I Penyal<it lmunitasT RICHARD N. MITCHELL, MD, PhDt VINAY KUMAR, MDSEL SISTEM IMUN I n fla ma s i G ra n u I o m a tosa Limfosit T Sitotoksisitas yang Diperantarai Sel T Limfosit B Penolakan Transplan Penolakan yang Diperantarai SelT Makrofag Penolakan yang Diperantarai Antibodi Metode untuk Meningkatkan Ke- Sel Dendrit langsungan Hidup Graft Sel Natural Killer Tra nsp la ntasi O rg a n Padat La in nya Transplantasi Sel Hematopoietik AllogenikMOLEKUL HISTOKOMPATIBILITAS PENYAKIT AUTOIMUNSITOKIN: MEDIATOR TERLARUT SISTEM Toleransi lmunologi Mekanisme Penyakit Autoimun IMUN Kegagalan Toleransi Faktor Genetik pada AutoimunitasMEKANISME JEJAS YANG DIPERANTARAI I n feksi pa da Auto im u n itas IMUN (REAKSI HIPERSENSITIVITAS) Lupus Eritematosus Sistemik (SLE, Sys Hipersensitivitas Tipe I (Alergi dan temic Lupus Erythematosusl Anaf ilaksis) Artritis Rematoid Artritis Rematoid J uvenilis Mediator Primer Spondiloartropati Seronegatif Mediator Sekunder Sindrom Sjogren Manifestasi Klinis Sklerosis Sistemik (Skleroderma) Hipersensitivitas Tipe ll (Bergantung Miopati lnflamatoris Antibodi) Penyakit Jaringan lkat Campuran Reaksi yang Bergantung Komplemen Nodosa Poliarteritis dan Vaskulitis Lainnya PENYAKIT IMUNODEFISIENSI Sitotoksis ita s Selu Ia r Berga ntung lmunodef isiensi Primer Antibodi (ADCC) Agamaglobulinemia Terkait-X : Penyakit Disfungsi Sel yang Diperantarai Antibodi Bruton Hipersensitivitas Tipe lll (Diperantarai 113 Kompleks lmun) Penyakit Kompleks lmun Sistemik Penyakit Kompleks lmun Lokal (Reaksi Arthus) Hipersensitivitas Tipe lV (Selular) Hipersensitivitas Tipe Lambat (DTH, D e la yed -Typ e H yp e rsen sit iv itV )
114 . B,A,B 5 PENYAKIT IMUNITAS Defisiensi Genetik Komponen Komplemen lmunodefisiensi Sekunder I mu nodefisiensi Va riabel U m u m Sindrom lmunodefisiensi Didapat (AlDS, D ef is ie n si IgA Te rse n d iri Acqu ired I m m u n odeficiency Syn- drome) Sindrom Hiper-lgM Hipoplasia Timus: Sindrom DiGeorge AMILOIDOSIS lmunodefisiensi Kombinasi Berat I m un odefis iensi den g a n Trom bosito- penia dan Ekzema: Sindrom Wiskott- AldrichSistem imun seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, jaringan yang ditransplantasikan, dan imunitas yangkita sangat bergantung pada imunitas yang r,rtuh; hiperaktif atau imunitas terhadap jaringan sendirigangglran pertahanan imun yang disebabkan oleh (nrttoimunitns) dapat menyebabkan ketidakberdayaankeadaan imunodefisiensi akan mengakibatkan tubuh atau bahkan penyakit yang fatal. Oleh karena itu,manusia mudah terserang oleh infeksi dan beberapa penyakit imunitas berkisar dari penyakit yangjenis tumor. Di sisi lain, sistem imun merupakan disebabkan oleh aktivitas imun yang \"terlalu kecil\"\"penjahat\" yang berada di balik penolakan terhadap hingga yang \"terlalu berlebihan atau tidak sesuai\". IMUNITAS HUMORAL IMUNITAS SELULAR ,t*lr'\"/..:::$;':.*..,\" .\".\"\":!\"\" ...; . 'r,..lr .r t'\" ,, '-' -. Mikroba eksirasel Mikroba intrasel (misalnya bakteri) (misalnya virus) Limfosit B VI . .\" sel penyaji antigen> Sel T \"{ +qd helper -.';.'''mm\Antibodi yang -g Proliferasi danF\disekresikan €+= aktivasi sel-sel gl :r efektor (sel T V sitotoksik, sel Antigen yang diproses natural killer, dan disajikan makrofag) , 'S Yl\;t:r'; .e # m,v 4 Sitokin T { # ou 'B Aqr, ilffi dt D^^^^r, I Neutralisasi I rii,li,ff .,i, Lisis (komplemen) Fagositosis (PMN, makrofag) * s#ft+. '. Lisis sel h-fu* yang terinfeksi ',1' ,,,1,1,.1 ,,; .11ixll \"irSkema dua lengan sistem imun: imunitas humoral (kiril,yang diperantaraioleh protein antiboditerlarut yang dihasilkan oleh limfosit B, danimunitas selular (kanan), yang diperantarai oleh limfosit T. Antibodi berperan serta dalam imunitas dengan menetralkan, baik secaralangsung mikroba ekstrasel maupun dengan mengaktifkan komplemen dan sel efektor tertentu (neutrofil polimorfonuklear IPMN] danmakrofag) untuk membunuh mikroorganisme. Sel T dapat melisiskan sasaran (sel T sitotoksik), baik secara langsung maupun memandurespons imun sel lain untuk membersihkan mikroba yang menyerang dengan menghasilkan mediator protein terlarut yang disebut sitokin(sel T helper).
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS T 115Daiam bab ini, pengetahuan kita mengenai biologi merupakan tipe limfosit utama dalam selaputdasar limfosit akan ditinjau ulang, disertai gambaranLlmum mengenai molekul histokompatibilitas, suatu periarteriol limpa serta zona interfolikular kelenjarpembahasan yang berkaitan dengan pemahaman getah bening. Setiap sel T diprogram secara genetikterhadap beberapa penyakit yang diperantarai imundan penolakan transplan. Setelah itu, akan dibahas untr-rk mengenali suatn fragmen peptida yang diprosesmengenai mekanisme tolerttnsi imunologis (mengapa secara unik dengan menggunakan reseptor sel T (TCR,kita tidak menolak tubuh kita sendiri secara rutin) sertacontoh penyakit autoimun yang muncui jika toleransi T-cell receptor) spesifik. Keberagaman TCR untukmengalami kegagalan. Bab ini akan diakhiri dengan bermiliar-miliar peptida potensial dihasilkan melaluibahasan mengenai penyakit imunodefisiensi primer penyusunan ulang somatik (somatic renrrnngement)dan didapat, serta bahasan tentang nmiloidosis, suatu dari gen yang mengode setiap rantai TCR. Seperti yangpenyakit yang disebabkan oleh pengendapan ekstrasel diperkirakan, setiap sel somatik mempunyai gen TCR yangberasal dari jalur germinal. Selama masa ontogeni,abnormal protein tertentu (beberapa di antaranya penyusunan ulang somatik gen ini hanya terjadi dalamdihasilkan saat terjadi respons imun). sel T; oleh sebab itu, demonstrssi adnnya penyusLtnan Secara klasik, sistem imun terdiri atas dua kom- tilang gen TCR melslui metode molekulnr (misnlnyn, renksi rantsi polimernse tPCRI) merttpnknn suntrtponen berbeda, tetapi saling terkait yang dirancang penandn pnsti adnnyn sel jnlttr-kcftLrunnn T. Analisissebagai perlindungan terhadap patogen ekstrasel semacam itu digunakan dalam klasifikasi keganasandan intrasel: imunitns humornl, yang diperantarai limfoid (Bab 12). Selanjutnya, karena setiap sel Toleh protein antibodi terlarut, dan imunitas selular, memiliki peny-usunan ulang DNA yang unik (sehinggayang diperantarai olehlimfosit (Gbr. 5-1). Limfosit B memiliki suatu TCR yang unik), munglcin tLnttLk(disebut juga sel B) adalah sumber antibodi, yangberperan serta dalam imunitas dengan menetralkan, membednksn antsrn prolifernsi sel T poliklonalbaik secara langsung mikroba ekstrasel maupun (nonneoplastik) dnn prolifernsi sel T monolclonsldengan mengaktivasi komplemen dan sel efektortertentu (neutrofil dan makrofag) untuk membunuh (ne.oplastik).mikroorganisme. Limfosil T (disebut juga sel T) dapatsecara langsung menghancurkan sasaran (yang Pada sebagian besar sel T (>95%), TCR merupakandilaksanakan oleh sel T sitotokslk) atauplln me-mandu respons imun antimikroba sel lain dengan heterodimer protein yang tersusun atas rantai a dan pmenghasilkan mediator protein terlarut yang disebutsitokin (dibuat oleh sel T-helper). Penting untuk yang diikat disulfida (Gbr. 5-2); setiap ranLaidiperhatikan bahwa pada saat sel B beserta setiapantibodinya dapat mengenali dan berikatan pada mempunyai tempatberbeda yang mengikat peptida tar-antigen yang utuh, se1 T hanya dapat \"melihat\" an-tigen ynng telah diproses (yang telah dipecah secara get spesifik, dan tempat tetap yangberinteraksi denganproteolitik menjadi bagian yang lebih kecil) danyang molekui penyerta yang memberi sinyal. Pada sebagiandisajiknn oleh sel lain dalam konteks molekul MHC(major histocompatibility complex) (dlbahas kemu- kecil sel T darah perifer dan banyak sel T yangdian). Jadi, pertempuran sel T dalam respons imunmemerltrkan sel penynji nntigen (APC fantigen-pre- berhubungan dengan permukaan mukosa (misalnya,senting cel/s], termasuk makrofag dan sel dendrit)untuk menunjukkan adanya antigen yang telah paru dan traktus gastrointestinal), TCR tersusun atasdiproses maupun berbagai sel efektor (termasuk heterodimer y5. TCR tersebut akan mengenali molekulmakrofag) untuk menghilangkan rangsang yang me- nonprotein (misalnya,lipoglikan bakteri), dan sel yangnyerang. Sel Nsturril Killer (NK) adalah suatu bentuk disebut dengan sel T y5 ini dapat memainkan perananlimfosit lebih lanjut yang berbeda yang bertindak yang unik dalam mempertahankan imunitas pada saatsebagai pertahanan lapis pertama. terjadi serangan yang terus-menerlts oleh patogen ekstrasel. Di sini perhatian difokuskan pada sel T aB, .tSel SISTEM IMUN yang memiliki ciri yang lebih baik dalam mengenaliLimfosit T peptida dalam konteks molekul MHC. TCR secara nonkovalen dihubr.rngkan dengan Sel yang berasal dari thimus, ataLt \"T\" , mengarah-kan beragam urisru imr\"rnitas selular dan juga penting sekelompok lima rantai polipeptida yang konstan, yanguntuk menginduksi imunitas humoral yang berasaldari sel B terhadap banyak antigen. Sel T berjumlah tersusun atas protein y, 6, dan e darr kompleks molekul60%-70% dari limfosit dalam sirkulasi darah dan juga CD3 (kelompok diferensiasi-3) dan dua rantai zetn (o (lihat Gbr. 5-2A). Protein CD3 dan rantai ( tidak dengan sendirinya mengikat peptida antigen; namun, akan berinteraksi dengan tempat yang tetap dari TCR untuk mentransduksi sinyal intrasel setelah pengikatan TCR. Selain adanya protein pemberi sinyal ini, sel T juga mengeluarkan sejumlah molekul penyerta lain dengan fungsi yang tetap, termasuk CD4 dan CD5 (lihat Gbr 5- 28). Kedua molekul ini dikeluarkan pada subkelompok sel T yang berbeda dan berfungsi sebagai koreseptor untuk perangsangan sel T. Selama berlangsung pe- ngenalan antigen, molekr-rl CD4 pada sel T akan ber- ikatan pada bagian tetap molekul MHC kelas Il pada APC tertentu (dibahas kemudian); dengan cara yang serupa, CDS akan berikatan pada molekul MHC kelas I. Penting untuk diperhatikan bahwa sel T memerlukan
116 T BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS SEL T TERAKTIVASIRa( ntai Komponen Heterodimer ry * e,,ew# * F€komplemen TCR Antigen , CD40 \\g-,-.--l.' .:: :.. ... . \ lgM SEL T . lgN4 ,.1-=*-g=g .. :.i:',\",CD21i ,.-:..,-...'! r, ,: SEL PENYAJI ANTIGEN ,,,-.. -.- , ,, ' :- .CD21: , +e+e*+€€: !s:€-;!{'1€,;=:,l:s: ::i#*++#.liii&€!:.::+$:i+€+€: i;F€i € : e /\ rLi/\lgo i 1 -.: lgp lgcr lgB SEL B vI ! Sinyal 2 Sinyal 1 Gambar 5-3 Kompleks reseptor sel B (BCR) dan interaksinya dengan ant gen dan molekul kostimulator. lmunoglobulin dilapisi membran (disini terlihat sebagai lgM) berikatan dengan antigen eksogen; sjnyal intrasel '1 untuk aktivasi sel B kemudian tersedia melalui interaksi dengan heterodimer lgct dan lgB yang terkait BCR. Sinyal 2 tersedia melalui komplemen teraktivasi yang berinteraksidengan CD21 sel B atau melalui interaksi CD40 permukaan sel B dengan CD154 pada sel T yang teraktivasi. Sinyal 1 dr\"ra sinyal rlntuk melakukan aktivasi secara lengkap. Sinynl 1 ciihasilkan melalui pengikatan TCR olch B SELT CD4+ kompleks MHC-antigen peptida vang sesuai, dal kore- septor CD4 dan CDB akan memperkuat sinyal ini. Gambar 5'2 Sintlnl 2 dihasilkan melalui interaksi antara molekulKompleks reseptor sel T (TCR) dan interaksinya dengan molekul CD2B pada sel T dengan molekul kostimr_rlator CD80kompleks histokompatibilitas mayor (MHC) pada sel penyaji anti, atau CD86 (masing-masing disebr-rt pr,rla dengan B7-1gen. A. llustrasi skematik rantai polipeptida TCRa dan TCRB yangterhubung dengan CD3 dan kompleks moleku rantai (. B. Gambaran danB7-2) pada APC (lihat Gbr. 5-28). Kostimulasi CD2Bskematik pengenalan antigen oleh sel T CD4+. Perhatikan bahwa sangat penting karena jika tidak terdapat sinyal 2, se1heterodimerTCRnB mengenali bagian peptida antigen yang terikatdengan molekul MHC kelas ll. Molekul CD4 berikatan dengan bagian T akan mengalami apoptosis atau menjadi tidak reaktifnonpolimorf molekul kelas ll. lnteraksi antara TCR dan antigen yang (arcr g ik) ; pada kenyataannya, gagal-berhasilnya ke-terikat MHC memberikan sinyal 1 untuk aktivasi selT. Sinyal 2 dlberi- dua sinyal ini dapat menjadi cara individrl yang nor-kan melalui interaksi antara molekul CD2B dengan molekul kosti- mal dalam mencegah au toreaktivitas.mulator (CDB0 atau CD86)yang dikeluarkan pada sel penyaji anti-gen. lnteraksi analog terjadiantara molekul MHC I dan TCR pada sel CD4 dikeluarkan pada kira-kira 60% sel T matur,T CDB+; pada keadaan tersebut, CDB berikatan dengan bagiannonpolimodik molekul kelas l. sedangkan CD8 dikeluarkan pada kira-kira 30% sel T; oleh karena itu, pada individu normal yang sehat, per- bandingan CD4ICDB kira-kira 2:1. Sel T yang me- rrgeluarkan CD4 dan CDB (masing-masing disebLrt dehgan CD4+ dan CDB+) menjalankan fr-rngsi yang berbeda meskipun saling tumpang tindih. Sel T CD4+
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS f 117merupakan sel T \"helper\" karena menyekresikan yang jelas; misalnya, IgA merupakan mediator per-rting pada imunitas mukosa, sedangkan IgE mempturyaimolektrl terlarut (sitokin) yang sebenarnya kepentingan khusus untuk infeksi cacing (dan dalammemengaruhi semua sel lain pada sistem imun. Peran respons alergi).utama sel helper CD4+ dalam imunitas diperjelas Sei B mengenali antigen melalui permukaan mono-melalui gangguan berat yang diakibatkan oieh merik IgM, yang disebut dengan reseptor sel B (BCR).pertrsakan subkelompok ini oleh tnfeksihuman immu-nodeficiency uirus (HIY). Sel T CD8+ dapat pula Seperti pada selT, setiap BCR mempr-rnyai spesifisitasmenyekresi sitokin, tetapi sel ini memainkan peranan antigen yang unik, yar-rg sebagian berasal dari pe-yang lebihpenfing dalam membunuh selyang terinfeksi nyusllnan ulang somatis pada gen imr\"rnoglobrrlin, Oleh karens itu, terdnpatnyn gen imtmoglobtlin ynngvirus atau sel tumor secara langsung (sel T \"sito-toksik\"). Karena peranan yang dimainkan oleh telah distLstnt ulang dnlttm suotu sel limfoid digutnlcnnkoreseptor CD4 dan CD8, sel T helper CD4+ mem-berikan respons pada antigen peptida hanya dalam sebagni suntu penandn molelculer sel yang merrLpnkankonteks MHC kelas II, sedangkan selT sitotoksik CD8+ jnlur kettrrtrnan B; penyusunan ttlnng semncsm itrthanya memberikan respons pada antigen yangmenyertai MHC kelas I. dnpat pula digunnknn untuk mengidentifilcnsi prolife rssi sel-B poliklonal (nonneoplnstik) ntarL monoklonnl Sel T CD4+ dibagi iebih lanjut menjadi dua sub- (neoplnstik). Sejalan dengan kompleks TCR-CD3, BCRkelompok yang bersesuaian secara klinis dengan ftingsi berinteraksi dengan beberapa molekul serrlpa yangyang berbeda yang ditentukan oleh profil sitokinnya. bertanggung jawab untuk transduksi sinyal dan trntukSel yang disebut dengan sel CD4+ TH1 (T helper 1) melengkapi aktivasi sel-B (Gbr. 5-3). Satu contohnyasecara khusus menyekresi sitokin yang membantu adalah molekul sel-B CD40 yang berikatan denganmengarahkan respons imun yang diperantarai oleh sel, CD154 pada sel T terakLivasi dan molekul tersebnttermasuk makrofag dan aktivasi sel NK; sitokin T\"1 ini sangat penting untuk pematangan sel,B dan sekresimeliptrti interleukin 2 (IL-2) dan interferon-y (IFN-y). antibodi IgG, IgA, atau IgE. Para pasien dengan mr-rtasiSebaliknya, sel CD4+ TH2 (T helper 2) menyekresikan CD154 terutama menghasilkan IgM dan menderitasitokin (yaitu IL-4,IL-5, dan IL-10) yangmelawan efek imunodefisiensi yang disebut dengan sindrom hiper,T\"1 dan/atau meningkatkan aspek tertentu imunitas IgM X-linked. Molekul kostimulator penting lainnyahumoral, termasuk menginduksi sintesis IgE, yaitu yang terkait sel-B adalah CD21 (juga dikenal sebagaisejenis imunoglobulin yang sangat penting dalampatogenesis reaksi hipersensitivitas tipe I, termasuk reseptor komplemen CR2); molekul ini juga merupakanasma bronkial. Sel T CDB+ juga dibagi menjadi sub-kelompok sempa yang menyekresi profil sitokin yang reseptor yang menyebabkan virus Epstein-Barr (EBV)sebanding (disebut sel T.1 dan T.2); namlrn demikian, dapat mencapai sel B manrrsir.aspek terpenting se1 ini adalah potensi sitotoksisi- Ma krof agtasnya. Asal usr-r1, diferensiasi, dan peran makrofag dalamLimfosit B inflamasi kronis dibahas secara luas dalam Bab 2. Limfosit yang berasal dari sr-rmsum tulang, atav\"B\" , Fokus bahasan di sini adalah peran vang dimainkanterdiri atas 10% hingga 20\"/\" dari poptrlasi limfositperifer yang beredar dalam sirkulasi. Sel ini terdapat oleh makrofag dalam induksi dan fase efektor responspula dalam sumsum tulang, jaringan limfoid perifer(kelenjar getahbening,limpa, dan tonsil), serta dalam imtrn secara singkat.organ nonlimfoid, seperti traktus gastrointestinal. SelB terletak pada fOlikei limfoid di dalam korteks kelenjar I Makrofag (bersama sel dendrit, di bawah)getah bening dan pada pulpa putih limpa. Stimulasi mengeluarkan MHC kelas II sehingga berperan(misalnya, oleh infeksi lokal) menyebabkan penting dalam pemrosesan dan penyajian antigenpembentukan zona sentral sel B yang diaktivasi dan ke sel T helper CD4+. Karena sel T (kecuali sel B)besar dalam folikel, yang disebut sentrum germi- tidak dapat dipicu oleh antigen bebas, penyajiannatiztum. oleh makrofag atau APC lainnya merupakan suatri Setelah stimulasi, sel B membentuksel plasmtryangmenyekresi imunoglobulin, yang selanjulnya menjadi keharusan untuk induksi imunitas yangmediator imunitas humoral. Terdapat lima isotipe r diperantarai sel.imunoglobulin dasar; 95% antibodi dalam sirkulasi Makrofag menghasilkan sitokin dalam jumlah yangmerupakan IgG, IgM, serta IgA, dan peranan IgE danIgD relatif minimal. Setiap isotipe mempunyai berlebihan sehingga makrofag merupakan selkemampuan khusus untuk mengaktivasi komplemenatau merekrut sel radang, serta mempunyai peranan efektor penting dalam benfuk tertenLu imunitas yang diperantarai oleh sel (misalnya, hipersensitivitas tipe lambat). Sitokin ini tidak hanya memengarr\"rhi sel T dan sel B, tetapi juga memengaruhi jenis sel r lain, termasrrk endotel dan fibroblas. Makrofag memfagosit (dan akhirnya membunuh) mikroba yang diikat oleh antibodi dan/atau komplemen (diopsonisasi; Bab 2); oleh karena itu, makrofag merupakan unsur efektor yang penting pada imunitas humoral\"
118 T BAB 5 PENYAKIT IMUNITASSel Dendrit Sel yang memiliki morfologi dendritik (misalnya, Sel NK Seldengan tonjolan sitoplasma dendrit yang halus) rnem- normalpunyai dua tipe yang berbeda secara fungsional. +Tidak adar Sel dendrit interdigitans (atau lebih sederhana, sr:/ lisis dendrit). Sel ini merupakan sel nonfagositik yang mengeluarkan molekul MHC kelas lI dan kostimu- Reseptor penghambat lator dalam kadar tinggi. Sel ini tersebar lttas, *Lisis terdapat dalam jaringan limfoid dan ruang intersti- Reseptor pengaktivasi tium berbagai organ nonlimfoid, misalnya, janhlng dan paru; sel serupa yang terdapat dalam epider- Gambar 5-4 mis disebut pula dengan sel Lnngerhnns. Karena sebaran dan pengeluaran molekul permttkaannya, Gambaran skematik reseptorsel NKdan proses pembunuhan. Sel membuat sel dendrit secara ideal sesuai untuk normal tidak dibunuh karena sinyal inhibisi dari molekul MHC kelas menyajikan antigen ke sel T CD4+; se1 ini mr-rngkin I menolak sinyalyang mengaktivasi. Pada sel tumor atau sel yang merupakan APC yang paling poten untuk sel T terinfeksi virus, berkurangnya pengeluaran atau perubahan molekul MHC mengganggu sinyal inhibisi, memungkinkan terjadinya aktivasi sederhana. sel NK dan lisisnya sel target.I SeI dendrit folikular. Sesnai dengan namanya, se1 mengurangi pengeluaran MHC I normal, sinyal KIR inhibitor akan terganggu dan teqadi lisis (Gbr. 5-4). Sel dendrit folikular terutama terletak pada sentmm NK dapat diidentifikasi melalui adanya dua molekul germinativum folikel limfoid dalam limpa dan permukaan scl, CD16 dan CD56; CD16 mempunyai kelenjar getah bening. Sel ini membawa reseptor Fc kepentingan fungsional yang khusus. Molekul ini me- untuk IgG (reseptor yang mengikat bagian yang mpakan reseptor Fc untuk IgG dan memberi kemampu- tetap, atau Fc, dari antibodi) sehingga secara efisien an tambahan pada sel NK untuk meiisiskan sel target akan menjerat antigen yang terikat pada antibodi. yang teropsonisasi oleh IgG. Karena disebutnntibody- Akibatnya, setelah terdapat suatu respons antibodi dependent cell medisted cytotoxicity (ADCC), proses- awal, antigen dapat bertahan dalam bentuk ini nya akan digambarkan kemudian secara lebih rinci dalam jaringan limfoid dan mempermudah pe- dalam bab ini (hlrn. 127). Sel NK juga menyekresi sitokin meliharaan memori imunologis. Yang jeias, se1 se- dan men-rpakan sumber penting IFN-y. macam itu penting dalam respons imun yang terus berlangsung dan akan dibahas secara lebih rinci MOLEKUL lagi (hlm. 150 dan Gbr.5-39) bersama dengan AIDS. HISTOI(OMPATIBILITASSel Natural Killer Sifat Umum Molekul I-Iistokompatibilitas. Sel NK berukuran sedikit lebih besar daripada Meskipun pada mulanya dikenal sebagai antigen yanglimfosit kecil dan berjumlah 10% hingga 15% limfositdarah perifer. Sel ini mengandung granula azurofilik bertanggung jawab terhadap penolakan organ (sehingga diberi nama histokompatibilitns, histo- =yang berlimpah dan mampu menghancurkan berbagaisel tumor, sel yang terinfeksi virus, dan beberapa sel jaringan), saat ini molekul histokompatibilitas dikenalnormal, tnnpn sensitisssi sebelumnya. Sel ini diklasifi- sebagai unsur penting dalam menginduksi dankasikan sebagai bagian sistem irnun ba'iunnn (ber- mengatur fungsi imun normal. Ingat kembali bahwa sel T (kecuali sel B) hanya dapat mengenali antigenlawanan.dengan adaptif) yang merupakan lapis per- yang terikat membran, dan hanya dalam kontekstama pertahanan ierhadap berbagai macam serangan. histokompatibilitas \"diri sendirl\" ; fenomena ini dikenalMeskipun turut andil pada beberapa penanda per-mukaan bersama dengan sel T, sel NK tidak mengeluar-kan TCR dan merupakan CD3 negatif. Sebagaigantinya, sel NK mengeluarkan dua tipe reseptorpermukaan yang memperkuat kemampllannya mem-bunuh sel neoplastik atau sel yang terinfeksi virus. Tipepertama adalah reseptor aktif yang masih mengenalimolekul yang dilingkupi oleh penyakit pada sel target.Jenis reseptor lain (disebut dengan killer inhibitor re-ceptor [KIRI) menghambat sitolisis NK melalui pe-ngenalan terhadap molekr-rl MHC kelas I-nya sendiri.Sel NKbiasanya tidak melisiskan sel berinti yang sehatkarena semuanya mengeluarkan molekul MHC kelasI. Jika infeksi virus atau perubahan neoplastik
BAB 5 PENYAI<IT IMUNITAS I 119 DP DQ DR F Komplemen B0 P0 ryr:e-:15,r.5: P (l r*r,, BCSentromer tP (} [] 0 Molekul kelas ll ttA Molekul kelas lll sGitoeknin Molekul kelas I irrir ,ll,l PePtida r:irr; NH 2 a a2 NHz I ,i S J I SI Mikroglobulin Bz Rantai cr HOOC TJ BGambar 5-5Gambaran skematik kompleks HLA dan molekul HLA. A. Jarak reiatif antara berbagai gen dan daerah pada kromosom 6 tidak terlihat. B.MHC ldan MHC ll memiliki struktur yang homolog, meskipun pengaturan subunit dan asal usul peptida pada celah antigen adalah berbeda(l ihat teks ). LT, I i mfotoksi n ; TN E fumor ne cro si s facto r.sebagai restriksi MHC. Dengnn demikinn, peran plkok Molekul MHC kelas I dikode oleh tiga lokr-rs vangmolekul histokompntibilitns ndnlnh mengiktlt frngmen terikat erat yang disebr-rt dengan FILA-A. HLA-B,peptida protein nsing untttk disnjiknn pada sel T ynng dan HLA-C (lihat Gbr.5-5). Tiap-tiap molekul ini adalah suattL heterodimer yang terdiri atas suatnspesifik terhadnp nntigen yang sesttal, Selain itu, rantai o 44-kD polimorfik yang berhublrngan secaradengan mengikatkan KIR pada sel NK, molekul MHC nonkovalen dengan suatu mikroglobr\"rlin B non-kelas I akan mencegah lisis sel normal oleh sel NK. polimorfik 12-kD (diberi kode oleh gen yang terpisahYang akan dirangkum di sini hanya gambaran penting pada kromosom 15). Bagian ekstrasel rantai utentang molekul histokompatibilitas manLrsia, temtama mengandung celah tempat peptida asing berikatan pada molekul MHC untuk disajikan pada sel Tuntuk memudahkan pemahaman mengenai perannyapada penolakan transplan dan pada kerentananan CD8+ (lihat Gbr.5-5). Secara umum molekul MHC Iterhadap penyakit. Beberapa gen mengode molekui berikatan dengan peptida yang berasai dari pro-histokompatibilitas, tetapi gen yang terpenting adalah tein (misalnya, antigen virus) yang disintesis digen yangberkelompok pada segmen kecil kromosom 6. dalam sel. Karena molekul MHC I secara jelasKelompok ini membentuk major histocompntiltility terdapat pada semr-ra sel berinti, sel yang terinfeksicomplex (MHC) manusia dan juga dikenal sebagaikompleks HLA (humnn leukocyte antigen) (Gbr. 5-5). virus dapat dideteksi dan dilisiskan oleh sel TSistem HLA tersebut sangat poiimorfik; yaitu terdapat sitotoksik. I Molekul MHC kelas II dikode oleh gen daiam regiobeberapa bentuk alternatif (alel) suatu gen pada setiaplokus (misalnya, sejauh ini telah digambarkan terdapat HLA-D, tempat terdapatnya paling ticlak tigalebih dari 400 alel HLA-B yang berbeda). Seperti yangakan kita lihat, hal ini menjadikan hambatan yangberat subregio: DP, DQ, dan DR. Dalam beberapa hal,bagi transplantasi organ. molekul MHC II berbeda dengan molekul MHC L Berdasarkan atas strriktur kimia, sebaran jaringan, Molekul MHC II adalah heterodimer dari sr.rbunit adan fungsinya, produk gen MHC terbagi menjadi tiga dan B polimorfik yang berhr\"rbungan secara non- kovalen (lihat Gbr.5-5). Seperti pada MHC I, bagiankategori: ekstrasel heterodimer MHC II memiliki celah r,rntuk
124 I BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS pengikatan peptida antigen. Tidak seperti pada Peran MHC dalam perangsangan sel-T mempunyai MHC I, distribusi jaringan sel yang mengeluarkan dampak yang penting pada regulasi genetik respons MHC II sangat terbatas; sel ini secara konstitutif imun. Secara teoretis, kemampr\"ran setiap alel MHC dikeiuarkan terutama pada APC (monosit, makro- yang ada untuk mengikat antigen peptida yang berasal fag, dan sel dendrit) dan sel B. Selain itu, tipe sel lain, misalnya sel endotel pembuluh darah, fibro- dari patogen tertenbu dapat secara kritis mengatur daftar blas, dan sel epitel tribulus ginjal diinduksi untrrk lengkap plranti sel T dari seorang individr-r yang dapat mengeluarkan MHC II oleh interferon-cr (IFN-cr). Secara rlmum, molekul MI{C II berikatan dengan benar-benar \"melihat\" dan memberikan respons peptida yang berasai dari protein (misalnya, yang terhadap patogen tersebr\"rt. Dengar-r kata lain, seorang berasal dari bakteri ekstrasel) yang disintesis di luar individu hanya akan mengenali dan menghimpun sel. Hal ini memungkinkan bagi sel T CD4+ untuk respons imnn melawan antigen y,ang ada jika indirridu mengenali kehadiran patogen ekstrasel dan unLuk tersebut mewarisi molekul MHC yang dapat mengikat merlandu suatu respons protektif yang diperantarai peptida antigen dan menyajikannya kepada sel T. Akibat pewarisan gen spesifik bergantung pula pada sitokin (1ihat Gbr. 5-1). sifat antigen dan jenis respons imr,rn yang dihasilkan\"r Protein kelas III meliputi beberapa komponen Sebagai contoh, jika antigennya adalah serbuk sari sejenis rumpnt-rumpntan dan responsnya adalah komplemen (C2, C3, dan Bf); gen untuk faktor nekrosis tumor (TNF) serta limfotoksin (TNF-p) produksi antibodi IgE, individu ynlt bersangkr\"rtan dikode pula di dalam MHC. Meskipun secara secara genetik akan rentan terserang penyakit genetik berkaitan dengan antigen kelas I dan II, hipersensitivitas tipe I (alergi) terhadap antigen tersebut. molekul kelas III serta gen sitokin tidak bertindak sebagai antigen his tokompatibilitas (transplantasi) Sebaliknya, respons yangbaik terhadap s'r-ratu antigen virus dapat menguntungkan pel'amu. dan tidak akan dibahas lebih lanjut. Hubungan HLA dan Penyakit. Banyak pe- Kepentingan Molekul Histokompatibilitas. nyakit berkaitan dengan tipe HLA tertentu (Tabel 5-1).Setiap individu mewarisi satu alel HLA dari tlap orang- Yang paling dikenal adalah hubungan antara spondi- litis ankilosa dan HLA-B27; individu yang rnempr.uryaituanya sehingga untuk setiap lokus secara khusus akan antigen ini memiliki kemungkinan menderita penyakit ini 90 kali lebih besar (risiko relatif) daripada merekamenampilkan dua molekul yang berbeda. Oleh karena yang HLA-B27-nya negatif. Penyakit yang berkaitanitu, sel pada individu yang heterozigot mengeluarkan dengan FILA dapat dikelompokkan secara luas ke dalam kategori sebagai berikr.rt: (7) penynkit inflnn'Lnsi,enam molekul HLA kelas I yang berbeda, tiga molekulberasal dari ibr-r dan tiga molekul berasal dari ayah. Lermasnk spondilitis ankilosa dan beberapa artropatiDemikian pula, seseorang akan mengeluarkan alelmaternal dan paternal lokus MHC ll; karena rantai cr pascainfeksi, semuanya berhr\"ibr.rngan dengan HLA B- 27; (2) gltlggLLan metnbolisme ymg ditrrunknn, sepertidan B HLA-D mampll saling bercampr,rr dan defisiensi 21-hidroksilase (HLA-Bw47); dan (3) pc-mencocokkan diri (mix-nnd-ntntch), tiap sel yang rulnliit nrttoinllr?, termasr\"rk endokrinopati antoimun,mengeluarkan MHC ll dapat pr-ila memptrnyai lebih yang berhublmgan dengan a1el DR tertentu. Sampaidari 20 molekul MHC II yang berbed a. AIel MHC ynng saat ini, mekanisme yang mendasari semua hr-rbunganberbedn berikntan dengnn fragmcn peptida ynng ini belrrrn dipahami. Dalam beberapa kasus, kaitanherbedn, bergantung Ttada urutnn sssm smino khusttssunttL peptidn ynng ndn; oleh karena itu, keberagaman tersebut berasal dari kenyataan bahwa gen yang terkaitpengeluaran MHC memr,urgkinkan tiap sel menyajikan dengan penyakit vang sesuai (misalnya, 21-hidroksi-susunan antigen peptida yangbanyak. Namttn, karena Tabel 5-1. HUBUNGAN HLADENGAN PENYAKITpolimorfisme pada iokus utama HLA bersifat bebaspada populasi, sebenarnya akan mttncul kombinasi Penyakit Alel HLA Risiko Relatifmolekul yang banyak sekali, dan tiap individr-r Spondilitis ankilosa 827 87,4mengeluarkan suatu profil antigenik MHC yang unik Artritis pascagonokokus 827 14,0 akutUveitis anterior 14,6pada permukaan selnya. Artritis rematoid 827 5,8 13,9 Kepentingan polimorfisme ini akan jelas dalam Hepatitis aktif kronik DR4 9,7 5,0konteks transplantasi. Dalam kenyataannya, molekul DR3 6,8 Sindrom Sjogren primer DR3 14,3HLA pada muianya ditemukan dalam perjalanan 15,0ketika usaha transplantasi jaringan dimulai. Molekul I DR3HLA graft membangkitkan, baik respons humoral Diabetes Bergantung insulin l DRImaupun respons se1u1ar, yang pada akhirnya meng-hancurkan graft (dibahas kemudian dalam bab ini). I oRaonaKarena keparahan tingkat penolakan jaringan Defisiensi 2l -hidroksilase Bw47terutama berhubungan dengan tingkat perbedaanantara HLA donor dan resipien, penentllan tipe HLAmemplrnyai kemaknaan klinis dalam pemilihankombinasi donor-resipien yang sestlai.
BAB 5 PENYAI<IT IMUNITAS ' 121lase) tertera di dalam kompleks HLA. Dalam kasus yang berbeda. Sebagai contoh,IL-2 pada mnlanyagangguan yang diperantarai secara imunologis,sepertinya peran molekul MHC II dalam mengatur digambarkan sebagai suabr\"r faktor pertumbuhan selrespons imunologis mungkin dapat relevan. Sebagai T; namun, selanjutnya ditemukan pula bahwacontoh, dapat dipikirkan bahwa hubungan antara pe- sitokin ini dapat mengatur pertumbuhan dan di-nyakit autoimun tertentu dan HLA-DR dapat diakibat- ferensiasi sel B dan sel NK.kan oleh respons imun yang berlebihan atau tidak r Sitokin multipel dapat menginduksi efek serupa,sesuai terhadap antigen sendiri. yaitu efek berlebihsn. Sebagai contoh, IL-1 dan TNF SITOKIN: MEDIATOR mempunyai profil efektor yang sangat milip. TERLARUT SISTEM IMUN I Sitokin dapat bersif atnntngonistlk, dan dengan cara Induksi dan pengaturan respons imun melibatkan tersebut sitokin dapat secara hahrs mengatur inten-pemanduan interaksiberbagai tipe sel, termasuk 1im- sitas dan tipe suatr-r respons imun. Sebagai contoh,fosit, monosit, sel radang lainnya (misalnya, neutrofil), IFN-y mengaktifkan makrofag sementara IL-10dan endotel. Banyak interaksi memerlukan kontak sel- mencegah aktivasi makrof ag.ke-sel yang erat; interaksi lainnya diperantarai oleh Kelompok Urnurn Sitokin. Meskipr-rn sebagianmediator terlamt yang memiliki masa kerja singkat yang besar mempunyai fi-rngsi efektor berspektrr-rm luas, sitokin yang dikenal saat ini dapat dikelompokkandisebut dengan sitokin. menjadi lima kategori berdasarkan sifat umllmnya. Sifat Umum Sitokin. Sitokin adalah polipeptida Selain itu, meskipun sitokin ini secara khususdengan berat molekul rendah @iasanya 10-40 kD) yangdisekresi oleh limfosit serta sei efektor dan APC; dalam dihasilkan pula oleh berbagai jenis sel, snmber utamanya dapat diidentifikasi.situasi tertentu, sel epitel dan mesenkim merupakan I Sitolcin yarlg memerattsrsi imtLnitss bnunnn. Yangsumber yang penting pula. Meskipun pada mulanyadiklasifikasikan sebagai limfokin (dihasilkan oleh termasrik dalam kelompok ini adalah lL-1, TNF, IL- 6, dan interferon tipe 1. Sitokin tertentu dalamlimfosit) dan monokin (dihasilkan oleh monosit,/makrofag), saat ini semllanya secara umllm disebut kelompok ini (misalnya, interferon) melindungr terhadap infeksi virlrs, sementara sitokin lainsebagaisitokin. (misalnya, IL-1, TNF, IL-6) rnenginisiasi responsr Sitokin memerantarai efeknya dengan berikatan proinflamasi nonspesifik, misalnya aktivasi sel endotel dan sel radang mononuklear serta induksi pada reseptor spesifik berafinitas tinggi pada sel sintesis ncttte-phtse-renctnnt oleh hati. Sumber utama sitokin ini adalah makrofag. targetnya. Sebagai contoh, IL-2 mengaktifkan sel T dengan berikatan pada reseptor IL-2 berafinitas a Sitolcin vang mengntw' pertumbuhnn, sktiussi, dnn tinggi (IL-2R). Blokade IL-2R oleh antibodi mono- klonal antireseptor spesifik (misalnya, untuk meng- diferensinsi limfosit. Yang termasuk dalain kategorl ini adalah IL-2, IL-4,IL-5,IL-12, IL-15, dan trnns- atasi penolakan terhadap suatu organ yang ditrans- plantasikan) akan mencegah aktivasi sel T. forming groruth fnctor-u (TGF-cx). Beberapa sitokin,r Sitokin menginduksi efeknya melalr-ri tiga cara: (1) misalnya IL-2 dan IL-4, biasanya membantti bekerja pada sel yang sama dengan sel yang meng- pertttmbuhan dan diferensiasi limfosit; sementara yang lain, misalnya IL-10 dan TGF-a, mengatnr hasiikannya (elek nutokrln), seperti yang terjadi respons imun. Perhatikan pula bahwa beberapa pada saat IL-2-yang dihasilkan melalui aktivasi sel T-meningkatkan pertumbuhan sel T; (2) me- sitokin ini (misalnya, IL-2) terma-suk ke dalam mengaruhi sel lain yang berada di dekatnya (efek sitokin T\"1, yang mengarahkan respons yang dipe- pcrakrin), seperti yang terjadi pada saat IL-7-yang rantarai sel, sedangkan yang lain (misalnya,IL-4, IL-10) dianggap merllpakan sitokin T*,2, yang me- dihasilkan oleh sel stroma sltmstlm tulang- lawan efek T,,1 dan/atau meningkatkan aspek meningkatkan diferensiasi progenitor sel B dalam tertentu imunitas humoral. sumsum tulang; dan (3) memengartlhi sel secara I Sitokin ylng mengaktiunsi sel rndnng. Yang ter- sistemik (efek endokrln), contoh yang paling baik masuk kategori ini adalah IFN-y (dianggap sebagai dalam kategori ini adalah IL-1 dan TNF yang meng- sitokin T,,1), TNF, limfotoksin (TNF-p), serta faktor penghambat migrasi. Sebagian besar sitokin inir hasilkan respons fnse akut selama inflamasi terjadi. berasal dari sel T dan be_kerja nntuk mengaktifkan Sitokin dapat memperkuat kaskade. Oleh karena itu, fungsi sel efektor yang tidak spesifik terhadap anti- TNF menginduksi produksi IL-1, yang kemudian gen. mengarahkan sintesis IL-6. I Kemokin ndalnh sitokitr ynng belcerjn untuh me-I Satu sitokin banyak dihasilkan oleh beberapa tipe rekrttt sel rndang menuju tenrpnt cedern (Bab 2). Hal sel yang berbeda. Contohnya,IL-1. dan TNF sebebr,rl- ini terjadi pada subkelompok yang berbeda secara struktural, dengan dua kelompok utama yang di- nya dapat dihasilkan oleh setiap sel. kenal sebagai kemokin C-C dan C-X-C berdasarkan susunan residu sistein (C) tertentu. Kemokin C-X-r Efek sitokin bersifat pleiott'opik, yaitu bekerja pada C, termasuk IL-8, dihasilkan oleir makrofag dan sel banyak jenis se1 dan menghasilkan berbagai efek
122 A BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS jaringan (seperti endotel) yang teraktivasi. Kemokin ningkatkan imunitas dalam melawan kanker atau C-C dihasilkan sebagian besar oleh sel T dan me- infeksi mikroba (imunoterapi). Pada saat ini, kedua liputi MCP-7 (monocyte chemoattractant protein 1) upaya tersebut sedang dikembangkan. serta MIP-1cx (monocyte intlammutory protein 1a). Penyakit Akibat Produksi Sitokin yang Ber- lebihan: Superantigen. Sttperanligen adalah suatua Sitokin yang merangsnng hematopoiesis. Beberapa kelompok protein mikroba yang berikatan dengan anggota kelompok ini disebut faktor pernngsang molekul MHC kelas II di iuar celah pengikatan anti- gen. Superantigen ini kemudian merangsang banyak koloni CSF, colony stimulating factor) karena ciri asalnya didasarkan atas kemampuannya me- sel T CD4+ yang tidak spesifik antigen melalui inter- ningkatkan pertumbuhan koloni sel hematopoietik dari prekursor sumsum tulang. Sumber utama aksi dengan semua TCR yang menunjukkan suatu regio sitokin ini adalah limfosit dan sel stroma sumsum tulang. Contohnya, CSF makrofag-granulosit ([CM]- tertentu yang berubah-ubah pada rantai B (subunit VB) CSF) dan CSF granulosit ([G]-CSF), yang bekerja (Cbr.5-6). Karena regio Vp yang sama dapat digLrnakan pada sel progenitor yang telah menyatu, serta faktor sei stem (disebut pula ligan c-kit),yang bekerja pada oleh sejumlah besar TCR (satu di antara lima sel T sel stem pluripoten. membawa subunit VB yang sama), secara fungsional Meskipun pemahaman mengenai biologi sitokin superantigen merupakan crktiastor seI-T poliklonnl.tampak mengkhawatirkan, hal ini mempunyai banyakapiikasi terapeutik yang praktis. Dengan mengatur Dengan demikian, jika ada, superantigen dapatproduksi atau kerja sitokin, kemungkinan kita akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar dan akandapat mengendalikan efek merugikan reaksi inflamasiatau reaksi imun yang merusak jaringan. Lebih dari menimbnlkan patologi yang diperantarai oleh sitokinitu, sitokin rekombinan dapat diberikan untuk me- (TNF dan IL-2) secara luas yang serupa dengan syok Rantai cr yang diinduksi oleh lipopolisakarida bakteri gram- negatif (Bab 4 dan 9). Superantigen tergambar oleh eksotoksin stafilokokus, dan proses patologis yang menyertai enterotoksin stafilokokus (keracunan makanan), toksin eksfoliatif (stnphylococcnl scslded skin syndrome), dan eksotoksin yang menyertai sindrom syok toksik (toksin 1), semr-ranya disebabkan oleh aktivasi sel-T poliklonal yang seianjutnya terjadi pelepasanTNF dan IL-Zyang1ar,rh di atas normal...-:.=;:=.-=:-:;:-:i:.::-:r.:,.!=:-= MEKANISME JEJAS YANG DIPERANTARAI IMUN (REAKSt H I PERSENSTTTVTTAS) ii i.: :: q:5 i -.:+:::{+r=:13.!-' Meskipun aktivasi imun menyebabkan dihasilkan-:!a:=.5\:! ri r ii1'' Protein nya antibodi serta respons sel-T yang pada umtrmnya memberi perlindungan terhadap infeksi (dan terhadap .\r1,,lr;!1.\"/* cos beberapa lumor yang meluas), respons tersebut secara / potensial dapat pula merusak j aringan pej amu. Adanya ,IRatntai HetTerCodRimer II sistem check snd bolance yang sangat baik biasanya memungkinkan adanya pembasmian organisme anti-SEL T CD4+ v Aktivasi sel T dan gen-spesifik yang menginfeksi meskipun hanya karena elaborasi sitokin jejas yang ringan dan tidak membahayakan. Namun, seperti yang telah disebutkan, jenis infeksi tertentuGambar 5-6 (misalnya, virus) dapat memerlukan perusakan jaring- an pejamu untuk menghilangkan penyakit. Pada jenisGambaran skematik pengikatan superantigen terhadap TCR sub-unit B dan di luar celah pengikatan antigen pada molekul MHC ll. infeksi lain (misalnya,. tuberkulosis), hanya dapatHasilnya adalah aktivasi poliklonaldisertai produksi sitokin pada dikendalikan melalui suatu respons selular yangsetiap sel T dengan subunit B yang sesuai. menaklukkan agen penyerang dengan makrofag yang diaktivasi dan pembentukan jaringan parut, yang sering kali disertai dengan mengorbankan parenkim normal yang berdekatan. Penting pula untuk diperhati- kan bahwa produk bakteri tertentu dapat merangsang makrofag (misalnya, endotoksin [Bab 4 dan 9] ) atau menginduksi aktivasi poliklonal sel T (misalnya, super- antigen [ihat bahasan sebelumnya]), sehingga me- nimbulkan patologi sistemik karena pembuatan sitokin yang berlebihan. Bahkan, ketika respons pejamu ter-
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS I 123hadap agen infeksius bersifat spesifik-antibodi, anti- Reaksi hipersensitivitas menlrmt kebiasaan dibagibodi tersebut kadang-kadang dapat bereaksi silang lebih lanjtit ke dalam empat tipe; tiga tipe merr.rpakandengan antigennya sendiri (misalnya, antibodi antr- variasi pada cedera yang diperantarai oleh antibodi,kardiak setelah terjadi infeksi streptokokus tertentu, sedangkan tipe keempat diperantarai oleh sei:yang menyebabkan penynkit jnnttmg remntilc [Bab 11]).Kompleks imun yang tersusun atas antibodi yang f Penyakit tipe I dtaklbatkan oleh antibodi IgE yangspesifik dan antigen dalam sirkulasi dapat pula meng- diadsorbsi pada sel mast atau basofil; ketika molekr-rl IgE ini berikatan pada antigen spesifiknya (alergen),endap pada tempat ya.g tidak sesuai sehingga me- molekul akan dipicu rurtuk melepaskan amina rraso-nyebabkan cedera melalui aktivasi kaskade komplemen aktif dan mediator lain yang kemudian meme-atau dengan memudahkan pengikatan neutrofil dan ngaruhi permeabilitas vaskular dan kontraksi ototmakrofag (contohnya, glonerulonefritis pnscastrepto- polos di berbagai organ.koktLs [Bab 1a]). Jika antibodi yang dibuat sebagai Ganggr\"ran tipe II disebabkan oleh antibodi htrmoral yangberikatan pada jaringan tertentr.r atau antigenrespons terhadap antigen tertentu adalah IgE, respons permnkaan sel dan menyebabkan proses patologis dengan memr-rdahkan sel mengalami fagositosisselanjuLnya terhadap antigen tersebut akan disebut atau lisis yang diperantarai oleh komplemen.hipersensitivitas segera, yang secara potensial akanmemnncak pada nnnfilnksrs. Pada akhirnya, tidak I Cangguan tipe III paling baik dianggap sebagaisemlla antigen yang menadk perhatian limfosit bersifat \"penyakit kompleks imun\"; antibodi mengikat an- tigen r-rntuk membentuk kompleks antigen-altibodielcsogen. Sistem imnn kadang-kadang (sayangnya yangbesar yang mengendap di berbagai pembuluh darah dan mengaktivasi komplemcn. Kompleksjarang teqadi) kehilangan toleransinya terhadap anti- imun serta fragmen aktivasi komplemen jr-rga me-gen endogen sehingga menyebabkan penyakit auto- narik perhatian neutrofil. Pada akhirnya, komple- men yang diaktivasi serta pelepasan enzim neutro-imun. filik dan molekrrl toksik lain (misalnya, metabolit Semua bentuk jejas yang diperantarai imr-rn ini oksigen) inilah yang menyebabkan kemsakan jaringan pada penyakit kompleks imun.secara kolektif merupakan reaksi hipersertsitiuitns. Cangguan tipc IV (disebut pula \"hipersensitivitasIstilah hipersensitiallns agak menyesatkan karena tipe lambat\") merupakan respons imlrn selular yang limfosit T spesifik antigennyn 6erlrpakan penyebabmenunjukkan sensitivitas terhadap snatu antigen yarrg irtanr.r jejas sel d.rn jrrirrg.rrr.abnormal atau berlebihan (misalnya, penolakan ter- Hipersensitivitas Tipe lhadap graft jaringan yang berasal dari donor yang (Alergi dan Anafilaksis)berbeda secara antigenik). Penyakit hipersensitivitas I{ipersensitivitas tipe I merupakan suatu responspaling baik diklasifikasikan berdasarkan mekanisme jaringan yang terjadl secara cepat (secara khusus hanyaimunologi yang mengar,vali penvakit tersebr\"rt (Tabel 5- dalam bilangan menit) setelah teqadi interaksi antara2). Namrir-r, klasifikasi penyakit vang diperantaraiimun ini agak berubah-ubah. Seperti yang akan kitalihat, semua tipe reaksi dapat muncr\"rl bersama me-nyertai sualt-r penyakit; sering kali, cedera se1 berperanpenting pada keadaan patologis \"httmoral\" danbegitr-rpula sebaliknya. Meskipun demikian, pendekatan initentu bernilai karena menjelaskan cara respons imunyang pada akhirnya menyebabkan jejas jaringan danpenyakit.Tabel 5-2. MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA I MUNOLOGISTipe Mekanisme lmun Gangguan Prototipe Anafilaksis, beberapa bentuk asma bronkialI Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi lgE J pelepasan Anemia hemolitik autoimun, eritroblastosisll Antibodi terhadap amina vasoaktif dan mediator lain dari basofil fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris Antigen Jaringan dan sel mast + rekrutmen sel radang lain Tertentu Reaksi Arthus , serum slckness, lupus lgG atau lgM berikatan dengan antigen pada eritematosus sistemik, bentuk teftentulll Penyakit Kompleks glomerulonefritis akut permukaan sel + fagositosis sel target atau lmun Tuberkulosis. dermatitis kontak. penolakan lisis sel target oleh komplemen atau transplanlV Hipersensitivitas sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang Selular (Lambat) bergantung antibodi Kompleks antigen-antibodi + mengaktifkan komplemen + menarik perhatian neutrofil -r pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain-lain Limfosit T tersensitisasi + pelepasan sitokin dan sitotoksisitas yang diperantarai sel T
124 . AAB 5 PENYAKIT IMUNITASalergen dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikat- saraf serta di dalam subepitel. Sitoplasmanyaan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu mengandung granula diiapisi membran yangmem-yang tersensitisasi. Bergantung pada jalan masriknya, punyai berbagai mediator yang aktif secara biologis.hipersensitivitas tipe I dapat terjadi sebagai reaksi lokal Seperti yang akan digambarkan kemudian, sel mastyang benar-benar mengganggu (misainya, rhinitis (dan basofil) diaktivasi oleh IgE yang bertar.rtanmlrsiman, atau hny feuer) atav sangat melemahkan silang yang terikat pada permukaan sel melalui(asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan reseptor Fc yang berafinitas tinggi; sel mast dapat puia dipicu oleh rangsang 1ain, seperti komponensistemik yang fatal (anafilaksis). komplemen CSa dan C3a (anafilaktoksin [Bab 2]) Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi mempr.rnyai yang berikatan pada reseptor membran sel mast spesifik. Sel mast dapat pnla diinduksi untnk me-dua tahap yang dapat ditentukan secara jelas: (1) ngeluarkan grannlanya oleh sitokin tertentu yang berasal dari makrofag (misalnya, IL-8), obat-obatanrespons awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran seperti kodein dan morfin, melitin (terdapat dalamvasknlar, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul bisa lebah), dan rangsang fisik (misalnya, pal1as,dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit setelah terpajan dingin, dan sinar matahari).oleh srratr.r alergen dan menghilang setelah 60 menit;dan (2) kedtta, reaksi fase lambat, yang muncul2 hingga I Daiam banyak hal, basofil senlpa dengan sel mast,B jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari.Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosi- tetapi secara normal tidak terdapat dalam jaringarL.nofil serta se1 peradangan akut dan kronis lainnya yang Basofil justru masrrk sirkulasi darah dalam jr-rmlahlebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan yang sangat sedikit dan, seperti grantrlosit lainlya,penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel dapat direkrut menuju tempat peradangau\"epitel mukosa. Pada manusia, reaksi tipe I diperantarai oleh anti- bodi IgE. Rangkaian kejadiannya dimr-rlai dengan Karena se1 mast dan basofil mempakan inti dari pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergen). Alergen tersebut merangsang induksi sel T CD,4+ tipeterjadinya hipersensi tivitas tipe I, beberapa T,u2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresi-karakteristiknya yang menonjol akan dikaji trlangpertama kali dan kemudian akan dibahas mengenai kannya (khususnya lL-4 dan IL-S) menyebabkanmekanisme imun yang mendasari bentuk hiper-sensitivitas ini. diproduksinya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbr\"rhan unftrk sel mast, serta merekrut darrr Sel mast berasal dari sumsum tulang dan tersebar secara luas dalam jaringan; sei ini ditemukan me- nonjol pada daerah di dekat pembuluh darah dan Antigen (alergen) r.r{*rri ' :r tr r,,, ...:,,. .: APC Pertautan silang { Respons awal VasodilatasivTCR Kebocoran vaskular Spasme otot polos tL-4' Sel B lgE tL-3 Pelepasan mediator primerSel Tr2 '--- lrrl--gs=-. / tL-5 Sel mast Reaksi fase lambat GM-CSF dan sekunder Edema mukosa Aktivasi Sekresi mukus Pelepasan # lnfiltrasi leukosit Kerusakan epitel granula Bronkospasme Rekrutmen eosinofilGambar 5-7Rangkaian peristiwa yang menimbulkan hipersensitivitas tipe l. APC, antigen-presenting cell; GM-CSF, granulocyte-magrophage colony-stimulating facfoe TCR, T-cell receptor, sel TH2, sel T helper CD4+.
Antigen Sinyal untuk BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS ' 125 aktivasilgE meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi danReseptor Fc lgE fosfolipase A2 menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemo- taksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lainSinyal untuk Sinyal untuk ditemukan dalam matriks granula dan melipr-rti hepa-degranulasi aktivasi gen rin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komple- sitokin men untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a [Bab 2]). Fosfolipid MEDIATOR SEKUNDER membran Mediator ini mencakup dua kelompok senvawa: Sitokin yang $d :* mediator lipid dan sitokin. Mediator lipid dihasilkan PAF Asam melalui aktivasi fosfolipase Ar, yang memecah fosfo- disekresi arakhidonat lipid membran sel mast nntnk menghasilkan asam s\l\l\l\ LBea,uCk4o,trDie4n Prosta6ola2ndin arakhidonat. Selanjulnya, asam arakhidonat mempa-:. ---- --- -- - -- - -- --- : kan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan _ _: prostaglandin (Bab 2). Mediator primer (RESPONS AWAL) Mediator sekunder r Leukotrien berasal dari hasil keqa S-lipoksigenase (REAKSI FASE LAIVBAT) pada prekursor asam arakhidonat dan sangat Gambar 5-8 penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I.Aktivasi sel mast pada hipersensitivitas tipe I dan pelepasan Leukotrien Cn dan D,, merupakan agen vasoaktif danmed iatornya. ECF, eo si no p h i I ch emotactic facfof N CF, n e utro ph iIchemotactic facfor; PAF, platelet activating factor. spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasar molar, agen ini beberapa ribu kali Iebih aktifmengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada daripada histamin dalam meningkatkan permea-reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel bilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksimast dan basofii; begitu sel mast dan basofil \"diper-senjatai\", individu yang bersangkutan diperlengkapi otot polos bronkus. Leukotrien B* sangat kemotaktikuntuk menimbr,rlkan hipersensitivitas tipe I (Gbr. 5-7). untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.Pajanan uiang terhadap antigen yang sama meng-akibatkan pertautan-silang pada IgE yang terikat sel r Prostagiandin D, adalah mediator vang palingdan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehinggaterjadi pelepasan beberapa mediator kuat (Gbr. 5-8). banyak dihasilkan oleh jah,rr siklooksigenase dalamSalah satr.r perangkat sinyal mengakibatkan de- sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasmegranulasi sel mast disertai pengeluaran mediator hebat serta meningkatkan sekresi mukus.praformasi atau primer; perangkat sinyal lainnya akan I Faktor pengaktivasi trombosit (Bab 2) merupakanmenginduksi sintesis de novo serta melepaskan me-diator sekunder, seperti metabolit asam arakhidonat mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasidan sitokin. trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofilMEDIATOR PRIMER dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase Ar, mediator ini bukan produk Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) metabolisme asam arakhidonat.di dalam granula sel mast dilepaskan untuk memulaitahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe I. Histamin, r Sitokin yang diprodr,rksi oleh sel mast (TNF,IL-i,yang merupakan mediator praformasi terpenting,menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular, IL-4,IL-s, dan IL-6) dan kemokin berperan pentingvasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnyasekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui ke- mampllannya merekrut dan mengaktivasi berba gai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan arktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukair untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B. Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis, vaso- aktif, dan bronkospasme (Tabel 5-3) memerantarai reaksi hipersensitivitas tipe I. Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitisasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubtmgan dengan kondisi seperti ana- filaksis sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, ter- masttk rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator
,|26 I BAB 5 PENYAKIT IMUNITASTable 5-3. RINGKASAN KERJA MEDIATOR SEL MAST PADA HIPERSENSITIVITAS TIPE IKerja Mediator \"*= Parasitlnfiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF) 4.--,1Y fAntigen ulat bulu Leukotrien B,Vasoaktif (vasodilatasi, Faktor kemotaksis eosinofil pada JL Respons sel B meningkatnya permeabilitas vaskular) anafilaksis .1. Faktor kemotaksis neutrofil padaSpasme otot polos Antibodi lgE anafilaksis Faktor pengaktivasi trombosit Reseptor Fc lgE pada sel mast Histamin Faktor pengaktivasi trombosit Degranulasi: Leukotrien C4, D4, E, pelepasan Protease netral yang faktor vasoaktif dan kemotaktik mengaktivasi komplemen dan kinin Rekrutmen eosinofll, Prostaglandin D, trombosit, dan makrofag yang Leukotrien Co, D4, E' membawa reseptor Fc lgE Histamin Prostaglandin Faktor pengaktivasi trombosittambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel Parasit yang diserang oleh leukosit yangsetempat. mempunyai lgE Eosinofil direkrut oleh eotaksin dan kemokin lain Gambar 5-9yang dilepaskan dari epitei yang diaktivasi oleh TNF Penghancuran parasit yang dimediasi lgEdan merupakan efektor penting pada cedera jaringandalam respons fase lambat pada hipersensitivitas tipeI. Sebagai contoh, eosinofil menghasilkan protein dasarutama dan protein kationik eosinofil, yang toksikterhadap sel epitel. Demikian pula, leukotrien C, danfaktor pengaktivasi trombosit yang dihasilkan oleheosinofil secara langsung akan mengaktivasi pelepas-an mediator sel mast. Akibatnya, sel yang direkrnt akanmemperkua t dan mempertahankan respons peradang-an pada saal tidak adanya pajanan alergen tambahan.Karena inflamasi merrlpakan komponen utama reaksifase lambat dalam hipersensitivitas tipe I, biasan\'.rpengendaliannya memerlukan obat antiinflamasiberspektrum luas, seperti kortikosteroid.MANIFESTASI KLINIS pernapasan bagian atas. Selain itn, otot semlla saluran Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan pencemaan dapat terserang, dan merrgakibatkan vomi-sistemik atatt reaksi lokal. Sering kali hai ini ditenbLrkanoleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein tus, kaku perut, dan d.iare. Tanpa interrrensi segera,atau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin) secara dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syolc onnfilalctik),sistemik (parenteral) menimbulkan annfilnksis dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasisistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, padapejamu yang tersensitisa.si akan munctLl rasa gatal, dan kematian dalam beberapa menit.ttrtilvrris (bintik meral. dan bengkak), dan eritema kulit,diikuti oleh kcsu l. .,,n bernapas berat yang disebabkan Renksi /okal biasanya terjadi bila antigen hanyaoleh bronkoko, i:,triksi paru dan diperkuat dengan terbatas pada ternpat tertentu sesLlai dengan jalurhipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat pemajanannya, seperti kulit (kontak, menygbsb(nnpersoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran urtikaria), traktus gastrointeslinal (ingesti, me- nyebabkan diare), atau partl (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk Lrmum alergi kulit dan makanan, hny fetter, serta bentuk tertentu asnra me- rupakan contoh reaksi anafilaksis yang teriokalisasi.
Kerentanan terhadap reaksi tipe I yang terlokalisasi BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS ' 127sepertinya dikendalikan secara genetik, dan istilaha t op i drgttnakan untu k menunj ukkan kecenderungan Goodpasture [-1ibahas kemudian]). Secara klinis, reaksifamilial terhadap reaksi terlokalisasi semacam itu. yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagaibenkut:Pasien yang menderita alergi nasobronkial (termasuk a Reaksi trnnsftrsi, sel darah merah dari seorang do-hny feuer dan beberapa bentuk asma) sering kali nor yang tidak sesuai diir\"rsak setelah diikat olehmempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi antibodi resipien yang diarahkan untuk melawanserllpa. Dasar genetik atopi belum dimengerti secara antigen golongan darah donor.jelas; namun, suatu str-rdi menganggap adanya suatuhubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang t Eritroblnstosis fetalis karena inkompatibilitas anti-mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi. gen rhesus; antibodi maternal yang melawan Rh Sebelum pembahasan mengenai hipersensitivitas pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensi-tipe I ini diakhiri, penting untuk diperhatikan bahwa tisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merah janin yang Rh-positif.reaksi ini secara jelas tidak berkembang untuk me-nyebabkan ketidaknyamanan serta penyakit pada a Anemia hemolitik nutoimun, ngrnntilositosls, atar.rmanusia. Hipersensitivitas tipe I, khususnya reaksi trombositopenin yang disebabkan oleh antibodiperadangan fase lambat, memainkan peran perlindung- yang dihasilkan oleh seorang individu yang meng,an yang penting terhadap infeksi parasit. Antibodi IgE hasilkan antibodi terhadap sel darah merahnyadihasilkan sebagai respons terhadap berbagai infeksi sendiri (Bab 12).cacing, dan Gambar 5-9 memperlihatkan suatugambaran skematik proses antibodi igE yang dapat I Renksi obnt, antlbodi diarahkan unLnk melawanbekerja secara langsung untuk merusal:larva skhisto-soma dengan merekrut sel radang dan rnenghasilkan obat tertentu (atau metabolitnya) yang secarasitotoksisitas selular yang berganturrg antibodi. nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadiHipersensitivitas Tipe ll setelah pemberian penisilin).(Bergantung Antibodi) . Pemfigus aulgnris disebabkan oleh antibodi Hipersensitiuitns tipe II diperantarni oleh nntibodi terhadap protein desmosom yang menyebabkanyang diarahkan untuk melawan antigen tnrget padn terlepasnya taut antarsel epidermis (Bab22)\"permukann sel stsrL komponen jnringnn lninnyn. Anti-gen tersebut dapat merupakan molekul intrinsik nor- SITOTOKSISITASmalbagi membran sel atau matriks ekstraselular, atau SELULAR BERGANTUNGdapat merupakan antigen eksogen yang diadsorbsi ANT|BODt (ADCC)(misalnya, metabolit obat). Pada setiap kasus tersebut,respons hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan Bentr,rk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputiantibodi yang diikuti salah satu dari tiga mekanisme pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptorbergantung antibodi (Gbr. 5-10) : untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisiskan tanpa fagositosis ataupun fiksasiREAKSI YANG BERGANTUNGKOM PLEMEN komplemen (lihat Gbr. 5-l0B). ADCC dapat Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK, Meskipuntipe II melalui dua mekanisme: llsls langsung dan secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi igG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembumrhan parasitopsoniznsi (lihat Gbr. 5-10,4). Pada srrotoksisitas yang yang diperantarai oleh eosinofil; lihat Gbr. 5-9) yangdiperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada digunakan adalah antibodi igE.antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komple-men pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis DISFUNGSI SEL YANGmelalui kompleks penyerang membran (Bab 2). Sel yang DIPERANTARAI ANTIBODIdiselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b(teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkandarah dalam sirkulasi adalah yang paling sering untuk melawan reseptor permukaan sel merusak ataudirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodiyang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel ataudapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Hal inflamasi (lihat Gbr. 5-10C). Oleh karena itu, padaini terjadi karena adanya pelepasan enzim lisosom miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolineksogen dan/atau metabolit toksik (misalnya, sindrom dalam motor end-plnfe otot-otot rangka menggangglr transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor hormonperangsang tiroid (TSH) merangsang sel epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.
128 I BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS A, TERGANTUNG KOMPLEMEN +Ab c5-9Sel target + komplemen Reseptor Fc \ c1423 Reseptor c3b Makrofag FagositosisB. ADCC ANTIBODI 'r Asetilkolin ANTIRESEPTOR Sel target ,/ Motor end-plate // oada miastenia oravis V { /':t\"\"' I \"\" 'l:i':* -Reseptor NK* Reseptor Fc Sel NKGambar 5-10Gambaran skematik tiga mekanisme berbeda jejas yang diperantaraioleh antibodi pada hipersensitivitas tipe ll. A. Reaksi yang bergantungkomplemen. Reaksi inl menyebabkan lisis sel atau membuatnya rentan terhadap fagositosis (opsonisasi). B. Sitotoksisitas diperantaraisel yang bergantung antibodi (ADCC). Sel target yang berbungkus lgG dibunuh oleh sel yang membawa reseptor FC untuk IgG (misalnya,sel NK). C. Antibodi antireseptor. Antibodi ini mengganggu fungsi normal reseptor. Dalam contoh ini, antibodi reseptor asetilkolin mengganggutransmisi neuromuskular pada miastenia gravis. Ab, antibodi.Hipersensitivitas Tipe lll sama dengan hipersensitiviias tipe III; korlpleks alti-(Diperantarai Kornpleks lmun) gen-antibodi terbentuk selama berlangsungnya ber- Hipersensitiaitns tipe III dipernntnrai oleh peng' bagai respons imun dan menunjnkkan mekanisme pembersihan antigen yang normal. Kompleks irnunendapan kompleks antigen-nntibodi (imun), diikttti patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemr-rdianden,qan nktiaasi komplemen dsn nkumulnsi leukosit mengendap dalam jaringan atalrpnn terbentuk dipolimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan daerah ekstravaskular tempat antigen tersebnt ter- tanam (kompleks imun in situ).antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sisternikendogen seperti DNA. Penting untuk diperhatikan jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasibahwa pembentukan kompleks imun semata tidak
mengendap dalam berbagai organ, atat terloknlisnsi BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS ' 129pada organ tertentu (rnisalnya, ginjal, sendi, atau kulit) TAHAP Ifika kompleks tersebut terbenbr-rk dan mengendap pada Pembentukan kompleks imuntempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi,mekanisme terjadinya jejas jaringan adalah sama;namrln, urutan kejadian dan kondisi yang menyebab-kan terbentuknya kompleks imun berbeda dan akandibahas secara terpisah.PENYAKIT KOMPLEKS IMUN Kompleks antigen-antibod iSISTE M IK TAHAP II Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik Deposisi kompleks imundapat dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukankompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2) TAHAP IIIpengendapan kompleks imr-rn di berbagai jaringan, lnflamasi yang Diperantaraisehingga mengawali (3) reaksi radang di berbagai oleh Komplekstempat di selumh tubuh (Cbr. 5-11). Komplemen Serum sickness nktft adalah bentuk dasar (prototipe) Neutrofilsuatu penyakit kompleks imun sistemik. Penyakit inipertama kali digambarkan terjadi pada manusia saat Nekrosisserrlm asing diberikan untr-rk imunisasi pasif dalam fibrinoidjumlahbesar (misalnya, sertlm antitetanus kuda); pada Enzim lisosom neutrofilsaat ini, hal tersebttt jarang terjadi (misalnya, penderita Gambar 5-11yang diiryeksi dengan globr-rlin antitimosit kuda untukpengobatan anemia aplastik). Kira-kira 5 hari setelah Gambaran skematis tiga tahap induksi hipersensitivitas tipe lll sistemik (kompleks imun) secara berurutan.protein asing diinjeksikan, antibodi spesifik akandihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan antigen yang endapan kompleks imun yang distikai adalah ginjal,masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan pembnluhantigen-antrbodt (tnhnp pertnmn). Pada tnhap kedun, darah kecil. Lokalisasinya pada ginjal dapat dijelaskankompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam sebagian melalui fungsi filtasi glomerulus, yaitr,r ter-sirkulasi mengendap di berbagai jaringan. Dtta faktorpenting yang menentukan apakah pembentukankompleks imun menyebabkan penyakit danpengendapan jaringan:I Ukuran kompleks imun. Korli:.pleks yang sangat besar yang terbentuk pada keadaan jumlah antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan. Kompleks paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan berukuran kecil atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi\"I Status sistem fngosit mononuklenr \" Karena normalnya menyaring keluar kompleks imttn, makrofag yang berlebihan atau disfungsional me- nyebabkan bertahannya kompleks imun dalam sirkulasi dan meningkatkan kemungkinan peng- endapan jaringan. Selain itu, beberapa faktor lain memengaruhiapakah dan di mana kompleks imun mengendap.Faktor ini meliputi muatan kompleks (anionik vs.kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitasantigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur tigadimensi kompleks tersebttt, dan hemodinamikapembuluh darah yang ada (Bab 14). Tempat peng-
130 T BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS as-an] Iromnle*s Aktivasikomplemen Gambar 5-12 t Faktor Pembentukan Gambaran skematis patogenesis anafilatoksin jejas jaringan yang diperantarai ikemotaktik kompleks imun. Akibat yang di- I timbulkan secara morfologis ter- AGREGASI ffi NEUTROFIL V lihat di dalam kotak.I 'MAaa.....//.,/.,ffi.-......M11) Pelepasan Fagositosis amin vasoaktif kompleks I I V Pelepasan enzim lisosom YASQDILATASI ftv,\" EDEMADAN t '\"'4,. W/////////////r'/////'/////////,//.Mperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glome- mengaktivasi faktor l-lageman; kedua reaksi inirullls. Belllm ada penjelasan yang sama memllas- meningkatkan proses peradangan dan mengawalikannya LlntLlk lokalisasi kompleks imun pada tempat pembentukan mikrotrombrrs yang berperan pad a jejaspredileksi lainnya. jaringan melalui iskemia lokal (Gbr. 5-12). Lesi Untr-rk kompleks yang meninggalkan sirkulasi danmengendap di dalam atau di hiar dinding pernbuluh patologis yang dihasilkan disebr\"rt dengan rtnsktLlitisdarah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pem- jika terjadi daiam pembuluh darah, glonrcnLlonefritis jika terladi di glomerulus ginjal, nrtritis jika ter\"jadi dibuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat sendi, dan seten-rsny:r.kompleks imun berikatan dengan sel radar-rg n-relalui Jelasnva hanya antibodi pengikat komplemen (yaitureseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator IgG dan IgM) yang dapat mengindr-rksi lesi semacamvasoaktif dan/atau sitokin yang meningkatkan per- itu. Karena IgA dapat pula mengaktirrasi komplemenmeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandungjaringan, terjadi tnhnp ketign, yaitlr reaksi radang. lgA dapat pr-rla menginduksi jejas jaringan. PeranSelama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberianantigen), munclll gambaran klinis, seperti demam, penting kompiemen dalam patogenesis jejas jaringan didukLrng oleh adanya pengamatan bahwa pengurang-urtikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, an kadar komplemen semm secara eksperimental akan sangat menurlLnkan keparahan lesi, demikian pr.rladan proteinuria. yang terjadi pada neutrofil. Selsmn fnse alrtif penynkit, Dimana pun kompleks imunmengendap, kerusak- Irortsumsi lromplemt:n ncnrLrtLnlcntt kndnr serum.an jaringannya senlpa. Aktirrasi komplemen oleh MORFOLOGIkompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, Akibat morfologis jejas kompleks imun didominasi olehmelepaskan fragmen yang aktif secara biologis sepertianafilatoksin (C3a dan CSa), yang meningkatkan vaskulitis nekrotikans akut, mikrotrombus, danpermeabilitas pembuiuh darah dan bersifat kemotaksis nekrosis iskemik superimposed yang disertai inflamasiuntuk leukosit polimorfonrrklear (Bab 2). Fagositosis akut pada organ yang terkena. Dinding pembuluh darahkompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi yang nekrotik mempunyai gambaran eosinofilik berkabutmenimbr-r1kan pelepasan atatt produksi sejumlahsubstansi proinflamasi tambahan, termastik prostag- yang disebut dengan nekrosis fibrinoid yanglandin, peptida vasodilator, dar-r snbstansi kemotaksis, disebabkan oleh pengendapan protein (Gbr. 5-13). Kompleks imun tersebut dapat terlihat di dalam jaringan,serta enzim lisosom yang mampLl mencerna membranbasalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakanjaringan jr.rga diperantarai oleh radikal bebas oksigenyang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleksimun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan
biasanya dalam dinding pembuluh darah, baik dengan BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS T 131mikroskop elektron (Gbr. 5-144) maupun imunofluor- CLesensi (Gbr. 5-148). Dalam waktu tertentu lesi tersebutcenderung mereda, terutama jika hanya disebabkanoleh pajanan tunggal antigen (misalnya, serum sick-ness akut dan glomerulonefritis pascastreptokokus akut(Bab 1a). Namun, penyakit kompleks imun kronis ber-kembang jika terdapat antigenemia persisten ataupajanan berulang terhadap suatu antigen. Hal ini terjadipada beberapa penyakit yang menyerang manusia,misalnya lupus eritematosus sistemik (SLE). Meskipunterdapat kenyataan bahwa perubahan morfologis sertagambaran lainnya sangat kuat menunjukkan adanyapenyakit konrpleks imun, yang sangat sering terjadiadalah antigennya tidak diketahui. Yang termasuk dalamkategori ini adalah poliarteritis nodosa, glomerulonefritismembranosa, serta beberapa vaskulitis. Gambar 5-14Gambar 5-13 Deposisi kompleks imun dalam glomerulus. A. Glomerulonefritis membranosa. Gambaran mikroskop elektron menunjukkan adanyaVaskulitis kompleks imun. Dinding pembuluh danah nekrotik digantikan endapan padat-elektron (panah)di sepanjang sisi epitel membranoleh bahan'Tibrinoid\" berwarna merah muda dan kabur. (Sumbangan basalis (B). B. Gambaran mikroskop imunofluoresensi yang diwarnaidari Dr. Trace Worrell, Department of Pathology, University of Texas dengan anti-lgG fluoresen dari pasien yang menderita nefritis lu-Southwestern Medical School, Dallas.) pus proliferatif difus. Terlihat salah satu glomerulus lengkap dan bagian glomerulus lain. Perhatikan endapan lgG pada dinding kapiler dan mesangial. CL, capillary lumen;End, endotel; Ep, epitel. (8, Sumbangan dari Dr. Helmut Rennke, Department of Pathology, Brigham and Women's Hospital, Boston.)PENYAKIT KOMPLEKS IMUN dinding pembuluh darah; kompleks ini dipresipitasiLOKAL (REAKSI ARTHUS) pada tempat injeksi dan memicu reaksi radang yang sama serta gambaran histologis seperti yang telah Renksi Arthtts dijelaskan sebngni nrea loknlisstn dibahas untuk penyakit kompleks imun sistemik. Lesinekrosis jnringan yang discbnbhnn oleh anskllitis Arthus berkembang selam a beberapa jam dan mencapaikontpleks imttn alcut. Reaksi ini dihasilkan secara pttncaknya 4 hingga 10 jam setelah injeksi, ketikaeksperimental dengan menginjeksikan suatu antigen terlihat adanya edema pada tempat injeksi disertaike dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulse-diimunisasi (yaitu antibodi preformed terhadap anti-gen yang telah ada di dalam sirkulasi). Karena pada rasi.mulanya terdapat kelebihan antibodi, kompleks imunterbentuk sebagai antigen yang berdifusi ke dalam
132 I BAB 5 PENYAKIT IMUNITASHipersensitivitas Tipe lV diameter t hingga 2 cm) dalam waktr-r 24 hingga 721am(Selular) (sehingga digunakan kata sifat, delayed [lsmbnt/ Imnnitas selular merupakan mekanisme utama tertundnl) dan seLelah itu akan mereda secara perlahan.respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk Secara histoiogis, reaksi DTH ditandai dengan pe-patogen intrasel seperti Mycobacteritrm tuberculosis numpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (\"sepertidan virus, serta agen ekstrasel seperti fnngi, protozoa, manset\") dan makrofag dalam jumlah yang lebihdan parasit. Namun, proses ini dapat pula menyebab- sedikit (Cbr.5-15). Sekresi lokal sitokin oleh sel radangkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibatpembersihan infeksi yang normal maupun sebagai mononukiear ini disertai dengan peningkatan permea-respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit bilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edernaautoimun). Contoh lain reaksi hipersensitivitas selularadalah sesuatu yang disebut dengan sensitiaitns kulit dermis dan pengendapan fibrin; penyebab utamakontnk terhadap bahan kimiawi (seperti, poison iuy) indttrasi jaringan dalam respons ini adalah deposisidan penolakan graft. Oleh karena itu, hipersensitiuitns fibrin. Respons fuberkr-rlin digunakan untuk menyalurgtipe IV dipernntnrni oleh sel T tersensitisnsi secnrn individu dalam populasi yang pernah terpajankhusus bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi tuberkulosis sehingga mempr.rnyai sel T memori dalarndua tipe dasar: (1) hipersettsitiaitns tipe lambat,diinisissi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitss sel sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atar,rlnngstrng, dipernntnrni oleh sel T CD8+. Pada hiper- menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV)sensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe T*r1 menyekresi dapat menimbr\"rlkan respons tuberkulin yang negatif,sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan se1lain, terutama makrofag, yang merrlpakan sel efektor bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.utama. Pada sitotoksisitas selular, sel T CDB+ sitotoksikmenjalankan fungsi efektor. Urutan kejadian pada DTH (seperti yang ditunjuk- kan oleh reaksi tuberkulin) dimulai dengan pajanarrHIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT pertama individu terhadap basii tuberkel. Limfosit(DTH, DELAYED-TYPE HYPERSEAJ- CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkelstTtvtTY dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen miko- Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkr,rlin, yangmuncnl pada seseorang yang telah tersensitisasi bakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipeterhadap basii tuberkel oleh infeksi sebelr-rmnya (Bab T\"1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi13). Delapan hingga 72 jam setelah injeksi tuberkulin selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa(ekstrak protein-lipopolisakarida basil tuberkel) antigen tertentn memplmyai kecenderungan r-rnttikintrakutan, muncnl suatu area eritema dan indurasi mengindr\"rksi respons Tr1, meskipun lingkungansetempat, dan mencapai puncaknya (biasanya ber- sitokin vang mengaktivasi sel T naif tersebut tampak- nya sesuai. Saat dilakr-rkan irrjeksi kutan tuberkulin berikubnya pada individu tersebnt, se1 memori mem- berikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami trans- formasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin T,,1. Sitokin T,,1 inilah yang akhirnya bertanggung jawab unttLk mengendalikan perkembang-t$lf li Gambar 5-1 5 Hipersensitivitas lambat pada kulit. A. Akumulasi perivaskular (\"pembentukan manset\") sel radang mononuklear (limfosit dan makrofag), disertai edema kulit dan pengendapan fibrin. B. Pewarnaan imunoperoksidase menunjukkan inflltrat sel perivaskular secara menonjol yang menandakan adanya antibodi anti-CD4+yang positif. (8, Sumbangan dari Dr. Louis Picker, Depadment of Pathology, University of Texas South- western Medical School, Dallas.)
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS T 133an respons DTH. Secara keseluruhan, sitokin yang pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-y) untukpaling bersesuaian dalam proses tersebut adalah menrbentnk sel rnksnss Qia.nt cells) berinti banyak.sebagai berikut: Sua tu agrega t m i kroskopis sel epi teloid secara kh irsusa IL-72 mempakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh dikelilingi oleh suatu lingkaran limfosit, yang disebut granuloma (Gbr. 5-164), dan polanya disebut sebagai makrofag setelah interaksi awal dengan basil inflamasi grnnulomatosa. P ada dasarnya, proses tr-rberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena mernpakan sitokin utama yang mengarah- tersebr-rt sama dengan proses yang digambarkan unbuk respons DTH iainnya (Gbr. 5-168). Granuloma yang kan diferensiasi sel T\"1; selanjubnya, sei Tr,1 meru- pakan strmber sitokin lain yang tercanlum di bawah. Sel penyaji antigen (APC) IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-y oleh sel T dan sel NK yang poten. Antigen lFN-7, mempunyai berbagai macam efek dan me- Fibroblas' Wffi,*%, rr-rpakan mediator DTH yang paling penting. IFN-y Limfosit merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, Makrofag yang meningkatkan produksi makrofag lL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molektil kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampr.ran penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai akbivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan kemampuannya rnembunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor per- tr.rmbuhan yangberasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-a, yang merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivasi IFN-y meningkatkan kemampuan makro- fag untuk membasmi agen penyerang; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis. Il-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrat rni adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adaiah sel T \"penonton\" yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal. Tl{F dan limfotoksin adalah sitokin yang mengguna kan efek pentingnya pada sel endotel: (1) me- ningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang inembantu peningkatan aliran darah melah-ri vasodilatasi lokal; (2) meningkabnya pengeluaran selektin-E (Bab 2), yaitlr suatll molekr\"rl adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-S. Perubahan ini secara bersama memr-rdahkan keluar- nya limfosit dan monosit pada lokasi teqadinya respons DTH.INFLAMASI GRANULOMATOSA Gambar 5-16 Grnnulomn adalahbentr-rk khusus DTH yang terjadi Pembentukan granuloma. A. Potongan kelenjargetah bening yangpada saat antigen bersifat persisten dan/atau tidak menunjukkan beberapa granuloma, masing-masing tersusun atas kumpulan sel epiteloid dan dikelilingi oleh limfosit. Granuloma didapat didegradasi. lnfiltrat awal sel T CD4+ peri- tengah menunjukkan beberapa sel raksasa berinti banyak. g. Gambaran skematik berbagai peristiwa yang terjadi pada pem-vasklllar secara progresif digantikan oleh makrofag bentukan granuloma pada reaksi hipersensitivitas tipe lV perhatikandalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang ter- peran yang dimainkan oleh sitokin yang berasal dari sel T. (A, Sumbangan dari Dr. Trace Worrell, Department of Pathology, Uni-akumulasi ini secara khusns menunjukkan bukti versity of Texas Southwestern Medical School, Dallas.)morfologis adanya aktivasi, yaitrr semakin membesar,memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid).Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah
134 . BAB 5 PENYAKIT IMUNITASlebih dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk rapat sel target; hal tersebut dilakukan rnelalui insersi danfibroblas dan jarurgan ikat. Pengenalan terhadap suatu polimerisasi molekul perforin r-rntuk membenh\"rk suahl pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel,granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena yang akhirnya menyebabkan lisis osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yanghanya ada sejumlah kecil kondisi yang dapat disebut dengan granzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai kemenyebabkannya (Bab 2). dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel target (Bab 1). CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas DTH merupakan suatti mekanisme pertahanan (suatu molekul yang homolog dengan TNF), yang ber-utama yang melawan berbagai patogen intrasel, yang ikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi inimeliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, menyebabkan apoptosis. Selain irnunitas virus dan bu-dan dapat pula terlibat dalam penolakan transplan mor, CTL yang diarahkan untuk melawan antigenserta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam histokompatibilitas permukaan sel juga berperanhipersensitivitas lambat tampak jelas pada penderita penting dalam penolakan graft, yang akan dibahasAIDS. Karena hilangnya se1 CD4+, respons pejamu kemudian.terhadap patogen ekstrasel, seperti Mycobacteritrm ttr Penolakan Transplanbercttlosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan Penolakan transplan organ merupakan fenomenadimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan imunologi kompleks yang melibatkan, baik responssebagai pengganti pembentukan granuloma, terjadi hipersensitivitas selular maupun diperantarai antibodiakumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit padapejnmu yang diarahkan untuk melawan moiekuluntuk mengatasi mikroba yang menginvasi. histokompatibilitas pada allograll donor. Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DTH PENOLAKAN YANGdapat pula menyebabkan suatu penyakit. Dermatitis DIPERANTARAI SEL Tkontnk adalah salah satu contoh jejas jaringan yangdiakibatkan oleh hipersensitivitas lambat. Penyakit ini Penolakan akut tlasik pada pejamu yang non-d ibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol imunosupresif terjadi dalam 10*14 hari; hal ini(juga dikenal sebagai urushiol, komp onen aktil poisoniuy atau poison onk) pada pejamu yang tersensitisasi sebagian besar terjadi akibat imunitas selular, baik yangdan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis.Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada melibatkan mekanisme DTH maupun CTL. Karenasensitivitas tuberkulin. Pajanan ulang terhadap tanam- satu-satunya perbedaan antigenik utama antaraan tersebut, sel CD4+ T\"1 tersensitisasi akan ber-akumulasi dalam dermis danbermigrasi menuju anti- jaringan pejamu dan donor adalah molekulgen yang berada di dalam epidermis. Di tempat ini seltersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, histokompatibilitasnya, penolakan terjadi sebagai respons terhadap MHC. Pengenalan pejamu danmenyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pem- respons terhadap MHC donor terjadi melalui duabentukan suatu vesikel intradermal. mekanisme:SITOTOKSISITAS YANG ) Pengensktn tak langsung. Dalam contoh ini, sel TDIPERANTARAI SEL T CD4+ pejamu mengenali HLA donor setelah Padabentukhipersensitivitas tipe IV ini, selT CD8+tersensitisasi membunuh sel target yang membawa an- diproses dan disajikan oleh APCpejamu itu sendiri.tigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekulMHC kelas I berikatan dengan peptida virus intrasel Hal ini melibatkan ambilan APC donor sertadan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Se1 efektorCD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cyto pemrosesan HLA yang berasal dari sel donor dantoxic T-lymphocytes), berperan sangat penting dalam serupa dengan pemrosesan fisiologis serta pe-resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi nyajian antigen asing lainnya (misalnya, mikroba).sebelum teqadinya replikasivirus yang lengkap pada Secara je1as, bentuk pengenalan ini terutama meng-akhimya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini aktivasi jalur DTH.bahwa banyak peptida yang berhubungan dengan tu-mor (Bab 6) muncul pula pada permukaan sel tumor a Pengenalnn langwng. Dalam contoh ini, pejamusehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas ttt- memberikan respons terhadap HLA donor yang di-mor. keluarkan secara langsung pada sel donor. Pe- Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pem- ngenalan langsung bertolak belakang karena halbunuhan oleh CTL: (1) pembunuhan yang bergantung itu tampaknya melanggar aturan restriksi MHCpada perforin-grahzim dan (2) pembunuhan yang (hlm. 119); hal ini telah dijelaskan dengan meng-bergantung pada ligan Fas-Fas. Perforin dan granzimadalah mediator terlarut yang terkandung dalam anggap MHC allogenik danpeptida terikat, dalam granula CTL yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan beberapa hal secara struktural menyerupai MHC- namanya, perforin melubangi membran plasma pada sendiri dan antigen asing. Karena sel dendrit do- nor mengeluarkanMHC I dan MHC II dalam kadar tinggi, dan merupakan molekul kostimulator yang
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS T 135penting, sel tersebut paling mlrngkin merupakan Begitr-r allograft donor telah dikenali sebagai bendaAPC dalam pengenalan langsung (sel makrofagserta endotel secara potensial juga terlibat). Sel T- asing, penolakan berlanjut melalui mekanisme efektorhelper CD4+ pejamu dipicu r\"rntuk berproliferasi dan yang telah dibahas (Gbr. 5-17). CTL yang matr-rr melisismemproduksi si tokin melah-ri pengenalan molekul target dalam jaringan yang ditanamkan, menyebabkanMHC II (HLA-D) donor dan mendorong respons kematian sel parenkim, dan mungkin yang lebih penting lagi adaiah kematian sel endotel (meng-DTH. Sel T CD8+ secara potensial dapat mengenali akibatkan trombosis serta iskemia graft). Sel T CD4+MHC I (HLA-A, -8, -C) pada setiap tipe sel, tetapi yang menyekresi sitokin meningkatkan permeabilitassel T CDB+ naif mungkin pula memerlukan kosti-mulasi yang disiapkan oleh APC \"profesional\"; vaskular serta terjadi akumulasi lokal selmononuklear (limfosit dan makrofag). Respons DTH dengan jejasdenganbantuan sitokin sel T CD4+, sel T CD8+ akar-t mikrovasknlar yang menyertai juga mengakibatkanberdiferensiasi menjadi CTL. Sel T helper Prekursor sel T pejamu sitotoksik pejamu #Antigen graft J-) PEMBULUH DARAH GINJAL ++- HE\" /-€== 4 rL-4. r1-s lL-2=rw TH1 Limfosit B + IFN-y I dan .'l€:-,-. I ,€ffi.,-+ Permeabilitas er vaskular meningkat + .,i_1ffi=.j dan jejas endotel&wffi ..--. ,ri: disertai trombosis Sel plasma '-L.^-li:-,-'I ..'.:.*.' €@f*fi I ,*-.r €gF\"g* F -: !w.€!k:s I ++\"* \"-&o ,itotot.iffi + .+l'.:.igat*i=\" *.--4-;f' '\"q**. : Antibodi ,: ,! : : -:r. KerusakanJejas endotel ''----.:=='== PEMBULUH DARAH GINJAL TUBULUS GINJAL Gambar 5-17 Gambaran skematik berbagai peristiwa yang menyebabkan destruksi graft yang tidak bersesuaian. Antigen kelas I dan kelas ll donor bersama dengan molekul 87 (CDBO, CDB6)secara berlurulturut dikenali oleh sel T sitotoksik CDB+ dan sel T helper CD4+ pejamu.. lnteraksi antara sel T CD4+ dengan peptida yang disajikan oleh antigen kelas ll menyebabkan proliferasi sel CD4+ sel Tnl dan melepaskan interleukin 2 (lL-2) dari sel. lL-2 lebih jauh meningkatkan proliferasi sel CD4+ dan juga menyediakan sinyal penolong untuk diferensiasi sel T sitotoksik CDB+ spesiflk kelas L Selain itu, aktivasi sel T CD4+ tipe-Tr2 menghasilkan berbagai mediator terlarut lain (sitokin) yang meningkatkan diferensiasi sel B. Sel T\"1 juga berperan serta dalam induksi reaksi hipersensitivitas lambat lokal. Akhirnya, beberapa mekanisme bergabung untuk menghancurkan graft: (1) lisis sel yang membawa antigen kelas I oleh sel T sitotoksik CDB+, (2)Antibodi antigraft yang dihasilkan oleh sel B tersensitisasi, dan (3) kerusakan nonspesifik yang diakibatkan oleh makrofag dan sel lain yang menumpuk akibat reaksi hipersensitivitas lambat.
136 T BAB 5 PENYAKIT IMUNITASiskemia jaringan yang bersama dengan penghancttran transplantasi pada pejamu yang belum tersensitisasi. Hal ini secara khusus dikenali secara makroskopis olehyang diperantarai oleh makrofag terakumulasi ahli bedah tepat setelah anastomosis vaskular telah dituntaskan. Berlawanan dengan suatu graft ginjal yangmerupakan suatu mekanisme penting penghancuran tidak ditolak yang memperoleh kembali warna merahgraft. mudanya serta turgor jaringan yang normal dan meng- ekskresikan urine pada waktunya, suatu graft ginjal yangPENOLAKAN YANG ditolak secara hiperakut akan cepat menjadi sianotik,DIPERANTARAI ANTIBODI berkeriput, serta melembek dan hanya dapat meng- ekskresikan beberapa tetes cairan berdarah. Secara Meskipun sel T mempunyai makna yang terpenting histologis ditandai dengan arteritis dan arteriolitis, trom-dalam penolakan aliograft, antibodi juga memerantarai bosis pembuluh darah, serta nekrosis iskemik yangbeberapa bentuk penolakan: meluas, yang semuanya diakibatkan oleh pengikatan antibodi humoral preformed. Semua arteriol dan arterir Antibodi humoral anti-F{LA muncttl bersamaan sebenarnya menunjukkan adanya nekrosis fibrinoid akut yang khas pada dindingnya, disertai dengan pe- dengan penolakan yang diperantarai sel-T (lihat nyempitan atau penyumbatan total lumen vaskular oleh Gbr. 5-17). Sasaran utama perusakan yang di- peranLarai oleh antibodi dalam keadaan ini adalah endapan fibrin dan debris sel. Perlu diperhatikan bahwa endotel vaskttlar, dengan antibodi yang terikat pada praktik yang dilakukan saat ini untuk menyaring menyebabkan jejas (dan trombosis sekunder) pejamu potensial yang memiliki antibodi anti-HLA pre- melalui jaltrr yang diperantarai komplemen, formed serta terjadi cross-malchlng (pemeriksaan kompleks imlrn, atau ADCC. Agregasi dan ko- terhadap resipien tentang adanya antibodi yang agulasi trombosit (disebabkan oleh aktivasi komple- diarahkan untuk melawan limfosit donor yang spesifik), men) akan menyamarkan kerr-tsakan vaskular penolakan hiperakut hanya terjadi pada kurang dari imunologis, yang akan memperberat keadaan 0,4% transplan. iskemik pada cedera yang merugikan. Secara PENOLAKANAKUT. Penolakan akut dapatterjadi dalam histologis, bentuk penolakan ini menyertrpai beberapa hari hingga beberapa minggu setelah vaskulitis yang telah digambarkan sebelumnya untuk hipersensitivitas tipe I II. transplantasi pada pejamu yang nonimunosupresif atauI PerLolnknn hipernkuf adalah bentuk khusus dapat terjadi berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian, bahkan bila terdapat imunosupresi yang penolakan yang terjadi pada keadaan mttncttlnya memadai. Seperti yang telah digambarkan sebelumnya, antibodi antidonor preformed dalam sirkulasi penolakan akut merupakan suatu proses kombinasi pejamu sebelum trnnsplnn. Hal ini dapat terjadi pada saat mekanisme selular maupun humoral turut berperan, dan pada setiap penderita salah satu atau pada perempuan multipara yang mempnnyni nnii- lainnya dapat menonjol. Secara histologis, penolakan bodi anti-HLA yangmelawan antigen paternal yang humoral akan disertai dengan vaskulitis, sementara berasal dari janin atau dari pajanan terhadap HLA penolakan selular ditandai oleh suatu infiltrat sel mono- asing (pada trombosit atarr leukosit) dari transfusi nuklear interstisial, yang disertai dengan edema dan darah sebelumnya. Yang je1as, antibodi semacam jejas parenkim. itu dapat pula muncul pada seorang pejamu yang telah pemah menolak suatr,r hansplan. Dalam setiap Penolakan selular akut paling sering terjadi dalam bulan pertama setelah transplantasi dan secara khusus kejadian, transplantasi pada keadaan ini meng- disertai dengan tanda klinis gagal ginjal. Secara histologis, biasanya terjadi infiltrasi sel T CD4+ dan akibatkan penolakan yang cepat (beberapa menit CD8+ interstisial yang luas disertai denqan edema dan perdarahan interstisial yang ringan (Gbr. 5-18.4). Kapiler hingga beberapa jam) karena antibodi daiam glomerulus dan peritubulus mengandung sel motro- nuklear dalam jumlah besar, yang dapat pula meng- sirkrrlasi segera berikatan dengan endotel organ invasi tubulus dan menyebabkan nekrosis tubulus fokal. yang ditanamkan, kemudian diikuti dengan fiksasi Selain cedera tubulus, sel CD8+ dapat pula mencederai komplemen serta trombosis. endotel, menyebabkan endotelitis. Siklosporin (obat imunosu;iresif yang digunakan secara luas) juga MORFOLOGI bersifat nefrotoksik dan menyebabkan sesuatu yang Berdasarkan mekanisme yang terlibat, morfologi yang disebut deposit hialin arteriolar. Akibatnya, sampel biopsi dihasilkan, dan jangka waktu berlangsungnya proses ginjal yang diambil untuk menilai penolakan tersebut tersebut, reaksi penolakan secara garis besar telah di- dapat pula menunjukkan adanya perubahan serupa klasifikasikan sebagai hiperakut, akut, dan kronis. yang berasal dari penggunaan siklosporin. Pengenalan Morfologi pola ini digambarkan dalam konteks transplan yang akurat terhadap penolakan selular penting karena ginjal; namun, perubahan yang serupa ditemukan pada tanpa arteritis, secara khusus pasien akan memberi- setiap transplan organ yang memiliki vaskularisasi lainnya. kan respons yang tepat pada pengobatan imuno- PE NO LAKAN Hl PE RAKUT. Penolakan h iperakut te rjadi supresif yang ditingkatkan. dalam beberapa menit hingga beberapa jam setelah
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS f 137Garrrbar 5-i EMot-fologi penolakan akut. A. Rejeksi sel akut pada allograft ginjal yang ditunjukkan oleh infiltrat sel mononuklear difus dan edemainterstisial. B. Kerusakan yang diperantarai antibodi pada pembuluh darah pada allograft ginjal. Pembuluh darah sangat menebal, danlumen tersumbat oleh fibroblas yang berproliferasi dan makrofag berbusa. (A. Sumbangan dari Dr. Helmut Rennke, Department ofPathology, Brigham and Women's Hospital, Boston; 8, Sumbangan dari Dr. lhsan Housini, Department of Pathology, University of TexasSouthwestern Medical School, Dallas. ) Vaskulitis penolakan akut (penolakan humoral) terhadap pemberian obat imunosupresi standar. Lesiyang disebabkan oleh antibodi antidonor dapat pula ini akhirnya akan mengganggu perfusi vaskular danmuncul dalam penolakan graft akut. Lesi histologisnya mengakibatkan iskemia ginjal yang ditunjukkan melalui hialinisasi atau hilangnya glomerulus, fibrosis inter-dapat berbentuk vaskulitis nekrotikans disertai dengan stisial, dan atrofi tubulus.nekrosis sel endotel; infiltrasi neutrofilik; deposisi METODE UNTUK MENINGKATKANantibodi, komplemen, dan fibrin; serta trombosis. Lesi KELANGSUNGAN HIDUP GRAFTsemacam itu disertai nekrosis luas pada parenkim Karena molekul HLA mempakan sasaran ntamaginjal. Dalam banyak kasus, vaskulitis bersifat kurang dalam penolakan transplan, kecocokan (rtntching)akut dan ditandai dengan penebalan nyata pada tunika yang lebihbaik antara donor dan resipien meningkat-intima oleh fibroblas yang berproliferasi, miosit, dan kan kelangsungan hidup graft. Manfaat kecocokanmakrofag busa (Gbr. 5-188). Penyempitan arteriol yangdihasilkannya dapat menyebabkan infark atau atrofi HLA adalah hal yang paling dramatis dalamkorteks ginjal. Lesi vaskular proliferatifnya menyerupai kehidupan. Transplan ginjal donor yang masihpenebalan a(eriosklerotik dan diyakini disebabkan olehsitokin yang menyebabkan pertumbuhan otot polos bersaudara, dengan kecocokan MHC II memberikanpembuluh darah. prognosis yang lebih baik daripada kecocokan MHC I saja. Efek ini terjadi mungkin karena sel T CD4+ MHCPENOLAKAN KRONIS. Secara klinis pasien dengan pe- Il-reaktil yang penting baik dalam jalur penolakan hu-nolakan kronis menunjukkan gejala dalam waktu yang moral maupun selular, tidak dipicu. Sebaliknya, efeklama setelah transplantasi (berbulan-bulan hingga yang menguntungkan dari kecocokan HLA terhadapbertahun-tahun) dengan nieningkatnya kadar kreatinin kelangsungan hidr\"rp graft pada transplan ginjat dariserum (suatu indeks disfungsi ginjal) secara progresif jenazah yang br-rkan saudara akan kr,rrang dramatis, kemungkinan karena adanya perbedaan pada antigenselama periode 4 bulan. Penolakan kronis didominasi his tokompatibilitas mino r lainnya (pro tein p oiimorfikoleh perubahan vaskular, fibrosis interstisial, serta selain protein yang dikode oleh kompleks HLA).hilangnya parenkim ginjal; secara khas hanya sedikii Oleh sebab itu, imunosupresi resipien secara praktikatau bahkan tidak ditemukan adanya infiltrat parenkim perh-r pada semlla transplantasi organ, kecuali pada kasus kembar identik. Sekarang, obat yang digunakanselular. Perubahan vaskular terutarna terjadi dalam arteri adalah azatioprin, kortikosleroid, siklosporin, globu-dan arteriol, yang menunjukkan adanya proliferasi selotot polos tunika intima dan sintesis matriks ekstra-selular, yang secara potensial terjadi sebagai tahap akhirdari arteritis proliferatif seperti yang telah digambarkansebelumnya. Daripada menganggapnya sebagai suatuperadangan kronis yang berderajat rendah dan meng-gerogoti, akan lebih tepat untuk mencirikan penolakankronis sebagai respons penyembuhan yang terus ber-langsung; penolakan ini tidak memberikan respons
138 T BAB 5 PENYAKIT IMUNITASlin antilimfosit, dan antibodi monoklonai (misalnya, sllmslllrr tuiang donor, tetapi dapat pula ditanamkananti-CD3 monoklonal). Siklosporin menekan imunitas dari darah perifer setelah mobilisasi melalui pemberianyang diperantarai sel-T dengan menghambat aktivasigen sitokin, khususnya gen untuk IL-2; namun, fak tor perlr-rmbuhan hematopoie tik. Pej amu menerima dosis masif kemoterapi toksik dan/ataq radiasi untukefektivitasnya terbatas karena sifat nefrotoksisitasnya. menghancurkan sel ganas (misalnya, pada leukemia)Selain itu, meskipun imunosupresi telah meningkatkan ataupun unfuk membuat suabu graft (seperti pada ane-kelangsungan hidup graft secara bermakna, hal mia aplastik), yar-tg diikuti dengan infusi sel stem.tersebu t bukan tanpa risiko. Penggunaan imunosupresi Terdnpat dttn masnlah trtama ynng mempersulit be.ntuksecara umum meningkatkan kerentanan terhadap transplantasi ini: penolakan trnnsplnn sLLmsum tulnnginfeksi jamur, virus, dan infeksi oportunistik lain. dnn penynkit graft-uersus-host (GVHD).Pasien ini semakin berisiko pula untuk menderitalimfoma yang diinduksi oleh EBV, karsinoma sel t Penolsksn transplnn sumsum tulang allogenikskuamosa yang diinduksi oleh human papilomavirus,dan sarkoma Kaposi (KS) (Bab 13). Untuk mencegah tampaknya diperantarai oleh kombinasi sel T danefek merugikan imunosupresi, banyak upaya yang sel NK pejamu yang resisten terhadap terapi radiasidilakukan untuk menginduksi toleransi yang spesifik dan kemoterapi. Penolakan yang diperantarai oleh se1 T terjadi melalui mekanisme umum yang samaterhadap donor dalam sel T pejamu. Salah sabr-r strategi dengan mekanisme yang digambarkan sebelumnya untuk transplan organ padat. Sebaliknya, sel NKyang dilakukan pada hewan percobaan adalah dipicu untuk menghancurkan sel yang ditanamkanmencegah agar sel T pejamu tidak menerima sinyal karena sel allogenik gagal menggunakan reseptor penghambat NK (lihat Gbr. 5-4).kostimuiator dari sel dendrit donor selama tahap awalsensitisasi. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian ) GVHD terjadi jika sel yang mampu secara imu-antibodi nntuk mengganggu interaksi antara molekulB7 padasel dendrit donor graft dengan reseptor CD2B nologis (atau prekursornya) ditransplantasikan kepada sel T pejamu. Seperti yang telah dibahas sebelum- dalam resipien yang terganggll secara imunologis. Meskipun GVHD paling sering terjadi pada trans-nya, hal ini akan mengganggu sinyal kedua untuk plantasi srlmsum tulang allogenik, penyakit iniaktivasi sel T dan akan menginduksi apoptosis atau-pun menyebabkan anergi sel T. dapat pula terjadi setelah transplantasi organ padatTRANS P LANTASI yang banyak mengandung sel limfoid (misalnya,ORGAN PADAT LAINNYA hati) atau setelah transfusi darah yang tidak di- radiasi. Jika pejamu yang terganggu secara imuno- Meskiprin ginjal merupakan organ padat yarrg pa- logis menerima sel sllmslrm tulang allogenik yang notmal, sel T imunokompeten yang berasal dariling sering ditransplantasikan, transplantasi hati, srlmsllm donor akan mengenali jaringan darijantung, paru, dan pankreas juga lazim dilakukan. resipien sebagai \"benda asing\" dan bereaksi untuk melawannya. Hal ini menimbulkan aktivasi seiNamun, tidak seperti pada transplantasi ginjal yang CD4+ dan CDS+, yang pada akhimya menimbulkanberasal dari donor hidup yang masih bersaudara, respons DTH dan CTL.sebagian besar organ padat lainnya ditransplantasikan GVHD nkut (teqadi beberapa hari hingga minggr.rdengan mengabaikan penentuan tipe (typing) hlsto- setelah transplantasi) menyebabkan nekrosis sel epitelkompatibilitasnya. |eda waktu pada saat hati ataujantung yang ditanamkan masih dapat hidup terlalu pada tiga organ tnrget utnma: hati, kulit, dnn usus.singkat untuk memungkinkan dilakukannya typing Destruksi duktus biliaris kecil akan menimbulkanjaringan dengan metode mutakhir yang digunakan. ikterus, dan ulserasi mukosa usus akan menimbulkanOleh karena itu, pada keadaan seperti ini, diare berdarah. Serangan pada kulit ditunjukkan oleh ruam kulit menyeluruh. Selain itu, pejamu mengalamipertimbangan yang diambil hanyalah penentuan imttnosupresi dan rentan terhadap berbagai macam inf eksi (tertrtama virus). G VHD kr onis dap at terj adr se-golongan darah ABO, tidak terdapaLnya antibodtpre- telah sindrom akut atau dapat terjadi secara ter-formed dalam sirkulasi, serta habitus tubuh (misalnya, sembunyi. Pasien ini mengalami ganggr-ran imtnologisseorang anak tidak dapat menerima transplan jantung berat, tetapi mereka menderita lesi kulit menyerupaidari orang dewasa). sklerosis sistemik (dibahas kemudian) dan terdapat gambaran menyerupai penyakit autoimun lain.TRANSPLANTASISEL HEMATOPOIETIK ALLOGENIK GVHD merupakan suatu komplikasi yang ber- potensi mematikan yang dapat dikurangi, tetapi tidak Transplantasi sumsum tulang merupakan bentuk dapat dihilangkan oleh kecocokan HLA. Sebagaiterapi yang semakin sering dilakukan untuk keganasan potensi lain untuk memecahkan persoalan, sel T do-hematopoietik dan beberapa nonhematopoietik, ane- nor dapat dikosongkan sebelum transplantasimia aplastik, serta keadaan defisiensi imun tertentu. sumsum tulang. Protokol ini telah terbukti seperti br\"rahSel stem hematopoieiik biasanya diperoleh dari
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS T 139simaiakama: risiko GVHD berkurang, tetapi insiden Tabel 5-4. PENYAKITAUTOIMUi,Ikegagalan graft serta kekambuhan leukemia akanmeningkat. Sepertinya sel T multifr-rngsional tersebut Organ Tunggal atau Jenis Sel Sistemiktidak hanya memerantarai GVHD, tetapi dibutuhkanplrla rintuk pencangkokan sel stem sumsum tulang Lebih Mungkin l-ebih Mungkinyang ditransplantasikan secara efisien dan untukmenghilangkan sel leukemia (disebu t dengan efek .qral- Tiroiditis Hashimoto Lupus eritematosus Anemia hemolitik autoimun sistemikuersus-leukemio). Gastritis atrofi autoimun pada Artritis rematoid PENYAKIT AUTOIMUN anemia pernisiosa Sindrom Sjogren Ensefalomielitis a utoimu n Sindron Reiter PembrLktian terus menyatakan bahwa suatrl reaksi Orkhitis autoimun Sindrom Goodpasiure. Mungkinimun terhadap antigennyn sendiri (yaitu Trombositopenia autoimun Diabetes melitus tipe I Miopati inflamatorisntftoimwitns) merupakan penyebab penyakit tertentn Sklerosis sistemik'pada manusia; semakin banyak kasus dianggap telah (tergantung insulin)disebabkan oleh proses ini (Tabel5-4). Namun, dalam Miastenia gravis (skleroderma) Penyakit Graves Nodosa poliarteritisbanyak kasus seperti ini, pembuktiannya tidak Mungkinmutlak, dan keberatan penting terhadap dakwaantersebut adalah adanya antibodi autoreaktif atar.r sel Sirosis biliaris primerT dalam jr.imiah kecii ticlaklofo sama artinya dengan Hepatitis aktif kronikpenyakit autoimnn. Sebagai contoh, antibodi Kolitis ulseratifnonpatologis terhadap ar:rtigen sendiri tampaknya Glomerulonefritis membranosadapat dengan mudah ditemukan pada sebagian besarindividu yang tidak sehat. Selain itu, autoantibodi * Sasaran adalah membran basalis glomerulus dan dindingsempa yang nonpatologis terhadap antigen sendiri, alveolus.sering kali dihasilkan setelah mengalami bentukcedera lain (misalnya, iskemia), yang mungkin Jelaslah bahwa autoimunitas menunjukkan hiiang-memainkan peran fisiologis dalam pembersihan nya toleransi sendiri, dan pertanyaannya adalah bagai-produk pemecahan jaringan. Bukti yang men-cantumkan penyakit daiam Tabel 5-4 yang benar- mana hal ini terjadi. Untr,rk memahaminya, akanbenar merupakan akibat reaksi autoimun lebih me- menjadi penting jika pertama-tarna membiasakan diriyakinkan beberapa penderita daripada penderitalainnya. Oleh karena itu, banyaknya antibodi pada kita sendiri dengan mekanisme toleransi imunologisSLE secara logika menjelaskan banyak hal mengerrai yang normal.perubahan yang diamati. Selain itu, autoantibodiyang sama tersebut dapat diidentifikasi di dalam lesi Toleransi lmunologipatologis melalui pemeriksaan imunofluoresensi danmikroskop elektron. Dalam berbagai gangguan lain- Tolersnsi imtrnologi sdttlttlt strttttt kesdnnn snntnya, misalnya nodosa poliarteritis, etiologi autoimuntelah diduga, tetapi belum terbukti. Pada beberapa seseorang tidak ffiampu mengembnngkon suatLLkastts nodosa poliarteritis suatu antigen eksogen respons imun melnwnn stLntu nntigen ynng spt:sifik.(misalnya, protein virus hepatitis B) dapat benar-benar Tolersnsi-diri secnro khttstrs menunjttkkan lcurnngnyabertanggung jawab terhadap terjadinya vaskulitis. responsioitns imun terhndap nntigen jnrittgntrtryn sendiri. Yang jelas, toleransi-diri semacam itu diperlu- Diperkirakan penyakit autoimun berkisar dari kan jika jaringan kita dapat hidup secara harmonispenyakit yang mengarahkan respons imun spesifik dengan pasukan limfosit yang merusak.untuk melawan satu organ atau tipe sel tertentu danmenimbulkan kerusakan jaringan lokal hingga ke Dua kelompok besar mekanisme telah diajukanpenyakit multisistem yang ditandai dengan lesi di untlrk menjelaskan keadaan toleran: toleransi sentrtrl dan toleransi perifer (Gbr. 5-19).berbagai organ dan disertai dengan autoantibodi dalamjumlah yang besar atau reaksi selular. Dalam reaksi & Tolernnsi sentrll. Mekanisme ini menr-rnjukkanselular, perubahan patologis terutama terjadi di dalam pemusnahan limfosit T dan B yang self+eactiaejaringan ikat dan pembuluh darah pada berbagai selama proses pematangar-mya dalam organ limfoidorgan yang terserang. Meskipun dalam kenyataannyareaksi pada penyakit sistemik ini tidak secara spesifik sentral (yaitu timus unLLrk sel T dan sumsum trllangdiarahkan untuk melawan unsur jaringan ikat atau '-rntuk sei B). Telah dinyatakan (dengan konfirmasipembuluh darah, tetapi sering kali disebut sebagai eksperimental pada tikus) bahwa banyak antigenganggllan \"vaskular kolagen\" atau \"jaringan ikat\". protein ar-rtolog (-sendiri) diproses dan disajikan oleh APC fimus serta M HC-sendiri. Setiap sel T yang berkembang yang mengeluarkan reseptor untuk
140 I BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS 1 SUMSUM TULANG I Sel Pro-T-.j SELF.REACTIVE CLANE NON-SELF REACTIVE SELF-REACTIVE CLONE CTONE -# Apoptosis Epitel ilmustToLERANlsr siNTRAL:Non-peptida diri - - :i;---IMTTNU^DNU;I;KT;SA'-TS-\"-: CD28 cD28-- *g\'Peptida-diri MHC Peptida-diri \ Sel jaringan kekurangan 87 *.\"-H s€: 'ffiffiffi.-u-fu: .-1€ *=E€:=€<€=,- PERBANYAKAN KLON ANERGI KLON APOPTOSIS YANG DIINDUKSI OLEH AKTIVASIGambar 5-19Gambaran skematik mekanisme yang terlibat dalam toleransi sel T sentral dan perifer. Jalur serupa terjadi pada sel B (lihat teks). APC,antigen-presenting cell', MHC, m ajor hi stoco m patibility complex.antigen-sendiri tersebut diseleksi secara negatif apoptosis. Sayangnya, proses pemusnahan limfosit(dimusnahkan secara apoptosis), sehingga kumpul- yang self-renctiue ktuang sempurna. Banyak anti-an sel T perifer yang dihasilkan dimusnahkan oleh gen-sendiri yang tidak muncul dalam timussel self-renctiae (lihat Gbr. 5-19). Seperti pada sel T, sehingga sel T yang membawa reseptor untuk auto-pemusnahan sel B ya g self-reactiae juga terjadi. antigen semacam itu lolos masuk ke perifer. DalamKetika sel B yang berkembang bertemu dengan an- sistem sel B terjadi ptia slippage, dan sel B yangtigen yang terikat membran selama perkembangan- membawa reseptor untuk berbagai antigen-diri,nya dalam sumsum Lulang, sel tersebut mengalami termasuk tiroglobulin, kolagen, dan DNA, dapat
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS 141 'dengan mudah ditemukan dalam darah perifer terdapat pula mekanisrne fail-safe tambahan.individu yang sehat. Banyak perhatian telah difokuskan pada se-Toleransi perifer. Sel T self-reactiue yang lolos dari stratu yang disebut sel T regulatorls, yang dapatseleksi negatif dalam timus secara potensial dapat mengahrr firngsi sel T lain. Meskipun mekanismemenimbulkan malapetaka, kecuali jika sel tersebut yang mendasari pengaruhnya masih sukardimusnahkan atau diberangus secara efektif. Telahdiidentifikasi adanya beberapa mekanisme pen- untuk dipahami, diketahui bahwa sitokindukung dalam jaringan perifer yang melenyapkan tertentu yang dihasilkan oleh sel ini (misalnya,sel T yang berpotensi autoreaktif tersebut: IL-10 dan faktor pertumbuhan transformasi pt Anergi: Anergi menunjukkan inaktivasi me- ITGF-BD dapat melemahkan berbagai respons sel T; sel T regulatoris mengr-rbah pula aktivitas sel manjang atau ireversibel (daripada apoptosis) T melalr.ri jalur yang melibatkan kontak sel-ke- limfosit yang diinduksi melalui pertemuannya sel secara langsung. dengan antigen pada keadaan tertentu. Ingat kembali bahwa aktivasi sel T memerlukan dua Mekanisme Penyakit Autoimun sinyal: pengenalan antigen peptida dengan Cangguan terhadap satu atau lebih mekanisme toleransi-diri dapat melepaskan serangan imunologis molekul MHC-sendiri pada APC serta sejumlah terhadap jaringan yang dapat menyebabkan ber- kembangnya penyakit autoimun. Sel yang imuno- sinyal kostimulator kedua (misalnya, melalui kompeten pasti terlibat dalam memerantarai cedera jaringan, tetapi berbagai pengaruh pastinya yang molekul 87) yang dihasilkan oleh APC. Jika sinyal kostimulator kedua tidak dikirimkan, sel memulai reaksinya terhadap diri sendiri belum T menjadi anergik (lihat Gbr.5-19). Sel semacam diketahui. Meskipun akan menarik untuk menjelaskan semua penyakit autoimun melalui satu mekanisme, itu tidak akan responsif, bahkan jika antigen jelaslah bahwa pada saat ini toleransi dapat di- yang cocok diserahkan lagi oleh APC kompeten pintaskan melalui sejumlah cara. Pada setiap penyakit yang dapat mengirimkan kostimulasi. Karena dapat muncui lebih dari satu defek, dan defek tersebut dapat beragam dari suatu gangguan hingga ganggllan molekul kostimulasi tidak cukup banyak lainnya; Lagi pula, gangguan terhadap toleransi dan inisiasi autoimunitas melibatkan interaksi faktor dikeluarkan pada sebagian besar jaringan nor- imunologi, genetik, dan mikrobial yang rumit. yang mal, pertemuan antara selT autoreaktif dan anti- dibahas di sini adalah mekanisme imunologis awal gen diri yang spesifik sering kali menimbulkan (terutama disebabkan oleh kegagalan toleransi perifer), anergi. Sel B dapat pula menjadi anergik jika yang diikuti dengan gambaran Lrmum mengenai bertemu dengan antigen tanpa adanya sel T peranan faktor genetik dan mikrobiat. helper yang spesifik. KEGAGALAN TOLERANSII Kematinn sel ynng diinduksi oleh tlktiunsi: Meka- Kegagalan Kematian Sel yang Diinduksi nisme lain untuk mencegah aktivasi sel T yang oleh Aktivasi. Aktivasi sel T yang berpotensi auto- tidak terkendali selama respons imun normal reaktif secara persisten dapat menyebabkan apoptosis sel tersebut melalui sistem ligan Fas-Fas. Hal ini berarti yang melibatkan apoptosis sel T aktif oleh sistem kelainan pada jalur ini memungkinkan terjadinya ligan Fas-Fas. Ligan Fas adalah suatu protein proliferasi dan persistensi sel T autoreaktif dalam jaringan perifer. Sebagai penunjang hipotesis ini, membran yang secara struktural homolog dilakukan percobaan, yaitu tikus dengan keiainan dengan TNF sitokin dan terutama dikeluarkan genetik dalam Fas atau ligan Fas menderita penyakit autoimun kronis menyerupai SLE. Sementara, sejauh pada limfosit T aktif; peranannya dalam ini tidak ada penderiia Sig yang ditemukan meng- pembunuhan yang diperantarai CTL telah alami mutasi dalam gen Fas atau ligan Fas, kelainan dibahas. Limfosit (di antara berbagai jenis sel) kecil lainnya pada kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi dapat berperan pada penyakit autoimun juga mengeluarkan Fas, dan pengeluaran Fas manusia. sangat meningkat pada sel T aktif. Akibabnya, Gangguan pada Anergi Sel T. Perlu diingat pengikatan Fas oleh ligan Fas, yang turut bahwa sel T yang berpotensi autoreaktif yang lolos dari pembersihan sentral akan menjadi anergik pada saat dikeluarkan pada kelompok sel T aktif yang sel tersebut bertemu dengan antigen sendiri tanpa sama, dapat berfungsi menekan respons imun adanya kostimulasi. Hal ini terjadi setelah anergi dengan menginduksi apoptosis sel ini. Secara teoretis, kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi semacam itu dapat pula menyebabkan pemusnahan sel T yang autoreaktif di perifer. Oleh karena itu, antigen-sendiri yang berlimpah diharapkan akan dapat menyebabkan pe- rangsangan berulang dan persisten terhadap sel T autoreaktif di perifer, yang pada akhimya akan membersihkannya melalui apoptosis yangI diperantarai oieh Fas (lihat Gbr. 5-19). Peneknnan perifer oleh sel T; Meskipun kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi dan anergi me- rupakan mekanisme utama toleransi-diri perifer,
'142. B,A,B 5 PENY,A,KIT IMUNITAS @ Sel B self-reactive s#@ Sel B self-reactive @ (kekurangan sel T helPer) @ @ @ @ +AUTOANTIBODI -#@ +TANPAANTIBoDI @ MELAWAN {& & SEL DARAH MERAH & s \"@ @ MODIFIKASI YANG DIINDUKSI OLEH OBAT, @ &#@f@6&&f-fiF#f*#f&iffs@fiil *Protein Faktor helper Sel THMembran sel Sel Tndarah merahGambar 5-20Gambaran skematik bagaimana modiflkasi protein membran sel darah merah yang diinduksi obat dapat dikenali oleh sel T helper sehinggamembentuk antibodi antieritrosit.semacam itu dapat rusak jika sel normal yang biasanya pada permukaan sel darah merah yang menghasilkantidak mengeluarkan molekul kostimulator dapat antigen yang dapat dikenali oleh sel T-helper (Bab 12).diinduksi untuk melakukan hal tersebut. Dalamkenyataannya, induksi semacam itu dapat terjadi Kegagalan Supresi yang Diperantarai Sel T. Kemungkinan berkurangnya fungsi sel T - regulatorissetelah terdapat infeksi, atau dalam situasi lain yang (supresor) yang dapat menyebabkan autoimunitasterjadi nekrosis jaringan dan inflamasi lokal. Pada merupakan hal yang sangat menarik. Penelitian telahpenderita dengan sklerosis multipel telah diperhatikan memrnjukkan adanya tipe khusus sel T CD4+ antigen-terjadi pengaturan (up-regulatiozr) molekul kosti- spesifik yang menyekresi IL-10; sel T CD4+ ini dapat menekan proliferasi sel T lain yang antigen-spesifikmulator 87-7 pada sistem saraf pusatnya, yaitu suatu dan, yang lebih penting adalah mencegah kolitis auto- imun pada tikus percobaan. Masih diselidiki apakahpenyakit autoimun yang sel T-nya bereaksi terhadap hilangnya sel T regulator tersebut berperan pada auto-mielin. Induksi pengeluaran B7-7 yang serupa terjadi imunitas pada manusia.dalam sinovium para pasien artritis rematoid dan kulit Mimikri Molekular. Beberapa agen infeksiuspasien psoriasis. Pengamatan telah membuka memberikan epitop kepada antigen-diri, dan responskemungkinan untuk terjadinya manipulasi imunologis imun yang melawan mikroba tersebut akan meng-pada penyakit autoimun yang dicapai pada jalur hasilkan respons yang serupa terhadap antigen-diri yang bereaksi-silang. Sebagai contoh, penyakit jantungkostimulator penghambat. rematik kadang-kadang muncul setelah infeksi Pemintasan Kebutuhan Sel-B Untuk Bantuan streptokokus karena antibodi terhadap protein M streptokokus bereaksi silang dengan glikoproteinSel-T. Banyak antigen-sendiri mempunyai determinan jantung. Mimikri molekular dapat pula diterapkanyang beragam, beberapa di antaranya dikenali oleh sel pada epitop sel T. Bukti paling kuat yang mendukung hal ini diperoleh dari klon sel T yang reaktif terhadapB, dan yang lain oleh sel T. Respons antibodi terhadapantigen tersebuthanya terjadi jika sel B yangberpotensi protein dasar mielin yang berasal dari penderita skle- rosis multipel; klon ini bereaksi pula dengan peptidaself-reactiae menerima bantuan dari sel T, dan toleransi yang berasal dari sejumlah protein nonsendiri, ter- masuk banyak yang berasal dari virus.terhadap antigen tersebut dapat disertai dengan Aktivasi Limfosit Poliklonal. Seperti yang telahpembersihan atau anergi sel T-helper dengan adanyasel B spesifik yang sangat kompeten. Oleh karena itu, disebuikan sebelumnya, dalam beberapa kasus, tole- ransi dipertahankan melalui anergi. Namun, auto-bentuk toleransi ini dapat diatasi jika kebutuhan imunitas dapat terjadi jika klon yangself-reactiue, tetapi anergik tersebut dirangsang oleh mekanisme yangterhadap sel T-helper yang toleran tergantikan. Satu tidak tergantung antigen. Beberapa mikroorganismecara untuk melakukan hal ini adalah jika epitop sel-T beserta produknya mampu menyebabkan aktivasi poliklonal (yaitu antigen-nonspesifik) sel B. Yang pa-dari suatu antigen-sendiri dimodifikasi, yang ling tepat untuk diteliti adalah lipopolisakarida bakteri (endotoksin), yang menginduksi limfosit tikus untukmemungkinkan pengenalan oleh sel T yang tidakdimusnahkan (Gbr. 5-20). Sel ini kemudian dapatbekerja sama dengan sel B, yang membentukautoantibodi. Modifikasi determinan sel-T suatu anti-gen yang semacam itu dapat dihasilkan daripembentukan kompleks dengan obat atau mikroorga-nisme. Sebagai contoh, anemia hemolitik autoimun,yang terjadi setelah pemberian obat tertentu, dapaldisebabkan oleh perubahan yang diinduksi oleh obat
membentuk anti-DNA, antitimosit, dan antibodi anti- BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS ' 143sel darah merah in vitro. Selain itu, superantigen ter- FAKTOR GENETIK PADA AUTOIMUNITAStentu dapat berikatan dan mengaktivasi sekumpulan Terdapat sedikit keraguan bahwa faktor genetiksel T CD4+ dengan cara yang tidak tergantung anti- berperan secara bermakna dalam kecenderungangen. Jadi, pada saat aktivasi superantigen sel-T,beberapa sel T autoreaktifdapat dirangsang, dan dapat terjadinya penyakit autoimun, seperti yang diusulkanterjadi autoimunitas. melalui pengamatan ini: Pelepasan Antigen Terasing. Tanpa memper- r Pengelompokan familial pada beberapa penyakithatikan mekanisme pasti sehingga terjadi toleransi-diri(pemusnahan atau anergi), jelaslah bahwa induksi autoimun, misalnya SLE, anemia hemolitik auto-toleransi memerlukan interaksi antara antigen yang ada r imun, dan tiroiditis autoimun. Hubungan antara beberapa penyakit autoimundan sistem imun. jadi, setiap antigen-sendiri yangbenar-benar telah diasingkan selama perkembangan- r dengan HLA, terutama antigen kelas ILnya mungkin dianggap asing jika selanjutnyabertemu Induksi penyakit autoimun pada tikus transgenik.dengan sistem imun. Yang termasuk dalam kategori Pada manus ra, HLA-827 berhubungan erat denganini adalah antigen spermatozoa dan antigen okular.Uveitis pascatrauma dan orkhitis pascavasektomi terjadinya penyakit autoimun terientu, misaliyamungkin terjadi akibat respons imun melawan anti- spondilitis ankilosa. Jika gen HLA-P.27 manusiagen yang biasanya diasingkan dalam mata dan testis. yang diklon dimasukkan ke dalam garis germinal tikus, tikus tersebut juga menderita spondilitisPelepasan antigen saja tidak cukup untuk menyebab-kan autoimunitas; inflamasi yang menyertai cedera ankilosa. Model ini memberikan bukti langsungjaringan penting pula untuk mengatur (upregulate)jalur kostimulator yang sangat penting untuk induksi adanya pengaturan genetik pada autoimunitas.suatu respons imun. Peranan pasti gen MHC dalam autoimunitas belum Pajanan Epitop-Sendiri yang Tersembunyi sepenuhnya jelas. Seperti yang telah dibahas sebelum-dan Penyebaran Epitop. Akhir-akhir ini telah di- ny4 alel MHC kelas II mungkin memengamhi penyaji-nyatakan bahwa \"pengasingan molekular\" antigen an peptida autoantigen kepada sel T. Sebaiknya diper-jauh lebih lazim daripada pengasingan anatomis. Oleh hatikan pula bahwa banyak pasien yang memiliki gen MHC yang berhubungan dengan kerentanan tidakkarena itu, tiap-tiap protein-sendiri mempunyai pernah menderita penyakit, dan sebaliknya, individu tanpa gen MHC yang sesuai dapat menderita penyakit.determinan antigenik (epitop) yang relatif sedikit yang Pengeluaran suatu gen MHC khusus bukanlah satu- satunya faktor yang dapat memudahkan induksidiproses secara efektif dan disajikan. Selama per- autoimunitas, dan gen yang berada di luar MHC secarakembangannya, sebagian besar sel T yang mampu jelas juga memengaruhi kecenderungan terhadapbereaksi dengan epitop dominan semacam itu di- adanya autoimunitas (misalnya, produksi sitokin, pro-musnahkan dalam timus ataupun menjadi anergik diperifer. Sebaliknya, sejumlah besar determinan-sendiri tease).tidak diproses sehingga tidak dikenali oleh sistemimun; jadi, sel T yangspesifik untuk epitop sendiri yang INFEKSI PADA AUTOIMUNITAS\" tersembuny i / r ahasia\" tersebut tidak dimusnahkan. Sejumlah mikroba, termasuk bakteri, mikoplasma,Hal itu berarti sel T semacam itu dapat menyebabkanpenyakit autoimun jika epitop rahasia tersebut kemu- dan virus, telah dikaitkan dalam pemicuan auto-dian disajikan dalam suatubentuk imunogenik. Dasar imunitas. Mikroba secara potensial dapat memicumolekular kerahasiaan epitop serta penyingkapan reaksi autoimun melalui beber apa carairahasia epitop tersebut tidak sepenuhnya dimengerti, r Virus dan mikroba lain, terutama bakteri tertentu,meskipun mungkin banyak hal yang harus dilakukan misalnya streptococci dan organisme Klebsiella,dengan kemampuan antigen untuk diproses oleh APC.Penguraian proteolitik parsial suatu antigen pada dapat menyerahkan epitop yang bereaksi-silanglokasi cedera jaringanhanyalah suatu mekanisme yang r kepada antigen sendiri.menghasilkan epitop rahasia. Antigen dan autoantigen mikrobia dapat saling Dalam setiap kejadian, telah menjadi dalil bahwa bergabung untuk membentuk satuan imunogeniktanpa memperhatikan pemicu awal respons imun(misalnya, infeksi mikroba yang bereaksi-silang, pe- dan melakukan pintas toleransi sel-T, seperti yanglepasan antigen yang terasing, kegagalan sel T r digambarkan sebelumnya.supresor), kemajuan serta kronisitas respons autoimun Beberapa virus (misalnya, EBV) dan produk bakteridipertahankan melalui rekrutmen sel T autoreaktif yang merupakan mitogen sel-T atau sel-B poliklonalmengenali determinan sendiri yang tersembunyi secara nonspesifik sehingga dapat menginduksi pem-normal. Induksi sel T autoreaktif semacam itu kadang- bentukan autoantibodi dan/atau menghentikankadang disebut sebagai penyebarnn epitop karenarespons imun \"menyebar\" ke detelminan yang pada r anergi sel T.mulanya tidak dikenali. Lrfeksi mikroba yang disertai nekrosis jaringan dan inflamasi dapat menggiatkan molekul kostimulator untuk mengistirahatkan APC dalam jaringan, sehingga rnembantu penghentian anergi sel T.-
144 . BAB 5 PENYAKIT IMUNITASr Respons peradangan lokal dapat mempermudah Lupus Eritematosus Sistemik (SLE, Systemic Luqus ErYtherna- penyajian antigen tersembunyi sehingga meng- tosus) induksi penyebaran ePitoP. Jelasnya, cukup banyak kemungkinan mekanisme SLE adalah suatu penyakit autoimr-rn multisisiemyang dapat menjelaskan bagaimana cara agen infeksius dengan manilestasi dan sifat yang sangat berubah-turut berperan dalam patogenesis atttoimtlnitas. ubah. Secara klinis, SLE merupakan snattt penyakitNamun, saat ini belum ada bukti yang secara jelas kambuhan, dan sulit diperkirakan dengan arvalmengaitkan setiap mikroba dengan penyakit autoimttn manifestasi )rang akut atatt tersamar yang sebenarnyapada manusia yang disebabkannYa' dapat menyerang setiap organ tubtlh; namun, penyakit Berbeda dengan latar bahasan ini, penyakit auto- ini terutama menyerang kulit, ginjal, membran serosa,imun sistemik akan dibahas tersendiri. Meskipun setiap sendi, dan, jantung. Secara imunologis, penyakit inipenyakit akan dibahas secara terpisah, akan tampak melibatkan stlsun an ar-rtoantib od i yang membin gung-jelas bahwa terdapat sangat banyak tun-rpang-tindihdalam gambaran klinis, serologis, dan morfologisnya. kan, yang secara klasik termasltk crt'ttibodi antintiltlenrYang dibahas dalam bab ini hanyalah pen1rall1 o.tro- (ANA). Gambaran klinis SLE sangat beragam danimun sistemik; penyakit autoimtin yang menyerang mempunyai sangat banyak kemiripan dengan pe- nyakit jaringan ikat autoimr-tn laimya (artritis rcmatoid,sattt sasaran lebih tepat dibahas dalam bab yang poliomielitis, d11.) sehingga perlu r-rntnk membuat kriteria diagnosisnya (Tabel 5-5). Jika seorang pasienberhubungan dengan organ khusus yang sestrai.TAbEI5.5. KRITERIAUNTUKKLASIFIKASILUPUSERITEMATOSUSSISTEMIKREVISITAHUNl99TKriteria Definisi1. Ruammalar Eritema tetap, datar atau meninggi, melebihi tonjolan malar, cenderung tidak mengenai lipatan nasolabialis2. Ruam diskoid Bercak eritematosa menonjol dengan skuama keratosis dan sumbatan folikel; parut atrofi dapat muncul3. Fotosensitivitas pada lesi yang lebih lama Ruam yang timbul akibat reaksi yang tidak biasa terhadap cahaya matahari, berdasarkan riwayat pasien4. Ulkus mulut atau pengamatan dokter5. Artritis Ulserasi mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diamati oleh dokter Artritis nonerosif yang mengenai dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri, bengkak, dan6. Serositis efusi pleuritis-adanya riwayat nyeri atau gesekan pleura yang meyakinkan yang didengar oleh dokter atau bukti adanya efusi Pleura alau perikarditis--diperhatikan melalui elektrokardiogram atau adanya gesekan atau bukti efusi perikard7. Gangguan ginjal Proteinuria perslsten >0,5 g/dL atau >3+ bila tidak dengan protein kuantitatif alau8. Gangguan neurologis Silindersel--{apat berupa sel darah merah, hemoglobin, granula, tubulus, atau campuran Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan metabolik yang diketahui, (misalnya, uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit) afau psikosis-tanpa aCanya gangguan akibat obat atau gangguan metabolik yang diketahui, (misalnya, uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)9. Gangguan hematologt Hnemia hemolitik--diserlai retlkulosis, a/au Leukopenia-<4,0 x 1 O'g/L (4000/mm3)total pada dua atau lebih pemeriksaan'1 0. Gangguan imunologi Limfopenia-<1,5 x 10s iL (1500i mm3) pada dua atau lebih pemeriksaan Trombositopenia-<.100 x 10s lL (100 x 103/mm3) tanpa adanya obat yang mengganggu11 . Antibodi antinuklear Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer abnormal atau Anti-Sm-adanya antiboditerhadap antigen nukleus Sm atau Antibodi antifosiolipid positif berdasarkan pada (1 ) kadar antibodi antikardiolipin lgG atau lgM serum yang abnormal, (2) uji positif antikoagulan lupus menggunakan uji standar, atau (3) u1i serologisifilis positif keliru yang diketahui positif paling tidak 6 bulan dan dikonfirmasi dengan imunomobilisasi Treponema paltidum atau uji absorpsi antibodi treponema fluoresen yang negatif Titer antibodi antinuklear abnormal melalui imunofluoresensi atau pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya obat yang diketahui berkaitan dengan sindrom lupus yang diinduksi obat * Klasifikasi yang diusulkan berdasarkan atas 11 kriteria. Untuktujuan identifikasi pasien pada penelitian klinis, seseorang dikatakanmenderita lupus eritematosus sistemik bila terdapat 4 atau lebih dari 11 kriteria, secara berturut-turut atau serentak, selama intervalpengamatan mana Pun. revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 25:1271, 1 982; and Dari Tan EM, et al: TheHochberg MC: Updating theAmerican college of Rheumatolgy revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus.Arlhritis Rheum 40:1725, 1 997.
menunjukkan empat atau lebih kriteria selama BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS ' 145obserrrasi, diagnosis SLE dapat ditegakkan. dikelompokkan menjadi empat kategori: (1) antibodi terhadap DNA, (2) antibodi terhadap histon, (3) anti- SLE adalah penyakit yang cukup lazim;prevalensi- bodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA, dan (4) antibodi terhadap antigen nukleolus.nya dalam populasi tertentu kira-kira 1 kasus per 2500 Pada Tabel 5-6 tercantum beberapa ANA dan hubr.rng- annya dengan SLE dan dengan penyakit autoimun iainorang. Seperti pada sebagian besar penyakit autoimun, yang akan dibahas kemudian. Beberapa teknik diguna-terdapat kecenderungan kuat bahwa penyakit ini kan untr\"rk mendeteksi ANA. Secara klinis, metode yangterjadi pada peremplran (kira-kira 9:1), yang menyerang paling sering digunakan adalah imunofluoresensi indirek, yang mendeteksi ber\"bagai macam antigen1 di antara 700 perempuan usia subur. Penyakit tersebut nukieus, termasuk DNA, RNA, dan protein (ANA generib, Pola fitroresensi nukleus menunjukkan jenislebih umum dan lebih berat menyerang orang kulit antibodi yang terdapat dalam serum pasien, dan di- kenal adanya empat pola dasar:hitam Amerika, yang pada I di antara 245 wanita I Pewarnaan homogen atau difus biasanva men-dalam kelompok ter:sebr-rt. Onset yang lazim adalah cerminkan antibodi terhadap kromatin, histon, danpada dekade kedr-ra atan ketiga, tetapi dapat puta terjadi DNA rantai ganda.pada setiap nsia, termasuk masa kanak dini. r Pola pervatrraan meiingkar atau perifer paling sering Etiologi dan Patogenesis. Kelninnn mendnsarpndn SLE odllah kegngalnn mempertnhnnlcsn tole- menunjukkan adanya antibodi terhadap DNA untai ganda.rsnsi-diri. Akibatnya, terdapat autoantibodi dalamjr-rmlah besar yang dapat mernsak jaringan secara r Pola bercak adalah pola yang paling nmum danlangsung atar.rplrn dalam bentr.rk endapan kompleksimun. Telah diidentifikasi bahwa antibodi tersebut menunjukkan adanya bercak yar-rg berukuranmelawan komponen nr-rklear dan sitoplasma selscorang pejamu yang tidak spesifik terhadap organ seragam atau berbeda-beda. Pola ini menggambar-atau spesies. Snatu kelompok lain antibodi diarahkan kan adanya antibodi terhadap unsur nnklelrs non-untuk melawan antigen permukaan sel Llnsllr darah, DNA, misalnya antibodi terhadap histon dan ribo-sementara yang lain diarahkan lrntuk melawan pro- nukleoprotein. Contohnya, antigen Sm, ribonukleo-tetn yang membentuk kompleks dengan fosfolipid protein (RNP), serta antigen SS-A dar-r SS-B (lihat(antibodi antifosfolipid [Bab 4]). Yang akan dibahas Tabel 5-6).pertama kali adalah spektrum autoantibodi, diikutidengan tinjauan singkat mengenai teori yang berllpaya r Pola nukleolar menggambarkan adanva sedikitmenjelaskan asal uslrlnya. bintik-bintik fhLoreser-rsi trallg terputns-putus di Antibodi Antinuklear (AItiA). ANA Ciarahkanuntr-rk melar'van beberapa antigen nr.rkletrs darn dapatTabel 5-6. ANTIBODI ANTI N UKLEAR PADA BERBAGAI PENYAKTTAUTOIM UN Penyakit, % Positif LE yang Sk/erosis Skleroderma Diinduksi Sistemik Terbatas Sindrom MiopatiSifat Antigen Sistem Antibodi Sjogren Radang SLF Obat -Difus -CRESr 50-80 40-60Banyak antigen nuklear ANA generik (lF indirek) (DNA, RNA, protein) >95 >95 70-90 <5 <5 Anti-DNA untai ganda <5 <5DNAasal Antihiston Eo-ob-l <s <5 Anti-Sm <5Histon s0-70 f'gt-lProtein inti padikel RNP nuklear SS-A (Ro) P0*3Ol <5 ribonukleoprotein SS-B (La) nuklear kecil (antigen Scl-70 3H0 € t3 10 <5 <5 Smith) AntisentromerRibonukleoprotein Jo-1 30-50 <5 € <5 l?0-55] 10 (ulRNP) 10-15 10*18 L-qo-wlFNP <5 <5FNP € t eo--l <q <5 <5 17B-?olDNAtopoisomerase I 22-36 <5 t-2s*lProtein sentromer <5Histidil{RNA sintetaseTulisan dalam kotak menunjukkan hubungan yang eratANA, antibodiantinuklear; lF, imunofluoresensi; LE, lupus eritematosus; RNP, ribonukleoprotein; SLE, lupus eritematosus sistemik
T146 BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS dalam nukleus yang memperlihatkan antibodi Faktor Nongenetik. Contoh yang paling jelas dari faktor nongenetik (misalnya, lingkungan) dalam me- terhadap RNA nukleolus. Pola ini paling sering mulai terjadinya SLE adalah adanya sindrom me- nyerupai lupus pada pasien yang meminum obat dilaporkan terdapat pada para pasien sklerosis tertentu, seperti prokainamid dan hidralazin. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati sistemik. dengan prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan Sebenamya uji imunofluoresensi ANA pada setiap menghasilkan ANA, disertai gambaran SLE yangpasien SLE positif sehingga uji tersebut sangat sensitif. muncul pada 15% hingg a 20o/o p asien tersebut. Ho r mon seks sepertinya juga menunjukkan pengaruh yang'Namun, uji ini tidak spesifik karena pasien dengan penting pada kejadian SLE; lihatlah kecenderunganpenyakit autoimun lain (dan 5%-15% orang normal) terjadinya penyakit yang lebih besar pada perempuan\"juga memberikan hasil yang positif (lihat Tabel5-6). Hal ini disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaatSelain itu, pola fluoresensi tidak mutlak spesifik untuk terhadap sintesis antibodi. Pajanan sinar ultravioletjenis antibodi, dan karena jumlah antibodinya amat merupakan faktor lingkungan lain yang memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sinar ultra-berlebihan, sering kali terdapat kombinasi yang violet dapat merusak DNA dan meningkatkan jejasbermacam-macam. Beberapa ANA yang penting secara jaringan yang akan melepaskan kandungan sel danklinis tercantum dalam Tabel5-6. Sebaiknya diperhati-kanbahwa terdapatnya antibodi terhadap DNA untai meningkatkan pembentukan kompleks imun DNA/ anti-DNA; kemungkinan lain, faktor ini dapat meng-ganda, atau terhadap antigen yang disebut antigen atur respons imun lokal dengan meningkatkanSmith (Sm), jelas diagnostik untuk SLE. produksi keratinosit IL-1. Pada banyak pasien ditemukan adanya antibodi Faktor Imunologis. Semua gambaran imunologisyang melawan sel darah, termasuk eritrosit, trombosit, yang ditemukan pada penderita SLE secara jelas mem-dan limfosit. Antibodi antifosfolipid terdapat pada beri petunjuk bahwa kekacauan mendasar pada sistem40%-50% pasien lupus dan bereaksi dengan beragam imunberlaku pada patogenesisnya. Namun, meskipunprotein yang membentuk kompleks dengan fosfolipid.Beberapa antibodi berikatan pada antigen kardiolipio terdapat bermacam-macam kelainan imunologis, baik pada sel-T maupun sel-B pada pasien SLE, sulit untukyang digunakan dalam uji serologis untuk sifilis, mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai pe- nyebab. Selama bertahun-tahun, hiperaktivitas sel-Bsehingga penderita lupus dapat memperoleh hasil uji intrinsik dianggap sebagai gambaran utama pato-positif-keliru untuk sifilis. Karena fosfolipid diperlukan genesis SLE; dalam kenyataannya, aktivasi sel-Buntuk penggumpalan darah, para pasien yang memiliki poliklonal dapat dengan mudah terlihat para pen-antibodi fosfolipid dapat pula menunjukka4 yji peng- derita SLE maupun pada lembu percobaan yanggumpalan in vitro yang memanjang, misalnya partia!thromboplastin time (Bab 12). Oleh karena itu, antibodi menderita SLE. Analisis molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda memberi petunjuk yang sangatini disebut sebagai \"antikoagulan lupus\" meskipun kuat bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih banyakpada kenyataannya pasien yang mempunyai antibodi berasal dari respons sel-B oligoklonal yang lebihtersebut berada pada keadaan protrombosis (sindrom selektif terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh,antibodi antifosfolipid [Bab ]). Pasien ini cenderung antibodi anti-DNA patogen pada pasien SLE adalah kationik (suatu gambaran yang berhubungan denganmengalami trombosis vena dan arte4 trombositopenia, deposisi dalam glomerulus ginjal), sedangkan antibodiserta abortus spontan berulang. anti-DNA yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal adalah anionik dan nonpatogen. Faktor Genetik. Bukti yang mendukung ke- Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas padacenderungan genetik terjadinya SLE mempunyai SLE telah beralih ke sel T helper CD4+, yang meng- hasilkan suatu gambaran patogenesis seperti ditunjuk-beberapabentuk. kan dalam Gambar 5-21. Namun demikian, sebaiknyaI Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar senantiasa diingat bahwa SLE merupakan suatu pe- nyakit heierogen; produksi autoantibodi yang berbeda monozigotik versus kembar dizigotik (1% hingga diatur oleh faktor genetik yang berbed a, dan tidaklahr 3%). mengejutkan bahwa gangguan imunoregulasi yang Anggota keluarga mempunyai risiko yang me- berbeda ditemukan pada pasien dengan latar belakang ningkat untuk menderita SLE, dan hingga 20% genetik danlatau profil autoantibodi yang berbeda pula. Mekanisme Jejas Jaringan. Tanpa mernperhati- pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis kan urutan pasti terbentuknya autoantibodi, yang jelas tidak terkena dapat menunjukkan adanya auto-lr antibodi. Pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara, terdapat hubungan positif antara SLE dan gen HLAr kelas II, terutamapada lokus HLA-DQ. Beberapa pasien lupus (sekitar 6%) mengalami defisiensi komponen komplemen yang diturunkan. Kekurangan komplemen mungkin akan meng- ganggu pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang me- nimbulkan jejas jaringan.
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS I 147 ] .11]'l::::: : : ]: :.=:::::: LE positif pada 70or' pasien SLE, pada saat ini hal tersebut sebagian besar hanya digunakan untuklndividu yang rentan secara gen€til kepentingan riwayat penyaki t.Gen yang terlibat: Sebagai rangkuman, SLE sdalnh suatu penyakitMHC kelas ll kompleks y ang p eny eb abny a multifnkt or ial ( t ermasukr1Klvormr rpylreemr! ersnr ': ::::aa:::::.::=:a:.:=:a faktor genetik, hormonnl, dan lingkungan), ysng meng-iruGen crkibotknn ektiaasi sel-T dsn sel-B yang berpuncak pada tidak h-rinde=nlifi kasi lainnya produksi beberapa j enis autoantibodi.Daya kendali sel T Tergantung CD4 (ReaKif terhadap peptida-diri) MORFOLOGI Froduksi autoaalibodi lgb,,.:,,, SLE merupakan suatu penyakit sistemik dengan mani- : Antigen-diri yang dikendalikan festasi yang bermacam-macam (lihat Tabel 5-5); $ frekuensi keterlibatan tiap-tiap organ ditunjukkan dalam : irinifestatt,*tinisJang. Tabel 5-7. Oleh karena itu, perubahan morfologis pada di perantaral autoahtlto-.di SLE sangat beragam dan bergantung pada sifat auto- antibodinya, jaringan tempat kompleks autoimunGamlrar 5-2'! tersebut mengendap, serta perjalanan dan lama penyakit. Perubahan morfologis yang paling khas di-Model patogenesis lupus eritematosus sistemik. (Dimodiflkasi dari akibatkan oleh pengendapan kompleks imun dalamKo2in BL: Systemic lupus erythematosus. Cell 65:303, 1996. Copy- berbagai jaringan.right 1996, Cell Press.) Vaskulitis nekrotikans akut yang menyerang arteriautoantibodi tersebut merupakan mediaior untuk jejasjaringan. Sebagian besar lesi viseral diperantarai oleh kecil serta arteriol dapat muncul pada setiap jaringan. Arteritis ditandai dengan nekrosis dan endapan fibri-kompleks imun (hipersensitivitas tipe III). Sebagaicontoh, kompleks DNA/anti-DNA dapat dideteksi noid di dalam dinding pembuluh darah yangdalam glomerulus. Terdapatnya kadar komplemen se- mengandung antibodi, DNA, fragmen komplemen, danrllm yang rendah yang disertai dengan deposit granula fibrinogen; sering pula ditemukan adanya infiltratdalam glomerulus lebih lanjut akan memberikan leukosit transmural dan perivaskular. Pada tahap kronis,dukungan terhadap sifat kompleks imun pada penyakit terjadi penebalan fibrosa pada pembuluh darah yangtersebut. Selain itu, autoantibodi yang melawan disertai penyempitan lumen.eritrosit, leukosit, dan trombosit akan memerantarai Serangan pada kulit terjadi pada sebagian besarefeknya melalui hipersensitivitas tipe IL Tidak ditemu- pasien; pada separuh pasien diamati terjadinya suatukan bukti bahwa ANA ierlibat dalam pembentukan erupsi eritematosa atau makulopapular di atas emi- nentia malaris dan jembatan hidung (\"pola kupu-kupu\").kompleks imun yang dapat merembes pada sel yangutuh. Namun, jikanukleus sel dikeluarkan,ANA dapat Pajanan terhadap sinar matahari (sinar ultraviolet)berikatan dengan inti sel tersebut. Dalam jaringan, Tabel 5-7. GAMBAMN KLINIS LUPUS ERTTEMATOSUS SISTEMIKnukleus sel yang mengalami kerusakan akan bereaksidengan ANA, kehilangan pola kromatinnya, dan men- Manifestasi Klinis Prevalensi pada Pasien (ol.)jadi homogen, untuk menghasilkan badsn LE atau Hematologi 100 Artritis 90badan hemotoksilin. Hasil hubungan in vitronya Kulit B5 Da.nam 83adalah sel LE-suatu neutrofil atau makrofagyang Mudah lelahtelah memakan nukleus yang berdenaturasi pada sel Penurunan berat badan B1lain yang mengalami jejas. Ketika darah diambil dan Ginjal OJdiaduk-aduk, sejumlah leukosit akan cukup rusaksehingga mengeluarkan nukleusnya terhadap ANA, Sistem saraf pusat 50disertai aktivasi komplemen sekunder; nukleus yang _ 50teropsonisasi oleh antibodi dan komplemen ini kemu- 40dian dengan mudah dapat difagosit. Meskipun uji sel Pleuritis 33 Mialgia .E Perikarditis Gastrointestinal 21 Fenomena Raynaud Okular 20 Neuropati perifer 1F 14
148 f BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS F.*:1.ei, F*\" e-*A1a:fl'\"sJ4+: !..::r:j-;.,!€g':, {-ssff,fff.-ffi*,\".j;i :.:s- -':,. *€t**;. ;\"q,_\" wt ftfrwi#@irlerei ;rGamhan 5-2? Endokarditis katup mitral Libman Sacks pada lupus eritematosus sistemik. Dapat terlihat dengan mudah vegetasi kecil yang melekat pada tepi daun katup, (Sumbangan dari Dr. Fred Schoen, DepafimentofPa- thology, Brigham and Women's Hospital, Boston.)Lupus eritematosus sistemik yang melibatkan kulit. A. Potongan Serangan pada SSP juga sangat umum terjadi, yangpewarnaan H & E menunjukkan degenerasi likuefaktif pada lapisanbasal epidermis dan edema pada dermoepidermal iunction. B disertai defisit neurologis fokal dan/atau gejalaPewarnaan mikrograf imunofluoresensi untuk lgG menunjukkan de-posit imunoglobulin di sepanjang dermoepidermal iunction. (A, neuropsikiatri. Namun, mekanismenya belum sepenuh-Sumbangan dari Dr. Jag Bhawan, Boston University School of Medi-cine, Boston; B. Dr. Richard Sontheimer, Deparlment of Dermatology, nya dimengerti. Cedera SSP sering kali dianggap se-University of Texas Southwestern Medical School, Dallas.) bagai penyebab vaskulitis SSP akut yang menimbulkan mikroinfark serebral multifokal, tetapi penilaian histo- akan memperburuk eritema (disebut dengan foto- logis gagal untuk menemukan adanya peradangan sensitivitas), dan ruam serupa dapat ditemukan di vaskular. Namun, pada pembuluh darah kecil ditemu- setiap tempat pada ekstremitas dan badan, sering kali kan proliferasi tunika intima noninflamatoris yang di- sebabkan oleh cedera endotel yang berasal dari anti- pada daerah yang terpajan sinar matahari. Secara histo- bodi antifosfolipid. Antibodi terhadap protein membran logis, terjadi degenerasi likuefaktif (pencairan) pada sinaps telah pula dikaitkan dengan penyebab muncul- lamina basalis epidermis, edema pada dermo- nya gejala SSP. epidermat junction, serta infiltrat mononuklear di se- Limpa dapat cukup membesar. Penebalan fibrosa keliling pembuluh darah dan bagian kulit (Gbr' 5-22A). kapsular lazim ditemukan, demikian pula hiperplasia Pemeriksaan mikroskop imunofluoresensi menunjuk- folikular yang disertai dengan sejumlah besar sel plasma dalam pulpa merah. Arteri penisiliaris sentralis kan pengendapan imunoglobulin dan komplemen secara khas menunjukkan penebalan dan fibrosis peri- pada dermoepidermal iunction (Gbr. 5-228); endapan vaskular, yang menghasilkan lesi-lesi seperti kulit imunoglobulin dan komplemen yang serupa dapat pula bawang (onion-skin). ditemukan pada kulit yang tidak terserang. Perikard dan pleura, secara khusus merupakan Serangan pada sendi sering kali terjadi, tetapi membran serosa yang menunjukkan berbagai macam biasanya tidak disertai dengan perubahan anatomis perubahan radang dalam SLE yang berkisar dari (pada atau deformitas sendi yang mencolok. Jika hal tersebut fase akut) efusi serosa hingga eksudat fibrinosa dan terjadi, akan ditemukan adanya pembengkakan dan berkembang menjadi opasifikasi fibrosa pada fase infiltrasi sel mononuklear nonspesifik pada membran sinovial. Erosi pada membran dan perusakan tulang kronis. rawan sendi, seperti yang terjadi pada artritis rematoid, sangat jarang terjadi. Serangan pada jantung terutama bermanifestasi dalam bentuk perikardiiis; miokarditis, dalam bentuk
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS T 149 €\"i hampir semua kasus SLE menunjukkan kelainan ginjal tertentu jika diperiksa dengan mikroskop elektron dan* imunofluoresensi. Menurut klasifikasi morfologis WHO, *f E dikenal adanya lima pola (tidak satu pun yang spesifik '.. & F tl, untuk SLE): kelas l-normal melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, elektron, dan imunofluoresen ,... %. (jarang); kelas ll-glomerulonefritis lupus mesangial;Nefritis lupus. Terdapat dua lesi nekrotikans fokal pada pukul 11dan 2. (Pewarnaan H & E.)(Sumbangan dari Dr. Helmut Rennke, kelas ll l-glomerulonefritis fokal ; kelas lV-glomerulo-Departmentof Pathology, Brigham and Women's Hospital, Boston.) nefritis proliferatif difus, kelas V-glomerulonefritisinfiltrat sel mononuklear nonspesifik, dapat pula ditemu- membranosa.kan, tetapi jarang. Lesi valvular, yang disebut dengan Glomerulonefritis lupus mesangial (kelas ll) terjadiendokarditis Libman-Sacks, juga terjadi, tetapi jarangditemukan karena penggunaan terapi kortikosteroid pada 20% kasus dan disertai gejala klinis yang ringan.yang agresif pada saat ini. Endokarditis verukosa non- Kompleks imun mengendap dalam mesangium, di-bakterial ini berbentuk endapan menyerupai veruka , sertai sedikit peningkatan pada matriks dan selularitas(kutil) iregular, berukuran 1-3 mm, yang jelas terlihatpada salah satu dari kedua permukaan daun katup mesang rum.(yaitu pada permukaan yang dilewati oleh aliran keluar- Gl omerulonefritis prol iferatif fokal (kelas Ill) terjadi pada kira-kira 25% kasus, dan sesuai dengan nama-nya darah atau pada sisi bawah daun katup) (Gbr. 5- nya, lesi hanya terlihat pada bagian kurang dari separuh23). Semakin banyak pula para pasien yang menunjuk- glomeruli. Secara khas, jika glomerulus tidak normal,kan gambaran klinis dan anatomis pada penyakit arte-ria koronaria. Dasar terjadinya aterosklerosis yang di- terdapat satu atau dua fokus di dalamnya danpercepat ini belum sepenuhnya dimengerti, tetapi menunjukkan adanya pembengkakan serta proliferasisepertinya disebabkan oleh berbagai faktor; kompleks sel endotel dan mesangium, infiltrasi oleh neutrofil, dan/imun pasti dapat mengendap dalam pembuluh darah atau endapan fibrinoid diseftai trombus kapiler (Gbr. 5-jantung dan menyebabkan kerusakan endotel melaluijalur tersebut. Selain itu, pengobatan glukokortikoid 24). Glomerulonefritis fokal biasanya hanya disertai pro-menimbulkan perubahan metabolisme lipid, sertapenyakit ginjal (lazim pada pasien SLE [dibahas teinuria dan hematuria mikroskopis ringan; suatu bentukkemudianl) yang menyebabkan hipertensi; keduanya peralihan menuju bentuk serangan ginjal yang lebih difus yang berkaitan dengan penyakit lebih berat.merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis (Bab Glomerulonefritis proliferatif difus (kelas lV)10). merupakan bentuk lesi ginjal yang paling serius dan Serangan pada ginjal merupakan salah satu paling sering ditemukan pada SLE, terjadi pada kira- kira separuh pasien. Sebagian besar glomerulus me-gambaran klinis terpenting pada SLE, dengan gagal nunjukkan adanya proliferasi endotel dan mesangiumginjal sebagai penyebab kematian yang paling sering. yang menyerang seluruh glomerulus, OIeh karena itu,Dalam hal ini, pusat perhatian adalah pada patologi terdapat hiperselularitas difus pada glomerulus (Gbr.glomerulus, meskipun lesi interstisial dan tubular juga 5-254), yang dalam beberapa kasus menghasilkan kumpulan epitel berbentuk sabit yang mengisi ronggaditemukan pada SLE. Bowman. Kompleks imun dapat terlihat dengan pe- Patogenesis semua bentuk glomerulonefritis pada warnaan antibodi fluoresen yang diarahkan untuk me- lawan imunoglobulin atau komplemen, yang menghasil-SLE melibatkan pengendapan kompleks DNfuanti-DNA kan pola pewarnaan fluoresen granular (lihat Gbr. 5-di dalam glomerulus. Kompleks ini akan membangkit- 148). Jika cukup luas, kompleks imun akan menebalkankan suatu respons peradangan yang dapat menyebab- seluruh dinding kapiler, menyerupai \"gulungan kawat\"kan proliferasi sel endotel, mesangium, dan/atau epitel, kaku pada pemeriksaan rutin dengan mikroskop cahayadan pada kasus yang berat, menyebabkan nekrosisglomerulus, Meskipun ginjal tampak normal dengan (Gbr. 5-258). Pemeriksaan mikroskop elektron akan menunjukkan adanya kompleks imun subendotel yangpemeriksaan mikroskop cahaya pada 25%-30% kasus, padat elektron (antara endotel dan membrana basalis; Gbr. 5-26). Pada waktunya, cedera glomerulus akan me- nimbulkan jaringan parut (glomerulosklerosis). Para pasien ini sangat simtomatis; sebagian besar meng- alami hematuria yang disertai dengan proteinuria sedang sampai berat, hipertensi, dan insufisiensi ginjal. Glomerulonefritis membranosa (kelas V) terjadi pada 15% kasus dan merupakan penanda penyakit glo- merulus yang ditandai dengan penebalan dinding kapiler yang meluas. Glomerulonefritis membranosa yang diserlai SLE sangat mirip dengan yang ditemukan pada glomerulopati membranosa idiopatik (Bab 1a). Penebalan dinding kapiler terjadi karena peningkatan pengendapan material yang menyerupai membran basalis serta akumulasi kompleks imun. Pasien yang mengalami perubahan histologis ini hampir selalr-t mengalami proteinuria berat yang disertai dengan sindrom nefrotik yang nyata (Bab 1a).
150 T BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS ;Garnliar 5-25Nefritis lupus. A. Tipe proliferatif difus. Perhatikan peningkatan selularitas yang tinggi diseluruh glomerulus. (Pewarnaan H & E). B.Nefritis lupus yang menunjukkan glomerulus dengan beberapa lesi\"wire loop\" yang menunjukkan deposit kompleks imun subendotelyang luas. (Pewarnaan asam periodik-Schiff.)(Sumbangan dari Dr. Helmut Rennke, Department of Pathology, Brigham and Women'sHospital, Boston.) Banyak organ dan jaringan lain dapatterserang. Per- wajah, demam, artritis, nyeri dada pleuritik, dan ubahan yang terjadi terutama adalah vaskulitis akut fotosensitivitas. Namun, pada banyak pasien, pembuluh darah kecil, fokus infiltrasi mononuklear, dan gambaran SLE tidak kentara dan membingungkan, endapan fibrinoid. Selain itu, pada paru dapat menunjuk- seperti demam yang tidak diketahui sebabnya, hasil kan adanya fibrosis interstisial, yang disertai dengan pemeriksaan urine yang abnormal, atau gambaran peradangan pleura; hepar akan menunjukkan pe- neuropsikiatrik, termasuk psikosis. Berbagai macam radangan nonspesifik pada saluran portal. gambaran klinis dapat menunjukkan serangan pada Gambaran Klinis. Diagnosis SLE dapat jelas ginjal, termasuk hematuria, silinder sel darah merah, proteinuria, dan dalam beberapa kasus ditemukanterlihat pada seorang perempuan muda dengan sindrom nefrotik klasik (Bab 1a). Gagal ginjal dapatgambaran ruam klasik menyerupai kupu-kupu pada terjadi, terutama pada pasien yang mengalami glomem- lonefritis proliferatif difus atau membranosa, atau keduanya. Dalam beberapa kasus, gangguan hema-Gambar 5-26 € r++_ j' :,, I i:-€, ==:!: =!i: ire-ir€: : -E€.'--E.'-. :::Gambaran mikrograf elektron q' d:'j.*a-a-:i=-:::=1e:'i*-'.=:':-::':i5--==r: ..-}.s$:lengkung kapiler glomerulus ginjal dari . := 1=;pasien lupus eritematosus sistemik. =+:::Deposii padat subendotel dapat di- ..samakan dengan \"wire loop\" yang .:.=!= :i-'- '. €+terlihat dengan mikroskop cahaya(lihat Gbr. 5-258). B, membran basa-lis; End, endotel; Ep, selepiteldenganpenonjolan kaki: Mes, mesangium;RBC, sel darah merah dalam lumenkapiler; US, ruang urine, *, depositpadat-elektron pada lokasi sub-endotel. (Sumbangan dari Dr. EdwinEigenbrodt, Depadment of Pathology,University of Texas SouthwesternMedical School, Dallas.)
lndividu yang rentan secara BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS ' 147Gen yang terlibat: LE positif pada 70\"t. pasien SLE, pada saat ini hal MHC kelas ll tersebut sebagian besar hanya digunakan untuk Komplemen kepentingan riwayat penyakit. Gen yang tidak ierindentifi kasi lainnya Sebagai rangkuman, SLE adalah suatu penyakit ko mpleks y nn g p eny eb abny a mul tifaktorial ( t ermasuk faktor genetik, hormonal, dan lingkungan), yang meng- nkibatksn aktiaasi sel-T dan sel-B yang berpuncak pada produksi beberapa j enis autoantibodi.Daya kendali:sel,T Tergantuhg CD4:lReaktif terhadap p.eptida'diri) MORFOLOGI ProdUksi autoantibodi lgG ,,: SLE merupakan suatu penyakit sistemik dengan mani- Antigen-diri yang dikendalikan festasi yang bermacam-macam (lihat Tabel 5-5); $ frekuensi keterlibatan tiaptiap organ ditunjukkan dalam :,Manifestasi klinis yang, Tabel 5-7. Oleh karena itu, perubahan morfologis pada dlperantarai antoantibodi SLE sangat beragam dan bergantung pada sifat auto-Gar'mbar 5-2'i antibodinya, jaringan tempat kompleks autoimun tersebut mengendap, serta perjalanan dan lamaModel patogenesls lupus eritematosus sistemik. (Dimodifikasi dari penyakit. Perubahan morfologis yang paling khas di-Ko2in BL: Systemic lupus erythematosus. Cell 65:303, 1 996. Copy- akibatkan oleh pengendapan kompleks imun dalamright 1996, Cell Press.) berbagai jaringan.autoantibodi tersebut merupakan mediator untuk jejas Vaskulitis nekrotikans akut yang menyerang arterijaringan. Sebagian besar lesi viseral diperantarai oleh kecil serta arteriol dapat muncul pada setiap jaringan.kompleks imun (hipersensitivitas tipe III). Sebagai Arteritis ditandai dengan nekrosis dan endapan fibri-contoh, kompleks DNA/anti-DNA dapat dideteksi noid di dalam dinding pembuluh darah yangdalam glomerulus. Terdapatnya kadar komplemen se-rum yang rendah yang disertai dengan deposit granula mengandung antibodi, DNA, fragmen komplemen, dandalam glomerulus lebih lanjut akan memberikan fibrinogen; sering pula ditemukan adanya infiltratdukungan terhadap sifat kompleks imun pada penyakit leukosit transmural dan perivaskular. Pada tahap kronis,tersebut. Selain itu, autoantibodi yang melawan terjadi penebalan fibrosa pada pembuluh darah yang disertai penyempitan lumen.eritrosit, leukosit, dan trombosit akan memerantaraiefeknya melalui hipersensitivitas tipe II. Tidak ditemu- Serangan pada kulit terjadi pada sebagian besarkan bukti bahwa ANA ierlibat dalam pembentukan pasien; pada separuh pasien diamati terjadinya suatu erupsi eritematosa atau makulopapular di atas emi-kompleks imun yang dapat merembes pada sel yang nentia malaris dan jembatan hidung (\"pola kupu-kupu\").ubuh. Namun, jikanukleus sel dikeluarkan,ANA dapat Pajanan terhadap sinar matahari (sinar ultraviolet)berikatan dengan inti sel tersebut. Dalam jaringan, Tabe| 5-7. GAMBAMN KLINIS LUPUS ERITEMATOSUSnukieus sel yang mengalami kerusakan akan bereaksi SISTEMIKdengan ANA, kehilangan pola kromatinnya, dan men- Manifestasi Klinis Prevalensi pada Pasien (o/ )jadi homogen, untuk menghasilkan bsdan LE atau Hematologi 100badsn hemstoksilin. Hasil hubungan in vitronya Artritis 90 Kulitadalah sel LE-suatu ner-rtrofil atau makrofag yang De\"r€m OAtelah memakan nukleus yang berdenaturasi pada sel Mudah Ielahiain yang mengalami jejas. Ketika darah diambil dan Penurunan berat badan B3diaduk-aduk, sejumlah leukosit akan cukup rusak Ginjal B1sehingga mengeluarkan nukleusnya terhadap ANA, 63disertai aktivasi komplemen sekunder; nukleus yang Sistem saraf pusat ,., 50teropsonisasi oleh antibodi dan komplemen ini kemu- 50dian dengan mudah dapat difagosit. Meskipun uji sel Pleuritis 4Ct Mlalgia 33 Perikarditis 25 Gastrointestinal 21 Fenomena Raynaud 20 Okular 15 Neuropati perifer 14
148. BAB 5 PENYAKIT IMUNITASGambar 5-22 Endokarditis katup mitral Libman Sacks pada lupus eritematosus sistemik. Dapat terlihat dengan mudah vegetasi kecil yang melekat pada tepi daun katup. (Sumbangan dari Dr. Fred Schoen, Department of Pa- thology, Brigham and Women's Hospital, Boston.)Lupus eritematosus sistemik yang melibatkan kulit. A. Potongan Serangan pada SSP juga sangat umum terjadi, yangpewarnaan H & E menunjukkan degenerasi likuefaktif pada lapisanbasal epidermis dan edema pada dermoepidermal junction. B. disertai defisit neurologis fokal dan/atau gejalaPewarnaan mikrograf imunofluoresensi untuk lgG menunjukkan de-posit imunoglobulin di sepanjang dermoepidermal junction. (A, neuropsikiatri, Namun, mekanismenya belum sepenuh-Sumbangan dari Dr. Jag Bhawan, Boston University School of Medi- nya dimengerti, Cedera SSP sering kali dianggap se- bagai penyebab vaskulitis SSP akut yang menimbulkancine, Boston; B. Dr. Richard Sontheimer, Department of Dermatology, mikroinfark serebral multifokal, tetapi penilaian histo-University of Texas Southwestern Medical School, Dallas.) logis gagal untuk menemukan adanya peradangan vaskular. Namun, pada pembuluh darah kecil ditemu- akan memperburuk eritema (disebut dengan foto- kan proliferasi tunika intima noninflamatoris yang di- sensitivitas), dan ruam serupa dapat ditemukan di sebabkan oleh cedera endotel yang berasal dari anti- setiap tempat pada ekstremitas dan badan, sering kali bodi antifosfolipid. Antibodi terhadap protein membran pada daerah yang terpajan sinar matahari. Secara histo- sinaps telah pula dikaitkan dengan penyebab muncul- logis, terjadi degenerasi likuefaktif (pencairan) pada nya gejala SSP. lamina basalis epidermis, edema pada dermo- epidermal junction, serta infiltrat mononuklear di se- Limpa dapat cukup membesar. Penebalan fibrosa kapsular lazim ditemukan, demikian pula hiperplasia keliling pembuluh darah dan bagian kulit (Gbr. 5-22A). folikular yang disertai dengan sejumlah besar sel Pemeriksaan mikroskop imunofluoresensi menunjuk- plasma dalam pulpa merah. Arteri penisiliaris sentralis kan pengendapan imunoglobulin dan komplemen secara khas menunjukkan penebalan dan fibrosis peri- pada dermoepidermal junction (Gbr. 5-228); endapan vaskular, yang menghasilkan lesi-lesi seperti kulit imunoglobulin dan komplemen yang serupa dapat pula bawang (onion-skin). ditemukan pada kulit yang tidak terserang. Perikard dan pleura, secara khusus merupakan Serangan pada sendi sering kali terjadi, tetapi membran serosa yang menunjukkan berbagai macam biasanya tidak disertai dengan perubahan anatomis perubahan radang dalam SLE yang berkisar dari (pada atau deformitas sendi yang mencolok. Jika hal tersebut fase akut) efusi serosa hingga eksudat fibrinosa dan terjadi, akan ditemukan adanya pembengkakan dan berkembang menjadi opasifikasi fibrosa pada fase infiltrasi sel mononuklear nonspesifik pada membran sinovial. Erosi pada membran dan perusakan tulang kronis. rawan sendi, seperti yang terjadi pada artritis rematoid, sangat jarang terjadi. Serangan pada jantung terutama bermanifestasi dalam bentuk perikarditis; miokarditis, dalam bentuk
150 T BAB 5 PENYAKIT IMUNITASGambar 5-25Nefritis lupus. A. Tipe proliferatif difus. Perhatikan peningkatan selularitas yang tinggi di seluruh glomerulus. (Pewarnaan H & E). B.Nefritis lupus yang menunjukkan glomerulus dengan beberapa lesi\"wire loop\" yang menunjukkan deposit kompleks imun subendotelyang luas. (Pewarnaan asam periodik-Schiff.)(Sumbangan dari Dr. Helmut Rennke, Department of Pathology, Brigham and Women'sHospital, Boston.) Banyak organ dan jaringan lain dapat terserang. Per- wajah, demam, artritis, nyeri dada pleuritik, dan ubahan yang terjadi terutama adalah vaskulitis akut fotosensitivitas. Namun, pada banyak pasien, pembuluh darah kecil, fokus infiltrasi mononuklear, dan gambaran SLE tidak kentara dan membingungkan, endapan fibrinoid. Selain itu, pada paru dapat menunjuk- seperti demam yang tidak diketahui sebabnya, hasil kan adanya fibrosis interstisial, yang disertai dengan pemeriksaan urine yang abnormal, atau gambaran peradangan pleura; hepar akan menunjukkan pe- neuropsikiatrik, termasuk psikosis. Berbagai macam radangan nonspesifik pada saluran portal. gambaran klinis dapat menunjukkan serangan pada Gambaran Klinis. Diagnosis SLE dapat jelas ginjai, termasuk hematuria, silinder sel darah merah,terlihat pada seorang perempuan muda dengan proteinuria, dan dalam beberapa kasus ditemukan sindrom nefrotik klasik (Bab 1a). Gagal ginjal dapatgambaran ruam klasik menyerupai kupu-kupu pada terjadi, terutama pada pasien yang mengalami glomeru- lonefritis proliferatif difus atau membranosa, atau keduanya. Dalam beberapa kasus, gangguan hema-Gambar 5-26Gambaran mikrograf elektronlengkung kapiler glomerulus ginjal daripasien lupus eritematosus sistemik.Deposii padat subendotel dapat di-samakan dengan \"wire loop\" yangterlihat dengan mikroskop cahaya(lihat Gbr. 5-258). B, membran basa-lis; End, endotel; Ep, sel epiteldenganpenonjolan kaki: Mes, mesangium;RBC, sel darah merah dalam lumenkapiler; US, ruang urine; *, depositpadat-elektron pada lokasi sub-endotel. (Sumbangan dari Dr. EdwinEigenbrodt, Depadment of Pathology,University of Texas SouthwesternMedical School, Dallas.)
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS I 151tologi yang telah disebutkan (lihat Tabel 5-5) dapat pergelangan kaki, lutut, pergelangan tangan, siku, danmerupakan gambaran yang muncul serta merupakan bahu. Secara klasik, sendi interfalang proksimal danmasalah klinis utama. ANA dapat ditemukan secaranyata pada 100% penderita, tetapi dapat pula metakarpofalang akan terserang, tetapi send i i nterfalangditemukan pada pasien penyakit autoimun lain;namun, adanya antibodi anti-DNA untai ganda distal tidak terserang. Jika terjadi pada aksial,dianggap sangat menunjang diagnosis SLE. Kadarkomplemen serum rendah, terutama akibat peng- serangannya terbatas pada vertebra servikalis bagianendapankompleks imun. atas; demikian pula, serangan pada sendi panggul sangat jarang terjadi. Secara histologis, sendi yang Perjalanan penyakit SLE sangat beragam. Walau- terserang menunjukkan sinovitis kronis, yang ditandaipun tanpa pengobatan, beberapa pasien mengalami dengan (1) hiperplasia dan proliferasi sel sinovial; (2)perjalanan penyakit yang relatif jinak yang hanya infiltrat sel peradangan perivaskuler padat (sering kalidisertai manifestasi pada kulit dan/atau hematuria. membentuk folikel limfoid) dalam sinovium yangDalam kasus yang jarang, perjalanan penyakitdemikian cepat hingga terjadi kematian dalam waktu tersusun atas sel CD4+, sel plasma, dan makrofag; (3)beberapa bulan saja. Penyakit tersebut paling sering peningkatan vaskularitas akibat angiogenesis; (4)ditandai dengan remisi serta relaps beqangka wakttt neutrofil dan agregat fibrin yang mengalami organisasi pada permukaan sinovial dan dalam ruang sendi; sertabeberapa tahun hingga beberapa puluh tahun. Serang-an akut biasanya dikendalikan dengan menggunakan (5) peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang diobat steroid atau imunosupresif lainnya. Secarakeseluruhan, dengan pengobatan yang digunakan bawahnya sehingga terjadi penetrasi sinovial dan erosipada saat ini, dapat diperkirakan angka kelangsungan tulang. Gambaran klasik adalah terdapatnya panus,hidup untuk 5 tahun adalah 90% dan untuk 10 tahunadalah 80%. Penyebab utama kematian adalah gagal yang dibentuk oleh sel epitel sinovial yang berproliferasiginjal, infeksi yang ikut menyerang, dan serangan pada dan bercampur dengan sel radang, jaringan granulasi,sistem saraf pusat yang difus. dan jaringan ikat fibrosa; pertumbuhan jaringan iniArtritis Rematoid sangat berlebihan sehingga membran sinovial yang Artritis rematoid (RA) adalah suatu penyakit biasanya tipis dan halus berubah menjadi tonjolan yangperadangan kronis sistemik yang menyerang berbagaijaringan, tetapi pada dasarnya menyerang sendi untuk banyak sekali, edematosa, dan menyerupai daun pakismenghasilkan suatu sinouitis proliferatif nonsupuratif (vilosa) (Gbr. 5-27). Pada peradangan sendi \"sempurna\"yang sering kali berkembang menjadi lcehnncurnn (full blown), biasanya akan muncul edema jaringan lunaktulang rau)an sendi dan tulang di bawahnya dnn periartikular, yang secara klasik pertama kali tampakmenimbulknn kecacatan akibnt artritis. Jika terjadi sebagai pembengkakan fusiformis pada sendi inter-serangan pada ekstraartikular-misalnya, pada kulit, falang proksimal. Dengan berkembangnya penyakii,jantung\" pembuluh darah, otot, dan paru-RA dapat tulang rawan sendi yang berdekatan dengan panusmenyerupai SLE atau skleroderma. mengalami erosi dan pada saatnya akan dihancurkan. RA adalah suatu kondisi yang sangat umum terjadi, Tulang subartikular dapat pula diserang dan mengalamidengan prevalensi kira-kua 7'/\"; penyakit ini tiga hinggalima kali lebih sering menyerang perempuan daripada erosi. Pada akhirnya, panus akan mengisi rongga sendi,lelaki. Insidens tertinggi terjadi pada dekade keduahingga keempat, tetapi tidak ada kelompok usia yang dan fibrosis dan kalsifikasi selanjutnya dapat me-kebal. Yang akan dibahas pertama kali adalah morfo- nyebabkan ankilosis permanen. Pada gambaran radio-loginya, sebagai latar belakang untuk membahas grafi terlihat efusi sendi serta osteopenia juksta-artikular yang disertai dengan erosi dan penyempitan ronggapatogenesisnya. sendi serta hilangnya tulang rawan sendi (Gbr. 5-28). Perusakan tendo, ligamentum, dan kapsul sendi me- MORFOLOGI nimbulkan deformitas yang khas, yaitu deviasi radial pergelangan tangan, deviasi ulnar jari-jari tangan, dan Artritis rematoid menyebabkan perubahan morfologis kelainan fleksi-hiperekstensi pada jari-jari tangan yang luas; perubahan terberat terjadi pada persendian. (deformitas leher-angsa I swan-neck), deformitas RA secara khas muncul sebagai artritis simetris, yang terutama menyerang sendi kecil pada tangan dan kaki, boutonnidre). Nodulus subkutan rematoid terjadi pada kira-kira seperempat dari para pasien, yang terjadi di sepanjang permukaan ekstensor lengan bawah atau pada tempat lain yang mudah terkena tekanan mekanis; nodulus ini jarang terbentuk dalam paru, limpa, jantung, aorta, dan organ visera lainnya. Nodulus rematoid adalah massa yang kenyal, tidak nyeri tekan, oval atau bulat, berdiameter mencapai 2 cm. Secara mikroskopis, nodu- lus ini ditandai dengan suatu fokus sentral nekrosis fibrinoid yang dipagari oleh suatu palisade makrofag, yang kemudian akan dikelilingi oleh jaringan granulasi (Gbr.5-29). Pasien dengan penyakit erosif berat, noduius rema- toid, serta titer faktor rematoid yang tinggi (lgM dalam sirkulasi yang mengikat lgG [dibahas kemudian]) berisiko mengalami sindrom vaskulitis; vaskulitis nekrotikans akut dapat menyerang arteri kecil atau besar. Serangan pada serosa dapat muncul sebagai pleuritis fibrinosa atau perikarditis atau keduanya sekaligus.
152 | BAB 5 PENYAKIT IMUNITASr .- 1..Artritis rematoid. A. Pembesaran kecil .:.'..:menunjukkan hipedrofi dan hiperplasiasinovium yang nyata disertai pembentuk-an vili. B. Pada pembesaran yang lebihbesar, terlihat jaringan subsinovium yangmengandung agregat limfosit padat. ':i;. i - .t' .rjr:'f\"'1 \" . :iir.i1, t:€.,1+:i:i; Parenkim paru dapat dirusak oleh fibrosis interstisial dan bahwa peradangan sendi yang muncul progresif. Pada beberapa kasus, perubahan pada mata, misalnya uveitis dan keratokonjungtivitis (mirip dengan diperantarai oleh imun; namun, agen penyebab dan yang terjadi pada sindrom Sjdgren [dibahas kemudian]) saling pengaruh antara faktor genetik dan lingkr-rngan dapat timbul mencolok. yang tepat masih belum din-rengerti. Patogenesis. Terdapat sedikit keragr-ran bahr,r,a Dinyatakan bahrva pc.nyakit ini diawali-padaterdapat kecenderr-rngan genetik r-rntuk terjadinya RA seseorang yang mempLlnyai kecenderLl ngan genetik- oleh aktivasi se1 T helper yang memberikan respons terhadap beberapa agen artritogenik, rnungkin mikroba. Kemr-rdian, sel CD4+ yang diakti,,'asi menghasilkan sitokin 1'ang;rkan (1) mengaktifkan makrofag dan sel lain dalam rongga sendi, melepaskan enzim degradatif I :i. ilil ll,il i 5 .'.]|lArtritis rematoid. A. Penyakit dinl, paling nyataterlihat pada sendi metakarpofalang ll, dimanaterdapat penyempitan rongga sendidan erosi mar-ginal pada sisi ulnar dan radial falang proksimal(rnsef). 8. Penyakit yang lebih lanjut disertai denganhilangnya rawan sendi, penyempitan rongga sendipada seluruh sendi kecil, dan deviasijari ke sisiulna. Terdapat dislokasi pada falang proksimaljarill, lll, dan lV karena penyakit sendi Ianjut.(Sumbangan dari Dr. John O'Connor, Boston Uni-versity Medical Center, Boston.)
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS I 153Gambar 5-29 banyak mengandung sitokin, baik yang berasal dari limfosit maupun yang berasal dari makrofag. AktivitasNodulus rematoid subkutan dengan adanya daerah nekrosis (atas) sitokin ini berperan pada berbagai gambaran yangyang dikelilingi oleh makrofag sepedi palisade dan adanya sel mllnclrl pada sinovitis rematoid; tidak hanya sitokinradang kronik yang tersebar. ini yang bersifat proinflamasi, tetapi IL-1 dan TGF-cr, misalnya menyebabkan proliferasi sel sinovial dandan faktor lain yang menimbulkan peradangan dan fibroblas. Sitokin ini juga merangsang sel sinovial dan(2) mengaktifkan sel B, yang menghasilkan antibodi, kondrosit untuk menyekresi enzim proteolitik dan enzim pendegradasi matriks. Belum lama ini, telahbeberapa di antaranya diarahkan untnk melawan terlihat pula bahwa sel T yang aktif dalam lesi RA akankomponennya sendiri. Sinovium rematoid sangat mengeluarkan ligan RANK dalam jumlah yangberarti (Bab 21). Seperti yang pernah dibahas dalam pem- bahasan lain, ligan RANK akan mengindr,rksi diferen- siasi dan aktivasi osteoklas dan dapat berperan sangat penting dalam resorpsi tulang seperti yang terjadi pada Iesi destruktif dari RA. Dalam kaidah skema rlmllm ini, peranan faktor genetik, sel T, sitokin, se1 B, dan agen infeksius sudah dapat dibahas (Gbr. 5-30). Faktor genetik dalam patogenesis RA ditunjukkan melalui peningkatan frekuensi penyakit ini di antara kerabat Lingkat pertama dan terdapat angka kesesrlaian yang tinggi pada kembar monozigotik; terdapat pula keterkaitan yang tinggi antara HLA-DR4 dan/atau HLA-DR1 dengan RA. Yang menarik adalah alel DR yang berhubungan dengan kerentanan tersebut me- nyumbangkan snatu jajaran empat asam amino,yangAntigen (? mikrobaMHC kelas ll(Kerentanan genetik) Sel T CD4+ €:=k= Aktivasi ll\ Aktivasi Gambar 5-30 t =<H€,:€: sel B makrofag Sitokin Aktivasi endotel .J:€' lmunopatogenesis arlritis rematoid t I I =#+ I Pembentukan Ifaktor rheumatoid 5i;l#e!=!:+= I + a €;:-' j= =€51:=== Pengeluaran Pembentukan molekuldan pengendapan + adhesi kompleks imun Sitokin I I I Akumulasi I sel-sel radang + Fibroblas Kondrosit Sel sinovial - Pembentukan panus, destruksi tulang, tulang rawan, fibrosis, ankilosis
154. BAB 5 PENYAKIT IMUNITASdiletakkan pada celah pengikatan antigen pada Perjalanan klinis RA sangat beragam. Pada sebagianmolekul DR. Jadi, molekul DR tertentu dapat memudah- kecil pasien, penyakit ini dapat menjadi stabil ataukan terjadinya RA melalui kemampuannya mengikat bahkan dapat berkurang; sebagian besar pasien lainantigen artritogenik terpilih, yang kemudian akan mengalami perjalanan penyakit yang remiten-relapsmengaktivasi sel T helper dan mengawali proses dan kronis. Setelah 15-20 tahun, sebagian besar pasien mengalami artritis destruktif dan kelainan bentuk yangpenyakit. memerlukan penggantian sendi secara operatif. Harap- an hidup akan berkurang dengan rerata 3-7 tahun. Sel T berperan penting dalam patogenesis RA, RA merupakan penyebab penting amiloidosis reaktiftermasuk mengarahkan aktivasi sekunder endotel (dibahas kemudian), yang terjadi pada 5% hinggal0%(untuk memudahkan rekrutmen sel inflamasi), makro- pasien, khususnya pada mereka yang menderita penyakil. berat dalam jangka wakfu lama.fag, dan osteoklas (seperti yang sudah dibahas). Sel B(yang diaktivasi oleh sel T) penting juga. Pada kira- ARTRITIS REMATOID JUVENILISkira 80% pasien, faktor rematoid (RF)-autoantibodiIgM (dan untuk lingkup yang lebih kecil,IgG) yang RA juvenilis (jRA) menunjukkan artritis idiopatik kronis yang terjadi pada anak-anak. JRA bukan meru-diarahkan untuk melawan bagian Fc dari IgG- pakan penyakit tunggal, tetapi kelompok gangguan heterogen, yang sebagian besar berbeda secara ber-terdapat dalam serum dan cairan sinovial. Masih belum makna dengan RA pada dewasa, kecuali untuk sifatjelas mengapa dibentuk antibodi yang melawan IgG destruktif artritisnya. RF dan nodulus rematoid secara khusus tidak ditemukan. Yang dapat ditemukanautolog. RF dalam sirkulasi diduga terlibat dalam adalah manifestasi peradangan ekstraartikular, misal- nya uveitis. Beberapa varian akan menyerang sendiberbagai manifestasi ekstraartikular dari RA, dan RF yang lebih besar dalam jumlah yang relatif sedikit, seperti lutut, siku, dan pergelangan kaki, sehinggasendi turutberperan pula pada reaksi peradanganpada disebut sebagai pausiartikular. Beberapa kasus JRA dihubungkan dengan IHLA-B27, dan gambarantempat tersebut. RF dan IgG membentuk kompleks imun klinisnya bertumpang tindih dengan spondiloartropatiyang mengikat komplemen, menarik neutrofil, dan yang akan dibahas kemudian. Suatu varian, yangmenimbulkan cedera jaringan karena reaksi hiper- dahulu disebut sebagai penyakit Still, mempunyai on- set berupa manifestasi demam akut dan mempunyaisensitivitas tipe III. Perlu diperhatikanbahwa RF tidak manifestasi sistemik, termasuk leukositosis (15.000-selalu ada (tidak ditemukan pada 20% pasien RA), 25.000 sel/ pL), hepatosplenomegali, limfadenopati,kadang-kadang ditemukan pada status penyakit dan ruam.lainnya (bahkan pada orang yang sehat), dan mungkin Spondiloa rtropati Seronegatiftidak penting sebagai penyebab RA. Selama bertahun-tahun, beberapa entitas dalam Akhirnya, terdapat agen infeksius yang sulit kelompok gangguan ini dianggap sebagai varian RA;dipahami yang antigennya mengaktivasi selT. Banyakagen yang telah diperkirakan, tetapi tak satu pun yang namun, melalui penelitian klinis, morfologis, danterbukti. Agen yang diperkirakan adalah EBV, spesies genetik yang cermat, gangguan ini telah dapat dibeda-Borrelia, spesies Mycoplasma, parvovirus, dan kan dengan RA. Spondiloartropati ditandai denganmikobakterium. Meskipun kertrsskan sendi pada RA berbagai gambaran seperti berikut:berasal dari imun dan tampaknyn terjadi pada indiuidu r Perubahan patologis yang lebih sering bermula padayang mempunyai kecenderungan secara genetik,pemicu tepat ynng memulai reqksi ini masih belum perlekatan ligamentum ke tulang daripada dalamdiketnhui. sinovium Perjalanan Klinis. Meskipun RA pada dasarnya r Keterlibatan sendi sakroiliaka, dengan/tanpamerupakan suatu artritis poliartikular simetris, dapat ! artritis dalam sendi perifer lainnyapula ditemukan gejala konstitusional, seperti lemah, Tidak ditemukannya RF (sehingga diberi namamalaise, dan demam ringan. Manifestasi sistemik spondiloartropati \"seronegatif \")tersebutbanyak disebabkan oleh mediator yang samadengan yang menyebabkan peradangan sendi (misal- r Berhubungan dengan H'LA-B27nya, IL-1 dan TNF). Artritis muncul pertama kali secarasamar/ dengan rasa nyeri dan kaku sendi, terutama Kelompok gangguan ini meliputi beberapa sub-pada pagi hari. Sejalan dengan perkembangan pe- kelompok klinis, yang bentuk dasarnya adalah spondilitis ankilosa (Tabel 5-8). Gangguan lainnyanyakit, sendi membesar, gerakan sendi menjadi adalah sindrom Reiter, artritis psoriatik, spondilitisterbatas, dan pada saatnya akan muncul ankilosis yanglengkap. Serangan vaskulitis pada ekstremitas dapat yang disertai penyakit radang perut, dan artropatimenimbulkan fenomena Raynaud (hlm. 158) dan ulkuskronis pada kaki. Serangan multisistem tersebut harusdibedakan dengan SLE, skleroderma, poliomiositis,dermatomiositis, dan penyakit Lyme, serta bentuk lainartritis. Hal yang akan membantu dalam menegakkandiagnosis yang benar adalah (1) gambaran radiografiyang khas (lihat Gbr. 5-28); (2) cairan sinovial yangsteril dan keruh disertai dengan penurunanviskositas,pembentukan bekuan musin yang buruk, dan neutrofilpembawabadan inklusi; dan (3) RF (pada 80% pasien).
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS T 155Tabel 5-8. BEBERAPA GAM BARAN SPO N D I LOARTROPAT IGambaran Spondilitis Sindrom Reiter Artritis Psoriatik Spondilitis yang Artropati Reaktif Disertai PenyakitHLA-827 Ankilosa B0o/o 20-50o/o B0%Sakroiliitis Sering Radang Perut Sering 95o/o Sering Bagian atas>bagian Bagian bawah>Persendian perifer Biasanya bagian 50% selalu bawah Sering bagian atasUveitis Bagian bawah> bawah Bagian bawah>Konjungtivitis +Uretritis bagian atas ++ + bagian atasKeterlibatan kulit (sering) +Keterlibatan mukosa + + :. + + + + ** +Dimodifikasi dari Wyngaarden J, et al: Cecil Textbook of Medicine, 1 9th ed. Philadelphia, WB Saunders, 1992, p 1517 .reaktif pascainfeksi (misalnya, infeksi Yersinin spp., konjungtiaitis sikka) dan mulut k ering (xerostomia) yangShigella spp., Salmonella spp., Helicobacter spp., atau diakibatkan oleh perusakan kelenjar lakrimal danCampylobacter spp.). Sakroiliitis merupakan mani- kelenjar saliva yang diperantarai oleh imun. Sindromfestasi umum pada semua gangguan ini; gangguan ini ini merupakan gangguan tersendiri (bentuk primer),berbeda dengan serangan sendi perifer tertentu, serta yang jr.rga dikenal sebagai sindrom sikks, atau Iebthberbeda dengan manifestasi ekstraskeletal yang sering dihubungkan dengan penyakit autoimun lainmenyertai (misalnya, uretritis, konjungtivitis, dan uvei-tis adalah khas untuk sindrom Reiter). Meskipun @entuk sekunder). Di antara gangguan yangmenyertai, RA adalah yang paling sering terjadi, tetapi beberapainfeksi pemicu dan mekanisme imun dianggap penderita mengalami SLE, polimiositis, sklerosispenyebab sebagian besar spondiloartropati seronegatif, sistemik, vaskulitis, atau tiroiditis.patogenesisnya masih belum jelas. Etiologi dan Patogenesis. Beberapa pembuktianSindrom Sjcigren menunjukkan bahwa sindrom Sjogren merupakan Sindrom Sjogren adalah suatu entitas kliniko- suatu penyakit autoimun yang target utamanya adalahpatolcigis yang ditandai dengan mata kering (kernto- sel epitel duktus kelenjar eksokrin. Namun demikian, terdapat pula hiperaktivitas sel-B sistemik, seperti yang dibuktikan dengan adanya antibodi antinuklear danGambar 5-31Sindrom Sjdgren. A. Pembesaran kelenjar saliva. B. Gambaran histologis menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma yang hebat disertaihiperplasia epitel duktus. (A, Sumbangan dari Dr. Richard Sontheimer, Department of Dermatology, University of Texas SouthwesternMedical School, Dallas; B, Sumbangan dari Dr. Dennis Burns, Department of Pathology, Universiiy of Texas Southwestern MedicalSchool, Dallas.)
156 I BAB 5 PENYAKIT IMUNITASRF (walaupun tanpa disertai RA). Sebagian besar limfosit (lihat Gbr. 5-31). Manifestasi ekstraglandular-pasien sindrom Sjogrerr primer mempunyai auto- nya, yaitu sinovitis, fibrosis paru, danneuropati perifer.antibodi terhadap antigen SS-A (Ro) dan SS-B (La) Kira-kira 60% pasien Sjogren disertai dengan gangguanribonukleoprotein (RNP); perhatikan bahwa antibodiini terdapat pula pada beberapa pasien SLE sehingga atrtoimnn lnin seperti RA. Yang menarik adalahtidak bersifat diagnostik untuk sindrom Sjogren (lihatTabel 5-6). Meskipun para pasien dengan titer antibodi terdapat peningkatan risiko sebesar 4O-kali lipat untukanti-SS-A yang tinggi lebih mungkin untuk mengalami menderita limfoma sel-B non-Hodgkin, yang munculmanifestasi sistemik (ekstraglandular), tidak terdapat pada keadaan proliferasi se1-B poliklonal awal yangbukti bahwa autoantibodi tersebut menyebabkan jejas baik. Inilah yang disebut dengan limfoma zona mar-iaringan primer. ginal (limfoma MALT) yang akan dibahas dalam Bab 72. Fnktor genetikberperan dalam patogenesis sindromSjogren. Seperti pada SLE, molekul MHC ll tertentLr yang Sklerosis Sistemik (Skleroderma)diturnnkan akan memudahkan munculnya auto-antibodi RNP yang spesifik. Serupa dengan SLE pula, Meskipun biasanya disebu t sk/er o d erm n, ganggLlanpenyakit tersebut mungkin diawali dengan hilangnya ini lebih baik diberi nama sklerosis sistemik (SS) karenatoleransi dalam populasi sel-T CD4+, meskipr-rn sifat ditandai dengan fibrosis yang berlebihan di seluruhautoantigen yang dikenali sulit dipahami. tubuh dan tidak hanya pada kulit. Meskipun serangan MORFOLOGI pada kulit merupakan gejala yang biasa timbr\"rl dan pada akhirnya mtrncul pada kira-kira 95ok kasns, Kelenjar lakrimal dan kelenjar saliva merupakan target penyebab utama morbiditas dan mortalitas adalah utama, tetapi kelenjar sekretoris lain, termasuk yang karena keteriibatan organ dalam-pada saluran pen- berada di nasofaring, saluran napas atas, dan vagina, dapat pula terkena. Jaringan yang terkena menunjukkan cernaan, paru, ginjal, jantung, dan otot rangka. SS pa- adanya infiltrat limfosit (terutama sel T CD4+ aktif) dan ling sering terjadi pada usia dekade ketiga hingga sel plasma yang hebat, yang kadang-kadang mem- kelima dan mengenai perempuan tiga kali lebih sering bentuk folikel limfoid dengan sentrum germinativum. daripada lelaki. Gambaran ini disertai dengan perusakan arsitektur asli- nya (Gbr. 5-31). Berdasarkan perjalanan klinisnya, SS dapat diklasi- fikasikan menjadi dua kelompok: Perusakan kelenjar lakrimal menyebabkan ber- kurangnya air mata, sehingga epitel kornea menjadi Skleroderma difus, ditandai awalnya dengan mengering, diikuti dengan peradangan, erosi, dan ulse- serangan pada kulit yang meluas, dengan per- rasi (keratokonjungtivitis). Kejadian serupa dalam mukosa mulut dapat terjadi karena hilangnya pe- kembangan yang cepat dan serangan dini pada or- ngeluaran kelenjar saliva sehingga menimbulkan atrofi gan dalam. mukosa, disertai dengan fisura yang meradang dan Skleroderma limitans, dengan serangan pada kulit ulserasi (xerostomia). Kekeringan dan pembentukan yang relatif minirnal, sering kali hanya terbatas pada krusta pada hidung dapat menyebabkan ulserasi dan jari-jari tangan dan wajah. Serangan pada organ bahkan perforasi septum nasalis. Jika mengenai salur- dalam te{adi secara lambat sehingga penyakit pada an pernapasan, dapat muncul laringitis sekunder, pasien ini pada Llmumnya mempunvai perjalanan bronkitis, dan pneumonitis. Kira-kira 25% pasien (ter- yang agak jinak. Penyakit ini disebr\"rt pula dengan utama pada mereka yang mempunyai antibodi anti-SS- sindrom CREST karena sering kali menr-rn;'ukkan adanya gambaran calsinosis, fenomena Raynaud, A) mengalami penyakit ekstraglandular yang menyerang sistem saraf pusat, kulit, ginjal, dan otot. Lesi pada ginjal dismotilitas e sof agus, sklerodaktili, dan akan berbentuk nefritis interstisial ringan yang disertai felangiektasia. dengan gangguan transportasi tubulus; tidak seperti SLE, glomerulonefritis jarang terjadi. Etiologi dan Patogenesis. Aktivasi fibroblas Perjalanan Klinis. Kira-kira 90% kasus sindrom disertai fibrosis yang berlebihan merupakan penandaSjogren terjadi pada perempuan yang berusia antara SS. Penyebab tidak diketahui, meskipun penyakit ini dikaitkan dengan aktivasi abnormal sistem imun dan35 dan 45 tahun. Pasien mengalami mulut kering, jejas mikrovaskular danbukan karena suabu ganggllanberkurangnya air mata, serta komplikasi yang intrinsik fibroblas atau sintesis kolagen. Interaksi antara sel T, jejas endotel, dan aktivasi fibroblas ter-diakibatkannya seperti yang baru saja digambarkan.Kelenjar saliva sering kali membesar akibat infiltrat gambar pada Gambar 5-32. Dinyatakan bahwa sel CD4+ yang memberikan respons terhadap antigen yang hingga saat ini belum teridentifikasi, berakumulasi dalam kulit dan melepas- kan sitokin yang mengaktifkan sel mast dan makrofag; kemudian sel ini akan melepaskan sitokrn fibrinogenik, seperti IL-1, TNF, PDCF, TCF-p, dan faktor perbr-rmbuh- an fibroblas. Kemungkinan sel T aktif yang mungkin berperan dalam patogenesis SS didukung oleh suatu
, BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS T 157 PEMICU mungkinan plrla bahwa jejas endotel bukan merlrpa- ') kan kejadian utama; tetapi, sel endotel diinduksi LlntukI Respons imun 7z Faktor nonimun? melepaskan PDGF dan faktor kemotaksis fibroblas pada I I saat aktivasi sel T. Jadi, suatu kelainan imunologis primer dapat merupakan penyebab terdekat, baik ke- V rusakan vaskular manpun fibrosis. Tanpa memperhati- kan penyebab jejas, telah dinyatakan bahwa sikh-rs ke- Aktivasi sel T ----------> rusakan endotel berulang yang diikuti oleh agregasi trombosit menimbulkan pelepasan faktor trombosit i| .,,o*'n (misalnya, PDGF, TGF-a). Faktor inl memicu fibrosis periadventisia dan cedera iskemik akhir yang disebab- Rekrutmen sel mast kan oleh penyempitan pembuluh darah kecil yang dan makrofag mehras. +Aktivasi fibroblas + Aktivasi dan MORFOLOGI agregasi trombosit Setiap organ sebetulnya dapat terserang SS, tetapi I perubahan yang paling mencolok ditemukan pada kulit, sistem muskuloskeletal, saluran pencernaan, paru, V ginjal, dan jantung. Penyempitan dan penebalan oembuluh darah kecilGambar 5-32 KULIT. Sebagian besar pasien mengalami atrofi kulit yang sklerotik dan difus, biasanya dimulai pada jariGambaran skematik berbagai kemungkinan mekanisme yang dapat tangan dan regio distal ekstremitas superior dan me-menyebabkan sklerosis sistemik. FGF, fibroblast growth factor, luas ke proksimal untuk menyerang lengan atas, bahu,PDGF, platelet-derived g rov'rth facto r. leher, dan wajah. Pada tahap awal, daerah kulit yang terserang agak edematosa dan mempunyai konsistensipengamatan bahwa beberapa gambaran penyakit ini yang liat. Secara histologis, terdapat edema dan infiltrat(termasuk sklerosis kutan) terlihat pada GVHD kronis,yaitu suatu gangguan yang disebabkan oleh aktir.asi perivaskular yang mengandung sel T CD4+. Padasel T yang terus-menerus pada resipien transplansrlmsrlm tulang allogenik. Aktivasi sel-B juga terjadi, kapiler serta pembuluh darah kecil (berdiameter hinggaseperti yang ditunjukkan oleh adanya hipergama- 500pm) dapat terlihat penebalan lamina basalis, ke-globulinemia dan ANA. Meskrpun imr-rnitas humoral rusakan sel endotel, dan penyumbatan parsial. Dengantidak berperan secara bermakna dalam patogenesis SS, berjalannya penyakit, fase edematosa tersebut diganti-drra dari ANA tersebtrt bersi[at lebih atau kLrrang khas kan oleh fibrosis progresif pada dermis, yang akan melekat erat dengan struktur subkutan. Dalam dermisunttik SS, sehingga berguna untuk diagnosis (lihat terjadi peningkatan kolagen padai yang nyata bersama-Tabel5-6). Salah salu ANA ini-yang diarahkan unluk sama dengan penipisan epidermis, atrofi jaringan pendukung dermis, serta penebalan hialin pada dindingmelawan DNA topoisomerase I (cmti-Scl 7])-sangat kapiler dan arteriol dermis (Gbr. 5-334). Kalsifikasispesifik; ANA ini terdapat pada 70\"k pasien sklero- subkutan fokal dan kadang-kadang difus dapat terjadi, terutama pada penderita sindrom CREST. Pada tahapderma difus (dan pada kurang d ari 7'/o pasien penyakit lanjut, jari tangan berbentuk meruncing dan menyerupaijaringan ikat lain) dan merupakan penanda untuk cakar yang disertai dengan keterbatasan gerak padapasien yang mungkin menderita penyakit yang lebih sendi (Gbr. 5-338), dan wajah menjadi seperti topeng.agresif dengan fibrosis paru dan patologi pembuluh Hilangnya pasokan darah dapat menyebabkan ulserasidarah perifer. ANA lainnya merupakan suattt nntibodi kulit dan perubahan atrofik pada ruas terakhir jari,nntisentromer, yang ditemukan pada 90'k pasien termasuk autoamputasi.skleroderma limitans (yaibLr sindrom CREST); penyakiL-nya menunjukkan suatu perjalanan yang relatif jinak. TRAKTUS GASTROINTESTINAL. Serangan pada traktus gastrointestinal terjadi pada kira-kira 90% pasien. Atrofi Penyakit mikrovaskular juga muncul secara konsis- progresif serta penggantlan otot oleh fibrosa kolagenten dalam perjalanan awal SS, meskipun faktor yang dapat terjadi pada setiap tingkatan usus tetapi yangmendorong teqadinya jejas jaringan masih pelik. Ke- terberat terjadi pada esofagus, yang pada bagian dua pertiga bawahnya sering kali mengalami kekakuan menyerupai pipa karet. Disfungsi sfingter esofagus in- ferior yang menyertainya akan menimbulkan refluks gastrointestinal beserta komplikasinya, termasuk meta- plasia Bdrret (Bab 15) dan striktura. Mukosa akan menipis dan dapat mengalami ulserasi, dan terjadi kola- genisasi berlebihan pada lamina propria dan sub-
158 T BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS GINJAL. Kelainan pada ginjal terjadi pada dua pertiga penderita SS, yang secara khusus sebagian besar disertai dengan penebalan dinding pembuluh darah arteri interlobularis (berdiameter 150-500 pm). Dinding pembuluh darah menunjukkan adanya proliferasi sel intima yang disertai dengan pengendapan berbagai macam glikoprotein dan mukopolisakarida asam. Meskipun mirip dengan perubahan yang tampak pada hiperiensi maligna, perubahan pada SS hanya terbatas pada pembuluh darah yang berdiameter 150-500 pm dan tidak selalu disertai hipertensi. Hipertensi benar- benar terjadi pada 30% pasien SS, dan 20% pasien tersebut mempunyai perjalanan ganas yang tidak menyenangkan (hipertensi maligna). Pada penderita hipertensi, perubahan vaskularnya lebih menonjol dan sering kali disertai dengan nekrosis fibrinoid yang mengenai arteriol serta trombosis dan infark. Pasien tersebut sering kali meninggal dunia karena gagal ginjal, yang terjadi pada kira-kira separuh kematian pada pasien SS. Tidak terdapat perubahan glomerulus yang spesifik.Gambar 5-33 JANTUNG. Fibrosis miokard dalam bentuk bercak, ber- sama dengan penebalan arteriol intramiokard, terjadiSklerosis sistemik. A. Gambaran mikroskopik pada kulit. Perhatikan pada sepertiga pasien; hal ini diduga disebabkan olehadanya pengendapan kolagen padat yang luas di dalam dermis jejas mikrovaskular dan iske.mia yang dihasilkannyadisertai penipisan epidermis dan hjlangnya jaringan lain yang nyata. (disebut dengan Raynaud kardiak). Oleh karena adanyaB. Sklerosis sistemik lanjut. Fibrosis subkutan luas membuat jari perubahan pada paru, sering kali terjadi hipertrofi dan kegagalan ventrikel kanan (cor pulmonale).tidak dapat bergerak, menimbulkan deformitas fleksi yangmenyerupai cakar. Hilangnya pasokan darah menyebabkan Perjalanan Klinis. SS mengenai pcrempuan tiga kalitimbulnya ulserasi kulit. (A, Sumbangan dari Dr. Trace Worrell, De- lebih sering daripada lelaki, dengan insiden tertinggipartment of Pathology, U niversity of Texas Southwestern Med ical pada kelompok usia 50-60 tahun. Yang jelas, terdapat suatu tumpang-tindih yang substansial dalamSchool, Dallas; B, Sumbangan dad Dr. Richard Sontheimer, Depaft- penggambaran SS dan RA, SLE, serta dermatorniositisment of Dermatology, University of Texas Southwestern MedicalSchool, Dallas.) (lihat bahasan selanjutnya). Namun, SS adalah mukosa. Hilangnya vili dan mikrovili dalam usus halus penyakit tersendiri karena perubahan yang jelars pada merupakan dasar anatomis terjadinya sindrom mal- absorpsi yang kadang-kadang ditemukan. ktrlit. Hampir semna pasien mengalami fenomenn Roynntrd, yaitu gangguan vaskular yang ditandai SISTEM MUSKULOSKELETAL. Hiperplasia dan dengan \rasospasme arteri yang reversibel. Tangan peradangan sinovial umumnya terjadi pada tahap dini; fibrosis akan terjadi kemudian. Meskipun perubahan secara khusus akan memutih jika terpajan suhu dingin, ini mengingatkan kepada RA, destruksi sendi jarang yang menggambarkan terjadinya vasospasrre, yang terjadi pada SS. Dalam subkelompok kecil pasien (kira- kira 1A%), dapat muncul miositis inflamatoris yang tidak diikuti dengan timbulnya warna kebiruan karena dapat dibedakan dengan poliomiositis. kapiler dan venuia mengalami diiatasi dan aliran darah PARU. SS mengenai paru pada lebih dari 50% pasien; mengalami stagnasi. Akhirnya, warna berubah men- serangan ini dapat muncul sebagai hipertensi pulmonal dan/atau fibrosis interstisial. Vasospasme pulmonal jadi merah karena terjadi vasodilatasi reaktif . karena disfungsi endotel pembuluh darah paru Kolagenisasi progresif pada kulit akan menyebabkan dianggap penting dalam patogenesis hipertensi atrofi tangan, yang disertai derrgan rasa kaku yang meningkat dan pada akhimya terjadi imobilisasi gerak pulmonal. Jika terjadi fibrosis paru, hal tersebut tidak sendi. Kesulitan dalam meneian terjadi akibat fibrosis akan dapat dibedakan dengan yang terlihat pada fibro- esofagr-rs dan hipomotilitas yang dihasilkannya. Akhir- sis paru idiopatik (Bab 13). nya, perusakan dinding esofagus akan menimbulkan atoni dan dilatasi. Malabsorpsi dapat terjadi jika atrofi submukosa dan otot serta fibrosis terjadi pada r-rsus halus. Dispnea serta batuk kronis menggambarkan adanya perubahan pada paru; hipertensi pulmonal sekunder dapat terjadi jika teqadi serangan lanjut pada
BAB 5 PENYAKIT IMUNITAS T 159parri, yang menyebabkan disfungsi jantung kanan. nilositis bndnn inklusi. Gangguan h i dapat terjadi secaraGangguan ftingsi ginjal yang disebabkan, baik oleh per- tersendiri atau bersama dengan penyakit atttoimttnkembangan lanjut SS maupun hipertensi maligna yang lainnya, rnisalnya SS. Peremplran yang mengalamimenyertainya sering kali terjadi. dermatomiositis mempunyai risiko yang sedikit lebih besar untuk menderita kanker organ viseral (paru, Perjalanan SS difus sulit diperkirakan. Pada ovarium, lambung). Karena gangguan inijarang terjadi, hanya beberapa gambaaran yang mencolok yang akanscbagian besar pasien, perryakit tersebut berjalan secaramenetap, lambat, dan semakin memburuk dalam dibahas secara ringkas.rentang waktu bertahun-tahun, yang meskipun tidakterdapat keterlibatan ginjal, masa kehidupan dapat f, Secara klinis, gangglran ini ditandai dengannormal. Angka kelangsungan hidup untuk 10 tahun kelemahan otot yang biasanya simetris yang pada mulanya menyerang otot besar pada trr-rnkus, leher,secara keseluruhan berkisar dari 35'/.-7 0%. Kesempat-an untnk terr-rs hidup pada pasien skleroderma loka1 dan ekstremitas. Oleh karena itu, pekerjaan sepertilebih baik secara bermakna daripada pasien penyakit bangun dari kursi atau menaiki tangga, menjadi halprogresif difus yang lazim. Sklerodermn limitnns, atau yang semakin sulit untuk diiakukan. Pada ierrna- tomiositis, ruam yang menyertainya (secara klasiksindrom CREST, sering kali mengalami fenomena digambarkan sebagai perubahan warna lilsk atattRaynaud sebagai gambaran yang mtlncul. Cambaran hcliotrope) menyerang palpebra superior danini dihubungkan dengan serangan kulit yang terbatas menyebabkan edema periorbita (Gbr. 5-3aA).pada jari tangan dan wajah, dan kedua gambaran inidapat timbul selama berpuh-rh-puhrh tahun sebelum r Secara histologis, terdapat infiltrasi oleh limfosit,kemnncnlan lesi viserai. dan terlihat adanya serabut otot, baik yang meng-Miopati lnflamatoris alami degenerasi maupun regenerasi. Pola jejas Miopati inflamatoris merupakan kelompok ganggr-r- jaringan dan lokasi terdapatnya infiltrat radangan yang jarang terjadi dan heterogen yang ditandaidengan cedera pada otot dan inflamasi yang diper- agak berbeda untuk setiap subtipe (Cbr. 5-318 , C).antarai oleh imun. Bergantung pada gambaran klinis,morf ologis, dan im nnol ogisnya, d i kenal tiga gan ggr-rar-r I Secara imunologis, br\"rkti mentmjang bahwa cederayang relatif berbeda-po1 imiositis, derntntontiosi f is, dan jaringan yang diperantarai antibodi terdapat pada dermatomiosrtis, sementara poiiomiositis dan miositis badan inklusi sepertinya diperantarai oleh sel T sitotoksik. Antibodi antinuklear terdapat pada sebagian besar pasien. Dari berbagai antibodi ini,Gambar 5-34Dermatomiositis. A. Ruam yang mengenai kelopak mata, B. Gambaran histologis otot menunjukkan inflamasi dan atrofi perifasikulus. C.Miositis badan inklusi menunjukkan sebuah vakuola di dalam miosit. (Sumbangan dari Dr. Dennis Burns, Deparlment of Pathology,University of Texas Southwestern Medical School, Dallas.)
Search