Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore 11. KELAINAN ALERGI PADA PASIEN THT

11. KELAINAN ALERGI PADA PASIEN THT

Published by haryahutamas, 2016-04-02 12:22:38

Description: 11. KELAINAN ALERGI PADA PASIEN THT

Search

Read the Text Version

11KEI.AINAN ALERGI PADAPASIEN THTMalcolm N. Blumenthal, M.D. Alergi merupakan kelainan umum yang rnelibatkan pula hidung dan sinus. Kelainan ini dijelaskansebagai reaksi imun yang tidak diharapkan. Atopi adalah suatu tipe alergi yang diperantarai antiboditipe-reagin. Kelainan alcrgi termasuk penyakit-penyakit sepertj rinitis musiman, asma alergi dan ekze-ma. Meskipun IgE merupakan sistem imunoglobulin yang terutama terlibat dalam pembentukan ke-lainan atopik, mekanisrne irnun lain dapat pula berperan pada reaksi alergi.KLASIFIKASI REAKSI ALERGI Reaksi alergi telah dipilah menjadi reaksi yang melibatkan imunoglobulin dan reaksi yang melibat-kan sistem selular (Coombs dan Gell). Ini adalah suatu klasifikasi yang telah diperjanjikan dan sistemini dapat berfungsi intra dan interdependen. Gambaran klinis akhir dapat melibatkan berbagai meka-nisme imunologik maupun non-imunologik. Sebagai tambahan, beberapa mekanisme imun mungkinberperan serta dalam gambaran klinis akhir.Reaksi yang Diperantarai ImunoglobulinProses ini menimbulkan Reaksi Antibodi Terkait-Sel (Reagin, Sitofililq Anafilaktik). Reaksi inircaksi tipe cepat sepefti melibatkan suatu antibodi, biai;anya IgE, di mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang rnengandung rnediator, atau prekursornya (sel mast, rinitis alergika. basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi denganalergen spesifik Qagweed, tungau, telur). Akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasilpembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator (fabel 11-1). Mediator ini menyebabkansuatu reaksi tipe segera yang timbul dalam beberapa detik hingga menit, misalnya edema, selain itujuga menyebabkan reaksi fase larnbat yang terjadi beberapa jam setelah interaksi. Reaksi radang lanjutcenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast demikian pula eosinofil, rnakrofag dan trom-bosit. Contoh klinis adalah sebagian kasus asrna, anafilaksis, dan urtikaria, juga rinitis musiman(Atkins dan Zweirnan; Matlhews; Plaut dan Lichten^stein; Schwartz; Wasserrnan). Reaksi Antigen Terkait Sel (Antibodi Sitotoksik, Antibodi Penghambat dan Perangsang).Reaksi ini melibatkan suatu antibodi biasanya dari varian IgG atau IgM, yang berinteraksi dengansuatu antigen yang merupakan bagian dari atau terkait pada dinding sel. Akibat reaksi ini, yangbiasanya tergantung komplernen, dapat timbul kerusakan, slimulasi, atau hambatan. Reaksi yangmenimbulkan kerusakan scl misalnya kelainan Rh-positif dan anemia hemolitik karena penisilin, dantrombositopenia autoimun. Stimulasi vang ditimbulkan reaksi jenis ini dapat menjelaskan tirotok-

11-KI:LAINAN AI-I:RGI PADA PASIIIN 'l'HT l9l TABEL I.I.-1. MEDIATOR REAI(SI ATOPIK (HANYA SEBAGIAN) 7at yangtelah terbentuk sebelumnya Histamin Proteoglikan Heparin Kondroitin sulfat Protease Triptase Kimase \"Aktivator\" laktor Hageman Elastase pengaktivasi kal i krei n Faktor kemotaktik netrofil (berat molekul tinggi) Faktor kemotaktik eosinofil jenis anafi laksis Arilsulfatase A dan B Faktor kemotaktik limfosit Oli gopeptida faktor kemotaktik eosinofi I Faktor radang jenis anafi laksis Dismutase superoksida Mieloperoksidase Agen sekunder atau yang baru dibentuk Derivat asam ara kidonat Leukotrien C4,D4 danE4 (substansi reaksi lambat dari anafilaksis) Asam hidroperoksi ei kosatetrainoat Asam hidroksieikosatetranoat Prostaglandin Tromboksan Faktor aktivasi trombosit Adenosin Faktor pembentuk prostaglandin dari anafi laksissikosis. Aktivitas hambatan mungkin berperan pada miastenia gravis, diabetes resisten insulin, sertaasma bronkial dan rinitis. Yang terakhir ini mungkin disebabkan antibodi penghambat yang tertujupada lokasi reseptor bela, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara reseptor alfa dan bela denganakibat saluran napas yang hipereaktif. Reaksi Antigen-Antibodi dan Reaksi Tak Tergantung Sel (Reaksi Atthus, Kompleks Imun).Adalah interaksi antara antigen dan antibodi tanpa keterlibatan sel, mengaktifkan sistem komplemenataupun sistem amplifikasi lainnya dan mengakibatkan reaksi yang tidak diharapkan. Antibodi biasa-nya dari varian IgG atau M. Contoh klinis reaksi seperti ini adalah penyakit serum, glomerulonefritispascd--streptokok, dan beberapa jenis pneumonitis hipersensitivitas.Reaksi Diperantarai Sel Interaksi antigen dengan limfosit T membawa pelepasan berbagai mediator, hasil pada gambaranklinis. Antibodi dapat membantu seleksi dari limfosit terhadap interaksi. Contoh klinis adalah der-matitis kontak dan beberapa reaksi transplantasi.PENDEKATAN KLINIS DALAM DIAGNOSISMASALAH ALERGI HIDUNG DAN SINUS Evaluasi klinis dari penyakit-penyakit imunologis memerlukan pemahaman sistem imun serta in-teraksinya dengan lingkungan eksternal. Evaluasi klinis alergi cukup kompleks karena banyaknya

192 BAGIAN TIGA-HIDUNG DAN SINUS PARANASALISvariabel yang mempengaruhi gambaran klinis. Di dalamnya terlibat faktor imunologis maupun non-imunologis. Kriteria berikut harus dipenuhi sebelum dibuat suatu diagnosis alergi.Gambaran Klinis yang Cocok dengansuatu Reaksi Imunologik Anamnesis dan pemeriksaan fisik membantu menetapkan apakah gambaran klinis sesuai denganreaksi-reaksi alergi yang diketahui. Kejadian khas seperti demam jerami (hay fever), urtikaria, angio-edema, dan asma mudah dikenali sebagai reaksi alergi. Namun untuk manifestasi yang lebih jarangseperti demam, kelemahan, nyeri kepala, atau pusing, diagnosis harus dibuat ekstra hati-hati. Untukkasus-kasus terakhir ini, faktor non-imunologik agaknya berperan dalam timbulnya gejala dan harusdisingkirkan dengan teliti.ilt rrtc rN ctas i co s I no I Pemeriksaan laboratorium rutin seperti penetapan jumlah eosinofil dan kadar IgE serum, dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam menegaskan adalah sulit. diagnosis gangguan alergi. Eosinofil dihubungkan dengan sejumlah tipe reak-si imun maupun non-imun (Cohen dan Ottesen; Weller). Interpretasi eosinofil adalah sulit karena ter-dapat masalah dalam hal definisinya, dan karena eosinofil dipengaruhi oleh ekskresi, obat-obat tefientuseperti steroid dan agen beta adrenergik, waktu pengambilan, dan teknik penenan, serfa juga olehkinetiknya.Reaksi imunologik maupun non-imunologik dapat menimbulkan eosinofilia dalam darah, jaringan,dan cairan tubuh (Tabel ll--2). Dengan demikian eosinofil bersifat cocok namun tidak diagnostik de-ngan alergi.Penelitian kadar imunoglobulin dalam darah akan memberi informasi mengenai ada atau tidaknyapenyakit perantaraan imunologis. Tetapi, secara umum, peningkatan kadar hanya sedikit bernilai diag-nostik karena merupakan suatu manifestasi nonspesifik dari berbagai penyakit kronik. Peningkatan IgEtelah diamati pada berbagai kelainan termasuk treberapa yang diperantarai mekanisme imunologis TABEL 11-2. EOSINOFILIA KLINIS (IIANYA SEBAGIAN) Kelainan atopik Rinitis alergika (demam jerami) Asma alergi Ekzema Infeksi parasit (penyakit cacing) Penyakit imunodefi siensi (sindrom Wiskott-Aldrich, sindrom hiper-IgE, penyakit cangkokan lawan pejamu (graft-versus-host) Aspergi losis bronkopulmonar Reaksi obat Eosinofil ia paru tropis Asma peka aspirin Vaskulitis (angiitis hipersensitivitas, sindrom Churg-Strauss, vaskulitis hipersensi tivitas) Endokarditis fibroplastik Lciffl er Penyakit jaringan penyambung (dermatomiositis, artritis reumatoid, poliarteritis nodosa) Gastroenteritis eosinolil ik Sindrom hipereosinofil ik Insufisiensi adrenal Penyaki t neoplastik (penyakit Hodgkin, li mfadenopati i munoblasti k, leukemia eosinofilik)

11-KELAINAN ALERGI PADA PASIEN THT 193TABEL T1-3. PENINGKATAN KADAR SERUM IGE (}IANYA SEBAGTAN) Kelainan atopik Asma alergi Rinitis alergika Ekzema Inleksi Virus (mononukl eosis i nleksi osa) Inleksi parasi t (cacing) Aspergilosis bronkopul monar alergika Keadaan i munodefisiensi Sindrom Wiskott-Aldri ch Sindrom Nezeloi Sindrom hiperimunoglobulin (sindrom Hill euie) Kelainan neoplastik Multipel mieloma Penyakit Hodgkin Penyakit cangkokan lawan pejamu akut (graft-versus host)Pcnirykatan lgE tr-rsilat (Geha; Welliver). Kadar IgE lebih sering meningkat pada penyakit atopik se- cocok nnuntidak perti asma, rinitis, ekzema, dan aspergilosis bronkopuhnonar alergika. Namun,d hgnoslik d cngan ab rg i. di samping itu, kadar yang meningkat ditemukan pula pada berbagai kelainan lain (Tabel 11-3). Terdapat krmacam-macam peneraan imun komersialuntuk kadar serum total IgE dengan berbagai teknik peneraan. Kadar IgE seperti juga eosinofil, ber-sifat cocok namun tidak diagnostik dengan reaksi alergi. Berbagai prosedur laboratorium lain seperti perneriksaan komplemen dan radiografi dapat diker-jakan guna mendapat informasi apakah proses penyakit sesuai dengan suatu penyakit perantaraanimunologis. Tidak satupun dari uji pemeriksaan ini yang memadai untuk diagnosis. Oleh karena itu,langkah selanjutnya adalah mengenali alergen dan menentukan bagaimana kaitannya dengan gejala.Identifikasi Alergen danHubungannya dengan Garnbaran Klinis Riwayat lampau dengan uji provokatif ataupun eliminasi merupakan metode utama yang dipakaiuntuk nremenuhi kriteria ini. Hingga kini belum ada pemeriksaan in vitro. Riwayat pasien merupakan yang paling penting dalam menentukan faktor atau faktor-faktor manayang dapat mencetuskan atau rnemperhebat gambaran klinis alergi. Untuk alergi pernapasan, juga per-lu dicatat kapan terjadinya. Awal musim semi biasanya khas untuk serbuk pohon-pohonan yang kemu-dian diikuti rumput-rumputan. Ilalang menyerbuk pada musim gugur. Kapang seperti Cladosporiumdapat ditemukan sepanjang tahun tergantung iklim. Biasanya paling tinggi pada akhir musim panas.Tungau, sebagai salah satu komponen utama debu rumah ada sepanjang tahun, tetapi lebih banyakpada bulan-bulan yang lebih panas dan lembab (Platts-Mills dkk: Solomon and Mathews). Biwryal pasicn, uji Di sarnping riwayat, uji provokasi dan prosedur eliminasi juga dapat mem- provokatil, dan mctode bantu dalam mendemonstrasikan hubungan antara alergen dan gambarancl i mi nasi sang at berni hi. klinis. Arti klinis dari inhalan, konraktan dan ingestan alergenik dapat ditetap- - kan melalui kontak langsung dengan organ yang terlibat. Inhalasi atau kontakoral merupakan uji provokasi yang lazim dilakukan. Diet eliminasi demikian pula penghindaran dariaeroalergen atau kontaktan yang dicurigai juga berguna dilam menetapkan faktor pencetus.

194 BAGIAN TIGA-HIDUNG DAN SINUS PARANASALISPembuktian Suatu Mekanisme Imunyang Melibatkan Alergen Tersangka Kriteria ketiga yang harus dipenuhi adalah pembuktian suatu mekanisme imun yang dapat berin-teraksi dengan alergen tersangka. Pernbuktian suatu hubungan sebab dan akibat yang langsung adalahsulit. Pembuktian bahwa antibodi berinteraksi dengan alergen tidak menjelaskan penyebab penyakit.Namun, meskipun terbatas, masih ada metode yang dapat membuktikan keterlibatan mekanisme imundan bagaimana wujudnya. Uji ini dilakukan untuk memastikan keberadaan suatu mekanisme imun,dan tidak untuk mengenali agen penyebab.Uji kulit ncrupakan cara Metode 1n Vivo. Berbagai metode in vivo digunakan dalam penelitian sis-yang pling umum untuk tem imunoglobulin maupun sistem selular. Uji kulit merupakan cara in vivo menbuktikan antibodi utama dalam mengenali IgE atau antibodi reaginik (Belin dan Norman; Gleichreaginik. dkk). Reaksi ini terjadi beberapa menit setelah masuknya alergen. Alergen berinteraksi dengan antibodi -reaginik yang melekat pada sel pelepas zatmediator. Akibatnya, terjadi suatu peradangan atau pembengkakan segera demikian pula suatu reaksifase lambat. Pengujian dapat dilakukan memakai suatu jarum atau dengan garukan dan injeksi in-tradermal. Hubungan yang pasti belum jelas. Pengujian intradermal lebih peka, namun juga cenderungmenimbulkan reaksi sistemik pada individu yang sangat peka, kurang bermakna secara klinis, danmembutuhkan waktu yang lebih lama serta mengganggu kenyamanan pasien. Pengujian intradermaldilakukan bila uji tusuk atau garuk berhasil negatif atau meragukan. Perlu disadari bahwa uji kulit perlu diinterpretasikan dari sudut pandang gambaran klinis. Tidakada batasan absolut mengenai reaksi positifatau negatif.Metode InVilrolleto& BASTmcrupakan KUANTIFIKASI IGE SPESIFIK. Setelah sifat-sifat IgE diketahui pada cara kuantitas lgE yang tahun 1968, maka dimungkinkan pembentukan antisera terhaclap klas imuno- paling populer. globulin ini. Hal ini membuka lahan unruk pelaksanaan peneraan imun (Emanuel; Gleich et al). Metode yang sering kali dipakai adalah uji radioaler- Hasil mcldc RAST tidak gosorben (RAST) yang menggunakan alergen tak larut di atas suatu cakram kertas selulosa (alergosorben) yang mengikat IgE spesifik (dan klas antibodisehfu bcrscsuaian dengan lainnya) dari serum selama masa inkubasi pertama. Fase padat terikat imuno- alcrgi klinis.globulin kemudian dicuci, dan pada inkubasi kedua ditambahkan suatu anti IgE berlabel isotop I-125(fc) atau anti IgE berlabel enzim (Fc). Setelah pencucian selanjutnya, radioaktivitas terikat IgE padacakram kemudian dihitung, atau pada antibodi yang berlabel enzim, dilakukan suatu inkubasi substratagar'dihasilkan suatu produk berwarna atau berfluoresensi. Radioaktivitas terikat cakram atau kuan-titas produk yang dihasilkan aktivitas enzim dihubungkan dengan IgE terikat cakram memakai sumberserum rujukan dari spesimen yang tidak diketahui diintelpolasikan terhadap serum ini. Perlu ditekan-kan bahwa sistem penilaian untuk semua proses ini belum sepenuhnya dikaitkan dengan gambaranklinis. Secara umum, nilai yang tinggi dapat ditemukan pada beberapa pasien non-alergi namun dapatpula tidak ditemukan pada individu alergi. Demikian pula nilai yang rendah, dapat ditemukan pada in-dividu alergi seperti juga individu non-alergi. Seluruh hasil perhitungan harus diinterpretasi dalamkaitannya dengan anamnesis. Keuntungan dan kerugian cara peneraan ini diringkas dalam Tabel 11-4. Setelah modifikasi selama bertahun-tahun, RAST orisinil kini telah dipasarkan untuk pengukuranIgE spesifik dalam serum manusia. Hasil-hasil relatif dari sistem yang lebih baru ini masih belumdinilai. Pada dasarnya, kebanyakan sistem peneraan mempunyai desain yang serupa dengan RAST.Perbedaan terutama pada fase padat yang digunakan untuk melekatkan alergen, jenis pelacak yangdilekatkan pada protein pendeteksi anti-IgE, dan pada alat yang diperlukan untuk membaca sinyalterakhir (Emanuel).

II-KELAINAN ALERGI PADA PASIEN THT 195 TABEL 11--4. PERBANDINGAN METODE UJI KULIT, RAST PELEPASAN HISTAMIN, DAN RAST 1 KULIT HISTAMIN 1 1Risiko terkecil 3 1 1Paling kuantitatif 3 3Pal ing sedi ki t di pengaruhi obat-obatan 3 2Dapat dilakukan pada pasien umurhnya 3 2 2Paling peka 2Hasil segera 1 1 2Jumlah alergen terbesarPaling murah 1 2 JTidak dipengaruhi IgG 3 I 3 1 J 1 2Skala: 1 = tinggi; 3 = rendah PENGUKURAN MEDIATOR YANG DILEPASKAN. IgE dapat diukur dengan sistem peneraanberdasarkan pelepasan zatperantarc (Gleich dkk). Yang paling umum adalah peneraan pelepasan his-tamin. Metode ini melibatkan penggunaan leukosit perifer yang mengandung basofil yang dianggapmempunyai IgE yang melekat padanya. Alergen yang diuji kemudian ditambahkan pada sel secarabertingkat, dan histamin yang dilepaskan diukur menggunakan sistem biologik, fluorometrik ataupeneraan sistem imun. Jumlah histamin yang dilepaskan dinyatakan sebagai persentase histamin totaldalam sel. Metode ini mahal dan membutuhkan waktu lama. Metodologi mutakhir memungkinkanprosedur yang lebih ekonomis dan lebih mudah dikerjakan. Sistem pelepasan histamin ini mungkintidak hanya mengukur antibodi IgE namun juga antibodi reaginik lain, serta kemampuannya melekatpada sel dan kemampuan melepaskan mediator. Keuntungan dan kerugian lainnya diberikan dalamTabel 11-4. PERBANDINGAN UJI IN WTRO DAN Iff yIIlO UNTUK ANTIBODI REAGINIK. Evaluasikfinis dari penyakit mediator imunologis dapat dilakukan dengan cara in vitro dan in vivo. Salah satumasalah utama dengan semua pengujian ini adalah variabilitas alergen antar kemasan dan antarpemasok. Yang lain adalah tidak adanya informasi yang dapat dipercaya mengenai potensi biologikyang relevan dari ekstrak. Masalah-masalah ini dapat diatasi dengan prosedur standarisasi yang lebihbaik (Blumenthal et al). Uji kulit adalah nrtodc secara ufilum, terdapat suatu korelasi positif bermakna ditemukan antara yapg paling pka. RAST, uji kulit, peneraan pelepasan histamin, dan anamnesis. Uji kulit rneru-saat ini. pakan peneraan yang paling peka untuk reaksi-reaksi yang diperantarai IgE Indikasi pelaksanaan RAST dan peneraan pelepasan histarnin adalah (1) situasi di mana tidak dapatdilakukan uji kulit, seperti adanya dermografisme, menclapat medikasi yang mengganggu uji kulit, usiayang sangat muda atau usia di mana uji kulit sukar dilakukan atau diinterpretasikan, serta riwayatkepekaan yang sangat terhadap alergen pengujian, (2) untuk memastikan bermaknanya suatu uji kulityang positif, dan (3) riwayat yang tegas adanya kepekaan terhadap alergen namun uji kulit berhasilnegatif. Saat ini, uji kulit merupakan metode awal yang digunakan untuk memastikan adanya suatu meka-nisme IgE yang melibatkan alergen tenangka. Hal ini terutama dikarenakan biayanya yang lebihmurah dan kepekaan yang lebih besar pada metode ini. Jika RAST atau peneraan pelepasan histaminmasih hendak dilakukan sebagai pengujian pertama, maka hanya dilakukan dengan pengetahuanbahwa kedua metode itu kurang peka dan lebih mahal serta bahwa uji kulit masih harus dilakukanbilamana uji-uji in yitro tersebut berhasil negarif.

I% BAGIAN TIGA-HIDUNG DAN SINUS PARANASALISRINITIS ALERGIKA, POLIP HIDUNG DAN SINUSITISRinitis, polip hidung dan sinusitis telah diketahui berkaitan dengan nre kanisme alergi (Snrith).R i n itis ah rgika d itcmu kan fnsidens. Meskipun insidens rinitis alergika yang tepat tidak dikctahui,pada 10 prscn pqulasi. tampaknya menyerang sekitar 10 penen dari populasi umum (Norman, 1985). Polip hidung dan sinusitis tampaknya meningkat pada penderita rinitis aler-gika. Suatu kumpulan berupa kepekaan terhadap aspirin, polip hidung, dan asma bronkial telahditemukan pada 2 persen dari 28 persen penderita asma bronkial (Giraldo dkk; McDonald dkk).Penderita demikian sering kali akan mengalami masalah dengan agen-agen anti-radang non steroidseperti indometasin dan ibuprofen.Patogenesis. Rinitis alergika diduga melibatkan antibodi reaginik, basofil, sel mast dan pelepasanzat mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien, yang pada gilirannya bekerja pada saluranhidung dan menimbulkan manifestasi klinis. Mekanisme imunologis lain mungkin terlibat dalam me-nimbulkan reaksi peradangan dalam hidung. Peranan mekanisme alergi dalam perkembangan poliphidung dan sinusitis masih belum jelas.Garnbaran Klinis dan Diagnosis. Rinitis alergika secara khas dimulai pada usia yang sangatmuda dengan gejala-gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair dan gatal, danpostnasaldrip. Keluhan yang lazim menyertai polip hidung adalah hidung tersumbat dan rinore. Gejala dantanda terjadinya sinusitis tergantung pada sinus yang terlibat. Secara khas dapat berupa nyeri kepala,nyeri tekan atau nyeri pada daerah sinus yang terkena, sumbatan hidung, sekret hidung, dan sakittenggorokan. Oleh beberapa ahli dikatakan bahwa sebagian sinusitis aktif dapat memperhebat asmabronkial.Pemeriksaan fisik pada penderita rinitis alergika memperlihatkan lakrimasi berlebihan, sklen dankonjungtiva yang merah, daerah gelap periorbita (mata biru alergi), pembengkakan sedang sampainyata dari konka nasalis yang berwarna kepucatan hingga keunguan, sekret hidung encer jernih, dankeriput latenl pada krista hidung. Polip hidung sering kali terlihat di bagian atas dinding hidunglateral, mengelilingi konka media. Polip hidung alergik khas adalah licin, lunak, mengkilap dan ber-warna kebiruan. Nyeri dan nyeri tekan pada daerah sinus dapat terjadi pada sinusitis.Temuan laboratorium yang sesuai dengan reaksi imunologik termasuk eosinofil yang meninggidalam sekret hidung dan darah tepi, dan peningkatan kadar serum IgE. Radiogram sinus dapat mem-bantu diagnosis polip sinus dan sinusitis. Keterlibatan bilateral lebih cocok dengan suatu mekanismealergi dibandingkan denga4 kasus unilateral.Al er gcn i nhala n N a sa ny a Antigen biasanya dapat dikenali dari dasar anamnesis, misalnya perubahan musim atau gejala setelah paparan. Jika antigen tidak dikenali dengan cara ini, mcnycbabkan initis dapat dilakukan uji provokatif. Alergen yang digunakan umumnya berupa in- halan, namun dapat pula berwujud ingestan atau injektan. alcrgika. Uji kulit dailatau EAST Perlu bukti bahwa antigen tersangka berinteraksi dengan sistem imunolo-d ia njur kan u nluk cv aluas i. gik. Dan karena mekanisme imun yang menyebabkan rinitis alergika melibat- kan antibodi reaginik (gE), maka dianjurkan metode uji kulit untuk reaksiperadangan atau pembengkakan segera dan/atau uji radioalergosorben (RAST).Pengobatan. Terapi rinitis alergika, polip hidung, dan sirsitis dibedakan menjadi 5 bagian utama. MENGHINDARI ALERGEN PENYEBAB. Dapat dicapai dengan rnengisolasi pasien darialergen, menempatkan suatu sawar antara pasien dengan alergen, atau menjauhkan alergen daripasien. TERAPI SIMTOMATIK DENGAN OBAT-OBATAN. Antihistamin oral merupakan senyawakimia yang dapat melawan ke{a histamin dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptorhistamin. Obat ini perlu diberikan secara rasional. Karena pasien menunjukkan variabilitas respollsyang nyata dengan pemberian antihistamin, maka besar dosis dan frekuensi pemberian perlu dise-

1I-KELAINAN ALERGI PADA PASIEN THT L97OboFobat noralicrmasuk suaikan untuk masing-masing penderita. Antihistamin H1 yang sering diguna- kan adalah etanolamin, etilendiamin, alkilamin, fenotiazin, dan agen lain se-bab ag ai antihi stan in Iu s perti siproheptadin, hidroksizin, dan piperazin. Efek samping antihistamin dan dckotrycstan. yang sering terlihat adalah rasa mengantuk, kehilangan napsu makan, konsti-pasi, dan efek antikolinergik seperti kekeringan membran mukosa, dan kesulitan berkemih. Suatugenerasi antihistamin H1 yang baru masih dikembangkan. Golongan ini tidak memiliki hubungan ki-mia yang langsung dengan histamin, namun mempunyai suatu struktur nitrogen aromatik yang sama,dalam bentuk piperidin, piperazin atau piridin. I-ebih lanjut, struktur-struktur ini lebih polar sehinggaakses ke sistem saraf pusat menjadi terbatas, dengan demikian mengurangi atau menghilangkan efeksamping terkait. Golongan antihistamin ini antara lain adalah terfenadin, loratidin, dan asternizol.Mereka juga menjanjikan masa kerja yang lebih lama (Dockhorn dan Shellenberger).Oleh beberapa peneliti telah dikemukakan bahwa antihistamin H2 seperti simetidin dan ranitidindapat bermanfaat bila diberikan benama antihistamin H1 pada sumbatan hidung yang nyata. Terapisimtomatik dengan antihistamin Hr dan Hz memberikan hasil mengecewakan pada pengobatan poliphidung (llavas dkk).Suatu dekongestan dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan antihistamin Hf lokalatau per oral pada pengobatan rinitis alergika. Cara oral biasanya lebih disukai. Pemakaian kronik an-tihistamin lokal dan dekongestan tidak rutin dianjurkan. Beberapa informasi mengatakan bahwa an-tihistamin lokal dapat menimbulkan sensitisasi. Di samping itu, penggunaan dekongestan lokal dalamjangka waktu lama dapat menimbulkan iritasi dan \"rebound phenomenon\" seperti rinitis medikamen-tosa (Blue). Penggunaannya pada polip hidung mengecewakan. Tcra pi to pi ka I terma su k Natrium kromolin dapat diberikan intranasal. Obat ini akan menurunkankrono I in d an ko ft iko slero i d. pelepasan zat rnediator. Dianggap sebagai medikasi pencegahan dan diberikan sebelum awitan gejala. Efek samping adalah rninimal dan terutama berupairitasi lokal. Pemakaian pada polip hidung be lum dapat dibuktikan berhasil (Norman, 1983).Kortikosteroid dapat digunakan pada terapi rinitis alergika. Dapat diberikan sistemik atau intrana-sal untuk kortikosteroid yang diabsorpsi buruk seperti beklometason atau flunisolid. Medikasi lokallebih disukai karena kerjanya yang lebih langsung dan risiko efek samping yang lebih rendah. Biasa-nya memerlukan waktu beberapa hari sampai beberapa minggu untuk menjadi efektif. Agen-agen inijuga telah dilaporkan dapat mengurangi ukuran polip hidung (Norman, 1,983). Hiposcnsitisasi dapat INJEKSI ALERGEN, IMUNOTERAPI, ATAU HIPOSENSITISASI. BiIAd il akuka n bila car a-cara cara-cara konservatif tidak berhasil, maka injeksi alergen dapat diindikasikan. Prosedur ini berupa penyuntikkan alergen penyebab secara bertahap dengan konscrvatil gagal. dosis yang makin meningkat guna menginduksi toleransi pada penderita aler-gi. Meskipun efektif untuk pengobatan rinitis alergika, namun efektivitasnya belum dapat dipastikanpada pengobatan polip hidung (Van Metre dan Adkinson).PENATALAKSA}IAU{}I KOMP LIKAS I ATAU FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPERBURUK.Kelemahan, stres emosi, perubahan suhu mendadak, infeksi penyerta, deviasi septuln dan paparan ter-hadap polutan udara lainnya, dapat mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan gejala-gejalayang menyertai rinitis alergika, polip hidung, dan sinusitis. Penanganan faktor-faktor ini sama penting-nya dengan yang ditujukan ierhadap alergen tertentu. TERAPI BEDAH. Pembedahan biasa dilakukan pada polip hidung dan sinusitis berkaitan denganfaktor infeksi jika gagal dengan terapi obat-obatan. Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drainasehidung dan sinus yang memadai, serta juga melegakan sumbatan. Pembedahan dapat dilakukan unfukmengatasi penyakit mukosa kronik pada sinus dan komplikasi sinusitis.Prognosis. Prognosis dan perjalanan alamiah dari rinitis alergika, polip hidung dan sinusitis sulitdipastikan. Meskipun laporan-laporan awal menyatakan insidens asma bronkial penyerta yang tinggi,hal ini belumlah jelas. Ada kesan klinis bahwa gejala-gejala rinitis alergika berkurang dengan bertam-bahnya usia. Penderita polip hidung tampaknya tetap mengalami kekambuhan kendatipun mendapatterapi medis darVatau bedah (Smith).

198 BAGIAN TIGA-HIDUNG DAN SINUS PARANASAI-IS Diagnosis Banding. Rinitis alergika perlu dibedakan dari rinitis vasomotor ataupun idiopatik,rinitis infeksiosa, rinitis sekunder dari obat-obatan baik lokal (Neo-Synephrine) alau sistemik @etabloker, aspirin, reserpin, morfin), rinitis sekunder dari faktor mekanis, tunror hidung, polip hidung,rinore serebrospinal, iritan kimia, faktor psikologis, dan mastositosis hidung. Di samping alergi,penderita polip hidung perlu dievaluasi terhadap sinusitis infeksiosa, dan pada anak fibrosis kistik.Sinusitis dengan etiologi non-alergi, misalnya trauma, zat kimia, irnunodefisiensi, fibrosis kistik,sindrom Kartagener, penyakit granulonlatosa kronik, dan infeksi perlu dipcrtimbangkan dalam diag-nosis banding.RINGKASANTiga kritcria perlu dipnuhi Scbclum seorang doktcr dapat dcngan yakin nrendiagnosis dan mengobati alergi, kriteria bcrikut harus dipcnuhi terlcbih dahulu: (1) ganbaran klinis scbelum mcrcgrkkan sesuai dengansuatu reaksi alergi. (2) Agen penyebab tclah dikctahui. (3) Me-d i a gnos is d an p ngobata n. kanisme imun telah dipaslikan. Sclclah kritcria ini dipcnuhi, dapat diberikanpcngobatan untuk menghambat berbagai proses yang tengah berlangsung yang menimbulkan gam-baran klinis alergi.KepustakaanAtkins P, Zweiman B: The lgB-mediated late phase skin response-unraveling the enigrna. J Allergy Clin Imnrunol 79:12. 1987.Bclin H, Norman PS: Diagnostic tests in the sl.in and serum of workers sensitized to B. subtilis enzymes. Clin Allergy 7:55, 1977.Blue JA: Rhinitis medicamentosa. Ann Nlergy 26:425,1968.IJlumenthal MN, Fish L, Morris R, et al: Adverse health effecls from allergens. Minn Med 70:278,1987.Cohen S, Ottesen E: The eosinophil, eosinophilia, and eosinophil related disorders. In Middleton E, Reed C, Ellis E(eds): Aller- gy: Principles and Practice. St l-ouis, CV Mosby Co, 1983, p 701.Coombs RRC, Gell PGH: Classification of allergic reactions. 1n Gell RRA, Coombs PGH (ecis): Clinical Aspects of Immunol- ogy,2nd ed. Oxford, Blackwell Scientific Publications, Ltd, 1968.Dockhorn R, Shcllenberger MK: Antihistamines..The new generation. Immunol Alergy Pract 9:124,1,987.Ilmanuel I: Comparison of in vivo allergy diagnostic methods. Immunol Allergy Pract 7:483, 1983.Cieha R: IIuman lgE. J AJlergy Clin Immunol '74:1CD,1984.Gira'lid1o:4'I7l,9,B1lu9m69e.nthal M, Spink W: Aspirin intolerance and asthma: A clinical and immunological study. Ann Intern MedGleich G, Yunnginger J, Stobo J: I-aboralory methods for studies of allergy.,/rr Middleton E, Reed C, Ellis E (eds): Ailergy: Principles and Practice. St [-ouis, CV Mosby Co.1983. p 271.IJavas T, Cole P, Parker L, et al: The effect of combined Hr and Hz histamine antagonis!s on alleration in nasal airflow resis- tance induced by topical histamine provocation. J Allergy Clin Immunol 78:856, 1986.Mathews K: Mediators of anaphylaxis, anaphylactoid reactions and rhinitis. Am J Rhinnol 1:77, 198'7 .McDonald J, Mathison D, Slevcnson D: lspirin intolerance in asthma: Detection by oral challenge..I Allergy Clin Immunol 50:198,1972.Norman PS: Review of nasal therapy: Update. j Allergy Clin lmmunol 72:421,7983.Norman PS: Allergic rhinitis, J AJlergy Clin Immunol 75:531, 1985.Platrs-Mills TAE, Heymann PW et al: Cross-reacting and species- specific determinants on a major allergen from Der- malophagoides pteronyssittus znd D. farinael development of a radioimmunoassay for antigen Pl equivalent in house dust and dust mite extracts..I AJlergy Clin Immunol 78:398, 1986.Plaut M, Lichtenstein L: Cellular and chemical basis of the allergic inflammatory response. In Reed C, Ellis E (eds): AIIergy: Principles and Practice. St Louis, CVMos$, Co, 1983, p 119.S chwartz L: Media tors of human mast cells and hu ma n mast cell subsets. Arn Nlergy 58:226, 7987 .Smith JM: Epidemiology and natural history of asthma, allergic rhinitis and atopic dermaiitis (eczema). DalamMiddletonE, Reed C, Ellis E (eds): Allergy: Principles and Practice. St l-ouis. CV Mosby Co, 1983. p 771.

1I-KELAINAN ALERGI PADA PASIEN TI{T I99Solomon W, Mathews K: Aerobiology and inhalant allergens. DalamMidiJleton E, Reed C, Ellis E (eds): Allergy: Principles and Practice. St l,ouis, CV Mosby Co, 1983' p 1143.Van Metre TE, Adkinson NF: Immunotherapy for aeroallergen disease. -In Middleton E, Reed C, Ellis E (eds): Allergy: Prin- ciples and Practice. St [-ouis, t]V Mosby Co,1983, p 1327.wasserman S: Mediators of immediate hypersensitivity. J Allergy clin Immunol '72:lol,1983.Weller PF: Eosinophilia. J Allergy Clin Immunol 73:1,1984-Welliver R: Allergy and the syndrome of chronic Epstein-Barr virus infection. J Allergy Clin Immunol 78'.278,1'986.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook