Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Kekuatan diam

Kekuatan diam

Published by perpus smp4gringsing, 2021-12-07 02:29:59

Description: Kekuatan diam

Search

Read the Text Version

“Pemberontakan? Siapa yang memberontak?” “Dalam dua bulan...Soenario..” Orang-orang lebih memperhatikan. Tapi, meja sekali lagi membentur Ida. “Aduh,” teriak nyonya ini. Meja tak ingin bermain lagi. “Capai,” ketuk meja. Orang-orang meletakkan tangan di atas meja. “Berhenti...” ketuk meja. Dokter terkikik menaruh tangannya yang lebar dan pendek pada meja seakan sebuah paksaan. “ Pelit,”umpat meja, berkerit dan berputar. “Brengsek,” lebih jauh dia mengumpat. Dan beberapa kata-kata kotor yang muncul sesudahnya ditujukan pada dokter, seperti anak jalanan meneriakkan kata-kata kotor tanpa akhir dan makna. “Siapa yang mereka-reka kata-kata itu?” tanya Eva berang. Jelas-jelas tak seorangpun mereka-reka kata-kata itu, tidak ketiga perempuan itu, tidak juga Van Helderen, yang selalu teliti dan yang nyata-nyata tersinggung oleh kekurangajaran jiwa itu. “Ini betul satu jiwa” kata Ida pucat. “Saya mundur saja,” kata Eva senewen dan mengangkat jari-jarinya.“Saya tak mengerti omong kosong ini. Ini benar-benar lucu..., tapi meja tak terbiasa pada lingkungan sopan santun.” “Kita ketemu sumber baru untuk Labuwangi!” ejek Eldersma,“bukan piknik lagi, bukan pesta dansa tetapi tafeldans.” “Kita harus berlatih!” ujar Nyonya de Bruijn. Eva mengangkat bahunya.“Hal ini tak dapat dijelaskan,”katanya. “Saya tak dapat mempercayai hal lain selain kita saling jujur. Ini bukan Van Helderen yang menyarankan kata-kata seperti itu.” “Nyonya!” Van Helderen membela diri. “Kita harus lebih sering memainkannya,” kata Ida.“Lihat, ada seorang haji meninggalkan pekarangan...” Dia menunjuk ke kebun “Seorang haji ?” tanya Eva. Mereka semua memandang kebun. Tak sesuatu pun terlihat. “Oh, tidak,” ujar Ida. “Saya kira ada seorang haji.... Oh, bukan: itu cahaya bulan.” 51 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Hari sudah larut. Mereka berpamitan, tersenyum, senang, terkagum-kagum meskipun tak menemukan penjelasan. “Semoga semua wanita tidak menjadi senewen!” kata sang dokter. Tidak, mereka relatif tidak menjadi senewen. Mereka lebih terhibur walau tak paham. Malam pukul dua, saat mereka berangkat. Kota sangat sunyi senyap, menyelinap di bawah bayangan kebun sementara cahaya bulan memancar. 5 Hari berikutnya, ketika Eldersma sudah ke kantor dan Eva sedang mengurus rumah tangganya dalam sarung dan kebaya, dia melihat Frans van Helderen datang dari kebun. “Boleh?” teriaknya. “Tentu!” teriak Eva. “Masuklah tapi saya akan menuju gudang.” Eva menunjukkan kumpulan kuncinya. “Saya harus bertemu dengan residen dalam setengah jam lagi, tapi saya datang terlalu awal. Makanya saya mau mampir.” Eva tertawa kecil. “Tapi saya sedang sibuk lho! Mari ikut saya ke gudang.” Helderen mengikuti Eva ke gudang. Dia mengenakan jas gelap yang mengkilap karena dia akan bertemu residen. “Bagaimana kabar Ida?” tanya Eva. “Dapatkah dia tidur nyaman sesudah upacara panggil roh kemarin?” “Kurang,” kata Van Helderen. “Saya tak yakin kalau itu bagus untuknya jika dia melakukannya lagi. Setiap kali dia terbangun kaget, dia memeluk leher saya dan meminta ampun, saya tak tahu kenapa.” “Hal itu sama sekali tak membuat saya gelisah walau saya tak mengerti mengapa.” Eva membuka gudang dan memanggil kokinya, mengatur jamuan makan. Koki ini latah dan Eva senang mengganggunya. “La..la-illa-lala!” teriak koki terkejut dan balik berteriak, segera tersadar, memohon maaf. “Buang koki, buang!” kata Eva dan koki menurut, dilemparkannya tampah yang penuh rambutan dan manggisan. Segera dia tersadar, memohon dan memunguti buah-buah yang berceceran. Kepalanya menggeleng-geleng dan mengecap- 52 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

ngecapkan lidah. “Ayo, ikut saya,” kata Eva pada Frans. “Kalau tidak nanti dia memecahkan telur- telur saya. Ayo, koki, keluar!” “Ayo, keluar,” ulang si koki latah. “Alla, Nyonya, minta ampun. Sudah nyonya.” “Mari, duduk sebentar!” ajak Eva. Van Helderen mengikutinya. “Anda begitu senang,” katanya. “Anda tidak?” “Tidak, saya akhir-akhir ini melankolis.” “Saya juga. Sudah saya omongkan padamu kemarin. Ini karena udara Labuwangi. Mungkin kita harus berharap dari tafeldans kita.” Mereka duduk di serambi belakang. Helderen mengelah. “Ada apa?” tanya Eva. “Saya tak dapat menahannya lagi,” kata Helderen. “Saya cinta kamu. Saya menyayangi kamu….” Eva terdiam sesaat. “Lagi,” katanya menyalahkan. Helderen tak menjawab. “Sudah saya katakan bahwa saya tak punya naluri mencintai. Saya dingin. Saya mencintai suami saya, anak saya. Biarkan persahabatan kita, Helderen. “Saya sudah melawannya, tapi tak bisa.” “Saya mengasihi Ida, saya tak akan mencelakainya.” “Saya tak percaya bahwa saya pernah mencintainya.” “Van Helderen....” “Mungkin hanya pada mukanya yang cantik. Seberapa putihnya dia, Ida adalah seorang “nonna”, seorang Indo dengan seleranya, dengan kekanakannya yang tragis. Dulu saya tak melihatnya begitu. Sekarang saya melihatnya. Sebelum Anda, saya telah bertemu perempuan-perempuan Eropa. Tapi, Anda menjadi cakrawala bagi saya, jiwaku terbuka pada semua pesona dan daya tarik dan artistik dalam seorang perempuan. Apa yang eksotis padamu bersimpati dengan eksotisme saya.” “Saya beri penghargaan tinggi persahabatan kita. Biarlah tetap seperti itu.” “Kadang-kadang, pas saya gila, kadang-kadang saya bermimpi kita melakukan perjalanan ke Eropa, di Italia, di Paris. Kadang-kadang saya lihat kebersamaan kita, di kamar tertutup dengan perapian, kamu berbicara tentang seni dan saya berbicara tentang modern-sosial masa-masa ini. Sesudahnya saya lihat kita lebih intim.” “Van Helderen….” 53 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

“Tak masalah bagiku kamu menegurku. Saya cinta kamu, Eva, Eva….” “Saya percaya bahwa tidak ada negara, selain Hindia, yang memiliki banyak asmara. Ini pasti karena hawa panas.” “Jangan hancurkan saya di bawah sarkasmemu. Tak pernah ada perempuan yang pernah berbicara hingga menusuk jiwa dan tubuhku seperti dirimu Eva.” Eva menaikkan bahunya. “Janganlah marah, Van Helderen, tetapi saya tak dapat menahan sifat kekampungan ini. Marilah kita bijaksana. Saya punya suami yang menawan dan kamu punya istri yang manis. Kita sama, teman-teman yang menyenangkan.” “Kamu begitu dingin.” “Saya tak ingin menghancurkan persahabatan kita.” “Persahabatan!” “Persahabatan. Tak ada, di luar kebahagian rumah saya, yang aku hargai begitu tinggi. Saya tak akan dapat hidup tanpa teman-teman. Bahagia dengan suami, bahagia dengan anak saya, sesudahnya yang pertama saya memiliki teman-teman.” “Teman untuk mengagumimu dan untuk kamu kuasai,” katanya marah. Eva memandangnya. “Mungkin,” katanya dingin. “Mungkin saya butuh dikagumi dan menguasai. Kita semua punya kelemahan.” “Saya juga,” Van Helderen berbicara pahit. “Ayo,” Eva berbicara lebih manis. “Biarlah kita tetap bersahabat baik.” “Saya merasakan ketidakbahagian yang dalam,” dia berkata lembut. “Seolah saya kehilangan semua milikku dalam hidupku. Saya tak pernah meninggalkan Jawa. Dan saya merasa tidak lengkap dalam diri, karena saya tak pernah melihat salju. Salju adalah sesuatu yang asing, kemurnian yang tak dikenal. Ke mana tempat saya kangen, bahkan saya tak pernah singgah. Kapan saya lihat Eropa? Kapan saya tak lagi tergila-gila dengan Trouvere dan kapan saya di Beirut? Kapan saya mencapai kamu, Eva. Saya bentangkan semua sungut saya seperti serangga tanpa sayap. Apalagi kehidupanku. Dengan Ida, dan tiga anak, yang dengan mereka saya memenuhi kebutuhan Ida, saya hidup bertahun-tahun sebagai kontrolir kemudian mungkin menjadi asisten residen...dan tetap asisten residen. Akhirnya diberhentikan atau minta berhenti dan hidup di Sukabumi, menghabiskan sisa hidup dengan pensiun kecil. Dalam diriku, saya merasakan kerinduan pada kekosongan...” “Kamu senang dengan kerjamu, kamu seorang pejabat yang bagus. Eldersma 54 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

selalu bilang: siapa di Hindia yang tidak bekerja dan tak suka pekerjaannya tak berguna.” “Kamu tanpa sifat asmara, saya tanpa sifat kerja, hanya kerja saja. Saya bisa kerja untuk sebuah tujuan yang menurut saya menarik, saya tak bisa bekerja...untuk kerja itu dan mengisi kekosongan hidupku dengannya.” “Tujuanmu adalah Hindia….” Van Helderen menaikkan bahunya. “Sebuah kata yang besar,” kata Van Helderen.“Itu dapat terjadi untuk seorang residen, siapa yang beruntung dalam kariernya, yang tak pernah mengamati daftar pangkat dan berspekulasi, satu menjadi sakit atau yang lain meninggal....untuk promosi. Untuk orang seperti Van Oudijck, yang betul-betul penuh dengan kebenaran idealistis mengira tujuannya adalah Hindia dan bukan untuk Belanda, tetapi untuk Hindia sendiri, untuk orang Jawa, yang dilindunginya, sebagai pejabat, dari kesewenangan pemilik tanah dan pemilik perkebunan. Saya cenderung lebih sinis.” “Jangan tak peduli pada Hindia. Ini bukan kata besar. Saya merasakannya demikian. Hindia benar-benar adalah kebesaran kita, milik kita, orang-orang Belanda. Dengar orang-orang asing berbicara tentang Hindia, mereka semua terpesona akan kejayaannya, tentang cara kita mengolonisasi. Janganlah ikut-ikutan jiwa Belanda kita yang menyebalkan di Belanda, yang sama sekali tak tahu tentang Hindia, yang selalu mengolok-olok Hindia dalam pemikiran sempit mereka yang kecil kaku dan picik.” “Saya tak tahu bahwa kamu begitu tergila-gila dengan Hindia. Kemarin kamu masih merasa takut di sini, dan saya membela negeri saya.” “O, saya merasa menggigil oleh kerahasiaan di waktu malam, di mana sesuatu tampaknya mengancam. Saya tak tahu apa itu: masa depan yang menakutkan, bahaya untuk kita, untuk kita.... Saya merasakan bahwa secara pribadi saya tetap jauh dari Hindia walaupun tak menginginkannya. Saya merindukan seni di sini karena saya dididik di dalamnya. Saya merindukan kehidupan orang-orang dengan garis keindahan yang menjadi tempat kedua orang tua saya selalu berada. Tapi saya tidaklah tidak adil. Hindia sebagai koloni menurut saya besar; dan kita di koloni kita menurut saya besar...” “Dulu mungkin, sekarang semua sudah jatuh, sekarang kita tak lagi besar. Kamu adalah seorang yang artistik. Kamu selalu mencarinya walaupun jarang menemukan garis artistik di Hindia. Dan kemudian muncul bagimu kebesaran, kejayaan bagi jiwa. Itu adalah puisi. Prosanya adalah sebuah koloni yang luar biasa tetapi lelah. 55 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Seluruhnya diperintah dari Belanda dengan satu gagasan: perburuan keuntungan. Kebenarannya bukanlah ini: penguasa besar di Hindia, tetapi merupakan lintah darat kecil yang menyedihkan. Tanah ini diisap hingga habis –bukanlah orang Belanda yang menghabiskan uang Hindia di Den Haag, tetapi penduduk Indo yang tidak bisa lepas dari tanah Hindia ini ̶ dan penduduk yang sebenarnya ditekan di bawah penghinaan penguasa, yang sebenarnya merupakan darah daging mereka. ̶Namun, sekarang mengancam berdiri keluar dari tekanan itu dan ketidakhormatan... Anda, dengan jiwa artistikmu merasakan bahaya yang mendekat, samar-samar serupa sebuah kabut di langit di malam Indis. Saya lihat bahaya sudah benar-benar bangkit untuk orang Belanda, jika tidak dari Amerika dan Jepang maka dari tanah Hindia sendiri.” Eva tertawa.“Saya suka jika kamu berbicara begitu,” katanya. “Akhirnya saya membenarkan kamu.” “Jika dengan berbicara saya dapat meraih banyak hal!” katanya tertawa pahit, berdiri. “Setengah jam saya habis; Residen menunggu saya dan dia tak suka menanti satu menit. Sampai jumpa lagi, maafkan saya.” “Katakan padaku apakah saya genit?” “Tidak.” jawabnya. “Anda adalah kamu. Saya tidak bisa lain, saya cinta kamu. Saya meluruskan sungut saya yang malang, selalu. Ini adalah nasib saya.” “Saya akan membantumu untuk melupakan saya,” katanya dengan keyakinan manis. Sesaat dia tertawa, memberi salam dan pergi. Eva melihat Van Helderen yang menyeberang menuju pekarangan residensi, di mana penjaga menyambutnya. “Sebenarnya hidup ini adalah menipu diri sendiri, sebuah kesesatan dalam ilusi,” pikirnya sedih, melankolik. “Sebuah tujuan besar, sebuah tujuan dunia..atau sebuah tujuan kecil untuk diri sendiri untuk hidup dan jiwa itu sendiri... Oh, Tuhan, semuanya kecil! Betapa kita tersesat tanpa kita tahu sesuatu. Dan setiap orang mencari ilusinya sendiri-sendiri. Untunglah hanya ada sebuah pengecualian, seperti Leoni van Oudijck yang hidup tak lebih sebagai setangkai bunga yang indah, makhluk yang indah.” Anaknya berjalan tertatih mendekatinya, anak laki-laki yang pirang, gempal, dan lucu. “Anakku,” pikirnya. “Bagaimana kamu nanti jadinya? Akan seperti apa masa depanmu? Ah, mungkin tak ada yang baru. Mungkin hanya pengulangan saja. Hidup adalah sebuah roman yang setiap kali berulang... Oh, jika orang merasakan 56 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

seperti itu maka Hindia menekannya!” Dia memeluk anaknya, air matanya menetes di rambutnya yang keriting pirang. “Van Oudijck dengan residensinya, saya dengan lingkungan kecilku akan kekaguman dan penguasaan...; Frans dengan cintanya... untukku... kita semua mempunyai permainan masing-masing seperti Onno kecilku yang bermain dengan kuda kecilnya. Betapa kecilnya kita, betapa kecilnya. Sepanjang hidup kita, kita bertingkah, membayangkan semua hidup kita, berpikir dan lurus memberikan arah tujuan bagi kesesatan hidup kita yang malang. Bagaimana aku bisa seperti ini anakku? Anakku, bagaimana jadinya kamu nanti??” 57 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Bagian Ketiga 1 Berjarak lima belas pal dari Laboewangi, tigabelas pal dari Ngajiwa terletak pabrik gula Pacaram milik keluarga de Luce –setengah Indo dan setengah Solo – mereka dahulu jutawan, tapi kini tak begitu kaya lagi akibat krisis gula yang terakhir meskipun masih juga menghidupi sejumlah besar anggota keluarga. Di dalam kerabat yang selalu berkumpul ini –seorang ibu dan nenek tua, putri Solo; sang putra sulung, administratur; tiga anak perempuan yang sudah kawin dan bersama suami- suami mereka–para pegawai –hidup dalam bayangan pabrik; dan tiga anak lelaki yang lebih muda bekerja dalam pabrik itu; banyak cucu yang senang bermain-main di sekeliling pabrik; cicit-cicit yang tumbuh kembang di sekitar pabrik. Di dalam keluarga besar ini terjaga adat-istiadat Indo kuno –dulunya dianut umum– yang sekarang sudah memudar karena pergaulan Eropa berfrekuensi tinggi. Ibu merangkap nenek itu adalah putri seorang pangeran Solo, menikah dengan seorang petualang dan bohemian muda yang energik, berasal dari keluarga bangsawan Perancis dari Mauritius, Ferdinand de Luce namanya. Setelah bertahun-tahun mengembara dan mencari tempatnya di dunia, pergilah ia naik kapal ke Hindia Belanda sebagai tukang masak. Setelah mengalami beragam perubahan dalam hidupnya mendaratlah dia di Solo. Di kota ini dia menjadi termahsyur karena membuat hidangan tomat dan hidangan cabe isi. Dengan resep-resepnya dapatlah Ferdinand de Luce diterima di kalangan pangeran Solo tadi yang putrinya kemudian dinikahinya. Bahkan dia diterima oleh Susuhunan sepuh itu. Sesudah perkawinannya ini ia menjadi pemilik tanah dan menurut adat Solo ia juga menjadi pengikut Susuhunan, maka setiap hari ia mengirim pada beliau beras dan buah- buahan untuk keluarga Dalem Keraton. Kemudian ia terjun dalam produksi gula, sadar akan mendapat uang jutaan yang tersembunyi dalam nasib baik. De Luce meninggal sebelum krisis sebagai orang kaya dan terhormat. Sang nenek tua yang sama sekali tak nampak lagi seperti putri remaja yang dulu dinikahi Ferdinand de Luce untuk mencapai kemajuannya, selalu dilayani oleh pelayan dan para pegawai di pabrik dengan rasa khidmat dan sikap membungkuk; setiap orang memberinya gelar Raden Ayu Pangeran. Dia tidak mengerti bahasa Belanda sepatah kata pun. Kerut-merut bak buah keriput, dengan mata redup dan mulut penginang yang layu, dengan rasa tenteram dia hidup selama tahun-tahun terakhir ini. Dia senantiasa mengenakan kebaya sutra hitam yang ditutup dengan 58 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

permata-permata pada bagian leher dan lengannya yang menyempit. Dalam pandangan kusamnya terbayang keagungannya semasih di dalam Keraton yang ditinggalkannya karena cinta untuk tukang masak ningrat dari Perancis yang telah menggoyangkan lidah ayahnya dengan resep-resepnya. Dalam pendengarannya yang lemah terdengar deru mesin tak putus-putusnya, seperti baling-baling kapal, selama penggilingan berlangsung berbulan-bulan; di sekitarnya berkerumun anak cucu dan cicit-cicitnya, putra dan putri, yang oleh para pembantu disebut Raden dan Raden Ajeng, semuanya masih dilingkupi oleh cahaya pudar silsilah Solo. Anak perempuan sulungnya telah kawin dengan seorang Belanda totok berambut pirang; anak laki- laki, yang kedua, kawin dengan gadis Armenia; dua anak perempuan lainnya menikah dengan orang-orang Indo, kedua-duanya berkulit sawo matang, anak-anak mereka , sawo matang - sudah kawin dan punya anak-anak pula - bercampur dengan keluarga pirang anak perempuan sulung. Yang terakhir, kebanggaan seluruh kerabat adalah anak bungsu merangkap adik bernama Adrien atau Addy yang mencumbui Doddy van Oudijck dan berkali-kali datang di Labuwangi meskipun penggilingan sedang ramai-ramainya Di dalam keluarga ini masih dipelihara adat-istiadat yang sudah tak berlaku lagi, seperti yang dipatuhi oleh keluarga-keluarga Indo bertahun-tahun yang lalu. Di sini masih nampak banyak sekali babu di pekarangan dan di serambi belakang; yang seorang hanya menggerus bedak, seorang lagi mengurus dupa saja, yang lainnya menumbuk sambal, semuanya dengan mata bermimpi dan jari-jari lentur yang bermain-main. Di sini pun hidangan di meja makan masih tersaji tiada putus- putusnya; barisan panjang para pembantu bergiliran membawakan dengan khidmatnya sayur lain dan lodeh yang lain lagi. Ada juga yang menghidangkan ayam, sementara di belakang para nyonya rumah, berjongkok para babu mengulek sambal dalam cobek, untuk memenuhi beragam selera dan tuntutan dari lidah-lidah manja. Di sini masih lazim bila kerabat itu menonton balapan kuda di Ngajiwa, maka tiap nyonya ke luar dengan diikuti seorang babu, pelan-pelan, luwes, khidmat; seorang babu membawa cepu bedak, seorang lagi membawa tempat gula-gula, kaca mata, kipas, flakon, seperti pawai dari keraton dengan lambang-lambang kenegaraan. Di sini pula masih berlaku keramahan menerima tamu seperti sediakala; deretan kamar tamu terbuka bagi siapa pun yang datang; orang boleh tinggal berapa lama dia mau tanpa akan ditanyai tentang tujuan perjalanan serta tanggal keberangkatannya. Di sini, kesederhanaan batin yang besar, keramahtamahan yang menyeluruh, fitri dan tanpa pemikiran, menguasai dengan kejemuan dan kelesuan, tanpa ide-ide, ucapan hanya sedikit, dan senyum halus menggantikan gagasan dan kata-kata. Kehidupan materi sudah menjemukan; sepanjang hari minuman dingin, kue-kue dan rujak disajikan; tiga orang pembantu wanita secara khusus ditugaskan untuk membuat 59 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

rujak dan kue-kue itu. Di pekarangan sangat banyak binatang; sangkar penuh monyet-monyet, beberapa burung kakaktua, anjing, kucing, bajing jinak, dan seekor kancil, kijang kecil mungil yang dilepaskan saja. Rumah yang dibangun sangat dekat pada pabrik dan pada waktu penggilingan dipenuhi suara deru mesin itu –bunyi baling-baling kapal– luas dan diisi dengan perabot-perabot tua yang kuno, ranjang kayu rendah dengan empat tiang kelambu yang diukir, meja berkaki tebal, kursi goyang dengan sandaran yang sangat bundar. Semua perabot ini tak dapat dibeli lagi dan tanpa rasa kemodernan kecuali lampu listrik di serambi depan, itupun hanya selama penggilingan. Para penghuninya selalu mengenakan pakaian sehari-hari; untuk laki-laki putih atau biru setrip; para wanita mengenakan sarung dan kebaya, suka menghibur diri dengan monyet, kakaktua atau kancil, dengan segala kesederhanaan batin, selalu dengan sikap manis molek, lamban dan bernada panjang dan selalu ketawa kecil. Nafsu mereka yang ada terlelap dalam senyum halus itu. Bila penggilingan selesai dan segala kesibukan reda –bila deretan pedati dihela sapi yang indah dengan kulit sawo matang yang mengkilap, bila pedati telah berkali-kali mengangkut tebu melintasi jalan yang ditaburi ampas dan sudah rusak oleh jejak gerobak-gerobak yang lebar itu; bila bibit untuk tahun depan telah dibeli dan mesin-mesin berhenti– maka sekonyong-konyong orang bernafas lega lagi seusai bekerja terus-menerus. Liburan panjang pun tiba, suatu istirahat berbulan-bulan serta kebutuhan akan pesta dan pesiar makan besar di rumah nyonya besar yang disertai dansa dan tableau-vivant. Seluruh rumah penuh tamu-tamu yang dikenal dan tak dikenal dan lama tinggal di situ. Nenek tua berkeriput, nyonya besar, Raden Ayu, Nyonya de Luce, entah bagaimana orang menyebutnya –ramah-tamah dengan mata redup dan mulut penginangnya terhadap siapa saja –selalu diiringi seorang anak mas, putri kecil miskin; anak pungut untuk dia, untuk putri agung dari Solo itu, membawakan kotak sirih emas. Ia adalah gadis kecil dan ramping berumur delapan tahun; rambut sebelah depan dipotong merumbai-rumbai, keningnya dipulas bedak basah, sudah punya buah dada bulat kecil di bawah kebaya sutra jingga, memakai sarung kecil di sekitar pinggangnya yang sempit. Ia nampaknya seperti boneka, mainan untuk sang Raden Ayu, Nyonya de Luce, janda bangsawan de Luce. Dan untuk kampung- kampung diadakan pesta-pesta rakyat, ungkapan keramahan kuno yang diikuti oleh seluruh Pacaram menurut tradisi dahulu kala yang masih dipatuhi juga meskipun ada krisis dan kemunduran ekonomi. Sesudah penggilingan dan beragam pesta selesai, kini sedikit ada ketenangan di rumah dan timbullah ketenteraman hidup Hindia-Belanda yang bertele-tele. Tapi, untuk pesta kali ini telah datang Nyonya Van Oudijck, Theo dan Doddy, 60 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

dan selama beberapa hari mereka masih menginap di Pacaram. Di sekeliling meja marmer bundar yang tersaji sirop, limun dan wiski-soda bergelas-gelas, duduklah mereka dalam lingkaran besar; mereka tak banyak bicara, namun berayun-ayun dengan sedapnya, sekali-sekali bertukaran sepatah kata. Nyonya de Luce dan Nyonya Van Oudijck berbahasa Melayu, tapi tak banyak omong; kejemuan halus yang berlangsung lama mengendap atas mereka yang berayun-ayun itu. Rasanya aneh melihat tipe-tipe beragam rupa itu: Leonie cantik dengan kulit seputih susu di samping Raden Ayu, janda ningrat yang kerut-merut dan kuning; Theo, seorang Belanda putih dan pirang dengan bibirnya yang penuh serta nafsu birahinya, yang diwarisi dari ibunya yang masih “nonna”; Doddy si mawar mekar dengan selaput mata yang menyala dalam pupil hitamnya; sang putra Achille de Luce yang jadi administratur, besar, kekar, sawo matang, pikirannya hanya tertuju pada mesin- mesin dan bibit; putra kedua Roger, kecil, kurus, sawo matang, penata buku yang pikirannya hanya tertuju pada keuntungan tahun ini, beserta istrinya berbangsa Armenia; putra sulung perempuan, sudah tua, dungu, buruk, sawo matang, beserta suaminya, Belanda totok yang rupanya seperti petani; para putra lainnya lelaki- perempuan dengan warna kulit sawo matang yang bermacam-macam dan tidak mudah dibedakan yang satu dari lainnya; di sekitar mereka ada anak-anak, cucu- cucu, babu-babu, anak-anak pungut kecil dengan kulit keemasan, burung kakatua dan kancil. Dan, di atas semua orang, anak dan hewan ini seolah tertabur suasana keramahan pergaulan, tapi juga pada semua manusia itu ada kebanggaan atas ibu- kepala mereka dari Solo itu, di belakang semua kepala mereka berkilau aura pudar aristrokasi Jawa, yang setidaknya ikut dibanggakan oleh putri menantu Armenia dan putra menantu Belanda yang bergaya petani. Yang paling lincah dari semua ini sebagai akibat kehidupan patrilineal lama yang saling mempengaruhi ialah putra bungsu Andrien de Luce. Addy; dalam dirinya darah putri Solo dan darah petualang Perancis itu telah tercampur secara harmonis, dan sungguhpun campuran ini tak memberinya otak, namun keindahan seorang sinyo muda dengan sifat seorang Moor di dalamnya telah diperolehnya daya perayu orang Selatan, seorang Spanyol. Seolah-olah dalam anak terakhir ini kedua unsur kebangsaan, yang satu begitu asing bagi yang lain, buat pertama kalinya telah berpadu dengan harmonis, buat pertama kalinya kawin dalam padu-memadu secara sempurna. Seolah-olah dalam diri anak terakhir ini sesudah begitu banyak anak-anak lainnya, si petualang dan sang putri telah bertemu dalam keselarasan untuk pertama kalinya. Agaknya Addy tak punya daya khayal atau kecerdasan; ia tak mampu menggabungkan dua pikiran menjadi satu kesatuan pemikiran; dan ia hanya sanggup merasa dengan kebaikan budi samar-samar yang mengendap atas seluruh kerabat, maka selanjutnya ia hanya seperti makhluk indah dengan kelemahan jiwa dan otak, 61 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

tapi kelemahan itu menjadi ketiadaan, ketiadaan besar, kekosongan besar; sedangkan tubuhnya menjadi penjelmaan kebangsaan, penuh kekuatan dan keelokan; dan sungsum serta darahnya, daging serta ototnya merupakan keselarasan daya perayu badani, penuh nafsu birahi yang indah dan semata-mata tanpa kecerdasan, hingga harmoninya itu dengan tegas mempengaruhi wanita-wanita. Anak-muda ini dengan ketampilannya seperti dewa Eropa Selatan yang elok membuat semua wanita memandang kepadanya serta menganggapnya dalam kedalaman daya khayal mereka, untuk kemudian menimbulkannya kembali dalam khayalan. Bila anak muda ini datang menonton suatu perlombaan, maka semua gadis jatuh cinta padanya. Asmara dipetiknya di mana saja ia menjumpainya, berlimpahan dalam kampung-kampung di Pacaram. Semua yang berwujud wanita jatuh hati padanya, mulai dari ibunya sampai saudara-saudara sepupunya yang kecil. Doddy van Oudijck sangat kasmaran padanya. Sejak berumur tujuh tahun ia sudah ratusan kali jatuh hati kepada siapa saja yang lewat di depan selaput matanya yang menyala namun tak pernah seperti kepada Addy ini. Cintanya bersinaran kuat dari batinnya bagai nyala api, sampai tiap orang melihatnya dan tersenyum-senyum. Pesta giling tebu telah menjadi suatu kenikmatan baginya, bila ia berdansa dengannya, dan menjadi suatu siksaan bila Addy berdansa dengan wanita lain. Addy tak melamarnya, tapi Doddy ingin memintanya kawin; dan ingin mati jika tak diterima. Ia tahu bahwa ayahnya, residen itu, tak menghendaki hal ini. Van Oudijck tak menyukai kerabat de Luce, kelompok Solo-Perancis itu, demikian ucapannya. Tapi asal Addy mau, ayahnya akan mengizinkan, sebab kalau tidak, maka Doddy akan mati. Bagi dara yang mabuk asmara ini, si pemuda-asmara itu adalah hidup dan dunia semesta. Addy berpacaran dengannya, diam-diam mencium mulutnya, tapi itu tak lebih dari apa yang dibuatnya dengan gadis-gadis lain tanpa pikir panjang; gadis-gadis lain itu diciumnya juga. Dan bila memungkinkan ia mau lebih jauh, mengikuti birahinya, bagaikan dewa muda, dewa tanpa pikiran. Namun, putri residen itu masih dihormatinya sedikit. Ia tak punya keberanian atau kekurangajaran; ia memilih tanpa banyak nafsu, dianggapnya perempuan sebagai perempuan melulu, dan ia pun sudah begitu kenyang dengan kemenangan hingga rintangan tiada lagi menggelitiknya. Tamannya penuh kembang yang semuanya menengadah padanya. Diulurkan tangannya hampir tanpa melihat-lihat; ia tinggal memetik saja. Ketika mereka duduk berayun-ayun di sekeliling meja, mereka melihatnya muncul lewat taman, dan semua mata wanita memandangnya bagaikan memandang seorang perayu muda yang datang dalam cahaya matahari seperti lingkaran cahaya dalam sekelilingnya. Raden Ayu, janda ningrat itu, dengan senyumnya memandang putra bungsunya, jatuh hati pada anaknya, buah hatinya; di belakangnya berjongkok 62 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

di tanah, si anak pungut kecil mengintai dengan mata membelalak; para saudara perempuan memandang pula, begitu juga para saudara sepupu wanita; dan Doddy menjadi pucat, dan warna putih susu Leonie van Oudijck mewarnai diri dengan pantulan cahaya jingga yang menghilang dalam sinar senyumnya. Tak sengaja ia menatap Theo; tatapan mereka bertemu, maka dua jiwa asmara semata ini, asmara dari mata, dari bibir, dari daging membara ini saling memahami; dan kecemburuan Theo begitu panasnya memancar kepada Leoni, hingga padam pancaran cahaya jingga tadi, maka Leoni menjadi pucat dan takut; ketakutan yang sekonyong-konyong dan tak ternalar yang menggetarkan ketidakacuhan yang dibiasakannya; sedangkan sang perayu dalam lingkaran sinar mataharinya datang mendekat dan lebih dekat lagi.... 2 Nyonya van Oudijck telah berjanji masih untuk beberapa hari menginap di Pacaram. Sebenarnya dia tidak mau melakukan hal itu di rumah yang memiliki elemen Indis kuno. Akan tetapi ketika muncul Addy, dia mulai berubah pendapat. Dalam rahasia terdalam dari ibadah dirinya ada sifat berahi perempuan ini seperti dalam candi egoismenya Kreol2 putih susu ini mempersembahkan semua keintiman khayalan merah jambunya, kerinduan yang tak terpadamkan dan yang di dalam ibadahnya dia muncul menjadi sebuah seni, sebuah pengetahuan, sebuah ilmu pengetahuan: yang dengan sekali pandangan, dia menetapkan ketertarikannya kepada seorang laki-laki yang mendekatinya; kepada seorang laki-laki yang lewat di depannya. Dalam satu waktu ketertarikannya ditetapkan pada postur badan laki-laki, pada suaranya, dalam lelaki lain pada garis leher di atas bahunya, dan dalam lelaki ketiga ketertarikannya tertuju pada tangan laki-laki yang berada di atas lutut. Tapi apa pun yang dia lihat, dengan sekali tatapan dia langsung menilainya. Dia tahu segera dalam satu detik, dia dapat menilai orang yang lewat dalam saat yang tak terbagi. Dia tahu dengan pasti siapa yang ditolak –dan itu kebanyakan– dan siapa yang dinilai pantas, dan itu ada banyak. Dan siapa yang dia tolak dalam penilaian sesaat dari pengadilannya yang tertinggi, dengan sekali pandangan mata, dalam satu detik, tidak perlu berharap: dia, sang pendeta wanita, tidak akan membiarkannya ke dalam candinya. Untuk yang lainnya candi terbuka bagi mereka tetapi hanya di belakang tirai kekorekannya. Seberapa pun brutalnya, dia selalu korek, cinta selalu menjadi kerahasiaan; untuk dunia dia tidak lain dari istri residen yang tersenyum, hampir tanpa dosa, dan setiap orang dia menangkan dengan senyumnya. Jika orang tidak melihatnya, mereka berbicara kasar tentangdirinya. Jika mereka melihatnya, dia segera memenangkan hati mereka. Mereka semua, dengan siapa Leoni berbagi kerahasiaan asmaranya, seperti “masuni”, serupa sebuah misteri dari peribadatan: mereka hampir tidak berbisik sepatah kata pun satu sama lain mengenai kenangan 63 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

mereka. Dengan tersenyum, putih susu, dan tenang Leoni dapat duduk di dalam lingkaran besar orang pada meja marmer setidaknya dengan dua atau tiga pria yang mengetahui rahasianya. Hal itu tak mengganggu ketenangannya dan tak merusak senyumnya. Dia tersenyum terus hingga bosan. Pandangannya dari satu ke yang lain hampir tidak meluncur, dia masih memberikan penilaian sesaat dengan pengetahuan menilai yang tak pernah salah. Hampir tak ada awan padanya mengenai kenangan pada jam-jam yang berlalu, dia hampir tidak memikirkan sebuah janji untuk hari esoknya. Suatu kerahasiaan yang hanya hidup dalam misteri dari kebersamaan dan tidak pernah dibicarakan untuk dunia profan. Jika di dalam lingkaran ada kaki laki-laki yang mencari-cari kakinya, Leoni akan menarik kaki sendiri merapat ke tubuhnya. Dia tidak pernah bermain mata bahkan dia cenderung membosankan, kaku, korek, dan tersenyum. Dalam perkumpulan “masuni” –di antara mereka yang diterima dan dirinya– dia memberi ketelanjangan misteri, tetapi tak menunjukkannya untuk dunia, untuk lingkaran meja marmer, bahkan tak sedikit pun dia bermain mata, tak bersalaman, bahkan ujung roknya tak sedikit pun menyentuh ujung celana panjang mereka. Dia telah merasakan hari-hari membosankan di Pacaram di mana dia telah menerima undangan jamuan makan karena selama ini dia salalu menolaknya. Sekarang, ketika dia melihat Addy mendekat, kebosanan itu tiada lagi. Tentu saja dia telah mengenalnya bertahun-tahun silam dan melihatnya tumbuh dari anak-anak hingga remaja, hingga laki-laki dewasa. Dia bahkan pernah menciumnya ketika Addy remaja. Sudah lama Leoni menilainya, si perayu. Sekarang, sementara dia datang dalam aura sinar mentari, dia menilainya sekali lagi: kebinatangan ramping dan ketampanannya, dan bara kedua mata-perayu miliknya dalam coklat samar muka Moor, dengan bibir penuh dan rambut halus di atasnya; kekuatan macan dan keluwesan sosok Don Juan. Semua itu membakarnya sehingga Leoni mengedipkan matanya. Ketika dia memberi salam dan duduk kata-kata menggembirakan beredar dalam lingkaran yang penuh pembicaraan lamban dan pikiran-pikiran yang meninabobokan, seolah-olah dia sebarkan setangkup sinar mentarinya yang terbuat dari serbuk emas rayuannya untuk semua orang, semua wanita: ibu, saudara perempuan, keponakan dan sepupu, Doddy, dan Leoni. Leoni memandangnya sebagaimana semua memandang Addy dan pandangan Leoni meluncur ke tangannya. Dia dapat menciumi tangan itu, dia jatuh cinta seketika pada bentuk jari- jarinya, pada kekuatan macan dalam telapak tangannya yang coklat. Dia jatuh cinta seketika pada seluruh sifat kebinatangan yang liar ketika sebuah aroma kelelakian menyeruak dari seluruh pemuda ini. Dia merasakan gelegak darahnya, hampir tidak terkendalikan walaupun seni besar yang korek dan berkepala dingin diterapkannya 64 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

dalam lingkaran meja marmer. Dia kini tak merasa bosan lagi. Dia telah mempunyai tujuan untuk hari berikutnya. Hanya...karena gelegak darahnya maka Theo dapat melihat rona merah dan getaran pada pelupuk matanya. Begitu jatuh cintanya dia pada Leoni maka matanya mampu menembus jiwanya. Dan ketika mereka berdiri untuk makan, di serambi belakang tempat baru babu berjongkok di depan cobek mengulek macam-macam bahan sambal cabe, Theo menghardiknya dengan kata, “Awas!” Leoni tercengang; dia merasa bahwa Theo mengancamnya. Hal ini belum pernah terjadi. Semua laki laki yang pernah berbagi misteri dengannya selalu takut padanya. Dia begitu terkejut sehingga tersinggung karena sesuatu yang menyentuh tirai candinya –di ruang yang penuh orang ̶ mendidihkan ketidakpeduliannya yang tenang, dan hingga membangunkan perlawanan dalam kekaleman dirinya yang selalu cerah. Leoni melihatnya: pirang, kekar, besar, suaminya di masa muda. Keindoannya hanya tampak pada berahi dalam mulutnya. Leoni tidak ingin kehilangannya; dia ingin memiliki tipe seperti dia disamping tipe perayu dari Moor. Dia menginginkan keduanya; ingin dicicipinya perbedaan pesona kelelakian dari keduanya: Belanda-Indo yang pirang dan putih dan kebinatang-buasan Addy. Jiwanya bergetar, darahnya bergolak sementara pawai jamuan makan yang khidmat berkeliling. Dia begitu bangkit seakan dia tak pernah merasakan hal itu. Dia bangun dari ketidakpeduliannya seperti sebuah kelahiran kembali, seperti emosi yang tak dikenalnya. Dia heran, berusia 30 tahun, tetapi untuk pertama kalinya baru merasakannya. Sebuah keburukan rasa gembira memenuhi dirinya serupa dengan bunga-bunga merah yang memabukkan. Dia memandangi Doddy yang duduk dekat Addy; dia hampir tak dapat makan, anak malang, bara cinta.... Oh Perayu yang harus muncul. Dan Leoni dalam demam kejahatan, merayakan diri menjadi pesaing atas anak tirinya yang jauh lebih muda. Dia akan sanggup kalah darinya, bahkan dia akan memperingatkan Van Oudijck. Akankah mereka sampai menikah? Apa pedulinya: apakah pernikahan menyakitkan Leoni? Oh Perayu! Tak pernah dia, sang pendeta wanita, memimpikannya dalam khayalan merah jambunya di saat-saat istirahat siang. Itu bukanlah daya tarik dari kerubin; itu adalah udara kuat dari pesona harimau; kilauan emas dari dua mata, kelenturan otot dari cakarnya. Dan Leoni tersenyum pada Theo, dengan satu tatapan memberi diri: sesuatu yang sangat jarang terjadi dalam lingkaran orang-orang yang menikmati jamuan makan. Dia tak pernah berbuat serupa itu di depan publik. Sekarang dia membiarkan dirinya berbuat demikian; senang dia karena rasa cemburu Theo. Leoni memang juga tergila-gila padanya. Dia merasa senang bahwa Theo terlihat pucat dan marah oleh iri hatinya. Dan di sekelilingnya siang yang terik 65 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

itu bagaikan sebuah api dan sambal telah merangsang langit-langit kering-nya. Keringat menetes-netes di pelipisnya, menetesi dadanya, di bawah renda-renda kebaya. Leoni ingin memeluk keduanya, Theo dan Addy dalam pelukannya, dalam campuran selera yang berbeda dan merapatkan keduanya pada tubuh seorang wanita pecinta. 3 Malam seperti bulu-bulu beludru yang enggan jatuh dari langit. Bulan seperempat membentuk potongan sabit serupa bulan paruh Turki, di mana bagian yang tak diterangi oleh cakram menguraikan diri secara naif terhadap malam. Dan jajaran panjang cemara-cemara membentang di depan rumah mewah di pedesaan, batang- batang lurus, daun-daun serupa kain yang lepas terserabut dan beludru yang lepas terurai, serupa kapas yang menempel pada awan yang sedang mengapung, meramalkan satu bulan sebelumnya hujan tropis yang mendatang. Kadang-kadang burung merpati berkukur dan tokek berbunyi. Pertama dengan dua kali bunyi yang parau seakan dia bersiap-siap diri, kemudian dengan empat lima kali teriakan ulangan: tokke, tokke..., pertama kuat kemudian menyusut dan melemah.... Penjaga gardu di rumah depan jalan besar di mana pasar yang sudah selesai meletakkan gubuk-gubuk kosongnyanya, sebelas kali menabuh-nabuh tong-tong dan ketika masih ada kereta yang telat lewat, dia berteriak dengan suara parau, “Siapa itu?!” Malam seperti bulu-bulu beludru yang jatuh perlahan dari langit, seperti penuh sesak oleh kerahasiaan, seperti sebuah kesesakan yang mengancam masa depan. Tapi, di dalam kerahasiaan di bawah kapas gelap yang terburai, daun-daun halus cemara yang lepas terurai seperti suatu godaan hingga cinta yang tak terelakkan dalam malam yang tak berangin, seperti sebuah bisikan agar tak melewatkan jam-jam itu. Bagai sebuah hantu tokek mengganggu, tokek sedang bertingkah kurang lucu, dan dengan teriakan “siapa dia” penjaga gardu telah menakutkan, tapi burung merpati berkukur lembut dan seluruh malam serupa bulu-bulu beludru, serupa sebuah bilik besar menabiri kain-kain cemara, sementara itu panas pengap dari mendung di kejauhan–yang selama satu bulan kaki langit– memusingkan dengan sihir yang menekan. Kerahasiaan dan keterpesonaan mengalir dalam malam, merembes masuk ke dalam bilik remang-remang, mencampurkan semua pikiran dan jiwa dan membuat semua indera aktif bermimpi. Tokek terdiam, penjaga malam mengantuk: serabut malam menguasai seperti seorang penyihir wanita, dimahkotai oleh sabit bulan. Mereka bergegas, dua sosok anak muda dengan lengan bertautan, mulut mereka saling mencari dalam paksaan 66 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

keterpesonaan. Mereka bernaung di bawah beludru cemara yang terburai. Dan lembut dalam baju putih mereka, serasi, seperti sejoli cinta yang abadi dan di mana- mana selalu berulang. Dan terutama di sini, ada sejoli cinta yang tak dapat dihindarkan menyatu dengan malam yang tersihir, dibangkitkan oleh sang penyihir yang berkuasa. Di sini fatal berkembang bagai bunga ganda takdir cinta dalam misteri udara yang memaksa. Dan Perayu muncul menjadi anak laki-laki malam, putra raja malam yang tak terelakkan, yang membawa serta gadis yang lemah. Dalam telinganya, tampaknya malam bernyanyi dengan suaranya dan jiwa kecilnya mencair penuh kelemahan, dalam kekuatan magis. Dia berjalan sambil merasakan kehangatan tubuh sang laki menembus kemurnian kerinduan, dan tatapan matanya terarah pada sang laki dengan kerinduan pada kilauan iris matanya, pada berlian dalam biji matanya. Addy mabuk oleh kekuatan malam, dengan penyihir yang menjadi ibunya, tanpa pikir panjang dia awalnya berpikir untuk membawanya semakin jauh , tanpa pikir panjang, tanpa rasa hormat untuknya, tanpa takut siapa pun –berpikir untuk membawanya lebih jauh melewati penjaga malam yang mengantuk, melintasi jalan besar menuju kampung, di sana terdapat tempat di antara hutan pohon kelapa, seperti balkon cinta mereka– membawanya ke suatu tempat berlindung yang dia kenal, sebuah rumah bambu dengan orang yang akan membukakan pintu untuknya. Doddy tiba-tiba terdiam dan kaget. Tangannya mengapit dan menekan erat Addy dan menyakinkannya bahwa dia takut.... “Mengapa?” tanyanya lembut dengan suara halusnya, yang begitu dalam seperti malam. Mengapa tidak, mengapa tak jadi akhirnya, tidak akan ada bahaya...Tapi si gadis bergetar, menggigil dan memohon: “Addy, Addy, tidak Addy…saya tak berani lebih jauh. Saya takut ...bahwa penjaga gardu melihat kita dan...di sana berjalan...haji putih mengenakan tulban putih.” Addy melihat ke arah jalan: seberang kampung di bawah langit-langit pohon kelapa dengan bambu yang . akan dibuka orang.. “Seorang haji...? Mana Doddy? Saya tak lihat seorang pun....” “Dia di jalan, dia menatap ke arah kita, dia melihat kita. Saya lihat matanya berkilat dan haji pergi ke belakang pepohonan ke kampung.” “Cintaku, aku tak melihatnya.” “Aku melihatnya... aku tak berani, Addy. Ayolah kita kembali, pulang!” Bayangan wajah Moor-nya yang indah meredup: dia membayangkan rumah kayu yang dibuka oleh perempuan tua yang dia kenal, yang memujanya seperti setiap 67 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

wanita memujanya dari ibu hingga sepupu-sepupunya. Masih sekali lagi dia berusaha mengajaknya, tapi Doddy tidak mau, dia masih berdiri, dia merapatkan kedua kakinya. Ketika mereka berbalik kembali, awan yang lebih panas terbentang pada horizon, dan kapas-kapas malam lebih tebal serupa salju hangat; lebih penuh, lebih gelap adalah helai-helai cemara. Rumah mewah di pedesaan diterangi keremangan, tanpa cahaya, jatuh terlelap. Dan Addy memohon pada si gadis, dia meminta sumpah bahwa Doddy tidak akan meninggalkannya, bahwa dia, malam itu akan mati tanpanya… Dia mengiyakannya, tangannya merangkul leher sang perjaka…ketika dia kembali terkejut dan berteriak, “Addy...Addy…lihat...kembali ada figur putih….” “Kamu melihat haji di mana-mana!” oloknya. “Di sana...lihatlah..!” Addy melihatnya, dia melihat secara benar dalam kegelapan serambi depan sebuah sosok putih mendekat. Tapi...itu adalah sosok seorang perempuan. “Mama!” Doddy terkejut. Betul itu Leoni yang datang pelan-pelan ke arah mereka. “Doddy,” katanya lembut “Saya mencarimu di mana-mana. Saya tadi begitu takut, tidak tahu kamu ada di mana. Mengapa kamu jalan-jalan begitu larut? Addy….” masih bersuara lembut keibuan yang penuh cinta terhadap dua anak. “Bagaimana dapat kamu melakukannya, mengajak Doddy berjalan-jalan hingga larut. Jangan melakukannya lagi, ya. Saya tahu tidak apa-apa, tapi jika orang melihatnya. Kamu harus berjanji padaku bahwa ini tak akan terjadi lagi!” Dia memohonnya dengan manis, menyesalkannya secara simpatik, seolah dia mengerti mereka, dan Leoni tahu bahwa mereka terbakar asmara dalam malam magis yang lembut, dalam kata-katanya langsung memaafkan mereka. Leoni terlihat seperti seorang malaikat, dengan wajahnya yang putih dan bulat, dengan rambut pirangnya yang terurai lepas; dia mengenakan kimoni putih yang diploi. Dia menarik Doddy dan mencium anak itu; Doddy mengusap air mata. Dan kemudian dengan tenang Leoni mendorong Doddy pergi ke kamar tidurnya di sebelah, yang terselip diantara begitu banyak kamar-kamar yang penuh dengan anak-anak gadis dan cucu perempuan Nyonya Sepuh de Luce. Sementara Doddy pergi, masih sedikit menangis, ke dalam kesunyian kamarnya, Leoni masih berbicara pada Addy. Dengan lembut dia menyesalkan dan memperingatkan dengan manis seperti seorang saudara perempuan, sementara dia, sang wajah Moor tampan, berdiri malu di depan Leoni. Mereka di dalam keremangan serambi depan yang gelap dan di luar malam mendupai asap 68 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

kemewahan, cinta dan misteri lembut yang tak bisa dicegah. Leoni menyesalkan dan memperingatkan, dan mengatakan bahwa Doddy masih seorang kanak-kanak dan janganlah menyalahgunakan dia. Addy menaikkan bahunya, dia mempertahankan diri dengan belagu. Seperti emas serbuk kata-katanya menjatuhi Leoni, sementara matanya berkilauan seperti seekor macan. Leoni menyakinkan Addy agar dari sekarang dan selamanya tidak memanfaatkan kemalangan Doddy, Leoni memegang tanganya, tangan yang disukainya, jari jemarinya, dan telapak yang pagi tadi di dalam kebingungan Leoni, dapat diciumi. Leoni menekan tangan itu, dan hampir menangis dia memohon ampun bagi Doddy... Addy seketika menandai, dia melihat kilat-kilat tatapan binatang liar dan dia menemukan keindahan putih susu dari perempuan ini, dan dia tahu Leoni adalah seorang pendeta perempuan yang penuh kenalan rahasia. Addy juga berbicara tentang Doddy, Leoni mendekat semakin rapat, Addy merasakan Leoni yang kedua tangannya menekan pada kedua tangan Addy. Mereka berdua cepat saling mengerti. Dengan masih menangis dan memohon, dia terus membimbing Addy dan membuka pintu kamarnya. Addy melihat seberkas penerangan dan pembantu wanita Leoni, mbok Oerip, yang keluar lewat pintu, berbaring tidur di depan pintu itu, seperti binatang kepercayaan, pada sebuah tikar. Ketika Leoni tersenyum padanya, dan dia, sang perayu, kagum pada semangat dari senyum perayu perempuan yang pirang dan putih ini, yang menanggalkan kimononya dan berdiri telanjang di depannya dengan lengan membuka terentang. Mbok Oerip, di luar, mendengarkan sesaat. Dengan tersenyum, dia ingin berbaring tidur, memimpikan sarung indah yang besok akan diberikan Kanjeng padanya, ketika tiba-tiba dia kaget dan melihat ada yang berjalan di kebun dan menghilang dalam kepekatan malam: seorang haji bertulban putih… 4 Hari itu Bupati Ngajiwa, saudara muda Soenario, akan datang mengunjungi Pacaram karena Nyonya Van Oudijck akan berangkat keesokan harinya. Orang- orang menunggunya di serambi depan, duduk santai berayun di sekeliling meja marmer ketika keretanya memasuki jalan-jalan bercemara. Mereka semua berdiri. Dan terutama sekarang tampak bagaimana status Raden Ayu, janda bangsawan yang sangat dihormati, seberapa dekat kekerabatannya dengan Susuhunan, karena begitu Bupati Ngajiwa keluar dan tanpa melangkah lebih dia berlutut di tangga yang pertama, menghaturkan sembah, sementara di belakangnya para pengikutnya yang memegang payung keemasan tertutup serupa matahari yang berkilauan, mengecilkan badannya dan membungkuk dalam sebuah kebinasaan. Wanita tua, seorang putri Solo, yang melihat keraton Dalem bersinar di depan matanya, mendekati Ngajiwa dan mengucap salam selamat datang dalam tata krama istana Jawa, bahasa di antara sesama anggota kerajaan –hingga bupati bangkit dan di belakangnya mendekati 69 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

lingkungan keluarga itu. Dan cara bagaimana bupati memberi salam pada Nyonya Residen, walaupun sopan, hampir-hampir merendahkan dibandingkan dengan tindakan menjilat yang tadi. Bupati duduk diantara Nyonya de Luce dan Leoni Van Oudijck. Dan pembicaraan lamban dimulai. Ngajiwa berbeda tipe dengan kakaknya, Soenario; dia lebih besar, bukan seperti wayang hidup. Walaupun lebih muda dari Soenario dia tampak lebih tua. Raut wajahnya tegang oleh karena hawa nafsu. Matanya terbakar hawa nafsu: nafsu akan wanita, nafsu akan anggur, nafsu untuk opium, dan terutama nafsu berjudi. Dan sebuah pemikiran diam tampak berkilat dalam pembicaraan yang berlangsung lamban, tanpa ide dan begitu sedikit kata-kata, setiap kali diakseni oleh kesopanan: saya, saya, benar-benar menyembunyikan semua keinginan rahasia. Mereka berbicara Melayu karena Nyonya Van Oudijck tak berani berbicara bahasa Jawa: bahasa yang halus dan sulit, penuh dengan puluhan etiket yang mana hampir tidak ada seorang Belanda yang berani menggunakannya terhadap orang Jawa berpangkat. Mereka berbicara sedikit, lembut mendayu-dayu, memperlihatkan senyum tipis kesopanan bahwa setiap orang telah ikut terlibat pembicaraan walaupun hanya Nyonya de Luce dan dan bupati yang kadang-kadang bertukar sepatah dua patah kata. Ketika akhirnya, keluarga de Luce, ibu sepuh, Roger sang anak, menantu-menantu pribumi, tidak dapat menahan diri lagi bahkan tidak di depan Nyonya Van Oudijck dan tersenyum malu, sementara minum dan makanan diedarkan. Hingga mereka, walaupun dengan kesopanan, berembug cepat dalam bahasa Jawa di sekitar Leoni; dan ibu sepuh yang tidak dapat menahan diri bertanya pada Leoni apakah dia tidak keberatan bila mereka bermain judi sebentar. Dan mereka semua hanya melihatnya, Nyonya Residen, nyonya dari laki-laki yang berkuasa yang mereka tahu membenci perjudian; moral mereka mencelakai keagungan keluarga Jawa yang ingin Oudijck junjung tinggi, walaupun begitulah mereka. Tetapi, dia yang tidak peduli, tak sedikit pun berpikir menahan mereka dengan satu kata kelakar taktis yang diinginkan suaminya: Leoni, budak nafsu diri sendiri, membiarkan mereka menjadi budak nafsu mereka sendiri, dalam nafsu kenikmatan perbudakan mereka. Leoni hanya tersenyum, menerima dengan senang hati. Dalam keremangan ruang tengah yang luas para penjudi kembali mundur; para wanita sekarang menghitung uang mereka di dalam sapu tangan, bertukar dengan para laki-laki duduk berdekatan. Mata mereka pada kartu, mata mereka saling mengintai; mereka bermain dan bermain terus, menang, kalah, membayar atau mengantongi uang, sapu tangan beruang dibuka dan kembali ditutup tanpa kata, hanya kartu-kartu persegi yang beterbangan dalam keremangan ruang dalam. Mereka bermain dua satu atau stoteren? Leoni tak tahu, dia tak peduli dan jauh dari 70 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

nalurinya. Dia senang bahwa Addy masih di dekatnya dan Theo melihatnya cemburu. Tahukah dia, apakah dia menduga sesuatu, akankah Oerip selalu berdiam diri? Dia menikmati emosinya dan menginginkan keduanya, si coklat dan si putih, dan mendapatkan kesenangan yang aneh dan akut melihat Doddy duduk merana, berayun, di seberang Addy. Adakah sesuatu yang lain di dalam hidup, kecuali membiarkan dorongan nafsu akan kerinduan kemewahan. Dia tanpa ambisi, tiada peduli pada posisinya yang tinggi. Leoni, wanita utama di residensi, yang menyerahkan kewajibannya pada Eva Eldersma. Leoni yang tidak disakitkan dengan ratusan orang dalam resepsi di Labuwangi, Ngajiwa dan tempat lainnya, yang disalaminya dengan basa-basi, yang mengapung pada tanda penghormatan keistanaan. Leoni yang dengan cara diam, dalam mimpi merah jambu tak wajar, dengan novel Mendes di tangannya, tertawa tentang basa-basi berlebihan di pedesaan di mana istri residen bisa jadi seperti ratu. Dia tak punya ambisi selain memiliki lelaki yang dia pilih pantas; bukan kehidupan jiwa lain selain pemujaan pada tubuhnya seperti seorang Afrodite, seorang pendeta wanita bagi dirinya sendiri. Apa pedulinya bila mereka berjudi atau bupati Ngajiwa menghancurkan diri sendiri? Sebaliknya dia berpendapat penting melihat kehancuran wajah Ngajiwa yang berangsur dan dia akan mengurus perawatan diri sendiri lebih banyak dari biasanya, wajah dan badannya dipijat oleh mbok Oerip, dibiarkannya dia mempersiapkan bedak cair putih, krim keajaiban, salep sihir, yang Oerip tahu memiliki kerahasian menjaga kekenyalan dagingnya yang tanpa keriput dan putih seperti buah manggis. Dia berpendapat menarik untuk melihat Bupati Ngajiwa membakar diri sendiri serupa sebuah lilin, bodoh, brutal pada perempuan, anggur, opium, kartu; mungkin yang terutama adalah nanar pada kartu, perjudian, menghitung kesempatan yang tak dapat dihitung, menghitung takhayul menurut pengetahuan petangan: hari dan jam bermain judi agar menang, jumlah peserta judi dan banyaknya taruhan. Sekali-kali diam-diam Leoni melihat wajah-wajah penjudi dalam ruang tengah yang digelapkan oleh keremangan dan nafsu kemenangan. Dia berpikir apa yang akan dikatakan suaminya, seberapa marahnya dia jika Leoni menceritakan apa yang terjadi di sini. Apa peduli Van Oudijck jika keluarga Bupati menghancurkan diri. Apa peduli Leoni pada politiknya, politik seluruh Belanda, yang dengan senang hati menghargai keluarga ningrat Jawa, yang dengan mereka penduduk telah dikuasai? Apa pedulinya pada Van Oudijck yang memikirkan pangeran sepuh yang mulia dan merasakan kemurungan akan kejatuhan yang tampak pada anak-anaknya. Dia tidak peduli pada apa pun, kecuali pada diri sendiri, Addy dan Theo. Dia akan sampaikan, siang ini, pada anak tirinya, si rambut pirang miliknya, agar tidak begitu cemburu. Tampaknya, Leoni yakin bahwa Doddy telah melihatnya. Apakah 71 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

kemarin dia tidak menyelamatkan anak malang itu. Tapi, berapa lama kerinduan berat itu akan berlangsung? Apakah dia tidak lebih baik memperingatkan Van Oudijck, sebagai seorang ibu tiri yang baik dan berhati-hati...? Pemikirannya perlahan tersesat, pagi pengap dalam hari-hari terakhir musim kemarau saat kelembaban menetes di atas lengan dan paha. Tubuhnya bergidik. Dibiarkannya Doddy bersama Addy, dia akan mengajak Theo dan menegurnya bahwa dia begitu terlihat cemburu oleh kemarahan yang tak dipendamnya lagi. Leoni berpura-pura agak marah dan bertanya apa keinginannya. Dia pergi ke samping rumah di serambi samping yang panjang; di sana ada monyet-monyet dalam kandang dengan kulit pisang yang berserakan disekitarnya; buah-buahan yang telah dimakan binatang itu berasal dari anak-anak kecil yang memberinya makan. Sudah beberapa kali gong makan telah dibunyikan, dan di ruang belakang para pembantu membungkuk menghaluskan sambal. Tapi tampaknya orang-orang di meja judi tidak mendengarnya. Hanya suara bisik-bisik semakin lama semakin keras, lebih kasar, dan baik Leoni maupun Theo, Doddy maupun Addy mendengarkannya. Tampaknya tiba-tiba ada pertengkaran antara Roger dan bupati, walaupun nyonya de Luce mendiamkan mereka dengan sst... ssst. Mereka berbicara bahasa Jawa tanpa sopan santun. Mereka memaki seperti kuli, saling menuduh yang lain curang. Setiap kali terdengar suara menenangkan dari Nyonya de Luce sepuh, dibantu oleh anak-anak perempuannya dan juga menantu perempuan. Tapi kursi dipindahkan dengan kasar, sebuah gelas pecah, Roger tampak melemparkan kartu- kartunya. Semua perempuan di sana menenangkan dengan suara tinggi, dengan suara-suara samar dan sedikit teriak, dengan jerit kecil memohon-mohon dan mendongkol. Pada semua sudut rumah banyak sekali pembantu mendengarkan. Ketika pertengkaran turun, perdebatan panjang masih berlangsung antara bupati dan Roger; para wanita berdesis: sst... ssst! Mereka malu pada istri residen, dan mengawasi ke tempat dia berada. Akhirnya keadaan menjadi tenang dan mereka duduk dengan diam dan berharap pertengkaran tidak terlalu keras dan terdengar. Ketika akhirnya –terlambat hampir jam tiga sore–Nyonya Sepuh de Luce, dengan gairah judi yang masih berkilat dalam matanya yang buram, tapi tampak mengembalikan prestise keratuannya, datang ke beranda depan, dan seolah-olah tidak terjadi sesuatu pun dia mengundang Nyonya Oudijck untuk makan. 5 Ya, Theo tahu. Setelah makan, ia berbicara dengan mbok Oerip dan walaupun sang pembantu awalnya ingin menyangkal, takut kehilangan sarung yang dijanjikan kepadanya, ia tak dapat tetap berbohong, dengan lemah tetapi meyakinkan berkata 72 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

tidak, tidak…. Dan masih awal di siang yang sama, Theo mencari Addy, marah karena cemburu. Tetapi, Theo ditenangkan oleh ketenangan tak peduli dari pemuda tampan, dengan wajah Moors-nya itu, yang sudah begitu muak akan kemenangannya, dia sendiri tak pernah merasakan kecemburuan. Theo ditenangkan oleh ketiadaan total sebuah pikiran dalam diri sang Penggoda, yang sepintas lupa, setelah jam cinta, begitu gampang lupa, sehingga Addy dengan mata terkejut yang naif telah memandangnya, ketika Theo, merah, mendidih karena marah, memasuki kamarnya, dan berdiri di depan ranjangnya, - dimana Addy terbaring telanjang bulat, sebagaimana kebiasaannya jika tidur siang, gagah, muda bak perunggu, sublim bak sebuah patung antik- menyatakan, bahwa ia akan menghajar wajahnya... Dan dengan begitu naif, Addy terkejut, begitu harmonis ketidakpeduliannya, begitu total tampaknya ia melupakan jam cinta malam sebelumnya, begitu tenang ia menertawakan ide itu, yaitu berkelahi untuk seorang perempuan, sehingga Theo ditenangkan, dan kemudian duduk di pinggir ranjang. Dan Addy –beberapa tahun lebih muda, tetapi dengan pengalaman yang tak tertandingi– mengatakan kepadanya, bahwa ia toh tak seharusnya begitu marah karena seorang perempuan: seorang kekasih gelap, yang memberikan dirinya kepada yang lain. Dan hampir secara kebapakan, simpati, Addy menepuk bahunya, dan karena mereka toh sekarang telah saling mengetahui, dengan penuh kepercayaan mereka saling berbicara dan memancing informasi. Hal-hal lain saling mereka percayakan, mengenai para perempuan, mengenai para gadis. Theo bertanya apakah Addy akan menikahi Doddy. Tetapi Addy berkata, bahwa ia tak memikirkan pernikahan, dan bahwa residen mungkin juga tak menginginkannya, karena ia tak mencintai keluarganya dan merasa bahwa mereka terlalu Indis. Dengan beberapa kata Addy juga mengakui kebanggaannya akan asalnya yang dari Solo itu, kebanggaannya pada martabat yang berkilau pucat di belakang kepala para de Luce. Dan Addy bertanya kepada Theo, apakah ia memang tahu, bahwa ia di kampung mempunyai seorang saudara laki-laki. Theo tak mengetahui apa pun. Tetapi Addy menjamin bahwa ada seorang anak laki- laki dari ayahnya, dari masa ketika si tua itu masih menjadi kontrolir di Ngajiwa; seorang pemuda sepantaran dengan mereka, sama sekali seorang nyo; ibunya telah meninggal. Mungkin si tua sendiri sama sekali tak mengetahui bahwa ia masih mempunyai seorang anak di kampung, tetapi itu benar, setiap orang mengetahuinya. Bupati tahu, patih tahu, wedono tahu, dan kuli bawahan pun tahu. Bukti yang sebenarnya tak ada, tetapi apa yang telah begitu diketahui oleh seluruh dunia, sama benarnya dengan keberadaan dunia. Apa yang dilakukan pemuda itu? Tak ada, mengutuk, menyatakan bahwa ia adalah anak laki-laki Kanjeng Tuan Residen, yang telah ia terlantarkan di kampung. Dari mana ia hidup? Tak dari apa pun, dari hasil meminta-minta, dari apa yang diberi orang kepadanya, dan kemudian... dari 73 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

berbagai macam praktek: dari keliling menjelajahi distrik-distrik, menjelajahi desa- desa, dan menanyakan apakah ada keluhan dan kemudian menyusun permintaan- permintaan; dari membujuk-bujuk orang-orang untuk pergi ke Mekah dan memesankan perjalanan mereka pada perusahaan-perusahaan kapal api kecil yang sangat murah, tempat ia menjadi agen diam-diam; maka ia pergi sampai ke desa-desa yang paling jauh dan memperlihatkan gambar-gambar reklame di sana, dengan gambar sebuah kapal api penuh jemaah haji, Kabah, dan makam suci Muhammad. Demikianlah ia mengais-ais, seringkali bercampur dalam kerumunan orang, sekali waktu dalam sebuah pesta ketjoe, kadangkala berpakaian dengan sarung, dengan sebuah baju katun tua bergaris, dan ia tidur di sana sini. Dan kemudian ketika Theo terkejut, dan mengatakan tak pernah mendengar sesuatu pun mengenai saudara seayahnya itu, dan ingin tahu, Addy mengusulkan kepadanya untuk mencarinya, jika ia mungkin dapat ditemukan di kampung. Dan Addy, gembira, mandi cepat-cepat, mengenakan pakaian putih segar, dan mereka berjalan di atas jalan besar, melewati kebun-kebun tebu, memasuki kampung. Saat itu sudah remang-remang di bawah pohon-pohon yang lebat, pisang-pisang mengangkat daun-daunnya bagaikan dayung- dayung hijau segar, dan di bawah langit-langit tahta pohon-pohon kelapa, kerumunan rumah-rumah bambu, ketimuran puitis, romantis dengan atap-atapnya, pintu- pintunya yang seringkali sudah tertutup, dan begitu terbuka, bayangan hitam membingkai ke dalam, dengan garis samar-samar dari sebuah bale-bale, yang di atasnya berjongkok sebuah figur remang-remang. Anjing-anjing gundul kudisan menggonggong; anak-anak, telanjang, dengan lonceng-lonceng kecil di perut bawah mereka, berjalan pergi dan mengintip dari rumah-rumah itu: para perempuan tetap tenang, mengenali sang Perayu dan tertawa samar, mengedipkan mata ketika dia lewat dalam kejayaannya. Dan Addy menunjukkan rumah tempat tinggal pembantunya yang sudah tua, Tijem, perempuan, yang membantunya, yang selalu membuka pintu untuknya jika ia membutuhkan gubuk kecil itu, yang memujanya, seperti ibu dan saudara-saudara perempuan dan sepupu-sepupunya memujanya. Dia menunjukkan kepada Theo rumah kecil itu dan memikirkan acara jalan-jalannya kemarin malam dengan Doddy, di bawah pohon-pohon cemara. Tijem melihatnya dan berjalan ke arahnya dengan terpesona. Ia duduk berjongkok di dekatnya, memeluk kakinya dengan dadanya yang kisut, dia menggosokkan dahinya di lutut Addy, dia mencium sepatu putihnya; dia melihat dalam kekagumannya: pangerannya yang tampan, Radennya, yang dulu dia timang-timang sebagai anak laki- laki kecil yang montok di tangannya yang penuh cinta. Addy menepuk bahunya dan memberinya uang dua setengah gulden, dan ia bertanya kepadanya apakah ia mengetahui di mana si Oudijck, karena saudara laki-lakinya ingin melihatnya. Tiyem bangkit dan memberi isyarat kepadanya: masih harus jalan jauh. Dan 74 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

mereka keluar kampung, pada sebuah jalan yang terbuka, yang di sepanjang jalan ada rel-rel dan keranjang-keranjang gula diangkut ke perahu-perahu, yang telah siap menunggu di sebuah dermaga di Kali Brantas. Matahari terbenam dalam sebuah sebaran sangat besar dari kumpulan cahaya oranye bagaikan beludru tebal gelap samar-samar terhadap kebanggaan sinar garis-garis pohon yang jauh, yang membatasi lapangan-lapangan bibit, belum ditanami dan terletak dalam warna bumi yang suram dari ladang-ladang kosong; dari pabrik keluar beberapa laki-laki dan perempuan, bergerak ke rumah. Di dekat sungai, di dekat dermaga, di bawah sebuah pohon beringin keramat persegi lima dengan lima batang yang saling tumbuh dengan akar- akar yang lebar menjalar keluar, ada pasar kecil dengan dapur angkat. Tiyem memanggil nelayan dan ia menyeberangkan mereka, melintasi Sungai Brantas yang berwarna oranye itu, dalam kuning terakhir dari matahari yang bertiup bagaikan ekor merak. Ketika mereka sudah ada di seberang, malam tiba bagaikan kabut cepat yang saling menyelimuti, dan awan-awan, yang mengancam sepanjang bulan November dengan cakrawala rendah, menekan kelembaban di atmosfer. Dan mereka kemudian memasuki sebuah kampung lain, di sana sini diterangi dengan sebuah lampu minyak, yang diletakkan dalam sebuah gelas lampu, tanpa balon. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah, yang setengahnya terbuat dari bambu, dan setengahnya lagi dari papan-papan kotak devoe; setengah ditutup dengan genteng, setengah dengan atap. Tiyem menunjuk dan, sekali lagi berjongkok, dan memeluk lutut Addy dan sambil mencium, meminta izin untuk kembali. Addy mengetuk pintu: terdengar suara keras, suara mengacak-acak, gedubrakan di dalam, tetapi ketika Addy memanggil, pintu dibuka dengan sebuah tendangan dan kedua pemuda masuk ke dalam satu-satunya kamar dari rumah itu, separuh bambu, separuh papan minyak: sebuah bale-bale dengan beberapa bantal kotor pada sebuah pojok, di depannya sebuah gorden kusam menggelantung, sebuah meja reyot dengan beberapa kursi- sebuah lampu minyak menyala, tanpa balon; dan beberapa barang bekas dari perkakas kecil ditumpuk kotak devoe di sebuah pojok. Bau opium yang kecut menyusup ke segala barang. Dan di meja makan duduk si Oudijck dengan seorang Arab, sementara seorang perempuan Jawa duduk di bale-bale mempersiapkan daun sirih. Beberapa lembar kertas, yang tergeletak di atas meja di antara si Arab dan si Sinyo, dikumpulkan jadi satu oleh si Sinyo dengan tergesa-gesa, tampak kesal oleh kunjungan tak diharapkan itu. Tetapi ia menguasai diri dan dengan ramah berteriak, ‘Adipati, Susuhunan! Sultan dari Pacaram! Tuan gula! Bagaimana kabarmu laki-laki tampan, pujaan para perempuan!” Banjir pujian yang ramah itu tak berhenti, sementara ia meraup kertas-kertas itu 75 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

dan memberi tanda kepada si Arab, yang kemudian menghilang melalui pintu yang lain, di belakang. “Dan kau dengan siapa ini, Raden Mas Adrianus, Lucius yang tampan...” “Saudara laki-lakimu,” jawab Addy. Si Oudijck memandangnya tiba-tiba. “O, begitu,” katanya dan ia berbicara separuh dalam bahasa Belanda, terpatah- patah, bahasa Jawa, Melayu campur aduk, “aku mengenalinya, saudaraku yang sebenarnya. Dan untuk apa ia datang kemari?” “Untuk melihat, seperti apa kau...” Kedua saudara itu saling memandang, Theo ingin tahu, senang mengetahui ini, sebagai sebuah senjata terhadap si tua, begitu senjata ini ternyata dibutuhkan; yang lain, si Oudijck, bersikap rahasia, di balik wajah coklat cerdas mengintai, semua kecemburuan, semua kepahitannya dan kebencian. “Apakah kau tinggal di sini?” tanya Theo, untuk mengatakan sesuatu. “Tidak, saat ini aku tinggal dengannya,” jawab si Oudijck dengan sebuah gerakan kepala ke arah perempuan itu. “Apakah ibumu sudah lama meninggal?” “Ya. Ibumu masih hidup, kan? Ia tinggal di Batavia. Aku mengenalnya. Apakah kau masih bertemu dengannya?” “Tidak.” “Hmm... Apakah kau lebih mencintai ibu tirimu?” “Pertanyaan itu kurang ajar” jawab Theo kering. “Ku rasa si tua tak mengetahui bahwa kau ada.” “Tentu, ia memang mengetahuinya.” “Tidak, ku rasa tidak. Apakah kau pernah bicara dengannya?” “Tentu. Dulu pernah. Bertahun-tahun yang lalu.” “Dan…?” “Tidak apa-apa. Ia berkata, bahwa aku bukanlah anaknya…” “Itu memang sulit untuk ditentukan.” “Secara hukum, ya. Tetapi itu adalah sebuah fakta, dan sudah diketahui umum. Diketahui oleh seluruh Ngajiwa.” “Apa kau tak punya bukti sama sekali?” “Hanya sumpah ibuku, ketika ia sekarat, dihadapan para saksi…” “Mari, ceritakan apa saja padaku,’ kata Theo. ‘Berjalan-jalanlah bersama kita, di sini menyesakkan….” 76 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Mereka keluar dari gubuk itu, berjalan-jalan kembali menjelajahi kampung, sementara si Oudijck bercerita. Mereka berjalan melewati Kali Brantas, garis malam berayun-ayun di bawah taburan bintang-bintang. Theo senang mendengarnya, mendengar mengenai pembantu rumah tangga ayahnya, pada saat ia menjadi kontrolir, dikucilkan karena ketidaksetiaan, sementara ia tak bersalah: anaknya dilahirkan kemudian dan tak pernah diakui, tak pernah didukung: anak laki-laki itu, menggelandang dari kampung ke kampung, sombong romantis atas ayahnya yang tak bermoral, yang diawasinya dari kejauhan, yang diikutinya dengan pandangan mengintai ketika ayahnya menjadi asisten residen, residen, menikah, bercerai, menikah lagi; di sembarang waktu dan tempat belajar menulis dan membaca dari seorang magang, yang berteman dengannya… Sang anak sah senang mendengar ini semua, karena jauh di dalam dirinya, betapa pun pirang atau putihnya, ia lebih merupakan anak laki-laki dari ibunya, sang nona, daripada anak laki-laki ayahnya; karena jauh di lubuk hatinya ia membenci ayahnya itu, tidak karena alasan ini atau itu, tetapi karena rasa antipati darah yang rahasia, karena dia, walaupun ia berpenampilan dan bertindak tanduk seorang Eropa pirang dan pucat, diam-diam merasa dekat dengan saudara laki-laki tak sahnya, merasakan sebuah simpati samar-samar padanya, keduanya merupakan anak laki-laki dari sebuah tanah pertiwi yang sama; untuk tanah pertiwi bapak mereka tak punya rasa kecuali rasa yang ditumbuhkan: cinta manusiawi yang dibuat-buat dari penguasa terhadap tanah yang dikuasainya. Sejak kecil, Theo telah merasa seperti itu, jauh dari ayahnya; dan antipati itu kemudian berubah menjadi sebuah kebencian yang terpendam. Ia senang mendengar terbongkarnya tindakan ‘ayahnya yang tak tercela’ itu: manusia terpuji, pegawai yang berintegritas tinggi, yang mencintai keluarganya, yang mencintai karesidenannya, yang mencintai orang-orang Jawa, yang ingin menjunjung tinggi keluarga bupati – tidak hanya karena instruksi yang tertulis dalam Staatsblad (lembaran negara) yang memerintahkannya untuk menghormati bangsawan Jawa, tetapi karena hatinya yang menyuruhnya untuk itu, ketika ia mengingat Pangeran yang terpuji itu…. Theo memang mengetahui bahwa ayahnya seperti itu, begitu etis, begitu agung, begitu berintegritas, begitu terpuji, dan ia senang, di sini, di malam penuh rahasia di pinggir Kali Brantas, mendengar kesempurnaan ayahnya rusak, sang bangsawan yang terpuji dan berintegritas itu; ia senang bertemu seorang yang dikucilkan, yang membuatnya dalam waktu singkat melemparkan kotoran berlumpur busuk pada figur ayah yang bertahta agung itu, yang membuatnya menarik diri dari pijakannya, yang membuatnya rendah seperti orang lain, berdosa, hina, tak mempunyai hati, tak terpuji. Sebuah kegembiraan kotor menyelimuti hatinya, seperti ada kegembiraan 77 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

kotor, karena ia menguasai perempuan ayahnya, yang memuja ayahnya itu. Apa yang akan ia lakukan dengan rahasia gelap itu, ia belum tahu, tetapi ia menyimpannya sendiri sebagai senjata; ia menajamkannya, di sana pada malam itu, sementara ia memancing si laki-laki kulit berwarna bermata mengintai, yang mencaci dan bangkit kemarahannya. Dan Theo menyimpan rahasianya dan menjaga senjata dalam- dalam. Dendam, keluar dari dirinya, dan juga dia, si anak laki-laki sah, mencaci ayahnya, mengakui betapa residen tidak membantunya untuk maju lebih daripada membantu juru tulis magang; bagaimana dia pernah merekomendasikannya pada direksi sebuah perusahaan yang sama sekali tak cocok, sebuah tanah pertanian, di mana Theo tidak dapat tinggal lebih lama dari satu bulan, bagaimana dia kemudian membiarkan Theo pada nasibnya, menentangnya ketika ia mengejar konsesi- konsesi, bahkan di karesidenan-karesidenan lain selain Labuwangi, bahkan di Kalimantan, sampai ia terpaksa untuk tetap tinggal di rumah dan menebeng, tak mendapatkan apa pun karena kesalahan-kesalahan ayahnya, ditolerir di rumah itu, tempat segalanya antipati terhadapnya… “Kecuali ibu tirimu!” serang si Oudijck dingin. Theo tetap melanjutkan, dan giliran bercerita kepada saudara laki-lakinya itu, bahwa walaupun ia diakui dan sah sebagai anaknya, toh tidak berarti akan memuaskan. Begitulah mereka berdua marah, senang telah saling bertemu, berteman dalam satu jam saja. Dan Addy berjalan di samping mereka, terheran- heran oleh perasaan simpati yang tumbuh cepat itu, tetapi tanpa berpikir lebih jauh. Mereka menyeberangi sebuah jembatan dan setelah berjalan lebih jauh, mereka tiba di belakang bangunan-bangunan pabrik Pacaram. Di sini si Oudijck berpamitan kepada mereka, dengan Theo sambil bersalaman, dan yang terakhir ini menyelipkan beberapa lembar uang dua setengah gulden, yang kemudian diterima dengan serakah, dan dengan binar-binar pandangan mengintai, tetapi tanpa sepatah kata terima kasih pun. Dan melewati pabrik yang sekarang sepi itu, Addy dan Theo berjalan ke rumah: keluarga berjalan-jalan di luar, di kebun dan di jalan dengan pohon cemara di kanan kirinya. Dan sementara kedua laki-laki muda itu mendekat, mereka disambut oleh anak perempuan kesayangan berumur delapan tahun itu, putri angkat dari si mama tua, dengan jumbai rambutnya dan dahinya yang berpupur, mengenakan pakaian boneka mewah. Ia berjalan ke arah mereka dan tiba-tiba tetap berdiri di dekat Addy, dan memandangnya. Addy bertanya apa yang diinginkannya, tetapi anak itu tak menjawab, hanya memandangnya, dan kemudian, dengan mengulurkan tangannya, ia memeluk tangan Addy mesra dengan tangan kecilnya. Pada anak kecil yang takut-takut itu pun begitu jelas magnet yang tak dapat dilawan: cara berjalan itu, berdiri, memandang dan memeluk, sehingga Addy tertawa 78 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

keras, dan membungkuk dan menciumnya sepintas. Si anak kecil, puas, meloncat- loncat kembali. Dan Theo, masih jengkel dengan peristiwa siang itu, pertama karena pembicaraannya dengan mbok Oerip, karena penjelasannya dengan Addy, pertemuannya dengan saudara laki-lakinya seayah, pengungkapan isi hatinya mengenai ayahnya –Theo, merasa pahit dan angkuh, begitu terganggu oleh tingkah tak penting Addy dan si anak kecil, sehingga ia, hampir marah, berteriak, “Ah kau… kau memang tak pernah bisa lain daripada menjadi seorang laki-laki kegemaran para gadis!” 79 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Bagian Keempat 1 Van Oudijck hampir selalu cukup beruntung dalam hidupnya. Dari keluarga Belanda yang sederhana, tanpa uang, masa mudanya keras, tapi pendidikannya tidak pernah kasar, serius dari awalnya, bekerja keras, siap untuk masa depan dan meniti karir menuju posisi terhormat yang secepat mungkin dia duduki dari antara sesamanya. Tahun-tahun belajar Indologi di Delft, Belanda, cukup menyenangkan untuk berpikiran bahwa dia benar-benar pernah muda. Karena dia pernah ikut “maskerade”, pesta topeng anak muda, dia merasa mendapatkan masa muda yang cukup liar dengan menghambur-hamburkan uang untuk hiburan. Karakternya terbentuk dari banyak keandalan Belanda yang tenang, sebuah keseriusan hidup dari praktik daya pikir yang biasanya agak murung dan membosankan; terbiasa melihat masa depan pada tempat terhormatnya di antara orang-orang, ambisinya berkembang secara ritmis, terus menerus, hingga membentuk kegilaan hormat yang terkendali, yang hanya berkembang dalam garis, sesuai dengan pandangan matanya yang tajam: garis hierarkis dari kepegawaian dalam negeri. Dia selalu beruntung, dengan banyak kemampuan, dia dinilai tinggi dan menjadi asisten residen lebih dulu daripada kebanyakan orang dan menjadi residen muda; dan sekarang sesungguhnya ambisinya telah dipuaskan karena pekerjaannya selaras dengan nalurinya; naluri berkuasa dan ambisi berjalan sejalan. Dia sekarang sesungguhnya puas sekali pun matanya masih tertuju lebih jauh dan melihat samar-samar kedudukan di Dewan Hindia Belanda dan bahkan kekuasaan di Buitenzorg. Dia memiliki hari-hari di mana dia, serius dan puas, menyatakan bahwa menjadi residen kelas pertama — kecuali pensiun yang tinggi– hanya menguntungkan di Semarang dan Surabaya, tetapi Vorstenlanden sangat merepotkan dan Batavia memiliki posisi yang aneh dan membuat kecil di tengah-tengah pejabat tinggi: Dewan Hindia Belanda dan para direktur. Dan pandangannya sudah melihat begitu jauh, kepuasan rata-ratanya akan dicapai secara keseluruhan sehingga orang akan dapat meramalkan bahwa ia akan mati sebagai residen di Labuwangi. Dia mencintai Labuwangi dan Hindia Belanda. Dia tak pernah merindukan Belanda, tetapi toh dia tetaplah orang Belanda dan terutama membenci semua yang disebutnya darah campuran. Hal ini bertentangan dalam karakternya karena istri pertamanya adalah seorang nona, wanita yang ia nikahi karena cinta. Anak-anaknya memiliki darah Indis, tampang tampak pada Doddy dan jiwanya muncul pada Theo sementara Rene dan Ricus keduanya sama- 80 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

sekali menjadi sinyo kecil. Anak-anak itu dicintainya dengan kekuatan pasti dan perasaan kebapakan yang kentara, dengan seluruh kehalusan dan sentimentil yang tersembunyi di kedalamannya, dengan kebutuhan untuk banyak memberi dan menerima dalam lingkaran kehidupan kekeluargaannya. Lambat laun kebutuhan itu meluas sampai lingkaran wilayahnya. Ada kebanggaan Van Oudijck terhadap asisten residen dan kontrolirnya, di antara mereka dia begitu populer dan mereka menyukainya. Hanya sekali dalam enam tahun, residen Labuwangi karena tidak bisa menangani seorang kontrolir kulit berwarna, membiarkannya pindah seperti yang dikatakannya, sesudah Van Oudijck bersabar sesaat terhadapnya. Dia bangga disukai oleh pegawainya, walaupun otoritasnya keras, walaupun dorongan kerjanya keras. Permusuhan rahasia dengan bupati yang dia sebut sebagai adiknya menurut gelar orang Jawa, bupati yang juga dengan senang hati dia anggap sebagai adik laki-laki, semakin menyakitkan hatinya. Permusuhan itu menyakitkannya dan kemudian ia memikirkan bupati-bupati yang lain; tidak hanya pada ayahnya, Pangeran mulia, tapi juga pada yang lain yang ia kenal: Bupati D yang terpelajar berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda yang tepat, penulis artikel berbahasa Belanda yang gamblang di koran-koran dan majalah. Bupati S adalah seorang pemuda yang congkak dan mengganggap enteng semua masalah tapi begitu kaya dan berbuat banyak hal bagus yang dalam masyarakat Eropa disebut sebagai dandy, suatu sikap jantan terhadap para wanita. Mengapa di Labuwangi dia harus bertemu dengan kemarahan diam dari boneka wayang yang fanatik dan yang berahasia, bertemu dengan kemasyhuran dari si keramat dan ahli sihir, yang didewakan secara bodoh oleh penduduknya. Dia tidak tertarik kemakmuran penduduk. Toh walaupun dia tak tertarik kemakmuran mereka, penduduk tetap memujanya hanya karena prestise nama sesepuhnya, dengannya Van Oudijck selalu merasakan rintangan yang tiada pernah dinyatakan, tetapi toh begitu nyata di bawah kekorekannya yang dingin! Tambah, di Ngajiwa, saudaranya, seorang pemain, seorang penjudi. Mengapa dia harus kurang beruntung dengan bupatinya? Van Oudijck berada dalam suasana hati yang murung. Dia sudah biasa, kadang- kadang, berkala, menerima surat-surat anonim dengan fitnah yang terludah dari pojok kedengkian, yang pernah menodai asisten residen, kemudian seorang kontrolir, sekarang mengotori kepala Hindia, kemudian keluarga Van Oudijck sendiri. Kadang-kadang muncul dalam bentuk teguran yang bersahabat, kadang- kadang dalam sorak kebencian, surat-surat itu toh akan membuka matanya tentang kekurangan pegawainya, tentang penyelewengan istrinya. Menjadi kebiasaannya bahwa dia tidak menganggap surat-surat itu. Dengan tergesa atau hampir tak dibacanya dan tanpa kepedulian dirobek-robeknya surat- 81 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

surat tersebut. Mempertimbangkan nilai diri sendiri, teguran iri hati itu tak mengesankannya, bagaimanapun juga surat-surat itu bagaikan ular berdesis yang menegakkan kepalanya di antara surat-surat yang lain yang dibawa oleh tukang pos setiap hari. Dia begitu buta terhadap istrinya, Leoni, yang selalu dia lihat hidup dalam ketenangan senyum ketidakacuhan dan dalam lingkaran kecil kenyamanan keluarga yang ia tarik mengelilingi dirinya sendiri di ruang kosong melompong dalam rumah residen dengan kursi-kursi dan Turki Usmani yang terus menerus siap menyambut tamu. Van Oudijck tidak akan bisa mempercayai sedikit pun fitnah itu. Dia tak pernah membicarakannya dengan istrinya, Dia mencintai istrinya, dia jatuh cinta dan kasmaran padanya. Oleh karena istrinya tak bicara apapun ketika mereka bertemu, tidak pernah bergenit-genit, Van Oudijck tak pernah melihat ke dalam jurang jahat yang menjadi jiwanya. Selebihnya Van Oudijck sama sekali buta di rumah, rumah yang sering disinggahi banyak laki-laki yang cakap dan mahir dalam perkerjaan dan lingkungan kerja, dan yang terbiasa melihat dalam perspektif luas mengenai bidang kerjanya tetapi rabun dekat di rumahnya. Kebiasaan menganalisis hal-hal besar dan bukan hal detail dari jiwa; pengetahuan manusia yang didasarkan pada prinsip dan yang membagi manusia dalam tipe-tipe seperti membagi peran dalam sebuah permainan teater kuno. Mereka langsung memahami kecakapan kerja bawahan-bawahannya tapi diri mereka tak pernah menyadari kompleksitas liar, seperti hiasan arab yang tak teratur, seperti sulur-sulur semrawut anggota keluarga mereka, selalu memandang di atas kepala mereka, selalu berpikir di luar kata-kata mereka, dan tanpa perhatian untuk semua yang penuh warna, yang berpelangi: kebencian dan iri hati dan hidup dan cinta, membayang di depan mereka. Van Oudijck mencintai istrinya, mencintai anak-anaknya karena dia membutuhkan naluri “kebapakan” sebagai ayah, tetapi dia tidak mengenal istrinya dan tidak mengenal anak-anaknya.Tentang Leoni dia tidak tahu apa-apa. Dia tidak pernah menduga bahwa Theo dan Doddy tanpa bicara, tetap setia pada ibu mereka di Batavia, yang sudah sekian jauh tersesat di antara praktik-praktik yang tidak dapat dikatakan, dan mereka tanpa kasih cinta pada Van Oudijck. Dia mengira bahwa mereka mencintainya dan ketika dia memikirkannya bangkitlah rasa kemesraan yang tersembunyi dalam dirinya. Surat-surat anonim didapatnya setiap hari. Tak pernah surat-surat tersebut mengesankannya, tetapi pada akhir-akhir ini surat-surat itu tak dirobeknya, dibacanya dengan penuh perhatian dan disimpannya dalam laci yang terjamin kerahasiannya. Mengapa hal itu dilakukannya dia tak dapat mengatakannya. Terdapat tuduhan-tuduhan terhadap istrinya, penodaan terhadap anak perempuannya. Hal itu membuatnya takut seakan ada keris di kegelapan yang 82 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

mengincar hidupnya. Itu memperingatkan dirinya bahwa ada mata-mata yang sama sekali tak dapat dipercaya. Surat-surat itu menyebut bahwa istrinya yang telah diceraikannya menderita kemelaratan dan membencinya; dikatakan juga padanya bahwa dia memiliki seorang anak laki-laki yang tak pernah ditengoknya. Semua tuduhan itu diam-diam mengais-ngais semua kerahasiaan dan kegelapan hidup dan lingkungan kerjanya. Tak sesuai keinginannya, hal itu membuatnya muram. Semua terlihat kabur dan dia tak perlu menyalahkan diri sendiri. Untuk diri sendiri dan dunia dia menjadi pejabat yang baik, ayah dan suami yang baik; dia adalah manusia yang baik. Orang-orang menyesalkan dirinya yang mempertimbangkan dengan tak adil, telah bertindak kejam dan sepihak menceraikan istri pertamanya; ia juga meninggalkan seorang anak laki-laki di kampung, laki-laki yang melempari Leoni dan Doddy dengan kotoran. Semua membuatnya muram berhari-hari ini karena tidak ada alasan untuk mengerti bahwa orang-orang telah melakukan hal itu. Untuk laki-laki dengan sikap praktisnya, pandangan samar-samar ini menimbulkan kejengkelan besar. Sebuah perang terbuka tidak akan menakutkannya tapi perkelahian semu dalam bayang-bayang ini membuat dirinya senewen dan sakit. Dia tidak dapat memahami mengapa terjadi. Tak satu pun! Dia tidak dapat memikirkan raut muka dari musuh itu. Setiap hari datang surat-surat itu, setiap hari ada bayangan permusuhan mengitarinya. Terlalu mistik untuk sifatnya, untuk membuat dirinya tidak menderita, muram dan sedih. Kemudian muncul dalam majalah-majalah yang kurang bermutu, ekspresi dari pers kecil yang memusuhi, tuduhan-tuduhan kabur, yang betul-betul tidak benar. Sebuah kebencian naik menggelegak di mana-mana. Dia tak dapat menduga mengapa, dia menjadi sakit karena merenungkannya. Dia tak membicarakannya dengan siapa pun dan mengunci kepedihannya dalam dirinya. Dia tak mengerti. Dia tak dapat menyangka mengapa begitu, mengapa begitu terjadi. Tak ada logika. Karena logikanya adalah bahwa orang tidak akan membencinya, tetapi mencintainya, bagaimanapun orang menganggapnya begitu streng. Dan apakah dia bahkan tidak mengurangi kestrengannya yang tinggi, begitu sering di bawah senyum ramah dari kumis tebalnya, di bawah sebuah persahabatan yang lebih ramah dari peringatan dan teguran keras? Apakah, saat turne, dia bukan residen yang menyenangkan, yang menganggap turne sebagai sebuah olahraga bersama pegawai-pegawainya, sebagai sebuah outbond berkuda yang menyenangkan, melewati kebun kopi, mampir gudang kopi; sebagai sebuah perjalanan pesta yang meredakan ketegangan otot sesudah minggu-minggu kerja yang penuh, di belakang, kelompok-pengikut besar dari kepala-kepala distrik berkuda di atas kuda-kuda kecil 83 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

mereka, binatang lincah secepat monyet, bendera-bendera kecil di tangan, sedang gamelan di mana saja dia lewat menebarkan ungkapan gembira ria nada sambutan, dan, pada malam makanan disiapkan di pesanggrahan dan hingga larut malam, bermain kartu? Apakah mereka, pegawainya, tidak menyampaikan padanya, sesaat lepas dari semua formalitas, bahwa dia adalah residen menyenangkan, berkuda tak kenal lelah, gembira di meja, dan begitu muda, bahwa dia menerima selendang dari penari tandak dan menari tandak sesaat daripada membebaskan diri sendiri, dengan membayar 2,5 gulden dan membiarkan penari itu bertandak dengan wedana, dan bahwa dia sangat pandai melakukan gerakan lincah luwes yang sakral dari tangan dan kaki dan pinggul? Dia tak pernah senang seperti saat turne. Dan saat ini dia muram, tak puas, tidak mengerti ada kekuatan diam melawannya dalam kegelapan. Dia, laki- laki dari kejujuran dan terang, dari prinsip hidup sederhana, dari kebenaran kerja yang sungguh-sungguh, dia berpikir cepat melakukan turne dan di dalam olah raga akan membebaskan diri dari kesuraman yang menekannya. Dia akan mengajak Theo ikut, buat hiburan beberapa hari. Dia mencintai putranya walaupun dia menganggapnya tak bijaksana, tanpa pertimbangan, jalang, tidak konsisten dalam kerjanya, tidak pernah puas dengan pemimpinnya, hampir tanpa kebijaksanaan melawan administraturnya hingga dia menjadikan diri sendiri mustahil dalam perkebunan kopi atau pabrik gula, di mana dia kerja. Van Oudijck berpendapat bahwa Theo harus mencari jalan karier sendiri, seperti dia, Van Oudijck telah melakukannya, dari pada seluruhnya mengandalkan proteksi keresidenan bapaknya. Van Oudijck bukan orang nepotisme. Dia tak pernah akan mengutamakan putranya di atas yang lain, yang memiliki hak yang sama. Dia sering mengatakan pada keponakan-keponakannya yang tergiur konsesi di Labuwangi bahwa dia lebih senang tanpa kerabat di wilayahnya dan mereka tak boleh berharap sesuatu kecuali ketidakberpihakan yang mutlak darinya. Begitu dia berhasil, begitu dia berharap bahwa mereka juga akan berhasil, termasuk Theo. Akan tetapi, diam-diam dia mengawasi Theo dengan sifat kebapakan kemesraan yang hampir sentimentil; diam- diam dia sangat menyesal bahwa Theo tidak lebih gigih, dan tak banyak menyongsong masa depan, menuju kariernya, ke tempat terhormat dalam masyarakat, atau kehormatan atau uang. Anak muda itu hidup tak terarah, tanpa pikiran masa mendatang. Mungkin, jujur saja, dia terlalu dingin pada Theo. Baiklah, dia ingin berbicara akrab dengannya, memberi nasihat dan yang pasti sekarang dia akan menanyakan apakah Theo mau ikut turne. Muncul ide tentang enam hari berkuda dalam udara segar di pegunungan dalam kebun kopi, meninjau kerja irigasi, melakukan semua hal–hal menyenangkan, melapangkan jiwanya, mencerahkan pandangannya sehingga dia tidak lagi memikirkan surat-surat itu. Dia adalah laki-laki yang hidup sederhana. Baginya 84 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

hidup adalah alami, tidaklah rumit dan melalui langkah-langkah nyata dari tahap- tahap terbuka pada jalan hidupnya, menatap kilauan puncak ambisinya. Dan muncul sesuatu hal yang menggelisahkan dalam bayangan dan kegelapan, sesuatu yang menyeruak dari tanah yang dekat dengan kakinya, yang tidak pernah dapat dan ingin dilihatnya. Dia buta akan kehidupan yang bekerja di bawah kehidupan. Dia tak mempercayainya, sama halnya dengan orang gunung yang telah tinggal di gunung berapi yang biasanya tenang, percaya pada apinya, yang tetap hidup misterius dan hanya menyembur sebagai uap panas berbau belerang. Dia tidak percaya pada kekuatan supranatural benda-benda, pada kekuatan di dalam benda-benda itu sendiri. Dia tak percaya akan takdir, akan keberangsuran diam. Dia hanya mempercayai apa yang dilihat dengan matanya sendiri, pada panen-panen, pada jalan-jalan, distrik, dan desa-desa dan pada kemakmuran daerahnya dan hanya pada kariernya yang dia lihat sebagai garis naik di depannya. Dan pada kejelasan yang jernih dari naluri kejantanannya yang jelas terlihat terang oleh semua orang dari hasrat menguasai secara adil, ambisi yang benar dan kesadaaran pada kewajiban, hidup praktis, hanya ada satu kelemahan ini, yaitu kemesraan sentimentil yang dalam dan bersifat kewanitaan untuk lingkungan rumah tangganya. Sesuatu yang tidak dia lihat dalam jiwa karena buta; sesuatu itu hanya dia lihat menurut prinsip yang telah ditetapkannya; sebagaimana seharusnya istri dan anak-anaknya hidup. Dia tidak belajar dari pengalaman. Istri pertamanya dulu begitu dia cintai seperti sekarang dia mencintai Leoni. Maklumlah dia mencintai istrinya, karena dia, istrinya, miliknya, persona terpenting dalam lingkungannya. Dia mencintai lingkungan sebagai lingkungan dan bukan sebagai individu-individu yang menjadi mata rantai lingkungan. Dia tidak belajar dari pengalaman. Dia tidak berpikir menurut pergantian warna kehidupan. Dia berpikir menurut ide-ide dan prinsip-prinsipnya. Hal itu menjadikannnya laki-laki dan kuat, dan juga menjadikannya pejabat yang baik. Oleh karena dia memiliki begitu banyak kemesraan, tanpa sadar, dia tidak menganilisis dan hanya merasakan yang di dalam. Juga karena dia tidak mempercayai kekuatan diam, adanya kehidupan di dalam kehidupan, pada adanya geliat dan gerakan letupan serupa lahar dan api di bawah gunung yang agung, serupa kerusuhan di bawah tahta raja. Karena dia tidak mempercayai mistik pada hal-hal yang terlihat maka kehidupan akan menemukan dirinya tidak siap dan lemah, bila kehidupan berbeda dari logikanya. 2 Mistik akan hal-hal terlihat pada pulau misterius yang bernama Jawa...Terlihat koloni yang rendah hati dengan ras yang dikuasai, tak tahan terhadap pedagang yang kasar, pedagang yang dalam waktu menyenangkan dari republiknya, dengan 85 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

kekuatan muda dari penduduk taruna rakus dan mencari keuntungan, bundar dan dingin, menancapkan kaki dan bendera pada kemaharajaan yang ambruk, pada tahta yang goyang seperti gunung tergoncang gempa. Akan tetapi, dalam lubuk jiwanya tidak pernah dikuasai walaupun senyum halus meremehkan, bermusyawarah, sedang meletakkan diri di bawah nasib buruk. Dalam lubuk jiwanya, walaupun dalam rasa hormat yang merangkak, sebuah misteri hidup yang bebas bernyawa, tersembunyi dari tatapan Barat, bagaimanapun tatapan itu mencoba membongkar rahasia – seperti dengan filsafah, terutama tentang senyum menyimpan ketenangan, dengan mudah mengiyakan, mendekati dengan sopan santun, tampaknya, – tetapi di dalam batinnya menyakini pendapatnya sendiri, begitu jauh dari semua pemikiran penguasa, peradaban penguasa, bahwa persaudaraan antara tuan dan budak tidak pernah akan jadi karena perbedaan tidak akan dijembatani, yang menjalar dalam jiwa dan darah. Dan orang Barat bangga terhadap kekuasaannya, kekuatannya, peradabannya, humanitasnya, bertahta tinggi, buta, egois di antara semua roda gigi otoritasnya yang diizinkannya saling menggigit seperti jam, mengendalikan setiap putaran, untuk orang asing di luar tampak sebagai karya agung, penciptaan dunia, penguasaan pada hal-hal konkret: kolonisasi tanah dengan jiwa dan darah asing. Tetapi di bawah semua hal ini, muncul kekuatan gaib yang bersembunyi dan sekarang tertidur ayam dan tidak ingin melawan. Di bawah penampakan hal-hal terlihat mengancam makhluk mistik yang diam seperti api meleleh di bawah tanah, seperti kebencian dan misteri di dalam hati. Di bawah semua ketenangan akan keagungan mengancam bahaya, dan masa depan bergemuruh seperti guntur di bawah bumi dalam gunung-gunung berapi, tak terdengar untuk telinga manusia. Dan seolah-olah orang yang dikuasai tahu itu dan membiarkan daya dorong benda-benda itu dan menunggu saat suci yang akan datang jika perhitungan misterius benar. Dia, dia mengenal penguasa dengan satu tatapan mendalam, dan dia melihatnya dalam ilusi itu tidak ada peradaban dan humanitas. Sementara dia memberinya gelar tuan dan hormat penguasa, dia mengenalnya dalam alam pedagang demokratis, dan diam-diam meremehkannya dan menilainya dengan sebuah tawa, yang bisa dimengerti oleh saudaranya yang tersenyum seperti dirinya. Tak pernah dia mencerca bentuk perbudakan dan dengan sembah dia berpura-pura rendah, tetapi diam-diam menyadari dirinya berada di atas. Dia menyadari kekuatan diam, tanpa dibicarakan: dia merasakan bulu-bulu misteri dalam hembusan keras angin gunung, dalam kediaman malam-malam pengap dan rahasia. Dia mengetahui firasat akan apa yang terjadi di kejauhan. Apakah itu, yang ada tidak akan selalu begitu begitu: masa sekarang akan menghilang. Dia berharap tanpa berbicara, bahwa Tuhan akan membangkitkan apa yang ditindas ambruk, sekali tempo, sekali waktu, di kejauhan mengusir gelombang terbuka dari Masa Depan Dini. Akan tetapi, dia merasakannya, 86 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

dia mengharapkannya, dan dia tahu itu, di dalam lubuk hati terdalam, dia tak pernah membuka-menutup dirinya pada sang penguasa. Yang juga tidak akan dapat dibuka- ditutupnya. Dia selalu bagai sebuah buku yang tak terbaca, dalam bahasa yang tak dikenal, bahasa yang tak dapat diterjemahkan, bahasa dengan kata-kata yang sama tapi berbeda dalam nuansa warna dan dari dua pemikiran yang berbeda susunan pelanginya: prisma-prisma dengan warna-warna berbeda-beda seperti keluar dari dua matahari: memancar dari dua dunia. Dan tidak pernah ada harmoni yang mengerti, tidak pernah berkembang cinta yang dirasakan sama. Selalu ada jurang pemisah di antaranya di kedalaman, jurang terdalam, kejauhan, kelebaran, tempat misteri meruak lembut, tempat seperti di dalam sebuah awan, kekuatan diam itu sekali waktu akan berkilat. Begitulah Van Oudijck tidak merasakan mistik. Tidak siap dan lemah, kehidupan yang tenang dewani dapat menemukan dirinya. 3 Ngajiwa adalah tempat yang lebih menyenangkan daripada Laboewangi: terdapat sebuah garnisun. Dari pedalaman tanah-tanah perkebunan kopi sering datang para administratur dan pekerja yang turun untuk bersenang-senang. Dua kali per tahun ada balapan di sana yang menyita waktu satu minggu pesta: menerima residen, pengundian pacuan kuda, pawai bunga dan opera, dua atau tiga kali pesta dansa, yang dibedakan oleh pesertanya dalam pesta dansa topeng dan soirée dansante atau malam dansa gala resmi; ini adalah waktu untuk bangun awal dan tidur telat, beberapa hari menghabiskan ratusan gulden dengan permainan kartu Perancis dan taruhan pacuan kuda. Pada hari-hari itu nafsu dilampiaskan pada kegembiraan yang menyenangkan dan menghibur. Hari-hari itu ditunggu oleh pekerja perkebunan kopi dan gula selama berbulan-bulan; untuk hari itu orang menabung selama setengah tahun. Dari seluruh pojok orang-orang membludak, di dua hotel yang tersedia; setiap rumah keluarga menerima tamu menginap; dengan nafsu orang- orang bertaruh, di dalam banyak sampanye, sementara penonton, termasuk wanitanya, mengenal kuda pacuan karena hampir semua kuda mereka miliki. Di pesta dansa semua merasa kerasan, semua saling mengenal seperti di pesta keluarga, sementara Walsen dan Washingtonpost dan Graziana didansakan dengan keanggunan yang menarik dari para penari Indo, dengan irama lembut layu, ujung gaun pedansa Indo melayang lembut, tersenyum dengan pesona tenang di sekitar mulut separuh terbuka dengan hasrat penuh impian dansa, yang mereka ekspresikan dengan anggun; khususnya para pedansa yang dialiri darah Jawa. Dansa bagi mereka bukan olah raga, lompat kikuk dengan tawa keras satu sama lain, bukan gerakan liar dan kasar tentara kavaleri dalam pesta anak muda Belanda, tetapi dansa, terutama 87 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

penari Indo, tidak lebih pada kesopanan dan keanggunan: sebuah penampilan yang kalem dari gerakan pesona, sebuah keluwesan dan keanggunan arabesk, sebuah langkah persis pada irama jernih di atas lantai-lantai ruangan sositet; sebuah harmoni –hampir abad ke-18–gelombang penyeretan dan gerakan dansa si muda-mulia pada dentum irama primitif musik Indis. Dengan cara begitu Addy de Luce berdansa. Semua mata wanita dan gadis-gadis tertambat padanya, mengikutinya, memohonnya dengan tatapan mata mengajak dalam gelombang dan alunan seperti impian di atas alunan air. Cara berdansanya diturunkan dari ibunya, itu masih sebagian keanggunan srimpi dan ibunya hidup semasa kecil antara mereka, dan campuran Barat modern dengan Timur antik memberinya pesona yang tak tertahankan. Sekarang pada pesta dansa yang terakhir, dia berdansa begitu dengan Doddy, dan sesudahnya dengan Leoni. Waktu itu malam sudah larut menjelang pagi, di luar fajar menyingsing. Aroma keletihan menyebar di ruang besar itu dan Van Oudijck akhirnya memberitahu akan pulang pada asisten residen Veremalen, dengan siapa dia menginap dengan keluarganya. Van Oudijck sedang berbicara dengan Vermalen di serambi depan sositet ketika tiba-tiba Patih muncul dari bayang-bayang kebun dan tampak mengharu biru. Ia membungkuk dan menghaturkan sembah. “Kanjeng, Kanjeng! Beri saya nasihat, Kanjeng. Katakan apa yang harus saya lakukan. Bupati mabuk dan berjalan-jalan di jalanan dan melupakan kehormatan diri.” Peserta pesta berjalan ke rumah. Kereta datang; orang-orang naik; kereta pergi. Di jalan, di depan sositet, Van Oudijck melihat sesosok orang Jawa dengan dada telanjang dan tanpa tutup kepala. Rambutnya acak-acakan sementara dia tampak marah-marah dan berbicara keras. Orang-orang berkerumun dalam kegelapan, menonton dari jauh. Van Oudijck mengenali Bupati Ngajiwa. Bupati ini selama pesta dansa telah bertindak tanpa penguasaan diri, sesudah kalah main dan minum bermacam-macam anggur. “Bukankah Bupati sudah pulang?” tanya Van Oudijck. “Tentu, Kanjeng,” kesah Patih. “Saya sudah mengantar beliau ke rumah ketika saya lihat dia sudah tak bisa mengontrol diri sendiri. Dia sudah tergeletak di atas tempat tidurnya, saya mengira beliau sudah tidur nyenyak. Tapi, dia terbangun dan bediri. Dia meninggalkan kabupaten dan kembali di sini. Lihat apa yang dia perbuat. Dia mabuk, dia mabuk, dan lupa diri, lupa siapakah leluhurnya!” 88 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Van Oudijck melangkah keluar bersama Vermalen. Didekatinya bupati yang tanda-tandanya tampak marah dan mengatakan sesuatu yang tak bisa dimengerti dengan suara keras. “Bupati,” kata residen,“tidak tahukah Anda dimana dan Anda siapa?” Bupati tak mengenali Van Oudijck dan mencaci makinya. Ia meneriakkan semua kutukan surga atas kepalanya. “Bupati,” kata asisten residen.“Tidak tahukan Anda siapa yang berbicara pada Anda dan pada siapa Anda berbicara?” Bupati mengumpat-umpat Vermalen. Mata merah darahnya berkilau-kilau mabuk kemarahan yang tak masuk akal. Van Oudijck bersama Vermalen dan Patih mencoba membantunya naik ke dalam kereta, tetapi dia tak mau. Sublim dalam kejatuhannya, dia mengagung-agungkan diri dalam kegilaan tragedinya, berdiri seperti meledakkan diri sendiri, setengah telanjang dan dengan rambut acak-acakan, dengan gerakan lengan liarnya. Dia tidak kasar dan tidak seperti binatang lagi, tetapi menjadi tragis, berani, melawan nasibnya di tepi jurang. Ekses kemabukannya tampak menariknya, dengan kekuatan aneh, secara pelan keluar dari kebinatangannya, dan mabuk, dia meninggikan diri sendiri di atas orang Eropa itu, secara dramatis. Van Oudijck menatapnya heran. Sekarang Bupati mulai memukul Patih yang menenangkannya... Di jalan berkumpul penduduk, diam dan kaget, karena tamu terakhir keluar dari sositet yang remang-remang. Muncul di antara mereka Leoni van Oudijck, Doddy, dan Addy de Luce. Masih ada nafsu-layu dansa wals terakhir pada mata mereka bertiga. “Addy!” kata residen. “Kamu kenal baik Bupati. Coba apakah dia men- genalimu.” Anak muda itu menegur si mabuk gila dalam bahasa Jawa yang lembut. Awalnya Bupati meneruskan dengan makiannya yang bertubi-tubi disertai gerakan kemarahannya. Akhirnya, tampaknya dia mendengar dan mengingat kelembutan bahasa yang dikenalinya. Dia memandang lama ke arah Addy. Gerakannya melemah, kejayaan kemabukannya semakin hilang. Tiba-tiba seolah-olah darahnya memahami darah anak muda itu, seperti jiwa-jiwa mereka saling memahami. Bupati mengangguk sendu dan mulai mengeluh, mengangkat tangannya. Addy ingin membantunya naik ke dalam kereta, tapi dia menolaknya: dia tak menginginkannya. Ketika Addy meraih lengannya ke dalam genggamannya dengan lembut dan berjalan pelan bersamanya. Bupati masih mengeluh dengan gerak keputusasaannya dan membiarkan dirinya dibimbing. Patih dengan sejumlah pengikut, yang mengekor bupati sejak dari kabupatan, berjalan tanpa daya... Pawai menghilang di kegelapan. Leoni dengan tersenyum, capai, naik ke dalam kereta asisten residen. Dia masih 89 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

mengingat pertengkaran judi di Pacaram; dia senang untuk melihat kejadian yang begitu gamblang dan kejatuhan yang pelan-pelan, sebuah pembongkaran yang nampak oleh hawa nafsu yang tak diarahkan taktik dan irama ketelitian. Untuk diri sendiri, Leoni merasa lebih kuat daripada sebelumnya karena dia menikmati gairahnya dan memimpinnya, dan membuat mereka menjadi budak kenikmatannya. Dia meremehkan bupati itu dan baginya ada kepuasan romantis, kesenangan sastrawi mengintai fase-fase kejatuhan. Di dalam kereta dia melihat suaminya yang duduk muram. Kemuraman itu mempesonakannya karena dia anggap suaminya sentimentil telah memberi penghargaan tinggi pada bangsawan Jawa. Sebuah instruksi sentimentil dan yang ditanggapi Oudijck dengan lebih sentimentil. Dan Leoni menikmati kesedihan suaminya. Dari suaminya dia beralih melihat Doddy dan dia mengintai dalam tatapan kecapaian dansa anak tirinya, sebuah kecemburuan akan dansa-dansa terakhirnya, antara dirinya, Leoni, dan Addy. Dan dia terpesona oleh kecemburuan itu. Dia merasa dirinya senang karena penderitaan tak menguasainya, sebagaimana juga hawa nafsu. Dia bermain-main dengan hal-hal kehidupan dan hal-hal itu bergulir darinya dan mereka tidak menyentuhnya, dan tawa kalem dan putih susu mulus seperti biasanya. Van Oudijck tidak berangkat tidur. Kepalanya panas, sebuah keberangan penderitaan ada di dalam hatinya. Segera dia mandi, mengenakan pakaian tidur dan baju kokonya; disuruhnya seseorang membawakan kopi ke serambi depan kamarnya. Sore itu pukul enam, kesejukan menyenangkan di waktu sore yang segar membasuh udara. Tetapi ada kegalauan di dalam hatinya yang begitu kuat, sehingga seperti dalam kongesti pelipisnya berdenyut-denyut, jantungnya berdebar-debar, dan syarafnya bergetar. Adegan-adegan malam itu samar-samar masih ada dalam matanya, bergetar berdetak seperti seorang biograf yang sibuk menghitung perubahan sikap. Yang menyedihkannya adalah ketidakmungkinannya, sesuatu tidak logis, sesuatu yang tidak pernah dipikirkan. Bahwa seorang Jawa, dengan semua tradisi mulia di dalam pembuluh darahnya, bisa bersikap seperti Bupati Ngajiwa malam itu, tidak pernah mungkin dapat terjadi untuknya, tak pernah akan dipercayainya jika dia tidak melihatnya dengan matanya sendiri. Untuk laki-laki ini, yang memiliki logika yang ditentukan sebelumnya, kebenaran ini benar-benar mengerikan, serupa mimpi buruk. Dia sangat sensitif untuk kejutan, yang dianggapnya tidak logis, dia marah kepada realitas. Dia bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah dia tidak mimpi, tidak mabuk. Skandal yang terjadi membuatnya berang. Tapi kalau sudah begitu adanya, baiklah, dia akan mengusulkan Bupati untuk dipecat. Tidak bisa lain.... Van Oudijck berpakaian, berbicara dengan Vermalen dan pergi bersamanya ke 90 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

kabupaten; keduanya memaksa untuk menemui Bupati walaupun ada keraguan dari sang pengikut, walaupun melanggar etika. Istrinya, Raden-Ayu tak dilihat mereka. Akan tetapi, mereka menemukan Bupati di kamar tidurnya. Dia berbaring di ranjang, kedua mata terbuka, beristirahat dengan muram sekali; belum cukup sadar dan hidup kembali, untuk bisa mengira maksud keseluruhan dari keasingan kunjungan itu. Kunjungan residen dan asisten residen di depan ranjangnya. Toh dia mengenali mereka tetapi tidak berbicara. Sementara keduanya mencoba untuk menyadarkan bupati bahwa tabiatnya sangat tak sopan, dia menatap mereka dengan kurang ajar dan bersikeras dalam diam. Begitu aneh bahwa kedua pejabat saling menatap dan dengan tatapan bertanya-tanya apakah bupati tidak gila, apakah dia dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Dia masih tak berbicara sepatah kata pun. Masih diam dia. Walaupun Van Oudijck mengancamnya dengan pemecatan, dia masih tetap diam, dia menatap dengan mata tanpa malu ke arah mata Van Oudijck. Dia tak membuka mulutnya dan bersikeras dalam kesunyisenyapan. Samar-samar tergurat senyum ejekan dari mulutnya. Para pejabat mengira bahwa Bupati benar-benar telah menjadi gila; mereka mengangkat bahu, meninggalkan ruangan. Di serambi mereka bertemu dengan Raden Ayu, perempuan kecil yang terkekang seperti anjing terpukul, budak terhina. Dia mendekat dengan menangis; perempuan itu memohon ampun.Van Oudijck mengatakan padanya bahwa Bupati masih tetap berdiam diri atas ancaman yang diberikan, berdiam tanpa penjelasan tapi tampak jelas sengaja berniat diam. Kemudian, Raden Ayu membisikkan sesuatu, bahwa Bupati telah meminta petunjuk dukun yang memberinya jimat dan menjaminnya bahwa dengan bersikeras untuk berdiam diri sepenuhnya seperti itu maka para musuhnya tak akan berpengaruh padanya. Dengan takut-takut, dia memohon bantuan dan pengampunan sambil mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya. Sesudah Patih dipanggil dan diperintahkan untuk menjaga Bupati sebaik mungkin, kedua pejabat itu pergi. Betapa pun seringnya Van Oudijck sudah mengenal takhayul orang Jawa, hal itu masih membuatnya berang, seperti pertentangan dengan sesuatu yang dia sebut aturan alam dan hidup. Ya, hanya dengan kepercayaan mereka seorang Jawa dapat dialihkan dari jejak yang tepat dari kesopanan yang dibawa dari lahir. Apa pun yang dibawa orang kepadanya, bupati akan tetap diam, bersikeras di dalam diam sepenuhnya, sebagaimana perintah dukun. Dengan begitu dia menjadi aman dari orang-orang yang dia kira musuhnya. Dan ide mengenai permusuhan dengan orang yang sebenarnya ingin dianggapnya sebagai saudara muda sesama pejabat paling menjadikan Van Oudijck sedih. 91 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Dengan Leoni dan Doddy, Van Oudijck kembali ke Labuwangi. Rumah dirasakannya saat-saat ini menyenangkan oleh suasana rumah sendiri, sebuah kenikmatan dari rumah tangga sendiri yang masih selalu tetap menyenangkan: kegembiraan material melihat tempat tidur sendiri, meja kerja dan kursi pribadi, minum kopi milik sendiri, yang disiapkan untuknya seperti biasa. Kesenangan kecil membawanya sesaat pada suasana hati yang bagus, tetapi segera dia merasakan kembali kepahitan ketika di bawah tumpukan surat pada meja kerjanya dikenalinya tulisan tangan yang dipelintir, berasal dari sang penulis kelam. Pertama-tama, dengan teliti dibukanya surat dan dia menjadi muak ketika membaca nama Leoni yang disangkutkan dengan Theo. Tidak ada satu pun yang keramat bagi bedebah yang menemukan kombinasi terngeri, tudingan tak alami dan tuduhan menjijikkan hingga hubungan sedarah. Berawal dari semua sampah yang menodai istri dan anaknya itu, mereka berdua naik lebih tinggi dan lebih murni dicintainya hingga ke puncak yang tak dapat dipersalahkan. Dia mencintai keduanya dengan kemesraan yang masih lebih tinggi dan intim. Namun, kepahitan yang digali membawanya sepenuhnya kembali dalam suasananya. Suasana itu dikarenakan dia harus memecat Bupati Ngajiwa dan itu tak senang dilakukannya. Tetapi, satu keharusan ini menggetirkan segala keberadaannya, membuatnya gugup dan sakit. Jika dia tidak dapat mengikuti garis yang telah ditetapkannya, jika hidup menyimpang dari kemungkinan yang telah dia tetapkan secara apriori, maka segala yang tak diinginkan ini, pemberontakan hidup ini, membuatnya cemas dan sakit. Setelah kematian Pangeran yang telah renta itu, ia sebenarnya berniat untuk mengangkat keluarga Adiningrat yang pamornya telah tenggelam, baik karena alasan kenangan penuh kasih atas Pangeran Jawa yang luar biasa itu, baik karena alasan instruksi residen yang dimilikinya, maupun karena perasaan manusiawi yang terpuji dan puisi tersembunyi dalam dirinya. Tetapi, itu tak pernah dapat dilakukannya. Dari awalnya Raden Ayu Pangeran sepuh itu – tanpa sadar, karena kekuatan magis – menghalanginya, menyia-nyiakan segalanya, mempertaruhkan semua, yang kemudian menghancurkan dirinya sendiri dan semua miliknya. Sebagai seorang kawan ia telah menegurnya. Raden Ayu Pangeran itu bisa menerima sarannya, tetapi pasi-judinya ternyata lebih kuat. Anak laki-lakinya, Soenario, Bupati Laboewangi, sudah dari masa sebelum kematian ayahnya, dinilai tidak cakap untuk menjadi bupati tulen oleh Van Oudijck. Ia agak angkuh, kurang berarti, tidak pernah mengenal hidup yang sebenarnya, tanpa talenta untuk memerintah maupun tanpa hati bagi rakyat kecil. Ia sangat fanatik, selalu sibuk dengan dukun, dengan hitungan- hitungan keramat, petangan, selalu tertutup dan hidup dalam sebuah ilusi gaib yang samar-samar dan buta akan kesejahteraan dan keadilan penduduk Jawanya. Tetapi rakyat tetap memuja-mujanya, baik karena kebangsawanannya, maupun karena 92 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

pengetahuannya akan hal-hal keramat serta kekuatan yang dimilikinya: kekuatan sihir dewata. Diam-diam, secara sembunyi-sembunyi, para perempuan di kabupaten menjual dalam botol-botol, air yang telah disiramkan ke tubuhnya pada waktu mandi, sebagai obat, yang mujarab untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Begitulah pangeran yang tertua, tetapi adiknya pada malam yang lalu lupa diri, tergila-gila pada judi dan minuman keras… Dengan kedua putra ini, pamor keluarga yang dahulu begitu bersinar goyah menuju kejatuhan. Anak-anak mereka masih kecil; beberapa sepupu mereka menjadi patih di Labuwangi, di keresidenan- keresidenan terdekat, tetapi tak ada setetes darah kebangsawanan pun dalam jiwa mereka. Tidak, Van Oudijck, dia tak pernah dapat melakukan apa yang sebenarnya dengan sepenuh hati ingin dilakukannya. Mereka, yang ingin ia dukung, justru bekerja menentangnya. Selesai sudah mereka. Tetapi, mengapa harus berakhir seperti itu, ia tidak paham dan itu menimbulkan kepahitan dalam dirinya. Dia pernah membayangkan sebuah garis yang lain, sebuah garis indah yang mengarah ke atas –sebagaimana ia juga memandang hidupnya sendiri– dan garis kehidupan itu kemudian secara kacau bergerak menurun. Dan dia tak paham apa yang mungkin lebih kuat darinya, dari keinginannya. Tidakkah selalu terjadi begitu dalam kehidupan kariernya yang sangat diinginkannya, sesuai logika yang ditentukan sendiri dari hari ke hari pada hal-hal yang akan terjadi? Ambisinya sekarang menentukan logika dari garis naik itu karena tujuan ambisinya itu adalah kebangkitan keluarga Jawa itu. Mungkinkah ia akan gagal? Kegagalan dalam memperjuangkan sebuah tujuan, yang telah ditetapkannya sebagai seorang pegawai – membuatnya tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Sampai saat ini ia selalu bisa mencapai apa yang ia inginkan. Tetapi apa yang saat ini ingin dicapainya –tanpa disadarinya– tidak hanya sebuah tujuan yang lazimnya dimiliki seorang pegawai, bagian dari lingkungan kerjanya. Apa yang saat ini ingin dicapainya, adalah sebuah tujuan, yang idenya berasal dari sisi manusiawinya, dari sifat mulia yang ada dalam dirinya, apa yang sekarang ingin dicapainya adalah sebuah angan–angan, sebuah angan–angan dari seorang laki-laki Barat di negeri Timur, dan dari seorang laki–laki Barat, yang melihat dunia Timur, sebagaimana ia ingin dan hanya dapat melihatnya. Dan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang berhimpun menjadi satu kekuatan, yang bekerja menentangnya, yang mengejek gambaran idenya, yang menertawakan cita- citanya, dan yang semakin dalam tersembunyi menjadi semakin kuat –namun dia tak akan pernah mengakuinya: bukan sifatnya untuk mengakuinya dan bahkan 93 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

penampakan kekuatan tersebut, yang paling jelas, akan menjadi sebuah teka-teki bagi jiwanya, dan tetaplah mitos. 4 Van Oudijck yang hari ini sudah pergi ke kantor, ketika dia baru pulang, segera disambut oleh Leoni. “Raden Ayu Pangeran ada di sini,” katanya. “Sudah sejak satu jam yang lalu, Otto. Dia ingin berbicara denganmu. Dia telah menunggumu.” “Leoni,” balas Oudijck. “Lihat surat-surat ini. Saya sering menerima pamflet- pamflet ini, dan tidak pernah membicarakannya denganmu. Tapi, mungkin lebih baik hal itu tidak lagi menjadi rahasia bagimu. Mungkin, lebih baik kamu tahu. Saya mohon, kamu jangan merasa terganggu. Saya tidak perlu memastikanmu, tidak sesaat pun saya mempercayai hal kotor itu. Janganlah menjadi tidak enak hati karenanya dan kembalikan surat-surat itu sendiri kepadaku. Jangan biarkan surat- surat ini tergeletak sembarangan... Dan persilakan Raden Ayu datang ke ruangku...” Leoni, dengan surat-surat di tangannya, mengantar Raden Ayu keluar dari serambi belakang. Dia seorang terhormat, perempuan berambut abu-abu, dengan kebanggaan keratuan dalam figur kurusnya, bermata gelap suram; mulutnya oleh karena air sirih tampak tergambar lebih lebar, giginya mengkilap hitam senyum menyeringai, seperti sebuah topeng yang merusak ekspresi kemuliaannya. Dia mengenakan kebaya satin berwarna hitam dikancing oleh berlian. Terutama rambut abu-abunya dan suram matanya memberikan campuran khas dari kehormatan dan nafsu yang tersembunyi. Ada sebuah kesedihan pada ketuaannya. Dia sendiri merasakan sebuah nasib buruk yang menyedihkan menekannya dan satu-satunya harapan dia letakkan pada kekuatan besar, yang berpengaruh luas, dari anak tertuanya, Soenario, bupati Labuwangi. Sementara Raden Ayu mendahului Van Oudijck memasuki kantor, Leoni mulai membaca surat-surat itu di serambi tengah. Sajak-sajak dengan bahasa kotor, tentang dirinya dan Addy dan Theo. Selalu di dalam mimpi egoistis dari hidup pribadinya, dia tidak pernah banyak melibatkan diri dengan pikiran dan omongan orang, terutama karena dia tahu, bahwa dia dengan penampilannya, senyumnya, segera dia memenangkan mereka kembali. Dia memiliki simpati yang tenang yang tidak bisa dilawan. Dia tidak pernah berbicara jelek, karena ketidakacuhannya; dia seseorang yang mudah memaafkan semua dan siapapun; dan dia disukai –jika orang melihatnya. Tapi surat-surat kotor itu yang terludah dari sudut gelap tidak menyenangkannya, menyulitkan, bahkan jika Van Oudijck tidak mempercayainya. Apa yang saya lakukan, jika suatu saat dia mulai percaya? Dia harus mempersiapkannya. Sebelum hari itu terjadi, dia terutama harus menjaga 94 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

ketenangan simpatiknya, seluruh kekebalannya. Dari siapakah surat itu? Siapa yang begitu membencinya, siapa yang memiliki kepentingan menulis tentang dirinya serupa itu pada suaminya? Begitu ganjil, bahwa itu dikenali...Addy, Theo? Bagaimana mereka tahu itu? Mbok Oerip? Tidak...tapi siapa, siapa dia? Apakah sebenarnya semua sudah diketahui? Dia selalu mengira bahwa apa yang terjadi dalam bilik rahasia, tidak pernah akan diketahui dunia. Dirinya sendiri mengira ̶ sebuah kenaifan– bahwa orang tidak pernah saling berbicara tentang dirinya; mungkin benar tentang perempuan lain, tapi tidak tentang dirinya. Di dalam jiwanya ada ilusi yang naif, yang tidak wajar dan setengah kekanak-kanakan, walaupun pengalamannya: sebuah kenaifan, yang selaras dengan puisi khayalan merah jambu – separuh tidak wajar dan separuh kekanak-kanakan. Dapatkah dia tidak selalu merahasiakan rahasia misterinya, kerahasian kenyataan? Sesaat, ini merepotkannya, kenyataannya toh terbuka walaupun dia sudah korek. Pikiran dan mimpi tetap selalu menjadi rahasia. Kejadian nyata telah memberinya banyak beban. Sesaat dia berpikir untuk lebih hati-hati pada masa depan, untuk menahan diri.... Akan tetapi, di depan matanya dia melihat Theo, dia melihat Addy, kekasihnya yang pirang dan coklat, dan dia merasa terlalu lemas. Dia tahu bahwa dalam hal ini dia tidak dapat mengatasi berahinya, bagaimanapun dia mengendalikannya. Akankah nafsu itu, walaupun dengan semua taktik, sekali waktu menjatuhkan dirinya. Akan tetapi, dia tersenyum dengan ide itu; dia memiliki kepercayaan pada kekebalannya, pada ketahanannya. Hidup masih tidak bisa menyentuhnya. Namun, toh dia ingin mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi. Dia tidak menaruh cita-cita tinggi untuk hidupnya lebih dari keinginan hidup tanpa sakit, tanpa kesedihan, tanpa kemiskinan dan hasratnya menjadi budak kenikmatannya, sehingga dia selama mungkin dapat menikmatinya, selama mungkin mengalami kehidupan gaya itu. Dia memikirkan apa yang akan dia katakan dan lakukan jika Van Oudijck menanyainya dalam keraguan akan surat-surat itu. Dia berpikir untuk putus dengan Theo. Addy toh sudah cukup untuknya. Dan dia merasa tersesat dalam persiapannya seperti kombinasi samar-samar sebuah permainan sandiwara yang akan terjadi. Tiba-tiba dia mendengar suara keras Raden Ayu di kantor, mengatasi suara tenang suaminya. Dia mendengarkan dengan penasaran drama ini dan merasa tenang bahwa drama ini juga tidak akan mengenanya. Dia berjalan menuju kamar tidur Van Oudijck; pintu-pintu perantara selalu terbuka dan sebuah sekat memisahkan kantor dan kamar tidur. Melalui sekat itu Leoni mengintip. Dia melihat ratu tua tersinggung, sepertinya Leoni tidak pernah melihatnya pada seorang wanita Jawa. Raden Ayu Pangeran, dalam bahasa Melayu, mendesak Van Oudijck; di dalam bahasa Belanda dia meyakinkannya bahwa itu mustahil. Leoni mendengar lebih seksama. Dia sekarang mendengar bagaimana ratu memohon agar residen 95 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

memberikan ampun bagi anak keduanya, Bupati Ngajiwa. Dia memohon Van Oudijck agar berpikir tentang suaminya, Sang Pangeran, yang dicintai Van Oudijck sebagai ayah dan mencintai Oudijck sebagai anak – dengan kesukaan yang lebih sungguh daripada perasaan sebagai saudara tua dan muda; dia memohonnya untuk berpikir akan kejayaan keluarga mereka dahulu, pada kejayaan Adiningrat, yang selalu menjadi teman terpercaya Kumpeni, menjadi sekutu dalam perang, menjadi taklukan setia dalam damai. Dia memohon untuk tidak menghancurkan keluarga mereka, yang mana sesudah kematian Pangeran datang nasib buruk dan menganga jurang kehancuran yang tak sentosa. Di depan Residen dia berdiri seperti seorang Niobe, sebagai ibu yang tragis, merentangkan lengannya dalam kehangatan jiwa dari pernyataannya, air mata mengalir dari matanya yang suram, dan hanya mulutnya yang lebar diwarnai air sirih kecoklatan seperti sebuah seringai topeng. Tapi dalam seringainya tampak beruntun muncul pernyataannya, ucapan-ucapannya, tangan pada sanggulnya seraya memohon, dan kepalan tangannya kemudian memukul- mukul dadanya. Van Oudijk menjawab dengan tegas, tapi dengan suara pelan, mengatakan padanya bahwa dia tentu saja mencintai Pangeran Sepuh dengan sungguh, bagaimana dia menghormati keturunan sepuh, tidak ada seorang pun yang menjunjung kemuliaan mereka lebih dari dia. Namun kemudian Oudijck menjadi lebih tegas dan bertanya padanya, oleh siapakah nasib buruk yang menimpa Adiningrat disebabkan? Dengan tatapan tepat pada mata ratu, dia berkata itu karena ratu. Raden Ayu mundur, murka, tapi Oudijck sekali lagi dan sekali lagi mengatakan hal itu. Anak laki-laki Raden Ayu adalah anak-anak Raden Ayu: bodoh dan angkuh dan ketagihan judi. Dalam judi, nafsu rendah, kebesaran mereka jatuh. Nafsu menang yang tak terpuaskan menjatuhkan keturunan mereka. Berapa sering, satu bulan lewat, di Ngajiwa bupati tidak menggaji para kepala desa? Raden Ayu menjawab bahwa itu benar: atas desakannya, anaknya, Bupati Ngajiwa, mengambil uang kas, meminjam, untuk membayar hutangnya dalam permainan judi. Namun, dia juga bersumpah bahwa itu tidak akan terjadi lagi! Dan dimanakah, tanya Oudijck, pernah seorang bupati, keturunan dari keluarga sepuh, bersikap begitu seperti Bupati Ngajiwa ketika diadakan pesta. Dia mengeluh, sang ibu: itu benar, itu benar; nasib buruk mencengkeram langkah mereka dan nasib itu juga membius putranya dengan kegilaan, tapi itu tidak akan terjadi lagi, tidak akan terjadi lagi. Ibu itu bersumpah dengan jiwa Pangeran Sepuh, bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi, bahwa anaknya akan memenangkan kembali kehormatannya. Namun, Oudijck lebih hebat menyalahkannya: bahwa Raden Ayu tidak pernah memberikan pengaruh baik pada anak laki-laki dan keponakannya, dia adalah roh jahat dalam keluarganya karena setan dari nafsu judi dan nafsu menang telah memegangnya dengan cakar mereka. 96 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

Dia mulai menjerit dalam kesedihan, sang ratu tua, dalam tatapan sedih residen, orang Belanda tanpa darah keturunan dan kelahiran; sedih karena Van Oudijck telah berani berbicara dan itu menjadi haknya. Dia memukulkan tangannya, memohon-mohon ampunan; dia meminta janganlah anaknya diusulkan dalam pemecatan; pemerintah akan laksanakan apa yang residen katakan, akan mengikuti nasihat dari pejabat yang terhormat. Dia memohon belas kasih dan meminta untuk bersabar. Ia akan berbicara dengan anaknya, Soenario akan bicara dengan saudaranya. Mereka akan menyadarkan Bupati Ngajiwa untuk menjauhi minum, judi, dan bermain perempuan. Oh, betapa residen memiliki belas kasihan dan betapa dia akan membiarkan hatinya melembut. Tapi Oudijck tetap tak kenal ampun. Bersabar sudah lama dia lakukan. Saat ini adalah akhir. Sejak anaknya berada di bawah pengaruh dukun, percaya pada jimatnya, melawan dengan diam diri dalam sikap kurang ajar, anaknya dalam kepercayaan yang membuatnya kebal di depan musuh. Van Oudijck akan membuktikan, bahwa dia, sang residen, pemilik kekuasaan pemerintahan, mewakili ratu, yang terkuat dari dukun dan jimat. Tidak bisa lain: kesabarannya habis, cintanya bagi Pangeran Sepuh tidak bisa melebihi pengabulan; rasa hormat untuk keluarga mereka tidak dapat dialihkannya pada seorang anak yang tak bisa dihormati. Teguh sudah: Bupati akan dipecat. Sang Ratu mendengarnya, tak dapat mempercayai kata-katanya, dilihatnya jurang menganga di depannya. Dan dengan pekik seperti singa yang terluka, dengan jerit kesedihan, dia tarik cunduk mutiara dari gelungnya hingga rambut abu-abunya tergerai lepas. Dengan satu tarikan kuat dia buka kebaya satinnya. Dirinya tak lagi berkuasa atas kesedihan; oleh keputusasaan yang melingkupinya, keputusasaan yang menyembul dari jurang yang menganga, dia ambruk di depan kaki orang Eropa. Digapainya kuat-kuat dengan kedua tangannya kaki orang Eropa itu. Dengan gerakan menyentak yang hampir membuat Van Oudijck terjatuh dia tapakkan kaki Van Oudijck di atas lehernya; dan dengan keras ia berteriak bahwa ia putri keturunan Sultan Madura untuk selamanya akan menjadi budaknya, bahwa ia bersumpah tidak akan menjadi yang lain selain menjadi budaknya jika Van Oudijck kali ini masih mengampuni anak laki-laki dan keluarganya dan tidak mendorong mereka jatuh ke dalam jurang kehinaan yang ia lihat terbuka lebar di depannya. Sang ratu menjepit kaki orang Eropa itu, seolah dengan kekuatan keputusasaan, dan seakan oleh beban perbudakan, dia ambil kaki bersepatu itu untuk ditekankan pada rambut kelabu yang awut-awutan, pada leher yang membungkuk ke tanah. Van Oudijck gemetar oleh keharuan. Dia mengerti bahwa wanita yang angkuh tak pernah begitu tampak spontan, merendahkan diri hingga penghinaan terdalam yang dapat dipikirkannya. Dia tidak akan membiarkan diri dalam ungkapan kesedihan yang terhebat, seorang perempuan dapat begitu blak-blakan: rambut lepas, dan kaki 97 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

penguasa dia tanamkan di lehernya jika dia tak sedang terguncang di dalam jiwanya, jika dia tak berputus asa hingga merusak diri sendiri. Van Oudijck bimbang sesaat. Tapi juga hanya sesaat. Dia seorang laki-laki berprinsip, berlogika: tidak berubah dalam pengambilan keputusan. Tak pernah terbuka untuk sebuah impulsi. Dengan rasa hormat akhirnya dia lepaskan kakinya dari jepitan sang ratu, dia sodorkan tangannya, dia angkat sang ratu dari lantai dengan penuh rasa segan dan belas kasih yang tampak, juga dengan keharuan. Dia mendudukkannya dan sang ratu jatuh dalam isak tangisnya. Dia sesaat berpikir menjadi pemenang, melihat kelembutan Van Oudijck. Tapi ketika dengan tenang tapi teguh Van Oudijck menggelengkan kepalanya seperti penolakan, mengertilah bahwa ini sudah selesai. Nafasnya terengah-engah, setengah pingsan, masih dengan kebaya terbuka dan rambut tergerai lepas. Saat itulah Leoni masuk. Ia melihat drama yang dimainkan di depan matanya dan dia terharu sastrawi. Ia merasakan sesuatu, suatu belas kasihan. Ia mendekati sang ratu yang bersandar pada lengannya, perempuan mencari perempuan dalam keputusasaan yang putus akal oleh ketidakberuntungan yang tak terelakkan. Leoni, dengan mata indah terarah kepada suaminya, menggumankan satu kata sebelum berbisik: kabulkan! Ada dalam jiwanya yang tandus sebuah belas kasih yang tumbuh. Sekali lagi ia berbisik: kabulkan! Untuk yang kedua kalinya Van Oudijck bimbang. Tidak pernah dia menolak permintaan istrinya berapa pun mahalnya. Tapi ini adalah pengorbanan dalam prinsipnya: tidak pernah dia akan menarik kembali sebuah keputusan, tetap bertahan pada apa yang dia inginkan. Dengan begitu dia selalu mengendalikan masa depan. Dengan begitu sesuatu terjadi seperti dia inginkan. Dengan begitu dia tak pernah menunjukkan kelemahan. Dan dia berkata bahwa itu tak bisa. Barangkali, jika dia mengabulkan maka hidupnya akan menjadi lain. Karena dia keras kepala, tak pernah dia menerka momentum keramat, bahwa manusia tidak harus mengikuti keinginan sendiri tetapi harus membiarkan diri mengikuti nafsu kekuasaan diam. Dia tidak dan tak pernah menghormati, mengakui dan menyadari saat-saat itu. Dia adalah seorang laki-laki sadar kewajiban, yang bersih, logis, jantan, sederhana, laki-laki yang hidup benar-benar sederhana. Dia tak pernah akan tahu bahwa di bawah kesederhanaan hidup berlindung semua kekuatan yang bersama- sama menjadi kekuatan diam mahakuasa. Dia akan mengolok-olok bahwa ada penduduk menguasai kekuatan itu melebihi orang Barat. Bahwa ada beberapa orang di dalam bangsa itu, individu-individu, yang di tangannya kekuatan Ilahi itu hilang dan menjadi alat. Tentang hipotesis saja, dia akan mengangkat bahu dan berlalu. Tak ada satu pun pengalaman yang dapat mengajarinya. Dia mungkin tidak seketika mengerti. Namun kemudian, kembali segera dia pegang di dalam tangan lelakinya 98 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

rantai logika yang merangkaikan fakta-fakta yang bersih secara bersama-sama.... Barangkali, jika dia mengabulkannya hidupnya akan berbeda. Dia melihat Leoni membawa Sri Ratu yang hancur dan terisak-isak keluar dari kantor. Dan di dalam perasaannya, sepenuhnya dia terharu oleh belas kasihnya; matanya menjadi basah. Di depan mata yang basah nampak sosok orang Jawa yang dia cintai sebagai seorang ayah. Tapi dia tetap tidak mengabulkannya. 5 Berita–berita dari Ternate dan Halmaheira berdatangan, mengabarkan bahwa ada sebuah gelombang laut yang luar biasa melanda pulau-pulau di sana, yang menghanyutkan beberapa desa, dan menyebabkan ribuan orang kehilangan rumahnya. Di Belanda telegram-telegram yang memberitakan peristiwa itu telah membangkitkan emosi yang lebih besar daripada di Hindia Belanda, seolah orang di sini sudah lebih terbiasa dengan gelombang laut, dengan gempa bumi. Orang banyak membicarakan mengenai Dreyfus, orang mulai membicarakan Transvaal2, tetapi hampir tidak ada yang membicarakan Ternate. Walaupun demikian di Batavia dibentuk sebuah komite pusat dan Van Oudijck mengadakan rapat untuk itu. Ditetapkan bahwa secepat mungkin akan diadakan sebuah pesta besar baik di dalam maupun di halaman gedung sositet. Nyonya Van Oudijck, seperti biasanya, menyerahkan segala sesuatunya kepada Eva Eldersma dan tidak ikut campur. Kesibukan yang mengharukan berlangsung selama empat belas hari di seluruh Labuwangi. Dalam tempat sunyi di pedalaman Hindia Belanda itu mulai bangkit gelombang nafsu, hasrat dan permusuhan. Eva memiliki teman-teman yang mendukungnya: Van Helderen, Doorn de Bruijn, Rantzow; di seberangnya beberapa kelompok sangat kecil bersaing. Yang satu berselisih dengan yang lain; yang satu tak ingin ikut serta karena yang lain ikut; yang satu memaksa ikut hanya karena ia tidak ingin Nyonya Eldersma berpikir bahwa ia paling berkuasa dan yang lain-lainnya juga mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri, bahwa Eva terlalu banyak memiliki pretensi, dan bahwa ia tidak boleh berpikir bahwa ia orang nomor satu, hanya karena Nyonya Van Oudijck telah menyerahkan segalanya kepadanya. Namun Eva telah berbicara dengan residen dan menjelaskan keinginannya untuk mengorganisir pesta itu, tetapi dengan sebuah kekuasaan yang tak terbatas. Ia tidak akan menentang jika saja residen menginginkan orang lain untuk mengurus pesta itu, tetapi jika dia memilih Eva– maka kekuasaan tak terbatas merupakan syarat yang harus dipenuhi. Jika dia harus mempertimbangkan dua puluh macam opini dan selera yang berbeda-beda maka itu tidak akan ada habisnya. Sambil tertawa, Van Oudijck meluluskan permintaannya itu, tetapi menekankan kepadanya untuk tidak membuat marah banyak orang, menghormati perasaan masing-masing, sebanyak 99 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers

mungkin berdamai dengan banyak orang, sehingga pesta besar itu akan meninggalkan kenangan yang menyenangkan. Eva berjanji bahwa dia bukanlah orang yang bersifat mencari konflik. Melakukan sesuatu, mengeluarkan energi artistik yang ada pada dirinya, merupakan hasrat dan hidupnya, merupakan penghiburan baginya di tengah kehidupan Hindia Belanda yang menjemukan. Karena walaupun dia begitu mencintai hidupnya di Hindia Belanda dan merasa segalanya begitu indah, dia merindukan kehidupan sosialnya, kecuali teman-teman satu klubnya tentu saja, semua pesona. Tetapi sekarang, dalam lingkup yang luas, mempersiapkan sebuah pesta, yang akan dapat perhatian orang hingga sampai Surabaya, menambah rasa percaya diri dan gairah kerjanya. Dia berlayar melampaui segala kesulitan, dan karena orang mengakui bahwa dia yang paling mengetahui apa yang terbaik dan melakukannya dengan paling praktis, maka mereka semua setuju. Tetapi saat dia sibuk merancang kios-kios indah dan tablo, dan saat keluarga-keluarga terpandang dari Labuwangi sibuk mempersiapkan pesta, tampak ada sesuatu yang juga melingkupi jiwa rakyat pribumi, tetapi tak sejelas pada orang-orang yang akan berpesta. Kepala polisi, yang setiap pagi selalu memberikan laporan pendek pada Van Oudijck, biasanya dalam beberapa kata, – bahwa dia telah melakukan patroli keliling, dan bahwa segalanya tampak beres– beberapa hari terakhir berbicara lebih lama dengan residen. Kepala polisi tampaknya memberitahukan hal-hal yang lebih penting kepadanya; di depan kantor para penjaga berbisik-bisik lebih misterius: residen menyuruh Eldersma dan Van Helderen datang; sekretaris menulis surat kepada Vermalen, sang asisten-residen, di Ngajiwa; kepada mayor komandan garnisun; dan pengawas kota semakin sering berkeliling, pada jam-jam yang tidak biasa. Dalam kesibukannya, para perempuan itu tidak mencium adanya misteri, yang mengelilingi mereka, dan hanya Leoni, satu- satunya yang tidak ikut campur pada pesta itu menyadari adanya kekhawatiran yang tak biasa dan tak terucapkan pada suaminya. Ia mempunyai pemahaman yang cepat dan tajam, dan karena Van Oudijck –biasanya sering membicarakan masalah pekerjaan dengan keluarganya– hari-hari terakhir ini begitu pendiam, bertanyalah Leonie, dimana Bupati Ngajiwa berada, yang atas permintaan Van Oudijck dipecat oleh pemerintah, dan siapa yang akan menggantikanya. Van Oudijck menjawabnya samar-samar dan itu membuatnya hati-hati dan takut. Pada suatu pagi, sewaktu melewati kamar tidur suaminya, ia mendengar Van Oudijck berbisik-bisik dengan kepala polisi, dan dia mendengarkan sebentar dengan menempelkan telinganya pada penyekat. Tetapi, pembicaraan mereka tak terdengar jelas karena pintu-pintu kebun terbuka, di tangga-tangga kebun duduk para penjaga; beberapa laki-laki yang harus 100 Kekuatan Diam#Christina Dewi Elbers


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook