Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Jangan Memanjat Pohon yang Salah Pandangan dan Eksperimen dalam Pendidikan

Jangan Memanjat Pohon yang Salah Pandangan dan Eksperimen dalam Pendidikan

Published by Beam Nursupriatna, 2021-11-02 14:59:47

Description: Jangan Memanjat Pohon yang Salah Pandangan dan Eksperimen dalam Pendidikan

Search

Read the Text Version

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— dengan semangat kerja yang rendah, maka sudah dapat dipastikan bangsa Indonesia akan menjadi salah satu bangsa yang akan dipandang sebelah mata dalam pergaulan internasional. Bahkan mungkin bisa lebih buruk lagi, bangsa Indonesia akan menjadi salah satu beban besar bagi bangsa- bangsa lain, mejadi bangsa yang hanya bisa menghidupi rakyatnya kalau ada belas kasihan dari bangsa lain. Dan perlu dicatat, kalau pertumbuhan penduduk tetap berjalan seperti sekarang, 25 tahun dari sekarang penduduk Indonesia sudah akan mencapai sekitar 300 juta orang. Pengalaman selama 35 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memanfaatkan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam dengan baik, khususnya pendapatan yang besar ini tidak dipakai dengan cepat untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat, khususnya memeperbaiki tingkat kecerdasan masyarakat melalui pendidikan dalam arti luas. Kecerdasan masyarakat inilah yang menjadi salah satu sumber utama kesejahteraan masyarakat dalam ekonomi modern, dan kecerdasan ini selalu bisa diperbaharui. Tiga ratus juta rakyat yang tidak cerdas akan menjadi beban besar, tidak hanya bagi Indonesia namun juga bagi masyarakat dunia. Namun 300 juta rakyat yang cerdas akan menjadi sumber kesejahteraan. Jadi, inilah tantangan besar dunia pendidikan di Indonesia, mengubah beban menjadi sumber kekayaan, membangun masyarakat Indonesia yang siap mengahadapi keadaan yang paling buruk karena sudah habisnya sumber daya alam. Waktu yang tersedia sebenarnya tidak banyak. Dalam 25 tahun cadangan minyak bumi Indonesia sudah akan menyusut drastis (untuk tidak mengatakan habis). Kalau Indonesia masih memperlakukan dunia pendidikan seperti di masa lalu untuk 25 tahun yang akan datang, maka Indonesia hanya akan menjadi bangsa kuli rendahan, dan kesempatan untuk menjadi bangsa yang terpandang di dunia nampaknya akan tertutup. 73

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— Menyiapkan Masyarakat Menjadi Masyarakat yang Lebih Dewasa. Enam puluh tahun setelah memproklamasikan kemerdekaan, masyarakat Indonesia masih harus belajar menjadi masyarakat yang lebih dewasa. Berikut ini adalah beberapa ciri dari masyarakat yang dewasa: • Memecahkan perbedaan pendapat dengan cara-cara damai. Perbedaan pendapat bahkan konflik adalah realita kehidupan yang dijumpai di negara atau masyarakat manapun. Namun demikian ada masyarakat yang punya kecenderungan memecahkan perbedaan pendapat atau konflik di dalam masyarakatnya dengan menggunakan kekerasan, ada masyarakat yang cenderung memilih cara- cara cerdas untuk memecahkan perbedaan pendapat atau konflik secara damai. Masyarakat yang lebih dewasa memilih cara-cara damai. • Berusaha mencari pijakan-bersama untuk tumbuh dan berkembang bersama di tengah-tengah kebhinekaan. Di samping berusaha memecahkan konflik secara damai, masyarakat dewasa berusaha mencarai pijakan-bersama di tengah-tengah kebhinekaan atau keaneka ragaman, dan mencoba menjadikan kebhinekaan sebagai sumber kekuatan bukan sebagai sumber permasalahan. • Belajar dari manapun. Masyarakat dewasa pada dasarnya adalah masyarakat terbuka, masyarakat yang bersedia belajar hal-hal yang baik darimanapun dan selalu berusaha memperbaiki diri. Masyarakat dewasa bukan masyarakat tertutup yang merasa tidak perlu belajar lagi. • Mengambil tanggung jawab sendiri atas masa depannya. Masyarakat dewasa beusaha kuat untuk memegang kendali atas masa depannya dan tidak membiarkan kendali itu berada di tangan pihak lain. Di samping itu, 74

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— masyarakat dewasa menghindari kebiasaan mencari kambing hitam, menyalahkan pihak lain apabila ada yang tidak diharapkan terjadi pada dirinya sendiri. • Mengatur diri-sendiri (self regulating). Masyarakat yang lebih dewasa mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatur atau menertibkan dirinya sendiri. Anggota masyarakat dewasa mengatur diri sendiri atas dasar pertanggungjawaban moral kepada diri sendiri dan tanggung jawab sosial kepada masyarakat luas. Meritokratis. Masyarakat meriktokratis beranggapan bahwa keberhasilan atau kesejahteraan yang baik adalah hasil usaha atau kerja keras, bukan pemberian dari orang lain atau mengambil hak orang lain dengan melanggar pertimbangan moral. Masyarakat meritokratis menjauhi sikap ‘makan siang gratis’. Membangun Bangsa yang Bisa Dipercaya. • Membebaskan bangsa ini dari posisi sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia. Semua orang tahu bahwa korupsi adalah salah satu penyakit terbesar Indonesia. Gelar sebagai salah satu negara yang korupsinya paling tinggi di dunia tidak hanya menyebabkan hilangnya kebanggaan sebagai warganegara Indonesia, namun juga mengahambat seluruh proses untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Tanpa harus menjadi seorang ahli ekonomi, seseorang dapat mengatakan bahwa kesejahteraan di era ekonmi pengetahuan sekarang ini memerlukan dua prasyarat utama yaitu manusia dan masyarakat yang bermutu dan pemerintahan yang bersih. Tanpa dua prasyarat tersebut maka kesejahteraan yang dibangaun hanya bersifat sementara atau semu.. Korupsi terjadi karena lemahnya karakter, bukan karena 75

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— kurangnya kompetensi. Orang-orang dengan kompetensi tinggi namun tanpa karakter yang baik dapat menjadi koruptor yang sangat canggih sehingga korupsinya sulit sekali dibuktikan. • Membangun institusi yang punya kredibilitas. Di samping warga yang cerdas dan berkarakter baik, sebuah bangsa juga memerlukan institusi yang baik. Institusi ini meliputi institusi pemerintahaan, institusi di sektor swasta maupun lembaga kemasyarakatan. Lima puluh tahun lamanya Indonesia terpana pada konsep pemimpin yang kuat sehingga mengabaikan pembangunan masyarakat dan institusi. Korupsi di Indonesia mulainya di institusi pemerintahan dan terus menjalar ke instusi di sektor swasta dan lembaga kemasyarakatan. Membangun Kembali Kepercayaan Diri dan Idealisme Bangsa Krisis besar yang menerpa bangsa Indonesia pada akhir tahun 1997, ketergantungan terhadap hutang luar negeri, dan tingkat korupsi di Republik ini yang masih berada pada tingkat tertinggi di dunia, telah menurunkasn kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia. Bersama dengan itu, susut juga rasa percaya diri masyarakat kita, khususnya kepercayaan bahwa kita akan bisa membangun masyarakat yang maju dan bermartabat. Sebagian dari masyarakat kita bahkan sudah mulai mempercayai bahwa korupsi memang sudah menjadi ciri bangsa Indonesia sejak dulu kala, dan harus diterima dan tidak banyak yang bisa kita lakukan untuk memberantasnya. Secara perlahan-lahan kita mulai menerima bahwa kita memang bangsa kelas dua atau kelas tiga, yang peringkat kemampuannya memang di bawah bangsa lain di sekitar kita. 76

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— Hilangnya rasa percaya diri dan menerima (dalam hati) posisi sebagai bangsa kelas dua diantara bangsa2 di dunia sangatlah berbahaya. Sebab dari penerimaan ini akan terjadi fenomena ‘self fulfilling prophecy’: bangsa yang merasa tidak mampu benar-benar akan menjadi tidak mampu dan bangsa yang merasa kelas dua, benar-benar akan menjadi bangsa kelas dua atau bahkan bangsa kelas tiga atau kelas empat, bangsa yang merasa sebagai pecundang benar-benar akan menjadi pecundang. Sebab itu, pendidikan di Indonesia hendaknya dapat mengembalikan kepercayaan diri bangsa kita. Kalau Malaysia dan Korea bisa, mengapa kita tidak bisa? Kita bisa, kalau kita mau dan berusaha keras. Potensi masyarakat Indonesia tidak kalah dari potensi masyarakat lain. Pendidikan di Indonesia hendaknya mejadi media untuk membangkitkan kembali idealisme bangsa ini dalam arti menyalakan kembali aspirasi untuk menjadi bangsa yang terpandang, bangsa yang bermartabat, dan bangsa yang disegani, serta sangat diperhitungkan dalam pergaulan negara-negara di dunia. Memupuk Rasa Kebangsaan. Sedikit negara di dunia yang mewarisi keanekaragaman seperti Indonesia. Sungguh suatu kecerdasan yang luar biasa ketika para pemuda pejuang kemerdekaan pada tanggal 28 Oktober 1928 mengumandangkan Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional telah menjadi perekat yang luar biasa dalam pertumbuhan rasa kebangsaan di Indonesia. Kita tidak bisa membayangkan betapa besarnya masalah yang akan dihadapi oleh Indonesia apabila tidak ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Namun demikian, perlu disadari, bahwa proses belajar bersama untuk tumbuh bersama sebagai sebuah bangsa dengan tetap menjaga kebhinekaan belum selesai, dan masih akan terus berlangsung. Krisis-krisis besar yang dihadapi 77

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— bangsa Indonesia yang bahkan sampai mengancam integritas bangsa kita menunjukkan betapa banyaknya pekerjaan rumah yang masih harus dilakukan oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang untuk memantapkan kemampuan hidup bersama sebagai satu bangsa ini. Memupuk perasaan sebagai satu bangsa ini sangat diperlukan agar masyarakat kita tidak menghabiskan energinya untuk menciptakan dan memecahkan konflik diantara sesama komponen bangsa. Memupuk perasaan sebagai satu bangsa dalam tataran praktis berarti menumbuhkan kesadaran dan pengertian bahwa kita saling membutuhkan, bahwa kita saling tergantung, bahwa kita hanya bisa maju bersama kalau kita saling mendukung. Memupuk rasa kebangsaan berarti juga menyadari kelemahan dan bahaya dari sikap ekslusif, dan sikap diskriminatif. PERUBAHAN PADA TATARAN KEBIJAKAN YANG BERKAITAN DENGAN PENDIDIKAN UNTUK MENGHADAPI MASA DEPAN Membangun Kesadaran Baru Perubahan besar dalam pendidikan mensyaratkan adanya kesadaran baru di kalangan masyarakat Indonesia di semua lapisan. Bangsa Indonesia perlu secara sistematik membangun, mengembangkan dan menguatkan kesadaran bahwa sumber daya alam yang tak terbarukan seperti minyak, batubara, tembaga, mas dan bahan galian lainnya suatu hari akan habis. Sumber daya alam ini sudah tidak bisa lagi dijadikan tumpuan untuk menciptakan kesejahteraan. 78

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— Kalau pada saat itu Indonesia belum berhasil menciptakan tumpuan kesejahteraan baru yang bersumber dari kecerdasan, kredibilitas, kohesivitas, dan semangat kerja masyarakatnya, maka Indonesia akan tetap menjadi salah satu negara yang paling tertinggal di dunia. Dalam keadaan seperti itu, masa depan bangsa kita akan dikendalikan orang atau bangsa lain, atau dengan kata lain kita akan merelakan diri menjadi ’negara jajahan’ di era modern. Memang proses penjajahan kini tidak dijalankan dengan kekerasan seperti di masa lalu, namun dengan cara-cara yang sangat elegan, dengan membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang baru yang lebih kompetitif, mempengaruhi cara berpikir serta kebijakan- kebijakan pembangunan. Adalah menjadi kewajiban moral generasi sekarang ini untuk mencegah terjadinya keadaan buruk seperti itu. Di samping itu kita perlu memperkuat kesadaran bahwa Indonesia tidak akan mencapai kemajuan bersama dengan cara menciptakan permusushan di antara kita sendiri, apakah itu permusuhan antra suku, antar daerah, antar agama. Kita perlu menerima realitas bahwa Indonesia adalah negara dan bangsa penuh kebhinekaan, dan berusaha mendapatkan yang terbaik dari keanekaragaman itu, bukan mengingkari keanekaragaman tersebut dengan saling menutup diri. Tidak sedikit bangsa di dunia menciptakan kesengsaraan bagi dirinya sendiri dengan cara terus menerus menciptakan konflik dan permusuhan diantara sesama warganya dan akhirnya bangsa-bangsa seperti itu hanya bisa hidup atas dasar belas kasihan bangsa-bangsa lain. Kesadaran di atas dibangun dan diperkuat pada setiap warga masyarakat, pada anak-anak, pada pemuda, pada orang tua, di semua daerah, di semua sektor kehidupan. Membangun kesadaran baru ini adalah langkah utama dalam upaya bangsa ini untuk mendidik dirinya sendiri. Ini menjadi tugas setiap orang, apapun peran dia : orang tua, guru, jurnalis, pejabat 79

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— negara, politisi, pegawai pemerintah, aktivis LSM, pengusaha, pekerja swasta, rohaniwan. Perubahan Model-mental Pembangunan. Kesadaran baru saja belum cukup untuk memulai perubahan. Perubahan kesadaran perlu diikuti oleh perubahan cara pandang atau sikap. Dalam hal ini, cara pandang atau model mental yang memperlakukan pengembangan kualitas manusia dan masyarakat hanya sebagai salah satu sektor pembangunan saja sudah tidak sesuai lagi. Model-mental pembangunan yang diperlukan adalah memposisikan pengembangan kualitas manusia dan masyarakat sebagai inti atau poros penggerak, atau penghela dan pendorong utama dari kemajuan bangsa ini di masa depan. Dalam cara pandang seperti ini pembangunan industri berarti membangun masyarakat industri dalam arti masyarakat yang cerdas secara teknologi, produktif, sedia bekerja keras, bukan hanya membangun pabrik-pabrik secara fisik. Demikian juga pembangunan pariwisata berarti usaha membangun masyarakat yang kreatif, punya jati diri budaya, punya kebiasaan hidup bersih, terbuka, dan bisa menjadi pelaku utama dan memanfaatkan peluang dari kemajuan pariwisata dunia, bukan hanya pembanguan hotel-hotel dan menjadikan masyarakat hanya sebagai obyek wisata. Dengan cara pandang baru ini, maka manusia dan masyarakat bukan hanya sumber daya yang diperlakukan seperti sumber daya lainnya, namun manusia adalah insan yang utuh, masyarakat adalah komunitas-insani. Dalam cara pandang ini, pendidikan tidak hanya mengembangkan kompetensi, namun yang tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan hal-hal yang melampaui kompetensi seperti karakter, cita-cita, semangat, kepekaan nurani. Pada 80

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— masyarakat yang masih dalam proses transisi seperti masyarakat Indonesia sekarang ini, di mana masih banyak masalah yang dihadapi dalam penegakaan hukum dan keadilan, sistem-sistem pemerintahaan belum dikembangkan dengan baik, aturan main dalam bisnis masih harus ditata, maka peran karakter sangat penting. Dalam masyarakat seperti itu, lubang-lubang untuk korupsi dan perbuatan yang merugikan masyarakat lainnya masih sangat banyak. Sebab itu negara memerlukan masyarakat yang anggotanya punya karakter baik. Anggota masyarakat seperti ini akan tidak mudah tergoda untuk memcari atau memanfaatkan kelemahan dalam sistem-sistem yang ada untuk melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat. Namun demikain, ini tidak berarti bahwa kompetensi tidak diperlukan. Kompetensi tetap diperlukan. Namun, orang-orang yang punya kompetensi tetapi tanpa karakter akan menjadi beban dan bukan menjadi berkah bagi orang-orang atau masyarakat di sekitarnya. Mendahulukan yang Harus Didahulukan: Menghentikan Subsidi BBM. Memperbaikin kualitas manusia dan masyarakat memerlukan dana yang sangat banyak, dalam periode waktu yang lama. Selama ini, kita, sekurang-kurangnya pemerintah merasa bahwa Indonesia tidak punya cukup dana untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Permasalahan yang sebenarnya bukan ketiadaan dana, namun pengunaan atau penyaluran dana dengan prioritas yang sangat mengabaikan pendidikan. Berpuluh-puluh tahun pemerintah Indonesia dengan sukarela memakai anggarannya untuk memsubsidi BBM. Subsidi bisa mencapai puluhan trilyiun rupiah, bahkan bisa mencapai 35 tryliun rupiah setahun. 81

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— Sudah sangat banyak pihak menyadari bahwa subsidi BBM ini sangat tidak adil, khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, baik yang tinggal di kota-kota maupun di desa. Subsidi BBM ini, khususnya subsidi BBM untuk kendaraan pribadi dan industri justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan pemilik modal karena merekalah yang memiliki mobil pribadi, kapal pesiar pribadi, pesawat terbang pribadi, dan pemilik pabrik- pabrik yang banyak memakai BBM. Kalau subsidi ini di bayar oleh negara, artinya dibayar dengan dana yang menjadi milik semua rakyat Indonesia, ini berarti bahwa dengan menerapkan kebijakan subsidi ini orang-orang berpenghasilan rendah justru harus membayar subsidi yang dinikmati oleh orang-orang berpenghasilan tinggi. Kalau produk yang dibuat oleh industri yang bahan bakarnya disubsidi itu diekspor, maka kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin Indonesia secara tidak langsung mensubsidi konsumen di luar negeri. Konsumen luar negeri ini mungkin termasuk konsumen di negara-negara kaya yang pendapatan per kapitanya beberapa kali lipat lebih besar dari pendapatan per kapita rakyat Indonesia. Untuk mudahnya, di sini dikatakan bahwa subsidi BBM dibayar oleh pemerintah. Namun apabila dicermati lebih jauh, yang membayar bukan pemerintah tetapi generasi yang akan datang. Dengan menekan harga BBM lebih rendah dari harga yang seharuanya, maka konsumsi BBM sekarang ini di Indonesia cenderung akan meningkat. Karena harganya relatif murah, maka para pemakai lebih mudah menghambur- hamburkannya dan cadangan minyak bumi yang ada di persada Indonesia akan lebih cepat terkuras. Padahal cadangan tersebut seharusnya tidak hanya menjadi hak orang- orang Indonesia yang hidup sekarang saja, namun juga hak generasi yang akan datang. Jadi, dengan mensubsidi BBM 82

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— maka secara tidak langsung generasi sekarang ini secara tidak adil telah mengambil (untuk tidak mengatakan merampas) hak-hak generasi yang akan datang untuk menikmati ’kekayaan’ bumi Indonesia. Di samping itu, subsidi BBM telah merangsang tumbuh dan berkembangnya penyelundupan BBM keluar negeri. Selama ada perbedaan harga yang besar antara BBM di Indonesia dengan BBM di negara tetangga, maka penyelundupan akan tetap marak. Kembali di sini, dengan menerapkan subsidi BBM, rakyat kecil secara tidak langsung telah ikut memperkaya para penyelundup. Rakyat yang kurang mampu memang perlu mendapat subsidi, namun subsidi hendaknya diberikan kepada orang perorangan bukan terhadap komoditas. Pada daranya tidak hanya subsidi BBM saja yang dapat menimbulkan ketidak adilan. Semua bentuk subsidi terhadap komoditas, bisa mengandung potensi besar untuk menimbulkan ketidak adilan. Meningkatkan Peran Masyarakat dan Sektor Swasta Dalam Membiayai Pendidikan. Upaya untuk memajukan pendidikan dalam rangka perbaikan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia tidak bisa hanya bertumpu pada dana pemerintah saja. Pengalaman di negara- negara lain dan di Indonesia selama ini menunjukkan bawa masyarakat dan sektor swasta dapat mengambil peran yang besar dalam hal ini. Sebenarnya untuk Indonesia peran ini bisa diperbesar lagi. Hal yang diperlukan adalah memberi insentif yang lebih besar bagi masyarakat dan sektor swasta apabila mereka bersedia ’menyumbangkan’ sebagian kekayaan yang mereka miliki untuk pengembangan pendidikan. Dalam hal ini diperlukan inovasi pada kebijakan 83

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— pemerintah agar masyarakat dan sektor swasta tertarik untuk meyalurkan dananya untuk perbaikan pendidikan di Indonesia. Misalnya perlu dijajagi kemungkinan untuk pengembangan kebijakan perpajakan yang mendorong anggota masyarakat dan sektor swasta merasa terpanggil dan melihat manfaatnya untuk secara langsung ikut serta membiayai pendidikan. Memperbesar peran swasta dalam peningkatan mutu pendidikan adalah hal yang sangat wajar, sebab sektor swasta punya kepentingan langsung terhadap mutu lulusan pendidikan. Sektor swastalah yang akan menerima manfaat langsung dari sistem pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja yang lebih bermutu dan sebaliknya sektor swstalah yang juga paling dirugikan apabila mereka tidak mendapatkan tenaga kerja yang bermutu. Dalam era ekonomi pengetahuan, daya saing sebuah perusahaan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk menarik atau mendapatkan tenaga kerja yang bermutu, serta mengembangkan mereka dalam perusahaan, dan menciptakan lingkungan kerja yang membuat mereka punya komitmen tinggi dan senang bekerja di perusahaan. Investasi pada Peningkatan Mutu Guru. Tidak ada pendidikan yang bermutu tanpa guru yang bermutu. Guru di sini mencakup guru pada semua jenjang pendidikan, dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Membanyangkan perbaikan mutu pendidikan tanpa perbaikan mutu guru adalah sebuah ilusi. Sayangnya, selama tiga dekade terakhir ini, para guru adalah kelompok warga negara yang paling tidak menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi (baik dari manfaat sosial maupun manfaat ekonomik) dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya. 84

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— Dari pengalaman bekerja sama dan berinteraksi dengan ribuan orang guru dan kepala sekolah selama 12 tahun terakhir ini penulis berani menyatakan bahwa secara umum para guru dan kepala sekolah pada tingkat SMU dan SLTP, bekal mereka sangat tidak mencukupi dalam hampir semua bidang yang diperlukan untuk menjadi seorang pendidik yang baik di awal abad 21 ini. Secara umum bekal mereka sangat terbatas dalam pengetahuan substansial, dalam pengetahuan kontekstual, dalam pengembangan proses- proses belajar baru, dalam menciptakan suasana belajar baru. Penulis berani menyatakan bahwa sebagian besar guru-guru dan kepala sekolah kita masih merupakan kelompok masyarakat yang terisolasi dari perkembangan pengetahuan, metoda, serta paradigma pendidikan yang baru. Hal ini terjadi bukan karena kemauan mereka, namun merupakan akibat dari cara negara kita menangani pendidikan selama ini. Rendahnya gaji para guru dibandingkan dengan profesi lain di Indonesia telah menyebabkan kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru dan menjadi guru telah menjadi pilihan terakhir bagi banyak orang atau pemuda yang masuk ke perguruan tinggi. Pendidikan guru kalah bersaing dalam menarik calon mahasiswa yang berpotensi tinggi. Semua ini menjadi ’downward spiral’ dalam mutu guru di Indonesia. Di pihak lain, ketika pemerintah dan masyarakat memberi hanya sedikit kepada para guru, mereka menuntut sangat banyak dan tuntutannnya makin meningkat, khususnya dalam hal mutu pendidikan. Kalau ada pihak yang tidak puas dengan mutu pendidikan, tidak jarang yang dijadikan kambing hitam sebagai penyebab adalah para guru. Kalau bangsa Indonesia ingin melakukan ‘turn around’ dalam bidang pendidikan, maka negara ini perlu segera mulai 85

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— melakukan investasi besar-besaran dalam peningkatan mutu para guru. Posisi guru hendaknya dikembalikan sebagai ujung tombak dan aktor utama dalam peningkatan mutu pendidikan, bukan diperlakukan sebagai ’pelengkap penderita’. Para guru hendaknya dibebaskan dari sistem dan suasana birokratik dan feodalistik di lembaga-lembaga pendidikan yang mengekang mereka untuk mengeluarkan potensinya yang terbaik. Kesejahteraan guru memang issue besar, namun peningkatan kesejahteraan hendaknya dijadikan bagian yang tidak terpisah dari peningkatan mutu guru. MENCERMATI KEMBALI TUJUAN PENDIDIKAN PADA TATARAN OPERASIONAL Membangun dan Mengembangkan Daya Tahan dan Daya Tumbuh Dalam Lingkungan yang Makin Bergejolak. Pada tingkat mikro atau kegiatan lembaga pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan ditantang untuk dapat menjadi habitat atau lingkungan yang mendorong,dan memudahkan para siswa untuk mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin agar mereka siap tumbuh dan berkembang dalam lingkungan kehidupan yang makin bergejolak. Secara umum, kehidupan di awal abad 21 ini ditandai oleh keterbukaan, keanekaragaman, kebaruan, kesementaraan dan kompleksitas yang meningkat. Batas antara negara makin tipis, arus informasi keseluruh dunia mengalir bebas, persaingan dan kerjasama yang bersifat global. Generasi muda akan menghadapi kehidupan yang 86

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— lebih ditandai oleh kebhinekaan, berkenalan dengan nilai-nilai yang beragam dari seluruh dunia, pilihan yang makin banyak. Mereka juga akan berhadapan dengan hal-hal baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, termasuk diantaranya pengetahuan baru dan teknologi baru yang berkembang dengan sangat cepat. Perubahan yang sangat cepat menyebabkan orang-orang akan berada dalam kesementaraan, umur teknologi makin singkat, hubungan- hubungan lebih bersifat sementara, dan banyak hal menjadi lebih cepat usang. Bersamaan dengan itu semua, kesaling tergantungan dan inter-koneksi dalam kehidupan juga meningkat. Lingkungan kehidupan yang baru ini pada saat yang sama membawa tantangan atau persoalan baru dan pada saat yang sama membawa juga peluang-peluang baru. Kesempatan untuk mengubah tantangan menjadi peluang akan lebih besar apabila pendidikan dapat membantu para siswa mentransformasikan beraneka kecerdasan yang dimiliknya (kecerdasan logika-matematikal, keceerdasan linguistik, kecerdasan musikal, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestika- raga, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan lainnya) menjadi daya tahan dan daya tumbuh dalam lingkungan yang bergejolak [4]. Proses transformasi ini berjalan melalui media iklim belajar, proses belajar dan substansi pelajaran. Ada empat unsur daya tahan daya tumbuh dalam lingkunagan bergejolak yaitu visi yang jelas, karakter, kreativitas dan kompetensi. Visi atau cita-cita hidup yang tinggi adalah gambaran masa depan yang atraktif, yang jauh lebih baik dari keadaan sekarang. Visi yang jelas berfungsi sebagai penunjuk arah bagi seseorang dalam menjalani kehidupan, sebagai penggugah, dan dapat menjadi sumber motivasi dalam menghadapi 87

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— tantangan hidup.Visi adalah jembatan antara masa kini dan masa depan yang lebih baik. Di samping menajamkan visi, pendidikan hendaknya dapat membantu para siswa membangun karakter. Di sini yang dimaksud dengan karakter adalah ‘distinctive trait, disticntive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’ [5 ]. Ada beberapa dimensi karakter yang sangat penting, yaitu integritas, kepercayaan-diri, kedewasaan, mentalitas- berkelimpahan (abundance mentality), kegigihan, dan semangat memperbarui diri. Esensi dari integritas adalah kejujuran, ketulusan dan memegang teguh standard moral yang tinggi. Integritas ditujukkan oleh kesesuaian antara nilai-nilai yang dipegang dengan kebiasaan, kesesuian antara perkataan dengan perbuatan dan kesesuaian antara ungkapan dengan perasaan. Visi dan karakter menjadi bagian dari jati diri seseorang. Dengan jelasnya jati diri ini seseorang tidak akan tersesat di dalam hiruk pikuk pergaulan dunia yang makin terbuka dan kompleks ini. Visi perlu disertai dengan integritas agar seseorang tidak terperangkap pada sikap ‘tujuan menghalalkan cara’. Integritas yang tinggi merupakan prasyarat bagi pemberian ruang yang lebih luas untuk pengendalian-diri. Integritas diperlukan untuk menjamin agar kebebasan yang diberikan dipakai secara bertanggung jawab. Integritas sangat diperlukan untuk membangun rasa saling percaya dalam sebuah komunitas. Dalam pengertian yang sederhana, kreativitas adalah kemampuan memikirkan hal-hal baru. Kemampuan untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang baru, mengembangkan gagasan baru untuk memecahkan persoalan, kelenturan berpikir, kemampuan berpikir lateral, termasuk dalam lingkup kreativitas. Kemampuan melihat 88

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— yang tidak terlihat dan memikirkan yang tidak terpikirkan orang lain adalah dua ciri utama kreativitas. Kini dan di masa depan orang-orang akan lebih sering mengahadapi tantangan- tantangan baru dalam kehidupannya. Untuk itu orang memerlukan kreativitas yang lebih tinggi untuk bisa bertahan dan berkembang dalam lingkungannya. Namun kreativitas memerlukan kompetensi, agar gagasan-gagasan baru yang dikembangkan dapat dilaksanakan. Kompetensi menurut Sveiby [6] terdiri dari beberapa unsur berikut: pengetahuan eksplisit, yaitu pengetahuan mengenai fakta-fakta yang sebagian diperoleh melalui pendidikan formal; keterampilan, yang terdiri dari keahlian yang bersifat praktis –fisik dan mental- yang sebagain besar diperoleh melalui pelatihan dan praktik; pengalaman, yang diperoleh melalui perenungan terhadap keberhasilan atau kegagalan di masa lalu; value judgement, yaitu persepsi mengenai hal yang dianggap benar oleh seseorang; jejaring sosial, yaitu jejaring hubungan dengan orang-orang lain. Mengembangkan Empat Kecakapan Untuk Kehidupan yang Lebih Berguna dan Bermakna. Lebih jauh lagi, pendidikan hendaknya dapat mempermudah dan mendorong para siswa untuk mentransformasikan empat unsur kualitas di atas (visi, karakter, kreativitas dan kompetensi) menjadi hal-hal yang berguna bagi orang yang bersangkutan dan bagi masyarakat di sekitarnya. Hal-hal yang berguna ini menjadi bagian dari kontribusi seseorang ditengah-tengah masyarakatnya. Dengan kontribusi ini seseorang bisa merasa bahwa dia dalam hidupnya sudah melakukan sesuatu yang berarti, atau sesuatu yang bermakna. Jadi, pendidikan hendaknya dapat membantu, memudahkan dan mendorong seseorang untuk mengubah dan 89

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— mengerahkan potensinya menjadi kecakapan yang dia dapat pergunakan untuk mewujudkan kehidupan yang berguna dan bermakna. Dalam risalah ini yang dimaksud dengan kehidupan bermakna adalah mutu kehidupan yang menimbulkan perasaan pada seseorang bahwa dia dalam hidup ini sudah berhasil mencapai, atau merealisasikan atau melakukan hal- hal yang penting, luhur dan bermanfaat tidak hanya bagi dirinya namun juga untuk lingkungannya atau masyarakat luas. Konsep kehidupan bermakna ini bersifat individul. Artinya unsur-unsur atau dimensi mutu kehidupan yang dipandang bermakna pada seseorang bisa berbeda dengan dimensi mutu kehidupan yang dipandang bermakna pada orang lain. Konsep ini biasanya terbentuk melalui proses belajar, baik belajar dari pengalaman sendiri, belajar dari pengalaman orang lain atau dari model-model atau rujukan yang ditemukan dalam perjalan hidup seseorang. Menurut penulis ada empat jenis kecakapan yang diperlukan sebagai persyaratan untuk dapat mewujudkan kehidupan berguna dan bermakna, yaitu: kecakapan memimpin diri sendiri, kecakapan untuk tumbuh dan berkembang bersama orang lain dalam kebhinekaan, kecakapan menanggapi perubahan dan kecakapan menciptakan manfaat atau nilai. Dalam risalah ini yang disebut kecakapan adalah kemampuan seseorang untuk memakai atau memanfaatkan potensinya secara tepat dalam suatu konteks tertentu sehingga memberi hasil yang diharapkan. 90

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— 1. Kecakapan Memimpin Diri Sendiri Kecakapan memimpin diri sendiri diperlukan agar seseorang tidak terseret kesana-kesini dalam pergaulan yang makin rumit dan cepat berubah sekarang ini. Dalam dunia yang tanpa batas di mana informasi mengalir secara bebas melintasi batas-batas negara, seseorang dihadapkan pada beraneka ragam nilai-nilai atau norma-norma yang berasal dari bermacam-macam kelompok masyarakat atau bangsa. Film- film, hiburan atau warta berita yang kita tonton atau ikuti di televisi, berita-berita atau ulasan di surat kabar, tidak ada yang bebas nilai. Semuanya menyodorkan nilai-nilai dari beraneka ragam perspektif. Orang yang tidak memiliki kecakapan meminpin diri sendiri kemungkinan besar akan dibingungkan oleh bersimpang siurnya nilai-nilai yang berasal dari bermacam-macam latar belakang budaya, hanyut atau terombang-ambing di tengah-tengah hiruk-pikuknya lalu lintas bahkan mungkin benturan nilai-nilai. Dia akan tersesat di tengah-tengah globalisasi, menjadi korban modernisasi. Pemuda atau orang-orang yang terperangkap oleh narkoba adalah contoh nyata dari tiadanya kecakapan memimpin diri sendiri. Orang yang memiliki kecakapan memimpin diri sendiri memiliki visi-pribadi atau cita-cita hidup yang jelas. Ia punya gambaran yang jelas mengenai masa depan yang hendak dia raih dalam hidupnya, masa depan yang lebih baik dari keadaannya sekarang. Di samping cita-cita yang jelas, dia juga punya pilihan yang jelas mengenai nilai-nilai luhur yang dipegangnya atau dianutnya dalam hidupnya. Dia punya komitmen yang kuat untuk menjalani hidup dan berusaha mewujudkan cita-citanya dengan berpedoman pada nilai-nilai luhur tersebut. Nilai-nilai ini bisa kejujuran, kedermawanan, keadilan, kepedulian, keramahan, kesopanan, keterbukaan, 91

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— kesabaran, keuletan, ketekunan, kerendahan hati, dan sebagainya. Cita-cita dan nilai-nilai itu dijadikan pegangan atau pedoman dalam mengarungi kehidupan yang makin hiruk pikuk, makin kompleks, penuh tantangan dan ketidak pastian, sekarang dan di masa depan, sehingga dia tidak mudah terseret oleh lingkungan. Dengan cita-cita dan nilai- nilai itu dia mencoba memegang kendali dalam upaya membangun masa depannya. Orang yang cakap memimpin diri sendiri adalah orang yang proaktif dalam arti tingkah lakunya adalah hasil keputusannya; keputusan atas dasar pilihan sadar yang didasari oleh nilai-nilai yang dia pegang atau didasari hati nuraninya. Dia bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak suka mencari kambing hitam. Orang yang cakap memimpin diri sendiri adalah orang yang cerdas secara emosional. Dia mampu mengelola dan mengendalikan emosinya. Dia adalah orang yang mengendalikan emosinya berdasarkan nilai-nilai yang dia pegang. 2. Kecakapan untuk Tumbuh dan Berkembang Bersama Orang Lain dalam Kebhinekaan. Kecakapan memimpin diri sendiri perlu diimbangi dan diperkaya dengan kecakapan untuk tumbuh dan berkembang bersama orang lain. Tanpa kecakapan yang kedua ini, kecakapan memimpin diri sendiri bisa menjadikan seseorang bersikap isolatif, tidak peduli orang lain, egosentris, bahkan ekstremis. Perlu diperhatikan bahwa tumbuh dan berkembang bersama orang lain tidak boleh hanya terbatas pada kelompok yang homogin saja tetapi yang sangat perlu adalah tumbuh dan berkembang bersama dalam kondisi sosial yang heterogin, yang diwarnai oleh kebhinekaan. Kesadaran akan kebhinekaan ini penting untuk mencegah tumbuhnya 92

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— ekseklusifisme yang apriori cenderung membenarkan kelompok sendiri tanpa mau mendengarkan kelompok lain. Kecakapan ini di perlukan untuk menjadikan kebhinekaan sebagai sumber kekuatan atau basis keunggulan. Tanpa kecakapan ini, maka kebhinekaan akan menjadi sumber masalah, sumber konflik, dan menjadi sebuah kelemahan. Tanpa kecakapan ini, sebuah masyarakat akan menghabiskan energinya untuk menciptakan dan mengatasi konflik antar kelompok dan antar individu. Akibatnya, sedikit sekali energi yang diarahkan untuk mencapai kemajuan bersama di masa depan, sehingga masyarakat seperti ini akan tertinggal oleh masyarakat lain. Kecakapan untuk tumbuh dan berkembang bersama orang lain dimanifestasikan dalam kemampuan untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain dan memahami perasaan mereka, kepedulian terhadap lingkungan atau orang-orang disekitarnya, dapat melihat keselarasan antara kepentingan individu dan kepentingan kelompok, atau keselarasan antara kemajuan pribadi dan kemajuan bersama. Kecakapan ini juga ditunjukkan oleh kerelaan untuk berbagi, dan kesadaran tentang apa yang disebut paradok berbagi: makin seseorang berbagi makin dia menjadi ‘kaya’. Kecakapan seperti ini ditandai oleh kuatnya mentalintas berkelimpahan, yang cirinya antara lain: mencapai kemajuan dengan memajukan orang lain, senang melihat orang lain senang, dermawan. Orang dengan kecakapan seperti ini sangat meyakini bahwa pikiran manusia sifatnya seperti parasut dalam arti dia hanya bisa menyelamatkan orang yang memilikinya atau memakainya kalau dia terbuka, dan akibatnya akan fatal apabila dia tertutup. 93

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— 3. Kecakapan Menanggapi Perubahan. Pergaulan hidup yang kita hadapi sekarang bukan saja makin beraneka ragam tetapi juga makin cepat berubah. Hampir semua hal: teknologi, sistem kerja, bentuk organisasi, kebijakan, produk, pengetahuan, cara pandang atau paradigma, makin cepat usang. Hubungan-hubungan makin bersifat sementara, termasuk hubungan seseorang dengan sebuah kelompok atau organisasi makin bersifat sementara. Ini berarti orang-orang yang hidup pada saat ini dan di masa depan akan makin sering berhadapan dengan hal-hal baru, atau dengan kata lain seseorang akan makin sering mengahadapi perubahan dalam hidupnya: perubahan tempat kerja, perubahan jabatan, perubahan tempat tinggal, perubahan lingkungan sosial. Setiap perubahan membawa tantangan atau ketegangan-keteganagn baru. Pendidikan kita perlu membantu peserta didik untuk megembangkan potensinya agar dia memiliki kecakapan dalam menghadapi atau menanggapi tantangan baru yang bersumber pada perubahan lingkungan. Tanpa kecakapan ini seseorang akan merasakan ‘stress’ yang sangat besar apabila berada dalam lingkungan baru atau dia akan melarikan diri dari lingkungan kehidupan baru dan menutup diri dalam kelompok yang sangat eksklusif, atau dalam menghadapi keadaan baru dia cenderung akan kembali ke masa lalu. Perubahan yang sangat cepat juga terjadi dalam perkembangan pengetahuan manusia. Orang-orang yang hidup sekarang ini setiap hari dibanjiri oleh pengetahuan baru. Akibatnya, kalau seseorang ingin tidak ketinggalan jaman dalam hal penguasaan pengetehauan, maka dia harus punya semangat belajar yang tinggi. Kalau tidak, dia hanya memiliki pengetahuan yang relatif sedikit dan pengetahuan yang sedikit itupun hanya pengetahuan usang yang tak 94

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— bernilai. Di samping itu, cara-cara belajar yang lama, ketika laju pertambahan pengetahuan tidak secepat sekarang sudah tidak memadai lagi kalau diterapkan pada saat ini. Sebab itu, pada saat ini menemukan cara belajar yang tepat (belajar bagaimana belajar) tidak kalah pentingnya dari menentukan apa yang yang perlu dipelajari (substansi pelajaran). Orang yang memiliki kecakapan seperti ini menyadari bahwa perubahan adalah sebuah realita yang tidak bisa dipungkiri, bahwa masa yang akan datang sering kali tidak bisa dihadapi dengan cara-cara masa lalu. Mereka tidak takut menghadapi perubahan, dan dapat melihat sisi-sisi positif atau peluang atau manfaat yang dapat diambil dari perubahan. Dia mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Di samping itu, dia adalah orang yang punya semangat belajar tinggi, selalu bersedia memperbaharui diri dan tidak segan-segan meninggalkan cara kerja, pengatahuan atau paradigma lama yang sudah tidak relevan dengan tuntutan baru. Dia mudah melihat kesempatan belajar dari lingkungannnya dan mau mengambil kesempatan tersebut. 4. Kecakapan Menciptakan Manfaat atau Nilai. Dengan kecakapan menciptakan nilai, seseorang mengubah sesuatu yang pada awalnya kurang bernilai menjadi lebih bernilai atau yang pada awalnya sama sekali tidak bernilai menjadi bernilai Kreativitas, kepekaan terhadap lingkungan dan kompetensi, secara bersama-sama sangat diperlukan dalam memanifestasikan kecerdasan ke dalam kecakapan untuk menciptakan nilai atau menambah nilai. Usaha menciptakan nilai ini dalam kehidupan dilakukan dengan menciptakan produk, atau jasa atau sistem, lembaga atau usaha yang memungkinan kehidupan manusia menjadi lebih 95

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— sejahtera. Membekali seseorang dengan kompetensi tertentu yang memudahkan dia bisa masuk ke dunia kerja hanyalah salah satu bentuk dari upaya untuk mengembangkan kecakapan seseorang supaya dia bisa berkontribusi dalam usaha menciptakan nilai. Kejelian untuk melihat peluang usaha, kemampuan untuk menciptakan usaha yang bermanfaat memerlukan kreativitas, pengetahuan kontekstual dan kepekaan. Ketiga hal inilah yang membedakan apakah seseorang dengan pengetahuan atau keterampilan yang dimilikinya akan dapat berkembang jauh di dunia kerja, dunia usaha atau di tengah-tengah masyarakat, atau hanya akan jalan di tempat dengan keterampilan yang dimilikinya. Pengetahuan dan keterampilan hanyalah alat. Hal yang sangat menentukan apakah alat itu dapat dipakai sebaik mungkin - untuk memberi manfaat bagi banyak orang - adalah cita-cita, semangat, kreativitas, dan kepekaan terhadap lingkungan. Tanpa cita-cita, tanpa semangat, tanpa kreativitas, maka keterampilan sebagai alat hanya akan menjadi alat yang ‘berkarat’. PERUBAHAN UNTUK MENJADIKAN SEKOLAH SEBAGAI PERSEMAIAN PENGEMBANGAN EMPAT KECAKAPAN UNTUK KEHIDUPAN BERMAKNA Ada beberapa jenis perubahan yang diperlukan agar sekolah dapat menjadi lingkungan yang subur untuk pengembangan kecakapan untuk kehidupan bermakna. Beberapa pihak berusaha melakukan perubahan melalui penyediaan sarana fisik untuk belajar keterampilan di sekolah. Hal itu memang 96

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— perlu, namun yang tidak kalah penting, bahkan mungkin lebih penting adalah perubahan yang bersifat non-fisik, seperti perubahan cara pandang atau ‘model mental’, perubahan proses, perubahan suasana atau iklim belajar, perubahan peran dari para pelaku dalam proses belajar di sekolah. Berikut ini akan disampaikan beberapa bentuk perubahan tersebut. Perubahan Cara Pandang. Sekolah bukanlah pabrik, namun sebuah komunitas. Disadari atau tidak, banyak pihak memandang atau memperlakukan sekolah sebagai sebuah pabrik. Para siswa dipandang sebagai bahan baku atau input yang diolah dalam sebuah proses yang dilakukan oleh ‘mesin-mesin’ yang bernama guru yang bekerja menurut sebuah program produksi yang namanya kurikulum. Out-put dari pabrik ini adalah lulusan yang ukuran kualitasnya adalah NEM. Cara pandang seperti inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa di sekolah-sekolah berkembang suasana belajar yang sangat mekanistik, formal, dingin, kaku, birokratik, output oriented dan kurang manusiawi. Kalau sekolah hendak dijadikan sebagai lingkungan belajar yang memudahkan dan mendorong para siswa mengembangkan empat kecakapan di atas, maka cara pandang bahwa sekolah sebagai sebuah pabrik hendaknya ditinggalkan. Cara pandang dan praktek yang perlu dikembangkan adalah sekolah sebagai komunitas atau lebih spesifik komunitas belajar. Dalam konsep komunitas ini, para siswa bukanlah bahan baku namun anggota komunitas yang memiliki peran dan tanggung. Kepala sekolah, guru, tenaga 97

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— administratif adalah juga anggota komunitas dengan peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam komunitas belajar semua anggota komunitas (termasuk guru, kepala sekolah, pengawas) terus menerus belajar, tidak hanya siswa yang belajar. Dalam sebuah komunitas, cita-cita bersama, rasa saling percaya, saling menghormati, kesediaan untuk berbagi menjadi penting. Dalam sebuah komunitas terjadi banyak interaksi antara sesama anggota yang sifatnya informal dan tulus. Dalam komunitas yang sehat para anggotanya bahu- membahu untuk tumbuh dan berkembang bersama. Dalam suasana komunitas, seorang siswa sebagai anggota komunitas terdorong untuk bertanya atau memikirkan tentang ‘jati diri’ nya atau dengan kata lain mencoba merumuskan siapa dia di tengah-tengah anggota komunitas lainnya. Para siswa bukanlah deretan gelas kosong namun bibit-bibit yang punya potensi keunggulan yang beragam. Salah satu cara pandang yang juga dipegang oleh beberapa pihak adalah melihat siswa sebagai dereten gelas kosong yang harus diisi oleh para guru dengan isi yang sama dan diisi dengan cara yang sama pula. Cara pandang seperti inilah yang menjadi salah satu alasan timbulnya kecenderungan untuk penyeragaman di sekolah. Keseragaman menjadi sebuah dogma baru, dan toleransi terhadap perbedaan makin lama makin menyempit. Bahkan ukuran keberhasilan atau keunggulanpun menjadi seragam. Siswa yang dapat nilai IPA yang tinggi dianggap lebih unggul dari siswa yang sangat kreatif dalam menciptakan lagu atau piawai menyanyi atau memainkan intrument musik. Maka timbullah sebutan 98

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— sekolah unggulan atau kelas unggulan. Di samping itu, cara pandang gelas kosong ini menyebabkan para guru sibuk mencari cara untuk mengisinya secepat mungkin, atau mereka akan ditegur oleh pengawas apabila tidak bisa mengisi secepat mungkin atau tidak sesuai target. Pengembangan kecakapan hidup dalam era yang bergejolak tidak bisa didasarkan atas cara pandang gelas kosong. Para siswa adalah ‘bibit-bibit’ yang punya potensi keunggulan yang beragam atau berbeda-beda. Mereka bukan ‘bibit’ yang seragam atau sejenis. Mereka bibit yang berbeda. Sebagian mungkin saja ‘bibit mawar’, sebagian ‘bibit melati’. Fungsi sekolah adalah menjadi pesemaian dan tanah subur yang memungkinkan mawar dan melati tumbuh dengan baik dan menghasilkan bunga yang segar, indah dan wangi. Melati adalah melati, mawar adalah mawar, dengan keindahan masing-masing, dan tidak ada keharusan mengubah mawar menjadi melati atau sebaliknya. Di sini tidak perlu diperdebatkan mana yang lebih unggul mawar atau melati. Mawar dan melati masing-masing punya tempatnya sendiri dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Setiap jenis kecerdasan penting dan perlu dikembangkan dengan baik Dalam kaitannya dengan konsep kecerdasan majemuk, setiap siswa punya konfigurasi kecerdasan sendiri yang mungkin sekali berbeda dari siswa yang lain, dan sebagai konsekuensinya mungkin minatnya juga berbeda. Perbedaan ini harus diterima sebagai realitas dan diusahakan agar perbedaan potensi kecerdasan ini berkembang sebaik mungkin dan dapat dijadikan basis keunggulan siswa yang bersangkutan. Siswa yang pintar matematika adalah anak 99

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— unggul, dan demikian juga siswa yang pintar bermain musik, siswa yang pintar bahasa, pintar melukis, pintar menari, pintar bekerja sama adalah siswa-siswa yang unggul. Keunggulan dalam matematik, keunggulan musik, dalam melukis, dalam bahasa semuanya sama terhormatnya. Beragam keunggulan ini tidak perlu dibandingkan. Kita tidak perlu membandingkan pisang dengan jeruk. Dalam kehidupan, baik jeruk maupun pisang keduanya punya nilai di tengah-tengah masyarakat. Cara pandang seperti ini adalah cara pandang yang sesuai dengan cara pandang masyarakat. Ada bermacam-macam cara yang dilakukan oleh orang-orang untuk menciptakan nilai. Orang dengan kecerdasan musikal yang tinggi menciptakan nilai dengan keahliannya menyanyi atau meciptakan lagu dan orang yang kecerdasan matematikalnya tinggi menciptakan nilai dengan menjadi dosen matematik atau menjadi insinyur. Hampir tidak ada yang memperdebatkan mana yang lebih unggul, seorang insinyur atau seorang penyanyi. Masing-masing memberi sumbangan untuk kesejahteraan masyarakat dengan caranya sendiri. Semua kecerdasan itu dapat dipakai untuk menciptakan nilai di tengah-tengah masyarakat, dipakai sebagai basis profesi, atau wahana untuk berusaha atau bekal untuk masuk dalam dunia kerja. Pendidikan mencakup penciptaan suasana, proses dan keteladan. Sudah sangat lama pendidikan di sekolah tereduksi menjadi kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa melalui proses mengajar. Pendidikan seperti ini menghasilkan siswa yang terampil memecahkan soal-soal ujian dan dapat menghafal banyak hal. Memang di sekolah-sekolah kepada 100

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— siswa diajarkan nilai-nilai, namun cara mengajarkannya tetap saja instruktif bahkan indroktinatif didasarkan pada cara pandang bahwa para siswa adalah gelas kosong. Akibatnya, nilai-nilai bukan menjadi sesuatu yang dihayati namun menjadi bahan hafalan. Kecakapan memimpin diri sendiri, kecakapan untuk tumbuh berkembang bersama orang lain sangat terkait dengan cita-cita dan nilai-nilai seorang siswa. Cita-cita dan nilai-nilai sering terbentuk melalui pencerahan atau timbulnya kesadaran, keyakinan atau kepekaan baru pada seseorang. Kesadaran, keyakinan atau kepekaan tidak bisa diajarkan namun dapat dirangsang perkembangannya melalui penciptaan suasana, perancangan proses belajar yang inovatif atau memberi inspirasi melalui tauladan atau ‘role model’ dalam kehidupan. Menurut pendapat saya, penciptaan suasana, inovasi dalam proses pembelajaran dan menunjukkan ’role model’ sudah sangat lama tidak mendapat perhatian dalam dunia pendidikan kita. Para pengajar disibukkkan dengan kegiatan untuk mengalihkan pengetahuan secepat mungkin agar dapat mengejar target. Guru-guru dan kepala sekolah juga tidak dibantu dalam pengembangan wawasan dan kemampuan mereka agar mereka dapat lebih efektif dalam menciptakan suasana, lebih inovatif dalam pengembangan proses pembelajaran dan menunjukkan contoh-contoh nyata agar hal-hal yang diajarkan menjadi lebih bermakna. Sebenarnya pandangan tentang pentingnya suasana dalam pendidikan sama sekali tidak baru. Sudah menjadi pendapat umum bahwa suasana di rumah tangga akan sangat mempengaruhi perkembangan kejiwaan seorang. Suasana rumah tangga yang harmonis, demokratik dan hangat, 101

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— pengaruhnya pada seorang anak akan berbeda dengan suasana rumah tangga yang penuh dengan pertengkaran, otokratik dan dingin. Kalau sekolah ingin belajar dari proses pendidikan di rumah, maka sekolah perlu menaruh perhatian yang lebih besar pada upaya untuk menciptakan suasana, inovasi proses dan memberi contoh yang dapat memotivasi dan memudahkan para siswa belajar. Jadi dari sudut pandang ini, pendidikan mencakup penciptaan suasana, proses, ketauladan, dan kegiatan yang dapat menggugah, memotivasi dan memudahkan seorang siswa atau peserta didik untuk mengembangkan seluruh potensi insani yang ada pada dirinya. Perubahan suasana. Suasana yang formal dan mekanistik menjadi suasana yang yang lebih informal, hangat dan menggembirakan. Harus diakui bahwa masuknya budaya birokrasi ke sekolah- sekolah telah mengakibatkan proses belajar dan pergaulan di sekolah-sekolah menjadi sangat mekanistik dan formal. Tidak jarang kepala sekolah melihat tugasnya lebih sebagai wakil atasan (pengawas atau birokrasi pemerintah) daripada sebagai pamong yang perlu menyelami suara hati siswa dan para guru. Di banyak tempat, kepala sekolah telah menjelma menjadi sosok yang ditakuti daripada dihormati atau disayang. Suasana seperti ini perlu diubah menjadi suasana yang lebih informal, hangat dan menggembirakan. Suasana informal, hangat dan menggembirakan akan memudahkan tumbuhnya inisiatif untuk bertukar pikiran dan bekerja sama. Suasana informal juga sangat membantu orang- 102

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— orang dalam sebuah kelompok untuk lebih mudah memahami satu sama lain. Suasana informal, hangat dan mengembirakan biasanya menghilangkan sekat-sekat yang ada antar individu atau antar kelompok. Suasana seperti ini akan memudahkan tumbuhnya kecakapan untuk tumbuh dan berkembang bersama. Dalam suasana informal, hangat dan mengembirakan akan lebih mudah terjadi percakapan dan pergaulan diantara anggota komunitas. Nilai-nilai biasanya dipelajari justru dalam pergaulan informal sehari-hari. Dalam suasana seperti ini anggota komunitas punya keleluasaan untuk mengamati dan mendiskusikan apa yang dianggap ‘pantas’ dan ‘kurang pantas’ dalam suatu konteks tertentu. Kembali kepada pendidikan di rumah, anak-anak belajar nilai-nilai (seperti kejujuran, kedermawanan, welas asih) dan menajamkan tujuan atau cita-cita hidupnya melalui suasana pendidikan yang informal. Suasana ini terjadi dalam percakapan antara anak dan orang tua di meja makan, atau diskusi santai dalam perjalanan wisata bersama. Belajar dalam suasana seperti ini berlangsung secara alami dan lebih manusiawi. Suasana belajar yang apresiatif. Akhir-akhir ini di Indonesia berkembang kecenderungan untuk bersikap sinis. Orang-orang lebih suka mengemukakan hal-hal yang negatif dari pada mengemukakan hal-hal positif yang ada di sekitarnya. Hal-hal ini juga berkembang di sekolah-sekolah. Guru-guru lebih mudah atau lebih senang memberi umpan balik yang negatif daripada umpan balik posistif, lebih suka menunjukkkan hal-hal yang dipandangnya kurang baik daripada mengahargai hal-hal baik atau positif yang ada pada para siswa, lebih senang menghukum daripada 103

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— menghargai. Lingkungan yang bernuansa negatif seperti ini cenderung akan berdampak negatif pada pengembangan citra diri dan kepercayaan diri. Kalau setiap kali seorang anak hanya ditunjukkan hal-hal yang tidak baik atau buruk pada dirinya maka lama-kelamaan dia akan ‘percaya’ bahwa dia memang orang yang buruk. Di sini akan terjadi fenomena ‘self fulfilling prophecy’: demikian seorang anak ‘percaya’ bahwa dia anak ‘buruk’, maka dia benar-benar akan menjadi orang buruk. Agar supaya dapat berperan lebih besar dalam pengembangan kecakapan hidup, di sekolah perlu dikembangkan suasana apresiatif. Suasana apresiatif adalah keadaan di mana anggota sebuah komunitas mudah dan senang menghargai hal-hal positif atau keberhasilan anggota komunitas yang lain, sekecil apapun kebaikan atau keberhasilan tersebut. Masyarakat apresiatif berpandangan bahwa kemajuan atau keberhasilan dapat dicapai dengan menghargai hal-hal yang positif atau kekuatan atau hal-hal baik atau hal-hal istimewa yang ada pada seseorang. Dalam suasana apresiatif, orang mudah memberi pujian, namun pujian yang tulus. Dalam masyarakat yang apresiatif, orang- orang saling menyemangati. Suasana apresiatif sangat diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan mengembangkan citra diri yang positif atau dengan kata lain suasana apresiatif merupakan lingkungan yang membawa pengaruh positif pada pengembangan kecerdasan intra- personal. Dalam beberapa kasus yang penulis temui, kecerdasan intrapersonal ini sangat besar pengaruhnya dalam pengembangan kecerdasan lainnya. Kecerdasan lain bisa terhambat perkembangannya karena kecerdasan intrapersonal tidak berkembang kearah yang positif. Demikian seorang anak 104

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— ‘percaya bahwa dia orang bodoh’, maka semangat belajarnya akan turun, dan selanjutnya potensi kecerdasan yang lain tidak akan berkembang. Sebaliknya, seorang anak yang memiliki kepercayaan diri dan merasa dia mampu, maka dia tidak ragu-ragu untuk mencoba atau berusaha, dan selanjutnya kecerdasan yang lain punya kesempatan yang lebih besar untuk berkembang. Suasana yang mencerminkan heterogenitas dan inklusif, bukan homogenitas dan eksklusif. Heterogenitas adalah sifat yang sangat hakiki dari kehidupan di muka bumi ini, bahkan mungkin di alam semesta ini. Heterogenitaslah yang menyebabkan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan dimuka bumi ini daya hidupnya makin lama makin tinggi. Manusia, fauna dan flora daya hidupnya berkurang dan akan punah apabila terus menerus melakukan regenerasi dengan ‘in-breeding’. Sayangnya, dalam pendidikan orang-orang sering melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan sifat dari alam ini dengan cara meningkatkan homogenitas dan eksklusifitas. Misalnya, ada kelas, bahkan sekolah, hanya terdiri dari anak-anak satu tipe atau satu jenis saja, anak-anak dari keyakinan atau kepercayaan tertentu dipisahkan dari yang keyakinannya atau kepercayaannya lain, anak-anak dari etnis tertentu dipisahkan dari etnis lain, dan seterusnya. Homogenitas dan eksklusifitas, di samping mengingkari realita kehidupan, merupakan hambatan besar dalam mengembangkan kecakapan untuk tumbuh dan berkembang bersama orang lain dalam dunia yang makin terbuka dan pluralistik. Dalam kenyataan hidup, seseorang akan bertemu dengan orang-orang dengan keyakinan atau kepercayaan lain, 105

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— dari kelompok etnis yang berbeda, dengan minat yang berbeda, dengan tingkat kecerdasan yang berbeda, dengan kemampuan ekonomi yang berbeda, dari latar belakang budaya yang berbeda, dan dia harus hidup dan berkembang dalam realita seperti itu. Untuk itu, seseorang perlu diperkenalkan terhadap kebhinekaan seperti itu sejak dini dan dikuatkan kesadarannya bahwa dia adalah bagian dari kebhinekaan itu, bukan di luar kebhinekaan itu. Dalam suasana yang heterogen dan inklusif seseorang akan ’dipaksa’ oleh keadaan untuk berhadapan dengan kenyataan bahwa dalam hidup ini ada pendapat yang berbeda, ada minat yang berbeda, ada keyakinan yang berbeda, dan seseorang tidak bisa memaksakan pendapat, keyakinan dan minatnya kepada orang lain. Dalam suasana yang heterogen orang akan belajar berdialog, belajar berempati, belajar menghargai perbedaan, belajar mencari platform bersama, dan melihat bahwa diantara perbedaan-perbedaan itu sangat banyak persamaan-persamaan yang bisa ditemukan yang dapat mempersatukan orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Perubahan proses Pembelajaran. Proses belajar yang berpusat pada pengajar menjadi proses belajar yang lebih berpusat pada siswa. Harus diakui bahwa proses belajar di sekolah-sekolah di Indonesia sampai saat ini masih sangat berpusat pada pengajar. Cara belajar seperti ini mengurangi kesempatan bagi para siswa untuk bereksperimen dalam mengembangkan kecakapan untuk memimpin diri sendiri, sebab di sini para 106

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— siswa hanyalah menjadi pengikut. Kecakapan memimpin diri sendiri akan berkembang apabila para siswa diberi peluang yang lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan bahkan evaluasi proses belajar mereka sendiri. Ini berarti proses belajar hendaknya lebih berpusat pada siswa, atau dalam yargon yang sering sekali diucapkan oleh banyak orang, siswa haruslah menjadi subyek pendidikan bukan obyek pendidikan. Sebenarnya hal ini bukanlah barang baru. Beberapa tahun ang lalu, Departemen Pendidikan pernah meluncurkan kebijakan yang dikenal dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Saya berpendapat bahwa kebijakan itu pada tingkat operasional tidak berjalan sepertiyang diharapkan. Salah satu sumber masalahnya adalah CBSA hanya dilihat sebagai teknik mengajar. Sedikit sekali yang menyadari bahwa CBSA didasarkan pada asumsi-asumsi, cara pandang, keyakinan, mind-set, dan sikap yang sama sekali berbeda dari cara belajar siswa pasif yang selama ini telah berjalan. Agar supaya berhasil, CBSA mensyaratkan adanya perubahan beberapa asumsi-dasar, perubahan keyakinan, perubahan cara pandang, perubahan mind-set, perubahan sikap pada para guru, kepala sekolah, pengawas dan jajaran birokrasi pendidikan lainnya. Sebagai sebuah cara baru, CBSA memerlukan mind-set baru. Cara baru tidak bisa dijalankan dengan mind-set lama. Penulis tidak melihat ada usaha besar- besaran untuk membantu para guru dan kepala sekolah untuk mengembangkan atau membentuk mind-set baru itu dalam melaksanakan CBSA ini. Banyak orang berpendapat bahwa dengan memberikan peran yang lebih besar pada para siswa dalam proses belajar, seorang guru bisa lebih santai karena bebannya berkurang. Pendapat seperti ini sama sekali tidak berdasar. Agar bisa 107

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— menjalankan proses belajar yang berpusat pada siswa dengan baik seorang guru perlu punya wawasan dan pengetahuan yang luas, perlu meperhatikan perbedaan minat dan potensi setiap siswa, mengamati perbedaan proses belajar setiap individual, perlu kemampuan untuk memfasilitasi proses belajar, punya kemampuan untuk menjadi pemandu siswa agar dapat memanfaatkan sumber-sumber pembelajaran yang ada di sekitarnya bahkan diseluruh dunia, perlu kemampuan untuk mengelola dinamika kelompok, dan perlu kearifan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan sikap kritis para siswa. Secara singkat, cara belajar yang berpusat pada siswa memerlukan kualifikasi guru dan kepala sekolah yang lebih tinggi dalam hal wawasan, pengetahuan (substansial maupun kontekstual), keterampilan, sikap dan mental, daripada cara belajar yang berpusat pada pengajar. Proses belajar individual menjadi proses belajar individual dan belajar dalam team secara seimbang. Selama ini sebagaian terbesar atau hampir semua proses belajar di sekolah berjalan secara individual. Belajar secara individual ini kurang membuka kesempatan untuk pengembangan kemampuan bagi siswa untuk bekerja dalam tim, suatu kemampuan yang menjadi bagian dari kecakapan untuk tumbuh dan berkembang bersama orang lain. Kerja dalam tim akan menjadi media yang efektif untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi, berdialog, kreativitas, kemampuan berempati, membangun sinergi,dan kemampuan memimpin. Bekerja dalam tim juga akan mengembangkan kepedulian, kebutuhan untuk berbagi, dorongan untuk berkontribusi, kebutuhan untuk saling mendukung, dan saling menyemangati atau membesarkan hati. Dengan umpan balik yang diterima dari anggota tim yang lain, baik langsung atau tak langsung, seseorang akan 108

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— mengenal lebih baik dirinya sendiri dan memperkecil wilayah ‘blind spot’ orang yang bersangkutan. Bekerja dalam tim menjadi media untuk mengembangkan kecerdasan interpersonal dan meningkatkan kematangan sosial. Proses belajar yang mekanistik menjadi proses belajar yang menggugah, menumbuhkan kesadaran baru, menumbuhkan kepekaan, keyakinan dan mengembangkan sikap. Proses belajar yang mekanistik mengakibatkan para siswa merasa bosan dan aktivitas pembelajar menjadi hambar tanpa kegairahan. Proses pembealaram seperti ini tidak akan membantu para siswa dalam mengembangkan cita-cita dan mengidentifikasi atau menentukan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam menjalankan hidupnya. Untuk membantu para siswa, dalam hal ini diperlukan proses belajar yang menumbuhkan imajinasi dan menyentuh hati. Dengan kata lain di sini diperlukan proses belajar yang menyebabkan para siswa tergugah, terinspirasi, dan tercerahkan. Apabila para siswa tergugah, terinspirasi dan tercerahkan, maka pembelajaran akan menjadi sebuah proses yang sangat menyenangkan, atau menggairahkan baik bagi siswa maupun pengajar. Dengan demikian belajar tidak lagi dirasakan sebagai beban, tetapi sebuah kegembiraan dan kebutuhan. Menurut pengamatan penulis, sedikit sekali usaha yang sudah dilakukan untuk membantu para guru dalam meningkatkan keahliannya dalam mengembangkan proses pembelajaran seperti ini. Nampaknya lebih banyak usaha dilakukan untuk menyusun mekanisme untuk mengalihkan pengetahuan atau 109

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— keterampilan kepada para siswa atau meningkatkan penguasaan pengetahuan dalam bidang tertentu. Sekolah diharapkan dapat menjadi lingkungan yang membantu para siswa mengembangkan perilaku yang dipandang baik di masyarakat. Sayang sekali dalam banyak kasus pengembangan perilaku yang baik ini dilakukan secara instruksional dan bahkan dogmatik, atau dengan menakut- nakuti. Hasilnya sering sekali adalah berkembangnya perilaku tanpa akar kesadaran atau perilaku atas dasar ketakutan. Perilaku yang berkembang bukan pilihan sadar dan cerdas dari siswa yang bersangkutan. Perilaku baik tanpa kesadaran akarnya sangat dangkal. Apabila lingkungan tidak lagi ‘memaksa’ dia untuk berperilaku seperti itu, perilaku baik itu akan ditinggalkannya. Perubahan peran Guru dan Kepala Sekolah Pengembangan empat jenis kecakapan di atas secara simultan memerlukan juga perubahan-perubahan pada peran kepala sekolah dan guru. Peran sebagai pengajar saja dan kegiatan yang berfokus hanya pada penambahan pengetahuan para siswa tidak lagi mencukupi. Demikian juga halnya dengan peran Kepala Sekolah. Peran sebagai pengawas, peran sebagai pemeriksa, sebagai administrator atau manajer sekolah saja tidak lagi mencukupi. Sekurang-kurangnya ada tiga jenis peran yang perlu ditonjolkan oleh para guru dan kepala sekolah untuk membantu para siswa mengembangkan empat kecakapan tersebut di atas yaitu peran sebagai pemimpin transformasional, peran sebagai pembangun komunitas, dan peran sebagi pembelajar. 110

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— Peran sebagai Pemimpin Transformasional. Pemimpin transformasional menggugah orang-orang yang dipimpinnya untuk mengerahkan potensinya secara maksimal dengan cara memberi inspirasi, menumbuhkan aspirasi, menumbuhkan kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan baru dan menghadapi perubahan. Pemimpin transformasional menumbuhkan inspirasi tidak hanya dengan kata-kata tetapi dengan contoh atau perbuatan nyata. Pemimpin transformasional membantu orang-orang yang dipimpinnya merumuskan tujuan dan visi hidupnya, mendorong mereka untuk mencoba hal-hal baru dan memberikan apresiasi atau penghargaan terhadap setiap kemajuan dan keberhasilan yang telah dicapai. Pemimpin transformasional membantu orang yang dipimpin untuk menemukan makna dalam tugas-tugas yang dilakukan, membuka kesempatan untuk belajar, dan memberi perhatian besar kepada anggota secara individual. Pemimpin transformasional memotivasi dengan menyentuh dan menggugah hati. Dalam kaitannya dengan sekolah, orang- orang yang dipimpin oleh Kepala Sekolah adalah para guru, para siswa dan karyawan non pengajar yang bekerja di sekolah. Peran sebagai Pembangun Komunitas, Dalam membangun komunitas di sekolah, guru dan kepala sekolah bertindak sebagai fasilitator, sebagai perekat diantara anggota komunitas. Mereka perlu bersama-sama mebangun rasa saling percaya dan membangun cita-cita bersama. Dalam sebuah komunitas, ada semangat untuk tumbuh dan berkembang bersama dan kerelaan untuk berbagi. Dalam komunitas’ orang-orang merasa saling memerlukan. Dalam 111

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— membangun komunitas, kepala sekolah dan guru mendorong berkembangnya kemauan dan kemampuan untuk bekerja sama secara kreatif. Inti anggota komunitas di sekolah adalah para siswa, guru, kepala sekolah, petugas administrasi dan orang-orang lain yang bekerja di sekolah. Namun komunitas yang lebih luas mencakup orangtua siswa, dewan sekolah dan pihak-pihak berkepentingan yang lain. Dalam hal ini guru dan kepala sekolah menjadikan sekolah tidak hanya sebagai tempat mengajar, namun menjadi komunitas belajar. Dalam komunitas belajar orang-orang belajar dengan senang hati, gembira, penuh semangat, belajar sendiri-sendiri dan bersama-sama, belajar dari siapa dan dari mana saja, setiap saat. Di sini belajar sudah menjadi kebiasaan, kebutuhan, kesenangan, kegembiraan, bukan kewajiban. Peran sebagai Pembelajar Prima. Di atas telah dikemukakan bahwa pengetahuan manusia bertambah makin lama makin banyak dan makin cepat. Kalau seorang guru atau kepala sekolah ingin punya peran positif bagi para siswanya, maka merupakan suatu keharusan bagi mereka untuk terus menerus memperbaharui dan memperluas pengetahuannya. Apabila tidak, maka mereka akan ketinggalan jaman, mereka cenderung akan menerapkan cara pandang, cara berpikir, cara pendekatan dan cara kerja yang sudah usang. Kepala sekolah dan guru-guru seperti itu akan menjadi beban bagi para siswanya, mereka bukannya mendorong siswa untuk maju namun menyeret para siswa ke belakang. Dalam keadaan seperti itu, mereka secara tidak sadar menyiapkan para siswa untuk menghadapi masa lalu, bukan menyiapkan diri mengahadapi tantangan masa depan. Sebab itu, seorang guru atau kepala sekolah dituntut untuk menjadi pembelajar prima, artinya orang yang senang belajar, 112

———————— Pendidikan: Lebih dari Pengembangan Kompetensi ————————— punya semangat tinggi untuk belajar, terbuka untuk belajar dari manapun, dari siapapun dan belajar sepanjang hayat. KATA PENUTUP W.R. Supratman menyampaikan pesan yang sangat arif dan penting ketika menulis lirik Lagu Indonesia Raya tentang ’membangun jiwa, dan membangun badan’. Bukan suatu kebetulan apabila ‘bangunlah jiwanya’ mendahului ’bangunlah badannya’. Suatu bangsa tanpa jiwa adalah bangsa tanpa ’roh’, tanpa jatidiri, dan adalah bangsa ’zombi’. Pendidikan pada dasarnya adalah pembangunan jiwa bangsa. Pembangunan jiwa bangsa ini lebih daripada sekedar pengembangan dan penguasaan kompetensi. Hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan yang disampaikan di atas tidak banyak yang baru, dalam arti bahwa banyak negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia, Korea, Taiwan dan sekarang China, telah melakukannya. Demikian juga hal- hal di atas bukanlah sesuatu yang tidak realistik, karena dalam kenyataannya negara-negara lain dapat melakukannya dengan baik. Memang benar bahwa kondisi negara kita berbeda dari negara-negara tersebut. Namun hal itu tidak begitu saja dapat dijadikan alasan untuk tidak belajar dari keberhasilan atau kegagalan mereka. Berkaitan dengan perubahan pada tataran operasional di sekolah-sekolah, hal itupun bukan hal yang mustahil. Institut Teknologi Bandung melalui Pusat Penelitian Teknologi-ITB sejak tahun 1992 melakukan kerjasama dengan para guru dan kepala sekolah SLTP serta SMU (sampai saat ini sekitar 1500 guru) untuk merintis perubahan di sekolah-sekolah agar sekolah menjadi lingkungan belajar yang mengembirakan dan manusiawi sehingga para siswa lebih mudah dan terdorong 113

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— untuk memunculkan potensi mereka semaksimal mungkin. Upaya ini berkembang terus sampai saat ini, perubahan- perubahan terjadi, dan gerakan perubahan ini dimotori sendiri oleh para guru dan kepala sekolah. Melakukan perubahan memang tidak mudah, bahkan sering kali sulit. Perubahan tidak akan terjadi kalau sebelum mulai orang mengatakan ‘itu bisa, tetapi sulit’. Namun perubahan akan terjadi kalau orang mengembangkan sikap ‘sulit, tetapi bisa’. Perubahan-perubahan yang disarankan di sini didasarkan atas semangat dan kearifan yang sering kali disampaikan oleh para orang tua dalam ungkapan ’berakit- rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian’, bukan sebaliknya. Catatan Akhir [1]. http://www.undp.org [2] Richard N. Foster& Sarah Kaplan, ’ Creative Destruction’, Prentice Hall, London, 2001 [3] Peter M. Senge et.al, ‘The Fifth Disciplin Field Book’, Currency Doubledys, New York, 1994, h.237. [4] Uraian lebih lengkap mengenai Kecerdasan Majemuk dapat dilihat pada buku Howard Wagner, ‘Multiple Intelligences: Theory and Practices’ Basic Book, 1993. [5] Victoria Neufeldt & David B. Guralnik, Webster New College Dictionary, (Third Edition, MacMillan, 1996), h. 235 [6] Karl Erik Sveiby, ‘The New Organizational Wealth’, Beret Kohler Publisher, San Fransisco, 1997, h. 35. 114

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ———— KEBUTUHAN MENDESAK UNTUK  5 MENEGAKKAN KEMBALI PENDIDIKAN DI  INDONESIA *  PENDAHULUAN Pada Awal tahun 1990-an ketika perekonomian Indonesia dipuji-puji sebagai contoh keberhasilan pembangunan ekonomi negara berkembang, penulis dan beberapa orang teman di Pusat Penelitian Teknologi-ITB sering berbagi kecemasan. Walaupun bukan pakar ekonomi, kami merasa bahwa ada yang tidak ’beres’ dengan kemajuan ekonomi waktu itu, dan kami merasa suatu hari nanti akan muncul masalah besar [1]. Dengan melihat pada pengalaman bangsa lain dan berdasarkan ‘common sense’ orang biasa, kami berpendapat bahwa untuk membangun ekonomi yang kuat yang berkelanjutan, suatu bangsa memerlukan dua hal sebagai syarat utama, yaitu pendidikan yang baik dan pemerintahan yang bersih. Ketika itu, istilah good governance, belum banyak dibicarakan di Indonesia. * Risalah ini ditulis sebagai penghormatan penulis kepada almarhum Prof Dr Moedomo, Guru Besar ITB, dan disajikan dalam Seminar “ Mengenang Moedomo” di Aula Barat ITB pada tanggal 1 April 2006. 115

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— Sebuah bangsa yang tidak berhasil membangun dan mengembangkan pendidikan yang baik, dalam jangka panjang tidak akan mampu membangun perekonomian yang kuat walaupun bangsa tersebut ‘beruntung’ dianugrahi sumber daya alam yang melimpah. Sejalan dengan itu, ekonomi yang kuat tidak bisa dibangun dengan bertumpu pada birokrasi pemerintah yang korup, lamban dan tidak efisien. Ketika itu, kami lihat bahwa dua landasan yang dipersyaratkan tersebut tidak dipenuhi atau belum dibangun di Indonesia, walaupun dari luar kelihatannya pembangunan ekonomi berhasil. Ini semacam keberhasilan pembangunan ekonomi yang bersifat semu, semacam gelembung sabun yang setiap saat bisa kempes atau meledak. Risalah ini ditulis dengan bertitik tolak pada pandangan bahwa kekurangberhasilan bangsa Indonesia dalam pembangunan perekonomian dan juga pembangunan sosial budaya, penyebab utamanya adalah kekurangberhasilan dalam membangun jiwa dan sistem pendidikan, serta tidak adanya investasi yang mencukupi untuk pendidikan bagi rakyat Indonesia. Pendidikan di Indonesia, sampai saat ini belum memenuhi harapan para pejuang kemerdekaan yang dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab itu, usaha besar- besaran dan sistematik perlu dilakukan untuk membangun dan menegakkan kembali pendidikan di Indonesia. Di sini hanya dibahas hal-hal yang berkaitan dengan penegakkan kembali pendidikan, karena banyak bagian pendidikan di Indonesia yang sudah ‘miring’ atau bahkan mugkin sudah tergeletak. 116

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ———— PANDAI, TERPELAJAR, TAHU BANYAK, NAMUN BELUM TENTU TERDIDIK. Suatu sore, di kantor sebuah perusahan perjalanan Jakarta- Bandung, seorang pemuda, sambil berbicara dengan petugas penjual tiket, dengan tenang membuang robekan-robekan kertas ke lantai keramik yang bersih. Tanpa minta ijin, dia mengambil begitu saja kertas tissue yang berada di depan petugas ticketing. Si pemuda membersihkan muka dengan kertas tissue dan sesudah itu dengan seenaknya membuang kertas tisssue yang kotor ke lantai, di depan mata calon penumpang yang lain. Ternyata pemuda tersebut adalah seorang mahasiswa perguruan tinggi terkemuka di Bandung. Dilihat dari penampilannya, nampaknya dia bukan dari keluarga golongan ekonomi lemah. Dalam mailing-list dosen sebuah perguruan tinggi, sering kali dosen-dosen berkeluh kesah menyampaikan kekecewaannya mengenai tingkah laku sebagian mahasiswa yang tidak sopan, kurang senonoh, kurang tata-krama. Di perguruan tinggi ini juga sering dibicarakan tentang kurangnya ‘soft skill’ para mahasiswa dan para lulusan. Sekelompok mahasiswa mengeluh tentang dosen yang sering datang terlambat, dan tidak pernah minta maaf kepada para mahasiswa atas keterlambatannya. Suatu hari, para mahasiswa yang mengikuti sebuah mata kuliah menunggu dosennya selama satu jam. Dosen yang ditunggu belum muncul juga. Karena tidak ada berita dari sang dosen, para mahasiswa mengira dosennya tak akan hadir dan mereka meninggalkan kelas. Namun, sang dosen akhirnya datang sesudah terlambat lebih dari satu jam, dan menemukan 117

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— kelasnya kosong, tidak ada mahasiswa. Dalam kuliah berikutnya sang dosen memuntahkan kemarahannya kepada mahasiswa, dan pada akhir semester tak seorang mahasiswa pun yang mengikuti kuliah tersebut dapat nilai C; semuanya dapat nilai D atau lebih buruk. Mahasiswa lain bergunjing dengan temannya tentang seorang dosen. Mereka tidak mengerti mengapa dosen yang bersangkutan tidak pernah membalas ucapan salam yang disampaikan oleh mahasiswa, khususnya kalau mahasiswa kebetulan berpapasan dengan dosen tersebut. Bahkan ada kalanya, apabila mahasiswa tersenyum ketika bertemu dengan sang dosen, si mahasiswa malah seperti ’dimarahi’, ’kok senyum’. Cerita di atas adalah kisah nyata. Bukan karangan. Kejadian yang digambarkan di atas dimaksudkan untuk menunjukkan betapa seorang pemuda yang sangat pintar, karena telah berhasil diterima di perguruan tinggi bergengsi setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat, namun belum menunjukkan sikap dan perilaku sebagai orang terdidik. Tidak ada sopan santun, tidak ada kepedulian terhadap lingkungan, tak merasa malu dan tak merasa bersalah mengotori tempat yang bersih, bahkan di depan mata orang banyak. Dalam hal kisah dosen, di sini kita melihat betapa tingkat pendidikan yang sangat tinggi, tidak dengan sendirinya disertai dengan meningkatnya kepekaan terhadap etika. Dosen yang bersangkutan tidak fair terhadap mahasiswa. Faireness adalah salah satu unsur penting dari etika. Dosen tersebut memakai standar ganda. Standard yang dia berlakukan terhadap mahasiswa, tidak diberlakukan terhadap dirinya sendiri. Dia merasa berhak, dan tidak merasa bersalah, membuang-buang waktu berpuluh-puluh bahkan ratusan mahasiswa dengan membiarkan mereka menunggu. 118

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ———— Sementara para mahasiswa dianggap bersalah karena membuang-buang waktu sang dosen, dan untuk itu mereka harus dihukum. Dan kita tahu, dalam hal ini mahasiswa berada dalam posisi tak berdaya karena mereka tidak bisa menghukum dosen. Paling-paling yang mereka bisa lakukan adalah beramai-ramai mengulang lagi mengambil mata kuliah tersebut, karena nilai D yang diberikan si dosen ‘menghancurkan’ prestasi banyak mahasiswa, pada hal prestasi tersebut mereka jaga mati-matian sejak dari tahun pertama mereka kuliah. Sudah barang tentu hal yang dikisahkan di atas bukan gambaran semua dosen atau semua mahasiswa. Namun kejadian seperti itu – kekurang peduliaan terhadap lingkungan, hilangnya rasa malu dan rasa bersalah, rendahnya standard etika- tidak sulit kita temukan, bahkan di kalangan mereka yang punya latar belakang pendidikan tinggi. Salah satu pemandangan sehari-hari yang menunjukkan betapa belum terdidiknya sebagaian besar masyarakat kita adalah suasana lalu lintas di jalan-jalan raya. Tidak jarang pengendara mobil atau sepeda motor seenaknya melanggar rambu-rambu lalu lintas. Di jalan tol Jakarta-Cikampek pengendara mobil yang berlomba-lomba memacu kendaraan di bahu jalan adalah pemandangan biasa, pada hal semua orang tahu bahwa mengendarai kendaraan di bahu jalan itu melanggar peraturan dan berbahaya. Kendaraan yang berjalan lambat diharapkan memakai lajur sebelah kiri, namun yang terjadi justru sebaliknya, kendaraan –kendaraan lambat ini justru menguasai lajur paling kanan. Suasana semrawut lalu lintas di jalan raya merupakan salah satu cerminan dari ’keterbelakangan’ kita. Setelah lebih dari 60 tahun merdeka, sistem, substansi dan iklim pendidikan yang kita kembangkan 119

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— belum mampu membuat bangsa ini mendidik dirinya sendiri untuk melakukan hal yang sangat sederhana dalam kehidupan bermasyarakat di era modern yaitu mentaati aturan lalu lintas. Contoh yang sangat kasat mata dari belum berhasilnya pendidikan, dan hal ini membawa dampak yang sangat buruk terhadap kemajuan dan martabat bangsa, adalah merebak dan mengakarnya korupsi, khususnya di kalangan lembaga- lembaga pemerintah, lembaga publik, dan di perusahaan- perusahaan yang dimiliki oleh negara. Sampai saat ini Indonesia masih memegang predikat salah satu negara yang korupsinya paling tinggi di dunia. Semua orang tahu bahwa korupsi itu tindakan kejahatan dan berakibat buruk bagi bangsa dan negara. Namun demikian, sampai saat ini korupsi tetap meluas dan sulit diberantas. Bahkan, pada era otonomi daerah sekarang ini, penyebar luasan korupsi ke daerah- daerah menjadi makin cepat. Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK, lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama [2]. Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini seharusnya merupakan tamparan yang luar biasa kerasnya bagi masyarakat Indonesia. yang merasa atau mengaku sebagai masyarakat atau bangsa yang sangat religius. Namun yang menarik, tidak ada reaksi yang keras dari tokoh-tokoh agama mengenai pernyataan ini, bahkan ada yang berusaha mengingkari. Dari sudut pandang pendidikan, ini berarti bahwa pendidikan kita, baik formal maupun informal, secara umum belum mampu menghasilkan orang-orang atau masyarakat yang secara tegas dapat membedakan perilaku yang baik dari yang buruk, membedakan yang secara hukum salah dari yang benar, dan berani berpegang teguh pada yang benar dan baik. 120

——— Kebutuhan Mendesak untuk Menegakkan Kembali Pendidikan di Indonesia ———— INSTITUSI PENDIDIKAN CENDERUNG MENJADI INSTITUSI PELATIHAN Uraian di atas dimaksudkan untuk menunjukkkan betapa sistem pendidikan di Indonesia selama ini belum mencapai hal-hal yang diharapkan yaitu menjadi suatu institusi yang berperan besar dan efektif dalam mengembangkan potensi insani bangsa, agar masyarakat kita menjadi masyarakat yang cerdas, kreatif, berwatak baik, dan mampu tumbuh berkembang dalam suasana kebhinekaan. Pendidikan kita belum berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa. Mungkin pendidikan kita sudah berhasil meningkatkan kecerdasan sebagain penduduk Indonesia, namun belum kehidupannya. Karena banyak orang cerdas namun kehidupannya tidak cerdas, dalam arti hidup dengan standard etika yang rendah, kurang peduli, tanpa rasa malu, dan tanpa rasa bersalah. Banyak faktor penyebab dari kekurang-berhasilan ini. Penulis berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab yang sangat penting adalah merosotnya insititusi pendidikan di Indonesia menjadi institusi pelatihan. Termasuk dalam institusi pendidikan ini adalah sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita. Di sini akan dicoba disoroti atau lebih tepat ditonnjolkan, perbedaaan antara pendidikan dan pelatihan, bukan dipertentangkan. Kalau kita mau melihat hasil pelatihan yang sangat efektif, nontonlah sirkus. Di sana kita bisa menyaksikan kuda yang bisa ‘menari’, harimau yang terampil melompati kobaran api, anjing laut yang bertepuk tangan dan lumba-lumba yang melakukan gerakan akrobatik. Keterampilan yang didemontrasikan hewan-hewan dalam sirkus tersebut adalah 121

—————————— Jangan Memanjat Pohon yang Salah ——————————— hasil kerja keras para pelatih: pelatih kuda, pelatih harimau, pelatih lumba-lumba. Dalam hal ini tidak dipakai istilah pendidik kuda atau pendidik lumba-lumba. Sudah barang tentu pelatihan tidak terbatas hanya untuk hewan. Ada banyak jenis pelatihan untuk manusia. Dalam bidang olahraga ada bermacam-macam pelatihan dan pelatih. Kina mengenal pelatih sepak bola, pelatih renang, pelatih tinju, dan sebagainya. Di sini juga tidak dipakai istilah, pendidik tinju atau pendidik sepak bola. Jadi, kata pelatihan berkonotasi sangat kuat dengan usaha-usaha yang berfokus pada pengembangan keterampilan tertentu. Keterampilan ini bisa bersifat fisik, maupun bersifat mental. Dipihak lain, untuk menumbuh-kembangkan budi pekerti yang baik, dipakai istilah pendidikan budi pekerti. Jadi pendidikan mencakup usaha-usaha untuk mengembangkan potensi insani yang lebih luas, yaitu pengembangan budi, tidak hanya pengembangan akal dan keterampilan. Menumbuhkan kesadaran baru, membangun rasa percaya diri, mengembangkan kepekaan sosial, menajamkan tata-nilai, mengasah keyakinan, mengembangkan rasa-bertujuan (sense of purpose), atau secara umum membangun karakter atau watak yang baik adalah ranah utama dari pendidikan. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan dikembangkan juga berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas, institut teknologi, dan yang lainnya. Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif untuk pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan 122


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook