Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa      SI MUNCIT                CERITA DARI SUMATRA SELATAN                   Basuki Sarwoedi                                                     Bacaan untuk Anak                                             Setingkat SD Kelas 4, 5, dan 6
MILIK NEGARA                                                                TIDAK DIPERDAGANGKAN            SI MUNCIT          CERITA DARI SUMATRA SELATAN                     Basuki Sarwoedi      Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
SI MUNCIT    Penulis 	 : Basuki Sarwoedi  Penyunting 	 : Wenny Oktavia  Ilustrator 	 : Noviyanti Wijaya dan Venny Kristel Chandra  Penata Letak	: Venny Kristel Chandra    Diterbitkan pada tahun 2017 oleh  Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa  Jalan Daksinapati Barat IV  Rawamangun  Jakarta Timur    Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang  Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak  dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali  dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau  karangan ilmiah.    PB             Katalog Dalam Terbitan (KDT)  398.209 598 1  Sarwoedi, Basuki  SAR            Si Muncit: Cerita Rakyat dari Sumatra Selatan/Basuki  s              Sarwoedi. Wenny Oktavia (Penyunting). Jakarta: Badan                 Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian                 Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.                 viii; 54 hlm.; 21 cm.                   ISBN: 978-602-437-016-9                   1. KESUSASTRAAN RAKYAT-SUMATRA                 2. CERITA RAKYAT-SUMATRA SELATAN
KATA PENGANTAR    	 Karya sastra tidak hanya rangkaian kata demi kata,    tetapi berbicara tentang kehidupan, baik secara realitas  ada maupun hanya dalam gagasan atau cita-cita manusia.  Apabila berdasarkan realitas yang ada, biasanya karya sastra  berisi pengalaman hidup, teladan, dan hikmah yang telah  mendapatkan berbagai bumbu, ramuan, gaya, dan imajinasi.  Sementara itu, apabila berdasarkan pada gagasan atau  cita-cita hidup, biasanya karya sastra berisi ajaran moral,  budi pekerti, nasihat, simbol-simbol filsafat (pandangan  hidup), budaya, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan  kehidupan manusia. Kehidupan itu sendiri keberadaannya  sangat beragam, bervariasi, dan penuh berbagai persoalan  serta konflik yang dihadapi oleh manusia. Keberagaman  dalam kehidupan itu berimbas pula pada keberagaman dalam  karya sastra karena isinya tidak terpisahkan dari kehidupan  manusia yang beradab dan bermartabat.  	 Karya sastra yang berbicara tentang kehidupan tersebut  menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya dan  seni imajinatif sebagai lahan budayanya. Atas dasar media  bahasa dan seni imajinatif itu, sastra bersifat multidimensi  dan multiinterpretasi. Dengan menggunakan media bahasa,  seni imajinatif, dan matra budaya, sastra menyampaikan  pesan untuk (dapat) ditinjau, ditelaah, dan dikaji ataupun  dianalisis dari berbagai sudut pandang. Hasil pandangan  itu sangat bergantung pada siapa yang meninjau, siapa  yang menelaah, menganalisis, dan siapa yang mengkajinya  dengan latar belakang sosial-budaya serta pengetahuan  yang beraneka ragam. Adakala seorang penelaah sastra                                                            iii
berangkat dari sudut pandang metafora, mitos, simbol,  kekuasaan, ideologi, ekonomi, politik, dan budaya, dapat  dibantah penelaah lain dari sudut bunyi, referen, maupun  ironi. Meskipun demikian, kata Heraclitus, “Betapa pun  berlawanan mereka bekerja sama, dan dari arah yang  berbeda, muncul harmoni paling indah”.  	 Banyak pelajaran yang dapat kita peroleh dari membaca  karya sastra, salah satunya membaca cerita rakyat yang  disadur atau diolah kembali menjadi cerita anak. Hasil  membaca karya sastra selalu menginspirasi dan memotivasi  pembaca untuk berkreasi menemukan sesuatu yang baru.  Membaca karya sastra dapat memicu imajinasi lebih lanjut,  membuka pencerahan, dan menambah wawasan. Untuk itu,  kepada pengolah kembali cerita ini kami ucapkan terima  kasih. Kami juga menyampaikan penghargaan dan ucapan  terima kasih kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala Bidang  Pembelajaran, serta Kepala Subbidang Modul dan Bahan Ajar  dan staf atas segala upaya dan kerja keras yang dilakukan  sampai dengan terwujudnya buku ini.  	 Semoga buku cerita ini tidak hanya bermanfaat  sebagai bahan bacaan bagi siswa dan masyarakat untuk  menumbuhkan budaya literasi melalui program Gerakan  Literasi Nasional, tetapi juga bermanfaat sebagai bahan  pengayaan pengetahuan kita tentang kehidupan masa lalu  yang dapat dimanfaatkan dalam menyikapi perkembangan  kehidupan masa kini dan masa depan.                                                              Jakarta, Juni 2016                                                                     Salam kami,                                     Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum.                                                            iv
SEKAPUR SIRIH    	 Puji syukur penulis curahkan kepada Allah Swt. yang  telah menganugerahkan limpahan nikmat-Nya sehingga  penulis dapat menyelesaikan buku ini secara maksimal dan  optimal. Selawat dan salam semoga senantiasa tersampaikan  kepada Nabi Muhammad saw. yang telah begitu banyak  mengajarkan kebijakan dalam menyebarkan ilmunya kepada  semua umatnya.  	 Membaca cerita rakyat memberikan motivasi yang  positif dalam memperdalam kecintaan terhadap suatu  kajian bagian budaya, khususnya daerah Indonesia.  Demikian halnya pada cerita di buku ini. Dengan membaca  suatu bagian cerita rakyat, kita akan dapat lebih memahami  makna-makna yang terkandung dari kisahnya tersebut.  Makna-makna kisah begitu menarik untuk dibahas. Kisah  yang menarik menjadikan kita semakin terdorong untuk  mempelajarinya sehingga dapat menjadi bagian dari  aktivitas, baik secara keseluruhan maupun secara individu  sebagai anggota masyarakat.  	 Cerita rakyat sangat perlu dilestarikan. Perkembangan  teknologi dan globalisasi pada bahasa Indonesia dewasa  ini tidak semuanya memiliki sifat positif, ada juga yang  negatif khususnya bagi para remaja. Banyak generasi muda  sekarang menggunakan bahasa Indonesia yang tidak baku  atau tidak sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia yang  baik dan benar. Sebagian dari mereka mengutip dari ejaan  bahasa asing ataupun mengubah bahasa Indonesia yang  sudah baku tersebut. Perkembangan bahasa Indonesia  yang menyimpang ini sering disebut sebagai bahasa gaul,                                                            v
misalnya, cepetan (cepat), kemaren (kemarin), gue (saya),  lu (kamu), entar (sebentar), dan bokap/nyokap (bapak/ibu).  Selain itu, terkadang juga mencampur bahasa Indonesia dan  bahasa asing dalam percakapan sehari-hari. Misalnya, sorry,  saya tidak bisa hadir (sorry adalah kata asing yang sepadan  dengan kata maaf yang penggunaannya dicampur dengan  bahasa Indonesia).  	 Padahal, jika dilihat dari struktur dan pembacaan,  bahasa Indonesia sebagaimana tergambar dari diksi yang  dipergunakan dalam cerita rakyat ini sebenarnya sangat  sederhana. Artinya, bahasa Indonesia merupakan bahasa  yang tidak sulit untuk dipelajari. Jika ditinjau dari sejarah  kebermunculan cerita rakyat ini, bahasa Indonesia yang  awalnya diangkat dari bahasa Melayu Riau, menunjukkan  bahwa bahasa ini sederhana dan mudah dipahami. Selain itu,  bahasa Indonesia juga tidak memiliki tingkatan sebagaimana  beberapa bahasa lainnya, khususnya beberapa bahasa  daerah di Indonesia. Maka dari itu, sebetulnya tidak ada  alasan untuk tidak mendalami bahasa Indonesia.  	 Dengan membaca kisah dalam cerita rakyat ini,  diharapkan para pembaca khususnya anak-anak semakin  mencintai bahasa Indonesia. Anak-anak menggunakan  bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu,  diharapkan pula anak-anak akan memahami bahasa-  bahasa yang santun sebagaimana yang tergambar dalam  kisah pada cerita rakyat ini.  	 Penulis telah mengusahakan penyelesaian buku ini  dengan sepenuh hati dan pikiran sehingga setiap yang  ditulis menjadi tanggung jawab penulis serta disadari  bahwa di dalam penulisan ini dimungkinkan masih terdapat                                                            vi
kekurangan. Untuk itu, penulis dengan terbuka menerima  kritikan yang membangun ataupun saran perbaikan.  	 Penyelesaian buku ini tidak lepas dari adanya partisipasi  berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung  telah memberikan dukungan. Kiranya, penulisan cerita  ini mudah-mudahan dapat memberikan sumbangsih pada  pengembangan dalam pelestarian cerita rakyat, kecintaan  terhadap bahasa, khususnya dalam bidang bahasa Indonesia.  	 Akhirnya ucapan terima kasih disampaikan kepada  semua pihak yang telah membantu. Semoga Allah Swt.  membalasnya dengan kebaikan yang tiada terhingga dan apa  yang dilakukan menjadi amal saleh, amin.                                                       Palembang, April 2016                                                               Basuki Sarwoedi                                                           vii
DAFTAR ISI    Kata Pengantar......................................................iii  Sekapur Sirih..........................................................v  Daftar Isi...............................................................viii  1. Masa Kecil Puyang Puru Parang ..........................1  2. Peperangan Puyang Puru Parang .........................11  3. Puyang Puru Parang Mengembara .......................15  4. Balas Budi .........................................................29  Biodata Penulis.......................................................51  Biodata Penyunting.................................................53  Biodata Ilustrator..................................................54
1. MASA KECIL PUYANG PURU PARANG         Pada zaman dahulu kala di sekitar hutan Ujan  Mas, hiduplah satu keluarga yang memiliki tujuh orang  anak. Dari ketujuh anak yang dimiliki keluarga itu,  kelak semuanya akan menjadi orang yang hebat dan  menjadi puyang masyarakat di wilayah Ujan Mas dan  sekitarnya. Nama ketujuh anak dari keluarga sederhana  dan sejahtera itu adalah Puyang Kumbang (si sulung),  Puyang Ri Tabuan, Puyang Ri Nawang, Puyang Ri Tintin,  Puyang Ri Bermi, Puyang Telaga Bulan, dan Puyang Ri  Bujang atau Puyang Puru Parang. Anak yang paling  bungsu disebut sang Puru Parang karena berpenyakit,  yakni seluruh badannya penuh oleh panu dan kudis puru  parang.         Si Puyang Puru Parang kecil tetaplah seperti anak-  anak kecil pada umumnya. Dia senang bermain dengan  teman sebayanya. Keadaan dirinya yang memiliki  kelainan dalam hal kesehatan, yakni sekujur badannya  yang berpenyakit kulit, kadang membuat dirinya  merasa rendah diri. Akan tetapi, teman-temannya  tidak merasakan hal yang menjijikkan dari temannya  yang bernama Puru Parang itu. Mereka tetap asyik                                                            1
2
bermain apa saja sampai kadang-kadang lupa waktu.  Terkadang mereka bermain di tanah lapang desa itu.  Mereka senang sekali main lari-larian ke sana kemari,  main petak umpet, atau bermain yang lainnya.           Anak bungsu dari tujuh bersaudara itu, Puyang  Ri Bujang (Puyang Puru Parang) merupakan puyang  yang paling kecil bila dibandingkan dengan saudara-  saudaranya yang lain. Akan tetapi, bila dilihat dari  ketangkasan dan kesaktiannya, Puru Parang merupakan  puyang paling sakti bila dibandingkan dengan saudara-  saudaranya yang lain. Biarpun dia memiliki kesaktian  yang sangat luar biasa dan boleh dikatakan kesaktiannya  paling tinggi dan paling hebat dari keenam saudaranya  tersebut, sikapnya biasa saja dan tetap santun. Hal ini  terjadi karena Puyang Ri Bujang sejak kecil sudah giat  berlatih ilmu kanuragan hingga dewasa tanpa kenal  lelah sehingga wajarlah ilmu kesaktian yang dimilikinya  sangat tinggi melebihi enam saudara lainnya. Meskipun  dirinya memiliki kesaktian yang luar biasa, Puyang  Puru Parang tidak menjadi tinggi hati dan bersikap sok  jagoan. Justru, dengan ilmu yang dia miliki, dia semakin  rendah hati. Justru, ilmu kesaktian yang dimilikinya                                                            3
digunakan untuk berbuat baik kepada sesama. Atas  kerendahan hati dan kebaikannya, Puyang Ri Bujang  sangat terkenal di sekitar daerah Ujan Mas.         	 “Tidak disangka, ya. Ri Bujang itu sakti sekali,  tetapi dia tidak besar kepala dengan kesaktian yang  dimilikinya, atau mungkin karena dia menderita sakit  kadas, kudis, dan panu di sekujur tubuhnya, ia tetap  rendah hati,” kata Dimung, tetangga Ri Bujang.          “Iya, ya. Biasanya orang yang memiliki ilmu tinggi  bisa sombong, tetapi saudara kita ini tidak sombong.  Aku rasa memang sudah perwatakan Puru Parang. Ia  rendah hati bukan karena penyakitnya itu. Sepertinya  begitu, Teman-Teman,” timpal Ade.         “Memang lain sekali watak saudara kita, si Ri Bujang  itu. Kita berdoa saja kepada Tuhan agar saudara kita  itu selamanya tetap seperti yang kita lihat sekarang,”  kata Dimung.         “Amin …,” ujar teman-teman Ri Bujang menjawab  secara serempak.         Beberapa waktu kemudian, daerah Ujan Mas  tempat Ri Bujang tinggal dihebohkan dengan suatu  kejadian aneh. Keanehan itu bermula dari munculnya  makhluk ganas seperti kucing, tetapi besar. Harimau,                                                            4
binatang yang berjulukan si raja hutan, yang memiliki  mata sangat menakutkan bila menatap, berbadan  besar, berkuku tajam, dan berkulit loreng, serta suka  mengaum, muncul secara tiba-tiba di kampung mereka.         Penduduk dibuat tidak tenang perasaannya.  Penduduk selalu merasa was-was sejak kehadiran si  raja hutan ke desa mereka itu. Mereka berpikir dan  berpikir tentang cara agar kehidupan mereka itu normal  kembali seperti semula tanpa dihinggapi perasaan was-  was. Setelah lama berpikir, akhirnya mereka sepakat  memecahkan persoalan itu bersama-sama dengan Puru  Parang.         Mereka sepakat dan memercayakan pemecahan  masalah itu kepada Puru Parang. Mereka berharap  sekali agar kesaktian Puyang Ri Bujang (Puyang Puru  Parang) bisa mengatasi masalah yang sedang mereka  hadapi.         Penduduk berdatangan ke rumah Puyang Puru  Parang untuk meminta bantuan agar puyang itu bisa  mengusir si raja rimba.         “Wahai Tuan Ri Bujang, kami warga desa ini sangat  resah dengan kehadiran si raja hutan. Kami tidak bisa  mengatasi permasalahan ini, wahai Saudaraku,” kata  perwakilan warga kepada Puru Parang.                                                            5
“Ya, kami tidak ragu lagi dengan kesaktian yang  Tuan miliki. Oleh karena itu, kami datang kemari untuk  meminta bantuan Tuan Puru Parang,” kata penduduk  beramai-ramai.         “Jangan begitu, wahai Saudaraku! Aku ini  sama seperti kalian. Aku tidak memiliki apa-apa,  Saudaraku. Berserah pada Allah dan berdoa untuk bisa  menyelesaikan masalah,” kata Ri Bujang merendah.         “Tidak, Tuan. Tuan adalah orang sakti. Jadi,  kami meminta bantuan dan pertolongan. Bukan kami  tidak percaya Tuhan, melainkan kami harus ikhtiar,  Saudaraku,” kata penduduk.         “Memangnya ada apa sehingga kalian minta tolong  dan seperti ketakutan?” tanya Ri Bujang.         “Di desa kita sedang ada kehebohan dengan  munculnya binatang si raja hutan. Kami sangat takut.  Oleh karena itu, kami meminta bantuan.”         “Oh, begitu, baiklah. Nanti saya akan mencoba  mengusir binatang itu,” kata Ri Bujang.         “Terima kasih, Tuanku Puru Parang,” teriak seluruh  warga yang hadir di tempat itu.         Setelah mendengar kesanggupan Ri Bujang untuk  membantu dan menolong mereka dari ancaman makhluk  yang berjulukan si raja hutan, warga merasa gembira,  tenang, dan bisa sedikit bernapas lega.                                                            6
Tidak lama setelah mendengar kesanggupan Puru  Parang, mereka pun membubarkan diri untuk pulang ke  rumah masing-masing.         Malam yang telah dijanjikan Puru Parang pun  datang. Warga kembali datang ke kediaman Puru  Parang. Di sana mereka bersembunyi menantikan  kedatangan si raja hutan dengan perasaan yang penuh  was-was.         Malam pun semakin larut. Akan tetapi, si raja hutan  belum juga menampakkan batang hidungnya. Warga  pun berpikir, mungkinkah raja hutan itu takut kepada  Puru Parang? Dengan perasaan was-was, mereka pun  sabar. Mereka ingin secara langsung melihat cara Ri  Bujang menyingkirkan si raja rimba itu.         Benar saja! Yang mereka tunggu sekian lama  akhirnya datang juga. Harimau sumatra yang gagah  dan tinggi besar datang dengan tenangnya sambil  menatap tajam ke arah Puru Parang. Demikian halnya  Puru Parang pun dengan santai, tetapi berwibawa tidak  kalah galaknya menatap si raja rimba. Setelah lama,  terjadilah hal yang sangat menegangkan. Terjadilah  dialog antara Puru Parang dan si raja rimba.                                                            7
Setelah terjadi dialog panjang, kedua makhluk beda  dunia itu tidak menemui titik temu dan kesepakatan.  Pertarungan di antara keduanya tidak terelakkan  lagi. Pertempuran itu berlangsung cukup lama dalam  suasana sangat menegangkan dan melelahkan karena  keduanya mengeluarkan kesaktiannya masing-masing,  Puru Parang dan si harimau.         Puyang Ri Bujang mengerahkan segala kemampuan  yang dimilikinya untuk mengatasi kehebatan si raja  rimba. Setelah sekian lama mereka bertarung, akhirnya  Ri Bujang sanggup menjinakkan harimau tersebut.  Menurut kesaksian dan cerita banyak orang di sekitar  tempat pertarungan itu, harimau tersebut bukanlah  harimau biasa, melainkan harimau jadi-jadian atau  harimau siluman.         Setelah Puru Parang berhasil memenangkan  pertarungan itu, si harimau memberikan hormat  kepadanya.         “Hamba mohon ampun, Tuan Puru Parang. Hamba  mau bercerita. Hamba sedang mencari manusia hebat  yang bisa menjadi pemimpin, yang bisa menjadi mitra  kami dalam menjaga daerah Ujan Mas,” cerita harimau  siluman kepada Puru Parang.                                                            8
“Oh, jadi itu masalahnya,” kata Puru Parang.       “Hamba mohon maaf, Tuanku. Dengan cara seperti  itulah kami bisa mencari calon pimpinan di wilayah  ini yang benar-benar mumpuni, berwibawa, dan tidak  sombong,” cerita sang harimau siluman.       “Baiklah, kalau itu niatmu sebenarnya, wahai  Saudaraku, saya bersedia menjadi mitra kerjamu,” kata  Puru Parang kepada harimau siluman yang tidak punya  nama itu.       Setelah pertarungan, terjadilah dialog antara  keduanya. Si harimau jadi-jadian dijadikan teman oleh  Ri Bujang dan diberi nama Muncit.        Melihat melihat hat tersebut masyarakat memuji  Puyang Ri Bujang karena bersikap arif bijaksana  menghadapi masalah, sekalipun itu dengan musuh.                                                            10
2. PEPERANGAN PUYANG PURU PARANG         Ujan Mas merupakan daerah yang terkenal  sangat kondusif dalam segala hal. Keadaan Ujan Mas  kondusif dan tenteram karena masyarakatnya terkenal  santun, ramah, dan terbuka kepada siapa pun, serta  memiliki sifat cinta damai. Sikap kepemimpinan kepala  daerah sangat arif, bijaksana, dan adil sehingga  tidak mengherankan bila masyarakatnya mencintai  pemimpinnya. Apapun peraturan dan perbuatan  pemimpinnya senantiasa didukung dan dicontoh oleh  seluruh anggota masyarakat.         Pada suatu hari, berhembus berita tentang akan  adanya perang di daerah itu. Berita ini membuat  ketenangan dan ketenteraman daerah itu menjadi  terusik. Akar dari permasalahan ini adalah Sultan  Kesultanan Palembang ingin meluaskan pengaruh  kekuasaannya sampai ke daerah Lagos. Sultan  Palembang menganggap daerah Lagos merupakan  daerah potensial yang harus mereka kuasai.         Mendengar laporan dari mata-mata di lapangan  tentang ketidakmauan penduduk Lagos dan  sekitarnya untuk mengakui kekuasaan Kesultanan                                                           11
Palembang Darusalam, bulatlah tekad Sultan  Palembang untuk segera menyerang daerah itu.  Setelah mempertimbangkan rencana penyerangan  dengan matang dan merasa kehendaknya terhalangi  oleh ketegasan penduduk Lagos dan Ujan Mas,  disimpulkanlah bahwa peperangan besar tidak dapat  terhindarkan lagi.         “Panglima, siapkan pasukan dalam jumlah besar  untuk segera menggempur daerah yang membangkang  itu!” perintah Sultan Palembang Darusalam.         “Siap, Paduka Kanjeng Sultan!” kata panglima  perang Kesultanan Palembang Darusalam.         Dengan tidak membuang waktu lama, Kesultanan  Palembang pun mengirimkan pasukannya dalam jumlah  yang sangat besar untuk menyerang warga di daerah  Lagos, Ujan Mas. Pengiriman pasukan Kesultanan  Palembang dalam jumlah besar tersebut diketahui  oleh Puyang Ri Bujang (Puyang Puru Parang). Bila  dilihat dan dihitung dengan akal sehat, perbandingan  jumlah pasukan Kesultanan Palembang dengan mereka  sangatlah tidak seimbang.         Puyang Puru Parang mengatur siasat dan strategi  perang dengan matang mengingat jumlah mereka jauh                                                           12
lebih sedikit. Berkat siasat Puyang Puru Parang dan  si Muncit dalam memimpin pasukan dan mengatur  strategi pertempuran, peperangan yang sebenarnya  tidak seimbang antara Puyang Ri Bujang dan Kesultanan  Palembang berhasil mereka menangkan. Dengan  kemenangan pertempuran tersebut, masyarakat  semakin bangga memiliki puyang seperti Ri Bujang.         “Wahai, Wargaku yang tercinta. Kita baru  saja memenangkan peperangan yang cukup besar.  Peperangan ini sebenarnya tidak seimbang dalam  hal jumlah pasukan. Akan tetapi, berkat persatuan  dan kesatuan, jumlah pasukan kita yang sedikit bisa                                                           13
mengalahkan pasukan penyerang yang jumlahnya jauh  lebih besar. Ini semua juga tidak lepas dari pertolongan  Tuhan Yang Mahakuasa,” kata Puru Parang.         “Jaga terus persatuan dan kesatuan yang sudah  mantap di wilayah kita ini, setuju?” tanya Puru Parang  yang langsung dijawab dengan kata setuju oleh seluruh  warga yang baru saja selesai berperang.         Setelah Puru Parang selesai berpidato, warga  membubarkan diri untuk pulang ke rumah masing-  masing. Di wajah mereka terlihat sekali raut  kegembiraan meskipun sebenarnya mereka dalam  keadaan capai. Pakaian mereka sangat lusuh dan kotor  akibat peluh dan darah. Namun, hal tersebut tidak  mereka hiraukan.                                                            14
3. PUYANG PURU PARANG MENGEMBARA         Perasaan bosan dan monoton dirasakan dalam  kehidupan sehari-hari, perlu keberanian dan kemauan  untuk keluar dan cari pengalaman baru. Puyang Ri  Bujang mengalami rasa itu. Perasaan itu diutarakan  Puru Parang kepada orang tuanya dan juga kepada  saudara-saudaranya.         “Ayahanda, apakah Ayahanda pernah merasakan  bosan?” kata Ri Bujang dalam suatu kesempatan ketika  dirinya sedang duduk-duduk bersama ayahandanya  dan keenam saudaranya.         “Apa maksud pertanyaanmu, Anakku yang bungsu?  Ayah kadang-kadang juga merasakan hal itu, Anakku,  tetapi mengapa hal itu kautanyakan kepada Ayah  secara tiba-tiba, ada apa?” tanya ayah Ri Bujang.         “Ayah, Ananda ingin sekali mencari pengalaman ke  dunia luar. Apakah Ayahanda mengizinkan?” tanya Ri  Bujang.         “Kalau memang itu kehendakmu yang tidak bisa  ditahan, Ayah mengizinkan Ananda pergi merantau.”         Mendengar permintaannya diizinkan oleh ayahnya,  hati Ri Bujang sangat senang dan berkali-kali  mengucapkan terima kasih.                                                           15
Pada suatu ketika, pada hari yang direncanakan,  sang Puyang Puru Parang pun turun gunung untuk  merantau. Akan tetapi, sebelum pergi merantau,  terlebih dahulu sang Puru Parang bersujud kepada  kedua orang tuanya seraya memohon doa restu agar  selama merantau ia mendapatkan kemudahan.         “Ayahanda, Bungsu pamit mengembara dahulu.  Mohon doa restunya,” kata Puru Parang.         “Ayahanda selalu memberi restu, Anakku. Hati-hati  di jalan,” kata ayah Puru Parang.         Setelah mendapat restu dari ayahandanya, Puyang  Puru Parang pun berpamitan dengan ayahandanya dan  pergi dengan perasaan gembira serta langkah yang  semakin mantap.         Dalam pengembaraan, dia melewati hutan yang  lebat dan menyeramkan, pegunungan dan bukit  yang tinggi, lembah yang curam, hingga sungai yang  dalam dan deras arusnya. Semua keadaan alam  tersebut dilaluinya dengan perasaan gembira karena  keinginannya mengenal dunia luar terpenuhi. Rasa  takut yang biasanya dirasakan oleh orang yang belum  biasa pergi mengembara tidaklah tampak pada raut  wajahnya.                                                            16
“Alangkah senangnya hatiku bisa pergi mengembara  ke mana aku suka. Aku merasakan entengnya langkah  kakiku ini,” Puyang Puru Parang berkata sendiri dalam  hati.         Perjalanan yang telah ditempuh Puyang Puru Parang  sebenarnya sudah sangat jauh, tetapi Puyang Puru  Parang tidak merasakannya atau tidak menganggapnya  sebagai beban. Saat ini perasaan yang ada dalam diri  Puru Parang adalah gembira.         Hari telah berganti hari. Tanpa terasa sudah  seminggu perjalanan yang ia tempuh, tetapi belum satu  desa pun ia temukan.         Setelah sekian lama Puru Parang berada di hutan,  sang Puru Parang tumbuh menjadi seorang yang cerdas,  mandiri, dan dewasa. Memang sejak kecil ia sudah  terbiasa berteman dengan binatang dan penghuni  hutan sehingga berkelana dalam hutan sudah menjadi  hal yang biasa baginya. Ia tidak merasa takut.         Hingga pada suatu hari, Puyang Puru Parang sampai  di suatu desa yang kelihatannya sudah maju. Dengan  penuh kekaguman dan rasa penasaran, Puru Parang  mengamati keadaan sekelilingnya dengan saksama.                                                           17
Melihat keadaan desa tersebut sedemikan maju,  sang Puyang Puru Parang sangat senang. Puru Parang  berkata dalam hati, “Kalau desa ini sedemikian majunya,  tertib, makmur, aman dan nyaman, kepala dusunnya  pasti orang yang adil dan amanah.”         Agar pengembaraannya tidak diketahui banyak  orang, diputuskanlah oleh Puyang Puru Parang untuk  melakukan penyamaran. Dia menyamar menjadi seorang  yang sangat miskin dan sedang dalam kelaparan.         Sang Puyang Puru Parang berpakaian compang-  camping dan berdandan sangat kotor sehingga  menimbulkan kesan sangat menjijikkan. Ditambah lagi,  badannya penuh dengan penyakit panu, kadas, kudis,  dan kurap.                                                           18
Di sebuah tempat, tidak jauh dari desa, tampak  sebuah rumah yang bagus dan asri dengan halaman  yang tertata dengan baik. Suasana sekeliling rumah itu  sangat sejuk, nyaman, dan bersih.         Puru Parang memperhatikan dengan saksama orang  yang ada di depan rumah. Setiap orang yang lewat di  depannya terlihat selalu memberi sapaan dengan rasa  penuh hormat kepada orang itu. Puru Parang bertanya  dalam hati, “Siapakah gerangan orang itu?” Lama dia  memperhatikan penghuni rumah itu. Akhirnya penghuni  rumah pun masuk.         Sang Puyang Puru Parang melangkah menghampiri  rumah orang yang ramah itu dan mengetuk pintu  rumahnya. Penghuni rumah keluar membukakan pintu  rumah.         Betapa terkejutnya penghuni rumah melihat orang  yang datang dan mengetuk pintu rumahnya. Dengan  saksama penghuni rumah itu memperhatikan keadaan  tamunya. Dalam hatinya ia bergumam, “Alangkah kotor  dan kumalnya badan orang ini, penuh luka penyakit  kadas, kudis, dan panu sehingga ia sangat bau. Alangkah  menyedihkan keadaan orang ini!”                                                           19
Lama tertegun melihat keadaan Puyang Puru  Parang, penghuni rumah itu akhirnya dengan tenang  dan sabar mempersilakan sang Puyang Puru Parang  untuk masuk ke dalam rumah.         “Silakan masuk, Ki Sanak!” kata penghuni rumah.       “Iya, Tuanku,” kata Puru Parang.       Kemudian, seperti tanpa rasa canggung dan tanpa  ada rasa curiga, sang pemilik rumah mempersilakan  Puyang Puru Parang untuk mandi dahulu agar badannya  yang kotor menjadi bersih. Penghuni rumah dengan  cepat mengambilkan peralatan mandi seperti handuk,  sabun, dan pakaian, lalu memberikannya kepada  tamunya tersebut.       Puyang Puru Parang masih dalam posisi terkagum-  kagum mendapat sambutan dan pelayanan yang baik  dari pemilik rumah. Dengan perasaan ragu dan malu-  malu Puru Parang pun menerima semua pemberian  pemilik rumah.       Selama di kamar mandi, Puru Parang memperhatikan  sekelilingnya. Ia bergumam dalam hati, “Si pemilik rumah  ini sepertinya orang yang pembersih. Lihat saja lantai,  dinding, dan bak mandinya. Semuanya dalam keadaan                                                           20
bersih. Peralatan mandi ini juga masih baru. Baju yang  diberikan kepadaku juga masih baru. Sebenarnya dia  siapa, ya?” Puru Parang masih bergumam sendiri.         Semuanya tidak berlangsung lama. Mandi sudah  dan berpakaian juga sudah. Kemudian, Puru Parang  pun bergegas menuju ke ruang tamu untuk menemui  pemilik rumah. Akan tetapi, betapa terkejutnya sang  Puyang Puru Parang ketika ia hendak menuju ruang  tamu. Ia melihat pemilik rumah sudah menunggunya di  meja makan untuk makan bersama.         Pemilik rumah sepertinya biasa saja sikap dan  tingkahnya, seakan ia tanpa canggung dan tidak merasa  jijik. Dengan tenangnya ia menerima kehadiran Puru  Parang yang dalam keadaan berpenyakitan tersebut.  Pemilik rumah mempersilakan sang Puyang Puru Parang  untuk duduk dan makan.         Sang Puyang Puru Parang membuka piring di atas  meja makan dengan tenang dan sopan. Diambilnya  nasi dengan hati-hati. Kemudian, nasi dan lauk-pauk  sudah di piringnya. Sambil menikmati makanan yang  dihidangkan, sang Puyang Puru Parang dalam hatinya  masih bertanya-tanya. Sebenarnya siapakah orang                                                           21
yang telah menyambutnya dengan sangat baik dan  sopan ini? Setelah selesai makan, pemilik rumah pun  bertanya kepada sang Puyang Puru Parang.         “Oh ya, wahai Saudaraku. Siapakah gerangan  engkau sebenarnya dan hendak bermaksud apa datang  ke rumahku? Lalu, apa yang menimpamu sehingga  dirimu seperti ini? Mengapa keadaanmu bisa seperti  ini, Saudaraku?” tanya penghuni rumah kepada Puyang  Puru Parang.         Mendengar pertanyaan seperti itu, sang Puyang  Puru Parang pun terdiam dan berpikir sejenak. Tidak  lama kemudian sang Puyang Puru Parang menceritakan  dirinya kepada pemilik rumah.         “Wahai, Tuanku yang agung. Hamba ini adalah  seorang pengembara dari daerah yang sangat jauh  dari sini. Hamba berjalan ke sana ke mari tanpa  tujuan. Hamba kehabisan uang dan bekal. Oleh karena  itu, hamba menjadi seorang pengemis dan sekarang  hamba sedang diserang penyakit yang bisa Tuanku  lihat. Maksud kedatangan hamba kemari adalah untuk  meminta sedikit uang atau bekal dan nasi untuk sekadar  mengganjal perut yang sudah lama tidak terisi apa-apa,  kecuali air sungai. Hamba sangat membutuhkan uang                                                           23
untuk mengatasi kesulitan. Hamba tidak memiliki uang  guna mengobati penyakit hamba ini,” jawab sang Puru  Parang dengan nada pelan dan wajah memelas.         “Oh, begitu. Wahai, Saudaraku, malang nian  nasibmu! Perkenalkan, orang menyebut saya Kepala  Dusun,” kata pemilik rumah memperkenalkan diri  kepada Puru Parang.         “Iya, Pak. Jadi, Bapak ini kepala desa, ya? Begitulah,  Pak. Tujuan saya mengembara adalah mencari orang  yang bisa mengobati penyakit kulit saya ini,” cerita  Puru Parang.         Mendengar cerita sang Puru Parang yang begitu  menyedihkan, hati pemilik rumah tersentuh dan  merasakan kesusahan yang sedang menimpa tamunya  itu. Pemilik rumah yang tidak lain adalah kepala desa  itu lalu pergi ke kamar menemui istrinya dan menyuruh  istrinya ke belakang untuk menyiapkan sesuatu. Puru  Parang memperhatikan segala tingkah laku kepala  desa dan istrinya dari ruang tamu. Setelah semuanya  selesai, si pemilik rumah kembali menemui si Puyang  Puru Parang.         “Ini ada nasi dan lauk sebagai bekal kamu di  perjalanan nanti, ya, dan ini ada sedikit uang untuk  berobat.”                                                           24
Mendengar pemilik rumah berkata dengan sangat  sopan dan melihat ketulusannya dalam memberi nasi,  lauk, dan uang, hati sang Puyang Puru Parang sangat  terharu. Ia berkata dalam hati, “Alangkah baiknya hati  dan perasaan orang ini, pantas saja desa ini maju dan  makmur.”         Untuk mengobati rasa penasaran dan untuk  meyakinkan hatinya akan status si pemilik rumah, sang  Puru Parang memberanikan diri untuk bertanya kepada  pemilik rumah itu untuk ke sekian kalinya.         Diamnya Puru Parang ternyata diperhatikan oleh  kepala desa itu. Lalu, kepala desa itu malah balik  bertanya kepada Puru Parang.         “Ada apa, wahai Puru Parang, Saudaraku, hingga  dirimu terdiam saja dari tadi?” tanya kepala desa.         “Sebelumnya saya minta maaf atas kelancangan  saya ini. Begini, Pak. Saya mau bertanya tentang  sesuatu kepada Bapak. Apakah Bapak berkenan?” Puru  Parang sepertinya ragu untuk mengajukan pertanyaan.         “Ada apa, wahai Saudaraku? Apa yang hendak  kamu tanyakan kepadaku?”         “Sebenarnya Tuanku ini siapa dan mengapa orang-  orang di sekitar tempat tinggal Tuanku begitu hormat  kepada Tuanku?”                                                           25
“Oh, itu. Begini, wahai Saudaraku. Tadi ’kan  saya sudah memperkenalkan diri, barangkali lupa  ya? Memang orang-orang di sekitar tempat tinggalku  ini hormat kepadaku karena aku di sini orang yang  dituakan. Jadi, aku dijadikan kepala desa. Jadi begitu,  Saudaraku.”         Puyang Puru Parang menjadi plong hatinya  setelah mendengarkan penjelasan dari orang yang  telah melayaninya dengan baik ini dan sekarang lebih  plong lagi hatinya setelah mengetahui identitas orang  tersebut. Puyang Puru Parang pun berkata dalam  hatinya, “Jadi, orang yang selama ini bersamaku ini  adalah seorang kepala desa. Pantas saja desa yang ia  pimpin maju dan makmur karena ia seorang pemimpin  yang adil dan bijaksana.”         Sebelum Puyang Puru Parang pergi meninggalkan  rumah sang penguasa atau kepala desa, ia berpesan  kepada kepala desa itu sebagai bentuk balas budi atas  segala kebaikannya selama ini.           “Wahai Tuanku kepala desa, untuk membalas  segala kemuliaan hati Tuanku, hamba akan memberikan  sesuatu untuk Tuanku sebagai rasa terima kasih hamba.  Jika kelak di kemudian hari Tuanku, anak cucu Tuanku,  dan rakyat desa ini mengalami kesusahan atau ditimpa                                                           26
musibah maka tuanku tidak usah bingung. Tuanku  cukup berdoa dan meminta pertolongan kepada  Allah Swt. dengan khusuk. Akan tetapi, setelah itu  Tuanku jangan lupa panggil nama Si Muncit sebanyak  tiga kali. Insyaallah pertolongan Allah akan datang  melalui seekor harimau putih yang akan menyelesaikan  masalah Tuanku. Itu pesan yang pertama, Tuanku.  Selanjutnya, jika kelak desa ini kembali ditimpa musibah  dengan adanya bercak-bercak merah seperti darah  berwarna merah, Tuanku dan seluruh warga desa ini  agar mempersiapkan diri untuk menghadapi musibah  tersebut.”         “Oh, jadi begitu hadiahnya, wahai Saudaraku,”  kata kepala desa.         Kemudian, pemilik rumah mengantarkan sang Puru  Parang sampai di halaman rumahnya. Kepala desa  merenung setelah mendengarkan pesan si Puyang Puru  Parang dengan baik dan serius. Sampai-sampai setelah  sang Puyang Puru Parang pergi, kepala desa itu masih  termenung. Sadar-sadar hari sudah malam, keadaan  sudah sepi, dan Puyang Puru Parang sudah tidak ada lagi  di hadapannya. Sang kepala desa hanya bisa bersyukur  dalam hati karena ia telah diberi kesempatan untuk  beribadah dengan berbuat baik dan menolong sesama.                                                           27
28
  4. BALAS BUDI         Waktu terus berputar dan tidak pernah berhenti  seiring dengan perjalanan kehidupan yang ada di muka  bumi ini yang juga tiada pernah berhenti walau untuk  sedetik saja. Demikian juga dengan perkembangan  suasana, situasi, dan kondisi, tentulah mengalami suatu  perubahan. Hal ini juga terjadi di sektor keamanan  kampung tersebut.         Setelah beberapa tahun waktu berlalu, situasi  keamanan dan ketenteraman warga desa yang dahulu  pernah disinggahi oleh sang Puyang Puru Parang  mulai terusik dan mengalami gangguan. Desa mereka  kedatangan kelompok maling, perampok, dan begal  yang dahulu ketika mendengar nama desa itu saja  sudah menjadi sangat takut dan sedikit pun tidak berani  menginjakkan kaki di desa itu. Akan tetapi, kini mereka  sudah mulai berani memasuki desa tersebut karena  mereka sudah memiliki kesaktian sehingga mereka  berani bertindak kasar dan kejam. Di antara mereka  ada yang mencuri dengan sembunyi-sembunyi, ada juga  di antara mereka yang tidak segan-segan menjarah dan  merampok serta membegal secara terang-terangan.                                                           29
Para perampok dan begal ternyata tidak segan-  segan melukai anggota masyarakat yang mencoba  menghalangi atau melawan mereka. Para perampok  senang sekali mengganggu, bahkan menyakiti gadis-  gadis desa. Gadis-gadis yang menjadi korban adalah  yang orang tuanya tidak mau menyerahkan upeti  kepada mereka.         Ulah para pencuri, begal, dan gerombolan perampok  itu sangat meresahkan warga. Kekacauan telah terjadi  di mana-mana. Masyarakat tidak lagi berani keluar  malam. Kepala desa tidak lagi bisa berbuat banyak  atau memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk melawan  mereka semenjak anak yang paling besarnya tewas  ketika melawan para perampok itu.         Di saat melihat keadaan desa yang mulai tidak  tenteram dan menjurus pada keadaan darurat  keamanan, sang kepala desa teringat sesuatu. Dulu ia  pernah diberi pesan oleh sang Puru Parang agar tidak  panik dan bingung. Puru Parang berpesan agar dirinya  berdoa dengan khusuk dan memohon pertolongan Allah  Swt.. Setelah itu ia diperintahkan memanggil nama  Muncit sebanyak tiga kali. Insyaallah dengan cara  itu masalah akan teratasi. Kepala desa pun menuruti                                                            30
pesan Puru parang. Ia kemudian berdoa dengan  khusuk memohon pertolongan kepada Allah Swt. agar  masalahnya bisa teratasi. Setelah selesai berdoa  memohon pertolongan kepada Allah Swt., sang kepala  desa tak lupa pula memanggil nama Muncit sebanyak  tiga kali, sesuai dengan pesan sang Puru Parang         “Muncit … Muncit … Muncit …,” panggil kepala  desa dengan suara yang keras dan terdengar sangat  nyaring.         Tidak berapa lama setelah kepala desa memanggil  nama Muncit sebanyak tiga kali, tiba-tiba suasana jadi  bergemuruh seperti layaknya sebuah kereta raja lewat.                                                           31
Cahaya sangat terang menyilaukan mata dan kemudian  muncullah asap putih tebal yang lama-kelamaan  menipis. Samar-samar berdiri tegak di hadapan sang  kepala desa seekor harimau putih bersih mengilap,  besar, sebesar sapi dewasa. Sambil menundukkan  kepala sebagai tanda hormat, sang harimau bernama  Muncit itu mendekati kepala desa.         “Ada apa gerangan Tuanku memanggil hamba? Apa  yang bisa hamba bantu, Tuanku yang budiman?” tanya  si harimau putih.         Kepala desa itu menatap harimau putih itu, lalu  menceritakan keadaan desa yang ia pimpin sedang  mengalami gangguan.         “Begini, wahai Saudaraku. Desa yang aku pimpin  ini saat ini sedang dilanda keresahan dan kekacauan  akibat gerombolan maling, perampok, dan begal.  Mereka ada yang mencuri dengan sembunyi-  sembunyi, ada yang tidak segan-segan menjarah dan  merampok serta membegal dengan terang-terangan.  Para perampok dan begal tidak segan-segan melukai  masyarakat yang mencoba menghalangi atau melawan  mereka. Bila mereka dalam posisi terdesak, mereka tega                                                           32
menghilangkan nyawa korbannya. Sementara tidak  sedikit gadis-gadis desa harus kehilangan mahkotanya,”  cerita kepala desa pada si Muncit.           Mendengar cerita dan penjelasan kepala desa  itu, si Muncit pun paham dan cepat tanggap. Demi  menenteramkan hati kepala desa yang sedang sedih  dan resah itu, Muncit pun berkata kepada kepala desa,  “Tidak usah resah, sedih, dan khawatir seperti itu,  wahai Tuanku yang budiman!”         Saudaraku, besok pagi silakan engkau pergi ke  ujung desa sebelah timur. Lihatlah keadaan di kampung  sana! Engkau pasti akan terkejut melihat yang  terjadi karena di sana engkau akan temukan perampok  yang kejam itu sudah meninggal semua. Tidak ada  satu pun perampok yang tersisa. Hanya saja, Tuanku,  pesan hamba kepada Tuanku, tolong kebumikan mayat  para perampok itu layaknya Tuanku mengebumikan  orang lain yang sudah meninggal dunia. Jangan sia-  siakan jasad mereka meskipun mereka sudah bertindak  sangat kejam kepada rakyat Tuanku. Ingat, itu pesanku  kepadamu!”         “Baiklah, Muncit. Pesanmu ini akan aku laksanakan  bersama warga,” kata kepala desa.                                                           33
Setelah pembicaraan selesai, tiba-tiba si Muncit  lenyap dari pandangan sang kepala desa. Suasana  kembali sepi mencekam.         Dalam hati sang penguasa desa itu hanya bisa  berkata, “Apa yang akan terjadi malam ini? Ini sungguh  malam yang sangat mengerikan bagiku, seperti malam  mau kiamat saja.”         Keesokan harinya kepala desa beserta seluruh  anggota masyarakat pergi ke ujung kampung di sebelah  timur untuk melihat kehebohan yang terjadi di sana.  Warga menemukan mayat para perampok di ujung desa  sebelah timur.         Sang kepala desa ingat pesan si Muncit dan kini  ia kagum akan kebenaran cerita si Muncit. Dalam hati  kepala desa berkata, “Ternyata benar yang sudah  diceritakan si Muncit kepadaku. Seluruh perampok  dan maling yang pernah menjarah harta benda warga  masyarakat desaku sekarang sudah terbujur kaku.”         Kemudian kepala desa merasa sangat bersyukur  kepada Allah Swt. karena lewat si Muncit musibah yang  melanda desanya dapat berakhir. Kepala desa lalu  menyuruh seluruh masyarakat desa menepati janjinya  kepada si Muncit untuk mengebumikan seluruh jenazah  perampok dan maling secara wajar.                                                            34
“Bapak-Bapak seluruh warga desa, ayo kita  kuburkan mayat-mayat perampok ini secara wajar,”  kata kepala desa.         “Baiklah, Tuanku yang budiman,” jawab warga  kompak.         Tidak mau berlama-lama, warga desa segera  menguburkan satu per satu mayat para perampok itu  secara wajar. Mereka bekerja secara bergotong royong  dan saling bahu-membahu. Akhirnya, seluruh mayat  telah selesai dimakamkan.         Peristiwa itu menjadi buah bibir orang-orang desa.  Mereka tidak tahu kejadian sebenarnya yang menimpa  para perampok yang meresahkan seluruh warga itu.         Satu tahun lamanya waktu berlalu. Akan tetapi,  masyarakat belum bisa melupakan peristiwa kekacauan  yang diakibatkan oleh ulah para perampok dan maling  di desa itu.         Kini desa itu dihebohkan dengan adanya bercak-  bercak merah, yang ternyata bercak-bercak darah,  persis di depan pintu rumah warga masyarakat. Kepala  desa, sang penguasa desa itu, kembali teringat akan  pesan sang Puru Parang bahwa akan ada tanda-tanda                                                           35
persis seperti yang sekarang ada di desa tersebut.  Tanda bercak-bercak darah berarti akan datangnya  musibah, yaitu penyakit yang sangat mematikan yang  akan menimpa desanya.         Satu minggu setelah tanda bercak-bercak darah  itu muncul, kekhawatiran kepala desa itu benar-  benar terjadi. Desanya diserang wabah penyakit yang  misterius dan sangat mematikan. Bahkan, kepala desa  itu pun ikut terserang wabah penyakit itu. Semua tabib  dan dukun yang minggu lalu dikerahkan untuk mengusir  tanda-tanda merah itu kembali dipanggil untuk  mengusir dan menyembuhkan penyakit.         “Wahai, para tabib dan para dukun yang saya cintai,  hari ini saya kembali memanggilmu untuk membantu  menyembuhkan warga dan diriku dari serangan wabah  penyakit ini,” kata kepala desa.         “Baik, Tuanku yang budiman. Kami akan membantu  warga dan Tuanku agar bisa sembuh dari penyakit yang  sedang diderita. Kami akan berbuat semampu kami,  Tuanku,” kata tabib dan dukun itu.         Para tabib, dukun, dan ustaz bahu-membahu  membantu kepala desa dalam mengatasi masalah  desa itu. Mereka mengerahkan segala kesaktian dan                                                           36
kemampuan yang mereka miliki. Siang dan malam  mereka bekerja dengan sekuat tenaga, baik melalui  obat-obatan, amalan-amalan, maupun mantra saktinya.  Akan tetapi, para dukun, ustaz, dan tabib itu tidak  mampu mengatasi masalah yang sedang melanda desa  itu. Mereka pun melaporkan hasil kerja mereka kepada  kepala desa.         “Ampun, Tuanku yang budiman. Hamba meminta  maaf kepada Tuanku. Hamba, semua dukun dan tabib,  sudah bekerja keras untuk mengusir penyakit dan  menyembuhkan warga. Akan tetapi, kami semua tidak  sanggup mengatasinya,” kata tabib desa.         “Oh begitu. Ya, sudah, tidak apa-apa, wahai para  tabib dan dukun. Terima kasih atas bantuan kalian.  Meskipun kalian belum berhasil, saya tetap berterima  kasih atas jerih payah kalian,” kata kepala desa.         Para tabib dan dukun itu pun pergi dari rumah kepala  desa dengan perasaan bersalah. Mereka merasa gagal  menolong warga dan merasa tidak berguna. Sepeninggal  para dukun dan tabib itu, tiba-tiba kepala desa kembali  ingat akan pesan sang Puyang Puru Parang. Bila ada  kesulitan atau musibah, disarankan agar memanjatkan                                                           37
nama Allah Swt. dan setelah itu memanggil si Muncit  sebanyak tiga kali. Tanpa membuang-buang waktu,  segera saja kepala desa itu kembali memanggil si  Muncit.         “Muncit … Muncit … Muncit …,” panggil kepala  desa dengan suara yang keras dan nyaring.         Tidak berapa lama setelah kepala desa memanggil  nama Muncit sebanyak tiga kali, tiba-tiba suasana jadi  bergemuruh seperti layaknya sebuah kereta raja lewat.  Cahaya sangat terang menyilaukan mata dan kemudian  muncullah asap putih tebal yang lama-kelamaan  menipis. Samar-samar berdiri tegak di hadapan sang  kepala desa seekor harimau putih bersih mengilap,  besar, sebesar sapi dewasa. Sambil menundukkan  kepala sebagai tanda hormat, sang harimau bernama  Muncit itu mendekati kepala desa.         “Ada apa gerangan Tuanku memanggil hamba? Apa  yang bisa hamba bantu, Tuanku yang budiman?” tanya  si harimau putih.         Kepala desa itu menatap harimau putih yang  tingginya sebesar sapi itu dan bercerita tentang  kesengsaraan warga desanya akibat wabah penyakit  yang sangat mematikan.                                                            38
“Aku ini mau minta petunjuk kepadamu, wahai  Muncit, karena saya tidak bisa mengatasi permasalahan  ini sendirian. Wahai, Saudaraku Muncit, bagaimana  cara mengobati warga desa dari wabah penyakit yang  sangat mematikan ini? Saya tidak tahu cara mengobati  diriku sendiri dan warga desaku. Dukun dan tabib sudah  berusaha, tetapi tidak ada yang berhasil,” kata kepala  desa kepada si Muncit.         “Tuanku yang budiman, silakan Tuanku datang ke  desa seberang. Di sana Tuanku akan menemukan tabib  yang insyaallah akan dapat menyembuhkan wabah  penyakit ini,” kata Muncit kepada kepala desa.         “Saudaraku Muncit, dengan keadaanku sakit  seperti ini, aku tidak akan sanggup untuk sampai ke  desa seberang. Bagaimana menurutmu, Muncit?” tanya  kepala desa kepada Muncit.         “Tuanku yang mulia, Tuanku tidak perlu datang  langsung ke desa itu. Tuanku yang mulia tinggal  memerintahkan anak Tuanku yang paling bungsu. Anak  itu memiliki kemuliaan dan kesabaran yang tinggi.  Dengan modal itu, insyaallah ia akan berhasil sampai ke  tempat tabib seberang,” saran Muncit kepada kepala  desa.                                                           39
Setelah mendapat petunjuk dari Muncit, sedikit  legalah perasaan kepala desa itu untuk menentukan  langkah berikutnya.         Keesokan harinya, pesan petunjuk dari Muncit  pun dilaksanakan kepala desa. Kepala desa memanggil  anak bungsu mereka. Kepala desa menerangkan  maksud pemanggilan anak bungsunya. Anak Bungsu  kepala desa mendengarkan dengan saksama  penjelasan Ayahandanya. Setelah lama dan panjang  lebar menjelaskan maksud dan tujuannya memanggil  anaknya, kepala desa pun bertanya kepada anaknya.         “Apakah Ananda sudah paham, dan siap  melaksanakan tugas ini?”         “Saya paham Ayahanda. Demi bakti Ananda  kepada Ayahanda dan warga desa, apapun yang akan  Ayahanda minta, Ananda akan siap laksanakan,” kata  ananda kepala desa.          “Terima kasih, Ananda. Percayalah ini tugas mulia  menolong Ayahanda dan warga desa. Percayalah pada  keagungan Allah Swt., bahwa semua ini sudah atas  kehendak-Nya. Jadi, laksanakan tugas ini dengan niat  yang tulus dan ikhlas semoga segalanya menjadi lancar  dan berpahala di hadapan Allah Swt.. Jika Ananda                                                           40
                                
                                
                                Search