Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Bab 03 Hak Pasien untuk Memberikan Izin

Bab 03 Hak Pasien untuk Memberikan Izin

Published by haryahutamas, 2016-08-22 10:02:30

Description: Bab 03 Hak Pasien untuk Memberikan Izin

Search

Read the Text Version

3. Hak Pasien untuk Memberikan izinA dalah hak pasien untuk memberikan izinnya / persetujuan kepada dokternya untuk boleh dilakukan suatu tindakan medik tertentuterhadapnya, misalnya operasi usus buntu. Hak ini melekat pada diripasien sebagai manusia untuk menentukan apa yang dikehendakiterhadap dirinya sendiri. Hal ini merupakan suatu hak asasi manusia(HAM) yang dimilikinya sebagai seorang pasien. Antara mana jugatercantum di dalam Hospital Patient's Charter.Selain itu berdasarkan KUH Pidana pasal 351 seorang dokter bedah yangmelakukan operasi tanpa izin pasien - kecuali di dalam keadaanemergensi untuk menolong jiwa atau anggota tubuhnya - dapat diper-salahkan telah melakukan Penganiayaan. Hal ini disebabkan karenasuatu tindakan pembedahan sudah memenuhi perumusan KUH Pidanapasal 351 yang mengatur tentang Penganiayaan. Seorang dokter ahlianestesi yang melakukan pembiusan secara \"strict yuridisch\" dapatdianggap melanggar KUH Pidana pasal 89, karena memenuhi perumusanpasal tersebut. Suatu tindakan yang dilakukan itu membuat seseorang didalam keadaan tidak sadar disamakan dengan melakukan kekerasan.Dengan demikian n a k a izin atau Consent untuk boleh melakukantindakan medik (pembiusan, operasi, tindakan invasif lainnya) sejakdahulu sebenarnya juga diperlukan. Namun tidak seketat dan tidakbegitu diperhatikan seperti dewasa ini. Namun dalam Era globalisasi danbanyaknya hubungan internasional yang semakin erat, maka lembagaInformed Consent (yang berasal dari negara Amerika) dapat dikatakanhampir sudah berlaku universal. Lembaga ini juga sudah diterapkan diberbagai negara di dunia, termasuk Indonesia dengan diterbitkannyaPeraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 yang mengatur materitentang Informed Consent {Persetuiuan tindakan medik).16

Di Ameril<a pun berubahnya Consent menjadi Informed Consent tidak terjadi seketika, tetapi mulai sekitar 1957-1972. Namun ada suatu ke- putusan pengadilan yang menjadi landmark atau keputusan dasar yang sampai kini masih sering disebut. Yaitu keputusan Hakim Benyamin Cardozo di dalam kasus \"Schloendorff v. Society of New York Hospitals, 1914\". Di dalam keputusan itu hakim Benyamin Cardozo menjadi terkenal ucapannya yang berbunyi:\"Setiap manusia dewasa dan berpikiran sehat berhak untuk menentukanapa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri; dan seorang dokterbedah yang melakukan suatu operasi tanpa izin pasien dapat dianggapmelakukan pelanggaran hukum, untuk mana ia harus bertanggungjawabatas segala kerugian yang diderita pasiennya\".(Every human being of aduit years and sound mind has a right todetermine what shaii be done with his own body; and a surgeon whoperforms an operation without his patient's consent commits an assauit,for which he is iiabie in damages).Yang berhak memberi izinSecara umum yang berhak memberi izin atau persetujuan adalah pasienitu sendiri, jika ia sudah dewasa, berpikiran sehat dan tidak di bawahpengampuan (onder curateie).Berdasarkan Peraturan yang terdapat di dalam KUH Perdata, maka yangdianggap dewasa secara umum membuat perjanjian - termasuk per-janjian terapeutik - adalah mereka yang sudah berumur 21 tahun atauyang telah menikah sebelumnya (Ordonnantie van 31 Januari 1931, S 31-54).Untuk orang-orang yang belum dewasa diwakili oleh orang tuanya, danmereka yang berada dibawah pengampuan (onder curateie) diwakili olehseorang wall (curator).Namun di dalam dunia medik di Indonesia, pelaksanaannya ada sedikitberlainan. Karena yang menanda-tangani formulir Informed Consentmungkin bukan pasien itu sendiri secara pribadi, walaupun ia sudahdewasa dan tidak dibawah pengampuan. Bahkan ada juga dokter ahlibedah yang masih tidak berani melakukan operasi, kalau tidak ditanda-tangani juga oleh anggota keluarganya. Maka tampaknya disini yangmenanda-tangani adalah anggota keluarga terdekat (next of l<in). Hal inimungkin ada kaitan pengaruh dari social budaya Timur. 17

Jika ada salafi seorang anggota keluarga sakit, maka juga merupakansuatu hal yang juga harus diketahui oleh seluruh anggota keluargabesarnya. Bahkan juga kepada teman atau kenalan dekatnya.Hal ini berlainan dengan penanda-tanganan formulir Informed Consentyang dilakukan di negara-negara Barat, di mana dianuti paham indivi-dualisme. Ambil contoh di negeri Belanda seorang anak yang sudah ber-usia 18 tahun sudah harus keluar dari rumah orang tuanya dan berdiamserta berusaha berdiri sendiri. Demikian pula di Inggris dimana di dalamkepustakaan dikatakan bahwa banyak gadis yang baru berumur 16 tahunpun sudah pergi sendiri ke dokter dan minta dilakukan abortus denganpesan wanti-wanti agar tidak memberitahukan kepada orang tuanya.Jika orang tua anak itu oleh sang dokter diberitahukan juga, makadokternya bisa dituntut di pengadilan oleh gadis itu berdasarkan mem-bocorkan rahasia kecJokteran. Hal-hal semacam ini tentu saja tidak bisadiitiru dengan begitu saja di negara kita, di mana social-budayanyasangat berlainan. Lagipula seorang dokter disini tidak akan berani untukberbuat demikian.Namun untuk penyakit yang bersifat ringan-ringan seorang dokter diIndonesia terhadap seorang pasien yang belum dewasa bisa saja datangke dokter dan secara yuridis menjadi \"subjek kontrak terapeutik\". Denganperkataan lain, ia dapat memberikan persetujuannya untuk dilakukantindakan-tindakan medik terhadap dirinya, walaupun hanya yang bersifatringan-ringan saja. Hal ini merupakan hal biasa, namun kalau pasien itutampaknya masih te-lampau kecil, dokternya pun akan menanyakan kemana orang tuanya, Jika ditinjau secara yuridis, maka hal ini sebenarnyasudah merupakan penyimpangan dari KUH Perdata pasal 1320 ayat 2tentang kecakapan (bekwaamheid) seorang yang belum dewasa untukmembuat perjanjian. Hal ini kalau kita menganggap bahwa hubungandokter-pasien itu adalah sejenis kontrak yang murni. Penyimpangan initidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat di dalam duniamedik, namun sebaiknya diberikan dasar argumentasi yuridisnya.Kewajiban memberikan InformasiSejak diterbitkannya Permenkes No. 585 tahun 1989, maka sebelummelakukan suatu tindakan medik yang bersifat invasive, dokternya wajibmemberikan informasi dahulu kepada pasiennya. Di Indonesia informasi18

ini diberil<an selain kepada pasien, juga bisa diberitahukan kepadaanggota keluarga terdekat. Kalau terdapat banyak anggota keluargayang bertanya satu per satu bergantian tentang penyakit pasien, makaseringkali sang dokter pun bisa menjadi uring-uringan. Karena setiap kaliharus mengulangi lagi kepada setiap anggota keluarganya. Informasiharus diberikan sebelum dilakukan suatu tindakan operatif atau yangbersifat invasif, baik yang berupa diagnostik maupun terapetik.Informasi yang harus diberikan sebelum dilakukan tindakan operasi olehdokter bedah kepada pasien atau keluarga adalah yang berklnaandengan :(a) Tindakan operasi apa yang hendak dilakukan,(b) Manfaatnya dilakukan operasi tersebut,(c) Risiko-risiko apa yang melekat pada operasi tersebut,(d) Alternatif lain apa yang ada (ini kalau memang ada dan juga kalau mungkin dilakukan),(e) Apa akibatnya jika operasi tidak dilakukan.Yang harus memberikan informasi itu adalah dokter bedah itu sendiri.Infomasi harus diberikan dalam bahasa yang sederhana yang dapatdimengerti oleh pasiennya, sehingga ia dapat mempunyai gambaranjelas untuk mengambil keputusannya.Dokter ahli anestesi secara umum juga diwajibkan untuk memberikaninformasi dan memeriksa juga pasiennya. Karena pemberian anestesi itusendiri juga sudah melekat suatu risiko yang bisa berakibatkan fatal(anafilaktik shok).Kewajiban untuk memberikan informasi ini tidak dapat didelegasikan(non-delegable duty), misalnya kepada perawat. Hal ini karena yangbertanggungjawab adalah dokter itu sendiri. Bukanlah tugas seorangperawat untuk memberikan informasi, bahkan ia dapat dipersalahkantelah mencampuri hal-hal yang terletak di luar bidang perawatan.Kalau demikian, apa tugas seorang perawat dalam kaitan InformedConsent ? Tugasnya adalah memeriksa, mengecek sebelum operasidilakukan: apakah sudah ada formulir Informed Consent yang sudahdibubuhi tanda-tangan pasien. Jika tidak ada, maka perawat itu harussegera menanyakan apakah sudah diberikan penjelasan oleh dokternyaatau belum. Jika belum, perawat itu harus langsung menghubungidokternya dan permintaan pembubuhan tanda-tangan pada formulirharus ditunda dahulu. Demikian pula persiapan operasinya. 19

Bentuk Izin (persetujuan) Bentuk Izin Infvrmea' Consent h\sa : (a) dinyatakan secara jelas (express), - secara lisan (oral), - secara tertulis (written). (b) Dianggap diberikan (implied or tacit consent) - dalam keadaan biasa (normal), - dalam keadaan gawat darurat (emergency).Syarat Izin tertulisIzin tertulis dalam arti penanda-tanganan formulir Informed Conser^diwajibkan untuk tindakan-tindakan yang mengandung risiko tinggi(Pasal 3), seperti :- Tindakan-tindakan pembedahan.- Tindakan-tindakan invasif lain,- Tindakan-tindakan non-invasif, namun yang mengandung risiko- risiko tertentu.Pada setiap tindakan operasi umumnya diperlukan penanda-tangananformulir Informed Consent Hal ini disebabkan karena di dalam suatupembedahan akan selalu melekat risiko (inherent risic). Hal ini juga bisaterjadi pada tindakan pemberian anestesi. Misalnya bisa terjadi karenareaksi tubuh yang berlebihan, maka bisa timbul anafilaktik shok yangtidak bisa diperhitungkan sebelumnya. Maka sebelumnya kepada pasienharus ditanyakan a^jkah ia alergik terhadap zat-zat tertentu. Biasanyapada Rekam Medik - bahkan pada halaman depan - ada kolom untukdiisi tentang Alergik pasiennya.Jika sampai timbul reaksi yang berlebihan, maka dokter anestesi harussegera berusaha menolongnya dengan memberikan suntikan penawar-nya. Namun jika toh tidak bisa berhasil mengatasinya, maka dokteranestesi tidak dapat dipersalahkan, karena tidak bisa diperhitungkansebelumnya.Arti \"Invasif\"Menganai penafsiran arti Invasivd' masih ada perbedaan pendapat.Permenkes No. 585/1989 pada Pasal 1 ayat (d) mengatakan : \"Tindakan20

invasive adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhikeutuhan jaringan tubuh\".Namun jika diikuti perumusan ini, maka setiap pemberian suntikan obatatau pada pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium termasuktindakan invasive, sehingga harus memperoleh izin tertulis. Namunmaksudnya tidak demikian. Yang diperlukan izin tertulis adalah tindakanyang melekat siatu risiko yang mungkin timbul. Misalnya pada tindakanoperasi karena selain mempergunakan pisau untuk membuka bagiantubuh, tetapi juga harus memakai pembiusan.Atau pemberian therapy yang memakai sinar X-ray, pemeriksaan radio-logis yang memakai kontras, dan sebagainya. Pemberian terapi sinar Xbisa juga dianggap non-invasif, karena tidak ada pembedahan. Namunrisikonya yang timbul bisa bermacam-macam: rasa mual, rambut rontok,kulit hangus, timbangan badan turun dan Iain-lain. Bisa juga timbulreaksi alergik yang dapat berakibat fatal. Misalnya pada pemeriksaanfungsi ginjal yang pernah juga terjadi, walaupun sangat jarang.Di U.K. terdapat sebuah Pedoman dari Department of Health : \"Goodpractice in consent inplementation guide. 2001\". Di dalam Pedomantersebut dikatakan bahwa :Hukum tidak mewajibkan untuk selalu memakai bentuk tertulis, namunadalah praktek yang benar untuk dilakukannya secara tertulis dalam hal-hal:(1) Tindakan ayau prosedurnya bersifat kompleks, atau menyangkut risiko besar (di dalam arti \"risiko\" termasuk segala akibat negatif (adverse outcome) ^ang mungkin timbul.(2) Prosedurnya menyangkut pembiusan umum/lokal atau peniduran / pengurangan kesadaran {sedation),(3) Tindakan yang dilakukan itu bukan merupakan tujuan dari prosedurnya,(4) Kemungkin bisa timbul konsekwensi berat terhadap pekerjaan pasien, kehidupan pribadi atau sosial.(5) Tindakan itu adalah bagian dari suatu proyek atau program penelitian. 21


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook