PENELITIAN peningkatan kepastian dan perlindungan hukum hak tanah dan ruang Disusun Oleh: Septina Marryanti Prihatin Arsan Nurrokhman Febi Nur Anggriany DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENGEMBANGAN DAN STANDARISASI KEBIJAKAN AGRARIA, TATA RUANG DAN PERTANAHAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BPN 2020 NDIN HAERUDIN, ST ROMI NUGROHO, S.SI SURYALITA, A.PTNH
PENELITIAN PENINGKATAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK TANAH DAN RUANG TIM PENYUSUN : Septina Marryanti Prihatin, S.Si., M.Si. Koordinator : Arsan Nurrokhman, S.Si., M.A.P. Pembantu Peneliti Febi Nur Anggriany, S.H. Tenaga Ahli : Amin Fahruddin, S.H., M.Hum. Sekretaris Peneliti : Naufal Muzhaffar Fauzan Diterbitkan Oleh: Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Jl. Akses Tol Cimanggis, Cikeas Udik, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16966 Cetakan Pertama - 2020 ISBN: Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.
ABSTRAK Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengamanahkan Pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka menjamin kepastian hukum. Pemberian kepastian sekaligus perlindungan hukum kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat tanah sebagai tanda bukti haknya. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam Rencana Strategis menjadikan Indeks Kepastian dan Perlindungan Hukum Hak atas Tanah dan Ruang sebagai salah satu indikator kinerjanya. Indeks tersebut menunjukkan bahwa semakin sedikit bidang tanah yang diperkarakan dalam pengadilan TUN, maka semakin tinggi kepastian kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. Penelitian mengenai Peningkatan Kepastian dan Perlindungan Hukum Hak atas Tanah dan Ruang memiliki tujuan untuk: 1) menganalisis perkembangan pelaksanaan pendaftaran tanah dalam memberi kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang; 2) menganalisis penyebab perkara pertanahan yang mengalami kekalahan di pengadilan; dan 3) menganalisis upaya peningkatan kepastian dan perlindungan hukum akan hak atas dan ruang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan penelitian berbasis mix methods, yang merupakan sebuah metodologi penelitian yang menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif dalam proses mengumpulkan, menganalisis, dan mengintegrasikan metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan secara studi kasus di lima provinsi yang terdapat di Pulau Jawa yakni Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta dan Banten. Kemudian, ditentukan kabupaten/kota dengan jumlah perkara terbanyak, yakni Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kota Bandung, Kota Surabaya, Kabupaten Sleman, serta Kabupaten Tangerang. Populasi penelitian adalah perkara pertanahan yang berupa keputusan inkracht yang telah dihimpun oleh Direktori Mahkamah Agung selama tahun 2002 hingga Bulan Juli 2020. Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut. Pertama, waktu penyelesaian perkara dipengaruhi oleh jumlah pihak yang berperkara, tahun terjadinya perkara, dan tahun penerbitan sertipikat. Waktu penyelesaian perkara yang dibutuhkan semakin sedikit iv
seiring bertambahnya periode penerbitan sertipikat. Meningkatnya periode penerbitan sertipikat berpengaruh positif terhadap perkara yang menang. Semakin bertambah tahun penerbitan, maka semakin besar kecenderungan untuk memenangkan perkara. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja Kantor Pertanahan semakin baik dengan dukungan perbaikan sistem pelaksanaan pendaftaran tanah di setiap perkembangan periodenya. Sistem pendaftaran tanah yang dibangun Kementerian Agraria dan Tata Ruang dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang jauh lebih baik dibandingkan dengan sistem pendaftaran tanah pada periode sebelumnya. Kedua, penyebab perkara pertanahan yang mengalami kekalahan di pengadilan dapat dibedakan menjadi (delapan) pokok penyebab perkara, yakni: 1) tumpang tindih kepemilikan sertipikat (30,65%), 2) adanya putusan perdata (25,81%), 3) terdapat cacat prosedur (14,52%), 4) ketidaksesuaian data yuridis (8,06%), 5) putusan fiktif negatif dan positif (8,06%), 6) sengketa waris (6,45%), 7) keterkaitan dengan tata ruang (3,23%), dan 8) adanya putusan pidana (3,23%). Upaya peningkatan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang berkaitan dengan kinerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional adalah sebagai berikut: a) peningkatan peraturan tentang rechtsverwerking pendaftaran tanah; b) optimalisasi partisipasi masyarakat untuk validasi data pertanahan melalui berbagai sarana atau platform; c) penambahan ketentuan tentang iktikad baik dalam menguasai tanah dengan sanksi yang lebih terukur untuk tanah hak yang ditelantarkan; d) penguatan lembaga survei pengukuran dan pemetaan pihak swasta; e) pembaharuan SOP (Standar Operasional Prosedur) pendaftaran tanah; f) penguatan portofolio Panitia A sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah; g) penerapan prinsip fiktif positif untuk mengatasi “status quo” kegiatan pendaftaran tanah; dan h) peningkatan pemahaman akan pentingnya sinergi penataan ruang dengan penguasaan tanah. Terlepas dari 8 (delapan) upaya tersebut, peningkatan kualitas pegawai dalam melaksanakan tugas tetap menjadi perhatian utama. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mendukung peningkatan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang, terutama dalam perkara yang memiliki unsur pidana adalah pembuatan surat-surat tanah dengan adanya sidik jari atau dengan identitas unik lainnya. Kata Kunci: kepastian hukum, perlindungan hukum, hak atas tanah, perkara pertanahan. v
BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG 1. Rumusan Masalah Perkembangan wilayah yang semakin dinamis ditandai dengan maraknya berbagai pembangunan dan industrialisasi, mengakibatkan kebutuhan tanah setiap orang semakin menanjak dalam keterbatasan tanah yang tersedia. Kondisi ini seringkali menimbulkan masalah pertanahan yang berkaitan dengan pemilikan dan atau pemanfaatan tanah. Bagi masyarakat yang kuat secara ekonomi akan berpeluang melakukan penyerobotan terhadap aset yang dimiliki kalangan ekonomi lemah.1 Namun, di sisi lain tidak sedikit tanah negara yang diduduki secara ilegal (okupasi) oleh sebagian masyarakat untuk dijadikan tempat bermukim tanpa mempunyai bukti hak kepemilikan yang jelas.2 Oleh karena itu, diperlukan jaminan kepastian hukum hak atas tanah yang akan melindungi masyarakat terhadap aset yang dimilikinya. Jaminan tersebut akan menunjang kebermanfaatan tanah bagi manusia dan pembangunan. Menurut Fence M. Wantu,3 hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Menurut Van Apeldoorn,4 kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang konkret. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum 1 Agus Surono, Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T). (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, 2013). 2 Khairizal Dermawan Lahabu, Studi Tentang Pendudukan Terhadap Tanah Timbul (Aanslibbing) di Kawasan Tepian Danau Limboto Provinsi Gorontalo. (Fakultas Hukum Universitas Brawijaya: Program Studi Magister Kenotariatan, 2016). 3 Fence M. Wantu, Antinomi dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim. Jurnal Berkala Mimbar Hukum, 2007, 19 (3), 388. 4 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (24). (Jakarta: Pradnya Paramita 1990) hal. 24 dan 25. 1
merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mendapat amanah untuk melaksanakan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960), yang berbunyi: ”untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Secara operasional, amanah tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Seiring berjalannya waktu, PP Nomor 10 Tahun 1961 dipandang tidak dapat sepenuhnya mendukung tercapainya hasil pendaftaran tanah yang lebih nyata pada pembangunan nasional, sehingga PP tersebut berganti menjadi PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menjawab tantangan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, Kementerian ATR/BPN mulai menerapkan Land Office Computerization (LOC). Selanjutnya, aplikasi LOC telah berevolusi menjadi Komputerisasi Kegiatan Pertanahan (KKP), yang hingga 2015 sudah diimplementasikan di 430 kantor di seluruh Indonesia5. Penyempurnaan KKP dari tahun ke tahun senantiasa mengalami perkembangan dengan sistem yang lebih memenuhi kebutuhan lembaga. Perkembangan sistem pelaksanaan pendaftaran tanah dari tahun ke tahun diharapkan mampu menjawab tujuan utama dari pendaftaran tanah, yakni memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. Kepastian hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah meliputi: 1) kepastian status hak yang didaftar, sehingga dapat diketahui dengan pasti status hak yang 5 Mustofa, Sejarah Pengembangan SIP di BPN. (Yogyakarta: Program S-3 Ilmu Teknik Geomatika Departemen Teknik Geodesi UGM Yogyakarta (unpublished material), 2015). 2
didaftar; 2) kepastian subjek hak, sehingga dapat diketahui dengan pasti pemegang haknya; dan 3) kepastian objek hak, sehingga dapat diketahui dengan pasti letak, batas-batas, dan ukuran tanah.6 Pemberian kepastian dan perlindungan hukum kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat tanah sebagai tanda bukti haknya. Sertipikat merupakan surat tanda bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, sedangkan dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut. Sertipikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak yang kuat tetapi tidak mutlak, artinya sertipikat hak atas tanah menjamin kepastian hukum bagi pemiliknya sepanjang sertipikat tersebut memenuhi ketentuan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Apabila ketentuan dari pasal tersebut terpenuhi maka sertipikat yang merupakan alat bukti bersifat kuat menjadi mutlak apabila memenuhi seluruh unsur kumulatif dari ketentuan tersebut, sehingga pemberian perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap pemilik sertipikat menjadi nyata.7 Pentingnya pendaftaran tanah/sertipikasi dalam menjamin kepastian hukum menjadikan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencanangkan berbagai program percepatan pendaftaran tanah. Program terakhir yang tengah dilaksanakan memiliki target untuk menyelesaikan pendaftaran tanah pada tahun 2024, yakni melalui Pendaftaran Tanah Sitematis 6 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2010). 7 Ibid. 3
Lengkap (PTSL). Program ini merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar maupun yang telah terdaftar dalam suatu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu. PTSL tidak sekedar menambah bidang pendaftaran, namun juga memperbaiki bidang tanah terdaftar, serta menyelesaikan sengketa. Harapannya saat tanah sudah terdaftar, maka sengketa tanah akan sangat berkurang. Seiring dengan proses pendaftaran tanah, masih terdapat masalah pertanahan baik berupa sengketa, konflik, maupun perkara pertanahan yang sudah masuk ke lembaga peradilan. Sistem publikasi negatif memungkinkan pemegang sertipikat masih dimungkinkan untuk digugat oleh pihak-pihak yang merasa berhak atas tanah tersebut. Pihak yang merasa berhak dapat membuktikan sebaliknya dengan alat bukti lain, dan menang dalam proses pengadilan serta telah memperoleh putusan yang telah berketetapan hukum tetap (inkracht), akan menjadi pemegang sertipikat berikutnya. Tabel 1.1 Sebaran Sengketa dan Perkara Pertanahan Berdasarkan Tipologi Tahun 2015 -2019 No. Tipologi Sengketa % Perkara % 1 Pendaftaran Peralihan Hak 214 2,35 913 7,11 2 Penetapan Hak dan Pendaftaran 1.499 16,43 1.743 13,56 Tanah 3 Pelaksanaan Putusan Pengadilan 342 3,75 554 4,31 4 Penetapan Batas /Letak Bidang 1.194 13,09 388 3,02 5 Pengadaan Tanah 29 0,32 233 1,81 6 Tanah Objek Landreform 20 0,22 23 0,18 7 Ganti Rugi Tanah ex Partikelir 13 0,14 66 0,51 8 Tanah Ulayat 277 3,04 174 1,35 9 Penguasaan /Pemilikan tanah 5.187 56,85 7.786 60,59 belum terdaftar (bukti hak lama/TN/SHAT) 10 Tidak ada data 349 3,83 970 7,55 JUMLAH 9.124 100 12.850 100 Sumber:Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN, 2020 4
Sebagian besar masalah pertanahan diakibatkan oleh masalah penguasaan dan pemilikan tanah yang belum terdaftar yakni sengketa pertanahan sebesar 56,85% dan perkara pertanahan sebesar 60,59% (Tabel 1.1). Jika sebagian besar bidang tanah didaftarkan, maka akan mengurangi sebagian besar masalah pertanahan di Indonesia. Selanjutnya, pada tanah yang sudah terdaftar masih ditemukan sengketa dan perkara pertanahan, terutama pada tipologi penetapan hak dan pendaftaran tanah (sengketa sebesar 16,43% dan perkara sebesar 13,56%) dan pada tipologi penetapan batas/letak bidang (sengketa sebesar 13,09% dan perkara sebesar 3,02%). Masih ditemukannya sengketa dan perkara pertanahan pada tanah yang telah bersertipikat ini menjadi indikator bahwa kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah memerlukan upaya peningkatan. Sistem pendaftaran tanah publikasi positif lebih memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah, karena Negara menjamin kebenaran informasi yang terdapat pada sertipikat hak atas tanah dan mengganti kerugian salah satu pihak apabila terjadi perkara pertanahan. Namun demikian, perubahan sistem pendaftaran tanah menjadi publikasi positif memerlukan beberapa syarat, antara lain cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan bidang tanah bersertipikat sudah mencapai 80%.8 Saat ini, kondisi dan kerangka hukum yang ada belum menganut publikasi positif, maka upaya peningkatan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang dengan kerangka hukum yang ada menjadi penting untuk dilakukan. Jaminan kepastian dan perlindungan hukum yang termuat dalam sertipikat hak atas tanah banyak dikaji oleh beberapa peneliti, yakni yang dilakukan oleh Susanto,9 mengenai Penelitian Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilaksanakan dengan metode yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini banyak mengupas bahwa pendaftaran tanah untuk pertama kali berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tidak 8 Kementerian PPN/Bappenas, Kajian Persiapan Perubahan Sistem Pendaftaran Tanah Publikasi Positif di Indonesia. (Jakarta: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas, 2016). 9 Bronto Susanto, Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Jurnal Ilmu Hukum, 2014, 10 (20), hal. 76 – 82. 5
menggunakan sistem publikasi negatif murni, tetapi sistem publikasi negatif bertendensi positif. Penelitian yang berjudul Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah dengan pendekatan penelitian hukum dilaksanakan oleh Hadisiswati.10 Hasil dari penelitian ini adalah sertipikat hak atas tanah adalah sebagai bukti hak yang merupakan perwujudan dari proses pendaftaran tanah yang dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegangnya. Penelitian yang berjudul Jaminan Kepastian Hukum yang Terkandung dalam Sertipikat Hak Atas Tanah dilaksanakan oleh Ramadhani,11 dengan pendekatan penelitian hukum. Hasil dari penelitian tersebut adalah Sertipikat hak atas tanah disebut sebagai bukti terkuat dalam membuktikan hubungan hukum dari suatu hak atas tanah, namun pada kenyataannya masih dapat membuka celah lain untuk mempermasalahkannya di lembaga peradilan. Penelitian yang berjudul Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Timbulnya Tumpang Tindih Sertipikat Hak Milik (SHM) Atas Tanah merupakan studi kasus di Kantor Pertanahan Kota Pontianak dilaksanakan oleh Syarifah dan Hanim.12 Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa tanah dan terjadinya tumpang tindih sertipikat hak milik atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Pontianak yaitu objek tanah tidak dikuasai secara fisik oleh pemilik tanah sehingga diambil alih oleh orang lain, batas tanah tidak dipelihara dengan baik, pemilik tanah tidak mengetahui secara tepat letak tanahnya, adanya sengketa warisan. Selain itu juga waktu dilakukan pengukuran atau penelitian di lapangan, pemilik lainnya dengan sengaja atau tidak sengaja menunjukkan letak tanah dan batas tanah yang salah. 10 Indri Hadisiswati, Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah. AHKAM, 2014, 2(1), hal. 118-147. 11 Rahmat Ramadhani, Jaminan Kepastian Hukum yang Terkandung dalam Sertipikat Hak Atas Tanah. De Lega Lata, 2017, Januari – Juni 2(1), hal. 139-157. 12 Syarifah & Hanim, L, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Timbulnya Tumpang Tindih Sertipikat Hak Milik (SHM) Atas Tanah (Studi Kasus Di Kantor Pertanahan/Agraria Dan Tata Ruang Kota Pontianak). Jurnal Akta, 2017, 4 (1), hal. 33 – 36. 6
Penelitian yang berjudul Kepastian Hukum Bagi Para Pihak Pemegang Surat Tanda Bukti Atas Tanah Berupa Sertipikat Hak Milik Ditinjau dari Hukum Agraria dengan menggunakan metode penelitian hukum dilaksanakan oleh Muhammad, dkk.13 Penelitian tersebut merupakan studi tentang Putusan Pengadilan Negeri Sungailiat Nomor 03/Pdt.G/2012/Pn.Sgt. Hasil dari penelitian ini adalah kepastian hukum bagi para pihak yang memegang surat tanda bukti atas tanah berupa sertipikat sudah dijamin oleh undang-undang. Beberapa penelitian tersebut menggunakan pendekatan penelitian hukum (yuridis normatif) dalam melakukan analisisnya, dan satu diantaranya merupakan studi kasus atas suatu putusan. Hasil yang didapatkan mengungkapkan bahwa sertipikat merupakan bukti kepemilikan yang kuat yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak. Namun demikian, sistem publikasi negatif bertendensi positif masih memungkinkan pihak lain untuk mempermasalahkan di lembaga peradilan. Kajian mengenai dimensi kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang belum banyak dengan pendekatan kuantitatif, sehingga penelitian ini mencoba memberikan wawasan berbeda dengan sudut pandang di luar yuridis normatif. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam Rencana Strategis menjadikan Indeks Kepastian dan Perlindungan Hukum Hak atas Tanah dan Ruang sebagai salah satu indikator kinerjanya. Penyusunan indeks tersebut, dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau capaian kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang setiap tahunnya. Indeks ini dapat dijadikan acuan bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN untuk dapat senantiasa memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat melalui kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. 13 Naufal M, Rio AA & Reko Dwi S, Kepastian Hukum Bagi Para Pihak Pemegang Surat Tanda Bukti Atas Tanah Berupa Sertipikat Hak Milik Ditinjau Dari Hukum Agraria. Jurnal Hukum Progresif, 2018, 8 (1), hal. 2028 – 2047. 7
Indeks Kepastian dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah dan Ruang dapat dilihat sebagai berikut: (BTD – BTD diperkarakan)/ BT dimana: BTD diperkarakan : BTD diperkarakan merupakan bidang tanah yang diperkarakan di ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) BTD : Bidang Tanah Terdaftar BT : Jumlah Total Bidang Tanah Indeks tersebut menunjukkan bahwa semakin sedikit bidang tanah yang diperkarakan dalam pengadilan TUN, maka semakin tinggi kepastian kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang.14 Indikatornya berupa sedikitnya sertipikat sebagai tanda bukti pemegang hak atas tanah yang tidak mendapat gugatan di peradilan. Kalaupun mendapat gugatan, perkara pertanahan tersebut dapat dimenangkan oleh pihak Kementerian ATR/BPN. Sejauh mana sertipikat hak atas tanah dan ruang sebagai produk pendaftaran tanah yang dihasilkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemilik sertipikat hak atas tanah, menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Data dan informasi mengenai perkara pertanahan sebagai bentuk gugatan di peradilan atas produk pendaftaran tanah diperlukan agar dapat dievaluasi guna peningkatan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. Berdasarkan penjelasan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. a. Bagaimana perkembangan pelaksanaan pendaftaran tanah dalam memberi kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang? b. Apakah penyebab perkara pertanahan mengalami kekalahan di pengadilan? 14 Biro Perencanaan dan Kerja Sama, Draft Rencana Strategis Kementerian Agraria dan Tata Ruang. (Jakarta: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, 2020). 8
c. Bagaimana upaya peningkatan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang? 2. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini akan memberikan manfaat praktis maupun teoretis sebagai berikut. a. Memberikan informasi bagi pimpinan maupun pengambil kebijakan di lingkungan Kementerian ATR/BPN akan kondisi kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. Hasil penelitian ini akan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menetapkan berbagai kebijakan strategis peningkatan indeks kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang; b. Menjadi acuan penelitian lanjutan, dengan mempertimbangkan perspektif baru yang belum terfasilitasi pada penelitian ini. B. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian adalah: 1. menganalisis perkembangan pelaksanaan pendaftaran tanah dalam memberi kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang; 2. menganalisis penyebab perkara pertanahan yang mengalami kekalahan di pengadilan; dan 3. menganalisis upaya peningkatan kepastian dan perlindungan hukum akan hak atas dan ruang. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KERANGKA TEORETIS 1. Kepastian dan Perlindungan Hukum Dalam pembentukan aturan hukum, terbangun asas yang utama agar tercipta suatu kejelasan terhadap peraturan hukum, asas tersebut ialah asas kepastian hukum. Mengenai asas kepastian hukum, sejatinya keberadaan asas ini dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang bersangkutan. Keberadaan asas kepastian hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi yustisiabel (pencari keadilan) terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.15 Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Van Apeldoorn bahwa kepastian hukum memiliki dua segi, yaitu dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. Hal tersebut memiliki arti bahwa pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan perlindungan bagi para pencari keadilan. Kepastian hukum akan mengakibatkan seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam suatu kejelasan norma. Hukum dalam aliran yang positivistik mengharuskan adanya \"keteraturan\" (regularity) dan \"kepastian\" (certainty) guna menyokong bekerjanya sistem hukum dengan baik dan lancar, sehingga tujuan kepastian hukum mutlak untuk dicapai agar dapat melindungi kepentingan umum (yang mencakup juga kepentingan pribadi) dengan fungsi sebagai motor utama penegak keadilan dalam masyarakat 15 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993) hal. 2. 10
(order), menegakkan kepercayaan warga negara kepada penguasa (pemerintah), dan menegakkan wibawa penguasa dihadapan pandangan warga negara.16 Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu yang mensyaratkan sebagai berikut: a. tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara; b. instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya; c. mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut; d. hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan e. keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.17 Kepastian diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan suatu peraturan. Aturan hukum menjadi pedoman utama bagi hakim dalam mengadili dan menyelesaikan suatu permasalahan. Salah satu hal yang telah diatur dalam peraturan perundang- undangan yaitu adanya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan 16 A. Ridwan Halim, Evaluasi Kuliah Filsafat Hukum (Ghalia Indonesia: Jakarta, 1987), hal. 166. 17 Sangalang, A. A. Kajian Terhadap Ganti Rugi Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Guna Mewujudkan Kepastian Hukum, Perlindungan Hukum, dan Keadilan Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. S2 Thesis. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2012. 11
Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Pasal 4 ayat (2) menyatakan “bahwa peradilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”. Pengertian sederhana dan biaya ringan hanya dijumpai dalam Undang Undang Kekuasaan Kehakiman 2009 yang menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. “Biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat, sedangkan yang dimaksud dengan cepat tidak dijumpai dalam penjelasan tersebut, untuk itu kiranya dapat diukur berdasarkan kelaziman yang dapat dirasakan oleh masyarakat atas dasar perlakuan yang wajar dan seharusnya dari aparat penegak hukum. Namun demikian asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara perdata di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Jika diterapkan, maka asas tersebut akan memberikan kenyamanan bagi masyarakat yang mencari keadilan. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.18 2. Kepastian dan Perlindungan Hukum Pertanahan Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan adanya: 1) tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten; dan 2) penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.19 Perangkat hukum tertulis memudahkan siapa pun untuk mengetahui berbagai kemungkinan dalam rangka menguasai dan menggunakan tanah. Pendaftaran tanah yang efektif meliputi sebagian besar tanah di Indonesia akan memudahkan pemegang hak untuk membuktikan haknya atas tanah yang dikuasai, 18 E. Sundari, Praktik Class Action di Indonesia. (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015). 19 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Jilid 1 Hukum Tanah Nasional (Jakarta: Djambatan, 2008), hlmn. 69. 12
dan orang yang memerlukan keterangan mengenai hak tersebut akan dapat dengan mudah mendapatkannya di kantor penyelenggara pendaftaran tanah. Jika dikaitkan dengan kepastian hukum dalam bidang hukum pertanahan maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, peraturan pelaksanaanya akan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Adapun tujuan pokok dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah: a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional; b. menjadi dasar dalam mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; c. menjadi dasar dalam mewujudkan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya kepastian hukum dalam bidang hukum pertanahan adalah para pemegang hak harus memperoleh kepastian mengenai haknya dan adanya instruksi yang jelas bagi pemerintah. Kewenangan pemerintah dalam mengatur bidang pertanahan terutama dalam lalu lintas hukum dan pemanfaatan tanah didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA yakni dalam hal kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan juga menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah. Atas dasar kewenangan tersebut maka berdasarkan Pasal 4 UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan oleh negara (pemerintah) kepada dan dipunyai oleh subyek hukum. Hak-hak atas tanah yang diberikan kepada subyek hukum yaitu orang atau badan hukum yang dipersamakan dengan orang adalah hak-hak atas tanah yang bersifat keperdataan sebagaimana diatur dalam pasal 16 UUPA. Pemberian atau penetapan hak-hak atas tanah termasuk dalam setiap penyelesaian masalah pertanahan tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk 13
pemberian jaminan kepastian hukum, sekaligus perlindungan bagi pemegang haknya. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum yang merupakan salah satu tujuan pokok UUPA maka Undang-undang menginstruksikan kepada pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bersifat Rechskadaster artinya tujuan menjamin kepastian hukum dan kepastian haknya sebagaimana diatur dalam pasal 19 UUPA. Sebagai landasan teknis pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah, kemudian disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.20 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, tetap dipertahankan tujuan dan sistem yang digunakan selama ini yang pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam UUPA, yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dalam penguasaan dan penggunaan tanah. Hal yang lebih penting lagi adalah menyangkut sistem pendaftaran tanah yang dikembangkan terutama menyangkut sistem publikasinya yang tetap menggunakan sistem negatif tetapi yang mengandung unsur positif, tidak menganut asas negatif semata dan bukan pula positif murni, karena dengan pendaftaran tanah hanya akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat seperti yang telah dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2). Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa: sertipikat merupakan surat tanda bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan 20 Indri Hadisiswati, Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah, Jurnal AHKAM, Volume 2 nomor 1, Juli 2014, hal. 118. 14
data yuridis yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut. Demikian juga ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA menegaskan bahwa pemberian surat tanda bukti hak (sertipikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, ini sesuai pula dengan penjelasan atas UUPA Bab IV alinea 2 yang menyebutkan pendaftaran tanah yang bersifat rechtkadaster yang artinya bertujuan menjamin kepastian hukum. Sertipikat hak atas tanah merupakan benang merah yang menghubungkan antara kepastian hukum, bidang tanah dan pemegang hak. Lebih jauh, meskipun Pasal 19 ayat (2) huruf (c) PP No. 24 Tahun 1997 menegaskan bahwa: ”Pemberian surat-surat tanda bukti hak (sertipikat) yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat”, tetapi hal yang ditegaskan dalam pasal tersebut belum menjamin sepenuhnya kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, karena sistem pendaftaran tanah Indonesia yang menganut sistem stelsel negatif bertendensi positif, artinya segala apa yang tercantum dalam buku tanah dan sertipikat hak atas tanah berlaku sebagai tanda bukti yang kuat sampai dapat dibuktikan suatu keadaan sebaliknya yang tidak benar.21 Kemungkinan munculnya masalah pertanahan bukan hanya terhadap bidang-bidang tanah yang belum terdaftar saja, bahkan yang sudah terdaftar (bersertipikat) pun masih menyimpan masalah apalagi yang belum atau tidak didaftar. Artinya, sertipikat hak atas bidang tanah yang sudah terdaftar juga memungkinkan masih menyimpan segudang masalah baik menyangkut pihak lain (subyek hak lain) maupun menyangkut subyek pemegang hak sebagaimana yang tercantum dalam sertipikat hak atas tanah (dirinya sendiri).22 21 Adrian Sutedi, Sertipikat Hak Atas Tanah. (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hal. 6. 22 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah. Edisi Revisi. (Bandung: Mandar Maju. 2012) hal. 7. 15
Masalah ketidakpastian hukum sertipikat hak atas tanah menyangkut subyek hak lain (pihak lain) dapat berupa klaim pihak lain menyangkut penguasaan bidang tanah yang tumpang tindih, sertipikat ganda, dan sengketa- sengketa lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis dan bersifat strategis, sedangkan persoalan yang menyangkut antara diri pemegang hak dengan sertipikat hak atas tanah yang dipegangnya (dirinya sendiri), yaitu kerap ditemukannya perbedaan indentitas subyek pemegang hak yang tidak sesuai antara yang tertulis di buku tanah atau sertipikat hak atas tanah dengan identitas bukti diri yang asli (KTP untuk orang perorangan, Akta Pendirian untuk badan hukum, dan lain sebagainya).23 Muchtar Wahid (2008), menjabarkan tentang kontruksi hukum yang ingin dibangun oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam penerbitan suatu sertipikat hak atas tanah yaitu meliputi: kepastian obyek, kepastian hak dan kepastian subyek, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Kepastian hukum obyek hak Penetapan letak tepat bidang tanah merupakan salah satu yang sangat menentukan nilai kepastian hukum hak atas tanah yang terdaftar. Kepastian obyek hak ini meliputi letak dan batas-batas bidang tanah yang dilekati suatu hak di atasnya. Terkait dengan kepentingan tersebut tersedianya Peta Dasar Pendaftaran Tanah sangat diperlukan, terutama untuk memastikan letak tepat sebidang tanah yang sudah dilekati suatu hak, serta keberadaan bidang- bidang tanah lainnya, baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar. b. Kepastian hukum status tanah (hak) Kajian terhadap status hukum suatu hak atas tanah penting dilakukan untuk menggali tentang jaminan kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah yang akan diterbitkan. Ada berbagai macam status hukum atas tanah yang 23 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah, (Jakarta: Penerbit Alumni, 1991) hal. 23. 16
masing-masing status tersebut mengandung hak dan kewajiban kepada pihak yang mempunyainya. c. Kepastian hukum subyek hak Terwujudnya suatu jaminan kepastian hukum sertipikat hak atas tanah juga dipengaruhi oleh kepastian akan subyek hukum sebagai pemegang hak atas tanah (subjek hak), sebab dari kajian kepastian subyek hak ini setidaknya akan menjawab tentang siapa yang berhak. Menurut Muchtar Wahid kepastian subyek adalah kepastian mengenai siapa yang mempunyai, diperlukan untuk mengetahui dengan siapa yang berhubungan untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, mengenai ada atau tidaknya hak-hak dan kepentingan pihak ketiga, serta untuk mengetahui perlu atau tidaknya diadakan tindakan-tindakan untuk menjamin penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan secara efektif dan aman. Terkait dengan hal tersebut, penelitian akan riwayat penguasaan tanah juga merupakan suatu kegiatan yang sangat penting strategis dan hasilnya merupakan faktor penentu kebenaran aspek yuridis dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah. Penelitian terhadap riwayat penguasaan tanah ini setidaknya dituntut untuk dapat menemukan informasi tentang proses penguasaan dan peralihan-peralihannya termasuk pihak-pihak yang menguasai tanah sebelum tanah dikuasai pemohon. Dengan arti kata lain, kepastian subyek hak merupakan upaya untuk membuktikan kebenaran hak yang dimohonkan dilakukan dengan cara menelaah riwayat penguasaan/pemilikan tanah secara runtut dari awal sampai dengan dikuasai/dimiliki oleh si pemohon hak termasuk proses perolehan haknya (baik penguasaan langsung maupun peralihan atau pemindahan hak). Telaah akan hal tersebut ditujukan untuk menemukan adanya iktikad baik atau sebaliknya dari pemohon dan hal ini sudah barang tentu juga berefek pada penentuan kadar kepastian hukum sertipikat hak atas tanah. Sifat pembuktian sertipikat sebagai tanda bukti hak dimuat dalam Pasal 32 17
PP No. 24 Tahun 1997, menurut Herman Hermit yaitu:24 a. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. b. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan iktikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat. B. KERANGKA KONSEPTUAL Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten, dengan penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif. Jika dibawa ke dalam layanan pertanahan, dimensi kepastian hukum tersebut bisa mencakup kepastian subyek dan obyek hak atas tanah, kepastian proses, prasyarat, biaya, produk dan jaminan hukum atas rangkaian proses serta produk tersebut. Sebelum sampai ke produk yang dihasilkan berupa sertipikat, kepastian hukum atas proses yang dijalankan untuk menghasilkan produk juga merupakan bagian tidak terpisahkan. Kadar kepastian hukum sertipikat sebagai tanda bukti hak yang kuat, tidak hanya ditentukan oleh terpenuhinya aturan hukum secara formil, tetapi lebih penting adalah sejauh mana penerapan aturan-aturan secara benar sehingga substansi hukum terpenuhi. Oleh karena itu subtansi teknis dan yuridis dari 24 Rofik Laksamana, Konstruksi Anggapan Pelepasan Hak (Rechtsverwerking) dalam Pendaftaran Tanah Untuk Mencapai Kepastian Hukum. Disertasi. (Surakarta: Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), 2018). 18
sertipikat harus dilaksanakan secara seksama sesuai dengan peraturan perundang- undangan dan petunjuk pelaksanaan pendaftaran tanah yang berlaku. Pendaftaran tanah Indonesia yang menganut sistem stelsel negatif bertendensi positif, artinya segala apa yang tercantum dalam Sertipikat hak atas tanah berlaku sebagai tanda bukti yang kuat sampai dapat dibuktikan suatu keadaan sebaliknya yang tidak benar. Kepastian produk sebagai hasil dari kepastian proses pendaftaran tanah dapat diuji saat ditemukan tanda bukti lainnya yang dibuktikan kebenarannya melalui gugatan di pengadilan dalam bentuk perkara pertanahan. Sertipikat sebagai tanda bukti pemegang hak atas tanah dapat memperlihatkan kepastian prosesnya dengan melihat seberapa cepat waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan perkara dan dari seberapa besar perkara pertanahan tersebut dapat dimenangkan oleh pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Cepatnya waktu yang dibutuhan dalam menyelesaikan perkara pertanahan menunjukkan bahwa terdapat kepastian melalui kejelasan norma, sehingga memenuhi salah satu asas peradilan yang membantu pencari keadilan dalam waktu yang lazim dirasakan oleh masyarakat. Hasil persidangan yang dimenangkan BPN menunjukkan bahwa BPN dapat membuktikan bahwa proses yang dilalui dalam menerbitkan sertipikat sudah sesuai dengan norma hukum, yang dikuatkan juga dengan tanda bukti yang tidak dapat dibuktikan sebaliknya. Semakin cepat waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan perkara dan semakin besar kemungkinan memenangkan gugatan, maka semakin menunjukkan bahwa Sertipikat memiliki kepastian hukum dalam rangka melindungi pemegang/pemilik hak atas tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu penyelesaian perkara dan hasil persidangan dikaji agar dapat dilakukan upaya untuk optimalisasi dalam menyelesaikan perkara pertanahan. Berbagai kekalahan perkara pertanahan dalam proses peradilan menjadi bahan evaluasi mengenai penyebab terjadinya kekalahan tersebut. Setelah dipahami pokok perkaranya, kemudian dilakukan upaya meminimalisasi 19
terjadinya perkara di masa yang akan datang. Dengan demikian, keberadaan sertipikat hak atas tanah akan memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan hukum atas hak atas tanah dan ruang yang dimiliki. Berdasarkan penjelasan di atas, kerangka konseptual dapat dilihat pada Gambar 3.1. KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS TANAH DAN RUANG SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH DAN RUANG Tidak Terdapat Perkara Terdapat Perkara Pertanahan Pertanahan Hasil Persidangan Waktu Penyelesaian Perkara Menang Kalah Lama Cepat Penyebab Perkara Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertanahan yang Kalah Waktu Penyelesaian Perkara dalam Persidangan Mengatasi Penyebab Perkara Tidak Ada Perkara Optimalisasi Waktu Pertanahan yang Kalah Penyelesaian Perkara dalam persidangan Pertanahan Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian 20
BAB III METODE PENELITIAN Kepastian hukum hak atas tanah ada dua bagian yang perlu ditelaah, yakni: pertama, menyangkut proses penerbitan sertipikat hak atas tanah oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan kedua menyangkut lembaga peradilan yang berfungsi sebagai lembaga penyaring yang oleh para pakar disebut dengan kutub pengaman.25 Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup penerbitan sertipikat hak atas tanah, untuk melihat sejauh mana sertipikat memenuhi unsur kepastian dan perlindungan hak atas tanah dan ruang. Substansi hukum dalam hal ini meliputi peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan, sistem dan tujuan pendaftaran tanah dan tata laksananya. Ruang lingkup penelitian ini juga dibatasi pada perkara pertanahan pada Tata Usaha Negara (TUN), karena sertipikat hak atas tanah sebagai produk hukum Kantor Pertanahan berada pada yurisdiksi/wilayah peradilan administrasi TUN. Penelitian dilakukan dengan menggunakan penelitian berbasis mix methods, yang merupakan sebuah metodologi penelitian yang menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif dalam proses mengumpulkan, menganalisis, dan mengintegrasikan metode kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini metode kuantitatif digunakan untuk menggambarkan karakteristik perkara pertanahan sebagai indikator kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. Metode kualitatif digunakan dalam menggambarkan perkara pertanahan yang kalah di peradilan, berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan upaya peningkatan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. A. PENENTUAN LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan secara studi kasus pada beberapa provinsi di Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau dengan jumlah perkara pertanahan di ranah TUN 25 Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah; Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosilogis, (Jakarta: Penerbit Republika, 2008) hal. 115. 21
terbanyak yakni sebesar 41% dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia (Olah data Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN, 2020). Berdasarkan data tersebut, kemudian diambil 5 provinsi yang terdapat di Pulau Jawa yakni Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta dan Banten. Provinsi Jawa Tengah tidak diambil dalam penelitian ini dikarenakan memiliki karakteristik wilayah yang sama dengan Provinsi Jawa Barat yakni kepemilikan tanah yang didominasi dari pendaftaran hak-hak lama (petuk pajak bumi/landrente, girik, pipil, ketitir dan verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961). Setelah didapatkan provinsi yang akan dijadikan lokasi penelitian, maka langkah berikutnya adalah menentukan kabupaten/kota dengan jumlah perkara terbanyak, yakni Kota Administrasi Jakarta Selatan mewakili Provinsi DKI Jakarta, Kota Bandung mewakili Provinsi Jawa Barat, Kota Surabaya mewakili Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Sleman mewakili Provinsi D.I. Yogyakarta, serta Kabupaten Tangerang mewakili Provinsi Banten. Berdasarkan penentuan lokasi tersebut diharapkan dapat menggambarkan karakteristik perkara yang bervariasi, sehingga dari studi kasus tersebut dapat menggambarkan perkara pertanahan di Pulau Jawa. Populasi penelitian adalah perkara pertanahan yang berupa keputusan inkracht yang telah dihimpun oleh Direktori Mahkamah Agung selama tahun 2002 hingga Bulan Juli 2020. B. PENGUMPULAN DATA PENELITIAN Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa : 1. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan informan di tingkat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kantor Wilayah BPN Provinsi, Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, narasumber, serta para pihak terkait lainnya berkaitan dengan perkara pertanahan sebagai salah satu komponen pembentuk indikator kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang; 22
2. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, peraturan, hasil-hasil penelitian terkait dan dari data yang terdapat pada Direktori Mahkamah Agung dan Aplikasi Komputerisasi Kegiatan Pertanahan (KKP). Pengumpulan data dilaksanakan dalam dua tahap kegiatan untuk menjawab pertanyaan penelitian, yakni sebagai berikut: 1. Data mengenai karakteristik perkara pertanahan sebagai indikator kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang, didapatkan dari Direktori Mahkamah Agung dan Kantor Pertanahan setempat. Data yang dikumpulkan meliputi : jumlah pihak yang berperkara, lama penyelesaian perkara, jenis hak yang berperkara, jarak waktu penerbitan sertipikat dengan terjadinya perkara, serta nilai tanah yang berperkara. 2. Data mengenai pokok perkara pertanahan yang kalah di pengadilan, yang didapatkan dari Direktori Mahkamah Agung, kemudian diperdalam di Kantor Pertanahan setempat. C. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA Pengolahan dilaksanakan dalam tiga tahap kegiatan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Secara rinci, tahapan pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis perkembangan sistem pelaksanaan pendaftaran tanah dalam memberi kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. Variabel tidak bebas berupa kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah yang dapat dilihat saat menemui gugatan di pengadilan dalam bentuk perkara pertanahan, dengan variabel Waktu Penyelesaian Perkara (Y1) dan Hasil Persidangan (Y2). Variabel X atau variabel bebas merupakan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap Waktu Penyelesaian Perkara (Y1) dan Hasil Persidangan (Y2). Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap waktu penyelesaian perkara, yakni: jumlah pihak yang berperkara (X1), nilai tanah (X2), 23
luas tanah yang berperkara (X3), jenis hak (X4), tahun terjadinya perkara (X5), dan periode penerbitan sertipikat (X6), yang secara ringkas disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Variabel Kepastian dan Perlindungan Hukum Hak atas Tanah dan Ruang Kepastian dan No Perlindungan Indikator Simbol Variabel Hukum Hak atas Tanah dan Ruang 1 Waktu Penyelesaian Pihak yang X1 Jumlah pihak yang berperkara Perkara Pertanahan Berperkara (Y1) Nilai Tanah X2 Nilai tanah (harga tanah/meter) Luas Tanah X3 Luas tanah yang berperkara (meter) Jenis hak (hak milik/hak Jenis Hak X4 guna bangunan/hak pengelolaan/hak pakai) Tahun X5 Tahun terjadinya perkara Perkara Periode Tahun penerbitan sertipikat Tahun X6 yang dikelompokkan berdasarkan periode. Penerbitan Sertipikat 2 Hasil Persidangan Pihak yang Jumlah pihak yang Perkara Pertanahan Berperkara X1 berperkara (Y2) Nilai Tanah X2 Nilai tanah (harga tanah/meter) Luas Tanah X3 Luas tanah yang berperkara (meter) Jenis hak (hak milik/hak Jenis Hak X4 guna bangunan/hak Tahun pengelolaan/hak pakai) Perkara Periode X5 Tahun terjadinya perkara Tahun Penerbitan Tahun penerbitan sertipikat Sertipikat X6 yang dikelompokkan berdasarkan periode. 2. Menganalisis penyebab perkara pertanahan yang mengalami kekalahan di pengadilan. Hasil persidangan perkara pertanahan dibedakan menjadi menang dan kalah. Hasil persidangan yang menang diasumsikan bahwa pendaftaran tanah telah 24
melalui serangkaian proses sesuai dengan prosedur, sehingga menghasilkan produk sertipikat yang tetap dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemegang/pemilik hak atas tanah, walaupun tengah mendapatkan gugatan di pengadilan. Hasil persidangan yang kalah perlu dikaji mengenai penyebab dari kekalahan tersebut. 3. Menganalisis upaya peningkatan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. Berdasarkan penyebab perkara pertanahan yang mengalami kekalahan di persidangan, maka dapat dikaji upaya peningkatan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang dengan metode triangulasi. Peneliti yang melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai sumber data dan berbagai teknik pengumpulan data.26 Triangulasi teknik berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber data yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam, serta dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak. 26 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R&D (Bandung: Alfabeta, 2011). 25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH DALAM RANGKA MEMBERIKAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS TANAH DAN RUANG Pendaftaran tanah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. Indikatornya berupa sertipikat sebagai tanda bukti pemegang hak atas tanah, tidak mendapat gugatan di peradilan. Kalaupun mendapat gugatan, perkara pertanahan tersebut dapat dimenangkan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional. Perkara pertanahan yang dimaksud berupa perkara yang berada dalam ranah administrasi/Tata Usaha Negara (TUN). Tabel 4.1 Jumlah Perkara Pertanahan di Pengadilan TUN berdasarkan Kabupaten/Kota Sampel Tahun 2002 – Juli 2020 No Kabupaten/Kota Jumlah Jumlah Tanah Proporsi Jumlah Perkara Terdaftar Perkara Pertanahan 1 Kota Jakarta Selatan 27 (Buku Tanah) 0,00008 2 Kabupaten Tangerang 25 333.971 0,00003 3 Kota Surabaya 110 781.475 0,00023 4 Kota Bandung 63 486.468 0,00013 5 Kabupaten Sleman 497.456 0,00001 6 638.788 0,00008 Jumlah 231 2.738.158 Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 Perkara pertanahan di ranah Tata Usaha Negara di lima kabupaten/kota sampel terkumpul sebanyak 231 perkara yang berupa putusan inkracht dalam kurun waktu tahun 2002 sampai dengan Juli 2020 (Tabel 4.1). Perkara terbanyak terdapat di Kota Surabaya (110 perkara), dilanjutkan Kota Bandung (63 perkara), Kota Jakarta Selatan (27 perkara), Kabupaten Tangerang (25 perkara) dan Sleman (6 perkara). Jika dibandingkan dengan jumlah tanah terdaftar dilihat dari jumlah buku tanah sampai dengan Juli 2020 maka dapat dilihat proporsi perkara pertanahan. Proporsinya didapatkan dari jumlah 26
perkara pertanahan dibandingkan dengan jumlah tanah terdaftar pada tahun 2002 hingga Juli 2020 (Tabel 4.1). Proporsi perkara pertanahan tertinggi adalah Kota Surabaya yang merupakan gabungan perkara pada Kantor Pertanahan Surabaya I dan Surabaya II, yakni sebesar 0,00023 atau 0,23‰. Artinya, pada setiap 100.000 sertipikat yang terbit terdapat perkara pertanahan sejumlah 23 perkara dalam kurun waktu tahun 2002 hingga Juli 2020. Proporsi perkara tertinggi selanjutnya adalah Kota Bandung sebesar 0,13‰, Kota Jakarta Selatan sebesar 0,08‰, Kabupaten Tangerang sebesar 0,03‰, dan yang terendah adalah Kabupaten Sleman sebesar 0,01‰. Jika dirata-rata proporsi perkara pertanahan di kabupaten/kota sampel sebesar 0,08‰, yang artinya di setiap 100.000 sertipikat yang terbit terdapat 8 (delapan) perkara dalam ranah Tata Usaha Negara dalam kurun waktu tahun 2002 hingga Juli 2020. Sejauh mana sistem pendaftaran tanah dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang, dapat dilihat dari waktu penyelesaian perkara dan hasil persidangan. Semakin sedikit waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan perkara dan semakin memiliki kecenderungan memenangkan persidangan perkara pertanahan, mengindikasikan semakin baik perangkat hukum dan sumber daya manusia dalam menjamin kepastian dan perlindungan hukum. Waktu penyelesaian perkara dan hasil persidangan perkara pertanahan di kabupaten/kota sampel dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Waktu Penyelesaian Perkara Penyelesaian perkara pertanahan tercepat dengan jangka waktu 6 bulan dan yang terlama dalam jangka waktu 16 tahun, keduanya berada di Kota Bandung. Penyelesaian perkara pertanahan terlama di Kota Bandung, yakni membutuhkan waktu rata-rata sebanyak 2,37 tahun, dilanjutkan Kota Surabaya sebesar 2,2 tahun, selanjutnya di Kota Jakarta Selatan sebanyak 2,15 tahun, Kabupaten Tangerang sebesar 1,92 tahun, dan yang tercepat di Kabupaten Sleman sebanyak 1,29 tahun. Rata-rata penyelesaian perkara pertanahan di seluruh kabupaten/kota sampel sebanyak 2,19 tahun untuk setiap perkara (Tabel 4.2). 27
Tabel 4.2 Rata-rata Waktu Penyelesaian Perkara Pertanahan di Kabupaten/Kota Sampel No Kabupaten/Kota Rata-rata Waktu Penyelesaian Perkara 1 Kota Jakarta Selatan 2 Kabupaten Tangerang (Tahun) 3 Kota Surabaya 2,15 4 Kota Bandung 1,92 5 Kabupaten Sleman 2,20 Rata-rata di Kabupaten Sampel 2,37 1,29 Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 2,19 Berdasarkan lamanya proses penyelesaian perkara, didapatkan lama waktu antara 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) tahun paling mendominasi perkara yang ditangani (Tabel 4.4). Hal ini terjadi di Kota Administrasi Jakarta Selatan terdapat 23 perkara atau 85%, di Kabupaten Tangerang terdapat 21 perkara atau 84%, di Kota Surabaya terdapat 86 perkara atau 78%, di Kota Bandung terdapat 47 perkara atau 75%, dan di Kabupaten Sleman terdapat 6 perkara atau 100%. Tabel 4.3 Jumlah Perkara Pertanahan berdasarkan Lama Penyelesaian Perkara di Kabupaten/Kota Sampel Lama Jakarta Kabupaten Kota Kota Kabupaten Tangerang Surabaya Bandung Sleman No Penyelesaian Selatan Perkara Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % (Tahun) Jumlah % 21 84 86 78 47 75 6 100 1 1–2 23 85 28 17 15 10 16 00 28 33 35 00 2 >2 – 4 27 00 11 12 00 00 00 12 00 3 >4 – 6 14 00 33 12 00 110 100 63 100 6 100 4 >6 – 8 00 25 100 5 >8 - 10 00 6 Lebih dari 10 14 Jumlah 27 100 Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 Perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara pertanahan dikarenakan beberapa kompleksitas dari variabel pembentuknya. Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap waktu penyelesaian perkara, yakni: jumlah pihak yang berperkara, nilai tanah, luas tanah yang berperkara, jenis hak, tahun terjadinya 28
perkara, dan periode penerbitan sertipikat. Uji korelasi dapat dilakukan untuk melihat signifikansi hubungan antar variabel. Jika nilai signifikansi (Sig.) lebih kecil dari 0,05 dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antar variabel. Berdasarkan Tabel 4.4 didapatkan variabel dengan nilai signifikansi di bawah 0,05 adalah variabel: jumlah pihak yang berperkara (0,000), tahun terjadinya perkara (0,000), dan periode tahun penerbitan sertipikat (0,009). Dengan demikian dapat diartikan bahwa variabel waktu penyelesaian perkara memiliki hubungan yang signifikan dengan variabel jumlah pihak yang berperkara, dan periode penerbitan sertipikat. Masing-masing variabel dapat dijelaskan sebagai berikut. Tabel 4.4 Uji Korelasi Variabel yang Mempengaruhi Waktu Penyelesaian Perkara Waktu Correlations Penyelesaian Perkara Jumlah Pihak yang Pearson Correlation .233** Berperkara Sig. (2-tailed) .000 N 231 Nilai Tanah Pearson Correlation -.029 Sig. (2-tailed) .703 N 171 Luas Tanah yang Pearson Correlation .110 Berperkara Sig. (2-tailed) .099 N 227 Jenis Hak Pearson Correlation .047 Sig. (2-tailed) .478 N 231 Tahun Terjadinya Perkara Pearson Correlation -.639** Sig. (2-tailed) .000 N 231 Periode Tahun Penerbitan Pearson Correlation -.195** .009 Sertipikat Sig. (2-tailed) N 177 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 a. Jumlah Pihak yang Berperkara Jumlah pihak yang berperkara dapat memperlihatkan kondisi perkara pertanahan, apakah melibatkan banyak orang/lembaga atau hanya beberapa pihak saja. Semakin banyak pihak yang berperkara membutuhkan perhatian yang lebih 29
untuk dapat ditindaklanjuti. Jumlah pihak yang berperkara dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Jumlah Perkara Pertanahan berdasarkan Jumlah Pihak yang Berperkara di Kabupaten/Kota Sampel Kota Jakarta Kabupaten Kota Kota Kabupaten No Pihak yang Selatan Tangerang Surabaya Bandung Sleman Berperkara Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 1–5 20 74 21 84 91 83 45 71 5 83 28 10 9 12 19 1 17 2 6 – 10 5 19 00 00 00 55 23 00 3 11 - 15 00 00 00 23 00 00 11 00 00 4 16 -20 00 28 11 00 00 25 100 22 23 6 100 5 21 - 25 00 110 100 63 100 6 26 - 30 00 7 Lebih dari 30 27 Jumlah 27 100 Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 Perkara pertanahan didominasi oleh para pihak yang berperkara antara 1 sampai dengan 5 pihak, seperti di Kota Administrasi Jakarta Selatan terdapat 20 perkara atau 74%, di Kabupaten Tangerang terdapat 21 perkara atau 75%, di Kota Surabaya terdapat 91 perkara atau 83%, di Kota Bandung terdapat 45 perkara atau 71%, dan di Kabupaten Sleman terdapat 5 perkara atau 83%. Peringkat kedua yaitu jumlah pihak antara 6 sampai 10 pihak, di Kota Administrasi Jakarta Selatan terdapat 5 perkara atau 19 %, di Kabupaten Tangerang terdapat 2 perkara atau 7%, di Kota Surabaya terdapat 10 perkara atau 9%, di Kota Bandung 12 perkara atau 19%, dan di Kabupaten Sleman terdapat 1 perkara atau 17%. Perkara pertanahan yang terdapat di kabupaten/kota sampel tidak terlalu melibatkan banyak pihak, sehingga dalam penyelesaian perkara masih dapat dilakukan dengan lebih sederhana. Analisis pengaruh dilakukan melalui uji regresi untuk melihat pengaruh jumlah pihak yang berperkara terhadap waktu penyelesaian perkara. Tabel 4.6 menunjukkan nilai signifikansi (Sig.) sebesar 0,000 lebih kecil dari probabilitas 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh jumlah pihak yang 30
berperkara dengan lama penyelesaian perkara. Angka koefisien regresi (B) bernilai 0,053. Angka ini mengandung arti bahwa setiap penambahan setiap 1% jumlah pihak yang berperkara, maka lama penyelesaian perkara akan meningkat sebesar 0,053. Dengan kata lain, penambahan jumlah pihak yang berperkara berpengaruh positif terhadap lama penyelesaian perkara. Hal ini mengindikasikan semakin bertambah jumlah pihak yang berperkara, maka semakin bertambah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara. Tabel 4.6 Koefisien Regresi Variabel Jumlah Pihak yang Berperkara dengan Variabel Lama Penyelesaian Perkara Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta t Sig. 11.713 .000 1 (Constant) 1.857 .159 3.619 .000 Jumlah Pihak yang .053 .015 .233 Berperkara a. Dependent Variable: Waktu Penyelesaian Perkara Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 b. Tahun Terjadinya Perkara Data perkara pertanahan di ranah TUN yang berupa putusan incraht dikumpulkan dalam kurun waktu tahun 2002 hingga Juli 2020, didapatkan dari Direktori Mahkamah Agung. Data tahun putusan perkara dikurangi dengan lama penyelesaian perkara akan didapatkan tahun dimana didaftarkan perkara tersebut. Jumlah perkara pertanahan berdasarkan tahun terjadinya perkara dapat dilihat pada Tabel 4.7. Sebagian besar tahun terjadinya perkara ada pada periode tahun 2011 sampai dengan tahun 2015, yakni di Kota Jakarta Selatan sebesar 44%, Kota Surabaya sebesar 52%, dan Kota Bandung sebesar 35%. Tahun terjadinya perkara di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Sleman dominan pada periode tahun 2016 – 2020 yakni sebesar 44% dan 50%. 31
Tabel 4.7 Jumlah Perkara Pertanahan berdasarkan Tahun Terjadinya Perkara di Kabupaten/Kota Sampel Tahun Bidang Kota Jakarta Kabupaten Kota Kota Kabupaten Tangerang Surabaya Bandung Sleman No Tanah Selatan Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Diperkarakan Jumlah % 00 22 35 00 00 55 7 11 00 1 ≤ 2000 00 6 24 14 13 10 16 1 17 8 32 57 52 22 35 2 33 2 2001 - 2005 14 30 27 21 33 3 50 11 44 22 00 00 3 2006 - 2010 5 19 00 63 100 6 100 110 100 4 2011 -2015 12 44 25 100 5 2016 - 2020 9 33 6 tidak ada data 00 Jumlah 27 100 Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 Tabel 4.8 Jarak Waktu Penerbitan Sertipikat dengan Terjadinya Perkara di Kabupaten/Kota Sampel Jarak Waktu Penerbitan Kota Jakarta Kabupaten Kota Kota Kabupaten Tangerang Surabaya Bandung Sleman No Sertipikat Selatan dengan Jumlah % 18 16 Terjadinya Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 13 48 13 52 11 10 5 8 2 33 Perkara 4 15 1 4 9 14 1 17 1 ≤ 5 tahun 19 17 45 41 2 ˃ 5 tahun - 10 17 15 tahun 110 100 3 ˃ 10 tahun - 15 14 4 16 46 1 17 tahun 6 22 7 28 10 16 1 17 4 ˃ 15 tahun 00 35 56 1 17 25 100 63 100 6 100 5 tidak ada data 3 11 Jumlah 27 100 Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 Data tahun terjadinya perkara akan lebih bermakna jika dikurangi dengan tahun penerbitan sertipikat, sehingga menjawab berapa kurun waktu antara terjadinya perkara sejak diterbitkan sertipikat. Jarak antara tahun penerbitan sertipikat dengan jarak terjadinya perkara sebagian besar berada pada jarak kurang dari sama dengan lima tahun, sebagaimana di Kota Jakarta Selatan sebesar 48%, Kabupaten Tangerang sebesar 52%, dan Kabupaten Sleman sebesar 33% (Tabel 4.8). Sisanya, adanya gugatan/perkara pertanahan dengan kurun waktu lebih dari 5 (lima) tahun bahkan lebih dari 15 (lima belas) tahun sejak sertipikat diterbitkan. Sebagian besar perkara pertanahan di Kota Surabaya 32
memerlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk menyelesaikan perkara pertanahan, yakni sebesar 41%. Demikian halnya dengan Kota Bandung, dari data yang tersedia, sebagian besar perkara pertanahan di Kota Bandung memerlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk menyelesaikan perkara, yakni sebesar 16%. Masih adanya pengajuan keberatan dan gugatan ke pengadilan terhadap sertipikat yang sudah lebih dari 5 (lima) tahun sejak diterbitkan, mengindikasikan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 belum dapat menjadikan kuatnya sertipikat setelah diterbitkan lebih dari 5 tahun. Hal ini bisa jadi dikarenakan tidak menguasai bidang tanah secara nyata atau iktikad baik dipahami berbeda antar hakim dan tergugat. Selain itu, pengaturan tentang rechtsverwerking tidak sepenuhnya dipatuhi oleh para juris (hakim). Hal ini dikarenakan terdapat dualisme dalam pengaturan daluwarsa barang tidak bergerak (tanah) seperti yang diatur dalam Pasal 1963 KUH Perdata, dimana masa daluwarsanya 20 tahun. Oleh karena itu, perlu peningkatan dan penyelarasan pengaturan terkait rechtsverwerking dalam bentuk undang-undang sehingga kedudukan hukumnya kuat dan dapat dijadikan sebagai lex spesialis dalam perkara pertanahan. Analisis pengaruh dilakukan melalui uji regresi untuk melihat pengaruh jumlah pihak yang berperkara terhadap waktu penyelesaian perkara. Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui nilai signifikansi (Sig.) sebesar 0,000 lebih kecil dari probabilitas 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh tahun terjadinya perkara dengan lama penyelesaian perkara. Angka koefisien regresi (B) bernilai -0,285 Angka ini mengandung arti bahwa setiap penambahan setiap 1% tahun pembuatan sertipikat, maka lama penyelesaian perkara akan meningkat sebesar -0,285. Dengan kata lain, penambahan tahun terjadinya perkara berpengaruh negatif terhadap lama penyelesaian perkara. Semakin bertambah tahun terjadinya perkara, maka semakin berkurang waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara. Hal ini mengindikasikan bahwa Kantor Pertanahan semakin tahun, semakin menunjukkan kinerja yang baik dalam menyelesaikan perkara pertanahan. 33
Tabel 4.9 Koefisien Regresi Variabel Tahun Terjadinya Perkara dengan Variabel Waktu Penyelesaian Perkara Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Beta Model B Std. Error t Sig. 1 (Constant) 12.610 .000 574.858 45.588 -12.563 .000 Tahun -.285 .023 -.639 Berperkara a. Dependent Variable: Waktu Penyelesaian Perkara Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 c. Periode Tahun Penerbitan Sertipikat Sistem pelaksanaan pendaftaran tanah dapat dilihat berdasarkan periode tahun penerbitan sertipikat yang dapat dibagi dalam dalam 3 (tiga) periode, yakni: 1) Periode awal pada tahun 1961 hingga tahun 1997 Periode pertama dimulai sejak diamanahkan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960), yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Periode pertama mengamanahkan penyelenggaraan pendaftaran tanah desa demi desa atau daerah-daerah yang setingkat dengan itu. 2) Periode kedua tahun 1997 sampai dengan tahun 2009 Periode kedua dimulai setelah tahun 1997, yakni setelah berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Berlakuanya PP tersebut setelah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional. Perubahan mendasar melalui PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah 1) mulai berlakunya pemberian nomor pada bidang tanah yang 34
sudah didaftarkan; dan 2) penggunaan peta dasar pendaftaran dan peta pendaftaran yang sudah diikatkan pada titik dasar teknik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas. Periode ini juga ditandai dengan dimulainya penerapan teknologi komunikasi dan informasi secara terpusat, melalui proyek Land Office Computerization (LOC). Pada akhir masa kontrak di tahun 2009, LOC telah diimplementasikan pada 325 kantor yang tersebar di seluruh Republik Indonesia dengan rincian: 1 di Kantor Pusat, 27 Kantor Wilayah BPN Provinsi dan 297 Kantor Pertanahan (CIMSA dalam Mustofa, 2015)27. 3) Periode ketiga tahun 2010 sampai dengan tahun 2020 Selanjutnya pada periode ketiga, awal tahun 2010, aplikasi LOC telah berevolusi menjadi Komputerisasi Kegiatan Pertanahan (KKP), yang hingga 2015 sudah diimplementasikan di 430 kantor di seluruh Indonesia. Proses pendewasaan KKP dilalui dalam fase implementasi awal (KKP Desktop), penambahan fitur geo-referensi (Geo-KKP) dan terakhir aplikasi berbasis web (KKP-Web) (Mustofa, 2015)28. Hingga tahun 2020, KKP telah mengalami perkembangan dengan sistem yang lebih memenuhi kebutuhan lembaga. Jumlah perkara berdasarkan periode penerbitan sertipikat hak atas tanah di masing-masing kabupaten/kota sampel memiliki kecenderungan berbeda (Tabel 4.10). Perkara di Kota Jakarta Selatan dan Kabupaten Sleman terbanyak berada pada periode ketiga, diikuti dengan periode kedua, kemudian di periode awal. Hal ini mengindikasikan komputerisasi pendaftaran tanah belum optimal digunakan untuk mengurangi perkara pertanahan. Perkara di Kabupaten Tangerang banyak terdapat di periode ketiga (48%), namun juga cukup banyak 27 Mustofa, F.C, Sejarah Pengembangan SIP di BPN. Program S-3 Ilmu Teknik Geomatika (Departemen Teknik Geodesi UGM Yogyakarta, 2015). (unpublished material). 28 ibid 35
di periode awal. Hal ini menggambarkan Kantor Pertanahan masih menemukan perkara pada sertipikat yang diterbitkan secara konvensional maupun secara komputerisasi. Perkara di Kota Surabaya didominasi oleh sertipikat yang diterbitkan di periode awal (47%). Hal ini mengindikasikan sertipikat yang diterbitkan secara konvensional di Kota Surabaya lebih banyak menimbulkan perkara pertanahan dibandingkan dengan sertipikat yang dihasilkan melalui sistem komputerisasi pendaftaran tanah. Berbeda halnya dengan Kota Bandung, oleh karena sedikitnya data yang bisa disajikan pada penelitian kali ini, sehingga tidak dapat dijelaskan dengan baik. Namun demikian, dari data yang tersedia, Kota Bandung memiliki kesamaaan dengan kondisi perkara di Kota Surabaya, yakni sertipikat yang diterbitkan secara konvensional lebih banyak menimbulkan perkara pertanahan dibandingkan dengan sertipikat yang dihasilkan melalui sistem komputerisasi pendaftaran tanah. Tabel 4.10 Jumlah Perkara Pertanahan berdasarkan Periode Penerbitan Sertipikat di Kabupaten/Kota Sampel Periode Kota Jakarta Kabupaten Kota Kota Kabupaten Tangerang Surabaya Bandung Sleman No Penerbitan Selatan Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Sertipikat Jumlah % 9 36 52 47 12 19 1 17 Periode 1961 6 22 4 16 24 22 9 14 2 33 1 s.d. 1997 12 48 17 15 7 11 2 33 Periode 1998 00 17 15 35 56 1 17 s.d. 2009 8 30 25 100 110 100 63 100 6 100 2 (LOC) Periode 2010 s.d. 2020 11 41 3 (KKP) tidak ada 27 4 data Jumlah 27 100 Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 Jika dikaji lebih dalam, dapat dilakukan uji regresi antar variabel periode penerbitan sertipikat dengan variabel waktu penyelesaian perkara. Berdasarkan Tabel 4.11 diketahui nilai signifikansi (Sig.) sebesar 0,009 lebih kecil dari probabilitas 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh periode penerbitan sertipikat dengan waktu penyelesaian perkara. Angka koefisien 36
regresi (B) bernilai -0,444. Angka ini mengandung arti bahwa setiap penambahan setiap 1% tahun pembuatan sertipikat, maka lama penyelesaian perkara akan meningkat sebesar -0,444. Dengan kata lain, penambahan periode penerbitan sertipikat berpengaruh negatif terhadap lama penyelesaian perkara. Semakin bertambah tahun penerbitan, maka semakin berkurang waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja Kantor Pertanahan semakin baik dengan dukungan perbaikan sistem pelaksanaan pendaftaran tanah di setiap perkembangan periodenya. Tabel 4.11 Koefisien Regresi Variabel Periode Penerbitan Sertipikat dengan Variabel Waktu Penyelesaian Perkara Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta t Sig. 1 (Constant) 2.880 .339 8.505 .000 Periode Pembuatan -.444 .169 -.195 -2.628 .009 Sertipikat a. Dependent Variable: Waktu Penyelesaian Perkara Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 2. Hasil Persidangan Hasil persidangan berdasarkan hasil pengolahan data, didapatkan bahwa sebagian besar perkara pertanahan dimenangkan oleh Kantor Pertanahan (Tabel 4.12), seperti di Kota Administrasi Jakarta Selatan terdapat 24 perkara atau 89%, di Kabupaten Tangerang terdapat 19 perkara atau 76%, di Kota Surabaya terdapat 74 perkara atau 67%, di Kota Bandung terdapat 48 perkara atau 76%, dan di Kabupaten Sleman terdapat 5 perkara atau 83%. Jumlah perkara dimana Kantor Pertanahan mengalami kekalahan dalam persidangan di Kota Administrasi Jakarta Selatan terdapat 3 perkara atau 11%, di Kabupaten Tangerang terdapat 6 perkara atau 24%, di Kota Surabaya terdapat 36 perkara atau 32%, di Kota Bandung 15 perkara atau 24%, dan di Kabupaten Sleman terdapat 2 perkara atau 33%. Secara keseluruhan, total perkara pertanahan yang dimenangkan Kantor Pertanahan 37
berjumlah 169 dari 231 perkara (73,16%), dan total perkara yang kalah di ranah peradilan berjumlah 62 dari 231 perkara (26,84%). Tabel 4.12 Jumlah Perkara Pertanahan berdasarkan Hasil Persidangan di Kabupaten/Kota Sampel No Hasil Jakarta Kabupaten Kota Kota Kabupaten Persidangan Selatan Tangerang Surabaya Bandung Sleman Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 Menang 24 89 19 76 74 67 48 76 4 67 6 24 36 32 15 24 2 33 2 Kalah 3 11 25 100 110 100 63 100 6 100 Jumlah 27 100 Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 Tabel 4.13 Korelasi Variabel Hasil Persidangan dengan Variabel Lainnya Correlations Hasil Persidangan Jumlah Pihak yang Berperkara Pearson Correlation Sig. (2-tailed) -.069 N .294 230 Lama Penyelesaian Perkara Pearson Correlation .063 Sig. (2-tailed) .340 N 231 Luas Tanah yang Berperkara Pearson Correlation -.025 Sig. (2-tailed) .712 N 226 Tahun Berperkara Pearson Correlation .067 Sig. (2-tailed) .314 N 230 Nilai Tanah Pearson Correlation .086 Sig. (2-tailed) .263 N 170 Periode Tahun Penerbitan Pearson Correlation .202** Sertipikat Sig. (2-tailed) .007 N 176 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 Analisis pengaruh dilakukan melalui uji regresi untuk melihat pengaruh hasil persidangan terhadap variabel lainnya, yakni jumlah pihak yang berperkara, lama penyelesaian perkara, tahun pembuatan sertipikat, luas tanah yang berperkara, tahun terjadinya perkara, nilai tanah dan periode pembuatan sertipikat (Tabel 4.13). 38
Berdasarkan hasil uji korelasi antar variabel ditemukan korelasi pada variabel jumlah pihak yang berperkara dengan variabel lama penyelesaian perkara dan luas tanah yang berperkara. Tabel 4.14 Koefisien Regresi Variabel Hasil Persidangan dengan Periode Penerbitan Sertipikat Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta t Sig. 19.120 .000 1 (Constant) 1.524 .080 2.725 .007 Periode Tahun .108 .040 .202 Penerbitan Sertipikat a. Dependent Variable: Hasil Persidangan Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 Tabel 4.14 menunjukkan nilai signifikansi (Sig.) sebesar 0,007 lebih kecil dari probabilitas 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh periode penerbitan sertipikat dengan hasil persidangan. Angka koefisien regresi (B) bernilai 0,108. Angka ini mengandung arti bahwa setiap penambahan setiap 1% periode tahun penerbitan sertipikat, maka perkara yang menang akan meningkat sebesar 0,108. Dengan kata lain, meningkatnya periode penerbitan sertipikat berpengaruh positif terhadap perkara yang menang. Semakin bertambah tahun penerbitan, maka semakin besar kecenderungan untuk memenangkan perkara. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem pendaftaran tanah yang dibangun Kementerian Agraria dan Tata Ruang, semakin tahun semakin baik dalam memenangkan perkara pertanahan atau dengan kata lain lebih memberi jaminan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang. Tabel 4.15 menunjukkan dari data yang tersedia, rasio perkara pertanahan yang menang terhadap yang kalah dalam persidangan adalah 1,86 pada periode pertama, sebesar 2,13 pada periode kedua, dan mengalami peningkatan hingga 17,17 pada periode ketiga. Dengan ini memperlihatkan sistem pendaftaran tanah pada periode kedua lebih baik dibandingkan dengan periode pertama, dan pelaksanaan pendaftaran tanah pada periode ketiga jauh lebih baik daripada periode sebelumnya. Baik disini diartikan sebagai sistem yang dapat memberikan kemenangan dengan 39
proporsi yang lebih tinggi dalam persidangan perkara pertanahan, sehingga pelaksanaan pendaftaran tanah pada periode ketiga inilah yang dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah dan ruang jauh lebih baik dibandingkan dengan sistem pendaftaran tanah pada periode sebelumnya. Periode ketiga dimulai awal tahun 2010, dengan menggunakan sistem Komputerisasi Kegiatan Pertanahan (KKP) berbasis web, yang hingga tahun 2015 sudah diimplementasikan di 430 kantor di seluruh Indonesia. Tabel 4.15 Rasio Perkara Pertanahan yang Menang dalam Persidangan di Kabupaten/Kota Sampel Tabulasi Silang Periode Penerbitan Sertipikat 123 Jumlah Perkara 28 15 6 Hasil Kalah Persidangan Jumlah Perkara 52 32 43 Menang Rasio Memenangkan 1,86 2,13 7,17 Persidangan Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 B. PENYEBAB PERKARA PERTANAHAN MENGALAMI KEKALAHAN DI PENGADILAN Pemenuhan substansi dalam pendaftaran tanah yang sesuai ketentuan akan meminimalisasi adanya gugatan di persidangan/perkara pertanahan, kalaupun ada gugatan, akan dapat memenangkan gugatan peradilan. Berdasarkan hasil olah data, didapatkan jumlah perkara yang mengalami kekalahan di ranah peradilan Tata Usaha Negara berjumlah 62 dari 231 perkara yakni sebesar 26,84%. Berbagai kekalahan perkara pertanahan dalam proses peradilan menjadi bahan evaluasi mengenai penyebab terjadinya kekalahan tersebut. Setelah dipahami pokok perkaranya, kemudian dilakukan upaya meminimalisasi terjadinya perkara di masa yang akan datang. Berdasarkan perkara yang mengalami kekalahan di peradilan, didapatkan 8 (delapan) pokok penyebab perkara yang tersebar di lima kabupaten/kota sampel (Tabel 4.16), yakni: tumpang tindih kepemilikan sertipikat (30,65%), adanya putusan perdata 40
(25,81%), terdapat cacat prosedur (14,52%), ketidaksesuaian data yuridis (8,06%), putusan fiktif negatif dan positif (8,06%), sengketa waris (6,45%), keterkaitan dengan tata ruang (3,23%), dan adanya putusan pidana (3,23%). Sebagian besar kekalahan dikarenakan adanya tumpang tindih kepemilikan sertipikat hak atas tanah, yakni sebesar 18 perkara. Peringkat kedua dikarenakan adanya putusan perdata, sehingga putusan TUN mengikuti putusan perdata, yakni sebesar 16 perkara. Peringkat ketiga sebanyak 9 perkara yang kalah dikarenakan terdapat cacat prosedur. Oleh karena keterbatasan data, terdapat satu perkara di Kabupaten Tangerang yang tidak dapat dideteksi penyebab kekalahannya. Sebaran pokok perkara dapat dijelaskan sebagai berikut. Tabel 4.16 Pokok Perkara yang Mengakibatkan Kekalahan di Persidangan di Kabupaten/Kota Sampel No Pokok Perkara Kota Jakarta Selatan Kabupaten Tangerang Kota Surabaya Kota Bandung Kabupaten Sleman Jumlah 1 Tumpang Tindih Kepemilikan 3 12 4 19 Sertipikat 2 Adanya Putusan Perdata 1 8 6 1 16 3 Terdapat Cacat Prosedur 3141 9 4 Ketidaksesuaian Data Yuridis 3 1 15 5 Putusan Fiktif Negatif dan Positif 55 6 Sengketa Waris 13 4 7 Keterkaitan dengan Tata Ruang 22 8 Adanya Putusan Pidana 11 2 9 tidak ada data 11 Jumlah 3 6 36 15 2 62 Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 1. Tumpang Tindih Kepemilikan Sertipikat Perkara yang terjadi akibat terbitnya dua atau lebih sertipikat tanah di atas sebidang tanah yang sama akan berdampak pada ketidakpastian dan tidak terlindungnya hukum hak atas tanah. Kasus tumpang tindih ini mengindikasikan adanya kesalahan dalam memenuhi aspek fisik dan yuridisnya. Aspek fisik terkait keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah. Aspek yuridis terkait keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan pemegang haknya. 41
Tumpang tindih terjadi karena tidak terpetakannya sertipikat yang sudah lama ke dalam peta pendaftaran tanah, sehingga jika terjadi pendaftaran sertipikat tanah yang baru, maka akan berdampak pada didaftarkannya sertipikat tanah yang baru di atas sertipikat tanah yang lama. Perkara pertanahan yang mengalami kekalahan di persidangan juga diakibatkan oleh ketidakcermatan petugas pada saat melakukan pengukuran atau penelitian di lapangan, yang mana seringkali pemohon menunjukkan letak dan batas tanah tidak sesuai29. Berdasarkan data penelitian, diperoleh hasil bahwa terdapat 19 perkara atau sebesar 30,65% perkara yang kalah adalah karena faktor tumpang tindih kepemilikan sertipikat. Kesalahan terkait dengan hal tersebut berada di Kota Surabaya sebanyak 12 perkara, 4 perkara di Kota Bandung, dan 3 perkara di Kabupaten Tangerang. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.17. Tabel 4.17 Perkara Pertanahan yang Disebabkan Tumpang Tindih Kepemilikan Tanah di Kabupaten/Kota Sampel No Nomor Perkara Penyebab Kekalahan dalam Persidangan 1 No.158K/TUN/2005 Sertipikat Hak Milik Nomor : 335/Kel. Neglasari dengan luas Kota Bandung tanah 2780 m² diterbitkan di sebagian tanah milik tanah yang merupakan tanah warisan luas 6550 m² yang dikenal dengan Kepemilikan Adat Girik Letter C Kohir Nomor : 2986. 2 No. 32PK/TUN/2007 Di atas bidang tanah hak milik adat kepunyaan Penggugat Kota Bandung (Persil No. 6 S.1, Kohir No. 467 Blok Binongjati) telah terbit Sertipikat Hak Milik No.2853/Kelurahan Binong. 3 No. 59PK/TUN/2015 Tumpang tindih Sertipikat Hak Milik Nomor 450/Kelurahan Kota Bandung Ciumbuleuit dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 2353/Kelurahan Ciumbuleuit dan Sertipikat Hak Milik Nomor 788/Kelurahan Ciumbuleuit. 4 No. 536K/TUN/2017 Sertipikat Hak Milik No.4298/Ancol, Tanggal 4 September Kota Bandung 2015, diterbitkan di atas Sertipikat Hak Milik No.1490/Ancol. Secara fisik dikuasai oleh pemilik sertipikat Hak Milik No.1490/Ancol. 5 No. 673K/TUN/2015 Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa tumpang tindih 29 Anggiat P. Parsaulian dan Sudjito, “Masalah Tumpang Tindih Sertipikat Hak Milik atas Tanah di Kota Banjarbaru (Putusan nomor: 24/G/2014/PTUN.BJM)”. Jurnal Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan. Vol. 5, No. 1. 2019. 42
No Nomor Perkara Penyebab Kekalahan dalam Persidangan Kab Tangerang terhadap Sertipikat Hak Milik yang sudah ada sebelumnya yaitu Sertipikat Hak Milik No.00493/Desa Kutajaya. 6 No. 278K/TUN/2016 Kab Tangerang Tergugat telah tidak cermat dengan menerbitkan Sertipikat Hak Pakai Nomor: 00003/Kampung Melayu Timur di atas tanah 7 No. 589K/TUN/2019 adat berdasarkan Girik C No.529. Kab Tangerang Sertipikat-sertipikat objek sengketa tumpang tindih dengan 8 No. 449K/TUN/2013 tanah pada sertipikat hak milik Termohon Kasasi/Penggugat Kota Surabaya yang terbit lebih dahulu, dan fisik tanah juga dikuasai oleh pihak Termohon Kasasi/Penggugat. 9 47PK/TUN/2012 Kota Surabaya Obyek Sengketa berupa Sertipikat Hak Milik Nomor 01000/Kelurahan Wiyung di atas sebidang tanah dengan Petok 10 No. 495K/TUN/2013 D Nomor 416 persil 37d Klas I. Kota Surabaya Keputusan Tata Usaha Negara obyek sengketa terbukti 11 No. 423K/TUN/2013 diterbitkan tumpang tindih dengan Sertipikat Hak Guna Kota Surabaya Bangunan milik Penggugat yang sudah ada lebih dulu. 12 No. 452K/TUN/2013 Lokasi objek sengketa tumpang tindih dengan tanah yang Kota Surabaya dikuasai oleh Penggugat yaitu bekas tanah Hak Yasan Petok D. 13 No. 526K/TUN/2013 Sertipikat Hak Milik Nomor : 285/Kelurahan Gunung Anyar Kota Surabaya Tambak tumpang tindih dengan Sertipikat Hak Milik No. 12/Kelurahan Gunung Anyar Tambak. 14 No. 62K/TUN/2014 Kota Surabaya Penggugat adalah Pemilik Sah atas bidang Tanah Hak Milik Bekas Hak Yasan Petok D No. 976. Terdapat Sertipikat Hak 15 87K/TUN/2016 Guna Bangunan No. 1617/Kelurahan Lontar di atas tanah milik Kota Surabaya sah Penggugat. 16 No. 151K/TUN/2017 Tanah a quo telah terbit sertipikat Hak Milik No.1176/Kelurahan Ampelatas nama pemegang hak ABDUL LATIF CHAMID, namun hal tersebut tidak benar, karena atas tanah a quo telah diketahui oleh Penggugat terbit sertipikat Hak Milik No.1176/Kelurahan Ampel sejak tanggal 20-04-2009. Penggugat adalah pemegang Hak Guna Bangunan Sertipikat Hak Guna Bangunan No.165, yang penguasaannya secara de facto sampai saat ini adalah pada pihak Penggugat. Pihak BPN melakukan pemblokiran atas tanah tersebut berdasarkan Eigendom Verponding (EV). Penerbitan Sertipikat Hak Milik Nomor 5821 dan Sertipikat Hak Milik Nomor 4752 di atas Sertipikat Hak Milik Nomor 479 yang terletak di Desa Lontar. Tanah penggugat yang sampai sekarang masih dikuasai 1.200 43
No Nomor Perkara Penyebab Kekalahan dalam Persidangan Kota Surabaya m², sebagian tanahnya seluas 307 m² telah diterbitkan oleh pihak BPN Sertipikat Hak Milik Nomor 3355/Kelurahan Babatan tanpa sepengetahuan dan seijin Penggugat. 17 No. 493K/TUN/2018 Sertipikat Hak Guna Bangunan yang dimohonkan Kota Surabaya peningkatannya tersebut overlap dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 645/Kelurahan Pagesangan, Kecamatan Jambangan, Surabaya. No. 3PK/TUN/2019 Penerbitan sertipikat objek sengketa a quo telah tumpang tindih No. 18K/TUN/2018 dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 15/Gununganyar Tambak. 18 Kota Surabaya 19 184K/TUN/2019 Sebelum terbitnya sertipikat objek sengketa, telah terbit terlebih Kota Surabaya dahulu Sertipikat Hak Milik Nomor 11/Kelurahan Pakis. Sumber: Olah Data Penelitian, 2020 Sebagai contoh dalam perkara nomor 673 K/TUN/2015 di Kabupaten Tangerang dapat dijelaskan sebagai berikut: Kantor Pertanahan yang menerbitkan Sertipikat HGB No.571/ Desa Kutajaya atas nama PT. Rumanda Bukit Jayanti yang seluas ± 2.640 m² tumpang tindih di atas tanah milik Penggugat dengan Sertipikat Hak Milik No.00493/Desa Kutajaya adalah merupakan perbuatan yang merugikan kepentingan penggugat, yaitu jelas-jelas melanggar hak penggugat yang telah membeli tanah tersebut dari Jaka Anom pada Tahun 1987, jauh sebelum diterbitkannya Sertipikat HGB No.571/Desa Kutajaya tanggal 12 Oktober 1993. Terlebih lagi tanah milik penggugat seluas ± 2.640 m² telah diurug, diduduki dan dikuasai oleh pihak yang katanya mendapat hak dari PT. Rumanda Bukit Jayanti. Penerbitan Sertipikat HGB No. 571/Desa Kutajaya seluas 64.662 m² oleh tergugat dan perpanjangannya telah jelas tanpa menyelidiki/meneliti secara cermat terlebih dahulu data pengukuran tanah yang tersimpan dalam arsip tergugat. Seyogyanya dengan keberadaan data Sertipikat Hak Milik No. 00493/Desa Kutajaya milik Penggugat tidak dapat lagi diterbitkan Sertipikat lainnya di atas tanah yang sama. Namun karena ketidakcermatan tergugat maka terjadilah penerbitan dan perpanjangan Sertipikat HGB No. 571/Desa Kutajaya 44
Search