Dia 146 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

memeriksa dengan cermat melintasi seluruh kota, namun tidak ada titik terang. Semua yang terjadi tetap terjadi dalam misteri yang tak terselami. “Nyonya yang baik, apa kabar Hindia bagi Anda malam ini? Sebenarnya selalu nada keramahannya sama, tapi suaranya setiap hari mengagumkannya. Sebuah keberanian, sebuah kekuatan dari percaya diri, sebuah kepastian dari pengetahuannya sendiri, dan kepercayaan pada sesuatu yang diketahuinya dengan pasti, terdengar jelas dari suaranya. Tidak tampak adanya keragu-raguan dan keputusasaan dalam kesederhanaannya sebagai laki-laki yang tidak mengenal putus asa, bagaimanapun dia harus menderita di dalam rumah yang ditinggal oleh keluarganya dan penuh kejadian aneh ̶ dia, laki-laki yang mencintai kehangatan keluarga, yang bekerja dengan kepala dingin. Dia melaksanakan pekerjaannya lebih cermat dari biasanya, dia memeriksa. Pada saat makan di rumah Eva dia selalu berbicara riang dengan Eldersma mengenai berbagai hal: promosi, politik di Hindia, dan kegilaan baru dari Holland yang membiarkan orang awam yang tidak tahu apa-apa untuk memerintah Hindia. Dia berbicara lincah, dan ringan, tenang dan menyenangkan hingga Eva setiap hari bertambah kagum padanya. Akan tetapi, untuknya, sebagai wanita sensitif, hal itu menjadikannya gelisah. Dan suatu malam, ketika Eva mengikutinya beberapa langkah, dia menanyainya. Apakah tidak mengerikan, apakah rumah tak dapat ditinggalkan, apakah dia tidak dapat melakukan perjalanan untuk waktu yang lama. Dia melihat air mukanya tak senang karena Eva bicara tentang hal itu, tetapi dengan ramah dia menjawab, bahwa hal itu tak terlalu parah walaupun tidak bisa dijelaskan, dan dia mencoba optimal menemukan guna-guna. Dan dia tambahkan bahwa sebenarnya dia harus turne, tapi dia tidak pergi agar tidak nampak melarikan diri. Kemudian dia dengan cepat-cepat menyalami Eva, berkata agar Eva tidak perlu gugup, dan jangan memikirkannya, membicarakannya. Ucapan terakhir ini seperti sebuah perintah ramah. Eva balas menyalami Van Oudijck dengan mata berkaca-kaca. Dia melihatnya pergi dengan langkah tegak menghilang di kegelapan kebunnya di mana kelompok kodok berkorek-korek meminta hujan. Saat itu dia menggigil, dalam keadaan seperti itu Eva berjalan cepat-cepat memasuki rumahnya. Dia menganggap rumahnya yang luas begitu kecil dan terbuka serta tanpa perlindungan terhadap malam Hindia yang maha besar yang bisa masuk lewat mana saja. Dia bukanlah satu-satunya yang tertekan oleh kejadian aneh tersebut. Seluruh Labuwangi jatuh tertekan oleh hal yang tak dapat dijelaskan, yang bertentangan dengan kenyataan sehari-hari. Di setiap rumah hal itu dibicarakan dengan berbisik- bisik karena anak-anak tidak boleh ditakutkan dan para pembantu tidak dibiarkan mengetahui bahwa orang berada di bawah tekanan guna-guna, begitu residen 147 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

menyebutnya. Sebuah ketakutan, kemuraman, membuat orang-orang sakit oleh karena gugup, mengintip dan mendengar malam yang penuh suara-suara dan menguapkan kabut tipis kelabu jatuh di atas kota yang tampak lebih dalam bersembunyi di bawah daun-daun di kebun-kebun mereka, dan selama senja-senja yang lembab itu bersembunyi dalam sebuah kepasrahan diam yang suram dan tunduk terhadap misteri. Van Oudijck berpikir untuk mengambil tindakan yang tegas. Dia menulis surat pada Mayor, komandan garnisun Ngajiwa, untuk datang dengan Kapten, dan beberapa letnan, dan sepasukan serdadu. Malam itu perwira makan malam dengan Van Oudijck, Van Helderen di rumah Eldersma. Mereka tergesa-gesa menghabiskan makanan dan Eva di pagar kebun melihat mereka semua pergi: residen, sekretaris, kontrolir, bersama-sama dengan empat perwira, menuju kebun gelap dari rumah berhantu. Kebun residen ditutup, rumah dikepung, daerah makam dijaga. Para laki-laki, dalam kesendirian, memasuki kamar mandi. Mereka berada di sana sepanjang malam. Dan sepanjang malam mereka menutup dan mengepung kebun dan rumah. Menjelang jam lima mereka keluar dan bersama-sama segera mandi di kolam renang. Mengenai apa yang terjadi, mereka tidak berbicara apa pun, tapi malam-mereka berlangsung mengerikan. Hari berikutnya kamar mandi dibongkar. Mereka semua berjanji pada Van Oudijck untuk tidak berbicara tentang malam itu dan Eldersma tidak akan mengatakannya pada Eva, juga Van Helederen pada Ida. Juga para perwira, di Ngajiwa, diam. Mereka hanya bilang bahwa malam di kamar mandi mustahil terjadi, orang akan sulit mempercayai kata-kata mereka. Akhirnya seorang letnan muda lepas bicara tentang pengalaman anehnya itu. Maka, beredarlah cerita tentang ludah sirih, lemparan batu, cerita tentang lantai yang bergoyang sementara mereka memukulnya dengan tongkat dan pedang, dan masih ada sesuatu yang sangat mengerikan dan tak bisa diceritakan bahwa di air bak mandi telah terjadi sesuatu. Semua membumbui cerita itu. Ketika cerita sampai pada Van Oudijck, dia tak dapat lagi mengenali kejadian pada malam yang mengerikan itu, yang tanpa fantasi juga sudah cukup mengerikan. Eldersma sementara itu membuat laporan mengenai jaga malam bersama-sama dan mereka semua menandatangani cerita yang rupa-rupanya tidak benar. Laporan dibawa oleh Van Oudijck secara pribadi ke Batavia dan disampaikan kepada Gubernur Jenderal. Dari saat itu laporan tersimpan dalam arsip rahasia pemerintah. Gubernur menyarankan Van Oudijck untuk mengambil cuti singkat ke Belanda. Ia meyakinkannya bahwa cuti ini tidak akan mempengaruhi promosinya menjadi 148 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Residen klas I yang sedang berjalan. Oudijck menolak kebaikan itu dan kembali ke Labuwangi. Satu-satunya konsesi yang dia lakukan terhadap diri sendiri adalah tinggal di rumah Eldersma sampai rumah residensi dibersihkan. Sementara itu, bendera tetap dikibarkan di halaman residensi. Sekembalinya dari Batavia Van Oudijck sering bertemu dengan Bupati Soenario karena alasan pekerjaan. Dalam pergaulannya dengan Soenario, Residen tetap bersikap korek dan tegas. Kemudian dia melakukan pembicaraan singkat; pertama dengan Bupati kemudian dengan ibunya, Raden Aju Pangeran. Kedua pembicaraan ini berlangsung tak lebih dari 20 menit. Tapi tampaknya ada ucapan-ucapan yang sedikit mempunyai arti besar dan bersikap mengancam karena kejadian aneh itu berhenti. Ketika, di bawah pengawasan Eva, rumah sudah dibersihkan dan dibetulkan, Van Oudijck memaksa Leoni kembali ke rumah karena pada tanggal 1 Januari dia akan mengadakan pesta dansa. Pada pagi hari Residen menerima semua pegawai-pegawainya, baik yang Eropa maupun Jawa. Pada malam hari, di serambi yang menyala-nyala oleh lampu, tamu dari seluruh residensi mengalir masuk, masih sedikit takut dan ingin tahu, secara naluriah melihat berkeliling dan melihat ke atas. Dan sementara sampanye diedarkan, Van Oudijck mengambil suatu nampan dan menawarkan pada bupati dengan pelanggaran etiket secara sengaja. Dia berkata dengan suara yang mengancam bercampur dengan canda lembut, dia mengucapkan kata-kata yang didengar dan diulang orang-orang di mana-mana, yang akan diulang berbulan-bulan di seluruh residensi: “Silakan minum, Bupati, saya bersumpah bahwa tidak ada lagi gelas yang pecah di rumah saya kecuali oleh karena kebetulan dan ketidakhati-hatian...” Dia dapat berkata seperti itu, karena dia tahu bahwa dia - kali ini - lebih kuat daripada kekuatan gaib, hanya karena keberanian yang sederhana sebagai seorang pegawai dan seorang Belanda dan seorang laki-laki. Tetapi, ketika Bupati minum, dalam tatapannya terlihat samar-samar dan sedikit ironis: walaupun kekuatan gaib tidak menang - kali ini, kekuatan itu toh merupakan teka-teki dan selalu tak bisa dijelaskan oleh mata yang berpandangan sempit dari orang-orang Barat itu. 5 Labuwangi hidup kembali. Seakan-akan dengan kata bulat, orang tidak lagi membicarakan keanehan-keanehan dengan orang-orang luar, karena ketidakpercayaan pada kasus ini dapat dimaafkan, dan orang di Labuwangi percaya. Dan di kota pedalaman, sesudah tekanan mistik itu, yang selama ini menderita dalam minggu-minggu tak terlupakan, hidup kembali. Mereka seakan-akan mengenyahkan semua obsesi mistik. Pesta demi pesta, dansa demi dansa, komedi sesudah konser: semua orang membuka rumahnya untuk merayakan pesta dan 149 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

bergembira dan menemukan kewajaran seperti biasanya sesudah mimpi buruk yang tak dapat dipercaya. Orang-orang seperti biasanya hidup dalam kewajaran yang dapat dipahami, pada hal-hal materi secara luas di Hindia, - pada hidangan bagus, minuman segar, ranjang lebar, rumah yang luas, mencari dan membelanjakan uang– pada semua kenikmatan hidup Orang Barat di Timur; orang-orang semacam itu bernafas lega, dan mengenyahkan mimpi buruk dan kepercayaan pada kejadian- kejadian aneh. Sekarang hal itu masih dibicarakan tak lebih dari sebutan guna-guna yang tak dimengerti sebagaimana Resident menyebutnya guna-guna dari Bupati. Bahwa dia yang mendalanginya itu sudah pasti. Bahwa Residen mengancamnya dengan ancaman menakutkan, padanya dan ibunya jika kejadian aneh itu tidak berhenti, itu pasti. Bahwa sesudahnya kehidupan biasa dikembalikan, itu pasti. Jadi, guna-guna. Sekarang orang malu pada kepercayaannya, pada ketakutannya, dan bahwa orang gemetaran dengan apa yang disebut mistik ternyata hanyalah guna-guna yang cerdik. Dan orang bernafas lega dan ingin bergembira dengan pesta demi pesta. Leoni dalam kemabukan itu, melupakan kejengkelannya karena dipanggil pulang oleh Van Oudijck. Dan dia juga ingin melupakan penodaan merah tua pada tubuhnya. Tapi suatu ketakutan masih ada dalam dirinya. Dia mandi sore lebih awal, setengah lima, dalam bangunan kamar mandi yang baru. Setiap kali dia mandi sore, dia selalu menggigil. Dan dalam situasi ini, Theo ditempatkan di Surabaya, Leoni melepaskan diri dari Theo, juga karena takut. Dia tidak dapat melepaskan diri dari pikiran bahwa sihir yang berisiko akan mengancam keduanya, ibu dan anak, yang menodai rumah orang tua. Sesuatu yang romantis dalam khayalan buruknya, fantasinya, dewa asmara, dan pikiran ini - terinspirasi oleh ketakutannya - memberinya warna tragis untuk yang disukainya, untuk tidak tetap memeliharanya walau apa pun yang dikatakan Theo. Dia tidak mau lagi. Dan ini membuat Theo marah karena Theo begitu tergila-gila padanya. Theo tak mampu melupakan kenikmatan memalukan itu dari pelukannya. Namun, Leoni tetap bersikukuh menolaknya, dan mengatakan ketakutannya, dan dia yakin akan mulai berhantu lagi jika mereka, dia dan istri dari ayahnya, mulai bercinta. Theo menjadi berang dengan kata-kata Leoni. Beberapa minggu yang dia lewatkan di Labuwangi; dia berang oleh keibuan pura-pura dan berang karena dia tahu bahwa Leoni sering bertemu Addy de Luce, sering menginap di Pacaram. Pada pesta-pesta Addy sering berdansa dengannya, pada konser-konser Addy bertopang pada sandaran belakang kursi Leoni di dalam balkon khusus untuk residen. Memang Addy tidak setia kepadanya karena bukan sifatnya untuk mencintai seorang wanita –di mana-mana dia mencintai– tetapi sebisa mungkin dia setia pada Leoni. Leoni merasa hasrat untuknya yang bertahan lama daripada yang pernah dia alami; dan hasrat itu membangunkan dirinya dari ketidakpedulian pasif sebagaimana biasanya. Sering 150 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook